Вы находитесь на странице: 1из 20

Hasanuddin Law Review Vol.

1 Issue 3, December (2015)

HALREV
Volume 1 Issue 3, December 2015: pp. 371-390. Copyright © 2015
HALREV. Faculty of Law, Hasanuddin University, Makassar, South
Sulawesi, Indonesia. ISSN: 2442-9880 | e-ISSN: 2442-9899.
Open Access at: http://pasca.unhas.ac.id/ojs/index.php/halrev
Hasanuddin Law Review is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License,
which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original
work is properly cited.

Kebijakan Nasional Indonesia dalam Adaptasi dan


Mitigasi Perubahan Iklim
Indonesian National Policy on Adaptation and Mitigation of
Climate Change

Wahyu Yun Santoso


Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Jln. Sosio Justisia, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281, Indonesia
Tel./Fax: +62-274-512781 E-mail: wahyu.yuns@ugm.ac.id

Submitted: Nov 8, 2015; Reviewed: Nov 22, 2015; Accepted: Dec 3, 2015

Abstract: From its arousal, the issue of climate change or global warming has become
a distinct global trend setter in multidiciplinary discussion, including in the law
perspective. Within legal discourse, the issue of climate change developed rapidly into
several aspect, not only about adaptation nor mitigation, especially since the plurality of
moral conviction relevant to the climate change facts. As a global matter, each country
has the responsibility to adapt and mitigate with its own character and policy. This
normative research aims to explore and describe in brief the Indonesian national policy
in climate change adaptation and mitigation. Gradually, the contribution of Indonesia
is getting firm and solid to the climate change regime, especially after the Bali Action
Plan 2007.

Keywords: Adaptation; Mitigation; Climate Change; REDD

Abstrak: Sejak pertama kalinya bergulir, isu perubahan iklim atau global warming telah
menjadi trend setter tersendiri dalam wacana diskusi multidisipliner, termasuk dalam
konteks hukum. Dalam diskursus ilmu hukum sendiri, isu perubahan iklim berkembang
dalam sekian aspek pembahasan, terlebih dengan masih adanya banyak perdebatan
yang terjadi mengenai penyebab maupun lingkup dampak dari perubahan iklim tersebut.
Sebagai sebuah masalah global, tiap negara memiliki karakter tersendiri pada model
kebijakannya dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Penelitian ini bersifat
normatif dan bertujuan untuk dapat memaparkan secara garis besar konsep kebijakan
nasional Indonesia dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Secara garis besar,
Indonesia telah memberikan kontribusi cukup signifikan dalam rezim perubahan iklim,
terutama pasca Bali Action Plan 2007.

Kata Kunci: Adaptasi; Mitigasi; Perubahan Iklim; REDD

371
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

PENDAHULUAN atmosfer Bumi. Proses yang lama dari pema-


Perubahan iklim adalah fenomena global nasan global ini membawa dampak bagi ne-
yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama gara-negara di dunia, termasuk negara ber-
yang berkaitan dengan penggunaan bahan kembang ikut merasakan akibatnya, namun
bakar fosil dan kegiatan alih-guna lahan. tidak memiliki kemampuan yang memadai
Fenomena perubahan iklim diawali dengan untuk melakukan adaptasi terhadap dampak
menumpuknya berbagai gas yang dihasil- negatif yang ditimbulkan oleh efek rumah
kan dari kegiatan tersebut pada atmosfer. kaca tersebut. Beberapa di antara dampak
Di antara gas-gas tersebut adalah Karbon negatif tersebut adalah menurunnya produk-
Dioksida (CO2), Metana (CH4), dan Nitro- si pangan, terganggunya fluktuasi dan distri-
us Oksida (N2O). Gas-gas tersebut memiliki busi ketersediaan air, penyebaran hama dan
sifat kekhususan seperti kaca yang bersifat penyakit tanaman, serta dampak bagi kehi-
meneruskan radiasi gelombang-pendek atau dupan sosial ekonomi manusia.
cahaya matahari, tetapi menyerap dan me- Global Environment Outlook (bagian
mantulkan radiasi gelombang-panjang atau dari UNEP) melaporkan bahwa tingkat emi-
radiasi-balik yang dipancarkan Bumi yang si “carbon dioxide” tahun 1990 mencapai 4
bersifat panas sehingga suhu atmosfer Bumi kali lipat tahun 1950 dan 65 juta hektar (dari
meningkat. 3500 juta hektar) hutan punah pada periode
Dengan adanya penumpukan gas-gas tahun 1990 – 1995, 70 persen sumber daya
tersebut, keadaan di dalam bumi identik ikan di samudra ‘over-fished’ akibat ‘over-
dengan keadaan di dalam rumah kaca yang capacity’ armada penangkapan ikan yang
selalu lebih panas dibanding suhu udara di mencapai 40 persen. IPCC memerediksi
luarnya. Dari pemaknaan inilah, gas-gas kenaikan temperatur mencapai 2,5 sampai
tersebut dikenal dengan istilah “gas rumah 10,4 derajat celsius sampai periode seratus
kaca” dan pengaruh yang ditimbulkannya tahun mendatang dan permukaan laut telah
dikenal dengan istilah “efek rumah kaca”. mengalami kenaikan mencapai 9 inci dan
Dari proses alam inilah yang selanjutnya diprediksi naik lagi antara 3,5 sampai 34,6
akan menimbulkan suatu pemanasan global inci tahun 2010.2
yang akan berpengaruh terhadap perubahan Data penelitian yang telah ada memer-
iklim.1 lihatkan tanda-tanda nyata perubahan iklim
Secara perhitungan matematis, feno- melalui parameter iklim yang berubah dalam
mena pemanasan global memang bukan su- jangka waktu tertentu. Telah terjadi kenaikan
atu proses instan yang terjadi dalam hitungan konsentrasi gas CO sebesar 265-285 ppm
2
bulan atau belasan tahun, tetapi merupakan dari tahun 1750-1800 (sebelum Revolusi
akumulasi secara bertahap dalam peningkat- Industri) dan mencapai 365 ppm pada tahun
an konsentrasi kandungan gas rumah kaca di 1996, serta diprediksi akan terus meningkat
sampai lebih dari 600 ppm pada tahun 2100.3
1
United Nations Environment Programme (UNEP)
and the Climate Change Secretariat (UNFCCC).
(2002). Understanding Climate Change: a
Beginner’s Guide to the UN Framework Convention 2
Ibid.
and Its Kyoto Protocol. Booklet UNEP-Jeneva. 3
Ibid.

372
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

Temperatur rata-rata permukaan bumi Luas hutan Indonesia yang pada tahun
o
meningkat sebesar 0.3-0.6 C selama sera- 1950-an sekitar 162 juta hektar, di tahun
tus tahun terakhir ini dan diprediksi akan 2000-an ini tinggal sekitar 98 juta hektar.
o
meningkat sebesar 1.4-5.8 C dalam kurun Di masa ”booming” pembangunan pada
waktu 1990-2100. Penelitian-penelitian juga 1980-an, laju kehilangan hutan rata-rata 1
menunjukkan bahwa terjadi kenaikan per- juta hektar per tahun. Kemudian meningkat
mukaan air laut sebesar 10-25 cm selama menjadi 1.7 juta hektar/tahun pada dekade
seratus tahun terakhir dan diprediksi akan 1990-an dan saat ini Kementerian Kehutanan
meningkat sebesar 90-88 cm dalam 1990- mencatat bahwa laju deforestasi adalah
2100.4 sebesar 2.8 juta hektar per tahun.
Indonesia merupakan negara kepulau- Berbagai bencana yang terkait dengan
an dengan luas total daratan 1,9 juta kilo- iklim seperti banjir-badai akibat gelombang
meter persegi yang tersebar di 17.000 buah pasang yang terjadi di Kepulauan Maluku
pulau. Sedangkan luas lautan sebesar 5,8 sampai Kepulauan Sangihe dengan keting-
juta kilometer persegi termasuk zona eko- gian 50 cm juga telah menambah keyakinan
nomi ekslusif. Ibukota negara dan hampir perubahan iklim telah terjadi, demikian pula
semua ibu kota provinsi terletak di wilayah menipisnya salju di Puncak Jaya-Papua atau
pantai serta 65% penduduk tinggal di wila- makin panasnya kota-kota di Indonesia.5
yah pesisir dengan panjang pantai total seki- Pengaruh pemanasan global yang menyebab-
tar 81.000 km. Kondisi geografis Indonesia kan perubahan iklim juga terlihat dari penu-
yang merupakan negara kepulauan merupa- runan curah hujan di bawah normal sehingga
kan daerah yang rentan terhdap dampak pe- masa tanam belum dapat dimaksimalkan se-
rubahan iklim. perti terjadi di Kalimantan Timur (Babulu
Sebagai negara yang notabene masih Darat, Kota Bangun), Sulawesi Tenggara
agraris, perubahan iklim akan menyebabkan (Asera, Kendari), Lampung (Blambangan
gangguan pada daur air dan produksi pangan Umpu, Menggala). Sementara itu di seba-
di Indonesia. Hujan yang intensitasnya se- gian wilayah Indonesia lainnya curah hujan
makin tinggi pada perioda musim hujan yang meningkat sehingga menimbulkan banjir,
semakin pendek telah menyebabkan banjir genangan, dan tanah longsor seperti di Aceh
di tempat-tempat yang tidak biasa. Peng- Singkil, Medan, dan Mojokerto.
gundulan hutan telah memerparah perma- Naiknya permukaan air laut karena
salahan ini. Saat yang sama, penghutanan pemanasan global (global warming) da-
kembali dan pemeliharaan hutan yang masih pat menyebabkan bencana besar bagi suatu
ada bisa membantu beradaptasi dengan pola pulau kecil dan membahayakan juga pendu-
hujan dan daur air yang berubah ini. Namun 5
Dalam beberapa data yang ditemukan melalui
demikian, permasalahan hutan telah menem- media internet, perubahan iklim diduga dan
dipercayai memiliki keterkaitan dengan bermacam
pati porsi pembahasan tersendiri di tingkat bencana yang semakin meningkat intensitasnya
di Indonesia, termasuk juga perbedaan yang
nasional. sangat mencolok dalam foto udara tentang glasier
di Puncak Jaya Wijaya yang berkurang secara
4
Ibid. signifikan antara tahun 1997 – 2004.

373
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

duk yang tinggal di wilayah pesisir. Tengge- halnya Indonesia, harus melakukan suatu
lam atau hilangnya suatu pulau kecil meru- upaya adaptasi untuk mengatasi masalah
pakan salah satu fenomena yang akan pasti yang terjadi. Mengingat hal tersebut, lan-
terjadi apabila dampak perubahan iklim ti- gkah antisipatif akan lebih efektif dan bia-
dak diindahkan. Dampak perubahan iklim ya yang dikeluarkan akan lebih rendah bila
bukan hanya akan dirasakan oleh wilayah dibanding dengan upaya adaptasi yang di-
pesisir saja akan tetapi juga dapat memenga- lakukan nanti pada saat keadaan sudah se-
ruhi wilayah daratan yang berkaitan dengan makin memburuk dimana dampak sudah
perubahan musim tanam, kekeringan atau semakin besar sehingga upaya adaptasi akan
kemarau panjang, longsor dan banjir serta membutuhkan biaya lebih mahal.
juga kebakaran hutan. Sampai saat ini, kebijakan nasional
Saat Indonesia mengalami krisis ling- tentang pengembangan dan pelaksanaan
kungan yang berkepanjangan, pemerintah rencana serta upaya adaptasi belum seca-
Indonesia juga telah berhasil dengan sukses ra eksplisit tertuang di dalam kebijakan
menyelenggarakan perhelatan akbar dunia sektor-sektor yang terkait dengan perubahan
dalam pembahasan tentang isu pemanasan iklim, seperti sektor energi, perhubungan,
global. Pertemuan para pemimpin dunia di pertanian, kehutanan dan kesehatan. Pada
Bali dalam perhelatan rutin UNFCCC Con- umumnya kebijakan sektor hanya menying-
ference of the Parties (COP-13) itu telah gung upaya yang mengarah pada rencana
menghasilkan beberapa keputusan tentang maupun upaya adaptasi, tapi belum terfokus
pengurangan emisi karbon sebagai bagian pada pengembangan dan pelaksanaan renca-
dari upaya adaptasi dan mitigasi terhadap na dan upaya adaptasi terhadap perubahan
perubahan iklim. Dalam “Bali Action Plan”, iklim, sebagaimana yang dimaksud dalam
di samping negara maju yang harus meme- Konvensi Perubahan Iklim. Meskipun per-
nuhi kewajiban peningkatan target penu- lu untuk menjadi catatan tersendiri, bahwa
runan emisi dan membantu negara berkem- permasalahan perubahan iklim merupakan
bang dalam upaya mengurangi dampak ne- suatu isu yang interdimensional, sehingga
gatif perubahan iklim,6 negara berkembang akan terlalu banyak aspek yang bisa menjadi
juga didorong melakukan aksi nyata dalam bahan pembicaraan.
upaya mitigasi dan adaptasi terhadap per- Dalam kerangka alur usulan penelitian
ubahan iklim dalam konteks pembangunan ini, pembahasan mengenai konsep adaptasi
berkelanjutan, antara lain melalui integrasi dan mitigasi perubahan iklim, nantinya akan
upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim lebih menitikberatkan pada permasalahan
ke dalam perencanaan nasional dan sectoral terkait dengan flexible mechanisms yang
planning.7 dapat diterapkan oleh negara berkembang
Masyarakat yang mendiami suatu da- seperti berkembang –dalam hal ini melalui
erah rentan perubahan iklim, sebagaimana CDM ataupun mekanisme lain yang dapat
6
Dalam tiga hal utama, yaitu: capacity building,
diterapkan dalam hal perdagangan emisi
technology transfer dan financial.
7
Ibid.

374
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

karbon8; permasalahan upaya pengurangan


dampak global warming melalui reforestasi lingkungan, serta kehutanan. Bahan hukum
(skema REDD)9; serta upaya mitigasi yang sekunder berupa bahan pustaka seperti buku,
perlu dan dapat diterapkan untuk wilayah jurnal, hasil penelitian, makalah dan doku-
pesisir dan kepulauan, seperti Indonesia. men-dokumen lainnya yang terkait dengan
Demikian juga dengan skema REDD+ yang penelitian ini, sedangkan bahan hukum ter-
diusulkan oleh Indonesia saat ini, belum sier berupa bahan hukum yang memberikan
menampakkan kejelasan konsep riil untuk kelengkapan informasi tentang bahan hu-
aktualisasinya. kum primer dan bahan hukum sekunder se-
perti kamus hukum dan kamus bahasa.
METODE Bahan penelitian yang didapat dikla-
Penelitian dengan tema “Kebijakan Nasional sifikasikan sesuai dengan pokok bahasan
Indonesia dalam Adaptasi dan Mitigasi dan selanjutnya data yang didapat dianalisis
Perubahan Iklim” ini merupakan penelitian secara kualitatif yaitu sesuai dengan kuali-
hukum normatif. Bahan penelitian yang tas kebenarannya kemudian dituangkan da-
digunakan pada penelitian hukum normatif lam bentuk deskripsi yang menggambarkan
adalah bahan hukum primer yang terdiri dari tentang penerapan pendekatan kehati-hatian
peraturan perundang-undangan yang terkait sebagai upaya protektif atas komersialisasi
dengan perubahan iklim (climate change), sumber daya genetik. Dengan demikian, da-
8
Di dalam UNFCCC, negara berkembang tidak
pat diperoleh gambaran yang menyeluruh
memiliki kewajiban mutlak untuk mengurangi mengenai jawaban atas rumusan permasa-
emisi karbon seperti halnya Negara Annex I,
akan tetapi juga memiliki kewajiban untuk lahan yang diajukan.
ikut berpartisipasi aktif. Dalam hal ini terdapat
mekanisme yang diperuntukkan untuk negara
berkembang (non-Annex I parties) untuk ikut ANALISIS DAN PEMBAHASAN
mengurangi tingkat emisi karbon melalui Clean
Development Mechanism. Namun demikian, dalam Kerangka Pengaturan Internasional ten-
perkembangannya akhir-akhir ini, mulai semakin
bias juga pewacanaan di dalam media publik tang Perubahan Iklim
mengenai Carbon Trading, di mana seolah-olah
negara berkembang memiliki kewajiban yang sama Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca
dalam hal ini.
9
REDD ataupun Reduced Emission from Defores- (GRK) yaitu CO2, CH4, N2O, SF6, HFC dan
tation and Degradation in developing countries PFC akibat aktivitas manusia menyebabkan
merupakan suatu mekanisme yang memungkinkan
negara dengan tingkat populasi hutan yang masih meningkatnya radiasi yang terperangkap di
cukup banyak untuk dapat memberikan kontribusi
riil di dalam pengurangan emisi karbon. Peluang atmosfer. Hal ini menyebabkan fenomena
yang sangat besar ini masih terkendala karena be- pemanasan global yaitu meningkatnya suhu
lum siapnya suatu kerangka hukum yang jelas mau-
pun juga alur mekanisme dalam pelaksanaannya. permukaan bumi secara global. Pemana-
Di sisi lain, beberapa pihak – terutama dari negara
berkembang – masing menyangsikan tentang “ke- san global mengakibatkan perubahan iklim,
murnian” niat dari Negara Maju (Annex I) dalam berupa perubahan pada unsur-unsur iklim
pengurangan emisi karbon melalui reforestasi ini.
Salah satu bentuk kesangsian ini nampak pada isu seperti naiknya suhu permukaan bumi, me-
tentang ketidakadilan dari skema REDD karena
ekuivalen dengan pembolehan pembuangan emisi ningkatnya penguapan di udara, berubahnya
di negara maju selama melakukan peremajaan dan pola curah hujan dan tekanan udara yang
pelestarian hutan di negara berkembang yang nota-
bene memiliki cukup banyak ekosistem hutan. pada akhirnya akan mengubah pola iklim

375
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

dunia.10 Pemanasan global dan perubahan dengan diadakannya The First World Cli-
iklim terutama terjadi akibat aktivitas manu- mate Conference yang mengidentifikasi pe-
sia misalnya pemanfaatan bahan bakar fosil, rubahan iklim sebagai sebuah permasalahan
kegiatan pertanian dan peternakan, atau di- global sangat mendesak dan mengeluarkan
karenakan konversi lahan yang tidak terken- deklarasi untuk mengundang pemerintah
dali. di seluruh dunia untuk mengantisipasinya.
Konvensi Perubahan Iklim atau UN- Hal ini ditindaklanjuti dengan pembentukan
FCCC (United Nations Framework Conven- World Climate Programme dengan arahan
tion on Climate Change) adalah sebuah ke- World Meteorological Organization (WMO),
sepakatan yang bertujuan untuk menstabil- United Nations Environment Programme
kan konsentrasi gas rumah kaca (GRK, atau (UNEP) dan International Council of Scien-
Green House Gas-GHG) di atmosfir, pada tific Unions (ICSU) serta diikuti penyeleng-
taraf yang tidak membahayakan kehidupan garaan konferensi intergovernmental dalam
organisme dan memungkinkan terjadinya isu perubahan iklim.13
adaptasi ekosistem, sehingga dapat menja- Pada tahun 1988 dilangsungkan debat
min ketersediaan pangan dan pembangunan dalam Toronto Conference on the Changing
berkelanjutan.11 Atmosphere ketika lebih dari 340 peserta de-
Negara-negara yang telah meratifikasi bat dari 46 negara merekomendasikan untuk
konvensi harus berupaya menekan laju pe- membentuk comprehensive global frame-
ningkatan emisi GRK di dalam negerinya. work convention sebagai upaya perlindungan
Namun pada konvensi ini dikenal adanya atmosfer. Mengikuti proposal yang diajukan
prinsip ”common but differentiated respon- Malta, UN General Assembly menyampai-
sibilities”, dimana setiap negara memiliki kan isu perubahan iklim untuk pertama ka-
tanggung jawab yang sama namun dengan linya dengan mengadopsi Resolution 43/53.
peran yang berbeda-beda. Protokol Kyoto WMO dan UNEP membentuk Intergovern-
yang lahir tahun 1997 pada periode komit- mental Panel on Climate Change (IPCC),
men pertama I (2008-2012) menyebutkan untuk mengkaji perubahan dunia yang telah
bahwa negara-negara maju (dalam Konven- terjadi, memperkirakan dampak yang ditim-
si disebut Annex-I countries, negara yang bulkannya dan mengajukan strategi untuk
mengkontribusikan GRK dalam jumlah menanggulanginya.14
yang signifikan) diwajibkan untuk menu- Pada medio 1990 IPCC mempublika-
runkan emisinya. Hal ini tidak berlaku bagi sikan “First Assessment Report on the State
negara-negara berkembang (Negara Non- of the Global Climate”, yang menjadi dasar
Annex-I).12 negosiasi di bawah United Nations General
Sejarah perkembangan isu peru- 13
Sands, Philippe. (2003). Principle of International
bahan iklim dimulai pada tahun 1979 Environmental Law: Second Edition, Cambridge
UK: Cambridge University Press, hlm. 141
10
Supra No. 1 14
Faure, Michael., Gupta, Joyeeta. and Nentjes, An-
11
IPPC, Fourth Assessment Report: Climate Change dries (ed.). (2003). Climate Change and the Kyoto
2007. Available online at: http://www.wmo.ch/ Protocols: the Role of Institution and Instrument to
pages/partners/ipcc/index_en.html. Control Global Change, Glos UK: Edward Elgar
12
Ibid. Publishing Ltd., hlm. 56

376
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

Assembly on a Climate Change Conven- Geneva). Pada tahun 1997 COP-3 di Kyoto
tion. Tanggal 21 Desember 1990 UN Ge- mengadopsi Kyoto Protocol. Protokol ini
neral Assembly melalui Resolution 45/212 menciptakan target individual (dan terikat
membentuk Intergovernmental Negotiating secara hukum) bagi negara-negara indus-
Committee for a Framework Convention on tri untuk mempersiapkan langkah-langkah
Climate Change (INC) sebagai ”the single positif dalam menurunkan emisi CO2 dan
intergovernmental negotiating process un- GHG lainnya. ����������������������������
Satu tahun setelah Kyoto di-
der the auspices of the General Assembly”. laksanakan pertemuan di Buenos Aires, Ar-
Pertemuan INC berlangsung dalam lima sesi gentina pada tahun 1998 di COP-4. Pada
dalam selang waktu antara Februari 1991 acara ini dihasilkan Buenos Aires Plan of Ac-
dan Mei 1992.15 tion (BAPA), yaitu rencana dua tahun untuk
Intergovernmental Negotiating Com- menyelesaikan perangkat praktis implemen-
mittee for a Framework Convention on tasi Konvensi.18
Climate Change (INC) menyelesaikan teks Pertemuan selanjutnya berturut-turut
konvensi dalam waktu 15 bulan dan diadop- dilaksanakan di Bonn, Jerman (COP-5) pada
si di New York pada tanggal 9 Mei dan di- 1999; COP-6 di the Hague, the Netherlands
launching pada Juni di Rio de Janeiro Earth pada 2000; dan 2001 di Bonn lagi yang me-
Summit, dimana UNFCCC dibuka untuk rupakan pertemuan khusus (COP 6.5) di
penandatanganan dan 154 negara menan- mana dihasilkan Bonn Agreement tentang
datanganinya. Konvensi ini mulai berlaku sistem perdagangan emisi, Clean Deve-
tanggal 21 Maret 1994. lopment Mechanism (CDM), aturan untuk
Pertemuan Para Pihak (Conference menghitung reduksi emisi dari carbon sinks,
of the Parties) pertama dilaksanakan pada dan compliance regime. Selain itu juga
1995 di Berlin (COP-1 Berlin). INC menye- menggarisbawahi paket dukungan keuan-
lesaikan tugasnya untuk mempersiapkan gan dan teknologi untuk membantu Negara
implementasi konvensi. Parties menyetujui berkembang agar dapat berkontribusi dalam
komitmen untuk negara-negara industri dan aksi global perubahan iklim dan dampaknya.
menghasilkan ”Berlin Mandate” yang me- Pertemuan COP-7 2001 di Marrakech mela-
nyebutkan tentang komitmen tambahan. Ha- hirkan Marrakech Accords yang merupakan
sil COP1 adalah membentuk Ad Hoc Group finalisasi teknis secara rinci mengenai Bonn
on the Berlin Mandate untuk menindaklan- Agreement terkait Kyoto Protocol.19
juti negosiasi; dan memutuskan perlunya Pertemuan COP-8 di New Delhi In-
dilakukan pertemuan Subsidiary Body for dia merupakan sesi pertama yang dilakukan
Implementation16 dan Subsidiary Body for setelah penyelesaian negosiasi di bawah
Scientific and Technological Advice17. BAPA. COP8 mengadopsi Delhi Ministerial
Pertemuan selanjutnya dilaksanakan Declaration on Climate Change and Sus-
di Genewa Swiss pada tahun 1996 (COP-2 tainable Development dan New Delhi Work
15
Ibid 18
IPPC, Fourth Assessment Report: Climate Change
16
Pasal 10 UNFCCC 2007.
17
Pasal 9 UNFCCC 19
Ibid.

377
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

Programme dalam aspek pendidikan, train- (SBI), yang dihadiri oleh ribuan peserta ter-
ing dan public awareness. Pertemuan selan- masuk delegasi pemerintah dan observer.
jutnya diadakan di Milan Italy pada 2003 Tanggal penyelenggaraan COP biasanya se-
yang merupakan COP-9 dan mengadopsi lalu diumumkan pada sesi awal pertemuan
keputusan kegiatan afforestasi dan reforesta- sebelumnya, berlokasi di Sekretariat UN-
si di bawah skema CDM. Sedangkan perte- FCCC yang berkedudukan di Bonn-Jerman
muan COP-10 tahun 2004 kembali diadakan kecuali adanya penawaran dari parties untuk
di Buenos Aires yang membahas adaptasi menjadi tuan rumah. Sejak COP-II di Mon-
perubahan iklim dan menghasilkan Buenos treal- Kanada bulan Desember 2005, karena
Aires Programme of Work on Adaptation Protokol Kyoto sudah berlaku secara hukum
and Response Measures.20 (Entry into force), pelaksanaan COP se-
Conference of Parties (COP), yang lalu dilaksanakan secara bersamaan dengan
berperan sebagai ‘supreme body’ dan oto- COP/MOP.
ritas tertinggi dalam pembuatan keputusan Berdasarkan Artikel 13 Protokol Kyo-
Konvensi Perubahan Iklim, merupakan per- to, parties yang telah meratifikasi protokol
temuan tahunan yang mengumpulkan semua akan bertemu dalam Conference of Parties
negara pihak (parties) anggota konvensi. serving as Meeting of Parties to the Kyoto
COP bertanggung jawab untuk mengkaji Protocol(COP/MOP) yang dilangsungkan
ulang implementasi konvensi dan instrumen bersamaan dengan COP. Parties yang tidak
legal lainnya terkait dengan konvensi, se- meratifikasi protokol dapat hadir sebagai
lain itu juga COP harus membuat keputusan Observer dalam COP/MOP akan tetapi ti-
yang diperlukan untuk meningkatkan efekti- dak memiliki hak suara dalam pengambilan
vitas implementasi konvensi.21 keputusan. Dalam COP/MOP1 tahun 2005
Extraordinary COP dapat diseleng- dihasilkan salah satu keputusan penting, yai-
garakan apabila dirasakan urgensinya atau tu “Consideration of commitments for sub-
adanya Submission Negara pihak secara ter- sequent periods for Annex I Parties to the
tulis dan didukung oleh setidaknya sepertiga Convention under Article 3.9 of the Kyoto
dari jumlah total parties dalam jangka waktu Protocol” (decision 1/CMP.1), dimana par-
enam bulan. Extraordinary COP ini dilang- ties memutuskan untuk mempertimbangkan
sungkan tidak lebih dari 90 hari setelah per- komitmen lanjutan dari Annex-I untuk peri-
mintaan tersebut menerima dukungannya ode setelah 2012. Hal ini mendorong pem-
(seperti pada COP6). bentukan Ad-Hoc Working Group of Parties
Sesi pertemuan COP pada umumnya to the Kyoto Protocol (AWG) untuk menin-
berjalan selama dua minggu dan dilakukan daklanjutinya dan akan dilaporkan kepada
paralel dengan sesi Subsidiary Body for Sci- COP/MOP.22
entific and Technological Advice (SBSTA) Protokol Kyoto mulai berlaku sejak 16
dan Subsidiary Body for Implementation Februari 2005 dengan disepakatinya ratifi-
kasi Protokol oleh Majelis Rendah (DUMA)
20
Ibid.
21
Sands, Philippe. 2003, Op. Cit. 22
Ibid.

378
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

Rusia dan pada penyelenggaraan COP-11 di Protokol Kyoto diadopsi pada tanggal
Montreal Canada dilangsungkan pula first 11 Desember 1997 dan mulai dibuka untuk
Conference of the Parties Serving as the ditandatangani pada tanggal 16 Maret 1998.
Meeting of the Parties to the Kyoto Proto- Protokol Kyoto akan berlaku secara efektif
col (COP/MOP1), dengan terobosan politis 90 (sembilan puluh) hari setelah diratifikasi
untuk memulai suatu dialog tentang strate- oleh paling sedikit 55 negara Pihak Konven-
gic long-term cooperative action. Sampai si, termasuk negara maju dengan total emisi
dengan bulan September 2006, 189 negara karbon dioksida paling sedikit 55 persen dari
dari total anggota UN (191 negara), dan total emisi tahun 1990 dari kelompok indus-
European Community (EU) bergabung da- tri ini.24 Efektivitas Protokol Kyoto yang
lam Konvensi Perubahan Iklim (164 negara disyaratkan tersebut menunjukkan penting-
dan EU bergabung dalam Kyoto Protocol).23 nya peranan negara-negara di dunia, baik
Hal ini menunjukkan secara jelas bahwa negara berkembang maupun negara maju
Konvensi Perubahan Iklim merupakan satu sebagai pihak pengemisi utama.
persetujuan internasional yang ada yang Berdasarkan Laporan Sidang Ketiga
memperoleh dukungan paling banyak dari Konferensi Para Pihak25 yang tercantum pada
seluruh dunia. tabel terakhir lampiran Protokol Kyoto me-
nunjukkan persentase kontribusi emisi terbe-
Protokol Kyoto dan Clean Development
sar dari negara di dunia. Negara yang selama
Mechanisms
ini memberikan kontribusi terbesar dalam
Proses panjang lahirnya Protokol Kyoto ber-
peningkatan konsentrasi gas rumah kaca se-
awal dari dihasilkannya Konvensi Kerangka
cara persentase dimulai dari Amerika Serikat
Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang
(36,1), kemudian Rusia (17,4), Jepang (8,5),
Perubahan Iklim (United Nations Frame-
Jerman (7,4), Inggris (4,2), Kanada (3,3),
work Convention on Climate Change, UN-
Italia (3,1), Polandia (3), Prancis (2,7), Aus-
FCCC) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro,
tralia (2,1), empat negara antara 1–2 persen,
Brasil. Konvensi ini didukung oleh masyara-
17 negara di bawah 1 persen, dan sisa tiga
kat internasional secara luas karena disadari
negara 0 persen.
bahwa UNFCCC dapat merupakan landasan
Negara-negara maju yang di dalam
yang cukup kuat bagi penerapan tindakan
sejarahnya telah lebih awal mengkontribusi
konkret di masa mendatang dalam menga-
gas rumah kaca ke atmosfer menjadi pihak
tasi permasalahan perubahan iklim di du-
yang tercantum dalam Negara Annex I.
nia. Sebagai sebuah instrumen hukum (legal
Negara-negara ini wajib menurunkan emis-
instrument) Protokol Kyoto disusun untuk
inya, sedangkan negara non-Annex I tidak
mengimplementasikan Konvensi Perubahan
dikenakan kewajiban ini. Yang termasuk
Iklim dengan tujuan menstabilkan konsen-
negara Annex I: Amerika Serikat, Australia,
trasi gas rumah kaca agar tidak mengganggu
Austria, Belanda, Belarusia, Belgia, Bul-
sistem iklim Bumi.
24
Pasal 25 Protokol Kyoto
23
IPPC, Fourth Assessment Report: Climate Change 25
Tabel terakhir yang terlampir pada Protokol Kyoto
2007. setelah Annex A dan Annex B

379
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

garia, Cheko, Denmark, Estonia, Eslandia, gabungnya Rusia sebagai negara pihak aktif
Finlandia, Federasi Rusia, Jerman, Honga- menyusul dicapainya kesepakatan dalam si-
ria, Irlandia, Italia, Inggris, Jepang, Kanada, dang parlemen Rusia yang setuju untuk me-
Kroasia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, ratifikasi Protokol Kyoto.26
Luxemberg, Monako, Norwegia, Polan- Pembicaraan dalam membahas law
dia, Portugal, Perancis, Rumania, Selandia implementation �������������������������
dari Protokol Kyoto meru-
Baru, Slowakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, pakan serangkaian pembicaraan yang pan-
Swiss, Turki, Ukrania, dan Yunani. jang yang terdiri dari beberapa Conference
Protokol Kyoto dapat dikatakan se- of the Parties (COP) dan Meeting of the Par-
bagai suatu traktat lingkungan hidup dunia ties (MOP). MOP terakhir dilangsungkan
yang paling rumit dan paling ambisius kare- di Poznan, Polandia pada bulan November
na mengharuskan 39 negara industri dunia, 2008 setelah akhir tahun sebelumnya Indo-
termasuk Jepang dan Eropa, untuk mengu- nesia menjadi tuan rumah COP-13 di Nusa
rangi produksi enam gas rumah kaca, teru- Dua Bali. Akhir tahun ini COP-14 akan
tama karbon dioksida, dengan sedikitnya 5,2 dilaksanakan di Copenhagen Swedia. Be-
persen sebelum tahun 2012. Hal inilah yang berapa agenda penting akan dibahas, terma-
kemudian menjadi sumber permasalahan suk upaya melanjutkan konkretisasi the Bali
berlarutnya implementasi Protokol Kyoto. Road Map yang dihasilkan di COP-13 seba-
Beberapa negara maju seperti AS dan Aus- gai bagian dalam membahas kerangka kerja
tralia ikut dalam bilangan pihak yang oposan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim pasca
terhadap Protokol Kyoto. Penolakan ini di- tahun 2012.
dasari alasan bahwa penerapan Protokol Pada pertemuan di Bonn, Jerman bu-
Kyoto akan merugikan sektor perekonomi- lan Juli 2001 menghasilkan rumusan fun-
an negara maju, serta pendapat agar negara damental yang kemudian dikenal dengan
berkembang juga menerapkan ketentuan nama Bonn Agreement. Boon Agreement
yang sama dengan yang ditentukan bagi ne- menetapkan beberapa acuan utama dalam
gara maju. program penerapan Protokol Kyoto. Bebe-
Satu negara pihak yang cukup signifi- rapa ketentuan Bonn Agreement membica-
kan pengaruhnya dalam penerapan Protokol rakan sistem pendanaan dalam pelaksanaan
Kyoto adalah Rusia. Rusia pada awalnya program terkait Protokol Kyoto, keharusan
mengikuti jejak Amerika Serikat dan sejum- transfer teknologi dari negara maju ke ne-
lah negara maju yang menganggap pelak- gara berkembang, dan mekanisme fleksibel
sanaan Protokol Kyoto akan memberatkan yang dapat diterapkan dalam implementasi
industri karena mensyaratkan pengurangan Protokol Kyoto.
emisi karbon dioksida sampai pada kadar Disebutkan dalam Bonn Agreement
tertentu. Rusia menganggap protokol terse- bahwa pendanaan di bawah Konvensi Peru-
but dapat mengganggu pertumbuhan ekono- 26
Sumber: http://www.kompas.com/ berita 22 Okto-
ber 2004 dimana kesepakatan majelis rendah Rusia
mi. Namun kemajuan yang sangat produktif (DUMA) setuju untuk melakukan ratifikasi Proto-
tercapai pada awal Desember ini dengan ber- kol Kyoto, namun penyerahan berkas ratifikasi baru
dilaksanakan pada tanggal 18 November 2004.

380
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

bahan Iklim Annex I & II harus menyediakan badan keuangan PBB untuk Konvensi Per-
pendanaan baru bagi negara berkembang, ubahan Iklim.
yang sesuai dengan komitmen mereka di da- Ketentuan mengenai Mekanisme Flek-
lam konvensi tersebut, melalui lembaga GEF sibel, terdiri dari 3 hal, yaitu Implementasi
(Global Enviromental Facilities), dana khu- Bersama (Joint Implementation-JI), Meka-
sus untuk perubahan iklim (special climate nisme Pembangunan Bersih (Clean Deve-
change fund), dan lembaga-lembaga donor lopment Mechanism-CDM), dan Perdagang-
bilateral dan multilateral. Aktifitas penda- an Emisi (Emissions Trading-ET). Meka-
naan ini termasuk di dalamnya untuk ca- nisme ini adalah merupakan salah satu cara
pacity building, adaptasi (upaya yang dapat bagi negara-negara Annex I dalam upayanya
dilakukan untuk menekan dampak negatif menurunkan emisi gas rumah kaca di luar
dari perubahan iklim), alih teknologi, ener- negeri. Penggunaan mekanisme ini oleh ne-
gi, transport, industri, pertanian, kehutanan, gara-negara Annex I hanya bersifat tambah-
manajemen limbah, dan juga aktifitas lain- an (supplemental) bagi kegiatan penurunan
nya untuk membantu negara berkembang emisi gas rumah kaca di dalam negeri me-
mengembangkan perekonomiannya.27 reka. Kegiatan menurunkan emisi gas rumah
Negara-negara maju memberikan ko- kaca di dalam negeri haruslah merupakan
mitmennya secara sukarela untuk aktifitas sebuah tindakan yang signifikan atas usaha
pendanaan ini sebesar kurang lebih US$ 600 yang dilakukan oleh tiap negara Annex I da-
juta sejak tahun 2005. Ketentuan ini ikut di- lam rangka memenuhi ketetapan Protokol
jadikan alasan bagi AS dan Australia atas ke- Kyoto.
engganan mereka menjadi pihak aktif proto- Satu kemajuan berarti yang dicapai
kol karena dirasakan merugikan satu pihak, dalam perumusan Bonn Agreement adalah
yaitu negara maju. ketentuan mengenai Tata Guna Lahan dan
Bonn Agreement juga merumuskan Kehutanan (LULUCF). Ketentuan menge-
tentang pendanaan di bawah Protokol Kyo- nai LULUCF mengusulkan bahwa definisi
to. Ketentuan ini menunjukkan adanya pem- “hutan”, “aforestasi”, “reforestasi”, dan “de-
berlakuan pembagian tanggung jawab. Un- forestasi” adalah berdasarkan perubahan
tuk itu disediakan dana adaptasi (adaptation dalam tata guna lahan. Debet emisi gas ru-
fund) untuk membiayai proyek-proyek adap- mah kaca selama periode komitmen pertama
tasi di tiap negara sesuai dengan Protokol. yang berasal dari hasil panen, aforestasi dan
Dana untuk adaptasi ini akan diperoleh dari reforestasi sejak tahun 1990 jumlahnya tidak
pembagian hasil dari proyek-proyek CDM boleh lebih besar dari kredit emisi yang di-
(sebesar 2 persen) dan sumber-sumber dana hasilkan dari daerah yang sama. Tiap negara
lainnya. Dana ini akan dikelola oleh sebuah boleh memilih untuk melaksanakan semua
atau beberapa kegiatan tambahan (additio-
27
Pendanaan untuk berbagai kegiatan ini sebagai
pelaksanaan Konvensi Perubahan Iklim Pasal 4.8 nal activities) –manajemen hutan, manaje-
& 4.9 yang mensyaratkan adanya berbagai aktifitas
yang harus dilakukan negara maju terhadap negara
men ladang, manajemen padang rumput dan
berkembang sebagai respon terhadap dampak revegetasi– dalam rangka penurunan emisi
perubahan iklim.

381
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

gas rumah kaca dibawah ketentuan pasal proyek-proyek ramah lingkungan dengan
3.4 (mengenai kegiatan tambahan) Protokol biaya yang relatif lebih murah; adanya trans-
Kyoto. fer teknologi dari negara maju dengan biaya
Untuk menangani masalah kepatuhan yang terjangkau; dan terciptanya pemba-
(compliance) para negara pihak, Bonn Agre- ngunan berkelanjutan.
ement juga menentukan untuk membentuk CDM merupakan salah satu mekanis-
Komite Kepatuhan (Compliance Committee) me dalam Protokol Kyoto yang memungkin-
yang meliputi facilitative branch dan enfor- kan negara maju untuk melakukan penu-
cement branch. Tujuan komite ini adalah runan emisi di luar negaranya, melalui usaha
untuk memperbaiki ketidakpatuhan, untuk penurunan emisi di negara lain. Nantinya,
menjamin integritas lingkungan dan juga un- kredit penurunan emisi yang dihasilkan akan
tuk memberikan insentif agar mereka patuh. dimiliki oleh negara maju tersebut. Selain
Fungsi facilitative branch adalah un- membantu negara maju dalam memenuhi
tuk memberikan saran dan memfasilitasi target penurunan emisi, CDM juga bertu-
demi terlaksananya kepatuhan, serta mem- juan membantu negara berkembang dalam
berikan peringatan pendahuluan untuk keti- mendukung pembangunan berkelanjutan di
dakpatuhan. Sedangkan enforcement branch negara berkembang.
adalah badan yang akan menerapkan konse-
kuensi bagi aktifitas ketidakpatuhan. Tujuan Upaya Pemerintah Indonesia dalam
memperbaiki ketidakpatuhan adalah untuk Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim
menjamin integritas lingkungan dan juga un- Kesepakatan yang tercantum dalam Proto-
tuk memberikan insentif agar mereka patuh. kol Kyoto mengakomodasi prinsip ”common
Adapun beberapa sanksi dari ketidakpatuhan but differentiated responsibilities”. Protokol
negara-negara Annex I dalam menjalankan yang dicetuskan dalam COP-3 di Kyoto-
komitmen mereka di dalam Protokol Kyo- Jepang pada Desember 1997 ini, memiliki
to, antara lain: menambahkan 1,3 kali dari kekuatan hukum sejak 16 Februari 2004.
jumlah emisi negara bersangkutan pada ko- Secara hukum, Protokol Kyoto mewajibkan
mitmen periode pertama, untuk diberlaku- agar pada tahun 2008-2012 (Komitmen Peri-
kan sebagai jumlah emisi yang ditetapkan ode I) negara-negara Annex-I menurunkan
untuk komitmen periode kedua; membuat emisi GRK rata-ratanya sebesar 5.2% dari
sebuah rencana kepatuhan (compliance ac- total emisi dunia tahun 1990.
tion plan); hingga sanksi mendapatkan skor- Protokol Kyoto juga membuka ke-
sing untuk tidak melakukan perdagangan sempatan bagi negara berkembang untuk
emisi. berpartisipasi untuk menurunkan emisi GRK
Sebagai negara yang ikut meratifikasi melalui Mekanisme Pembangunan Bersih
Protokol Kyoto, Indonesia dapat, dan dalam (Clean Development Mechanism, CDM),
beberapa kegiatan telah, meraih keuntungan yang memiliki tujuan: Pertama, k������� erjasa-
melalui CDM. Melalui mekanisme ini, In- ma antara negara maju/industri (Annex-I)
donesia akan diuntungkan dengan hadirnya dengan negara berkembang (Non-Annex-

382
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

I) dengan prinsip win-win solution; Kedua, perlu dijawab oleh masing-masing negara
untuk membantu kewajiban negara maju dalam dealing the global warming tidak
dalam menurunkan emisi GRKnya untuk lagi tentang siapa yang perlu bertanggung
memenuhi komitmen 2008-2012 (Komit- jawab lebih atau seberapa besar peran dan
men Pertama); Ketiga, untuk membantu kewajiban negara untuk mengurangi emisi
negara berkembang dalam upaya mencapai gas rumah kaca, terutama karbon, tetapi
pembangunan berkelanjutan. lebih ke arah pertanyaan apakah yang bisa
Indonesia telah meratifikasi UNFC- tiap negara lakukan dengan kapasitas masi-
CC pada tanggal 1 Agustus 1994 melalui ng-masing untuk bersama-sama melakukan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 dan langkah dini dalam adaptasi terhadap dam-
Protokol Kyoto pada tanggal 28 Juli 2004 pak perubahan iklim.
melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun Di Indonesia sendiri, pelaksanaan upa-
2004 serta telah membentuk Designated ya mitigasi dan adaptasi dampak perubahan
National Authority (DNA) yaitu Komisi iklim perlu dilakukan secara integral an-
Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih- tar semua sektor. Dalam bidang kehutanan
KNMPB melalui KepmenLH No. 206 Tahun semisal, menurut data State of the World’s
2005 sehingga secara legal dapat mengikuti Forests 2007 yang dikeluarkan the United
mekanisme CDM dalam upaya menurunkan Nations Food & Agriculture Organizations
emisi GRKnya. Komisi Nasional ini ber- (FAO), angka deforestasi Indonesia 2000-
peran sebagai otoritas yang ditunjuk untuk 2005 1,8 juta hektar/tahun,30 dengan laju de-
memberikan persetujuan nasional bagi pro forestasi 2 % per tahun.31
yek-proyek CDM. Penyebabnya ketidakmampuan aparat
Adaptasi jika dirunut dari asal ba- penegak hukum untuk mengegakkan aturan
hasanya berasal dari kata “adaptation” yang untuk menghentikan aksi-aksi destructive
berarti the action or process of adapting or logging. Padahal segala dampak nyata aki-
being adapted.28 Sedangkan mitigasi berasal bat kerusakan hutan telah dirasakan, banjir,
dari kata “mitigate” yang dapat diartikan to kekeringan, erosi, longsor, sedimentasi dan
make something less severe, violent or pain- sebagainya. Sebagai salah satu dari 44 ne-
ful.29 Pemaknaan dua kata ini dalam ranah gara yang secara kolektif memiliki 90 persen
climate change bisa jadi merupakan suatu hutan di dunia, Indonesia meraih tingkat laju
terobosan hukum baru, dalam hal bahwa upa- penghancuran tercepat antara 2000 – 2005,
ya hukum yang perlu dilakukan dalam men- yakni dengan tingkat 1,871 juta hektar atau
gatasi dampak perubahan iklim perlu untuk sebesar 2 persen setiap tahun atau 51 kilo-
disusun dengan penuh kecermatan, integ- 30
FAO State of World Forest 2007. Available online
at: www.fao.org/docrep/009/a0773e/a0773e00.
ral dalam semua aspek, dengan pendekatan HTM Diakses tanggal 10 Juli 2008
prinsip kehati-hatian dan berpikir progresif 31
Brazil dalam kurun waktu yang sama dengan
jumlah 3,1 juta hektar/tahun merupakan kawasan
ke depan. Dengan kata lain, pertanyaan yang deforestasi terbesar di dunia. Namun karena luas
kawasan hutan total Indonesia jauh lebih kecil
28
AS. Hornby. (1995). Oxford Advanced Learner’s daripada Brasil, maka laju deforestasi Indonesia
Dictionary: Fifth Edition. Oxford University Press. menjadi jauh lebih besar. Laju deforestasi Brasil
29
Ibid. hanya 0.6%.

383
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

meter persegi per hari, atau setara dengan akbar dunia dalam pembahasan tentang isu
300 lapangan bola setiap jamnya. Padahal pemanasan global. Pertemuan para pemim-
tingkat kerusakan tersebut merujuk pada pin dunia di Bali yang bernama Conference
data FAO yang bersifat konservatif.32 of the Parties (�������������������������
COP-13) itu telah mengha-
Angka kehancuran Indonesia tersebut silkan keputusan tentang pengurangan emi-
merupakan yang tertinggi dari 43 negara si dari deforestasi dan degradasi (REDD) di
lain, disusul oleh Zimbabwe setiap tahun negara berkembang. REDD juga merupakan
sebesar 1,7 persen dari luas hutan tersisa, bagian penting dari aksi mitigasi perubahan
Myanmar 1,4 persen, dan Brazil hanya 0,6 iklim dalam “Bali Action Plan”.34 Dalam
persen. Kerusakan hutan Indonesia tersebut “Bali Action Plan”, disamping negara maju
sebaliknya telah menyelamatkan hutan Cina yang harus memenuhi kewajiban peningka-
sebagai negara tujuan ekspor produk kayu tan target penurunan emisi dan membantu
terbesar dari Indonesia. Luas hutan Cina se- negara berkembang dalam upaya mengu-
tiap tahun malah bertambah luas 2,2 persen. rangi dampak negatif perubahan iklim, ne-
Sebaliknya Indonesia saat ini hanya menyi- gara berkembang juga didorong melakukan
sakan 28 persen hutan primernya.33 aksi nyata dalam upaya mitigasi dan adap-
Hutan primer tersisa, menurut data tasi terhadap perubahan iklim dalam konteks
KLH yang dilansir pada pertengahan tahun pembangunan berkelanjutan, antara lain me-
2006, telah menurun drastis. Hutan tersisa lalui integrasi upaya adaptasi dan mitigasi
berdasarkan citra satelit di Jawa tinggal 19 perubahan iklim kedalam perencanaan na-
persen, Kalimantan 19 persen, dan Sumatera sional dan sectoral planning.35
25 persen; jauh di bawah angka 30 persen, Pada dasarnya, strategi antisipasi,
yakni luas hutan tersisa di suatu pulau yang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tidak
diijinkan oleh Undang-Undang Nomor 41 hanya memiliki dimensi teknis, tapi juga
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sedangkan memiliki dimensi struktural dan kelemba-
hutan tersisa yang berada di atas tingkat ter- gaan dengan cara memanfaatkan inovasi
sebut adalah Papua (71 persen), Sulawesi teknologi, inovasi sosial kelembagaan dan
(43 persen), dan Bali (22 persen). Sedangkan kearifan lokal yang berkembang di tengah
hutan bakau (mangrove) yang tersisa hanya- masyarakat. Dalam pembahasan ini, dapat
lah 30 persen dari seluruh hutan bakau yang terlihat bahwa pendekatan adaptasi dan miti-
ada di tanah air sebelumnya. Bahkan saat ini gasi per-ubahan iklim perlu untuk dilakukan
43 juta hektar area hutan telah menjadi lahan dalam berbagai sektor, yang mana masing-
kritis. masing sektor di Indonesia masih memiliki
Sementara itu, saat Indonesia menga- arogansi sendiri-sendiri. Sektor kehutanan
lami krisis kehutanan yang berkepanjangan, yang mendapat porsi perhatian tersendiri
pemerintah Indonesia juga telah berhasil 34
Anonim, 24 Maret 2008, Pengurangan Emisi dari
dengan sukses menyelenggarakan perhelatan Deforeatsi dan Degradasi Hutan di Indonesia
(Reducing Emissions From Deforestation and
Forest Degradation in Indonesia/REDDI), Source:
32
FAO State of World Forest 2007. www.ifca.com. Diakses 16 Juli 2008
33
Ibid. 35
Ibid.

384
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

dari UNFCCC perlu untuk dimaknai oleh kemampuan reproduksi, kematian ikan, dan
Pemerintah sebagai upaya untuk melakukan produktivitas. Secara tidak langsung, pe-
adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan rubahan iklim dapat mengubah ekosistem
iklim dengan mereformulasi kebijakan kehu- aquatic sebagai tempat hidup, stok dan su-
tanan secara integral, sehingga memiliki visi plai ikan, barang dan jasa yang diperlukan
lingkungan yang sejalan dengan semangat dalam budidaya perikanan.36
mengurangi dampak perubahan iklim dan Atas permasalahan itulah, adaptasi dan
pemanasan global. mitigasi sangat diperlukan pada skala yang
Fokus mitigasi perubahan iklim da- sesuai pada tingkat individu, keluarga, ins-
lam sektor kehutanan akan sedikit diulas titusi pemerintah, baik lokal, nasional dan
dalam bahasan tersendiri terkait penerapan global, dengan menetapkan rencana pena-
REDD+ di Indonesia. Dalam sektor lainnya nganan dalam jangka pendek, menengah,
yang cukup dekat adalah di bidang pertanian dan panjang. Penanganan dampak perubah-
dan perikanan. Dalam bidang pertanian, sa- an cuaca pada dasarnya untuk menjamin ke-
lah satu aspek mendasar yang diterapkan tersediaan pangan dan pembangunan yang
dalam mitigasi perubahan iklim nampak berkelanjutan. Selain itu, diperlukan juga
pada kebijakan yang terkait penghentian dan pertumbuhan jangka panjang industri budi-
pembatasan perubahan fungsi lahan perta- daya perikanan.37
nian (land-use changing). Beberapa penera-
REDD+ dan Peran Indonesia
pannya nampak pada regulasi dan kebijakan
REDD awalnya hanya menyangkut upaya
yang dihasilkan oleh sistem legislasi nasio-
pencegahan deforestasi dan degradasi hutan,
nal. Sekurangnya, dengan adanya Undang-
aspek negatif dalam skema ini. Mengingat
Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
skema REDD juga perlu disusupi dengan
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Ber-
aspek positif berupa pengelolaan hutan lesta-
kelanjutan dan Undang-Undang Nomor 19
ri (sustainable forest management), konser-
Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pem-
vasi dan peningkatan penyimpanan karbon
berdayaan Petani, memberikan penegasan
(carbon stock), maka dalam perkembangan
tentang kewajiban dan peran negara dalam
skema REDD kemudian ditambah dengan
upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
“+” di huruf terakhirnya sehingga menjadi
dalam sektor pertanian. Dalam level opera-
Reducing Emission by Deforestation and
sionalnya, kebijakan moratorium sementara
Forest Degradation, Carbon Stock Enhance-
pemanfaatan lahan gambut melalui Surat
ment and Forest Conservation (REDD+).38
Edaran Menteri Pertanian Nomor 321 Tahun
Pada dasarnya REDD+ merupakan
2007 juga menunjukkan arah penguatan da-
mekanisme yang dibangun oleh masyarakat
lam adaptasi perubahan iklim.
Di dalam bidang perikanan, dampak
36
Paparan dari Prof. Dr. Ir. Rustadi, M.Sc., dalam
Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian
perubahan iklim terhadap budidaya per- Kelautan dan Perikanan, Auditorium Fakultas
Pertanian UGM, 16 Juli 2014.
ikanan bisa secara langsung dapat mengu- 37
Ibid.
bah fisiologi, perilaku dan pertumbuhan,
38
Perubahan menjadi REDD+ merupakan hasil
perundingan di COP ke 14 di Poznan.

385
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

internasional guna mencegah terjadinya ke- Ketertarikan Indonesia untuk ikut da-
rusakan hutan berupa deforestasi atau degra- lam program tersebut ditunjukkan dengan
dasi yang berkontribusi nyata terhadap pe- komitmen Presiden Indonesia untuk mengu-
ningkatan GRK di dunia.39 Ia berupa meka- rangi emisi sebesar 26 % dengan usaha sen-
nisme global untuk memberikan suatu in- diri dan 41 % dengan bantuan pihak asing.41
sentif bagi negara-negara berkembang untuk Komitmen tersebut mengundang Norwegia
melindungi dan mengelola sumber daya hu- untuk mengikat kerjasama dengan Indone-
tannya dengan lebih baik dan bijaksana serta sia melalui sebuah pernyataan niat (Letter of
memberikan kontribusi terhadap perjuangan Intent) pada tahun 2010. Menanggapi duku-
global melawan perubahan iklim. Strategi ngan Norwegia tersebut, pemerintah Indone-
yang dibuat dalam REDD+ bertujuan untuk sia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk
membuat hutan lebih bernilai dari pada keti- mendukung pelaksanaan REDD+. Kebija-
ka hutan tersebut ditebang. kan tersebut antara lain keputusan Presiden
Program ini dibuat karena menyada- Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010
ri bahwa berkurangnya hutan memegang Tentang Satuan Tugas Persiapan Pemben-
peranan dalam pemanasan global. Kontri- tukan Kelembagaan REDD+, yang berakhir
busi hutan sebagai penyumbang sekaligus masa tugasnya pada tanggal 30 Juni 2011.
penyerap emisi gas rumah kaca sudah mulai Hasil Satgas REDD+ pertama ini antara lain
disinggung pada tahun 2001 dalam sebuah adalah dokumen Strategi Nasional REDD+
laporan dari Intergovernmental Panel on yang telah dikonsultasikan secara luas de-
Climate Change (IPCC). Laporan yang dike- ngan berbagai pihak, Inpres. No. 10 Tahun
nal sebagai Third Assesment Report (TAR) 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin
ini menyebutkan kontribusi perubahan tata Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan
guna lahan pada perubahan iklim sejak deka- Alam Primer dan Lahan Gambut, serta dise-
de 1980-an hingga tahun 2001 berjumlah ku- leksi dan disiapkannya Provinsi Kalimantan
rang lebih seperempat dari emisi global yang ubahan iklim. Namun dalam perundingan, hanya
ada waktu itu. Adapun penyumbang terbesar aspek reforestasi dan aforestasi saja yang dimasuk-
kan ke dalam skema mitigasi, yang kemudian di-
dari perubahan tata guna lahan itu adalah de- masukkan ke dalam Skema CDM dalam Protokol
Kyoto. Sementara itu, pencegahan deforestasi –
forestasi.40 yang sebenarnya penyebab utama perubahan iklim–
39
Saat ini, emisi tataguna lahan menyumbang tidak dibahas. Penyebabnya, antara lain, adalah ma-
hampir seperlima (sekitar 6 GT) total emisi dunia, salah definisi hutan yang masih ambigu dan lingkup
dan hampir seluruhnya terjadi karena deforestasi CDM hanya berupa proyek yang kecil, sementara
dan  perusakan hutan. Setengah dari emisi ini deforestasi lingkupnya secara geografi lebih luas.
dihasilkan hanya oleh dua negara, yaitu Indonesia Mumu Huhajir, Op. Cit., hlm. 3
dan Brazil. Indonesia menghasilkan emisi dari 41
Dalam latar belakang STRANAS REDD menyebut-
deforestasi dan pengrusakan hutan duakali lipat kan tentang komitmen Indonesia untuk menurun-
dari Brazil, sehingga deforestasi di Indonesia kan emisi sebesar 26 persen dari scenario pemban-
menyumbang sekitar sepertiga total emisi dari gunan Bussiness as Usual (BAU) pada tahun 2020
deforestasi dan pengrusakan hutan, atau sekitar dengan dana sendiri tanpa mengorbankan pemba-
tujuh persen total emisi dunia. ngunan di sektor lain, atau 41 persen jika mendapat-
40
TAR yang dikeluarkan oleh IPCC ini menginisiasi kan bantuan internasional. Komitmen ini disam-
lahirnya sebuah dokumen UNFCCC yang dihasil- paikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono
kan di dalam COP 7 tahun 2001 yang diselengga- pada pertemuan G20 september 2009 di Bangkok
rakan di Marrakesh, Maroko, yang dikenal dengan lihat: Indonesia CO2 pledge to help climate talks-
nama “Marrakesh Accord”. Dokumen ini antara greens, http://www.reuters.com/article/2009/09/29/
lain memasukkan hutan dalam strategi mitigasi per- idUSSP495601, akses pada tanggal 29 Juli 2012

386
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

Tengah sebagai Provinsi Pilot REDD+ yang Kesiapan aparat dalam menangani ka-
pertama di Indonesia.42 sus illegal logging di Kalimantan Tengah
Upaya implementasi REDD+ di Kali- tentunya menjadi salah satu bahan pertim-
mantan Tengah mempunyai tantangan yang bangan keberhasilan implementasi REDD+
besar. Persoalan illegal logging yang me- di Kalimantan Tengah. Hal ini sejalan de-
wabah di hampir seluruh wilayah Indone- ngan Strategi Nasional/STRANAS REDD+
sia juga terjadi di Kalimantan Tengah.43 Di yang telah diluncurkan pada bulan Juli 2012.
Kalimantan Tengah, illegal logging bahkan Kerangka strategi REDD+ dibangun untuk
dilakukan di wilayah konservasi hutan. Wi- mencapai tujuan jangka panjang, yaitu:
layah sekitar Taman Nasional Sebangau se- a. Menurunkan emisi gas rumah kaca
lama ini dikenal kerap menjadi sasaran uta- yang berasal dari sector pengguna
ma bagi para pembalak liar, mengingat hutan lahan dan perubahannya, serta kehu-
tanan (Land Use and Land Use Chan-
nya masih memiliki potensi kayu yang sa-
ge and Forestry/LULUCF);
ngat besar dengan fungsinya sebagai kawa-
b. Meningkatkan simpanan karbon;
san konservasi. Pada tahun 2007, sedikitnya
c. Meningkatkan kelestarian keanekara-
satu juta potong kayu ilegal dibabat yang gaman hayati;
sebagian besar berasal dari Taman Nasional d. Meningkatkan nilai dan keberlanjutan
Sebangau dan sisanya dari kawasan hutan di fungsi ekonomi hutan.
sekitarnya.44
Kerangka kerja dalam STRANAS
42
Booklet Satgas REDD+, http://www.satgasredd REDD+ tersebut terdiri dari lima pilar yang
plus.org/download/Booklet.Satgas.REDD+.pdf,
Diakses pada tanggal 29 Juli 2012 saling berhubungan. Kelima pilar tersebut
43
Laporan World Resource (2005) yang dimuat
dalam Koran Harian Kompas tanggal 31 oktober antara lain:
2006 melaporkan, dalam kurun waktu 20 tahun
kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai
a. Pembangunan sistem kelembagaan
43 juta hektar atau setara dengan seluruh luas REDD+;
gabungan negara Jerman dan Belanda. Tuti Budi
b. Pengkajian ulang serta penguatan ke-
Utami, 2007, Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Menanggulangi Tindak Pidana Illegal logging, bijakan dan peraturan;
Tesis, Semarang: Universitas Diponegoro, Pada c. Peluncuran program-program strate-
Juni 2004 pun World Bank kemudian menyatakan
bahwa setiap detik pohon-pohon hutan Indonesia gis;
ditebangi secara liar. Per menitnya mencapai 6 kali d. Perubahan paradigma dan budaya
luas lapangan bola dan kerugian per tahun mencapai
31 (tiga puluh satu) triliun rupiah. World Bank kerja;
mencatat, kerusakan sebelum era reformasi hutan e. Pelibatan para pihak.
tidak mencapai jutaan hektar per tahun, sedangkan
di era reformasi justru rata-rata kerusakan hutan Upaya pengefektifan penegakan hu-
mencapai 3,8 juta hektar per tahun. Angka ini
kurang lebih sama dengan besarnya negara Swiss. kum masuk dalam pilar kedua. Penegakan
Studi Indonesia Corruption Watch (ICW) selama
kurun waktu 2004-2010, kerugian negara akibat hukum secara tegas dan konsisten terhadap
pembalakan hutan di Indonesia mencapai Rp 169,7 pelanggaran-pelanggaran aturan pelaksa-
triliun. Nilai sebesar itu diperoleh dari perhitungan
kekurangan penerimaan negara dari sektor pajak naan izin pemanfaatan hutan menjadi salah
bumi dan bangunan serta sejumlah perijinan dan
royalti. Menghitung kerugian negara akibat illegal satu poin penting dalam pilar tersebut. Ke-
logging, Mouna Wasef. Diakses 29 Juli 2012. bijakan yang dirancang untuk melaksanakan
44
Wilayah sekitar Taman Nasional Sebangau selama
ini dikenal kerap menjadi sasaran utama bagi masih memiliki potensi kayu sangat besar dengan
para pembalak liar mengingat hutannya yang fungsinya sebagai kawasan konservasi.

387
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

poin tersebut antara lain pembentukan dan dikumpulkan oleh Intergovermental Panel
penguatan kapasitas jaksa dan polisi ling- on Climate Change (IPCC) menunjukkan,
kungan satu atap (One Roof Enforcement bahwa suhu bumi mengalami peningkatan
System/ORES). Poin penting lainnya dalam rata-rata 0,20C per tahun. Periode tahun
pilar kedua ini adalah pengefektifan morato- 2001-2010 tercatat sebagai periode sepuluh
rium penebangan. Melalui Inpres Nomor 10 tahun terpanas sejak pertama kali pencatatan
Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian cuaca dilakukan pada 1850.  Demikian juga
Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelo- halnya dengan suhu lautan yang turut me-
la Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, manas sejak pertengahan abad-20, sehingga
pemerintah bermaksud untuk menyeimban- menyebabkan mencairnya raksasa gunung
gkan dan menyelaraskan pembangunan eko- es secara masif di Lautan Artik (Kutub Uta-
nomi nasional dengan upaya penurunan gas ra) dan di Lautan Antartika (Kutub Selatan),
emisi rumah kaca dari sektor berbasis kelo- yang selanjutnya mengakibatkan peningka-
la lahan. Terkait dengan hal itu penegakan tan permukaan laut dari -20 cm pada 1950
hukum atas izin-izin yang telah diterbitkan menjadi +5 cm pada tahun 2000. Selain itu,
yang tidak sesuai dengan prosedur dan ke- perubahan iklim global juga telah mengaki-
tentuan yang berlaku harus dilakukan secara batkan pola iklim menjadi tidak teratur, cua-
optimal. ca ekstrim, musim penghujan menjadi lebih
Kebijakan implementasi REDD+ da- panjang dengan curah hujan yang tinggi, de-
lam ranah hukum tentunya harus digagas se- mikian juga musim kemarau, banjir, longsor,
cara matang. Kematangan konsep kebijakan gelombang panas, peledakan wabah penya-
di tingkat pusat maupun daerah menjadi sa- kit, pengikisan keanekaragaman hayati), dan
lah satu hal dalam yang esesnsial dalam pe- penurunan produksi pangan di berbagai be-
negakan hukum untuk mendukung REDD+ lahan dunia. 
di Kalimantan Tengah. Lebih dari itu, kon- Potensi dan dampak yang besar inilah
sep tersebut tentunya harus didukung pula yang menjadi dasar pertimbangan bahwa
oleh kesiapan para aparat penegak hukum penanggulangan (mitigasi) dan antisipasi
illegal logging. Aparat penegak hukum diha- (adaptasi) secara preventif maupun kuratif
rapkan memiliki kinerja dan kerjasama yang sangatlah diperlukan. Dalam simpulan ini,
baik dalam bidang penyidikan dan penuntu- proses adaptasi dan mitigasi ini diperlukan
tan kasus illegal logging. Selain itu, aparat melalui konteks pendekatan protektif den-
juga harus mempunyai kepedulian terhadap gan membuat perlindungan, pendekatan
penyelamatan lingkungan global, khususnya akomodatif atau melakukan penyesuaian
hutan serta pengetahuan tentang REDD+. baik secara fisik maupun sosial-ekonomi dan
budaya hidup, serta dengan pola retreat den-
PENUTUP gan bertahan terhadap dampak yang mun-
Dampak perubahan iklim global sebenarnya cul. Dalam level regulasi dan kebijakan pun,
sudah mulai nampak sejak lima puluh tahun Indonesia cukup memiliki kerangka hukum
terakhir.  Berdasarkan data 1970-2004 yang yang mewadahi poin tersebut.

388
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

BIBLIOGRAFI Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 ten-


A.S. Hornby. (1995). Oxford Advanced Le- tang Ratifikasi Terhadap Kyoto Proto-
arner’s Dictionary: Fifth Edition. UK: col.
Oxford University Press. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 jo.
Bell, Stuart. and McGillivrey, Donald (ed.). Undang-Undang Nomor 41 Tahun
(2006), Environmental Law, London: 1999 tentang Kehutanan
Oxford University Press. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ten-
Birnie, P.W., and Boyle, A.E. (1995). Basic tang Perlindungan dan Pengelolaan
Documents on International Law and Lingkungan Hidup
the Environment, Oxford: Clarendon
Press. Sumber lainnya
Boyd, Emily., and Schipper, Emma. (2002). Anonim. (2008). Pengurangan Emisi dari
“Marrakech Accord–at the Crossroad Deforeatsi dan Degradasi Hutan di
to Ratification: Seventh Conference of Indonesia (Reducing Emissions from
the Parties to United Nations Frame- Deforestation and Forest Degradation
work Convention on Climate Change”. in Indonesia/REDDI), Source: www.
Journal of Environment Development, ifca.com. Diakses 16 Juli 2008
11: 184-191. Asian Development Bank. (2006). Asian
Faure, Michael., Gupta, Joyeeta. and Nentjes, Development Outlook 2006. Hong-
Andries (ed.). (2003). Climate Change kong: ADB Publisher.
and the Kyoto Protocols: the Role of Booklet Satgas REDD+, http://www.sat-
Institution and Instrument to Control gasreddplus.org/download/Booklet.
Global Change, Glos UK: Edward Satgas.REDD+.pdf, akses pada tang-
Elgar Publishing Ltd. gal 29 Juli 2012
Sands, Philippe. (2003). Principle of Inter- FAO. (2007). State of World Forest 2007. di-
national Environmental Law: Second unduh dari www.fao.org/docrep/009/
Edition, Cambridge UK: Cambridge a0773e/a0773e00.HTM
University Press. Indonesia CO2 Pledge to Help Climate
Talks-greens, http://www.reuters.com/
Peraturan Perundang-undangan article/2009/09/29/idUSSP495601,
The United Nations Framework Convention Diakses pada tanggal 29 Juli 2012.
on Climate Change 1992 (UNFCCC). IPPC, Fourth Assessment Report: Climate
The Kyoto Protocols to the UNFCCC. Change 2007. Available online at:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 ten- http://www.wmo.ch/pages/partners/
tang Ratifikasi Terhadap United Na- ipcc/index_en.html.
tions Framework Convention on Cli- Ministry of Environment Republic of Indo-
mate Change 1992 (UNFCCC). nesia. (2001). National Strategy Study
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ten- on the Clean Development Mechanism
tang Pengelolaan Lingkungan Hidup in Indonesia, Jakarta: KLH.

389
Hasanuddin Law Review Vol. 1 Issue 3, December (2015)

Ministry of Environment Republic of Indo- NEDO, available online at http://


nesia. (2004). National Strategy Study www.nedojakarta.org/nedo/html/docs/
on CDM in Forestry Sector – a Techni- cdm.pdf
cal Report, Jakarta: KLH. United Nations Environment Programme
NEDO – New Energy and Industrial (UNEP) and the Climate Change Sec-
Technology Development Organiza- retariat (UNFCCC). (2002). Under-
tion. (2006). CDM Development standing Climate Change: a Begin-
in Indonesia – Enabling Policies, ner’s Guide to the UN Framework
Institutions and Programs, Issues and Convention and Its Kyoto Protocol.
Challenges (a Compilation), Jakarta: Booklet UNEP-Jeneva.

***

390

Вам также может понравиться