Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
net/publication/260126459
Etika Berkendara
CITATIONS READS
0 3,807
1 author:
Supanggung Supanggung
Universitas Gadjah Mada
4 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Supanggung Supanggung on 12 February 2014.
Tata cara berlalu lintas secara umum telah diatar dalam Bab IX Bagian Keempat Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam Bagian
Keempat tersebut, telah diatur bahwa setiap orang yang menggunakan jalan wajib berperilaku
tertib dan/atau mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan Keamanan dan
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan Jalan
(Pasal 105). Ketentuan yang diatur dalam Pasal 105 secara umum bertujuan untuk menjaga
keselamatan dan kelancaran berlalu lintas.
Berkaitan keselamatan dan kelancaran lalu lintas, banyak kondisi dimana pengguna jalan tidak
mampu menjaga keduanya ketika menggunakan jalan. Bahkan, pengaturan lalu lintas pun
kadang tidak mencerminkan untuk menjaga dua kondisi tersebut secara bersamaan. Beberapa
contohnya adalah (1) pengendara kendaraan bermotor yang berhenti di persimpangan pada
saat fase lampu merah; (2) pengendara kendaraan bermotor yang akan masuk ke jalur utama;
dan (3) ketentuan belok kiri jalan terus.
Undang-undang LLAJ memang tidak secara spesifik mengatur bagaimana posisi antara sepeda
motor dan mobil ketika berhenti di persimpangan pada saat fase lampu merah. Untuk kondisi ke
2 (dua) memang sudah diatur dalam Pasal 113 sedangkan kondisi ke 3 (tiga) sudah diatur
dalam Pasal 112 ayat (3).
Berhenti di Persimpangan
Tidak banyak dapat ditemukan lajur khusus belok kanan pada persimpangan-persimpangan
utama. Biasanya, lajur paling kanan akan dipasang marka lurus dan belok kanan. Meskipun ada
sedikit lajur yang diberi marka belok kanan, namun itu tidak menjamin bahwa kendaraan yang
berada di lajur tersebut akan berbelok kanan. Ini menjadi hal yang wajar karena tidak ada
keseragaman dalam pengaturan lajur. Selain itu, marka ini hanya dipasang 1 (satu) saja
sehingga pengendara tidak bisa mengantisipasi apakah lajur kanan tersebut khusus untuk
belok kanan atau boleh juga untuk lurus.
Pada lajur kanan yang sudah diberi marka belok kanan, masih banyak ditemukan pengendara
yang pada akhirnya bergerak lurus, tidak berbelok ke kanan. Hal ini tentunya berpotensi
menimbulkan konflik di daerah simpang antara kendaraan yang lurus dengan kendaraan yang
akan berbelok kanan. Ditambah lagi, banyak kita temui kendaraan yang tidak memberikan
lampu isyarat (lampu sen) ketika menunggu fase hijau. Mereka biasanya baru akan
memberikan isyarat ketika kendaraan sudah mulai bergerak. Tentu saja ini akan meningkatkan
potensi terjadinya konflik di daerah simpang.
Konflik tersebut sebenarnya bisa dihindari atau diantisipasi dengan mengatur posisi berhenti
kendaraan ketika fase lampu merah. Kendaraan yang dimaksud di sini adalah mobil (roda 4)
dan motor, karena kedua jenis kendaraan ini yang sering terlibat konflik di persimpangan.
Kemudian, karena motor lebih bisa bermanufer daripada mobil, maka sebaiknya motor yang
menyesuaikan mobil, yang artinya, mobil harus mengambil posisi yang tepat di persimpangan.
Untuk kaki persimpangan dengan 2 lajur, (1) bagi mobil yang akan bergerak lurus, maka posisi
mobil adalah di lajur kiri atau di bagian paling kiri lajur kanan (mepet dengan marka tengah).
Dengan posisi demikian, motor yang akan berbelok kanan dapat berada di sebelah kanan
mobil. Kemudian, (2) bagi mobil yang akan berbelok kanan, ambil lajur paling kanan dan
posisikan mobil di sisi paling kanan lajur tersebut sehingga motor yang akan berbelok kanan
akan berada di sebelah kiri mobil. (3) Bagi motor yang akan berbelok kanan, hindari mendahului
mobil dari sisi kanan mobil.
Gambar 1. Posisi Motor Terhadap Mobil di Persimpangan
Bagaimana seharusnya ketika akan bergabung dengan lalu lintas utama? Sebenarnya
sederhana, yaitu cukup dengan menerapkan etika ketika berhadapan dengan rambu STOP
atau BERI KESEMPATAN.
Dan memang demikian adanya, banyak pengemudi yang langsung berbelok kiri ketika melihat
ada marka tersebut. Mereka rela berebut hak jalan dengan kendaraan yang melaju dari arah
kanan atau depan agar bisa tetap langsung berbelok kiri dan terus melaju. Walaupun kadang
berbeda antara mobil dengan motor. Mobil kadang ada yang berhenti terlebih dahulu dan ada
juga yang langsung berbelok kiri, sedangkan motor semuanya langsung berbelok kiri.
Dalam konteks menjaga kelancaran, memang marka dan tindakan pengemudi yang mengikuti
marka tersebut tidaklah salah. Namun dalam konteks keselamatan jalan, hal ini perlu ditinjau
kembali. Bilamana terjadi kecelakaan antara kendaraan yang berbelok kiri dengan kendaraan
yang melaju dari arah kanan karena fase lampu hijau, maka yang harus bertanggung jawab
adalah kendaraan yang berbelok kiri. Ini tentunya tanpa syarat, karena kendaraan yang dari
arah kanan memang seharusnya diutamakan hak jalannya.
Ketika tidak ada marka “BELOK KIRI JALAN TERUS”, maka etika yang berlaku adalah
kendaraan (baik mobil maupun motor) boleh berbelok kiri ketika tidak ada kendaraan yang
melaju dari arah kanan. Hal ini sama dengan ketika dipasang rambu-rambu STOP atau Beri
Kesempatan.
Namun demikian, memang tidak semua persimpangan diberikan Marka BELOK KIRI JALAN
TERUS atau BELOK KIRI IKUTI LAMPU. Hal ini menyebabkan pengendara menjadi bingung,
apakah akan langsung berbelok atau menunggu lampu hijau. Untuk itulah, sebaiknya
pengaturan setiap simpang diseragamkan dengan menggunakan lampu. Selain itu, perlu
disosialisasikan etika ketika berbelok kiri yaitu “BOLEH LANGSUNG BELOK KIRI JIKA
KENDARAAN DARI ARAH KANAN TIDAK ADA YANG MELAJU”. Dengan demikian, marka
“BELOK KIRI JALAN TERUS” tersebut berlaku dengan syarat “TIDAK ADA KENDARAAN
YANG MELAJU DARI ARAH KANAN ATAU DEPAN”.
Apakah seperti itu yang seharusnya? Jika mempertimbangkan spesifikasi teknis semua
kendaraan, baik roda dua, road empat ataupun roda enam atau lebih, kita mengetahui dan
memahami bahwa semakin kecil kendaraan maka semakin besar manufer yang dapat
dilakukan. Jika mempertimbangkan demikian, maka yang etis adalah bahwa kendaraan yang
kecil harus menghormati kendaraan yang besar dengan cara mengalah dan memberikan
kesempatan kepada kendaraan yang besar untuk bergerak dengan selamat.
Dengan menghormati kendaraan yang lebih besar, maka seharusnya kendaraan ringan tidak
boleh memotong jalur maneuver kendaraan berat. Sebagai contoh, bilamana ada truk container
yang sedang melaju, maka tidak etis ketika kendaraan ringan tiba-tiba mendahulu dan berhenti
di depan truk pada jarak kurang dari 20 meter. Atau, tidak etis ketika ada truk yang sedang
melaju tiba-tiba pengendara motor memotong jalur teruk tersebut karena ingin menyeberang
jalan. Selain tidak etis, hal ini juga akan meiningkatkan risiko kecelakaan. Jika kecelakaan
terjadi, maka tidak etis juga jika membebankan kesalahan pada pengemudi truk.
Meskipun demikian, kendaraan yang besar harus ‘menyayangi’ kendaraan yang lebih kecil
dengan cara memberikan keselamatan kepada kendaraan ringan untuk bermanufer, misalnya
mendahului, dengan selamat. Ketika ada kendaraan ringan yang akan mendahului dan sudah
memberikan sinyal bahwa dia akan mendahului, maka sudah sepantasnya kendaraan berat
memberikan kesempatan untuk mendahului dengan selamat dan memberikan tanda kepada
kendaraan ringan tersebut kapan waktunya untuk mendahului.
Supanggung
Pusat Studi Transportasi dan Logistik
Universitas Gadjah Mada