Вы находитесь на странице: 1из 253

METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT

BUKU AJAR
METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT

Kontributor:
Anton Bakker, Sutan Takdir Alisjahbana, M. Amin Abdullah,
Toety Heraty Noerhadi, J. Sudarminta, P. Hardono Hadi
M. Mukhtasar Syamsuddin, Reza A.A Wattimena

Editor:
Reza A.A Wattimena

Universitas Penerbit UNIKA


Gadjah Mada Kanisius Widya Mandala
Metodologi Penelitian Filsafat
072234

© 2011 Kanisius

PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI)


Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281, INDONESIA
Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011, INDONESIA
Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349

E-mail : office@kanisiusmedia.com
Website : www.kanisiusmedia.com

Cetakan ke- 3 2 1
Tahun 13 12 11

Desain isi : G. Neno P.


Desain cover : Jaya Supeno

Diterbitkan dalam kerja sama dengan:


Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

ISBN 978-979-21-2940-3

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari Penerbit

Dicetak oleh Percetakan Kanisius Yogyakarta


PRAKATA

H ubungan antara konsep-konsep metodologi dan metode dalam


penelitian filsafat senantiasa membingungkan. Sering dijumpai
seseorang menuliskan atau menggunakan istilah ‘metodologi’,
sementara apa yang ia kerjakan dalam aktivitas penelitiannya sebetulnya
menggambarkan metode. Sejatinya hal ini tidak perlu terjadi, lantaran
jalinan sistemik yang berlangsung dalam baik perkembangan ilmu
maupun aktivitas keilmuan, metodologi selalu lebih dahulu dan lebih
fundamental sifatnya, jika dibandingkan dengan metode.

Metodologi menyediakan dasar bagi metode. Logika atas posisi


metodologis seorang peneliti dapat digambarkan dengan menjelaskan
pandangan peneliti yang bersangkutan terhadap sifat dasar kenyataan.
Posisi metodologis kaum positivis , misalnya, berbeda dengan kaum
fenomenologis. Bagi kaum positivis, fakta adalah sumber yang
menghadirkan obyek. Sedangkan bagi kaum fenomenologis, dunia
sebagai fakta (setidak-tidaknya dunia yang dieksplorasi) merupakan
suatu makna yang dibangun secara intersubyektif.

Persoalan lain yang seringkali dijumpai adalah ketatnya pembagian


metode kualitatif dan kuantitatif dalam dunia penelitian. Pembagian
ini tidak perlu membingungkan, sebab dalam sebuah penelitian bidang
filsafat, metode kualitatif dan kuantitaf dapat digunakan secara bersama


dan dalam tahap kegiatan penelitian yang sama. Pada suatu kegiatan
penelitian, observasi misalnya, harus disikapi sebagai metode fundamental
dalam pengumpulan data. Melalui observasi, baik langsung maupun
tidak langsung, peneliti dalam bidang filsafat dapat mengumpulkan hasil
observasi pribadinya dari responden. Model-model ini mungkin dengan
sendirinya sudah memiliki struktur tertentu. Namun ketika peneliti
melakukan pengumpulan data, peneliti dapat memunculkan struktur
tersebut dari proses analisis filsafat yang akan dilakukan.

Fenomena membingungkan seperti tadi, menyeruak kembali ketika


rancangan penerbitan buku ajar ini dipersiapkan. Bedanya, kebingungan
kali ini dialami dalam menentukan judul buku; apakah “Metodologi
Penelitian Filsafat” ataukah “Metode Penelitian Filsafat”. Jadi bukan
lantaran adanya kesalahkaprahan dalam memahami posisi metodologi
dan metode, atau karena adanya ikatan ketat dalam dikotomi metodis
penelitian kuantitatif dan kualitatif, tetapi karena bahan-bahan yang
dikumpulkan bersumber dari artikel-artikel yang memang bertaut
dengan metodologi pada satu bagian dan metode pada bagian yang lain.
Demikian juga obyek material yang disasar dalam masing-masing artikel
cukup bervariasi, dari corak kualitatif sampai kuantitatif.

Al hasil buku ajar ini terbit dengan judul “Metodologi Penelitian


Filsafat”, walaupun beberapa tulisan mengangkat “metode” dalam
uraiannya. Alasan pertama, tentu karena secara paradigmatik, metodologi
dipahami sebagai ilmu tentang metode yang jika coba dikaitkan dengan
penelitian, maka dalam wacana filsafat, metodologi termasuk salah
satu bagian pokok kajian, setidak-tidaknya dalam epistemologi dan
filsafat ilmu pengetahuan. Alasan kedua dan tidak kalah pentingnya
untuk dikemukakan adalah sebagian besar artikel dalam buku ajar ini
bersumber dari makalah-makalah yang pernah dipresentasikan dalam
sebuah simposium nasional bertema “Metodologi Penelitian Filsafat”
yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada
pada 29-30 Juni 1991di Yogyakarta.


Sesungguhnya, makalah-makalah simposium nasional itu bervariasi,
dalam arti tidak seluruhnya berkaitan dengan metodologi penelitian
filsafat saja, namun merambah ke wilayah penelitian agama, sosial, dan
bahkan bidang ilmu alam. Untuk memenuhi relevansi dan keperluan
khusus penerbitan buku ajar ini, maka sengaja dipilihkan makalah-
makalah yang mengurai metodologi dan metode penelitian bidang ilmu
filsafat. Hal lain, untuk memperluas horizon metodologis dalam dunia
penelitian filsafat, dalam buku ajar ini ditambahkan dua artikel yang
tidak bersumber dari simposium nasional di atas. Kedua artikel dimaksud,
secara langsung berhubungan dengan “Metode Berfilsafat” yang masing-
masing ditulis oleh Reza A.A. Wattimena dengan judul “Berbagai Bentuk
Metode Berfilsafat: Sebuah Tinjauan Historis Sistematis dari Masa
Yunani Kuno sampai Posmodernisme” dan oleh Mukhtasar Syamsuddin
dengan judul “Metode Refleksi Fenomenologis Merleau-Ponty”.

Akhirnya, diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang


mengijinkan makalah yang telah dipresentasikan pada simposium nasional
tahun 1991 untuk diterbitkan melalui buku ajar ini. Demikian juga, tidak
luput diucapkan terima kasih kepada Pimpinan Fakultas Filsafat UGM,
Yogyakarta dan Fakultas Filsafat Widya Mandala, Surabaya yang telah
bersama-sama mengupayakan penerbitan buku ajar ini yang sekaligus
dapat menunjukkan jalinan kerjasama institusional dan komitmen kedua
lembaga dalam mengembangkan pendidikan filsafat secara umum dan
metodologi penelitian filsafat secara khusus di Indonesia.

Mukhtasar Syamsuddin


DAFTAR ISI

Prakata ........................................................................................................................ 5

Kebenaran dan Metodologi Penelitian Filsafat:


Sebuah Tinjauan Epistemologi
Oleh: P. Hardono Hadi ......................................................................................... 11

Metodologi Penelitian Filsafat


Oleh: Toeti Heraty Noerhadi ............................................................................. 27

Metode Penelitian Filsafat:


Belajar dari Filsuf Alfred N. Whitehead
Oleh: J. Sudarminta ................................................................................................ 37

Penelitian pada Bidang IlmuFilsafat:


Perbandingan Usulan Penelitian
Oleh : Anton Bakker ............................................................................................ 55

Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama


Oleh : M. Amin Abdullah ................................................................................... 75

Metoda Pengertian dan Antropologi Filsafat


Oleh : S. Takdir Alisjahbana ............................................................................... 93


Metode Refleksi Fenomenologis Maurice Merleau-Ponty
Oleh: Mukhtasar Syamsuddin............................................................................ 109

Berbagai Bentuk Metode Berfilsafat:


Sebuah Tinjauan Historis Sistematis
dari Masa Yunani Kuno sampai Posmodernisme
Oleh: Reza A.A Wattimena ................................................................................ 127

Indeks ........................................................................................................................... 242

Biodata Penulis ......................................................................................................... 247


KEBENARAN DAN
METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT:
SEBUAH TINJAUAN EPISTEMOLOGI
OLEH: P. HARDONO HADI

D i dalam makalah ini, perhatian akan difokuskan pada masalah


“kebenaran”, yang ditinjau secara epistemologis, dan “metodologi
penelitian filsafat”. Karena “kebenaran” tersebut dibicarakan di dalam
kerangka epistemologi, maka di dalam pendahuluan ini akan disajikan
pengertian “epistemologi” dan “metodologi” secara singkat, agar
pembicaraan kita menemukan fokusnya yang jelas.

Epistemologi atau filsafat pengetahuan adalah cabang filsafat yang


mempelajari kodrat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-
pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban umum terhadap
sebutan pengetahuan.2 Namun, kejelasan rumusan ini sendiri tergantung
kepada pengertian pengetahuan. Maka untuk sementara kita menerima
saja pengertian “pengetahuan” yang diterima umum sebagai kepercayaan
yang terbukti benar.3 Tetapi di dalam definisi singkat ini pun masih terdapat

1 Prasarana dalam Simposium nasional Metodologi Penelitian Filsafat 27-28 Juni 1991,
di Yogyakarta.
2 Hamlyn, D.W., History of Epistemology, dalam Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, ed. Paul
Edwards, Macmillan Publishing Co., Inc & The Three Press, New York, 1967, hal. 8.
3 Quinton, Anthony, “Knowledge and Belief” di dalam The Encyclopedia of Philosophy, vol. 4,
hal. 345.


kekaburan mengenai maksud persis dari kata “bukti” dan “benar”. Bukti
umumnya dituntut demi mendapatkan “kepastian” mengenai kebenaran
yang dicapai. Dalam kaitan dengan ini, kita hanya akan membicarakan
apa yang dimaksud dengan “kepastian” dalam kaitan langsungnya dengan
kebenaran epistemologis. Kita tahu bahwa kata “benar” sendiri merupakan
persoalan yang tidak begitu sederhana di dalam epistemologi. Untuk itu
kita harus membicarakan masalah “kebenaran” ini.

Selanjutnya, “metodologi”4 dalam arti ketat dapat dimengerti


sebagai “ilmu atau deskripsi mengenai metode-metode atau prosedur
yang digunakan di dalam suatu kegiatan tertentu”. Namun kata tersebut
umumnya digunakan juga sebagai “suatu penyelidikan atau penelitian
terhadap maksud-maksud tertentu, yaitu KONSEP, dan prinsip-prinsip
penalaran ilmu tertentu, dan hubungan-hubungan antara bagian-bagian
ilmu bersangkutan”. Dengan demikian metodologi suatu ilmu cakup
“usaha-usaha untuk menganalisis dan menelaah tujuan, konsep-konsep
pokok (misalnya: penjelasan, penyebaban, percobaan, probabilitas),
metode-metode yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut,
pembagian ilmu tersebut di dalam cabang-cabangnya, hubungan antara
cabang-cabang tersebut, dan sebagainya”.

Maka pembicaraan kita pada kesempatan ini akan dipusatkan pada


dua pokok masalah, yaitu “kebenaran” dan “metode penelitian filsafat”
yang juga mencakup sebuah usulan.

Kebenaran5
Obyek Pengetahuan dan Kebenaran Obyektif
Sebagaimana telah kita sebut di atas, menurut pendapat yang
diterima banyak pihak, “pengetahuan” adalah “keyakinan yang terbukti
benar”. “Kebenaran” umumnya dimengerti sebagai “kesesuaian antara

4 The Harper Dictionary of Modern Thought, ed. Alan Bullock and Oliver Stallubrass,
Harper and Row, Publisher, New York, 1977, hal. 387
5 bdk. Gallagher, Kenneth T., The Philosophy of Knowledge, Fordham University Press,
New York, 1982.


pikiran dan kenyataan”. Dari rumusan ini terdapat kesan, bahwa pikiran
hanya pasif saja berdiri di depan obyek, dan menantikan obyek itu
sendiri mengecap pikiran, dan pikiran tinggal menyetujuinya. Dalam
pengertian ini, “mengetahui” disejajarkan dengan kegiatan “melihat”.
Idea pengetahuan seperti menjadi jelas dalam fenomenologi yang dirintis
Edmund Husserl. Husserl berusaha memasukkan segala yang telah
diketahuinya dan konsep-konsep yang telah diterimanya ke dalam tanda
kurung, atau menon-aktifkan konsep-konsep tersebut, agar apa yang
ditangkapnya dari obyek benar-benar “obyektif ”, dan tidak dicemari oleh
prasangka-prasangka “subyektif ” yang didapatkannya dari kegiatan di
luar pengalaman obyek. Dengan kata lain, subyek harus mengerdilkan
peranannya sampai sekecil mungkin, agar dapat menjadi pengamat murni
atau subyek transsendental.6 Dasarnya adalah bahwa Husserl tidak mau
terperangkap dalam Wishful Thinking, di mana subyek hanya menangkap
pikirannya sendiri yang tidak berpijak pada kenyataan obyektif.
“Pengetahuan” hanya dapat disebut pengetahuan, kalau pikiran mencapai
kenyataan persis seperti apa adanya dicemari oleh pertimbangan subyek
sendiri.

Namun hal ini tidak sesuai dengan keyakinan Husserl sendiri, bahwa
kesadaran selalu menyertakan obyek, yaitu kesadaran akan sesuatu.
Seharusnya sudah menjadi jelas baginya, bahwa pikiran dengan kesadaran
pasifnya tidak mempunyai sesuatu dihadapannya sebagai obyek. Di sinilah
para eksistensialis menekankan, bahwa kesadaran sendiri muncul dari
eksistensi dan kegiatan subyek di dalam interaksinya dengan obyek. Justru
eksistensi inilah yang merupakan sumber bagi adanya datum atau obyek
dihadapannya. Eksistensi memiliki prioritas logis dari pengetahuan.

Kierkegaard menyatakan bahwa manusia adalah akal yang


bereksistensi, bukan melulu akal.7 Dari pernyataan ini, Kierkegaard
menyodorkan sekurang-kurangnya dua peringatan yang perlu

6 bdk. Husserl, Edmund, Ideas, General Introduction to Pure Phenomenology, trans. W.R
Royoe Gibson: Colier Books, New York, 1962, hal.14.
7 lih. Gallagher, Ibid. hal. 232.


diperhatikan. Yang pertama adalah bahwa subyektivitas merupakan bagian
integral dan esensial dari kebenaran, bukan sesuatu yang mengancam dan
menggerogoti kebenaran. Kalau subyektivitas dihapuskan, maka bukan
hanya pengeruh-pengaruhnya yang dihilangkan, tetapi intellegibilitas
secara keseluruhan terhapuskan. Yang kedua adalah bahwa kebenaran
filosofis merupakan deskripsi arti dan nilai pengalaman subyek sendiri.
Maka tidak ada kebenaran yang terlepas dari subyek.

Mengenai hal terakhir ini kiranya juga mendapat kejelasan dan


pandangan Marcel yang juga mirip dengan pandangan Kierkegaard
tersebut. Dia membedakan antara masalah dan misteri.8 Masalah
berhubungan dengan obyek, yaitu sesuatu yang eksternal dan berhadapan
dengan subyek. Obyek ini karena berada di luar subyek bisa diselidiki
secara lengkap dan utuh dari segala sudutnya. Sebagaimana nampak,
misalnya, di dalam menghadapi masalah aljabar dan mesin. Data bisa
diselidiki dan dipahami, tanpa melibatkan kekhasan subyek. Sebaliknya
misteri merupakan persoalan yang tidak dapat dipisahkan dari subyek.
Misteri adalah pertanyaan yang menyebabkan subyek terperangkap di
dalamnya, misalnya saja kalau kita berbicara mengenai “Ada”, dengan
sendirinya kita berada di dalamnya. Maka “Ada” tidak dapat diselidiki
dari segala seginya olehnya subyek impersonal. Demikian juga pertanyaan
mengenai “Aku”, “kebakaan jiwa”, “bukti adanya Allah”.

Dengan demikian masalah selalu mempunyai solusi, asal saja teknik


tepat yang diperlukan. Sedangkan datum bagi misteri tidaklah jelas dan
terbedakan di dalam dirinya sendiri. Di dalam misteri pikiran berusaha
untuk menemukan dan mengungkapkan partisipasinya yang telah
ada sebelum kegiatan berpikir. Maka pikiran untuk mengekspresikan
partisipasi tersebut haruslah kembali kepada partisipasi itu sendiri.

Di sini Kierkegaard dan Marcel berbicara mengenai kriterium


intellegibilitas. Mereka menekankan bahwa partisipasilah yang
merupakan sumber arti. Kalau subyek begitu penting dalam pengertian

8 Lih. Gallagher, Ibid. hal. 236-246.


mengenai kebenaran, apakah ini berarti bahwa misteri tidak dapat
didemonstrasikan, dan akibatnya tidak mungkinkah bahwa pengetahuan
itu hanya merupakan ilusi? Marcel menjawab bahwa yang bersifat meta
problematik dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat diragukan,
tetapi hanya partisipan. Marcel memberi contoh bahwa pengalaman
akan harapan atau kegembiraan hanya dimiliki oleh pribadi singular
dengan keunikannya yang terlibat di dalamnya, bukan suatu obyek
bagi pengamat logika-sensoris atau pengamat impersonal dan netral.
Dia memperingatkan bahwa bila pengetahuan merupakan keterbukaan
terhadap kenyataan, maka pengalaman yang menyangkut kebebasan
pribadi juga harus termaksud di dalam pengetahuan. Tambahan lagi,
tidak ada cara lain bagi pernyataan diri dari evidensi tersebut. Dengan
demikian pertanyaan-pertanyaan mengenai Allah, kebebasan, kematian,
serta semua pertanyaan yang termasuk di dalamnya tidak dapat diajukan
dan dijelaskan oleh subyek impersonal.

Dari sini kita diingatkan bahwa obyek pengetahuan adalah semua


pengalaman, tidak hanya pengalaman inderawi dan juga tidak hanya
yang dapat diperlakukan sebagai masalah. Sebab tidak sesuatupun dari
pengalaman yang boleh disingkirkan dari filsafat.

Definisi-Kepastian-Esensi-dan konsep
Umumnya diyakini bahwa pengetahuan inderawi hanyalah
memberikan pengetahuan superfisial mengenai obyek. Sedangkan
pengetahuan intelektual memberikan pengetahuan mendalam mengenai
kodrat atau esensi tersebut. Yang sering terjadi di dalam menjelaskan
esensi obyek adalah penyajian definisi-definisi istilah. Dengan
mendefinisikannya dianggap esensi menjadi jelas. Dengan demikian
ideal pengetahuan dianggap sebagai seperangkat definisi yang saling
mengait, bersifat obyektif, dan tidak dapat ditukarkan. Selanjutnya
dengan definisi-definisi tersebut diandaikan adanya pengetahuan yang
menangkap dengan sempurna pengalaman-pengalaman kita.


Tetapi pengandaian tersebut menimbulkan kesulitan. Sebab
“mengetahui” terlalu dianalogkan dengan melihat atau menangkap “isi”
obyek. Meskipun analog ini bersifat spontan dan ada gunanya, namun
jangkauannya amatlah terbatas. Sebab di dalam pengertian tersebut,
ada perasaan bahwa dengan mengetahui esensi, saya harus mampu
menybutkan sifat-sifat esensialnya, sebagaimana terjadi dengan melihat.
Tetapi de facto kita tidak dapat menemukan sifat-sifat esensi yang dapat
didaftar. Selanjutnya, anggapan bahwa mengetahui esensi diartikan
sebagai tindakan menangkap “isi” obyek hanyalah mengacaukan masalah.
Sebab kalau kita mengetahui isi, kita harus dapat menguraikan isi tersebut
dan menelitinya. Padahal kita tidak dapat melakukan hal tersebut. Maka
mengetahui tidak sama dengan melihat atau menangkap arti, dan
mengetahui esensi tidak berarti mengerti dengan tepat kesamaan antara
pikiran dan kenyataan.

Maka pandangan bahwa mengetahui sama dengan mendefinisikan


haruslah ditinggalkan. Sebab pengetahuan mengandaikan kedalaman,
di mana pengetahuan mengenai esensi perlu memperlihatkan tahap-
tahap progresif menuju pemuasan. Pengetahuan mengenai esensi terletak
pada pengendapan arti di dalam pengalaman, yang tidak dapat dicapai
melalui definisi. Pengetahuan bukanlah definisi, karena definisi itu mati,
sedangkan pengalaman hidup berkembang terus.

Pengertian konsep pun harus dipertegas pula. Konsep atau ide


adalah alat kreatif yang digunakan pikiran untuk menyesuaikan diri
dengan pengalaman yang berkembang tersebut. Konsep bukanlah
alat untuk melarikan diri dari waktu dengan masuk ke dalam kawasan
abstraksi yang aman dan statis. Bagi manusia berpikir sama dengan
berkomunikasi. Manusia menggunakan bahasa dan bahasa membuat
obyektifikasi. Akibatnya tidak terhindarkan bahwa pikiran terperangkap
di dalam bahasa dan kebudayaan yang telah dirumuskan secara obyektif.
Tetapi kalau manusia hanya bertahan di dalam status quo yang telah
diobyektifikasikan tersebut, tanpa menerapkan kembali dengan kritis
konsep-konsep yang terumuskan di dalam bahasa ke dalam pengalaman,


maka pikiran berhenti dan macet, tidak mampu mendukung pengalaman
yang utuh. Untuk itu perlu diingat bahwa mengetahui arti konsep berarti
harus kembali kepada pengalaman yang diartikannya.

Dengan demikian pemisahan antara pikiran dan pengalaman tidak


masuk akal. Pikiran bukannya memasuki pengalaman dari luar, sebab
pikiran telah berada di dalam pengalaman sejak awal. Perlu ditegaskan
bahwa konsep merupakan kristalisasi pengalaman. Konsep harus
menjelaskan pengalaman dan pengalaman menjiwai konsep. Kalau
pengalaman selalu berkembang, maka konsep pun harus berkembang
pula.

Di dalam konteks ini kiranya cocok untuk berbicara mengenai


pragmatisme. Bagi pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu yang
membawa hasil. Pertimbangan dianggap benar bila membawa hasil
yang berguna. Bahkan dengan jelas James meletakkan kebenaran pada
“nilai tukar” atau “cash value”9 sesuatu. Kalau hasilnya merugikan berarti
pertimbangan tersebut salah. Pragmatisme yang dikembangkan William
James dan John Dewey merupakan protes terhadap pengagungan
pengetahuan yang mengorbankan arti tindakan. Dewey mempertanyakan
mengapa Plato dan Aristoteles menekankan kontemplasi (theoria)
sebagai kebaikan tertinggi bagi manusia, yang dianggap berpartisipasi
di dalam kehidupan para dewa, sedangkan tindakan dianggap sebagai
hal yang rendah bagi kehidupan sejati jiwa? Dewey menjawab sendiri
dengan mengatakan bahwa filsafat muncul sebagai aturan untuk mencari
rasa aman yang merupakan perhatian pokok manusia primitif.

Dengan demikian, pengetahuan juga mencari kepastian demi rasa


aman. Anggapan ini, bagi Dewey, merupakan hal yang salah sebab
menghalangi manusia untuk mengadakan kontak dengan kekayaan
pengalaman sendiri. Ide-ide kita harus merupakan aspek dari tindakan,
yaitu konsepsi mengenai akibat-akibat yang mungkin muncul dari

9 James, William, Pragmatism and The Meaning of Truth, Cambridge, Harvard University
Press, Massachusettes, 1975, hal. 31-276.


kegiatan kita. Ide-ide adalah hipotesis kerja. Atau rencana antisipatoris
bagi tindakan.10 Tindakan harus berkembang menurut patokan-
patokannya sendiri dan tidak dipaksa, untuk “menyesuaikan diri dengan
apa yang telah ditetapkan di dalam struktur benda-benda”.11

Jasa James dan Dewey adalah membawa kita kembali kepada sifat
terbuka dan menyadari belum selesainya pikiran kita. Pikiran manusia
bukanlah bangunan abadi, dan ide tidak boleh diperlakukan sebagai
sesuatu yang selesai dan tertutup bagi tes lebih lanjut. Dengan demikian,
James dan Dewey memperingatkan pentingnya aspek historis dan sosial
dari pengalaman manusia. Proses historis yang memampukan manusia
menciptakan eksistensi bagi manusiawi bagi dirinya sendiri merupakan
bagian integral dari pengahayatan secara kognitif mengenai dimensi-
dimensi transenden kenyataan.

Namun beberapa catatan perlu diarahkan kepada pragmatisme.


Pertama, kita setuju bahwa harus sadar akan konsekuensi tindakan,
sebab “kesadaran” merupakan hal yang tidak dapat diganggu gugat bagi
pengetahuan. Tetapi pengetahuan tidak dapat direduksi seluruhnya
kepada konsekuensi tindakan. Kedua, untuk menerapkan norma
kebenaran pragmatis, kita harus tahu kapan kita mencapai konsekuensi
subur. Implisit di dalamnya adalah pengertian mengenai jenis-jenis
konsekuensi tertentu, yang dianggap subur di dalam dirinya sendiri.
Pertimbangan kebenaran berdasarkan keberhasilan saja tidaklah
cukup. Bukan karena keberhasilan yang menentukan kebenaran, tetapi
kebenaranlah yang menentukan keberhasilan. Ketiga, cukup beralasan
untuk mengatakan, bahwa pengetahuan yang saya maksudkan mungkin
dipengaruhi oleh konsekuensi tindakan tertentu. Di sini nyata bahwa
Dewey gagal membedakan antara kebenaran dan pengetahuan tentang
kebenaran. Kebenaran tidak diberikan oleh tes, tetapi dinyatakan oleh
tes, sehingga tidak diketahui.

10 Dewey, John, The Quest for Certainty: a Study of The Relation of Knowledge, Minton,
Balch and Co., New York, 1929, hal. 167
11 Ibid. hal. 72.


Sebagai kesimpulan dari pembicaraan kita sejauh ini adalah, bahwa
pengetahuan tentang essensi atau hakikat sesuatu perupakan produk dari
interaksi kita yang terus menerus dengan pengalaman, dan belum seluruh
esensi itu kita ketahui. Dari satu pihak, kita mengakui adanya essensi atau
kodrat tertentu. Tetapi, dari pihak, hukum kodrat bukannya diperoleh
dengan deduksi definisi. Dengan demikian rumusan “kebenaran sebagai
kesesuaian antara pikiran dan kenyataan” harus dimengerti di dalam
konteks tersebut.

Metodologi Penelitian Filsafat


Obyek dan Tujuan Epistemologi
Dari pembicaraan kita di atas, beberapa hal perlu dipegang teguh.
Pertama, obyek pengetahuan adalah seluruh kenyataan di dalam
pengalaman manusiawi. Di dalam istilah Marcel, obyek pengetahuan
bukan hanya yang disebutnya “masalah”, tetapi juga “misteri”. Kedua,
pengetahuan sendiri berarti keyakinan yang telah dibuktikan benar. Dan
kebenaran selalu melibatkan subyek. Subyek tidak hanya bisa menjadi
penonton pasif impersonal. Ketiga, pengetahuan tidak bisa diperoleh
secara memadai hanya dari definisi konsep, sebab definisi merupakan
abstraksi yag menyederhanakan masalah yang perlu diterangkan lebih
lanjut. Maka pengertian mengenai kebenaran sebagai kesesuaian antara
pikiran atau konsep dengan kenyataan harus dimengerti secara kreatif,
sebab pengetahuan merupakan produk dari interaksi terus menerus
antara keduanya. Maka yang terakhir, atau keempat deduksi definisi tidak
dapat menolong untuk mengetahui kenyataan dengan tuntas. Konsep
harus bersifat terbuka terhadap perkembangan, sebagaimana kenyataan
pun berkembang.

Hal-hal tersebut perlu diperhatikan di dalam penyusunan suatu


metode penelitian filsafat. Tentu saja kecuali hal-hal tersebut masih perlu
ditegaskan terlebih dahulu, filsafat dalam pengertian macam apakah yang
mau dilengkapi dengan metode yang dimaksud. Hal pertama yang perlu


diperhatikan adalah menentukan tujuan filsafat. Tujuan filsafat di sini
bisa dimengerti dalam dua arti.

Pertama, tujuan dapat dimengerti dalam kaitan langsung dengan hasil


atau produk. Hasil tersebut bisa berujud sebuah ontologi atau deskripsi
metafisis, yaitu deskripsi mengenai kodrat terdalam dari kenyataan, atau
filsafat dalam pengertian sebuah penyelidikan kritis yang merupakan
sebuah mata ilmu yang menyelidiki macam-macam bentuk konkret dari
kegiatan intelektual.12 Kalau filsafat dimaksudkan sebagai sebuah ontologi
atau filsafat spekulatif, maka harus diperjelas lebih dahulu jangkauan
yang menjadi bidang khususnya yang membedakan dari bidang ilmu
lain. Dengan demikian sekurang-kurangya akan menjawab kekhawatiran
yang menghantui beberapa pemikir yang menyatakan, bahwa bidang
khusus ontologi akan habis digerogoti oleh ilmu-ilmu khusus. Sebab
semakin banyak pertanyaan yang dimunculkan dan diusahakan oleh
ontologi, menurut pendapat ini, telah diselidiki secara khusus oleh ilmu-
ilmu tertentu. “Dengan demikian filsafat perlahan-lahan telah menggali
kuburannya sendiri,”13 katanya.

Sebaliknya, kalau penelitian filsafat itu dimaksudkan sebagai


penyelidikan kritis, maka harus menjadi jelas kegiatan intelektual
mana saja yang dijadikan sasaran penyelidikan. Dengan penyelidikan
ini akan terjadi suatu analisis filsafat tertentu, entah itu berupa filsafat
sejarah, filsafat sains, filsafat ilmu politik, filsafat bahasa, dst. Namun,
kalau tujuan ini dikhususkan pada penyelidikan seperti ini, yang terjadi
biasanya filsafat menjadi hamba ilmu tertentu, dan terlepas dari kontak
kehidupan seharian. Akhirnya filsafat kehilangan bobotnya sendiri, dan
tidak memberikan kebijaksanaan hidup, sebagaimana menjadi hal utama
di dalam filsafat.

12 Anthony Quiton, Ibid., hal. 345.


13 Passamore, John. Philosophy di dalam The Encyclopedia of Philosophy, ed. Paul Edwards,
vol. 6, Macmillan Publishing Co., Inc. & The Free Press, New York, hal. 219.


Kalau kita masih berpegang bahwa filsafat tidak boleh
mengeksklusikan sesuatu pun dari pengalaman, maka kedua tujuan
tersebut harus tetap dirangkulnya. Dari satu pihak, filsafat harus selalu
mengarahkan diri pada pengertian pengalaman manusiawi, sampai
pada pengertian yang mendalam di dalam pemahaman yang utuh dan
seimbang. Dari lain pihak, yang merupakan konsekuensi dari butir
pertama, filsafat tidak boleh mengabaikan ilmu-ilmu lain. Filsafat harus
melihat dengan kritis hasil dan proses yang terjadi dalam ilmu-ilmu lain,
tetapi tidak hanya itu.

Kedua, tujuan bisa dimengerti dalam kaitannya dengan sifat hasil


tersebut. apakah hasilnya merupakan suatu deskripsi, preskripsi, atau
rekonstruksi rasional.14 Deskripsionis berusaha untuk tidak memihak pada
salah satu penalaran yang lain. Tugasnya hanyalah melukiskan bagaimana
ahli-ahli di bidang maing-masing bernalar, misalnya bagaimana seorang
ahli seni atau teolog atau sejarawan bernalar. Sebenarnya, penyelidikan
kritis ini merupakan reaksi terhadap rasionalisme klasik, yang umumnya
memberikan preskripsi mengenai bukti atau penjelasan atau pengetahuan
yang sejati.

Namun, kenyataan menjadi sangat sulit bagi deskripsionis untuk


melakukan penelitian yang seutuhnya setia tanpa memberikan penelitian.
Sebab untuk melakukan penelitian, dia harus menggunakan metode
tertentu, dan metode tersebut harus diyakininya sebagai metode yang
paling baik diantara kemungkinan-kemungkinan yang ada. Maka
muncullah jenis ketiga yang disebut rekonstruksi rasional. Dari satu pihak,
serorang rekonstruksionis menggunakan patokannya sendiri di dalam
menentukan mana yang bisa disebut rasional atau irasional, sebagaimana
dilaksanakan oleh preskripsionis. Namun dari lain pihak, dia tidak akan
sewenang-wenang menyingkirkan penalaran-penalaran yang umumnya
diakui atau menentukan secara a priori dan tegas mengenai syarat-syarat
rasionalitas.

14 Ibid, hal. 224-225.


Sebuah Usulan
Setelah kita berbicara mengenai obyek dan tujuan filsafat, serta
bertolak dari pertimbangan-pertimbangan di atas, di sini diusulkan
sebuah metode penelitian filsafat.15 Tentu saja tidak diasumsikan, bahwa
usulan ini merupakan satu-satunya metode penelitian filsafat yang valid.

Kita telah menyinggung di atas16 soal peranan konsep sebagai


alat kreatif yang digunakan pikiran untuk menyesuaikan diri dengan
pengalaman yang berkembang tersebut di dalam rangka menangkap
makna pengalaman tersebut. Tetapi konsep bukanlah sesuatu yang
kosong, yang dapat didefinisikan dan tinggal menerapkannya secara
langsung terhadap pengalaman. Disinilah peranan “penelitian filsafat”,
yaitu sebagai kegiatan yang diarahkan untuk membentuk konsep-konsep
dan sekaligus untuk menguji kembali konsep-konsep tersebut di dalam
penerapannya di dalam pengalaman.

Lalu bagaimana konsep tersebut bisa dibentuk dan di cek kembali?

Langkah pertama adalah mengadakan penelitian untuk mengamati,


baik pengalaman langsung, maupun pendapat-pendapat yang telah ada.
Berhubung dengan “penelitian” aliran-aliran filsafat atau pendapat-
pendapat yang telah ada, kita harus setia terhadap pendapat yang
berkembang di sana, bukannya menginterpretasi demi maksud kita sendiri,
entah untuk mendukung pendapat kita, atau pun untuk meruntuhkan
pendapat yang ada. Sebab pada tahap ini kita berlaku sebagai seorang
sejarawan filsafat, yang tidak boleh membelokkan maksud utama dari
pemikiran atau aliran yang bersangkutan. Sedangkan kalau menganalisis
pengalaman langsung, kita juga mempergunakan konsep yang telah ada.

15 Usulan ini didasarkan pada penelitian filsafat sebagai usaha untuk membentuk suatu
sistem ide-ide umum yang bersifat koheren, logis, niscaya, yang dengannya setiap unsur
pengalaman dapat ditafsirkan (Whitehead, Alfred North, Process and Reality, Corrected
edition, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburna, The Free Press, New York,
1979, hal. 3).
16 P. 4 alinia 4.


Atau kita bisa menggabungkan konsep-konsep atau pendapat-pendapat
yang ada, dan kita gunakan untuk menginterpretasi pengalaman.

Tetapi kita telah melihat diatas, bahwa deskripsi atau laporan murni,
baik itu mengenai pengalaman maupun pendapat-pendapat yang telah
ada, kiranya tidak bisa dilaksanakan secara bersih dan murni tanpa
keterlibatan subyektivitas kita sendiri. Maka mau tidak mau di dalam
mengadakan pengamatan, secara langsung maupun tidak langsung, kita
telah menggunakan patokan kita sendiri dengan mengadakan seleksi
bahan, baik konsep maupun pengalaman yang dijadikan obyek penertian.
Maka interpretasi yang secara implisit terlibat ini perlu diangkat
kepermukaan kesadaran diri yang eksplisit. Dengan kata lain, di dalam
pengamatan tersebut dicoba untuk merumuskan konsep yang tepat
untuk menangkap arti pengalaman yang dimaksud pendapat-pendapat
yang ada. Penangkapan ini hanya bisa terjadi dengan adanya “insight”.
Insight ini tidak sama dengan proses induksi, tetapi diandaikan oleh
induksi. Induksi tidak terjadi hanya dengan mengadakan penjumlahan
secara kuantitatif mengenai pengalaman atau pun pendapat-pendapat
yang ada. Bahkan insight, secara teoritis, bisa terjadi hanya dengan satu
pengalaman atau satu pendapat.

Tentu saja insight ini mengandaikan suatu sikap kritis yang bisa
menilai pengalaman dan pendapat yang ada. Sifat kritis insight inilah
yang mendasari penangkapan pengalaman di dalam konsep. Tetapi kita
juga telah melihat, bahwa pengetahuan kita mengenai hakekat selalu
berkembang. Maka kita pun tidak bisa memberikan suatu preskripsi
mengenai apa yang seharusnya terjadi. Di dalam pengalaman hidup
bersama, kita hanya bisa meyakini kebenaran berdasarkan gejala-gejala
yang mendukung ke arah itu. Tidak ada kepastian yang mutlak bisa
dipegang dan dipertahankan. Maka berhubungan dengan pengalaman,
yang menurut istilah Marcel disebut “misteri”, hanya dialog yang terus-
menerus dengan sikap terbuka dan keberanian untuk mencari bersama
akan menuju kependekatan kepada kebenaran. Untuk itu, konsep yang
kita hasilkan pun harus selalu terbuka terhadap perkembangan lebih


lanjut, bukannya dipatokan di dalam suatu definisi yang mutlak dan
mati.

Langkah kedua, konsep yang ditangkap dari pengalaman tertentu atau


pendapat tertentu tersebut kemudian diperluas jangkauan penggunaannya.
Dengan demikian konsep tertentu bisa mencakup pengalaman yang
semakin kaya dan semakin luas. Tetapi proses generalisasi tersebut tidak
begitu saja dapat dilakukan dengan sembarang pengalaman atau pendapat.
Di sini diperlukan kreativitas pribadi di dalam menyusun sebuah sistem
konsep secara tentatif. Sistem konsep tersebut diupayakan agar konsep-
konsep yang terangkum bersifat koheren dan konsisten secara logis. Di
sinilah peranan deduksi. Dengan demikian deduksi tidak digunakan
untuk memahami pengalaman langsung dengan menariknya dari konsep,
tetapi deduksi digunakan untuk menguji koherensi dan konsistensi logis
darikonsep-konsep yang ada di dalam sistem tersebut.

Langkah ketiga adalah menguji konsep-konsep dari sistem tersebut


di dalam aplikasinya bagi pengalaman. Dengan terbentuknya suatu sistem
konsep tidak berarti tugas filsafat telah selesai dan tinggal menerapkan
konsep-konsep tersebut di dalam pengalaman. Setiap kali kita
menggunakan konsep-konsep yang ada, kita pun harus selalu bersikap
kritis dengan selalu bertanya, apakah memang konsep-konsep tersebut
tepat dan berguna? Konsep-konsep yang ada harus bisa menerangkan
dengan tepat pengalaman-pengalaman. Sebab kalau pengalaman tidak
dapat diterangkan dengan konsep-konsep yang ada dan masih harus
‘import’ konsep dari sistem lain, maka sistem tersebut perlu diragukan
kelengkapannya. Selanjutnya, tidak boleh ada satu konsep pun dari
sistem tersebut yang tidak berfungsi di dalam menerangkan pengalaman
dapat langsung disingkirkan dan dianggap tidak berguna. Kegiatan
menguji konsep-konsep tersebut harus dijalankan terus-menerus.
Dengan demikian sistem konsep tersebut selalu bersifat tentatif, yang
artinya selalu bisa dikoreksi dan diperkaya lagi. Sebab pengalaman dan
pengetahuan kita mengenai pengalaman pun selalu berkembang.
Kentungan, 19 Juni 1991


Daftar Pustaka
Dewey, John. The Quest for Certainty: a Study of The Relation of Knowledge,
Minton. Balch and Co., New York, 1929.

Gallagher, Kenneth T.. The Philosophy of Knowledge, Fordham University


Press, New York, 1982.

Hamlyn, D.W., History of Epistemology, dalam Encyclopedia of Philosophy,


vol. 3. ed.

Paul Edwards, Macmillan Publishing Co., Inc & The Three Press, New
York, 1967.

Hussrel, Edmund. Ideas, General Introduction to Pure Phenomenology, trans.


W.R Royoe Gibson, Colier Books, New York, 1962.

James, William, Pragmatism and The Meaning of Truth, Harvard


University Press, Cambridge, Massachusettes, 1975.

Passamore, John, Philosophy di dalam The Encyclopedia of Philosophy. ed.


Paul

Edwards, vol. 6, Macmillan Publishing Co., Inc. & The Free Press, New
York.

Quinton, Anthony. “Knowledge and Belief” di dalam The Encyclopedia of


Philosophy vol. 4.

Whitehead, Alfred North, Process and Reality, Corrected edition. ed.


David Ray Griffin and Donald W. Sherburna, The Free Press, New
York, 1979.

The Harper Dictionary of Modern Thought. ed. Alan Bullock and Oliver
Stallubrass, Harper and Row Publisher, New York, 1977.


METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT
OLEH : TOETI HERATY NOERHADI

D engan menyelenggarakan acara dengan pokok metodologi


penelitian filsafat, secara gamblang telah dinyatakan, bahwa filsafat
itu adalah suatu ilmu. Bagi mereka yang memang telah berkecimpung
dalam bidang filsafat di berbagai lembaga Pendidikan Tinggi, hal ini
tentu tidak diragukan lagi, apalagi bila kegiatan filsafat berlangsung
dalam suasana dan sistim tertutup suatu masyarakat filsafat homogen,
serta tidak dikaitkan pada disiplin atau ilmu lain.

Untuk berfilsafat tanpa berdialog dengan ilmu-ilmu, di Indonesia


agaknya merupakan suatu kemewahan, karena beberapa pertimbangan
sebagai berikut :

1. kenyataan bahwa filsafat sebagai suatu disiplin ilmu baru


memperoleh tempat kemudian diantara ilmu-ilmu lain, dan
sebagai pendatang baru harus mempertanggung jawabkan
kehadirannya.

2. bila kemudian menentukan ciri khas filsafat dan memberi


penjelasan dengan membedakan apa yang disebutkan obyek
materiil dan obyek formil, langsung akan mengakui bahwa filsafat
sebenarnya hanya memiliki obyek formal, ialah pendekatan


sistematis dan radikal menelusuri sebab dan akibat yang mendasar
dan terakhir (ultimate).

3. harus pula mempertanggungkan jawabkan “intervensi” pada


ilmu-ilmu lain, karena filsafat dapat memilih obyek materiil atau
sasaran kajian refleksif suatu tema khusus yang telah diklaim
ilmu lain.

t ditantang terus-menerus untuk menunjukkan dimana letak


manfaat, filsafat, sedangkan bila menyatakan bahwa ciri khas
justru terletak pada sifat tanpa berpamrih manfaat, semakin
tampak citra angkuh - elitis, dalam posisi yang bahkan
tampaknya terkucil secara esoterik atau parasitik.

Mungkin tampaknya kontradiktif bahwa menganut dan


memproklamirkan filsafat memerlukan pendekatan pada ilmu-ilmu,
sambil menunjukkan bahwa sambil melangsungkan penelusuran
mendasar, titik-titik persinggungan atau wilayah tumpang tindih dengan
ilmu-ilmu dapat dijelaskan. Dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu,
filsafatlah yang dianggap menjadi sumber, ilmu-ilmu, sedangkan kini
filsafat kami anggap perlu berdialog dengan ilmu-ilmu.

Suatu kerendahan hati diperlukan untuk tidak berkonfrontasi dengan


ilmu-ilmu, menerima sementara temuan-temuannya, untuk kemudian
mendudukkannya lewat refleksi kritis dalam suatu konteks pemahaman
yang lebih luas dengan refleksi atas asumsi dan konsep-konsep dasar.

Ini dapat dilakukan oleh filsafat, tapi ini pula tentu dilakukan oleh
para ilmuwan sendiri, meskipun hanya oleh ilmuwan-ilmuwan partisan
yang berminat pada kajian teoritis-kritis.

Metodologi dan Metode


Metodologi perlu dijelasakan dahulu kedudukannya, baik dalam
filsafat maupun dalam ilmu, tetapi secara etimologis dikembalikan pada
istilah meta dan hodos, yang berarti melalui dan jalan, jadi berarti jalan


yang dilalui. Metoda ialah kegiatan yang dilaksanakan atau cara kerja
yang ”semestinya” ditempuh pada setiap bidang ilmu, sesuai suatu sistim
aturan tertentu.

Dalam ilmu-ilmu obyek atau bidang penelitian menuntut metode yang


sesuai, sehingga kita langsung akan dihadapi ketrampilan-ketrampilan
atau teknik-teknik khusus yang diterapkan dan dikembangkan dalam
suatu ilmu tertentu. Pada tempatnya disini disebut, bahwa suatu ilmu
ditentukan terutama oleh metodanya.

Kini kita beralih pada metodologi, dan dibandingkan dengan metode


langsung tampil perbedaan dengan adanya pengertian (logos berarti kata
atau teori) menunjuk pada teori tentang metode, khususnya metode
yang ditempuh dalam ilmu-ilmu. Metodologi yang berarti teori tentang
metode ini merupakan suatu bidang filsafat khususnya merupakan bagian
dari logika. Pernyataan bahwa metodologi merupakan bagian dari logika
mungkin tidak diterima luas, tetapi perlu difahami dalam arti menerima
konsekuensinya, bahwa metodologi bersifat refleksi, teoritis tentang
metode. Dengan demikian lebih cenderung merupakan ke aturan umum
dan bukan teknik atau ketrampilan khusus yang dapat dianggap berlaku
untuk semua ilmu (monometodologi) atau berbeda untuk berbagai
kelompok ilmu (plurimetodologi)

Satu catatan yang patut diperhitungkan ialah, bahwa metodologi


ini kurang tampil peranannya selama kita meng”konsumsi” ilmu, yang
berarti bahwa kita dalam proses edukatif berusaha memahami dan
menyerap produk-produk keberhasilan ilmu. Bila kemudian kita dari
konsumsi beralih pada partisipasi dalam pengembangan ilmu, dalam arti
mulai menerapkannya misalnya dalam penelitian, metodologi, atau teori
tentang metode, baru dipermasalahkan. Maka itulah penggunaan sebutan
metodologi penelitian lebih umum dari pada sebutan metodologi ilmu.

Pada filsafat ilmu pengetahuan sebagai kegiatan refleksi tentang


ilmu pengetahuan, titik berat adalah pemahaman ciri-ciri khas ilmu
pengetahuan diantara kegiatan-kegiatan lain, dan dengan demikian


berorientasi eksternal. Metodologi lebih berorientasi internal, karena
mengadakan refleksi tentang cara kerja sesuai aturan-aturan yang harus
diterapkan. Dengan demikian dapat difahami bahwa metodologi khusus
bertumpu pada ciri pertama diantara ketiga ciri khas ilmu pengetahuan
ialah 1) sifatnya yang teruji kebenarannya, 2) sifat sistematis dan 3)
intersubyektivitas ilmu. Ciri pertamalah yang langsung terkait dengan
metodologi (Beerling, 1986).

Metodologi Ilmu dan Metodologi Filsafat.


Secara singkat refleksi perihal metode yang ditempuh berbagai ilmu
dapat dirangkum dalam suatu bagan yang mencoba meletakkan metode
empat kelompok ilmu secara berdampingan ialah ilmu-ilmu formal,
kemudian ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu hayati, dan ilmu-ilmu sosial budaya,
yang ketiganya masuk cakupan ilmu-ilmu empiris.

Metodologi yang menjadi aturan umum ialah proses yang disebut


siklus empiris dengan urutan observasi, induksi, deduksi, ujicoba, dan
evaluasi. Urutan ini segera dapat disanggah dengan dengan catatan
Hempel yang membedakan pendekatan induktivis sempit dan luas, karena
induksi murni tidak terjadi, tetapi selalu didahului oleh unsur teori dalam
keterkaitan teori dan empiri. Apalagi dengan berbagai gagasan Popper
peranan induksi harus dihadapi dengan lebih kritis. Dalam metodologi
ilmu gagasan-gagasan ini sudah diterima secara luas, sehingga siklus
empiris De Groot dapat ditinggalkan, karena misalnya siklus menurut
Wallace dianggap lebih tepat melalui tahap masalah-teori-hipotesa-
observasi-generalisasi-evaluasi.

Dengan mengetengahkan sekilas beberapa masukan metodologi


ilmu-ilmu tersebut diatas, segera kita kini beralih ke metodologi filsafat
yang langsung dapat dirangkum pula bertolak dari gabunganan antara
disatu fihak metoda-metoda filsafat dengan metodologi penelitian filsafat
( A . Bakker).


Metode-Metode Penelitian Model
Filsafat
1. Metode Kritis Sokrates-Plato 1.a. Penelitian Historis: Faktual
mengenai tokoh
2. Metode Intuitif: Platonis, 1.b. Penelitian Historis: faktual
Bergson mengenai naskah atau buku
3. Metode Skolastik: Thomas 1.c. Penenlitian Historis: faktual
Aquinas mengenai teks naskah
4. Metode Geometris: Rene 2. Penelitian mengenai suatu
Descarates konsep sepanjang sejarah.

5. Metode Eksperimentil: David 3. Penelitian Komparatif,


Hume eksistensialisme
6. Metode Kritis-Transendental: 4. Penelitian pandangan filosofis
Immanuel Kant, Neo-Skolastik di lapangan
7. Metode Dialektis: Georfe 5. Penelitian Sistematis-Refleksif
Wilhelm, Friedrich Hegel.
8. Metode Fenomenalogis 6.a. Penelitian mengenai masalah
aktual
9. Metode analitika bahasa: 6.b. Penelitian mengenai teori
Ladwig Wittgenstein ilmiah

Rangkuman diatas belum lengkap tanpa menyebutkan unsur-unsur


metodis umum yang disebutkan pada penerapan 9 metoda tersebut
diatas ialah: interpretasi, induksi, deduksi, koherensi intern, holistika,
kesinambungan historis, idealisasi, komparasi, heoristika, bahasa inklusif
atau analogal, dan deskripsi.

Yang dapat dianggap sangat menarik adalah loncatan dari metodologi


ilmu ke metodologi filsafat. “Siklus empiris diberi bentuk tersendiri


dalam penelitian filsafat, berhubungan dengan sifat-sifat obyek formal
yang istimewa, yaitu manusia”.(A .Bakker, Metode-Metode Filsafat,hal
43).

Penjelasan ini meletakkan jembatan antara ilmu-ilmu empiris dan


filsafat yang lebih nyata lagi dalam rumusan tentang filsafat sebagai
“eksplisitasi tentang hakekat realitas yang ada dalam kehidupan manusia.
Itu meliputi hakekat manusia itu sendiri, hakekat semesta, bahkan hakekat
Tuhan, baik menurut segi struktural, maupun menurut segi normatifnya”.
(A. Bakker, Metode-Metode Filsafat)

Yang sebaiknya kini direnungkan ialah, bahwa bangunan metodologi


penelitian filsafat tersebut diatas bertolak dari rumusan filsafat yang
sekaligus telah menentukan obyek materialnya ialah hakekat realitas
dalam kehidupan manusia.

Kini akan tampak suatu kontras dengan tanggapan lain oleh seorang
ahli logika Bochenski yang membahas metoda-metoda filsafat dalam
ilmu pengetahuan. Bila menganggap bahwa operasionalisasi filsafat
harus memperhitungkan dialog dengan ilmu-ilmu, maka suatu titik
tolak Bochenski adalah, bahwa metodologi dilihatnya sebagai bagian
dari logika. Sedangkan pada uraian lain, metodologi lazim dianggap
bagian dari epistemologi, serta bagian dari filsafat ilmu. Kesimpulan yang
dapat ditarik adalah bahwa metodologi ini menemukan tempatnya, baik
sementara dalam epistemologis secara umum (sebagai teori pengetahuan),
kemudian dalam filsafat ilmu pengetahuan (sebagai ulasan tentang ilmu
pengetahuan), maupun dalam logika, karena kembali pada aturan yang
harus dapat dipertanggung jawabkan sebagai sistim logis).

Pendekatan Bochenski tentang metodologi selanjutnya ialah bahwa


dari sudut pandang filsafat metoda dapat dibedakan menurut :

1. metode fenomenologis: metoda memperoleh pengetahuan


langsung, yang merupakan metoda deskripsi gejala kesadaran
hasil suatu pencerapan intuitif.


2. metode semiotik: metoda penggunaan tanda-tanda sebagai suatu
sistim untuk menyatakan pengetahuan sebagai kegiatan bersama
dalam bahasa ilmiah.

3. metoda axiomatik: metoda deduktif penarikan kesimpulan


sebagai pernyataan-pernyataan yang, bertolak dari pernyataan
awal atau axioma.

4. metoda reduktif: metoda reduktif dibedakan dari metoda deduksi,


dan mencakup baik metode induksi maupun metode historis.

Pada metodologi Bochenski pembedaan ini berlangsung dengan


menganggap, bahwa metodologi merupakan sub bagian dari logika, dan
pembedaan metoda itu didasari peranan logika yang berbeda. Untuk
memahami pembedaan diatas secara lebih cermat diperlukan logika yang
lebih luas.

Disamping itu telah dijabarkan pula suatu terminologi atau


peristilahan yang dikembalikan pada prinsip-prinsip dasar filsafat,
sehingga penggunaan bahasa dikembalikan pada:

1. Peristilahan ontologis: menganggap dunia terdiri dari benda-


benda dengan sifat sifat, hubungan antara benda-benda tersebut.

2. Peristilahan psikologis: pengetahuan berlangsung sebagai


proses psikologis individual mengenai suatu keadaan yang
digambarkan.

3. Peristilahan epistemologis: menyangkut kebenaran atau ke-


tidakbenaran sebagai kriterium keabsahan pengetahuan.

Dengan menyebutkan prinsip-prinsip pembedaan dalam peristilahan


demikian diharapkan kejelian selalu, bahwa pengetahuan adalah proses
yang berlangsung psikologis individual tentang keadaan dunia yang
digambarkan lewat sistem-sistem tanda yang menyatakan suatu, yang
dinilai menurut kriteria kebenaran dan keabsahan.


Dalam dialog filsafat dengan ilmu-ilmu, ketentuan-ketentuan
Bochenski ini dapat membantu untuk menelusuri masalah-masalah
dalam berbagai ilmu kembali pada dasar-dasar baik ontologis,
epistemologis, logis, dan aksiologis. Yang terakhir ini memang belum
“disentuh” dan menjadi menarik, terutama dalam ungkapan Feyerabend
yang mengembalikan kegiatan ilmu pada masalah kesejahteraan dan
kemanusiaan, dan dalam konteks tersebut menyatakan:”Science is an
essentially anarchicent enterprise: theoretically anarchism is more humanitarian
and more likely to encourage progress than its law-and order alternatives”.

Penutup
Beberapa butir perlu disebutkan untuk menutup uraian diatas ialah:

1. Mengingat berbagai penelitian filsafat di Indonesia sebaiknya


dengan ilmu-ilmu atau upaya untuk pengkajian pandangan hidup
tradisional di Indonesia secara metodis-sistematis.

2. Materi metodologi penelitian filsafat dalam buku A.Bakker


memberikan model-model penelitian yang sangat membantu
untuk penelitian filsafat, terutama karena penelitian bersifat baru
dan mulai dilaksanakan pada penulisan skripsi para mahasiswa
filsafat.

3. Metodologi penelitian tersebut bertolak dari pengertian filsafat


yang mengambil obyek formal maupun material hakekat manusia,
hal mana merupakan suatu yang masih dapat dipertanyakan.

4. Suatu alternatif dalam pendekatan dikemukakan dengan contoh


Bochenski, sehingga metodologi tidak saja harus didudukkan
dalam epistemologi dalam filsafat Ilmu pengetahuan, tetapi
sebagai bagian dari bidang logika. Metodologi adalah teori
tentang metoda, dan merupakan refleksi atas penerapan prinsip-
prinsip logis dalam metoda berbagai ilmu


5. Sesuai dengan pembagian filsafat menurut ontologi-epistemologi
telah dijabarkan terminologi Bochenski yang menggarisbawahi
kejelian metodologi dalam ilmu pengetahuan yang lewat
sistem tanda-tanda bahasa ilmiah menggambarkan suatu dunia
atau keadaan (Sachverhalt) menurut kriteria keabsahan atau
kebenaran.

6. Sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan aksiologis ialah


kesejahteraan dan kemanusiaan oleh Feyerabend dikemukakan
suatu sikap fleksibilitas terhadap metoda sesuai dengan gagasan
karyanya dengan judul “Against Method”.

Daftar Pustaka
Beerling, Kwee,Mooij,Van Peurspn, “Pengantar Filsafat Ilmu”, Penerbit
Tiara Wacana, Yogyakarta, 1986.

Bakker, Anton, Metode-metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.

----------------, Drs Achmad Charris Zubair, Pustaka Filsafat,


Yogyakarta, 1990.

Feyerabend, Paul, “Against Method” Verso-London-New York, 1990.

I. M.Bochenski,” Wijsgerige methoden in the modern


Wetenschap”,Utrecht-Aula-Boeken, Antwerpen, 1961.

Paul Feyerabend, Thomas Kuhn, Imre Lakatos, Margaret Masterman,


Karl Popper, Stephen Toulmin, John Watjins, L.Pearce Williams,
“Criticsm and the growth of Knowledge”, Cambridge University Press,
Cambridge, 1987.

Wallace, Walter L.,Metoda Logika Ilmu Sosial, Bumi Aksara


Jakarta,1990.


METODE PENELITIAN FILSAFAT:
BELAJAR DARI FILSUF ALFRED N. WHITEHEAD
OLEH: J. SUDARMINTA

S etiap ilmu tumbuh dan berkembang berkat adanya penelitian. Hal


yang sama berlaku pula untuk ilmu filsafat. Kendati metode penelitian
dalam ilmu filsafat memiliki ciri-ciri umum keilmiahan yang relatif
berlaku pula dari ilmu-ilmu yang lain, filsafat juga memiliki ciri khas
yang membedakannya dari ilmu yang lain. Ciri khas yang membedakan
suatu ilmu dari ilmu yang lain tidak terletak pada pertama-tama pada
obyek material ilmu tersebut, melainkan lebih-lebih pada obyek formal
atau metode kerjanya yang khas. Salah satu ciri khas yang membedakan
ilmu filsafat dari ilmu-ilmu yang lain dari segi metode penelitiannya
adalah keanekaragamannya. Kalau ilmu-ilmu lain, khususnya ilmu-ilmu
empiris-eksperimental seperti sains, metodologi kerjanya cenderung
bercorak tunggal, ilmu filsafat, dari hakekatnya sendiri bersifat majemuk.

Karena tidak mungkin memaparkan secara rinci semua metode kerja


filsafat yang sampai sekarang ada, maka pada kesempatan ini, untuk
sekedar menyumbangkan gagasan tentang bagaimana penelitian filsafat
dapat dan sebaiknya dilakukan, dalam makalah ini akan ditawarkan salah

17 Makalah untuk disajikan pada symposium Metodologi Penelitian Filsafat, pada tanggal
27-28 Juni 1991, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
18 Guru Besar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.


satu model. Model yang akan penulis tawarkan disini memuat beberapa
prinsip pokok yang inspirasi dasarnya penulis gali dari model berfilsafat
sebagaimana dikemukakan oleh filsuf Alfred North Whitehead.

Pengalaman sebagai Sumber dan Muara Penelitian


Prinsip metodis pertama dalam penelitian filsafat menurut model
Whitehead adalah menjadikan pengalaman sebagai sumber dan muara
penelitian filsafat. Seperti pernah dia nyatakan:

“The true methode of discovery is like the flight of an airplane.


It starts from the ground of particular observation: it makes a flight
in the thin air of imaginative generalization; and it again lands
for renewed observation rendered acute by rational interpretation.”
(Whitehead 1979; hal. 5)

Secara umum prinsip pertama ini sebenarnya berlaku pula untuk


semua ilmu, khususnya ilmu-ilmu empiris, dan tidak dapat dikatakan
merupakan metode yang khas berlaku untuk penelitian filsafat. Semua
ilmu, khususnya yang empiris, selalu mendasaran kajiannya pada data
pengalaman manusia yang diperoleh melalui observasi empiris. Peneliti
pada semua ilmu induktif mendasarkan gejala-gejala partikular yang
diamati dalam pengalaman, mencoba merumuskan teori, atau semacam
hukum umum yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut. Observasi
guna memperoleh data selalu dilakukan oleh semua ilmu empirisn baik
pada awal penelitian untuk merumuskan masalah dan mengajukan
hipotesisn maupun pada akhirnya untuk melakukan pengujian empiris
(entah itu melalui prinsip verifikasi maupun falsifikasi) atas hipotesis
yang telah diajukan.

Kalau prinsip pertama ini dalam arti tertentu juga berlaku untuk
penelitian dalam ilmu-ilmu lain, lalu dimanakah letak kekhasan bagi
penelitian filsafat? Kekhasan prinsip pertama tersebut bagi penelitian
filsafat terletak pada pengertian pengalaman itu sendiri dan semacam
generalisasi imajinatif yang dicoba untuk dirumuskannya. Pengertian


pengalaman ontologis penelitian filsafat mempunyai cakupan yang jauh
lebih luas dan lebih mendalam dari pada pengertian pengalaman sebagai
obyek ontologis penelitian ilmu-ilmu khusus seperti sains misalnya.
Pengalaman dalam perspektifnya sebagai obyek ontologis penelitian sains
hanya terbatas pada apa yang dapat diamati dan dicerap secara empiris
melalui panca indera manusia. Sedangkan sebagai obyek ontologis
penelitian filsafat, pengertian pengalaman mencakup seluruh realitas
yang ada sejauh yang dapat dialami, dipikirkan, dan direfleksikan oleh
akal budi manusia.

Pengalaman dalam pengertian Whitehead selalu menyangkut


keseluruhan kenyataan yang terlibat dalam proses terbentuknya apa yang
dia sebut “actual entities”, yakni satuan-satuan aktual sebagai gumpalan
pengalaman yang memadat secara perspektival seluruh kenyataan
yang ada. Whitehead memang seorang empiris. Filsafat yang sejati
baginya tidak dapat melulu bersifat spekulatif, tetapi harusah bertitik
tolak pada pengalaman empiris, dan kemudian diuji kebenarannya
berdasar sesuai tidaknya sistem pemikiran umum yang dirumuskannya
dengan pengalaman empiris. Akan tetapi empirisme Whitehead tidak
bersifat atomistik dan sensasionalistik, seperti empirisme John Locke
ataupun David Hume. Empirisme Whitehead adalah empirisme radikal
sebagaimana dimengerti oleh William James. Ciri khas empirisme radikal
adalah pemahamannya tentang pengalaman secara holistik. Kenyataan
pertama-tama dialami secara utuh atau menyeluruh dengan segala
kekaburan kompleksitasnya, dan baru kemudian ada perincian lebih
lanjut, guna memperoleh kejelasan dan ketetapan pengertian. Pernyataan
berikut sedikit banyak menjelaskan hal ini:

“Our datum is the actual world including ourselves; and this


actual world spreads itself for observation in the quise of the topic of
our immediate experience. The elucidation of immediate experience
is the sole justification for any thought; and the starting-point of
thought is the analytic observation of components of this experience.
But we are not conscious of any clear-cut complete analysis of


immediate experience, in terms of the various details which comprise
its definiteness. (Whitehead, 1979; hal. 4)

Radikalitas empirisme Whitehead secara eksplisit terungkap dalam


teori persepsinya yang dia sebut “causal efficacy” atau ”causal prehension”
yang merupakan bentuk pencerapan secara paling dasariah atas
dunia sekitar. (Whitehead, 1979; hal. 58, 121, 162-163). Whitehead
membedakan tiga jenis persepsi. Persepsi berdasarkan pencerapan panca
indera, yang oleh Whitehead disebut persepsi dalam bentuk “presentational
immediacy”, hanyalah salah satu bentuk persepsi dari ketiga jenis yang ada
(Whitehead, 1979; hal. 61-65, 123-127, 171-173). Yang dialami melalui
persepsi dalam bentuk “presentational immediacy” tidak menyediakan diri
bagi panca indera manusia. Empirisme atomistik dan sensasionalistik dari
para empirisis Inggris menyamakan persepsi dengan persepsi inderawi
atau “presentational immediacy”. Padahal, menurut Whitehead, jenis
persepsi ini merupakan yang lebih dasariah, yakni persepsi dalam bentuk
“causal efficacy”. Dalam persepsi macam ini, di mana obyek secara kausal
dan intuitif dialami oleh subyek yang mencerapnya, obyek menyatakan
diri dan ditangkap oleh subyek masih dalam keutuhannya dengan segala
kekaburan dan kompleksitasnya, serta belum terdifferensiasi secara jelas
dan tegas.

Jenis persepsi yang ketiga oleh Whitehead disebut persepsi dalam


bentuk “symbolic reference” atau “symbolic transference” (Whitehead, 1979;
hal. 81, 121, 178-183). Jenis persepsi ini adalah yang lazim kita mengerti,
dan merupakan perpaduan yang merupakan persepsi dalam bentuk
“causal efficacy” dan “presentational immediacy”.19

19 Sebagai ilustrasi untuk mengerti jenis persepsi ketiga ini dapat diambil contoh berikut.
Pengalaman saya berhadapan dengan benda padat, persegi empat, berkaki empat, dan
berwarna coklat, membuat saya menyadari dan membuat pernyataan “ini sebuah meja”.
Kesadaran dan pernyataan tersebut tidak hanya saya dasarkan atas pengamatan inderawi
saja (baik itu menyangkut warna, bentuk, bau, halus, atau kasarnya benda itu), tetapi
juga mengandaikan seluruh pengalaman masa lalu, baik dari benda di hadapan saya
maupun dari diri saya sendiri. Kata “meja” merupakan simbol linguistis yang menunjuk
atau “mereferensi” pada realitas tertentu yang saya alami di hadapan saya. Bahwa kata
“meja” merupakan simbol linguistik yang menunjukan atau “mereferensi” pada realitas


Dengan menekankan pentingnya persepsi dalam bentuk “causal
efficacy” Whitehead dapat dikatakan juga seorang intuisionis, seperti
Bergson misalnya. Memang, berbeda dengan intuisionisme Bergson yang
bernada anti-intelektualistik, intuisionisme Whitehead dicoba diadukan
dengan rasionalisme. Ia menolak pandangan Bergson, bahwa akal budi
dengan abstraksi formulanya cenderung membuat cacat (distortion)
kenyataan yang kita tangkap secara utuh dengan intuisi. Kenyataan yang
ditangkap secara utuh dengan segala kekaburan dan kompleksitasnya
melalui intuisi haruslah dapat dijelaskan (kendati tidak pernah secara
sungguh memadai) oleh akal budi.

Untuk menghindarkan diri dari kekeliruan menyamakan kenyataan


yang ada dengan apa yang dapat diketahui, Whitehead berpendapat,
bahwa pengalaman itu selalu jauh lebih kaya daripada pengetahuan.
Kalau kenyataan disamakan dengan apa yang dapat diketahui oleh
manusia, dan yang dapat diketahui secara lebih sempit disamakan dengan
apa yang tentangnya manusia dapat mendapatkan gagasan yang jelas dan
tegas, maka kenyataan akan adanya yang Ilahi, adanya nilai-nilai, adanya
arah, makna dan tujuan hidup, yang secara obyektif dialami manusia,
akan tersingkir atau dianggap sebagai gejala subyektif belaka.

Sejak Descartes dengan cogito-nya, yang memakai ada tidaknya idea


atau gagasan yang jelas dan tegas (idea clara et distinct) sebagai tolak
ukur apakah sesuatu itu sungguh nyata atau sekedar khayalan, filsafat
modern telah menjadi berat sebelah oleh dominasi epistemologi. Apa
yang dianggap nyata adalah apa yang dapat secara jelas dan tegas dapat
diketahui, entah oleh intuisi akal budi (sebagaimana yang dipahami oleh
rasionalisme), entah berdasarkan pengamatan inderawi (sebagaimana
yang dipahami oleh empirisisme). Apa yang tidak dapat secara jelas dan

tertentu yang saya hadapi sekarang, itu merupakan produk sosio-budaya (bahasa) saya.
Dalam lingkungan sosio-budaya lain, realitas yang sama disebut dengan kata yang
berbeda. Demikianlah, masa lalu beserta lingkungan hidup langsung saya dan orang
yang saya berkomunikasi ikut terlibat dalam pernyataan di atas. Begitu pula masa lalu
beserta lingkungan hidup langsung benda yang saya sebut “meja” itu, karena tidak semua
benda yang saya sebut “meja” adalah persis sama dengan meja yang saya maksud.


tegas ditangkap oleh intuisi akal budi, ataupun yang tidak bisa diamati
secara inderawi, dianggap tidak nyata, tidak obyektif, dan sekedar suatu
penetapan sewenang-wenang oleh subyek. Dalam pandangan macam ini,
kenyataan yang samar-samar dan tidak dapat sepenuhnya dibuat eksplisit,
seperti kenyataan misteri, kenyataan yang bersifat ideal, dan masih
merupakan kemungkinan (what is possible and potential), belum dianggap
nyata. Padahal kenyataan Tuhan, kenyataan nilai-nilai, kenyataan makna,
arah dan tujuan hidup manusia sangatlah erat terkait dengan hal-hal
tersebut.

Demikianlah, filsafat yang mau setia terhadap keutuhan dan


kekayaan pengalaman dengan segala kompleksitasnya semestinya
bersikap kritis terhadap pandangan macam itu. Kalau dinyatakan di atas
bahwa prinsip metodis pertama penelitian filsafat semestinya berpangkal
dan bermuara pada pengalaman, arti “pengalaman” disitu sekali lagi
secara ontologis menyangkut seluruh kenyataan yang ada (dan menjadi),
dan secara epistemologis tidak boleh dibatasi hanya pada hal-hal yang
dapat diketahui secara alamiah dengan bukti-bukti empiris. Kenyataan
yang ada (dan masih dalam proses menjadi) adalah lebih luas dari pada
yang dapat diungkapkan secara logis dalam bahasa yang jelas dan lugas,
apalagi hanya dibatasi pada apa yang dapat dikuantifikasi dalam bentuk
angka-angka.

Memang, agar supaya dimensi empiris dan dan induktif kajian


filsafat tetap dijaga, sehingga teori atau kerangka pemikiran umum
yang dirumuskan tidak melulu bersifat spekulatif dan deduktif saja,
penelitian filsafat semestinya mengindahkan dan berdialog dengan ilmu-
ilmu khusus, atau ilmu-ilmu positif. Seperti masih akan kita lihat dalam
prinsip metodis ketiga nanti, penelitian fisafat perlu berdialog dengan
sains, agama, dan seni. Supaya ada dasar empirism dan nantinya teori
atau sistem pemikiran umum yang dirumuskannya dapat diterapkan
pada pengalaman nyata. Whitehead misalnya juga menyarankanm agar
kegiatan berfilsafat itu berangkat dari salah satu topik kepentingan
manusiam sebagaimana ditemukan dalam fisika , psikologi, fisiologi,


estetika, kenyakinan-keyakinan etis, sosiologi, ataupun dalam bahasa
sebagai gudang pengalaman manusia.20

Di atas sudah disinggung, bahwa selain pada perbedaan pengalaman,


baik dalam dimensi ontologis, maupun epistemologisnya, perbedaan
antara penelitian filsafat dan penelitian ilmu-ilmu lain yang bersifat
khusus juga terletak dalam macam generalisasi imaginatif yang dicoba
untuk dirumuskannya. Untuk menjelaskan hal ini baiklah kita masuki
saja prinsip metodis yang kedua bagi penelitian fisafat dalam model
pemikiran Whitehead.

Yang diperlukan adalah usaha merumuskan suatu sistem pemikiran


yang bersifat umum, menyeluruh, mendasar, terbuka dan dapat
menjelaskan seluruh dimensi pengalaman manusia. Prinsip metodis kedua
bagi penelitian filsafat ini dicoba ditarik dari apa yang oleh Whitehead
sendiri dirumuskan secara lebih ketat dan lebih ambisius sebagai
batasan pengertian untuk filsafat spekulatif. Ia merumuskan batasan
pengertian filsafat spekuatif sebagai “the endeavour to frame a coherent ,
logical, necessary system of general ideas in terms of which every element of our
experience can be interpreted” (Whitehead, 1979 : hlm. 3). Rumusan yang
mencerminkan rasionalisme Whitehead ini, walaupun sebagai seorang
rasionalis, dapat dikatakan rasionalistis yang moderat, karena ia sekaligus
seorang empirisis yang ketat dan ambisius untuk merumuskan apa yang
dapat dan semestinya dibuat oleh filsafat. Memang Whitehead sendiri
memaksudkan rumusan tersebut dapat secara asimptotis didekati. Namun
supaya lebih dekat dengan apa yang senyatanya dapat dibuat oleh filsafat,
ada baiknya bahwa rumusan cita-cita itu dibuat lebih moderat.

20 “… the conditions of success of imaginative construction must be rigidly adhered to. In the first
place this construction must have its origin in the generalization of particular factors discern in
particular topics of human interest; for example, in physics, or in physiology, or in psychology,
or in aesthetics, or in ethical beliefs, or in sociology, or in languages conceived as storehouses of
human experience. In this way the prime requisite, that anyhow there shall be some importance
application, is secured” (Whitehead, 1979: hal. 5).


Menyetujui pendapat Whitehead, filsafat semestinya berusaha
merumuskan suatu sistem pemikiran yang bersifat umum atas dasar
mana seluruh dimensi pengalaman kita sebagai manusia dapat dijelaskan.
Berbeda dari kebanyakan filsuf modern yang menolak atau paling tidak
mencurigai usaha filsafat untuk merumuskan suatu sistem pemikiran
umum atas dasar mana seluruh dimensi pengalaman manusia hendak
dicoba untuk dijelaskan, Whitehead tetap memilih kemungkinan, guna,
dan pentingnya usaha tersebut. Sistem atas dasar pemikiran umum yang
diusahakan perumusannya berdasarkan suatu generalisasi imaginatif
atas ciri-ciri pokok atau struktur dasar yang ditemukan dalam salah
satu dimensi pengalaman manusia dapat berfungsi sebagai pemberi visi
menyeluruh (synoptic vision) kenyataan yang ada.
Mendasari usahanya untuk merumuskan sistem pemikiran umum
yang berfungsi sebagai pemberi visi menyeluruh tersebut adalah
keyakinan Whitehead, bahwa
“usaha-usaha fragmentaris dalam bentuk gerakan kritik
historis dan filosofis atas pertanyaan-pertanyaan lepas (usaha yang
keseluruhan cukup dominan dalam dua abad belakangan ini) sudah
memberikan sumbangannya, dan kini perlu dilengkapi dengan
usaha yang lebih gigih dari pemikiran konstruktif ”21.
Di tempat lain ia juga mengatakan

“Manusia dapat berkembang subur dalam tahap-tahap hidup


yang lebih rendah melulu dengan cercah-cercah sinar pemikiran
yang masih bersifat primitif. Akan tetapi pada waktu peradaban
sudah mencapai puncaknya, tidak adanya suatu filsafat hidup yang
mempersatukan dan tersebar ke seluruh warga masyarakat akan
mengakibatkan kemerosotan, kejenuhan, dan kelesuan usaha”22.

21 “the movement of historical and philosophical, criticism of detached question, which on the
whole has dominated the last two centuries, has done it’s work, and requires to be supplemented
by a more sustained effort of constructive thought” (Whitehead, 1979, p.xiv)
22 “Mankind can flourish in the lower stages of life with merely barbario flashes of thought. But
when civilization culminates, the absence of a coordinating philosophy of life, spread through


Filsafat organisme Whitehead sendiri sebagai suatu filsafat spekulatif
bermaksud untuk memenuhi kebutuhan akan filsafat hidup semacam
itu.

Sebagaimana diyatakan dalam bagian pengantar bukunya “Process


and Reality”, salah satu motif dari suatu kosmologi yang lengkap, ke mana
filsafat organisme dimaksudkan, adalah untuk “menyusun suatu sistem
gagasan yang dapat memadukan kepentingan-kepentingan estetis, moral
dan religius dengan konsep-konsep dunia yang berasal dari ilmu alam”.
(Whitehead, 1979: hal. Xii). Pernyataan ini menggemakan kembali apa
yang sebelumnya pernah dia nyatakan dalam bukunya “Science and The
Modern World”, yakni bahwa merupakan tugas sekolah-sekolah filsafat
abad ini untuk meyediakan suatu visi atau gambaran tentang dunia yang
ditarik dari sains dan diintegrasikan dengan pengakuan akan pengalaman
estetis, moral dan religius kita. (Whitehead, 1967: hal. 156, 181).

Dalam usahanya untuk merumuskan suatu sistem pemikiran umum


atas dasar mana unsur-unsur pengalaman yang bersifat partikular dapat
dijelaskan atau diartikan, apa yang dibuat filsafat sebenarnya tidak
jauh berbeda dari ilmu-ilmu khusus, seperti sains yang juga berusaha
merumuskan teori dalam bentuk prinsip-prinsip atau hukum yang
berlaku umum. Seperti sudah dikemukakan di atas, ciri yang membedakan
filsafat dan sains terletak pada macam generalisasi imaginatif yang dicoba
untuk dirumuskannya. Teori ilmiah, sebagai suatu generalisasi imaginatif
pada sains, ruang lingkupnya terbatas pada macam-macam bidang
penyelidikan khusus. Teori astronomi, misalnya keberlakuannya terbatas
pada gejala-gejala perbintangan, teori fisika terbatas pada gejala-gejala
pada taraf fisis, teori biologi terbatas pada gejala-gejala pada taraf biotis,
dsb. Sedangkan sistem pemikiran umum sebagai generalisasi imaginatif
pada filsafat tidak terbatas semacam itu. Ruang lingkup keberlakuan

out the community, spells decadence, boredom, and the slackening of effort” (Whitehead,
1967a: p. 98)


sistem pemikiran umum dalam filsafat lebih luas, dan mempunyai kadar
keumuman atau tingkat universalitas yang lebih tinggi.

Selain ruang lingkup keberlakuannya lebih luas dan kadar


keumumannya lebih tinggi, sistem pemikiran umum yang dihasilkan
oleh penelitian filsafat juga lebih bersangkut paut dengan pertanyaan-
pertanyaan yang lebih bersifat menyeluruh dan mendasar. Dengan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh tidak dimaksudkan
bahwasanya filsafat tidak perduli akan perkara-perkara kecil dan detail.
Dalam kajian analitisnya untuk memperoleh kejelasan konsep dan
ketepatan penelitan, filsafat justru tidak jarang bergulat dengan perkara-
perkara kecil dan detail. Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan yang sekecil
apapun dalam filsafat muncul dari dan berkaitan dengan pertanyaan-
pertanyaan yang begitu inklusif, sehingga sangat sulit ditentukan batas-
batasnya. Pertanyaan semacam itu misalnya: “apa dan siapa itu manusia?”,
“apa itu pengetahuan, dan bagaimana berdasarkan susunan kodrati akal
budi manusia, proses, dan strukturnya secara hakiki dapat dijelaskan?”,
“apa itu kebenaran dan apa tolak ukurnya?”, dsb. Sedangkan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dimaksudkan pertanyaan
yang bermaksud mencari penjelasan yang paling dalam sampai ke
hakikat sesuatu. Filsafat tidak hanya secara kritis bertanya tentang apa,
siapa, bagaimana, di manan dan kapan untuk memperoleh jawaban yang
melulu bersifat deskriptif, tetapi juga dan lebih-lebih tentang mengapanya
sesuatu, sehingga diperoleh penjelasan yang tidak hanya dangkal-dangkal
saja.

Karena filsafat menggulati pertanyaan-pertanyaan yang bersifat


menyeluruh dan mendasar inilah maka filsafat dapat menawarkan
visi sinoptis atau visi menyeluruh yang diharapkan tidak hanya
sekedar member pengetahuan, tetapi juga kebijaksanaan atau kearifan.
Istilah”filsafat” sendiri, seperti sudah umum diketahui, secara harafiah
berarti “cinta kebijaksanaan”. Untuk dapat menawarkan visi menyeluruh
tentang realita yang tidak hanya memberi pengetahuan tetapi juga
kebijaksanaan, kajian filsafat tidak dapat tidak mesti berhadapan dengan


pertanyaan-pertanyaan yang bersifat evaluatif dan dengan demikian
masuk dalam hal-hal yang bersifat normatif. Untuk dapat menjelaskan
atau mengartikan berbagai segi pengalaman hidup manusia, suatu sistem
pemikiran umum yang dicoba untuk dirumuskan oleh filsafat perlu
didasarkan atas pengenalan akan pengetahuan yang ada dan penilaian
tentang derajat relevansi atau kepentingannya dalam rangka keseluruhan
hidup manusia.

Filsafat dari hakikatnya sebagai usaha rasional untuk menemukan


arti dan makna yang dalam dari seluruh aspek pengalaman manusia
atau mencari penjelasan tentang keseluruhan kenyataan, guna
memperoleh kebijaksanaan hidup, sekaligus mempunyai fungsi kritis-
evaluatif terhadap macam-macam pengetahuan yang diberikan oleh
ilmu-ilmu lain. Tentunya kritik dan evaluasi itu tidak mengenai kadar
kebenaran internal keilmuannya (kecuali kalau si filsuf juga ahli dalam
bidang ilmu yang bersangkutan), tetapi lebih dalam melihat fungsi dan
kedudukannya dalam keseluruhan kenyataan. Hal itu misalnya dilakukan
dengan menggali dasar-dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis
pengetahuan yang diberikan oleh ilmu-ilmu tersebut. Dalam kaitan
dengan dimensi aksiologis pengetahuan filsafat sendiri, karena filsafat
mempunyai fungsi kritis-evaluatif, maka penelitian filsafat erat terkait
dengan dunia nilai-nilai. Kalau dimensi aksiologis pengetahuan sains
lebih-lebih terkait dengan penggunaan pengetahuan tesebut, sedangkan
dimensi epistemologisnya dapat dikatakan relatif bebas nilai, pada
pengetahuan filafat, dimensi epistemologisnya pun sudah mengandung
suatu komitmen pada nilai-nilai tertentu.

Sistem pemikiran yang diusahakan untuk dirumuskan oleh filsafat


selain bersifat umum, menyeluruh, dan mendasar juga perlu bersifat
terbuka. Seperti dinyatakan oleh Whitehead, filsafat memang perlu
berusaha merumuskan sistem pemikiran umum yang sebaik mungkin
dan secara gigih mencoba menjelaskan atau mengartikan setiap aspek
pengalaman manusia atas sistem tersebut. (Whitehead, 1979: hal. 4).
Akan tetapi perlu diakui, bahwa sistem yang terbaik manapun yang


dapat dirumuskan oleh filsafat selalu bersifat tentatif. Kebenaran sistem
tersebut tergantung dari dapat digunakan tidaknya serta memadai
tidaknya dalam mengartikan setiap aspek pengalaman manusia. Inilah
sebabnya mengapa Whitehead mencirikan metode filsafat spekulatifnya
sebagai suatu hipotesa kerja. Maksudnya adalah gagasan umum yang
membimbing penelitian karena dapat dipakai

“untuk mengkoordinasikan ungkapan-ungkapan peng-


alaman yang dewasa ini terdapat pada pembicaraan biasa, dalam
lembaga-lembaga sosial, dalam kegiatan-kegiatan manusia, dan
dalam prinsip-prinsip macam-macam sains, untuk membentangkan
adanya keselarasan dan menunjukkan adanya ketidakseimbangan”.
(Whitehead, 1967: hal. 222).

Bagi Whitehead perlunya sistem pemikiran umum yang dirumuskan


filsafat itu bersifat terbuka juga menjadi nyata dalam penolakannya
terhadap apa yang dia sebut “dogmatic finality”, yang menurut dia tidak
hanya menghinggapi filsafat dan teologi, tetapi tiga abad belakangan ini
juga sains.23 Ia menyatakan bahwa dalam filsafat tidak ada perumusan
prinsip pertama metafisik yang bersifat final. “Kategori-kategori
metafisik bukanlah pernyataan-pernyataan dogmatis dari apa yang sudah
dengan sendirinya; kategori-kategori itu merupakan perumusan tentatif
dari generalitas yang bersifat ultim”. (Whitehead, 1979: hal. 8). Usaha
filsafat untuk merumuskan hubungan-hubungan umum yang terwujud
(exemplified) dalam fakta pengalaman merupakan usaha yang terus tanpa
henti. Bagi Whitehead, “rasionalisme tidak pernah melepaskan statusnya
sebagai petualanga eksperimental…rasionalisme merupakan petualangan
dalam mencari kejelasan pemikiran, bersifat progresif dan tidak pernah
final”. (Ibid. hal. 9). Sifat keterbukaan sistem pemikiran filsafat juga erat
terkait dengan sikap filosofis sendiri yang merupakan “usaha gigih teru
menerus untuk memperluas pengertian dari ruang lingkup penerapan

23 “During the medival apoch in Europe, the theologians were the chief sinners in respect to
dogmatic finality. During the last three centuries, their bad preeminence in this habit passed to
the men of science”. (Whitehead, 1967a: p. 145).


setiap gagasan yang masuk ke dalam pemikiran kita dewasa ini”.
(whitehead, 1968: hal. 171). Setiap sistem pemikiran umum yang berhasil
dirumuskan selalu bersifat sementara dan tidak pernah dapat diklaim
sebagai kata akhir. Seperti pernah dinyatakan oleh Whitehead: “In its
turn every philosophy will suffer a deposition”. (Whitehead, 1979: hal. 7).

Perlunya dialog dengan Sains, Agama, dan Seni.


Prinsip metodis ketiga untuk suatu penelitian filsafat dalam model
berfilsafat menurut Alfred North Whitehead adalah perlunya berdialog
dengan sains, agama, dan seni. Di atas sudah dinyatakan, bahwa filsafat
spekulatifnya yang disebut filsafat organisme merupakan suatu sistem
pemikiran umum yang diharapkan dapat memadukan minat atau
kepentingan-kepentingan estetis, moral, dan religius dengan konsep-
konsep dunia yang berasal dari sains.

Berkenaan dengan perlunya filsafat berdialog dengan sains, berbeda


dengan kebanyakan filsuf eksistensialis yang menganggap bahwa fisafat
tidak dapat mengharapkan apa-apa dari sains, Whitehead berpendapat,
bahwa untuk membebaskan dirinya dari pemikiran-pemikiran yang
terlalu abstrak dan kurang berdaya guna, maka filsafat perlu menjalin
hubungan yang erat selain dengan agama juga dengan sains, baik sains
kealaman maupun sosial. (Whitehead, 1979: hal. 15). Memang, berbeda
dengan kaum positivistis yang cenderung menjadikan filsafat sebagai
hamba sains, Whitehead kendati cukup bersikap positif terhadap sains
juga cukup kritis terhadapnya. Ia menolak kecenderungan positivisme
untuk memutlakkan sains sebagai satu-satnya bentuk pengetahuan yang
benar dan obyektif seraya menganggap bentuk-bentuk pengetahuan yang
lain sebagai tidak pernah dapat dinyatakan benar salahnya, karena melulu
bersifat subyektif.

Dalam hubungan dengan sains ini, menurut Whitehead, karena


filsafat bukanlah salah satu cabang sains dengan salah satu bentuk
abstraksi selektif tertntu, melainkan “The survey of science”, filsafat
mepunyai tugas pokok sebagai pemberi kritik terhadap macam-


macam bentuk abstraksi yang dibuat oleh sains. Dalam pelaksanaan
tugas ini filsafat memiliki fungsi ganda: 1) menyelaraskannya dengan
keseluruhan pengalaman, dan itu dijalankan dengan memberikan status
relatif yang sebenarnya dari ilmu-ilmu khusus sebagai abstraksi; dan 2)
melengkapinya dengan secara langsung membandingkannya dengan
penangkapan intuitif yang lebih lengkap terhadap seluruh kenyataan,
dan dengan demikian menunjang perumusan sistem pemikiran yang
lebih lengkap. (Whitehead, 1967: hal. 87). Khususnya dalam masa suatu
spesialisasi sains sudah semakin berkembang dan bahaya fragmentarisme
pengetahuan akibat reduksionisme semakin besar, filsafat diperlukan
untuk memberi gambaran yang lebih utuh tentang kenyataan.

Bagi Whitehead, sains dan filsafat merupakan “dua aspek yang


berbeda dari satu usaha besar budi manusia yang sama”. (Whitehead,
1967a: hal. 140). Keduanya merupakan kegiatan khas manusia untuk
megerti fakta-fakta individual yang bersifat konkret sebagai ilustrasi suatu
prinsip umum yang bersifat abstrak. Suatu sistem pemikiran filosofis yang
mempunyai maksud ambisius untuk memberi penjelasan menyeluruh
(comprehensive) atas kenyataan, kendati tidak secara langsung berguna
bagi sains, bukanlah sesuatu yang sama sekali tidak ada relevansinya
untuk sains. Konsep-konsep yang digunakan dalam sains sebenarnya
mengandung asumsi-asumsi metafisis tertentu yang diandaikan begitu
saja. Menurut Whitehead, (Whitehead, 1968: hal. 172) ilmuwan
(scientist) dan filsuf dapat dan perlu bekerja sama. Ilmuwan kadang-
kadang memerlukan ide baru yang dapat diinspirasikan oleh pemikiran
spekulatif para filsuf. Sebaliknya para filsuf diterangi untuk dapat melihat
makna sesuatu dengan memperhatikan kajian ilmiah tentang apa yang
diakibatkannya.

Berkenaan dengan perlunya filsafat berdialog dengan agama,


Whitehead menyatakan, bahwa salah satu kenyataan hidup manusia
yang perlu dikaji dan merupakan data pengalaman yang mesti diolah
oleh suatu refleksi filsafat adalah agama (Whitehead, 1979: hal. 15-16).
Baginya agama merupakan ungkapan salah satu bentuk pengalaman


manusia yang dasariah (“The expression of one type of fundamental experience
of mindkind”-Whitehead, 1979: hal. 190). Bersama dengan sains, agama
merupakan dua kekuatan umum yang mempengaruhi hidup manusia.
Salah satu masalah yang dianggap penting dan perlu ditanggapi oleh
generasi manusia abad ini adalah masalah hubungan sains dan agama.
“Bila kita memikirkan apa itu agama bagi umat manusia, dan apa itu sains,
bukanlah suatu hal yang dibesar-besarkan untuk mengatakan bahwa
jalannya sejarah masa depan akan tergantung dari keputusan generasi
sekarang tentang bagaimana hubungan antara keduanya dapat dijalin”.
(Ibid., hal 181). Dalam usaha merumuskan jawaban bagaimana hubungan
antara keduanya dapat dijalin tersebut, filsafat dapat memberikan
subangannya. Dalam pandangan Whitehead, filsafat akan membebaskan
dirinya dari cacat ketidakefektifannya (The taint of ineffectiveness), kalau
menjalin hubungan yang erat dengan agama dan sains. Filsafat mencapai
kepentingan utamanya, kalau berhasil memadukan keduanya dalam satu
sistem pemikiran rasional. (Whitehead, 1979: hal. 15).

Mengenai perlunya filsafat berdialog dengan seni, dalam pemikiran


Whitehead hal itu dikaitkan dengan keyakinan, bahwa filsafat dalam
sistem pemikiran umum yang dirumuskannya perlu merangkum
seluruh aspek pengalaman manusia (termasuk di dalanya pengalaman
akan nilai-nilai), dan tidak hanya terbatas pada minat kognitif saja.
Whitehead sendiri mengambil pengalaman estetis sebagai model dasar
untuk menjelaskan struktur dasar pengalaman. Ia menolak penafsiran
intelektualistik terhadap pengalaman, yakni penfsiran yang menganggap
pengalaman melulu sebagai bentuk awal dan pemberi materi untuk
pengetahuan. Seperti sudah dikemukakan di atas, bagi Whitehead
pengalaman itu jauh lebih kaya dan kompleks daripada pengetahuan.
Selaras dengan paham pemikiran ini, fungsi pokok suatu pernyataan
(proposition) bukanlah pertama-tama untuk ditetapkan benar salahnya,
melainkan sebagai rangsangan untuk penghayatan rasa (The lure for
feeling). Kategori “feeling” dalam filsafat Whitehead lebih primer atau
mendasar dari pada ketegori “knowing”. Baginya keindahan merupakan


kategori yang lebih luas dan lebih dasariah dari pada kategori kebenaran.
Dengan keindahan dia maksudkan “saling penyesuaian beberapa faktor
dalam suatu kejadian pengalaman” (“the mutual adaptation of several factors
in occasion of experience”-Whitehead, 1967a: hal 252).

Karena pengalaman estetis menjadi simbol atau model dasar untuk


menjelaskan pengalaman, maka bagi Whitehead, seni juga penting
untuk diperhatikan dalam kegiatan berfilsafat. Dalam pandangannya
seni merupakan salah satu unsur yang menandai peradaban manusia.
Dia mengerti seni sebagai usaha untuk secara sengaja menyesuaikan
apa yang nampak dengan realitas sebenarnya. (Whitehead, 1967a : hlm.
267). Tujuan karya seni adalah keindahan yang benar (truthful beauty),
keindahan yang di dasarkan atas kenyataan pengalaman. Nilai karya seni
dalam kehidupan manusia yang beradab terletak dalam fakta, bahwa
karya tersebut mengungkapkan dan mengembangkan daya kreatifitas
manusia yang dapat mengangkat dirinya mengatasi tuntutan-tuntutan
biologis melulu.

Bagi Whitehead salah satu sumbangan seni pada masyarakat


adalah sifatnya yang spontan dan berani bertualang (spontaneity and
adventurousness). Sikap advonturir (keberanian untuk mencoba yang
baru) mesti menandai juga suatu masyarakat beradab. “Without adventure,
civilization is in full decay”. (Whitehead, 1967a : hlm. 279).

“Suatu bangsa mempertahankan gairah kekuatannya sejauh


mengandung kontras yang sejati antara apa yang sudah terjadi
dan apa yang masih mungkin; dan sejauh bangsa itu digerakkan
oleh gairah kekuatannya untuk bertualang melewati batas-batas
keamanan masa lampau”. (Ibid. hlm. 279).

Modifikasi pola-pola yang sudah ada tidak kalah penting dari usaha
untuk melestarikan tradisi. Whitehead menolak konsep peradaban yang
hanya berorientasi ke belakang, yaitu konsep yang cenderung mengagung-
agungkan prestasi budaya masa lalu, dan menjadikannya sebagai model
untuk ditiru. Dalam hal ini seni dengan sifatnya yang spontan dan berani


bertualang dapat menyadarkan kita, bahwa peradaban merupakan suatu
proses aktif dan dinamis untuk mengembangkan daya kreatif manusia
dalam mewujudkan niai-nilai kemanusiaan.

Selain disadarkan bahwa dimensi dinamis dan kreatif manusia


serta kenyataan sendiri, dalam dialog dengan seni, filsafat juga dapat
menghindarkan diri dari apa yang oleh Whitehead disebut “The fallacy
of the perfect dictionary” (Whitehead, 1968: hal. 173). Dengan sebutan ini
dia maksudkan suatu keliruan berupa anggapan, bahwa manusia sudah
secara sadar memiliki gagasan-gagasan pokok yang dapat dipakai untuk
menjelaskan seluruh dimensi pengalamannya bahwa bahasa manusia,
baik dalam masing-masing kata maupun dalam frasa, dapat secara
eksplisit dan tepat mengungkapkan gagasan-gagasan tersebut. Anggapan
tersebut menurut Whitehead telah memandulkan pemikiran filsafat,
karena penelitiannya lalu hanya bergerak dalam ruang lingkup analisis
linguistis untuk mencari ketepatan arti dan ekspresi, serta menolak segala
bentuk pemikiran kreatif dan spekulatif. Filsafat memang perlu mengejar
kejelasan dan ketepatan pengertian. Ia juga harus selalu tunduk pada fakta
dan logika. Akan tetapi filsafat juga perlu memberi tempat pada bahasa
simbol dan kiasan untuk meangkapnya selalu dituntut adanya “a leap of
imagination”. Dalam arti ini maka, bagi Whitehead, filsafat itu berkerabat
dengan puisi. Dalam keduanya ada referensi pada bentuk yang mengatasi
arti langsung atau harafiah dari kata-kata yang digunakan. (Whitehead,
1968: hal. 174).

Daftar Pustaka
Bakker, Dr. Anton & Zubair, Drs. Achmad Charris, Metodologi Penelitian
Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1940.

Moleong, M.A., Dr. Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosmadja


Karya, Bandung, 1909.

Laueur, S.J., Quentin, The Nature of Philosophical inquiry, Marquette


University Press, Milwauke, 1989.


Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, 1987.

Whitehead, Alfred North, Science and the modern world, The Free Press,
New York, 1967.

_______________, Adventures of Ideas, The Free Press, New York,


1967a.

_______________, Modes of Thought, The Free Press, New York, 1968.

_______________, Procces and Reality, The Free Press, New York, 1979.

_______________, The Function of Reason, The Free Press, New York,


1958.


PENELITIAN PADA BIDANG ILMU FILSAFAT:
PERBANDINGAN USULAN PENELITIAN
OLEH : ANTON BAKKER 

A da suatu kesulitan konkret sekali yang dialami oleh seorang filsuf


atau ahli filsafat yang ingin mengadakan penelitian ilmiah. Ia akan
menghadapi formulir yang harus diisi untuk mengajukan usulannya.
Tetapi bentuk formulir yang sifatnya umum itu tidak selalu dengan mudah
dapat dicocokkan dengan metodologi seperti berlaku bagi penelitian di
bidang ilmu filsafat. Maka berguna sekali untuk mengadakan pengkajian
formulir usulan seperti berlaku umum, dan membandingkan bagian-
bagiannya yang relevan dengan tuntutan bagi suatu penelitian filosofis.

Formulir yang dipergunakan disini sebagai pegangan pertama ialah


USUL PROYEK PENELITIAN yang diajukan kepada Universitas
Gajah Mada Yogyakarta (akan disingkatkan UPP), yang harus
dialamatkan kepada Lembaga Penelitian UGM. Kemudian formulir
itu akan dilengkapi dengan PETUNJUK PENULISAN USULAN
PENELITIAN DAN TESIS (akan disingkatkan PPUPT), Fakultas
Pasca Sarjana UGM Yogyakarta 1989). Pada umumnya kedua dokumen
sesuai satu sama lain, walaupun urut-urutan bagian-bagiannya tidaklah

24 Makalah Simposium Metodologi Penelitian Filsafat dan Pertemuan Mahasiswa Filsafat


se-Indonesia I 27-29 Juni 1991, Yogyakarta. Diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat
UGM dan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga.


tepat sama. Dalam uraian ini akan dibicarakan satu persatu nomor-
nomor yang langsung berhubungan dengan isi suatu penelitian ilmiah
yang direncanakan, tetapi menurut urut-urutan yang agak bebas.

1. Permasalahan
UPP :”(...)masalah yang mendorong diadakannya penelitian ini”.

PPUPT :”(...)alasan-alasan mengapa masalah (...) menarik, penting,


dan perlu diteliti.(...) kedudukan masalah dalam lingkup permasalahan
yang lebih luas. “

1.1. Obyek Penelitian


Jenis atau gejala-gejala obyek penelitian atau masalah yang diteliti,
tergantung dari bidang ilmiah yang bersangkutan. Misalnya obyek
penelitian di bidang ilmu eksakta akan berbeda dari suatu obyek pada
bidang ilmu-ilmu sosial dan human. Akan tetapi kerap diasumsikan,
bahwa penelitian akan dilakukan mengenai suatu masalah aktual dalam
kenyataan, bahkan suatu masalah praktis, agar supaya dalam penelitian
ilmiah itu dapat ditemukan jalan pemecahannya. Asumsi itu diperkuat
dengan rumusan nomor tentang faedah penelitian (nanti nr.13).

Pertama-tama harus diteliti asumsi tersebut yang kerap terjadi.


Sekurang-kurangnya dalam UPP dan PPUPT tidak dikatakan apa-
apa tentang masalah yang ‘aktual’ atau ‘praktis’. Jadi sama sekali tidak
ditentukan, bahwa masalah penelitian harus bersifat praktis saja.
Memang harus disetujui, bahwa obyek penelitian itu harus memiliki
relevansi bagi status ilmu terkait, atau bagi keadaan masyarakat pada
saat sekarang. Namun kemungkinan bagi suatu penelitian teoritis tetap
terbuka lebar, misalnya bagi teori matematika, atau bagi dasar-dasar
ilmu-ilmu sosial, dan demikian juga bagi ilmu filsafat. Filsafat juga
mulai mempunyai konsekuensi praktis di cabang epistemologi dan
dalam etika. Akan tetapi sekurang-kurangnya bidang filsafat manusia,
filsafat alam dunia, filsafat ketuhanan, dan khususnya ontologi, hanya
membicarakan dasar-dasar kenyataan yang harus disebut teoritis.


Mungkin sekali dengan masalah ‘aktual’ dan ‘praktis’ juga
dipikirkan masalah empiris. Kesulitannya ialah bahwa istilah ‘empiris’
kerap diandaikan hanya berarti satu hal, yaitu menurut ilmu empiris
yang meneliti kenyataan yang dicerapkan. Akan tetapi empiri bagi ilmu
eksakta itu berbeda sekali dengan empiris bagi ilmu sosial-humaniora.
Dalam ilmu eksakta obyek penelitian adalah suatu bidang benda di
luar manusia, atau bidang kebendaan di dalam manusia sendiri.
Bidang itu dapat diobservasi dan dibuat obyek eksperimen. Obyeknya
bahkan dapat dihancurkan dalam jalan penelitian. Akan tetapi ilmu
sosial merupakan ilmu tentang perilaku manusia. Perilaku manusia itu
memang dapat diobservasikan. Akan tetapi eksperimen-eksperimen
dengan manusia hanya mungkin dilakukan dalam batas-batas yang
sangat ketat, dan harus dilindungi oleh pertimbangan etis. Dan yang
lebih penting lagi, perilaku manusia bukanlah saja suatu obyek yang
dapat dihitung dan diklasifikasi, melainkan juga diresapi dengan ‘arti’
dan ‘nilai’, dan ‘maksud’, dan oleh karena itu harus dipahami (Verstehen)
dalam interpretasi dan dialog[1]. Lebih lagi harus dipakai interpretasi
atau hermeneutika dalam rangka ilmu-ilmu humaniora. Mereka
pula meneliti obyek yang dapat diobservasikan, akan tetapi obyek
itu merupakan suatu phenomenon of Geist[2], yang harus diterobos
kulitnya untuk menemukan inti manusia yang diungkapkan di
dalamnya. Ilmu filsafat sendiri pun merefleksikan data-data manusia,
jadi hal-hal yang dapat diobservasikan. Akan tetapi khususnya refleksi
filosofis itulah bertujuan menerobos segala selaput dan mencari intinya
(perultimas causas). Maka penelitian filosofis pun tetap dapat disebut
suatu penelitian tentang obyek empiris, akan tetapi menurut arti yang
istimewa.

1.2. Aspek atau Hampiran terhadap Obyek Penelitian


Ilmu-ilmu empiris meneliti korelasi antara variabel-variabel entah
itu gejala-gejala fisik-biotik, atau antara fenomena-fenomena psikis-
human. Dan kemudian mereka mungkin juga berusaha merumuskan
suatu teori yang dapat menerangkan dengan paling baik segala


fenomena dan relasi-relasinya itu. Namun ada syarat, yaitu, agar teori
tersebut memang terletak pada bidang formal ilmu itu, maka harus
menyangkut obyek bidang terkait, misalnya pada bidang fisik mengenai
waktu dan ruang dan daya-daya, atau pada bidang biotik berhubungan
dengan hidup dan perkembangan dan antar relasi vital, atau pada
bidang manusia tentang perilaku manusia dan komunikasinya.

Filsafat mencari teori pula yang memberikan pemahaman bagi


segala fenomena mendasar dalam atau sekitar eksistensi manusia.
Namun teori filosofis pun terikat pada suatu obyek formal yang khas.
Obyek itu bukanlah ‘ada’, atau Tuhan, atau suatu bidang tindakan
manusia tertentu, melainkan adalah manusia menurut hakekatnya.
Segala fenomena dan segala masalah yang muncul berhubungan
dengan eksistensi manusia harus ditempatkan kembali dalam
hubungannya dengan hakikat manusia itu, dan menurut kedudukannya
dalam konteks itu. Maka penelitian filsafat tidak membatasi diri
pada penelitian politik atau pendidikan atau kebudayaan begitu saja.
Memang dapat berpangkal pada masalah konkret seperti itu [3],
akan tetapi dititik di mana ilmu sosiologi dan pendidikan dan budaya
berhenti, disitulah baru dimulai tugas ilmu filsafat. Filsafat berusaha
menyelami dasar-dasar problematik yang ada, seperti misalny, apa
itu materi ? Apakah yang menyebabkan manusia dapat dididik, dan
manakah tujuan pendidikan itu ? Apakah kebudayaan lebih merupakan
wujud ataukah roh? Jadi filsafat dapat juga disebut ilmu ‘empiris’, akan
tetapi menurut arti serta khusus.

1.3. Faedah yang dapat Diharapkan


UPP :”Faedah (...) [Untuk Pembangunan Negara dan Ilmu
Pengetahuan].”

PPUPT :(...)faedah bagi ilmu pengetahuan dan bagi pembangunan


Negara dan Bangsa.”


Dari pemikiran yang disebut di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa
dengan ‘faedah’ tidak hanya dimaksudkan hasil ‘siap pakai’. Juga penggalian
teori atau dasar-dasar masalah,bahkan dimensi-dimensi historis
yang memberikan pemahaman letaknya masalah dapat memberikan
sumbangan penting untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan untuk
pembangunan negara dan bangsa. Maka bagi penelitian filosofis, seorang
peneliti harus berani menunjukkan faedah yang agak ‘jauh’ itu dengan
jelas.

2. Tujuan atau Sasaran Penelitian


UPP: “Keaslian penelitian [(...) beda penelitian ini dengan penelitian-
penelitian yang telah disajikan dalam pustaka].” PPUPT: “Keaslian
penelitian (...) masalah yang dihadapi belum pernah dipecahkan oleh
peneliti terdahulu, atau (...)beda penelitian ini dengan yang sudah pernah
dilakukan. “. “(...) secara spesifik tujuan yang ingin dicapai.”

UPP menempatkan aspek keaslian sesudah Tinjauan Pustaka.


PPUPT menempatkannya dalam uraian pertama tentang permasalahan,
sebelum Tujuan penelitian. Perbedaan kedua formulir itu tidak perlu
didiskusikan. Tetapi jikalau ingin menggambarkan keaslian dengan
jelas, perlu juga diterangkan batas-batas keaslian penelitian terkait, dan
pembatasan itu langsung berhubungan dengan Tujuan penelitian. Maka
disini dibicarakan bersama-sama Keaslian dan Tujuan.

Sebagai tujuan penelitian tidak cukuplah mengajukan alasan-alasan


serupa dengan apa yang telah diuraikan dalam keterangan diatas tentang
obyek penelitian dan khususnya tentang faedahnya. Dimaksudkan agar
diterangkan level programatis dalam penelitian menurut luasnya, dan
menurut kebaruannya. Misalnya peneliti dapat berencana membuat
suatu pemecahan-permecahan yang telah diusahakan, dan perumusan-
perumusan masalah menurut pemahaman paling baru. Atau lebih
jauh ia dapat memberikan evaluasi kritis terhadap usaha-usaha itu. Ia
bisa berusaha membuat sintesis baru atas dasar pemikiran-pemikiran
yang telah dikembangkan, dan manyatukannya dalam satu kesatuan


organis. Atau ia dapat merombak seluruh hampiran sampai sekarang,
dan membuat pendobrakan pikiran yang mengubah cara meninjaunya.
Beberapa kemungkinan tersebut dapat dilaksanakan dalam perspektif
lebih historis, atau pula dalam rangka pemikiran yang lebih sistematis.
Akan tetapi penelitian selalu harus menghasilkan salah satu butir baru
yang membawa kemajuan ilmu, dan yang dengan demikian bermanfaat
pula bagi pembangunan masyarakat entah bagaimana pun.

3. Tinjauan Pustaka
UPP : “ (...) kepustakaan yang berhubungan dengan masalah’ yang
diajukan. “

PPUPT : (...) hasil-hasil penelitian (...) oleh peneliti terdahulu dan


yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan.. (...)
bahwa permasalahan (...) belum terjawab atau belum terpecahkan secara
memuaskan.”

Oleh karena penelitian ilmiah mencari pengetahuan yang baru,


maka kepustakaan harus memberikan informasi mengenai hal-hal yang
diselidiki sekitar masalah ini, atau yang dapat membantu sebagai landasan
untuk nanti merumuskan suatu teori lebih lengkap atau malahan baru.
Penelitian bermaksud melampaui tinjauan pustaka itu, sebab mencari
pemecahan masalah baru dengan bertitik pangkal dari data-data
pengalaman, eksperimen-eksperimen, angket, dan wawancara.

Dalam penelitian grounded kepustakaan tidak dipergunakan sebagai


dasar yang telah dapat diandalkan untuk membangun lebih lanjut.
Data-data, kategorisasi, dan parumusan teori yang dikumpulkan dari
kepustakaan dipergunakan sebagai inspirasi bagi pencarian pribadi, tetapi
sekaligus secara metodis dicurigai kebenarannya. Mereka hanya mau
dipercaya, jikalau telah diadakan suatu penelitian baru menurut rencana
sendiri, mungkin mengenai data-data yang sama.

Tetapi ada ilmu-ilmu di mana justru penelitian, kepustakaan dan


dokumen-dokumen merupakan inti penelitian, khususnya dalam bentuk


penelitian filosofis yang berciri historis. Dalam rangka proposal bagi
penelitian semacam itu belum dapat diberikan keseluruhan kepustakaan
dengan segala hasil penelitian, sebab dengan demikian telah akan disajikan
laporan lengkap tentang penelitian seutuhnya. Padahal penelitian masih
harus dimulai.

Maka berhadapan dengan tugas menyusun usulan penelitian, peneliti


tertawan dalam suatu lingkaran setan. Dari satu pihak penelitian dengan
segala tuntutan waktu, energi, dan modal, baru dapat disetujui atas dasar
suatu proposal. Akan tetapi penyusunan proposal dengan tinjauan pustaka
telah mengandaikan pelaksanaan penelitian sampai selesai. Bagaimana
dapat ditemukan tembusan, agar penelitian historis yang legitim itu
dapat dilaksanakan?

4. Landasan Teori
PPUPT: “Landasan teori dijabarkan dari tinjauan pustaka dan
disusun (...) sebagai tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian
dan untuk merumuskan hipotesis.”

Tesis:) “CATATAN: Untuk bidang-bidang ilmu tertentu mungkin


landasan teori, hipotesis, dan rencana penelitian, atau mungkin salah satu
(...) tidak ada (garis bawah dari penulis).”

Bagian proposal mengenai landasan teori bagi penelitian baru


berhubungan erat dengan penggunaan metodologi kuantitatif, seperti
lazim dipakai dalam penelitian ilmu-ilmu eksakta, akan tetapi tidak
jarang berlaku pula dalam ilmu-ilmu sosial. Dalam penelitian itu suatu
teori ilmiah diasumsikan telah menjadi baku, seperti misalnya teori
tentang listrik, atau tentang komposisi dan interaksi partikel-partikel
subatomer. Dari teori itu dideduksikan suatu hukum lebih khusus
bagi situasi dan kondisi tertentu, yang harus diselidiki kebenarannya
dalam praksis. Maka hipotesis juga diturunkan dari landasan teori, dan
penelitian tidak berbuat lain daripada memverifikasikan teori, atau
paling-paling memodifikasikannya. Tidak pernah dapat memberikan


teori baru (4). Konstelasi itu berbeda sekali untuk metodologi kualitatif,
seperti misalnya dikonkretkan dalam grounded method. Metode grounded
itu mencurigai segala teori apriori, dan hanya rela menyusun teori, dan
sedapat mungkin itulah teori baru, atas dasar data-data, kategorisasi
sistematis, dan penarikan hipotesis-hipotesis. Jadi dalam hal demikian
justru teori baku sendiri menjadi masalah atau obyek penelitian, dan
bukanlah menjadi dasar.

PPUPT secara eksplisit menyebut kemungkinan, bahwa landasan


teori, hipotesis dan rencana penelitian, atau salah satunya, tidak ada.
Namun catatan itu tidak akan memecahkan segala kesulitan, sebab
mesti proposal yang diajukan untuk disetujui, jikalau tanpa dilengkapi
dengan hal-hal tersebut, akan mengalami kesulitan. Maka secara praktis
lebih baik mencari akomodasi dan penyesuaian menurut kekhasan obyek
formal ilmu filsafat. Dan memang harus bertanya, apakah peneliti filsafat
pun tidak memiliki latar belakang teoritis bagi rencana penelitiannya?
Apakah memang tidak mempunyai harapan akan hasil penelitian
tertentu? Apakah memang tidak mempunyai rencana mengenai langkah-
langkah yang akan diambilnya dalam penelitian ?

Dalam penelitian filosofis kerap diteliti teori seorang filsuf, dan


dianalisis saja isi dan artinya. Teori seperti itu diuraikan dengan teliti, dan
diperlihatkan implikasi-implikasi bagi hidup manusia dan masyarakat.
Atau dapat juga penelitian tersebut ditinjau dari suatu buku. Dalam
hal-hal itu, sesuai dengan tujuan, ingin diberikan suatu inventarisasi,
atau evaluasi kritis, atau sintesis (baru), atau bahkan suatu interpretasi
baru. Mungkin terjadi, bahwa disajikan suatu teori sebagai landasan
bagi penggarapan tersebut. Akan tetapi dalam banyak kasus hanya
akan dilakukan saja penelitian itu atas dasar pembacaan teliti terhadap
naskah asli. Lalu memang tidak dapat diharapkan, bahwa diajukan suatu
landasan teori.

Lebih lagi terjadi demikian, andaikata ahli peneliti filsafat ingin


mencari suatu teori atau pandangan sistematis serba baru, tidak ada


teori yang dapat diajukan sebagai dukungan. Semua teori dirasa kurang
memuaskan dan kurang memadai. Paling-paling dapat diuraikan, dan
diperlihatkan, dalam hal mana teori-teori yang telah tersedia itu kuat atau
lemah, sehingga atas dasar analisis itu dengan mudah dapat diperlihatkan
suatu pemecahan baru.

5. Hipotesis
UPP : “ Hipotesis atau Keterangan empiris yang diharapkan
[ Jabarkan dari tinjauan pustaka tentang perkiraan hasil yang akan
diperoleh].”

PPUPT: (...) pernyataan singkat yang disimpulkan dari landasan


teori atau tinjauan pustaka dan merupakan jawaban sementara terhadap
masalah (...), dan masih harus dibuktikan kebenarannya. “

Hipotesis dalam ilmu empiris diperoleh dengan beberapa cara. Cara


pertama adalah deduksi dari teori yang sudah mapan, seperti disajikan
dalam tinjauan pustaka, diambil alih dari tokoh-tokoh- lain, dan tidak
usah dipersoalkan lagi. Dalam penelitian empiris yang dilaksanakan,
akan diselidiki kebenaran hipotesis itu dalam kenyataan. Cara demikian
dilawan oleh pelopor-pelopor metode grounded (5). Jikalau hipotesis
yang dideduksikan itu ditemukan tidak cocok, maka penelitian dianggap
gagal, habis perkara. Akan tetapi biasanya tidak akan dipertanyakan teori
sendiri, sebab dianggap sudah menjadi baku. Padahal ketidakcocokan
hipotesis itu memberikan pula informasi yang penting (6).

Karl Popper sebetulnya telah mengajukan teori penelitian yang maju


dengan lebih jauh. Setiap penelitian ilmiah harus mencoba menjatuhkan
hukum-hukum dan teori-teori yang telah distabilkan (7). Tidak harus
dicari verifikasi, melainkan falsifikasi. Jadi setiap peneliti ilmiah harus
berciri seorang revolusioner yang berusaha menggoncangkan tatanan
yang telah berlaku.

Dalam metode grounded sudah lain fungsi hipotesis. Semulanya


hipotesis ilmiah kerap berbentuk suatu firasat, atau semacam rasa tidak


enak dengan teori dan keterangan-keterangan yang telah diberikan
sekitar salah satu masalah. Maka hipotosis diajukan sebagai suatu
keragu-raguan terhadap ilmu yang sudah established. Peneliti ingin
mencari suatu jalan baru (heuristika), misalnya dengan mempertanyakan
asumsi-asumsi dasar teori tadi, atau dengan menemukan inkonsistensi-
inkonsistensi dalam teori yang telah diterima umum (8). Maka firasat
itu dirumuskan sebagai suatu teori tandingan. Dan untuk menetapkan,
apakah memang ada sesuatu yang tidak beres, atau yang tidak klop,
diadakan suatu eksplorasi pertama, entah masih sangat informal atau
sudah lebih formal. Jikalau kecurigaan dan firasat tadi memang ditemukan
ada dasarnya , maka dimulai mengadakan penelitian secara resmi, dengan
mengumpulkan data-data, diadakan komparasi, dan sebagainya. Dalam
proses pengumpulan data-data dan pembentukan kategorisasi teratur,
firasat pertama itu menjadi semakin mantap, telah mendapat kaki dan
tangan, dan menjadi hipotesis yang semakin diartikulasikan.

Kerap dikatakan, bahwa dalam filsafat tidak terdapat hipotesis,


namun pernyataan itu perlu dikaji. Secara analogal dengan hipotesis ilmu
eksakta yang dideduksikan dapat diturunkan salah satu konsekuensi logis
dari konsepsi seorang pakar filsafat, yang harus mempunyai kebenaran,
jikalau konsepsinya tentang manusia atau tentang Tuhan itu benar.
Kemudian dapat diadakan pencarian pangukuhan hipotesis itu. Akan
tetapi penelitian semacam itu tidak begitu lazim di ilmu filsafat. Yang
lebih banyak dilakukan ialah inventarisasi, evaluasi, pembuatan sintesis,
atau uraian konsepsi baru, seperti dirumuskan dalam rangka ‘tujuan’
penelitian.

Jikalau mengadakan inventarisasi, penelitian kritis, mencari sintesis,


atau konsepsi baru, biasanya telah ada suatu firasat atau konsepsi
tentatif mengenai apa yang diharapkan akan menjadi hasil penelitian
yang direncanakan. Firasat atau konsepsi tentatif seperti itu dapat
saja diajukan sebagai hipotesis pokok yang mengarahkan penelitian.
Prosedur ini memang tidak sesuai dengan pembentukan hipotesis dalam
metodologi kuantitatif, akan tetapi lebih senada dengan hipotesis dulu


gaya grounded method. Dalam penelitian selanjutnya biasanya konsepsi
tentatif itu menjadi semakin kuat atas dasar data-data yang dikumpulkan.
Akan tetapi mungkin sekali pula, bahwa dalam perjalanan penelitian
sendiri hipotesis itu harus dimodifikasi berkali-kali. Bahkan mungkin
juga, bahwa pada akhir penelitian ternyata hipotesis semula salah sama
sekali, dan bahwa terbuktilah justru sebaliknya. Dengan hasil demikian
penelitian bukanlah gagal, melainkan harus disebut menjadi sukses
besar, sebab suatu konsepsi yang ternyata hanya prasangka belaka telah
difalsifikasi oleh data-data nyata.

6. Cara Penelitian
6.1. Rencana Penelitian
PPUPT (tesis) : “(...) jembatan penghubung antara hipotesis
dengan cara penelitian, (...) (yaitu) langkah-langkah yang akan diambil
untuk membuktikan kebenaran hipotesis.”

Di bidang ilmu eksakta seperti fisika dan teknik, seluruh cara


menangani penelitian dapat membutuhkan set-up yang kompleks.
Mungkin harus mencari cara pandekatan yang tertentu, atau urut-
urutan langkah-langkah yang tepat, atau konstelasi alat-alat yang
relevan. Cara itu harus diterangkan dalam proposal. Ilmu-ilmu sosial
juga perlu mendeskripsikan cara mendekati pribadi-pribadi atau
kelompok yang diteliti. Harus diterangkan apakah memakai kelompok
kontrol, dan manakah langkah-langkah yang akan diambil dalam
mengumpulkan data.

Dalam rencana penelitian bagi penelitian filosofis pula dapat


diterangkan langkah-langkah yang akan diambil untuk mencapai apa
yang telah ditunjukkan sebagai tujuannya. Pada umumnya langkah-
langkah itu akan merupakan prosedur standar. Misalnya ada langkah
mengumpulkan kepustakaan tertentu yang dapat diperincikan menurut
jenis dan arahnya. Langkah kemudian adalah mengumpulkan dan
mengolah informasi-informasi entah mengenai tokoh, atau mengenai


topik, atau mengenai suatu fenomena atau aktual di masyarakat, dan
sebagainya. Sumber-sumber dapat diterangkan secara lebih terperinci,
dapat dideskripsikan kekhususan yang harus diperhatikan pada masing-
masing jenis sumber, dan kesulitan-kesulitan yang dapat ditemukan
(9). Ada langkah mengadakan komparasi-komparasi dengan berbagai
konsepsi filosofis. Ada juga langkah melokalisasikan topik, tokoh, atau
situasi dalam lingkungan dan zamannya sendiri.

6.2. Bahan atau Materi


UPP: “(...) bahan atau materi utama yang akan dipergunakan (...)
dan sifat-sifat yang harus ditentukan.”

PPUPT: “(...) populasi atau sampel,(...) dan sifat-sifat atau


spesifikasi yang harus ditentukan. “

Ketentuan bahan atau materi dengan jelas menunjukkan macam


penelitian tertentu. UPP seakan-akan secara eksklusif dimaksudkan
bagi ilmu eksakta. PPUPT lebih menunjukkan ‘materi’ di bidang
biotik, psikis, atau sosial-human. Bagi suatu penelitian filosofis,
nomor tentang bahan atau materi ini entah dihilangkan saja, atau pula
disesuaikan. Misalnya dapat diulang deskripsi yang telah diberikan
dalam bagian ‘permasalahan’, jadi dengan singkat ditunjukkan tokoh,
atau buku atau diberikan penggambaran fenomena-fenomena yang
akan diselidiki.

6.3. Alat
UPP: “(...) gambar dan uraian tentang alat utama: yang akan dipakai.“

PPUPT: “yang dipakai untuk menjalankan penelitian (...) dan kalau


perlu disertai dengan gambar dan keterangan-keterangan.”

6.3.1. Alat ‘Fisik’

Nomor tentang alat ini mengandaikan, bahwa dalam penelitian


dipakai salah satu alat pengukuran. Alat seperti itu terutama berlaku


bagi bidang eksakta, seperti fisika, kimia, teknik, atau misalnya
pertanian. Mungkin juga berlaku bagi psikologi eksperimental.
Kerap alat penelitian itu harus ditemukan dan dikonstruksikan
secara khusus bagi penelitian aktual. Dalam banyak ilmu sosial alat
yang digunakan lebih berbentuk sebuah tes, atau angket, atau case-
description. Dalam ilmu sejarah dipergunakan dokumen-dokumen
dari arsip-arsip.

Menurut cara bicara biasa sebetulnya dalam penelitian filsafat


tidak dipergunakan alat. Dalamn penelitian kepustakaan tentu saja
dipergunakan karya-karya tertulis sebagai alat penelitian, tetapi arti
kata ‘alat’ sudah cukup luas. Dalam penelitian langsung mengenai
kenyataan dapat dipergunakan angket, akan tetapi mutlak perlu
pamakaian wawancara, dan observasi dan introspeksi langsung.
Tidak terpakai alat pengumpulan atau alat pengukuran fisik sama
sekali, sebab tidak cocok dengan obyek formal filsafat.

6.3.2. Logika dan Bahasa sebagai Alat

Bagi penelitian filsafat dapat dipertanyakan, apakah logika


mungkin merupakan suatu alat? Tetapi dalam hal logika pada
umumnya sulit sekali ditunjukkan suatu kekhususan, sekurang-
kurangnya jikalau dimaksudkan cara berargumenntasi dan
membuktikan kebenaran. Tentu saja jikalau dengan ‘logika’
dimaksudkan keseluruhan metodologi penelitian, segenap isi
proposal ini lagi harus diperhitungkan, khususnya cara penelitian
nanti (nr.64). Tetapi pada umumnya dapat diandaikan, bahwa selalu
dan dimana-mana dipergunakan logika. Artinya tidak lain daripada
menggunakan alat pikiran sehat. Mungkin hanya dalam aliran
neopositivistis akan dipentingkan penggunaan logika matematis
sebagai alat(?).

Bagi penggunaan bahasa pada dasarnya berlakulah hal yang


sama. Bahasa tidak dapat disebut sebagai ‘alat’ khusus, seperti
dimaksudkan dalam nomor ini. Namun oleh karena penelitian


filsafat menurut abjek formalnya berbicara tentang manusia dan
hakikatnya, maka pentinglah pemakaian deskripsi. Seperti dalam
metodologi kualitatif diberikan tempat besar bagi deskripsi kasus-
kasus unik, demikian pula dalam penelitian filsafat diberi tempat
luas bagi deskripsi, atau menceritakan tentang keunikan situasi dan
orang. Tidak ada apa-apa yang dianggap sudah jelas atau sudah
diketahui. Segala hal yang lazimp dilalaikan, atau bahkan tidak
dilihat, oleh karena pendidikan dan kebudayaan harus ditatap
kembali, dan digambarkan menurut apa adanya. Dalam usaha
deskripsi tentang kasus-kasus unik demikian, dengan sendirinya
bahasa filosofis itu akan lebih bersifat analogal daripada univokal.
Artinya setiap segi atau unsur konkret merupakan penghayatan lain
dan lain dari suatu struktur umum.

6.4. Cara Penelitian


UPP: “(...) cara menjalankan penelitian dan (macam) data yang akan
dikumpulkan.”

PPUPT: “Jalan penelitian (...) tentang cara melaksanakan penelitian


dan mengumpulkan data.

6.4.1. Induksi dan deduksi

Secara kasar dapat dibedakan dua tipe ilmu fundamental, yakni


menurut dua prosedur penelitian yang paling pokok(10). Ilmu yang
satu berciri induktif, yaitu mengumpulkan data-data atas dasar
pengalaman, observasi, introspeksi, eksperimentasi, dan sebagainya.
Dari data-data singular mau ditemukan trend, atau kebiasaan,
atau hukum, lebih umum untuk bidang tertentu. Ilmu yang kedua
berciri deduktif, yaitu dari hukum-hukum umum diturunkan
instansi-instansi yang khusus atau pula yang singular. Namun
walaupun menurut kesan pertama ilmu-ilmu dapat dibagi dalam
dua kelompok yang jelas, nyatanya setiap ilmu mempergunakan
kedua ciri itu dalam kesatuan. Kesatuan kedua segi itu disebut


‘siklus empiris’ (11), tetapi sebenarnya tidak ada salah satunya
yang mendahului yang lainnya. Mereka seakan-akan merupakan
suatu lingkaran (12). Dalam UPP dan PPUPT diandaikan saja
penggunaan proses empiris dalam pengumpulan data. Dan memang
semua ilmu empiris menekankan penggunaan proses iduksi. Maka
terutama proses pengumpulan data itu harus dideskripsikan di
dalam proposal, dan harus ditunjukkan lebih lanjut gejala-gejala
khusus bagi ilmu tersebut.

Penelitian filosofis pun mempergunakan kedua proses, yakni


induksi dan deduksi. Mereka saling mengandaikan dan saling
melengkapi. Data-data diambil entah dari karya-karya filosofis
yang diteliti, atau dari fenomena dan situasi yang direfleksi, dan
metode mengumpulkannya dapat diterangkan dengan teratur. Akan
tetapi pemahaman struktur-struktur dasar kenyataan yang dimiliki
peneliti ikut secara aktif dalam seleksi dan sistematisasi spontan
terhadap data-data itu. Kedua proses berhubungan dalam tegangan
dialektis dengan pengaruh timbal balik di antaranya. Sebenarnya
sebaiknya kesatuan kedua proses diterangkan dalam proposal. Akan
tetapi mungkin sekali akan menimbulkan keragu-raguan bagi
ahli-ahli yang harus memberikan penilaian bagi proposal filosofis
itu. Maka dengan lebih praktis proses itu diterangkan saja seperti
dibuat oleh Beerling (13), yaitu sebagai suatu urut-urutan yang satu
sesudah yang lainnya.

6.4.2. Komparasi

Bagi metodologi kuantitatif kerap tidak ada, atau akan terbatas


sekali perbandingan-perbandingan yang dibuat. Paling-paling
diadakan perbandingan dengan kelompok kontrol. Akan tetapi
dalam metodologi kualitatif justru comparative analysis merupakan
bagian esensial dalam pengumpulan data, dan khususnya dengan
menentukan sifat-sifat khas bagi masing-masing kategori yang
muncul dari data-data (14). Komparasi itu diadakan diantara


kelompok-kelompok, situasi-situasi, dan struktur-struktur, baik
yang sangat serupa maupun yang sangat berbeda, untuk menemukan
tidak hanya kesanaan, tetapi juga perbedaan diantaranya.

Perbandingan yang paling penting untuk dipergunakan


dalam bidang filsafat, adalah perbandingan di antara tokoh-tokoh,
aliran-aliran, periode-periode, konsepsi-konsepsi, dan karya-karya.
Bagi penelitian ilmiah di bidang filsafat, suatu perbandingan
yang relevan akan menjadi esensial. Justru komparasi demikian
menjamin tepatnya hasil pengumpulan data dengan klasifikasi dan
sifat-sifatnya.

6.5. Variabel
PPUPT: Variabel yang akan dipelajari dan data yang akan
dikumpulkan,(...) termasuk jenis dan kisarannya.

Dalam metode kuantitatif dari semula telah ditentukan variabel-


variabel yang akan diteliti korelasinya. Sebaliknya dalam metode
kualitatif, sama seperti terbentuknya hipotesis, juga penentuan
variabel-variabel harus muncul dari proses empiris sendiri. Sudah ada
variabel-variabel inti termuat dalam firasat masalah yang mendorong
untuk mengadakan penelitian. Akan tetapi mungkin sekali, bahwa
dalam perjalanan, penelitian sendiri persepsi pertama tentang variabel-
variabel itu harus dirombak sama sekali, atau dikualifikasi secara
substansial.

Penelitian filsafat lebih sesuai dengan gaya metode kualitatif itu.


Variabel-variabel dapat ditentukan dan dideskripsikan secara tentatif,
akan tetapi mungkin mengalami suatu perubahan besar dalam proses
penelitian. Asal dinamika itu diterima, pada permulaan penelitian itu,
variabel-variabel yang relevan dapat disaring dari permasalahan seperti
telah dirumuskan. Variabel-variabel itu diidentifikasi dengan cara agak
terpisah, sehingga perbedaan satu sama lain menjadi jelas. Kemudian


tergantunglah dari data-data yang dikumpulkan, apakah variabel-
variabel itu dipertahankan, diperluas, ataupun diganti sama sekali

6.6. Analisis Hasil


UPP :(...) cara menganalisis hasil penelitian termasuk analisis
kimia, fisis, mekanis, atau lainnya.

PPUPT :”(...) model dan cara menganalisi hasil.”

Bagi metode kuantitatif dalam ilmu eksakta dan ilmu sosial


tersedialah banyak model dan alat untuk membuat analisis terhadap
hasil pengumpulan data. Biasa sekali dipakai model statistik, atau
tabel-tabel yang dibuat atas dasar penelitian yang lain bagi analisis data
sosiologis atau hasil tes psikologis. Dalam metode kualitatif sudah agak
berbedalah analisis data-data dan kategorisasinya. Hipotesis-hipotesis
berusaha menyimpulkan segala pemahaman yang dilahirkan oleh
pengumpulan data-data dan kategorisasinya menjadi sejumlah korelasi
yang masih agak lain. Kemudian teori final menyatukan segala butir
itu dalam suatu konsepsi menyeluruh, yang memberikan pemahaman
bagi inti masalah, dan memberikan kedudukan proporsional bagi
segala variasi yang ditemukan. Dalam penyatuan itu dipergunakan
prinsip koherensi, totalisasi atau kelengkapan, dan kesuburan bagi
pemahaman lebih lanjut (15).

Penelitian filsafat mempergunakan beberapa prinsip bagi


pengolahan hasil dari pangumpulan data yang paling karakteristik,
yaitu secara meningkat, yakni koherensi, totalisasi atau holistika, dan
idealisasi. Prinsip koherensi mungkin masih paling umum bagi semua
usaha ilmiah. Segala konsep, bagian, oposisi, dan relasi, harus dapat
diselaraskan satu sama lain, sehingga tidak terjadi kontradiksi atau
inkonsistensi di antaranya. Prinsip ini mendapat bobot tambahan
dalam kesatuan dengan prinsip kedua. Totalitas atau holistika
menuntut pemahaman radikal dan prinsipal, sehingga (sesuai dengan
obyek formal filsafat sendiri) teks, masalah, atau situasi dipandang


dalam hubungan dengan hakikat manusia (16). Prinsip ketiga, yaitu
idealisasi, juga cukup khas bagi filsafat, walaupun tidak eksklusif.
Pada umumnya filsafat, dengan segala pemahaman struktur-struktur
kenyataan, bermuara dalam suatu etika, yaitu das Sollen bagi tindakan
manusia sebagai manusia, tidak hanya secara umum, melainkan juga
secara khusus dan terarah bagi setiap bidang yang dipertimbangkannya.
Juga analisis filosofis terhadap suatu kebudayaan atau suatu etika
bangsa memperlihatkan aspek idealisasi itu (17). Kerap aspek
idealisasi itu dibatasi pada etika sosial. Akan tetapi sebenarnya juga
filsafat kebudayaan filsafat sejarah harus mempunyai dimensi idealisasi
itu. Dan tidak lupa juga epistemologi secara terbatas dikuasai oleh
idealisasi filosofis.

7. Penutup
Perbandingan antara segi-segi penelitian filsafat dengan formulir
usulan yang berlaku umum memberikan kesempatan menyoroti
kekhususan penelitian filsafat dibandingkan dengan penelitian di bidang-
bidang ilmiah lain. Walaupun terdapat banyak keserupaan, namun semua
segi penelitian filsafat diwarnai secara khusus oleh obyek formal filsafat,
dan oleh metode berpikir yang oleh karena itu berlaku pada ilmu filsafat.
Asal kekhususan itu dihormati dan diberi tempat dan kesempatan oleh
lembaga-lembaga ilmiah umum, maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa
memang ilmu filsafat memiliki metodologi penelitian tersendiri, dengan
unsur-unsur khas seperti telah diuraikan tadi. Akan tetapi metodologi
itu toh tidak begitu jauh berbeda dari metodologi di bidang-bidang lain,
khususnya dengan metode kualitatif. Maka dialog dengan ilmu-ilmu lain
tetap mungkin, bahkan sangat diperlukan.

Yogyakarta, 25 Juni 1991


Dr. Anton Bekker

Catatan Kaki:


1. “In all thase instances is indeed reference to the observation of physical
facts, but we do not observe actions qua actions artifacts, institutions
qua institutions,”

2. Rickman, H.P, “Geisteswissenschaften’, dalam The Encyclopedia


of Philosophy, ed. P Edwards, Macmillan, New York, 1967, jilid ke
3, hlm. 275-79

3. Misalnya dalam model “Penelitian (filosofis) mengenai Masalah


Aktual”, A.Bakker dan A. Charris Zubair, Metodologi Penelitian
Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm. 107.

4. B.G. Glaser and A.L Strauss, Penemuan Teori Graunded: Beberapa


Strategi Penelitian Kualitatif, alih bab, Abd. Syukur Ibrahim dan
Machrus Syamsuddin, Usaha Nasional, Surabaya, 1985, hlm
28-29. (Asli : The Discovery of Grounded Method ; Strategies for
Kualitatife Research, Chicago, Aldina, 1967).

5. Ibidem

6. Van Peursen, C.A, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar


Filsafat Ilmu, diterj. Oleh J.Drost, Gramedia, Jakarta, 1985, hlm
107. (asli; De Opbouw van de Wetenschap ; Een Inleiding in de
Wetenschapsleer, Meppel, Boom. 1980) (Seri Filsafat atma Jaya 3).

7. Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl


R. Ropper, Gramedia, Jakarta, 1989, hlm 49ss.

8. Van Peursen, o.c., hlm 103 ss

9. Magnis–Suseno, F., Etika Jawa, Gramedia, Jakarta, 1954, hlm


10-11, (Asli ; Gevanische Ethik ; Strukturen either ostlichen Moral,
1980)

10. R.F. Beerling, S.L. Kwee,J.J.A. Mooij, dan C.A. Van Peursen,
Pengantar Filsafat Ilmu, alih bab. Soejono Soemargono, Tiara


Wacana, Yogyakarta, 1986, bab 2 dan 3, (Asli : Inleiding tot de
Wetenschapsleer, Utrecht, Bijleveld, 1970)

11. Beerling, o.c.,hlm 61ss

12. Misalnya contoh yang diberikan untuk ilmu hukum oleh K,


Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, jil.I, Jakarta, Gramedia,
1981, hlm 231.

13. Beerling, ibidem.

14. Glaser, o.c., hlm 161-194.

15. Bak Madison, G.B, The Hermeneutics of Postmodernity : Pi Gures


and Themes, Indiana University Press, Bloomington, 1988, hlm
29-30.

16. “A Whole” menurut Ricoeur, P., Hermeneutics and the Human


Sciences ; Essays on Language, Action and Interpretation, ed., trasl
and introd, J.B.Thompson, repr. Cambridge University Press,
Cambridge, 1982, hlm. 211. (Asli : 1981)

17. Magnis-Suseno, o.c., hlm 4.


METODE FILSAFAT DALAM TINJAUAN ILMU AGAMA
OLEH : M. AMIN ABDULLAH

M etode filsafat semakin hangat dibicarakan oleh para ilmuwan sosial,


setelah metode yang dipergunakan dalam bidang ilmu-ilmu pasti-
alam berkembang pesat dan menyelinap masuk ke dalam wilayah ilmu-
ilmu sosial. Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah tonggak monumen
sejarah bagi para filsuf yang ingin membentuk ‘unified science’, yang
mempunyai program untuk menjadikan metode-metode yang berlaku
dalam ilmu pasti-alam sebagai metode pendekatan dan penelitian ilmu-
ilmu kemanusiaan, termasuk di dalamnya filsafat. 25

Gerakan para filsuf dalam Lingkaran Wina ini disebut oleh sejarah
pemikiran sebagai positivisme-logis. Meskipun aliran pemikiran
ini mendapat tantangan luas dari berbagai kalangan,tapi gaung
pemikiran yang dilontarkan oleh aliran positivisme logis masih terasa
hingga saat sekarang ini. Bukan karena pemikiran mereka yang patut
dihidupkan kembali, tetapi implikasi pemikiran mereka setidaknya telah

25 Allan Janik dan Stephen Toulmin, Wittgenstein’s Vienna, Simon dan Schuster, New York,
1973, hal.208-9.Disampaikan dalam Siposium Metodologi Penelitian Filsafat, Fakultas
Filsafat Universitas Gajah Mada dan Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 27-28 Juni 1991.


membangkitkan kesadaran kita untuk memunculkan pertanyaan, apakah
kehidupan manusia yang serba kompleks ini dapat dipecahkan lewat
pendekatan positivistik, pemisahan yang lugas antara ‘teori’ dan ‘praxis’
antara ‘value’ dan ‘fact’, antara ‘scientism’ dan ‘hermeneutism’?

Agaknya, tarik tambang antara metode penelitian filsafat yang


bercorak positivisme-logik atau empirisisme-logik dengan metode
pendekatan filosofis yang bercorak hermeneutik-praxis akan terus
berlangsung sampai kapanpun jua, lantaran justru disitulah letak
inti pergumulan keprihatinan manusia sekarang ini. Argumen yang
dikemukakan oleh kedua aliran yang berhadapan itu barangkali sulit
untuk dicerna oleh orang awam, tetapi secara diam-diam mereka telah
mempunyai corak pemikiran yang terpolakan secara filosofis seperti
tersebut di atas. Tindakan pemihakan kepada salah satu metode tersebut
tidak akan pernah hilang dari sejarah pemikiran manusia.

Kalangan para kritikus sosial merasakan, bahwa aspek pemihakan


kaum ilmuwan dan intelektual kurang menggigit persoalan yang
sebenarnya dihadapi oleh manusia. Hal demikian disebabkan, antaranya
karena metode pendekatan yang biasa mereka gunakan cenderung untuk
mengantarkan mereka untuk bersikap ‘neutral’ dan obyektif. Jika hal
ini benar adanya, maka letak pertautan antara teori dan ‘praxis’, antara
‘obyektivitas ‘dan ‘subyektivitas, antara ‘metafisika’ dan ‘etika’, perlu
untuk ditelaah ulang. Bentuk pemisahan atau pertautan antara keduanya
penting untuk dikaji ulang, bukan sekedar untuk kepentingan studi itu
sendiri, tetapi untuk menelaah bagaimana implikasi dan konsekuensi
pemisahan atau pertautan antara keduanya terhadap bentuk struktur
kehidupan pribadi dan sosial manusia, serta sejauh mana tingkat apresiasi
mereka terhadap alam lingkungan sekitarnya .

Tindakan memihak agaknya memang kurang begitu populer di


kalangan para ilmuwan, politisi, filsuf dan teoritisi, karena dalam kata-kata
‘pemihakan’ terkandung makna ketidakmurnian, dan bias para ilmuwan.
Obyektivitas (netral) dan bukan subyektif (pemihakan) yang selalu
dikejar oleh berbagai pendekatan positivistik dalam ilmu-ilmu pasti-alam
dan juga dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, termasuk di dalamnya filsafat,
sosiologi, psikologi, ekonomi, antropologi, dan lain sebagainya. Para
pendukung aliran positivisme-logik maupun empirisisme-logik dalam
studi filsafat memang menghindari ‘subyektivitas’ sedapat-dapatnya,
agar mereka memperoleh ‘esensi’ atau ‘hakekat’ persoalan secara obyektif.
Barangkali mencari ‘esensi’, ‘substansi’, atau ‘hakekat’ itu sendiri tidaklah
begitu perlu dikhawatirkan, karena itulah satu-satunya jalan yang perlu
ditempuh untuk menemukan struktur fundamental dari semua fenomena
dan pengalaman manusia dalam ilmu pengetahuan. Akan tetapi implikasi
dan konsekuensi dari pengejaran target seperti itu dapat melebar dan
menjebak para ilmuwan untuk bersikap ahistoris dalam melihat dan
mendalami persoalan-persoalan manusia seutuhnya. Kristalisasi sikap
seperti itu yang oleh para pengamat disebut scientism dan positivisme.26

Dalam hubungan ini, pembahasan metode filsafat agaknya relevan


untuk dibicarakan lagi disini, mengingat bahwa perkembangan pemikiran
filosofis, termasuk pembahasan metodologinya, sangat berpengaruh
dalam bidang ilmu-ilmu yang lain. Setidaknya pembahasan ulang seperti
itu adalah untuk menajamkan sikap kritis kita terhadap perkembangan
pemikiran manusia modern. Apakah pengalaman konkret kehidupan
sosial manusia dalam kehidupan sehari-hari mereka perlu dikurung,
perlu disaring dan disaring ulang untuk mencapai titik esensi dengan
meninggalkan historisitas dan kesejarahan manusia ? Hal ini akan semakin
dirasakan pentingnya jika kita kaitkan dengan pendekatan agama, di
mana faktor subyektifitas dan pemihakan tampak lebih menonjol dalam
kehidupan beragama.27

Dalam makalah ini, kita akan meninjau serba sekilas apa yang
terjadi dalam pergumulan filosofis yang menandai adanya ‘paradigm

26 Rorty, Richard, Philosophy and the Mirror of Nature, Princeton University, New-Jersey,
1979, hal. 379-94
27 Babour, Ian G., Issues in Science and Religion, Harper Torchbooks, Harper and
Row,Publishers, New York, 1966, hal.190-4, 226-8.


shift’ dalam metode pemikiran filsafat abad 20 dari corak positivistik ke
hermeuneutik. Kemudian akan kita lihat tinjauan ilmu agama terhadap
pergumulan filosofis tersebut. Di samping tinjauan ilmu agama terhadap
metode filsafat, kita juga akan melihat keprihatinan internal ilmu agama
sendiri, karena pengaruh timbal balik oleh metode pemikiran filsafat
aliran positivisme dan empirisisme dalam wilayah ilmu agama itu
sendiri. Lantaran ‘agama’ mempunyai paradigma tersendiri, maka akan
menarik untuk melihat bagaimana pandangannya terhadap pergumulan
metodologis dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan.

Paradigm Shift Dalam Metodologi Filsafat


Mencari esensi dan substansi adalah obsesi para filsuf. Plato
adalah sumber inspirasi utamanya. Bahwa diseberang sana ada ‘idea’
yang terpisah, yang tetap, yang obyektif, yang terlepas sama sekali dari
kehidupan sehari-hari manusia. ‘Idea’ itu permanen, tidak berubah-ubah,
transenden, dan itulah hakekat yang sesungguhnya. Kehidupan alam
manusia yang berubah-rubah ini adalah tidak bisa dijadikan ukuran untuk
melakukan suatu tindakan, karena sifafnya yang ‘unreal’ (tidak nyata)
dalam dirinya sendiri. Mereka cuma sebagai penampakan dari ‘idea’ yang
nyata tersebut. Alam materi adalah alam yang tiada artinya (non-Being).
Dengan demikian, yang transenden diperlawankan secara tajam dengan
yang imanen. Menurut pengamatan para filsuf pragmatis Amerika, ajaran
inilah yang menjadi warna khas filsafat Eropa Continental sejak Yunani
purba sampai Eropa modern.

Dalam sejarah perkembangannya, metode pemikiran filosofis


yang mengacu kepada idea yang obyektif dan permanen ini mendapat
sumbangan yang sangat berharga dari August Comte dengan teori
positivismenya. Metode yang berkembang sebagai antitesis dari pemikiran
skolastik ini lalu berkembang dan bergabung menjelma menjadi warna
yang paling mencolok bagi metode filsafat Eropa Kontinental yang
bersifat esensialis, konstruksionis, dan positivis. Pengalaman dan tradisi
Eropa ini dipertanyakan oleh pengalaman Amerika dibawah pemikiran


Charles Sanders Pierce, John Dewey, dan Whitehead. Namun sekarang
ini, bukan hanya aliran pragmatisme Amerika saja yang mempertanyakan
kecenderungan filsafat Eropa Kontinental, tetapi kritik tajam juga muncul
dari benua Eropa sendiri lewat pemikiran-pemikiran Max Horkheimer
(1595-1373), T.W Adorno (1903-1969), Herbert Marcuse (1898-1979)
dan Juergen Habermas ( 1929 - ).

Warisan metodologi filsafat Eropa dipertanyakan secara serius


oleh aliran metodologi filsafat-Amerika, lantaran latar belakang sejarah
mereka yang sangat berbeda. Eropa mewakili tradisi kuno, yang sudah
established, kokoh, sudah terbentuk dan terpola, sedang Amerika adalah
bentuk budaya yang sama sekali baru, yang sedang mencari bentuk
dan identitas. Para filsuf Amerika sangat sadar akan adanya tantangan-
tantangan sejarah yang sangat berbeda dari apa yang dialami oleh Eropa.
Latar belakang sejarah yang berbeda ini menjadikan mereka mempunyai
kesadaran metodologis-filosofis yang sangat berbeda. Agaknya, klaim
yang menyatakan bahwa filsafat semata-mata ingin mengejar sesuatu
yang bersifat ‘universal’, permanen, ‘obyektif ’, tanpa mengenal kondisi
setempat adalah patah disini. Eropa mempertahankan bentuk yang
‘permanen’, ‘absolut’, ‘substansi’, ‘esensi’, yang tidak berubah-rubah.
Sedang Amerika bergulat dengan ‘proses’ dan sejarah yang berubah-ubah.
Latar belakang sejarah yang berbeda agaknya membentuk metodologi
pemikiran dan penelitian filsafat yang berbeda pula 28.

Hal ini penting untuk di garis bawahi, supaya kita tidak terlalu
pesimis untuk mengembangkan metodologi pemikiran filosofis tersendiri,
sehingga dapat memberikan andil dalam dialog budaya global, tanpa
perlu harus meninggalkan ciri khas kepribadian dan kesejarahan kita.

Untuk melihat berbagai kemungkinan itu, kita akan melihat terlebih


dahulu pemikiran-pemikiran filosofis yang melatarbelakangi munculnya

28 Wolf-Gazo, Ernest, American Philosophy as Process Philosophy: On Pierce, Royce and Process
in Community, (makalah belum diterbitkan-pada 1991).


‘paradigm shift’ dalam metodologi pendekatan filsafat, dari yang
dulunya semata-mata memunculkan tokoh-tokoh esensialis, positivis,
commensurealis, universalis, dan transendentalis ke arah pendekatan
metodologis yang bercorak hermeneutik-historis-dialogis. Akan disebut
di bawah ini beberapa tokoh filsuf yang mewakili munculnya paradigma
baru dalam metodologi pendekatan filsafat.

Kembali ke Bahasa Sehari-hari: Sumbangan Filsafat Bahasa


Dalam sejarah filsafat, metodologi yang dikedepankan oleh
Wittgenstein mempunyai pengaruh yang kuat di dalam menciptakan
‘paradigm shift’ di lingkungan metode pemikiran filsafat. Dia meninggalkan
‘Picture Theory’ yang dipertahankan dalam Tractatus-Logico-Philosophicus.
Dalam teorinya ini, dia beranggapan bahwa akal manusia adalah
sebagai representasi dari pada alam. Antara akal dan alam harus ada
hubungan yang tepat. Tugas akal tidak lain adalah untuk menggabarkan
‘external world’ dengan setepat-tepatnya. Antara yang benar dan yang
salah dapat dengan mudah diketahui lewat prinsip verifikasi. Dengan
berpedoman secara ketat kepada prinsip verifikasi seperti itu, maka
banyak pengalaman manusia yang tereduksi, bahkan dihilangkan sama
sekali. Pengalaman kejiwaan manusia yang sangat kaya tidak mendapat
tempat yang sewajarnya dalam konteks verifikasi tersebut. Tetapi, dalam
pemikiran periode pertama itu, Wittgenstein sendiri telah mentok dalam
menghadapi kenyataan adanya ‘unsayable things’ atau pengalaman mistik.
Ternyata pengalaman yang tak terkatakan ini tidak bisa dicakup dalam
picture theory-nya.29

Lantaran mentok seperti itu, maka dalam karya berikutnya The


Philosophical Investigations, dia merubah metode pendekatan filsafatnya.
Dia ajukan teori ‘language game’ yang agaknya lebih bisa menampung
segala macam pengalaman manusia yang amat kaya. Dalam teori
terbarunya ini, tidak ada perngalaman manusia yang perlu dicoret lagi
dari daftar pengalaman manusia. Semua pengalaman manusia adalah

29 Wittgenstein, Ludwig, Tractatus Logico Philosophicus, 6.522


‘meaningful’, termasuk didalamnya metafisika, etika, maupun agama.
Cuma, wilayah permainan bahasanya yang berbeda. Wilayah permainan
bahasa ilmu pengetahuan berbeda dari wilayah permainan bahasa
agama. Kedua wilayah permainan bahasa ini tidak bisa dicampur aduk,
apalagi kalau sampai yang satu menggeser yang lain. Ibarat orang main
catur, jalannya pion adalah berbeda dari jalannya kuda. Masing-masing
mempunyai wilayah keabsahannya sendiri. Jangan melamun akan adanya
suatu pemahaman yang universal, yang menghilangkan warna dan ciri
khas budaya masing-masing. Yang ada adalah family resemblance. Bahasa
doa berbeda dari bahasa matematika. Bahasa menyuruh berbeda dari
bahasa lelucon 30.

Orisinalitas Wittgenstein terletak pada kreatifitasnya dalam


membangun sistem metodologi filsafat yang baru. Dia terus terang
mempertanyakan relevansi dan kegunaan metodologi yang selama itu
berjalan. Sebelumnya filsafat identik dengan pencarian yang ‘absolut’,
substantif, dan obyek yang paralel dengan mencari ilmu pengetahuan
alam, seperti hukum alam yang ajek, materi, atom, dan energi. Dengan
demikian dunia budaya dan sosial kemanusiaan tidak tersentuh.

Wittgenstein membuka cakrawala baru dengan mengatakan, bahwa


pengalaman manusia yang begitu kompleks dan luas, sehingga mustahil
untuk dapat direduksi menjadi apapun. Metode ilmu pengetahuan
yang berkembang pesat saat itu tidak dapat berpretensi untuk dapat
menyelesaikan dan memahami kehidupan manusia yang amat kompleks.
Usulan untuk membawa metode ilmu pengetahuan yang bersifat
positivistik-empiris dalam kehidupan manusia ditolak oleh Wittgenstein,
karena hal itu tidak sesuai dengan bidang kajian perilaku dan pengalaman
manusia secara utuh.

30 Wittgenstein, Ludwig, The Philosophical Investigations, Basil Blackwel, Oxford,


1978, paragraf 23, h.11.


Wittgenstein mempertanyakan ambisi para filsuf aliran posivistik
yang tergabung dalam Lingkaran Wina yang ingin menggunakan
metode ilmu pengetahuan positif-verifikatif dalam bidang kajian ilmu-
ilmu kemanusiaan. Metode ini tidak tepat, karena bidang garapnya
adalah lain. Pengalaman manusia yang tidak dapat diverifikasi bukan
berarti bahwa pengalaman itu meaningless. Dengan kata lain, pengalaman
kejiwaan manusia tidaklah perlu diseret-seret ke dalam wilayah verifikasi
ilmu pengetahuan yang empiris-positivistik, karena hal demikian akan
menjadikan kehidupan manusia impoverished, tandus, dan mandul.

Masukan dari Filsafat Ilmu


Perlunya perubahan wawasan metodologi penelitian filsafat yang
bercorak positivistik ke humanistik-hermeneutik agaknya semakin
menonjolkan sosoknya. Bahkan dalam bidang yang paling dekat
dengan kulit positivisme sendiri, yakni ilmu pengetahuan, ternyata
faktor subyektivitas manusia dan kesejarahannya perlu tetap diakui
keabsahannya. Bukan hanya aspek logikanya yang terpokok, tetapi juga
aspek subyektivitas-kesejarahan manusianya juga perlu digaris bawahi.

Thomas Kuhn, sebagai orang yang menekuni sejarah ilmu


pengetahuan, mengemukakan temuannya, bahwa antara satu teori ilmu
pengetahuan, seperti teori pisika Aristoteles, adalah sulit sekali untuk
dapat dibandingkan dengan teori fisika Newton. Demikian pula sulit
untuk dibandingkan teorinya Newton dengan teori kuantum mekaniknya
Einstein. Masing-masing punya ciri khas, sehingga sulit untuk di cari
titik temu dari segi obyektivitas dan keuniversalannya. Bukan segi
universalitas dan obyektivitas ilmu pengetahuan yang ditekankan disitu,
tetapi yang ditonjolkan adalah kenyataan, bahwa teori ilmu pengetahuan
yang satu dapat dikoreksi oleh teori ilmu pengetahuan yang lain.31

31 Khun, Thomas, The Structure of Scientific Revolotions, The University of Chicago Press,
Second Edition, 1970. Juga Brown, Harold I., Perception, Theory and Commitment: The
New Philosophy of Science, The University of Chicago Press,Chicago, 1977, h. 134-9


Jika hukum Newton (juga hukum-hukum sosial, ekonomi, psikologi)
itu berlaku secara universal, tanpa mengenal keterbatasan manusia dalam
menyusun teori itu, maka bagaimana dapat dimungkinkan teori Newton
yang dulunya berlaku secara universal kemudian dapat digoyahkan
oleh teori baru, yakni teori Einstein ? Lalu, apa arti obyektivitas dan
universalitas dari pada teori yang dikemukakan oleh para pencetusnya?
Paradigma hukum fisika yang dibangun oleh Newton ternyata
lekang karena panas dan lapuk karena hujan. Bukankah itu pertanda
bahwa obyektivitas tersebut cuma sebatas kemampuan manusia yang
merumuskannya? Agaknya, obyektivitas dan universalitas hukum alam
itu sangat tergantung dan terkondisikan oleh faktor sejarah dan kekuatan
interpretasi manusia serta kreatifitas mereka sendiri.32 Jika memang begitu,
lalu apa arti obyektivitas yang dijadikan acuan utama dari penelitian? Jika
begitu keadaannya dalam ilmu alam, maka bagaimana halnya jika hal itu
terjadi dalam ilmu-ilmu kemanusiaan ?

Dengan munculnya Kuhn, ide commensurability menjadi kurang


relevan. Kita perlu mencari model lain yang lebih tepat untuk mendekati
suatu persoalan. Jika tidak, kita akan terjebak pada paradigma yang
kita kira sangat layak, namun ternyata meleset sama sekali. Adanya
normal dan revolutionary science sangat memberi inspirasi pada
generasi ilmuwan berikutnya untuk merumuskan kembali paradigma
metodologi penelitiannya. Ternyata adagium yang dilontarkan oleh
golongan positivistik bahwa nothing new under the sun, karena semuanya
telah ditemukan oleh para penemu teori-teori besar terdahulu, dapat
dipatahkan. Adanya revolutionary science membuktikan, bahwa disana
masih banyak ‘something new under the sun’. Hal itu sangat tergantung
pada faktor subyektifitas, sejarah, dan kreativitas manusia dalam menatap
tatanan kehidupan, masyarakat, dan alam yang sudah mapan. Harold I
Brown malah menandaskan bahwa “any creative act is rational”.33

32 Brown, Harold. I., Ibid. h. 155


33 Ibid. h. 132


Kritik Ideologi
Jalan masuk yang disumbangkan oleh filsafat bahasa dan filsafat
ilmu kemudian diperlebar dan diperkeras oleh Juergen Habermas. Jangan
dibayangkan adanya kesamaan titian jalan yang mereka lalui. Mereka
mempunyai cara pendekatan kritis-filosofis yang berbeda dalam melihat
persoalan aktual manusia. Titik kesamanaan pandangan mereka cuma
terletak pada kesepakatan, bahwa metode pemikiran dan penelitian
filsafat yang bersifat positivistik tidaklah tepat untuk mengkaji persoalan
manusia yang kompleks.

Kritik Habernas tidak lain adalah kritik terhadap scientism dan


positivisme yang sudah berubah baju menjadi ‘ideologi’. Menurutnya,
scientism dan positivisme sudah menjadi ideologi yang tertutup, lantaran
ideologi ini berpegang teguh pada hukum yang positif-obyektif baik
dalam ekonomi, sejarah, sosial, sehingga tidak fleksibel lagi, dan tidak
kondusif untuk melakukan ‘paradigm shift’ dalam menatap realitas
struktur sosial yang ada. Hukum sosial seperti survival for the fittest yang
berlaku di banyak bidang kehidupan dianggap memang begitu adanya,
sehingga mempengaruhi struktur kehidupan sosial ekonomi dalam
masyarakat luas. Hukum tersebut dianggap obyektif, universal, dan perlu
berlaku dimana-mana. Yang mempertanyakan validitas dan obyektivitas
teori tersebut malah dituduh sebagai tidak ilmiah. Hukum yang dianggap
obyektif tersebut terlepas dari basis sosial yang ada. Hukum-hukum itu
terlepas dari kenyataan sosial dan berdiri sendiri. Hukum-hukum yang
positif-obyektif mempunyai status seperti ‘idea’ Plato yang terlepas dari
peristiwa keseharian manusia. Hukum-hukum dan teori-teori inilah yang
dikejar oleh para ilmuwan alam dan sosial.

Keyakinan yang dipegang teguh oleh para ilmuwan hampir dari


segala cabang ilmu pengetahuan ini paralel saja dengan keyakinan para
filsuf terhadap teori ‘Form’ atau ‘Idea’ Plato yang obyektif, permanen,
transenden, perlu dan univesal, yang terlepas dari proses kesejarahan
manusia. Ini mirip dengan transendentalisme Kant yang bersifat


‘necessary dan universal’ atau ‘roh absolut Hegel yang mengacu kepada
masyarakat yang rasional’, atau positivisme Marx yang tidak mengenal
fleksibilitas hukum sejarah untuk merubah nasib kaum proletar. Ada
semacam keyakinan bahwa esensi yang dicari-cari oleh para filsuf atau
hukum-hukum alam dan sosial yang dicari-cari oleh para ilmuwan, jika
sudah ketemu, tidak dapat berubah dan memang tidak perlu dirubah-
rubah untuk disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Jika masih dapat
dirubah-rubah, maka hal demikian tidak obyektif lagi, tidak ilmiah, tidak
transendental, dan tidak universal.

Ternyata penonjolan secara tajam tuntutan atas sikap obyektif, positif,


exact, lugas, dan dingin tanpa disadari membawa serta kecenderungan yang
menepikan sikap subyektif dan sikap yang memihak. IImu-ilmu menjadi
neutral dan kurang peduli dengan perkembangan masyarakat modern
yang semakin teralienasi dari masyarakat sekitar dan lingkungannya.
Karena netralitasnya itu, mereka merasa risi dan tidak terpangggil untuk
melihat bangunan struktur masyarakat yang tidak adil. Hal demikian
dianggap di luar bidang garap mereka. Dengan begitu, semacam ada
keterputusan antara ilmu sebagai profesi dan tanggungjawab sosial
maupun lingkungan para pencetusnya.

Oleh karena itu, pertautan antara metafisika dan etika, antara teori
dan praxis, memang hendak digalakkan kembali oleh para filsuf sekarang
ini. Ilmu pengetahuan yang maju pesat tanpa keterikatan moral untuk
memihak kepada alam lingkungan dan golongan manusia yang lemah
menandakan ada something wrong dalam dasar logika, epistemologi,
maupun ontologinya. Mekanisme kerja yang mempertautkan kembali
antara keduanya sedang dicari-cari modus operandinya. Metafisika yang
cenderung cuma berkehidupan kontemplatif, terlepas dari kepedulian
sosial dan lingkungan alam sekitar, agaknya memang tidak banyak


bermanfaat untuk kehidupan secara utuh dan global diatas bumi yang
semakin sempit ini.

Masih jarang para filsuf yang mengkaji pertautan antara metafisika,


dan etika. Karl Apel Otto dan Emmanuel Levinas34, untuk menyebut
beberapa, juga Soedjatmoko,35 mencoba mendalami dan memecahkan
masalah itu. Jika memang ke arah sana titik temu keprihatinan yang
dicita-citakan pemikiran filosofis, maka hal itu agaknya pararel saja
dengan apa digarap oleh penelitian agama. Meskipun yang terakhir ini
belum lagi memunculkan konsep yang menggigit juga dalam hal etika
kepemihakannya.

Tinjauan Ilmu Agama


Apakah istilah tinjauan ini tepat atau tidak perlu kita
pertimbangkan kemudian, karena menurut penulis antara paradigma
metodologi penelitian dan pemikiran filsafat serta metodologi ilmu
agama agaknya sama, tapi tidak serupa.36 Perlu dibedakan terlebih dahulu
apa yang disebut dengan ilmu agama atau science of religion dari ‘teologi’.
Acap kali para pakar ilmu agana mengklaim, bahwa bidang garap mereka
bukanlah teologis semata, karena dalam science of religion ditonjolkan
aspek pendekatan ilmiah terhadap fenomena keberagamaan manusia,
baik lewat studi psikologi agama, sosiologi agama, fenomenologi agama,
antropologi, dan sejarah agama.37 Mercia Eliade dalam The Quest yang
mensitir Ninia-Smart, umpamanya, menuduh ahli-ahli psikologi
dan sosiologi sebagai para reduksionis, lantaran tidak atau kurang
memperhatikan faktor agama dalam kajian mereka 38.

34 Radnitzky, Gerard, Contemporary Schools of Metascience, Berlingska Boktryckereit,


Swedia, 1970, hal. 160-85.
35 Soedjatmoko, Etika Pembebasan, LP3ES, Jakarta, 1988.
36 Ali, H.A. Mukti, Ilmu Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, tt.,
h.56.
37 Ibid. hal. 55, 57.
38 Smart, Ninian, The Science of Religion and the Socioloqy of of Knowledge: Some
Methodological Questions, Princeton University Press, New Jersey, 1973, hal. 66


Para teolog terlebih-lebih lagi kurang simpati terhadap pendekatan
ilmiah terhadap agama, karena mereka menganggap para ahli-ahli ilmu
agama mereduksi agama sebagai hanya gejala-gejala sosial semata,
sehingga aspek spiritualnya kurang mendapat prioritas.39 Peter L, Berger,
sebagai contoh,dengan teori proyeksinya, juga disebut oleh Ninian Smart
sebagai reduksionis.40 Jadi memang ada semacam ketegangan antara
kaum teolog, baik di kalangan Katolik, Kristen, Islam, Buddha, Hindu
dengan para ilmuwan agama di satu pihak, dan ketegangan serupa antara
ahli-ahli ilmu agama dengan para ahli ilmu sosial di lain pihak.

Pengaruh timbal balik antara metode filasafat dan metode ilmu


agama sangat terlihat. Penulis melihat bahwa metode-metode filsafat
yang mengejar ‘esensi’, ‘substansi’ dan ‘obyektifitas murni’ juga mengimbas
kepada metodologi ilmu-ilmu agama. Pencarian esensi beragama manusia
adalah sudut bidik utama para ilmuwan agama. Rudolf Otto dengan
‘sensus numinus-nya’, Ninian Smart dengan ‘Fokus’nya, Mercia Eliade
dengan ‘essence of religion-nya’, Claas J Bleeker dengan ‘eidos’nya dan
Joachim Wach dengan ‘ultimate reality’nya. Ninian Smart berpendapat
begini, “the need for a transcendental focus to enter into descriptions of man’s
…., but wrongly supposes that such descriptions must commit one to affirm the
existence of a divine living”. 41

Joachim Wach sendiri secara ekplisit pernah mencurigai arah


pendekatan ilmu-ilmu agama, terutama ilmu sejarah agama, yang
mengarah kepada studi tentang hal-hal kurang bermanfaat dengan
mengatakan:

“There is a pathetic about the modern historians of religions


who has strong words only when he wants to convince us that he

39 Ali, H.A. Mukti, “Penelitian Agama di Indonesia”, dalam Mulyanto Sumardi


(ed.), Penelitian Agama, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1982, hal.23; Juga,
Matulada, “Pene1itian Berbagai Aspek Keagamaan Dalam Kehidupan Masyarakat
dan Kebudayaan di Indonesia”, ibid, hal. 56, 59.
40 Smart, Ninian, Op.cit., hal.76.
41 Ibid. hal. 57


has no convictions. His interest, so he says, is antiquarian or the
result of sheer intlectual curiosity. He is neutral as far as religion is
concerned”42.

Suatu sindiran tajam yang mempertanyakan ke arah mana studi


agama dan ilmu agama memihak.

Transcendental focus adalah ciri khas ilmu-ilmu agama yang ingin


dipertahankan di hadapan kajian para ilmuwan sosial yang biasa
mereduksi agama hanya sebagai gejala-gejala sosial semata. Dengan
begitu, ilmuwan agama, selain mempunyai ke tegangan metodologis
dengan para teolog, juga mempunyai ketegangan yang sama dengan para
ilmuwan sosial. Barangkali, atas keprihatinan ini, lalu Prof. Dr. H.A.
Mukti Ali mengajukan rumusan metodologi penelitian ilmu agama yang
bersifat ‘scientificcum-doctriner dengan harapan dapat menjembatani
adanya ketegangan tersebut. Tanpa aspek doktrin, agama memang akan
kehilangan nuansa dan ciri khas yang mewarnainya 43.

Sudah barang tentu, banyak jasa ilmu-ilmu agama ini di dalam


mengendorkan konflik-konflik teologis di antara para penganut agama-
agama didunia. Uraian-uraian segar tentang agama dapat mengendorkan
ketegangan urat saraf yang mengklaim kebenaran eksklusif setiap agama.
Monopoli kebenaran agama itu dapat terkurangi dengan masukan-
masukan yang disampaikan oleh pendekatan ilmu-ilmu agama.

Terlepas dari jasa tersebut, dilihat dari tinjauan dan keterkaitannya


dengan metodologi filsafat yang sedang mengalami ‘paradigm shift’ di atas,
maka agaknya metodologi ilmu-ilmu agama yang menitikberatkan pada
‘transcendental focus’ adalah masih bercorak tradisional-positivistik. Kita
menyadari betapa pentingnya penekanan terhadap aspek transendental
ini, karena tanpa unsur transendental ini, agama akan kehilangan
makna kedalamannya, namun serat benang merah dapat terlihat di situ.

42 Wech, Joachim, The Comparative Study of Religions, Columbia University Press, New
York, 1958, h. 8.
43 Ali, H.A. Mukti, Ilmu Perbandingan Agama, Op.cit. hal.64.


Metodologi pendekatan ilmu-ilmu agama, seperti halnya dalam studi
filsafat, masih banyak memihak kepada dunia teori, dan bukan kepada
praksis. Masih banyak memihak kepada dunia metafisika, dan bukan
kepada etika. Jurang antara keduanya masih lebar. Dan justru pertautan
antara teori dan praksis dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan
yang sekarang ini ingin ditinjau kembali sebagai upaya awal untuk
mengantisipasi jalan pemecahan terhadap struktur masyarakat yang
timpang, serta ketimpangan dalam menatap alam lingkungan.

Jika begitu keadaannya, apakah agama kehilangan aspek praksisnya?


Suatu pertanyaan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Bukankah
agama sejak dulu sarat dengan nilai etika dan nilai-nilai yang memihak
? Jika kita kaji secara teliti buku-buku ilmu agama, agaknya kesan
hilangnya aspek ‘praxis’, etika sosial, dan lingkungan dari agama sedikit
banyak memang ada. Kesan ini setidaknya pernah digarisbawahi oleh
Frank Whaling sebagai berikut:

“However, two interesting lessons, relevant to this point,


brought by the philosophy of science to the study of religion are : first,
that ethics and evaluation are included within the wider framework
of the study of science, whereas ethical and other valuejudgments
are suspected by many scholars of religion and, second, that science
is not afraid to see the whole scientific enterprise within a wider
framework, whereas the study of religion has been more prone to
confine its interest to matters relating to itself ” 44.

Dimensi Etika-Praksis dalam Agama


Berbeda dari arus yang berkembang dalam studi ilmu agama tersebut
di atas, sebagai bahan bandingan cukuplah menarik untuk mengkaji

44 Whaling, Frank, “Additional Mote on Philosophy of Science and the Study of Religion”,
dalam Contemporary Approaches to the study of religion, Vol. I, Frank Whaling (ed.) Walter
de Gruyer and Co, Berlin, 1983, hal. 387.


telaah Ian Barbour tentang kajian agama. Dalam membandingkan
metode yang berlaku dalam dunia agama dan dunia ilmu pengetahuan,
dia menggaris bawahi unsur ‘subyektivitas’ daripada agama (baca: bukan
ilmu agama). Jika ditilik dari sudut penglihatan yang tidak tradisional,
ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak dapat menghindari unsur
subyektivitas, sedangkan penghayatan agama sendiri adalah sarat dengan
unsur subyektivitas. Dengan lain ungkapan, peran etika yang merubah
dan memihak dan bukan metafisika yang kontemplatif-permanen-status
quo juga digarisbawahi oleh agama. Perubahan dan pemihakan hanya
bisa dimungkinkan dengan adanya aktivitas dan kreativitas manusia
sebagai subyek, serta pengandaian adanya hukum-hukum sosial yang bisa
dirubah.

Perubahan struktur masyarakat yang timpang dan perubahan


sikap terhadap alam lingkungan yang bersifat eksploitatif hanya bisa
dimungkinkan, jika manusia sebagai subyek lebih memusatkan perhatian
kepada unsur etika-praksis yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan
dan kreatibitas subyektif manusia. Metodologi pendekatan filsafat dan
juga ilmu agama yang cenderung bercorak transendental-kontemplatif-
spekulatif tidak banyak berbuat disini, jika yang diacu cuma pada
pencarian esensi, substansi, yang tidak berubah-rubah, yang permanen,
yang absolut. Aspek transendental ini bermanfaat, jika ditempatkan
pada ruang dan gerak inspirasi yang dapat memotivisir seseorang untuk
berbuat sesuatu yang menyentuh persoalan nyata kehidupan manusia.

Jika memang begitu, maka agama akan dapat memberi suasana


yang kondusif bagi perubahan, karena sifat internalnya yang memihak
kepada perubahan tingkah laku. Pemihakan terhadap perubahan struktur
pemikiran filosofis yang lebih berorientasi kepada kepedulian sosial dan
alam lingkungan di bawah terang agama agaknya lebih memberi prospek
yang baik untuk mengantarkan ’paradigm shift’ dalam metodologi
pendekatan filsafat dan ilmu pengetahuan. Apakah metode ilmu-ilmu
agama yang masih paralel dengan metode penelitian dan pemikiran
filsafat dapat melihat aspek praksis di bawah terang agama? Jika yang


dicari-cari ilmu-ilmu agama dan para teolog adalah cuma aspek
transendental, telepas dari keterkaitan dan tinjauan praksisnya yang
menyentuh persoalan umat manusia yang aktual, agaknya pendekatan
metodologi ilmu-ilmu agama dan juga filsafat akan kehilangan aspek
etika praksisnya yang berwawasan transformatif humanistik.

Teori-teori ilmu agama, juga seperti halnya teori-teori filsafat,


berpihak kepada siapa? Jika mereka memihak kepada pemahaman
‘ilmu untuk ilmu’, terlepas sama sekali dari subyektivitas yang aturannya
memihak, maka secara tidak tersadari, filsafat dan ilmu-ilmu agama akan
berwawasan scientism dan positivisme dengan mengambil jarak yang tegas
dari kenyataan kesejarahan hidup manusia dan alam lingkungannya.

Bagi beberapa pengamat sosial, bangunan struktur dunia ysng


timpang, juga semakin rusaknya alam lingkungan di sekitar, adalah
sebagai akibat ketidaklayakan metodologi ilmu pengetahuan yang tidak
menpunyai muatan komitmen pemihakan yang jelas. Apakah bangunan
struktur teori ilmu pengetahuan yang positif empiris, yang telah berjasa
besar dalam sejarah peradaban manusia, perlu ditinjau ulang ? Apakah
memang benar bahwa keterputusan ikatan antara ‘teori’ dan ‘praxis’,
dan ketidakseimbangan antara metafisika dan etika sebagai sumber dari
segala masalah? Kajian manusia perlu terus menerus menelaah ulang
berbagai kemungkinan itu, dan telaah ulang seperti itu mengandaikan
suatu keyakinan, bahwa paradigma metodologi ilmu pengetahuan dan
filsafat tidaklah mesti baku, dan tidaklah mesti permanen. Justru perlunya
perubahan paradigma wawasan metodologi yang dapat mempertautkan
kembali antara teori dan praxis sedang dicari kemungkinannya, meskipun
untuk tahap sekarang ini masih seperti orang mencari jarum di kegelapan
malam.

Daftar Pustaka
Ali, H.A. Mukti, “Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto
Sumardi (ed.),

Penelitian Agama, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1982.


Babour, Ian G., Issues in Science and Religion, Harper Torchbooks, Harper
and Row, Publishers, New York, 1966.

Brown, Harold I., Perception, Theory, and Commitment: The New Philosophy
of Science, The University of Chicago Press, Chicago, 1977.

Janik, Allan dan Toulmin, Stepen, Wittgenstein’s Vienna, Simon and


Schuster, New York, 1973.

Khun, Thomas, The Structure of Scientific Revolutions, The University of


Chicago Press, Second Edition, 1970.

Radnitzky, Gerard, Contemporary Schools of Metascience, Berlingska


Boktryckereit, Swedia, 1970.

Rorty, Richard, Philosophy and the Mirror of Nature, Princeton University,


New Jersey, 1979.

Smart, Ninian, The Science of Religion and the Socioloqy of of Knowledge,


Some Methodological Questions, Princeton University Press, New
Jersey, 1973.

Soedjatmoko, Etika Pembebasan, LP3RS, Jakarta, 1988.

Wech, Joachim. The Comparative Study of Religions, Columbia University


Press, New York, 1958.

Wolf-Gazo, Ernest, American Philosophy as Process Philosophy : On Pierce,


Royce and Process in Community, (makalah belum diterbitkan)

Wittgenstein, Ludwig, The Philosophical Investigations, Basil Blackwel,


Oxford, 1978.

Whaling, Frank, “Additional Mote on Philosophy of Science and the


Study of Religion”, dalam Contemporary Approaches to the Study
of Religion, Vol. I, Frank Whaling (ed.) Walter de Gruyer and Co,
Berlin, 1983.


METODA PENGERTIAN DAN
ANTROPOLOGI FILSAFAT
OLEH : S. TAKDIR ALISJAHBANA

F ilsafat saya adalah filsafat tentang manusia sebagai makhluk yang


berbeda dari hewan, yaitu yang menciptakan kebudayaan dan hidup
dalam kebudayaan. Dengan demikian untuk dapat melukiskan manusia
itu sebagai makhluk yang menciptakan kebudayaan dan hidup dalam
kebudayaan, saya tidak dapat memakai metoda positif yang mengukur,
menimbang, menghitung. Saya mesti menempuh jalan yang lain memakai
metoda lain sesuai dengan manusia sebagai makhluk yang mempunyai
susunan jiwa, yang saya namakan budi yang menciptakan budidaya
atau kebudayaan, dan hidup dalam kebudayaan. Jelas jika dibandingkan
dengan hewan, manusia itu makhluk yang jauh lebih bebas dalam segala
kelakuannya, dan dalam kebebasannya itu ia mencipta, mengubah alam
sekitarnya, dan menjadikannya suatu kenyataan baru yang kita namakan
kenyataan budidaya atau kebudayaan.

Untuk menyelidiki budi manusia dalam berbagai jenis ciptaannya


yang sekaliannya kita simpulkan dalam perkataan kebudayaan,
seperti sudah saya katakan, metoda ilmu obyektif yang menghitung,
menimbang, dan mengukur tak dapat saya pakai. Saya sebagai manusia
sendiri mesti memakai metoda yang saya namakan metoda mengerti
yang diterjemahkan dalam bahasa Jerman verstehen. Sebabnya meskipun


saya dapat menghitung dan mengukur dan mempunyai statistik yang
lengkap tentangnya, saya belum dapat mengerti manusia itu dalam
perbuatannya setiap hari. Sebab manusia itu adalah makhluk yang
dengan budinya berpikir, merasa, berimajinasi, mempunyai intuisi,
mempunyai kepercayaan, bebas memilih, dan berbuat. Dalam unsur-
unsur dan kecakapan inilah saya hendak melukiskan rnanusia seperti
telah saya lukiskan dalam buku saya Essay of a new Anthropology : Values
as Integrating Forces in Personality Society and Culture yang dalam bahasa
Indonesianya diterjemahkan dengan judul Antropologi Baru.

Kalau saya membawa seekor kera ke dalam hutan yang asing bagi
saya dan asing juga bagi kera itu karena sama-sama menghadapi suatu
soal, yaitu soal bagaimana akan melanjutkan hidup dengan makan dalam
hutan itu, sebab kami sama-sama tidak mengetahui buah-buahan yang
ada dalam hutan itu. Kera itu dalam waktu yang tiada berapa lama akan
dapat mengetahui buah apa yang akan dapat dimakannya, dan ia terus
sekali makan buah itu oleh karena instingnya tajam. Yang dinamakan
insting itu ialah kecakapan pada hewan itu untuk dapat dalam waktu
yang pendek menyesuaikan dirinya kepada alam. Dalam hubungan ini
dapat kita berkata, bahwa antara alam dengan hidup kera itu ada sesuatu
yang saling isi mengisi, komplimenter. Kecakapan kera itu sesuai dengan
kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam alam, sehingga kera
itu dapat hidup dengan mudah dalam alam disekitarnya. Sekaliannya
itu diatur oleh susunan instingnya yang dengan cepat mengetahui
kemungkinan-kemungkinan yang terdapat baginya disekitarnya.

Pada saya sebagai manusia, insting itu tidak kuat dan telah diganti
oleh pikiran, oleh kemungkinan membedakan dan memilih. Dengan
demikian buah-buahan yang banyak dalam hutan itu mulailah saya
perhatikan dan saya lihat. Yang indah rupanya, merah ranum, saya petik
dan saya gigit. Tetapi apabila rasanya pahit, buah itu segera saya buang,
saya pindah ke buah yang lain. Tetapi kalau buah itu sangat asam, maka
saya buang pula. Demikian seterusnya saya memilih dan mencoba, sampai
akhirnya saya mendapat buah yang enak rasanya dan baik khasiatnya bagi


saya. Sedangkan, kera itu setelah makan pergi meninggalkan hutan itu.
Apabila ia lapar keesokan harinya ia datang kembali ke hutan itu untuk
makan pula sepuas-puasnya.

Berbeda dari kera itu, saya sebagai manusia yang mendapat buah
yang enak itu tidak akan terus menerus mengulang-ulang datang ke
pohon itu. Saya mendapat pikiran untuk mengambil biji buah itu, dan
membawanya pulang untuk menanamnya dirumah dengan harapan
pada suatu ketika, saya akan dapat memakan buah itu di rumah saya
sendiri, tidak usah berulang-ulang masuk ke hutan yang jauh itu. Artinya
pohon buah yang tumbuh dengan sendirinya di hutan sebagai bagian
dari pada alam, saya tanam di rumah saya. Saya jaga sebaik-baiknya,
supaya buahnya jauh lebih banyak, jauh lebih baik dari dalam hutan itu.
Dengan kata yang lain sedangkan kera itu menghadapi alam itu dengan
instingnya dan dengan demikian menyesuaikan dirinya kepada alam itu,
saya menghadapi alam itu sebagai subyek yang menghadapi obyek. Saya
mencoba, memilih, mengambil keputusan atasnya. Dengan kata lain, saya
menilai isi alam itu, dan dari isi alam itu yang dapat saya pakai saya ambil
buahnya saya makan. Kayunya saya potong supaya saya dapat membuat
bermacam-macam benda dari padanya. Dengan kata lain, pohon itu saya
jadikan sebagian dari kebudayaan ciptaan manusia.

Pekerjaan saya berbeda dari kelakuan kera yang menurut pada


instingnya. Manusia bisa menilai. Budi manusia itu menilai alam
sekitarnya, termasuk juga manusia dan dirinya sendiri, dan atas dasar nilai
dan penilaiannya itu bermacam-macam perbuatan, bermacam-macam
tindakan yang dilakukannya, dan semuanya kita namakan kebudayaan.

Tentulah nilai manusia itu tidak hanya satu saja, tetapi banyak dan
beragam-ragam. Hal itu dapat saya tunjukkan dengan mengemukakan
contoh. Kalau di kampus ini ada sebuah pohon yang istimewa, yang tak
ada taranya, yang belum banyak orang melihatnya, mungkin seorang
datang melihat pohon itu dan bertanya. “Pohon apakah itu?” Orang
itu mau tahu dengan obyektif pohon apa itu. Dilihatnya daunnya,


kembangnya, buahnya dsb, dan akhirnya dapat diputuskannya, pohon
itu masuk sesuatu jenis pohon-pohon yang biasanya dirumuskan dengan
bahasa Latin. Seorang yang lain yang tahu, bahwa pohon itu khasiatnya
yang lebih baik dari pada ginseng. Dia ingin sekali memiliki pohon itu
atau sekurang-kurangnya mendapat bijinya atau mencangkoknya dengan
maksud untuk mengembang biakannya, dan nanti dapat menjual hasilnya,
dan dengan demikian mendapat uang, dan mungkin menjadi kaya raya.
Orang itu menghendaki guna sebanyak-banyaknya dari pohon itu. Dia
kita katakan melihat pohon itu sebagai obyek ekonomi.

Tetapi mungkin juga pada suatu hari datang seorang Bali kesini, dan
melihat pohon yang istimewa itu bangkit dalam hatinya untuk membuat
sajian dan meletakkannya pada pohon itu. Pohon itu baginya merupakan
obyek agama. Dengan meletakkan sajian di pohon itu, dia berhubungan
dengan kegaiban yang menurut kepercayaannya terjelma oleh pohon itu.
Seorang yang lain mungkin datang ke sana membawa cat, pensil, dan
kanvasnya, dan mulailah melukis pohon itu. Ia adalah seorang seniman
yang terpengaruh oleh ekspresi pohon itu, dan demikian dijadikannya
pohon itu sebagai ciptaan seni.

Dengan demikian kita telah melihat orang menilai pohon itu dengan
4 (empat) jenis nilai, yaitu pertama nilai teori yang dengan obyektif hendak
mengindentitasnya, kedua nilai ekonomi yang berusaha mendapat guna
dari padanya, ketiga nilai agama yang melihat penjelmaan kekudusan,
kegaiban, dan kesucian dalam pohon itu, dan keempat nilai seni yang
mengucapkan ke ekspresian atau keindahan. Keempat nilai itu masing-
masing mempunyai obyeknya sendiri, mempunyai logikanya sendiri,
mempunyai tujuannya sendiri, mempunyai motivasinya sendiri yang
berbeda-beda. Dalam segala sesuatu lain yang kelihatan dapat dihargai
oleh keempat nilai itu, dan logika yang berlainan pula dipakainya.
Sementara itu keempat nilai ini ada pada semua orang.

Di sisi keempat nilai ini, ada lagi dua nilai yang lain, yaitu hasil
penilaian kita atas sesama manusia kita. Kita selalu mau lebih dari orang


lain. Kita girang apabila orang itu mengikuti kita, atau tunduk kepada
kita. Nilai ini saya namakan nilai kuasa. Yang paling jelas penjelmaannya
adalah dalam pemilihan umum, ketika golongan-golongan yang serta
itu hendak merebut suara-suara dari pemilih, agar dapat memegang
kekuasaan negara. Pada waktu yang demikian tidak seorangpun akan
mengatakan, bahwa partai yang lain itu mungkin betul. Dalam perebutan
kekuasaan itu, golongannya saja yang mungkin betul, dan dia berusaha
sedapat mungkin menang dalam pemilihan itu, supaya dapat memegang
kekuasaan, yaitu memerintah. Tetapi orang yang berkuasa pun ingin juga
disayangi, dicintai, ingin mendapatkan sahabat, ingin bekerjasama dengan
orang lain. Nilai ini saya namakan nilai solidaritas. Sedangkan nilai kuasa
itu vertikal dari atas kebawah, nilai solidaritas adalah horizontal. Orang
yang disahabati, dicintai, dengan siapa kita bergotong-royong, orang
itu sama tingkatnya dengan kita. Kita girang dapat membantunya dan
berbakti kepadanya.

Demikian kita sekarang ini mempunyaj enam jenis nilai yang masing-
masing mempunyai motivasi, mempunyai tujuan, mempunyai logikanya
sendiri, dapat mudah dibedakan yang satu dengan yang lain. Keenam
nilai ini ada pada tiap-tiap orang. Perbedaan antara seorang pribadi
dengan pribadi yang lain bukan perbedaan tentang jumlah keenam nilai
itu, tetapi adalah tentang susunan atau konfigurasi keenam nilai itu. Ada
orang yang nilai terpentingnya adalah nilai teori atau ilmu, dan ia tertarik
untuk menjadi ilmuwan. Sedangkan orang yang lain nilai tertingginya
adalah nilai ekonomi. Dia mungkin menjadi saudagar, menjadi pedagang,
atau menjadi pengusaha.

Orang yang lain yang nilai terpentingnya adalah nilai kuasa. Orang
yang demikian biasanya berusaha mendapatkan kekuasaan di negerinya.
Sebenarnya mudah kita mengetahui bagaimana susunan nilai seseorang,
yaitu dengan mengemukakan sejumlah pertanyaan yang masing-masing
mengemukakan nilai-nilai yang enam itu. Dari jawab-jawab pertanyaan
itu dapat kita mengetahui susunan nilai seseorang, nilai mana yang tinggi
dan nilai mana yang rendah. Misalnya saya dapat memberikan sejuta


kepada beberapa orang. Bergantung kepada susunan nilai orang-orang
itu, berbeda apa yang dilakukannya dengan uang itu. Yang nilai seninya
kuat, mungkin dengan uang itu, ia akan membeli buku seni atau lukisan
atau alat-alat musik dan sebagainya. Yang nilai agamanya besar, mungkin
sekali uang yang di perolehnya itu disumbangkannya kepada masjid
atau gerejanya. Sedangkan orang yang nilai kuasanya kuat, mungkin
sekali sebagian dari uang itu disumbangkannya kepada partainya untuk
membantu pemilihan umum yang ia sendiri salah seorang dari pada
calon untuk anggota parlemen.

Sedangkan orang yang nilai ilmunya tertinggi mungkin akan


membeli buku-buku ilmu, atau memakai uang itu untuk melanjutkan
pelajarannya, demikian seterusnya. Dan kalau sekalian pertanyaan itu
sudah dijawab, dapat kita lihat dalam jawab orang-orang itu nilai mana
yang dominan dalam jawab orang itu. Mungkin sekali bukan satu nilai
yang kuat, tetapi dua nilai yang kuat. Sering sekali misalnya nilai ilmu itu
berdekatan sama tinggi dengan nilai ekonomi, oleh karena kedua-duanya
berdasarkan logika yang rasional, perhitungan, keobyektifan. Sering juga
nilai agama sejalan dengan nilai seni, sebab kedua-duanya berdasarkan
perasaan, intuisi, imajinasir, misalnya lagu dan tari-tari di pulau Bali
sering sekali rapat hubungannya dengan kehidupan agama.

Bukan hanya perbuatan manusia sebagai pribadi, yang bersifat


kebudayaan berdasarkan sususunan nilai seseorang, tetapi kelompok
manusia atau masyarakat pun berkelakuan berdasarkan susunan nilai-
nilai masyarakat itu. Misalnya sebuah universitas adalah suatu kelompok
atau masyarakat manusia yang nilai yang tertingginya adalah nilai teori
atau nilai ilmu. Segala sesuatu hendaklah ditujukan untuk mencapai ilmu.
Kalau ilmu tidak tercapai atau amat rendah mutunya, maka universitas
itu dapat kita katakan gagal sebagai universitas. Tapi siapa mengatakan
bahwa dalam sesuatu universitas itu tidak ada nilai ekonomi? Tentu saja
universitas itu musti mendapat uang. Sebab hanya dengan uang, nilai
ekonomi, universitas itu dapat menjalankan pendidikan ilmu sebaik-


baiknya, yaitu dengan menyediakan misalnya perpustakaan yang baik,
dengan membayar dosen-dosennya dengan layak, demikian seterusnya.

Sementara itu universitas itu musti mempunyai nilai seni, sekurang-


kurangnya bangunan-bangunannya mesti dibuat seindah mungkin,
demikian juga tamannya, dll. Jelaslah bahwa universitas itu hanya dapat
berjalan baik, apabila ada pimpinannya yang berkuasa mengambil
keputusan, mengangkat pegawai, memecat pegawai yang bersalah, yang
menyusun segala sesuatu supaya cita-cita yang tertinggi, yaitu ilmu, dapat
tercapai. Tentu juga dalam universitas itu ada nilai solidaritas, yaitu antara
karyawannya,antara dosen-dosennya, antara mahasiswa, malahan antara
seluruh sivitas akademika sekaliannya musti ada kerjasama, tanggung
jawab bersama, supaya universitas itu dapat menjadi universitas yang baik
yang dapat mereka banggakan bersama.

Tentang hal agama, tentu agak susah mengemukakannya, oleh karena


agama itu akhir-akhirnya adalah soal pribadi. Meskipun di sisi itu ada
beberapa universitas yang sengaja didirikan untuk mencapai ilmu dalam
lingkungan kepercayaan agama. Ada universitas Islam, ada universitas
Kristen, dan sebagainya.

Bukan hanya individu atau kelompok masyarakat yang dengan


konfigurasi nilai-nilai hidup dalam lingkungan, tetapi kita pun dapat
membeda-bedakan konfigurasi nilai-nilai kebudayaan bangsa-bangsa.
Di sini saya hendak mengemukakan konfigurasi nilai. Kebudayaan
Eropa yang sekarang disebut juga kebudayaan moderen yang menyebar
ke seluruh dunia. Dalam kebudayaan ini nilai ilmu atau nilai teorinya
tinggi, juga tinggi nilai ekonominya. Kerjasama antara ilmu dan ekonomi
melahirkan teknologi yang sangat maju. Kalau kita ambil negara Eropa,
seperti Inggris, yang kita tahu bersifat demokrasi, kekuasaan adalah
ditangan rakyat. Jadi penting sekali kedudukan solidaritas. Sedangkan
raja Inggris itu sedikit sekali kekuasaannya.

Bagaimana tentang keagamaan? Agama di Inggris sejak zaman


Revolusi Perancis merupakan soal pribadi. Orang yang beragama


bermacam-macam agamanya. Malahan orang yang menolak agama pun
terdapat di tanah Inggris. Seni di tanah inggris pada waktu ini bebas, dapat
kita katakan berupa seni moderen, yaitu dalam seni lukisnya kelihatan
kepada kita bermacam-macam eksperimen, demikian dalam musik dan
tari-tarian, seperti The Beatles dan sebagainya. Juga bermacam-macam
eksperimen nampak dalam puisi, drama, dan novel. Tetapi dalam seluruh
kebudayaan itu dapat kita katakan kedudukan seni tidaklah sepenting
kedudukan seni di pulau Bali yang rapat berhubungan dengan kehidupan
agama dengan amat banyak upacaranya. Kalau saya buat suatu diagram
maka rupa, konfigurasi susunan nilai kebudayaan Inggris itu adalah
sebagai berikut (A):

Dalam kebudayaan Inggris yang berkuasa adalah nilai teori atau nilai
ilmu dan nilai ekonomi yang keduanya maju terus, dan menghasilkan
teknologi yang dahsyat. Kebudayaan Inggris sebagai bagian dari pada
kebudayaan Eropa adalah bagian dari kebudayaan moderen yang bermula
di zaman Renaissance yang saya klasifikasi sebagai kebudayaan progresif,
sebab ilmu, teknologi, dan ekonomi maju terus.

Sebagai contoh tipos kebudayaan yang lain saya ambil kebudayaan


Jawa yang sama-sama kita tahu di Indonesia ini. Sebenarnya saya juga
dapat mengambil contoh kebudayaan Bali. Kita tahu bahwa dalam
kebudayaan kita pada umumnya, ilmu atau nilai teori yang menuju kepada
pengetahuan yang obyektif tidak pernah berkembang di zaman yang
lampau dan sampai sekarang pun ilmu itu masih rendah di negeri kita.
Dalam kebudayaan Jawa malahan ada kecenderungan untuk menolak


sesuatu yang obyektif itu. Kita semuanya kenal akan ucapan yang sering
terdengar dari orang Jawa: Ngono yo ngono, yen ojo ngono, meskipun kita
tahu obyektifnya seperti itu, tapi janganlah lakukan seperti itu.

Dan tentang nilai ekonomi, kita tahu bahwa pada umumnya rakyat
kita miskin. Mereka tidak terlampau berusaha untuk memakai tenaga
maupun waktunya untuk mengumpulkan kekayaan. Malahan kadang-
kadang ada kecenderungan untuk melihat rendah kepada kekayaan dunia
itu. Berkumpul bersama-sama, yaitu nilai solidaritas, sering dianggap
lebih penting dari makan, sehingga sering terdengar ucapan mangan ora
mangan asal ngumpul. Jadi artinya berkumpul bersama-sama, yaitu nilai
solidaritas, lebih penting dari nilai ekonomi, yaitu makan. Dan ada juga
ucapan yang lain yang menunjukkan, bahwa bagi orang Jawa itu turun ke
dunia ini bukanlah tujuannya untuk mengumpulkan kekayaan, ataupun
untuk mengumpulkan uang dan harta. Kita turun ke bumi ini diibaratkan
hanya untuk minum seteguk, dan sudah itu terus ke alam baka. Dengan
demikian dapat kita mengerti, bagaimana lemahnya nilai ekonomi itu
pada masyarakat Jawa, dan pada umumnya masyarakat kita seluruhnya.
Tentang nilai solidaritas di desa-desa, nilai itu boleh dikatakan kuat,
terbukti dalam kerjasama bertanam padi, dalam mengadakan perayaan,
dan bermacam-macam upacara. Tetapi sementara itu dalam keseluruhan
masyarakat Jawa lebih penting perhubungan antara atasan dan bawahan,
seperti ternyata dalam bahasa Jawa yang boleh dikatakan sangat nyata
bertingkat-tingkat. Orang yang rendah musti berjongkok memakai bahasa
halus. Sedangkan orang yang diatas, kaum feodal maupun pembesar-
pembesar, memakai bahasa yang kasar. Jadi dengan demikian yang lebih
menyolok dan lebih menentukan struktur masyarakat Jawa adalah nilai
kuasa, sehingga bahasa yang bertingkat-tingkat itu membayangkan
susunan masyarakat yang bertingkat-tingkat.

Sekarang kita tiba kepada pertanyaan, bagaimanakah kedudukan


agama dalam masyarakat Jawa? Kita tahu bahwa dalam masyarakat Jawa
itu, ada kecenderungan kepada mistik yang sering disebut Kawulo Gusti ,
yaitu kesatuan manusia dan Tuhan. Di sisi itupun ada ucapan yang sering


dikemukakan oleh orang Jawa, yaitu sedoyo agami sami kemawon. Kalau
dilihat dari jurusan mistik yang menghadapi kesatuan Tuhan yang maha
Esa yang menjelma dalam khalikahnya, sesungguhnya semua agama itu
sama. Ucapan itu boleh kita katakan menyatakan kesadaran mistik yang
mendalam. Tetapi kalau kata itu menjadi ucapan sehari-hari, yaitu ucapan
dangkal, maka agama itu menjadi remeh di hadapan semua agama, serta
buat apa dipedulikan? Dengan demikian di Jawa Tengah, orang mungkin
mudah berpindah dari agama yang satu kepada agama yang lain. Seperti
kita tahu di Jawa Tengah itu selain agama Islam, penting juga agama
Katolik dan Kristen, dan pada waktu yang kemudian ini agak tampil
ke depan adalah agama Buddha. Dalam hubungan ini mungkin sekali
berpindah dari agama yang satu ke agama yang lain menjadi tidak soal
yang besar, seperti misalnya di daerah Banten atau di daerah Aceh .

Dengan demikian dapatlah kita bertanya, apakah nilai yang tertinggi


dalam kebudayaan Jawa? Dalam penyelidikan dan pemikiran saya
kelihatan kepada saya, bahwa bangsa Jawa ini adalah bangsa seni. Siapa
yang melihat tari Bedoyo dan tari Serimpi di Kraton Solo akan merasakan
betapa halusnya kedua tari maupun lagu yang mengiringkannya.
Demikian juga seni batik dan seni ukir klasik Jawa itu juga sangatlah
halus. Sekarang kita melihat kehalusan batik Jawa itu mulai mengalami
revolusi dengan menyerbunya dunia modern ke dalamnya, dan batik Jawa
itu bukan lagi monopoli orang Jawa, tetapi sudah menjadi seni dunia
modern dalam macam-macam bentuk yang kadang-kadang jauh sekali
bedanya dari seni batik Jawa klasik yang halus dahulu.

Demikianlah saya sampai kepada kesimpulan, bahwa kunci


kebudayaan Jawa itu adalah perkataan halus yang banyak dipakai oleh
orang Jawa. Malahan dalam bahasa Jawa, orang mengatakan bahwa
seseorang anak Jawa yang belum mendapat kehalusan tata cara dan
tata krama Jawa itu seseorang yang belum Jawa, durunq Jowo. Ucapan
itu mungkin malahan diucapkan kepada anak sendiri yang berlaku
bertentangan dengan tata cara dan tata krama Jawa. Ucapan tentang
sesama seperti itu belum pernah saya dengar dalam kebudayaan lain.


Anaknya sendiri dapat dikatakannya belum Jawa. Cita-cita kesempurnaan
dalam seluruh kebudayaan Jawa boleh dikatakan kehalusan orang Jawa,
halus cara berjalan, halus pakaiannya, halus dia bercakap-cakap, apalagi
halus seninya. Jadi dengan demikian dalam kebudayaan Jawa itu nilai
yang tertinggi adalah nilai seni, nilai kuasa, dan nilai agama. Dengan
mengetahui ketiga nilai itu, pola atau konfigurasi nilai-nilai kebudayaan
Jawa yang dikuasai oleh nilai-nilai seni dan nilai agama dapat kita
gambarkan diagramnya sebagai berikut :

Berbeda dari kebudayaan yang dikuasai oleh nilai ilmu dan nilai
ekonomi, saya namakan kebudayaan ini kebudayaan ekspresif, yang
bukan berdasarkan rasio yang ketat dan sangat logis berusaha memahami
segala sesuatu dengan obyektif. Pada kebudayaan ekspresif ini, yang
berkuasa adalah perasaan manusia, intuisi manusia, imajinasi manusia,
dan kepercayaan manusia.

Setelah menguraikan teori nilai yang berdasarkan budi manusia yang


menciptakan kebudayaan, yaitu ciri istimewa dari manusia dibandingkan
dengan hewan, sekarang ini saya hendak memaparkan tentang krisis
masyarakat kebudayaan yang maha besar yang sedang kita alami sekarang
ini, berkat kemajuan ilmu dan ekonomi yang melahirkan teknologi yang
dahsyat yang melenyapkan jarak di dunia ini. Pada bulan Mei tahun yang
lalu saya mengunjungi London. Jarak antara London dan Jakarta dengan
kapal terbang hanya sepuluh atau sebelas jam. Pikirkan bagaimana pelaut-
pelaut Inggris empat lima abad yang lalu mengunjungi Indonesia ini


dengan kapal layarnya yang rapuh berbulan-bulan di laut, menyeberangi
Lautan Atlantik, mengelilingi Afrika, dan menyeberangi Samudera
India, sebelum sampai ke Asia Tenggara ini. Dengan mesin terbang yang
terbaru, jarak itu sudah dapat ditempuh dalam enam jam. Sedangkan kita
tahu, bahwa roket dapat mengelilingi dunia dalam satu jam. Jadi mungkin
sekali pada akhir abad ini atau permulaan abad yang akan datang, jarak
antara London dan Indonesia ini akan dapat ditempuh dalam setengah
jam. Kita semuanya tahu bahwa sekarang dengan radio dan telepon,
kita dapat berbicara langsung dengan orang di London dalam beberapa
menit. Demikian dunia sudah menjadi kecil. Dan dalam lenyapnya jarak
dan waktu itu, tidak bisa tidak, semua kebudayaan bercampur aduk, saling
pengaruh lebih-lebih dari di masa yang lampau.

Kita sekarang berbicara dalam konteks sebuah universitas. Jelas


universitas seperti yang ada sekarang ini adalah sesuatu yang baru dalam
kebudayaan kita. Kita berkenalan dengan universitas dengan perantaraan
orang Belanda yang kebudayaannya berpokok pada kebudayaan
Renaissance, ketika manusia melepaskan dirinya dari agama, memegang
nasibnya di tangannya sendiri, menyelidiki alam, menciptakan teknologi,
dan mengembangkan ekonomi. Bangsa Belanda dari kebudayaan
progresif yang berpokok pada ilmu, ekonomi, dan teknologi itu dengan
mudah mengalahkan bangsa kita, meskipun bangsa Belanda itu adalah
bangsa yang sangat kecil di Eropa.

Kita sendiri mengalami di negeri kita sekarang, bahwa bangsa kita


tidak puas lagi dengan kebudayaan ekspresifnya. Sejak Belanda membuka
sekolahnya pada akhir abad yang lalu bagi orang Indonesia, kita lambat
laun masuk ke dalam kebudayaan modern mempelajari ilmu, mempelajari
ekonomi, dan mengembangkan teknologi. Sekarang ini universitas yang
berasal dari Barat itu sudah menjadi sebagian dari kebudayaan kita,
sama pentingnya dengan lembaga-lembaga agama kita, politik kita, dll.
Berduyun-duyun orang masuk ke universitas, sehingga di Indonesia
sekarang ini terdapat hampir seribu perguruan tinggi dengan muridnya
yang sangat banyak. Di Jakarta saja terdapat lebih dari seratus perguruan


tinggi dengan hampir empat puluh universitasnya. Dengan demikian
kebudayaan kita yang dikuasai oleh agama dan seni itu, yang bersifat
ekspresif itu, lambat laun menjadi kebudayaan moderen yang progresif,
meskipun harus kita akui, bahwa masyarakat dan kebudayaan kita
sekarang masih terbelakang dalam dunia modern ini, kalau dibandingkan
dengan masyarakat dan kebudayaan negara-negara maju seperti Eropa,
Amerika dan Jepang.

Kalau kita telah menguraikan teori budi manusia dan kebudayaan


dengan metode verstehen atau mengerti ini, yaitu dengan menganalisa
nilai-nilai manusia, tentu sekarang kita ingin mengetahui kemanakah
kebudayaan Indonesia, malahan kebudayaan umat manusia menuju
dalam mengecilnya dunia dan saling pengaruhnya kebudayaan ?

Bagi kita di Indonesia, kita mesti memajukan bangsa kita tentang


ilmu, teknologi, dan kemakmuran ekonomi, yaitu dalam lapangan nilai
teori dan nilai ekonomi yang bersama-sama menghasilkan teknologi yang
maju. Telah beberapa kali saya katakan, bahwa dalam hal ini kita masih
terkebelakang, Tentang soal ilmu tentulah itu soal pendidikan, dan seperti
kita tahu pendidikan di negeri kita masih terbelakang. Agaknya disini
tempatnya kita menganjurkan pemerintah, supaya menaikkan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua kali dari sekarang, yaitu kira-
kira 12% dari seluruh anggaran, seperti yang dilakukan oleh Malaysia.
Kalau mungkin tentu lebih baik lagi dinaikkan sampai 18% dari seluruh
anggaran, seperti di lakukan oleh negara Singapura yang dalam hal ini
amat maju. Selain daripada itu bahasa Indonesia kita sekarang ini adalah
bahasa yang terbelakang, oleh karena sangat kurang buku bacaan yang
bermutu tentang kemajuan ilmu, ekonomi, dan teknologi, pendeknya
boleh dikatakan dalam segala lapangan kemajuan kebudayaan modern.

Terjemahkan sebanyak mungkin buku-buku yang penting dari


segala bahasa, sehingga orang Indonesia dapat berkembang ke segala
penjuru dengan memakai bahasanya sendiri. Selain dari pada itu tentulah
harus dikembangkan pelajaran bahasa Inggris, sebab dengan demikian,


mahasiswa maupun sarjana-sarjana kita dapat mencapai buku tentang
kemajuan ilmu yang terakhir zaman sekarang. Perlu ditekankan disini,
bahwa perpustakaan di negeri kita ini terlampau sedikit, dan sedikit pula
buku-bukunya.

Saya masih ingat perpustakaan di Malaysia pada Universiti Malaya


mempunyai lebih dari sejuta buku. Sedangkan universitas di Singapura
mempunyai lebih dari satu setengah juta buku. Kalau saya katakan disini,
bahwa Library of Congress di Amerika mempunyai 36 juta buku, dapatlah
kita sadari, bahwa perpustakaan yang ada di Indonesia ini semuanya
terlampau kecil dan terlampau sedikit bukunya. Pada tingkat kemajuan
bangsa kita sekarang ini, tak ada pilihan bagi kita dari mengirimkan
sebanyak mungkin mahasiswa untuk belajar, yaitu merebut ilmu di luar
negeri. Kita tahu bahwa Malaysia mempunyai 69.000 mahasiswa di luar
negeri. Kita yang penduduk negerinya sepuluh kali penduduk negeri
Malaysia harus mempunyai 690.000 mahasiswa di luar negeri, jika tidak
hendak ketinggalan dari Malaysia.

Berhubungan dengan inilah saya ingin mengusulkan, supaya sebagian


daripada uang yang masuk ke Indonesia ini dari pariwisata dipakai untuk
mengirimkan mahasiswa kita belajar ke luar negeri. Malaysia memberi
pinjaman kepada tiap-tiap mahasiswa yang lulus dengan baik dalam
universitas di Malaysia untuk melanjutkan pada universitas di luar
negeri. Kalau ia nanti menyelesaikan pelajarannya pada universitas di luar
negeri dengan berhasil baik, maka kepadanya diperkenankan membayar
hutangnya hanya 25%. Soal yang amat penting bagi negeri kita tentulah
soal ekonomi. Seperti jelas dalam uraian saya tentang kebudayaan ekspresif
yang sangat menekankan seni, bangsa kita miskin di negeri sendiri
dibandingkan dengan golongan Cina, golongan Arab, maupun golongan
asing yang lain. Hal ini disebabkan oleh ketidaksanggupan bangsa kita
mengembangkan tenaga, cara bekerja, maupun ambisi ekonominya di
negerinya yang kaya, sehingga dengan mudah ia dikalahkan oleh golongan
Cina, Arab dll yang lebih kuat nilai ekonominya. Hendaknya pendidikan
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah


Atas kita dapat mengembangkan semangat ekonomi pada rakyat di desa-
desa yang pada umumnya hanya bertani, dan dalam bertani pun sangat
tradisional.

Dalam hal ini alangkah baiknya, kalau dalam memajukan ekonomi


perorangan maupun koperasi di desa Pemerintah mempunyai target yang
nyata. Saya hendak mengusulkan sebagai target yang pertama adalah
supaya dalam lima tahun yang akan datang, koperasi dikembangkan,
sehingga sekalian penggilingan padi di pulau Jawa misalnya ada ditangan
koperasi. Kita tahu petani padi itu sangat rendah pendapatannya.

Dalam karangan saya “Menyambut Bangkitnya Cendikiawan Islam”,


saya tunjukkan, bahwa Islam itu adalah agama yang sangat menekankan
ilmu, sehingga telah selayaknya ilmu itu dimasukkan ke masjid dengan
perantaraan perpustakaan maupun kesempatan mempelajari ilmu.
Pemeluk agama yang Nabinya adalah seorang saudagar sebenarnya tak
pantas hidup dalam kemiskinan, sebab junjungannya sendiri memberi
contoh tentang hidup berekonomi. Melanjutkan soal agama, sila yang
pertama dari pancasila yang berbunyi Tuhan Yang Maha Esa, sebenarnya
menganjurkan pemeluk berbagai-bagai agama mendekatkan diri bekerja
sama dalam saling mengerti, oleh karena akhir-akhirnya sekalian pemeluk
agama itu menghadapi kekudusan ilahi, kegaiban yang maha besar, dan
dihadapannya semua umat manusia sama belaka.

Tiba kepada nilai seni, saya berharap supaya seniman-seniman kita


jangan terlampau banyak mengulang-ulang seni nenek moyang yang kita
kagumi, tetapi mengolahnya dengan kreativitas, sehingga usaha nenek
moyang itu mendapat jiwa modern yang luas dan penuh dinamika serta
tanggung jawab, mendorong bangsa Indonesia merebut kemajuan dan
kemakmuran dunia modern, dan bersama bangsa yang lain menciptakan
dunia baru yang solider, aman, dan makmur dalam organisasi dunia yang
baru.

Pada pikiran saya tak dapat dielakkan, bahwa nasionalisme yang


lama harus berubah. Malahan saya tidak keberatan memakai perkataan


post nasionalism, kalau kita hendak menyelamatkan umat manusia dalam
perlombaan persenjataan yang bukan saja amat berat biayanya, dan
mungkin mengancam umat manusia dengan kehancuran keseluruhan.
Rasa saya tak ada salahnya, kalau golongan idealis mulai memikirkan
tentang kemungkinan bangkitnya suatu federasi dunia, di mana kehidupan
semua bangsa terjamin, dan umat manusia terlepas dari ancaman bahaya
perlombaan persenjataan yang bukan saja amat berbahaya, tetapi menjadi
beban yang amat berat bagi seluruh umat manusia.


METODE REFLEKSI FENOMENOLOGIS
MAURICE MERLEAU-PONTY
OLEH: MUKHTASAR SYAMSUDDIN

Pengantar; Mengapa Fenomenologi Merleau-Ponty?


Relevansi filosofis yang implisit dalam judul “metode refleksi
fenomenologis Merleau-Ponty” ini terletak pada tiga tautan terminologis.
Pertama, metode refleksi yang dipahami sebagai “cara kerja” tipikal
bagi pemikiran dan penelitian filsafat; Kedua, refleksi fenomenologis
yang tujuannya identik dengan tugas filsafat dalam mengeksplisitasi
realitas; dan Ketiga, fenomenologi Merleau-Ponty yang secara historis
menjembatani keterputusan diskursus metafisik-epistemologis antara
beberapa generasi filsafat kontemporer.

Tulisan ini bermaksud mengurai ketiga tautan terminologis sekaligus


untuk menjawab pertanyaan krusial; bagaimana menemukan makna
otentik atau setidak-tidaknya realitas yang umumnya disangkakan bersifat
obyektif dengan mengikuti hampiran fenomenologis yang ditawarkan
Merleau-Ponty? Ada karakter khas yang terselip dalam diri Merleau-
Ponty, ketika ia coba mengklaim refleksi fenomenologisnya sebagai
metode berfilsafat. Kekhasan itu nampak dalam upayanya merumuskan
fenomenologi dengan membongkar keyakinan-keyakinan epistemik

45 Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


pendahulu dan kompatriotnya, seperti Hegel dan Sartre, bahkan terhadap
bangunan metafisik fenomenologi Husserl.

Di balik pembongkaran epistemik dan metafisik itu, fenomenologi


Merleau-Ponty mengguratkan sebuah penolakan atas dominasi filsafat
Barat kontemporer yang menurutnya mengidap tendensi ganda, yaitu
empirisisme pada satu sisi, dan intelektualisme pada sisi lain. Menghadapi
dominasi tendensius itu, tidak berlebihan jika konseptualisasi feno-
menologi yang berkarakter Merleau-Pontian melahirkan teori fenomenologi
positif (Syamsuddin, 2010: 222).

Edmund Husserl melalui dua karyanya; Cartesianische Meditationen


dan Die Pariser Vorträge, mengurai metode refleksi fenomenologis dengan
secara diametral memperhadapkan doktrin Descartes dan Kant, sehingga
melahirkan pemahaman sintetik atas fenomenologi, dan kelak dikenal
sebagai fenomenologi berhaluan Husserlian. Namun, berbeda dengan
Husserl, Merleau-Ponty justru memahami fenomenologi sebagai cara
berfilsafat, jadi lebih dari sekedar sebuah doktrin. Dalam “Phénoménologie
de la Perception” misalnya, Merleau-Ponty (1945; ii) menyatakan; “La
phenomenologie se laisse pratiquer et reconnaitre comme maniere ou comme
style” yang secara garis besar berarti “fenomenologi dapat dipraktekkan
dan dikenali sebagai cara atau gaya (berpikir). Istilah “berpikir” dalam
pernyataan tersebut, oleh Priest (1998; 224), penerjemah karya Merleau-
Ponty, diakui bahwa kata “berpikir” sengaja ditambahkan sendiri olehnya
sekedar untuk menegaskan bahwa “cara” atau “gaya” yang dimaksud
adalah cara atau gaya berpikir.

Persepsi di antara Pemikiran dan Kepercayaan


Menggiring fenomenologi ke dalam ranah praktis-metodis identik
dengan upaya “memperalat” fenomenologi demi sebuah keperluan;
mengeksplisitasi asumsi-asumsi metafisik yang melandasi setiap realitas.
Husserl melakukan itu dengan mengintroduksi reduksi transendental,
tatkala ia menolak jawaban realisme atau obyektivisme atas pertanyaan-
pertanyaan metafisis tradisional. Penolakan Husserl ini secara logis sama


dengan pendirian Kant, ketika mengkritisi realisme metafisik. Tujuan
Husserl sederhana. Melalui reduksi transendental, fenomenologi harus
dapat diterima sebagai langkah awal yang menyegarkan filsafat; suatu
keinginan yang secara logis sama dengan pemikiran Descartes dalam
First Meditation.

Bagi Merleau-Ponty, refleksi fenomenologis tidak dilakukan melalui


cara-cara tekstual, sekalipun teks itu bersandar pada pemikiran Husserl,
Heidegger, Sartre, dan bahkan pada pemikiran Merleau-Ponty sendiri.
Kata Merleau-Ponty (1945: ii); “yang kita temukan dalam teks tidak lain
adalah apa yang kita sendiri letakkan pada teks itu”. Mempelajari fenomena,
apalagi jika dimaksudkan untuk menangkap makna yang otentik darinya
tidak akan cukup memadai, jika hanya dilakukan melalui tindakan pem-
baca-an teks.

Membaca, dipahami Merleau-Ponty sebagai fakta ontologis yang


mengungkap bacaan sebagai obyek fisikal, sedangkan rangkaian tulisan
yang terbaca tiada lain kecuali tanda-tanda yang melekat pada sebuah
latar yang berwarna (dapat putih, hitam, merah, dan lain-lain). Kesejatian
membaca terletak pada apa yang pembaca tambahkan melalui penyerapan
tanda dan warna, sehingga diperoleh pengertian atas materi bacaan.

Refleksi fenomenologis dilakukan melalui tindakan mempersepsi


dunia secara baru; berpikir dengan menggunakan kesadaran, bukan
dengan kepercayaan tentang apa yang dipersepsi. Persepsi dimiliki
manusia dalam bentuk sensasi yang lahir melalui perasaan. Dalam hal ini
pemikiran merupakan salah satu bentuk perluasan perasaan atas obyek
yang dicerap melalui persepsi. Perluasan itu diistilahkan oleh Merleau-
Ponty (1968; 34) sebagai tubuh yang bertindak, atau sebagai subyek atau
tubuh yang hidup. Oleh karena itu tubuh harus dipahami sebagai unsur
pokok yang menjadikan subyek dan obyek saling terkait, seperti yang
dibayangkan oleh Sartre (Merleau-Ponty, 1964; 34).

Untuk melakukan refleksi fenomenologis, meminjam istilah Husserl,


diperlukan epoché dengan membuang rasa percaya yang melekat pada


persepsi. Fenomenologi tidak dapat dipelajari secara verbal dan melalui
otoritas, karena dengan fenomenologi terjadi hubungan langsung
antara subyek dengan dunia. Pengalaman subyek pun diperlukan untuk
menerapkannya. Merleau-Ponty (1945: ii) kemudian mengemukakan
bahwa ”kutipan pernyataan memiliki banyak kelemahan dibandingkan
jika kita menggunakan fenomenologi dalam bentuknya yang konkret
sesuai dengan keadaan nyata diri kita sendiri”.

Sebuah kondisi yang niscaya bagi refleksi fenomenologis karena


itu adalah keterlibatan manusia dalam menerapkannya. Pemahaman
fundamental dan komprehensif atas karya-karya Husserl dan Heiddeger,
tanpa disertai pengalaman subyek dalam merefleksikan dunia, tempat
subyek melibatkan diri, tidak akan menunjukkan pemahaman baru
sama sekali. Mengikuti epistemologi Cartesian yang dilengkapi dengan
transendentalisme epistemologi kritis Kant, Merleau-Ponty memberi
impresi, bahwa tanpa pengetahuan atas situasi psikologis seseorang secara
benar, maka pertanyaaan yang benar tidak mungkin diajukan kepadanya.
Dengan kata lain diperlukan kesadaran yang memungkinkan dunia
dipahami sebagai obyek dari pengalaman.

Pengertian reflektif atas dunia memunculkan pemahaman


fenomenologis yang khas Merleau-Pontian, yaitu anggapan-anggapan
Cartensianisme Husserl dan Kantianisme ternyata tidak seluruhnya
bertaut secara konsisten, bahkan bertentangan pada sebagian seginya.
Pernyataan bahwa “l’homme est au monde” (Merleau-Ponty, 1945: v)
atau “manusia berada di dalam dunia” sengaja diungkap Merleau-Ponty
untuk membedah keyakinan-keyakinan epistemologis Kartesianisme
dan Transendentalisme Kant, sehingga sisi pertentangan antara
keduanya menjadi terang. Pembedahan itu bisa dilihat di sini; bahwa
Rene Decartes sesungguhnya menarik subyek dari dunia (istilah yang
digunakan Merleau-Ponty adalah ‘délié’ yang mengandung pengertian
“tidak terikat” atau “tidak tersentuh”); Merleau-Ponty lalu menggantikan
tesis metafisik Rene Descartes yang mengatakan, bahwa seseorang secara
mendasar merupakan substansi yang im-material dan pada prinsipnya


berada walaupun tidak secara fisik dalam kapasitasnya sebagai subyek.
Subyek secara mendasar adalah subyek yang bertubuh dan berada di
dalam dunia.

Arti penting tubuh, atau tubuh sebagai subyek, menurut Merleau-


Ponty (1964: 29), telah diremehkan oleh tradisi-tradisi filsafat,
karena mematok tubuh sebagai tidak lebih dari sekedar obyek yang
mentransendensi tugas-tugas pikiran. Dalam hal ini, pandangan Merleau-
Ponty terkait erat dengan pengaruh persepsi dan cenderung menekankan
kapasitas fundamental refleksi atas kandungan terdalam dunia, walaupun
ia juga mengakui, bahwa persepsi secara intrinsik bersifat kognitif.
Dalam karya pertamanya berjudul “La Structure du Comportement” (1942)
atau “The Structure of Behavior” (1965), dapat ditemukenali bagaimana
Merleau-Ponty memikirkan persoalan hubungan pikiran dan tubuh
(Syamsuddin, 2010: 222).

Subyek yang tidak bertubuh tidak akan mampu menangkap dan


memahami dunia menurut Merleau-Ponty. Hal itu disebabkan oleh karena
walaupun diri manusia bersifat fisik, namun ia mampu memahami obyek
yang bersifat fisik pula. Dengan kata lain, manusia mampu memahami
dunia, karena manusia menyadarinya. Apabila pernyataan ini benar, maka
sesungguhnya jelas terjadi inkonsistensi, bahkan pertentangan dalam
dualisme Kartesian; jika manusia memahami dunia, ia bukanlah substansi
im-material, manusia memahami dunia, oleh karena itu manusia bukanlah
substansi im-material.

Ketika merespon karya Strawson (1959) berjudul “Individuals”,


Merleau-Ponty mengungkapkan, bahwa untuk memberi gambaran
mengenai perbedaan konseptual antara hal-hal yang bersifat im-material
dan fisikal diperlukan suatu daya yang ia sebut sebagai prédicats humains,
suatu sebutan yang dikenakan kepada potensi-potensi manusiawi yang
melekat dalam diri-manusia sendiri. Selain itu bagi Merleau-Ponty,
being-in-the-world (keberadaan di dalam dunia) merupakan kategori


eksistensial yang paling primordial, dan dengannya secara tegas dapat
dibedakan antara im-material dan fisikal itu (Priest, 1991: 23).

“Tubuh manusia adalah bagian dari dunia yang ril yang bereksistensi
sebagai partes extra partes” menurut Merleau-Ponty (1964: 112).
Berdasarkan pengertian itu, Merleau-Ponty menganggap logika
transendental Kant juga tidak konsisten terhadap pengertian “being-in-
the-world”, sebab dalam doktrin kritisisme Kant, dunia empiris dianggap
tersusun atas bentuk-bentuk apriori intuisi, ruang dan waktu, serta oleh
kategori-kategori. Artinya, dunia berada dianggap mendahului semua
sintesis yang menyusun dunia itu sendiri; “akan menjadi artifisial jika
dunia itu dianggap sebagai kumpulan beberapa sintesis” (Merleau-Ponty,
1945: iv). Artifisialitas yang dimaksud terkandung dalam kenyataan
bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan pancaindra dan obyek-
obyek yang dihasilkan dari sintesis “tidak memiliki bentuk nyata”
(Merleau-Ponty, 1945: iv). Sintesis Kantianisme merupakan proses yang
tidak memiliki subyek fisik sebagaimana yang dipahami Merleau-Ponty.
Seorang subyek yang memahami dunia fisik secara mendasar adalah
subyek yang bertubuh, dan oleh karena itu, sintesis Kant yang tidak
bertubuh juga merupakan pandangan yang tidak mungkin benar.

Walaupun secara eksplisit Merleau-Ponty menolak dualisme pikiran-


tubuh dari Cartesianisme, namun terdapat prinsip fundamental dalam
epistemologi Kartesian, yaitu ajaran yang mengandung pemikiran, bahwa
kepastian tentang dunia, sebagaimana menampak di hadapan manusia
sangat tergantung pada keberadaan subyektif manusia, dan merupakan
fakta tak terbantahkan. Nampaknya prinsip ini lahir secara konsisten
dari pemikiran Rene Descartes sebagaimana tertuang melalui karyanya
“Discours” dan “Meditation” (Priest, 1998: 30). Doktrin epistemologis
Descartes, jelasnya berbunyi demikian; “tanpa saya ketahui bahwa saya
berada dan tanpa saya ketahui bahwa saya berpikir maka saya tidak
dapat mengetahui sesuatu secara pasti”. Inilah doktrin fondasionalisme
epistemologi Descartes, sebuah doktrin yang diadaptasi Merleau-Ponty
dari fondasionalisme Kantian menjadi fondasionalisme fenomenologis.


Adaptasi fondasionalisme fenomenologis Merleau-Ponty dengan
fondasionalisme Kantian, walaupun tidak seluruhnya patuh pada
ketentuan Descartes, mengandung keyakinan subyektif yang menunjuk
kepada bentuk tunggal orang pertama dalam pembuktian paradigmatis
benar-salahnya pernyataan; “saya berada” dan dalam pengakuan;
“saya berpikir”. Pembuktian Kartesianisme dalam fondasionalisme
fenomenologis dalam hal itu benar adanya menurut pernyataan Merleau-
Ponty (2003: ix) sebagai berikut;

“ I am the absolute source, my existence does not stem from my


antecedents, from my metaphysical and social environment; instead
it moves out towards them sustains them”.

Secara sederhana, pernyataan Merleau-Ponty di atas dapat diartikan;


“Saya merupakan sumber absolut, dan apabila saya merupakan dasar
bagi sesuatu maka tidak ada sesuatu yang mendasari saya”. Pengertian
“saya” sebagai sumber di sini lebih bersifat fenomenologis dari pada
epistemologis atau metafisis. Merleau-Ponty mencoba menggambarkan
dirinya dan dunia seperti adanya. Ia tidak menyatakan secara metafisis,
bahwa seluruh keberadaan tergantung pada keberadaan dirinya. Ia
memaknai dunia sebagaimana dunia itu hadir dalam kesadarannya
yang tergantung pada keberadaannya sendiri. Jika dunia hadir di dalam
kesadaran seseorang, maka hal itu menunjukkan bahwa seseorang
itu secara logis berada. Merleau-Ponty tidak menunjukkan bahwa ia
berada sebagaimana adanya, juga tidak berada oleh lingkungan sosial
dan fisik karena menurut fenomenologi a fortiori yang dipahaminya.
Fenomenologi memberikan deskripsi, bukan eksplanasi. Fenomenologi
tidak mengandalkan eksplanasi sebab akibat yang ditarik dari hal-hal
yang bersifat sosiologis dan fisik.

Refleksi melalui Kesadaran atas Dunia-Luar


Bagaimana dengan “external world” (dunia-luar)? Dalam bingkai
epistemologi Cartesianisme disinyalir, bahwa manusia dapat saja memiliki
pengetahuan tentang dunia luar, apabila manusia mampu mengetahui


diri dan keadaan-keadaan psikologisnya. Tidak bisa dipastikan apakah
pandangan ini tergolong Kantian atau bahkan bertentangan dengannya,
sebab Kant sendiri menekankan, bahwa pengalaman atas dunia-luar dapat
membenarkan pengalaman yang sifatnya internal, dan tidak sebaliknya.
Walaupun demikian Descartes dan Kant memahami kesadaran manusia
dalam batas-batas kesadaran yang bertumpu pada diri, sehingga berbeda
dengan kerangka epistemologis yang dibangun oleh para filosof lain,
seperti John Locke, Rene Descartes, Sartre, dan bahkan dengan karya-
karya Merleau-Ponty sendiri yang merupakan hasil revisi.

Pada prinsipnya pengetahuan tentang dunia-luar menurut doktrin


Kartesianisme memerlukan klarifikasi logis, jika fenomenologi dipandang
tergantung pada kesadaran. Merleau-Ponty menjelaskan dua kenyataan,
yaitu kesadaran sebagai kesadaran-diri dan dengan kesadaran-diri itu,
pengalaman tentang dunia-luar sangat mungkin diperoleh manusia.
Berikut pengakuan Merleau-Ponty (2003: xi);

“I could not possibly apprehend anything as existing unless I first


of all exprienced myself as existing in the act of apprehending it”.

Dari pengakuan Merleau-Ponty di atas, tidak juga begitu jelas


apakah “saya yang mengalami diri saya itu menentukan persepsi saya atas
suatu obyek”, ataukah “fakta ‘mengalami’ merupakan kondisi yang niscaya
terjadi untuk mendukung saya mempersepsikan sesuatu secara utuh”.
Jika subyek S misalnya, memahami x sebagai sesuatu yang eksis, maka
setidak-tidaknya benar bahwa S mengetahui (atau percaya) bahwa x eksis
dan S menyadari, bahwa x itu eksis. Bagi Merleau-Ponty, dalam kasus S
memahami x sebagai sesuatu yang eksis, hal itu dapat dipahami sebagai
berikut; “S memahami x sebagai eksis dapat secara valid mengantarkan S
memahami S sebagai eksis”. Dari fakta S memahami x sebagai eksis, tidak
berarti S menyadari sendiri eksistensinya. Pernyataan ini tentu saja benar
secara logis, namun setiap pernyataan itu tidak ditopang oleh kesimpulan
dari kesadaran ke kesadaran-diri. Jadi, harus ada premis tambahan yang


menerangkan, bahwa kesadaran-diri merupakan kondisi yang niscaya
bagi suatu kesadaran.

Merleau-Ponty berpendapat bahwa dunia yang dipersepsi adalah


dunia yang terlintas dalam kesadaran sebelum menjadi fakta, dan
yang selanjutnya diketahui sebagai cogitation (Merleau-Ponty, 2003:
435), suatu bentuk pengetahuan yang diperoleh manusia secara sadar
yang memungkinkan bekerjanya dimensi pengalaman manusia dalam
menangkap dan menyadari sesuatu.

Prédicats humains dapat dipahami sebagai suatu hasil dari jalinan


dialektis yang didominasi oleh fungsi-fungsi biologis. Dalam hal ini,
jalinan dialektis merupakan domain kebudayaan yang obyeknya tidak
dapat dimengerti secara langsung. Untuk mengenali karakter dialektis ini,
Merleau-Ponty mengikuti uraian Hegel, yaitu bahwa karakter itu identik
dengan “kerja” (Merleau-Ponty, 1965: 163). Sama dengan pemikiran
Kojève (1969), Merleau-Ponty memahami “kerja” sebagai keadaan
yang dibentuk oleh stimulus dan respon biologis yang memungkinkan
terbentuknya kebudayaan.

Dengan meminjam istilah Hegel, Aufhebung dapat menjadi unsur


penentu untuk menghubungkan secara sintesis antara substansi pikiran
dan tubuh. Ketika hubungan sintesis ini selesai, maka akan nampak
dengan jelas suatu struktur yang menyusun hubungan antara pikiran dan
tubuh yang juga menyangkut eksistensi keduanya. Merleau-Ponty (1965:
184) menegaskan bahwa ketika hal-hal yang bersifat fisik dibicarakan,
maka hal itu harus dipahami sebagai suatu tindakan untuk memahami
sesuatu yang berada di luar diri manusia. Seperti dikatakan oleh Merleau-
Ponty dalam “Sens et Non-Sens” (1948) atau “Sense and Non Sense” (1971:
12), bahwa setiap kenyataan-luar harus dipahami melalui strukturalisasi
yang melibatkan pergerakan tubuh dan fungsi-fungsi kejiwaannya.

Dalam “The Structure of Behavior”, Merleau-Ponty (1965: 3) tegas


menyatakan bahwa “tujuan kita adalah untuk mengerti hubungan antara
kesadaran dengan alam, entah dengan hal-hal yang bersifat organik,


psikologis, ataukah dengan hal-hal yang bersifat sosial”. Ranah filosofis
yang disentuh Merleau-Ponty ini terkait dengan pertanyaan tentang
hubungan kesadaran dengan alam yang menurutnya telah didominasi
oleh dua pendekatan utama, yaitu; pada satu sisi, pendekatan yang
disebut sebagai objectivism yang dipahami sebagai naturalisme dalam
filsafat, behaviorism dalam psikologi, dan mechanism dalam biologi. Pada
sisi lain, pendekatan yang disebut intellectualism, yaitu suatu paham Neo-
Kantianisme yang demikian berpengaruh di Prancis kala itu.

Ketika Merleau-Ponty menegosiasikan gagasannya di antara tarik-


menarik obyektivisme dan intelektualisme, sedikitpun ia tidak merujuk
pada paham epistemologis tradisi Kantian, namun lebih mengikuti
prinsip Phenomenology of Spirit dalam karya Hegel. Maka seperti Hegel,
pemikiran Merleau-Ponty beranjak dari “bawah”, yaitu bahwa analisisnya
cenderung menelisik lebih dalam, menjangkau domain-domain psikologis
dan biologis yang bertujuan untuk mendemonstrasikan aktualitas hasil
analisisnya dalam menemukan inkonsistensi dasar ontologis hubungan
subyek-obyek. Jadi analisis Merleau-Ponty tidak bersandar pada
subyektivitas yang memungkinkan munculnya obyektivitas, sebagaimana
dilakukan oleh kaum obyektivis dan intelektualis.

Fenomenologi Kant dan Hegel mewariskan seperangkat perbedaan


antara subyektivitas dan obyektivitas. Bagi Merleau-Ponty, dunia
bukanlah obyek sederhana sebagaimana manusia memandangnya. Dunia
merupakan obyek pengalaman yang luas. Karena itu, totalitas dari apa
yang membuat manusia berada di dunia bukanlah hasil dari pertentangan
yang terjadi dalam diri orang tertentu dengan pengalaman orang lain.
Lebih dari itu, dunia juga merupakan konteks bagi semua pemikiran dan
tindakan subyek, seperti konstatasi Merleau-Ponty (2003: xi) berikut;
“It is the natural setting of, and field for, all my thoughts and all my explicit
perception”.

Konstatasi itu hendak menegaskan, bahwa dunia mendahului


semua pengetahuan, tidak saja secara kronologis, namun juga dalam


arti transendental. Keberadaaan dunia, karena itu merupakan kondisi
yang niscaya bagi pengetahuan tentang dunia itu sendiri. Merleau-
Ponty menolak epoché kaum Husserlian yang menghadirkan dunia dalam
prasangka reduktif. Merleau-Ponty (2003: xi) menyatakan;

“My sensation of redness is perceived as the manfisetation of a


certain redness experienced, this in turn as the manifestation of a red
surface, which is the manifestation of a piece of red cardboard, and
this finally is the manifestation of outline of a red thing, namely this
book”.

Klarifikasi Merleau-Ponty terhadap pandangan Husserl di atas


menunjukkan gagasan tentang hirarki ketergantungan antara struktur-
struktur kesadaran berbeda-beda, seperti visualisasi berikut;
1. Sensasi tentang warna merah
2. Warna merah itu dialami
3. Permukaan warna merah
4. Isi permukaan yang berwarna merah
5. Obyek fisik yang berwarna merah
Hanya terdapat satu warna merah. Isi persepsi yang mendeskripsikan
warna merah dapat saja sama, namun dari segi cakupan hasil persepsi
dapat berbeda; sempit atau luas. Semakin sempit deskripsi yang diberikan,
semakin bersifat psikologis dan subyektif obyek yang dideskripsikan.
Semakin luas deskripsi yang diberikan, semakin bersifat fisikal dan
obyektif obyek yang dideskripsi. Di sini, ‘subyektif ’ dan ‘obyektif ’
dimaksudkan seperti dalam pengertian; x subyektif jika dan hanya jika x
menyinggung aspek psikologis subyek, dan x obyektif jika dan hanya jika
x secara independen terlepas dari psikologi subyek (Priest, 1998: 33).

Refleksi versus Reduksi Fenomenologis


Bobot ontologis atau lebih tepat disebut sebagai indirect ontology
fenomenologi Merleau-Ponty tertuang jelas dalam karyanya berjudul


“The Visible and The Invisible”. Dalam karya yang terdiri atas enam bab
ini nampak, bahwa pemikiran Merleau-Ponty mengalami pergeseran;
dari “fenomenologi kesadaran” menuju “fenomenologi ada”. Patut
disayangkan karena menyusul kematian Merleau-Ponty, penggalian
pokok soal “fenomenologi ada” tidak dapat berlangsung sampai tuntas.

Meskipun demikian, melalui topic ‘L’Entrelacs--Le Chiasme’,


salah satu bagian yang paling menarik dari karya “The Visible and The
Invisible”, Merleau-Ponty membentang cakrawala pemahamannya atas
implikasi “fenomenologi ada” dengan mengurai ‘Entrelacs’ yang berarti
‘intertwining’ (saling menjalin) dan ‘chiasme’ berarti ‘chiasmus’ (subyek
tanpa terbebani oleh dualisme metafisik) (Syamsuddin, 2006: 170-
171). Bagaimana Merleau-Ponty menggunakan istilah-istilah itu untuk
membuktikan adanya jalinan antara subyek dan obyek sebagaimana telah
ia singgung dalam “Phenomenology of Perception”, hal itu tidak diuraikan
secara jelas.

Strukturasi penampakan (the appearance) kesadaran dari Merleau-


Ponty tergantung di antara dua fakta tentang manusia sebagai subyek,
yakni fakta kepentingan pragmatis dan diri-manusia bersifat fisikal
yang di dalam karya-karya Husserl, baik “Ideen I” maupun “Ideen
II” dan “Krisis”, kedua fakta itu dilihat sebagai sikap alami (natural).
Secara krusial, Merleau-Ponty dalam strukturasinya menggantikan ego
transendental dengan tubuh, yaitu tubuh sebagai subyek, bukan sebagai
obyek. Juga bukan tubuh-tubuh lain, tapi tubuh manusia yang hidup.

Melalui strukturasi, Merleau-Ponty lalu mengkritisi reduksi dalam


ego transendental dari Husserl, karena secara jelas, Husserl membawa ego
transendental yang natural itu ke wilayah diri empirik, seperti sinyalemen
Merleau-Ponty (2003: vi) berikut;

“In so far as I am a consciousness, that is, in so far as something


has meaning for me, I am neither here nor there, neither Peter nor
Paul”.


Sinyalemen tersebut sesungguhnya mengisyaratkan, bahwa
reduksi transendental mengakibatkan sikap natural manusia justru
ditenggelamkan. Walaupun diri-manusia eksis setelah reduksi, namun
diri itu tidak lagi merupakan diri empiris, karena telah dihentikan oleh
keharusan percaya terhadap semua fakta obyektif tentang dirinya. Diri
fenomenologis dalam fakta obyektif inilah yang dimaksud sebagai ‘ego
transendental’ yang diperkenalkan Husserl sebagai kutub subyektif
kesadaran. Diakui oleh Merleau-Ponty, konsepsi Husserlian ini memang
memerlukan pernyataan empiris, namun subyek transendental bukanlah
tubuh dalam pengertian empiris.

Meskipun menanggalkan ego transendental, Merleau-Ponty masih


menerima hubungan diri-bukan diri atau subyek-obyek. Pemikiran
tentang hubungan diri-bukan diri atau subyek-obyek pada karya Husserl
“Cartesainische Meditationen” (1929), dijelaskan Merleau-Ponty (2003:
xiii) sebagai berikut; “sebagai ego yang bermeditasi, saya dapat dengan tegas
membedakan diri saya dari dunia dan dari segala sesuatunya”, dan selanjutnya
dikatakan; “saya pasti tidak eksis sebagaimana sesuatu (bukan diri) saya eksis”
(Merleau-Ponty, 2003: xiii). Dari singgungan ini, nampak bahwa refleksi
fenomenologis tidak identik dengan reduksi fenomenologis, karena
manusia dan obyek di dalam dunia secara kualitatif berbeda.

Gagasan Merleau-Ponty dalam “Phenomenologie de la Perception”


dipersembahkan untuk menggambarkan perbedaan kualitatif tersebut.
Pada bagian pertama berjudul “The Thing and the Natural World” dari
karya itu, secara logis, diperoleh gambaran tentang perbedaan kualitatif
antara dunia dengan diri-manusia. Adapun perbedaan itu tidak
memerlukan kesadaran. Bagi Merleau-Ponty, subyek dalam dunia adalah
tubuh-subyek dan tubuh-subyek tidak menentang dirinya sendiri sebagai
sebuah ‘obyek’.

Sementara itu, bagi Husserl, semua pernyataan eksistensial


atas ‘sesuatu’ ditenggelamkan oleh epoché, dan ego transendental
tidak ditenggelamkan oleh reduksi. Walaupun Merleau-Ponty lebih


mempertahankan pandangannya untuk tetap berdasar pada subyek
bersifat fisikal, bukan pada ego transendental, ia pun sebetulnya
meneruskan tesis Husserl yang menyatakan, bahwa diri bukanlah sesuatu
yang bersifat fisikal atau sebuah obyek. Dengan kata lain, walaupun diri-
manusia bersifat fisikal, manusia bukanlah obyek fisikal, namun subyek
fisikal.

Bahasa merupakan elemen kualitatif yang memungkinkan reduksi


fenomenologis terjadi. Ketika mulai menerbitkan “The Visible and
The Invisible”, Merleau-Ponty berhadapan dengan paham linguistik
Ferdinand de Saussure yang tertuang dalam tulisannya berjudul Course
In General Linguistics. Akurasi interpretasi Saussure terhadap makna
kata sangat problematis menurut Merleau-Ponty. Gagasan fundamental
Saussure yang disasar oleh kritik Merleau-Ponty (1968: 23) adalah
menyangkut struktur diakritikal bahasa yang menunjukkan, bahwa
hubungan antara signifier dan signified bersifat arbitrer, misalnya dalam
kata “kursi” (signifier) dengan konsep tentang “kursi” (signified).

Bagi Merleau-Ponty, dalam hal penyusunan bahasa, antara signifier


dan signified haruslah tetap bermakna menurut fungsinya masing-
masing, dan makna itu lahir dari motivasi yang terkandung dalam
signifier dan signified. Keduanya berhubungan secara motivasional.
Hubungan ini tidak mungkin terjadi dalam pandangan Saussure, sebab
jika dalam kata dan konsep melekat suatu motivasi, maka makna kata dan
konsep mengalami penyimpangan. Alasan Saussure adalah bahwa dalam
kenyataan terdapat banyak jenis bahasa, sehingga dapat dipastikan, bahwa
hubungan antara kata dengan konsep tidak mungkin saling memberi
motivasi (Syamsuddin, 2010: 228).

Penutup
Transformasi obyek persepsi ke dalam pemikiran sangatlah di-
tentukan oleh kemampuan reflektif analitis yang dapat dilakukan
melalui reduksi fenomenologis. Reduksi merupakan suatu tindakan yang
dipercaya dapat menangkap makna yang terkandung secara implisit


dalam setiap fenomena yang diamati. Reduksi fenomenologis bersifat
sangat ideal.

Merleau-Ponty menolak gagasan Husserl yang menghendaki, bahwa


subyek harus menyadari keberadaan obyek dengan cara mentransformasi
pengalaman ke dalam pemikiran. Meskipun demikian Merleau-
Ponty memahami reduksi sebagai suatu konsepsi pengenalan dunia
melaui persepsi yang memadukan antara pengalaman dan pemikiran.
Oleh karena itu, bagi Merleau-Ponty, reduksi tidaklah diperoleh dari
penyatuan kesadaran dengan dunia yang berada di luar diri manusia,
namun merupakan salah satu bentuk perhatian (intention) yang muncul
dari dalam diri manusia.

Karakter fundamental refleksi fenomenologis Merleau-Ponty yang


mempertautkan dunia dengan relasi subyek-obyek, dan diri-bukan diri,
terutama karena bertumpu pada dalil-dalil ke-tubuh-an yang hidup, harus
diakui berdampak secara signifikan dalam perkembangan dan penelitian
bidang ilmu sosiologi, psikologi, psikologi sosial, pendidikan, ilmu-ilmu
kesehatan, dan berbagai bidang keilmuan sosial lainnya. Dari sudut
pandang ini, pergeseran ke arah penggunaan metode kualitatif dalam
penelitian ilmu-ilmu sosial, khususnya yang berkaitan dengan penelitian
perilaku manusia, sebagaimana menggejala di tengah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi memasuki abad ke-20, tidak dapat menafikan
kontribusi yang diterima dari kebangkitan psikologi fenomenologis.

Dalam penelitian psikologi fenomenologis ditemukan banyak jenis


metode penelitian fenomenologis yang sama dengan fenomenologi
dalam arti Merleau-Pontian. Hanya saja, dalam psikologi fenomenologis
itu, pemahaman atas dunia pengalaman manusia dan situasinya lebih
ditekankan. Oleh karena itu, metode-metode penelitian dalam psikologi
fenomenologis seringkali menerapkan pertimbangan-pertimbangan
naratif dan wawancara-wawancara kualitatif, sedangkan dalam fe-
nomenologi Merleau-Pontian lebih pada refleksi personal peneliti.


Daftar Pustaka

Bannan, John F., The Philosophy of Merleau-Ponty, Harcourt, Brace &


World, Inc. Printed in U.S.A, 1967.

Kojève, Alexander, Introduction to the Reading of Hegel, Basic Books, New


York, 1969.

Mattews, Eric, The Philosophy of Merleau-Ponty, Itacha, Montreal &


Kingston: McGill-Queen’s University Press, 2002.

Merleau-Ponty, Maurice, In Praise of Philosophy and Other Essays, John


O’Neill (trans.), Northwestern University Press, Evanston, 1988.

------------------------------, Nature, Robert Vallier (trans.),


Northwestern University Press, Evanston, 2003.

------------------------------, Phenomenology of Perception, trans. By


Colin Smith, Routledge and Keegan Paul, New York, 2003.

------------------------------, Sense and Non Sense, Northwestern


University Press, Evanston, 1971.

------------------------------, Signs, McCleary (trans.), Northwestern


University Press, Evanston, 1964.

------------------------------, The Primacy of Perception: and Other


Essays on Phenomenology, Psychology, the Philosophy of Art, History and
Politics, Edie (ed.,), Northwestern University Press, Evanston, 1964.

------------------------------, The Structure of Behavior, A.L. Fisher


(trans.), Matheun, London, 1965

------------------------------, The Visible and the Invisible, Alponso


Lingis (trans.), Northwestern University Press, Evanston, 1968.

Priest, Stephen, Merleau-Ponty, Routledge, New York, 1998.

------------------, Theories of Mind, Penguin Books, London, 1991.


Strawson, Peter, Individuals, An Essay in Descriptive Metaphysics, Matheun,
London, 1959.

Syamsuddin, M. Mukhtasar, “Kritik Fenomenologis Merleau-Ponty atas


Filsafat Pengetahuan” dalam Jurnal Peradaban Islam TSAQAFAH,
ISID Gontor Ponorogo, vol. 6., Nomor 2., Oktober, 2010.

--------------------------------------, Merleau-Ponty’s Solution to the


Mind-Body Problem and Its Philosophical Implications in Toegye’s
Concept of Self-Cultivation, Hankuk University of Foreign Studies,
Korea, Disertasi Program Doktor, 2006.


BERBAGAI BENTUK METODE BERFILSAFAT:
SEBUAH TINJAUAN HISTORIS SISTEMATIS
DARI MASA YUNANI KUNO
SAMPAI POSMODERNISME
OLEH: REZA A.A WATTIMENA

T ulisan ini merupakan sebuah tinjauan historis tentang berbagai


model berfilsafat yang ada di dalam sejarah filsafat Barat. Tujuannya
adalah memperkenalkan, menanggapi secara kritis, serta mengembangkan
berbagai metode tersebut untuk memahami dan menjawab berbagai
persoalan yang ada di dalam masyarakat kita, dan juga untuk melatih
pola berpikir kita dalam aktivitas sehari-hari. Seperti yang tertulis pada
judul, saya akan memaparkan model-model berfilsafat dari masa Yunani
Kuno sampai posmodernisme.

1. Pencarian Archē dan Elenchus dalam Filsafat Yunani Kuno


Sulit sekali menemukan catatan otentik mengenai filsafat sebelum
Sokrates. Yang dapat ditemukan adalah potongan tulisan yang seolah
tidak memiliki hubungan satu sama lain. Satu-satunya sumber yang
cukup bisa diandalkan adalah tulisan-tulisan Aristoteles mengenai para
filsuf sebelumnya. Ia juga dikenal sebagai sejarahwan filsafat sistematis
pertama di dalam sejarah. Maka dari itu halangan pertama kita untuk

46 Dosen Filsafat Politik di Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya.


bisa memahami filsafat Yunani Kuno adalah halangan penafsiran, karena
kita hanya bisa mengandalkan tulisan-tulisan para filsuf setelahnya. Kita
hanya bisa mengandalkan sumber sekunder.

Yang kita miliki adalah kumpulan fragmen yang terobek dari naskah
asli yang telah hilang. Akibatnya beragam penafsiran saling bertentangan
tentang fragmen itu tidak didasarkan pada teks tulisan yang memadai,
melainkan hanya copotan saja. Walaupun minimalis namun fragmen-
fragmen tulisan para filsuf sebelum Sokrates tetaplah sangat berharga.
Beberapa kutipan menyiratkan makna yang sangat mendalam untuk bisa
dipelajari dan direfleksikan. Dari situ kita bisa memahami bagaimana
tokoh-tokoh awal filsafat dan sains ini memahami realitas yang ada di
hadapan mereka.

Berdasarkan teks-teks yang ada, kita dapat menarik kesimpulan,


bahwa setidaknya ada dua kelompok filsuf yang dominan di dalam
Filsafat Yunani Kuno. Mereka adalah para filsuf pra-Sokratik dan kaum
sofis. Kedua kelompok filsafat ini memiliki ajaran yang berbeda, namun
keduanya penting untuk dipahami, karena dari merekalah filsafat dan
sains selanjutnya berkembang. Aristoteles menyebut para filsuf pra-
Sokratik pertama sebagai physiologoi (natural philosophers), atau para
filsuf natural. Mereka hendak mencari prinsip terdasar (archē) dari
seluruh realitas dengan menggunakan kosa kata naturalistik (naturalistic
terms). Para filsuf natural ini berbeda dengan para pendahulunya yang
lebih mengedepankan penjelasan-penjelasan mitologis (mythological
explanations) dalam bentuk cerita dewa dan dewi.

Walaupun sama-sama mencari prinsip dasar dari realitas dengan


menggunakan kosa kata natural, para filsuf prasokratik seringkali terlibat
dalam perdebatan tulisan, karena perbedaan pendapat. Perdebatan itu
muncul karena masing-masing filsuf saling bersikap kritis satu sama lain.
Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa filsafat adalah suatu displin
berpikir yang selalu melakukan kritik diri (self-critique), bahkan dari awal
mula berdirinya. Tidak hanya itu mereka bahkan melakukan kritik tajam


terhadap cara berpikir mitologis yang dominan pada jamannya. Dengan
kecenderungan untuk berpikir kritis seperti itu, muncullah para filsuf
yang saling berdebat soal prinsip dasar yang menentukan seluruh realitas,
yang juga bisa disebut sebagai archē.

Para filsuf natural itu, yang juga bisa kita sebut sebagai para filsuf
prasokratik, menjadikan seluruh alam semesta sebagai obyek penelitian
mereka. Mereka berusaha memahami alam semesta bukan dengan
menggunakan penjelasan mitologis, melainkan dengan penjelasan-
penjelasan naturalistik (naturalistic explanations), seperti prinsip air,
udara, api, dan atom. Dalam arti ini mereka juga bisa disebut sebagai para
ilmuwan (scientist) pertama di dalam sejarah. Proses mendekati realitas
dengan tujuan mencari prinsip terdasar (fundamental principle) yang
menyatukan keseluruhan ini nantinya akan mempengaruhi para filsuf
dan ilmuwan selanjutnya.

1.1. Archē
Pada titik ini kita bisa mengajukan pertanyaan yang mendasar,
apakah arti archē sebagai prinsip terdalam yang menyatukan (unifying
principle) seluruh realitas ini?47 Dalam bahasa Yunani Kuno, Archē
adalah prinsip. Archē juga dapat dimengerti sebagai sumber yang
menciptakan (originating source), sebab (cause), prinsip pengetahuan
(principle of knowledge), dan entitas dasar (basic entity). Konsep ini
sangat penting di dalam metafisika, epistemologi, dan filsafat ilmu
pengetahuan. Bahkan menurut Aristoteles setiap bentuk pengetahuan
(knowledge) dan ilmu pengetahuan (science) (pengetahuan yang sudah
tersistematisir) dirumuskan dan dikembangkan dengan berpegang
pada prinsip (archai) yang terbatas pada bidangnya masing-masing.

Dalam filsafat politik archē juga dapat dimengerti peraturan (rule)


dan awal (beginning). Konsep archē sebagai awal juga berakar pada

47 Untuk seterusnya saya mengacu pada McKirahan, Richard, Routledge Encyclopedia of


Philosophy, Routledge, London, 1998.


konsep asal usul (origin), titik mula (starting point), dan prinsip pertama
(first principle). Dalam bahasa Yunani kata archē sendiri berasal dari kata
archō (to begin) yang berarti untuk memulai atau untuk mengatur (to
rule). Kata itu muncul di dalam tulisan-tulisan Homer. Dalam konteks
politik yang lebih spesifik, archē bisa berarti kekuasaan (sovereignity),
ruang (realm), dan otoritas (authority). Menurut McKirahan konsep
archē secara definitif digunakan pertama kali oleh Anaximandros.
Anaximandros menggunakan kata itu untuk menjelaskan konsepnya
yang disebut sebagai apeiron, yakni unsur-unsur yang membentuk
keseluruhan realitas.

Di dalam bukunya yang berjudul Metaphysics, Aristoteles


memperkenalkan enam penggunaan konsep archē. Saya hanya akan
menjabarkan empat yang saya anggap penting. Yang pertama adalah
sebagai suatu titik, di mana segala sesuatu yang lainnya, dalam arti
benda-benda konkret lahiriah, muncul. Misalnya adalah fondasi dari
rumah. Yang kedua adalah sebagai suatu titik, di mana segala sesuatu
yang lainnya, dalam arti konseptual, muncul. Misalnya sebagai suatu
titik, di mana gerakan berikutnya muncul. Yang ketiga adalah segala
bentuk penyebab (cause) dan segala sifat-sifat dasar (nature) dari
suatu benda, pikiran, tindakan, dan sebagainya. Dan yang keempat
adalah archē sebagai benda yang bertujuan pada dirinya sendiri, seperti
pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri, dan bukan untuk tujuan
lainnya.

Seluruh filsafat sebelum Sokrates kiranya ditandai dengan suatu


bentuk metode yang unik, yakni metode pencarian archē. Dalam arti
ini archē dapat dipandang sebagai satu titik tolak bagi pengetahuan
manusia untuk berkembang. McKirahan menyebutnya sebagai
hipotesis yang tidak tidak dapat dibuktikan (unprovable hypotheses),
namun harus selalu diandaikan. Cara berpikir ini juga dapat digunakan
untuk mengembangkan persamaan di dalam matematika, maupun
sillogisme di dalam logika. Tanpa adanya hipotesis yang harus selalu
diandaikan ini, pengetahuan tidak akan bisa mencapai level koherensi.
Dan jika tidak koheren, maka itu tidak layak disebut pengetahuan.48

Dalam konteks filsafat prasokratik, archē berarti prinsip yang


menyatukan keseluruhan realitas. Mereka berusaha mengabstraksi
realitas sedemikian rupa, sehingga bisa terlihat unsur dasar pembentuk
realitas tersebut. Inilah yang disebut sebagai metode pencaria archē.
Dalam konteks pembelajaran metode ini bisa digunakan untuk
memahami karakter dasar ataupun prinsip penyatu dari obyek yang
ingin diteliti, seperti karakter dasar dari pikiran manusia, hasrat,
masyarakat, alam, dan sebagainya. Pada hemat saya pencarian archē
adalah suatu metode yang sangat radikal, yang hendak mengangkat
akar-akar terdalam realitas, dan menegaskannya sebagai sebuah konsep
yang dapat dipahami oleh akal budi (intelligible).

1.2. Elenchus sebagai Metode Sokratik49


Metode berfilsafat berikutnya yang dapat ditemukan pada filsafat
Yunani Kuno adalah metode Sokratik (Socratic method). Menurut
Nelson metode Sokratik adalah metode yang digunakan untuk
mempelajari filsafat. Akan tetapi filsafat tidaklah sama seperti displin
ilmu lainnya. Maka itu lebih tepat dikatakan, bahwa metode Sokratik
bukanlah metode untuk belajar filsafat (learn philosophy), melainkan
metode untuk berfilsafat (philosophizing). Apa sebenarnya perbedaan
antara dua konsep itu? Yang pertama hendak mengajarkan kepada
orang tentang apa itu filsafat. Sementara yang kedua adalah membuat
orang mampu berfilsafat tentang tema-tema yang penting dalam
hidupnya, sehingga ia bisa menjadi seorang filsuf.

Secara historis Sokrates banyak bergulat soal isu-isu yang ter-


kait dengan kehidupan manusia. Ia mempertanyakan soal-soal yang

48 Bdk, Wattimena, Reza A.A, Filsafat dan Sains, Grasindo, Jakarta, 2008.
49 Untuk berikutnya saya mengacu pada Nelson, Leonard, Socratic Method and Critical
Philosophy, Yale University Press, London, 1949.


terkait dengan kebaikan, moral, dan keadilan, serta menjadikan
tema-tema itu bagian dari perdebatan yang menarik. Dalam konteks
ini ia merumuskan semacam metode khusus yang disebut sebagai
argumentasi dialektis (dialectical argument), atau secara khusus
disebutnya sebagai elenchus yang berarti menguji (putting to test) atau
pembuktian (refutation). Ia memberikan contoh metode itu, ketika
ia berdebat dengan Meletus, salah seorang yang menuduh Sokrates
melanggar hukum, dalam pengadilan Sokrates (the trial of Socrates).

Meletus mengajukan argumen A. Ia merasa benar karena ia adalah


ahli di bidang itu. Sokrates menanggapi argumen itu, melakukan
klarifikasi, dan memperluas argumen yang diajukan Meletus. Setelah
itu Sokrates meminta pendapat Meletus. Pada akhir argumen Sokrates
berhasil membuktikan, bahwa argumen Meletus tidaklah konsisten.
Sedangkan pengetahuan yang otentik haruslah konsisten. Pengetahuan
yang otentik haruslah bebas dari kontradiksi diri (self-contradiction).
Maka dari itu argumen Meletus sebenarnya tidak bisa diterima, karena
tidak memiliki konsistensi dasar. Sokrates seringkali menggunakan
gaya seperti ini untuk mengungkapkan kontradiksi di dalam argumen
dari orang yang merasa dirinya paling ahli sekalipun, seperti para ahli
agama, seorang jenderal, dan para guru retorika.

Kelihatannya Sokrates hanya suka mengungkapkan kesalahan dari


argumentasi teman bicaranya. Akan tetapi itu tidak sepenuhnya benar.
Memang ia ingin menunjukkan kelemahan argumen teman debatnya,
tetapi juga ingin membantu teman debatnya untuk melakukan
pencarian lebih jauh demi mendapatkan pengetahuan yang lebih
tepat. Dengan kata lain Sokrates ingin mencegah teman debat atau
bicaranya untuk puas dengan kebenaran palsu (false truth). Sokrates
tidak ingin teman debatnya menipu diri dengan menganggap hal yang
salah sebagai benar.

Tidak hanya dengan orang-orang yang merasa ahli, Sokrates


juga banyak berdialog dengan orang-orang yang mencari kebenaran


dalam segala bidangnya, terutama dengan anak muda. Ia membantu
mereka merumuskan konsep secara tepat tentang hal-hal yang penting
dalam kehidupan, seperti kebaikan, keberanian, dan kerendahatian.
Sokrates yakin bahwa hidup yang baik didasarkan pada pengertian
yang baik. Orang yang baik adalah orang yang sungguh mengerti apa
artinya baik. Inilah yang disebut sebagai intelektualisme etis di dalam
pemikiran Sokrates. Dan pengertian yang baik adalah pengertian
yang bebas dari kontradiksi (contradiction) ataupun inkonsistensi
(inconsistency). Orang bisa belajar banyak hal, jika ia mampu peka
pada kemungkinan kontradiksi yang ada di dalam pikiran, dan sedapat
mungkin menghindarinya.

Sokrates sangatlah tertarik berdiskusi soal keutamaan-keutamaan


moral, seperti keberanian, kesetian, kejujuran, dan kualitas-kualitas
yang memungkinkan persahabatan. Baginya sebelum orang masuk
ke contoh, mereka harus dapat menjelaskan secara sistematis dan
komprehensif tentang makna dari masing-masing keutamaan-
keutamaan moral tersebut. Makna yang sistematis dan komprehensif
tersebut dianggap Sokrates sebagai satu konsep yang mampu
mencakup beragam tindakan yang didasarkan pada masing-masing
keutamaan moral yang ada. Itulah yang disebutnya sebagai definisi
universal (universal definitions) yang dapat digunakan untuk mengecek
berbagai tindakan yang ada, apakah sudah sesuai dengan keutamaan
moral (moral virtue) atau tidak. Bahkan bisa juga dikatakan, bahwa
Sokrates adalah pemikir pertama yang sangat tertarik pada definisi
universal dari keutamaan-keutamaan moral manusia (universal definition
of moral virtues). Metode pencarian definisi universal itulah yang
kemudian dapat dianggap sebagai metode untuk memahami realitas
khas Sokrates.

Yang juga menarik adalah, Sokrates tidak pernah merasa, bahwa


ia sudah mencapai pengertian yang universal dan terbaik tentang tema
yang dibicarakannya. Sebaliknya pada akhir dialog, ia biasanya sampai
pada kesimpulan, bahwa ia ternyata tidak akan dapat sampai pada


kebenaran absolut. Pengetahuan yang absolut benar tidak pernah dapat
didapatkan. Dan setiap dialog selalu diakhiri dengan pertanyaan lebih
jauh. Walaupun merasa belum sampai pada kebenaran yang absolut,
Sokrates mengakui, bahwa proses dialog telah membuat manusia
lebih dekat pada kebenaran. Inilah inti dari metode elenchus di dalam
pemikiran Sokrates.

2. Logika Sebagai Metode di dalam Filsafat Abad Pertengahan


Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat bagaimana para pemikir
Yunani Kuno memahami realitas. Mereka menggunakan metode yang
unik, yang nantinya akan terus mempengaruhi cara berpikir kita sampai
sekarang ini, yakni pencarian archē dan elenchus. Pada bab ini saya akan
mengajak anda mencicipi cara para filsuf abad pertengahan memahami
realitas. Pada bagian ini saya mengacu pada Routledge Encyclopedia of
Philosophy, dan tulisan Ashworth mengenai bahasa dan logika di dalam
filsafat abad pertengahan.

Di dalam filsafat abad pertengahan, kita melihat berkembangnya


suatu cara berpikir yang nantinya akan mempengaruhi perkembangan
pengetahuan manusia secara signifikan, yakni metode berpikir deduktif
(deductive method). Secara literal metode deduktif, atau yang banyak juga
dikenal sebagai prinsip deduktif (deductive principle), adalah kemampuan
orang untuk mengembangkan pengetahuannya dengan menarik
kesimpulan dari pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya telah ia
ketahui.50

Misalnya A mengetahui bahwa B, dan C adalah kesimpulan yang bisa


ditarik secara deduktif dari B. Maka A mengetahui C. Cara berpikir ini
disebut juga prinsip tertutup (closure principle). Artinya kesimpulan yang
bisa ditarik tertutup hanya pada implikasi logis (logical implications), dan

50 Untuk bagian ini saya mengacu pada Brueckner, Anthony, Routledge Encyclopedia of
Philosophy.


bukan yang lainnya. Contoh lainnya S mengenali P, dan S mengetahui
bahwa Q adalah implikasi logis dari P. Maka S dapat mengenali Q.

Prinsip ini dapat memastikan, bahwa pengetahuan yang diperoleh


adalah pengetahuan yang sahih (valid knowledge). Prinsip semacam ini
sangat berperan di dalam pembentukan pengetahuan melalui metode
penelitian saintifik (scientific method). Cara berpikir deduktif ini
mempengaruhi cara berpikir para filsuf abad pertengahan tentang konsep
bahasa dan logika (logic). Dua konsep inilah yang akan menjadi fokus
pembahasan di dalam bab ini.

2.1. Logika dan Bahasa di dalam Filsafat Abad Pertengahan


Secara umum Filsafat Abad Pertengahan memiliki pemahaman
yang menarik tentang konsep bahasa dan logika. Berdasarkan penelitian
Ashworth pada masa itu, bahasa (language) dan logika dianggap
memiliki tujuan yang jelas.51 Keduanya berfungsi untuk membentuk
dan menyatakan kebenaran, sehingga orang bisa bergerak maju dalam
membentuk pengetahuan baru. Kedua konsep ini menimbulkan
perdebatan antara dua filsuf besar pada waktu itu, yakni Agustinus dan
Thomas Aquinas. Agustinus tidak percaya akan kemampuan manusia
untuk sampai pada pengetahuan yang tepat. Yang harus diingat adalah
Agustinus adalah seorang ahli retorika. Ia sadar betul akan bahaya
penggunaan bahasa untuk menyembunyikan atau justru melenyapkan
kebenaran. Dan seperti yang dijelaskan oleh Ashworth, Agustinus
pernah menulis, bahwa orang harus melepaskan diri dari bahasa
sehari-hari, dan kemudian belajar langsung dari sumber kebenaran itu
sendiri, yakni Tuhan. Ia adalah kebenaran agung yang sesungguhnya.52

Pandangan Aquinas berbeda dari Agustinus. Bagi Aquinas seperti


dijelaskan oleh Ashworth, fungsi utama dari bahasa adalah untuk

51 Untuk bagian berikutnya saya mengacu pada Ashworth, E.J., “Language and Logic”,
dalam The Cambridge Companions to Medieval Philosophy, A.S McGrade (ed), Cambridge
University Press, Cambridge, 2006, hal. 73-96.
52 Lihat, ibid, hal. 77.


mengetahui kebenaran melalui konsep-konsep yang dapat dirumuskan
oleh akal budi manusia. Dalam aktivitas sehari-hari, bahasa juga
memungkinkan terciptanya kehidupan sosial melalui komunikasi
yang berguna antar manusia. Tidak hanya itu menurut Ashworth,
masyarakat pun terbentuk di dalam bahasa melalui proses penuturan
kebenaran (truth telling). Bahasa adalah perpanjangan tangan dari
rasionalitas manusia. Dalam kerangka itu bahasa adalah sistem yang
diatur oleh prinsip-prinsip tertentu, dan dapat dilepaskan dari konteks
pembentukan bahasa, ataupun maksud dari penuturnya. Bahasa adalah
kumpulan informasi yang dikumpulkan dan nantinya dirumuskan,
guna membentuk suatu pengetahuan yang sistematis (scientia).

Di dalam filsafat abad pertengahan, menurut Ashworth,


bahasa tidak dapat dilepaskan dari logika. Keduanya terkait dengan
kebenaran, walaupun dengan cara yang berbeda. Seorang filsuf Islam
yang bernama Ibn Sina pernah berpendapat, bahwa fungsi logika
adalah untuk mengantarkan manusia dari apa yang diketahui (known)
menuju ‘yang tidak diketahui’ (the unknown). Artinya logika mengantar
manusia untuk membuka tabir-tabir pengetahuan yang sebelumnya
tidak diketahui. Di dalam proses itu, logika dapat mengantar manusia
pada kebenaran yang sesungguhnya (genuine truth). Kebenaran itu
tidaklah diciptakan oleh manusia, melainkan sudah tertanam di dalam
tata alam semesta yang rasional (permanently and divinely instituted in
the reasonable orders of things).53 Logika abad pertengahan difokuskan
untuk membantu manusia melepaskan diri dari kesalahan berpikir
(fallacies).

Logika di dalam filsafat abad pertengahan berbeda dengan logika


Aristotelian, yang berkembang pada masa Yunani Kuno. Pada masa abad
pertengahan, logika yang berkembang tidak mengacu pada struktur
formal silogisme a la Aristoteles untuk bisa sampai pada kebenaran.
Logika yang dirumuskan Agustinus, misalnya, lebih banyak mengacu

53 Pendapat Agustinus seperti dikutip oleh Ashworth, ibid, hal. 78.


pada pemikiran Neoplatonik, yang melihat bahwa alam semesta bisa
dipahami seluruhnya dengan mengabstraksi konsep jiwa (soul) sampai
levelnya yang paling tinggi. Dengan jiwanya manusia bisa melihat
seluruh realitas sebagai obyek yang dapat dipahami oleh akal budi
(intelligible). Jiwa adalah suatu entitas yang melampaui bahasa. Dengan
argumen yang kurang lebih sama, Agustinus hendak membuktikan
keberadaan Tuhan, yakni sebagai entitas yang melampaui bahasa.

Pada abad pertengahan ini jugalah berkembang suatu konsep yang


dikenal juga sebagai dialektika (dialectica). Menurut Ashworth dalam
arti umum, dialektika adalah logika (logica). Namun dalam arti sempit,
setidaknya ada dua makna berbeda. Yang pertama adalah dialektika
sebagai seni berdebat, seperti yang dipraktekkan kaum sofis. Dan
yang kedua adalah dialektika sebagai seni untuk menemukan sintesis
(synthesis) dari argumen-argumen yang berbeda. Marcus Iulius Cicero
berpendapat bahwa dialektika adalah suatu metode berdebat yang
baik. Agustinus pun berpendapat serupa.

Ashworth juga menjelaskan beragam arti kata logika (logica). Kata


itu berasal dari bahasa Yunani logos, yang berarti kata-kata (word) atau
akal budi (reason). Dalam arti ini logika bisa juga disebut sebagai ilmu
pengetahuan rasional (rational science). Seorang filsuf abad pertengahan
bernama Boethius berpendapat, bahwa filsafat dapat dibagi menjadi
tiga, yakni filsafat natural (natural philosophy), filsafat moral (moral
philosophy), dan filsafat rasional (rational philosophy). Logika terletak di
dalam ranah filsafat rasional. Logika juga dapat dianggap sebagai alat
untuk berfilsafat. Di sisi lain para filsuf Romawi berpendapat, bahwa
logika dapat dikategorikan sebagai bagian dari seni liberal (liberal art).
Logika juga dapat dikategorikan sebagai trivium bersama dengan
retorika dan grammar. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa logika
sekaligus bagian dari ilmu bahasa (dalam tradisi Romawi) dan filsafat
rasional (dalam tradisi Boethius).54

54 Lihat, ibid, hal. 80.


Berdasarkan penelitian Ashworth pada abad ke 13 dan 14, logika
mulai melulu dipahami sebagai filsafat rasional (rational philosophy).
Artinya logika haruslah dibedakan dengan filsafat natural, yang sibuk
untuk memahami gejala alamiah (natural phenomena). Logika lebih
berurusan dengan penarikan kesimpulan (inference) serta metode
berpikir, dan bukan soal gejala alamiah. Dalam arti ini logika dapat
dikelompokkan bersama dengan retorika dan grammar, yakni sebagai
ilmu bahasa. Argumen lain mengatakan bahwa logika tidak dapat
disamakan dengan filsafat natural (yang nantinya berkembang menjadi
ilmu pengetahuan seperti kita ketahui sekarang ini). Logika tidak
berurusan dengan alam, melainkan dengan prinsip-prinsip universal
(universal principles) yang mengatur argumen dan cara berpikir
(reasoning). Jadi ranah penelitian logika bukanlah benda empiris,
melainkan aktivitas pikiran manusia (human mind).

2.2. Logika Penarikan Kesimpulan


Menurut Ashworth penarikan kesimpulan adalah konsep
terpenting di dalam logika. Penarikan kesimpulan ini bisa juga disebut
sebagai consequentia, atau inference. Hal ini menjadi penting untuk
mencegah orang mengambil kesimpulan yang salah (fallacies) juga
dengan berdasarkan pada premis yang salah. Di dalam ilmu pengetahuan
maupun di dalam filsafat moral, orang dilatih untuk bertindak seturut
dengan implikasi logis (logical implications) dari kondisi-kondisi yang
ada. Misalnya orang baru bisa mengambil kesimpulan yang tepat, jika
salah satu premis yang membentuk kesimpulan itu juga universal,
(Andi orang Jawa. Semua orang Jawa berambut hitam. Maka Andi
juga berambut hitam). Dan jika orang membuat janji, maka ia harus
menepatinya. Itulah tindakan-tindakan yang mengikuti implikasi logis
dari tindakan sebelumnya.

Kesimpulan yang ditarik secara logis berarti kesimpulan yang


sahih (valid). Kesimpulan sahih dalam arti ini adalah kesimpulan
yang ditarik dari premis yang sudah terbukti benar. Maka kesimpulan


tersebut tidak mungkin salah, karena premis yang mendasarinya juga
sudah terbukti benar. Namun menurut Ashworth ada dua masalah
terkait dengan argumen ini. Yang pertama adalah fakta sederhana
di dalam logika, bahwa apa yang logis belum tentu benar. Apa yang
merupakan kesimpulan logis dari premis-premis yang sudah terbukti
benar tidak menjamin kebenaran dari penarikan kesimpulan itu,
melainkan hanya kesahihan logikanya. Coba kita ambil contoh yang
paling sederhana. Andi orang Jawa. Semua orang Jawa berambut
hitam. Lalu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Andi berambut hitam.
Hal ini memang logis, namun apakah pasti benar?

Permasalahan di atas coba diatasi dengan menambahkan satu


kalimat, yakni “jika dan hanya jika” (if and if only). Namun menurut
Ashworth hal ini pun bermasalah. Konsep “jika dan hanya jika”
menandakan suatu kondisi. Artinya suatu teori atau pernyataan baru
terbukti benar, jika kondisi-kondisi yang memungkinkanya juga ada.
Misalnya saya berkata bahwa hari ini pasti hujan, ‘jika dan hanya jika’
awan berat karena air, dan siap menuang hujan ke daratan. Jika awan
tidak berat karena air, maka hujan tidak akan terjadi.

Ini adalah contoh yang sederhana. Permasalahan muncul ketika


kita mencoba membahas teori yang lebih rumit. Misalnya pernyataan
berikut; ekonomi pasar bebas hanya akan berjalan dengan baik, jika
setiap orang bertindak dengan mengacu pada kepentingan diri yang
tercerahkan (englighten self-interest). Masalahnya adalah cara berpikir
dengan mengacu pada kepentingan diri yang tercerahkan hampir tidak
mungkin terwujud secara murni di dalam realitas. Artinya pernyataan
di atas sama sekali tidak bisa diterapkan pada realitas.

Cara berpikir dengan menggunakan logika sebagai metode ini


juga banyak diterapkan pada teologi, yakni upaya rasional manusia
untuk memahami Tuhan. Dalam arti ini logika bukan soal pencarian
kebenaran, melainkan suatu teknik berpikir untuk menarik kesimpulan


logis berdasarkan premis-premis yang bisa dipertanggungjawabkan.
Memang dalam arti ini, seperti yang dikatakan oleh Agustinus, apa
yang logis (logic) dan apa yang benar (truth) haruslah dibedakan.
“Pengetahuan yang diperoleh dari penarikan kesimpulan logis, definisi,
dan divisi”, demikian tulis Agustinus, “dapat memberikan bantuan
besar di dalam proses pemahaman, selama orang tidak membuat
kesalahan dengan berpikir bahwa dengan mempelajari itu sama
dengan telah mempelajari kebenaran dari hidup yang suci.”55 Dari sini
dapatlah disimpulkan, bahwa logika adalah alat berpikir, dan bukan
tujuan dari filsafat abad pertengahan.

3. Metode Skeptisisme di dalam Filsafat Modern


Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat bagaimana para
filsuf abad pertengahan menggunakan logika sebagai metode berpikir
mereka. Logika nantinya akan menjadi fondasi kuat bagi perkembangan
pemikiran di dalam ilmu pengetahuan. Pada bab ini dengan mengacu
pada Stewart Cohen di dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, saya
ingin memperkenalkan anda pada metode skeptisisme yang dominan
pada awal filsafat modern.56

Secara umum skeptisisme adalah pandangan, bahwa orang tidak


mungkin bisa sampai pada pengetahuan. Di dalam pandangan para
pemikir skeptis yang lebih moderat, manusia masih bisa sampai pada
pengetahuan, namun tidak akan pernah sampai pada kepastian. Di dalam
pandangan yang lebih radikal, pengetahuan manusia tidak pernah bisa
didasarkan pada argumen yang masuk akal. Dengan kata lain pengetahuan
manusia itu irasional. Argumentasi adalah sekumpulan kata-kata kosong
untuk membuktikan sesuatu yang memang tidak bisa dibuktikan.

Pada level yang lebih luas, skeptisisme adalah suatu bentuk


ketidakpercayaan pada cara mengetahui manusia. Misalnya ketidak-

55 Seperti dikutip Ashworth, ibid, hal. 81.


56 Untuk bagian awal bab ini, saya mengacu pada Stewart Cohen dalam Routledge
Encyclopedia of Philosophy.


percayaan pada ingatan sebagai sumber ingatan, karena ingatan sifatnya
sangat rapuh dan subyektif.57 Ada juga para pemikir skeptis yang tidak
percaya pada kepastian pengetahuan manusia tentang dunia di luar
dirinya. Bagi mereka pengetahuan tentang dunia di luar diri manusia
(external world) hanya sebentuk sensasi-sensasi saraf otak semata, dan
bukan pengetahuan yang asli. Ada satu bentuk skeptisisme lainnya yang
disebut sebagai solipsisme. Paham ini berpendapat bahwa yang ada
hanyalah diri manusia dan keyakinan-keyakinan subyektifnya. Segala
sesuatu di luar diri manusia tidak ada. Misalnya dunia di luar diri manusia
itu sungguh ada, namun itu pun tetap tidak bisa diketahui.

3.1. Skeptisisme di dalam Sejarah


Menurut Richard H. Popkin di dalam Routledge Encyclopedia
of Philosophy, skeptisisme memiliki akar yang panjang dalam sejarah.
Pada jaman Romawi Kuno, teks-teks Cicero, Sextus Empiricus, dan
Diogenes sudah memuat argumen-argumen skeptisisme. Setidaknya
ada dua bentuk skeptisisme, yakni ketidakpercayaan pada pada persepsi
inderawi (sense perception) manusia untuk memperoleh pengetahuan,
dan ketidakpercayaan pada kemampuan akal budi (reason) manusia
untuk mencapai pengetahuan yang universal.58

Jika akal budi dan persepsi inderawi tidak bisa membawa manusia
pada pengetahuan, maka manusia tidak memiliki lagi alat untuk bisa
mengetahui sesuatu. Pengetahuan pun menjadi sesuatu yang tidak
mungkin. Cara pandang ini memiliki implikasi moral tertentu. Jika
manusia tidak bisa sampai pada pengetahuan, maka satu-satunya
harapan adalah menyandarkan diri pada cara hidup dan aturan yang
sudah mapan di dalam masyarakat. Daya dorong untuk mencapai
kebenaran absolut menghilang, dan orang pun ‘dipaksa’ untuk hidup
dalam harmoni dengan lingkungan sekitarnya.

57 Saya membahas problem ini dalam Wattimena, Reza A.A, “Ingatan Sosial, Trauma, dan
Maaf ”, Jurnal Respons, Mikhael Dua (ed), Jakarta, Atma Jaya, 2009.
58 Untuk bagian ini dan berikutnya saya mengacu pada Richard H. Popkin dalam Routledge
Encyclopedia of Philosophy.


Berdasarkan penelitian Popkin kelahiran skeptisisme sebagai
metode di abad pertengahan disebabkan oleh ditemukannya kembali
teks-teks kuno. Teks-teks tersebut pertama kali ditemukan dan
dikembangkan oleh para pemikir Humanis di Italia. Kemudian teks-
teks tersebut tersebar dan semakin berkembang di Eropa Barat dan
Eropa Utara. Seperti sudah disinggung sebelumnya, teks-teks yang
berpengaruh adalah tulisan Cicero, Diogenes, dan, yang terpenting,
adalah tulisan Sextus Empiricus.

Pada awalnya teks-teks tulisan Empiricus lebih dikenal sebagai


teks-teks sejarah dan literatur biasa. Namun setelah terbit dua teks
terjemahan milik Empiricus, yakni Outlines of Pyrrhonism dan Against
the Professors, para filsuf pada waktu itu mulai menempatkan teks-teks
itu sebagai teks yang memiliki problem filosofis. Dari penelitian Popkin
ini dapatlah disimpulkan, bahwa konsep skeptisisme berkembang dari
ditemukannya teks-teks kuno, yang kemudian membuka problem-
problem filosofis baru pada abad ke 14 dan 15.

Konsep skeptisisme juga berkembang dalam konteks tegangan


dengan agama pada abad ke-14. Tokoh yang terkait adalah Girolamo
Savonarola dan muridnya yang bernama Pico della Mirandola.
Savonarola sendiri adalah seorang biarawan Dominikan sekaligus
seorang guru filsafat di Florence. Ia menyarankan dilakukannya
reformasi besar-besaran terhadap Gereja Katolik Roma pada waktu
itu. Ia bahkan menyarankan orang membaca tulisan Sextus Empiricus
sebagai perkenalan kepada iman Kristiani. Ia juga meminta teman-
teman biarawannya untuk menerjemahkan teks-teks Empiricus,
sehingga bisa dibaca oleh banyak orang.

Akan tetapi tulisan-tulisan Empiricus, berlawanan dengan cita-cita


Savonarola, tidak pernah dijadikan salah satu teks Kristiani. Bahkan ia
kemudian dituduh bidaah, dan dibakar pada 1498. Menurut penelitian
Popkin cita-cita Savonarola sebenarnya sesuai dengan ajaran Kristiani.
Dia dan muridnya yang bernama Pico sebenarnya hendak menyerang


semua bentuk pengetahuan yang ada dengan teori skeptisisme, supaya
orang tidak lagi menyandarkan diri pada akal budinya, melainkan
bersandar hanya sepenuhnya pada iman. Hal ini nantinya juga
dipergunakan oleh para Rabi Yahudi untuk menjadikan Torah sebagai
satu-satunya sumber kebenaran. Melanjutkan cita-cita gurunya, Pico
menyerang Filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Aristoteles. Argumen
Pico memiliki pengaruh sangat besar para para pemikir Renaissance
nantinya.

Pada masa reformasi Erasmus pernah melakukan debat keras


melawan Martin Luther. Masa itu adalah masa yang penuh gejolak,
akibat gelombang reformasi yang deras melanda Eropa. Pada 1511
dalam salah satu tulisannya yang berjudul In Praise of Folly, Erasmus
menyerang semua bentuk pandangan skeptik. Baginya skeptisisme
adalah sikap dogmatik untuk tidak mengatakan apapun tentang
apapun juga. Artinya skeptisisme adalah ajaran yang kosong belaka.
Pada bukunya yang berjudul Philosophia Christi, Erasmus menyetujui
sepenuhnya ajaran Kristus sebagai satu-satunya kebenaran. Walaupun
begitu ia tidak membangun sistem pemikiran apapun untuk mendasari
argumennya itu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Popkin, Erasmus awalnya


setuju dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh Luther pada Gereja
Katolik. Namun dalam perjalanan Erasmus melihat sikap yang semakin
lama semakin keras pada argumen dan tindakan Luther. Ia pun
menarik dukungannya, dan tetap memilih untuk menjadi bagian dari
Gereja Katolik. Ia kini berada pada posisi yang bertentangan Luther.
Yang menarik adalah menurut Popkin, Erasmus justru menggunakan
argumen skeptik untuk melawan Luther. Ia berpendapat bahwa tema
perdebatannya dengan Luther terlalu sulit untuk dipahami oleh akal
budi manusia. Kitab suci pun tidak bisa dijadikan acuan mutlak untuk
soal-soal iman dan teologi yang mereka perdebatkan. Berdasar pada


argumen skeptik, bahwa manusia tidak mungkin bisa memahami
sepenuhnya misteri Tuhan dan iman, Erasmus mengajak Luther untuk
kembali pada pandangan tradisional, yakni pandangan Gereja Katolik,
dengan penuh keterbukaan hati.59

Terlihat bahwa Erasmus menerapkan metode skeptisisme


untuk membela pendiriannya. Popkin bahkan menyebutnya sebagai
skeptisisme lembut (gentle scepticism). Namun Luther sama sekali
tidak bisa menerima argumen itu. Baginya seorang Kristen tidak bisa
sekaligus adalah seorang skeptik. Orang yang beragama Kristen, atau
agama apapun, haruslah meyakini kebenaran yang terdapat di dalam
agamanya. Jika tidak maka mereka akan terancam hukuman Tuhan,
seperti yang dipercaya di dalam agamanya. “Iman dan skeptisisme
sama sekali tidak cocok,” demikian tulis Popkin, “karena seorang
Kristen haruslah bahagia di dalam ketegasannya.”60 Luther bahkan
mengatakan bahwa Roh Kudus sama sekali tidak skeptik (Spiritus
Sanctus non est scepticus). Di hari pengadilan akhir (judgment day),
Erasmus harus mempertanggungjawabkan keraguannya di hadapan
Tuhan.

Menurut Popkin perdebatan antara Luther dan Erasmus


meninggalkan kita satu pertanyaan filosofis yang penting, bagaimana
menciptakan kriteria untuk menentukan kebenaran dalam konteks
kebenaran religius? Di dalam sejarah Luther menantang kebenaran
tradisi yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Ia menolak mengakui
otoritas iman dari Paus dan tradisi Gereja Katolik yang sudah berusia
ratusan tahun. Sebagai gantinya ia ingin kembali mengacu pada Kitab
Suci. Akan tetapi menurut Popkin, bukankah setiap orang membaca
Kitab Suci dengan tafsiran dan gayanya masing-masing? Menjawab
ini Luther mengatakan, bahwa tafsirannya langsung didasarkan dari
inspirasi roh kudus. Akan tetapi bagaimana memastikan itu? Pada

59 Lihat, ibid.
60 Ibid.


akhirnya Luther hanya mengacu pada keyakinan subyektifnya semata.
Keyakinan subyektif yang dipercayainya sebagai bisikan roh kudus.

Dari kisah di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa skeptisisme


seringkali berperan besar di dalam perdebatan religius. Argumen
yang ditawarkan biasanya begini, jika tidak ada yang dapat diketahui
sepenuhnya oleh manusia, maka ia hanya perlu mempercayainya. Para
pemikir reformis Protestan menggunakan argumen ini untuk melawan
tradisi Gereja Katolik. Dan Gereja Katolik menggunakan argumen
yang kurang lebih serupa melawan Calvinisme. Semua pihak kemudian
menganjurkan fideisme, yakni iman merupakan sumber utama dari
pengetahuan manusia. “Jika sikap skeptis terhadap pengetahuan tidak
bisa diselesaikan dengan akal budi”, demikian Popkin, “maka ajaran
agama haruslah diterima hanya dengan berdasar pada iman semata.”61

Tentu saja pandangan ini memiliki banyak kelemahan. Bagaimana


mungkin orang bisa beriman tanpa menggunakan akal budinya? Jika
itu terjadi bukankah agama lebih menjadi ilusi irasionil semata yang
justru memperbodoh manusia? Bukankah orang akan begitu mudah
menjadi fanatik terhadap agamanya sendiri, dan menutup mata atau
bahkan menindas perbedaan yang ada? Pada hemat saya skeptisisme
mengajarkan orang untuk bersikap kritis terhadap semua bentuk
pengetahuan. Sikap kritis itu tidak bertujuan untuk membawa orang
pada kebingungan, melainkan justru untuk menjernihkan pengetahuan
orang tersebut. Inilah yang menjadi inti dari skeptisisme di dalam
filsafat modern, yakni mengajarkan orang untuk berpikir kritis,
sehingga ia bisa menemukan kebenaran yang sesungguhnya, dan tidak
berpuas diri dengan kebenaran-kebenaran palsu.

3.2. Skeptisisme sebagai Metode62


Bapak dari filsafat modern adalah Rene Descartes. Ciri utama
filsafatnya adalah refleksi yang mendalam dan berkelanjutan tentang

61 Ibid.
62 Untuk berikutnya saya mengacu pada Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Gramedia,
Jakarta, 2004, hal. 37-93.


tema kesadaran. Para filsuf setelah Descartes juga pada akhirnya
menjadikan tema kesadaran sebagai tema refleksi filosofis mereka.
Berdasarkan penelitian Budi Hardiman, Descartes memberikan
suatu bentuk metode baru di dalam berfilsafat, yakni yang disebutnya
sebagai metode skeptisisme, atau bisa juga disebut sebagai skeptisisme
metodis. Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan kepastian
dasariah dan kebenaran yang kokoh. Inilah tujuan utama filsafat
menurut Descartes.63

Untuk mendapatkan kepastian dasariah dan kebenaran yang


kokoh itu, Descartes mulai dengan meragukan segala sesuatu. Ia
meragukan kepastian benda-benda material yang ada di sekitarnya,
dan bahkan sampai meragukan keberadaan dirinya sendiri. Jika semua
hal di dunia ini bisa diragukan, lalu apakah yang bisa dijadikan sebagai
pegangan kokoh? Pada hemat Descartes satu hal setidaknya yang
tidak bisa diragukan, yakni fakta bahwa saya sedang meragukan. Jadi
walaupun seluruh dunia adalah hasil penipuan, namun fakta bahwa aku
sedang meragukan seluruh dunia bukanlah sebuah penipuan. Inti dari
sikap meragukan adalah berpikir, maka berpikir juga adalah sebuah
kepastian dasariah yang tidak terbantahkan. Jelaslah bahwa keraguan
Descartes tidak mengantarkannya pada kekosongan, melainkan justru
membawanya pada kepastian yang tidak terbantahkan. Skeptisisme
Descartes bisa juga disebut sebagai skeptisisme yang konstruktif
(constructive skepticism).

Cara berpikir skeptik yang lebih radikal dapat ditemukan pada


seorang filsuf Inggris yang bernama David Hume. Dengan membaca
tulisan-tulisan Hume, orang akan mendapatkan kesan, bahwa ia
hendak menghancurkan filsafat. Namun menurut Budi Hardiman,
tujuan dasar Hume bukanlah menghancurkan filsafat, melainkan
mau melengkapi filsafat dengan sebuah metode berpikir yang ketat
dan sistematis. Untuk itu Hume kemudian menggunakan cara

63 Lihat, ibid, hal. 38.


berpikir skeptisisme.64 Yang menjadi obyek utama kritik Hume adalah
metafisika tradisional. Baginya metafisika bersifat sangat tidak pasti,
dan melebih-lebihkan kemampuan akal budi manusia. Dalam arti
ini metafisika bukan lagi sekedar merupakan penyelidikan terhadap
realitas dengan menggunakan akal budi manusia, tetapi sudah menjadi
mirip dengan mitos dan takhayul.

Berdasarkan penelitian Budi Hardiman dapatlah disimpulkan,


bahwa Hume ingin melakukan kritik tajam terhadap tiga bentuk
pemikiran, yakni pandangan rasionalisme bahwa seluruh realitas terdiri
dari unsur-unsur yang saling berhubungan, pemikiran-pemikiran
religius, konsep sebab akibat yang berada di dalam ilmu pengetahuan,
dan konsep substansi yang dianut oleh para pemikir empiris (meyakini
bahwa sumber utama pengetahuan adalah pengalaman inderawi).65
Coba kita bahas tiga bentuk kritik ini satu per satu.

Yang pertama, para pemikir rasionalis yakin, bahwa realitas itu


adalah suatu substansi (substance). Artinya realitas adalah satu kesatuan
yang bersifat utuh dan mutlak. Ide kesatuan itu biasanya muncul dari
pengamatan. Jadi kesatuan adalah kesan yang muncul, ketika orang
mulai secara detil mengamati sesuatu. Karena hanya didasarkan pada
kesan, maka kesatuan, atau substansi, tidak lebih dari sekedar khayalan
manusia semata. Substansi adalah kumpulan persepsi semata. Jadi
seluruh realitas adalah kumpulan persepsi (a bundle of perceptions)
manusia semata.

Kritik kedua Hume yang sampai sekarang masih relevan adalah


kritiknya terhadap kausalitas (sebab akibat). Konsep kausalitas
mengandaikan bahwa jika peristiwa B terjadi tepat setelah peristiwa
A, maka A pasti yang menyebabkan terjadinya B. Bagi Hume konsep
sebab akibat di dalam kasus itu sama sekali tidak bisa dipastikan.
Konsep kausalitas (causality) lebih didasarkan pada kebingungan

64 Lihat, ibid, hal. 87.


65 Lihat, ibid, dst.


daripada kejernihan. Hume sendiri mengakui bahwa setiap peristiwa
memiliki hubungan yang satu dengan yang lainnya. Namun hubungan
itu tidak langsung bisa disimpulkan sebagai kausalitas. Yang bisa dilihat
oleh manusia adalah urutan dari peristiwa, dan bukan kausalitas itu
sendiri. Sedangkan konsep kausalitas tidak bisa dipastikan, terutama
karena tidak bisa diamati secara langsung. Ungkapan terkenal Hume
untuk kepercayaan manusia terhadap kausalitas adalah kausalitas
sebagai kepercayaan naif (animal faith).

Kritik ketiga Hume difokuskan pada agama. Baginya orang


beragama haruslah menggunakan cara berpikir skeptisisme sehat,
yakni cara berpikir yang meragukan berbagai aspek mitologis dan
takhayul dari agama. Agama harus dikembalikan kepada karakternya
yang rasional dan empiris. Di sisi lain Hume juga bersikap sangat
kritis terhadap mukjizat. Ada beberapa argumen yang ditawarkannya.
Yang pertama adalah bahwa mukjizat tidak pernah disaksikan oleh
sekelompok orang-orang cerdas. Yang kedua Hume meyakini, bahwa
orang memang suka pada peristiwa-peristiwa yang sensasional.
Mukjizat adalah salah satunya. Namun hal itu sama sekali tidak
membuktikan, bahwa mukjizat itu ada.

Yang ketiga bagi Hume, mayoritas mukjizat terjadi, ketika ilmu


pengetahuan belum berkembang. Dari sini dapatlah disimpulkan,
bahwa mukjizat hanya menjadi obyek pikiran orang-orang yang sempit
dan picik. Yang keempat bagi Hume, mukjizat terdapat di setiap
agama, dan setiap agama mengklaim bahwa mukjizat merekalah yang
paling benar. Hal ini sulitnya menemukan titik temu yang obyektif
tentang konsep mukjizat. Dan yang kelima bagi Hume, banyak
sejarahwan yang meragukan peristiwa-peristiwa di dalam sejarah yang
dianggap mukjizat. Semakin mereka terlibat dalam penelitian yang
semakin intensif, maka keraguan itu semakin besar. Dari sini dapatlah


disimpulkan, bahwa mukjizat lebih merupakan tafsiran subyektif dari
orang-orang yang ingin memperkenalkan ajaran agama baru.66

Hume mengajak orang untuk kembali berpijak pada rasionalitas


dan cara berpikir kritis. Kedua hal itu membuat orang tidak mudah
percaya pada segala bentuk klaim-klaim kebenaran yang ada di
masyarakat, termasuk klaim yang mengatasnamakan Tuhan. Metode
skeptisisme yang ditawarkan Hume memang terdengar radikal. Namun
niat dibaliknyalah yang harus kita hayati bersama, yakni pencarian
kebenaran terus menerus, tanpa pernah terjebak pada klaim-klaim
yang seringkali tidak memiliki dasar yang kuat.***

4. Filsafat Kritis Kant67


Pada bab sebelumnya saya sudah membahas mengenai metode
skeptik yang kental di dalam filsafat modern. Filsuf yang secara khusus
menggunakan metode ini adalah Rene Descartes dan David Hume.
Inti dari skeptisisme adalah kecurigaan terhadap semua bentuk klaim
pengetahuan tertentu. Dengan metode skeptisismenya filsafat modern
mengajarkan kita untuk berani berpikir kritis untuk menantang semua
klaim kebenaran dan pengetahuan yang muncul. Tujuannya adalah
supaya kita bisa hidup dengan berpegang pada kebenaran yang otentik,
dan bukan pada keyakinan-keyakinan tanpa dasar.

Pada bagian ini saya ingin mengajak anda mencecap metode berpikir
yang digunakan oleh Immanuel Kant di dalam filsafatnya. Sebagai teks
pembantu saya menggunakan dua teks, yakni tulisan Jill Vince Buroker
yang berjudul Kant’s Critique of Pure Reason dan tulisan saya sendiri
dalam bentuk tesis S2 yang berjudul Pengandaian-pengandaian Metafisis
di dalam Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika: Mempertimbangkan
Kritik Karl Ameriks atas Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika.68

66 Lihat, Budi Hardiman, 2004, hal. 92-93.


67 Uraian lengkap dapat dilihat di Wattimena, Reza, Filsafat Kritis Immanuel Kant,
Evolitera, Jakarta, 2010.
68 Lihat Buroker, Jill Vince, Kant’s Critique of Pure Reason, Cambridge University Press,


4.1. Proyek Kritik Kant
Tujuan utama dari filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan,
bahwa manusia bisa memahami realitas alam (natural) dan moral
dengan menggunakan akal budinya. Pengetahuan tentang alam dan
moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori,
yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi.
Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori
yang digabungkan dengan hukum-hukum alam obyektif. Sementara
pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang sudah tertanam
di dalam hati nurani manusia. Kant menentang empirisme dan
rasionalisme. Empirisme adalah paham yang berpendapat, bahwa
sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi, dan
bukan akal budi semata. Sementara rasionalisme berpendapat bahwa
sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, dan
bukan pengalaman inderawi. Bagi Kant kedua pandangan tersebut
haruslah dikombinasikan dalam satu bentuk sintesis filosofis yang
sistematis.69

Kant juga berpendapat bahwa moralitas memiliki dasar


pengetahuan yang berbeda dengan ilmu pengetahuan (science). Oleh
karena itu ia kemudian menulis Groundwork of the Metaphysics of Morals
pada 1785, dan Critique of Practical Reason pada 1788. Pada 1790 Kant
menulis Critiqe of the Power of Judgment. Di dalamnya ia menyentuh
bidang estetika. Namun pada hemat saya, metode di dalam filsafat
kritis Kant lebih nyata di dalam bukunya yang pertama, yakni Critique
of Pure Reason yang saya terjemahkan menjadi Kritik atas Rasio Murni.
Buku inilah yang kemudian menjadi acuan saya dan Buroker pada
bagian ini.

Cambridge, 2006, dan Wattimena, Reza A.A, Pengandaian-pengandaian Metafisis


di dalam Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika: Mempertimbangkan Kritik Karl
Ameriks atas Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika, Jakarta, STF Driyarkara, 2009
(Tidak dipublikasikan).
69 Lihat, Buroker, 2006, hal. 6.


Di dalam bagian pengantar dari Kritik atas Rasio Murni, Kant
menyatakan bahwa “walaupun metafisika banyak dimaksudkan sebagai
ratu dari ilmu-ilmu,70 tetapi rasionalitas metafisis kini dihadapkan
pada sebuah pengadilan.”71 Sekali lagi, “kita harus menelusuri kembali
langkah-langkah yang telah kita rumuskan.”72 Perdebatan di dalam
refleksi metafisika telah membuat metafisika itu sendiri menjadi
semacam medan pertempuran, di mana setiap pihak yang berperang
tidak berhasil mendapatkan satu inci pun dari ‘teritori’ yang ada.73
Konsekuensinya metafisika kini ‘terombang ambing’ di antara
dogmatisme dan skeptisisme. Metafisika telah menjadi pemikiran
spekulatif yang meraba-raba secara acak.74

Melawan kecenderungan perdebatan metafisika pada jamannya


itu, Kant merumuskan semacam Revolusi Copernican di dalam
filsafat.

“Selama ini telah diasumsikan bahwa semua pengetahuan


kita harus menyesuaikan dirinya dengan obyek. Akan tetapi, sejak
asumsi ini telah gagal menghasilkan pengetahuan metafisis, kita
harus melakukan semacam penilaian apakah kita tidak akan lebih
berhasil di dalam metafisika, …. Jika kita mengasumsikan bahwa
obyeklah yang harus menyesuaikan diri dengan kesadaran kita….
Kita harus memulai tepat pada garis di mana hipotesis utama
Copernicus bermula, yakni hipotesis tentang heliosentrisme…”75

70 Kant, Critique of Pure Reason, 1998, Aviii, hal. xxiii. Seluruh kerangka sub bab ini
diinspirasikan dari pembacaan saya atas tulisan Sebastian Gardner, 1999, hal. 1-26.
Kutipan dari tulisan Kant juga diambil dari tulisan Gardner ini.
71 Ibid “…metaphysics is perpetually brought to a stand…”
72 Ibid, dan lihat Gardner, 1999, hal. 1. “Ever and again, we have to retrace our steps…”
73 Kant, Bxv. “The degree and quality of disagreement in metaphysics makes it a ‘battle ground,
a site of ‘mock-combats’ in which ‘no participant has ever yet succeeded in gaining even so much
as an inch of territory…”
74 Bdk, Ibid. “…The peculiar instability of metaphysics stands in stark contrast to the security of
mathematics and natural science, and leaves us with no choice but to conclude that metaphysics
‘has hitherto been a merely random grouping..”
75 Ibid, Bxvi “…Hitherto it has been assumed that all our knowledge must conform to objects’,
but since this assumption has conspicuously failed to yield any metaphysical knowledge, we
‘must therefore make trial whether we may not have more success in the tasks of metaphysics,


Untuk menjelaskan latar belakang pemikiran Kant, kerangka
tulisan di dalam bagian ini diinspirasikan dari pembacaan saya
terhadap tulisan Sebastian Gardner.76

4.2. Latar Belakang Historis


Filsafat Kant dirumuskan dalam perdebatan dua pandangan
besar pada waktu itu, yakni rasionalisme dan empirisme, khususnya
rasionalisme G.W. Leibniz (1646-1716), dan empirisme David Hume
(1711-1776). Kant dipengaruhi oleh mereka, tetapi mengkritik kedua
pemikiran filsuf ini untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan
mereka, serta kemudian merumuskan pandangannya sendiri sebagai
sintesis kritis dari keduanya, yakni filsafat transendental (transcendental
philosophy). Dalam arti yang lebih luas, ia mau ‘melampaui’ posisi
epistemologis dua paradigma yang saling beroposisi tersebut. Ini adalah
intensi utama dari filsafat Kant, yakni sebuah tanggapan terhadap
problem epistemologis yang terkait dengan proyek pencerahan yang
mendominasi panggung filsafat abad ke delapan belas.

Seperti lazimnya di dalam perumusan sejarah pemikiran, kesatuan


ide pada Abad Pencerahan, atau yang banyak dikenal sebagai abad
rasionalitas, hanya dapat dilihat tesis-tesis utamanya yang paling
mendasar saja. Tentu saja masa itu penuh dengan ide-ide yang saling
bertentangan yang tidak dapat begitu saja dirumuskan dalam satu tesis
yang mau mencakup semuanya. Atas dasar itu dapat juga dikatakan,
bahwa Pencerahan mengambil inspirasi utamanya dari kesuksesan
revolusi sains pada abad XVI-XVII, serta untuk memperjuangkan
apa yang sekarang ini telah dianggap ‘biasa’, yakni hak setiap orang
untuk berpikir sendiri tentang hal-hal praktis maupun teoretis
lepas dari tradisi atau otoritas eksternal tertentu. Rasionalitas sudah

if we suppose that objects must conform to our knowledge…we should than proceeding on the
lines Copernicus primary hypothesis’, this being the hypothesis of heliocentrism…”
76 Lihat, Gardner, 1999, hal. 2. “…this chapter traces the route which Kant arrived at his view
that metaphysics constitutes a problem, and his view of what exactly the problem of metaphysics
consist in..”


ada inheren di dalam diri manusia, dan tinggal digunakan untuk
mencerahkan kehidupan sehari-hari mereka. Para pemikir Pencerahan
hendak mempromosikan institusi sosial politik yang menghormati
otonomi setiap orang, mendorong penelitian-penelitian saintifik, dan
menunjang peningkatan pengetahuan pada umumnya. Asumsi mereka
dari emansipasi intelektual, maka emansipasi politik akan terjadi.
Pencerahan adalah seperti yang dirumuskan dalam sebuah esei untuk
mendefinisikan hal tersebut, kemunculan manusia dari ketidakdewasaan
yang dibuatnya sendiri. Semboyan utamanya adalah ‘Sapere Aude’
(Beranilah Berpikir Sendiri!). Seperti dikutip oleh Gardner, Kant
menulis,

“Masa dimana kita hidup adalah, dalam arti khusus, masa


kritisme, dan untuk mengkritik apapun yang ada. Termasuk
diantaranya adalah agama dengan kesuciannya, hukum yang
telah terberi dengan kemuliaannya… haruslah mampu bertahan
di hadapan ujian akal budi yang bebas dan terbuka.”77

Lebih jauh lagi para pemikir Pencerahan sangatlah yakin, bahwa


kemajuan sudah merupakan bagian inheren di dalam karakter manusia
itu sendiri, terutama kemajuan di dalam memahami dunianya melalui
sains dan teknologi, seperti pada pencapaian luar biasa yang dirumuskan
oleh Isaac Newton (1642-1727). Lambang kemajuan lainnya adalah
semakin berkembangnya toleransi di dalam maupun maupun di antara
agama-agama, semakin lenyapnya otoritas mutlak Gereja, perubahan
tatanan sosial-politik yang berjalan paralel dengan perkembangan
kaum borjuis, dan semakin runtuhnya tirani cara berpikir metafisis-
religius yang banyak dikembangkan pada Abad Pertengahan. Semua

77 Kant, Axi[n], dalam Gardner, ibid, “our age is, en special degree, the age of criticism, and
to criticism everything must submit. Religion through its sanctity, and law-giving through
its majesty, may seek to exempt themselves from it. But they then awaken just suspicion, and
cannot claim the sincere respect which reason accords only to that which has been able to sustain
the test of free and open examination.”


hal ini menunjukkan bahwa sejarah telah bergerak ke arah kemajuan
total yang tidak bisa lagi dihentikan oleh apapun atau siapapun.

Secara umum Jerman tempat Kant lahir dan tinggal seumur


hidupnya tidak berpartisipasi secara aktif di dalam proses Pencerahan.
Proses pencerahan itu sendiri lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran
John Locke (1632-1704) dan Newton. Para pemikir yang juga cukup
berpengaruh pada masa itu adalah David Hume dan Adam Smith
(1723-1790). Pada pertengahan abad ke-18, pusat gerakan pencerahan
ini adalah Perancis, terutama di kalangan para pemikir Encyclopedie,
di mana Denis Diderot dan Jean d’Alembert menjadi tokohnya.
Banyak pemikir lain juga yang memberikan sumbangan besar bagi
perkembangan mazhab tersebut. Mereka disebut The Philosophes. Di
antaranya adalah Montesquieu(1689-1755), Voltaire (1694-1778), E.
de Condillac (1715-1780), P. d’ Holbach (1723-1789), Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778), dan Condorcet (1743-1794).

Di Jerman Pencerahan berjalan lambat. Hal ini terjadi karena


kondisi masyarakat dan politiknya yang masih feodal pada masa itu,
serta pemikiran rasionalisme yang sangat kuat pengaruhnya pada
dunia akademik. Aliran yang dominan di Jerman pada waktu itu
adalah rasionalisme Leibniz yang disebarluaskan oleh Christian Wolff
(1679-1750) serta para pengikutnya. Wolff menafsirkan pemikiran
Leibniz dengan cara yang sangat sistematis. Pada abad ke 18, filsafat
Leibniz-Wolffian menjadi kurikulum standar di seluruh universitas
Jerman. Tentu saja kritik dari berbagai pemikiran lainnya terhadap
sistem pemikiran tersebut juga ada. Salah satunya adalah C. A Crussius
(1715-1775). Ia menulis buku yang berjudul Popularphilosophie, yang
merupakan kritik tajam terhadap rasionalitas Leibniz-Wolffian.

Buku Popularphilosphie, tulis Kant dalam Kritik Atas Rasio Murni,


secara megah menggambarkan bagaimana orang bisa berpikir secara
bebas.78 Akan tetapi kritik tersebut masih tidak mampu membendung

78 Ibid, Bxiii, hal. xxxi., “…C.A Crucius… submitted the wolffian school to sharp criticism, and


dominasi rasionalisme di Jerman pada waktu itu. Dengan kata lain
rasionalisme Leibniz sama sekali tidak menemukan lawan tanding
pemikiran yang seimbang sampai Kant menuliskan Kritik Atas
Rasio Murni pada akhir abad ke 18. Pada waktu Kant menulis buku
tersebut, semangat Pencerahan mulai menurun. Setelah abad ke 18,
para filsuf mulai berpikir bahwa humanisme universal, yang menjadi
tesis dasar para pemikir Pencerahan, juga mempunyai sisi negatif, dan
sisi negatifnya itu ternyata sangat besar. Humanisme universal di sini
adalah paham yang menekankan, bahwa semua manusia itu memiliki
harkat dan martabat yang setara, serta mampu untuk menentukan
sikap dan pendapat mereka secara otonom dengan mengacu pada
kapasitas rasio manusia yang bersifat universal.79

Di dalam kerangka pemikiran skolastisisme, pengetahuan tentang


Tuhan dan pengetahuan tentang Kosmos saling melengkapi satu sama
lain, dan tidak bisa dipisahkan. Thomisme menggabungkan teologi
Kristen dengan filsafat alam Aristoteles dalam satu kesatuan wacana.
Pada sains hal ini tidak lagi berlaku. Para saintis memandang alam
secara mekanis, matematis, dan sama sekali bertolak belakang dari
filsafat alam Aristoteles yang melihat alam secara metafisis sebagai
kesatuan antara forma dan materi. Sains modern pada waktu itu mulai
memberi peran yang berbeda pada Tuhan di dalam analisis mereka atas
alam. Tuhan tidak lagi dipahami sebagai Tuhan yang berpartisipasi
membentuk kehidupan dan sejarah manusia, tetapi Tuhan yang
menciptakan dunia berdasarkan hukum-hukumnya, dan kemudian
tidak lagi berpartisipasi di dalam dunia. Inilah yang disebut sebagai
Deisme. Konsekuensinya agama pun mulai kehilangan legitimasinya,
dan ditinggalkan.

Akan tetapi beberapa pemikir Pencerahan tidak siap untuk


menganut ateisme, dan lebih memilih untuk bersikap kritis terhadap

it later lost ground to popularphilosophie, an eclectic, intellectually flaccid movement hostile to


its esotericism (dismissed…as a pretentiously free manner of thinking…)”
79 Lihat, http://en.wikipedia.org/wiki/Humanism


Gereja Katolik dan Protestan pada waktu itu. Jadi para pemikir
Pencerahan juga memiliki kecenderungan untuk memberikan landasan
rasional terhadap agama. Hal inilah yang terjadi di Jerman, di mana
tanda-tanda penolakan terhadap agama hampir tidak terlihat. Di
Perancis para philosophes melakukan kritik tajam terhadap agama, dan
kemudian menganut ateisme. Lepas dari perbedaan di antara mereka,
para pemikir Pencerahan mengajukan satu pertanyaan yang sama,
bagaimana pengetahuan akan alam dan pengetahuan akan Tuhan
dapat disintesiskan?

Salah satu jawaban yang dirumuskan adalah tanda bahwa alam


ini memiliki keteraturan sudah merupakan bukti bagi eksistensi
Tuhan. Tatanan alam yang sudah begitu teratur ini merupakan bukti
nyata bagi eksistensi Tuhan. Akan tetapi penjelasan ini sama sekali
tidak memuaskan, terutama bagi kalangan teolog, karena tidak sesuai
dengan ajaran Kitab Suci. Sementara itu Deisme yang berpendapat,
bahwa Tuhan telah menciptakan alam dengan hukum-hukumnya, dan
kemudian Ia tidak berperan serta lagi, terlalu kering bagi iman Kristiani
yang meyakini Tuhan berperan langsung di dalam sejarah manusia.
Di samping itu deisme juga menolak wahyu yang justru menjadi
sentral di dalam teologi Kristiani. Konflik antara sains dan agama
pun tidak terelakkan lagi. Metafisika yang tadinya dianggap sebagai
penjaga rasionalitas dan pengetahuan manusia secara keseluruhan kini
mengalami keterpecahan dan kritik tajam dari berbagai penjuru.

Tegangan antara para pemikir yang masih mempertahankan


agama di satu sisi dan para ilmuwan sains di sisi lain mengkristal
di dalam salah satu korespondensi yang ditulis oleh Leibniz pada
1717. Memang Leibniz dan Newton sama-sama mewakili kedua
belah pihak yang saling berdebat. Mereka banyak berdebat di sekitar
problematika bagaimana tepatnya manusia bisa mengetahui dunianya.
Leibniz lebih memilih menggunakan metode deduktif. Metode ini
terinspirasi dari Rene Descartes (1596-1650) yang menggunakan
model matematika. Model ini dimulai dengan prinsip-prinsip abstrak


dan kemudian bergerak ke perumusan konkret. Kontras dengan itu
Newton menggunakan metode induktif yang dimulai dari pengukuran
kuantitatif dari fenomena yang ingin diselidiki, dan kemudian sampai
pada prinsip-prinsip umum.80

Di dalam korespondensinya Leibniz berpendapat, bahwa


model yang dikembangkan Newton tidaklah sesuai dengan prinsip
rasionalitas yang mampu mengabstraksikan alam ke dalam prinsip-
prinsip utama. Sementara Newton sendiri berpendapat, bahwa model
yang digunakannya adalah model saintifik yang sah secara ilmiah dan
bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian kedua pendekatan
ini sangatlah berbeda, dan bahkan bertentangan. Metafisika, yang
dirumuskan oleh Leibniz, dan sains, yang dirumuskan oleh Newton,
tampak saling berkontradiksi satu sama lain. Sekali lagi metafisika
tampak kembali dipertanyakan kredibilitasnya.

Di sisi lain tesis yang paling ‘mengguncang’ filsafat, terutama


epistemologi dan metafisika, pada waktu itu adalah skeptisisme empiris
yang dirumuskan oleh David Hume. Keyakinan bahwa rasio manusia
telah secara langsung memiliki kesesuaian dengan alam telah menjadi
suatu anggapan banyak diterima oleh para pemikir Pencerahan.
Humelah yang menolak tesis tersebut. Menurutnya ‘kepercayaan’ kita
tentang adanya hukum-hukum di dalam alam tidak memiliki landasan
rasional yang cukup memadai, sehingga pemahaman kita selama ini
didasarkan tidak lebih hanya kepada ‘kebiasaan-kebiasaan’ semata.
Hukum alam dengan demikian tidak lebih dari sekedar ‘kebiasaan’
yang telah sering kita lihat sebelumnya.

Lebih dari itu Hume berpendapat, bahwa apa yang disediakan


alam dan kemudian kita percayai sebagai suatu ‘kebiasaan’ hanya dapat
diketahui melalui pengalaman. Dengan demikian kepercayaan religius

80 Lihat, Gardner, 1999, hal. 5. “Leibniz employed a deductive method, derived from Rene
Descartes... and modeled on mathematics, which began with abstract general notions and
worked down to concrete nature; Newton by contrast ascended from quantitative measurement
of the phenomena of the first principles.”


sama sekali tidak mempunyai tempat. Metafisika spekulatif pun juga
tidak mendapatkan tempat. “Setiap bentuk refleksi filsafat metafisis”,
demikian tulis Hume, “haruslah kita buang ke dalam api! Karena
itu mengandung tidak lebih dari sekedar ilusi.”81 Kesimpulan yang
dirumuskan oleh Hume tersebut bisa kita cap sebagai paradoks, karena
ia mengkritik metafisika dengan merumuskan metafisika baru, yakni
metafisika yang didasarkan pada pengalaman. Yang jelas pada saat itu,
Hume segera membutuhkan sebuah tanggapan dari para pemikir di
jamannya.

Secara khusus dalam bidang refleksi epistemologi, Kant hendak


merumuskan sebuah jembatan raksasa untuk membuat sintesis
antara rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme menyatakan bahwa
sumber pengetahuan adalah rasio saja. Pengalaman empiris hanya
menegaskan apa yang telah sebelumnya telah diketahui oleh rasio.
Empirisme persis berpendapat sebaliknya: hanya segala sesuatu yang
merupakan pengalaman inderawi sajalah yang bisa dijadikan sebagai
dasar pengetahuan manusia. David Hume berdasarkan pandangan
ini berpendapat, bahwa semua hal yang tidak dapat diketahui secara
inderawi manusia adalah suatu bentuk kepercayaan saja, dan tidak
bisa dijadikan pengetahuan yang sahih. Prinsip kausalitas misalnya
bukanlah merupakan suatu kepastian, tetapi kemungkinan, yang
didapatkan dari kebiasaan manusia saja.82

Di samping Hume para pemikir empirisme lainnya adalah


Locke dan Berkeley. Mereka berargumentasi bahwa pengetahuan
manusia berasal sepenuhnya dari pengalaman inderawi. Locke
misalnya sangat menekankan pentingnya pengalaman inderawi untuk
menginformasikan kepada apa yang sesungguhnya menjadi obyek

81 Lihat, Gardner, 1999, hal. 6. “…Every… school of metaphysics…should commit to the


flames...”
82 Bdk, Tjahjadi, 2004, hal. 281. “Adanya sebuah prinsip kausalitas, misalnya, tidak bisa
diterima sebagai sebuah prinsip karena tidak bisa diindra. Dengan demikian, filsafat dan
ilmu pengetahuan alam yang cara kerjanya mengandalkan prinsi-prinsip yang tidak bisa
mencapai kepastian, namun hanya kemungkinan.”


pada dirinya sendiri. Ia juga berpendapat bahwa pikiran manusia
adalah suatu kertas kosong, sebuah tabula rasa, yang diisi oleh ide
melalui interaksinya dengan dunia. Pengalaman inderawi akan dunia
mengajarkan semuanya, termasuk konsep identitas, sebab akibat, dan
sebagainya. Kant sendiri nantinya berpendapat, bahwa tesis tentang
pikiran sebagai tabula rasa ini tidaklah cukup untuk menjelaskan
tentang kemampuan kita mengetahui obyek pengetahuan. Artinya
ada suatu komponen di dalam pikiran kita yang memungkinkan kita
mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman inderawi.

Di sisi lain Berkeley merumuskan fenomenalisme (phenomenalism).


Berlawanan dari pemikiran Locke, ia mengajukan semacam tanggapan
kritis terhadap paham yang berpendapat, bahwa indera kita mampu
mengetahui obyek yang berada independen dari pikiran kita. Karena
pikiran manusia hanya dapat mengetahui obyek yang dapat ditangkap
oleh inderanya, demikian argumentasi Berkeley, maka manusia tidak
dapat mengetahui obyek yang berada independen dari pikiran mereka.

Lebih dari itu ia bahkan berpendapat bahwa obyek yang bersifat


independen dari pikiran manusia sama sekali tidak dapat diketahui.
Dari perspektif filsafat Kant, pemikiran Berkeley disebut juga
sebagai idealisme material, yakni pandangan bahwa kita tidak dapat
mengetahui obyek material yang ada di luar diri kita. Bagi Berkeley
obyek material yang bersifat independen terhadap pikiran tidaklah
dapat diketahui. Pengalaman inderawi hanya mampu menangkap
gambaran-gambaran mental, dan bukan benda pada dirinya sendiri. Ia
berpendapat bahwa penilaian kita akan suatu obyek adalah sungguh-
sungguh hanya merupakan penilaian terhadap gambaran-gambaran
mental (mental images) ini, dan bukan subtansi yang memungkinkan
gambaran-gambaran mental itu untuk ada.

David Hume menegaskan apa yang sebelumnya telah dirumuskan


oleh Berkeley dengan mempertanyakan seluruh kepercayaan-
kepercayaan akal sehat kita tentang sumber pengetahuan manusia. Ia


berpendapat bahwa kita tidak dapat mengandaikan adanya justifikasi
apriori ataupun aposteriori tentang beberapa kepercayaan fundamental
akal sehat kita, seperti prinsip kausalitas yang menyatakan bahwa
semua kejadian pasti memiliki sebab. Dengan tesis Hume tersebut,
maka semakin jelaslah bahwa empirisme tidak dapat memberikan
kita justifikasi epistemologis (epistemological justification) untuk semua
klaim kausalitas yang selama ini dianggap tepat dan andaikan begitu
saja.83

Kant sangat tidak setuju dengan semua pemikiran yang bersifat


skeptis di atas. Di dalam bukunya yang berjudul Kritik atas Rasio
Murni, ia mengajukan argumentasi-argumentasi untuk menunjukkan
ketidaktepatan argumentasi para pemikir empiris, seperti Locke,
Berkeley, dan Hume, karena semua refleksi dan analisis mereka
mengandaikan hal-hal yang dalam pemikiran mereka justru ditolak.
Bahkan setiap bentuk pengetahuan yang dapat kita ketahui haruslah
mengandaikan klaim-klaim tersebut, dan tidak bisa tidak. Meskipun
menaruh simpati besar terhadap refleksi para pemikir empirisme, ia
tetap tidak puas dengan argumentasi mereka yang menyatakan, bahwa
satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman inderawi.

Para pemikir rasionalis seperti Descartes, Spinoza, dan Leibniz,


mendekati problematika yang sama dengan sudut pandang yang
berbeda. Bagi mereka pengetahuan tentang dunia luar, tentang jiwa,
tentang diri, tentang Tuhan, etika, serta sains adalah ide yang sudah
pasti berada inheren di dalam pikiran. Leibniz berpendapat bahwa
dunia sudah dapat diketahui secara apriori melalui analisis ide-ide
dan turunan atasnya secara logis. Pengetahuan dapat diperoleh cukup
dengan menggunakan rasio saja. Pernyataan Descartes “aku berpikir

83 Lihat, Tjahjadi, hal. 281. “Adapun empirisme berpendapat sebaliknya. Sumber


pengalaman hanyalah pengalaman inderawi sehingga hanya yang bisa diindra saja
yang bisa dijadikan dasar pengetahuan. Berdasarkan pandangan ini, Hume, misalnya,
mengatakan bahwa semua hal yang tidak bersifat inderawi hanya bisa diperkirakan atau
diterima sebagai kepercayaan saja, tetapi tidak bisa dipastikan.”


maka aku ada” jelas menggambarkan kebenaran yang sangat diyakini
oleh para pemikir rasionalis ini. Dengan berbekal pengetahuan yang
pasti tentang keberadaan dirinya sendiri, Descartes berharap mampu
membangun sebuah dasar yang kokoh bagi semua bentuk pengetahuan
manusia. Baginya pengetahuan tentang obyek yang berada di luar
dirinya adalah kombinasi antara kesadaran akan keberadaan dirinya
sendiri (res cogitans dan res extensa) dan argumen bahwa Tuhan itu ada,
serta tidak menipunya dengan semua bentuk pengetahuan yang masuk
melalui indera.

Kant juga banyak menyanggah argumentasi para pemikir


rasionalis di dalam salah satu bagian Kritik atas Rasio Murni, yakni
bagian antinomi-antinomi. Salah satu antinomi adalah tentang
dunia. “Dunia memiliki awal di dalam waktu dan terbatas di dalam
ruang” yang dihadapkan dengan argumen “Dunia tidak memiliki awal
dan tidak terbatas di dalam ruang.”84 Ia berpendapat bahwa kedua
argumen ini melambangkan kesalahpahaman metafisis di dalam
seluruh pemikiran rasionalisme. Kedua argumen di atas tidak dapat
dipertanggungjawabkan, karena keduanya beranggapan, bahwa benda-
pada-dirinya-sendiri dapat diketahui, yakni dunia sebagai benda-pada-
dirinya-sendiri. Menurut Kant antinomi dapat dihilangkan, jika kita
sungguh mengerti fungsi dan kapasitas sesungguhnya dari fakultas
rasio kita yang berperan dalam menciptakan pengetahuan. Kita harus
menyadari bahwa kita tidak dapat mengetahui benda-pada-dirinya-

84 Kant, 1998, A426/B 454 dalam http://www.iep.utm.edu/k/kantmeta.htm, “The


First Antinomy argues both that the world has a beginning in time and space, and no
beginning in time and space. The Second Antinomy’s arguments are that every composite
substance is made of simple parts and that nothing is composed of simple parts. The Third
Antinomy’s thesis is that agents like ourselves have freedom and its antithesis is that they do
not. The Fourth Antinomy contains arguments both for and against the existence of a necessary
being in the world. The seemingly irreconcilable claims of the Antinomies can only be resolved
by seeing them as the product of the conflict of the faculties and by recognizing the proper sphere
of our knowledge in each case. In each of them, the idea of “absolute totality, which holds only as
a condition of things in themselves, has been applied to appearances”


sendiri, dan bahwa pengetahuan kita terbatas pada obyek yang dapat
dialami secara inderawi.

Proyek filsafat rasionalisme gagal, karena para pemikirnya


tidak mempertimbangkan peran pengalaman empiris di dalam
mengkonstruksi pengetahuan. Memang refleksi filosofis mereka
tentang pengetahuan dapat menjelaskan beberapa aspek tentang isi dari
pengetahuan kita. Akan tetapi mereka tidak akan mampu memberikan
argumentasi yang koheren tentang klaim-klaim metafisis yang mereka
rumuskan, baik itu tentang Tuhan, tentang Dunia, ataupun tentang
Jiwa. Metafisika yang dibangun mereka inilah yang menjadi obyek
kritik Kant nantinya. Walaupun ia sendiri nantinya akan terjebak pada
pemikiran yang bersifat metafisis juga.85

Kant memilih menggunakan kata Kritik (critique) untuk buku-


buku yang ditulisnya. ‘Kritik’ disini tidak melulu dimaksudkan sebagai
evaluasi negatif akan suatu obyek tertentu, tetapi sebagai suatu refleksi
kritis, dan hasilnya bisa saja positif, tetapi juga bisa negatif.86 Kata
‘murni’ (pure) adalah term teknis yang digunakan oleh Kant, dan
berarti bahwa sesuatu itu tidak mengandung apapun yang berasal dari
pengalaman inderawi. ‘Rasio’ disini juga dikatakan dalam arti teknis,
yakni sebagai fakultas konseptual di dalam dimensi kognitif kita yang
membantu kita memaknai pengalaman, namun tidak didapatkan dari
pengalaman inderawi.

Dalam bahasa Kant elemen konseptual tersebut bersifat apriori.


Dengan demikian Kritik atas Rasio Murni adalah suatu penyelidikan
filosofis (philosophical enquiry) terhadap fakultas kognitif kita untuk
mengetahui realitas. Cara yang ditempuh yakni dengan pertama-tama
membedakan antara rasio murni (pure reason) dengan pengalaman

85 Uraian ini didasarkan pada pembacaan saya atas http://www.iep.utm.edu/k/


kantmeta.htm
86 Lihat, Ibid, Bxxv-xxvi, dalam Gardner, 1999, hal. 23. “Critique does not for Kant imply a
negative evaluation of its object: it means simply a critical enquiry, the results of which may
equally be positive.”


inderawi (sense experience), dan kemudian melihat sejauh mana rasio kita
mampu mengetahui hal-hal yang berada di luar pengalaman inderawi,
seperti Tuhan dan Jiwa.87 Penilaian apakah kita dapat mengetahui
obyek-obyek yang berada di luar pengalaman inderawi dilakukan oleh
Kant pada setengah bagian kedua buku Kritik atas Rasio Murni, yakni
setelah ia memberikan argumentasi yang mendetil tentang kondisi-
kondisi apriori yang memungkinkan terjadinya pengetahuan.

Argumentasi Kant memang tampak membingungkan, karena


ia seolah menggunakan argumentasi yang lebih mengutamakan
peran unsur apriori daripada kapasitas kognitif manusia. Memang
klaim semacam itu tidak dapat dari ruang hampa, tetapi sudah
selalu didukung oleh beberapa argumentasi yang cukup memadai. Ia
menghabiskan banyak halaman di dalam buku Kritik atas Rasio Murni
untuk membuktikan bahwa aspek kognitif manusia hanya mampu
memproduki pengetahuan, jika ada pengandaian-pengandaian apriori
yang sudah dipegang terlebih dahulu. Jika pengandaian apriori itu
tidak ada, maka pengetahuan menjadi tidak mungkin.

Di dalam bagian preface buku itu, Kant sangat yakin bahwa


proses ‘pengadilan’ terhadap rasio itu akan mampu menyelesaikan
berbagai problem metafisika yang ada sebelumnya.88 Hasil dari proses
itu akan membuktikan, bahwa rasio manusia mampu mengetahui
obyek yang berasal dari pengalaman inderawi, tetapi bukan obyek
yang di luar pengalaman inderawi. Inilah inti kritik atas metafisika
yang dirumuskannya. Salah satu cara yang ditempuhnya untuk
menyelesaikan problem metafisis adalah dengan merumuskan
semacam dasar guna membedakan antara penggunaan kapasitas rasio
manusia yang legitim, dan penggunaannya yang tidak legitim. Dasar

87 Lihat, Ibid, Axii. Dalam Gardner, ibid, “So a critique of pure reason is a critical enquiry into
our capacity to know anything by emplying our reason in isolation, i.e, without conjoining
reason with sense experience; more specifically, it enquires into our capacity to know things
lying beyond the bounds of sense experience, such as God and the Soul…”
88 Lihat, Ibid, “…Kant gives firm indications in the Preface of the results that the tribunal will
reach, and of the means by which the problem of metaphysics will be solved…”


ini adalah pengalaman inderawi. Artinya penggunaan rasio manusia
menjadi sah, ketika diterapkan pada obyek yang dapat diketahui
melalui pengalaman inderawi. Sebaliknya penggunaan rasio manusia
menjadi tidak sah, ketika diterapkan untuk mengetahui obyek yang
tidak dapat dialami secara inderawi.

Batas-batas pengetahuan manusia, dengan demikian, adalah


batas-batas pengalamannya. Apa yang dapat diketahui adalah apa
yang dapat dialami secara inderawi, dan apa yang tidak dapat dialami
secara inderawi tidaklah dapat diketahui. Akan tetapi disinilah letak
ambiguitas argumentasi Kant, ia ingin membela metafisika dengan
berpendapat, bahwa metafisika diperlukan untuk memberikan
kerangka pada pengetahuan. Dengan kata lain pengalaman inderawi
dapat menjadi pengetahuan, karena adanya prinsip-prinsip apriori
yang bersifat metafisis, yakni yang tidak dapat dialami. Bahkan rasio
manusia selalu memiliki kecenderungan untuk bertanya tentang hal-
hal yang tak terkondisikan, yakni kecenderungan untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan metafisis.

Akan tetapi ia kemudian menolak penggunaan rasio manusia


untuk merefleksikan entitas-entitas yang berada di luar pengalaman
inderawi, seperti refleksi tentang Tuhan, atau tentang Jiwa. Metafisika
yang menjadi sasaran kritik Kant adalah metafisika tradisional, yakni
pemikiran spekulatif yang bersifat transenden (trancendent experience
metaphysics).89 Ia justru membela metafisika yang bersifat imanen
yang memungkinkan pengalaman diolah menjadi pengetahuan, yakni
metafisika pengalaman (metaphysics of experience).90 Dengan demikian

89 Lihat, Gardner, 1999, hal. 24. “The metaphysics that Kant attacks, charateristic of
rationalism, is speculative or transcendent…, and that which he defends is immanent…., or
the metaphysics of experience….”
90 Lihat pemaparan menarik tentang proyek kritik Kant terhadap metafisika tradisional
di dalam http://plato.stanford.edu/entries/kant-metaphysics/, “How are synthetic
a priori propositions possible? This question is often times understood to frame the
investigations at issue in Kant’s Critique of Pure Reason. In answer to it, Kant saw fit to
divide the question into three: 1) How are the synthetic a priori propositions of mathematics
possible? 2) How are the synthetic a priori propositions of natural science possible?


metafisika pengalaman mungkin, tetapi metafisika transenden tidaklah
mungkin.

4.3. Struktur dari Kritik atas Rasio Murni


Jika kita sekilas melihat susunan buku Kritik atas Rasio Murni,
kita akan mendapat kesan bahwa buku itu adalah buku yang sangat
kompleks, pengaturannya tidak transparan, dan setiap judul dari bab-
bab yang ada di dalamnya tidak banyak menggambarkan isi dari bab.
Memang arsitektur buku tersebut sungguh menggambarkan kerumitan
pemikiran filsafatnya.

Tiga ‘pilar’ utama dari buku itu adalah Transcendental Aesthetic,


Transcendental Analytic, dan Transcendental Dialectic. Setiap bagian
mengacu pada kapasitas rasio manusia yang berbeda dimensi dengan
tingkat pengetahuan yang berbeda-beda pula. Bagian Aesthetic
berkaitan dengan sensibilitas (kemampuan memperoleh pengalaman
inderawi melalui intuisi, atau pengetahuan langsung), matematika,
dan dengan geometri. Bagian ini mencakup pula analisis Kant
tentang ruang dan waktu. Sementara itu bagian Analytic lebih banyak
menganalisis tentang problem pemahaman (understanding), metafisika
pengalaman (metaphysics of experience), dan ilmu-ilmu alam (natural
science). Bagian Dialectic menganalisis kapasitas maksimal dari rasio
manusia dan metafisika transenden (trancendent metaphysics). Bab ini
terdiri dari tiga bagian, yakni metafisika tentang jiwa yang disebut

Finally, 3) how are the synthetic a priori propositions of metaphysics possible? In systematic
fashion, Kant responds to each of these questions. The answer to question one is broadly found
in the Transcendental Aesthetic, and the doctrine of the transcendental ideality of space and
time. The answer to question two is found in the Transcendental Analytic, where Kant seeks to
demonstrate the essential role played by the categories in grounding the possibility of knowledge
and experience. The answer to question three is found in the Transcendental Dialectic, and
it is a resoundingly blunt conclusion: The synthetic a priori propositions that characterize
metaphysics are not “really” possible at all. Metaphysics, that is, is inherently dialectical. Kant’s
Critique of Pure Reason is thus as well known for what it rejects as for what it defends.
Thus, in the Dialectic, Kant turns his attention to the central disciplines of traditional,
rationalist, metaphysics — rational psychology, rational cosmology, and rational theology.
Kant aims to reveal the errors that plague each of these fields.”


Kant sebagai psikologi rasional (rational psychology), metafisika tentang
dunia sebagai keseluruhan yang disebutnya sebagai kosmologi rasional
(rational cosmology), dan tentang Tuhan yang disebutnya sebagai teologi
rasional (rational theology).

Baik Analytic, Aesthetic, dan Dialectic berada pada bagian besar


Trancendental Doctrine of Elements, karena masing-masing mengacu
pada ‘elemen’ rasio yang berbeda. Aesthetic pada apa yang disebut Kant
sebagai intuisi, Analytic pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang
mendasarinya, dan Dialectic dengan apa yang disebutnya sebagai ide-
ide regulatif (regulative ideas). Apa yang biasa dimengerti sebagai
intelek kini dipisahkan olehnya menjadi pemahaman (understanding)
dan rasio (reason). Bagian yang lebih pendek, yakni Trancendental
Doctrine of Method, menyediakan pendasaran epistemologi dan
metafisis bagi Kritik atas Rasio Murni dengan refleksi atas metode
pendekatannya. Di dalamnya ada bagian The Canon of Pure Reason
yang memberikan penegasan terhadap seluruh sistem filsafat kritis di
dalam buku tersebut.

Pengaturan bab-bab di dalam buku Kritik atas Rasio Murni dapat


dimengerti lebih jelas, jika kita mengerti kesimpulan yang ditarik
Kant tentang seluruh buku tersebut. Ada dua kesimpulan besar. Di
satu sisi Aesthetic dan Analytic selalu berkaitan dengan obyek yang
dapat diketahui. Dan di sisi lain, Dialectic berkaitan dengan obyek
yang tidak dapat diketahui. Aesthetic dan Analytic lebih bersifat
positif, karena lebih bertujuan untuk membuktikan bahwa kita dapat
mengetahui obyek yang dapat dialami secara inderawi. Aesthetic banyak
menganalisis pengalaman inderawi, terutama tentang kemungkinan
pengetahuan akan obyek-obyek yang berada di dalam ruang dan
waktu. Analytic lebih berada di level konseptual, termasuk tentang
kategori subtansi dan kausalitas yang memungkinkan pengalaman
diolah menjadi pengetahuan konseptual. Kedua bagian ini disebut juga
sebagai metafisika pengalaman (metaphysics of experience). Sementara
itu bagian Dialectic lebih bersifat negatif, karena lebih bertujuan untuk


membuktikan bahwa kita tidak dapat mengetahui obyek-obyek yang
berada di luar pengalaman inderawi kita. Bagian ini mau menolak
legitimasi metafisika, terutama metafisika transenden (trancendent
metaphysics). Dari dua tipe metafisika ini, kita dapat mengenali
ambiguitas kritik atas metafisika yang dirumuskan Kant. Ia menolak
metafisika transenden, tetapi mengafirmasi metafisika pengalaman.
Metafisika pengalaman ini paling jelas terdapat pada bagian Analytic.

Dari pemaparan pada bab ini, kita dapat menarik setidaknya dua
kesimpulan terkait dengan metode yang digunakan oleh Kant di dalam
berfilsafat. Yang pertama adalah metode kritis untuk mencari kondisi-
kondisi kemungkinan dari pengetahuan manusia. Kant tidak percaya
begitu saja, bahwa manusia bisa mengetahui dunia luar. Maka itu ia
menyelidiki terlebih dahulu, kondisi-kondisi macam apakah yang
diperlukan, supaya manusia bisa sampai pada pengetahuan konseptual.
Di dalam proses pencarian, ia menemukan setidaknya dua faktor, yakni
kondisi-kondisi a priori di dalam pikiran manusia, dan benda-benda
obyektif. Yang penting bagi kita adalah cara berpikir untuk mencari
kondisi-kondisi kemungkinan dari keberadaan obyek yang kita pikirkan.

Yang kedua adalah upaya Kant untuk menempatkan persoalan


moralitas pada akal budi. Kant tidak melulu melompat ke dalam
penjelasan-penjelasan teologis-agamis untuk menjelaskan fenomena
moral manusia, melainkan berusaha menemukan pendasaran rasional
atasnya. Metode pencarian dasar rasional itulah yang bisa dijadikan
contoh untuk penyelidikan obyek-obyek lainnya, terutama yang terkait
langsung dengan dimensi hakiki manusia. Dua metode yang diajarkan
Kant, yakni metode pencarian kondisi-kondisi kemungkinan dan metode
pencarian dasar rasional atas fenomena yang ingin diteliti, akan menjadi
dasar bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan selanjutnya.

5. Metode Dialektika
Pada bagian sebelumnya saya sudah menjabarkan garis besar proyek
filsafat kritis Immanuel Kant. Inti dari metode berpikir yang diajarkan


Kant adalah pencarian kondisi-kondisi kemungkinan (conditions of
possibility) dari pengetahuan manusia, dan pencarian dasar rasional dari
fenomena yang hendak diteliti. Filsafat Kant sangat mempengaruhi para
filsuf setelahnya. Salah satu filsuf yang sangat dipengaruhi oleh Kant,
namun juga melakukan kritik tajam terhadap Kant, adalah Hegel. Pada
bagian ini saya ingin mengajak anda mencecap sedikit gaya berpikir
Hegel, terutama yang terkait dengan metodenya untuk memahami
realitas. Sebagai pendasaran saya menggunakan teks tulisan Larry
Krasnoff yang berjudul Hegel’s Phenomenology of Spirit.91

5.1. Latar Belakang


Dunia kita sekarang ini sangat dipengaruhi oleh peradaban Eropa
utara yang berkembang sejak 4 abad yang lalu. Pada tahun-tahun itu,
Eropa telah berubah dari sebuah peradaban yang sangat bernuansa
religius menjadi peradaban yang mengedepankan ilmu pengetahuan,
militer, dan filsafat. Tiga hal itu mendorong terciptanya sebuah
peradaban terbesar sepanjang sejarah manusia, yang kini pengaruhnya
bisa dirasakan di seluruh dunia. Para filsuf menamakan gejala
perkembangan pesat itu sebagai modernitas (modernity). Mengapa
modernitas bisa terjadi, dan bagaimana prosesnya?

Sampai sekarang para filsuf dan sejarahwan masih mencari jawaban


yang paling tepat atas pertanyaan itu. Namun menurut penelitian
Krasnoff, penelitian para ahli biasanya terpusat pada peristiwa-
peristiwa khusus tertentu, seperti Reformasi Protestan, perkembangan
fisika modern melalui penemuan Galileo dan Newton, penemuan dan
penaklukan benua Amerika, perdagangan bebas, kapitalisme, serta
Revolusi Amerika dan Perancis. Apa sebenarnya dampak langsung
dari peristiwa-peristiwa itu, sehingga pada akhirnya bisa mendorong
terjadinya proses modernisasi?

91 Pada bab ini saya mengacu pada Krasnoff, Larry, Hegel’s Phenomenology of Spirit,
Cambridge University Press, Cambridge, 2008.


Menurut Krasnoff jawaban atas pertanyaan itu terletak pada
perubahan paradigma (paradigm change) di dalam memandang
realitas. Alam dipandang sebagai alam obyektif yang bisa dipelajari
dan digunakan untuk sepenuhnya kepentingan manusia. Agama
dipandang bukan lagi sebagai urusan bersama, tetapi sebagai urusan
privat. Agama dipisahkan dari urusan negara, dan didorong ke pinggir
kehidupan politik.

Politik pun tidak lagi didefinisikan sebagai upaya meraih kekuasaan


sebesar mungkin untuk memperkaya diri, melainkan sebagai alat
untuk menjaga dan mengembangkan hak-hak asasi manusia serta hak
politik untuk memilih siapa yang berkuasa secara demokratis. Tiga
pandangan itu kini sudah menyebar ke seluruh dunia, dan menjadi
paradigma yang dominan. Namun sekarang ini banyak pemikir yang
mempertanyakan, apakah modernitas adalah satu-satunya paradigma
kehidupan yang bisa digunakan? Apakah tidak ada alternatif?92

Ada beberapa alternatif yang kiranya mungkin terjadi, se-


perti pemerintahan totaliter, baik atas nama agama ataupun ras
dominan, masyarakat mistik yang menghormati alam namun lupa
memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, serta masyarakat
tertutup yang menuntut kesamaan mutlak, tanpa menghormati
perbedaan maupun hak-hak asasi manusia sedikitpun. Dalam arti
ini seperti yang pernah ditulis Magnis-Suseno, demokrasi, yang
merupakan esensi politik modernitas, adalah pilihan terbaik di
antara semua alternatif yang ada. Tidak hanya itu menurut Winston
Churchill, perdana menteri Inggris pada saat perang dunia kedua,
demokrasi adalah bentuk politik terbaik dibanding bentuk-bentuk
politik lainnya yang pernah dicoba di dalam sejarah manusia.

Apakah modernitas adalah sesuatu yang baik secara moral? Bagi


Krasnoff pertanyaan itu tidaklah relevan. Itu seperti bertanya apakah
oksigen itu baik untuk manusia atau tidak? Tentu saja setiap orang

92 Bdk, ibid, hal. 1.


membutuhkannya. Dan orang tidak memiliki kemungkinan untuk
memilih yang lain. Tidak hanya itu menurut Krasnoff, pertanyaan
tentang apakah modernitas baik secara moral adalah pertanyaan yang
problematis, karena modernitas telah merasuki sendi-sendi kehidupan
masyarakat jaman sekarang sebegitu mendalam dan meluas. Setiap
orang terpengaruh dengan caranya masing-masing. Setiap orang juga
memaknainya dengan caranya sendiri-sendiri. Efek dari modernitas
tidak bisa direduksi hanya dalam satu hal saja.93

Lalu apakah modernitas memiliki sisi buruk? Menurut Krasnoff


sisi negatif dari modernitas terletak pada sisi ekonomi dan teknologinya.
Yang pertama adalah kecenderungan modernitas untuk menerapkan
paham kapitalisme secara berlebihan. Akibatnya adalah manusia
dikorbankan dan dieksploitasi atas nama pengumpulan keuntungan
dan modal yang lebih tinggi lagi. Teknologi membuat manusia menjadi
tidak manusiawi. Hubungan manusia tidak lagi dilandasi ketulusan,
melainkan melulu hubungan kebutuhan yang sifatnya instrumental,
material, dan dangkal.

Teknologi juga menghasilkan limbah yang pada akhirnya merusak


ekosistem. Krisis global warming yang kita alami secara global sekarang
ini adalah hasil dari penggunaan teknologi yang kelewat batas, dan
akhirnya menghancurkan alam. Secara kultural modernitas juga
seringkali meremehkan budaya-budaya lokal partikular yang memiliki
cara berpikir berbeda. Hal ini tampak jelas di dalam arogansi negara-
negara Eropa dan Amerika, ketika berhadapan dengan negara-negara
Asia dan Afrika.

Menurut Krasnoff sisi positif modernitas paling tampak pada


aspek moral dan politik. Secara khusus modernitas mengedepankan
dan mengembangkan kebebasan manusia sebagai individu. Pada
masa sebelumnya cara berpikir dan pilihan manusia dibatasi oleh
kelas sosial, tradisi, dan agama. Namun dengan berkembangnya

93 Lihat, ibid.


modernitas, manusia mulai menemukan dan berani mengedepankan
kebebasannya. Dalam soal agama setiap orang berhak memutuskan
agama apa yang mereka peluk. Tidak hanya itu setiap orang juga
berhak mengekspresikan keyakinan agamanya, sejauh itu tidak
melanggar kebebasan orang lain. Dalam hal politik setiap orang bebas
untuk memilih penguasa manakah yang layak memerintah di sebuah
negara. Dalam hal ekonomi setiap orang bebas untuk mengumpulkan
harta kekayaan, sejauh dalam batas-batas hukum. Dan dalam hal
budaya, setiap orang berhak hidup dengan caranya masing-masing,
sejauh itu masih berada dalam batas-batas hukum dan tidak melanggar
kebebasan orang lain.94

Tentu saja di dalam kenyataan, tidak ada satupun dari cita-cita


ideal tersebut terwujud secara sempurna. Kebebasan manusia masih
saja dikungkung oleh kekuatan-kekuatan budaya, ekonomi, dan politik
yang tak terbendung oleh aspirasinya terhadap kebebasan. Namun
seperti yang berulang kali ditulis oleh B. Herry Priyono di dalam
berbagai tulisannya, cita-cita tidak akan lenyap hanya karena belum
terwujud di dalam realitas, begitu pula cita-cita modernitas tentang
kebebasan harus menjadi tujuan utama dari semua praktek politik,
ekonomi, agama, dan budaya sekarang ini.

Lalu apa arti pembicaraan tentang modernitas tersebut dengan


Hegel, tokoh kita pada bagian ini? Pada hemat Krasnoff cita-cita
modernitas tentang kebebasan terasa paling kental merasuk di dalam
seluruh tubuh filsafat Hegel.95 Tulisan-tulisan Hegel menggambarkan
bagaimana roh absolut bergerak di dalam sejarah untuk sampai pada
kebebasan. Namun mengapa Hegel menjadikan tema kebebasan, yang
merupakan esensi modernitas, di dalam filsafatnya?

Menurut penelitian yang dilakukan Krasnoff, Hegel memilih


kebebasan sebagai tema utama filsafatnya, karena ia pertama-tama

94 Bdk, ibid, hal. 2.


95 Lihat, ibid, hal. 3.


terpesona oleh revolusi Perancis. Sebagai seorang pemuda yang lahir
pada 1770, ia terpana oleh gelora kebebasan yang mewujud secara nyata
di dalam revolusi Perancis. Ia sendiri adalah seorang anak pegawai
negeri sipil rendahan dari Stuttgart. Walaupun miskin namun Hegel
sangat cerdas. Pada 1788 ia masuk seminari (sekolah pendidikan calon
imam di dalam Agama Katolik) di Universitas Tuebingen. Di sana ia
bertemu dengan Friedrich Schelling (juga seorang filsuf Idealis Jerman
yang cukup ternama) dan menjalin persahabatan dengannya. Schelling
dan Hegel kini dikenal sebagai para filsuf Idealisme Jerman. Secara
singkat Idealisme Jerman adalah paham filsafat yang berpendapat,
bahwa realitas bukanlah material secara hakiki, melainkan bentukan
dari konsep-konsep rasional yang terletak di dalam pikiran manusia.
Konsep-konsep tersebut seperti aku murni, roh absolut, non-aku, dan
sebagainya. Idealisme Jerman berkembang pada abad ke-18 di Jerman,
namun pengaruhnya masih sangat terasa hingga sekarang ini.

Masa Hegel hidup adalah masa yang penuh dengan tantangan.


Revolusi Perancis dengan cita-cita kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan mengguncang tatanan monarki feodal sebelumnya.
Walaupun pada masa itu Perancis adalah tempat yang penuh dengan
gejolak, namun Jerman, tempat Hegel lahir dan tumbuh, tetap stabil
seolah tidak terjadi apa-apa. Universitas Tübingen seolah tetap
steril, jauh dari gejolak yang ditimbulkan oleh Revolusi Perancis dan
gerakan filsafat Pencerahan. Memang pada waktu itu, Tübingen adalah
universitas yang konservatif. Teks-teks filsafat Pencerahan yang kental
dengan ide otonomi dan kebebasan individu dilarang untuk disebarkan.
Tentu saja Hegel tidak mematuhi aturan yang aneh itu. Masalah yang
langsung dihadapinya adalah, bagaimana menerapkan cara berpikir
modern yang ditimbanya dari para filsuf Pencerahan di Jerman, yang
pada masa itu relatif masih merupakan masyarakat tradisional?

Pada masa yang sama, Inggris dan Perancis sudah menjelma


menjadi negara modern. Di negara-negara itu, kebebasan sudah
mulai menjadi bagian dari kehidupan individu dan kehidupan


sosial. Sebaliknya di Jerman orang berkumpul untuk berdiskusi soal
filsafat Pencerahan pun kerap kali harus berbenturan dengan otoritas
pemerintah. Dengan kata lain dapatlah dikatakan, bahwa pada masa
itu, Jerman masih merupakan negara terbelakang. Namun Hegel akibat
membaca secara intensif tulisan-tulisan Rousseau dan Kant berhasil
menerobos keterbelakangan itu, dan akhirnya merumuskan filsafatnya
sendiri secara kreatif.96

Menurut Krasnoff prinsip utama di dalam filsafat Hegel adalah


subyektivitas (subjectivity). Hal ini menjadi jelas, jika orang berusaha
membaca karya magnum opus Hegel yang berjudul Phenomenology
of Spirit. Hegel sendiri mengatakan tujuan filsafatnya adalah untuk
menggengam (grasp) dan mengekspresikan (express) subyektivitas.97
Artinya adalah tujuan dari suatu refleksi filosofis adalah untuk
memahami karakter dasariah dari subyektivitas manusia. Tidak hanya
itu filsafat pun sebenarnya adalah ekspresi dari subyektivitas manusia
itu sendiri. Namun bentuk ekspresi yang bagaimana? Apa sebenarnya
hakekat (nature) dari subyektivitas, dan bagaimana filsafat bisa
mengekspresikannya?98

5.2. Subyektivitas di dalam Filsafat Hegel


Di dalam filsafat tema subyektivitas adalah tema yang sudah
berumur ratusan tahun, jauh sebelum masa hidup Hegel. Para filsuf
modern seperti Kant dan Descartes merefleksikannya secara sistematis
dan mendalam. Namun menurut Hegel refleksi filsafat tentang
subyektivitas di dalam filsafat Kant maupun Descartes masih terjebak
pada kesalahpahaman dan inkoherensi. Seperti yang ditulis oleh
Krasnoff, bagi Descartes, subyektivitas adalah konsep yang bersifat
kontemplatif. Fungsi konsep itu sendiri semata-mata hanya sebagai
titik awal (starting point) untuk memberikan kepastian metodologis

96 Lihat, ibid, hal. 4.


97 Seperti dikutip Krasnoff, ibid, hal. 62.
98 Lihat, ibid.


(methodological certainty). Tidak ada kepastian apakah pikiranku
memiliki hubungan langsung dengan realitas. Yang pasti adalah bahwa
aku sedang berpikir (I am thinking), dan pikiran itu selalu mengarah
pada sesuatu. Aku tidak pernah berpikir kosong, karena aku selalu
berpikir tentang sesuatu.

Namun menurut Krasnoff jika pikiran adalah soal individu


subyektif semata, maka tidak ada kemungkinan untuk menilai, apakah
pikiran itu tepat atau tidak. Jika argumen ini benar, lalu bagaimana
hubungan antara pikiran, konsep, dan dunia fisik eksternal? Ini adalah
pertanyaan yang langsung menjatuhkan seluruh sistem Cartesian.
Bagi Descartes hubungan pikiran dengan dunia luar terletak pada
fakta, bahwa Tuhan itu ada, dan Ia tidak mungkin menipu kita. Tentu
saja argumen ini sama sekali tidak kuat, dan bahkan terkesan sangat
dogmatis. Yang ingin dicapai Descartes adalah keketatan berpikir
metodis di dalam filsafat. Namun kekuatan pendekatan Descartes
ternyata juga mencerminkan kelemahannya. Filsafatnya tidak
memberikan argumen yang cukup memadai tentang hubungan antara
pikiran dan realitas fisik di luarnya.

Seperti sudah disinggung pada bagian sebelumnya tentang metode


skeptisisme, Hume adalah filsuf yang dengan keras mengajukan kritik
kepada Descartes. Hume menolak mengakui adanya relasi sebab akibat
yang nyata di dalam realitas. Ia juga menolak argumen, bahwa kita
bisa sungguh sampai pada pengetahuan yang benar tentang realitas.
Kant kemudian mencoba mengajukan kritik terhadap Hume dengan
berargumen, bahwa pengetahuan yang tepat tentang dunia fisik itu
mungkin, karena struktur akal budi internal manusia memungkinkan
itu terjadi. Struktur akal budi internal itu disebut juga sebagai
subyektivitas (subjectivity). Walaupun begitu Kant tidak menjadikan
subyektivitas hanya sebagai titik awal yang sifatnya kontemplatif,
seperti pada filsafat Descartes. Sebaliknya pada Kant konsep
subyektivitas lebih bersifat aktif di dalam membentuk pengetahuan
tentang dunia luar. Dalam arti ini tidaklah berlebihan jika dikatakan,


bahwa dunia bisa ada karena diketahui oleh manusia. Tanpa manusia
tidak ada dunia.99

Inilah yang disebut Krasnoff sebagai konsep subyektivitas yang


bersifat idealistik (idealist conception of subjectivity). Konsep subyek
di dalam Kant melampaui konsep subyek di dalam filsafat Descartes,
yang cenderung bersifat kontemplatif dan pasif semata. Dalam arti ini
konsep subyek Kant dapat juga disebut konsep subyek yang aktif (active
subject), terutama jika diperlawankan dengan konsep subyek di dalam
filsafat Descartes yang cenderung pasif. Bagi Kant akal budi adalah
fakultas di dalam diri manusia yang berfungsi untuk membentuk ide.
Ide itu sendiri berasal sekaligus melampaui pengalaman inderawi.

Salah satu yang menjadi acuan Kant adalah ide kebebasan (the
idea of freedom). Ide kebebasan tidak pernah bisa dipahami secara
empiris. Oleh karena itu pengetahuan manusia tentang kebebasan
memiliki bentuk yang berbeda, jika dibandingkan dengan pengetahuan
manusia mengetahui benda-benda fisik, seperti meja, kursi, mobil,
dan sebagainya. “Akan tetapi dengan alasan ini,” demikian Krasnoff,
“kita tidak dapat mengatakan bahwa ide kebebasan tidak mempunyai
kenyataan..”100 Artinya adalah walaupun tidak memiliki dasar empiris-
fisik, dan tidak bisa menjadi obyek pengetahuan langsung manusia,
ide kebebasan tetap dapat dipahami oleh manusia, walaupun dengan
cara lain. Bagi Kant ide kebebasan sudah selalu diandaikan di dalam
tindakan moral manusia sebagai mahluk yang rasional. Jika tidak
diandaikan maka tindakan moral menjadi tidak mungkin. Sementara
faktanya tindakan moral, seperti berbuat baik, itu mungkin, maka
kebebasan pun tidak bisa dibantah keberadaannya.

Filsafat Hegel dapat dianggap sebagai suatu upaya untuk


melampaui konsep subyek di dalam filsafat Kant maupun Descartes.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, Hegel sangat mengagumi

99 Bdk, ibid, hal. 63.


100 Ibid, hal. 64.


Revolusi Perancis. Filsafatnya sendiri tidak bisa dilepaskan dari momen
bersejarah tersebut. Di dalamnya ia melihat dorongan kekuatan
kebebasan dari subyek untuk melawan semua bentuk kekuatan yang
mengekangnya.

Tentu saja banyak filsuf berharap supaya kekuatan kebebasan


ini dapat diarahkan pada sesuatu yang sifatnya positif, seperti untuk
perkembangan ilmu pengetahuan dan moralitas misalnya. Akan
tetapi seperti ditegaskan oleh Krasnoff, subyek yang bebas berarti ia
tidak bisa ditentukan tindakan ataupun pilihannya ke depan. Jika ia
bisa ditentukan, maka ia tidaklah bebas. Konsep subyek pada filsafat
Descartes terjebak pada dirinya sendiri. Subyek menjadi koheren secara
konseptual, namun tidak bisa diterapkan dalam konteks kehidupan
nyata. Sementara subyek moral Kantian, yang menempatkan kebebasan
sebagai pengandaian, tidak bisa dipastikan akan melulu bertindak
secara moral.

Hegel sendiri sebenarnya banyak sependapat dengan Kant.


Namun begitu Hegel ingin menyelamatkan konsep subyek dari isolasi,
seperti yang dialami konsep subyek di dalam filsafat Descartes. Hegel
setuju bahwa subyektivitas manusia itu sifatnya aktif dan kreatif, serta
mampu menolak semua tekanan dari luar. Setelah subyek melampaui
semua kekangan yang menghambatnya, ia kemudian menjadi sadar
diri (self-conscious), yakni sadar akan kesalahan dari tindakan ataupun
pilihannya. Di dalam proses menyadari dirinya sendiri ini, subyek
kemudian semakin mengetahui dan memahami dirinya sendiri (self-
knowledge).

Proses subyek untuk mengenali dirinya sendiri ini, menurut


Hegel, mirip seperti pertarungan melawan dan bersama kematian itu
sendiri (struggle with and against death). Kebebasan manusia sebagai
subyek paling tampak di dalam kebebasannya menghadapi kematian.
Selain itu kebebasan subyek paling tampak di dalam penegasan dirinya
menghadapi tekanan sosial (social pressure). Namun begitu pernyataan


terakhir tampak mengandung setitik kontradiksi. Bukankah lingkungan
sosial yang memberikan arti dan makna bagi kehidupan seseorang?
Dan bukankah seperti yang dikatakan oleh Heidegger dengan
lugas, bahwa kematianlah yang memberikan makna bagi kehidupan
manusia? Dalam arti ini subyek selalu berada dalam tegangan untuk
menjadi bebas di satu sisi, dan untuk mengikat dirinya pada komunitas
sosialnya.101 Ia juga selalu berada dalam tegangan antara dorongan
untuk memaknai hidup yang ada, dan kecemasan di dalam menghadapi
kematian. Di dalam tegangan itulah subyek menyadari dirinya sendiri
(self-realizing).

5.3. Hegel dan Dialektika102


Metode dialektik Hegel terdiri dari tiga tahap. Yang pertama
adalah tesis, yakni membangun suatu pernyataan tertentu. Yang kedua
adalah antitesis, yakni suatu pernyataan argumentatif yang menolak
tesis. Dan yang ketiga adalah sintesis, yakni upaya untuk mendamaikan
tegangan antara tesis dan antitesis. Biasanya para ahli mengaitkan
konsep dialektika ini dengan filsafat Hegel, walaupun Hegel sendiri
tidak pernah secara eksplisit menyatakan argumennya melalui konsep
tesis, antitesis, dan sintesis. Sebaliknya Hegel justru menyatakan,
bahwa ia mendapatkan argumen itu dari filsafat Kant. Lepas dari itu
metode dialektik memang nantinya menjadi sangat populer di tangan
para filsuf Idealisme Jerman, terutama di dalam pemikiran Hegel.

Di dalam tulisan-tulisannya, Hegel memang tidak secara langsung


menggunakan konsep tesis-antitesis-sintesis. Namun ia menggunakan
logika yang kurang lebih sama di dalam tulisan-tulisannya. Ia kerap
kali menggunakan konsep abstrak-negatif-konkret (abstract-negative-
concrete) untuk melukiskan cara berpikir dialektisnya tentang realitas.
Beberapa kali ia menggunakan kata langsung-tidak langsung-konkret

101 Lihat, ibid, hal. 66.


102 Untuk berikutnya saya mengacu pada http://en.wikipedia.org/wiki/
Dialectic#Hegelian_dialectic


(immediate-mediated-conrete). Hegel memang menggunakan kata-
kata yang berbeda untuk menegaskan metode berpikir dialektis yang
digunakannya di dalam seluruh sistem filsafatnya. Coba kita bedah hal
ini secara lebih mendalam.

Di dalam rumusan tesis-antitesis-sintesis, kita tidak bisa mengerti


secara logis mengapa tesis terkait dengan antitesis. Yang dikatakan
oleh para komentator Hegel hanyalah di dalam tesis sudah langsung
termuat antitesis. Namun apa sesungguhnya arti dari argumen itu?
Coba kita lihat rumusan Hegel abstrak-negatif-konkret. Di dalam
rumusan itu sudah diandaikan, bahwa tesis, yakni abstrak, memiliki
kelemahan, yakni bahwa ia belum diuji di dalam realitas. Konsep
abstrak belum memiliki aspek pengalaman, dan belum teruji di
dalam kerasnya realitas. Di dalam tahap negatif, yang merupakan
level antitesis, apa yang abstrak tadi diceburkan ke dalam realitas,
dan berinteraksi dengan negativitas yang seringkali muncul di dalam
pengalaman. Baru setelah itu abstrak dan negatif mengelami sintesis,
dan menjadi konkret. Level konkret baru bisa dicapai, jika level negatif
dan abstrak sudah dilampaui. Inilah esensi dari metode dialektis yang
dapat ditemukan di dalam seluruh filsafat Hegel.

Untuk menggambarkan konsep pelampauan negatif dan abstrak


itu, Hegel menggunakan konsep Aufhebung, yang berarti ‘melampaui’
(overcoming). Secara kasar konsep melampaui itu bisa dianggap
sebagai suatu upaya untuk menerjang batas-batas konsep yang ada
sebelumnya, sambil tetap mengambil sisi positifnya yang tertinggal.
Di dalam bukunya yang berjudul Ilmu Logika (Science of Logic), Hegel
mencoba melukiskan proses dialektika untuk memahami keberadaan
manusia. Keberadaan manusia pada awalnya adalah Ada (Being).
Namun ada-murni (pure being) ternyata tidak dapat dibedakan
dengan ketiadaan (Nothing). Sesuatu yang keberadaanya bersifat
murni, yakni tidak tergantung pada realitas inderawi, juga secara
logis dapat disamakan dengan tidak ada. Di dalam proses ada-murni,
yang juga berarti ketiadaan, akan melampaui batas-batasnya sendiri,


dan kemudian bersatu di dalam ‘menjadi’ (becoming). Di dalam kosa
kata teori dialektika Hegel, ada-murni adalah tesis. Ketiadaan adalah
antitesis dari ada-murni. Dan menjadi (becoming) adalah sintesis dari
ada-murni dan ketiadaan.

Metode dialektika Hegel juga memiliki unsur kontradiksi yang


sangat kuat. Baginya setiap tahap perkembangan realitas, mulai dari
tesis, antitesis, dan sintesis, muncul dari kontradiksi yang kuat di dalam
tahap sebelumnya. Seluruh sejarah dunia adalah sejarah dialektika
dan kontradiksi. Dahulu kala pemerintahan yang ideal adalah
pemerintahan monarki absolut dengan menjadikan satu raja sebagai
acuan utama politik. Monarki absolut tersebut didasarkan pada dua
asumsi, yakni legalitas perbudakan untuk memperoleh tenaga kerja
manusia murah, dan asumsi bahwa rakyat adalah orang bodoh yang
tidak mampu memimpin ataupun membuat keputusan untuk dirinya
sendiri. Cara pandang itu mengalami kontradiksi, karena jika asumsi
itu terwujud, maka negara justru tidak akan berkembang. Sekarang ini
bentuk pemerintahan ideal adalah demokrasi dengan mengacu pada
warga negara yang bebas dan cerdas.

Dari contoh di atas dapatlah disimpulkan, bahwa kontradiksi


tidaklah muncul dari luar tesis, melainkan justru dari dalamnya. Di
dalam konsep monarki absolut sebagai acuan filsafat politik, sudah ada
‘anti’ dari monarki absolut itu sendiri. Antitesis sudah selalu terkandung
di dalam tesis. Dan sintesis sudah selalu terkandung di dalam tesis dan
antitesis. Dalam bahasa Hegel di dalam Ilmu Logika, di dalam Ada
dan Ketiadaan sudah selalu terkandung ‘menjadi’. Lalu apa sebenarnya
tujuan dari metode dialektika ini?

Tujuan dasar dari dialektika adalah untuk menganalisis realitas


pada dirinya sendiri, seturut geraknya sendiri, dan untuk memahami
itu semua dalam terang akal budi. Konsep inti di dalam metode
dialektika Hegel adalah negasi atas negasi (negation of the negation),
atau yang ia sebut juga sebagai Aufhebung. Konsep ini diawali dengan


sebuah premis sederhana, bahwa segala sesuatu menjadi apa adanya,
karena selalu berada di dalam relasi dengan yang lainnya, yang bukan
sesuatu itu. Meja bisa ada dan diketahui oleh manusia, karena ada
segala sesuatu yang bukan meja,. Meja menegasi segala sesuatu yang
bukan meja, sehingga ia menjadi dirinya sendiri.

Hegel mau mengajarkan kita untuk melihat realitas sebagai


suatu proses. Proses tersebut melewati tahap-tahap tertentu yang
kelihatannya penuh dengan negativitas. Namun negativitas itu
sebenarnya merupakan antitesis yang nantinya akan ‘melampaui’ tesis
dan antitesis sebelumnya. Seluruh realitas menurut Hegel bergerak
dengan pola itu. Dan pada akhir sejarah, realitas akan mengalami
sintesis absolut. Itulah akhir sejarah menurut Hegel. Seluruh proses
ini disebutnya sebagai dialektika, dan unsur penting dari dialektika itu
adalah kontradiksi dan negasi. Kontradiksi dan negasi itu memiliki
unsur negativitas yang kuat, namun diperlukan untuk perkembangan
realitas menuju sintesis absolut.

6. Metode Aphorisme di dalam Filsafat Nietzsche


Pada bagian sebelumnya saya sudah menjabarkan metode dialektika
di dalam filsafat Hegel. Hegel adalah seorang filsuf yang berpikir dan
menyusun filsafatnya secara sistematis. Ia membangun sistem untuk
memahami seluruh realitas, termasuk alam, manusia, dan sejarah. Pada
kesempatan ini saya ingin memperkenalkan anda pada satu sosok filsuf
yang sangat berlainan dengan Hegel, yakni Nietzsche. Berbeda dengan
sistem filsafat Hegel, Nietzsche justru sangat anti sistem. Ia menulis
dengan aphorisme, yakni dengan kalimat-kalimat pendek yang seolah
tanpa hubungan satu sama lain, untuk menjabarkan pemikirannya.
Argumennya juga tidak bertujuan untuk menciptakan pemahaman
tertentu yang bersifat koheren ataupun sistematis. Bisa juga dikatakan
Nietzsche ingin menghancurkan semua pemahaman lama yang
bercokol di dalam filsafat. Ia berfilsafat dengan palu pemikiran untuk
menghancurkan mitos dan cara berpikir kuno.


Pada bagian ini saya berfokus untuk menjelaskan cara berpikir khas
Nietzsche, yakni nihilisme dan teknik berfilsafat dengan aphorisme.
Sebagai acuan saya menggunakan tulisan Jill Marsden yang berjudul
Nietzsche and the Art of Aphorism, dan tulisan Andreas Urs Sommer
yang berjudul Nihilism and Skepticism in Nietzsche.103 Di dalam tulisan-
tulisan filsafatnya, Nietzsche menegaskan, bahwa kebiasaan atau cara
kita berpikir menentukan apa yang kita anggap sebagai pikiran. Semua
bentuk cara berpikir, termasuk apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang
layak dipikirkan, dibentuk oleh kebiasaan. Cara kita memahami dan
memaknai dunia juga terbentuk di dalam kebiasaan. Aristoteles sendiri
pernah berkata, bahwa tidak ada yang lebih kuat daripada kebiasaan. Dan
seperti yang pernah ditulis oleh Herry Priyono, orang tidak sadar akan
kebiasaannya sama seperti ia tidak sadar akan bau mulutnya.

Dalam arti ini kebiasaan menjadi halangan utama bagi orang untuk
sampai pada kebenaran. Banyak orang menganggap begitu saja, bahwa
apa yang telah mereka ketahui ataupun lakukan secara biasa itu sama
dengan kebenaran. Padahal kebiasaan justru bisa menjadi halangan
terbesar untuk melihat kebenaran. Dalam konteks inilah Nietzsche
menempatkan filsafatnya, yakni sebagai kritik dari cara berpikir yang
timbul atas dasar kebiasaan semata. Untuk melampaui kebiasaan
cara berpikir yang terwujud nyata di dalam cara orang menulis dan
mengungkapkan argumen, Nietzsche menggunakan aphorisme sebagai
alat untuk melakukan kritik. Menurut Marsden aphorisme merupakan
suatu cara untuk melepaskan diri dari keyakinan-keyakinan lama yang
melulu didasarkan atas kebiasaan. Aphorisme adalah cara baru berfilsafat
untuk melepaskan diri dari kategori-kategori pengetahuan manusia
yang cenderung terkotak-kotak dan membatasi realitas. Cara berpikir
tradisional yang kental terasa pada sains dan filsafat yang berpegang
teguh pada rasionalitas justru membuat manusia tertutup dari kekayaan
realitas dan kehidupan itu sendiri. Aphorisme menempatkan realitas

103 Pada bab ini saya mengacu pada kedua tulisan tersebut. Kedua tulisan itu dapat dilihat
di Pearson, Keith Ansell, A Companion to Nietzsche, Blackwell, MA, 2006.


sebagai suatu teks yang terbuka, sekaligus membuka horison pemikiran
baru yang kreatif dan inovatif.104

Aphorisme membuka ruang besar untuk ketidakpastian, agresivitas


berpikir, dan ekspansi ide. Aphorisme menolak kepastian mutlak,
ataupun dinding-dinding yang menghambat kreativitas berpikir. Seluruh
proyek filsafat dengan menggunakan aphorisme ini haruslah ditempatkan
sebagai kritik Nietzsche terhadap cara berpikir Platonisme (overcoming
platonism) yang cenderung mengedepankan rasionalitas, pengendalian
diri, dan kontrol terhadap realitas melalui pikiran, dan tujuan Nietzsche
untuk mengevaluasi ulang seluruh nilai-nilai (reevaluation of all values)
yang ada di dalam masyarakat. Pada hemat Marsden yang penting dari
intensi Nietzsche bukanlah substansinya (substance) semata, yakni isi
kritiknya yang memang sangat tajam, melainkan juga bentuk (form) dari
cara berpikir yang melandasari kritik tersebut.

Jika orang hanya berfokus pada isi kritik Nietzsche terhadap


masyarakat pada jamannya, maka mereka hanya akan menemukan kritik
klise yang seolah tanpa relevansi sekarang ini. Nietzsche melakukan
kritik tajam terhadap budaya dan cara berpikir orang pada jamannya
yang berfokus pada kontrol diri dan alam, sehingga melupakan daya-daya
kehidupan yang sesungguhnya. Ia juga melakukan kritik tajam terhadap
agama, yang dianggapnya menciptakan sekaligus melestarikan mentalitas
dekaden. Yang menarik buat kita untuk memahami metode Nietzsche
bukanlah isi dari kritik tersebut, melainkan caranya membentuk kritik.
Dalam konteks inilah metode berfilsafat dengan menggunakan aphorisme
bisa ditempatkan. Gaya berfilsafat dengan menggunakan aphorisme dapat
dianggap sebagai kritik terhadap cara berpikir tradisional yang cenderung
membatasi realitas dan kehidupan itu sendiri ke dalam konsep-konsep.

6.1. Nietzsche dan Aphorisme


Menurut penelitian Marsden teks tulisan Nietzsche pertama yang
menggunakan gaya aphorisme adalah Human, All too Human yang

104 Lihat, ibid, hal. 22.


ditulis pada 1878. Di dalam buku itu, Nietzsche menulis berdasarkan
pengamatan yang tajam tentang manusia, namun tidak dengan gaya
sistematis khas buku filsafat, melainkan dengan paragraf-paragraf
pendek yang seolah terpecah dan tidak memiliki kaitan satu sama lain.
Dalam arti harafiahnya aphorisme berarti ekspresi pemikiran singkat
yang lugas tentang suatu bentuk kebenaran yang bersifat umum.
Dengan demikian aphorisme bukanlah isi dari filsafat itu sendiri,
melainkan gaya berfilsafat tentang suatu tema tertentu. Marsden juga
menegaskan bahwa tidak semua tulisan Nietzsche menggunakan gaya
aphorisme murni. Beberapa tulisan Nietzsche lainnya, seperti On the
Genealogy of Morals, tidak menggunakan aphorisme murni, melainkan
bab-bab (chapters).105

Menurut Marsden ada alasan medis di balik gaya berfilsafat


Nietzsche yang menggunakan aphorisme. Seperti disinggung
sebelumnya Human, All too Human adalah karya pertama Nietzsche
yang menggunakan metode aphorisme. Pada waktu menulis buku
itu, ia mengalami sakit berat, akibat terlalu lelah bekerja dan hidup
yang tidak teratur. Kombinasi antara agresivitas pemikiran dan sakit
fisik membuat Nietzsche memutuskan untuk melepaskan diri dari
filsafat tradisional yang selama ini digelutinya, dan merambah ke
wilayah pemikiran yang baru. Pada titik inilah ia kemudian berfilsafat
mengenai tema-tema yang sensitif pada jamannya, dan dengan gaya
yang kurang familiar, yakni berfilsafat dengan aphorisme.

Marsden juga berpendapat bahwa gaya aphoristik sebenarnya


dapat dirunut kembali ke jaman Yunani Kuno, tepatnya pada
masa Hippokrates. Banyak penulis pada jaman itu, terutama yang
mendedikasikan karyanya untuk mengembangkan pemikiran
Hippokrates, menggunakan gaya aphorisme di dalam tulisan-tulisan
mereka. Kumpulan tulisan untuk Hippokrates itu disebut juga sebagai
The Corpus Hippocraticum. Di dalamnya tertulis aturan dan resep untuk

105 Lihat, ibid, hal. 23.


hidup sehat, mendiagnosis penyakit, dan hidup bahagia. Semua itu
ditulis dengan menggunakan aphorisme.

Aphorisme berbeda dengan logika. Logika seringkali berasal dari


penalaran akal budi murni, tanpa perlu mengacu pada pengalaman
konkret sehari-hari. Sebaliknya aphorisme justru dibentuk dari
pengalaman dan eksperimen yang bersifat empiris. Tidak hanya itu
aphorisme seringkali berbentuk resep-resep praktis untuk menjalani
hidup secara bijak. Yang terakhir inilah yang ditawarkan oleh Nietzsche
melalui aphorisme-aphorismenya. Jika ilmuwan kedokteran dahulu
berkonsultasi ke tulisan-tulisan Hipokrates untuk mendiagnosis
pasiennya, maka para filsuf bisa membaca Nietzsche sebagai upaya
untuk mengobati diri dari penyakit kemalasan berpikir.106

Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa pada waktu


Nietzsche mulai mengalami penyakit yang berat, ia juga mulai menulis
dengan gaya yang berbeda, yakni gaya aphorisme. Memang ada
hubungan antara penyakit beratnya dan cara ia berfilsafat, walaupun
hubungan itu tidak selalu berupa hubungan sebab akibat. Bahkan
menurut penelitian Marsden, Nietzsche seringkali menganggap
penyakitnya sebagai musuh. Namun dalam pengertian Nietzsche,
musuh bukanlah sesuatu yang harus dihancurkan, melainkan tetap
diperlukan untuk menjaga dan mengembangkan vitalitas diri. Adanya
musuh membuat orang selalu dalam keadaan waspada, dan siap setiap
saat untuk bertindak serta mengembangkan dirinya. Cara berfilsafat
dengan menggunakan aphorisme, dalam arti ini, dapatlah dipandang
sebagai tanggapan Nietzsche pada penyakitnya. Ia tidak menganggap
penyakit sebagai halangan untuk berpikir. Sebaliknya penyakit adalah
musuh yang diperlukan, supaya ia tetap kritis dan tajam di dalam
berpikir. Marsden bahkan berpendapat bahwa Nietzsche menggunakan
penyakitnya secara tidak langsung untuk mengembangkan filsafatnya.

106 Bdk, ibid, hal. 24.


Banyak orang menganggap penyakit sebagai batu sandungan bagi
kehidupan. Penyakit adalah kutukan yang harus dihindari ataupun
dimusnahkan. Namun Nietzsche mengajarkan kepada kita, bahwa
banyak hal buruk di dalam hidup sebenarnya bisa menjadi pelajaran
yang berharga. Kejahatan dan penderitaan adalah bagian integral
dari kehidupan. Dan dalam kerangka itu, manusia harus belajar
memaknai penderitaan, kejahatan, dan kegagalan sebagai keniscayaan
hidup. Justru di dalam tempaan penderitaanlah peradaban manusia
bisa berkembang. Nietzsche menanggapi penderitaan yang ia alami
langsung di dalam filsafatnya, terutama dengan metode aphorisme
yang ia gunakan. Dengan itu ia mengubah pengalaman penderitaan
yang bersifat personal menjadi refleksi filosofis yang indah sekaligus
inspiratif. Penderitaan menjadi titik tolak bagi sebuah pemikiran
filosofis yang menyegarkan.

Semua ini membuat orang tidak akan menemukan gaya filsafat


tradisional di dalam tulisan-tulisan Nietzsche. Anda tidak akan
menemukan pepatah-pepatah bijak yang menenangkan hati di dalam
tulisan Nietzsche. Seringkali ia memprovokasi anda untuk berpikir,
dan untuk membalik semua kepercayaan yang telah anda pegang
sebelumnya. Di dalam salah satu bagian, Nietzsche menulis bahwa
kekuatan fisik dan jiwa manusia justru berkembang melalui luka
(wound). Dapat juga dikatakan bahwa kekuatan yang membuat manusia
bahagia adalah kekuatan yang sama, yang membuat manusia merasa
menderita. Dengan aphorisme-aphorismenya Nietzsche mengajarkan
kita untuk berpikir paradoksal. Ia melihat bahwa kekuatan manusia
memiliki akar yang sama dengan kelemahannya. Dan justru di dalam
kelemahannyalah manusia bisa sampai pada kekuatan puncaknya.

Secara historis Nietzsche sangat dipengaruhi oleh Herakleitos,


seorang filsuf Yunani Kuno pada masa sebelum Sokrates. Dengan
aphorisme Herakleitos ingin melepaskan diri dari cara berpikir yang
dipenjara oleh logika dan rasionalitas. Inilah yang ingin dilakukan
Nietzsche. Herakleitos sendiri pernah menulis, “Anak panah adalah


hidup, namun kerja dari panah adalah kematian.”107 Aphorisme ini bisa
ditafsirkan sebagai sebuah pernyataan, bahwa kehidupan dan kematian
saling terkait satu sama lain. Tidak ada hidup yang sempurna tanpa
cacat sedikit pun. Bahkan bisa dibilang bahwa hidup adalah anak
panah yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran.

Selain dari filsafat Herakleitos, Nietzsche juga dipengaruhi oleh


Chamfort dan La Rochenfoucauld. Mereka adalah para pemikir
Perancis. Dari La Rochenfoucauld ia belajar untuk mencintai
paradoks. Sementara dari Chamfort ia belajar untuk menyampaikan
argumen di dalam kalimat-kalimat pendek. Para filsuf Perancis juga
mengajarkan Nietzsche untuk berpikir mengenai seni menjalani hidup
(art of living). Di sisi lain Schopenhauer, filsuf Jerman di abad ke 19,
juga sangat mempengaruhi Niezstsche, terutama di dalam konsepnya
tentang kehendak untuk berkuasa.

Di dalam filsafat yang cenderung didominasi oleh cara berpikir


argumentatif, gaya filsafat dengan menggunakan aphorisme yang
digunakan Nietzsche memang terdengar asing. Walaupun juga
digunakan untuk mempersuasi pembaca supaya setuju dengannya,
gaya aphorisme seringkali menciptakan ambiguitas dan bahkan
kesalahpahaman dari pembacanya. Dengan ungkapan-ungkapan
singkat, aphorisme bisa membuat pembacanya kaget dan bingung.
Misalnya Nietzsche pernah menulis, “Jika anda melatih hati nurani
anda, hati nurani itu akan mencium sekaligus menggigit anda.”108
Manusia seringkali, kata Nietzsche, “gemetar akibat hasrat.” Itulah
secuil aphorisme khas Nietzsche. Seringkali ungkapan aphoristik
tersebut lebih mirip puisi daripada sebuah tulisan filsafat. Tidak hanya
itu aphorisme juga seringkali berupa dialog. Misalnya Nietzsche
pernah menulis tentang dialog seorang petualang dengan bayangannya
sendiri.

107 Dikutip oleh Marsden, ibid, hal. 25.


108 Ibid, hal. 26.


Aphorisme tidak bisa dibaca dengan cara seperti anda membaca
buku teks. Di dalam buku teks, anda akan diminta mengikuti argumen
demi argumen yang sifatnya sistematis secara sabar. Sementara ketika
membaca aphorisme Nietzsche, anda perlu melakukan lompatan
logika untuk memahaminya. Untuk membaca Nietzsche orang perlu
melepaskan diri dari rasionalitas tradisional, dan mencoba memahami
semangat pemberontakan yang dikobarkan olehnya. Aphorisme
mengajak setiap pembacanya untuk peka pada kalimat-kalimat kecil
yang seolah tanpa makna. Aphorisme juga mengajak pembacanya
untuk peka pada misteri di balik makna yang tersirat di dalam tulisan.

Tidak ada argumen inti yang eksplisit di dalam aphorisme.


Orang perlu menggunakan imajinasi untuk menebak maksud di
balik aphorisme yang dibacanya. Aphorisme mengajak kita untuk
berpetualang ke ranah-ranah pemikiran baru yang belum terjamah
sebelumnya. Kita tidak diajak untuk memahami teks semata, tetapi
juga untuk membuka kemungkinan bagi sejuta penafsiran baru, ketika
mulai membaca teks. Ketika mencoba membaca langsung teks-teks
Nietzsche, orang akan merasa menemukan sesuatu, walaupun ia belum
bisa merumuskannya secara tepat.109

Jika anda percaya bahwa filsafat haruslah bersifat sistematis


dan rasional secara mutlak, maka anda pasti akan menganggap,
bahwa aphorisme adalah suatu bentuk irasionalitas, atau bahkan
pengkhianatan. Namun jika anda mencoba membaca aphorisme karya
Nietzsche, anda akan ditantang untuk menggoyang nilai-nilai yang
selama ini anda yakini. Dengan aphorismenya Niezsche mencoba
untuk menerjang batas-batas pemikiran yang ada.

7. Fenomenologi Edmund Husserl


Pada bagian sebelumnya kita sudah berdiskusi soal gaya aphorisme
di dalam filsafat Nietzsche. Ia mengajarkan kita untuk berani menembus

109 Lihat, ibid, hal. 35.


batas-batas rasionalitas itu sendiri, dan membuka tabir-tabir pemikiran
baru yang belum tersentuh sebelumnya. Pada bagian ini saya ingin
mengajak anda berdiskusi mengenai metodologi berpikir di dalam filsafat
Husserl, yang banyak juga dikenal sebagai fenomenologi. Metode ini
sangat penting di dalam filsafat, dan juga di dalam penelitian ilmu-ilmu
sosial. Di dalam pemikiran Husserl, fenomenologi tidak hanya berhenti
menjadi metode, tetapi juga mulai menjadi ontologi. Muridnya yang
bernama Heideggerlah yang nantinya akan melanjutkan proyek itu. Pada
bagian ini saya mengacu pada tulisan David W. Smith tentang Husserl di
dalam bukunya yang berjudul Husserl.110

Cita-cita Husserl adalah membuat fenomenologi menjadi bagian dari


ilmu, yakni ilmu tentang kesadaran (science of consciousness). Akan tetapi
pendekatan fenomenologi berusaha dengan keras membedakan diri dari
pendekatan tradisional, psikologi, dan bahkan dari filsafat itu sendiri.
Namun sampai sekarang definisi jelas dan tepat dari fenomenologi
belum juga dapat dirumuskan dan dimengerti, bahkan oleh orang
yang mengklaim menggunakannya. Oleh karena itu dengan mengacu
pada tulisan Smith, saya akan coba memberikan definisi dasar tentang
fenomenologi, sekaligus mencoba memberi contoh penerapannya. Setelah
itu saya akan mengajak anda untuk memahami latar belakang teori
fenomenologi Husserl yang memang secara langsung diinspirasikan oleh
Frans Bretagno, terutama pemikirannya soal psikologi deskriptif. Lalu
masih mengacu pada tulisan Smith, saya akan mengajak anda memahami
teori tentang kesadaran, terutama konsep kuncinya yang disebut sebagai
intensionalitas. Intensionalitas sendiri berarti kesadaran yang selalu
mengarah pada sesuatu (consciousness on something), seperti kesadaran
akan waktu, kesadaran akan tempat, dan kesadaran akan eksistensi diri
sendiri.111

110 Pada bab ini saya mengacu pada Smith, David Woodruff, Husserl, London, Routledge,
2007.
111 Lihat, ibid, hal. 188.


Menurut Smith fenomenologi Husserl adalah sebuah upaya untuk
memahami kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang
pertama. Secara literal fenomenologi adalah studi tentang fenomena,
atau tentang segala sesuatu yang tampak bagi kita di dalam pengalaman
subyektif, atau tentang bagaimana kita mengalami segala sesuatu di sekitar
kita. Setiap orang pada dasarnya pernah melakukan praktek fenomenologi.
Ketika anda bertanya “Apakah yang aku rasakan sekarang?”, “Apa yang
sedang kupikirkan?”, “Apa yang akan kulakukan?”, maka sebenarnya anda
melakukan fenomenologi, yakni mencoba memahami apa yang anda
rasakan, pikirkan, dan apa yang akan anda lakukan dari sudut pandang
orang pertama.

Dengan demikian fenomenologi adalah upaya untuk memahami


kesadaran dari sudut pandang subyektif orang terkait. Pendekatan ini tentu
saja berbeda dengan pendekatan ilmu pengetahuan saraf (neuroscience),
yang berusaha memahami cara kerja kesadaran manusia di dalam otak dan
saraf, yakni dengan menggunakan sudut pandang pengamat. Neurosains
lebih melihat fenomena kesadaran sebagai fenomena biologis. Sementara
deskripsi fenomenologis lebih melihat pengalaman manusia sebagaimana
ia mengalaminya, yakni dari sudut pandang orang pertama.

Walaupun berfokus pada pengalaman subyektif orang pertama,


fenomenologi tidak berhenti hanya pada deskripsi perasaan-perasaan
inderawi semata. Pengalaman inderawi hanyalah titik tolak untuk sampai
makna yang bersifat konseptual (conceptual meaning), yang lebih dalam
dari pengalaman inderawi itu sendiri. Makna konseptual itu bisa berupa
imajinasi, pikiran, hasrat, ataupun perasaan-perasaan spesifik, ketika
orang mengalami dunianya secara personal.

Jika fenomenologi berfokus pada pengalaman manusia, lalu apa


kaitan fenomenologi dengan psikologi sebagai ilmu tentang perilaku
manusia? Husserl sendiri merumuskan fenomenologi sebagai tanggapan
kritisnya terhadap psikologi positivistik, yang menolak eksistensi
kesadaran, dan kemudian menyempitkannya semata hanya pada soal


perilaku. Oleh sebab itu menurut Smith, fenomenologi Husserl lebih
tepat disebut sebagai psikologi deskriptif, yang merupakan lawan dari
psikologi positivistik.

Di dalam fenomenologi konsep makna (meaning) adalah konsep yang


sangat penting. “Makna”, demikian tulis Smith tentang Husserl, “adalah
isi penting dari pengalaman sadar manusia..”112 Pengalaman seseorang
bisa sama, seperti ia bisa sama-sama mengendari sepeda motor. Namun
makna dari pengalaman itu berbeda-beda bagi setiap orang. Maknalah
yang membedakan pengalaman orang satu dengan pengalaman orang
lainnya. Suatu pengalaman bisa menjadi bagian dari kesadaran, juga
karena orang memaknainya. Hanya melalui tindak memaknailah
kesadaran orang bisa menyentuh dunia sebagai suatu struktur teratur
(organized structure) dari segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Namun
begitu menurut Husserl, makna bukanlah obyek kajian ilmu-ilmu empiris.
Makna adalah obyek kajian logika murni (pure logic). Pada era sekarang
logika murni ini dikenal juga sebagai semantik (semantics). Maka dalam
arti ini, fenomenologi adalah suatu sintesis antara psikologi, filsafat, dan
semantik (atau logika murni).

Bagi Husserl fenomenologi adalah suatu bentuk ilmu mandiri


yang berbeda dari ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Dengan
fenomenologi Husserl mau menantang semua pendekatan yang bersifat
biologis-mekanistik tentang kesadaran manusia, seperti pada psikologi
positivistik maupun pada neurosains. Ia menyebut fenomenologi sebagai
ilmu pengetahuan transendental (transcendental science), yang dibedakan
dengan ilmu pengetahuan naturalistik (naturalistic science), seperti pada
fisika maupun biologi. Dan seperti sudah disinggung sebelumnya,
perbedaan utama fenomenologi dengan ilmu-ilmu alam, termasuk
psikologi positivistik, adalah peran sentral makna di dalam pengalaman
manusia (meaning in experience). Fenomenologi tidak mengambil langkah

112 Ibid, hal. 190.


observasi ataupun generalisasi di dalam penelitian tentang manusia,
seperti yang lazim ditemukan pada psikologi positivistik.

Cita-cita Husserl adalah mengembangkan fenomenologi sebagai


suatu displin ilmiah yang lengkap dengan metode yang jelas dan akurat.
Di dalam ilmu-ilmu alam, seperti kimia, fisika, dan biologi, kita mengenal
adalah metode penelitian ilmu-ilmu alam yang sifatnya empiris dan
eksperimental. Inti metode penelitian ilmu-ilmu alam adalah melakukan
observasi yang sifatnya sistematis, dan kemudian menganalisisnya dengan
suatu kerangka teori yang telah dikembangkan sebelumnya. Husserl ingin
melepaskan diri dari cara berpikir yang melandasi metode penelitian
semacam itu. Baginya untuk memahami manusia, fenomenologi hendak
melihat apa yang dialami oleh manusia dari sudut pandang orang
pertama, yakni dari orang yang mengalaminya.

Di dalam kerangka berpikir ini, seorang ilmuwan sekaligus adalah


sekaligus peneliti dan yang diteliti. Ia adalah subyek sekaligus obyek dari
penelitian. Dan seperti sudah ditegaskan sebelumnya, fenomenologi
adalah cara untuk memahami kesadaran manusia dengan menggunakan
sudut pandang orang pertama. Namun menurut penelitian Smith,
Husserl membedakan tingkat-tingkat kesadaran (state of consciousness).
Yang menjadi fokus fenomenologi bukanlah pengalaman partikular,
melainkan struktur dari pengalaman kesadaran, yakni realitas obyektif
yang mewujud di dalam pengalaman subyektif orang per orang.
Konkretnya fenomenologi berfokus pada makna subyektif dari realitas
obyektif di dalam kesadaran orang yang menjalani aktivitas kehidupannya
sehari-hari. Dalam kosa kata Husserl, “obyek kesadaran sebagaimana
dialami.”113

Fenomenologi Husserlian adalah ilmu tentang esensi dari kesadaran.


Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan esensi dari kesadaran?
Berdasarkan penelitian Smith fenomenologi Husserl dibangun di
atas setidaknya dua asumsi. Yang pertama, setiap pengalaman manusia

113 Ibid, hal. 191.


sebenarnya adalah satu ekspresi dari kesadaran. Seseorang mengalami
sesuatu. Ia sadar akan pengalamannya sendiri yang memang bersifat
subyektif. Dan yang kedua, setiap bentuk kesadaran selalu merupakan
kesadaran akan sesuatu. Ketika berpikir tentang makanan, anda
membentuk gambaran tentang makanan di dalam pikiran anda. Ketika
melihat sebuah mobil, anda membentuk gambaran tentang mobil di
dalam pikiran anda. Inilah yang disebut Husserl sebagai intensionalitas
(intentionality), yakni bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran akan
sesuatu.

Tindakan seseorang dikatakan intensional, jika tindakan itu


dilakukan dengan tujuan yang jelas. Namun di dalam filsafat Husserl,
konsep intensionalitas memiliki makna yang lebih dalam. Intensionalitas
tidak hanya terkait dengan tujuan dari tindakan manusia, tetapi juga
merupakan karakter dasar dari pikiran itu sendiri. Pikiran tidak pernah
pikiran itu sendiri, melainkan selalu merupakan pikiran atas sesuatu.
Pikiran selalu memiliki obyek. Hal yang sama berlaku untuk kesadaran.
Intensionalitas adalah keterarahan kesadaran (directedness of consciousness).
Dan intensionalitas juga merupakan keterarahan tindakan, yakni tindakan
yang bertujuan pada satu obyek.

Namun Husserl juga melihat beberapa pengalaman konkret manusia


yang tidak mengandaikan intensionalitas, seperti ketika anda merasa mual
ataupun pusing. Kedua pengalaman itu bukanlah pengalaman tentang
suatu obyek yang konkret. Namun pengalaman itu sangatlah jarang,
kecuali anda yang menderita penyakit tertentu. Mayoritas pengalaman
manusia memiliki struktur. Mayoritas pengalaman manusia melibatkan
kesadaran, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu.
Husserl menyebut setiap proses kesadaran yang terarah pada sesuatu
ini sebagai tindakan (act). Dan setiap tindakan manusia selalu berada di
dalam kerangka kebiasaan (habits), termasuk di dalamnya gerak tubuh
dan cara berpikir.


Fenomenologi adalah analisis atas esensi kesadaran sebagaimana
dihayati dan dialami oleh manusia, dan dilihat dengan menggunakan
sudut pandang orang pertama. Fenomenologi menganalisis struktur dari
persepsi, imajinasi, penilaian, emosi, evaluasi, dan pengalaman orang
lain yang terarah pada sesuatu obyek di luar. Dengan demikian menurut
Smith, fenomenologi Husserl adalah suatu penyelidikan terhadap relasi
antara kesadaran dengan obyek di dunia luar, serta apa makna dari relasi
itu. Konsep bahwa kesadaran selalu terarah pada sesuatu merupakan
konsep sentral di dalam fenomenologi Husserl.114

Seperti sudah disinggung sebelumnya, fenomenologi adalah suatu


refleksi atas kesadaran dari sudut pandang orang pertama. Konkretnya
fenomenologi hendak menggambarkan pengalaman manusia sebagaimana
ia mengalaminya melalui pikiran, imajinasi, emosi, hasrat, dan sebagainya.
Dalam hal ini Husserl sangat berhutang pada Bretano. Bretano sendiri
membedakan dua jenis psikologi, yakni psikologi deskriptif yang dikenal
juga sebagai fenomenologi, dan psikologi genetis (genetic psychology).
Psikologi deskriptif hendak memahami dinamika kehidupan mental
manusia. Sementara psikologi genetis ingin memahami dinamika mental
manusia dengan kaca mata ilmu-ilmu genetika yang sifatnya biologistik.
Di dalam pemikiran Husserl, fenomenologi menjadi suatu displin yang
memiliki status otonom. Ia pun merumuskannya secara lugas, yakni
sebagai ilmu tentang esensi kesadaran. Dan berulang kali ia menegaskan,
bahwa kesadaran manusia tidak pernah berdiri sendiri. Kesadaran
selalu merupakan kesadaran atas sesuatu. Inilah yang disebut dengan
intensionalitas, suatu konsep yang sangat sentral di dalam fenomenologi
Husserl.

Husserl kemudian mencoba mengembangkan teori intensionalitas


ini. Setiap tindakan manusia selalu melibatkan kesadaran, dan kesadaran
selalu merupakan kesadaran atas suatu obyek yang nyata di dunia. Manusia
adalah subyek dan subyek selalu terarah pada suatu obyek yang nyata di

114 Lihat, ibid, hal. 193.


dunia. Obyek dari kesadaran dan tindakan manusia tidak pernah berada
di dalam ruang kosong, melainkan selalu berada di dalam horison makna
tertentu. Maka dari itu intensionalitas kesadaran selalu melibatkan relasi
rumit antara subyek (manusia) yang sadar, tindakan, obyek, dan horison
dari obyek tersebut. Relasi rumit di dalam intensionalitas kesadaran itulah
yang menjadi dasar dari fenomenologi.

Setelah menjadikan intensionalitas kesadaran sebagai dasar filsafatnya,


Husserl kemudia menganalisis struktur-struktur dasar kesadaran secara
detil, seperti persepsi, penilaian, tindakan, ruang, waktu, tubuh, keberadaan
orang lain, dan sebagainya. Subyek (manusia) dan obyek selalu berada
di dalam horison makna tertentu yang disebut Husserl sebagai dunia
kehidupan (life-world). Secara singkat dunia kehidupan adalah dunia di
sekeliling manusia yang dialaminya secara familiar di dalam kehidupan
sehari-hari. Di dalam dunia kehidupan, manusia memperoleh makna
dan identitasnya sebagai manusia. Dalam arti ini fenomenologi adalah
suatu upaya untuk memahami kesadaran manusia dalam konteks kaitan
dengan dunia kehidupannya.

Fenomenologi Husserl hendak menganalisis dunia kehidupan


manusia, sebagaimana ia mengalaminya secara subyektif maupun
intersubyektif dengan manusia lainnya. Sebenarnya ia membedakan
antara apa yang subyektif, intersubyektif, dan yang obyektif. Yang
subyektif adalah pengalaman pribadi kita sebagai manusia yang menjalani
kehidupan. Obyektif adalah dunia di sekitar kita yang sifatnya permanen
di dalam ruang dan waktu. Dan intersubyektitas adalah pandangan
dunia semua orang yang terlibat di dalam aktivitas sosial di dalam dunia
kehidupan.115 Interaksi antara dunia subyektif, dunia obyektif, dan dunia
intersubyektif inilah yang menjadi kajian fenomenologi. Fenomenologi
membuka kesadaran baru di dalam metode penelitian filsafat dan ilmu-
ilmu sosial. Kesadaran bahwa manusia selalu terarah pada dunia, dan
keterarahan ini melibatkan suatu horison makna yang disebut sebagai

115 Lihat, ibid, hal. 234.


dunia kehidupan. Di dalam konteks itulah pemahaman tentang manusia
dan kesadaran bisa ditemukan.

8. Fenomenologi Ontologi di dalam Pemikiran Martin Heidegger


Pada bagian sebelumnya kita sudah berdiskusi sejenak mengenai
fenomenologi yang dirumuskan Edmund Husserl. Ia merumuskan
suatu cara untuk memahami realitas, terutama dengan menekankan
fenomena keterarahan kesadaran pada obyek yang selalu berada di dalam
konteks dunia kehidupan tertentu. Pada kesempatan ini saya ingin
memperkenalkan anda pada pemikiran Martin Heidegger yang notabene
adalah murid dari Husserl. Heidegger mengembangkan filsafat Husserl
ke level ontologi, yakni refleksi mengenai realitas keseluruhan sebagai
“Ada”. Sebagai acuan teks saya melihat pada tulisan Dorothea Frede yang
berjudul The Questions of Being: Heidegger’s Project.116

Ingatkah anda metode elenchus khas Sokrates yang sudah diterangkan


sebelumnya? Jika tidak coba lihat kembali ke bagian-bagian sebelumnya
tulisan ini. Heidegger adalah seorang yang sangat ahli di dalam
metode Sokratik. Di dalam kuliah-kuliahnya, ia seringkali mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tajam kepada para pendengar kuliahnya, supaya
mereka menjadi bingung, dan mempertanyakan semua asumsi-asumsi
pemikiran yang mereka miliki, serta dapat memulai diskusi dengan
pemikiran terbuka.

Proyek utama filsafat Heidegger adalah mempertanyakan


makna “ada”. Konsep itu sendiri memang sudah menjadi bagian dari
refleksi filsafat selama berabad-abad. Heideggerlah yang kemudian
menggunakan kembali konsep tersebut di dalam filsafatnya. Namun
apa sesungguhnya arti kata “ada”? Apa arti penting dari konsep itu? Di
dalam filsafat Heidegger, kata itu sendiri memiliki beragam makna. Salah
satu komentator otoritatif atas filsafat Heidegger yang bernama Hubert

116 Pada bab ini saya mengacu pada Frede, Dorothea, “The Questions of Being: Heidegger’s
Project”, dalam The Cambridge Companion to Heidegger, Cambridge University Press,
Cambridge, 1993.


Dreyfus pernah berpendapat, bahwa “ada” adalah latar belakang dari
semua tindakan keseharian manusia yang dapat dipahami dengan akal
budi. Thomas Sheehan -ahli Heidegger lainnya- berpendapat bahwa
konsep “ada” merupakan konsep yang mencakup keseluruhan realitas.
“Ada” adalah konsep yang ada di dalam setiap bentuk pengetahuan
manusia tanpa terkecuali.

Setiap pemikir besar biasanya memiliki satu ide dasar yang sifatnya
revolusioner. Ide dasar ide dasar itu biasanya merupakan jawaban atas
suatu pertanyaan yang juga tak kalah revolusioner. Pertanyaan itulah
yang nantinya membimbing seluruh refleksi filosofis filsuf besar tersebut.
Hal ini kiranya berlaku di dalam filsafat Heidegger. Menurut penelitian
yang dibuat oleh Frede, pertanyaan yang menggantung di seluruh filsafat
Heidegger sebenarnya adalah, apa maksud sesungguhnya dari konsep
Ada? Di dalam filsafat pertanyaan ini berada di ranah ontologi, yakni
penyelidikan tentang Ada yang merupakan dasar dari seluruh realitas.
Maka dapat juga dikatakan, bahwa filsafat Heidegger berfokus pada
ontologi. Namun ontologi Heidegger tidak sama dengan ontologi yang
sudah ada sebelumnya. Searah dengan perjalanan waktu, makna dari
pertanyaan tentang “ada” pun sudah berubah.117

Tentu saja bagi banyak orang, terutama yang tidak berkecimpung


secara khusus di dalam dunia filsafat, pertanyaan yang diajukan
Heidegger tampak agak bodoh. Jika ditelusuri secara mendalam, konsep
“ada” sebenarnya ada di dalam setiap hal, seperti ada batu, ada manusia,
ada hewan, dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan bahwa segala sesuatu
yang menempati ruang dan waktu tertentu di alam semesta ini memiliki
ada. Segala sesuatu berada. Lalu konsep “ada” manakah sebenarnya yang
dimaksud Heidegger? Ataukah ia mencari “ada” yang mendasari seluruh
realitas? Jika dilihat dari karya-karyanya, Heidegger hendak menemukan
“ada” yang mendasar ada-ada lainnya, yang terdapat memang terdapat
di semua hal. Maka dari itu pertanyaan tentang “ada” haruslah diubah

117 Lihat, Frede, 1993, hal. 41.


menjadi, apakah yang dimaksud dengan “ada” yang mendasari ada-ada
lainnya di dalam realitas?

Pada tulisan ini saya tidak mau, dan mampu, untuk menelusuri
karya-karya Heidegger seutuhnya. Di dalam tulisan ini, saya akan
mencoba memasuki ontologi Heidegger, yakni problem tentang “ada”
yang digelutinya, sambil mencoba mengkaitkan dengan gurunya yang
juga merupakan bapak fenomenologi, yakni Edmund Husserl. Selain
itu Heidegger juga banyak mendasarkan pikirannya pada filsafat
Yunani Kuno. Ia banyak mendapatkan inspirasi dari mereka di dalam
prosesnya mempertanyakan makna ada, walaupun nantinya Heidegger
akan mengembangkan rumusannya sendiri. Menurut penelitian
Frede ketertarikan Heidegger pada masalah “ada” dan ontologi secara
keseluruhan dimulai, ketika ia membaca tulisan Franz Brentano yang
berjudul On the Several Sense of Being in Aristotle. Apa sebenarnya
hubungan Heidegger dengan para filsuf Yunani Kuno, terutama di dalam
prosesnya untuk memahami “ada”?

8.1. Heidegger Muda


Salah seorang filsuf Yunani Kuno yang terbesar, Aristoteles, pernah
berusaha mendefinisikan ontologi, yakni sebagai ilmu tentang “ada”
(science of being).118 Bahkan sebelum filsafat Yunani Kuno berkembang,
konsep “ada: sudah memperoleh porsi besar di dalam refleksi para
pemikir. Mereka kerap menyebutnya sebagai “apa yang sesungguhnya”,
atau “dasar”. Konsep “ada” melibatkan dua hal yang sangat penting
di dalam diri seorang pemikir, yakni kemampuan berabstraksi, yakni
menarik apa yang sama dari segala sesuatu yang berbeda di dalam
realitas, dan kemampuan refleksi, yakni menilai diri sendiri dan berpikir
secara mendalam. Para filsuf Yunani Kuno juga ingin bertanya, apakah
“ada” itu sesuatu yang tunggal atau jamak? Apakah “ada” itu satu atau
banyak?

118 Lihat, ibid, hal. 45.


Menurut Frede orang yang pertama kali mengajukan pertanyaan
tentang “ada” secara sistematik adalah Plato. Ia melakukan perdebatan
tentang konsep “ada” dengan para sofis, yakni para pengajar retorika.
Kaum sofis sendiri tidak percaya adanya kebenaran mutlak. Bagi
mereka segala sesuatu sifatnya relatif di muka bumi ini. Maka dari itu
hal yang salah bisa jadi benar, dan sebaliknya, selama orang mampu
memberikan argumentasi tentangnya. Bagi Plato sendiri problematika
terkait dengan “ada” adalah problem gigantotnacbia, yang berarti
problem para raksasa pemikiran. Heidegger sendiri sadar akan hal
ini. Namun pemikir yang sungguh-sungguh memberikan pengaruh
besar di dalam ontologi, ilmu tentang “ada”, adalah Aristoteles, murid
Plato. Heidegger sendiri memang banyak berpijak pada pemikiran
Aristoteles. Ia juga berpendapat bahwa seluruh sejarah pemikiran
manusia adalah sejarah kelupaan akan “ada” (forgetfulness of being).

Di dalam tulisan-tulisannya, Aristoteles membedakan beragam


“ada” seturut kategori pengertiannya. Kategori utama adalah substansi
(substance), yakni sesuatu yang sifatnya cukup diri yang tidak
membutuhkan suatu apapun di luar dirinya. Beragam kategori lainnya
berada di dalam ataupun dalam hubungan dengan substansi tersebut.
Kategori-kategori itu adalah kuantitas, kualitas, relasi, ruang, waktu,
tindakan, afeksi, posisi, dan kepemilikan. Misalnya anda melihat
sebuah batu. Batu baru sungguh bermakna bagi manusia, jika ia
dikenakan predikat. Dan setiap predikat selalu merupakan salah satu
dari kategori-kategori “ada” lainnya, baik kuantitas, kualitas, ruang, dan
sebagainya. Dalam arti ini menurut Aristoteles, kategori-kategori “ada”
bukanlah ciptaan manusia, melainkan sudah selalu berada di dalam
realitas yang tersusun secara logis. Kategori “ada” adalah realitas, dan
bukan konstruksi pikiran manusia.

Dengan posisinya itu Aristoteles dapat dikategorikan sebagai


seorang realis metafisikus. Ia mengakui keberadaan obyektif dari
kategori-kategori “ada”, maka ia disebut sebagai seorang realis. Dan
ia menjadikan konsep “ada” sebagai pusat penyelidikannya, maka ia


disebut sebagai seorang metafisikus. Seluruh alam semesta menurutnya
terdiri dari struktur-struktur obyektif dari “ada”. Inti dari struktur
obyektif itu adalah substansi. Semua bentuk kategori lainnya menempel
pada substansi tersebut. Dalam arti ini juga, tidak ada kesatuan utuh
di dalam konsep “ada”, karena konsep “ada” itu sendiri terdiri dari
substansi dan predikat-predikat dari substansi tersebut, seperti kualitas,
kuantitas, dan sebagainya. Tidak ada kesatuan “ada” (unified of being).
Yang ada adalah analogi dari berbagai bentuk kategori “ada”.

Di dalam filsafat selanjutnya, konsep substansi menjadi tema


sentral di dalam seluruh refleksi filsafat, terutama metafisika.
Heidegger pun menjadi salah satu filsuf yang bergulat dengan tema
ini. Baginya konsep “ada” di dalam filsafat Aristoteles masihlah
kosong. Kekosongan itu diisi oleh para filsuf abad pertengahan dengan
ajaran-ajaran Kristiani, seperti yang misalnya dilakukan dengan sangat
mengagumkan oleh Thomas Aquinas. Pada filsuf neothomisme di
abad kedua puluh juga masih mengacu pada Aristoteles di dalam
refleksi mereka tentang substansi.119

Heidegger sendiri pun membutuhkan waktu lama untuk


melampaui tradisi berpikir Aristotelian ini. Bahkan menurut Frede
tulisan-tulisan Heidegger sebelum Being and Time, seperti pada
The Doctrine of Judgment in Psychologism (yang merupakan disertasi
doktoralnya) dan The Theory of Categories and Meaning of Duns
Scotus, tidak menunjukkan orisinalitas ataupun pemikiran-pemikiran
revolusioner. Andaikata ia puas dengan karya-karya itu, tentu saja
namanya tidak akan dikenal sebagai salah satu filsuf terbesar sepanjang
sejarah. Dan kita tentunya tidak akan menjadikan pemikirannya
sebagai tema diskusi.

Walaupun tidak dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner,


pemikiran-pemikiran Heidegger muda sebenarnya juga mengandung
argumen yang kuat. Ia berpendapat bahwa makna dari kesadaran

119 Lihat, ibid, hal. 46.


manusia tidak akan pernah bisa didapatkan hanya dengan sekedar
mengamati realitas dengan panca indera. Argumen ini membawanya
kepada fenomenologi Edmund Husserl. Kesadaran manusia berbeda
dengan apa yang disadarinya sebagai ada. Dalam hal ini kita perlu
membedakan isi pikiran itu sendiri, dengan obyek dari pikiran
tersebut. Orang bisa berpikir tentang makanan. Namun satu hal yang
pasti, bahwa pikiran itu sendiri bukanlah makanan. Arti dari pikiran
berbeda dengan tindak berpikir. Begitu pula konsep “ada” itu sendiri
berbeda dengan ada-ada lainnya yang melekat di dalam segala sesuatu
yang ada di dalam realitas.

Sewaktu muda pikiran Heidegger belum menyentuh upaya untuk


merumuskan konsep Ada sebagai sesuatu yang utuh dan universal. Ia
masih melihat ada sebagai sesuatu yang melekat pada benda-benda
lainnya. Perkembangan pesat di dalam pemikiran Heidegger muncul,
ketika ia menyelesaikan karya keduanya, yakni tentang pemikiran
Duns Scotus. Heidegger tertarik pada pemikiran Duns Scotus, karena
ia adalah filsuf pertama yang menolak sistem kategori dan substansi
Aristoteles. Bagi Scotus sistem Aristoteles tidaklah mencukupi untuk
memahami konsep Tuhan. Memang Scotus adalah seorang filsuf
abad pertengahan yang berusaha memberikan pemahaman rasional
terhadap konsep Tuhan. Baginya Tuhan tidak sama dengan substansi.
Kebaikan Tuhan juga tidak sama dengan kebaikan di dalam benda-
benda lainnya.

Menurut Heidegger pemikiran Scotus sudah membuka


kemungkinan untuk mengembangkan refleksi tentang “ada” yang
sama sekali baru. Dalam arti ini “ada” tidak hanya berlaku untuk
benda-benda, tetapi juga untuk manusia. Dengan kata lain “ada”
menjadi bagian dari seluruh realitas, termasuk realitas hakiki manusia.
Pertanyaan tentang “ada” bergeser menjadi pertanyaan tentang relasi
antara manusia dengan dunia. Bagi Scotus relasi antara dunia dan
manusia melibatkan konsep subyektivitas. Subyektivitas membuat
manusia mampu memaknai dunianya, dan proses pemaknaan itu


selalu melibatkan jaringan makna yang lebih luas. Tugas filsuf menurut
Heidegger adalah menjelaskan jaringan makna yang melatarbelakangi
tindak pemaknaan atas dunia tersebut. Jaringan makna itu adalah
struktur dari realitas. Itulah “ada”.120

Namun menurut Scotus konsep “ada” berbeda-beda untuk setiap


hal. Ia kemudian membedakan dua hal, yakni ada dari alam (being of
nature) dan ada dari akal budi (being of reason). Dalam arti ini kebenaran
yang ada di dalam akal budi tidak otomatis sama dengan kebenaran
yang ada di dalam alam. Pikiran adalah penanda. Sementara benda di
alam adalah petanda. Penanda dan petanda memang berhubungan,
tetapi tidak selalu sama. Tanda untuk menunjukkan dilarang merokok
tidak harus sama dengan orang yang ingin dilarang untuk merokok
bukan? Dalam hal ini Heidegger sependapat dengan Scotus. Heidegger
pun menolak teori cermin tentang realitas. Ia menolak bahwa pikiran
kita sungguh mencerminkan apa yang ada di dalam realitas.

Satu hal dari pemikiran Scotus yang kiranya sungguh


mempengaruhi Heidegger adalah, bahwa walaupun pikiran dan realitas
itu tidak selalu sama, namun keberadaan realitas itu sendiri ditentukan
oleh pengertian subyek tentangnya. Inilah yang disebut sebagai
subyektivitas yang obyektif (objective subjectivity). Yang obyektif adalah
adalah yang diberikan sebagai obyektif (object-givenness) oleh bahasa
kepada pikiran manusia. Di dalam karya terbesarnya yang berjudul
Being and Time, Heidegger menitikberatkan keterkaitan antara bahasa,
penafsiran, dan alam obyektif. Pemahaman manusia tidak pernah
merupakan pemahaman tentang dunia pada dirinya sendiri, melainkan
selalu sudah dijembatani oleh bahasa dan penafsiran. Dan penafsiran
maupun bahasa selalu sudah tertanam di dalam jaringan makna
kultural tertentu.

120 Lihat, ibid, hal. 49.


8.2. Being and Time
Lalu apa beda filsafat Heidegger dengan filsafat tradisional lainnya
yang banyak berbicara tentang “ada”? Ada jarak waktu 12 tahun,
sebelum Heidegger menulis karya terbesarnya yang berjudul Being and
Time dari karya sebelumnya. Menurut Frede gaya berfilsafat Heidegger
di dalam Being and Time sangat dipengaruhi oleh pemikiran Edmund
Husserl. Namun walaupun berhutang pada Husserl, Heidegger tetap
memiliki banyak perbedaan argumen dengannya. Setidaknya ada
dua bentuk pengaruh Husserl yang sangat jelas di dalam pemikiran
Heidegger. Yang pertama Heidegger sendiri sudah mengakui, bahwa
ia sangat terpengaruh oleh buku karangan Husserl yang berjudul
Logical Investigations. Pada waktu ia bertemu secara langsung dengan
Husserl, Heidegger kemudian menyadari betul peran fenomenologi
di dalam persoalan tentang ada. Dalam arti ini bisa juga dikatakan,
bahwa Being and Time adalah upaya Heidegger untuk menerapkan
metode fenomenologi untuk memahami “ada”.121

Walaupun sudah dibahas pada bab sebelumnya, ada baiknya


kita mengingat kembali inti dari fenomenologi Husserl. Salah satu
konsep kunci di dalam fenomenologi Husserl adalah intensionalitas.
Menurutnya setiap aktivitas manusia, baik fisik maupun mental, seperti
berpikir, selalu mengarah pada suatu fenomena obyektif di luar dirinya.
Dalam arti ini kesadaran tidak pernah kesadaran pada dirinya sendiri,
melainkan kesadaran akan sesuatu. Setiap obyek di luar diri manusia
hanya bisa dipahami sejauh obyek tersebut dipahami oleh kesadaran.
Jika ingin memahami hakekat dari semua benda-benda yang ada di
dunia, maka kita harus melihat kaitannya obyek itu dengan kesadaran
manusia yang mempersepsinya.

Husserl juga berpendapat bahwa isi dari kesadaran adalah sesuatu


yang murni, atau yang disebutnya sebagai aku murni (pure I). Aku
murni adalah dasar dari pengetahuan. Sementara fakta-fakta dunia

121 Bdk, ibid, hal. 52.


hanyalah kemungkinan. Jika kita ingin mengetahui hakekat dari
obyek di luar diri kita, maka yang harus kita lakukan justru adalah
memahami kesadaran yang membuat kita bisa mengetahui obyek
tersebut. Husserl berpendapat bahwa inti dari filsafat bukalah obyek
empiris, melainkan isi dari kesadaran manusia. Dalam arti ini filsafat,
terutama fenomenologi Husserl, memang menjadi pendekatan yang
berpusat pada ego manusia.

Husserl dapat dianggap sebagai seorang filsuf subyektivis


transendental (transcendental subjectivist). Subyektivisme transendental
sendiri adalah paham yang berpendapat, bahwa subyektivitas
merupakan sumber dari semua bentuk pengetahuan, pikiran, dan
pengalaman manusia. Lalu dimanakah tempat dunia eksternal?
Husserl masih memberikan tempat besar bagi dunia fisik eksternal.
Namun di dalam fenomenologi, dunia eksternal berusaha ditunda
terlebih dahulu, sehingga pemahaman subyek tentang dunianya bisa
tampak. Yang menjadi fokus utama fenomenologi adalah pengalaman
subyek dan isi kesadarannya, ketika berusaha memahami dunia.

Heidegger setuju dengan Husserl, ketika ia menyatakan bahwa


“ada” dari benda-benda terletak di dalam pengertian manusia tentang
benda-benda tersebut. Namun setidaknya ada empat hal dari pemikiran
Husserl yang tidak disetujui oleh Heidegger. Yang pertama adalah
ia tidak setuju dengan kecenderungan Husserl untuk memusatkan
seluruh analisisnya pada manusia sebagai subyek. Fakta bahwa manusia
bisa sadar akan sesuatu tidak menjamin, bahwa ia memahaminya
secara utuh. Di dalam tulisan-tulisannya, Heidegger menunjukkan
bahkan pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri juga bisa jatuh
dalam kesalahan.122 Yang kedua Heidegger tidak setuju dengan konsepsi
Husserl tentang “menaruh di dalam kurung”. Tidak mungkin manusia
bisa menaruh di dalam kurung pertimbangan-pertimbangannya
tentang dunia eksternal. Sebaliknya pertimbangan-pertimbangan itu

122 Lihat, ibid, hal. 53.


harusnya dijadikan bagian utuh dari proses penafsiran manusia atas
dunianya.

Yang ketiga menurut Heidegger, filsafat Husserl nantinya akan


terkurung ke dalam subyektivisme, yakni paham yang berpendapat,
bahwa dunia luar berada di dalam diri manusia. Memang Husserl
mengatakan bahwa kesadaran selalu terarah pada obyek, dan
keberadaan obyek sangatlah tergantung pada kesadaran manusia.
Paham itu bisa dengan mudah digeser menjadi pernyataan, bahwa
obyek, atau dunia luar itu sendiri, berada di dalam kesadaran manusia.
Yang keempat bagi Heidegger, fenomenologi Husserl masih terjebak
pada filsafat tradisional, yakni bahwa kesadaran adalah sesuatu yang
bisa diselidiki dengan cara menciptakan refleksi yang berjarak dari
manusia itu sendiri. Penolakan terhadap pandangan-pandangan
Husserl ini membantu Heidegger merumuskan pandangannya sendiri
di dalam karya terbesarnya, yakni Being and Time.123

Buku Being and Time memiliki dua proyek dasar. Yang pertama
adalah proyek untuk merumuskan cara baru dalam menafsirkan
seluruh sejarah filsafat. Yang kedua adalah klarifikasi konsep “ada” itu
sendiri. Proyek yang kedua memang telah lama menjadi obsesi pribadi
Heidegger. Dalam bahasa teknis Heidegger, kedua proyek itu disebut
juga sebagai Ontological Analytic of Dasein as Laying Bare the Horizon
for an Interpretation of the Meaning of Being in General dan Destroying
the History of Ontology.

Karena Heidegger sendiri memang terobsesi dengan proses untuk


menghancurkan ontologi, maka saya, dengan mengacu pada Frede, akan
menerangkan proyek ini terlebih dahulu. Tidak ada nuansa kekerasan
di dalam pemikiran Heidegger, walaupun ia memang menggunakan
kata Destruktion. Di dalam bahasa Jerman, arti kata itu agak berbeda
dengan terjemahan Inggrisnya, yakni destruction. Kata Desttuktion lebih
berarti suatu upaya untuk membuktikan adanya kesalahan berpikir di

123 Lihat, ibid.


dalam filsafat Kant, Descartes, dan Aristoteles. Kesalahan berpikir itu
bukanlah sesuatu yang disengaja, namun memang tak terhindarkan.

Menurut Heidegger seluruh sejarah metafisika dan ontologi di


dalam filsafat barat mengalami apa yang disebutnya kelupaan akan
“ada” (forgetfulness of being). Para filsuf berpikir bahwa “ada” itu tidak
memiliki konsep yang konkret, dan juga bahwa “ada” hanya bisa
dipahami melalui “pengada-pengada” (beings), seperti manusia, tuhan,
konsep-konsep, dan sebagainya. Cara berpikir ini sebenarnya sudah
dimulai sejak Aristoteles. Bagi Aristoteles segala sesuatu yang tidak
memiliki kategori-kategori “ada”, seperti kualitas, kuantitas, substansi,
dan sebagainya, berarti tidak bisa diketahui. Maka dari itu seperti
sudah ditulis sebelumnya, “ada” hanya dapat diketahui melalui benda-
benda konkret di dalam realitas.124

Heidegger juga tidak setuju dengan pandangan tradisional yang


mengatakan, bahwa “ada” merupakan konsep yang independen dari
pikiran manusia. Baginya inilah sebab kebuntuan berbagai refleksi
filsafat tentang “ada” di dalam sejarah, yakni ketika “ada” dipandang
sebagai obyek yang keberadaannya dapat dilepaskan dari manusia
sebagai sosok pengamat. Filsafat Descartes dan Kant, yang memang
sangat berpusat pada subyek, juga tidak mengurangi kesulitan di
dalam memahami “ada” tersebut. Manusia seolah adalah subyek yang
memandang dunia sebagai obyek secara berjarak. Jika manusia adalah
subyek yang terpisah dari dunia sebagai obyeknya, maka bagaimana ia
bisa tahu mengenai dunianya? Ini adalah salah satu tema penting di
dalam epistemologi, yakni refleksi filsafat pengetahuan.

Pertanyaan yang juga muncul dari argumen ini adalah, bagaimana


kita bisa menjamin kebenaran, jika pengetahuan hanya merupakan
impresi dari subyek atas dunia? Kant dengan filsafatnya hendak
menjawab pertanyaan itu. Namun ia sendiri tampaknya masih terjebak
pada konsep benda-pada-dirinya-sendiri. Konsep ini seolah tidak bisa

124 Lihat, ibid, hal. 60.


dipahami, karena berada di luar pemahaman manusia. Jadi walaupun
konsep benda-pada-dirinya-sendiri tidak bisa diketahui, namun di
dalam pemikiran Kant, konsep itu menempati peran yang sangat
penting di dalam proses pembentukan realitas itu sendiri. Dengan
tidak jelasnya konsep itu, bagi Heidegger, filsafat Kant belum secara
radikal memberikan terobosan di dalam ontologi dan metafisika.

Heidegger lebih jauh berpendapat, bahwa seluruh problem di


dalam filsafat modern muncul, karena terpisahnya subyek, yakni
manusia, dari obyek, yakni dunia yang dipersepsinya. Inilah yang
disebut Heidegger sebagai ‘membelah dan menghancurkan fenomena’
(splitting asunder of the phenomena). Keterpisahan subyek manusia
dan dunia obyektif yang dipersepsinya adalah penyebab utama dari
begitu banyak problem di dalam filsafat yang tidak terselesaikan secara
tuntas.125 Heidegger juga menyebut sikap ini sebagai sikap alamiah
(natural way) yang mengisolasi obyek dari subyek, dan sebaliknya.
Sikap berjarak memang diperlukan, baik di dalam refleksi filsafat yang
mendalam maupun di dalam ilmu pengetahuan. Namun orang tetap
harus ingat, bahwa sikap berjarak itu sifatnya artifisial, yakni hanya
untuk memperoleh pengetahuan dari satu sisi saja, dan tidak dari
keseluruhan aspek.

Di dalam ilmu-ilmu positivis, seperti psikologi positivistik, seorang


pengamat dianggap memiliki status istimewa terhadap obyek yang
diamati. Cara pandang positivistik ini menganggap obyek, yang sering
juga adalah manusia itu sendiri, adalah subyek yang tidak memiliki
dunia (worldless). Cara pandang semacam inilah yang ingin ditentang
secara keras oleh Heidegger. Baginya manusia yang merupakan subyek
pengamat adalah bagian dari dunia yang sama dari obyek yang diamati,
yakni dunia. Manusia adalah mahluk yang selalu ada di dunia (being in
the world) bersama dengan benda-benda fisik maupun mahluk hidup
lainnya. Konsekuensinya manusia adalah mahluk yang ada bersama

125 Lihat, ibid, hal. 61.


(being among) dan terlibat (involve) dengan dunia yang sudah selalu
ada.

Namun sampai akhir hidupnya, Heidegger tidak pernah


menyelesaikan proyek destruksi metafisikanya. Buku yang membuat
pemikirannya dikenal banyak orang, Being and Time, tidak pernah
selesai. Niat Heidegger untuk melakukan destruksi metafisika-
ontologi, dan sekaligus mengajukan suatu cara baru untuk memahami
“ada”, tampaknya memang tidak akan pernah tercapai. Pada bagian
kedua Being and Time, ia sendiri berniat untuk membalikkan proyek
buku itu, yakni menjadi Time and Being. Namun tampaknya ia tidak
pernah bisa menyelesaikan proses penulisannya, dan segera beralih ke
tema-tema filosofis lainnya.

Di dalam Being and Time, Heidegger hendak memahami “ada”


dari seluruh realitas dalam artinya yang paling dinamis, sesuai dengan
perkembangan dan perubahan realitas itu sendiri. Di dalam metafisika-
ontologi tradisional, konsep “ada” tidak dipahami dalam temporalitas
waktu. Padahal konsep waktu seperti yang selalu ditekankan Heidegger
sangat terkait dengan konsep “ada” itu sendiri. Untuk mengubah
pemahaman tentang “ada”, Heidegger lalu mencoba memahami “ada”
melalui mahluk yang mampu memikirkan dan menanyakan “ada”,
yakni manusia sendiri. Bagi Heidegger manusia bukanlah entitas yang
terisolasi, ataupun tidak memiliki dunia sebagai latar belakangnya.
Manusia adalah mahluk yang dari dasar dan hakekatnya sudah
dibentuk oleh dunia.

Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa modus mengada (modes


of being) dari manusia adalah ada-bersama-dunia, ada-di-dalam-
dunia, dan sekaligus ada-disana. Namun ketiga modus mengada itu
pun belum mencukupi. Modus mengada hanya berlaku untuk manusia
yang menanyakan “ada”, dan bukan untuk “ada” itu sendiri. Di dalam
Being and Time, Heidegger memang banyak menganalisis tentang
manusia sebagai mahluk penanya “ada”, dan bukan “ada” itu sendiri.


Jika Heidegger tidak melanjutkan refleksi filsafatnya, maka sebenarnya
ia tidak beranjak jauh dari pemikiran Husserl. Heidegger hanya
melukiskan modus mengada manusia dalam kaitannya dengan dunia,
tanpa menusuk langsung ke pertanyaan tentang “ada” itu sendiri, yang
seharusnya menjadi inti dari proyek filosofisnya.126

Namun untungnya filsafat Heidegger maju lebih jauh. Ia


pertama-tama memperkenalkan konsep perawatan/memelihara (care).
Memelihara sendiri adalah relasi dasar antara manusia dengan alam.
Karena manusia selalu berada di dalam relasi keterlibatan (involvement)
dengan alam, maka sudah selayaknya ia ikut merawat dan memelihara
alam itu sendiri. Tindak memelihara disini bukanlah tindakan amal,
melainkan sudah melambangkan relasi fundamental antara manusia
dengan alam, dan sebaliknya.

Heidegger juga berpendapat bahwa manusia adalah bagian dari


alam keseluruhan, karena ia selalu ada-di-dalam-dunia (being in the
world). Jadi manusia dan alam berada di dalam kesatuan ontologis
yang utuh serta tak terpisahkan. Maka dari itu sikap yang tepat dari
manusia terhadap alam adalah sikap yang memperlakukan alam
sebagai bagian dari diri manusia itu sendiri. “Kita”, demikian tulis
Frede dalam tulisannya tentang Heidegger, “memproyeksikan diri kita
sendiri, seluruh eksistensi kita, ke dalam dunia dan memahami diri
kita dan semua hal di dunia ini dalam bentuk kemungkinan bentukan
kita tentang diri kita sendiri.”127 Manusia dan alam adalah satu, karena
gambaran tentang dunia adalah gambaran manusia tentang dunia.
Kedua hal itu tidak bisa dipisahkan.

Segala sesuatu bisa diketahui, karena manusia memaknainya.


Dan makna itu bisa diterima, karena kita, manusia, adalah bagian dari
pemaknaan itu sendiri. Di dalam dunia manusia membangun dan
mencipta ulang dirinya sendiri. Segala sesuatu yang bermakna bagi

126 Lihat, ibid, hal. 63.


127 Ibid, hal. 64.


manusia juga sudah selalu terletak di dalam dunia. Manusia dan dunia
adalah suatu proyek. Proyek adalah suatu harapan akan masa depan.
Harapan akan masa depan itu tidak didasarkan pada kekosongan,
melainkan pada pengertian kita tentang dunia yang ada sekarang ini.
Masa lalu memang mempengaruhi manusia, namun manusia tetap
terikat dan tertanam di dalam masa kini. Kekinian itulah dunia (world)
yang mengikat dan memberikan makna bagi kehidupan kita sehari-
hari. Manusia terhisap di dalam temporalitas kekinian, dan kekinian
itulah yang mengikat manusia dengan dunia. Manusia selalu terlibat
dengan dunia di dalam kekiniannya.

Inilah inti dari konsep temporalitas (temporality) di dalam filsafat


Heidegger. Dengan konsep itu ia tidak hanya mau mengatakan, bahwa
manusia itu adalah mahluk yang hidup dalam waktu, atau memiliki
intuisi tentang waktu, melainkan bahwa manusia hidup dalam tiga
dimensi waktu sekaligus, yakni berharap untuk masa depan, mengingat
apa yang sudah berlalu, dan terhisap serta terikat di dalam kekinian
(presentness). Keserentakan dari ketiga momen itu, yakni yang lalu,
sekarang, dan masa depan, itulah yang disebut sebagai temporalitas,
menurut Heidegger. Dalam arti ini kekinian murni (here and now)
adalah suatu ilusi, karena manusia tidak pernah berada di dalam
kekinian murni, melainkan selalu sudah menghidupi dirinya dalam
ketiga momen, yakni masa lalu, masa kini, dan masa depan.

8.3. Fenomenologi sebagai Ontologi


Dalam arti apakah fenomenologi menjadi ontologi di tangan
Heidegger? Fenomenologi adalah ilmu tentang fenomena. Secara
spesifik fenomenologi ingin kembali kepada obyek itu sendiri.
Artinya fenomenologi menolak semua rumusan teori, asumsi, maupun
prasangka yang seringkali justru mengaburkan proses untuk mencapai
pengetahuan. Fenomenologi ingin memahami esensi dari kesadaran
manusia, sebagaimana dilihat dari sudut pandang orang pertama. Di


tangan Husserl fenomenologi menjadi suatu displin tersendiri yang
berbeda dari ilmu-ilmu manusia lainnya.

Heidegger melihat potensi besar di dalam fenomenologi. Namun ia


tidak lagi menggunakannya semata untuk memahami esensi kesadaran
manusia. Fokus dari filsafat Heidegger adalah untuk memahami “ada”.
Jadi dia menerapkan fenomenologi untuk memahami “ada”. Dalam
arti inilah fenomenologi berubah menjadi ontologi. Untuk memahami
“ada” Heidegger awalnya mencoba memahami mahluk penanya “ada”,
yakni manusia itu sendiri, yang selalu berelasi dengan dunia. Manusia
dan dunia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Manusia dan
dunia itulah “ada” itu sendiri. “Ada” yang tidak terjebak pada ada-ada
lainnya di dalam realitas, melainkan “ada” yang menjadi realitas itu
sendiri. Filsafat Heidegger adalah suatu upaya untuk memahami “ada”
yang menyingkapkan dirinya.

9. Teori Kritis Kontemporer


Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat bagaimana Heidegger,
dengan menggunakan fenomenologi dan mengubahnya menjadi
ontologi, berupaya untuk memahami “ada” yang adalah realitas itu
sendiri. Filsafat Heidegger memang terkesan abstrak, dan tidak memiliki
relevansi langsung untuk kehidupan. Namun sebenarnya Heidegger
ingin mengajak kita untuk lebih memahami keterkaitan diri kita sebagai
manusia dengan dunia dalam relasi yang sifatnya konstruktif dan positif.
Manusia dan dunia adalah “ada” itu sendiri. Keduanya tak terpisahkan
dan selalu hidup dalam relasi kesatuan yang utuh. Ontologi adalah
penyelidikan rasional dan sistematis tentang “ada” itu sendiri, dan “ada”
itu selalu melibatkan dunia, di mana manusia termasuk di dalamnya.

Pada bagian ini saya ingin memperkenalkan anda dengan suatu


tradisi berpikir yang disebut sebagai teori kritis. Teori kritis sifatnya
angat konkret, karena langsung berhadapan dengan persoalan-persoalan
sosial yang mendesak di dalam masyarakat. Sebagai acuan teks saya
menggunakan tulisan Axel Honneth, yang banyak dianggap sebagai


tokoh teori kritis kontemporer, yang berjudul The Social Pathology of
Reason: On the Intellectual Legacy of Critical Theory.128 Teori kritis memang
mencapai puncak kejayaannya pada awal dan pertengahan abad kedua
puluh. Sekarang ini banyak orang menganggapnya tinggal sekedar artifak
yang tidak lagi relevan.

Memang harus diakui banyak analisis tajam yang dibuat oleh para
pemikir Teori Kritis pada awal abad kedua puluh sudah jauh terpisah
dengan realitas sekarang ini. Namun sekarang ini banyak pemikir muda
yang mendedikasikan karya-karya mereka untuk mengembangkan
analisis teori kritis ini. Tokoh yang pertama kali mengembangkan teori
kritis secara sistematis adalah Horkheimer dan Marcuse. Mereka adalah
para filsuf kontemporer. Walaupun dapat dinilai sebagai bagian dari filsuf
kontemporer, namun banyak analisis mereka sudah terasa ketinggalan
jaman. Itulah yang menjadi pendapat Axel Honneth.

Teori kritis tradisional yang dipelopori oleh Max Horkheimer dan


Theodor Adorno banyak menjadikan filsafat Hegel dan Freud sebagai
dasar pemikiran mereka. Di dalam tradisi berpikir semacam itu, akal budi
(reason) masih menjadi titik tolak untuk membaca dan memahami gerak
sejarah. Akal budi dianggap sebagai kemampuan universal manusia untuk
bersikap kritis terhadap dinamika masyarakat. Akan tetapi keyakinan
besar pada kemampuan akal budi tersebut tampak tidak lagi relevan
sekarang ini. Banyak filsuf dan intelektual pada umumnya sekarang ini
sudah mulai sadar akan pluralitas budaya, sekaligus pluralitas konsep akal
budi itu sendiri. Di dalam wacana postmodernisme, akal budi dianggap
merupakan salah satu narasi besar yang mengklaim dirinya universal.
Padahal sebenarnya kemampuan dan isi dari akal budi sangatlah
tergantung pada kultur yang sifatnya lokal dan partikular.129

128 Pada bab ini saya mengacu pada Honneth, Axel, “The Social Pathology of Reason: On
the Intellectual Legacy of Critical Theory”, dalam Cambridge Companion to Critical
Theory, Cambridge University Press, Cambridge, 2004, hal. 336.
129 Lihat, ibid, hal. 337.


Ciri khas dari Teori Kritis, yang banyak juga dikenal sebagai sekolah
Frankfurt, adalah keyakinannya pada kemampuan rasio manusia untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di dalam kehidupan
sosial. Namun ciri itu kini sudah banyak ditinggalkan, karena banyak
filsuf tidak lagi yakin, bahwa akal budi mampu menyelesaikan semua
persoalan kehidupan sosial manusia. Akal budi itu sifatnya partikular dan
jamak. Tidak ada akal budi universal yang mampu menjadi titik tolak
untuk pembebasan manusia, seperti yang dicita-citakan oleh Adorno dan
Horkheimer. Salah satu alasannya adalah, karena akal budi manusia telah
dipersempit menjadi melulu soal-soal teknis instrumental, dan telah
kehilangan kemampuan kritisnya. Misalnya di dalam sistem masyarakat
kapitalis, akal budi lebih banyak digunakan untuk mencari uang dengan
berbagai cara, daripada digunakan untuk bersikap kritis guna mencegah
dampak-dampak negatif dari kapitalisme itu sendiri.

Secara umum dapatlah dikatakan, bahwa kecenderungan para


filsuf sekarang ini tidak lagi ingin membuka struktur sosial yang tidak
adil, melainkan ingin lebih memahami konsep keadilan yang memang
seringkali sifatnya lokal dan partikular. Artinya ketidakadilan itu
bukanlah sesuatu yang melulu universal, melainkan memiliki aspek lokal
partikular yang harus dipahami terlebih dahulu. Jika proses pencerahan
dan pembebasan hendak dilakukan, maka kita harus terlebih dahulu
memahami ketidakadilan lokal yang terjadi, dan kemudian berusaha
memberikan pengertian pada orang-orang yang tertindas tersebut untuk
memperjuangkan hak-hak mereka.

Di dalam salah satu tulisannya, yang memang bertujuan untuk


merumuskan proyek teori kritis secara baru, Axel Honneth hendak
menantang pendekatan yang hanya berusaha memahami lokalitas dan
partikularitas dari suatu gejala ketidakadilan sosial. Ia ingin merumuskan
suatu teori kritis yang bersifat universal sekaligus historis. Untuk bisa
mewujudkan proyek itu, ia kemudian menempuh tiga langkah. Yang
pertama Honneth hendak menegaskan kembali ide-ide dasar teori kritis
tradisional, terutama yang terkait dengan kritik terhadap kapitalisme.


Yang kedua ia juga ingin menegaskan, bahwa kapitalisme merupakan
akar penyebab dari lemahnya cara berpikir kritis di dalam masyarakat.
Dan yang ketiga ia ingin merumuskan suatu praksis politik yang tepat
untuk menghadapi problem-problem yang muncul di dalam masyarakat
kontemporer. Proyek besar dari Honneth adalah merumuskan suatu
bentuk teori kritis yang relevan dan cocok dengan problem-problem
yang dihadapi masyarakat sekarang ini. Dapat juga dibilang Honneth,
dengan arah dan isi argumentasinya, adalah generasi ketiga teori kritis
Frankfurt setelah Horkheimer dan Adorno (generasi pertama), serta
Jürgen Habermas (generasi kedua).

Pada dasarnya teori kritis adalah suatu gaya berpikir yang merentang
ke berbagai bidang. Maka dari itu sangatlah sulit untuk menemukan
satu kesatuan utuh di dalamnya. Namun menurut Honneth ada satu
kesamaan yang mendasari seluruh pemikir di dalam ranah teori kritis,
yakni sikap negatifnya pada realitas faktual. Artinya mayoritas pemikir
teori kritis bersikap negatif dan curiga terhadap semua situasi sosial
yang terjadi, bahkan yang tampak paling positif sekalipun. Honneth
menyebut ini sebagai negativitas sosial (social negativism). Setiap kondisi
sosial tidak pernah merupakan suatu situasi yang positif, karena selalu
menyembunyikan ketidakadilan sosial. Di tangan Honneth teori kritis
tidak lagi hanya berfokus soal keadilan sosial, tetapi juga pada soal
keadilan kultural (terkait dengan konsep hidup yang baik), yakni iklim
yang menghambar perkembangan kultural suatu masyarakat.130

Menurut Honneth teori kritis selalu melibatkan dua kategori


analisis, yakni apa yang patologis (misalnya krisis di dalam masyarakat),
dan apa yang tidak patologis (yang seharusnya terjadi). Horkheimer
misalnya pernah merumuskan konsep organisasi yang tidak masuk akal
(irrational organization). Adorno pernah merumuskan konsep dunia
yang teradministrasi (administered world). Marcuse merumuskan konsep
masyarakat satu dimensi (one dimensional society) dan konsep toleransi

130 Lihat, ibid, hal. 338.


represif (repressive tolerance). Dan Habermas kemudian merumuskan
konsep kolonisasi dunia kehidupan (colonization of lifeworld). Semua
konsep itu sebenarnya menggambarkan satu hal, bahwa masyarakat yang
ada sekarang ini mengalami berbagai krisis dan masalah sosial. Bentuk
krisis dan masalah sosial tersebut bisa diamati di dalam analisis-analisis
para pemikir teori kritis, sesuai dengan gayanya masing-masing.

Menurut Honneth ada satu hal yang kiranya bisa ditemukan di dalam
pemikiran para filsuf tersebut, yakni mereka menjadikan lemahnya sikap
kritis dan rasionalitas masyarakat sebagai sebab utama dari krisis sosial
yang terjadi. “Mereka”, demikian Honneth, “menjaga relasi internal antara
relasi-relasi patologis dan kondisi dari rasionalitas sosial.”131 Konsekuensi
logisnya adalah bahwa sikap kritis dari rasionalitas masyarakat (social
rationality) haruslah dibangkitkan ulang. Jika teori kritis generasi ketiga,
yang berfokus pada masalah-masalah kontemporer hendak dirumuskan,
maka konsep rasio kritis harus juga dirumuskan ulang sesuai kondisi-
kondisi sekarang.132

Untuk membangkitkan rasio kritis guna menanggapi problem-


problem sosial kontemporer, Honneth lalu menimba kembali ide-ide
dari filsafat Hegel, terutama di dalam buku Hegel tentang filsafat politik,
yakni Philosophy of Right. Menurut tafsiran Honneth buku Philosophy
of Right tulisan Hegel mencoba menganalisis lenyapnya makna dari
kehidupan politik pada masa itu. Dan bagi Hegel cara mengembalikan
makna adalah dengan membangkitkan rasio obyektif di dalam sejarah.
Rasio obyektif itu sudah ada, namun tertutup oleh hiruk pikuk sejarah
dan krisis sosial yang terjadi.

Konsep rasio di dalam filsafat Hegel, menurut Honneth, sangatlah


komprehensif. Hegel berusaha menggabungkan konsep rasio universal
yang bergerak di dalam sejarah dalam bentuk peradaban di satu sisi,
dan tuntutan etika yang sifatnya lokal dan partikular di sisi lain. Setiap

131 Ibid.
132 Lihat, ibid, hal. 339.


orang diharapkan mampu mempertimbangkan aspek-aspek sejarah yang
dominan pada situasi sekarang, dan mulai mengkaitkan aspek-aspek itu
dengan nilai-nilai kehidupan yang lebih bersifat lokal dan partikular.
Jika hal itu bisa dilakukan, maka mereka akan menjalani hidup yang
bermakna. Hegel memberikan tempat bagi bentuk-bentuk pemikiran
dominan, sekaligus bentuk-bentuk pemikiran yang sifatnya lokal. Yang
terakhir ini disebut Hegel sebagai etika (ethics). Ia juga yakin bahwa semua
krisis sosial terjadi, karena ketidakmampuan masyarakat menghidupi dan
mengekspresikan nilai-nilai lokal yang mereka punyai. Mereka tidak
mampu menegaskan dan mengekspresikan identitas lokal mereka.

Honneth juga berpendapat bahwa suatu masyarakat bisa


berkembang, jika mereka tetap menjadikan rasionalitas sebagai tolok
ukur semua nilai dan keputusan sosial yang ada. Rasionalitas dapat
menjadi dasar yang kokoh untuk memandu kehidupan orang-orang
yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Di dalam masyarakat kapitalis,
rasionalitas disempitkan melulu menjadi soal cara untuk memperoleh
dan mengembangkan modal. Dalam situasi ini rasionalitas tidak
dijadikan titik tolak untuk membuat keputusan sosial, melainkan hanya
disempitkan pada cara-cara untuk memperoleh keuntungan.

“Setiap anggota masyarakat”, demikian tulis Honneth,


“haruslah setuju bahwa untuk menciptakan kehidupan bersama
yang berhasil dan tidak terdistorsi hanyalah mungkin jika semua
anggota masyarakat mengarahkan diri mereka berdasarkan pada
prinsip ataupun institusi yang dapat dimengerti sebagai tujuan
rasional dari aktualisasi diri.”133

Krisis sosial terjadi ketika sebuah masyarakat kehilangan pijakannya


terhadap rasionalitas untuk membuat keputusan yang terkait dengan
kehidupan bersama.

133 Ibid, hal. 340.


Dengan demikian rasionalitas manusia yang bersifat universal dan
etika kultural yang bersifat partikular harus bisa memperoleh tempat
yang semestinya di dalam kehidupan sosial. Konsep rasionalitas universal
memang terdengar abstrak. Akan tetapi konsep itu sebenarnya sangat
mengakar di dalam aktivitas manusia, dan bahkan di dalam kemanusiaan
itu sendiri. Horkheimer mempunyai dimensi itu di dalam filsafatnya,
terutama ketika ia merumuskan pernyataan, bahwa manusia sudah
pada dasarnya terarah untuk menguasai alam dengan menggunakan
rasionalitasnya. Dan penguasaan itu memang ditujukan untuk
mengembangkan kehidupannya. Salah satu pemikir teori kritis terbesar,
Karl Marx, pernah menyatakan bahwa krisis sosial terjadi, karena
rendahnya standar rasionalitas di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat
tersebut, rasionalitas disempitkan untuk semata-mata melakukan
produksi. Rasio absen dari dimensi-dimensi kehidupan manusia lainnya.

Rekan Horkheimer sekaligus salah satu tokoh teori kritis generasi


pertama, yakni Herbert Marcuse, pernah mengajukan pendapat, bahwa
rasionalitas universal manusia dapat ditemukan di dalam praksis estetika.
Estetika adalah alat untuk menciptakan integrasi sosial, terutama
integrasi sosial yang didasarkan pada identitas di dalam dunia kehidupan
manusia, yang memang belum terstruktur menjadi sistem. Generasi
kedua teori kritis, yakni Jürgen Habermas, menterjemahkan konsep
rasionalitas universal di dalam filsafat Hegel menjadi proses komunikasi
rasional untuk menemukan kesalingpengertian antara kedua belah pihak
yang berbeda latar belakang tentang satu masalah sosial yang sama.
Rasionalitas universal yang bergerak di dalam sejarah diterjemahkan di
dalam proses komunikasi antar manusia yang melibatkan bahasa untuk
mencapai kesepakatan rasional.

Tokoh-tokoh yang saya sebutkan di atas, Karl Marx, Horkheimer,


Adorno, Marcuse, dan Habermas, adalah tokoh-tokoh penting di dalam
teori kritis, terutama teori kritis sekolah Frankfurt. Di balik semua teori
mereka, ada satu ciri yang kurang lebih sama, yakni keyakinan akan
peran rasionalitas universal manusia sebagai alat untuk mengembangkan


kehidupan sosial. Rasionalitas universal tersebut kemudian diterjemahkan
dalam bentuk tindakan konkret manusia di dalam masyarakatnya.
Kesatuan masyarakat yang adil dan makmur hanya dapat tercipta, jika
rasionalitas sungguh mewujud nyata di dalam tindakan orang-orang
yang hidup di dalamnya. “Proses menjauh dari dunia ideal yang dapat
dicapai dengan aktualisasi sosial dari akal budi universal”, demikian tulis
Honneth, “dapat disebut juga sebagai patologi sosial, karena di dalamnya
tidak terjadi aktualisasi diri yang didasarkan pada intersubyektivitas.”134

Walaupun sama-sama mengandaikan kekuatan dari rasionalitas


universal di dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul di dalam
kehidupan manusia, namun para filsuf teori kritis memiliki perbedaan
di dalam pemahaman mereka soal rasionalitas universal tersebut.
Horkheimer misalnya yakin bahwa rasionalitas memungkinkan orang
untuk mengembangkan diri seutuhnya, dan mewujudkan semua potensi
yang ia miliki semaksimal mungkin. Jika semua warga masyarakat
hidup dan bertindak dengan rasionalitas, maka akan tercipta apa yang
disebutnya sebagai komunitas orang-orang bebas (community of free
human beings). Pandangan Habermas agak berbeda dengan Horkheimer.
Horkheimer percaya bahwa rasionalitas bisa menjadi alat sekaligus tujuan.
Sementara bagi Habermas rasionalitas hanyalah penjamin suksesnya
proses komunikasi untuk mencapai kesepakatan. Rasionalitas sifatnya
proseduralistik dan bukan substantif.

Namun begitu para pemikir teori kritis kiranya juga yakin bahwa,
selain kekuatan rasionalitas manusia, faktor kebebasan juga memainkan
peranan penting. Kebebasan yang dimaksud disini adalah kebebasan yang
sifatnya kooperatif (cooperative freedom). Ada dua hal yang terkandung di
dalam konsep kebebasan ini. Yang pertama adalah bahwa orang memiliki
kemampuan dan kemauan untuk memilih cara-cara yang dianggapnya
perlu guna mewujudkan potensi-potensi dirinya semaksimal mungkin.
Yang kedua kepenuhan potensi diri itu hanya bisa dicapai, jika secara

134 Ibid, hal. 341.


langsung beririsan dengan kebaikan seluruh masyarakat (common good).
Kebaikan bersama seluruh masyarakat adalah kebaikan yang telah
disepakati secara rasional oleh seluruh warga masyarakat yang memiliki
kebebasan individual untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya.

Isu-isu yang dibuka oleh para pemikir teori kritis Frankfurt kini
berlanjut di dalam perbebatan antara liberalisme dan komunitarianisme.
Jürgen Habermas yang memang banyak dianggap sebagai tokoh terbesar
teori kritis juga terlibat secara aktif di dalam perdebatan itu. Filsafat
Habermas memang lebih kental nuansa liberalisme, terutama karena ia
sangat menekankan pentingnya otonomi individu.135 Di dalam filsafatnya
ia yakin, bahwa kebebasan individu haruslah berada dalam relasi dengan
kebaikan bersama. Keduanya tidaklah bisa dipisahkan. Dalam arti ini
filsafatnya lebih mendalam dan radikal daripada liberalisme, yang hanya
menjadikan kebebasan individu sebagai titik tolak, tanpa ada usaha
konkret untuk mengkaitkannya dengan kebaikan bersama. Kebaikan
bersama itu biasanya tertanam di dalam keyakinan-keyakinan yang
terdapat di dalam kehidupan sosial. Di dalam keyakinan-keyakinan
itulah proses komunikasi bisa berlangsung. Dengan demikian proses
komunikasi pertama-tama mengandaikan adanya kesamaan titik pijak
sekaligus keberadaan individu yang memiliki kebebasan.

Komunikasi memang menjadi tema utama filsafat Habermas,


terutama komunikasi di dalam proses pembentukan hukum dan tata
politik yang sah. Komunikasi mengandaikan konsep subyek yang bersifat
intersubyektif. Artinya konsep subyek selalu terkait dengan subyek-
subyek lainnya, dan tidak pernah berdiri sendiri. Konsep subyek ini
tentunya berbeda dengan konsep subyek di dalam liberalisme. Di dalam
liberalisme subyek dipandang sebagai sesuatu yang otonom, bebas, dan
tidak terkait dengan subyek-subyek lainnya. Sementara di dalam tradisi

135 Lihat, Reza A.A Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Yogyakarta,
2007.


teori kritis, subyek justru bisa mengembangkan dirinya, sejauh ia terlibat
dan menghidupi nilai-nilai sosial yang ada di dalam masyarakatnya.

Dalam konteks perdebatan liberalisme dan komunitarianisme,


teori kritis memiliki posisi yang tegas, yang sekaligus membedakannya
dari kedua aliran tersebut. Yang pertama teori kritis menegaskan
pentingya aspek intersubyektif dari manusia. Artinya pengembangan
diri yang maksimal hanya dapat terwujud, jika subyek selalu berada di
dalam relasi dengan subyek-subyek lainnya. Jika setiap orang memiliki
kesadaran akan intersubyektivitas di dalam dirinya, maka akan tercipta
kerja sama di level sosial yang sungguh didasari oleh solidaritas. Sebuah
komunitas yang didasari atas solidaritas yang otentik dari masing-masing
warganya masih merupakan komunitas ideal cita-cita para pemikir teori
kritis. Masyarakat atau komunitas semacam itu hanya bisa tercipta di
dalam terang rasionalitas yang digunakan untuk menerangi kehidupan
bersama.

Teori kritis setidaknya memiliki tujuan dasar. Yang pertama adalah


membongkar kesesatan-kesesatan berpikir dan bertindak di dalam
masyarakat kapitalis, dan yang kedua adalah menawarkan sebuah teori
untuk melakukan pembebasan dari kesesatan-kesesatan semacam itu.
Dengan demikian teori kritis sungguh ingin menjadi suatu kritik sosial
terhadap kapitalisme, sekaligus teori dengan maksud praktis untuk
membebaskan masyarakat dari belenggu negatif kapitalisme yang
menciptakan banyak krisis sosial. Proses pembebasan atau emansipasi
tersebut ditempuh dengan pertama-tama mengacu pada kekuatan akal
budi manusia. Rasionalitas dan penggunaannya secara maksimal di dalam
kehidupan publik adalah kunci untuk melenyapkan penderitaan.

Walaupun percaya pada kekuatan rasionalitas sebagai alat untuk


memperbaiki krisis sosial, namun para pemikir teori kritis memiliki ciri
khas mereka masing-masing. Mereka juga yakin bahwa bahkan di dalam
keadaan krisis paling gawat sekalipun, manusia selalu bisa menggunakan
rasionalitasnya. Namun rasionalitas itu tidak hanya mengenai akal, logika,


dan metode ilmiah semata. Seperti yang ditulis oleh Marcuse, dorongan
kehidupan juga memilki aspek estetik yang melibatkan rasionalitas.
Aspek estetik inilah yang memungkinkan manusia mengambil jarak
dari krisis, dan kemudian melampauinya dengan menggunakan
kekuatan rasionalitas. Tentu saja pendapat Marcuse tersebut sangatlah
kontroversial. Aspek estetik seringkali tidak membawa manusia pada
rasionalitas, namun justru menyesatkannya di dalam kebuntuan.136

Habermas mencoba menjawab kebuntuan yang diciptakan


Marcuse. Bagi Habermas rasionalitas manusia paling tampak di dalam
kemampuannya berkomunikasi melalui bahasa. Bahasa adalah medium
rasionalitas, karena memungkinkan manusia berkomunikasi untuk
mencapai kesalingpengertian bersama. Namun komunikasi itu harus
memenuhi syarat terlebih dahulu, yakni bahwa proses itu dilakukan
di dalam suasana kebebasan dan kesetaraan antar subyek. Krisis sosial
pun juga bisa diselesaikan dengan menggunakan rasionalitas yang
diterjemahkan di dalam komunikasi ini. Rasionalitas di dalam komunikasi
ini, yang disebut Habermas sebagai rasionalitas komunikatif, adalah dasar
dari semua proses pembebasan di dalam masyarakat yang tercengkeram
oleh krisis sosial. Proyek besar teori kritis adalah pembebasan manusia
dari belenggu-belenggu dirinya, baik belenggu sosial maupun individual.
Dan proyek itu hanya dapat terwujud, menurut Habermas, jika bahasa
sebagai alat komunikasi dapat digunakan sebaik-baiknya untuk
menciptakan kesepakatan rasional tentang hal-hal yang terkait dengan
kehidupan bersama.

Dari sini dapatlah disimpulkan tiga konsep yang kiranya menjadi


kunci dari seluruh teori kritis, yakni kritik atas kapitalisme, rasionalitas
universal, dan cita-cita pembebasan. Menurut Honneth ketiga konsep
itu haruslah diterjemahkan untuk membaca kondisi jaman sekarang ini,
terutama jika kita secara konsisten mengacu pada dasar-dasar teori kritis

136 Lihat, Honneth, 2004, 356.


klasik, dan tetap mempertahankan semangatnya untuk menganalisis
jaman ini.

10. Hermeneutika Hans Georg Gadamer


Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat inti dasar dari teori
kritis yang menjadi salah satu pisau analisis sosial paling tajam di
abad kedua puluh. Dan juga seperti sudah disebutkan sebelumnya, di
samping beragam bentuk pemikiran yang ada di dalamnya, teori kritis
memiliki satu pengandaian dasar, bahwa rasionalitas universal manusia
mampu melakukan kritik atas kapitalisme, dan membebaskan manusia
dari belenggu-belenggu sosial yang membuat manusia tidak mampu
mengembangkan kemampuan dirinya semaksimal mungkin. Pada bagian
ini saya ingin memperkenalkan sebuah metode yang sangat berkembang
pada awal dan pertengahan abad kedua puluh, yakni hermeneutika,
terutama hermeneutika yang dirumuskan oleh Hans Georg Gadamer.

Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah retorika dan filsafat


praktis (etika). Di dalam sejarahnya retorika dan hermeneutika memang
selalu terkait. Retorika adalah seni untuk memaparkan pengetahuan.
Sementara hermeneutika adalah seni untuk memahami teks. Teks ini
memang dalam bentuk tulisan. Akan tetapi teks juga bisa memiliki
arti luas, yakni realitas itu sendiri. Dalam arti ini juga dapat dikatakan,
bahwa hermeneutika dan retorika saling membutuhkan satu sama lain.
Retorika mengandaikan orang memahami teks. Sementara pemahaman
tidak boleh berhenti di dalam diri seseorang saja, melainkan juga dapat
disampaikan dengan jernih kepada orang lain. Gadamer sendiri berulang
kali menegaskan, bahwa hermeneutika dan retorika lebih merupakan
seni, dan bukan ilmu pengetahuan.

Di dalam beberapa tulisannya, termasuk Truth and Method, yang


merupakan karya terbesarnya, Gadamer mencoba untuk melepaskan
hermeneutika dari wilayah ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial.
Untuk melakukan itu ia kemudian kembali membaca tulisan-tulisan Plato.
Menurut Gadamer hubungan antara pembaca dengan teks mirip seperti


hubungan dialog antara dua orang yang saling berbicara. Dalam arti ini
dialog kehilangan dimensi rigorus saintifiknya, dan menjadi percakapan
rasional untuk memahami suatu persoalan. Selain itu Gadamer juga
membaca tulisan-tulisan Aristoteles, terutama pada bagian etika.
Gadamer menjadikan etika sebagai dasar bagi hermeneutika. Tujuan
utamanya tetap yakni melepaskan hermeneutika dari ilmu pengetahuan
yang cenderung rigorus, saintifik, dan sifatnya instrumental.

10.1. Pengertian Sebagai Kegiatan Pikiran137


Jika membaca tulisan-tulisan Gadamer langsung, anda akan
mendapatkan kesan, bahwa ia senang sekali bermain kreatif
dengan bahasa untuk menciptakan pemahaman-pemahaman baru.
Menurutnya bahasa tidak pernah bermakna tunggal. Bahasa selalu
memiliki beragam makna, dan itu justru harus diakui dan dirayakan.
Beragam makna di dalam bahasa menandakan adanya sesuatu yang
bersifat esensial, tetap, dan universal di dalam bahasa itu sendiri.
Artinya bahasa itu memiliki sesuatu yang sifatnya khas pada dirinya
sendiri, dan lepas dari pikiran manusia. Di dalam bahasa terdapat
pengertian, dan tugas hermeneutika adalah memahami pengertian
tersebut, dan membuka kemungkinan bagi pemahaman-pemahaman
baru.

Berdasarkan penelitian Jean Grodin, hermeneutika, yakni proses


untuk memahami teks, memiliki tiga arti. Hermeneutika selalu
terkait dengan pengertian tentang realitas. Yang pertama pengertian
selalu terkait dengan proses-proses akal budi (cognitive process).
Untuk memahami berarti untuk menyentuhnya dengan akal budi.
Untuk memahami berarti untuk melihatnya secara lebih jelas. Untuk
memahami berarti untuk menggabungkan pengertian yang bersifat
partikular dalam konteks yang lebih luas. Untuk memahami sesuatu

137 Pada bagian ini saya mengacu pada Grondin, Jean, “Gadamer’s Basic Understanding of
understanding”, dalam Cambridge Companion to Gadamer, Cambridge University Press,
Cambridge, hal. 36.


berarti untuk menggenggamnya dengan kekuatan akal budi. Inilah arti
dasar dari hermeneutika sebagai proses untuk memahami sesuatu, atau
memahami teks.

Konsep pengertian atau pemahaman (understanding) juga bisa


diterapkan untuk memahami realitas sosial. Inilah yang kiranya menjadi
argumen utama Wilhelm Dilthey, seorang filsuf ilmu-ilmu sosial yang
hidup pada abad ke-19. Di dalam proses memahami realitas sosial, setiap
bentuk tindakan dan ekspresi seseorang selalu mencerminkan apa yang
dihayatinya di dalam kehidupan. Inilah yang disebut Dilthey sebagai
pengalaman hidup (life experience). Pengalaman hidup tersebut dapat
dipahami melalui proses rekonstruksi ulang yang dilakukan peneliti
melalui penelitiannya. Maka dari itu menurut saya, searah dengan
penelitian Dilthey, ilmu-ilmu sosial tidak dapat menggunakan metode
ilmu-ilmu alam, karena tujuan ilmu-ilmu alam bukanlah memami
pengalaman hidup, melainkan mengkalkulasi, mengeksploitasi, dan
memprediksi fenomena alamiah. Konsep pengertian sendiri memang
sudah tertanam di dalam tradisi hermeneutika sejak lama. Di dalam
tradisinya hermeneutika berfokus pada upaya untuk memahami teks-
teks kuno, terutama teks kitab suci. Konsep hermeneutika Gadamer
juga berakar pada tradisi tafsir teks-teks kitab suci ini.

10.2. Pengertian sebagai Kegiatan Praktis


Yang kedua hermeneutika selalu terkait dengan pengertian yang
bersifat praktis. Dalam arti ini orang yang mengerti bukan hanya ia
memahami pengetahuan tertentu, tetapi juga memiliki ketrampilan
praktis untuk menerapkannya. Misalnya anda adalah seorang guru
yang baik. Artinya anda tidak hanya memahami pengetahuan
teoritis tentang cara mengajar dan arti pengajaran itu sendiri, tetapi
mampu mengajar dengan baik. Seorang koki yang baik tidak hanya
memahami konsep teoritis bumbu, tetapi juga mampu mengolahnya
menjadi sebuah masakan yang enak. Untuk memahami sudah selalu
mengandaikan mampu menerapkan.


Di dalam hidupnya manusia selalu mencari arah baru untuk
dituju. Untuk menemukan arah yang tepat, manusia haruslah memiliki
pengertian yang tepat tentang dirinya sendiri. Hanya dengan memahami
diri secara tepatlah manusia bisa mewujudkan potensi-potensinya
semaksimal mungkin. Di dalam proses merumuskan filsafatnya,
Gadamer sangat terpengaruh pada filsafat Heidegger, terutama tentang
fenomenologi adanya. Namun Gadamer tidak mengikuti jalur yang
telah dirintis oleh Heidegger, yakni proses untuk memahami eksistensi
ada melalui manusia. Gadamer memfokuskan hermeneutikanya lebih
sebagai bagian dari penelitian ilmu-ilmu manusia. Untuk memahami
manusia menurutnya, orang harus peduli dan mampu memaknai
manusia tersebut dalam konteksnya. Kepedulian dan pemaknaan itu
membuat tidak hanya teks yang menampilkan dirinya, tetapi juga si
peneliti yang membentuk makna di dalam teks itu.

Dapat juga dikatakan bahwa filsafat Gadamer lebih bersifat


terapan, jika dibandingkan dengan filsafat Heidegger. Sifat praktis ini
diperoleh Gadamer, ketika ia mulai secara intensif membaca tulisan-
tulisan Aristoteles tentang kebijaksanaan praktis. Kebijaksanaan praktis
juga melibatkan pengertian tertentu. Dalam konteks pengertian ini,
penerapan adalah sesuatu yang amat penting. Penerapan adalah soal
tindakan nyata. Bertindak baik tidak sama dengan memahami hakekat
dari yang baik, seperti yang dilakukan Plato di dalam filsafatnya.138

10.3. Pengertian sebagai Kesepakatan


Gadamer juga berpendapat bahwa pengertian selalu melibatkan
persetujuan. Untuk mengerti berarti juga untuk setuju. Di dalam
bahasa Inggris, kalimat yang familiar dapat dijadikan contoh adalah,
“we understand each other”. Kata understand bisa berarti mengerti atau
memahami, dan juga bisa berarti saling menyetujui atau menyepakati.
Memang pengertian itu tidak seratus persen berarti persetujuan,

138 Lihat, ibid, hal. 40.


namun ada hal-hal mendasar yang telah disetujui sebelumnya, ketika
orang mengerti.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Grondin, ada dua alasan


yang mendorong Gadamer merumuskan pengertian sebagai bagian
dari persetujuan. Yang pertama bagi Gadamer, untuk memahami
berarti juga untuk merekonstruksi makna dari teks sesuai dengan yang
dimaksud penulisnya. Di dalam proses pemahaman itu, pembaca dan
penulis teks memiliki kesamaaan pengertian dasar (basic understanding)
tentang makna dari teks tersebut. Misalnya saya membaca teks
tulisan Immanuel Kant. Ketika membaca saya tidak hanya mencoba
memahami secara pasif tulisan Kant, namun pemikiran saya dan
pemikiran Kant bertemu dan menghasilkan persetujuan dasar.

Pemahaman atau pengertian dasar (basic understanding) itu


disebutnya sebagai sache, atau subyek yang menjadi tema pembicaraan.
Sache inheren berada di dalam setiap proses pembacaan ataupun
proses dialog. Dalam arti ini proses sache tidak lagi berfokus untuk
membangkitkan maksud asli dari penulis teks, melainkan berfokus
pada tema yang menjadi perdebatan yang seringkali berbeda dengan
maksud asli si penulis teks. Di dalam hermeneutika tradisional,
tujuan utamanya adalah membangkitkan maksud asli pengarang.
Namun di dalam hermeneutika Gadamer, maksud asli pengarang
hanyalah hal sekunder. Yang penting adalah apa yang menjadi tema
utama pembicaraan. Dan tema utama pembicaraan (subject matter) itu
dapat terus berubah. Maksud asli pengarang tetap ada. Namun kita
hanya dapat mengerti maksud tersebut, jika kita memiliki beberapa
pengertian dasar yang sama dengan pengarang. Namun tetaplah harus
diingat, bahwa fokus dari hermeneutika, atau proses menafsirkan,
menurut Gadamer, adalah untuk membangkitkan makna tentang tema
utama pembicaraan, dan tidak semata-mata hanya untuk menjelaskan
maksud asli dari penulis teks.139

139 Lihat, ibid, hal. 41.


Yang kedua menurut Gadamer, setiap bentuk persetujuan selalu
melibatkan dialog, baik dialog aktual fisik, ataupun dialog ketika
kita membaca satu teks tulisan tertentu. Di sisi lain persetujuan
juga selalu melibatkan bahasa dan percakapan. Inilah yang disebut
Gadamer sebagai aspek linguistik dari pengertian manusia (linguistic
elements of understanding). Dalam arti ini untuk memahami berarti
untuk merumuskan sesuatu dengan kata-kata, dan kemudian
menyampaikannya dengan kejernihan bahasa. Bagi Gadamer elemen
bahasa untuk mencapai pengertian ini sangatlah penting. Bahkan ia
berpendapat bahwa pengalaman penafsiran (hermeneutic experience)
hanya dapat dicapai di dalam bahasa. Maka perlulah ditegaskan bahwa
bagi Gadamer, tindak memahami selalu melibatkan kemampuan untuk
mengartikulasikannya di dalam kata-kata dan menyampaikannya
di dalam komunikasi. Di dalam proses ini, peran bahasa sangatlah
penting.

Namun begitu bukankah tidak semua hal dapat disampaikan


dengan kata-kata? Seringkali kita mengerti sesuatu, tetapi tidak bisa
mengartikulasikannya secara jernih melalui bahasa. Misalnya saya
mengerti sebuah simbol. Saya juga bisa memahami keindahan dari
suatu karya seni. Saya juga bisa memahami keindahan suatu musik.
Tidak hanya itu seringkali perasaan dan bahkan kebenaran itu sendiri
tidak dapat dikurung di dalam rumusan kata-kata. Di dalam bukunya
yang berjudul The Truth and Method, Gadamer berpendapat bahwa
para seniman, termasuk pelukis, pematung, dan pemusik, tidak pernah
mampu menyampaikan apa yang mereka pikirkan dan rasakan dengan
menggunakan kata-kata. Sebaliknya bagi mereka kata-kata adalah
sesuatu yang sifatnya reduktif, karena menyempitkan makna di dalam
rumusan yang tidak dinamis.

Jika bahasa tidak lagi bermakna, lalu bagaimana proses pengertian


atau memahami bisa terjadi? Menurut Gadamer bahasa memiliki
arti yang lebih luas daripada sekedar kata-kata. Dalam beberapa
kasus tarian dan bahkan diam juga bisa menjadi sebentuk bahasa


yang menyampaikan pesan tertentu. Semua bentuk komunikasi
itu bisa membuka ruang untuk penafsiran dari pendengar ataupun
penerima pesan. Tentu saja orang bisa salah tangkap, sehingga tercipta
kesalahpahaman. Namun hal itu terjadi, karena orang tidak mampu
menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Maka dari itu di dalam
komunikasi, kita perlu memperhatikan juga apa yang tak terkatakan, di
samping juga mendengarkan apa yang terkatakan. Dengan demikian
walaupun sifatnya terbatas, namun bahasa, dalam arti luas, merupakan
alat komunikasi yang universal untuk mencapai pemahaman.

10.4. Konsep Lingkaran Hermeneutis140


Gadamer juga dikenal dengan argumennya soal proses penafsiran,
atau yang disebutnya sebagai lingkaran hermeneutis. Argumennya
begini setiap bentuk penafsiran selalu mengandaikan pengertian dasar
tertentu. Pengertian dasar itu disebut Gadamer sebagai antisipasi.
Konsep lingkaran hermeneutis ini sangatlah dipengaruhi oleh filsafat
Heidegger. Oleh karena itu konsep lingkaran hermeneutis yang
dirumuskan Gadamer sangatlah berbau fenomenologi. Seperti sudah
sedikit disinggung, menurut Gadamer, setiap bentuk penafsiran untuk
memperoleh pemahaman selalu melibatkan pemahaman dasar lainnya.
Artinya untuk memahami kita juga memerlukan pemahaman. Tentu
saja dari sudut logika, hal ini tidak bisa diterima. Logika berpikir
menolak sebuah penjelasan atas suatu konsep yang terlebih dahulu
mengandaikan konsep tersebut, seperti untuk menafsirkan guna
memahami sesuatu, orang perlu memiliki pemahaman. Namun jika
dilihat secara fenomenologis, seperti yang dilakukan Heidegger dan
Gadamer, hal itu mungkin.

Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah sebuah logika klasik,


bahwa orang bisa memahami keseluruhan dengan terlebih dahulu
memahami bagian-bagiannya. Hal yang sama dapat diterapkan untuk
memahami suatu teks. Maksud utama dari keseluruhan teks dapat

140 Lihat, ibid, hal. 46.


dipahami dengan berpusat pada bagian-bagian teks tersebut, dan
sebaliknya bagian-bagian teks itu dapat dipahami dengan memahami
keseluruhan teks. Tujuan utama Gadamer adalah untuk memahami
teks di dalam kerangka berpikir yang lebih menyeluruh, dan bukan
hanya terjebak pada apa yang tertulis atau terkatakan saja. Teks harus
ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yang tentunya melibatkan
teks-teks lainnya. Ini adalah salah satu kriteria untuk mendapatkan
pemahaman yang tepat, menurut Gadamer.141

Pengandaian hermeneutika Gadamer adalah, bahwa keseluruhan


(whole) dan bagian (parts) selalu koheren. Supaya dapat memperoleh
pemahaman yang tepat, si pembaca teks haruslah memahami koherensi
antara makna keseluruhan dan makna bagian dari teks tersebut. Setiap
bentuk pemahaman juga mengandaikan adanya kesepakatan tentang
tema apa yang sebenarnya ingin dipahami. Jika kesepakatan tentang
tema apa yang sebenarnya sungguh dipahami ini tidak ada, maka
proses penafsiran akan menjadi tidak fokus. Jika sudah begitu maka
pemahaman yang tepat pun tidak akan pernah terjadi.

Jika dilihat dengan kaca mata ini, maka konsep lingkaran


hermeneutis yang dirumuskan Gadamer tetap mengandung unsur
logika yang tinggi. Tidak hanya itu proses untuk memahami
keseluruhan melalui bagian, dan sebaliknya, adalah proses yang
berkelanjutan. Pemahaman adalah sesuatu yang harus terus menerus
dicari, dan bukan sesuatu yang sudah ditemukan lalu setelah itu
proses selesai. Dalam arti ini Gadamer memiliki perbedaan mendasar
dari Heidegger. Obyek penelitian hermeneutik Heidegger adalah
eksistensi manusia secara keseluruhan. Sementara obyek penelitian
Gadamer lebih merupakan teks literatur. Gaya Heidegger adalah gaya
eksistensialisme. Sementara Gadamer lebih berperan sebagai seorang
filolog yang hendak memahami suatu teks kuno beserta kompleksitas
yang ada di dalamnya.

141 Lihat, ibid, hal. 47.


Bagi Heidegger fokus dari pengertian manusia adalah untuk
memahami masa depan dari eksistensi manusia. Sementara bagi
Gadamer fokus dari pengertian adalah upaya untuk memahami
masa lalu dari teks, serta arti sebenarnya dari teks tersebut. Juga
bagi Heidegger proses menafsirkan untuk memahami sesuatu selalu
mengandaikan pemahaman yang juga turut serta di dalam proses
penafsiran tersebut. Artinya untuk memahami orang perlu untuk
memiliki pemahaman dasar terlebih dahulu. Sementara bagi Gadamer
konsep lingkaran hermeneutis mencakup pemahaman bagian-bagian
melalui keseluruhan, dan sebaliknya. Maksud utuh dari teks dapat
dipahami dengan memahami bagian-bagian dari teks tersebut. Dan
sebaliknya bagian-bagian dari teks dapat dipahami dengan terlebih
dahulu memahami maksud keseluruhan dari teks tersebut.

Di sisi lain seperti sudah disinggung sebelumnya, fokus dari proses


penafsiran (hermeneutika) dari Heidegger adalah eksistensi manusia.
Sementara fokus dari hermeneutika Gadamer adalah teks literatur
dalam arti sesungguhnya.142 Dalam arti ini fokus dari hermeneutika
Heidegger adalah membentuk manusia yang otentik, yakni membantu
menemukan tujuan dasar dari eksistensi manusia. Sementara bagi
Gadamer fokus dari hermeneutika adalah menemukan pokok
permasalahan yang ingin diungkapkan oleh teks. Namun keduanya
sepakat bahwa musuh utama dari proses penafsiran untuk mencapai
pemahaman adalah prasangka. Prasangka membuat orang melihat
apa yang ingin mereka lihat, yang biasanya negatif, dan menutup mata
mereka dari kebenaran itu sendiri, baik kebenaran di level eksistensi
manusia, maupun kebenaran yang tersembunyi di dalam teks.

Walaupun banyak memiliki perbedaan, namun Gadamer dan


Heidegger setidaknya identik dalam satu hal, yakni bahwa proses
lingkaran hermeneutik sangatlah penting di dalam pembentukan
pemahaman manusia. Dengan demikian kita bisa memastikan,

142 Lihat, ibid, hal. 49.


bahwa walaupun filsafat Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran
Gadamer, namun keduanya tidaklah sama. Gadamer memang
mendapatkan banyak sekali inspirasi dari Heidegger. Namun ia
kemudian mengembangkannya serta menerapkannya pada hal yang
lebih spesifik, yakni proses penafsiran tekstual di dalam literatur
dan filsafat. Inilah inti dari Hermeneutika Gadamer. Ia memberikan
kepada kita prinsip-prinsip untuk menafsirkan teks-teks dari masa
lalu, maupun teks sebagai realitas yang kita hadapi dan alami sehari-
hari.

11. Metode Dekonstruksi Jacques Derrida


Pada bagian sebelumnya kita sudah berusaha memahami konsep
hermeneutika di dalam filsafat Hans-Georg Gadamer. Baginya
hermeneutika adalah suatu upaya untuk menafsirkan teks untuk
mendapatkan pemahaman tertentu. Dua konsep yang kiranya menjadi
inti di dalam hermeneutika Gadamer adalah konsep peleburan horison-
horison (fusion of horizons) dan konsep lingkaran hermeneutik. Konsep
peleburan horison-horison berisi penjelasan Gadamer mengenai proses
penafsiran yang melibatkan isi asli teks sekaligus pikiran maupun perasaan
orang yang membacanya. Peleburan kedua hal ini menghasilkan suatu
tafsiran yang menciptakan pemahaman yang baru. Pembaca dengan latar
belakang historis maupun konseptualnya menyatu dengan teks yang juga
memiliki makna dan latar belakangnya sendiri.

Sementara konsep lingkaran hermeneutik berisi penjelasan Gadamer


tentang proses memahami suatu teks. Baginya makna keseluruhan
suatu teks hanya dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami
bagian-bagian teks tersebut. Dan sebaliknya bagian-bagian di dalam
teks tersebut hanya bisa dipahami dengan memahami keseluruhan
maknanya. Pengandaian dari konsep ini adalah, bahwa keseluruhan
dan bagian memiliki koherensi. Hal ini berlaku bahkan untuk teks-teks
yang sekilas dibaca tampak tidak memiliki koherensi, seperti fragmen-
fragmen para filsuf Yunani Kuno, ataupun tulisan-tulisan aphoristik di


dalam filsafat Nietzsche. Gadamer menyediakan prinsip-prinsip yang
perlu diperhatikan bagi orang untuk membaca teks, memahaminya, dan
kemudian mengembangkannya.

Pada bagian ini saya akan memperkenalkan anda dengan metode


dekonstruksi yang dirumuskan oleh Jacques Derrida. Sebagai acuan
utama saya menyandarkan diri pada tulisan Nicholas Royle yang berjudul
Derrida.143 Yang menarik dari pemikiran Derrida adalah kemampuannya
untuk menggambarkan sekaligus mengubah pikiran kita tentang dunia,
termasuk di dalamnya tentang kematian, kehidupan, budaya, filsafat,
sastra, dan tentang politik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Royle, filsafat Derrida setidaknya berdasarkan pada dua tujuan, yakni
menggambarkan dan mengubah cara berpikir pembacanya ataupun
pendengarnya.

Tentu saja di dalam pandangan umum, tindak mengubah dan


menggambarkan realitas adalah dua jenis tindakan yang berbeda.
Untuk menggambarkan berarti untuk menyatakan apa adanya realitas
yang ditemui, baik itu realitas alam maupun realitas sosial. Untuk
menggambarkan berarti orang sudah terlebih dahulu mengandaikan
adanya kondisi-kondisi obyektif nyata yang sudah ada sebelumnya (pre-
existing condition) di dalam realitas. Sebaliknya untuk mengubah orang
perlu berpikir dengan cara yang berbeda. Namun bisakah pikiran yang
berbeda juga mengubah realitas ke arah yang berbeda? Inilah pertanyaan
yang kiranya menjadi titik awal yang pas untuk membahas pemikiran
Derrida.144

11.1. Mengubah Teks


Mengubah realitas menurut Derrida juga berarti mengubah
teks, dan teks itu sendiri adalah realitas kehidupan manusia. Untuk
mengubah realitas orang perlu terlebih dahulu mampu memahami

143 Pada bab ini saya mengacu pada Royle, Nicholas, Derrida, Routledge, London, 2003.
144 Lihat, ibid, hal. 21.


dan menggambarkan realitas. Ada keterkaitan yang mendalam antara
menggambarkan (to describe) dan mengubah (to transform). Titik
berangkat Derrida adalah teori tindakan tutur (speech act theory) yang
banyak dikembangkan di dalam teori komunikasi maupun linguistik.
Sebelum merumuskan pemikirannya sendiri secara orisinil, ia banyak
mendalami teori tindakan tutur, terutama seperti yang dirumuskan
oleh J.L Austin. Buku yang menjadi acuan utama Derrida adalah
How to do Things with Words, karangan Austin. Menurut Austin setiap
tindakan berbicara manusia dapat diartikan dengan dua cara, yakni
secara konstatif, atau secara performatif.

Pernyataan konstatif adalah pernyataan tentang fakta


sebagaimana adanya. Biasanya pernyataan ini sifatnya deskriptif, yakni
menggambarkan sesuatu secara langsung tanpa penilaian apapun.
Misalnya saya sedang menulis di notebook. Atau anda sedang membaca
tulisan ini. Kedua pernyataan itu adalah pernyataan konstatif. Di sisi lain
pernyataan performatif adalah pernyataan yang tidak hanya melibatkan
kata-kata, tetapi juga perbuatan yang menyertai kata-kata itu. Biasanya
pernyataan performatif itu berbentuk janji, ancaman, doa, pengakuan,
tantangan, taruhan, deklarasi perang, dan deklarasi. Dengan kata
lain pernyataan performatif tidak hanya mau menggambarkan fakta,
melainkan juga mau mengubahnya. Menyatakan secara performatif
berarti menyatakan sekaligus melakukan sesuatu.

Di dalam upacara pernikahan, mempelai pria dan wanita


menyatakan bahwa mereka siap untuk selalu setia sampai mati, baik
dalam kondisi susah maupun senang. Pernyataan “saya bersedia” tidak
hanya berupa pemaparan atas keputusan masing-masing mempelai,
tetapi juga pernyataan yang membuahkan tindakan. Dengan kata
lain sejak hari itu, kedua mempelai siap untuk saling mencintai secara
penuh satu sama lain. Hal yang sama kiranya berlaku untuk pernyataan
perang. Sebuah negara yang menyatakan perang terhadap negara
lain juga mengandaikan adanya tindakan nyata, seperti memobilisasi


pasukan, mengungsikan warga-warga di daerah berbahaya, dan
sebagainya.

Tulisan-tulisan Derrida seringkali berupa pembacaan ulang


terhadap salah satu teks yang cukup berpengaruh di dalam sejarah
filsafat. Di dalam proses pembacaannya, ia tidak hanya menggambarkan
apa yang menjadi maksud asli pengarang teks, tetapi juga mengubah
pemahaman kita tentang teks tersebut. Akan tetapi janganlah buruk
sangka terlebih dahulu. Derrida adalah seorang pembaca yang sangat
cermat. Ia sangat sabar meneliti teks-teks yang ia baca. Beberapa teks
yang pernah dimaknainya kembali adalah tulisan Plato yang berjudul
Phaedrus, tulisan Shakespeare yang berjudul Romeo and Juliet, tulisan
Kafka yang berjudul Before the Law, dan bahkan American Declaration
of Independence.

Sekilas orang akan mengira, bahwa Derrida hanya menggambarkan


kembali apa yang sudah tertulis di dalam teks. Namun pendapat ini
hanya separuh benar. Ia memang seorang pembaca dan pengajar yang
sangat tajam serta detil. Namun ia juga mengubah pemahaman kita
tentang teks-teks yang ia baca. Ia menjauh dari tafsiran dominan,
dan membuat tafsirannya sendiri atas teks-teks yang ia baca. Di
tangan Derrida teks-teks kuno itu berubah menjadi suatu teks yang
menyegarkan dan penuh dengan pemahaman-pemahaman baru yang
sebelumnya tidak terpikirkan. Dapatlah dikatakan bahwa Derrida
tidak hanya melakukan tindakan konstatif, yakni menggambarkan
teks, tetapi juga tindakan performatif, yakni mengubah teks tersebut
menjadi sesuatu yang baru.145

11.2. Dekonstruksi
Dengan demikian Derrida tidak hanya menggambarkan maksud
teks-teks yang dibacanya secara persis, tetapi juga mengubahnya
menjadi teks yang memiliki makna baru. Dua konsep itu yakni

145 Lihat, ibid, hal. 22.


deskripsi/penggambaran (description) dan transformasi (transformation)
dapat digabungkan menjadi dekonstruksi (deconstruction). Sekilas
konsep dekonstruksi ini tampak aneh dan kontradiktif. Bagaimana
mungkin membaca secara tepat, sekaligus mengembangkan makna
teks dengan mengubahnya? Namun itulah yang kiranya dilakukan
Derrida. Menurut penelitian Nicholas Royle, Derrida sendiri tidak
begitu suka dengan kata tersebut. Konsep itu pun melepaskan diri dari
Derrida, dan mulai menjadi sebuah paham, yakni sebuah isme. Sejak
saat itu konsep dekonstruksi terus menjadi subyek perdebatan banyak
pemikir lintas displin ilmu.

Royle bahkan berpendapat bahwa kita dapat memahami filsafat


Derrida tanpa menggunakan konsep dekonstruksi sama sekali.
Memang hal itu akan sangat sulit, namun bukan berarti tidak
mungkin. Di dalam kamus filsafat dan kamus Bahasa Inggris, seperti
dikutip oleh Royle, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu tindakan
untuk mengubah konstruksi dari suatu benda. Di dalam kamus
filsafat, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu strategi analisis yang
dikaitkan dengan filsuf Perancis, Jacques Derrida, yang bertujuan untuk
membuka pengandaian-pengandaian metafisis yang sebelumnya tidak
dipertanyakan, serta membuka kontradiksi internal di dalam filsafat
maupun teori-teori bahasa.

Royle sendiri mendefinisikan dekonstruksi sebagai sesuatu yang


bukan seperti yang dipikirkan orang banyak, pengalaman akan yang
tak mungkin (the impossible), cara berpikir untuk menggoyang apa
yang sudah dianggap mapan, apa yang membuat identitas dari sesuatu
itu juga sekaligus bukan merupakan identitas, dan masa depan yang
masih belum ada itu sendiri.146 Tentu saja beragam definisi tersebut
pasti membuat orang bingung. Namun Derrida sendiri tidak pernah
secara jelas mendefinisikan arti dari konsep dekonstruksi. Ia hanya
menerapkannya dan membiarkan pembacanya merumuskan sendiri.

146 Lihat, ibid, hal. 24.


Maka dapatlah dikatakan bahwa hakekat dari dekonstruksi itu sifatnya
plural. Tidak ada satu definisi utuh yang bisa menjelaskan makna
terdalam dari dekonstruksi.

Dekonstruksi juga tidak hanya bergerak di tataran filsafat,


melainkan juga menyentuh literatur, politik, seni, arsitektur, dan
bahkan ilmu-ilmu alam. Di dalam kajian lintas ilmu, dekonstruksi
dapat digambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan
membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi
dipertanyakan. Di dalam tulisan-tulisannya, Derrida berulang kali
menuliskan, bahwa kekuatan untuk mengubah dan membelah itu
sebenarnya sudah terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang ia lakukan
hanyalah mengaktifkan kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya
ke keseluruhan teks. Derrida mau melakukan de-sedimentasi terhadap
teks, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya
tidak terpikirkan. Dalam arti ini ia mau menciptakan gempa di dalam
teks.

11.3. Dekonstruksi sebagai Gempa Tekstual


Di dalam teks dekonstruksi hendak menciptakan gempa dengan
terlebih dahulu mengungkapkan kontradiksi di dalam teks tersebut.
Hal tersebut hanya bisa dilakukan, bila teks sudah dibaca dan
dimengerti secara teliti. Sekecil apapun kontradiksi yang ada, tetap
saja ia mampu membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang
sebelumnya tak terpikirkan bagi keseluruhan teks terkait. Di dalam
proses penelusurannya terhadap teks-teks filsafat yang ada, Derrida
tidak memperlakukan para filsuf sebelum dia sebagai individu,
melainkan sebagai suatu teka teki yang harus dipahami dan kemudian
dipecahkan. Inilah yang menyebabkan tulisan-tulisan Derrida terasa
bagai labirin yang tak berujung. Ini juga yang menyebabkan sulitnya
kita menentukan posisi khas Derrida.

Setiap karyanya harus selalu ditempatkan pada situasi dan


konteks yang tepat, yang melatarbelakangi teks tersebut. Dekonstruksi


yang diterapkan Derrida tidak mau memberikan pandangan umum
mengenai filsafat, melainkan lebih tertarik bermain dengan detil-detil
yang sebelumnya tidak diperhatikan. Bahkan satu kalimat kecil yang
tampaknya tidak bermakna bisa menjadi titik tolak untuk mengubah
makna keseluruhan teks. Derrida lebih jauh menambahkan, bahwa
dekonstruksi sudah selalu berada di dalam teks itu sendiri. Dengan kata
lain setiap teks sudah selalu memiliki potensi untuk medekonstruksi,
atau men-destabilisasi, dirinya sendiri. Dengan dasar ini ia pernah
menyatakan, bahwa segala sesuatu di dalam teks selalu bisa dipisah
dan dibagi terus menerus. Tidak ada bagian dari teks yang sifatnya
stagnan atau permanen. Tidak ada atom di dalam teks.

Jika tidak ada kesatuan utuh yang sifatnya permanen di dalam teks,
maka teks selalu bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu
berbeda. Tidak ada tafsiran dominan yang sifatnya otoritatif. Dengan
ini kita bisa memahami beberapa konsep lainnya yang kiranya identik
dengan pemikiran Derrida, yakni differance, jejak-jejak, dan iterabilitas.
Kata differance adalah kata yang aneh. Kata ini tidak terdapat di dalam
kamus bahasa manapun. Kata itu sendiri terdiri dari dua kata yakni
untuk membedakan (to differ), dan untuk menunda kepastian (to
defer). Kebenaran dan makna di dalam teks harus terus dibedakan dan
ditangguhkan kepastiannya.147

Karena kebenaran selalu harus, dan mampu, ditangguhkan dan


dibedakan terus menerus, maka kebenaran itu sendiri pada dasarnya
tidak ada. Menurut Derrida yang bisa kita temukan dan ketahui adalah
jejak-jejak dari kebenaran itu sendiri, dan bukan kebenarna pada
dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan konsep jejak (trace) di
dalam pemikiran Derrida. Sementara iterabilitas adalah kemampuan
suatu teks untuk selalu dimaknai terus menerus di dalam konteks yang
berbeda-beda. Teks adalah sesuatu yang lentur dan lincah. Teks adalah

147 Lihat, ibid, hal. 26.


tanda yang bisa terus diulang dan dibedakan sesuai dengan horison
pembaca dan penafsirnya.

Di dalam bukunya tentang Derrida, Royle mengajukan tesis,


bahwa dekonstruksi Derrida adalah sebuah gempa tekstual. Tujuan
utama dekonstruksi adalah untuk menggoyang, memindahkan, dan
mengubah semua konsep bahasa, psikologis, tekstual, estetis, historis,
etis, sosial, politik, dan bahkan religiusitas. Di dalam tulisannya tentang
Plato, Derrida tidak hanya menggambarkan kembali apa yang ingin
disampaikan oleh Plato, tetapi ia juga secara kreatif mengubah dan
menafsirkan apa yang dimaksud Plato secara baru dan tak terduga.
Hal yang sama juga diterapkannya pada tulisan-tulisan cerita pendek
yang ditulis oleh Kafka, dan bahkan skenario drama yang ditulis oleh
Shakespeare. Dalam arti ini dekonstruksi lebih dari sekedar metode,
terutama jika metode dipahami secara sempit sebagai suatu cara untuk
mendekati dan memahami realitas. Dekonstruksi adalah suatu upaya
untuk memahami teks, baik teks literatur ataupun realitas itu sendiri,
lalu mengubahnya untuk memperoleh makna yang baru. Royle bahkan
menegaskan bahwa dekonstruksi itu memiliki sifat mistik untuk
mengubah dan menggoyang kepastian makna teks.148

Derrida juga menambahkan bahwa inti dekonstruksi adalah


mengaburkan perbedaan-perbedaan yang telah dibuat oleh manusia,
terutama perbedaan yang sifatnya oposisi, seperti baik-buruk, ada-
tidak ada, dan sebagainya. Tidak hanya itu dekonstruksi juga mau
memahami arti kata ‘dan’ dengan cara berbeda. ‘Dan” fungsinya adalah
membedakan sekaligus menambahkan; baik ‘dan’ buruk, Ani dan Dewi,
makan nasi dan minum air. Lebih jauh Derrida juga menambahkan,
bahwa karena kata ‘dan’ selalu memiliki dua arti, maka tidak ada
kepastian di dalamnya. Dengan kata lain arti kata ‘dan’ tidaklah pernah
stabil. ‘Dan’ bisa berarti oposisi sekaligus menambahkan. Karena itu
oposisi dan menambahkan itu sifatnya saling terkait. Maka oposisi

148 Lihat, ibid.


tidak pernah stabil, karena itu memiliki potensi untuk mengubah, dan
menambahkan apa yang sebelumnya tidak ada.

Menurut Derrida setiap teks selalu sudah mengandung tegangan


dan paradoks di dalamnya. Bahkan dapat juga dikatakan, yang
terpenting di dalam teks adalah menemukan apa yang tak terkatakan,
dan kemudian mengolahnya menjadi suatu pemaknaan yang baru.
Di dalam pembacaannya terhadap tulisan-tulisan Austin, terutama
yang terkait dengan linguistik (filsafat bahasa), Derrida menemukan
kontradiksi di dalam konsep Austin mengenai pernyataan performatif.
Bagi Derrida setiap bentuk pernyataan performatif, yakni pernyataan
yang disertai dengan tindakan ataupun penegasan, selalu terkandung
kemungkinan untuk tidak menjadi tindakan ataupun penegasan.
Misalnya di dalam pernyataan “saya berjanji”, ada kemungkinan
janji tersebut tidak akan terwujud, sehingga pernyataan itu tidak
akan menjadi pernyataan performatif. Kemungkinan bahwa suatu
pernyataan performatif tidak akan pernah menjadi tindakan bukanlah
kemungkinan sampingan, melainkan sudah selalu merupakan
kontradiksi di dalam pernyataan itu sendiri.149

Dekonstruksi adalah sebuah metode sekaligus melampaui metode


itu sendiri. Dekonstruksi tidak hanya menggambarkan teks, baik teks
literatur ataupun teks sebagai realitas, apa adanya, melainkan juga mau
mengungkap kontradiksi yang terletak di dalam detil teks, sehingga
pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak terungkapkan
bisa tampil dan justru menjadi dominan. Dalam bahasa Derrida
dekonstruksi hendak menemukan kontradiksi dan menggetarkan
seluruh teks. Menurut Royle di dalam tulisannya tentang Derrida,
dekonstruksi adalah sebuah gempa yang menggetarkan seluruh
teks, dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak terduga.
Kemungkinan untuk melakukan dekonstruksi sudah selalu terkandung
di dalam teks itu sendiri. Kemungkinan yang tampak seperti hantu,

149 Lihat, ibid, hal. 29.


namun sama nyatanya seperti teks itu sendiri. Dekonstruksi itu sendiri
adalah teks.

Beragam metode berfilsafat para filsuf Barat sejak masa Yunani


Kuno sampai era pascamodernisme telah dijabarkan di atas. Tentu
saja kita perlu untuk memahami berbagai bentuk metode tersebut
secara akurat. Apa yang saya tulis hanya merupakan tafsiran atas teks-
teks asli maupun komentar dari para filsuf sepanjang sejarah. Untuk
memperoleh pemahaman yang akurat, anda perlu untuk membaca
teks asli secara langsung. Setelah itu anda perlu untuk menemukan
kelemahan maupun kekuatan dari pemikiran filosofis tersebut. Pada
titik ini anda, dan juga saya, bisa mengembangkannya lebih jauh. Ada
dua cara yakni dengan menggabungkan beberapa metode berfilsafat
yang sudah ada sebelumnya, seperti dekonstruksi dan fenomenologi,
maupun dengan merumuskan sebuah metode berfilsafat yang
sama sekali baru. Dengan cara inilah filsafat bisa berkembang, dan
memberikan pencerahan pada kita.***

Daftar Pustaka
Ashworth, E.J., “Language and Logic”, dalam The Cambridge Companions
to Medieval

Philosophy, A.S McGrade (ed), Cambridge University Press, Cambridge,


2006,

Brueckner, Anthony, Routledge Encyclopedia of Philosophy

Buroker, Jill Vince, Kant’s Critique of Pure Reason, Cambridge University


Press, Cambridge, 2006

Cohen, Stewart dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy.

Frede, Dorothea, “The Questions of Being: Heidegger’s Project”, dalam


The Cambridge Companion to Heidegger, Cambridge University Press,
Cambridge, 1993.


Grondin, Jean, “Gadamer’s Basic Understanding of understanding”,
dalam Cambridge Companion to Gadamer, Cambridge University
Press, Cambridge

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004.

Honneth, Axel, “The Social Pathology of Reason: On the Intellectual


Legacy of Critical Theory”, dalam Cambridge Companion to Critical
Theory, Cambridge University Press, Cambridge, 2004

Krasnoff, Larry, Hegel’s Phenomenology of Spirit, Cambridge University


Press, Cambridge, 2008.

McKirahan, Richard, Routledge Encyclopedia of Philosophy, Routledge,


London, 1998.

Pearson, Keith Ansell, A Companion to Nietzsche, Blackwell, MA, 2006.

Popkin, Richard H. dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy.

Royle, Nicholas, Derrida, Routledge, London, 2003.

Smith, David Woodruff, Husserl, London, Routledge, 2007.

Wattimena, Reza A.A, Filsafat dan Sains, Grasindo, Jakarta, 2008.

------------------------ , “Ingatan Sosial, Trauma, dan Maaf ”, Jurnal


Respons, Mikhael

Dua (ed), Jakarta, Atma Jaya, 2009.

------------------------ , Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius,


Yogyakarta, 2007.

-----------------------, Filsafat Kritis Immanuel Kant, Evolitera, Jakarta,


2010.


Internet:
http://plato.stanford.edu/entries/kant-metaphysics/, “How are synthetic a
priori propositions possible?

http://en.wikipedia.org/wiki/Dialectic#Hegelian_dialectic


INDEKS

Analisis 6, 20, 53, 63, 72, 73, 120, 160, 165, 171, 200, 219, 220,
222, 229, 244
Antropologi 9, 95, 96
Aphorisme 187, 188, 189, 190, 193, 194
Archē 129, 131
Aristoteles 17, 84, 129, 130, 131, 132, 139, 146, 159, 188, 204,
205, 206, 208, 212, 213, 230, 233

Being and Time 207, 209, 210, 212, 215, 216


Berger 89

Cicero 140, 144, 145


Comte 80
critique of pure reason 168

Definisi 15
Dekonstruksi 239, 243, 244, 245, 247, 248, 249


Derrida 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 250
Descartes 41, 112, 113, 114, 116, 117, 118, 149, 150, 153, 161,
165, 179, 180, 181, 182, 212, 213
deskripsi 12, 14, 20, 21, 23, 31, 32, 67, 68, 117, 121, 196, 243
Dewey 17, 18, 25, 81
Dialektika 139, 140, 183, 185, 186, 187
Dialog 23, 32, 34, 49, 53, 57, 73, 81, 136, 194, 230, 234
Diogenes 144, 145

Eksistensi 13, 18, 58, 119, 160, 196, 197, 216, 232, 238, 239
Elenchus 129, 133
Epistemologi 9, 11, 19, 74

Filsafat Abad Pertengahan 136, 137


filsafat ilmu pengetahuan 6, 29, 32, 131
Filsafat Modern 143, 149, 250
Filsafat spekulatif 20, 43, 45
Fondasionalisme 116, 117

Gadamer 229, 230, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239,
240, 250

Habermas 81, 86, 221, 222, 225, 226, 227, 228, 229
Hegel 31, 87, 112, 119, 120, 127, 173, 177, 178, 179, 182, 183,
184, 185, 186, 187, 220, 223, 225, 250
Heidegger 113, 183, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210,
211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 232, 233, 236,
238, 239, 249
Herakleitos 192, 193


Hermeneutika 57, 229, 230, 231, 232, 234, 237, 238, 239
hipotesis 18, 38, 61, 62, 63, 64, 65, 71, 72, 132, 133, 155
Honneth 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 228, 229, 250
horison 188, 201, 202, 239, 246
Horkheimer 81, 219, 220, 221, 222, 224, 225, 226
Hume 31, 39, 150, 151, 152, 153, 156, 158, 162, 163, 164, 165, 180
Husserl 13, 112, 113, 114, 121, 122, 123, 124, 125, 195, 196, 197, 198,
199, 200, 201, 202, 204, 207, 209, 210, 211, 212, 216, 218, 250

Ideologi 86

James 17, 18, 25, 39

Kant 31, 86, 112, 113, 114, 116, 118, 120, 153, 154, 155, 156, 157,
158, 159, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172,
173, 179, 180, 181, 182, 184, 212, 213, 214, 234, 249, 250
Karl Popper 35, 64
Kierkegaard 13, 14
Komunitarianisme 226, 227
Kontemplasi 17

Leibniz 156, 158, 159, 161, 165


Levinas 88
Liberalisme 226, 227
Lingkaran Hermeneutis 236
Lingkaran Wina 77, 84

Marcel 14, 15, 19, 23


Merleau-Ponty 7, 10, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119,
120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127
Metafisika 78, 83, 87, 88, 91, 92, 93, 131, 150, 154, 155, 162,
168, 169, 170, 171, 172, 206, 213, 214, 215
Metodologi 5, 6, 7, 11, 12, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 55,
61, 62, 65, 68, 70, 73, 81, 82, 83, 84, 85, 88, 89, 90, 92, 93, 195
Modernitas 174, 175, 176, 177

Nietzsche 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 240, 250

Ontologi 20, 35, 57, 195, 202, 203, 204, 205, 212, 213, 214, 215,
218, 219

Plato 17, 31, 80, 86, 205, 230, 233, 242, 246, 247
Positivisme logis 77
Posmodernisme 7, 10, 129
Prinsip 12, 33, 35, 38, 42, 43, 45, 48, 50, 72, 82, 116, 120, 130, 131, 132,
133, 137, 138, 141, 161, 163, 164, 169, 171, 179, 224, 239, 240

Realitas 32, 39, 41, 52, 86, 111, 112, 130, 131, 132, 133, 136, 139, 142,
150, 151, 153, 167, 173, 174, 177, 178, 180, 184, 185, 186, 187,
188, 189, 198, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 213, 214,
215, 218, 219, 222, 230, 231, 239, 240, 241, 247, 248
Reduksi 112, 113, 122, 123, 124, 125
Rekonstruksi rasional 21

Schopenhauer 193
Skeptik 146, 147, 150, 153


Skeptisisme 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 155,
162, 180
Soedjatmoko 88, 94
Sokrates 31, 129, 130, 132, 134, 135, 136, 192, 202
Subyektivitas 14, 23, 78, 79, 84, 92, 93, 120, 179, 180, 181, 182,
208, 209, 211

Teori 45, 61, 62, 74, 93, 218, 219, 220, 228
Teori kritis 219, 221, 222, 224, 225, 226, 227, 228, 229
Thomas Kuhn 35, 84
Transendental 87, 90, 92, 93, 112, 113, 116, 121, 122, 123, 124, 156,
198, 210, 211

Variabel 58, 71

Whitehead 9, 22, 25, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 49, 50,
51, 52, 53, 54, 81
Wittgenstein 31, 77, 82, 83, 84, 94

Yunani Kuno 7, 10, 129, 130, 131, 133, 136, 139, 146, 190, 192, 204,
205, 240, 249


BIODATA PENULIS

1. Anton Bakker
Lahir di Amsterdam, 1931. Ia mengunjungi Indonesia pada tahun
1951, dan menyempatkan diri belajar bahasa dan kebudayaan Indonesia
dengan fokus utama budaya Jawa. Selain itu Anton Bakker mendalami
ilmu filsafat dan teologi di Yogyakarta sampai tahun 1964. Program doktor
bidang filsafat ditempuh Anton Bakker pada Universitas Katolik Leuven,
Belgia dan Sekolah Tinggi Filsafat Berchmanium, Nijmegen, Nederland.
Pada tahun 1967, ia meraih gelar doktornya dengan disertasi yang
mengangkat persoalan sekitar relasi metafisik dalam filsafat Thomisme.
Setahun kemudian, tepatnya 1968, ia mengajar di jurusan Filsafat dan
Sosiologi Pendidikan, IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta. Sejak 1972,
Anton Bakker mengabdikan dirinya sebagai dosen filsafat pada Fakultas
Filsafat Unversitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan menghasilkan banyak
karya tulis, baik berupa diktat perkuliahan dalam berbagai cabang filsafat,
maupun artikel-artikel ilmiah bidang filsafat manusia. Dua karya Anton
Bakker yang terkait langsung dengan metodologi penelitian bidang filsafat
adalah buku berjudul; Metode-Metode Filsafat (1984) dan Metodologi
Penelitian Filsafat (1990) yang ditulis bersama Achmad Charris Zubair.


2. J. Sudarminta
Dalam periode 1998-2007, J. Sudarminta adalah Ketua STF
Driyarkara, Jakarta. Ia meraih gelar doktor dalam bidang filsafat di
Fordham University, New York, Amerika Serikat dengan disertasi
berjudul “Toward An Integrative View of Science and Value; A Study of
Whitehead’s Philosophy of Organism As An Integral Worldview”. Ia menulis
banyak makalah seminar dan diterbitkan dalam beberapa majalah. Ia juga
menyumbangkan tulisan dalam buku Manusia Multi Dimensional (editor;
Sastrapratedja, 1985) dan Pemuda dan Perkembangan Iptek dalam Perspektif
Agama (editor; Musa Asy’arie, dkk., 1989). Karya tulis hasil terjemahannya
terpublikasi melalui buku-buku antara lain; Ilmu Pengetahuan dan Kitab
Suci (terjemahan karya Sean P. Kealy, 1994), Menuju Keselamatan Jasmani
dan Rohani (terjemahan karya Louis Hughes, 1994), dan Kajian Tentang
Manusia (terjemahan karya Michael Polanyi, 2001). Buku karya tulisnya
sendiri, antara lain; Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat
Alfred North Whitehead (1991) dan Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat
Pengetahuan (2002). Buku hasil karya editingnya bersama Th. Hidya
Tjaya, Sj.; Menggagas Manusia Sebagai Penafsir (2005), serta buku hasil
karya editingnya sendiri; Dunia, Manusia, dan Tuhan (2005).

3. M. Amin Abdullah
Selama dua periode (2002-2005 dan 2006-2010), ia menjabat sebagai
Rektor Institut Agama Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
M. Amin Abdullah yang lahir pada 28 Juli 1953 di Margomulyo, Tayu,
Pati, Jawa Tengah ini menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana Muda
(Bakalaureat) di Institut Pendidikan Darussalam (IPD) Pesantren
Gontor (1977) dan Program Sarjana (1982) di Fakultas Ushuluddin,
Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada
tahun 1985, ia mulai melanjutkan studinya pada program doktor bidang
Filsafat Islam di Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences,
Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki dan selesai
pada tahun 1990 dengan disertasi berjudul; The Idea of University of


Ethical Norms in Ghazali and Kant. Selama setahun (1997-1998), ia
mengikuti program Post-Doctoral di McGill University, Kanada. Selain
disertasinya diterbitkan di Turki 1992, karya-karya ilmiah M. Amin
Abdullah juga telah diterbitkan di Indonesia, antara lain; Falsafah Kalam
di Era Postmodernisme (1995); Studi Agama: Normativitas atau Historisitas
(1996); Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman
Kontemporer, (2000); Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam
(2002); dan Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius (2005).
Karya hasil terjemahannya yang telah diterbitkan antara lain; Agama dan
Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (1985);
dan Pengantar Filsafat Islam: Abad Pertengahan (1989).

4. M. Mukhtasar Syamsuddin
Lahir di tanah Luwu, Palopo, Sulawesi Selatan, 2 Februari 1968. Ia
bersekolah di Pesantren IMMIM Makassar, Sulawesi Selatan (1981-
1987), lalu pada tahun 1987 ia beranjak ke Yogyakarta untuk mengikuti
kuliah program sarjana di IAIN Sunan Kalijaga dan Fakultas Filsafat,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Gelar sarjana (Doktorandus)
diperoleh dari Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (1992).
Pada awal tahun 2011, karyanya berjudul “Teologi Pembebasan dalam
Konteks Pluralitas Agama di Asia”, sebuah buku yang diangkat dari
tesis program magister filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah
Mada (2000) diterbitkan. Program doktor dalam bidang Comparative
Philosophy ditempuhnya sejak tahun 2001 dan meraih gelar Ph.D of
Arts dari Department of Philosophy, School of Humanities, Hankuk
University of Foreign Studies, Korea Selatan pada tahun 2006 dengan
disertasi berjudul; Merleau-Ponty’s Solution to the Mind-Body Problem
and its Philosophical Implications in Toegye’s Concept of Self-Cultivation.
Sebagai kontributor, karya-karyanya termuat dalam beberapa antologi,
antara lain; Pendidikan di Korea (Peluang dan Tantangan Penerapannya di
Indonesia) dalam buku berjudul “Dua Dunia; Pengalaman Lintas-Budaya
Mahasiswa Indonesia di Korea” (2006); Menakar Etos Kerja Orang Bugis-
Makassar menurut Tradisi Bangsa Jepang dalam buku berjudul “Apropriasi


Embrio Sulawesi Selatan di Yogyakarta, Masyarakat Sulawesi Selatan”
(2010). Kini, M. Mukhtasar Syamsuddin menjabat sebagai Dekan
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (periode 2008-2012).

5. P. Hardono Hadi
Dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah, pada 19 Juni 1952. Ia memperoleh
ijazah Sarjana Muda Filsafat pada tahun 1974 dan menyandang gelar
sarjana (Doktorandus) bidang teologi sejak tahun 1978, keduanya dari
IKIP Sanata Dharma Yogyakarta. Pada tahun 1982, ia melanjutkan
pendidikan untuk mempelajari filsafat di “Graduate School of Arts and
Sciences”, Fordham University, New York, Amerika Serikat. Gelar Master
diterimanya pada tahun 1986 dan gelar Doktor pada tahun 1989. Saat
ini, P. Hardono Hadi mengajar filsafat di beberapa perguruan tinggi di
Yogyakarta, antara lain di Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma,
Seminari St. Paulus, dan Program Pascasarjana, Fakultas Filsafat,
Universitas Gadjah Mada. Karya-karyanya yang telah diterbitkan,
antara lain; Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) (1994) dan Hakikat &
Muatan Filsafat Pancasila (1994). Ia menyumbangkan tulisannya dalam
buku; Kepemimpinan Religius Masa Kini (Peny.; Achmad Maulani dan
Amiddanal Khusna) (2007) dan buku karya bersamanya dengan Simon
Danes, Simon & Christoper Danes; Masalah-masalah Moral Sosial Aktual
dalam Perspektif Iman Kristen (2007).

6. Reza Alexander Antonius Wattimena


Lahir 22 Juli 1983. Kini bekerja menjadi dosen dan Sekretaris
Fakultas di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala,
Surabaya, redaktur Media Budaya On Line untuk Kolom Filsafat www.
dapunta.com, anggota Komunitas Diskusi Lintas Ilmu COGITO (dalam
kerja sama dengan Universitas Airlangga) di UNIKA Widya Mandala,
Surabaya, dan anggota komunitas System Thinking di universitas yang
sama. Ia adalah alumnus program Sarjana dan Magister Filsafat di
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Telah menulis beberapa
buku yakni Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Filsafat dan Sains


(2008), Filsafat Kritis Immanuel Kant (2010), Bangsa Pengumbar Hasrat
(2010), Menebar Garam di Atas Pelangi (artikel dalam buku, 2010),
Ruang Publik (artikel dalam buku, 2010), menjadi editor untuk satu buku
tentang Filsafat Manusia (Membongkar Rahasia Manusia: Telaah Lintas
Peradaban Filsafat Timur dan Filsafat Barat, Kanisius, Yogyakarta, 2010),
serta beberapa artikel ilmiah di jurnal ilmiah, maupun artikel filsafat
populer di media massa. Kini sedang menulis buku tentang pemikiran
Slavoj Žižek terkait dengan konsep manusia dan ideologi. Bidang
peminatan adalah Filsafat Politik, Multikulturalisme, dan Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Dapat dihubungi di reza.antonius@gmail.com atau dilihat
di Rumah Filsafat http://rezaantonius.wordpress.com/

7. S. Takdir Alisjahbana
Lahir di Natal, Tapanuli Selatan, 11 Februari 1908, dan meninggal
pada 17 Juli 1994. Semula ia bersekolah di HD Bangkahulu, namun
kemudian melanjutkannya ke Kweekschool di Muara Enim dan HBS,
Bandung. Ia memperoleh gelar Meester in de rechten (Sarjana Hukum)
dari RHS ( Recht HogeSchool), Jakarta pada tahun 1942. Selain
berpendidikan ilmu hukum, S. Takdir Alisjahbana juga mendalami
ilmu bahasa umum, kebudayaan Asia, dan filsafat. Peranannya dalam
pengembangan sastra, budaya, dan bahasa sangat besar. Di bidang
sastra, ia telah menghasilkan banyak karya tulis, antara lain; Tak Putus
Dirundung Malang (1929), Dian Tak Kunjung Padam (1932), Layar
Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941), Grotta
Azzura (1970), Tebaran Mega, Kalah dan Menang (1978), Puisi Lama
(1941), dan Puisi Baru (1946). Karyanya di bidang bahasa; Tata bahasa
Bahasa Indonesia (1936), dan Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa
Indonesia (1957) di bidang sosial dan budaya; Revolusi Masyarakat dan
Kebudayaan di Indonesia (1966), dan di bidang filsafat; Pembimbing
ke Filsafat (1946). Kedudukan yang pernah dijabat oleh S. Takdir
Alisjahbana sebagai berikut; Rektor Universitas Nasional, Jakarta; Ketua
Akademi (Kesenian) Jakarta (Taman Ismail Marzuki); Ketua Himpunan
Filsafat Indonesia, Jakarta; Ketua International Association for Art and


the Future; Pemimpin Balai Seni Toyabungkah, Bali; Pemimpin Pusat
Penerjemahan Nasional, Jakarta; Wakil Ketua Yayasan Memajukan Ilmu
dan Kebudayaan (YMIK), Jakarta; Pemimpin Umum Majalah “Ilmu dan
Budaya”; Ketua Philosophy and the Future of Humanity.

8. Toeti Heraty Noerhadi


Anak pertama dari Prof. DR. Ir. R. Roosseno ini lahir di Bandung,
dan sejak usia dini, ia sudah terpukau dengan bacaan-bacaan yang penuh
cerita, dari cerita anak-anak sampai buku sejarah. Sejak 1966 ia mulai
menulis puisi. Karya puisinya sendiri dibukukan dalam Sajak- sajak 33
(1971). Ia juga menyunting buku; Seserpih Pinang, Sepucuk Sirih;Antologi
puisi penyair-penyair wanita Indonesia (1979). Bukunya yang lain; Mimpi
dan Potensi (1984), Aku dalam Budaya (dari disertasi doktornya) (1984),
dan Bowbaden (karya bersama Marzuki) (1982). Toeti Heraty Noerhadi
mencapai sarjana muda kedokteran di Universitas Indonesia, Jakarta.
Kemudian ia meneruskan kuliah psikologi dan sempat mengenyam
pendidikan di Amsterdam, Belanda. Ia pernah menjabat sebagai Ketua
Dewan Kesenian Jakarta, dan sejak 1974 mengajar filsafat di Universitas
Indonesia, Jakarta.

Вам также может понравиться