Вы находитесь на странице: 1из 8

IKIGAI LITERASI

(Sebab Literasi Bukan Obor Blarak Lagi)

Resmiyati
081328143762

Masih ingat kalimat ‘Ayah membaca koran’? Atau kalimat ‘Ibu memasak
di dapur? Kalau masih ingat, artinya kita tidak muda lagi. Apalagi, ketika
mendengar kalimat ‘Ini ibu Budi’ lalu dengan cepat kita dapat melanjutkan ‘ Ini
bapak Budi’. Hal ini semakin menasbihkan betapa ‘penjajahan’ keluarga Budi di
memori kita sudah sangat mengakar. Padahal kita tahu, apapun bentuknya
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Terlebih penjajahan yang mengerdilkan
kepekaan. Maka, rupa ‘penjajahan memori’ ini harus kita lawan.

Memang tidak dipungkiri, kalimat-kalimat itu sangat memorable. Budi,


Wati, Ayah, dan Ibu adalah tokoh sentral. Tokoh sentral dalam buku pelajaran
Bahasa Indonesia SD tahun 70-an. Tokoh yang masih sering disebut sampai
sekarang. Keluarga Budi memang luar biasa. Melalui keluarga inilah Hj. Siti
Rahmani Rauf pengarang buku tersebut, berhasil meletakkan dasar-dasar
membaca dan menulis dengan bahasa sederhana. Bahasa yang mudah dipahami.
Kesederhanaan kalimat yang begitu melekat meskipun telah bertahun lewat.
Kesederhanaan sebagai hasil permenungan yang bukan sesaat. Dengan buku
inilah, ribuan anak Indonesia dapat membaca sekaligus menulis dasar.

Namun, ini menggemaskan, karena dasar membaca dan menulis itu tidak
bersegera ditindaklanjuti. Sebagian dari kita hanya memegang dasar sederhananya
saja tanpa mengembangkannya. Akibatnya, mereka yang notabene sudah di
sekolah lanjutan pun, kalau diminta membuat kalimat, hasilnya hanya kalimat-
kalimat sederhana dengan pola dasar sederhana pula. Serupa dengan pola ‘Ayah
pergi ke kantor dan ibu pergi ke pasar.’ ‘Budi bermain bola dan Wati menyiram
tanaman.’ Bisa dibayangkan, betapa lelahnya Ayah, yang harus berkantor sejak
tahun 1970 sampai sekarang. Kapan pensiunnya? Yang menyedihkan lagi Budi,
sekolah di SD kok berpuluh tahun. Kapan lulusnya? Ah, betapa ironisnya. Dasar
pemikiran yang brilian itu tidak bersegera dikembangkan. Apalagi dijadikan
embrio yang menjadi pedoman. Pedoman berkarya dalam ajang kepenulisan.

Maka kemudian tidak heran muncullah tragedi nol buku. Tragedi sebagai
hasil riset Taufiq Ismail bulan Juli – Oktober tahun 1997 . Riset tentang
kebiasaan membaca dan menulis. Beliu meneliti 13 negara. Hasilnya, Indonesia
menempati peringkat pertama. Pertama dari bawah alias urutan buncit.
Mencengangkan, hasil riset itu menggambarkan, tidak ada kewajiban membaca
buku sastra sebagai syarat lulus SMA di Indonesia. Anak-anak kita tidak
membaca dan tidak menulis, rabun baca dan pincang menulis. 90% anak-anak
kita mengandalkan hidupnya dengan melihat dan mendengar saja. Oleh Taufiq
Ismail, itu disebutkan sebagai kebiasaan primitif di zaman yang makin modern
dan permisif. Zaman yang alat-alatnya makin canggih, informasi dunia yang
masif dan ada kalanya tidak sahih. Maka tanpa membaca akhirnya kita
menyediakan diri menjadi ‘korban’ yang tidak bisa berdalih.

Hal serupa juga terjadi pada capaian nilai Programme for Internasional
Student Assessment (PISA). PISA merupakan sistem ujian yang diinisiasi oleh
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk
mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia. Bidikan PISA
adalah mengukur apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dilakukan dengan
pengetahuannya. Riset tiga tahunan ini mencatat prestasi negara kita yang ‘luar
biasa’. Tahun 2012 negara kita urutan 71 dari 72 peserta, sedang di tahun 2015,
menempati peringkat 64 dari peserta yang sama di tahun 2012. Wah, agak lega.
Kondisi ini rupanya membuat pemerintah jengah juga. Maka, tahun 2015
Mendikbud yang ketika itu dijabat Anies Baswedan meluncurkan Gerakan
Literasi Sekolah atau GLS. Gerakan ini diperkuat dengan dasar Permendikbud
Nomor 21 Tahun 2015. ‘Bahasa Penumbuh Budi Pekerti’ menjadi filosofi
gerakan ini. Setiap sekolah diwajibkan menyediakan 15 menit sebelum pelajaran
untuk kegiatan literasi.
Gaung literasi sangat terasa, slogan dan iklan tentang literasi bertebaran di
mana-mana. Sekolah-sekolah gempita menyambut sebagai tantangan. Namun,
yang terjadi kemudian juga beragam. Ada yang sebatas obor blarak, kegiatan
hilang sebelum bergerak. Ada yang melaksanakan tanpa kejelasan arah,
terombang-ambing oleh kebijakan yang kerap melumpuhkan gairah. Tapi, ada
yang pula yang tangguh, mamacu kebiasaan membaca itu secara menyeluruh.
Terstruktur, terencana, dalam program sederhana tapi menujukkan konsistenitas
karya.
Pertanyaannya, mengapa menjadi obor blarak ? Mengapa gairah
berliterasi tidak juga beranjak? Berliterasi itu sebuah proses panjang. Tidak bisa
dijujug dengan akhiran. Ada filosofi-filosofi yang harus dipahami. Ini sangat
penting utamanya untuk guru karena guru berposisi sebagai garda terdepan
perubahan. Seperti yang disampaikan Dr. Roger Farr dalam bukunya Teaching a
Child to Read, semua elemen harus paham bahwa membaca merupakan batu
loncatan bagi keberhasilan di sekolah dan kelak di masyarakat. Bahkan pendapat
ini pun dikuatkan oleh Glenn Doman, yang menegaskan bahwa membaca
merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses
belajar didasarkan pada membaca. Nah, sudahkah kita pahami itu?

Tentang literasi ini, sebenarnya negara kita memiliki catatan panjang.


Sejarah telah menyimpan jejak bahwa jauh sebelum peradaban, literasi kita sudah
berkembang. Lihat saja buku Sutasoma karya Empu Tantular tahun 1350–1389.
Pada buku ini termaktub semboyan magis Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika.
Hal tersebut jelas tertulis pada pupuh 139 bait ke-5. Sungguh mahakarya yang
dasyat.

Atau pujangga besar Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito. Tokoh


yang hidup pada masa keemasan Keraton Surakarta. Tokoh ini adalah pujangga
yang telah meninggalkan ‘warisan tak terharga’. Warisan yang berupa puluhan
serat. Serat yang mempunyai nilai dan capaian estika menakjubkan. Bahkan
karya-karya pujangga ini seperti tidak lekang oleh zaman. Karya besar tersebut
diantaranya Serat Jayengbaya, Serat Wirid Hidayatjati, Serat Kalatidha, Serat Jaka
Lodhang dan Serat Sabda Jati.
Karya-karya fenomenal para pujangga itu sudah pasti diperoleh dengan
konsistensi tinggi dalam berliterasi. Literasi yang tidak hanya sekadar how to
read, how to learn, pun how to undestand. Tapi literasi yang sampai pada tataran
tertinggi how to elevate, tataran transformasi kesadaaran. Kesadaran yang
menyerupa semangat menumbuhkembangkan literasi sebagai kebutuhan.
Kebutuhan utama. Kebutuhan yang tidak bisa berhenti. Kebutuhan dari kesadaran
bahwa literasi adalah nadi. Literasi yang ber-ikigai. Menjadi detak yang
menyangga hidup. Hidup yang urup. Urup yang memberi kemanfaatan.
Kemanfaatan yang menjadi sebuah alasan untuk melangkah dengan kejelasan
arah.
Konsistensi dalam berliterasi inilah yang hendaknya kita teladani.
Bagaimana menjadikan anak-anak negeri ini menyadari bahwa membaca dan
menulis semestinya menjadi kebutuhan sehari-hari. Kesadaran meningkatkan
kualitas diri dengan mengubah cara padang tentang baca tulis bukan sebagai
kewajiban tetapi sebagai kebutuhan.
Pada perkembangannya, roh literasi ‘Bahasa Penumbuh Budi Pekerti’
sesungguhnya linier dengan program Nawa Cita Presiden Joko Widodo tentang
revolusi karakter bangsa. Revolusi ini telah termaktub dalam kebijakan penataan
kurikulum pendidikan nasional. Artinya, gerakan literasi memiliki posisi strategis
dalam membangun karakter anak-anak sebagai masa depan bangsa.
Maka, muara dari keberhasilan literasi secara menyeluruh adalah
keteladanan. Keteladanan orang tua, guru, tokoh masyarakat pun publik figur.
Keteladanan untuk giat membaca. Membaca dengan greget yang membuka
cakrawala pengetahuan. Menjadikan pandangan lapang. Membuka pintu-pintu
bilik sempit. Menghadirkan beribu sudut pandang dalam menyikapi persoalan.
Demikianlah, ketika membaca menjadi kebiasaan, maka menulis akan menjadi
kegiatan yang menyenangkan. Hal ini akan pula meningkatkaan keterampilan
berbahasa yang lain berbicara dan menyimak. Pengetahuan yang luas sebagai
hasil membaca tentu akan menghindarkan dari hoax, upaya-upaya plagiasi, pun
kejahatan kejahatan cyber yang makin menjadi.
Membaca menjadikaan anak-anak berisi. Menjadikan mereka lebih
berhati-hati. Arif dan tenang menyikapi perubahan. Tidak mudah terprovokasi
keadaan. Inilah revolusi karakter itu. Sebuah filosofi yang menggarisbawahi
bahwa bahasa memang penumbuh budi pekerti. Maka tidak heran, betapa Bung
Hatta begitu tenang menghadapi pengasingan. Beliu tidak kesepian karena buku
telah menjadi teman keabadian. ‘Aku rela di penjara asalkan bersama buku,
karena dengan buku aku bebas,’ begitulah.

Terbetik kemudian pertanyaan, ‘Sudahkah saya membaca dan menulis


hari ini?’ Dan sepoi angin berbisik lirih mengabarkan kejujuran, ‘Sudah dong,
membaca dan menulis whatshapp.’

****
Sumber :

Derektorat Jenderal Pendidikan dasar dan Menengah Kementeria Pendidikan dan


kebudayaan.2016. Panduan Geraka Literasi Sekolah di sekolah
Menengah Atas. Jakarta : Derektorat Jenderal Pendidikan dasar dan
Menengah kementeria Pendidikan dan Kebudayaan.

Farr, Roger.2008. Think Reading: Think-Along Strategies for Reading


Comprehension and Test Taking - Better World Books (Mishawaka, IN,
U.S.A )

Setiawan, Bukik. 2014. Artikel : Tragedi Nol Buku dan Sistem Pendidikan Kita.
Bincang edukasi. Com.

https://nasional.kompas.com/read/2014/05/21/0754454/.Nawa.Cita.9.Agenda.Prio
ritas.Jokowi-JK.

http://sumber-catatan.blogspot.com/2013/12/mengenang-ini-budi-buku-sd-era-70-
80an.html

http://karatonsurakarta.blogspot.com/2009/09/ronggowarsito.html
Desliana Maulipaksi: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kemendikbud

https://www.antaranews.com/berita/600165/peringkat-pisa-indonesia-alami-
peningkatan

http://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-41021291

Вам также может понравиться