Вы находитесь на странице: 1из 15

FIQH KONTEMPORER

(Kemaslahatan Untuk Kepentingan Umum)


Dosen Pengampu: Agus Ma’arif, Lc., M.M.

Disusun oleh :

1. Amin Rais (162121009)


2. EmaLatifa (162121012)
3. Yustika Upik Damayanti (162121016)
4. Sindi Rahmatika W (162121024)
5. Indira Rahma Annisa (162121026)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SURAKARTA

2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Fiqh Kontemporer merupakan salah satu disiplin ilmu yang selalu ada dan
berkembang serta nyata di dalam masyarakat. Untuk mengkaji mengenai fiqh itu sendiri
yang termasuk dalam hasil pemikiran-pemikiran para mujtahid tentulah tidak menutup
kemungkinan adanya kontradiksi antara satu golongan dengan lainnya. Dalam
mempelajari, memahami dan mengerti dengan tujuan untuk mengamalkan suatu
tindakan tentulah perlu untuk mengetahui dasar-dasar pijakan yang dipergunakan.

Kontemporer yang merupakan suatu bentuk kekinian yang dahulu pernah muncul
dan telah dibahas oleh ulama klasik. Namun, pengertian saat ini ialah konteks terdahulu
dan sekarang yang baru ada serta telah maupun sedang dibahas untuk menemukan jalan
keluar dari permasalahan yang kerap kali menjadi persoalan-persoalan baik di bidang
hubungan orang dengan orang (muamalah); tingkah laku (adab), hukum pidana
(jinayah); perkawinan (munakahat) dan sebagainya.

Untuk itu, agar lebih dapat mempelajari, memahami dan mengerti dari kajian fiqh
kontemporer maka penulis hendak sedikit-banyak menjelaskan beberapa materi yang
terdapat hubungan dengannya. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya
dan terkhusus bagi penulis. Amiin.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Fiqh Kontemporer?
2. Apa saja macam benuk Maslahah berdasar kajian fiqh kontemporer?
3. Bagaimana penerapan Maslahah untuk kepentingan umum dalam fiqh
kontemporer?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk memahami pengertian dari Fiqh Kontemporer.
2. Untuk mengetahui macam bentuk Maslahah berdasar kajian fiqh kontemporer.
3. Untuk mengetahui penerapan Maslahah untuk kepentingan umum dalam fiqh
kontemporer.

2|KEL 06 – FIQH KONTEMPORER


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Maslahah

Menurut bahasa kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah dibakukan ke
dalam Bahasa Indonesia menjadi kata maslahah, yang berarti mendatangkan kebaikan
atau yang membawa kemanfaatan dan menolak kerusakan.1 Menurut bahasa aslinya
kata maslahah berasal dari kata salahu,yasluhu, salahan, ‫ صلح‬, ‫ يصلح‬, ‫ صالحا‬artinya
sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat.2

Di dalam kamus Munjîd, Luwis Ma’lūf mengartikan maslahah sebagai sesuatu


yang mendatangkan kebaikan yaitu perbuatan-perbuatan manusia yang dapat
mendatangkan manfaat kepada diri sendiri serta kaumnya. Adapun, jumhur ulama
dengan pemikirannya tentang maslahat mursalah sebagai berikut:3

1. Imām al-Gazzālî (505 H/ 1111 M) berpendapat bahawa maslahah ialah penjagaan


terhadap tujuan Syarak. Di awal, beliau menyatakan bahwa maslahah sebagai
suatu pernyataan terhadap pencapaian manfaat dan menolak kemudaratan.
Namun yang di maksud oleh Imām al-Gazzālî “mencapai manfaat dan menolak
kemudaratan” di sini bukanlah untuk mencapai kehendak dan tujuan manusia.
Maksud mencapai manfaat dan menolak kemudaratan adalah untuk mencapai
tujuan syarak yang meliputi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh itu,
bagi Imām al-Gazzālî, setiap perkara atau tindakan yang menjaga lima perkara
tersebut dianggap maslahah. Sebaliknya, setiap yang merusak atau menafikan
tujuan hukum Islam yang lima tersebut, disebut sebagai mafsadah.

1
Munawar Kholil, “Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah”, (Semarang: Bulan Bintang, 1955) hlm.
43.
2
Muhammad Yunus, “Kamus Arab Indonesia”, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah dan
Penafsir al-Qur’an, 1973) hlm. 219.
3
Ibn ‘Āsyūr pula mendefinisikan maslahah sebagai “perbuatan yang menghasilkan kebaikan dan
manfaat yang bersifat terus menerus baik untuk orang banyak ataupun individu.”
Ramadān al Būti mendefinisikan maslahah sebagai “manfaat yang ditujukan oleh Allah SWT yang Maha
Bijaksana kepada hamba-hamba- Nya demi memelihara agama, nyawa, akal, keturunan dan harta mereka
menurut susunan kepentingan yang ditentukan pada lima perkara tersebut.”
Menurut, Jalāl al-Dîn ‘Abd al-Rahmān, al-maslahah al-syar’iyyah yaitu “maslahah yang sesuai dengan
tujuan syara’ dan diakui baik dari Kitab, Sunah, Ijma‘ atau Qiyās karenanya pembahasan tentang maslahah
terbatas pada tujuan untuk mencapai kebaikan dan manfaat yang banyak dan hakiki, sedangkan kebaikan dan
manfaat itu dilihat dari perspektif Islam”. Lihat juga di dalam, Muhammad al-Tāhir Ibn ‘Asyir, Maqāsid al-
Syarî‘ah al-Islāmiyyah, (Jordan: Dār al-Nafi’is, 2001M/1421H), Cet. II, 278.

3|KEL 06 – FIQH KONTEMPORER


2. Al-Khawārizmî (w.997H) berpendapat, Maslahah ialah pemeliharaan terhadap
maksud Syarak dengan menolak kerusakan-kerusakan terhadap makhluk
(manusia).4 Dari rumusan al Khawārizmî dapat difahami bahwa sesuatu itu di
anggap maslahah ataupun tidak, ukurannya ialah Syarak bukan akal semata.
Menurut Imām al-Syatibî, maslahah ialah segala yang difahami untuk
menguraikan maslahah manusia dengan pencapaian maslahah maslahah dan
penolakan mafsadah-mafsadah, dan ia tidak diperoleh melalui akal semata namun
ia mestilah di i’tiraf oleh syarak untuk menerima atau menolaknya.5

Adapun syarat-syarat untuk dapat berijtihad dengan maslahat mursalah


diantaranya adalah:
1. Maslahah mursalah adalah maslahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti
dapat diterima oleh akal sehat bahwa benar-benar mendatangkan manfaat bagi
manusia dan menghindarkan mudarat dari manusia secara utuh.
2. Penilaian akal sehat sebagai suatu maslahah yang hakiki sejalan dengan maksud
dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum.
3. Tidak berbenturan dengan syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash Al-
Qur’an dan as-Sunnah maupun ijma’ ulama terdahulu.
4. Maslahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan dan
seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan
berada dalam kesempitan hidup.6

Ulama sepakat bahwa ke-hujjahan maslahah mursalah tidak sah menjadi landasan
hukum dalam bidang ibadah (al-ahkam manshusoh). Karena bidang ibadah harus
diamalkan sebagaimana diwariskan Rasulullah Saw, dan oleh karena itu bidang ibadah
tidak berkembang.

Dari definisi yang disampaikan oleh para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa
maslahah ialah segala perkara yang menjaga kehendak dan tujuan syara’ dengan
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta yang tidak ada dasar tetapi dapat
diterima oleh akal sehat dan kepentingan umat tanpa terkecuali.

4
Muhammad Ibn Alî al- Syawkānî, Irsyād al- Fuhūl Ilā Tahqîq al- Haq Min ‘Ilm al- Usūl, AbîHafs Sami Ibn
al- ‘Arabi al- Asyra (Muhaqiq), Juz II, (Riyād: Dār al- Fadilah, 2000M/1421H), Cet I, 990
5
Al-Syātibî, al- I‘tisām, Sayyid Ibrāhîm (Muhaqqiq), Jilid I, (Qāhirah: Dār al-Hadîs, 2003M/1424H ), Juz 2,
h. 362
6
Dr. Hasbiyallah, “Fiqh dan Ushul Fiqh: Metode Istinbath Dan Istidal”, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Offset, 2013), cet-ke. I, hlm. 108.

4|KEL 06 – FIQH KONTEMPORER


B. Bentuk-Bentuk Maslahah

Menurut Abu Ishak al-Syathibi mashlahah dapat dibagi menjadi beberapa segi,
diantaranya:7
1. Dari segi tingkatannya, yaitu:
a. Mashlahah al-Dharuriyyah
Kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat
manusia di dunia dan di akhirat, yakni memelihara agama, memelihara
jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta.
Kelima kemaslahatan ini disebut dengan al-Mashalih al-Khamsah.
Mashlahah ini merupakan yang paling esensial bagi kehidupan manusia,
sehingga wajib ada pada kehidupan manusia dikarenakan menyangkut
aspek agama atau akidah demi ketenteraman kehidupan duniawi maupun
ukhrawi.

b. Mashlahah al-Hajiyah,
Kemaslahatan yang dibutuhkan untuk menyempurnakan atau
mengoptimalkan kemaslahatan pokok (al-mashalihal-khamsah) yaitu
berupa keringanan untuk mepertahankan dan memelihara kebutuhan
mendasar manusia (al-mashalih al-khamsah). Mashlahah ini merupakan
kebutuhan materiil atau pokok (primer) kehidupan manusia dan apabila
mashlahah ini dihilangkan akan dapat menimbulkan kesulitan bagi
kehidupan manusia, namun tidak sampai menimbulkan kepunahan
kehidupan manusia.

c. Mashlahah al-Tahsiniyyah,
Kemaslahatan yang sifatnya komplementer (pelengkap) berupa
keleluasan dan kepatutan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya
(mashlahah al-hajiyyah). Jika mashlahah ini tidak terpenuhi, maka
kehidupan manusia menjadi kurang indah dan nikmat dirasakan namun
tidak dapat menimbulkan ke-madharat-an.8

7
Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013) cet. ke- 3, hlm.228.
8
M. Usman, “Buku Daras Mata Kuliah: Filsafat Hukum Islam”, (Fakultas Syariah STAIN Surakarta, 2009),
hlm.115.

5|KEL 06 – FIQH KONTEMPORER


2. Dari segi keberadaan mashlahah, yaitu:9
a. Mashlahah Mu’tabarah
Kemaslahatan yang didukung oleh syara’ baik langsung maupun tidak
langsung. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan
jenis kemaslahatan tersebut.

b. Mashlahah Mulghah
Kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan
ketentuan syara’ atau hanya dianggap baik oleh akal manusia saja.
Umpamanya seorang raja atau orang kaya yang melakukan pelanggaran
hukum, yaitu mencampuri istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Menurut
Syar’i, hukumannya adalah memerdekakan hamba sahaya, untuk orang ini
sanksi yang paling baik adalah disuruh puasa dua bulan berturut-turut,
karena cara inilah yang diperkirakan akan membuat jera melakukan
pelanggaran.

c. Mashlahah Mursalah
Kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak
pula dibatalkan atau ditolak syara’ melalui dalil yang rinci, tetapi didukung
oleh sekumpulan makna nash (al-Qur’an atau Hadits). Mashlahah mursalah
tersebut terbagi menjadi dua, yaitu mashlahah gharibah dan mashlahah
mursalah. Mashlahah gharibah adalah kemaslahatan yang asing, atau
kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan syara’, baik secara rinci
maupun secara umum. Sedangkan mashlahah mursalah adalah
kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi
didukung oleh sekumpulan makna nash.

3. Dari segi cakupan mashlahah, yaitu:


a. Mashlahah yang berkaitan dengan semua orang.
b. Mashlahah yang berkaitan dengan sebagian orang.
c. Mashlahah yang berkaitan dengan orang-orang tertentu.
Jika pada ketiga mashlahah diatas tersebut terjadi pertentangan satu dengan
lainnya, maka menurut jumhur kemaslahatan yang bersifat umum yang harus
didahulukan atas kemaslahatan yang ada dibawahnya.10

9
Dr. Hasbiyallah, “Fiqh dan Ushul Fiqh: Metode Istinbath Dan Istidal”, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Offset, 2013), cet-ke. I, hlm. 107.
10
Lihat dalam, (Husain Hamid Hasan: “Nadzriyyahal-Maslahah fial-Fiqh al-Islamy”). Dikutip dalam Pusat
Perpustakaan Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim.

6|KEL 06 – FIQH KONTEMPORER


C. Penerapan Maslahah Untuk Kepentingan Umum

Penerapan konsep Mashlahah diperuntukan ke dalam kemaslahatan umum di


dalam kajian kontemporer saat ini sangatlah banyak. Adapun diantaranya sebagi
berikut:11
1. Khamr
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa kham rmemiliki beberapa manfaat,
namun dosanya lebih besar. Meskipun dinyatakan memiliki manfaat untuk
manusia, namun mengkonsumsi minuman keras diharamkan oleh agama.
Larangan mengonsumsi khamr yang dinyatakan dalam Al-Qur’an memiliki
manfaat menunjukkan bahwa tidak setiap yang membawa manfaat sebagai
maslahah dalam pandangan agama.

2. Nasab Anak Pada Kasus Hamil


Penetapan nasab anak pada kasus nikah hamil, ditetapkan dalam kompilasi
hukum Islam pasal 53 yang dikaitkan dengan pasal 98, dinyatakan bahwa anak
yang lahir dari proses pernikahan yang sah dinisbahkan nasabnya pada ibu dan
ayahnya. Hal ini sejalan dengan pendapat imam Abu Hanifah. Penetapan nasab
dalam Islam sangat mempertimbangkan kemaslahatan anak yang lahir dari istri
yang diingkari suaminya. Dengan demikian diharapkan adanya pengakuan
terhadap anak tersebut untuk memberi kejelasan status keberadaan seorang anak.
Hal ini untuk menkonstatir bahwa setiap manusia yang lahir di dunia ini adalah
ciptaan Tuhan yang memiliki hak asasi untuk hidup, dihormati, untuk memiliki
dan untuk mendapatkan penghargaan yang sama dengan manusia lainnya.

3. Ekonomi Islam (Muamalah)


Penerapan maslahah dalam ekonomi Islam memiliki ruang lingkup yang
lebih luas dibanding ibadah. Oleh karena itu terbuka bagi inovasi dan kreasi baru
maka prinsip al-mashlahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan patokan
yang penting. Pengembangan ekonomi Islam dalam menghadapi perubahan dan
kemajuan sains teknologi yang pesat haruslah didasarkan kepada maslahah,
karena itu untuk mengembankan ekonomi Islam para ekonom muslim berpegang
dengan mashlahah.

11
Dalam buku berjudul “Kajian Fiqh Kontemporer” edisi revisi karya Dr. Kutbuddin Aibak, M.Hi
dipaparkan dalam materi kajian mengenai permasalahan yang berkaitan dengan zaman sekarang dikorelasikan
dengan dalil-dalil Hukum Islam terkhusus metode Istinbath hukum pada Maslahat Mursalah. Terdapat 14 Bab
Permasalahan kajian fiqh kontemporer yang dihadirkan. Diantaranya, bab munakahat; bab jinayah; bab adab
dan bab muamalah.

7|KEL 06 – FIQH KONTEMPORER


a. (Pendirian Bank dan Lembaga Keuangan Syariah)
Bank sudah merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Bank dengan segala fungsinya telah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat modern yang tidak mungkin dipisahkan lagi. Bank sudah
menjadi sarana tolong menolong sesama umat manusia, baik menabung,
meminjam uang, membayar tagihan listrik, telepon, uang kuliah, transfer,
bahkan menjadi penyalur dana bantuan bagi masyarakat yang terkena
musibah. Secara konseptual, Islam tidak memerintahkan pendirian lembaga
perbankan. Akan tetapi tidak satu ayatpun dari al-Qur’an maupun al-Hadits
yang melarang pendirian lembaga perbankan.

Akad mudharabah (bagi hasil) yang dikenal selama ini, dalam konsep
Islam adalah hubungan personal (bukan lembaga seperti bank) antara dua
orang atau lebih berupa akad kerja, dimana pemilik modal menyerahkan
uangnya kepada orang yang dipercaya untuk digunakan sebagai modal kerja
dan hasilnya dibagi sesuai kesepakatan. Akan tetapi dengan pendirian bank
tersebut manfaatnya semakin besar dan dapat dirasakan banyak orang..

b. (Intervensi Harga)
Jumhur ulama sepakat bahwa harga yang adil adalah harga yang
terbentuk karena interaksi kekuatan penawaran dan permintaan (mekanisme
pasar), bahkan mayoritas ulama sepakat tentang haramnya campur tangan
pemerintah dalam menentukan harga pasar, karena melindungi kepentingan
pembeli sama pentingnya dengan melindungi penjual.

Berbeda dengan jumhur ulama, Ibn Taimiyah membenarkan


intervensi harga oleh pemerintah, sekalipun Nabi Saw tidak
melakukannya.12 Hal ini dikarenakan dengan pertimbangan maslahah,
regulasi perekonomian bisa berubah dari teks nash kepada konteks nash
yang mengandung maslahah. Misalnya, Nabi Muhammad Saw tidak mau
mengintervensi persoalan harga di Madinah, ketika para sahabat
mendesaknya untuk menurunkan harga. Tetapi ketika kondisi berubah

12
Hadits yang dijadikan sebagai sandarannya adalah: Dari Anas bin Malik ia berkata, "Pernah terjadi
kenaikan harga pada masa Rasulullah Saw, maka orang-orang pun berkata, "Wahai Rasulullah, harga-harga
telah melambung tinggi, maka tetapkanlah setandar harga untuk kami." Beliau lalu bersabda: "Sesungguhnya
Allah yang menentukan harga, yang menyempitkan dan melapangkan, dan Dia yang memberi rizki. Sungguh,
aku berharap ketika berjumpa dengan Allah tidak ada seseorang yang meminta pertanggungjawaban dariku
dalam hal darah dan harta)." Lihat hadis ini dalam Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmizi al-
Jami„ as-Sahih (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 2002), h.553, dan penjelasan dalam perspektif ekonomi dalam Isnaini
Harahap, et.al. Hadis-Hadis Ekonomi. (Jakarta: Kencana, 2015).

8|KEL 06 – FIQH KONTEMPORER


(terjadi distorsi pasar), dengan pertimbangan kemaslahatan dan menjaga
mekanisme pasar dapat berjalan kembali ke arah keseimbangan, maka
pemerintah boleh melakukan intervensi harga.

c. (Larangan Dumpling)
Dumping merupakan sistem penjualan barang di pasar luar negeri
dalam jumlah banyak dengan harga yang rendah dibandingkan dengan
harga di dalam negeri dengan tujuan agar dapat menguasai pasar luar negeri
dan menguasai harga komoditas tertentu. Menurut kamus istilah
perdagangan internasional, dumping merupakan praktek penjualan produk
di negara tujuan ekspor dengan harga di bawah harga normal atau harga
produsennya yang bertujuan untuk menguasai pasar di luar negeri.13

Sesuai peraturan perdagangan internasional, praktek dumping


dianggap sebagai praktek perdagangan yang tidak jujur dan dapat
merugikan produsen produk saingan serta mengacaukan sistem pasar
internasional. Praktek dumping dalam menimbulkan kalah bersaingnya
produk sejenis dalam negeri akibat harga produk impor tersebut jauh lebih
murah dibandingkan harga produk sejenis yang ada dalam negara domestik,
sehingga bukan saja potensial untuk menutup industry sejenis di dalam
negeri tetapi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran karena
perusahaan dalam negeri harus menghemat biaya operasionalnya agar dapat
bersaing dengan barang-barang impor yang harganya sangat murah.

Dalam hukum Islam, praktek dumping tidak ditemukan ayat maupun


hadis yang melarangnya.14 Perdagangan luar negeri itu wajib bebas, tidak
boleh ada yang membatasi dengan sesuatu apapun, termasuk pemerintah
tidak boleh ikut campur dalam pelaksanaan atau penentuan kebijaksanaan
perdagangan. Namun, tetap ada batasan-batasan yang tetap harus
diperhatikan, yakni jangan sampai ada yang dirugikan dalam perdagangan
tersebut. Karena itulah, dengan pertimbangan untuk menciptakan
kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan bagi masyarakat luas
praktek dumping secara tegas dilarang dalam Islam.

13
Eddie Rinaldy. Kamus Istilah Perdagangan Internasional. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
hlm. 74.
14
Tentang analisis hukum Islam terhadap dumping lihat Nita Anggraeni. “Dumping Dalam Perspektif
Hukum Dagang Internasional dan Hukum Islam.” Mazahib, Jurnal Pemikiran Hukum Islam. Vol. XIV, No. 2
(Desember 2015)

9|KEL 06 – FIQH KONTEMPORER


4. Wanita Sebagai Presiden
Dalam beberapa pendapat mengenai kelayakan atas perempuan sebagai
pemimpin suatu kaum merupakan suatu kajian yang banyak dipertentangkan.
Pendapat yang paling banyak ialah sewajarnya pemimpin ialah seorang laki-laki.
Menurut Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah syarat seorang pemimpin
ada tujuh sebagai berikut: 1. Mampu bersikap adil, 2. Memiliki jiwa pemberani,
3. Tidak terdapat cacat panca indra, 4. Memiliki jalur keturunan dari suku
Quraisy, 5. Mampu mengatur rakyat dalam kebaikan-kebaikan, 6. Mampu
melakukan ijtihad dalam peristiwa yang muncul, 7. Tidak terdapat cacat fisik
yang menyebabkan tidak bisa bergerak.

Hal ini berdasarkan atas beberapa ketentuan yang ada, meliputi:15


a. Al-Qur’an al-Karim16
Terkandung dalam QS. An-Nisa ayat 34
ََّ َ‫ال ِّرجَالَُق َّوا َُمونَعلىَال ِّنسَاءَ ِّبماَفضَّل‬
َ‫ّللاَُب ْعض ُه ْمَعلىَب ْعضََو ِّبمَاَأَنفقُواَ ِّم ْنَأ َْموا ِّل ِّه ْم‬
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka.”

b. Hadits
Terdapat hadits yang menguatkan larangan wanita menjadi pemimpin.17
Artinya: “Menceritakan kepada Utsman bin Husaem dan Auf dari Hasan dari
Abi Bakrah, beliau berkata bahwa sesungguhnya Allah telah memberikan
manfaat kepada saya dengan suatu kalimat pada waktu perang Jamal, (bahwa
Nabi Muhammad Saw) ketika ada berita sampai kepada Nabi Muhammad
Saw, bahwa bangsa persia telah mengangkat anak perempuan rajanya untuk
menjadi penguasa, maka Nabi Muhammad Saw bersabda “Sesuatu kaum tidak
akan mendapatkan kemenangan kalau mereka menyerahkan urusan mereka
kepada wanita.” (HR. Al-Bukhori)

15
Abdul H Mahmudi, “Skripsi: Konsep Maslahah Mursalah Pada Kasus Presiden Wanita Menurut Imam
Malik Dan Imam Najmuddin Al-Thufi”, (UIN Syarif Hidayatullah, 2009), hlm. 74.
16
Terdapat pula didalam QS. Al-Baqarah ayat 228 ”…. ‫“ ول ِِّّلرجَا َِّل علي ِّْهَنََّ درجة‬laki-laki (suami) satu
tingkat lebih dari perempuan (istri)”.
17
Lihat, Fiqh Politik Perempuan karya Cahyadi T dikutip oleh Abdul H Mahmudi bahwasannya, (Aisyah.
r.a merupakan pemimpin pasukan saat Perang Jamal dengan keputusannya mengambil arah Basrah menuju
Madinah. Meskipun mendapat nasihat dan sindiran keras tetap melanjutkan ke medan Perang dan berkata:
“Tak ada celanya aku tinggal di rumah, tetapi yang aku lakukan ini adalah untuk kebaikan manusia”).

10 | K E L 0 6 – F I Q H K O N T E M P O R E R
c. Qiyas
Dasar pengqiyasan antara lain dengan melihat perbedaan yang ada antara lain:
1. Perempuan tidak diperbolehkan mengimami sholat khalayak umum
2. Perempuan tidak mempunyai hak untuk putusan cerai
3. Perempuan tidak diwajibkan untuk sholat Jum’at berjamaah

Adapun alasan untuk membawa kemaslahatan ummat tidak menutup


kemungkinan terbuka untuk siapa saja dan tidak membawa kepastian terhadap
satu atau suatu kaum itu. Meskipun banyak yang menolak, akan tetapi juga ada
yang menerima dengan berbagai alasan yang dikemukakan yaitu, dilihat dari fitri
(kodrat) perempuan ialah mengandung (Hamalah); melahirkan (Wiladah) dan
mendidik (Tarbiyah). Sedangkan, laki-laki mempunyai sifat kuat (al-Quwwah)
dan (Qudran). Akan tetapi semua itu menurut kebiasaan/adat Arab. Rasyid Rida
dan Muhammad Abduh melihat dari segi agama yaitu harus dapat membimbing
dan menjaga kehormatan perempuan. Selanjutnya jika dilihat dari segi profesi
maka tidak ada permasalahan. Maka, tidak ada pelarangan untuk menjadi
pemimpin bagi siapa pun kecuali ditentukan lain.

5. Eugenetika
Istilah (eugenetika) berarti seleksi ras unggul, dengan tujuan agar janin
yang dikandung oleh ibu dapat diharapkan lahir sebagai bayi yang normal dan
sehat baik fisik, mental dan intelektual nya. Pengecekkan janin yang ada dalam
kandungan dari pemeriksaan medis yang canggih, untuk mengetahui apakah
calon janin menderita cacat atau penyakit yang sangat berat. Jika, diketemukan
seperti itu maka digugurkan janin tersebut dengan alasan hidup anak yang
demikian menjadi beban keluarga dan masyarakat setempat.

Apakah hanya akan dilakukan terbatas pada janin yang menderita down
syndrome saja. Ataukah misalnya pengguguran juga dilakukan atas permintaan
ibu atau keluarga yang tidak sesuai dengan harapan jika berbeda jenis kelamin.
Hal ini sejalan dengan pendapat Masjfuk Zuhdi, apabila dengan alasan
pengguguran janin dilakukan dikarenakan down syndrome maka masih tolerable
atau diperbolehkan mengingat madarat/resikonya jauh lebih besar daripada
maslahahnya jika mempertahankan hidup janin itu.18

18
Kutbuddin Aibak, “Kajian Fiqh Kontemporer” (Yogyakarta: Kalimedia, 2017) cet. ke-1, hlm. 92. (Lihat
penjelas dalam Mahjuddin Masailul Fiqhiyah h. 27-28).

11 | K E L 0 6 – F I Q H K O N T E M P O R E R
6. Abortus Dan Menstrual Regulation
Istilah abortus dikenal sebagai cara pengguguran kandungan yang sudah tua
atau telah bernyawa. Sedangkan, menstrual regulation cara pengguguran
kandungan yang masih muda. Metode yang dipakai untuk abortus biasanya
dengan cara:
a. Curratage and Dilatage (C & D)
b. Aspirasi, yakni penyedotan isi rahim dengan pompa kecil
c. Hysterotomi (melalui operasi)
d. Dengan alat khusu, mulut rahim dilebarkan kemudian janin di-curet (dikiret)
dengan alat seperti sendok kecil.

Adapun macam-macam abortus, yaitu:


a. Abortus spontan, ialah abortus yang tidak disengaja atau spontan. Bisa terjadi
karena penyakit, kecelakaan dan sebagainya.
b. Abortus yang disengaja (provacatus). Terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu:
1. Abortus artificialis therapicus
2. Abortus provacatus criminalis
Sedangkan (Menstrual Regulation) secara harfiah berarti pengaturan
menstruasi/datang bulan/haid. Tetapi, dalam praktek dilakukan terhadap wanita
yang merasa terlambat datang bulan dan berdasarkan pemeriksaan ternyata positif
hamil dan ia minta agar dibereskan janinnya. Hal ini sama saja dengan (abortus
provocatus criminalis) yang termasuk pembunuhan janin secara terselubung.
Menurut Masjfuk Zuhdi oleh Mahmud Syaltut bahwa sejak bertemunya sel
sperma dengan ovum maka pengguguran adalah suatu kejahatan dan haram
hukumya, sekalipun janin belum diberi nyawa sebab telah ada kehidupan pada
kandungannya.19

Konsep maslahah yang dimaksud ialah dengan diperbolehkannya


pengguguran karena terpaksa demi melindungi atau menyelamatkan yang lebih
utama. Maka untuk itu menggunakan prinsip “Menempuh salah satu tindakan
yang lebih ringan dari dua hal yang berbahaya itu adalah wajib.” Dengan kata
lain, dalam pengguguran diutamakan jika kondisi calon bayi dapat mengganggu
atau membahayakan si ibu dalam proses persalinan maka lebih diutamakan
menyelamatkan nyawa si ibu dan mengorbankan si calon bayi tersebut.

19
Kutbuddin Aibak, “Kajian Fiqh Kontemporer” (Yogyakarta: Kalimedia, 2017) cet. ke-1, hlm. 89.

12 | K E L 0 6 – F I Q H K O N T E M P O R E R
7. Masturbasi (Onani)
Istilah masturbasi berasal dari bahasa Inggris, masturbation. Ahli hukum
Islam menyebutnya dengan istilah al-Istimna’ yang berarti onani atau perancapan.
Dalam kata-kerja (fi’il) yaitu istamna-yastamni menjadi istimna’ yang artinya
mengeluarkan air mani. Maksudnya ialah mengeluarkan air mani dengan cara
menggunakan salah satu anggota badan (tangan misalnya) atau istimna’ bi al-yad
untuk mendapatkan kepuasan seks. Islam memandang sebagai suatu perbuatan
yang tidak etis dan tidak pantas. Namun, dalam kalangan ahli hukum fiqh
terdapat perbedaan pendapat antara lain:

Pendapat pertama Ulama Maliki, Syafi’I dan Zaidi mengharamkan secara


mutlak. Berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Mukminun ayat 5-7,
sebagaimana:
َِّ ُ‫َأو َماَملكتْ َأيْمانُ ُه ْم َفَِّإنََّ ُه ْم َغي ُْر َمل‬
َ‫ومينَ فم ِّن َاَْبتغىَورَاء‬ َُ ِّ‫وج ِّه ْم َحاف‬
ِّ ‫ظون َإِّالَّ َعلَىَأ ْزو‬
ْ ‫اج ِّه ْم‬ ِّ ‫وَالَّ َِّذين َ ُه ْم َ ِّلفُ ُر‬
َ‫ذ ِّلكَفَأ ُ ْوالَئِّكَ ُه ُمَا ْلعا َُدون‬
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuai terhadap istri-
istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, mereka itulah
orang-orang yang melampaui batas”.

Pendapat kedua Ulama Hanafi dan Hanbali mengharamkan onani tetapi


dalam keadaan gawat, yakni orang yang memuncak nafsu seksnya dan khawatir
berbuat zina atau khawatir terganggu kesehatannya. Sedangkan, ia tidak
mempunyai istri atau budak wanita. Maka, ia boleh bahkan wajib demi
menyelamatkan diri dari zina yang jauh lebih besar dosa dan bahayanya. Terdapat
kaidah fiqh yang berbunyi, “sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, hanya
boleh sekadarnya saja”. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-
Baqarah ayat 173, sebagaimana:
ََّ َََّ‫ط َّرَغيْرَبَاغََوالَعَادََفالَإِّثْمَعل ْي ِّهَإَِّن‬
َِّ ‫ّللاَغ َفُورََر‬
‫حيم‬ ُ ‫ض‬
ْ ‫فم ِّنَا‬
Artinya: “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedang ia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Pendapat ketiga, Ibnu Abbas, Al-Hassan membolehkan onani. Dengan


berdasarkan, “Orang Islam dahulu melakukannya dalam waktu peperangan (jauh
dari keluarga/istri)”. Hukum mubah onani ini berlau baik untuk pria atau wanita.
Maslahah yang ingin dicapai ialah keselamatan dari nafsu dan kesehatan biologis.

13 | K E L 0 6 – F I Q H K O N T E M P O R E R
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Melihat begitu banyak permasalahan yang harus dihadapi saat ini. Terutama
masa-masa kini (zaman) sekarang yang dipengaruhi atas adanya perkembangan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan sosial, ta’arud yang difasilitasi
juga didasari oleh fanatisme suatu golongan dan berbagai faktor lainnya yang membuat
multi-tafsir konsep-konsep kontemporer menjadi carut marut.

Dengan melihat metode Istinbath hukum dalam syara’ yang relevan dengan
situasi dan kondisi saat ini ialah mencapai suatu tujuan demi kebaikan dan manfaat
bersama tanpa terlalu banyak berdasarkan atas asas, dalil dan hukum yang lainnya.
Maka, lebih tepat apabila dengan menggunakan konsep Istinbath dalam metode
Maslahat Mursalah.

Maslahat Mursalah atau ke-maslahat-an yang diinginkan setiap manusia (human-


social) dengan tercapainya hubungan antar tekstual dan kontekstual yang dapat
dipahami oleh khalayak umum, tampaknya diterima melalui metode-metode maslahat
mursalah. Adapun, syarat yang dipergunakan atau dilaksanakan bersifat praktis dan
mudah diterima oleh masyarakat pada umumnya dan terkhusus bagi ummat muslim.

Adanya ke-relevanitasan antara metode (dimaksud: macam-bentuk) maslahat


dengan kenyataan yang terjadi memungkinkan masyarakat lebih bijak menyikapi dan
menyadari permasalahan-permasalahan yang terkain dengan fiqh kontemporer ini.
Tujuan disiplin ilmu ini tidak lain adalah untuk menjamin memelihara Maqashid
Syari’ah dalam ajaran Islam. Yaitu, meguatkan agama (hifd diin), mengembangkan
akal (hifd aql), menjaga jiwa (hifd nafs), memelihara harta (hifd maal) dan meneruskan
keturunan (hifd nasl).

14 | K E L 0 6 – F I Q H K O N T E M P O R E R
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an al-Karim.

Hasbiyallah. 2013. Fiqh dan Ushul Fiqh: metode isntinbath dan istidlal. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.

Mardani. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Usman. M. 2009. Buku Daras. Filsafat Hukum Islam. Fakultas Syari’ah: STAIN Surakarta.

Syafe’i. R. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.

Aibak. K. 2017. Kajian Fiqh Kontemporer. Edisi Revisi. Yogyakarta: KALIMEDIA.

Asriaty. 2015. Jurnal Madania: "Penerapan Mashlahah Mursalah Dalam Isu-Isu


Kontemporer, Vol. 19. No. 1." Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Mahmudi. H. Abdul. 2009. Skripsi: "Konsep Maslahah Mursalah Pada Kasus Presiden
Wanita Menurut Imam Malik Dan Imam Najmuddin Al-Thufi". Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah.

15 | K E L 0 6 – F I Q H K O N T E M P O R E R

Вам также может понравиться