Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Resmiyati
081328143762
Masih ingat kalimat ‘Ayah membaca koran’? Atau kalimat ‘Ibu memasak
di dapur? Kalau masih ingat, artinya kita tidak muda lagi. Apalagi, ketika
mendengar kalimat ‘Ini ibu Budi’ lalu dengan cepat kita dapat melanjutkan ‘ Ini
bapak Budi’. Hal ini semakin menasbihkan betapa ‘penjajahan’ keluarga Budi di
memori kita sudah sangat mengakar. Padahal kita tahu, apapun bentuknya
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Terlebih penjajahan yang mengerdilkan
kepekaan. Maka, rupa ‘penjajahan memori’ ini harus kita lawan.
Namun, ini menggemaskan, karena dasar membaca dan menulis itu tidak
bersegera ditindaklanjuti. Sebagian dari kita hanya memegang dasar sederhananya
saja tanpa mengembangkannya. Akibatnya, mereka yang notabene sudah di
sekolah lanjutan pun, kalau diminta membuat kalimat, hasilnya hanya kalimat-
kalimat sederhana dengan pola dasar sederhana pula. Serupa dengan pola ‘Ayah
pergi ke kantor dan ibu pergi ke pasar.’ ‘Budi bermain bola dan Wati menyiram
tanaman.’ Bisa dibayangkan, betapa lelahnya Ayah, yang harus berkantor sejak
tahun 1970 sampai sekarang. Kapan pensiunnya? Yang menyedihkan lagi Budi,
sekolah di SD kok berpuluh tahun. Kapan lulusnya? Ah, betapa ironisnya. Dasar
pemikiran yang brilian itu tidak bersegera dikembangkan. Apalagi dijadikan
embrio yang menjadi pedoman. Pedoman berkarya dalam ajang kepenulisan.
Maka kemudian tidak heran muncullah tragedi nol buku. Tragedi sebagai
hasil riset Taufiq Ismail bulan Juli – Oktober tahun 1997 . Riset tentang
kebiasaan membaca dan menulis. Beliu meneliti 13 negara. Hasilnya, Indonesia
menempati peringkat pertama. Pertama dari bawah alias urutan buncit.
Mencengangkan, hasil riset itu menggambarkan, tidak ada kewajiban membaca
buku sastra sebagai syarat lulus SMA di Indonesia. Anak-anak kita tidak
membaca dan tidak menulis, rabun baca dan pincang menulis. 90% anak-anak
kita mengandalkan hidupnya dengan melihat dan mendengar saja. Oleh Taufiq
Ismail, itu disebutkan sebagai kebiasaan primitif di zaman yang makin modern
dan permisif. Zaman yang alat-alatnya makin canggih, informasi dunia yang
masif dan ada kalanya tidak sahih. Maka tanpa membaca akhirnya kita
menyediakan diri menjadi ‘korban’ yang tidak bisa berdalih.
Hal serupa juga terjadi pada capaian nilai Programme for Internasional
Student Assessment (PISA). PISA merupakan sistem ujian yang diinisiasi oleh
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk
mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia. Bidikan PISA
adalah mengukur apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dilakukan dengan
pengetahuannya. Riset tiga tahunan ini mencatat prestasi negara kita yang ‘luar
biasa’. Tahun 2012 negara kita urutan 71 dari 72 peserta, sedang di tahun 2015,
menempati peringkat 64 dari peserta yang sama di tahun 2012. Wah, agak lega.
Kondisi ini rupanya membuat pemerintah jengah juga. Maka, tahun 2015
Mendikbud yang ketika itu dijabat Anies Baswedan meluncurkan Gerakan
Literasi Sekolah atau GLS. Gerakan ini diperkuat dengan dasar Permendikbud
Nomor 21 Tahun 2015. ‘Bahasa Penumbuh Budi Pekerti’ menjadi filosofi
gerakan ini. Setiap sekolah diwajibkan menyediakan 15 menit sebelum pelajaran
untuk kegiatan literasi.
Gaung literasi sangat terasa, slogan dan iklan tentang literasi bertebaran di
mana-mana. Sekolah-sekolah gempita menyambut sebagai tantangan. Namun,
yang terjadi kemudian juga beragam. Ada yang sebatas obor blarak, kegiatan
hilang sebelum bergerak. Ada yang melaksanakan tanpa kejelasan arah,
terombang-ambing oleh kebijakan yang kerap melumpuhkan gairah. Tapi, ada
yang pula yang tangguh, mamacu kebiasaan membaca itu secara menyeluruh.
Terstruktur, terencana, dalam program sederhana tapi menujukkan konsistenitas
karya.
Pertanyaannya, mengapa menjadi obor blarak ? Mengapa gairah
berliterasi tidak juga beranjak? Berliterasi itu sebuah proses panjang. Tidak bisa
dijujug dengan akhiran. Ada filosofi-filosofi yang harus dipahami. Ini sangat
penting utamanya untuk guru karena guru berposisi sebagai garda terdepan
perubahan. Seperti yang disampaikan Dr. Roger Farr dalam bukunya Teaching a
Child to Read, semua elemen harus paham bahwa membaca merupakan batu
loncatan bagi keberhasilan di sekolah dan kelak di masyarakat. Bahkan pendapat
ini pun dikuatkan oleh Glenn Doman, yang menegaskan bahwa membaca
merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses
belajar didasarkan pada membaca. Nah, sudahkah kita pahami itu?
****
Sumber :
Setiawan, Bukik. 2014. Artikel : Tragedi Nol Buku dan Sistem Pendidikan Kita.
Bincang edukasi. Com.
https://nasional.kompas.com/read/2014/05/21/0754454/.Nawa.Cita.9.Agenda.Prio
ritas.Jokowi-JK.
http://sumber-catatan.blogspot.com/2013/12/mengenang-ini-budi-buku-sd-era-70-
80an.html
http://karatonsurakarta.blogspot.com/2009/09/ronggowarsito.html
Desliana Maulipaksi: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kemendikbud
https://www.antaranews.com/berita/600165/peringkat-pisa-indonesia-alami-
peningkatan
http://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-41021291