Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BUKU AJAR
METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT
Kontributor:
Anton Bakker, Sutan Takdir Alisjahbana, M. Amin Abdullah,
Toety Heraty Noerhadi, J. Sudarminta, P. Hardono Hadi
M. Mukhtasar Syamsuddin, Reza A.A Wattimena
Editor:
Reza A.A Wattimena
© 2011 Kanisius
E-mail : office@kanisiusmedia.com
Website : www.kanisiusmedia.com
Cetakan ke- 3 2 1
Tahun 13 12 11
ISBN 978-979-21-2940-3
dan dalam tahap kegiatan penelitian yang sama. Pada suatu kegiatan
penelitian, observasi misalnya, harus disikapi sebagai metode fundamental
dalam pengumpulan data. Melalui observasi, baik langsung maupun
tidak langsung, peneliti dalam bidang filsafat dapat mengumpulkan hasil
observasi pribadinya dari responden. Model-model ini mungkin dengan
sendirinya sudah memiliki struktur tertentu. Namun ketika peneliti
melakukan pengumpulan data, peneliti dapat memunculkan struktur
tersebut dari proses analisis filsafat yang akan dilakukan.
Sesungguhnya, makalah-makalah simposium nasional itu bervariasi,
dalam arti tidak seluruhnya berkaitan dengan metodologi penelitian
filsafat saja, namun merambah ke wilayah penelitian agama, sosial, dan
bahkan bidang ilmu alam. Untuk memenuhi relevansi dan keperluan
khusus penerbitan buku ajar ini, maka sengaja dipilihkan makalah-
makalah yang mengurai metodologi dan metode penelitian bidang ilmu
filsafat. Hal lain, untuk memperluas horizon metodologis dalam dunia
penelitian filsafat, dalam buku ajar ini ditambahkan dua artikel yang
tidak bersumber dari simposium nasional di atas. Kedua artikel dimaksud,
secara langsung berhubungan dengan “Metode Berfilsafat” yang masing-
masing ditulis oleh Reza A.A. Wattimena dengan judul “Berbagai Bentuk
Metode Berfilsafat: Sebuah Tinjauan Historis Sistematis dari Masa
Yunani Kuno sampai Posmodernisme” dan oleh Mukhtasar Syamsuddin
dengan judul “Metode Refleksi Fenomenologis Merleau-Ponty”.
Mukhtasar Syamsuddin
DAFTAR ISI
Prakata ........................................................................................................................ 5
Metode Refleksi Fenomenologis Maurice Merleau-Ponty
Oleh: Mukhtasar Syamsuddin............................................................................ 109
KEBENARAN DAN
METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT:
SEBUAH TINJAUAN EPISTEMOLOGI
OLEH: P. HARDONO HADI
1 Prasarana dalam Simposium nasional Metodologi Penelitian Filsafat 27-28 Juni 1991,
di Yogyakarta.
2 Hamlyn, D.W., History of Epistemology, dalam Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, ed. Paul
Edwards, Macmillan Publishing Co., Inc & The Three Press, New York, 1967, hal. 8.
3 Quinton, Anthony, “Knowledge and Belief” di dalam The Encyclopedia of Philosophy, vol. 4,
hal. 345.
kekaburan mengenai maksud persis dari kata “bukti” dan “benar”. Bukti
umumnya dituntut demi mendapatkan “kepastian” mengenai kebenaran
yang dicapai. Dalam kaitan dengan ini, kita hanya akan membicarakan
apa yang dimaksud dengan “kepastian” dalam kaitan langsungnya dengan
kebenaran epistemologis. Kita tahu bahwa kata “benar” sendiri merupakan
persoalan yang tidak begitu sederhana di dalam epistemologi. Untuk itu
kita harus membicarakan masalah “kebenaran” ini.
Kebenaran5
Obyek Pengetahuan dan Kebenaran Obyektif
Sebagaimana telah kita sebut di atas, menurut pendapat yang
diterima banyak pihak, “pengetahuan” adalah “keyakinan yang terbukti
benar”. “Kebenaran” umumnya dimengerti sebagai “kesesuaian antara
4 The Harper Dictionary of Modern Thought, ed. Alan Bullock and Oliver Stallubrass,
Harper and Row, Publisher, New York, 1977, hal. 387
5 bdk. Gallagher, Kenneth T., The Philosophy of Knowledge, Fordham University Press,
New York, 1982.
pikiran dan kenyataan”. Dari rumusan ini terdapat kesan, bahwa pikiran
hanya pasif saja berdiri di depan obyek, dan menantikan obyek itu
sendiri mengecap pikiran, dan pikiran tinggal menyetujuinya. Dalam
pengertian ini, “mengetahui” disejajarkan dengan kegiatan “melihat”.
Idea pengetahuan seperti menjadi jelas dalam fenomenologi yang dirintis
Edmund Husserl. Husserl berusaha memasukkan segala yang telah
diketahuinya dan konsep-konsep yang telah diterimanya ke dalam tanda
kurung, atau menon-aktifkan konsep-konsep tersebut, agar apa yang
ditangkapnya dari obyek benar-benar “obyektif ”, dan tidak dicemari oleh
prasangka-prasangka “subyektif ” yang didapatkannya dari kegiatan di
luar pengalaman obyek. Dengan kata lain, subyek harus mengerdilkan
peranannya sampai sekecil mungkin, agar dapat menjadi pengamat murni
atau subyek transsendental.6 Dasarnya adalah bahwa Husserl tidak mau
terperangkap dalam Wishful Thinking, di mana subyek hanya menangkap
pikirannya sendiri yang tidak berpijak pada kenyataan obyektif.
“Pengetahuan” hanya dapat disebut pengetahuan, kalau pikiran mencapai
kenyataan persis seperti apa adanya dicemari oleh pertimbangan subyek
sendiri.
Namun hal ini tidak sesuai dengan keyakinan Husserl sendiri, bahwa
kesadaran selalu menyertakan obyek, yaitu kesadaran akan sesuatu.
Seharusnya sudah menjadi jelas baginya, bahwa pikiran dengan kesadaran
pasifnya tidak mempunyai sesuatu dihadapannya sebagai obyek. Di sinilah
para eksistensialis menekankan, bahwa kesadaran sendiri muncul dari
eksistensi dan kegiatan subyek di dalam interaksinya dengan obyek. Justru
eksistensi inilah yang merupakan sumber bagi adanya datum atau obyek
dihadapannya. Eksistensi memiliki prioritas logis dari pengetahuan.
6 bdk. Husserl, Edmund, Ideas, General Introduction to Pure Phenomenology, trans. W.R
Royoe Gibson: Colier Books, New York, 1962, hal.14.
7 lih. Gallagher, Ibid. hal. 232.
diperhatikan. Yang pertama adalah bahwa subyektivitas merupakan bagian
integral dan esensial dari kebenaran, bukan sesuatu yang mengancam dan
menggerogoti kebenaran. Kalau subyektivitas dihapuskan, maka bukan
hanya pengeruh-pengaruhnya yang dihilangkan, tetapi intellegibilitas
secara keseluruhan terhapuskan. Yang kedua adalah bahwa kebenaran
filosofis merupakan deskripsi arti dan nilai pengalaman subyek sendiri.
Maka tidak ada kebenaran yang terlepas dari subyek.
mengenai kebenaran, apakah ini berarti bahwa misteri tidak dapat
didemonstrasikan, dan akibatnya tidak mungkinkah bahwa pengetahuan
itu hanya merupakan ilusi? Marcel menjawab bahwa yang bersifat meta
problematik dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat diragukan,
tetapi hanya partisipan. Marcel memberi contoh bahwa pengalaman
akan harapan atau kegembiraan hanya dimiliki oleh pribadi singular
dengan keunikannya yang terlibat di dalamnya, bukan suatu obyek
bagi pengamat logika-sensoris atau pengamat impersonal dan netral.
Dia memperingatkan bahwa bila pengetahuan merupakan keterbukaan
terhadap kenyataan, maka pengalaman yang menyangkut kebebasan
pribadi juga harus termaksud di dalam pengetahuan. Tambahan lagi,
tidak ada cara lain bagi pernyataan diri dari evidensi tersebut. Dengan
demikian pertanyaan-pertanyaan mengenai Allah, kebebasan, kematian,
serta semua pertanyaan yang termasuk di dalamnya tidak dapat diajukan
dan dijelaskan oleh subyek impersonal.
Definisi-Kepastian-Esensi-dan konsep
Umumnya diyakini bahwa pengetahuan inderawi hanyalah
memberikan pengetahuan superfisial mengenai obyek. Sedangkan
pengetahuan intelektual memberikan pengetahuan mendalam mengenai
kodrat atau esensi tersebut. Yang sering terjadi di dalam menjelaskan
esensi obyek adalah penyajian definisi-definisi istilah. Dengan
mendefinisikannya dianggap esensi menjadi jelas. Dengan demikian
ideal pengetahuan dianggap sebagai seperangkat definisi yang saling
mengait, bersifat obyektif, dan tidak dapat ditukarkan. Selanjutnya
dengan definisi-definisi tersebut diandaikan adanya pengetahuan yang
menangkap dengan sempurna pengalaman-pengalaman kita.
Tetapi pengandaian tersebut menimbulkan kesulitan. Sebab
“mengetahui” terlalu dianalogkan dengan melihat atau menangkap “isi”
obyek. Meskipun analog ini bersifat spontan dan ada gunanya, namun
jangkauannya amatlah terbatas. Sebab di dalam pengertian tersebut,
ada perasaan bahwa dengan mengetahui esensi, saya harus mampu
menybutkan sifat-sifat esensialnya, sebagaimana terjadi dengan melihat.
Tetapi de facto kita tidak dapat menemukan sifat-sifat esensi yang dapat
didaftar. Selanjutnya, anggapan bahwa mengetahui esensi diartikan
sebagai tindakan menangkap “isi” obyek hanyalah mengacaukan masalah.
Sebab kalau kita mengetahui isi, kita harus dapat menguraikan isi tersebut
dan menelitinya. Padahal kita tidak dapat melakukan hal tersebut. Maka
mengetahui tidak sama dengan melihat atau menangkap arti, dan
mengetahui esensi tidak berarti mengerti dengan tepat kesamaan antara
pikiran dan kenyataan.
maka pikiran berhenti dan macet, tidak mampu mendukung pengalaman
yang utuh. Untuk itu perlu diingat bahwa mengetahui arti konsep berarti
harus kembali kepada pengalaman yang diartikannya.
9 James, William, Pragmatism and The Meaning of Truth, Cambridge, Harvard University
Press, Massachusettes, 1975, hal. 31-276.
kegiatan kita. Ide-ide adalah hipotesis kerja. Atau rencana antisipatoris
bagi tindakan.10 Tindakan harus berkembang menurut patokan-
patokannya sendiri dan tidak dipaksa, untuk “menyesuaikan diri dengan
apa yang telah ditetapkan di dalam struktur benda-benda”.11
Jasa James dan Dewey adalah membawa kita kembali kepada sifat
terbuka dan menyadari belum selesainya pikiran kita. Pikiran manusia
bukanlah bangunan abadi, dan ide tidak boleh diperlakukan sebagai
sesuatu yang selesai dan tertutup bagi tes lebih lanjut. Dengan demikian,
James dan Dewey memperingatkan pentingnya aspek historis dan sosial
dari pengalaman manusia. Proses historis yang memampukan manusia
menciptakan eksistensi bagi manusiawi bagi dirinya sendiri merupakan
bagian integral dari pengahayatan secara kognitif mengenai dimensi-
dimensi transenden kenyataan.
10 Dewey, John, The Quest for Certainty: a Study of The Relation of Knowledge, Minton,
Balch and Co., New York, 1929, hal. 167
11 Ibid. hal. 72.
Sebagai kesimpulan dari pembicaraan kita sejauh ini adalah, bahwa
pengetahuan tentang essensi atau hakikat sesuatu perupakan produk dari
interaksi kita yang terus menerus dengan pengalaman, dan belum seluruh
esensi itu kita ketahui. Dari satu pihak, kita mengakui adanya essensi atau
kodrat tertentu. Tetapi, dari pihak, hukum kodrat bukannya diperoleh
dengan deduksi definisi. Dengan demikian rumusan “kebenaran sebagai
kesesuaian antara pikiran dan kenyataan” harus dimengerti di dalam
konteks tersebut.
diperhatikan adalah menentukan tujuan filsafat. Tujuan filsafat di sini
bisa dimengerti dalam dua arti.
Kalau kita masih berpegang bahwa filsafat tidak boleh
mengeksklusikan sesuatu pun dari pengalaman, maka kedua tujuan
tersebut harus tetap dirangkulnya. Dari satu pihak, filsafat harus selalu
mengarahkan diri pada pengertian pengalaman manusiawi, sampai
pada pengertian yang mendalam di dalam pemahaman yang utuh dan
seimbang. Dari lain pihak, yang merupakan konsekuensi dari butir
pertama, filsafat tidak boleh mengabaikan ilmu-ilmu lain. Filsafat harus
melihat dengan kritis hasil dan proses yang terjadi dalam ilmu-ilmu lain,
tetapi tidak hanya itu.
Sebuah Usulan
Setelah kita berbicara mengenai obyek dan tujuan filsafat, serta
bertolak dari pertimbangan-pertimbangan di atas, di sini diusulkan
sebuah metode penelitian filsafat.15 Tentu saja tidak diasumsikan, bahwa
usulan ini merupakan satu-satunya metode penelitian filsafat yang valid.
15 Usulan ini didasarkan pada penelitian filsafat sebagai usaha untuk membentuk suatu
sistem ide-ide umum yang bersifat koheren, logis, niscaya, yang dengannya setiap unsur
pengalaman dapat ditafsirkan (Whitehead, Alfred North, Process and Reality, Corrected
edition, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburna, The Free Press, New York,
1979, hal. 3).
16 P. 4 alinia 4.
Atau kita bisa menggabungkan konsep-konsep atau pendapat-pendapat
yang ada, dan kita gunakan untuk menginterpretasi pengalaman.
Tetapi kita telah melihat diatas, bahwa deskripsi atau laporan murni,
baik itu mengenai pengalaman maupun pendapat-pendapat yang telah
ada, kiranya tidak bisa dilaksanakan secara bersih dan murni tanpa
keterlibatan subyektivitas kita sendiri. Maka mau tidak mau di dalam
mengadakan pengamatan, secara langsung maupun tidak langsung, kita
telah menggunakan patokan kita sendiri dengan mengadakan seleksi
bahan, baik konsep maupun pengalaman yang dijadikan obyek penertian.
Maka interpretasi yang secara implisit terlibat ini perlu diangkat
kepermukaan kesadaran diri yang eksplisit. Dengan kata lain, di dalam
pengamatan tersebut dicoba untuk merumuskan konsep yang tepat
untuk menangkap arti pengalaman yang dimaksud pendapat-pendapat
yang ada. Penangkapan ini hanya bisa terjadi dengan adanya “insight”.
Insight ini tidak sama dengan proses induksi, tetapi diandaikan oleh
induksi. Induksi tidak terjadi hanya dengan mengadakan penjumlahan
secara kuantitatif mengenai pengalaman atau pun pendapat-pendapat
yang ada. Bahkan insight, secara teoritis, bisa terjadi hanya dengan satu
pengalaman atau satu pendapat.
Tentu saja insight ini mengandaikan suatu sikap kritis yang bisa
menilai pengalaman dan pendapat yang ada. Sifat kritis insight inilah
yang mendasari penangkapan pengalaman di dalam konsep. Tetapi kita
juga telah melihat, bahwa pengetahuan kita mengenai hakekat selalu
berkembang. Maka kita pun tidak bisa memberikan suatu preskripsi
mengenai apa yang seharusnya terjadi. Di dalam pengalaman hidup
bersama, kita hanya bisa meyakini kebenaran berdasarkan gejala-gejala
yang mendukung ke arah itu. Tidak ada kepastian yang mutlak bisa
dipegang dan dipertahankan. Maka berhubungan dengan pengalaman,
yang menurut istilah Marcel disebut “misteri”, hanya dialog yang terus-
menerus dengan sikap terbuka dan keberanian untuk mencari bersama
akan menuju kependekatan kepada kebenaran. Untuk itu, konsep yang
kita hasilkan pun harus selalu terbuka terhadap perkembangan lebih
lanjut, bukannya dipatokan di dalam suatu definisi yang mutlak dan
mati.
Daftar Pustaka
Dewey, John. The Quest for Certainty: a Study of The Relation of Knowledge,
Minton. Balch and Co., New York, 1929.
Paul Edwards, Macmillan Publishing Co., Inc & The Three Press, New
York, 1967.
Edwards, vol. 6, Macmillan Publishing Co., Inc. & The Free Press, New
York.
The Harper Dictionary of Modern Thought. ed. Alan Bullock and Oliver
Stallubrass, Harper and Row Publisher, New York, 1977.
METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT
OLEH : TOETI HERATY NOERHADI
sistematis dan radikal menelusuri sebab dan akibat yang mendasar
dan terakhir (ultimate).
Ini dapat dilakukan oleh filsafat, tapi ini pula tentu dilakukan oleh
para ilmuwan sendiri, meskipun hanya oleh ilmuwan-ilmuwan partisan
yang berminat pada kajian teoritis-kritis.
yang dilalui. Metoda ialah kegiatan yang dilaksanakan atau cara kerja
yang ”semestinya” ditempuh pada setiap bidang ilmu, sesuai suatu sistim
aturan tertentu.
berorientasi eksternal. Metodologi lebih berorientasi internal, karena
mengadakan refleksi tentang cara kerja sesuai aturan-aturan yang harus
diterapkan. Dengan demikian dapat difahami bahwa metodologi khusus
bertumpu pada ciri pertama diantara ketiga ciri khas ilmu pengetahuan
ialah 1) sifatnya yang teruji kebenarannya, 2) sifat sistematis dan 3)
intersubyektivitas ilmu. Ciri pertamalah yang langsung terkait dengan
metodologi (Beerling, 1986).
Metode-Metode Penelitian Model
Filsafat
1. Metode Kritis Sokrates-Plato 1.a. Penelitian Historis: Faktual
mengenai tokoh
2. Metode Intuitif: Platonis, 1.b. Penelitian Historis: faktual
Bergson mengenai naskah atau buku
3. Metode Skolastik: Thomas 1.c. Penenlitian Historis: faktual
Aquinas mengenai teks naskah
4. Metode Geometris: Rene 2. Penelitian mengenai suatu
Descarates konsep sepanjang sejarah.
dalam penelitian filsafat, berhubungan dengan sifat-sifat obyek formal
yang istimewa, yaitu manusia”.(A .Bakker, Metode-Metode Filsafat,hal
43).
Kini akan tampak suatu kontras dengan tanggapan lain oleh seorang
ahli logika Bochenski yang membahas metoda-metoda filsafat dalam
ilmu pengetahuan. Bila menganggap bahwa operasionalisasi filsafat
harus memperhitungkan dialog dengan ilmu-ilmu, maka suatu titik
tolak Bochenski adalah, bahwa metodologi dilihatnya sebagai bagian
dari logika. Sedangkan pada uraian lain, metodologi lazim dianggap
bagian dari epistemologi, serta bagian dari filsafat ilmu. Kesimpulan yang
dapat ditarik adalah bahwa metodologi ini menemukan tempatnya, baik
sementara dalam epistemologis secara umum (sebagai teori pengetahuan),
kemudian dalam filsafat ilmu pengetahuan (sebagai ulasan tentang ilmu
pengetahuan), maupun dalam logika, karena kembali pada aturan yang
harus dapat dipertanggung jawabkan sebagai sistim logis).
2. metode semiotik: metoda penggunaan tanda-tanda sebagai suatu
sistim untuk menyatakan pengetahuan sebagai kegiatan bersama
dalam bahasa ilmiah.
Dalam dialog filsafat dengan ilmu-ilmu, ketentuan-ketentuan
Bochenski ini dapat membantu untuk menelusuri masalah-masalah
dalam berbagai ilmu kembali pada dasar-dasar baik ontologis,
epistemologis, logis, dan aksiologis. Yang terakhir ini memang belum
“disentuh” dan menjadi menarik, terutama dalam ungkapan Feyerabend
yang mengembalikan kegiatan ilmu pada masalah kesejahteraan dan
kemanusiaan, dan dalam konteks tersebut menyatakan:”Science is an
essentially anarchicent enterprise: theoretically anarchism is more humanitarian
and more likely to encourage progress than its law-and order alternatives”.
Penutup
Beberapa butir perlu disebutkan untuk menutup uraian diatas ialah:
5. Sesuai dengan pembagian filsafat menurut ontologi-epistemologi
telah dijabarkan terminologi Bochenski yang menggarisbawahi
kejelian metodologi dalam ilmu pengetahuan yang lewat
sistem tanda-tanda bahasa ilmiah menggambarkan suatu dunia
atau keadaan (Sachverhalt) menurut kriteria keabsahan atau
kebenaran.
Daftar Pustaka
Beerling, Kwee,Mooij,Van Peurspn, “Pengantar Filsafat Ilmu”, Penerbit
Tiara Wacana, Yogyakarta, 1986.
METODE PENELITIAN FILSAFAT:
BELAJAR DARI FILSUF ALFRED N. WHITEHEAD
OLEH: J. SUDARMINTA
17 Makalah untuk disajikan pada symposium Metodologi Penelitian Filsafat, pada tanggal
27-28 Juni 1991, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
18 Guru Besar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
satu model. Model yang akan penulis tawarkan disini memuat beberapa
prinsip pokok yang inspirasi dasarnya penulis gali dari model berfilsafat
sebagaimana dikemukakan oleh filsuf Alfred North Whitehead.
Kalau prinsip pertama ini dalam arti tertentu juga berlaku untuk
penelitian dalam ilmu-ilmu lain, lalu dimanakah letak kekhasan bagi
penelitian filsafat? Kekhasan prinsip pertama tersebut bagi penelitian
filsafat terletak pada pengertian pengalaman itu sendiri dan semacam
generalisasi imajinatif yang dicoba untuk dirumuskannya. Pengertian
pengalaman ontologis penelitian filsafat mempunyai cakupan yang jauh
lebih luas dan lebih mendalam dari pada pengertian pengalaman sebagai
obyek ontologis penelitian ilmu-ilmu khusus seperti sains misalnya.
Pengalaman dalam perspektifnya sebagai obyek ontologis penelitian sains
hanya terbatas pada apa yang dapat diamati dan dicerap secara empiris
melalui panca indera manusia. Sedangkan sebagai obyek ontologis
penelitian filsafat, pengertian pengalaman mencakup seluruh realitas
yang ada sejauh yang dapat dialami, dipikirkan, dan direfleksikan oleh
akal budi manusia.
immediate experience, in terms of the various details which comprise
its definiteness. (Whitehead, 1979; hal. 4)
19 Sebagai ilustrasi untuk mengerti jenis persepsi ketiga ini dapat diambil contoh berikut.
Pengalaman saya berhadapan dengan benda padat, persegi empat, berkaki empat, dan
berwarna coklat, membuat saya menyadari dan membuat pernyataan “ini sebuah meja”.
Kesadaran dan pernyataan tersebut tidak hanya saya dasarkan atas pengamatan inderawi
saja (baik itu menyangkut warna, bentuk, bau, halus, atau kasarnya benda itu), tetapi
juga mengandaikan seluruh pengalaman masa lalu, baik dari benda di hadapan saya
maupun dari diri saya sendiri. Kata “meja” merupakan simbol linguistis yang menunjuk
atau “mereferensi” pada realitas tertentu yang saya alami di hadapan saya. Bahwa kata
“meja” merupakan simbol linguistik yang menunjukan atau “mereferensi” pada realitas
Dengan menekankan pentingnya persepsi dalam bentuk “causal
efficacy” Whitehead dapat dikatakan juga seorang intuisionis, seperti
Bergson misalnya. Memang, berbeda dengan intuisionisme Bergson yang
bernada anti-intelektualistik, intuisionisme Whitehead dicoba diadukan
dengan rasionalisme. Ia menolak pandangan Bergson, bahwa akal budi
dengan abstraksi formulanya cenderung membuat cacat (distortion)
kenyataan yang kita tangkap secara utuh dengan intuisi. Kenyataan yang
ditangkap secara utuh dengan segala kekaburan dan kompleksitasnya
melalui intuisi haruslah dapat dijelaskan (kendati tidak pernah secara
sungguh memadai) oleh akal budi.
tertentu yang saya hadapi sekarang, itu merupakan produk sosio-budaya (bahasa) saya.
Dalam lingkungan sosio-budaya lain, realitas yang sama disebut dengan kata yang
berbeda. Demikianlah, masa lalu beserta lingkungan hidup langsung saya dan orang
yang saya berkomunikasi ikut terlibat dalam pernyataan di atas. Begitu pula masa lalu
beserta lingkungan hidup langsung benda yang saya sebut “meja” itu, karena tidak semua
benda yang saya sebut “meja” adalah persis sama dengan meja yang saya maksud.
tegas ditangkap oleh intuisi akal budi, ataupun yang tidak bisa diamati
secara inderawi, dianggap tidak nyata, tidak obyektif, dan sekedar suatu
penetapan sewenang-wenang oleh subyek. Dalam pandangan macam ini,
kenyataan yang samar-samar dan tidak dapat sepenuhnya dibuat eksplisit,
seperti kenyataan misteri, kenyataan yang bersifat ideal, dan masih
merupakan kemungkinan (what is possible and potential), belum dianggap
nyata. Padahal kenyataan Tuhan, kenyataan nilai-nilai, kenyataan makna,
arah dan tujuan hidup manusia sangatlah erat terkait dengan hal-hal
tersebut.
estetika, kenyakinan-keyakinan etis, sosiologi, ataupun dalam bahasa
sebagai gudang pengalaman manusia.20
20 “… the conditions of success of imaginative construction must be rigidly adhered to. In the first
place this construction must have its origin in the generalization of particular factors discern in
particular topics of human interest; for example, in physics, or in physiology, or in psychology,
or in aesthetics, or in ethical beliefs, or in sociology, or in languages conceived as storehouses of
human experience. In this way the prime requisite, that anyhow there shall be some importance
application, is secured” (Whitehead, 1979: hal. 5).
Menyetujui pendapat Whitehead, filsafat semestinya berusaha
merumuskan suatu sistem pemikiran yang bersifat umum atas dasar
mana seluruh dimensi pengalaman kita sebagai manusia dapat dijelaskan.
Berbeda dari kebanyakan filsuf modern yang menolak atau paling tidak
mencurigai usaha filsafat untuk merumuskan suatu sistem pemikiran
umum atas dasar mana seluruh dimensi pengalaman manusia hendak
dicoba untuk dijelaskan, Whitehead tetap memilih kemungkinan, guna,
dan pentingnya usaha tersebut. Sistem atas dasar pemikiran umum yang
diusahakan perumusannya berdasarkan suatu generalisasi imaginatif
atas ciri-ciri pokok atau struktur dasar yang ditemukan dalam salah
satu dimensi pengalaman manusia dapat berfungsi sebagai pemberi visi
menyeluruh (synoptic vision) kenyataan yang ada.
Mendasari usahanya untuk merumuskan sistem pemikiran umum
yang berfungsi sebagai pemberi visi menyeluruh tersebut adalah
keyakinan Whitehead, bahwa
“usaha-usaha fragmentaris dalam bentuk gerakan kritik
historis dan filosofis atas pertanyaan-pertanyaan lepas (usaha yang
keseluruhan cukup dominan dalam dua abad belakangan ini) sudah
memberikan sumbangannya, dan kini perlu dilengkapi dengan
usaha yang lebih gigih dari pemikiran konstruktif ”21.
Di tempat lain ia juga mengatakan
21 “the movement of historical and philosophical, criticism of detached question, which on the
whole has dominated the last two centuries, has done it’s work, and requires to be supplemented
by a more sustained effort of constructive thought” (Whitehead, 1979, p.xiv)
22 “Mankind can flourish in the lower stages of life with merely barbario flashes of thought. But
when civilization culminates, the absence of a coordinating philosophy of life, spread through
Filsafat organisme Whitehead sendiri sebagai suatu filsafat spekulatif
bermaksud untuk memenuhi kebutuhan akan filsafat hidup semacam
itu.
out the community, spells decadence, boredom, and the slackening of effort” (Whitehead,
1967a: p. 98)
sistem pemikiran umum dalam filsafat lebih luas, dan mempunyai kadar
keumuman atau tingkat universalitas yang lebih tinggi.
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat evaluatif dan dengan demikian
masuk dalam hal-hal yang bersifat normatif. Untuk dapat menjelaskan
atau mengartikan berbagai segi pengalaman hidup manusia, suatu sistem
pemikiran umum yang dicoba untuk dirumuskan oleh filsafat perlu
didasarkan atas pengenalan akan pengetahuan yang ada dan penilaian
tentang derajat relevansi atau kepentingannya dalam rangka keseluruhan
hidup manusia.
dapat dirumuskan oleh filsafat selalu bersifat tentatif. Kebenaran sistem
tersebut tergantung dari dapat digunakan tidaknya serta memadai
tidaknya dalam mengartikan setiap aspek pengalaman manusia. Inilah
sebabnya mengapa Whitehead mencirikan metode filsafat spekulatifnya
sebagai suatu hipotesa kerja. Maksudnya adalah gagasan umum yang
membimbing penelitian karena dapat dipakai
23 “During the medival apoch in Europe, the theologians were the chief sinners in respect to
dogmatic finality. During the last three centuries, their bad preeminence in this habit passed to
the men of science”. (Whitehead, 1967a: p. 145).
setiap gagasan yang masuk ke dalam pemikiran kita dewasa ini”.
(whitehead, 1968: hal. 171). Setiap sistem pemikiran umum yang berhasil
dirumuskan selalu bersifat sementara dan tidak pernah dapat diklaim
sebagai kata akhir. Seperti pernah dinyatakan oleh Whitehead: “In its
turn every philosophy will suffer a deposition”. (Whitehead, 1979: hal. 7).
macam bentuk abstraksi yang dibuat oleh sains. Dalam pelaksanaan
tugas ini filsafat memiliki fungsi ganda: 1) menyelaraskannya dengan
keseluruhan pengalaman, dan itu dijalankan dengan memberikan status
relatif yang sebenarnya dari ilmu-ilmu khusus sebagai abstraksi; dan 2)
melengkapinya dengan secara langsung membandingkannya dengan
penangkapan intuitif yang lebih lengkap terhadap seluruh kenyataan,
dan dengan demikian menunjang perumusan sistem pemikiran yang
lebih lengkap. (Whitehead, 1967: hal. 87). Khususnya dalam masa suatu
spesialisasi sains sudah semakin berkembang dan bahaya fragmentarisme
pengetahuan akibat reduksionisme semakin besar, filsafat diperlukan
untuk memberi gambaran yang lebih utuh tentang kenyataan.
manusia yang dasariah (“The expression of one type of fundamental experience
of mindkind”-Whitehead, 1979: hal. 190). Bersama dengan sains, agama
merupakan dua kekuatan umum yang mempengaruhi hidup manusia.
Salah satu masalah yang dianggap penting dan perlu ditanggapi oleh
generasi manusia abad ini adalah masalah hubungan sains dan agama.
“Bila kita memikirkan apa itu agama bagi umat manusia, dan apa itu sains,
bukanlah suatu hal yang dibesar-besarkan untuk mengatakan bahwa
jalannya sejarah masa depan akan tergantung dari keputusan generasi
sekarang tentang bagaimana hubungan antara keduanya dapat dijalin”.
(Ibid., hal 181). Dalam usaha merumuskan jawaban bagaimana hubungan
antara keduanya dapat dijalin tersebut, filsafat dapat memberikan
subangannya. Dalam pandangan Whitehead, filsafat akan membebaskan
dirinya dari cacat ketidakefektifannya (The taint of ineffectiveness), kalau
menjalin hubungan yang erat dengan agama dan sains. Filsafat mencapai
kepentingan utamanya, kalau berhasil memadukan keduanya dalam satu
sistem pemikiran rasional. (Whitehead, 1979: hal. 15).
kategori yang lebih luas dan lebih dasariah dari pada kategori kebenaran.
Dengan keindahan dia maksudkan “saling penyesuaian beberapa faktor
dalam suatu kejadian pengalaman” (“the mutual adaptation of several factors
in occasion of experience”-Whitehead, 1967a: hal 252).
Modifikasi pola-pola yang sudah ada tidak kalah penting dari usaha
untuk melestarikan tradisi. Whitehead menolak konsep peradaban yang
hanya berorientasi ke belakang, yaitu konsep yang cenderung mengagung-
agungkan prestasi budaya masa lalu, dan menjadikannya sebagai model
untuk ditiru. Dalam hal ini seni dengan sifatnya yang spontan dan berani
bertualang dapat menyadarkan kita, bahwa peradaban merupakan suatu
proses aktif dan dinamis untuk mengembangkan daya kreatif manusia
dalam mewujudkan niai-nilai kemanusiaan.
Daftar Pustaka
Bakker, Dr. Anton & Zubair, Drs. Achmad Charris, Metodologi Penelitian
Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1940.
Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, 1987.
Whitehead, Alfred North, Science and the modern world, The Free Press,
New York, 1967.
_______________, Procces and Reality, The Free Press, New York, 1979.
PENELITIAN PADA BIDANG ILMU FILSAFAT:
PERBANDINGAN USULAN PENELITIAN
OLEH : ANTON BAKKER
tepat sama. Dalam uraian ini akan dibicarakan satu persatu nomor-
nomor yang langsung berhubungan dengan isi suatu penelitian ilmiah
yang direncanakan, tetapi menurut urut-urutan yang agak bebas.
1. Permasalahan
UPP :”(...)masalah yang mendorong diadakannya penelitian ini”.
Mungkin sekali dengan masalah ‘aktual’ dan ‘praktis’ juga
dipikirkan masalah empiris. Kesulitannya ialah bahwa istilah ‘empiris’
kerap diandaikan hanya berarti satu hal, yaitu menurut ilmu empiris
yang meneliti kenyataan yang dicerapkan. Akan tetapi empiri bagi ilmu
eksakta itu berbeda sekali dengan empiris bagi ilmu sosial-humaniora.
Dalam ilmu eksakta obyek penelitian adalah suatu bidang benda di
luar manusia, atau bidang kebendaan di dalam manusia sendiri.
Bidang itu dapat diobservasi dan dibuat obyek eksperimen. Obyeknya
bahkan dapat dihancurkan dalam jalan penelitian. Akan tetapi ilmu
sosial merupakan ilmu tentang perilaku manusia. Perilaku manusia itu
memang dapat diobservasikan. Akan tetapi eksperimen-eksperimen
dengan manusia hanya mungkin dilakukan dalam batas-batas yang
sangat ketat, dan harus dilindungi oleh pertimbangan etis. Dan yang
lebih penting lagi, perilaku manusia bukanlah saja suatu obyek yang
dapat dihitung dan diklasifikasi, melainkan juga diresapi dengan ‘arti’
dan ‘nilai’, dan ‘maksud’, dan oleh karena itu harus dipahami (Verstehen)
dalam interpretasi dan dialog[1]. Lebih lagi harus dipakai interpretasi
atau hermeneutika dalam rangka ilmu-ilmu humaniora. Mereka
pula meneliti obyek yang dapat diobservasikan, akan tetapi obyek
itu merupakan suatu phenomenon of Geist[2], yang harus diterobos
kulitnya untuk menemukan inti manusia yang diungkapkan di
dalamnya. Ilmu filsafat sendiri pun merefleksikan data-data manusia,
jadi hal-hal yang dapat diobservasikan. Akan tetapi khususnya refleksi
filosofis itulah bertujuan menerobos segala selaput dan mencari intinya
(perultimas causas). Maka penelitian filosofis pun tetap dapat disebut
suatu penelitian tentang obyek empiris, akan tetapi menurut arti yang
istimewa.
fenomena dan relasi-relasinya itu. Namun ada syarat, yaitu, agar teori
tersebut memang terletak pada bidang formal ilmu itu, maka harus
menyangkut obyek bidang terkait, misalnya pada bidang fisik mengenai
waktu dan ruang dan daya-daya, atau pada bidang biotik berhubungan
dengan hidup dan perkembangan dan antar relasi vital, atau pada
bidang manusia tentang perilaku manusia dan komunikasinya.
Dari pemikiran yang disebut di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa
dengan ‘faedah’ tidak hanya dimaksudkan hasil ‘siap pakai’. Juga penggalian
teori atau dasar-dasar masalah,bahkan dimensi-dimensi historis
yang memberikan pemahaman letaknya masalah dapat memberikan
sumbangan penting untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan untuk
pembangunan negara dan bangsa. Maka bagi penelitian filosofis, seorang
peneliti harus berani menunjukkan faedah yang agak ‘jauh’ itu dengan
jelas.
organis. Atau ia dapat merombak seluruh hampiran sampai sekarang,
dan membuat pendobrakan pikiran yang mengubah cara meninjaunya.
Beberapa kemungkinan tersebut dapat dilaksanakan dalam perspektif
lebih historis, atau pula dalam rangka pemikiran yang lebih sistematis.
Akan tetapi penelitian selalu harus menghasilkan salah satu butir baru
yang membawa kemajuan ilmu, dan yang dengan demikian bermanfaat
pula bagi pembangunan masyarakat entah bagaimana pun.
3. Tinjauan Pustaka
UPP : “ (...) kepustakaan yang berhubungan dengan masalah’ yang
diajukan. “
penelitian filosofis yang berciri historis. Dalam rangka proposal bagi
penelitian semacam itu belum dapat diberikan keseluruhan kepustakaan
dengan segala hasil penelitian, sebab dengan demikian telah akan disajikan
laporan lengkap tentang penelitian seutuhnya. Padahal penelitian masih
harus dimulai.
4. Landasan Teori
PPUPT: “Landasan teori dijabarkan dari tinjauan pustaka dan
disusun (...) sebagai tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian
dan untuk merumuskan hipotesis.”
teori baru (4). Konstelasi itu berbeda sekali untuk metodologi kualitatif,
seperti misalnya dikonkretkan dalam grounded method. Metode grounded
itu mencurigai segala teori apriori, dan hanya rela menyusun teori, dan
sedapat mungkin itulah teori baru, atas dasar data-data, kategorisasi
sistematis, dan penarikan hipotesis-hipotesis. Jadi dalam hal demikian
justru teori baku sendiri menjadi masalah atau obyek penelitian, dan
bukanlah menjadi dasar.
teori yang dapat diajukan sebagai dukungan. Semua teori dirasa kurang
memuaskan dan kurang memadai. Paling-paling dapat diuraikan, dan
diperlihatkan, dalam hal mana teori-teori yang telah tersedia itu kuat atau
lemah, sehingga atas dasar analisis itu dengan mudah dapat diperlihatkan
suatu pemecahan baru.
5. Hipotesis
UPP : “ Hipotesis atau Keterangan empiris yang diharapkan
[ Jabarkan dari tinjauan pustaka tentang perkiraan hasil yang akan
diperoleh].”
enak dengan teori dan keterangan-keterangan yang telah diberikan
sekitar salah satu masalah. Maka hipotosis diajukan sebagai suatu
keragu-raguan terhadap ilmu yang sudah established. Peneliti ingin
mencari suatu jalan baru (heuristika), misalnya dengan mempertanyakan
asumsi-asumsi dasar teori tadi, atau dengan menemukan inkonsistensi-
inkonsistensi dalam teori yang telah diterima umum (8). Maka firasat
itu dirumuskan sebagai suatu teori tandingan. Dan untuk menetapkan,
apakah memang ada sesuatu yang tidak beres, atau yang tidak klop,
diadakan suatu eksplorasi pertama, entah masih sangat informal atau
sudah lebih formal. Jikalau kecurigaan dan firasat tadi memang ditemukan
ada dasarnya , maka dimulai mengadakan penelitian secara resmi, dengan
mengumpulkan data-data, diadakan komparasi, dan sebagainya. Dalam
proses pengumpulan data-data dan pembentukan kategorisasi teratur,
firasat pertama itu menjadi semakin mantap, telah mendapat kaki dan
tangan, dan menjadi hipotesis yang semakin diartikulasikan.
gaya grounded method. Dalam penelitian selanjutnya biasanya konsepsi
tentatif itu menjadi semakin kuat atas dasar data-data yang dikumpulkan.
Akan tetapi mungkin sekali pula, bahwa dalam perjalanan penelitian
sendiri hipotesis itu harus dimodifikasi berkali-kali. Bahkan mungkin
juga, bahwa pada akhir penelitian ternyata hipotesis semula salah sama
sekali, dan bahwa terbuktilah justru sebaliknya. Dengan hasil demikian
penelitian bukanlah gagal, melainkan harus disebut menjadi sukses
besar, sebab suatu konsepsi yang ternyata hanya prasangka belaka telah
difalsifikasi oleh data-data nyata.
6. Cara Penelitian
6.1. Rencana Penelitian
PPUPT (tesis) : “(...) jembatan penghubung antara hipotesis
dengan cara penelitian, (...) (yaitu) langkah-langkah yang akan diambil
untuk membuktikan kebenaran hipotesis.”
topik, atau mengenai suatu fenomena atau aktual di masyarakat, dan
sebagainya. Sumber-sumber dapat diterangkan secara lebih terperinci,
dapat dideskripsikan kekhususan yang harus diperhatikan pada masing-
masing jenis sumber, dan kesulitan-kesulitan yang dapat ditemukan
(9). Ada langkah mengadakan komparasi-komparasi dengan berbagai
konsepsi filosofis. Ada juga langkah melokalisasikan topik, tokoh, atau
situasi dalam lingkungan dan zamannya sendiri.
6.3. Alat
UPP: “(...) gambar dan uraian tentang alat utama: yang akan dipakai.“
bagi bidang eksakta, seperti fisika, kimia, teknik, atau misalnya
pertanian. Mungkin juga berlaku bagi psikologi eksperimental.
Kerap alat penelitian itu harus ditemukan dan dikonstruksikan
secara khusus bagi penelitian aktual. Dalam banyak ilmu sosial alat
yang digunakan lebih berbentuk sebuah tes, atau angket, atau case-
description. Dalam ilmu sejarah dipergunakan dokumen-dokumen
dari arsip-arsip.
filsafat menurut abjek formalnya berbicara tentang manusia dan
hakikatnya, maka pentinglah pemakaian deskripsi. Seperti dalam
metodologi kualitatif diberikan tempat besar bagi deskripsi kasus-
kasus unik, demikian pula dalam penelitian filsafat diberi tempat
luas bagi deskripsi, atau menceritakan tentang keunikan situasi dan
orang. Tidak ada apa-apa yang dianggap sudah jelas atau sudah
diketahui. Segala hal yang lazimp dilalaikan, atau bahkan tidak
dilihat, oleh karena pendidikan dan kebudayaan harus ditatap
kembali, dan digambarkan menurut apa adanya. Dalam usaha
deskripsi tentang kasus-kasus unik demikian, dengan sendirinya
bahasa filosofis itu akan lebih bersifat analogal daripada univokal.
Artinya setiap segi atau unsur konkret merupakan penghayatan lain
dan lain dari suatu struktur umum.
‘siklus empiris’ (11), tetapi sebenarnya tidak ada salah satunya
yang mendahului yang lainnya. Mereka seakan-akan merupakan
suatu lingkaran (12). Dalam UPP dan PPUPT diandaikan saja
penggunaan proses empiris dalam pengumpulan data. Dan memang
semua ilmu empiris menekankan penggunaan proses iduksi. Maka
terutama proses pengumpulan data itu harus dideskripsikan di
dalam proposal, dan harus ditunjukkan lebih lanjut gejala-gejala
khusus bagi ilmu tersebut.
6.4.2. Komparasi
kelompok-kelompok, situasi-situasi, dan struktur-struktur, baik
yang sangat serupa maupun yang sangat berbeda, untuk menemukan
tidak hanya kesanaan, tetapi juga perbedaan diantaranya.
6.5. Variabel
PPUPT: Variabel yang akan dipelajari dan data yang akan
dikumpulkan,(...) termasuk jenis dan kisarannya.
tergantunglah dari data-data yang dikumpulkan, apakah variabel-
variabel itu dipertahankan, diperluas, ataupun diganti sama sekali
dalam hubungan dengan hakikat manusia (16). Prinsip ketiga, yaitu
idealisasi, juga cukup khas bagi filsafat, walaupun tidak eksklusif.
Pada umumnya filsafat, dengan segala pemahaman struktur-struktur
kenyataan, bermuara dalam suatu etika, yaitu das Sollen bagi tindakan
manusia sebagai manusia, tidak hanya secara umum, melainkan juga
secara khusus dan terarah bagi setiap bidang yang dipertimbangkannya.
Juga analisis filosofis terhadap suatu kebudayaan atau suatu etika
bangsa memperlihatkan aspek idealisasi itu (17). Kerap aspek
idealisasi itu dibatasi pada etika sosial. Akan tetapi sebenarnya juga
filsafat kebudayaan filsafat sejarah harus mempunyai dimensi idealisasi
itu. Dan tidak lupa juga epistemologi secara terbatas dikuasai oleh
idealisasi filosofis.
7. Penutup
Perbandingan antara segi-segi penelitian filsafat dengan formulir
usulan yang berlaku umum memberikan kesempatan menyoroti
kekhususan penelitian filsafat dibandingkan dengan penelitian di bidang-
bidang ilmiah lain. Walaupun terdapat banyak keserupaan, namun semua
segi penelitian filsafat diwarnai secara khusus oleh obyek formal filsafat,
dan oleh metode berpikir yang oleh karena itu berlaku pada ilmu filsafat.
Asal kekhususan itu dihormati dan diberi tempat dan kesempatan oleh
lembaga-lembaga ilmiah umum, maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa
memang ilmu filsafat memiliki metodologi penelitian tersendiri, dengan
unsur-unsur khas seperti telah diuraikan tadi. Akan tetapi metodologi
itu toh tidak begitu jauh berbeda dari metodologi di bidang-bidang lain,
khususnya dengan metode kualitatif. Maka dialog dengan ilmu-ilmu lain
tetap mungkin, bahkan sangat diperlukan.
Catatan Kaki:
1. “In all thase instances is indeed reference to the observation of physical
facts, but we do not observe actions qua actions artifacts, institutions
qua institutions,”
5. Ibidem
10. R.F. Beerling, S.L. Kwee,J.J.A. Mooij, dan C.A. Van Peursen,
Pengantar Filsafat Ilmu, alih bab. Soejono Soemargono, Tiara
Wacana, Yogyakarta, 1986, bab 2 dan 3, (Asli : Inleiding tot de
Wetenschapsleer, Utrecht, Bijleveld, 1970)
METODE FILSAFAT DALAM TINJAUAN ILMU AGAMA
OLEH : M. AMIN ABDULLAH
Gerakan para filsuf dalam Lingkaran Wina ini disebut oleh sejarah
pemikiran sebagai positivisme-logis. Meskipun aliran pemikiran
ini mendapat tantangan luas dari berbagai kalangan,tapi gaung
pemikiran yang dilontarkan oleh aliran positivisme logis masih terasa
hingga saat sekarang ini. Bukan karena pemikiran mereka yang patut
dihidupkan kembali, tetapi implikasi pemikiran mereka setidaknya telah
25 Allan Janik dan Stephen Toulmin, Wittgenstein’s Vienna, Simon dan Schuster, New York,
1973, hal.208-9.Disampaikan dalam Siposium Metodologi Penelitian Filsafat, Fakultas
Filsafat Universitas Gajah Mada dan Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 27-28 Juni 1991.
membangkitkan kesadaran kita untuk memunculkan pertanyaan, apakah
kehidupan manusia yang serba kompleks ini dapat dipecahkan lewat
pendekatan positivistik, pemisahan yang lugas antara ‘teori’ dan ‘praxis’
antara ‘value’ dan ‘fact’, antara ‘scientism’ dan ‘hermeneutism’?
Dalam makalah ini, kita akan meninjau serba sekilas apa yang
terjadi dalam pergumulan filosofis yang menandai adanya ‘paradigm
26 Rorty, Richard, Philosophy and the Mirror of Nature, Princeton University, New-Jersey,
1979, hal. 379-94
27 Babour, Ian G., Issues in Science and Religion, Harper Torchbooks, Harper and
Row,Publishers, New York, 1966, hal.190-4, 226-8.
shift’ dalam metode pemikiran filsafat abad 20 dari corak positivistik ke
hermeuneutik. Kemudian akan kita lihat tinjauan ilmu agama terhadap
pergumulan filosofis tersebut. Di samping tinjauan ilmu agama terhadap
metode filsafat, kita juga akan melihat keprihatinan internal ilmu agama
sendiri, karena pengaruh timbal balik oleh metode pemikiran filsafat
aliran positivisme dan empirisisme dalam wilayah ilmu agama itu
sendiri. Lantaran ‘agama’ mempunyai paradigma tersendiri, maka akan
menarik untuk melihat bagaimana pandangannya terhadap pergumulan
metodologis dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan.
Charles Sanders Pierce, John Dewey, dan Whitehead. Namun sekarang
ini, bukan hanya aliran pragmatisme Amerika saja yang mempertanyakan
kecenderungan filsafat Eropa Kontinental, tetapi kritik tajam juga muncul
dari benua Eropa sendiri lewat pemikiran-pemikiran Max Horkheimer
(1595-1373), T.W Adorno (1903-1969), Herbert Marcuse (1898-1979)
dan Juergen Habermas ( 1929 - ).
Hal ini penting untuk di garis bawahi, supaya kita tidak terlalu
pesimis untuk mengembangkan metodologi pemikiran filosofis tersendiri,
sehingga dapat memberikan andil dalam dialog budaya global, tanpa
perlu harus meninggalkan ciri khas kepribadian dan kesejarahan kita.
28 Wolf-Gazo, Ernest, American Philosophy as Process Philosophy: On Pierce, Royce and Process
in Community, (makalah belum diterbitkan-pada 1991).
‘paradigm shift’ dalam metodologi pendekatan filsafat, dari yang
dulunya semata-mata memunculkan tokoh-tokoh esensialis, positivis,
commensurealis, universalis, dan transendentalis ke arah pendekatan
metodologis yang bercorak hermeneutik-historis-dialogis. Akan disebut
di bawah ini beberapa tokoh filsuf yang mewakili munculnya paradigma
baru dalam metodologi pendekatan filsafat.
‘meaningful’, termasuk didalamnya metafisika, etika, maupun agama.
Cuma, wilayah permainan bahasanya yang berbeda. Wilayah permainan
bahasa ilmu pengetahuan berbeda dari wilayah permainan bahasa
agama. Kedua wilayah permainan bahasa ini tidak bisa dicampur aduk,
apalagi kalau sampai yang satu menggeser yang lain. Ibarat orang main
catur, jalannya pion adalah berbeda dari jalannya kuda. Masing-masing
mempunyai wilayah keabsahannya sendiri. Jangan melamun akan adanya
suatu pemahaman yang universal, yang menghilangkan warna dan ciri
khas budaya masing-masing. Yang ada adalah family resemblance. Bahasa
doa berbeda dari bahasa matematika. Bahasa menyuruh berbeda dari
bahasa lelucon 30.
Wittgenstein mempertanyakan ambisi para filsuf aliran posivistik
yang tergabung dalam Lingkaran Wina yang ingin menggunakan
metode ilmu pengetahuan positif-verifikatif dalam bidang kajian ilmu-
ilmu kemanusiaan. Metode ini tidak tepat, karena bidang garapnya
adalah lain. Pengalaman manusia yang tidak dapat diverifikasi bukan
berarti bahwa pengalaman itu meaningless. Dengan kata lain, pengalaman
kejiwaan manusia tidaklah perlu diseret-seret ke dalam wilayah verifikasi
ilmu pengetahuan yang empiris-positivistik, karena hal demikian akan
menjadikan kehidupan manusia impoverished, tandus, dan mandul.
31 Khun, Thomas, The Structure of Scientific Revolotions, The University of Chicago Press,
Second Edition, 1970. Juga Brown, Harold I., Perception, Theory and Commitment: The
New Philosophy of Science, The University of Chicago Press,Chicago, 1977, h. 134-9
Jika hukum Newton (juga hukum-hukum sosial, ekonomi, psikologi)
itu berlaku secara universal, tanpa mengenal keterbatasan manusia dalam
menyusun teori itu, maka bagaimana dapat dimungkinkan teori Newton
yang dulunya berlaku secara universal kemudian dapat digoyahkan
oleh teori baru, yakni teori Einstein ? Lalu, apa arti obyektivitas dan
universalitas dari pada teori yang dikemukakan oleh para pencetusnya?
Paradigma hukum fisika yang dibangun oleh Newton ternyata
lekang karena panas dan lapuk karena hujan. Bukankah itu pertanda
bahwa obyektivitas tersebut cuma sebatas kemampuan manusia yang
merumuskannya? Agaknya, obyektivitas dan universalitas hukum alam
itu sangat tergantung dan terkondisikan oleh faktor sejarah dan kekuatan
interpretasi manusia serta kreatifitas mereka sendiri.32 Jika memang begitu,
lalu apa arti obyektivitas yang dijadikan acuan utama dari penelitian? Jika
begitu keadaannya dalam ilmu alam, maka bagaimana halnya jika hal itu
terjadi dalam ilmu-ilmu kemanusiaan ?
Kritik Ideologi
Jalan masuk yang disumbangkan oleh filsafat bahasa dan filsafat
ilmu kemudian diperlebar dan diperkeras oleh Juergen Habermas. Jangan
dibayangkan adanya kesamaan titian jalan yang mereka lalui. Mereka
mempunyai cara pendekatan kritis-filosofis yang berbeda dalam melihat
persoalan aktual manusia. Titik kesamanaan pandangan mereka cuma
terletak pada kesepakatan, bahwa metode pemikiran dan penelitian
filsafat yang bersifat positivistik tidaklah tepat untuk mengkaji persoalan
manusia yang kompleks.
‘necessary dan universal’ atau ‘roh absolut Hegel yang mengacu kepada
masyarakat yang rasional’, atau positivisme Marx yang tidak mengenal
fleksibilitas hukum sejarah untuk merubah nasib kaum proletar. Ada
semacam keyakinan bahwa esensi yang dicari-cari oleh para filsuf atau
hukum-hukum alam dan sosial yang dicari-cari oleh para ilmuwan, jika
sudah ketemu, tidak dapat berubah dan memang tidak perlu dirubah-
rubah untuk disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Jika masih dapat
dirubah-rubah, maka hal demikian tidak obyektif lagi, tidak ilmiah, tidak
transendental, dan tidak universal.
Oleh karena itu, pertautan antara metafisika dan etika, antara teori
dan praxis, memang hendak digalakkan kembali oleh para filsuf sekarang
ini. Ilmu pengetahuan yang maju pesat tanpa keterikatan moral untuk
memihak kepada alam lingkungan dan golongan manusia yang lemah
menandakan ada something wrong dalam dasar logika, epistemologi,
maupun ontologinya. Mekanisme kerja yang mempertautkan kembali
antara keduanya sedang dicari-cari modus operandinya. Metafisika yang
cenderung cuma berkehidupan kontemplatif, terlepas dari kepedulian
sosial dan lingkungan alam sekitar, agaknya memang tidak banyak
bermanfaat untuk kehidupan secara utuh dan global diatas bumi yang
semakin sempit ini.
Para teolog terlebih-lebih lagi kurang simpati terhadap pendekatan
ilmiah terhadap agama, karena mereka menganggap para ahli-ahli ilmu
agama mereduksi agama sebagai hanya gejala-gejala sosial semata,
sehingga aspek spiritualnya kurang mendapat prioritas.39 Peter L, Berger,
sebagai contoh,dengan teori proyeksinya, juga disebut oleh Ninian Smart
sebagai reduksionis.40 Jadi memang ada semacam ketegangan antara
kaum teolog, baik di kalangan Katolik, Kristen, Islam, Buddha, Hindu
dengan para ilmuwan agama di satu pihak, dan ketegangan serupa antara
ahli-ahli ilmu agama dengan para ahli ilmu sosial di lain pihak.
has no convictions. His interest, so he says, is antiquarian or the
result of sheer intlectual curiosity. He is neutral as far as religion is
concerned”42.
42 Wech, Joachim, The Comparative Study of Religions, Columbia University Press, New
York, 1958, h. 8.
43 Ali, H.A. Mukti, Ilmu Perbandingan Agama, Op.cit. hal.64.
Metodologi pendekatan ilmu-ilmu agama, seperti halnya dalam studi
filsafat, masih banyak memihak kepada dunia teori, dan bukan kepada
praksis. Masih banyak memihak kepada dunia metafisika, dan bukan
kepada etika. Jurang antara keduanya masih lebar. Dan justru pertautan
antara teori dan praksis dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan
yang sekarang ini ingin ditinjau kembali sebagai upaya awal untuk
mengantisipasi jalan pemecahan terhadap struktur masyarakat yang
timpang, serta ketimpangan dalam menatap alam lingkungan.
44 Whaling, Frank, “Additional Mote on Philosophy of Science and the Study of Religion”,
dalam Contemporary Approaches to the study of religion, Vol. I, Frank Whaling (ed.) Walter
de Gruyer and Co, Berlin, 1983, hal. 387.
telaah Ian Barbour tentang kajian agama. Dalam membandingkan
metode yang berlaku dalam dunia agama dan dunia ilmu pengetahuan,
dia menggaris bawahi unsur ‘subyektivitas’ daripada agama (baca: bukan
ilmu agama). Jika ditilik dari sudut penglihatan yang tidak tradisional,
ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak dapat menghindari unsur
subyektivitas, sedangkan penghayatan agama sendiri adalah sarat dengan
unsur subyektivitas. Dengan lain ungkapan, peran etika yang merubah
dan memihak dan bukan metafisika yang kontemplatif-permanen-status
quo juga digarisbawahi oleh agama. Perubahan dan pemihakan hanya
bisa dimungkinkan dengan adanya aktivitas dan kreativitas manusia
sebagai subyek, serta pengandaian adanya hukum-hukum sosial yang bisa
dirubah.
dicari-cari ilmu-ilmu agama dan para teolog adalah cuma aspek
transendental, telepas dari keterkaitan dan tinjauan praksisnya yang
menyentuh persoalan umat manusia yang aktual, agaknya pendekatan
metodologi ilmu-ilmu agama dan juga filsafat akan kehilangan aspek
etika praksisnya yang berwawasan transformatif humanistik.
Daftar Pustaka
Ali, H.A. Mukti, “Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto
Sumardi (ed.),
Babour, Ian G., Issues in Science and Religion, Harper Torchbooks, Harper
and Row, Publishers, New York, 1966.
Brown, Harold I., Perception, Theory, and Commitment: The New Philosophy
of Science, The University of Chicago Press, Chicago, 1977.
METODA PENGERTIAN DAN
ANTROPOLOGI FILSAFAT
OLEH : S. TAKDIR ALISJAHBANA
saya dapat menghitung dan mengukur dan mempunyai statistik yang
lengkap tentangnya, saya belum dapat mengerti manusia itu dalam
perbuatannya setiap hari. Sebab manusia itu adalah makhluk yang
dengan budinya berpikir, merasa, berimajinasi, mempunyai intuisi,
mempunyai kepercayaan, bebas memilih, dan berbuat. Dalam unsur-
unsur dan kecakapan inilah saya hendak melukiskan rnanusia seperti
telah saya lukiskan dalam buku saya Essay of a new Anthropology : Values
as Integrating Forces in Personality Society and Culture yang dalam bahasa
Indonesianya diterjemahkan dengan judul Antropologi Baru.
Kalau saya membawa seekor kera ke dalam hutan yang asing bagi
saya dan asing juga bagi kera itu karena sama-sama menghadapi suatu
soal, yaitu soal bagaimana akan melanjutkan hidup dengan makan dalam
hutan itu, sebab kami sama-sama tidak mengetahui buah-buahan yang
ada dalam hutan itu. Kera itu dalam waktu yang tiada berapa lama akan
dapat mengetahui buah apa yang akan dapat dimakannya, dan ia terus
sekali makan buah itu oleh karena instingnya tajam. Yang dinamakan
insting itu ialah kecakapan pada hewan itu untuk dapat dalam waktu
yang pendek menyesuaikan dirinya kepada alam. Dalam hubungan ini
dapat kita berkata, bahwa antara alam dengan hidup kera itu ada sesuatu
yang saling isi mengisi, komplimenter. Kecakapan kera itu sesuai dengan
kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam alam, sehingga kera
itu dapat hidup dengan mudah dalam alam disekitarnya. Sekaliannya
itu diatur oleh susunan instingnya yang dengan cepat mengetahui
kemungkinan-kemungkinan yang terdapat baginya disekitarnya.
Pada saya sebagai manusia, insting itu tidak kuat dan telah diganti
oleh pikiran, oleh kemungkinan membedakan dan memilih. Dengan
demikian buah-buahan yang banyak dalam hutan itu mulailah saya
perhatikan dan saya lihat. Yang indah rupanya, merah ranum, saya petik
dan saya gigit. Tetapi apabila rasanya pahit, buah itu segera saya buang,
saya pindah ke buah yang lain. Tetapi kalau buah itu sangat asam, maka
saya buang pula. Demikian seterusnya saya memilih dan mencoba, sampai
akhirnya saya mendapat buah yang enak rasanya dan baik khasiatnya bagi
saya. Sedangkan, kera itu setelah makan pergi meninggalkan hutan itu.
Apabila ia lapar keesokan harinya ia datang kembali ke hutan itu untuk
makan pula sepuas-puasnya.
Berbeda dari kera itu, saya sebagai manusia yang mendapat buah
yang enak itu tidak akan terus menerus mengulang-ulang datang ke
pohon itu. Saya mendapat pikiran untuk mengambil biji buah itu, dan
membawanya pulang untuk menanamnya dirumah dengan harapan
pada suatu ketika, saya akan dapat memakan buah itu di rumah saya
sendiri, tidak usah berulang-ulang masuk ke hutan yang jauh itu. Artinya
pohon buah yang tumbuh dengan sendirinya di hutan sebagai bagian
dari pada alam, saya tanam di rumah saya. Saya jaga sebaik-baiknya,
supaya buahnya jauh lebih banyak, jauh lebih baik dari dalam hutan itu.
Dengan kata yang lain sedangkan kera itu menghadapi alam itu dengan
instingnya dan dengan demikian menyesuaikan dirinya kepada alam itu,
saya menghadapi alam itu sebagai subyek yang menghadapi obyek. Saya
mencoba, memilih, mengambil keputusan atasnya. Dengan kata lain, saya
menilai isi alam itu, dan dari isi alam itu yang dapat saya pakai saya ambil
buahnya saya makan. Kayunya saya potong supaya saya dapat membuat
bermacam-macam benda dari padanya. Dengan kata lain, pohon itu saya
jadikan sebagian dari kebudayaan ciptaan manusia.
Tentulah nilai manusia itu tidak hanya satu saja, tetapi banyak dan
beragam-ragam. Hal itu dapat saya tunjukkan dengan mengemukakan
contoh. Kalau di kampus ini ada sebuah pohon yang istimewa, yang tak
ada taranya, yang belum banyak orang melihatnya, mungkin seorang
datang melihat pohon itu dan bertanya. “Pohon apakah itu?” Orang
itu mau tahu dengan obyektif pohon apa itu. Dilihatnya daunnya,
kembangnya, buahnya dsb, dan akhirnya dapat diputuskannya, pohon
itu masuk sesuatu jenis pohon-pohon yang biasanya dirumuskan dengan
bahasa Latin. Seorang yang lain yang tahu, bahwa pohon itu khasiatnya
yang lebih baik dari pada ginseng. Dia ingin sekali memiliki pohon itu
atau sekurang-kurangnya mendapat bijinya atau mencangkoknya dengan
maksud untuk mengembang biakannya, dan nanti dapat menjual hasilnya,
dan dengan demikian mendapat uang, dan mungkin menjadi kaya raya.
Orang itu menghendaki guna sebanyak-banyaknya dari pohon itu. Dia
kita katakan melihat pohon itu sebagai obyek ekonomi.
Tetapi mungkin juga pada suatu hari datang seorang Bali kesini, dan
melihat pohon yang istimewa itu bangkit dalam hatinya untuk membuat
sajian dan meletakkannya pada pohon itu. Pohon itu baginya merupakan
obyek agama. Dengan meletakkan sajian di pohon itu, dia berhubungan
dengan kegaiban yang menurut kepercayaannya terjelma oleh pohon itu.
Seorang yang lain mungkin datang ke sana membawa cat, pensil, dan
kanvasnya, dan mulailah melukis pohon itu. Ia adalah seorang seniman
yang terpengaruh oleh ekspresi pohon itu, dan demikian dijadikannya
pohon itu sebagai ciptaan seni.
Dengan demikian kita telah melihat orang menilai pohon itu dengan
4 (empat) jenis nilai, yaitu pertama nilai teori yang dengan obyektif hendak
mengindentitasnya, kedua nilai ekonomi yang berusaha mendapat guna
dari padanya, ketiga nilai agama yang melihat penjelmaan kekudusan,
kegaiban, dan kesucian dalam pohon itu, dan keempat nilai seni yang
mengucapkan ke ekspresian atau keindahan. Keempat nilai itu masing-
masing mempunyai obyeknya sendiri, mempunyai logikanya sendiri,
mempunyai tujuannya sendiri, mempunyai motivasinya sendiri yang
berbeda-beda. Dalam segala sesuatu lain yang kelihatan dapat dihargai
oleh keempat nilai itu, dan logika yang berlainan pula dipakainya.
Sementara itu keempat nilai ini ada pada semua orang.
Di sisi keempat nilai ini, ada lagi dua nilai yang lain, yaitu hasil
penilaian kita atas sesama manusia kita. Kita selalu mau lebih dari orang
lain. Kita girang apabila orang itu mengikuti kita, atau tunduk kepada
kita. Nilai ini saya namakan nilai kuasa. Yang paling jelas penjelmaannya
adalah dalam pemilihan umum, ketika golongan-golongan yang serta
itu hendak merebut suara-suara dari pemilih, agar dapat memegang
kekuasaan negara. Pada waktu yang demikian tidak seorangpun akan
mengatakan, bahwa partai yang lain itu mungkin betul. Dalam perebutan
kekuasaan itu, golongannya saja yang mungkin betul, dan dia berusaha
sedapat mungkin menang dalam pemilihan itu, supaya dapat memegang
kekuasaan, yaitu memerintah. Tetapi orang yang berkuasa pun ingin juga
disayangi, dicintai, ingin mendapatkan sahabat, ingin bekerjasama dengan
orang lain. Nilai ini saya namakan nilai solidaritas. Sedangkan nilai kuasa
itu vertikal dari atas kebawah, nilai solidaritas adalah horizontal. Orang
yang disahabati, dicintai, dengan siapa kita bergotong-royong, orang
itu sama tingkatnya dengan kita. Kita girang dapat membantunya dan
berbakti kepadanya.
Demikian kita sekarang ini mempunyaj enam jenis nilai yang masing-
masing mempunyai motivasi, mempunyai tujuan, mempunyai logikanya
sendiri, dapat mudah dibedakan yang satu dengan yang lain. Keenam
nilai ini ada pada tiap-tiap orang. Perbedaan antara seorang pribadi
dengan pribadi yang lain bukan perbedaan tentang jumlah keenam nilai
itu, tetapi adalah tentang susunan atau konfigurasi keenam nilai itu. Ada
orang yang nilai terpentingnya adalah nilai teori atau ilmu, dan ia tertarik
untuk menjadi ilmuwan. Sedangkan orang yang lain nilai tertingginya
adalah nilai ekonomi. Dia mungkin menjadi saudagar, menjadi pedagang,
atau menjadi pengusaha.
Orang yang lain yang nilai terpentingnya adalah nilai kuasa. Orang
yang demikian biasanya berusaha mendapatkan kekuasaan di negerinya.
Sebenarnya mudah kita mengetahui bagaimana susunan nilai seseorang,
yaitu dengan mengemukakan sejumlah pertanyaan yang masing-masing
mengemukakan nilai-nilai yang enam itu. Dari jawab-jawab pertanyaan
itu dapat kita mengetahui susunan nilai seseorang, nilai mana yang tinggi
dan nilai mana yang rendah. Misalnya saya dapat memberikan sejuta
kepada beberapa orang. Bergantung kepada susunan nilai orang-orang
itu, berbeda apa yang dilakukannya dengan uang itu. Yang nilai seninya
kuat, mungkin dengan uang itu, ia akan membeli buku seni atau lukisan
atau alat-alat musik dan sebagainya. Yang nilai agamanya besar, mungkin
sekali uang yang di perolehnya itu disumbangkannya kepada masjid
atau gerejanya. Sedangkan orang yang nilai kuasanya kuat, mungkin
sekali sebagian dari uang itu disumbangkannya kepada partainya untuk
membantu pemilihan umum yang ia sendiri salah seorang dari pada
calon untuk anggota parlemen.
baiknya, yaitu dengan menyediakan misalnya perpustakaan yang baik,
dengan membayar dosen-dosennya dengan layak, demikian seterusnya.
bermacam-macam agamanya. Malahan orang yang menolak agama pun
terdapat di tanah Inggris. Seni di tanah inggris pada waktu ini bebas, dapat
kita katakan berupa seni moderen, yaitu dalam seni lukisnya kelihatan
kepada kita bermacam-macam eksperimen, demikian dalam musik dan
tari-tarian, seperti The Beatles dan sebagainya. Juga bermacam-macam
eksperimen nampak dalam puisi, drama, dan novel. Tetapi dalam seluruh
kebudayaan itu dapat kita katakan kedudukan seni tidaklah sepenting
kedudukan seni di pulau Bali yang rapat berhubungan dengan kehidupan
agama dengan amat banyak upacaranya. Kalau saya buat suatu diagram
maka rupa, konfigurasi susunan nilai kebudayaan Inggris itu adalah
sebagai berikut (A):
Dalam kebudayaan Inggris yang berkuasa adalah nilai teori atau nilai
ilmu dan nilai ekonomi yang keduanya maju terus, dan menghasilkan
teknologi yang dahsyat. Kebudayaan Inggris sebagai bagian dari pada
kebudayaan Eropa adalah bagian dari kebudayaan moderen yang bermula
di zaman Renaissance yang saya klasifikasi sebagai kebudayaan progresif,
sebab ilmu, teknologi, dan ekonomi maju terus.
sesuatu yang obyektif itu. Kita semuanya kenal akan ucapan yang sering
terdengar dari orang Jawa: Ngono yo ngono, yen ojo ngono, meskipun kita
tahu obyektifnya seperti itu, tapi janganlah lakukan seperti itu.
Dan tentang nilai ekonomi, kita tahu bahwa pada umumnya rakyat
kita miskin. Mereka tidak terlampau berusaha untuk memakai tenaga
maupun waktunya untuk mengumpulkan kekayaan. Malahan kadang-
kadang ada kecenderungan untuk melihat rendah kepada kekayaan dunia
itu. Berkumpul bersama-sama, yaitu nilai solidaritas, sering dianggap
lebih penting dari makan, sehingga sering terdengar ucapan mangan ora
mangan asal ngumpul. Jadi artinya berkumpul bersama-sama, yaitu nilai
solidaritas, lebih penting dari nilai ekonomi, yaitu makan. Dan ada juga
ucapan yang lain yang menunjukkan, bahwa bagi orang Jawa itu turun ke
dunia ini bukanlah tujuannya untuk mengumpulkan kekayaan, ataupun
untuk mengumpulkan uang dan harta. Kita turun ke bumi ini diibaratkan
hanya untuk minum seteguk, dan sudah itu terus ke alam baka. Dengan
demikian dapat kita mengerti, bagaimana lemahnya nilai ekonomi itu
pada masyarakat Jawa, dan pada umumnya masyarakat kita seluruhnya.
Tentang nilai solidaritas di desa-desa, nilai itu boleh dikatakan kuat,
terbukti dalam kerjasama bertanam padi, dalam mengadakan perayaan,
dan bermacam-macam upacara. Tetapi sementara itu dalam keseluruhan
masyarakat Jawa lebih penting perhubungan antara atasan dan bawahan,
seperti ternyata dalam bahasa Jawa yang boleh dikatakan sangat nyata
bertingkat-tingkat. Orang yang rendah musti berjongkok memakai bahasa
halus. Sedangkan orang yang diatas, kaum feodal maupun pembesar-
pembesar, memakai bahasa yang kasar. Jadi dengan demikian yang lebih
menyolok dan lebih menentukan struktur masyarakat Jawa adalah nilai
kuasa, sehingga bahasa yang bertingkat-tingkat itu membayangkan
susunan masyarakat yang bertingkat-tingkat.
dikemukakan oleh orang Jawa, yaitu sedoyo agami sami kemawon. Kalau
dilihat dari jurusan mistik yang menghadapi kesatuan Tuhan yang maha
Esa yang menjelma dalam khalikahnya, sesungguhnya semua agama itu
sama. Ucapan itu boleh kita katakan menyatakan kesadaran mistik yang
mendalam. Tetapi kalau kata itu menjadi ucapan sehari-hari, yaitu ucapan
dangkal, maka agama itu menjadi remeh di hadapan semua agama, serta
buat apa dipedulikan? Dengan demikian di Jawa Tengah, orang mungkin
mudah berpindah dari agama yang satu kepada agama yang lain. Seperti
kita tahu di Jawa Tengah itu selain agama Islam, penting juga agama
Katolik dan Kristen, dan pada waktu yang kemudian ini agak tampil
ke depan adalah agama Buddha. Dalam hubungan ini mungkin sekali
berpindah dari agama yang satu ke agama yang lain menjadi tidak soal
yang besar, seperti misalnya di daerah Banten atau di daerah Aceh .
Anaknya sendiri dapat dikatakannya belum Jawa. Cita-cita kesempurnaan
dalam seluruh kebudayaan Jawa boleh dikatakan kehalusan orang Jawa,
halus cara berjalan, halus pakaiannya, halus dia bercakap-cakap, apalagi
halus seninya. Jadi dengan demikian dalam kebudayaan Jawa itu nilai
yang tertinggi adalah nilai seni, nilai kuasa, dan nilai agama. Dengan
mengetahui ketiga nilai itu, pola atau konfigurasi nilai-nilai kebudayaan
Jawa yang dikuasai oleh nilai-nilai seni dan nilai agama dapat kita
gambarkan diagramnya sebagai berikut :
Berbeda dari kebudayaan yang dikuasai oleh nilai ilmu dan nilai
ekonomi, saya namakan kebudayaan ini kebudayaan ekspresif, yang
bukan berdasarkan rasio yang ketat dan sangat logis berusaha memahami
segala sesuatu dengan obyektif. Pada kebudayaan ekspresif ini, yang
berkuasa adalah perasaan manusia, intuisi manusia, imajinasi manusia,
dan kepercayaan manusia.
dengan kapal layarnya yang rapuh berbulan-bulan di laut, menyeberangi
Lautan Atlantik, mengelilingi Afrika, dan menyeberangi Samudera
India, sebelum sampai ke Asia Tenggara ini. Dengan mesin terbang yang
terbaru, jarak itu sudah dapat ditempuh dalam enam jam. Sedangkan kita
tahu, bahwa roket dapat mengelilingi dunia dalam satu jam. Jadi mungkin
sekali pada akhir abad ini atau permulaan abad yang akan datang, jarak
antara London dan Indonesia ini akan dapat ditempuh dalam setengah
jam. Kita semuanya tahu bahwa sekarang dengan radio dan telepon,
kita dapat berbicara langsung dengan orang di London dalam beberapa
menit. Demikian dunia sudah menjadi kecil. Dan dalam lenyapnya jarak
dan waktu itu, tidak bisa tidak, semua kebudayaan bercampur aduk, saling
pengaruh lebih-lebih dari di masa yang lampau.
tinggi dengan hampir empat puluh universitasnya. Dengan demikian
kebudayaan kita yang dikuasai oleh agama dan seni itu, yang bersifat
ekspresif itu, lambat laun menjadi kebudayaan moderen yang progresif,
meskipun harus kita akui, bahwa masyarakat dan kebudayaan kita
sekarang masih terbelakang dalam dunia modern ini, kalau dibandingkan
dengan masyarakat dan kebudayaan negara-negara maju seperti Eropa,
Amerika dan Jepang.
mahasiswa maupun sarjana-sarjana kita dapat mencapai buku tentang
kemajuan ilmu yang terakhir zaman sekarang. Perlu ditekankan disini,
bahwa perpustakaan di negeri kita ini terlampau sedikit, dan sedikit pula
buku-bukunya.
Atas kita dapat mengembangkan semangat ekonomi pada rakyat di desa-
desa yang pada umumnya hanya bertani, dan dalam bertani pun sangat
tradisional.
post nasionalism, kalau kita hendak menyelamatkan umat manusia dalam
perlombaan persenjataan yang bukan saja amat berat biayanya, dan
mungkin mengancam umat manusia dengan kehancuran keseluruhan.
Rasa saya tak ada salahnya, kalau golongan idealis mulai memikirkan
tentang kemungkinan bangkitnya suatu federasi dunia, di mana kehidupan
semua bangsa terjamin, dan umat manusia terlepas dari ancaman bahaya
perlombaan persenjataan yang bukan saja amat berbahaya, tetapi menjadi
beban yang amat berat bagi seluruh umat manusia.
METODE REFLEKSI FENOMENOLOGIS
MAURICE MERLEAU-PONTY
OLEH: MUKHTASAR SYAMSUDDIN
pendahulu dan kompatriotnya, seperti Hegel dan Sartre, bahkan terhadap
bangunan metafisik fenomenologi Husserl.
dengan pendirian Kant, ketika mengkritisi realisme metafisik. Tujuan
Husserl sederhana. Melalui reduksi transendental, fenomenologi harus
dapat diterima sebagai langkah awal yang menyegarkan filsafat; suatu
keinginan yang secara logis sama dengan pemikiran Descartes dalam
First Meditation.
persepsi. Fenomenologi tidak dapat dipelajari secara verbal dan melalui
otoritas, karena dengan fenomenologi terjadi hubungan langsung
antara subyek dengan dunia. Pengalaman subyek pun diperlukan untuk
menerapkannya. Merleau-Ponty (1945: ii) kemudian mengemukakan
bahwa ”kutipan pernyataan memiliki banyak kelemahan dibandingkan
jika kita menggunakan fenomenologi dalam bentuknya yang konkret
sesuai dengan keadaan nyata diri kita sendiri”.
berada walaupun tidak secara fisik dalam kapasitasnya sebagai subyek.
Subyek secara mendasar adalah subyek yang bertubuh dan berada di
dalam dunia.
eksistensial yang paling primordial, dan dengannya secara tegas dapat
dibedakan antara im-material dan fisikal itu (Priest, 1991: 23).
“Tubuh manusia adalah bagian dari dunia yang ril yang bereksistensi
sebagai partes extra partes” menurut Merleau-Ponty (1964: 112).
Berdasarkan pengertian itu, Merleau-Ponty menganggap logika
transendental Kant juga tidak konsisten terhadap pengertian “being-in-
the-world”, sebab dalam doktrin kritisisme Kant, dunia empiris dianggap
tersusun atas bentuk-bentuk apriori intuisi, ruang dan waktu, serta oleh
kategori-kategori. Artinya, dunia berada dianggap mendahului semua
sintesis yang menyusun dunia itu sendiri; “akan menjadi artifisial jika
dunia itu dianggap sebagai kumpulan beberapa sintesis” (Merleau-Ponty,
1945: iv). Artifisialitas yang dimaksud terkandung dalam kenyataan
bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan pancaindra dan obyek-
obyek yang dihasilkan dari sintesis “tidak memiliki bentuk nyata”
(Merleau-Ponty, 1945: iv). Sintesis Kantianisme merupakan proses yang
tidak memiliki subyek fisik sebagaimana yang dipahami Merleau-Ponty.
Seorang subyek yang memahami dunia fisik secara mendasar adalah
subyek yang bertubuh, dan oleh karena itu, sintesis Kant yang tidak
bertubuh juga merupakan pandangan yang tidak mungkin benar.
Adaptasi fondasionalisme fenomenologis Merleau-Ponty dengan
fondasionalisme Kantian, walaupun tidak seluruhnya patuh pada
ketentuan Descartes, mengandung keyakinan subyektif yang menunjuk
kepada bentuk tunggal orang pertama dalam pembuktian paradigmatis
benar-salahnya pernyataan; “saya berada” dan dalam pengakuan;
“saya berpikir”. Pembuktian Kartesianisme dalam fondasionalisme
fenomenologis dalam hal itu benar adanya menurut pernyataan Merleau-
Ponty (2003: ix) sebagai berikut;
diri dan keadaan-keadaan psikologisnya. Tidak bisa dipastikan apakah
pandangan ini tergolong Kantian atau bahkan bertentangan dengannya,
sebab Kant sendiri menekankan, bahwa pengalaman atas dunia-luar dapat
membenarkan pengalaman yang sifatnya internal, dan tidak sebaliknya.
Walaupun demikian Descartes dan Kant memahami kesadaran manusia
dalam batas-batas kesadaran yang bertumpu pada diri, sehingga berbeda
dengan kerangka epistemologis yang dibangun oleh para filosof lain,
seperti John Locke, Rene Descartes, Sartre, dan bahkan dengan karya-
karya Merleau-Ponty sendiri yang merupakan hasil revisi.
menerangkan, bahwa kesadaran-diri merupakan kondisi yang niscaya
bagi suatu kesadaran.
psikologis, ataukah dengan hal-hal yang bersifat sosial”. Ranah filosofis
yang disentuh Merleau-Ponty ini terkait dengan pertanyaan tentang
hubungan kesadaran dengan alam yang menurutnya telah didominasi
oleh dua pendekatan utama, yaitu; pada satu sisi, pendekatan yang
disebut sebagai objectivism yang dipahami sebagai naturalisme dalam
filsafat, behaviorism dalam psikologi, dan mechanism dalam biologi. Pada
sisi lain, pendekatan yang disebut intellectualism, yaitu suatu paham Neo-
Kantianisme yang demikian berpengaruh di Prancis kala itu.
arti transendental. Keberadaaan dunia, karena itu merupakan kondisi
yang niscaya bagi pengetahuan tentang dunia itu sendiri. Merleau-
Ponty menolak epoché kaum Husserlian yang menghadirkan dunia dalam
prasangka reduktif. Merleau-Ponty (2003: xi) menyatakan;
“The Visible and The Invisible”. Dalam karya yang terdiri atas enam bab
ini nampak, bahwa pemikiran Merleau-Ponty mengalami pergeseran;
dari “fenomenologi kesadaran” menuju “fenomenologi ada”. Patut
disayangkan karena menyusul kematian Merleau-Ponty, penggalian
pokok soal “fenomenologi ada” tidak dapat berlangsung sampai tuntas.
Sinyalemen tersebut sesungguhnya mengisyaratkan, bahwa
reduksi transendental mengakibatkan sikap natural manusia justru
ditenggelamkan. Walaupun diri-manusia eksis setelah reduksi, namun
diri itu tidak lagi merupakan diri empiris, karena telah dihentikan oleh
keharusan percaya terhadap semua fakta obyektif tentang dirinya. Diri
fenomenologis dalam fakta obyektif inilah yang dimaksud sebagai ‘ego
transendental’ yang diperkenalkan Husserl sebagai kutub subyektif
kesadaran. Diakui oleh Merleau-Ponty, konsepsi Husserlian ini memang
memerlukan pernyataan empiris, namun subyek transendental bukanlah
tubuh dalam pengertian empiris.
mempertahankan pandangannya untuk tetap berdasar pada subyek
bersifat fisikal, bukan pada ego transendental, ia pun sebetulnya
meneruskan tesis Husserl yang menyatakan, bahwa diri bukanlah sesuatu
yang bersifat fisikal atau sebuah obyek. Dengan kata lain, walaupun diri-
manusia bersifat fisikal, manusia bukanlah obyek fisikal, namun subyek
fisikal.
Penutup
Transformasi obyek persepsi ke dalam pemikiran sangatlah di-
tentukan oleh kemampuan reflektif analitis yang dapat dilakukan
melalui reduksi fenomenologis. Reduksi merupakan suatu tindakan yang
dipercaya dapat menangkap makna yang terkandung secara implisit
dalam setiap fenomena yang diamati. Reduksi fenomenologis bersifat
sangat ideal.
Daftar Pustaka
Strawson, Peter, Individuals, An Essay in Descriptive Metaphysics, Matheun,
London, 1959.
BERBAGAI BENTUK METODE BERFILSAFAT:
SEBUAH TINJAUAN HISTORIS SISTEMATIS
DARI MASA YUNANI KUNO
SAMPAI POSMODERNISME
OLEH: REZA A.A WATTIMENA
bisa memahami filsafat Yunani Kuno adalah halangan penafsiran, karena
kita hanya bisa mengandalkan tulisan-tulisan para filsuf setelahnya. Kita
hanya bisa mengandalkan sumber sekunder.
Yang kita miliki adalah kumpulan fragmen yang terobek dari naskah
asli yang telah hilang. Akibatnya beragam penafsiran saling bertentangan
tentang fragmen itu tidak didasarkan pada teks tulisan yang memadai,
melainkan hanya copotan saja. Walaupun minimalis namun fragmen-
fragmen tulisan para filsuf sebelum Sokrates tetaplah sangat berharga.
Beberapa kutipan menyiratkan makna yang sangat mendalam untuk bisa
dipelajari dan direfleksikan. Dari situ kita bisa memahami bagaimana
tokoh-tokoh awal filsafat dan sains ini memahami realitas yang ada di
hadapan mereka.
terhadap cara berpikir mitologis yang dominan pada jamannya. Dengan
kecenderungan untuk berpikir kritis seperti itu, muncullah para filsuf
yang saling berdebat soal prinsip dasar yang menentukan seluruh realitas,
yang juga bisa disebut sebagai archē.
Para filsuf natural itu, yang juga bisa kita sebut sebagai para filsuf
prasokratik, menjadikan seluruh alam semesta sebagai obyek penelitian
mereka. Mereka berusaha memahami alam semesta bukan dengan
menggunakan penjelasan mitologis, melainkan dengan penjelasan-
penjelasan naturalistik (naturalistic explanations), seperti prinsip air,
udara, api, dan atom. Dalam arti ini mereka juga bisa disebut sebagai para
ilmuwan (scientist) pertama di dalam sejarah. Proses mendekati realitas
dengan tujuan mencari prinsip terdasar (fundamental principle) yang
menyatukan keseluruhan ini nantinya akan mempengaruhi para filsuf
dan ilmuwan selanjutnya.
1.1. Archē
Pada titik ini kita bisa mengajukan pertanyaan yang mendasar,
apakah arti archē sebagai prinsip terdalam yang menyatukan (unifying
principle) seluruh realitas ini?47 Dalam bahasa Yunani Kuno, Archē
adalah prinsip. Archē juga dapat dimengerti sebagai sumber yang
menciptakan (originating source), sebab (cause), prinsip pengetahuan
(principle of knowledge), dan entitas dasar (basic entity). Konsep ini
sangat penting di dalam metafisika, epistemologi, dan filsafat ilmu
pengetahuan. Bahkan menurut Aristoteles setiap bentuk pengetahuan
(knowledge) dan ilmu pengetahuan (science) (pengetahuan yang sudah
tersistematisir) dirumuskan dan dikembangkan dengan berpegang
pada prinsip (archai) yang terbatas pada bidangnya masing-masing.
konsep asal usul (origin), titik mula (starting point), dan prinsip pertama
(first principle). Dalam bahasa Yunani kata archē sendiri berasal dari kata
archō (to begin) yang berarti untuk memulai atau untuk mengatur (to
rule). Kata itu muncul di dalam tulisan-tulisan Homer. Dalam konteks
politik yang lebih spesifik, archē bisa berarti kekuasaan (sovereignity),
ruang (realm), dan otoritas (authority). Menurut McKirahan konsep
archē secara definitif digunakan pertama kali oleh Anaximandros.
Anaximandros menggunakan kata itu untuk menjelaskan konsepnya
yang disebut sebagai apeiron, yakni unsur-unsur yang membentuk
keseluruhan realitas.
48 Bdk, Wattimena, Reza A.A, Filsafat dan Sains, Grasindo, Jakarta, 2008.
49 Untuk berikutnya saya mengacu pada Nelson, Leonard, Socratic Method and Critical
Philosophy, Yale University Press, London, 1949.
terkait dengan kebaikan, moral, dan keadilan, serta menjadikan
tema-tema itu bagian dari perdebatan yang menarik. Dalam konteks
ini ia merumuskan semacam metode khusus yang disebut sebagai
argumentasi dialektis (dialectical argument), atau secara khusus
disebutnya sebagai elenchus yang berarti menguji (putting to test) atau
pembuktian (refutation). Ia memberikan contoh metode itu, ketika
ia berdebat dengan Meletus, salah seorang yang menuduh Sokrates
melanggar hukum, dalam pengadilan Sokrates (the trial of Socrates).
dalam segala bidangnya, terutama dengan anak muda. Ia membantu
mereka merumuskan konsep secara tepat tentang hal-hal yang penting
dalam kehidupan, seperti kebaikan, keberanian, dan kerendahatian.
Sokrates yakin bahwa hidup yang baik didasarkan pada pengertian
yang baik. Orang yang baik adalah orang yang sungguh mengerti apa
artinya baik. Inilah yang disebut sebagai intelektualisme etis di dalam
pemikiran Sokrates. Dan pengertian yang baik adalah pengertian
yang bebas dari kontradiksi (contradiction) ataupun inkonsistensi
(inconsistency). Orang bisa belajar banyak hal, jika ia mampu peka
pada kemungkinan kontradiksi yang ada di dalam pikiran, dan sedapat
mungkin menghindarinya.
kebenaran absolut. Pengetahuan yang absolut benar tidak pernah dapat
didapatkan. Dan setiap dialog selalu diakhiri dengan pertanyaan lebih
jauh. Walaupun merasa belum sampai pada kebenaran yang absolut,
Sokrates mengakui, bahwa proses dialog telah membuat manusia
lebih dekat pada kebenaran. Inilah inti dari metode elenchus di dalam
pemikiran Sokrates.
50 Untuk bagian ini saya mengacu pada Brueckner, Anthony, Routledge Encyclopedia of
Philosophy.
bukan yang lainnya. Contoh lainnya S mengenali P, dan S mengetahui
bahwa Q adalah implikasi logis dari P. Maka S dapat mengenali Q.
51 Untuk bagian berikutnya saya mengacu pada Ashworth, E.J., “Language and Logic”,
dalam The Cambridge Companions to Medieval Philosophy, A.S McGrade (ed), Cambridge
University Press, Cambridge, 2006, hal. 73-96.
52 Lihat, ibid, hal. 77.
mengetahui kebenaran melalui konsep-konsep yang dapat dirumuskan
oleh akal budi manusia. Dalam aktivitas sehari-hari, bahasa juga
memungkinkan terciptanya kehidupan sosial melalui komunikasi
yang berguna antar manusia. Tidak hanya itu menurut Ashworth,
masyarakat pun terbentuk di dalam bahasa melalui proses penuturan
kebenaran (truth telling). Bahasa adalah perpanjangan tangan dari
rasionalitas manusia. Dalam kerangka itu bahasa adalah sistem yang
diatur oleh prinsip-prinsip tertentu, dan dapat dilepaskan dari konteks
pembentukan bahasa, ataupun maksud dari penuturnya. Bahasa adalah
kumpulan informasi yang dikumpulkan dan nantinya dirumuskan,
guna membentuk suatu pengetahuan yang sistematis (scientia).
pada pemikiran Neoplatonik, yang melihat bahwa alam semesta bisa
dipahami seluruhnya dengan mengabstraksi konsep jiwa (soul) sampai
levelnya yang paling tinggi. Dengan jiwanya manusia bisa melihat
seluruh realitas sebagai obyek yang dapat dipahami oleh akal budi
(intelligible). Jiwa adalah suatu entitas yang melampaui bahasa. Dengan
argumen yang kurang lebih sama, Agustinus hendak membuktikan
keberadaan Tuhan, yakni sebagai entitas yang melampaui bahasa.
Berdasarkan penelitian Ashworth pada abad ke 13 dan 14, logika
mulai melulu dipahami sebagai filsafat rasional (rational philosophy).
Artinya logika haruslah dibedakan dengan filsafat natural, yang sibuk
untuk memahami gejala alamiah (natural phenomena). Logika lebih
berurusan dengan penarikan kesimpulan (inference) serta metode
berpikir, dan bukan soal gejala alamiah. Dalam arti ini logika dapat
dikelompokkan bersama dengan retorika dan grammar, yakni sebagai
ilmu bahasa. Argumen lain mengatakan bahwa logika tidak dapat
disamakan dengan filsafat natural (yang nantinya berkembang menjadi
ilmu pengetahuan seperti kita ketahui sekarang ini). Logika tidak
berurusan dengan alam, melainkan dengan prinsip-prinsip universal
(universal principles) yang mengatur argumen dan cara berpikir
(reasoning). Jadi ranah penelitian logika bukanlah benda empiris,
melainkan aktivitas pikiran manusia (human mind).
tersebut tidak mungkin salah, karena premis yang mendasarinya juga
sudah terbukti benar. Namun menurut Ashworth ada dua masalah
terkait dengan argumen ini. Yang pertama adalah fakta sederhana
di dalam logika, bahwa apa yang logis belum tentu benar. Apa yang
merupakan kesimpulan logis dari premis-premis yang sudah terbukti
benar tidak menjamin kebenaran dari penarikan kesimpulan itu,
melainkan hanya kesahihan logikanya. Coba kita ambil contoh yang
paling sederhana. Andi orang Jawa. Semua orang Jawa berambut
hitam. Lalu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Andi berambut hitam.
Hal ini memang logis, namun apakah pasti benar?
logis berdasarkan premis-premis yang bisa dipertanggungjawabkan.
Memang dalam arti ini, seperti yang dikatakan oleh Agustinus, apa
yang logis (logic) dan apa yang benar (truth) haruslah dibedakan.
“Pengetahuan yang diperoleh dari penarikan kesimpulan logis, definisi,
dan divisi”, demikian tulis Agustinus, “dapat memberikan bantuan
besar di dalam proses pemahaman, selama orang tidak membuat
kesalahan dengan berpikir bahwa dengan mempelajari itu sama
dengan telah mempelajari kebenaran dari hidup yang suci.”55 Dari sini
dapatlah disimpulkan, bahwa logika adalah alat berpikir, dan bukan
tujuan dari filsafat abad pertengahan.
percayaan pada ingatan sebagai sumber ingatan, karena ingatan sifatnya
sangat rapuh dan subyektif.57 Ada juga para pemikir skeptis yang tidak
percaya pada kepastian pengetahuan manusia tentang dunia di luar
dirinya. Bagi mereka pengetahuan tentang dunia di luar diri manusia
(external world) hanya sebentuk sensasi-sensasi saraf otak semata, dan
bukan pengetahuan yang asli. Ada satu bentuk skeptisisme lainnya yang
disebut sebagai solipsisme. Paham ini berpendapat bahwa yang ada
hanyalah diri manusia dan keyakinan-keyakinan subyektifnya. Segala
sesuatu di luar diri manusia tidak ada. Misalnya dunia di luar diri manusia
itu sungguh ada, namun itu pun tetap tidak bisa diketahui.
Jika akal budi dan persepsi inderawi tidak bisa membawa manusia
pada pengetahuan, maka manusia tidak memiliki lagi alat untuk bisa
mengetahui sesuatu. Pengetahuan pun menjadi sesuatu yang tidak
mungkin. Cara pandang ini memiliki implikasi moral tertentu. Jika
manusia tidak bisa sampai pada pengetahuan, maka satu-satunya
harapan adalah menyandarkan diri pada cara hidup dan aturan yang
sudah mapan di dalam masyarakat. Daya dorong untuk mencapai
kebenaran absolut menghilang, dan orang pun ‘dipaksa’ untuk hidup
dalam harmoni dengan lingkungan sekitarnya.
57 Saya membahas problem ini dalam Wattimena, Reza A.A, “Ingatan Sosial, Trauma, dan
Maaf ”, Jurnal Respons, Mikhael Dua (ed), Jakarta, Atma Jaya, 2009.
58 Untuk bagian ini dan berikutnya saya mengacu pada Richard H. Popkin dalam Routledge
Encyclopedia of Philosophy.
Berdasarkan penelitian Popkin kelahiran skeptisisme sebagai
metode di abad pertengahan disebabkan oleh ditemukannya kembali
teks-teks kuno. Teks-teks tersebut pertama kali ditemukan dan
dikembangkan oleh para pemikir Humanis di Italia. Kemudian teks-
teks tersebut tersebar dan semakin berkembang di Eropa Barat dan
Eropa Utara. Seperti sudah disinggung sebelumnya, teks-teks yang
berpengaruh adalah tulisan Cicero, Diogenes, dan, yang terpenting,
adalah tulisan Sextus Empiricus.
semua bentuk pengetahuan yang ada dengan teori skeptisisme, supaya
orang tidak lagi menyandarkan diri pada akal budinya, melainkan
bersandar hanya sepenuhnya pada iman. Hal ini nantinya juga
dipergunakan oleh para Rabi Yahudi untuk menjadikan Torah sebagai
satu-satunya sumber kebenaran. Melanjutkan cita-cita gurunya, Pico
menyerang Filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Aristoteles. Argumen
Pico memiliki pengaruh sangat besar para para pemikir Renaissance
nantinya.
argumen skeptik, bahwa manusia tidak mungkin bisa memahami
sepenuhnya misteri Tuhan dan iman, Erasmus mengajak Luther untuk
kembali pada pandangan tradisional, yakni pandangan Gereja Katolik,
dengan penuh keterbukaan hati.59
59 Lihat, ibid.
60 Ibid.
akhirnya Luther hanya mengacu pada keyakinan subyektifnya semata.
Keyakinan subyektif yang dipercayainya sebagai bisikan roh kudus.
61 Ibid.
62 Untuk berikutnya saya mengacu pada Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Gramedia,
Jakarta, 2004, hal. 37-93.
tema kesadaran. Para filsuf setelah Descartes juga pada akhirnya
menjadikan tema kesadaran sebagai tema refleksi filosofis mereka.
Berdasarkan penelitian Budi Hardiman, Descartes memberikan
suatu bentuk metode baru di dalam berfilsafat, yakni yang disebutnya
sebagai metode skeptisisme, atau bisa juga disebut sebagai skeptisisme
metodis. Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan kepastian
dasariah dan kebenaran yang kokoh. Inilah tujuan utama filsafat
menurut Descartes.63
berpikir skeptisisme.64 Yang menjadi obyek utama kritik Hume adalah
metafisika tradisional. Baginya metafisika bersifat sangat tidak pasti,
dan melebih-lebihkan kemampuan akal budi manusia. Dalam arti
ini metafisika bukan lagi sekedar merupakan penyelidikan terhadap
realitas dengan menggunakan akal budi manusia, tetapi sudah menjadi
mirip dengan mitos dan takhayul.
daripada kejernihan. Hume sendiri mengakui bahwa setiap peristiwa
memiliki hubungan yang satu dengan yang lainnya. Namun hubungan
itu tidak langsung bisa disimpulkan sebagai kausalitas. Yang bisa dilihat
oleh manusia adalah urutan dari peristiwa, dan bukan kausalitas itu
sendiri. Sedangkan konsep kausalitas tidak bisa dipastikan, terutama
karena tidak bisa diamati secara langsung. Ungkapan terkenal Hume
untuk kepercayaan manusia terhadap kausalitas adalah kausalitas
sebagai kepercayaan naif (animal faith).
disimpulkan, bahwa mukjizat lebih merupakan tafsiran subyektif dari
orang-orang yang ingin memperkenalkan ajaran agama baru.66
Pada bagian ini saya ingin mengajak anda mencecap metode berpikir
yang digunakan oleh Immanuel Kant di dalam filsafatnya. Sebagai teks
pembantu saya menggunakan dua teks, yakni tulisan Jill Vince Buroker
yang berjudul Kant’s Critique of Pure Reason dan tulisan saya sendiri
dalam bentuk tesis S2 yang berjudul Pengandaian-pengandaian Metafisis
di dalam Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika: Mempertimbangkan
Kritik Karl Ameriks atas Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika.68
4.1. Proyek Kritik Kant
Tujuan utama dari filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan,
bahwa manusia bisa memahami realitas alam (natural) dan moral
dengan menggunakan akal budinya. Pengetahuan tentang alam dan
moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori,
yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi.
Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori
yang digabungkan dengan hukum-hukum alam obyektif. Sementara
pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang sudah tertanam
di dalam hati nurani manusia. Kant menentang empirisme dan
rasionalisme. Empirisme adalah paham yang berpendapat, bahwa
sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi, dan
bukan akal budi semata. Sementara rasionalisme berpendapat bahwa
sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, dan
bukan pengalaman inderawi. Bagi Kant kedua pandangan tersebut
haruslah dikombinasikan dalam satu bentuk sintesis filosofis yang
sistematis.69
Di dalam bagian pengantar dari Kritik atas Rasio Murni, Kant
menyatakan bahwa “walaupun metafisika banyak dimaksudkan sebagai
ratu dari ilmu-ilmu,70 tetapi rasionalitas metafisis kini dihadapkan
pada sebuah pengadilan.”71 Sekali lagi, “kita harus menelusuri kembali
langkah-langkah yang telah kita rumuskan.”72 Perdebatan di dalam
refleksi metafisika telah membuat metafisika itu sendiri menjadi
semacam medan pertempuran, di mana setiap pihak yang berperang
tidak berhasil mendapatkan satu inci pun dari ‘teritori’ yang ada.73
Konsekuensinya metafisika kini ‘terombang ambing’ di antara
dogmatisme dan skeptisisme. Metafisika telah menjadi pemikiran
spekulatif yang meraba-raba secara acak.74
70 Kant, Critique of Pure Reason, 1998, Aviii, hal. xxiii. Seluruh kerangka sub bab ini
diinspirasikan dari pembacaan saya atas tulisan Sebastian Gardner, 1999, hal. 1-26.
Kutipan dari tulisan Kant juga diambil dari tulisan Gardner ini.
71 Ibid “…metaphysics is perpetually brought to a stand…”
72 Ibid, dan lihat Gardner, 1999, hal. 1. “Ever and again, we have to retrace our steps…”
73 Kant, Bxv. “The degree and quality of disagreement in metaphysics makes it a ‘battle ground,
a site of ‘mock-combats’ in which ‘no participant has ever yet succeeded in gaining even so much
as an inch of territory…”
74 Bdk, Ibid. “…The peculiar instability of metaphysics stands in stark contrast to the security of
mathematics and natural science, and leaves us with no choice but to conclude that metaphysics
‘has hitherto been a merely random grouping..”
75 Ibid, Bxvi “…Hitherto it has been assumed that all our knowledge must conform to objects’,
but since this assumption has conspicuously failed to yield any metaphysical knowledge, we
‘must therefore make trial whether we may not have more success in the tasks of metaphysics,
Untuk menjelaskan latar belakang pemikiran Kant, kerangka
tulisan di dalam bagian ini diinspirasikan dari pembacaan saya
terhadap tulisan Sebastian Gardner.76
if we suppose that objects must conform to our knowledge…we should than proceeding on the
lines Copernicus primary hypothesis’, this being the hypothesis of heliocentrism…”
76 Lihat, Gardner, 1999, hal. 2. “…this chapter traces the route which Kant arrived at his view
that metaphysics constitutes a problem, and his view of what exactly the problem of metaphysics
consist in..”
ada inheren di dalam diri manusia, dan tinggal digunakan untuk
mencerahkan kehidupan sehari-hari mereka. Para pemikir Pencerahan
hendak mempromosikan institusi sosial politik yang menghormati
otonomi setiap orang, mendorong penelitian-penelitian saintifik, dan
menunjang peningkatan pengetahuan pada umumnya. Asumsi mereka
dari emansipasi intelektual, maka emansipasi politik akan terjadi.
Pencerahan adalah seperti yang dirumuskan dalam sebuah esei untuk
mendefinisikan hal tersebut, kemunculan manusia dari ketidakdewasaan
yang dibuatnya sendiri. Semboyan utamanya adalah ‘Sapere Aude’
(Beranilah Berpikir Sendiri!). Seperti dikutip oleh Gardner, Kant
menulis,
77 Kant, Axi[n], dalam Gardner, ibid, “our age is, en special degree, the age of criticism, and
to criticism everything must submit. Religion through its sanctity, and law-giving through
its majesty, may seek to exempt themselves from it. But they then awaken just suspicion, and
cannot claim the sincere respect which reason accords only to that which has been able to sustain
the test of free and open examination.”
hal ini menunjukkan bahwa sejarah telah bergerak ke arah kemajuan
total yang tidak bisa lagi dihentikan oleh apapun atau siapapun.
78 Ibid, Bxiii, hal. xxxi., “…C.A Crucius… submitted the wolffian school to sharp criticism, and
dominasi rasionalisme di Jerman pada waktu itu. Dengan kata lain
rasionalisme Leibniz sama sekali tidak menemukan lawan tanding
pemikiran yang seimbang sampai Kant menuliskan Kritik Atas
Rasio Murni pada akhir abad ke 18. Pada waktu Kant menulis buku
tersebut, semangat Pencerahan mulai menurun. Setelah abad ke 18,
para filsuf mulai berpikir bahwa humanisme universal, yang menjadi
tesis dasar para pemikir Pencerahan, juga mempunyai sisi negatif, dan
sisi negatifnya itu ternyata sangat besar. Humanisme universal di sini
adalah paham yang menekankan, bahwa semua manusia itu memiliki
harkat dan martabat yang setara, serta mampu untuk menentukan
sikap dan pendapat mereka secara otonom dengan mengacu pada
kapasitas rasio manusia yang bersifat universal.79
Gereja Katolik dan Protestan pada waktu itu. Jadi para pemikir
Pencerahan juga memiliki kecenderungan untuk memberikan landasan
rasional terhadap agama. Hal inilah yang terjadi di Jerman, di mana
tanda-tanda penolakan terhadap agama hampir tidak terlihat. Di
Perancis para philosophes melakukan kritik tajam terhadap agama, dan
kemudian menganut ateisme. Lepas dari perbedaan di antara mereka,
para pemikir Pencerahan mengajukan satu pertanyaan yang sama,
bagaimana pengetahuan akan alam dan pengetahuan akan Tuhan
dapat disintesiskan?
dan kemudian bergerak ke perumusan konkret. Kontras dengan itu
Newton menggunakan metode induktif yang dimulai dari pengukuran
kuantitatif dari fenomena yang ingin diselidiki, dan kemudian sampai
pada prinsip-prinsip umum.80
80 Lihat, Gardner, 1999, hal. 5. “Leibniz employed a deductive method, derived from Rene
Descartes... and modeled on mathematics, which began with abstract general notions and
worked down to concrete nature; Newton by contrast ascended from quantitative measurement
of the phenomena of the first principles.”
sama sekali tidak mempunyai tempat. Metafisika spekulatif pun juga
tidak mendapatkan tempat. “Setiap bentuk refleksi filsafat metafisis”,
demikian tulis Hume, “haruslah kita buang ke dalam api! Karena
itu mengandung tidak lebih dari sekedar ilusi.”81 Kesimpulan yang
dirumuskan oleh Hume tersebut bisa kita cap sebagai paradoks, karena
ia mengkritik metafisika dengan merumuskan metafisika baru, yakni
metafisika yang didasarkan pada pengalaman. Yang jelas pada saat itu,
Hume segera membutuhkan sebuah tanggapan dari para pemikir di
jamannya.
pada dirinya sendiri. Ia juga berpendapat bahwa pikiran manusia
adalah suatu kertas kosong, sebuah tabula rasa, yang diisi oleh ide
melalui interaksinya dengan dunia. Pengalaman inderawi akan dunia
mengajarkan semuanya, termasuk konsep identitas, sebab akibat, dan
sebagainya. Kant sendiri nantinya berpendapat, bahwa tesis tentang
pikiran sebagai tabula rasa ini tidaklah cukup untuk menjelaskan
tentang kemampuan kita mengetahui obyek pengetahuan. Artinya
ada suatu komponen di dalam pikiran kita yang memungkinkan kita
mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman inderawi.
berpendapat bahwa kita tidak dapat mengandaikan adanya justifikasi
apriori ataupun aposteriori tentang beberapa kepercayaan fundamental
akal sehat kita, seperti prinsip kausalitas yang menyatakan bahwa
semua kejadian pasti memiliki sebab. Dengan tesis Hume tersebut,
maka semakin jelaslah bahwa empirisme tidak dapat memberikan
kita justifikasi epistemologis (epistemological justification) untuk semua
klaim kausalitas yang selama ini dianggap tepat dan andaikan begitu
saja.83
maka aku ada” jelas menggambarkan kebenaran yang sangat diyakini
oleh para pemikir rasionalis ini. Dengan berbekal pengetahuan yang
pasti tentang keberadaan dirinya sendiri, Descartes berharap mampu
membangun sebuah dasar yang kokoh bagi semua bentuk pengetahuan
manusia. Baginya pengetahuan tentang obyek yang berada di luar
dirinya adalah kombinasi antara kesadaran akan keberadaan dirinya
sendiri (res cogitans dan res extensa) dan argumen bahwa Tuhan itu ada,
serta tidak menipunya dengan semua bentuk pengetahuan yang masuk
melalui indera.
sendiri, dan bahwa pengetahuan kita terbatas pada obyek yang dapat
dialami secara inderawi.
inderawi (sense experience), dan kemudian melihat sejauh mana rasio kita
mampu mengetahui hal-hal yang berada di luar pengalaman inderawi,
seperti Tuhan dan Jiwa.87 Penilaian apakah kita dapat mengetahui
obyek-obyek yang berada di luar pengalaman inderawi dilakukan oleh
Kant pada setengah bagian kedua buku Kritik atas Rasio Murni, yakni
setelah ia memberikan argumentasi yang mendetil tentang kondisi-
kondisi apriori yang memungkinkan terjadinya pengetahuan.
87 Lihat, Ibid, Axii. Dalam Gardner, ibid, “So a critique of pure reason is a critical enquiry into
our capacity to know anything by emplying our reason in isolation, i.e, without conjoining
reason with sense experience; more specifically, it enquires into our capacity to know things
lying beyond the bounds of sense experience, such as God and the Soul…”
88 Lihat, Ibid, “…Kant gives firm indications in the Preface of the results that the tribunal will
reach, and of the means by which the problem of metaphysics will be solved…”
ini adalah pengalaman inderawi. Artinya penggunaan rasio manusia
menjadi sah, ketika diterapkan pada obyek yang dapat diketahui
melalui pengalaman inderawi. Sebaliknya penggunaan rasio manusia
menjadi tidak sah, ketika diterapkan untuk mengetahui obyek yang
tidak dapat dialami secara inderawi.
89 Lihat, Gardner, 1999, hal. 24. “The metaphysics that Kant attacks, charateristic of
rationalism, is speculative or transcendent…, and that which he defends is immanent…., or
the metaphysics of experience….”
90 Lihat pemaparan menarik tentang proyek kritik Kant terhadap metafisika tradisional
di dalam http://plato.stanford.edu/entries/kant-metaphysics/, “How are synthetic
a priori propositions possible? This question is often times understood to frame the
investigations at issue in Kant’s Critique of Pure Reason. In answer to it, Kant saw fit to
divide the question into three: 1) How are the synthetic a priori propositions of mathematics
possible? 2) How are the synthetic a priori propositions of natural science possible?
metafisika pengalaman mungkin, tetapi metafisika transenden tidaklah
mungkin.
Finally, 3) how are the synthetic a priori propositions of metaphysics possible? In systematic
fashion, Kant responds to each of these questions. The answer to question one is broadly found
in the Transcendental Aesthetic, and the doctrine of the transcendental ideality of space and
time. The answer to question two is found in the Transcendental Analytic, where Kant seeks to
demonstrate the essential role played by the categories in grounding the possibility of knowledge
and experience. The answer to question three is found in the Transcendental Dialectic, and
it is a resoundingly blunt conclusion: The synthetic a priori propositions that characterize
metaphysics are not “really” possible at all. Metaphysics, that is, is inherently dialectical. Kant’s
Critique of Pure Reason is thus as well known for what it rejects as for what it defends.
Thus, in the Dialectic, Kant turns his attention to the central disciplines of traditional,
rationalist, metaphysics — rational psychology, rational cosmology, and rational theology.
Kant aims to reveal the errors that plague each of these fields.”
Kant sebagai psikologi rasional (rational psychology), metafisika tentang
dunia sebagai keseluruhan yang disebutnya sebagai kosmologi rasional
(rational cosmology), dan tentang Tuhan yang disebutnya sebagai teologi
rasional (rational theology).
membuktikan bahwa kita tidak dapat mengetahui obyek-obyek yang
berada di luar pengalaman inderawi kita. Bagian ini mau menolak
legitimasi metafisika, terutama metafisika transenden (trancendent
metaphysics). Dari dua tipe metafisika ini, kita dapat mengenali
ambiguitas kritik atas metafisika yang dirumuskan Kant. Ia menolak
metafisika transenden, tetapi mengafirmasi metafisika pengalaman.
Metafisika pengalaman ini paling jelas terdapat pada bagian Analytic.
Dari pemaparan pada bab ini, kita dapat menarik setidaknya dua
kesimpulan terkait dengan metode yang digunakan oleh Kant di dalam
berfilsafat. Yang pertama adalah metode kritis untuk mencari kondisi-
kondisi kemungkinan dari pengetahuan manusia. Kant tidak percaya
begitu saja, bahwa manusia bisa mengetahui dunia luar. Maka itu ia
menyelidiki terlebih dahulu, kondisi-kondisi macam apakah yang
diperlukan, supaya manusia bisa sampai pada pengetahuan konseptual.
Di dalam proses pencarian, ia menemukan setidaknya dua faktor, yakni
kondisi-kondisi a priori di dalam pikiran manusia, dan benda-benda
obyektif. Yang penting bagi kita adalah cara berpikir untuk mencari
kondisi-kondisi kemungkinan dari keberadaan obyek yang kita pikirkan.
5. Metode Dialektika
Pada bagian sebelumnya saya sudah menjabarkan garis besar proyek
filsafat kritis Immanuel Kant. Inti dari metode berpikir yang diajarkan
Kant adalah pencarian kondisi-kondisi kemungkinan (conditions of
possibility) dari pengetahuan manusia, dan pencarian dasar rasional dari
fenomena yang hendak diteliti. Filsafat Kant sangat mempengaruhi para
filsuf setelahnya. Salah satu filsuf yang sangat dipengaruhi oleh Kant,
namun juga melakukan kritik tajam terhadap Kant, adalah Hegel. Pada
bagian ini saya ingin mengajak anda mencecap sedikit gaya berpikir
Hegel, terutama yang terkait dengan metodenya untuk memahami
realitas. Sebagai pendasaran saya menggunakan teks tulisan Larry
Krasnoff yang berjudul Hegel’s Phenomenology of Spirit.91
91 Pada bab ini saya mengacu pada Krasnoff, Larry, Hegel’s Phenomenology of Spirit,
Cambridge University Press, Cambridge, 2008.
Menurut Krasnoff jawaban atas pertanyaan itu terletak pada
perubahan paradigma (paradigm change) di dalam memandang
realitas. Alam dipandang sebagai alam obyektif yang bisa dipelajari
dan digunakan untuk sepenuhnya kepentingan manusia. Agama
dipandang bukan lagi sebagai urusan bersama, tetapi sebagai urusan
privat. Agama dipisahkan dari urusan negara, dan didorong ke pinggir
kehidupan politik.
membutuhkannya. Dan orang tidak memiliki kemungkinan untuk
memilih yang lain. Tidak hanya itu menurut Krasnoff, pertanyaan
tentang apakah modernitas baik secara moral adalah pertanyaan yang
problematis, karena modernitas telah merasuki sendi-sendi kehidupan
masyarakat jaman sekarang sebegitu mendalam dan meluas. Setiap
orang terpengaruh dengan caranya masing-masing. Setiap orang juga
memaknainya dengan caranya sendiri-sendiri. Efek dari modernitas
tidak bisa direduksi hanya dalam satu hal saja.93
93 Lihat, ibid.
modernitas, manusia mulai menemukan dan berani mengedepankan
kebebasannya. Dalam soal agama setiap orang berhak memutuskan
agama apa yang mereka peluk. Tidak hanya itu setiap orang juga
berhak mengekspresikan keyakinan agamanya, sejauh itu tidak
melanggar kebebasan orang lain. Dalam hal politik setiap orang bebas
untuk memilih penguasa manakah yang layak memerintah di sebuah
negara. Dalam hal ekonomi setiap orang bebas untuk mengumpulkan
harta kekayaan, sejauh dalam batas-batas hukum. Dan dalam hal
budaya, setiap orang berhak hidup dengan caranya masing-masing,
sejauh itu masih berada dalam batas-batas hukum dan tidak melanggar
kebebasan orang lain.94
terpesona oleh revolusi Perancis. Sebagai seorang pemuda yang lahir
pada 1770, ia terpana oleh gelora kebebasan yang mewujud secara nyata
di dalam revolusi Perancis. Ia sendiri adalah seorang anak pegawai
negeri sipil rendahan dari Stuttgart. Walaupun miskin namun Hegel
sangat cerdas. Pada 1788 ia masuk seminari (sekolah pendidikan calon
imam di dalam Agama Katolik) di Universitas Tuebingen. Di sana ia
bertemu dengan Friedrich Schelling (juga seorang filsuf Idealis Jerman
yang cukup ternama) dan menjalin persahabatan dengannya. Schelling
dan Hegel kini dikenal sebagai para filsuf Idealisme Jerman. Secara
singkat Idealisme Jerman adalah paham filsafat yang berpendapat,
bahwa realitas bukanlah material secara hakiki, melainkan bentukan
dari konsep-konsep rasional yang terletak di dalam pikiran manusia.
Konsep-konsep tersebut seperti aku murni, roh absolut, non-aku, dan
sebagainya. Idealisme Jerman berkembang pada abad ke-18 di Jerman,
namun pengaruhnya masih sangat terasa hingga sekarang ini.
sosial. Sebaliknya di Jerman orang berkumpul untuk berdiskusi soal
filsafat Pencerahan pun kerap kali harus berbenturan dengan otoritas
pemerintah. Dengan kata lain dapatlah dikatakan, bahwa pada masa
itu, Jerman masih merupakan negara terbelakang. Namun Hegel akibat
membaca secara intensif tulisan-tulisan Rousseau dan Kant berhasil
menerobos keterbelakangan itu, dan akhirnya merumuskan filsafatnya
sendiri secara kreatif.96
(methodological certainty). Tidak ada kepastian apakah pikiranku
memiliki hubungan langsung dengan realitas. Yang pasti adalah bahwa
aku sedang berpikir (I am thinking), dan pikiran itu selalu mengarah
pada sesuatu. Aku tidak pernah berpikir kosong, karena aku selalu
berpikir tentang sesuatu.
bahwa dunia bisa ada karena diketahui oleh manusia. Tanpa manusia
tidak ada dunia.99
Salah satu yang menjadi acuan Kant adalah ide kebebasan (the
idea of freedom). Ide kebebasan tidak pernah bisa dipahami secara
empiris. Oleh karena itu pengetahuan manusia tentang kebebasan
memiliki bentuk yang berbeda, jika dibandingkan dengan pengetahuan
manusia mengetahui benda-benda fisik, seperti meja, kursi, mobil,
dan sebagainya. “Akan tetapi dengan alasan ini,” demikian Krasnoff,
“kita tidak dapat mengatakan bahwa ide kebebasan tidak mempunyai
kenyataan..”100 Artinya adalah walaupun tidak memiliki dasar empiris-
fisik, dan tidak bisa menjadi obyek pengetahuan langsung manusia,
ide kebebasan tetap dapat dipahami oleh manusia, walaupun dengan
cara lain. Bagi Kant ide kebebasan sudah selalu diandaikan di dalam
tindakan moral manusia sebagai mahluk yang rasional. Jika tidak
diandaikan maka tindakan moral menjadi tidak mungkin. Sementara
faktanya tindakan moral, seperti berbuat baik, itu mungkin, maka
kebebasan pun tidak bisa dibantah keberadaannya.
Revolusi Perancis. Filsafatnya sendiri tidak bisa dilepaskan dari momen
bersejarah tersebut. Di dalamnya ia melihat dorongan kekuatan
kebebasan dari subyek untuk melawan semua bentuk kekuatan yang
mengekangnya.
terakhir tampak mengandung setitik kontradiksi. Bukankah lingkungan
sosial yang memberikan arti dan makna bagi kehidupan seseorang?
Dan bukankah seperti yang dikatakan oleh Heidegger dengan
lugas, bahwa kematianlah yang memberikan makna bagi kehidupan
manusia? Dalam arti ini subyek selalu berada dalam tegangan untuk
menjadi bebas di satu sisi, dan untuk mengikat dirinya pada komunitas
sosialnya.101 Ia juga selalu berada dalam tegangan antara dorongan
untuk memaknai hidup yang ada, dan kecemasan di dalam menghadapi
kematian. Di dalam tegangan itulah subyek menyadari dirinya sendiri
(self-realizing).
(immediate-mediated-conrete). Hegel memang menggunakan kata-
kata yang berbeda untuk menegaskan metode berpikir dialektis yang
digunakannya di dalam seluruh sistem filsafatnya. Coba kita bedah hal
ini secara lebih mendalam.
dan kemudian bersatu di dalam ‘menjadi’ (becoming). Di dalam kosa
kata teori dialektika Hegel, ada-murni adalah tesis. Ketiadaan adalah
antitesis dari ada-murni. Dan menjadi (becoming) adalah sintesis dari
ada-murni dan ketiadaan.
sebuah premis sederhana, bahwa segala sesuatu menjadi apa adanya,
karena selalu berada di dalam relasi dengan yang lainnya, yang bukan
sesuatu itu. Meja bisa ada dan diketahui oleh manusia, karena ada
segala sesuatu yang bukan meja,. Meja menegasi segala sesuatu yang
bukan meja, sehingga ia menjadi dirinya sendiri.
Pada bagian ini saya berfokus untuk menjelaskan cara berpikir khas
Nietzsche, yakni nihilisme dan teknik berfilsafat dengan aphorisme.
Sebagai acuan saya menggunakan tulisan Jill Marsden yang berjudul
Nietzsche and the Art of Aphorism, dan tulisan Andreas Urs Sommer
yang berjudul Nihilism and Skepticism in Nietzsche.103 Di dalam tulisan-
tulisan filsafatnya, Nietzsche menegaskan, bahwa kebiasaan atau cara
kita berpikir menentukan apa yang kita anggap sebagai pikiran. Semua
bentuk cara berpikir, termasuk apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang
layak dipikirkan, dibentuk oleh kebiasaan. Cara kita memahami dan
memaknai dunia juga terbentuk di dalam kebiasaan. Aristoteles sendiri
pernah berkata, bahwa tidak ada yang lebih kuat daripada kebiasaan. Dan
seperti yang pernah ditulis oleh Herry Priyono, orang tidak sadar akan
kebiasaannya sama seperti ia tidak sadar akan bau mulutnya.
Dalam arti ini kebiasaan menjadi halangan utama bagi orang untuk
sampai pada kebenaran. Banyak orang menganggap begitu saja, bahwa
apa yang telah mereka ketahui ataupun lakukan secara biasa itu sama
dengan kebenaran. Padahal kebiasaan justru bisa menjadi halangan
terbesar untuk melihat kebenaran. Dalam konteks inilah Nietzsche
menempatkan filsafatnya, yakni sebagai kritik dari cara berpikir yang
timbul atas dasar kebiasaan semata. Untuk melampaui kebiasaan
cara berpikir yang terwujud nyata di dalam cara orang menulis dan
mengungkapkan argumen, Nietzsche menggunakan aphorisme sebagai
alat untuk melakukan kritik. Menurut Marsden aphorisme merupakan
suatu cara untuk melepaskan diri dari keyakinan-keyakinan lama yang
melulu didasarkan atas kebiasaan. Aphorisme adalah cara baru berfilsafat
untuk melepaskan diri dari kategori-kategori pengetahuan manusia
yang cenderung terkotak-kotak dan membatasi realitas. Cara berpikir
tradisional yang kental terasa pada sains dan filsafat yang berpegang
teguh pada rasionalitas justru membuat manusia tertutup dari kekayaan
realitas dan kehidupan itu sendiri. Aphorisme menempatkan realitas
103 Pada bab ini saya mengacu pada kedua tulisan tersebut. Kedua tulisan itu dapat dilihat
di Pearson, Keith Ansell, A Companion to Nietzsche, Blackwell, MA, 2006.
sebagai suatu teks yang terbuka, sekaligus membuka horison pemikiran
baru yang kreatif dan inovatif.104
ditulis pada 1878. Di dalam buku itu, Nietzsche menulis berdasarkan
pengamatan yang tajam tentang manusia, namun tidak dengan gaya
sistematis khas buku filsafat, melainkan dengan paragraf-paragraf
pendek yang seolah terpecah dan tidak memiliki kaitan satu sama lain.
Dalam arti harafiahnya aphorisme berarti ekspresi pemikiran singkat
yang lugas tentang suatu bentuk kebenaran yang bersifat umum.
Dengan demikian aphorisme bukanlah isi dari filsafat itu sendiri,
melainkan gaya berfilsafat tentang suatu tema tertentu. Marsden juga
menegaskan bahwa tidak semua tulisan Nietzsche menggunakan gaya
aphorisme murni. Beberapa tulisan Nietzsche lainnya, seperti On the
Genealogy of Morals, tidak menggunakan aphorisme murni, melainkan
bab-bab (chapters).105
hidup sehat, mendiagnosis penyakit, dan hidup bahagia. Semua itu
ditulis dengan menggunakan aphorisme.
Banyak orang menganggap penyakit sebagai batu sandungan bagi
kehidupan. Penyakit adalah kutukan yang harus dihindari ataupun
dimusnahkan. Namun Nietzsche mengajarkan kepada kita, bahwa
banyak hal buruk di dalam hidup sebenarnya bisa menjadi pelajaran
yang berharga. Kejahatan dan penderitaan adalah bagian integral
dari kehidupan. Dan dalam kerangka itu, manusia harus belajar
memaknai penderitaan, kejahatan, dan kegagalan sebagai keniscayaan
hidup. Justru di dalam tempaan penderitaanlah peradaban manusia
bisa berkembang. Nietzsche menanggapi penderitaan yang ia alami
langsung di dalam filsafatnya, terutama dengan metode aphorisme
yang ia gunakan. Dengan itu ia mengubah pengalaman penderitaan
yang bersifat personal menjadi refleksi filosofis yang indah sekaligus
inspiratif. Penderitaan menjadi titik tolak bagi sebuah pemikiran
filosofis yang menyegarkan.
hidup, namun kerja dari panah adalah kematian.”107 Aphorisme ini bisa
ditafsirkan sebagai sebuah pernyataan, bahwa kehidupan dan kematian
saling terkait satu sama lain. Tidak ada hidup yang sempurna tanpa
cacat sedikit pun. Bahkan bisa dibilang bahwa hidup adalah anak
panah yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran.
Aphorisme tidak bisa dibaca dengan cara seperti anda membaca
buku teks. Di dalam buku teks, anda akan diminta mengikuti argumen
demi argumen yang sifatnya sistematis secara sabar. Sementara ketika
membaca aphorisme Nietzsche, anda perlu melakukan lompatan
logika untuk memahaminya. Untuk membaca Nietzsche orang perlu
melepaskan diri dari rasionalitas tradisional, dan mencoba memahami
semangat pemberontakan yang dikobarkan olehnya. Aphorisme
mengajak setiap pembacanya untuk peka pada kalimat-kalimat kecil
yang seolah tanpa makna. Aphorisme juga mengajak pembacanya
untuk peka pada misteri di balik makna yang tersirat di dalam tulisan.
batas-batas rasionalitas itu sendiri, dan membuka tabir-tabir pemikiran
baru yang belum tersentuh sebelumnya. Pada bagian ini saya ingin
mengajak anda berdiskusi mengenai metodologi berpikir di dalam filsafat
Husserl, yang banyak juga dikenal sebagai fenomenologi. Metode ini
sangat penting di dalam filsafat, dan juga di dalam penelitian ilmu-ilmu
sosial. Di dalam pemikiran Husserl, fenomenologi tidak hanya berhenti
menjadi metode, tetapi juga mulai menjadi ontologi. Muridnya yang
bernama Heideggerlah yang nantinya akan melanjutkan proyek itu. Pada
bagian ini saya mengacu pada tulisan David W. Smith tentang Husserl di
dalam bukunya yang berjudul Husserl.110
110 Pada bab ini saya mengacu pada Smith, David Woodruff, Husserl, London, Routledge,
2007.
111 Lihat, ibid, hal. 188.
Menurut Smith fenomenologi Husserl adalah sebuah upaya untuk
memahami kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang
pertama. Secara literal fenomenologi adalah studi tentang fenomena,
atau tentang segala sesuatu yang tampak bagi kita di dalam pengalaman
subyektif, atau tentang bagaimana kita mengalami segala sesuatu di sekitar
kita. Setiap orang pada dasarnya pernah melakukan praktek fenomenologi.
Ketika anda bertanya “Apakah yang aku rasakan sekarang?”, “Apa yang
sedang kupikirkan?”, “Apa yang akan kulakukan?”, maka sebenarnya anda
melakukan fenomenologi, yakni mencoba memahami apa yang anda
rasakan, pikirkan, dan apa yang akan anda lakukan dari sudut pandang
orang pertama.
perilaku. Oleh sebab itu menurut Smith, fenomenologi Husserl lebih
tepat disebut sebagai psikologi deskriptif, yang merupakan lawan dari
psikologi positivistik.
observasi ataupun generalisasi di dalam penelitian tentang manusia,
seperti yang lazim ditemukan pada psikologi positivistik.
sebenarnya adalah satu ekspresi dari kesadaran. Seseorang mengalami
sesuatu. Ia sadar akan pengalamannya sendiri yang memang bersifat
subyektif. Dan yang kedua, setiap bentuk kesadaran selalu merupakan
kesadaran akan sesuatu. Ketika berpikir tentang makanan, anda
membentuk gambaran tentang makanan di dalam pikiran anda. Ketika
melihat sebuah mobil, anda membentuk gambaran tentang mobil di
dalam pikiran anda. Inilah yang disebut Husserl sebagai intensionalitas
(intentionality), yakni bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran akan
sesuatu.
Fenomenologi adalah analisis atas esensi kesadaran sebagaimana
dihayati dan dialami oleh manusia, dan dilihat dengan menggunakan
sudut pandang orang pertama. Fenomenologi menganalisis struktur dari
persepsi, imajinasi, penilaian, emosi, evaluasi, dan pengalaman orang
lain yang terarah pada sesuatu obyek di luar. Dengan demikian menurut
Smith, fenomenologi Husserl adalah suatu penyelidikan terhadap relasi
antara kesadaran dengan obyek di dunia luar, serta apa makna dari relasi
itu. Konsep bahwa kesadaran selalu terarah pada sesuatu merupakan
konsep sentral di dalam fenomenologi Husserl.114
dunia. Obyek dari kesadaran dan tindakan manusia tidak pernah berada
di dalam ruang kosong, melainkan selalu berada di dalam horison makna
tertentu. Maka dari itu intensionalitas kesadaran selalu melibatkan relasi
rumit antara subyek (manusia) yang sadar, tindakan, obyek, dan horison
dari obyek tersebut. Relasi rumit di dalam intensionalitas kesadaran itulah
yang menjadi dasar dari fenomenologi.
dunia kehidupan. Di dalam konteks itulah pemahaman tentang manusia
dan kesadaran bisa ditemukan.
116 Pada bab ini saya mengacu pada Frede, Dorothea, “The Questions of Being: Heidegger’s
Project”, dalam The Cambridge Companion to Heidegger, Cambridge University Press,
Cambridge, 1993.
Dreyfus pernah berpendapat, bahwa “ada” adalah latar belakang dari
semua tindakan keseharian manusia yang dapat dipahami dengan akal
budi. Thomas Sheehan -ahli Heidegger lainnya- berpendapat bahwa
konsep “ada” merupakan konsep yang mencakup keseluruhan realitas.
“Ada” adalah konsep yang ada di dalam setiap bentuk pengetahuan
manusia tanpa terkecuali.
Setiap pemikir besar biasanya memiliki satu ide dasar yang sifatnya
revolusioner. Ide dasar ide dasar itu biasanya merupakan jawaban atas
suatu pertanyaan yang juga tak kalah revolusioner. Pertanyaan itulah
yang nantinya membimbing seluruh refleksi filosofis filsuf besar tersebut.
Hal ini kiranya berlaku di dalam filsafat Heidegger. Menurut penelitian
yang dibuat oleh Frede, pertanyaan yang menggantung di seluruh filsafat
Heidegger sebenarnya adalah, apa maksud sesungguhnya dari konsep
Ada? Di dalam filsafat pertanyaan ini berada di ranah ontologi, yakni
penyelidikan tentang Ada yang merupakan dasar dari seluruh realitas.
Maka dapat juga dikatakan, bahwa filsafat Heidegger berfokus pada
ontologi. Namun ontologi Heidegger tidak sama dengan ontologi yang
sudah ada sebelumnya. Searah dengan perjalanan waktu, makna dari
pertanyaan tentang “ada” pun sudah berubah.117
menjadi, apakah yang dimaksud dengan “ada” yang mendasari ada-ada
lainnya di dalam realitas?
Pada tulisan ini saya tidak mau, dan mampu, untuk menelusuri
karya-karya Heidegger seutuhnya. Di dalam tulisan ini, saya akan
mencoba memasuki ontologi Heidegger, yakni problem tentang “ada”
yang digelutinya, sambil mencoba mengkaitkan dengan gurunya yang
juga merupakan bapak fenomenologi, yakni Edmund Husserl. Selain
itu Heidegger juga banyak mendasarkan pikirannya pada filsafat
Yunani Kuno. Ia banyak mendapatkan inspirasi dari mereka di dalam
prosesnya mempertanyakan makna ada, walaupun nantinya Heidegger
akan mengembangkan rumusannya sendiri. Menurut penelitian
Frede ketertarikan Heidegger pada masalah “ada” dan ontologi secara
keseluruhan dimulai, ketika ia membaca tulisan Franz Brentano yang
berjudul On the Several Sense of Being in Aristotle. Apa sebenarnya
hubungan Heidegger dengan para filsuf Yunani Kuno, terutama di dalam
prosesnya untuk memahami “ada”?
Menurut Frede orang yang pertama kali mengajukan pertanyaan
tentang “ada” secara sistematik adalah Plato. Ia melakukan perdebatan
tentang konsep “ada” dengan para sofis, yakni para pengajar retorika.
Kaum sofis sendiri tidak percaya adanya kebenaran mutlak. Bagi
mereka segala sesuatu sifatnya relatif di muka bumi ini. Maka dari itu
hal yang salah bisa jadi benar, dan sebaliknya, selama orang mampu
memberikan argumentasi tentangnya. Bagi Plato sendiri problematika
terkait dengan “ada” adalah problem gigantotnacbia, yang berarti
problem para raksasa pemikiran. Heidegger sendiri sadar akan hal
ini. Namun pemikir yang sungguh-sungguh memberikan pengaruh
besar di dalam ontologi, ilmu tentang “ada”, adalah Aristoteles, murid
Plato. Heidegger sendiri memang banyak berpijak pada pemikiran
Aristoteles. Ia juga berpendapat bahwa seluruh sejarah pemikiran
manusia adalah sejarah kelupaan akan “ada” (forgetfulness of being).
disebut sebagai seorang metafisikus. Seluruh alam semesta menurutnya
terdiri dari struktur-struktur obyektif dari “ada”. Inti dari struktur
obyektif itu adalah substansi. Semua bentuk kategori lainnya menempel
pada substansi tersebut. Dalam arti ini juga, tidak ada kesatuan utuh
di dalam konsep “ada”, karena konsep “ada” itu sendiri terdiri dari
substansi dan predikat-predikat dari substansi tersebut, seperti kualitas,
kuantitas, dan sebagainya. Tidak ada kesatuan “ada” (unified of being).
Yang ada adalah analogi dari berbagai bentuk kategori “ada”.
manusia tidak akan pernah bisa didapatkan hanya dengan sekedar
mengamati realitas dengan panca indera. Argumen ini membawanya
kepada fenomenologi Edmund Husserl. Kesadaran manusia berbeda
dengan apa yang disadarinya sebagai ada. Dalam hal ini kita perlu
membedakan isi pikiran itu sendiri, dengan obyek dari pikiran
tersebut. Orang bisa berpikir tentang makanan. Namun satu hal yang
pasti, bahwa pikiran itu sendiri bukanlah makanan. Arti dari pikiran
berbeda dengan tindak berpikir. Begitu pula konsep “ada” itu sendiri
berbeda dengan ada-ada lainnya yang melekat di dalam segala sesuatu
yang ada di dalam realitas.
selalu melibatkan jaringan makna yang lebih luas. Tugas filsuf menurut
Heidegger adalah menjelaskan jaringan makna yang melatarbelakangi
tindak pemaknaan atas dunia tersebut. Jaringan makna itu adalah
struktur dari realitas. Itulah “ada”.120
8.2. Being and Time
Lalu apa beda filsafat Heidegger dengan filsafat tradisional lainnya
yang banyak berbicara tentang “ada”? Ada jarak waktu 12 tahun,
sebelum Heidegger menulis karya terbesarnya yang berjudul Being and
Time dari karya sebelumnya. Menurut Frede gaya berfilsafat Heidegger
di dalam Being and Time sangat dipengaruhi oleh pemikiran Edmund
Husserl. Namun walaupun berhutang pada Husserl, Heidegger tetap
memiliki banyak perbedaan argumen dengannya. Setidaknya ada
dua bentuk pengaruh Husserl yang sangat jelas di dalam pemikiran
Heidegger. Yang pertama Heidegger sendiri sudah mengakui, bahwa
ia sangat terpengaruh oleh buku karangan Husserl yang berjudul
Logical Investigations. Pada waktu ia bertemu secara langsung dengan
Husserl, Heidegger kemudian menyadari betul peran fenomenologi
di dalam persoalan tentang ada. Dalam arti ini bisa juga dikatakan,
bahwa Being and Time adalah upaya Heidegger untuk menerapkan
metode fenomenologi untuk memahami “ada”.121
hanyalah kemungkinan. Jika kita ingin mengetahui hakekat dari
obyek di luar diri kita, maka yang harus kita lakukan justru adalah
memahami kesadaran yang membuat kita bisa mengetahui obyek
tersebut. Husserl berpendapat bahwa inti dari filsafat bukalah obyek
empiris, melainkan isi dari kesadaran manusia. Dalam arti ini filsafat,
terutama fenomenologi Husserl, memang menjadi pendekatan yang
berpusat pada ego manusia.
harusnya dijadikan bagian utuh dari proses penafsiran manusia atas
dunianya.
Buku Being and Time memiliki dua proyek dasar. Yang pertama
adalah proyek untuk merumuskan cara baru dalam menafsirkan
seluruh sejarah filsafat. Yang kedua adalah klarifikasi konsep “ada” itu
sendiri. Proyek yang kedua memang telah lama menjadi obsesi pribadi
Heidegger. Dalam bahasa teknis Heidegger, kedua proyek itu disebut
juga sebagai Ontological Analytic of Dasein as Laying Bare the Horizon
for an Interpretation of the Meaning of Being in General dan Destroying
the History of Ontology.
dalam filsafat Kant, Descartes, dan Aristoteles. Kesalahan berpikir itu
bukanlah sesuatu yang disengaja, namun memang tak terhindarkan.
dipahami, karena berada di luar pemahaman manusia. Jadi walaupun
konsep benda-pada-dirinya-sendiri tidak bisa diketahui, namun di
dalam pemikiran Kant, konsep itu menempati peran yang sangat
penting di dalam proses pembentukan realitas itu sendiri. Dengan
tidak jelasnya konsep itu, bagi Heidegger, filsafat Kant belum secara
radikal memberikan terobosan di dalam ontologi dan metafisika.
(being among) dan terlibat (involve) dengan dunia yang sudah selalu
ada.
Jika Heidegger tidak melanjutkan refleksi filsafatnya, maka sebenarnya
ia tidak beranjak jauh dari pemikiran Husserl. Heidegger hanya
melukiskan modus mengada manusia dalam kaitannya dengan dunia,
tanpa menusuk langsung ke pertanyaan tentang “ada” itu sendiri, yang
seharusnya menjadi inti dari proyek filosofisnya.126
manusia juga sudah selalu terletak di dalam dunia. Manusia dan dunia
adalah suatu proyek. Proyek adalah suatu harapan akan masa depan.
Harapan akan masa depan itu tidak didasarkan pada kekosongan,
melainkan pada pengertian kita tentang dunia yang ada sekarang ini.
Masa lalu memang mempengaruhi manusia, namun manusia tetap
terikat dan tertanam di dalam masa kini. Kekinian itulah dunia (world)
yang mengikat dan memberikan makna bagi kehidupan kita sehari-
hari. Manusia terhisap di dalam temporalitas kekinian, dan kekinian
itulah yang mengikat manusia dengan dunia. Manusia selalu terlibat
dengan dunia di dalam kekiniannya.
tangan Husserl fenomenologi menjadi suatu displin tersendiri yang
berbeda dari ilmu-ilmu manusia lainnya.
tokoh teori kritis kontemporer, yang berjudul The Social Pathology of
Reason: On the Intellectual Legacy of Critical Theory.128 Teori kritis memang
mencapai puncak kejayaannya pada awal dan pertengahan abad kedua
puluh. Sekarang ini banyak orang menganggapnya tinggal sekedar artifak
yang tidak lagi relevan.
Memang harus diakui banyak analisis tajam yang dibuat oleh para
pemikir Teori Kritis pada awal abad kedua puluh sudah jauh terpisah
dengan realitas sekarang ini. Namun sekarang ini banyak pemikir muda
yang mendedikasikan karya-karya mereka untuk mengembangkan
analisis teori kritis ini. Tokoh yang pertama kali mengembangkan teori
kritis secara sistematis adalah Horkheimer dan Marcuse. Mereka adalah
para filsuf kontemporer. Walaupun dapat dinilai sebagai bagian dari filsuf
kontemporer, namun banyak analisis mereka sudah terasa ketinggalan
jaman. Itulah yang menjadi pendapat Axel Honneth.
128 Pada bab ini saya mengacu pada Honneth, Axel, “The Social Pathology of Reason: On
the Intellectual Legacy of Critical Theory”, dalam Cambridge Companion to Critical
Theory, Cambridge University Press, Cambridge, 2004, hal. 336.
129 Lihat, ibid, hal. 337.
Ciri khas dari Teori Kritis, yang banyak juga dikenal sebagai sekolah
Frankfurt, adalah keyakinannya pada kemampuan rasio manusia untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di dalam kehidupan
sosial. Namun ciri itu kini sudah banyak ditinggalkan, karena banyak
filsuf tidak lagi yakin, bahwa akal budi mampu menyelesaikan semua
persoalan kehidupan sosial manusia. Akal budi itu sifatnya partikular dan
jamak. Tidak ada akal budi universal yang mampu menjadi titik tolak
untuk pembebasan manusia, seperti yang dicita-citakan oleh Adorno dan
Horkheimer. Salah satu alasannya adalah, karena akal budi manusia telah
dipersempit menjadi melulu soal-soal teknis instrumental, dan telah
kehilangan kemampuan kritisnya. Misalnya di dalam sistem masyarakat
kapitalis, akal budi lebih banyak digunakan untuk mencari uang dengan
berbagai cara, daripada digunakan untuk bersikap kritis guna mencegah
dampak-dampak negatif dari kapitalisme itu sendiri.
Yang kedua ia juga ingin menegaskan, bahwa kapitalisme merupakan
akar penyebab dari lemahnya cara berpikir kritis di dalam masyarakat.
Dan yang ketiga ia ingin merumuskan suatu praksis politik yang tepat
untuk menghadapi problem-problem yang muncul di dalam masyarakat
kontemporer. Proyek besar dari Honneth adalah merumuskan suatu
bentuk teori kritis yang relevan dan cocok dengan problem-problem
yang dihadapi masyarakat sekarang ini. Dapat juga dibilang Honneth,
dengan arah dan isi argumentasinya, adalah generasi ketiga teori kritis
Frankfurt setelah Horkheimer dan Adorno (generasi pertama), serta
Jürgen Habermas (generasi kedua).
Pada dasarnya teori kritis adalah suatu gaya berpikir yang merentang
ke berbagai bidang. Maka dari itu sangatlah sulit untuk menemukan
satu kesatuan utuh di dalamnya. Namun menurut Honneth ada satu
kesamaan yang mendasari seluruh pemikir di dalam ranah teori kritis,
yakni sikap negatifnya pada realitas faktual. Artinya mayoritas pemikir
teori kritis bersikap negatif dan curiga terhadap semua situasi sosial
yang terjadi, bahkan yang tampak paling positif sekalipun. Honneth
menyebut ini sebagai negativitas sosial (social negativism). Setiap kondisi
sosial tidak pernah merupakan suatu situasi yang positif, karena selalu
menyembunyikan ketidakadilan sosial. Di tangan Honneth teori kritis
tidak lagi hanya berfokus soal keadilan sosial, tetapi juga pada soal
keadilan kultural (terkait dengan konsep hidup yang baik), yakni iklim
yang menghambar perkembangan kultural suatu masyarakat.130
represif (repressive tolerance). Dan Habermas kemudian merumuskan
konsep kolonisasi dunia kehidupan (colonization of lifeworld). Semua
konsep itu sebenarnya menggambarkan satu hal, bahwa masyarakat yang
ada sekarang ini mengalami berbagai krisis dan masalah sosial. Bentuk
krisis dan masalah sosial tersebut bisa diamati di dalam analisis-analisis
para pemikir teori kritis, sesuai dengan gayanya masing-masing.
Menurut Honneth ada satu hal yang kiranya bisa ditemukan di dalam
pemikiran para filsuf tersebut, yakni mereka menjadikan lemahnya sikap
kritis dan rasionalitas masyarakat sebagai sebab utama dari krisis sosial
yang terjadi. “Mereka”, demikian Honneth, “menjaga relasi internal antara
relasi-relasi patologis dan kondisi dari rasionalitas sosial.”131 Konsekuensi
logisnya adalah bahwa sikap kritis dari rasionalitas masyarakat (social
rationality) haruslah dibangkitkan ulang. Jika teori kritis generasi ketiga,
yang berfokus pada masalah-masalah kontemporer hendak dirumuskan,
maka konsep rasio kritis harus juga dirumuskan ulang sesuai kondisi-
kondisi sekarang.132
131 Ibid.
132 Lihat, ibid, hal. 339.
orang diharapkan mampu mempertimbangkan aspek-aspek sejarah yang
dominan pada situasi sekarang, dan mulai mengkaitkan aspek-aspek itu
dengan nilai-nilai kehidupan yang lebih bersifat lokal dan partikular.
Jika hal itu bisa dilakukan, maka mereka akan menjalani hidup yang
bermakna. Hegel memberikan tempat bagi bentuk-bentuk pemikiran
dominan, sekaligus bentuk-bentuk pemikiran yang sifatnya lokal. Yang
terakhir ini disebut Hegel sebagai etika (ethics). Ia juga yakin bahwa semua
krisis sosial terjadi, karena ketidakmampuan masyarakat menghidupi dan
mengekspresikan nilai-nilai lokal yang mereka punyai. Mereka tidak
mampu menegaskan dan mengekspresikan identitas lokal mereka.
Dengan demikian rasionalitas manusia yang bersifat universal dan
etika kultural yang bersifat partikular harus bisa memperoleh tempat
yang semestinya di dalam kehidupan sosial. Konsep rasionalitas universal
memang terdengar abstrak. Akan tetapi konsep itu sebenarnya sangat
mengakar di dalam aktivitas manusia, dan bahkan di dalam kemanusiaan
itu sendiri. Horkheimer mempunyai dimensi itu di dalam filsafatnya,
terutama ketika ia merumuskan pernyataan, bahwa manusia sudah
pada dasarnya terarah untuk menguasai alam dengan menggunakan
rasionalitasnya. Dan penguasaan itu memang ditujukan untuk
mengembangkan kehidupannya. Salah satu pemikir teori kritis terbesar,
Karl Marx, pernah menyatakan bahwa krisis sosial terjadi, karena
rendahnya standar rasionalitas di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat
tersebut, rasionalitas disempitkan untuk semata-mata melakukan
produksi. Rasio absen dari dimensi-dimensi kehidupan manusia lainnya.
kehidupan sosial. Rasionalitas universal tersebut kemudian diterjemahkan
dalam bentuk tindakan konkret manusia di dalam masyarakatnya.
Kesatuan masyarakat yang adil dan makmur hanya dapat tercipta, jika
rasionalitas sungguh mewujud nyata di dalam tindakan orang-orang
yang hidup di dalamnya. “Proses menjauh dari dunia ideal yang dapat
dicapai dengan aktualisasi sosial dari akal budi universal”, demikian tulis
Honneth, “dapat disebut juga sebagai patologi sosial, karena di dalamnya
tidak terjadi aktualisasi diri yang didasarkan pada intersubyektivitas.”134
Namun begitu para pemikir teori kritis kiranya juga yakin bahwa,
selain kekuatan rasionalitas manusia, faktor kebebasan juga memainkan
peranan penting. Kebebasan yang dimaksud disini adalah kebebasan yang
sifatnya kooperatif (cooperative freedom). Ada dua hal yang terkandung di
dalam konsep kebebasan ini. Yang pertama adalah bahwa orang memiliki
kemampuan dan kemauan untuk memilih cara-cara yang dianggapnya
perlu guna mewujudkan potensi-potensi dirinya semaksimal mungkin.
Yang kedua kepenuhan potensi diri itu hanya bisa dicapai, jika secara
langsung beririsan dengan kebaikan seluruh masyarakat (common good).
Kebaikan bersama seluruh masyarakat adalah kebaikan yang telah
disepakati secara rasional oleh seluruh warga masyarakat yang memiliki
kebebasan individual untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya.
Isu-isu yang dibuka oleh para pemikir teori kritis Frankfurt kini
berlanjut di dalam perbebatan antara liberalisme dan komunitarianisme.
Jürgen Habermas yang memang banyak dianggap sebagai tokoh terbesar
teori kritis juga terlibat secara aktif di dalam perdebatan itu. Filsafat
Habermas memang lebih kental nuansa liberalisme, terutama karena ia
sangat menekankan pentingnya otonomi individu.135 Di dalam filsafatnya
ia yakin, bahwa kebebasan individu haruslah berada dalam relasi dengan
kebaikan bersama. Keduanya tidaklah bisa dipisahkan. Dalam arti ini
filsafatnya lebih mendalam dan radikal daripada liberalisme, yang hanya
menjadikan kebebasan individu sebagai titik tolak, tanpa ada usaha
konkret untuk mengkaitkannya dengan kebaikan bersama. Kebaikan
bersama itu biasanya tertanam di dalam keyakinan-keyakinan yang
terdapat di dalam kehidupan sosial. Di dalam keyakinan-keyakinan
itulah proses komunikasi bisa berlangsung. Dengan demikian proses
komunikasi pertama-tama mengandaikan adanya kesamaan titik pijak
sekaligus keberadaan individu yang memiliki kebebasan.
135 Lihat, Reza A.A Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Yogyakarta,
2007.
teori kritis, subyek justru bisa mengembangkan dirinya, sejauh ia terlibat
dan menghidupi nilai-nilai sosial yang ada di dalam masyarakatnya.
dan metode ilmiah semata. Seperti yang ditulis oleh Marcuse, dorongan
kehidupan juga memilki aspek estetik yang melibatkan rasionalitas.
Aspek estetik inilah yang memungkinkan manusia mengambil jarak
dari krisis, dan kemudian melampauinya dengan menggunakan
kekuatan rasionalitas. Tentu saja pendapat Marcuse tersebut sangatlah
kontroversial. Aspek estetik seringkali tidak membawa manusia pada
rasionalitas, namun justru menyesatkannya di dalam kebuntuan.136
klasik, dan tetap mempertahankan semangatnya untuk menganalisis
jaman ini.
hubungan dialog antara dua orang yang saling berbicara. Dalam arti ini
dialog kehilangan dimensi rigorus saintifiknya, dan menjadi percakapan
rasional untuk memahami suatu persoalan. Selain itu Gadamer juga
membaca tulisan-tulisan Aristoteles, terutama pada bagian etika.
Gadamer menjadikan etika sebagai dasar bagi hermeneutika. Tujuan
utamanya tetap yakni melepaskan hermeneutika dari ilmu pengetahuan
yang cenderung rigorus, saintifik, dan sifatnya instrumental.
137 Pada bagian ini saya mengacu pada Grondin, Jean, “Gadamer’s Basic Understanding of
understanding”, dalam Cambridge Companion to Gadamer, Cambridge University Press,
Cambridge, hal. 36.
berarti untuk menggenggamnya dengan kekuatan akal budi. Inilah arti
dasar dari hermeneutika sebagai proses untuk memahami sesuatu, atau
memahami teks.
Di dalam hidupnya manusia selalu mencari arah baru untuk
dituju. Untuk menemukan arah yang tepat, manusia haruslah memiliki
pengertian yang tepat tentang dirinya sendiri. Hanya dengan memahami
diri secara tepatlah manusia bisa mewujudkan potensi-potensinya
semaksimal mungkin. Di dalam proses merumuskan filsafatnya,
Gadamer sangat terpengaruh pada filsafat Heidegger, terutama tentang
fenomenologi adanya. Namun Gadamer tidak mengikuti jalur yang
telah dirintis oleh Heidegger, yakni proses untuk memahami eksistensi
ada melalui manusia. Gadamer memfokuskan hermeneutikanya lebih
sebagai bagian dari penelitian ilmu-ilmu manusia. Untuk memahami
manusia menurutnya, orang harus peduli dan mampu memaknai
manusia tersebut dalam konteksnya. Kepedulian dan pemaknaan itu
membuat tidak hanya teks yang menampilkan dirinya, tetapi juga si
peneliti yang membentuk makna di dalam teks itu.
namun ada hal-hal mendasar yang telah disetujui sebelumnya, ketika
orang mengerti.
Yang kedua menurut Gadamer, setiap bentuk persetujuan selalu
melibatkan dialog, baik dialog aktual fisik, ataupun dialog ketika
kita membaca satu teks tulisan tertentu. Di sisi lain persetujuan
juga selalu melibatkan bahasa dan percakapan. Inilah yang disebut
Gadamer sebagai aspek linguistik dari pengertian manusia (linguistic
elements of understanding). Dalam arti ini untuk memahami berarti
untuk merumuskan sesuatu dengan kata-kata, dan kemudian
menyampaikannya dengan kejernihan bahasa. Bagi Gadamer elemen
bahasa untuk mencapai pengertian ini sangatlah penting. Bahkan ia
berpendapat bahwa pengalaman penafsiran (hermeneutic experience)
hanya dapat dicapai di dalam bahasa. Maka perlulah ditegaskan bahwa
bagi Gadamer, tindak memahami selalu melibatkan kemampuan untuk
mengartikulasikannya di dalam kata-kata dan menyampaikannya
di dalam komunikasi. Di dalam proses ini, peran bahasa sangatlah
penting.
yang menyampaikan pesan tertentu. Semua bentuk komunikasi
itu bisa membuka ruang untuk penafsiran dari pendengar ataupun
penerima pesan. Tentu saja orang bisa salah tangkap, sehingga tercipta
kesalahpahaman. Namun hal itu terjadi, karena orang tidak mampu
menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Maka dari itu di dalam
komunikasi, kita perlu memperhatikan juga apa yang tak terkatakan, di
samping juga mendengarkan apa yang terkatakan. Dengan demikian
walaupun sifatnya terbatas, namun bahasa, dalam arti luas, merupakan
alat komunikasi yang universal untuk mencapai pemahaman.
dipahami dengan berpusat pada bagian-bagian teks tersebut, dan
sebaliknya bagian-bagian teks itu dapat dipahami dengan memahami
keseluruhan teks. Tujuan utama Gadamer adalah untuk memahami
teks di dalam kerangka berpikir yang lebih menyeluruh, dan bukan
hanya terjebak pada apa yang tertulis atau terkatakan saja. Teks harus
ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yang tentunya melibatkan
teks-teks lainnya. Ini adalah salah satu kriteria untuk mendapatkan
pemahaman yang tepat, menurut Gadamer.141
Bagi Heidegger fokus dari pengertian manusia adalah untuk
memahami masa depan dari eksistensi manusia. Sementara bagi
Gadamer fokus dari pengertian adalah upaya untuk memahami
masa lalu dari teks, serta arti sebenarnya dari teks tersebut. Juga
bagi Heidegger proses menafsirkan untuk memahami sesuatu selalu
mengandaikan pemahaman yang juga turut serta di dalam proses
penafsiran tersebut. Artinya untuk memahami orang perlu untuk
memiliki pemahaman dasar terlebih dahulu. Sementara bagi Gadamer
konsep lingkaran hermeneutis mencakup pemahaman bagian-bagian
melalui keseluruhan, dan sebaliknya. Maksud utuh dari teks dapat
dipahami dengan memahami bagian-bagian dari teks tersebut. Dan
sebaliknya bagian-bagian dari teks dapat dipahami dengan terlebih
dahulu memahami maksud keseluruhan dari teks tersebut.
bahwa walaupun filsafat Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran
Gadamer, namun keduanya tidaklah sama. Gadamer memang
mendapatkan banyak sekali inspirasi dari Heidegger. Namun ia
kemudian mengembangkannya serta menerapkannya pada hal yang
lebih spesifik, yakni proses penafsiran tekstual di dalam literatur
dan filsafat. Inilah inti dari Hermeneutika Gadamer. Ia memberikan
kepada kita prinsip-prinsip untuk menafsirkan teks-teks dari masa
lalu, maupun teks sebagai realitas yang kita hadapi dan alami sehari-
hari.
dalam filsafat Nietzsche. Gadamer menyediakan prinsip-prinsip yang
perlu diperhatikan bagi orang untuk membaca teks, memahaminya, dan
kemudian mengembangkannya.
143 Pada bab ini saya mengacu pada Royle, Nicholas, Derrida, Routledge, London, 2003.
144 Lihat, ibid, hal. 21.
dan menggambarkan realitas. Ada keterkaitan yang mendalam antara
menggambarkan (to describe) dan mengubah (to transform). Titik
berangkat Derrida adalah teori tindakan tutur (speech act theory) yang
banyak dikembangkan di dalam teori komunikasi maupun linguistik.
Sebelum merumuskan pemikirannya sendiri secara orisinil, ia banyak
mendalami teori tindakan tutur, terutama seperti yang dirumuskan
oleh J.L Austin. Buku yang menjadi acuan utama Derrida adalah
How to do Things with Words, karangan Austin. Menurut Austin setiap
tindakan berbicara manusia dapat diartikan dengan dua cara, yakni
secara konstatif, atau secara performatif.
pasukan, mengungsikan warga-warga di daerah berbahaya, dan
sebagainya.
11.2. Dekonstruksi
Dengan demikian Derrida tidak hanya menggambarkan maksud
teks-teks yang dibacanya secara persis, tetapi juga mengubahnya
menjadi teks yang memiliki makna baru. Dua konsep itu yakni
deskripsi/penggambaran (description) dan transformasi (transformation)
dapat digabungkan menjadi dekonstruksi (deconstruction). Sekilas
konsep dekonstruksi ini tampak aneh dan kontradiktif. Bagaimana
mungkin membaca secara tepat, sekaligus mengembangkan makna
teks dengan mengubahnya? Namun itulah yang kiranya dilakukan
Derrida. Menurut penelitian Nicholas Royle, Derrida sendiri tidak
begitu suka dengan kata tersebut. Konsep itu pun melepaskan diri dari
Derrida, dan mulai menjadi sebuah paham, yakni sebuah isme. Sejak
saat itu konsep dekonstruksi terus menjadi subyek perdebatan banyak
pemikir lintas displin ilmu.
Maka dapatlah dikatakan bahwa hakekat dari dekonstruksi itu sifatnya
plural. Tidak ada satu definisi utuh yang bisa menjelaskan makna
terdalam dari dekonstruksi.
yang diterapkan Derrida tidak mau memberikan pandangan umum
mengenai filsafat, melainkan lebih tertarik bermain dengan detil-detil
yang sebelumnya tidak diperhatikan. Bahkan satu kalimat kecil yang
tampaknya tidak bermakna bisa menjadi titik tolak untuk mengubah
makna keseluruhan teks. Derrida lebih jauh menambahkan, bahwa
dekonstruksi sudah selalu berada di dalam teks itu sendiri. Dengan kata
lain setiap teks sudah selalu memiliki potensi untuk medekonstruksi,
atau men-destabilisasi, dirinya sendiri. Dengan dasar ini ia pernah
menyatakan, bahwa segala sesuatu di dalam teks selalu bisa dipisah
dan dibagi terus menerus. Tidak ada bagian dari teks yang sifatnya
stagnan atau permanen. Tidak ada atom di dalam teks.
Jika tidak ada kesatuan utuh yang sifatnya permanen di dalam teks,
maka teks selalu bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu
berbeda. Tidak ada tafsiran dominan yang sifatnya otoritatif. Dengan
ini kita bisa memahami beberapa konsep lainnya yang kiranya identik
dengan pemikiran Derrida, yakni differance, jejak-jejak, dan iterabilitas.
Kata differance adalah kata yang aneh. Kata ini tidak terdapat di dalam
kamus bahasa manapun. Kata itu sendiri terdiri dari dua kata yakni
untuk membedakan (to differ), dan untuk menunda kepastian (to
defer). Kebenaran dan makna di dalam teks harus terus dibedakan dan
ditangguhkan kepastiannya.147
tanda yang bisa terus diulang dan dibedakan sesuai dengan horison
pembaca dan penafsirnya.
tidak pernah stabil, karena itu memiliki potensi untuk mengubah, dan
menambahkan apa yang sebelumnya tidak ada.
namun sama nyatanya seperti teks itu sendiri. Dekonstruksi itu sendiri
adalah teks.
Daftar Pustaka
Ashworth, E.J., “Language and Logic”, dalam The Cambridge Companions
to Medieval
Grondin, Jean, “Gadamer’s Basic Understanding of understanding”,
dalam Cambridge Companion to Gadamer, Cambridge University
Press, Cambridge
Internet:
http://plato.stanford.edu/entries/kant-metaphysics/, “How are synthetic a
priori propositions possible?
http://en.wikipedia.org/wiki/Dialectic#Hegelian_dialectic
INDEKS
Analisis 6, 20, 53, 63, 72, 73, 120, 160, 165, 171, 200, 219, 220,
222, 229, 244
Antropologi 9, 95, 96
Aphorisme 187, 188, 189, 190, 193, 194
Archē 129, 131
Aristoteles 17, 84, 129, 130, 131, 132, 139, 146, 159, 188, 204,
205, 206, 208, 212, 213, 230, 233
Definisi 15
Dekonstruksi 239, 243, 244, 245, 247, 248, 249
Derrida 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 250
Descartes 41, 112, 113, 114, 116, 117, 118, 149, 150, 153, 161,
165, 179, 180, 181, 182, 212, 213
deskripsi 12, 14, 20, 21, 23, 31, 32, 67, 68, 117, 121, 196, 243
Dewey 17, 18, 25, 81
Dialektika 139, 140, 183, 185, 186, 187
Dialog 23, 32, 34, 49, 53, 57, 73, 81, 136, 194, 230, 234
Diogenes 144, 145
Eksistensi 13, 18, 58, 119, 160, 196, 197, 216, 232, 238, 239
Elenchus 129, 133
Epistemologi 9, 11, 19, 74
Gadamer 229, 230, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239,
240, 250
Habermas 81, 86, 221, 222, 225, 226, 227, 228, 229
Hegel 31, 87, 112, 119, 120, 127, 173, 177, 178, 179, 182, 183,
184, 185, 186, 187, 220, 223, 225, 250
Heidegger 113, 183, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210,
211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 232, 233, 236,
238, 239, 249
Herakleitos 192, 193
Hermeneutika 57, 229, 230, 231, 232, 234, 237, 238, 239
hipotesis 18, 38, 61, 62, 63, 64, 65, 71, 72, 132, 133, 155
Honneth 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 228, 229, 250
horison 188, 201, 202, 239, 246
Horkheimer 81, 219, 220, 221, 222, 224, 225, 226
Hume 31, 39, 150, 151, 152, 153, 156, 158, 162, 163, 164, 165, 180
Husserl 13, 112, 113, 114, 121, 122, 123, 124, 125, 195, 196, 197, 198,
199, 200, 201, 202, 204, 207, 209, 210, 211, 212, 216, 218, 250
Ideologi 86
Kant 31, 86, 112, 113, 114, 116, 118, 120, 153, 154, 155, 156, 157,
158, 159, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172,
173, 179, 180, 181, 182, 184, 212, 213, 214, 234, 249, 250
Karl Popper 35, 64
Kierkegaard 13, 14
Komunitarianisme 226, 227
Kontemplasi 17
Merleau-Ponty 7, 10, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119,
120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127
Metafisika 78, 83, 87, 88, 91, 92, 93, 131, 150, 154, 155, 162,
168, 169, 170, 171, 172, 206, 213, 214, 215
Metodologi 5, 6, 7, 11, 12, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 55,
61, 62, 65, 68, 70, 73, 81, 82, 83, 84, 85, 88, 89, 90, 92, 93, 195
Modernitas 174, 175, 176, 177
Nietzsche 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 240, 250
Ontologi 20, 35, 57, 195, 202, 203, 204, 205, 212, 213, 214, 215,
218, 219
Plato 17, 31, 80, 86, 205, 230, 233, 242, 246, 247
Positivisme logis 77
Posmodernisme 7, 10, 129
Prinsip 12, 33, 35, 38, 42, 43, 45, 48, 50, 72, 82, 116, 120, 130, 131, 132,
133, 137, 138, 141, 161, 163, 164, 169, 171, 179, 224, 239, 240
Realitas 32, 39, 41, 52, 86, 111, 112, 130, 131, 132, 133, 136, 139, 142,
150, 151, 153, 167, 173, 174, 177, 178, 180, 184, 185, 186, 187,
188, 189, 198, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 213, 214,
215, 218, 219, 222, 230, 231, 239, 240, 241, 247, 248
Reduksi 112, 113, 122, 123, 124, 125
Rekonstruksi rasional 21
Schopenhauer 193
Skeptik 146, 147, 150, 153
Skeptisisme 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 155,
162, 180
Soedjatmoko 88, 94
Sokrates 31, 129, 130, 132, 134, 135, 136, 192, 202
Subyektivitas 14, 23, 78, 79, 84, 92, 93, 120, 179, 180, 181, 182,
208, 209, 211
Teori 45, 61, 62, 74, 93, 218, 219, 220, 228
Teori kritis 219, 221, 222, 224, 225, 226, 227, 228, 229
Thomas Kuhn 35, 84
Transendental 87, 90, 92, 93, 112, 113, 116, 121, 122, 123, 124, 156,
198, 210, 211
Variabel 58, 71
Whitehead 9, 22, 25, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 49, 50,
51, 52, 53, 54, 81
Wittgenstein 31, 77, 82, 83, 84, 94
Yunani Kuno 7, 10, 129, 130, 131, 133, 136, 139, 146, 190, 192, 204,
205, 240, 249
BIODATA PENULIS
1. Anton Bakker
Lahir di Amsterdam, 1931. Ia mengunjungi Indonesia pada tahun
1951, dan menyempatkan diri belajar bahasa dan kebudayaan Indonesia
dengan fokus utama budaya Jawa. Selain itu Anton Bakker mendalami
ilmu filsafat dan teologi di Yogyakarta sampai tahun 1964. Program doktor
bidang filsafat ditempuh Anton Bakker pada Universitas Katolik Leuven,
Belgia dan Sekolah Tinggi Filsafat Berchmanium, Nijmegen, Nederland.
Pada tahun 1967, ia meraih gelar doktornya dengan disertasi yang
mengangkat persoalan sekitar relasi metafisik dalam filsafat Thomisme.
Setahun kemudian, tepatnya 1968, ia mengajar di jurusan Filsafat dan
Sosiologi Pendidikan, IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta. Sejak 1972,
Anton Bakker mengabdikan dirinya sebagai dosen filsafat pada Fakultas
Filsafat Unversitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan menghasilkan banyak
karya tulis, baik berupa diktat perkuliahan dalam berbagai cabang filsafat,
maupun artikel-artikel ilmiah bidang filsafat manusia. Dua karya Anton
Bakker yang terkait langsung dengan metodologi penelitian bidang filsafat
adalah buku berjudul; Metode-Metode Filsafat (1984) dan Metodologi
Penelitian Filsafat (1990) yang ditulis bersama Achmad Charris Zubair.
2. J. Sudarminta
Dalam periode 1998-2007, J. Sudarminta adalah Ketua STF
Driyarkara, Jakarta. Ia meraih gelar doktor dalam bidang filsafat di
Fordham University, New York, Amerika Serikat dengan disertasi
berjudul “Toward An Integrative View of Science and Value; A Study of
Whitehead’s Philosophy of Organism As An Integral Worldview”. Ia menulis
banyak makalah seminar dan diterbitkan dalam beberapa majalah. Ia juga
menyumbangkan tulisan dalam buku Manusia Multi Dimensional (editor;
Sastrapratedja, 1985) dan Pemuda dan Perkembangan Iptek dalam Perspektif
Agama (editor; Musa Asy’arie, dkk., 1989). Karya tulis hasil terjemahannya
terpublikasi melalui buku-buku antara lain; Ilmu Pengetahuan dan Kitab
Suci (terjemahan karya Sean P. Kealy, 1994), Menuju Keselamatan Jasmani
dan Rohani (terjemahan karya Louis Hughes, 1994), dan Kajian Tentang
Manusia (terjemahan karya Michael Polanyi, 2001). Buku karya tulisnya
sendiri, antara lain; Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat
Alfred North Whitehead (1991) dan Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat
Pengetahuan (2002). Buku hasil karya editingnya bersama Th. Hidya
Tjaya, Sj.; Menggagas Manusia Sebagai Penafsir (2005), serta buku hasil
karya editingnya sendiri; Dunia, Manusia, dan Tuhan (2005).
3. M. Amin Abdullah
Selama dua periode (2002-2005 dan 2006-2010), ia menjabat sebagai
Rektor Institut Agama Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
M. Amin Abdullah yang lahir pada 28 Juli 1953 di Margomulyo, Tayu,
Pati, Jawa Tengah ini menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana Muda
(Bakalaureat) di Institut Pendidikan Darussalam (IPD) Pesantren
Gontor (1977) dan Program Sarjana (1982) di Fakultas Ushuluddin,
Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada
tahun 1985, ia mulai melanjutkan studinya pada program doktor bidang
Filsafat Islam di Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences,
Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki dan selesai
pada tahun 1990 dengan disertasi berjudul; The Idea of University of
Ethical Norms in Ghazali and Kant. Selama setahun (1997-1998), ia
mengikuti program Post-Doctoral di McGill University, Kanada. Selain
disertasinya diterbitkan di Turki 1992, karya-karya ilmiah M. Amin
Abdullah juga telah diterbitkan di Indonesia, antara lain; Falsafah Kalam
di Era Postmodernisme (1995); Studi Agama: Normativitas atau Historisitas
(1996); Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman
Kontemporer, (2000); Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam
(2002); dan Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius (2005).
Karya hasil terjemahannya yang telah diterbitkan antara lain; Agama dan
Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (1985);
dan Pengantar Filsafat Islam: Abad Pertengahan (1989).
4. M. Mukhtasar Syamsuddin
Lahir di tanah Luwu, Palopo, Sulawesi Selatan, 2 Februari 1968. Ia
bersekolah di Pesantren IMMIM Makassar, Sulawesi Selatan (1981-
1987), lalu pada tahun 1987 ia beranjak ke Yogyakarta untuk mengikuti
kuliah program sarjana di IAIN Sunan Kalijaga dan Fakultas Filsafat,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Gelar sarjana (Doktorandus)
diperoleh dari Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (1992).
Pada awal tahun 2011, karyanya berjudul “Teologi Pembebasan dalam
Konteks Pluralitas Agama di Asia”, sebuah buku yang diangkat dari
tesis program magister filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah
Mada (2000) diterbitkan. Program doktor dalam bidang Comparative
Philosophy ditempuhnya sejak tahun 2001 dan meraih gelar Ph.D of
Arts dari Department of Philosophy, School of Humanities, Hankuk
University of Foreign Studies, Korea Selatan pada tahun 2006 dengan
disertasi berjudul; Merleau-Ponty’s Solution to the Mind-Body Problem
and its Philosophical Implications in Toegye’s Concept of Self-Cultivation.
Sebagai kontributor, karya-karyanya termuat dalam beberapa antologi,
antara lain; Pendidikan di Korea (Peluang dan Tantangan Penerapannya di
Indonesia) dalam buku berjudul “Dua Dunia; Pengalaman Lintas-Budaya
Mahasiswa Indonesia di Korea” (2006); Menakar Etos Kerja Orang Bugis-
Makassar menurut Tradisi Bangsa Jepang dalam buku berjudul “Apropriasi
Embrio Sulawesi Selatan di Yogyakarta, Masyarakat Sulawesi Selatan”
(2010). Kini, M. Mukhtasar Syamsuddin menjabat sebagai Dekan
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (periode 2008-2012).
5. P. Hardono Hadi
Dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah, pada 19 Juni 1952. Ia memperoleh
ijazah Sarjana Muda Filsafat pada tahun 1974 dan menyandang gelar
sarjana (Doktorandus) bidang teologi sejak tahun 1978, keduanya dari
IKIP Sanata Dharma Yogyakarta. Pada tahun 1982, ia melanjutkan
pendidikan untuk mempelajari filsafat di “Graduate School of Arts and
Sciences”, Fordham University, New York, Amerika Serikat. Gelar Master
diterimanya pada tahun 1986 dan gelar Doktor pada tahun 1989. Saat
ini, P. Hardono Hadi mengajar filsafat di beberapa perguruan tinggi di
Yogyakarta, antara lain di Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma,
Seminari St. Paulus, dan Program Pascasarjana, Fakultas Filsafat,
Universitas Gadjah Mada. Karya-karyanya yang telah diterbitkan,
antara lain; Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) (1994) dan Hakikat &
Muatan Filsafat Pancasila (1994). Ia menyumbangkan tulisannya dalam
buku; Kepemimpinan Religius Masa Kini (Peny.; Achmad Maulani dan
Amiddanal Khusna) (2007) dan buku karya bersamanya dengan Simon
Danes, Simon & Christoper Danes; Masalah-masalah Moral Sosial Aktual
dalam Perspektif Iman Kristen (2007).
(2008), Filsafat Kritis Immanuel Kant (2010), Bangsa Pengumbar Hasrat
(2010), Menebar Garam di Atas Pelangi (artikel dalam buku, 2010),
Ruang Publik (artikel dalam buku, 2010), menjadi editor untuk satu buku
tentang Filsafat Manusia (Membongkar Rahasia Manusia: Telaah Lintas
Peradaban Filsafat Timur dan Filsafat Barat, Kanisius, Yogyakarta, 2010),
serta beberapa artikel ilmiah di jurnal ilmiah, maupun artikel filsafat
populer di media massa. Kini sedang menulis buku tentang pemikiran
Slavoj Žižek terkait dengan konsep manusia dan ideologi. Bidang
peminatan adalah Filsafat Politik, Multikulturalisme, dan Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Dapat dihubungi di reza.antonius@gmail.com atau dilihat
di Rumah Filsafat http://rezaantonius.wordpress.com/
7. S. Takdir Alisjahbana
Lahir di Natal, Tapanuli Selatan, 11 Februari 1908, dan meninggal
pada 17 Juli 1994. Semula ia bersekolah di HD Bangkahulu, namun
kemudian melanjutkannya ke Kweekschool di Muara Enim dan HBS,
Bandung. Ia memperoleh gelar Meester in de rechten (Sarjana Hukum)
dari RHS ( Recht HogeSchool), Jakarta pada tahun 1942. Selain
berpendidikan ilmu hukum, S. Takdir Alisjahbana juga mendalami
ilmu bahasa umum, kebudayaan Asia, dan filsafat. Peranannya dalam
pengembangan sastra, budaya, dan bahasa sangat besar. Di bidang
sastra, ia telah menghasilkan banyak karya tulis, antara lain; Tak Putus
Dirundung Malang (1929), Dian Tak Kunjung Padam (1932), Layar
Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941), Grotta
Azzura (1970), Tebaran Mega, Kalah dan Menang (1978), Puisi Lama
(1941), dan Puisi Baru (1946). Karyanya di bidang bahasa; Tata bahasa
Bahasa Indonesia (1936), dan Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa
Indonesia (1957) di bidang sosial dan budaya; Revolusi Masyarakat dan
Kebudayaan di Indonesia (1966), dan di bidang filsafat; Pembimbing
ke Filsafat (1946). Kedudukan yang pernah dijabat oleh S. Takdir
Alisjahbana sebagai berikut; Rektor Universitas Nasional, Jakarta; Ketua
Akademi (Kesenian) Jakarta (Taman Ismail Marzuki); Ketua Himpunan
Filsafat Indonesia, Jakarta; Ketua International Association for Art and
the Future; Pemimpin Balai Seni Toyabungkah, Bali; Pemimpin Pusat
Penerjemahan Nasional, Jakarta; Wakil Ketua Yayasan Memajukan Ilmu
dan Kebudayaan (YMIK), Jakarta; Pemimpin Umum Majalah “Ilmu dan
Budaya”; Ketua Philosophy and the Future of Humanity.