Вы находитесь на странице: 1из 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ATRESIA ANI DI RUANG CENDANA 4


RSUP DR. SARDJITO
YOGYAKARTA

Disusun Oleh:

ABDUL WAHID 1720206001

PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2018
1. Definisi
Menurut Nurhayati (2009), istilah atresia berasal dari bahasa Yunani
yaitu ‘a’ yang berarti “tidak ada” dan trepsis yang berarti “makanan atau
nutrisi”. Dalam istilah kedokteran, “atresia” berarti suatu keadaan tidak
adanya atau tertutupnya lubang badan abnormal. Atresia ani memiliki nama
lain yaitu “anus imperforata”.
Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak
mempunyai lubang keluar. (Walley, 1996)
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi
membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan
lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke
dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan
rektum. (Purwanto, 2001)
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada
distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal. (Suriadi, 2001)
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rektum, atau keduanya. (Betz, 2002)
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (konginetal), tidak adanya
lubang atau saluran anus. (Donna L. Wong, 2003)
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia
rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma
VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla,
2009).
Jadi, atresia ani atau anus imperforate merupakan kelainan bawaan
(kongenital) dimana terjadi pembentukan lubang anus yang tidak sempurna
(abnormal) atau anus tampak rata maupun sedikit cekung ke dalam atau
kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum
yang terjadi pada masa kehamilan.

2. Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1) Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2) Gangguan organogenesis dalam kandungan. Karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
3) Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang
terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini.
Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat
kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang
mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan
kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto,
2001).
4) Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya
adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko
malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan
atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi
umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan
adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21
(Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari
bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau
dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah
1) Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis
kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan
paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular
septal defect.
2) Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),
obstruksi duodenum (1%-2%).
3) Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan
lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan
hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah
myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4) Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan
pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan
urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%,
dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut
dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER
(Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan
VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal,
Renal and Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).
3. Klasifikasi
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:
1) Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu
rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak
upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran
kencing atau saluran genital.
2) Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak
menembusnya.
3) Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga
jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1
cm.

4. Manifestasi Klinis
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering
ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses
keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius.
Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di
kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul:
1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4) Perut kembung. (Ngastiyah, 2005)
5. Komplikasi
Menurut Betz dan Sowden (2009), komplikasi pada atresia ani antara lain:
1) Asidosis hiperkloremik
2) Infeksi saluran kemih yang terus-menerus
3) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
4) Komplikasi jangka panjang
a) Eversi mukosa anus
b) Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
c) Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid)
d) Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet
training
e) Inkontinensia (akibat stinosis anal atau inpaksi)
f) Prolaps mukosa anorektal (penyebab inkontinensia)
g) Fistula kambuhan
6. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal
secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus
dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari
embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang
menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal.
Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi
atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur kolon
antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga
karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan
vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus sehingga
menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami
obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur,
sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan
adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi
cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel
menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis
hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk
fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan
fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki
umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila
kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke uretra
(rektouretralis) (Faradilla, 2009).
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Preventif
Menurut Nurhayati (2009), penatalaksanaan preventif yaitu: (a)
diberikan nasihat pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk berhati-
hati atau menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan dan alkohol
karena dapat menyebabkan atresia ani; (b) pemeriksaan lubang dubur/anus
bayi pada saat lahir sangat penting dilakukan sebagai diagnosis awal
adanya atresia ani. Sebab jika sampai tiga hari diketahui bayi menderita
ani atresia ani, jiwa bayi dapat terancam karena feses yang tertimbun dapat
mendesak paru-paru bayi dan organ yang lain.
b. Pasca Bayi Lahir
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), begi penyidap kelainan tipe I
dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan
tinja tidak membutuhkan penanganan apapun. Sementara pada stenosis
yang berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan karakter uretra,
dilatasi Hegar, atau speculum hidung berukuran kecil. Selanjutnya orang
tua dapat melakukan dilatasi sendiri di rumah dengan jari tangan. Dilatasi
dikerjakan beberapa kali seminggu selama kurang lebih 6 bulan sampai
daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal.
Konstipasi dapat dihindari dengan pengaturan diet yang baik dan
pemberian laktulose. Bentuk operasi yang diperlukan pada tipe II, baik
tanpa atau dengan fistula, adalah anoplasti pcrincum, kemudian
dilanjutkan dengan dilatasi pada anus slama 23 bulan. Tindakan ini paling
baik dilakukan dengan dilator Hegar selama bayi di rumah sakit dan
kemudian orang tua penderita dapat memakai jari tangan di rumah sampai
tepi anus lunak serta mudah dilebarkan. Pada tipe III, apabila jarak antara
ujung rektum yang buntu ke lekukan anus kurang dari 1,5 cm,
pembedahan rekonstruktif dapat dilakukan melalui anoproktoplasti pada
masa neonatus. Akan tetapi, pada tipe III biasanya perlu dilakukan
pembedahan definitif pada usia 12-15 bulan. Kolostomi bermanfaat untuk:
1) Mengatasi obstruksi usus, memungkinkan pembedahan rekonstruktif
dapat dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih.
2) Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan
pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum
yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain, kolostomi
dapat dilakukan pada kolon transversum atau kolon sigmoideum.
Beberapa metode pembedahan rekonstruktif yang dapat dilakukan
adalah operasi abdominoperineum terpadu pada usia 1 tahun,
anorektoplasti sagital posterior pada usia 8-12 bulan, dan pendekatan
sakrum menurut metode Stephen setelah bayi berumur 6-9 bulan.
Dilatasi anus baru bisa dilakukan 10 hari setelah operasi dan
selanjutnya dapat dilakukan oleh orang tua di rumah, mula-mula
dengan jari kelingking kemudian dengan jari telunjuk selama 23 bulan
setelah pembedahan definitif. Sedangkan pada penanganan tipe IV
dilakukan dengan kolostomi, untuk kemudian dilanjutkan dengan
operasi abdominal pull-through seperti kasus pada megakolon
congenital.
Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk mencegah
infeksi pada pasca operasi. Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh.

8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nurhayati (2009), untuk memperkuat diagnosis dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
a. Pemeriksaan radiologis, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
obstruksi intestinal atau menentukan letak ujung rektum yang buntu
setelah bayi berumur 24 jam. Pada saat pemeriksaan, bayi harus diletakkan
dalam keadaan posisi terbalik selama 3 menit, sendi panggul bayi dalam
keadaan sedikit ekstensi, kemudian dibuat foto pandangan anteroposterior
dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lekukan anus.
b. Sinar-X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukan kejelasan
keseluruhan bowel/usus dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung
rektum dari sfingternya.
c. Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat fungsi
organ intenal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya
faktor reversibel seperti obstruksi massa tumor.
d. CT Scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi.
e. Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk
mengonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan saluran urinaria.

9. Pathways

Kelainan kogenital

 Gangguan Pertumbuhan
 Fusi
 Pembentukan anus dari
tonjolan embrionik

ATRESIA ANI

Feses Tidak Keluar Vistel Rektovaginal

Feses Menumpuk Feses Masuk Ke Uretra

Mikroorganisme masuk
Reabsorbsi sisa Peningkatan Tekanan ke saluran kemih
metabolisme Intraabdominal

Dysuria
Keracunan Operasi Anoplast

Gang. Rasa nyaman


Mual, muntah
Ansietas Perubahan Defekasi:
Pengeluaran Tak Gang. Eliminasi Urine
Ketidakseimbangan Nyeri
Terkontrol
Nutrisi < Kebutuhan
Iritasi Mukosa
Tubuh

Resiko kerusakan kulit Abnormalitas spingter Trauma jaringan


rektal

Nyeri Inkontinensia Defekasi Perawatan tdak adekuat


Gang. Rasa Nyaman
Resiko Infeksi
ASUHAN KEPERAWATAN

I. Pengkajian
1. Biodata
a. Identitas Klien
b. Identitas Penanggung Jawab
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama:
Distensi abdomen
b. Riwayat Kesehatan Sekarang:
Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air besar,
meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu:
Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama kelahiran
d. Riwayat Kesehatan Keluarga:
Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/penyakit menurun
sehingga belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan:
Kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi kejadian atresia ani
3. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa
yang dirasakan dan apa yang diinginkan
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena
masih bayi
c. Pola istirahat/tidur
Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain
d. Pola nutrisi metabolik
Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
e. Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
f. Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi
dengan baik pada orang lain
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa dikaji
2) Ideal diri : belum bisa dikaji
3) Gambaran diri : belum bisa dikaji
4) Peran diri : belum bisa dikaji
5) Harga diri : belum bisa dikaji
h. Pola seksual Reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang kepercayaan
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan
orang lain secara mandiri
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon
terhadap adanya suatu masalah
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Klien lemah
b. Tanda-tanda vital
 Nadi : 120 – 140 kali per menit
 Tekanan darah : normal
 Suhu : 36,5ºC – 37,6ºC
 Pernafasan : 30 – 40 kali per menit
 BB : > 2500 gram
 PB : normal
c. Data sistematik
1) Sistem kardiovaskuler
Tekanan darah normal
Denyut nadi normal (120 – 140 kali per menit )
2) Sistem respirasi dan pernafasan
Klien tidak mengalami gangguan pernapasan
3) Sistem gastrointestinal
Klien mengalami muntah-muntah, perut kembung dan membuncit
4) Sistem musculosceletal
Klien tidak mengalami gangguan sistem muskuloskeletal
5) Sistem integumen
Klien tidak mengalami gangguan sistem integumen
6) Sistem perkemihan
Terdapat mekonium di dalam urin.
5. Diagnosa Keperawatan
 Ketidakseimbangan nutrisi < dari kebutuhan tubuh b.d.
ketidakmampuan mencerna makanan (mual, muntah)
 Gangguan eliminasi urine b.d. obstruksi anatomik (atresia ani),
dysuria
 Kecemasan orangtua b.d. kurangnya pengetahuan terkait penyakit
anak
 Kerusakan integritas kulit b.d. pemasangan kolostomi
 Nyeri akut b.d trauma jaringan pasca operasi
 Inkontinensia defekasi b.d abnormalitas sfingter rektal
 Resiko infeksi b.d trauma jaringan pasca operasi, perawatan tidak
adekuat
Intervensi
Tujuan dan NOC Tindakan
No Dx. Kep
Keperawatan/NIC
1. Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Memonitor mual dan
kurang dari kebutuhan b.d. keperawatan selama 1x24 jam muntah
2. Kaji kemampuan klien
ketidakmampuan diharapkan kebutuhan nutrisi
untuk mendapatkan
mencerna makanan klien terpenuhi dengan
nutrisi yang dibutuhkan
kriteria hasil:
3. Memonitor status gizi
 Mampu 4. Kolaborasi dengan
mengidentifikasikan dokter
kebutuhan nutrisi (4)
 Tidak ada tanda-tanda
malnutrisi (4)

2 Gangguan eliminasi urine Setelah dilakukan asuhan 1. Memantau tanda-tanda


b.d. obstruksi anatomik keperawatan selama 1x24 jam vital dan tingkat distensi
(atresia ani), dysuria diharapkan gangguan kandung kemih dengan
elimnasi urine dapat teratasi palpasi dan perkusi
2. Periksa dan timbang
kriteria hasil:
popok klien
 Kandung kemih pasien
3. Melakukan penilaian
kosong secara penuh (4) pada fungsi kognitif
 Intake cairan dalam
4.
rentang normal (4)
 Bebas dari ISK (4)

3 Kecemasan orang tua Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji status mental dan
berhubungan dengan keperawatan 1x24 jam tingkat ansietas dari
kurang pengetahuan diharapkan rasa cemas klien dan keluarga.
2. Dengarkan dengan penuh
tentang penyakit dan orangtua dapat hilang atau
perhatikan
prosedur perawatan berkurang.
3. Jelaskan dan persiapkan
Kriteria Hasil:
untuk tindakan prosedur
1.) Ansietas berkurang
sebelum dilakukan
2.) Ibu klien tidak gelisah operasi.
4. Beri kesempatan klien
untuk mengungkapkan
isi pikiran dan bertanya.
5. Ciptakan lingkungan
yang tenang dan nyaman.

4 Kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan asuhan 1. Hindari kerutan pada


b.d. pemasangan keperawatan selama 1x24 jam tempat tidur
2. Jaga kebersihan kulit agar
kolostomi diharapkan kerusakan
tetap bersih dan kering
integritas kulit dapat
3. Monitor kulit akan adanya
berkurang kriteria hasil:
kemerahan
 Integritas kullit yang 4. Oleskan lotion/baby oil
baik bisa dipertahan-kan pada daerah yang tertekan
5. Monitor status nutrisi
(4)
 Perfusi jaringan baik (3) klien
 Menunjukan pemahaman
dalam proses perbaikan
kulit dan mencegah
terjadinya cedera
berulang (4)
5 Nyeri akut b.d trauma Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi reaksi
jaringan (post operasi) keperawatan selama 1x24 jam nonverbal dari
diharapkan nyeri akut dapat ketidaknyamanan klien
2. Bantu klien dan keluarga
berkurang kriteria hasil:
untuk mencari dan
 Klien tampak nyaman
menemukan dukungan
dan tenang (4) 3. Kontrol lingkungan yang
dapat memengaruhi nyeri
4. Kolaborasi dengan
dokter terkait pemberian
analgesik
6 Inkontinensia defekasi b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Intruksikan keluarga
abnormalitas sfingter keperawatan 1x24 jam untuk mencatat keluaran
rektal diharapkan pengeluaran feses
2. Jaga kebersihan baju dan
defekasi terkontrol dengan
kriteria hasil: tempat tidur
3. Evaluasi status BAB
 Defekasi lunak, feses
secara rutin
berbentuk (4)

7 Resiko infeksi b.d trauma Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda dan gejala
jaringan, perawatan tidak keperawatan selama 1x24 jam infeksi sistemik dan lokal
2. Batasi pengunjung
adekuat diharapkan klien bebas dari
3. Pertahankan teknik cairan
tanda-tanda infeksi dengan
asepsis pada klien yang
kriteria hasil:
beresiko
 Klien bebas dari tanda 4. Inspeksi kondisi
dan gejala infeksi (4) luka/insisi bedah
 Jumlah leukosit dalam 5. Ajarkan keluarga klien
batas normal (4) tentang tanda dan gejala
infeksi
6. Laporkan kecurigaan
infeksi
DAFTAR PUSTAKA

https://www.cincinnatichildrens.org/health/i/imperforate-anus (diakses pada 24


April 2018)
Huda, Nuraruf Amin, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta. Mediaction
Irfandi, Febri. 2012. Askep Atresia Ani. Jombang.
http://chocolateperfect.blogspot.co.id
Lynn, Betz Cecily, dkk. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta.
EGC
Marlaim. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta. Fakultas
Kedokteran UI
Nurhayati. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit Pada Neonatus.
Jakarta. Trans Info Media
Yeyen, Rukiyah Ai, dkk. 2009. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta.
Trans Info Media

Вам также может понравиться