Вы находитесь на странице: 1из 31

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke
dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan
disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbulah reaksi
inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama,
tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja
atau dapat meluas serta menyebababkan tanda dan gejala sistemik.1

Inflamasi ialah reaksi jaringan vaskular terhadap semua bentuk jejas. Pada dasarnya
inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, saraf, cairan dan sel tubuh di tempat jejas.
Inflamas iakut meruakan respon langsung yang dini terhadap agen penyebab jejas dan
kejadian yang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar diungkinkan oleh produksi
dan pelepasan berbagai macam mediator kimia, meskipun jenis jariingan yang mengalami
inflamasi berbeda, mediator yang dilepaskan adalah sama.1

Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam nyama yang disebabkan oleh
adanya disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Sespsis dan syok septik merupakan
masalah kesehatan yang masih cukup besar, yang berdampak pada jutaan orang diseluruh
dunia disetiap tahunnya, dan merupakan salah satu dari 4 penyakit mematikan. Sama halnya
dengan polytrauma, infark miokardium akut atau stroke, identifikasi dini dan penanggulangan
yang tepat pada masa-masa awal perkembangan sepsis dapat memberikan hasil yang baik.1

Untuk mengurangi angka kematian tersebut, maka dibuatlah suatu pedoman


penatalaksanaan syok septik berbasis bukti yaitu Early Goal-Directed Therapy (EGDT) yang
dapat dilakukan sejak awal sepsis ditemukan dan sebelum pasien masuk ruang terapi intensif,
karena jika resusitasi tertunda sampai terjadi disfungsi organ, maka segala hal yang dilakukan
untuk meningkatkan kadar oksigen sel akan menjadi tidak berguna. EGDT adalah suatu
strategi dalam penatalaksanaan syok septik.2

1
BAB II

SEPSIS DAN SYOK SEPTIK

A. Definisi
Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign 2016 (SSC) definisi dari sepsis dan syok
septik telah di publikasikan. Sepsis adalah keadaan dimana terjadinya disfungsi organ yang
mengancam nyawa yang disebabkan oleh disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Syok
septik adalah subset dari sepsis dengan disfungsi sirkulasi dan selular/metabolik dengan
tingkat mortalitas yang tinggi. Istilah lain mengenai sepsis adalah sindrom klinik oleh karena
reaksi yang berlebihan dari respon imun tubuh yang distimulasi mikroba atau bakteri dari
dalam dan luar tubuh. Dipandang dari imunologi, sepsis merupakan reaksi hipereaktivitas.2
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan
positif terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak selalu positif. Meskipun
SIRS, sepsis dan syok septik berubungan dengan bakteri, tidak harus terdapat bakterimia.
Bakterimia merupakan keberadaan bakteri hidup dalam komponen cairan darah. Bakterimia
bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa, primer atau
seringkali sekunder terhadap fokus infeksi intravaskular atau ekstravaskular.1,2
B. Angka Kejadian Sepsis
Sepsis adalah salah satu alasan paling umum untuk perawatan di unit intensif (ICU) di
seluruh dunia. Selama dua dekade terakhir, kejadian sepsis di Amerika Serikat telah tiga kali
lipat dan merupakan penyebab utama kematian kesepuluh. Di Amerika Serikat saja sekitar
750.000 kasus sepsis terjadi setiap tahun, setidaknya 225.000 dari yang fatal. Pasien yang
sepsis umumnya dirawat di rumah sakit untuk waktu yang lama, jarang meninggalkan ICU
sebelum 2-3 minggu. Meskipun penggunaan agen antimikrobia dan pendukung
kehidupan,angka kematian utnuk pasien dengan sepsis tetap antara 20% dan 30% selama 2
dekade terakhir.1
Pasien rawat inap di RSUD Dr. Moewardi tahun 2009 sebanyak 28.385 orang. Total
pasien yang meninggal 2.288 orang atau 8,06% dari jumlah total pasien rawat inap. Penderita
sepsis 597, angka kejadian sepsis di RSUD Dr. moewardi 2,1%. Pasien menderita sepsis 597
orang dan yang meninggal karena sepsis sebanyak 409 orang (dewasa 384 orang dan anak 25
orang). Dari kematian total dirumah sakit sebanyak 2.288 angka kematian karena sepsis
berjumlah 409 orang (17,87%). Penderita sepsis sebanyak 597 dan yang meninggal karena
syok septik sebanyak 409 (68,5%).1

2
C. Derajat Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
SIRS ditandai dengan dua atau lebih gejala sebagai berikut:1
a. Hipertermia atau hipotermia (>38,3˚C atau <35,6˚C)
b. Takipneu (laju pernapasan >20 kali/menit)
c. Takikardi (nadi >100 kali/menit)
d. Leukositosis (leukosit >12000/mm) atau leukopenia (leukosit <4000/mm)
e. Sel imatur >10%
2. Sepsis, yaitu infeksi disertai SIRS1
3. Sepsis berat
Sepsis berat yaitu sepsi yang disertai dengan multi organ dysfunction syndrome/Multi
organ failure (MODS/MOF), hipotensi, oligouri bahkan anuri.1
4. Sepsis dengan hipotensi
Sepsi dengan hipotensi yaitu dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan
tekanan darah sistolik >40 mmHg dari yang sebelumnya.1
5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang diartikan sebagai hipotensi yang
diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai
hipoperfusi jaringan.1
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainna hipoperfusi,
atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi-tetapi tidak terbatas-pada:1
a. Asidosis laktat
b. Oligouria
c. Atau perubahan akut pada status mental

Selain itu terdapat juga penambahan kriteria diagnostik untuk sepsis, diamana dengan
memasukkan petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein (CRP)
sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi
dari suatu sistem tingkatan predisposition, insult infection, response, and organ dysfunction
(PIRO) untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien
dnegan stratifikasi gejala dan risiko individual.1

3
D. Etiologi Sepsis
Penyebab dari sepsi terbesar adalah bakteri gram (-) dengan persentase 60-70% kasus,
yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan
terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang bereran penting terhadap sepsis
adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikprotein kmleks merupakan
komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif.1
LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang terinfeksi.
Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita.
Staphylococi, Pneumococci, Streptococci dan bakteri gram (+) lainnya jarang menyebabkan
sepsis, dengan angka kejadian 20-40% dari keseluruhan kasus. Selain itu, jamur oportunistik,
virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa (falciparum malariae) dilaporkan dapat
menyebabkan sepsis, walaupun jarang.1
Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian infus
substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin.
Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin yang dihasilkan
oleh berbagai macam kuman, misalnya oeh S.aureus menghasilkan eksotoksin α-hemolisin,
E.coli menghasilkan E.coli hemolisin, dapat merusak integritas membran sel imun secara
langsung.1
Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS endotoksin gram
negatif dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan
sistem imun selular dan humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala septikemia.
LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi
yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebut
faktor nekrosis tumor (Tumor necrosis factor/TNF) dan interleukin (IL)-1, IL-6 dan IL-8
yang merupakan mediator knci dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita
imunokompromis yang mengalami sepsis.1
E. Patogenesis
Sebagian besar enderita sepsis menunjukkan fokus infeksi jaringan sebagai sumber
bakteriemia, hal ini disebut sebagai bakteriemia sekunder. Sepsi gram (-) merupakan
komensal normal dalam saluran gastrointestinal, yang kemudian menyebar ke struktur yang
berdekatan, seperti pada peritonitis setelah perforasi appendika, atau bisa berpindah dari
perineum ke uretra atau kandung kemih. Selain itu, sepsis gram (-) fokus primernya dapat
berasal dari saluran genitourinarium, saluran empedu dan saluran gastrointestinum. Sepsis

4
gram (+) biasanya timbul dari infeksi kulit, saluran respirasi dan juga bisa berasal dari luka
terbuka, misalnya pada luka bakar.1
Inflamasi sebagai tanggapan imunitas tubuh terhadap berbagai macam stimulasi
imunogen dari luar. Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh untuk menghilangkan
dan eradikasi organisme penyebab. Berbagai jenis sel akan teraktivasi dan memproduksi
berbagai jenis mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Mediator inflamasi sangat
kompleks karena melibatkan banyak sael dan mediator yang dapat mempengaruhi satu sama
lain.1
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis. Terdapat banyak
faktor lain (non sitokin) yang beroeran dalam menentukan perjalanan suatu penyakit.respon
tubuh terhadap suatu patogen melibatkan bermacam-macam komponen sistem imun dan
berbagai macam sitokin baik itu yang bersifat proinflamasi dan antiinflamasi. Termasuk
sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN)-g yang bekerja membantu sel untuk
mengancurkan mikroorganisme yang menginfeksi.ntermasuk sitokin antiinflamasi adalah IL-
1ra, IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon
yang berlebihan. Apabila keseimbangan kerja antara mediator proinflamasi dan antiinflamasi
ini tidak tercapai dengan sempurna maka dapat memberikan kerugian bagi tubuh.1
Penyebab sepsis dan syok septik yang paling banyak berasal dari stimulasi toksin,baik
dari endotoksin gram (-) maupun eksotokin gram (+). Endotoksin dapat secara langsung
dengan LPS dan bersama-sama dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk
lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab yang berada dalam darah penderita akan berekasi
dengan makrofag melalui toll like receptors (TLRs) 4 sebagai reseptor transmembran dengan
perantaraan reseptor CD14+ dan makrofag mengekspresikan imuno modulator, hal in hanya
dapat terjadi pada bakteri gram (-) yang mempunyai LPS dalam dindingnya. Pada bakteri
gram (+) eksotoksin dapat merangsang langsung terhadap makrofag dengan melaui TLRS2
tetapi juga ada eksotoksin sebagai superantigen. Padahal sepsis dapat terjadi pada rangsangan
endotoksin, eksotoksin, virus dan parasit maka mekanisme tersebtu diatas masih kurang
lengkap dan tidak dapat menerangkan patogenesis sepsis dalam arti keseluruhan, oleh karena
konsep tersebut tidak melibatkan peran limfosit T dalam keadaan sepsis dan kejadian syok
septik.1
Di Indonesia dan negara berkembang sepsis tidak hanya disebabkan oleh gram (-) saja
tetapi juga disebabkan oleh gram (+) yang mengeluarkan eksotoksin. Eksotoksin, virus dan
parasit yang dapat berrperan sebagai superantigen setelah di fagosit oleh monosit atau
makrofag yang berperan sebagai antigen processing cell dan kemudian ditmpilkan dalam
5
antigen presenting cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari major histocompatibility complex (MHC). Antigen yang bermuatan peptida
MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2).1
Sebagai usaha tubuh untuk beraksi terhadap sepsis maka limfosit T akan mengeluarkan
substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu IFN-g, IL-2 dan
macrophage colony stimulating factor (M-CSF). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4,
IL-5, IL-6 dan IL-10. IFN-g merangsang makrofag mengeluarkan IL-1β dan TNF-α. INF-g,
IL-1β dan TNF-α merupakan sitokin proinflamasi sehingga pada keadaan sepsis terjadi
peningkatan kadar mediator tersebut. Selama terjadinya sepsis, awalnya diduga tingkat IL-1β
dan TNF-α berkorelasi terhadap keparahan penyakit dalam kematian, tetapi ternyata sitokin
IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi terhadap sepsis dapat pula merusak endotel
pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas. IL-1β sebagai imuno-
regulator utama juga mempunyai efek pada sel endotelial termasuk di dalamnya
pemebntukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah
tersensitisasi oleh granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-SCF) akan mudah
mengadakan adhesi. 1
Neutrofil beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang akan
menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga membawa
superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi pada
mitokondria. Akibat dari proses tersebut endotel menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan
endotel pembuluh darah. Ternyata keruskan endotel pembuluh darah tersebut akan
menyebabkan terjadinya gangguan vaskular (vascular leak) sehingga menyebabkan
kerusakan organ multipel, sehingga kelainan organ multipel ini tidak disebabkan oleh infeksi
tetapi akibat inflamasi yang sistemik dnegan sitokin sebagai mediator. Kelainan organ
multipel ini disebabkan oleh karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil
sehingga terjadi syok septik yang dapat berakhir dengan kematian.1
Syok septik merupakan diagnosis klinik sesuai dengan sindroma sepsis disertai dengan
hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg) atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik
>40 mmHg dari tekanan darah sebelumnya. Organ yang paling penting adalah hepar, paru
dan ginjal. Angka kematian sangat tinggi apabila terjadi kerusakan lebih dari tiga organ
tersebut. Pada penderita dengan diabetes melitus, sirosis hepatis, gagal ginjal kronik dan usia
lanjut yang merupakan kelompok imunokompromis, lebih mudah menderita sepsis. Pada
penderita imunokompromis bila mengalami sepsis sering terjadi komplikasi yang berat yaitu
6
syok septik dna berakhir dengan kematian. Untuk mencegah terjadinya sepsis yang
berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-10 sebagai sitokin antiinflamasi yang akan
menghambat ekspresi IFN-g, TNF-α dan fungsi APC. IL 10 juga memperbaiki jaringan yang
rusak akibat peradangan. Apabila IL-10 meningkat lebih tinggi, kemungkinan kejadian syok
pada sepsis dapat dicegah.1

F. Gejala Klinik
Gejala klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda-tanda sepsis
non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitusif seperti lelah, malaise, gelisah
atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk nfeksi dan dapat dijumpai pada banyak
maacm kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang paling sering yaitu paru, traktus
digestifus, traktus urinarius, kulit, jairngan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan
diterminan enting untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis
tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, diabetes melitus, kanker, gagal
organ utama, dan pada asien dengan granulositopenia. Yang sering diikuti gejala MODS
sampai dengan terjadinya syok sepsis. Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi
adalah sebagai berikut:1
a. Sindroma distress pernapasan pada dewasa
b. Gagal ginjal akut
c. Koagulasi intravaskular
d. Perdarahan usus
e. Gagal hati
f. Disfungsi sistem saraf pusat
g. Gagal jantung
h. Kematian

G. Diagnosis
a. Anamnesis dan riwayat penyakit
Dagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis yang
cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium ang sesuai dan tindak lanjut status hemodinamik.
Riwayat perjalanan penyakit yang diderita pasien membantu menentukan apakah infeksi
didapatkan dari komunitas atau nosokmial dan apakah pasien imunokompromis atau tidak.
Rincian yang harus diketahui meliputi paparan pada hewan, perjalanan, gigitan tungau,

7
bahaya ditempat kerja, penggunaan alkohol, seizure, hilang kesadaran, medikasi dan penyakit
dasar yang mengarahkan pasien kepada agen infeksius tertentu.1
b. Pemeriksaan fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis
sepsis. Pada semua pasien dengan neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis,
pemeriksaan fisik juga meliputi pemeriksaan rektum, pelvis dan genital. Pemeriksaan tersebut
akan mengungkap abses rektal, perirektal, dan/atau perineal, penyakit dan/atau abses
inflamasi pelvis atau prostatitis. Adapun beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:1
1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi.
2. Hipotensi, oligouri, atau anuri
3. Takipnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas
4. Perdarahan.
c. Uji laboratorium
Uji laboratorium meliputi complete blood count (CBC) dengan hitung diferensial,
urinalisis, gambaran koagulasi, gluksa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi
hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elekrokardiogram, dan foto dada. Biakan darah,
sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan. Lakukan engecatan gram
ditempat yang biasanya steril seperti darah, CSF, cairan artikular, ruang pleura, dengan
aspirasi. Tergantung pada status klinis pasien dan risiko terkait, pemeriksaan lain juga dapat
digunakan foto abdomen, CT Scan, MRI, ekokardiografi, dan/atau pungsi lumbal.1
1. Pada sepsis awal
Pada kondisi sepsis awal dapat terjadi leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Neutrofil mengandung
granulasi toksik, badan Dohle, atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan
alkalosis respirator hipoksemia dapat dikoreksi dengan oksigen. Penderita diabetes
dapat mengalami hierglikemia. Lipid serum dapat meningkat.1
2. Keadaan selanjutnya
Trombositopenia dapat terjadi memburuk disertai perpanjangan waktu trombin,
penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Asotemia
dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim hepar) dapat
meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi serum laktat. Asidosis
metabolik (peningkatan anion gap) terjadi setelah alkalosis respiratori. Hipoksemia
tidak dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik dapat
menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi. 1
8
BAB III

EARLY GOAL-DIRECTED THERAPY DALAM PENATALAKSANAAN SEPSIS


BERAT DAN SYOK SEPTIK3

Emanuel Rivers, M.D., M.P.H., Bryant Nguyen, M.D., Suzanne Havstad, M.A., Julie Ressler,
B.S., Alexandria Muzzin, B.S., Bernhard Knoblich, M.D., Edward Peterson, PH.D., Michael
Tomlanovich, M.D.

ABSTRAK

Latar Belakang

EGDT telah digunakan dalam penatalaksanaan sepsis berat dan syok sepsis di ICU.
Pendekatan ini terdiri dari pengontrolan terhadap preload, afterload dan kontraktilitas jantung
untuk mempertahankan keseimbangan antara penghantaran oksigen dengan kebutuhan
oksigen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keefektifan EGDT sebelum
pasien dirawat di ICU.

Metode

Dalam penelitian ini, pasien yang dilibatkan diambil secara randomisasi terkontrol dan
tersamar yaitu pasien yang datang ke IGD dengan sepsis berat atau syok septik, kemudian
diberikan penanganan, baik itu dengan metode EGDT maupun dengan terapi standar (sebagai
kontrol) selama 6 jam sebelum pasien dirawat di ICU. Dokter yang menangani pasien
kemudian mengasumsikan pemilihan terapi tersebut sebagai penugasan pengobatan terhadap
pasien. Mortalitas di rumah sakit (luaran keefektifan yang primer), titik akhir dari resusitasi,
dan skor Acute Physisologi and Chronic Health Evaluation (APACHE II) ditentukan secara
berturut-turut dalam 72 jam dan dibandingkan antara kedua kelompok penelitian.

Hasil

Dari 263 pasien yang dilibatkan, 130 pasien secara acak mendapatkan EGDT dan 133
pasien mendapatan terapi standar, dimana tidak ada perbedaan karakterisitik yang signifikan
pada kedua kelompok pasien tersebut. Mortalitas di rumah sakit didapatkan 30,5% pada
kelompok yang mendapatkan EGDT, sedangkan pada pasien yang mendapatkan terapi
standar adalah 46,5% (P=0,009). Selama interval waktu dari 7 jam hingga 72 jam, pasien
yang mendapatkan EGDT secara signifikan memiliki rata-rata (±SD) saturasi oksigen vena
sentral yang lebih tinggi (70,4 ± 10,7% dibandingkan 65,3 ±11,4%), konsentrasi laktat yang

9
lebih rendah (3,0 ±4,4 mmol/L dibandingkan 3,9 ± 4,4 mmol/L), defisit basa yang lebih
rendah (2,0 ± 6,6 mmol/L dibandingkan 5,1 ± 6,7 mmol/L), dan pH yang lebih tinggi (7,40
±0,12 dibandingkan 7,36 ±0,12) jika dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi
standar (P ≤0,02 untuk semua perbandingan). Dalam periode yang sama, rata-rata dari skor
APACHE II secara signifikan lebih rendah pada pasien yang mendapatkan EGDT
dibandingkan pada pasien yang mendapatkan terapi standar, dimana hal ini mengindikasikan
lebih sedikitnya organ yang mengalami disfungsi berat (13,0 ±6,3 dibandingkan 15,9 ±6,4
P<0,001).

Kesimpulan

EGDT memberikan keuntungan yang lebih signifikan terkait dengan luaran penatalaksanaan
pasien dengan sepsis berat dan syok septik.

EARLY GOAL-DIRECTED THERAPY

Sindroma respon inflamasi sistemik (SIRS) dapat berakhir dengan sendirinya (self-
limited) atau dapat berlanjut menjadi sepsis berat dan syok septik. Selama hal ini
berlangsung, abnormalitas sirkulasi (deplesi volume intravaskular, vasodilatasi perifer,
depresi miokardium, dan peningkatan metabolisme) dapat mengakibatkan ketidak
seimbangan antara pengantran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen, sehingga
menimbulkan hipoksia jaringan luas atau syok. Hipoksia jaringan merupakan kunci awal
sebelum terjadinya kegagalan multi organ dan kematian, yang juga merupakan suatu
indikator keseriusan suatu penyakit. Masa transisi ini disebut “golden hours”, dimana
penanganan yang tepat akan sangat dibutuhkan untuk mencapai hasil penatalaksanaan yang
maksimal. Golden hours ini dapat saja telah terlewatkan ketikan pasien telah di IGD, ruang
perawatan atau di ICU.

Penilaian hemodinamik dini berdasarkan pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital, tekanan


vena sentral dan urin output dinyatakan gagal dalam mendeteksi adanya hipoksia jaringan
luas. Strategi resusitasi yang lebih tepat dilakukan dengan tujuannya berorientasi kepada
preload, afterload dan kontraktilitas jantung sehingga tercapai keseimbangan antara
pengantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen. Titik akhir yang digunakan untuk
mengkonfirmasi keseimbangan yang telah tercapai (selanjutnya disebut titik akhir resusitasi)
meliputi nilai normal dari saturasi oksigen vena, konsentrasi laktat arteri, defisit basa, dan

10
pH. Saturasi oksigen vena menunjukkan indeks jantung yang mana merupakan target dari
terapi hemodinamik. Pada kasus-kasus yang dilakukan kateterisasi arteri pulmonal, saturasi
oksigen vena dapat diukur disirkulasi sentral.

Meskipun insiden syok septik terus mengalami peningkatan selama beberapa dekade
terakhir, angka mortalitas yang ditimbulkan tampaknya konstan atau hanya mengalami
sedikit penurunan. Studi intervensi seperti imunoterapi, optimalisasi hemodinamik, atau
kateterisasi arteri pulmonal telah dilakukan pada pasien hingga 72 jam setelah mendapatkan
perawatan di ICU. Hasil negatif dari studi ini yang meliputi variabel-variabel hemodinamik
(optimalisasi hemodinamik), mendorong dilakukannya studi dimasa yang akan datang pada
pasien dengan penyebab penyakit yang sama atau dengan hipoksia jaringan luas (yang
ditandai dengan peningkatan konsentrasi laktat) dan dilakukan intervensi pada fase awal
penyakit.

Kami melakukan evaluasi terhadap keefektifan EGDT sebelum pasien dilakukan


perawatan di ICU yang meliputi adanya pengurangan insiden terjadinya disfungsi multiorgan,
mortalitas dan penggunaan sumber daya kesehatan pada pasien dengan sepsis berat dan syok
septik.

METODE

Pendekatan Design Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian randomisasi dan prospektif yang didukung oleh
institusi penelitian terhadap manusia dan dibawah perlindungan komite keselamatan,
keefektifan dan monitoring data.

Kelayakan

Pasien dewasa yang layak dilakukan penelitian yang berada di IGD rumah sakit
pendidikan tersier, yang menggunakan kapasitas 850 tempat tidur, pada dengan sepsis berat,
syok septik atau sindroma sepsis dari bulan Maret 1997 hingga 2000, dipilih berdasarkan
penilaian terhadap kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria inklusi yaitu memenuhi dua
dari empat krtieria sindroma respon inflamasi sistemik dan tekanan darah sistolik tidak lebih
dari 90 mmHg (setelah pemberian cairan kristaloid 20-30 ml/kgBB selama lebih dari 30
menit) atau dengan konsentrasi laktat darah 4 mmol/L atau lebih. Kriteria eksklusi yang
digunakan adalah usia kurang dari 18 tahun, sedang dalam keadaan hamil, atau adanya

11
kejadian vaskular serebral akut, sindroma koroner akut, edema pulmonal akut, status
asmatikus, disaritmia jantung (sebagai diagnosis primer), adanya kontraindikasi pemasangan
kateterisasi vena sentral, perdarahan gastrointestinal aktif, kejang, overdosis obat, luka bakar,
trauma, membutuhkan tindakan operasi segera, penyakit kanker (dalam masa kemoterapi),
imunosupresi (karena transplantasi organ atau penyakit sistemik), status pasien tidak
diresusitasi, atau hal-hal lain yang membatasi pelaksanaan protokol penelitian.

Dokter yang menangani pasien tidak mengetahui hasil penilaian terhadap terapi yang
diberikan. Setelah didapatkan inform konsen tertulis, pasien secara acak dipilih untuk
mendapatkan terapi EGDT atau terapi standar menggunakan program komputer. Kemudian
penanda kelompok studi ini dimasukkan kedalam amplop yang tidak transparan dan secara
acak diambil dan dibuka oleh pegawai rumah sakit yang bukan merupakan anggota
penelitian.

Penatalaksanaan

Pasien dilakukan penatalaksanaan pada 9 unit tempat tidur di ruang IGD oleh seorang
dokter IGD, dua residen, dan 3 perawat. Penelitian terus berlangsung selama perawatan rutin
dari pasien-pasien lainnya yang datang ke IGD. Setelah dilakukan katetersasi arteri dan vena
sentral, pada pasien yang tergolong dalam kelompok yang menerima terapi standar
ditatalaksana oleh dokter berdasarkan protokol untuk mempertahankan hemodinamik
(gambar 1) dengan tetap dilakukannya konsultasi dan dilakukan perawatan inap sesegara
mungkin. Darah, urin dan spesimen terkait lainnya untuk kultur dilakukan pengambilan di
IGD sebelum diberikan antibiotik. Pemberian antibiotik berdasarkan keputusan dokter.
Terapi antimikroba dianggap adekuat jika sensitivitas secara in vitro dari mikroorganisme
yang teridentifikasi sesuai dengan antibiotik yang diberikan saat di IGD.

12
Gambar 1.Gambaran pemilihan pasien dan dukungan hemodinamik yang didapat.3

Pasien yang mendapatkan EGDT, mendapatkan pemasangan kateter vena sentral dan
dilakukan pengukuran saturasi oksigen vena sentral, yang terhubung dengan
spektrophotometer komputer untuk dilakukannya monitoring secara berkelanjutan. Pasien
dilakukan penatalaksanaan di IGD sesuai dengan protokol EGDT (gambar 2) selama 6 jam di
tempat tidur yang tersedia pertama kali. Monitoring terhadap saturasi oksigen vena sentral
kemudian dihentikan. Para klinisi yang terlibat (dokter ruang intensif, dokter spesialis, dan
residen tersedia dalam 24 jam) diasumsikan merawat semua pasien secara keseluruhan, dan
tidak mengetahui luaran pengelompokan pasien. Para peneliti tidak mempengaruhi
penatalaksanaan yang didapatkan pasien selama di ICU.

13
Gambar 2. Protokol EGDT.3

Adapun protokol EGDT adalah sebagai berikut. Sebanyak 500 ml kristaloid bolus
diberikan setiap 30 menit untuk mencapai tekanan vena sentral 8-12 mmHg. Jika mean
arterial pressure (MAP) kurang dari 65 mmHg, maka akan diberikan vasopressor hingga
tercapai MAP paling kurang 65 mmHg. Jika MAP lebih dari 90 mmHg, diberikan vasodilator
hingga MAP tercapai 90 mmHg atau kurang. Jika saturasi oksigen vena sentral kurang dari
70%, maka akan diberikan transfusi sel darah merah untuk mencapai hematokrit paling
kurang 30%. Ketika tekanan vena sentral, MAP, dan hematokrit telah optimal, jika saturasi
oksigen vena sentral kurang dari 70%, maka diberikan dobutamin dimulai dari dosis 2,5
ug/kgBB/menit, dosis dinaikkan 2,5 ug/kgBB/menit setiap 30 menit sampai saturasi oksigen
vena senral 70% atau lebih, hingga dosis maksimal yaitu 20 ug/kgBB/menit. Dosis
dobutamin diturunkan jika MAP kurang dari 65 mmHg atau jika laju jantung diatas 120
kali/menit. Untuk mengurangi penggunaan oksigen, pada pasien yang dalam optimasi
hemodinamik diberikan ventilasi mekanik dan sedatif.

14
Pengukuran Keberhasilan

Suhu tubuh pasien, laju jantung, urine output, tekanan darah, dan tekanan vena sentral
diukur secara berkelanjutan selama 6 jam pertama terapi dan dilakukan penilaian setipa 12 –
72 jam. Hasil analisis gas darah arteri dan vena (termasuk saturasi oksigen vena sntral dengan
menggunakan in vitro co-oxymetry; Nova Biomedical, Waltham, Mass), konsentrasi laktat,
dan variabel-variabel yang berhubungan dengan koagulasi, serta variabel-variabel klinis yang
diperlukan untuk menentukan skor APACHE II (pada skala 0-71, dengan skor tertinggi
mengindikasikan semakin beratnya disfungsi organ yang terjadi, skor Simplifield Acute
Physiology II (SAPS II, pada skala 0-174, dengan skor yang tinggi menandakan semakin
beratnya disfungsi organ yang terjadi), dan skor Multiple Organ Dysfunction (MODS, pada
skala 0-24 dengan skor yang tinggi menandakan semakin beratnya disfungi organ), telah
ditentukan sejak pertama kali (jam ke-0) dan pada jam ke 3, 6, 12, 24, 36, 48, 60 dan 72 jam.
Hasil dari pemeriksaan laboratorium dibutuhkan hanya untuk tujuan peneilitan dan hanya
diketahui oleh peneliti. Pasien dilakukan follow up selama 60 hari atau hingga meninggal.
Penggunaan sarana kesehatan (ditunjukkan dengan durasi terapi vasopressor dan ventilsi
mekanik dan lamanya perawatan di rumah sakit) juga dilakukan penilaian.

Analisa Statistik

Mortalitas di rumah sakit merupakan patokan keefektifan primer. Sementara patokan


sekundernya terdiri atas akhir dari resusitasi, skor disfungsi organ, variabel-variabel terkait
koagulasi, terapi yang diberikan, dan penggunaan sarana kesehatan. Dengan menganggap
eksklusi dari penelitian sebanyak 10%, error tipe 1 sebanyak 5%, dan kekuatan penelitian
80%, kami menghitung jumlah sampel bahwa sebanyak 260 pasien dibutuhkan untuk
mendeteksi adanya penurunan angka mortalitas di rumah sakit sebanyak 15%. Estimasi
mortalitas Kaplan-Meier, bersama dengan rasio risiko dan interval konfidens 95%, digunakan
dalam menggambarkan risiko relatif kematian. Perbedaan diantara kedua kelompok dinilai
berdasarkan uji t, uji chi-square, atau uji wilcoxon. Analisis inkremental dari area yang
berada dibawah kurva digunakan untuk mengukur perbedaan selama interval waktu dari awal
hingga 6 jam setelah dimulainya terapi. Untuk data selama 6 jam, digunakan analisis
kovarian. Metode campuran digunakan untuk menilai dampak dari terapi pada variabel-
variabel sekunder yang telah ditentukan sebelumnya selama interval waktu dari 7-72 jam
setelah dimulainya terapi. Secara terpisah, sebanyak 12 orang anggota komite eksternal yang
terbukti aman, efektid dan dapat memonitoring data, melakukan analisis data sementara

15
setelah sepertiga dan dua pertiga pasien telah dikumpulkan dan pada saat bersamaan juga
merekomendasikan penelitian dilanjutkan. Untuk menyesuaikan kedua analisis sementara,
fungsi penggunaan alfa pada DeMets and Lan telah digunakan utnuk menentukan apakah
nilai P adalah 0,04 atau kurang, dimana hal ini mengindikasikan signifikansi secara statistik.

HASIL

Karakeristik Dasar

Kami melakukan evaluasi terhadap 288 pasien dimana sebanyak 8,7% nya dieksklusi
atau tidak menyetujui untuk berpartisipasi. Sebanyak 263 pasien dilibatkan secara acak untuk
menentukan apakah mendapatkan terapi standar atau EGDT; sebanyak 263 pasien
menyelesaikan periode 6 jam pertama terapi. Dari 263 pasien yang diikutsertakan dalam
penelitian, semuanya dilakukan analisa. Pasien yang mendapatkan terapi standar secara
signifikan memiliki waktu lebih pendek berada di IGD dibandingkan pasien yang
mendapatkan EGDT (rata-rata [±SD] 6,3 ± 3,2 jam dibandingkan 8,0 ± 2,1 jam; P < 0,001).
Tidak terdapat adanya perbedaan yang siginifikan pada kedua kelompok berdasarkan
karakteristik dasar apapun, termasuk keadekuatan dan durasi pemberian terapi antibiotik
(tabel 1). Tanda-tanda vital, hasil akhir resusitasi, skor disfungsi organ dan variabel-variabel
berkaitan dengan koagulasi juga ditemukan sama pada kedua kelompok (tabel 2).

16
Tabel 1. Karakteristik dasar pasien

17
Tabel 2. Tanda-tanda vital, hasil resusitasi, skor disfungsi organ dan variabel koagulopati.

Sebanyak 27 pasien tidak mendapatkan periode terapi 6 jam pertama secara utuh (14
pasien yang mendapatkan terapi standar dan 13 pasien dengan EGDT) hal ini dikarenakan
beberapa penyebab yaitu penghentian terapi medis yang agresif (pada 5 pasien dari masing-
masing kelompok), penghentian terapi operasi agresif (pada 2 pasien dari masing-masing
kelompok), adanya kebutuhan untuk dilakukan operasi sesegera mungkin (pada 4 asien
dengan terapi standar dan 3 pasien dengan EGDT), kebutuhan intervensi urologi, kardiologi,
atau prosedur angiografi (pada 2 pasien dari masing-masing kelompok), dan penolakan untuk
melanjutkan partisipasi dalam penelitian (pada 1 pasien dari masing-masing kelompok) (nilai
P= 0,99 di semua perbandingan). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pasien yang
mendapatkan periode terapi 6 jam pertama secara utuh dengan pasien yang tidak
mendapatkannya disemua karakteristik dasar, baik itu tanda-tanda vital, hasil akhir resusitasi,
skor disfungsi organ, atau variabel-variabel terkait koagulasi (data tidak ditampilkan).

18
Tanda-Tanda Vital dan Hasil akhir Resusitasi

Selama 6 jam pertama setelah dimulainya terapi, tidak ada perbedaan signifikan laju
jantung antara kedua kelompok (P=0,25) atau tekanan vena sentral (P=0,22) (tabel 2). Selama
periode ini, MAP secara signifikan lebih rendah pada pasien yang mendapatkan terapi standar
dibandingkan pada pasien yang mendapatkan EGDT (P<0,001), tetapi pada kedua kelompok,
ditemukan pencapaian MAP 65 mmHg atau lebih tinggi. Target tercapainya saturasi oksigen
vena sentral 70% atau lebih ditemukan tercapai pada 60,2% pasien dengan terapi standar,
dibandingkan dengan 94,9% pada pasien yang mendapatkan EGDT (P < 0,001). Adapun
kombinasi dari pencapaian target hemodinamik untuk tekanan vena sentral, MAP, dan urin
output (dengan penyesuaian pada pasien yang mengalami gagal ginjal stadium akhir)
mencapai 86,1% pada pasien yang mendapat terapi standar, dibandingkan dengan 99,2%
pada pasien yang mendapatkan EGDT (p<0,001). Selama periode ini, pasien yang
mendapatkan terapi standar memiliki saturasi oksigen vena sentral yang lebih rendah
(P<0,001) dan memiliki defisit basa lebih tinggi (P = 0,006) dibandingkan pada pasien yang
mendapatkan EGDT; pada kedua kelompok ditemukan konsentrasi laktat yang sama (P=0,62)
dan nilai pH yang sama (P=0,26).

Selama periode waktu 7-72 jam setelah dimulainya terapi, pasien yang mendapatkan
terapi standar secara signifikan memiliki laju jantung yang lebih tinggi (P=0,04) dan secara
signifikan memiliki MAP yang lebih rendah (P<0,001) dibandingkan pada pasien yang
mendapatkan EGDT; kedua kelompok pasien ini memiliki tekanan vena sentral yang sama
(P=0,68). Selama periode ini, pasien yang mendapatkan terapi standar juga secara signifikan
memiliki saturasi oksigen vena sentral yang lebih rendah dibandingkan pada pasien yang
mendapatkan EGDT (P<0,001), sama halnya dengan konsentrasi laktat yang lebih tinggi
(P=0,02), defisit basa yang lebih tinggi (P=0,001) dan pH yang lebih rendah (P<0,001).

Disfungsi Organ dan Variabel-Variabel Koagulasi

Selama periode waktu 7-72 jam, skor APACHE II, SAPS II, dan MODS secara
signifikan lebih tinggi pada pasien dengan terapi standar dibandingkan pada pasien dengan
EGDT (P<0,001 untuk semua perbandingan) (tabel 2). Selama periode waktu tersebut, waktu
prothrombin secara signfikan lebih tinggi pada pasien dengan terapi standar dibandingkan
pada pasien dengan EGDT (P=0,001), sama halnya dengan konsentrasi pecahan produk fibrin
(P<0,001) dan konsentrasi D-dimer (P=0,006). Kedua kelompok pasien memiliki waktu

19
paruh prothrombin yang sama (P=0,06), konsentrasi fibrinogen (P=0,21), dan jumlah platelet
(P=0,51) (tabel 2).

Mortalitas

Angka mortalitas di rumah sakit secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan
terapi standar dibandingkan pada pasien yang mendapatkan EGDT (P=0,009), dimana
mortalitas terjadi pada hari ke 28 (P=0,01) dan hari ke 60 (P=0,03) (tabel 3). Perbedaan pada
kedua kelompok pada mortalitas pada hari ke 60 secara primer menggambarkan perbedaan
mortalitas di rumah sakit. Hasil yang sama juga didapatkan setelah data dari 27 pasien yang
tidak mendapatkan terapi 6 jam pertama secara penuh dieksklusikan dari analisa data (data
tidak ditampilkan). Laju kematian di rumah sakit disebabkan oleh kejadian kolaps
kardiovaskular yang secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan terapi standar
dibandingkan pada pasien dengan EGDT (P=0,02); laju kematian dikarenakan kegagalan
multiorgan ditemukan sama pada kedua kelompok (P=0,27).

Tabel 3. Esimasik Kaplan-Meier mengenai mortalutas di rumah sakit dan penyebabnya.

20
Pemberian Terapi

Selama 6 jam pertama, pasien yang mendapatkan EGDT menerima secara signifikan
lebih banyak cairan dibandingkan pada pasien dengan terapi standar (P<0,001) dan lebih
banyak frekuensi transfusi sel darah merah (P<0,001) serta obat inotropik (P<0,001),
sementra proporsi yang sama pada kedua kelompok yaitu dalam hal diberikannya vasopressor
(P=0,62) dan ventilasi mekanik (P=0,90) (tabel 4). Namun, selama periode 7-72 jam, pasien
yang mendapatkan terapi standar secara signifikan mendapatkan lebih banyak cairan
dibandingkan pada pasien dengan EGDT (P=0,01) dan lebih banyak menerima transfusi sel
darah merah (P<0,001), vasopressor (P=0,03), ventilasi mekanik (P<0,001) serta kateterisasi
arteri pulmonal (P=0,04); tingkat penggunaan agen inotropik pada kedua kelompok adalah
sama (P=0,14) (tabel 4). Selama keseluruan periode dari terapi awal hingga 72 jam setelah
terapi dimulai, tidak ada perbedaan yang signifikan pada jumlah cairan yang diterima pada
keuda kelompok (P=0,73) ataupun pada penggunaan agen inotropik (P=0,15), walaupun
proporsi pasien yang mendapatkan vasopresor (P=0,02), ventilasi mekanik (P=0,02), dan
kateterisasi arteri pulmonal (P= 0,01) pada pasien dengan terapi standar lebih besar dari pada
pasien dengan EGDT, serta proporsi kebutuhan transfusi sel darah merah yang lebih kecil
pada pasien dengan terapi standar dibandingkan pada pasien dengan EGDT (P< 0,001).
Meskipun pada kedua kelompok dasarnya hampir sama (P=0,91), rata-rata hematokrit selama
72 jam secara signifikan lebih rendah pada pasien dengan terapi standar dibandingkan pada
pasien dengan EGDT (P<0,001). Meskipun dilakukan transfusi sel darah merah, secara
signifikan nilai tetap rendah dibandingkan standar pada kedua kelompok (P<0,001 untuk
kedua perbandingan) (tabel 2).

21
Tabel 4. Terapi yang diberikan.

Penggunaan Sumber Daya Kesehatan

Tidak terdapat adanya perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok mengenai durasi
rata-rata penggunaan terapi vasopressor (2,4 ± 4,2 hari dibandingkan 1,9 ± 3,1 hari, P=0,49),
rata-rata lama penggunaan ventilasi mekanik (9,0 ± 13,1 hari dibandingkan 9,0 ± 11,4 hari,
P= 0,38), ataupun rata-rata lama perawatan di rumah sakit (13,0 ± 13,7 hari dibandigkan 13,2
± 13,8 hari P=0,54). Namun, pada pasien yang berhasil bertahan hingga keluar dari rumah
sakit, pada pasien dnegan terapi standar secara signifikan memiliki waktu yang lebih lama
bertahan di rumah sakit dibandingkan pada pasien dengan EGDT (18,4 ± 15,0 hari
dibandingkan 14,6 ± 14,5 hari, P=0,04).

DISKUSI

Sepsis berat dan syok septik merupakan keadaan yang sering ditemukan dan memiliki
hubungan penting dnegan tingkat mortalitas dan kebutuhan sumber daya kesehatan.
Didapatkan kemungkinan sebanyak 751.000 kasus sepsis atau syok septik (3,0 kasus per

22
1000 populasi) di United States setiap tahunnta, dan bertanggung jawab terjadap banyak
kematian disetiap tahunnya, sama halnya dengan infark miokardium (215.000 atau 9,3% dari
semua kematian). Pada orang lanjut usia, insiden sepsis atau syok septik dan hubungannya
dengan laju mortalitas tampaknya lebih tinggi dibandingkan pada populasi muda. Angka
pertumbuhan populasi lanjut usia yang semakin meningkat di United States akan
berkontribusi terhadap peningkatan insidensi sepsis atau syok septik sebnayak 1,5% per
tahun, dengan estimasi 934.000 di tahun 2010 dan 1.110.000 kasus di tahun 2020. Anggaran
pembiayaan juga meningkat menjadi 16,7 juta dolar.

Masa transisi dari SIRS menjadi sepsis berat dan syok septik berkembang dengan
melibatkan banyak sekali perubahan patogenik, termasuk abnormalitas sirkulasi yang
menimbulkan hipoksia jaringan yang luas. Perubahan ini merupakan target dari terapi pada
penelitian sebelumnya. Walaupun masa transisi ini teradi seiring berjalannya waktu, baik saat
diluar maupun didalam rumah sakit, pada penelitian-penelitian intervensi biasanya terjadi
setelah pasien dirawat diruangan ICU. Pada penelitian mengenai target optimasi
hemodinamik, secara khusus, tidak terdapat keuntungan tercapainya hemodinamik normal
atau diatas normal, selama hal ini dipantau melalui saturasi oksigen vena campuran.
Sebaliknya, meskipun dalam penelitian kami, kami mengikutsertakan pasien dnegan saturasi
oksigen vena sentral yang rendah dan tekanan vena sentral yang rendah dibandingkan pada
penelitian oleh Gattinoni et al dan dengan konsentrasi laktar yang lebih tinggi dibandingkan
pada penelitian oleh Hayes et al, kami menemukan adanya keuntungan yang signifikan pada
pasien dnegan EGDT jika diterapkan pada fase awal penyakit. pada asien dengan syok septik,
sebagai contoh, Hayes et al mengobservasi mortalitas di rumah sakit yang lebih tinggi pada
tindakan optimasi hemodinamik agresif di ICU (72%) dibandingkan dengan kontrol (52%),
sementara, pada penelitian kami, kami mengobservasi lebih rendahnya mortalitas pasien
dengan syok septik yang diberikan EGDT (42,3%) dibandingkan pada pasien yang
mendapatkan terapi standar (56,8%).

Keuntungan dari EGDT adalah multifaktorial. Insidensi kematian dikarenakan kolaps


kardiovaskular mendadak pada kelompok pasien yang medapatkan terapi standar ditemukan
hampir dua kali lipat dibandingkan pada pasien yang mendapatkan EGDT, hal ini
menunjukkan bahwa perubahan mendadak ke penyakit yang berat adalah penyebab penting
kematian dini. Identifikasi dini pada pasien dengan penyakit yang berbahaya (hipoksia
jaringan luas diikuti dengan tanda-tanda vital yang stabil) membuat adanya kemungkinan
EGDT dapat diterapkan. Jika kejadian kolaps kardiovaskular mendadak dapat dicegah, maka

23
kebutuhan akan vasopressor, ventilasi mekanik, dan kateterisasi arteri pulmonal (dan risiko
terkait) dapat berkurang. Selain menjadi pemicu SIRS, hipoksia jaringan luas dapat
berkontribusi terkativasinya endothelial dan terganggunya keseimbangan homeostatik
diantaranya koagulasi, permeabilitas vaskular dan tonus vaskular. Terdapat mekanisme kunci
yang dapat memicu timbulnya kegagalaan mikrosirkulasi, hipoksia jaringan refrakter, dan
disfungsi organ. Ketika terapi awal tidak komprehensif, progresi dari beratnya penyakit dapat
berlanjut saat pasien telah dirawat di ruangan ICU. Optimasi hemodinamik agresif dan terapi
lain yang dilakukan setelahnya mungkin tidak sepenuhnya efektif atau bahkan dapat bersifat
merusak.

Nilai pengukuran saturasi oksigen vena di atrium kanan atau vena cava superior
(saturasi oksigen vena sentral) pada pengukuran di arteri pulmonal (saturasi oksigen vena
campuran) telah di diskusikan, khususnya, ketika saturasi diatas 65%. Pada pasien yang
dirawat di ICU yang menderita syok septik hiperdinamik, saturasi oksigen vena campurannya
jarang dibawah 65%. Sementara itu, pada pasien dalam penelitian kami, pasien dilakukan
pemeriksaan selama tahap resusitasi dimana dibutuhkannya suplementasi oksigen (ditandai
dengan terjadinya penuruanan saturasi oksigen vena campuran dan peningkatan konsentrasi
laktat) ketika saturasi oksigen vena sentral melebihi saturasi oksigen vena campuran. Saturasi
oksigen vena sentral awal kurang dari 50% pada kedua kelompok penelitian. Saturasi oksigen
vena campuran yaitu 5-13% lebih rendah di arteri pulmonal dan 15% lebih rendah di perifer.
Walaupun tidak ekuivalen secara angka, namun rentang nilai ini secara patologis adalah
ekuivalen dan berhubungan dengan tingginya mortalitas. Diantara semua pasien pada
penelitian saat ini yang mana tujuannya adalah berkaitan dengan tekanan vena sentral, MAP
dan urin ouput selama 6 jam pertama, 39,8% pasien yang mendapatkan terapi standar masih
bergantung pada oksigen saat diresusitasi 6 jam pertama, dibandingkan dengan hanya 5,1%
pada pasien dengan EGDT. Mortalitas di rumah sakit pada 56,5% dari 39,8% pasien ini,
dimana dengan risiko hemodinamik yang tinggi, ditemukan konsisten dengan hasil penelitian
sebelumnya di ruangan ICU.

Dalam suatu penelitian terbuka, random dan tersamar sebagian, terdapat hal-hal yang
tidak dapat dihindari dalam masa-masa awal penelitian. Sering berjalannya progresifitas
penelitian, pasien yang termasuk kelompok yang diberikan terapi standar bisa saja menerima
sejumlah bentuk terapi bertujuan tertentu, yang akan mengurangi efek terapi. Pengurangan ini
mungkin dapat diimbangi tetapi bias yang terjadi dikarenakan secara langsung dari pengaruh
tenaga kesehatan yang merawat pasien. Potensi terjadinya bias adalah 9,9 ±19,5% selama

24
perawatan di rumah sakit pada kelompok pasien yang menerima terapi standa dan 7,2 ±
12,0% pada kelompok pasien yang menerima EGDT (P=0,20). Interval ini termasuk yang
minimal jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya karena petugas kesehatan yang
berperan merawat pasien selama di rumah sakit tidak mengetahui adanya randomisasi
terhadap pasien.

Kami menyimpulkan bahwa EGDT digunakan dalam penanganan fase awal sepsi berat
dan syok sepsis, walaupun membutuhkan waktu yang singkat dibandingkan dengan lama
perawatan di rumah sakit secara keseluruhan, EGDT memiliki keuntungan jangka pendek dan
jangka panjang yang signifikan. Keuntungan ini semakin meningkat saat awal identifikasi
pasien yang memiliki risiko tinggi terjadinya kolaps kardiovaskular dan intervensi terapi dini
untuk mengembalikan keseimbangan antara oksigen yang dihantarkan dengan kebutuhan
oksigen. Dimasa yang akan datang, peneliti yang menghubungkan hasil penelitian pada
pasien dengan sepsis agar sebaiknya mempertimbangkan kualitas dan waktu dilakukannya
resusitasi sebelum dilakukannya penilaian terhadap variabel-variael penting.

25
BAB IV

MEKANISME DASAR DITERAPKANNYA EARLY GOAL-DIRECTED THERAPY

Early goal-directed therapy (EGDT) pertama kali diperkenalkan oleh River dkk5 yang
melakukan suatu penelitian randomisasi terkontrol dan tersamar yang menunjukkan bahwa
dengan menangani sepsis berat dan syok septik secara agresif, cepat dan terarah di ruang
gawat darurat akan menghasilkan luaran yang lebih baik. Early goal-directed therapy
(EGDT) diterapkan pada pasien sepsis berat dengan disfungsi kardiovaskuler (syok septik)
yang refrakter terhadap pemberian resusitasi cairan.
Inti EGDT pada syok septik adalah memantapkan penghantaran oksigen pada pasien
yang mengalami hipoksia jaringan global yang dilakukan pada tahap awal dengan cara
mempertahankan tekanan vena sentral (cetntral venous pressure; CVP) adekuat untuk
memperbaiki keadaan hemodinamik, dan memaksimalkan saturasi oksigen vena sentral.
Protokol EGDT dimulai dengan bolus 20 mL/kg bb kristaloid atau koloid diberikan dalam
kurun waktu 30 menit untuk mencapai CVP 8-12 mmHg. Jika MAP kurang dari 65 mmHg,
diberikan vasopressor, dan MAP yang lebih dari 90 mmHg, diberikan vasodilator sampai
mencapai 90 mmHg atau kurang. Jika saturasi oksigen vena sentral (ScvO2) kurang dari 70
% dan kadar hematokrit < 30%, diberikan sel darah merah yang dimampatkan PRC. Apabila
setelah diberikan tranfusi PRC kadar ScvO2 masih < 70%, diberikan inotropik dobutamin
mulai dengan dosis 2,5 μg/kgbb per menit. Dosis tersebut dapat dinaikkan 2,5 μg/kgbb per
menit setiap 30 menit sampai ScvO2 mencapai 70 persen atau lebih atau sampai dosis
maksimal 20 μg/kgbb per menit. Dosis dobutamin diturunkan ataupun dihentikan jika MAP
kurang dari 65 mmHg atau jika denyut jantung diatas 120 kali per menit. Untuk mengurangi
konsumsi oksigen, pasien dengan kondisi hemodinamik yang belum optimal diberikan
ventilasi mekanik dan sedatif.
Sepsis tahap awal ditandai dengan insufi siensi sirkulasi yang berakibat pada
hipovolemia, depresi miokardium hipoksia jaringan global dan syok. Gagal sirkulasi
mengakibatkan penurunan hantaran oksigen ke jaringan dan disusul dengan berkurangnya
tekanan oksigen parsial sel (PO2). Jika sampai pada titik kritis, berkurangnya oksigen akan
mengakibatkan terbatasnya fosforilasi oksidatif, sehingga metabolisme bergeser dari aerob
menjadi anaerob. Metabolisme anaerob akan menghasilkan laktat. Pengukuran kadar laktat

26
mempunyai keterbatasan yaitu interpretasi kadar laktat serum kadang tidak mudah.
Peningkatan kadar laktat tidak hanya karena hipoperfusi umum tetapi bisa juga karena
kegagalan metabolik seluler yang terjadi pada sepsis. Peningkatan kadar laktat bisa juga
terjadi karena menurunnya fungsi bersihan hati.
a. Resusitasi Cairan
Pasien dengan sepsis berat dan syok septik mengalami sirkulasi arteri yang tidak efektif
sehingga perfusi jaringan menjadi tidak baik. Hal ini disebabkan oleh vasodilatasi yang
berhubungan dengan infeksi maupun cardiac output yang terganggu. Perfusi yang buruk
menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan global, yang berhubungan dengan meningkatnya
kadar laktat serum. Resusitasi sepsis tahap awal adalah pemberian cairan kristaloid 20 ml/kg
secepatnya sebagai bolus. Pada kasus hipovolemia. Definisi bolus cairan harus memenuhi
persyaratan berupa tipe cairan yang diberikan kristaloid ataupun koloid, waktu pemberian
harus cepat, ada tujuan akhir yang ingin dicapai.’Tanda-tanda kelebihan cairan saat resusitasi
harus diperhatikan seperti edema periorbita, ekstremitas,rales, dan kesulitan bernapas.
Monitoring yang paling obyektif adalah dengan memperhatikan CVP. Nilai normal CVP
adalah 8-12 mmHg.
b. Pemberian antibiotik
Saat sepsis berat telah teridentifi kasi, antibiotik harus diberikan sedini mungkin untuk
mengobati infeksi yang mendasari. Antibiotik yang diberikan adalah kombinasi antara
antibiotik untuk gram positif dan negatif, serta didasari oleh pola kuman di rumah sakit aupun
di masyarakat. Sebelum da hasil biakan daerah dan resistensi, pasien diberikan antibiotik
spektrum luas, tetapi jika telah ada hasil biakan daerah, maka antibiotik harus disesuaikan
sesegera mungkin, untuk mencegah terjadinya resistensi
c. Pemberian vasopresor
Jika pemberian bolus cairan gagal untuk mempertahankan perfusi organ dan tekanan
arteri yang adekuat, maka agen vasopressor harus segera diberikan untuk mempertahankan
MAP ≥65 mmHg. Karena hipotensi adala gambaran utama dari syok septik dan perbaikan
tekanan darah tujuan terapi, maka pengukuran tekaan darah harus adekuat dan terus menerus
menjadi sangat penting. Dopamin ataupun norepinefrin yang diberikan melalui kateter vena
sentral sesegera mungkin adalah pilihan utama agen Vasopresor untuk mengkoreksi
hipotensi pada syok septik. Dopamin merupakan prekursor alami norepinefrin dan epinefrin
serta memiliki beberapa efek farmakologi yang tergantung dosis . Dopamin meningkatkan
MAP dengan cara meningkatkan Cardiac index dengan efek resistensi vaskuler sistemik yang
minimal. Peningkatan cardiax injek akibat meningkatnya isi sekuncup dan meningkatnya
27
detak jantung. Meskipun demikian dopamin dapat mengurangi pH, hal ini dihubungkan
dengan berkurangnya liran darah ke mukosa gaster, sehingga pCO2 gaster meningkat.
Norepinefrin adalahagonis adronergis yang poten. Norepinefrin dapat meningkatkan
resistensi vaskuler sistemik karena memiliki efek vasokonstriksi, dengan perubahan minimal
pada detak jantung dan cardiac output. Norepinefrin merupakan vasopresor ideal pada syok
hangat, dimana cardiac output normal atau meningkat, tapi disertai hipotensi dan takikardi,
dengan ekstremitas hangat. Pemberian inotropik dobutamin mulai dengan dosis 2,5 μg/kgbb
per menit. Dosis tersebut dapat dinaikkan 2,5 μg/kgbb per menit setiap 30 menit sampai
ScvO2 mencapai 70 persen atau lebih atau sampai dosis maksimal 20 μg/kgbb per menit.
Dosis dobutaminditurunkan ataupun dihentikan jika MAP kurang dari 65 mmHg atau jika
denyut jantung diatas 120 kali/menit.

Table 1. Dosis dan efek obat vasopressor.


Nama Obat Dosis Efek
Dopamin <5 ug/kgBB/menit Menstimulasi resptor DA 1 di
renal, mesenterika dan koroner.
Mengakibatkan vasodilatasi,
meningkatkan laju filtrasi
glomerulu dan ekskresi natrium
5-10 ug/kgBB/menit Dominann efek α adrenergik,
mengakibatkan peningkatan
krontraktilitas jantung.
Menyebabkan pelepasan
norepinefrin dari ujung-ujung
saraf.
>10 ug/kgBB/menit Dominan efek β adrenergik,
mengakibatkan vasokonstriksi
arteri dan peningkatan tekanan
darah
Norepinefrin Dosis rata-rata 0,2-1,3 Vasokonstriksi, dengan
ug/kgBB/menit. Dosis inisial perubahan minimal pada detak
0,001 ug/kgBB/menit jantung dan cardiac output

28
d. Pengukuran saturasi oksigen vena sentral
Penghantaran oksigen yang tidak adekuat berakibat pada peningkatan pengambilan
oksigen oleh jaringan dan berakibat pada rendahnya saturasi campuran oksigen vena pada
arteri ulmonalis. Saturasi oksigen bena sentral yang diukur pada vena cava berhubungan
dengan penghantaran oksigen, dan dapat digunakan sebagai standar pengukuran yang realibe
untuk penghantaran oksigen jaringan yang adekuat selama resusitasi. Kadar ScvO2 yang
ditargetkan adalah >70%. Angka ini berasal dari jumlah oksigen yang kembali ke paru,
karena sejumlah 30% telah di ekstraksi oleh jaringan. Meningkatnya pengambilan oksigen
atau menurunnya ScvO2 merupakan salah satu parameter yang menunjukkan bahwa telah
terjadi suatu mekanisme kompensasi untuk mengatasi ketidakseimbangan antara
penghantaran oksigen dengan kebutuhan oksigen jaringan.
e. Transfusi sel darah merah (packet red cell/PRC)
Salah satu kuncii tatalaksana EGDT adalah menjaga saturasi oksigen vena sentral agar
mencapai target. Jika pasien dnegan hipovolemia dan anemia, dengan kadar hematokrit
kurang dari 30% dari volume darah, diberikan transfusi sel darah merah yang
dimampatkan. Hal ini memiliki dua keuntungan yaitu meningkatkan penghantaran oksigen
ke jaringan yang hipoksia, dan menjaga tekanna vena sentral ≥8 mmHg untuk jangka waktu
yang lebih lama, dibandingkan dengan hanya pemberian cairan saja. Meskipun penyebab
takikardi pada pasien sepsis mungkin multifaktorial, terjadinya penurunan denyut jantung
dengan resusitasi cairan sering merupakan pertanda membaiknya pengisian intravaskuler.
f. Pemberian inotropik
Pada EGDT, dobutamin dirrekomendasikan jika didapatkan adanya hipoperfusi
jaringan (Scv02 <70%), dengan syarat CVP, hematokrit dan MAP telah dikoreksi terlebih
dahulu dan mencaai nilai normal. pada beberapa kasus, cardiac output sendiri dapat
berkurang karena sepsis yang meginduksi disfungsi kardiak. Dobutamin diberikan dengan
dosis 2,5 μg/kgbb per menit. Dosis tersebut dapat dinaikkan 2,5 μg/kgbb per menit setiap 30
menit sampai ScvO2 mencapai 70 persen atau lebih atau sampai dosis maksimal 20 μg/kgbb
per menit. Dosis dobutaminditurunkan ataupun dihentikan jika MAP kurang dari 65 mmHg
atau jika denyut jantung diatas 120 kali/menit. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan
penghantaran oksigen ke perifer dan mencegah disfungsi organ lebih jauh yang diseabkan
hipoperfusi dan iskemia.
g. Terapi ventilasi mekanik
Penilaian awal dari jalan napas dan pernapasan sangat penting pada pasien syok septik.
Suplementasi oksigen sebaiknya diberikan, bahkan intubasi dini dan penggunaan ventilasi
29
mekanik sebaiknya dipertikbangkan sejak awal teruta,a pada kasus dengan peningkatan usaha
napas, hipotensi menetap ataupun perfusi perifer yang buruk.

30
BAB V
KESIMPULAN

Kesuksesan resusitasi pada pasien dengan syok septik masih merupakan tantangan yang
harus dilatih oleh para klinisi. Poin yang paling penting adalah resusitasi harus dimulai
seawal mungkin. Jika terjadi keterlambatan dalam pemberian resusitasi, maka sedikit sekali
manfaat yang kita dapatkan. Hal ini sejalan dengan tujuan resusitasi yaitu mencegah
terjadinya disfungsi organ yang lebih lanjut. Jika resusitasi tertunda sampai telah terjadi
disfungsi dan kematian sel, maka memberikan lebih banyak oksigen pada sel menjadi tidak
bermanfaat lagi.
EGDT pada syok septik merupakan suatu penanganan syok septik yang agresif, cepat
dan terarah dan dilakukan seawal mungkin sejak sepsis diketahui. EGDT terdiri dari
resusitasi cairan, pemberian antibiotik, pemberian vasopresor, mengukur saturasi oksigen
vena sentral, tranfusi PRC, pemberian inotropik, dan ventilasi mekanik. EGDT berdampak
pada reduksi yang signifikan pada morbiditas, mortalitas, penggunaan vasopresor, dan
sumber daya kesehatan pada pasien sepsis berat ataupun syok septik, sehingga diharapkan
klinisi dapat menerapkan EGDT ini dalam penatalaksanaan pasien dengan syok septik
sebelum pasien masuk ruang terapi intensif.

31

Вам также может понравиться

  • CRS Pterigium Zetri
    CRS Pterigium Zetri
    Документ31 страница
    CRS Pterigium Zetri
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • Jurnal Disfungsi Kelenjar Meibom
    Jurnal Disfungsi Kelenjar Meibom
    Документ18 страниц
    Jurnal Disfungsi Kelenjar Meibom
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • CRS Pterigium Primas
    CRS Pterigium Primas
    Документ31 страница
    CRS Pterigium Primas
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • General Anestesi Pada Selulitis Manus + Gangrene Digiti Ii Manus Sinistra + DM Tipe Ii
    General Anestesi Pada Selulitis Manus + Gangrene Digiti Ii Manus Sinistra + DM Tipe Ii
    Документ59 страниц
    General Anestesi Pada Selulitis Manus + Gangrene Digiti Ii Manus Sinistra + DM Tipe Ii
    Primas Shahibba Ridhwana
    100% (1)
  • CSS Fluid Management & Blood Component Therapy
    CSS Fluid Management & Blood Component Therapy
    Документ31 страница
    CSS Fluid Management & Blood Component Therapy
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • CRS Pterigium Primas
    CRS Pterigium Primas
    Документ31 страница
    CRS Pterigium Primas
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • Abortus Inkomplit
    Abortus Inkomplit
    Документ8 страниц
    Abortus Inkomplit
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • CBD BATU
    CBD BATU
    Документ60 страниц
    CBD BATU
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • Lupus Kulit
    Lupus Kulit
    Документ19 страниц
    Lupus Kulit
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • Case Report Edema Cerebri
    Case Report Edema Cerebri
    Документ51 страница
    Case Report Edema Cerebri
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • CSS Agen Intravena Anestesi
    CSS Agen Intravena Anestesi
    Документ31 страница
    CSS Agen Intravena Anestesi
    Intan Karnina Putri
    Оценок пока нет
  • BST Primas Skabies DR - Dewi
    BST Primas Skabies DR - Dewi
    Документ10 страниц
    BST Primas Skabies DR - Dewi
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • Anestesi Ginjal
    Anestesi Ginjal
    Документ29 страниц
    Anestesi Ginjal
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • CBD BATU
    CBD BATU
    Документ60 страниц
    CBD BATU
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • Ver Kejahatan Seksual
    Ver Kejahatan Seksual
    Документ9 страниц
    Ver Kejahatan Seksual
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • Efusi Pleura
    Efusi Pleura
    Документ20 страниц
    Efusi Pleura
    Anonymous p9BHSV
    Оценок пока нет
  • Ver Infanticide
    Ver Infanticide
    Документ13 страниц
    Ver Infanticide
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • CSS DR - Amran (SF)
    CSS DR - Amran (SF)
    Документ33 страницы
    CSS DR - Amran (SF)
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • CRS Agus Print
    CRS Agus Print
    Документ25 страниц
    CRS Agus Print
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • Crs Trauma Thoraks Dr. Sondang
    Crs Trauma Thoraks Dr. Sondang
    Документ43 страницы
    Crs Trauma Thoraks Dr. Sondang
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • Crs Aidaa Fraktur M
    Crs Aidaa Fraktur M
    Документ59 страниц
    Crs Aidaa Fraktur M
    NuraidaAdlaila
    Оценок пока нет
  • Patient Safety: Menekan Infeksi Melalui Pengendalian Infeksi
    Patient Safety: Menekan Infeksi Melalui Pengendalian Infeksi
    Документ3 страницы
    Patient Safety: Menekan Infeksi Melalui Pengendalian Infeksi
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • 5291 Modul Koass Ikm 1
    5291 Modul Koass Ikm 1
    Документ51 страница
    5291 Modul Koass Ikm 1
    Ege Apa
    Оценок пока нет
  • CSS Urosepsis - Isip Roman Syakura G1a216084
    CSS Urosepsis - Isip Roman Syakura G1a216084
    Документ24 страницы
    CSS Urosepsis - Isip Roman Syakura G1a216084
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • Css DR Verbty Finale
    Css DR Verbty Finale
    Документ19 страниц
    Css DR Verbty Finale
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • Pencegahan Difteri
    Pencegahan Difteri
    Документ6 страниц
    Pencegahan Difteri
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • Pidato Penyuluhan Gizi
    Pidato Penyuluhan Gizi
    Документ7 страниц
    Pidato Penyuluhan Gizi
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • Otitis Media Serosa
    Otitis Media Serosa
    Документ14 страниц
    Otitis Media Serosa
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет
  • MENGOBATI SKABIES PADA ANAK
    MENGOBATI SKABIES PADA ANAK
    Документ23 страницы
    MENGOBATI SKABIES PADA ANAK
    Primas Shahibba Ridhwana
    Оценок пока нет