Вы находитесь на странице: 1из 12

REFERAT

“Floppy Iris Syndrome”

Pembimbing:
dr. Teguh Anamani, Sp.M
NIP. 19771018 201001 2 006

Disusun oleh :
Ismail Satrio Wibowo
G4A015111

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
“Floppy Iris Syndrome”

Disusun oleh :
Ismail Satrio Wibowo
G4A015111

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di bagian SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui
Pada tanggal : Maret 2018

Dokter Pembimbing :

dr. Teguh Anamani, Sp.M


NIP. 19771018 201001 2 006
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Floppy Iris Syndrome (FIS) yang diketahui selama operasi merupakan
suatu sindrom dengan keadaan pupil mengecil dan telah dipaparkan oleh
Chang dan Campbell pada tahun 2005 yang ditemukan ketika operasi
katarak. (Chang & Campbell, Intraoperative floppy iris syndrome associated
with tamsulosin, 2005) Secara klasik, FIS terdiri dari tiga trias berupa iris
yang bergelombang, pupil miosis selama operasi, dan prolaps nya iris
melalui luka operasi (Chang & Campbell, 2005; Jennifer et al., 2017).
Ketika FIS tidak dapat diantisipasi, hal ini dapat berkaitan dengan
peningkatan angka ruptur nya kapsul posterior, hilangnya vitreus, bahkan
peningkatan tekanan intraokuler dan edem makula kistoid. Efek jangka
panjangnya dapat berupa pupil yang ireguler dan hilangnya penglihatan
sebagai efek dari endoftalmitis, edem makula, atau ablasio retina (Allan,
2010; Jennifer et al., 2017).
Prevalensi FIS pada operasi katarak berbeda pada setiap negara, dari
0,5% hingga 2%. Meskipun memiliki etiologi yang multifaktorial, insidensi
IFIS selama operasi katarak ditemukan pada pasien yang memiliki riwayat
pengobatan menggunakan tamsulosin berkisar 43%-100%, sementara
insidensi FIS pada pasien yang mendapatkan pengobatan menggunakan
alfuzosin sekitar 10-15% (Allan, 2010). Maka dari itu pada referat ini akan
memaparkan definisi, faktor risiko, patofisiologi, serta manajemen
penatalaksanaan FIS.

B. Tujuan
1. Mengetahui definisi tentang Floppy Iris Syndrome (FIS)
2. Mengetahui faktor risiko Floppy Iris Syndrome (FIS)
3. Mengetahui patofisiologi Floppy Iris Syndrome (FIS)
4. Mengetahui penatalaksanaan Floppy Iris Syndrome (FIS)
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Bola Mata

Gambar 1. Anatomi Umum Mata (Netter, 2013)

Secara umum bola mata dibagi menjadi tiga lapisan yaitu (Netter, 2013):
1. Tunica fibrosa yang tersusun atas sclera, limbus, dan cornea
2. Tunica vasculosa yang tersusun atas iris, corpus ciliaris, dan choroid
3. Tunica nervosa yang memiliki dua lapisan yaitu pars pigmentosa dan pars
nervosa.

Gambar 2. Cavitas Anterior Bulbi (Netter, 2013)

Cavitas anterior bulbi merupakan ruangan berisi aquous humor yang dibatasi oleh
cornea di bagian anterior dan lensa cristallina di bagian posterior. Cavitas anterior
dibagi menjadi dua bagian yaitu camera occuli anterior (cornea s.d. iris) dan
camera occuli posterior (iris s.d. lensa). Humor aquosus diproduksi oleh corpus
ciliaris yang akan dialirkan dari COP menuju COA melalui pupil, setelah itu akan
didrainase di sudut iridocornealis melalui trabecular meshwork dan canalis
schlemm (Netter, 2013).
Gambar 3. Iris, lensa, dan corpus ciliaris (Netter, 2013)

B. Definisi
Floppy Iris Syndrome (FIS) merupakan suatu variasi keadaan sindrom
pupil yang mengecil dan ditemukan selama operasi katarak pada beberapa
pasien yang sedang atau sebelumnya menjalani pengobatan dengan α1
adrenoseptor (AR) antagonis. Pada beberapa pasien terjadi kelemahan pada
pupil untuk dilatasi, tanpa dilatasi pupil yang memadai, FIS mungkin akan
mengecilkan visualisasi bidang bedah, termasuk operasi katarak itu sendiri.

Gambar 1. Kerusakan Iris pada Operasi Katarak pada Pasien


dengan Pengobatan Tamsulosin (Matthew et al., 2013)
(Matthew, Heather, Christopher, & Thomas, 2013)
Hal ini dapat mengganggu pembuangan katarak dan dapat
menyebabkan komplikasi lain seperti pecahnya kapsul posterior, yang
selanjutnya meningkatkan risiko gangguan penglihatan yang mengancam
selama operasi katarak (Faruquz, et al., 2012).

C. Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi FIS bersifat multifaktorial, beberapa penelitian memaparkan
terkait pengaruh dari obat golongan alfa bloker, benzodiazepin, serotonin-
norepinefrin reuptake inhibitor dan asetilkolinesterase inhibitor memiliki
implikasi pada FIS (Gonzalez et.al., 2015; Jennifer et.al., 2017).
Alfa 1-antagonis secara luas digunakan untuk mengobati benign
prostat hypertrophy (BPH) dan beraksi dengan merelaksasi otot polos pada
vesika urinaria, uretra, dan prostat. Beberapa antagonis α1A-adrenergik
reseptor (α1A-AR), banyak didapatkan di saluran urinarius. Selain itu α1A-AR
pun dominan pada iris yang penting untuk dilatasi pupil (Kordasz et al.,
2014). Obat tamsulosin merupakan obat alfa 1-antagonis yang umum
digunakan dan selektif pada α1A-AR (Chang et al., 2014). Tamsulosin dan
obat AR antagonis lain secara umum dapat menghambat fenilefrin yang
menginduksi midriasis, sehingga penggunaan AR antagonis dapat
menyebabkan miosis pada studi binatang (Faruquz, et al., 2012).
Beberapa obat neuromodulator termasuk benzodiazepin, duloxetine
(SNRI), dan donepezil (asetilkolinesterase inhibitor) memiliki implikasi pada
terjadinya FIS karena obat-obatan tersebut memiliki efek alfa 1-adrenergik
yang berlawanan dengan proses midriasis (Ozer et al., 2013). Penggunaan
finasteride (5α-reduktase inhibitor) memiliki risiko yang lebih rendah untuk
menimbulkan terjadinya FIS dan direkomendasikan untuk mengobati BPH,
sebab lebih aman dibandingkan dengan tamsulosin (Jennifer et al., 2017).
Hipertensi menjadi faktor risiko pada FIS, hal ini dapat berkaitan
antara obat-obatan hipertensi atau efek langsung hipertensi pada iris yang
menghambat afinitas adrenoseptor pada vaskuler iris. Beberapa laporan kasus
menemukan bahwa obat golongan beta bloker seperti labetalol dan carvedilol
memiliki efek alfa 1-adrenergik antagonis dan berhubungan dengan FIS
(Jennifer et al., 2017).
D. Epidemiologi
Floppy Iris Syndrome (FIS) terjadi sekitar 2% pada operasi katarak di
Amerika Serikat. Faktor risiko utama dari FIS telah diidentifikasi pada studi
prospketif dan retrospektif. Alfa 1-antagonis termasuk tamsulosin, silodosin,
alfuzosin, doxazosin, terazosin, dan prazosin memiliki hubungan yang kuat
dengan FIS, meskipun pada beberapa kasus berhubungan pula dengan obat-
obatan lain dan kondisi hipertensi. Secara umum gender, ras, dan diabetes
bukan merupakan faktor risiko utama pada FIS (Kordasz et al., 2014).
E. Patofisiologi
Di dalam tubuh reseptor alfa 1-adrenergik (α1-AR) merupakan suatu
protein-G yang memiliki reseptor ganda dan dibagi menjadi subtipe α1 A-AR,
α1B-AR, dan α1D-AR. Stimulasi pada reseptor α1-AR meningkatkan
kontraksi dari jantung dan inervasi otot polos vaskuler di dalam tubuh.
Seperti muskulus dilator pada iris, prostat pun memiliki otot polos yang
memiliki banyak α1-AR. Pada kondisi BPH terdapat peningkatan ekspresi
α1-AR, dan studi memaparkan bahwa α1A-AR meningkat sampai 9-fold dan
α1D-AR meningkat 3-fold. Peningkatan ekspresi tersebut menyebabkan otot
polos berkontraksi dan timbulnya lower urinary tract symptoms (LUTS) pada
pasien BPH. Maka dari itu α1-AR antagonis digunakan untuk memperbaiki
gejala yang berkaitan dengan BPH (Matthew et al., 2013; Jennifer et al.,
2017).
Secara umum obat α1-AR antagonis generasi kedua seperti doxazosin
dan terazosin masih dapat ditoleransi, namun obat tersebut memiliki efek
samping pusing dan hipotensi ortostatik. Obat α1-AR antagonis generasi
ketiga seperti tamsulosin dan silodosin memiliki efek selektif pada α1A-AR
saja, sehingga obat tersebut dapat mengurangi gejala BPH tanpa
mempengaruhi sistem kardiovaskuler (Matthew et al., 2013; Jennifer et al.,
2017).
Obat α1-AR antagonis tidak hanya menghambat α1-AR di prostat
saja, tetapi juga antagonis pada reseptor yang ada di iris untuk mendilatasi.
Pada iris α1A-AR berfungsi mengkontraksikan otot polos untuk
mendilatasikan iris, yang mana arteriol di iris pun dipengaruhi pula oleh α1B-
AR. Blokade pada otot yang memiliki α1-AR dapat menyebabkan kelemahan
tonus otot dan terjadinya FIS pada iris ketika operasi katarak (Matthew et al.,
2013; Jennifer et al., 2017).
F. Penatalaksanaan
1. Manajemen Preoperatif
Banyak aspek penting manajemen preoperatif dari FIS terutama
risk assessment. Pasien pria dan wanita harus ditanyakan terkait
penggunaan obat α1-antagonis seperti tamsulosin, alfuzosin, doxazosin,
terazosin, dan prazosin. Skrining sebaiknya juga ditanyakan riwayat
hipertensi dan penggunaan antipsikotik terutama yang memiliki efek α1-
antagonis seperti chlorpromazin, zuclopenthixol, quetiapine.
Menghentikan obat tamsulosin belum tentu dapat menurunkan risiko FIS,
namun pasien disarankan untuk tidak meminum obat α1-antagonis
sebelum operasi (Jennifer et al., 2017).
Atropin sebagai agen agonis muskanirik, telah digunakan sebagai
preoperatif untuk membantu mendilatasikan pupil. Regimen yang umum
digunakan atropin 1% sebanyak 3 kali sehari selama 2 hari sebelum
operasi. Sebagian kecil dari hasil survey, beberapa ahli bedah
menggunakan atropin preoperatif pada pasien yang memiliki riwayat
pengobatan dengan tamsulosin (Masket & Belani, 2007).
2. Manajemen Intraoperatif
Penatalaksanaan intraoperatif pada FIS, Chang dan Campbell tidak
menyarankan intervensi secara klasik (ex: mechanical pupil stretching
dan partial sphincterotomy) karena tidak pernah ada perbaikan dan dapat
merusak iris. Rekomendasi yang dapat disarankan berupa penggunaan
intracamera α-adrenergik agonis, ophtalmic viscosurgical devices
(OVDs), iris retractors dan pupil expanders. Modifikasi teknik
pembedahan pun tidak kalah penting untuk menurunkan risiko
komplikasi. Perhatian dan kehati-hatian dalam melakukan insisi di lokasi
dan kontruksi dapat mengecilkan luka irisan. Gunakan fakoemulsifikasi
dengan seting low-flow, mempertahankan irigasi di anterior iris, dan
lakukan hidroseksi secara gentle untuk meminimalkan pergerakan iris.
Akan tetapi, pada kondisi FIS berat, prolapsnya iris tidak dapat
dihindarkan sehingga perlu intervensi tambahan yang dibutuhkan
(Jennifer et al., 2017).
a. Intracameral Adrenergic Agonists
Intrakamera dengan epinefrin dan fenilefrin dapat mengurangi
iris yang lemah dan bergelombang serta membuat pupil berdilatasi.
Obat ini dapat digunakan ketika memulai pembedahan dengan ukuran
pupil <4.5mm. Epinefrin 1:1000 dapat diencerkan menjadi 1:4000
untuk mencegah rusaknya epitel kornea. Di Amerika Serikat
pemberian fenilefrin hanya dapat dicampurkan oleh apoteker dan tidak
bisa sembarangan diberikan (Jennifer et al., 2017).
b. Ophtalmic Viscosurgical Devices
Ophtalmic Viscosurgical Devices (OVD) secara sukses
digunakan pada kondisi FIS. OVD memiliki kemampuan untuk
menjaga dan mempertahankan iris tetap konkaf di dekat tempat insisi.
Bahkan pada beberapa merk tertentu dapat digunakan sebagai
viskomidriasis, lower flow, dan vacuum untuk menghindari aspirasi
(Jennifer et al., 2017).
c. Iris Retractors dan Pupil Expanders
Iris Retractors dan Pupil Expanders dapat digunakan untuk
menarik iris dari tip fakoemulsifikasi dan dapat digunakan untuk
mendilatasi (<5mm) agar tidak terjadinya prolaps iris serta
direkomendasikan pada FIS yang berat (Jennifer et al., 2017).
G. Komplikasi
Ketika FIS tidak dapat diantisipasi, hal ini dapat berkaitan dengan
peningkatan angka ruptur nya kapsul posterior, hilangnya vitreus, bahkan
peningkatan tekanan intraokuler dan edem makula kistoid. Efek jangka
panjangnya dapat berupa pupil yang ireguler dan hilangnya penglihatan
sebagai efek dari endoftalmitis, edem makula, atau ablasio retina (Allan,
2010; Jennifer et al., 2017).
III. KESIMPULAN

1. Floppy Iris Syndrome (FIS) merupakan suatu variasi keadaan sindrom pupil
yang mengecil dan ditemukan selama operasi katarak pada beberapa pasien
yang sedang atau sebelumnya menjalani pengobatan dengan α1
adrenoseptor (AR) antagonis
2. Etiologi FIS bersifat multifaktorial, beberapa penelitian memaparkan terkait
pengaruh dari obat golongan alfa bloker, benzodiazepin, serotonin-
norepinefrin reuptake inhibitor dan asetilkolinesterase inhibitor memiliki
implikasi pada FIS
3. Obat α1-AR antagonis tidak hanya menghambat α1-AR di prostat saja,
tetapi juga antagonis pada reseptor yang ada di iris untuk mendilatasi
4. Banyak aspek penting manajemen preoperatif dari FIS terutama risk
assessment.
5. Rekomendasi manajemen intraoperatif yang dapat disarankan berupa
penggunaan intracamera α-adrenergik agonis, ophtalmic viscosurgical
devices (OVDs), iris retractors dan pupil expanders
DAFTAR PUSTAKA

Allan, S. (2010). Management of Intraocular Floppy Iris Syndrome (IFIS) in


Cataract Surgery. Retrieved Maret 07, 2018, from Web of Science:
http://www.intechopen.com
Chang, D., & Campbell, J. (2005). Intraoperative floppy iris syndrome associated
with tamsulosin. J Cataract Refract Surg, 31:664-73.
Chang, D., Campbell, J., & Colin, J. (2014). Prospective masked comparison of
intraoperative floppy iris syndrome severity with tamsulosin versus
alfuzosin. Ophthalmology, 121:829-34.
Faruquz, Z., Christian, B., Islam, J., Athanasios, G., Jhumur, O., Junaid, M., et al.
(2012). The Floppy Iris Syndrome-What Urologist and Opthalmologist
Need to Know. Curr Urol, 6:1-7.
Gonzalez, M., Zarallo, G., & Fernandez, M. (2015). Intraoperative floppy iris
syndrome after treatment with duloxetine: coincidence, association, or
causality? Arch Soc Esp Oftalmol, 90:94-96.
Jennifer, M., Humeyra, K., & Linda, M. (2017). Floppy Iris Syndrome and
Cataract Surgery. Curr Opin Ophtalmol, 28:29-34.
Kordasz, M., Manicam, C., & Steege, A. (2014). Role of alpha (1) adrenoceptor
subtypes in pupil dilatation studied with gene-targeted mice. Invest
Ophthalmol Vis Sci, 55:8295-301.
Masket, S., & Belani, S. (2007). Combined preoperative topical atropin sulfate
1% and intracameral nonpreserved epinephrine hydrochloride 1:4000 for
management of intraoperative floppy iris syndrome. J Cataract Refract
Surg, 34:1201-9.
Matthew, A., Heather, R., Christopher, W., & Thomas, A. (2013). Patophysiology
and Pre-operative Evaluation of Patients at Risk for Intraoperative Floppy
Iris Syndrome (IFIS). Retrieved March 08, 2018, from Web of Science:
http://www.intechopen.com
Netter, F. (2013). Atlas of Human Anatomy. Philadelphia: Elsevier.
Ozer, P., Ugur, E., Nurten, U., Dicle, O., Remzi, K., & Sunay, D. (2013).
Intraoperative Floppy Iris Syndrome: Comparison of Tamsulosin and
Drugs other than Alpha Antagonists. Current Eye Research, 38(4):480-6.

Вам также может понравиться