Вы находитесь на странице: 1из 31

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KUALITAS

HIDUP PADA PASIEN DENGAN ​TUBERCULOSIS ​DI PUSKESMAS


KABUPATEN BLORA

PROPOSAL SKRIPSI KEPERAWATAN


Untuk Memenuhi Persyaratan Kelulusan Mata Kuliah Skripsi

Oleh :
Tety Susiandari
NIM : E420163318

Pembimbing I : Indanah, M.Kep., Ns. Sp. Kep. An


Pembimbing II : Yulisetyaningrum, S.Kep., Ns. M.Si. Med

JURUSAN S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH KUDUS
TAHUN 2017
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di masyarakat tentunya sering kita jumpai kasus ​Tuberculosis atau TB paru.
Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit yang sudah dikenal sejak dahulu kala dan
telah melibatkan manusia sejak zaman purbakala, seperti terlihat pada peninggalan
sejarah. TB paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang paru-paru yang
secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosi
jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dan bahkan seumur hidup serta dapat
menular dari penderita kepada orang lain. Penderita yang sakit tanpa adanya
pengobatan setelah 5 tahun, 50% penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan
pertahanan tubuh yang baik dan 25% lagi menjadi kronik dan infeksius (Manurung,
2009).
Berdasarkan Global Report TB WHO (World Health Organization) tahun 2013,
prevalensi TB diperkirakan sebesar 169 kasus per 100.000 penduduk, insidensi TB
Paru sebesar 122 kasus per 100.000 penduduk dan angka kematian sebesar 13
kasus per 100.000 penduduk. Kemudian angka kesembuhannya mencapai target
sebesar 83,7% (target minimal 85%) dan angka keberhasilanpengobatan pada tahun
2013 mencapai target sebesar 90,3% (target minimal 85%), dari data tersebut
menjadikan Indonesia sebagai Negara ke-4 terbanyak setelah India, China, dan Afrika
Selatan.
Di Beberapa daerah di Indonesia Target case detection rate (penemuan kasus
baru) untuk pulau Sumatera 160/100.000 penduduk, sedangkan untuk pulau Jawa dan
Bali sebesar 200/100.000 penduduk. Berdasarkan WHO tahun 2010 prevalensi TBC di
Indonesia 285/100.000 penduduk dan melebihi dari target yang ditetapkan, sedangkan
angka kematian menurun menjadi 27/100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2011).
Sejak tahun 2005 sampai dengan 2010 angka penemuan penderita dan angka
kesembuhan TBC di Jawa Tengah cenderung mengalami peningkatan, meskipun masih
dibawah target nasional (CDR= 70%; CR = 85%; dan Angka sukses pengobatan =
96%). Akan tetapi mulai tahun 2011 mengalami penurunan. Sedangkan angka sukses
pengobatan mempunyai trend naik turun dari tahun 2005 sampai tahun 2010, dan masih
dibawah target nasional (Profil Dinkes Jateng, 2011).
Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Blora Tahun 2016 dari 26 Puskesmas
se Kabupaten Blora didapatkan hasil penemuan kasus TB sebanyak 346 Laki-laki dan
250 Perempuan dengan total kasus TB sebanyak 596 pasien. Sedangkan pada tahun
2017 sampai bulan Januari - Juli 2017 didapatkan kasus penemuan TB sebanyak 221
laki-laki dan 159 perempuan sehingga total menjadi 380 pasien.
Penderita Tuberculosis paru yang tertinggi berada pada kelompok usia produktif
(15-50 tahun) yaitu berkisar 75%. Seorang penderita Tuberculosis dewasa diperkirakan
akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3-4 bulan sehingga berakibat pada kehilangan
pendapatan rumah tangganya yaitu sekitar 20-30%. Jika seseorang meninggal akibat
Tuberculosis , maka dia akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, Tuberculosis juga memberikan dampak buruk lainnya,
yaitu dikucilkan oleh masyarakat (stigma) (WHO, 2012).
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang
lain. Kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan,
pengakuan dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaanr
eligiusitas), tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang
tersebut sedang menghadapi masalah baik ringan maupun berat. Pada saat itu
seseorang akan mencari dukungan sosial dari orang-orang sekitarnya, sehingga dirinya
merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai (Jurnal Tuberculosis Indonesia Vol.8, 2012)
Tuberculosis merupakan penyakit dengan implikasi sosial karena stigma yang
melekat padanya yang terlihat dari hasil penelitian yang didapat dalam domain psikologis
dan sosial. Secara keseluruhan tampak bahwa dukungan sosial yang positif berkualitas
tinggi dapat meningkatkan ketahanan terhadap stres, membantu melindungi terhadap
pengembangan trauma terkait psikopatologi dan gangguan stres pasca trauma (Ozbay et
al., 2007).
Menurut Tamher (2009) bahwa dukungan dari keluarga merupakan unsur
terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah. Adanya dukungan
keluarga akan meningkatkan rasa percaya diri dan motivasi untuk menghadapi
masalah. Keluarga merupakan faktor penting dalam memberikan dukungan agar
penderita TB Paru rutin dalam pengobatannya.
Berdasarkan hasil penelitian Juliandari, dkk (2014). Indikator yang mewakilkan
hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup dalam penelitiannya mendapatkan
hasil tingkat presentase dukungan sosial sedang dengan kualitas hidup baik (16,67%)
dan yang terbanyak adalah presentase dukungan sosial sedang dengan kualitas hidup
sedang (20,18%). Menurut hasil penelitiannya menunjukkan semakin sedikit dukungan
sosial yang didapat atau dirasakan oleh pasien maka semakin kuat dalam
mempengaruhi penurunan kualitas hidup pasien Tb paru.
Kualitas hidup merupakan salah satu kriteria utama untuk mengetahui intervensi
pelayanan kesehatan seperti morbiditas, mortalitas, fertilitas, dan kecacatan. Di negara
berkembang pada beberapa dekade terakhir ini insidensi penyakit kronis mulai
menggantikan dominasi penyakit infeksi di masyarakat. Sejumlah orang dapat hidup
lebih lama, namun dengan membawa beban penyakit menahun atau kecacatan,
sehingga kualitas hidup menjadi perhatian pelayanan kesehatan. (Ina, 2014)
Dalam hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nita Yunianti Ratnasari di BP4
Yogyakarta Unit Minggiran menyatakan bahwa 68% penderita TB mempunyai kualitas
hidup baik, 30% penderita mempunyai kualitas hidup sedang dan 2% penderita TB
mempunyai kualitas hidup jelek ( Jurnal Tuberculosis Indonesia Vol.8 , 2012). Penelitian
sebelumnya tentang dukungan sosial 84% total skor penderita TB paru mendapat
dukungan sedang. Selain itu 51% berdasarkan subjek yang memberikan dukungan soial
yang sedang didapat pada penderita TB paru diperoleh dari keluarga, medis, dan teman
(Herry E, 2011).
Peneliti telah melakukan studi pendahuluan, dan didapatkan hasil, bahwa dari 10
orang penderita TB sejumlah 6 orang merasa dirinya tidak mendapat dukungan dari
keluarganya sedangkan 4 orang mendapat dukungan dari keluarganya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup
Pasien ​Tuberculosis​ di Puskesmas Kabupaten Blora”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah sebagai
berikut “Adakah ​Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien
Tuberculosis​ di Puskesmas Kabupaten Blora​?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui ​Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup
Pasien ​Tuberculosis​ di Puskesmas Kabupaten Blora”.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik responden (usia, jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan, anggota keluarga) pasien ​tuberculosis di Puskesmas Kabupaten
Blora​.
b. Untuk mengetahui gambaran dukungan keluarga pasien ​tuberculosis ​di
Puskesmas Kabupaten Blora​.
​ i Puskesmas
c. Untuk mengetahui karakteristik kualitas hidup pasien ​tuberculosis d
Kabupaten Blora​.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Instansi Kesehatan
Dengan dilaksanakannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan referensi
bagi Puskesmas untuk melakukan upaya dalam meningkatkan kualitas hidup
penderita TBC dan pencegahan penularan TBC.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Dengan dilaksanakannya penelitian ini, diharapkan institusi dapat mendorong
peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang kejadian TBC.
3. Bagi Peneliti
Dengan dilaksanakannya penelitian ini, peneliti dapat menerapkan hasil
penelitian di lapangan dengan memberikan penyuluhan pada masyarakat tentang
upaya penyembuhan & pencegahan TBC.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang sejenis dengan judul “ Hubungan Antara Dukungan Keluarga
dengan Kualitas Hidup Pasien ​Tuberculosis di Puskesmas Kabupaten Blora​” sudah
pernah diteliti sebelumnya, yaitu sebagai berikut:
Peneliti Judul Jenis Hasil Penelitian Perbedaan
Penelitian
Ni Hubungan antara Penelitian non Hasil uji menunjukkan Jumlah
Made dukungan sosial dan eksperimental bahwa dukungan sampel
Juliand coping stres dengan dengan design sosial dan kualitas penelitian
ari, dkk kualitas hidup pasien tb penelitian hidup mempunyai adalah 30
paru di puskesmas Perak korelasional hubungan yang positif orang pasien
timur Surabaya tahun signifikan dengan nilai Tb paru di
2014 (r) = 0,899 dan (p) = Puskesmas
0,000. Antara ​coping Perak Timur
stres dan kualitas Surabaya dari
hidup juga bulan
mempunyai hubungan Desember
yang positif namun 2013 hingga
tidak sekuat dukungan bulan Januari
sosial, koefisien 2014.
korelasinya (r) = 0,497 Variabel
dengan nilai penelitian ini
signifikansi (p) = adalah
0,005. dukkungan
sosial, ​coping
stres dan
kualitas
hidup.
Ina Dwi Hubungan dukungan Jenis penelitian Hasil penelitian Penelitian
Hastuti sosial dengan kualitas menggunakan menunjukkan bahwa dilakukan di
, dkk hidup pada penderita rancangan lebih dari setengah balai
studi potong responden atau 24
Tuberculosis paru di kesehatan
lintang dengan responden (75,0 %)
balai kesehatan kerja populasi 46 mempunyai kualitas kerja
masyarakat provinsi orang, sampel hidup rendah dan masyarakat
Jawa Barat tahun 2014 berjumlah 32 sebagian kecil provinsi
orang dengan responden atau 8 Jawa Barat
teknik responden ( 25.0% ) tahun 2014.
purposive mempunyai Sedangkan,
sampling. kualitas hidup tinggi. populasi 46
Tehnik Dukungan sosial orang,
pengumpulan penderita sampel
data dengan Tuberculosis dilihat berjumlah 32
kuesioner. dari lima indikator orang
Analisa yang yaitu emosional,
digunakan penghargaan,
univariat fasilitas, informasi dan
dengan tabel jaringan sosial. Pada
distribusi analisis korelasi
frekuensi dan didapatkan adanya
bivariat dengan hubungan
uji Chi-Square. antara dukungan
sosial dengan kualitas
hidup (P-value =
0,000 dan α 0,05)
F. Ruang Lingkup Penelitian
1. Ruang Lingkup Materi
Masalah yang dikaji mengenai ​Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan
Kualitas Hidup Pasien ​Tuberculosis
2. Ruang Lingkup Waktu
Waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2017 – September
2017.
3. Ruang Lingkup Tempat
Tempat penelitian akan dilaksanakan ​di Puskesmas Kabupaten Blora
G. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain :
1. Sasaran penelitian hanya tertuju pada pasien yang berkunjung ke Puskesmas.
2. Waktu penelitian hanya terbatas 2 bulan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kualitas Hidup
1. Pengertian
Renwinck dan Brown (Angriyani, 2008) mendefinisikan kualitas hidup
sebagai tingkat dimana seseorang dapat menikmati segala peristiwa penting dalam
kehidupannya atau sejauh mana seseorang merasa bahwa dirinya dapat menguasai
atau tetap dapat mengontrol kehidupannya dalam segala kondisi yang terjadi.

Feinstein (Rachmawati, 2013) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi


individu tentang posisinya dalam kehidupan, dalam hubungannya dengan sistem
budaya dan nilai setempat dan berhubungan dengan cita-cita, penghargaan, dan
pandangan-pandangannya, yang merupakan pengukuran multidimensi, tidak
terbatas hanya pada efek fisik maupun psikologis pengobatan.

2. Domain Kualitas Hidup


Dalam definisi kualitas hidup yang dibuat oleh WHOQOL Group terdapat
domain-domain yang merupakan bagian penting untuk mengetahui kualitas hidup
individu. Domain-domain tersebut adalah kesehatan fisik, psikologis, sosial, dan
lingkungan. Berikut ini adalah hal-hal yang tercakup dalam 4 domain tersebut:
a. Domain kesehatan fisik, hal-hal yang terkait didalamnya meliputi: aktivitas
sehari-hari, ketergantungan pada bahan-bahan medis atau pertolongan medis,
tenaga dan kelelahan, mobilitas, rasa sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan
istirahat, serta kapasitas bekerja.
b. Domain psikologis terkait dengan hal-hal seperti body image dan penampilan;
perasaan-perasaan negatif dan positif; self-esteem; spiritualitas/kepercayaan
personal; pikiran, belajar, memori dan konsentrasi.
c. Domain sosial meliputi hubungan personal, hubungan sosial serta dukungan
sosial dan aktivitas seksual. Dukungan social adalah keberadaan, kesediaan,
kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai, dan
menyayangi kita (Karangora, 2012). Dukungan sosial yang diterima seseorang
dalam lingkungannya, baik berupa dorongan semangat, perhatian,
penghargaan, bantuan maupun kasih sayang membuatnya akan memiliki
pandangan positif teradap diri dan lingkungannya.
d. Domain lingkungan berhubungan dengan sumber-sumber finansial;
kebabasan, keamanan dan keselamatan fisik; perawatan kesehatan dan sosial
(aksesibilitas dan kualitas); lingkungan rumah; kesempatan untuk memperoleh
informasi dan belajar keterampilan baru; berpartisipasi dan kesempatan untuk
rekreasi atau memiliki waktu luang; lingkungan fisik (polusi, kebisingan, lalu lintas,
iklim); serta tranportasi.
3. Pengukuran Kualitas Hidup
Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan akan diukur semua
domainnya dalam dua dimensi, yaitu persepsi subyektif individu tentang
kesehatan atau Subjective Perceptions (aksis X) dan penilaian obyektif dari
fungsional status kesehatan atau Objective Health Status (aksis Y) Meskipun
dimensi penilaian obyektif penting untuk menentukan derajat kesehatan, persepsi
subyektif dan harapan individu dapat berubah menjadi penilaian yang lebih
obyektif dan menggambarkan kualitas hidup individu yang sesungguhnya.
Keinginan untuk sehat dan kemampuan menanggulangi keterbatasan dan
ketidakmampuan dapat mempengaruhi persepsi sehat dan kepuasan terhadap
hidup (life satisfaction) individu, sehingga dua orang dengan status kesehatan yang
sama mungkin dapat memiliki kualitas hidup yang berbeda.
Kualitas hidup dapat diukur dengan menggunakan instrumen pengukuran kualitas
hidup yang telah diuji dengan baik (Silitonga, 2007). Suatu instrumen pengukuran
kualitas hidup yang baik, harus memiliki konsep, cakupan, reabilitas, validitas, dan
sensibilitas yang baik pula. Secara garis besar, instrumen untuk mengukur kualitas
hidup dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu instrumen umum (generic scale) dan
instrumen khusus (spesific scale). Instrumen umum adalah instrumen yang
digunakan untuk mengukur kualitas hidup secara umum mengenai kemampuan
fungsional, ketidakmampuan dan kekhawatiran yang timbul akibat penyakit yang
diderita. Instrumen khusus adalah inst rumen yang digunakan untuk mengukur
suatu penyakit khusus pada populasi tertentu (misalnya pada lansia), atau
fungsi yang khusus (misalnya fungsi saluran pernapasan, fungsi emosional).
Sampai saat ini, masih belum terdapat instrumen khusus yang digunakan untuk
mengukur kualitas hidup khusus pada pasien tuberkulosis sehingga pengukuran
kualitas hidup pada pasien tuberkulosis menggunakan instrumen umum yang
sifatnya general. Berikut adalah jenis instrumen yang dapat digunakan untuk
mengukur kualitas hidup yang berhubungan dengan status kesehatan.
a. Sickness Impact Profile (SIP)
Sickness Impact Profile (SIP) merupakan salah satu instrumen yang bersifat
umum dan banyak digunakan. SIP dikembangkan oleh Berger pada tahun
1972 dan telah digunakan secara ekstensif dalam berbagai penelitian klinis.
SIP berisi 136 item yang terbagi dalam 12 domain, yaitu:
1) tiga domain tentang kondisi fisik
a) ambulatory
b) mobilitas
c) perawatan tubuh dan gerakan;
2) empat domain tentang psikososial
a) interaksi social
b) perilaku kewaspadaan
c) perilaku emosional
d) komunikasi;
3) lima domain tentang independen atau kemandirian
a) tidur dan istirahat
b) makan
c) bekerja dan manajemen rumah
d) rekreasi
e) masa lalu
Kelemahan dari instrumen ini adalah memerlukan waktu yang relatif lama
untuk menyelesaikan pengisisan kuesioner, yaitu sekitar 20–30 menit (Gupta &
Kant, 2009).
b. Notingham Health Profile (NHP)
Notingham Health Profile (NHP) merupakan instrumen general yang
menggunakan pernyataan yang mengukur penyimpangan dari fungsi normal
dengan menegaskan pernyataan khusus atau item yang menggambarkan status
kesehatan. NHP terdiri dari dua bagian, meliputi:
1) bagian pertama: berisi 36 item yang dibagi menjadi enam domain, yaitu:
a) mobilitas fisik
b) energi
c) tidur
d) sakit
e) isolasi sosial
f) reaksi emosional
2) bagian kedua: berisi 7 item yang menangani bidang kehidupan sehari-hari
yang dipengaruhi oleh status kesehatan.
c. Medical Outcomes Study (MOS) 36-Item Short Form Health Survey (SF-36)
MOS SF-36 adalah instrumen generik yang diterima secara universal dan luas
dalam pengukuran kualitas hidup pada berbagai penyakit. SF-36
dikembangkan oleh DcDowell dan Nowell dari Rand Corporation of Santa
Monica pada tahun 1970 dan distandarkan pada tahun 1990, SF-36 terdiri dari
dua domain, yaitu kesehatan fisik (Physical Component Summary, PCS) dan
kesehatan mental (Mental Component Summary, MCS). Setiap domain terdiri dari
empat area. Setiap area terdiri dari empat subarea. Setiap subarea terdiri dari
beberapa pertanyaan.
1) Domain kesehatan fisik (PCS)
a) Fungsi fisik (physical function): terdi ri dari 10 pertanyaan tentang
aktivitas fisik, termasuk mandi dan berpakaian
b) Keterbatasan akibat masalah fisik (role physical): terdiri dari empat
pertanyaan tentang pekerjaan dan aktivitas sehari-hari
c) Perasaan sakit/nyeri (bodily pain): terdiri dari dua pertanyaan tentang rasa
sakit yang dirasakan
d) Persepsi kesehatan umum (general health): terdiri dari lima pertanyaan
tentang kesehatan individu
2) Domain kesehatan mental (MCS)
a) Kesejahteraan mental (mental health): terdiri dari lima pertanyaan
tentang perasaan seperti sedih dan senang
b) Keterbatasan akibat masalah emosional (role emotinal): terdiri dari tiga
pertanyaan tentang masalah pekerjaan yang berdampak pada emosi
c) Fungsi sosial (social function): terdiri dari tiga pertanyaan tentang
aktivitas sosial yang berkaitan dengan masalah fisik dan emosi
d) Vitalitas/Energi (vitality): terdiri dari empat pertanyaan tentang vitalitas
yang dirasakan.
Skala SF-36 ini kemudian dinilai dengan kemungkinan cakupan 0–100,
dengan skor yang lebih tinggi menandakan kualitas hidup yang lebih baik Untuk
memudahkan interpretasi dari kualitas hidup, mengkategorikannya menjadi
dua, yaitu kualitas hidup baik bila skor ≥ 50 dan kualitas hidup kurang baik bila
skor < 50. Kuesioner SF-36 merupakan salah satu kuesioner generik yang
banyak digunakan pada penelitian-penelitian tentang kualitas hidup. Kuesioner
ini telah diterjemahkan dan divalidasi dalam versi bahasa Indonesia dan telah
banyak digunakan pada berbagai penelitian di Indonesia (Perwitasari, 2012).
Kuesioner ini dapat digunakan untuk subyek penelitian perempuan maupun
laki-laki . Subyek yang dapat menggunakan kuesioner ini harus berusia di
atas 14 tahun, yang menurut William Kay termasuk dalam kategori u sia
remaja (dalam Jahja, 2011).
Menurut Jahja (2011) menyatakan bahwa remaja mengalami perkembangan
kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya. Piaget (dalam Jahja,
2011) menyatakan bahwa remaja mengalami kematangan kognitif sehingga
mereka mampu berpikir logis dan abstraks. Remaja mulai mampu berpikir
secara hipotesis (rencana bayangan) (Santrock, 2001, dalam Jahja, 2011).
Remaja mampu menerima dirinya seutuhnya, mampu berspekulasi tentang
sesuatu, dan membayangkan apa yang diinginkannya di masa depan (Jahja,
2011), termasuk tentang kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatannya.
4. Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
Menurut Lindstrom (Bulan, 2009) kualitas hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu:
a. Kondisi Global, meliputi lingkungan makro yang berupa kebijakan pemerintah
dan asas-asas dalam masyarakat yang memberikan pelindungan anak.
b. Kondisi Eksternal, meliputi lingkungan tempat tinggal (cuaca, musim, polusi,
kepadatan penduduk), status sosial ekonomi, pelayanan kesehatan dan
pendidikan orang tua.
c. Kondisi Interpersonal, meliputi hubungan sosial dalam keluarga (orangtua,
saudara kandung, saudara lain serumah dan teman sebaya).
d. Kondisi Personal, meliputi dimensi fisik, mental dan spiritual pada diri anak
sendiri, yaitu genetik, umur, kelamin, ras, gizi, hormonal, stress, motivasi
belajar dan pendidikan anak serta pengajaran agama.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup yang dijelaskan oleh Avis
(2005) dalam Lase 2011, yaitu:
a. faktor sosiodemografi: yang meliputi jenis kelamin, umur, suku atau etnik,
pendidikan, pekerjaan, dan status perkawinan;
b. Faktor medis: yang meliputi lama menderita penyakit, stadium penyakit, dan
penatalaksanaan medis yang dijalani.
Beberapa faktor yang juga mempengaruhi kualitas hidup seseorang adalah
kesehatan, ekonomi, lingkungan, dan keamanan.Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Pradono & Puti (2007) mengenai angka kualitas hidup pada
penduduk Indonesia menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup individu, di antaranya usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, penyakit atau masalah kesehatan, kebiasaan buruk
(negatif), dan jarak akses ke pelayanan kesehatan. Selain faktor-faktor
tersebut, kualitas hidup seseorang juga dapat dipengaruhi oleh status
ekonomi, gangguan mental emosional, dan interaksi penyakit, terutama
penyakit menular dengan faktor risikonya (Pradono & Puti, 2007).

B. Tuberculosis​ (TBC)
1. Definisi
Secara umum, penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang
masih menjadi masalah kesehatan dalam masyarakat kita. Penyakit tuberkulosis paru
dimulai dari tuberkulosis, yang berarti suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri
berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis.
Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak penderita yang
mengandung tuberkulosis paru (Naga, 2012).
2. Penyebab
​ dalah bakteri penyebab terjadinya penyakit
Mycobacterium tuberculosis a
tuberkulosis, bakteri ini pertama kali di deskripsikan pada tanggal 24 Maret 1882 oleh
Robert Koch, bakteri ini juga sering disebut Abasilus Koch (Naga, 2012).
M.​ ​tuberculosis merupakan kuman berbentuk batang, berukuran panjang 5μ
dan lebar 3μ, tidak membentuk spora, dan termasuk bakteri aerob, pada pewarnaan
gram maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu ​M.
tuberculosis disebut sebagai Basil Tahan Asam atau BTA. Pada dinding sel ​M.
Tuberculosis lapisan lemak berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan
yang ada dibawahnya, hal ini menurunkan permeabilitas dinding sel, sehingga
mengurangi efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, yaitu suatu molekul lain
dalam dinding sel M. tuberculosis, yang berperan dalam interaksi antara inang dan
patogen, sehingga M. tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofag (Mochtar,
2008).
3. Gejala
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih
dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut dapat juga dijumpai pada penyakit paru selain
TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Prevalensi
TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang sebagai tersangka
(suspek) pasien TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskospis
langsung (Depkes, 2007).
Sedangkan menurut Naga (2012) Ada beberapa tanda saat seseorang terjangkit
tuberculosis paru, diantaranya :
a. Batuk-batuk berdahak lebih dari 2 minggu
b. Batuk-batuk dengan mengeluarkan darah atau pernah mengeluarkan darah
c. Dada terasa sakit atau nyeri, dan
d. Dada terasa sesak waktu bernafas.
4. Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk
atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan
dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang penderita ditentukan
oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat
kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Faktor yang
memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007).
5. Perjalanan Penyakit
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar. Partikel infeksi ini
dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya
ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan
gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi
ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan
paru. Partikel ini dapat masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi oleh neutrofil, kemudian baru makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman
menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini
akan terbawa masuk ke organ lainnya. Kuman yang bersarang di dalam paru akan
membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau
sarang (fokus) Ghon. Sarang ini bisa terdapat di seluruh bagian jaringan paru. Bila
menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat masuk
melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi
lomfodenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menajalar
ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri
pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (TB sekunder).
Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas
menurun, diabetes, AIDS, malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, gagal ginjal (Amin &
Bahar, 2009).
6. Klasifikasi/ Kategori TBC
Klasifikasi/ kategori TBC menurut Mochtar (2008) adalah sebagai berikut:
a. TB paru
1) BTA mikroskopis langsung (+) atau biakan (+), kelainan foto toraks
menyokong TB dan gejala klinis sesuai TB.
2) BTA mikroskopis langsung atau biakan (-), tetapi kelainan rontgen dan klinis
sesuai TB dan memberikan perbaikan pada pengobatan awal anti TB (initial
therapy). Pasien golongan ini memerlukan pengobatan yang adekuat.
b. TB paru tersangka
Diagnosis pada tahap ini bersifat sementara sampai hasil pemeriksaan di dapat
(paling lambat 3 bulan). Pasien dengan BTA mikroskopis langsung (-) atau belum
ada hasil pemeriksaan atau pemeriksaan belum lengkap, tetapi kelainan rontgen
dan klinis sesuai TB paru.
c. Bekas TB (tidak sakit)
Ada riwayat TB pada pasien di masa lalu atau tanpa pengobatan atau gambaran
rontgen normal atau abnormal tetapi stabil pada foto serial dan sputum BTA (-).
Kelompok ini tidak perlu diobati.
7. Program Penanggulangan Tuberkulosis
Pada tahun 1995, WHO telah merekomendasikan strategi DOTS ​(Directly
Observed Treatment Shortcourse) sebagai strategi dalam penanggulangan TB. Bank
Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang
paling efektif. Integrasi strategi DOTS ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat
dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi ​cost benefit yang dilakukan
oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi
DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB,
akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun (Depkes, 2007).
a. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci (Depkes, 2007) :
1) Komitmen politis
2) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan
tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
b. Dalam perkembangannya dalam upaya ekspansi penanggulangan TB, kemitraan
global dalam penanggulangan TB (​stop TB partnership)​ mengembangkan
strategi sebagai berikut (Depkes, 2007) :
1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3) Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4) Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
swasta.
5) Memberdayakan pasien dan masyarakat
6) Melaksanakan dan mengembangkan riset
1. Pengobatan TB (Depkes, 2007)
a. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.

b. Jenis, sifat dan dosis OAT


Tabel 2.1
Jenis, sifat, dosis OAT
8. Faktor resiko TB Paru
Faktor resiko terjadinya TB paru menurut Suryo (2010) adalah sebagai berikut:
a. Faktor Umur
Beberapa faktor resiko penularan penyakit Tuberculosis di Amerika yaitu umur,
jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Dari hasil penelitian
yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang
gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi Tuberculosis
aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi
Tuberculosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia
diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50
tahun.
b. Faktor Jenis Kelamin.
Di benua Afrika banyak Tuberculosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun
1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah
penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada
wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat
sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB
paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena
laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya TB paru.
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka
seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat.
Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis
pekerjaannya.
d. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu.
Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah
terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan.
Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama
terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB paru.
e. Riwayat Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk
mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan
kanker kandung kemih.Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB
paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang
per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun
di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di
Pakistan.
f. Kepadatan hunian kamar tidur
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah
penghuninya agar tidak menyebabkan ​overload.​ ​Hal ini tidak sehat, sebab
disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu
anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain.
g. Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca
minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa
maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu
rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Semua
jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses
mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama apabila dipancarkan
melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih
cepat dari pada yang melalui kaca berwarna Penularan kuman TB Paru relatif
tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah
serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat
berkurang.
h. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar
aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan
oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya
ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu
kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik
karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.
i. Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC.
Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman.Lantai
dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu,
sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya
kuman ​Mycrobacterium tuberculosis.​
j. Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana
kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C.
Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
k. Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai
resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang
status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan
berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik
terhadap penyakit.
l. Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keluarga, keadaan
sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan
pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam
memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi.
Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang
menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.
m. Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan
penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit
dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
Sedangkan menurut Hiswani (2009), keterpaparan penyakit TBC dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain :
a. Faktor sosial ekonomi
Pendapatan ekonomi yang kecil membuat seseorang tidak mendapatkan
syarat-syarat kesehatan yang memadai.
b. Status gizi
Keadaan mal nutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-lain
akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap
masuknya penyakit termasuk kuman TB Paru.
c. Umur
Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif
15-50 tahun. Dengan terjadinya transisi demografi saat ini menyebabkan usia
harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun
sistem imunolosis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai
penyakit, termasuk penyakit TB-paru.
d. Jenis kelamin
Penderita TB-paru cenderung lebih, tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Menurut Hiswani yang dikutip dari WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada
sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB paru, dapat disimpulkan
bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh
TB-paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis
kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum
alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih
mudah terpapar dengan agent penyebab TB-paru.
Disamping faktor medis, faktor sosial ekonomi dan budaya, sikap dan perilaku
yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan sebagaimana diuraikan di
bawah ini:
a. Faktor Sarana
1) Tersedianya obat yang cukup dan kontinu,
2) Dedikasi petugas kesehatan yang baik,
3) Pemberian regiment OAT yang adekuat.
b. Faktor penderita
1) Pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit TB paru, cara
pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat
2) Cara menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi, cukup
istirahat, hidup teratur dan tidak minum alkohol atau merokok.
3) Cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak
sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan sapu tangan, jendela rumah
cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari.
4) Sikap tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit
infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar.
5) Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh.
c. Faktor keluarga dan masyarakat lingkungan
Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pengobatan seseorang
dengan cara selalu mengingatkan penderita agar makan obat, pengertian yang
dalam terhadap penderita yang sedang sakit dan memberi semangat agar rajin
meminum obat.

C.
Dukungan Keluarga
1. Pengertian
Menurut Setiadi (2008), Dukungan keluarga adalah suatu keadaan yang
bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya,
sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, dan
menghargai.

Sementara itu menurut Hawari (2009) dukungan sosial merupakan terapi yang
bertujuan untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi agar yang
bersangkutan dapat kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupan sehari-hari
di lingkungan sosial.

Dukungan keluarga menurut Friedman (2010) adalah sikap, tindakan


penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganya, berupa dukungan
informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan
emosional. Jadi dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan interpersonal
yang meliputi sikap, tindakan dan penerimaan terhadap anggota keluarga,
sehingga anggota keluarga merasa ada yang memperhatikan.

2. Tipe Keluarga
Dukungan keluarga terhadap seseorang dapat dipengaruhi oleh tipe keluarga.
Tipe keluarga yang dianut oleh masyarakat di Indonesia adalah tipe keluarga
tradisional. Menurut Allender & Spradley (2001) dalam Achjar (2010). Tipe keluarga
tradisional dapat dikelompokkan manjadi:
a. Keluarga inti (nuclear family) yaitu keluarga yang terdiri dari suami, istri dan
anak (anak kandung atau anak angkat).
b. Keluarga besar (extended family), yaitu keluarga inti ditambah dengan keluarga
lain yang masih mempunyai hubungan darah, misalnya kakek, nenek, paman dan
bibi.
c. Keluarga dyad yaitu keluarga yang terdiri dari suami istri tanpa anak.
d. Single parent yaitu keluarga yang terdiri dari satu orang tua dengan anak
kandung atau anak angkat.
e. Keluarga usia lanjut yaitu keluarga yang terdiri dari suami istri yang berusia
lanjut.
Menurut Friedman (1998), individu yang yang tinggal dalam keluarga besar
(extended family) akan mendapatkan dukungan keluarga yang lebih besar
dibandingkan dengan individu yang tinggal dalam keluarga inti (nuclear family).
3. Bentuk Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga menurut Friedman dalam Saragih (2010), dibagi dalam 4 bentuk,
yaitu;
a. Dukungan Penilaian
Dukungan ini meliputi pertolongan pada individu untuk memahami kejadian
depresi dengan baik dan strategi koping yang dapat digunakan dalam
menghadapi stressor. Individu mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara
tentang masalah mereka, terjadi melalui ekspresi pengharapan positif kepada
individu lain, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan
seseorang dengan orang lain, misalnya orang yang kurang mampu.
b. Dukungan Instrumental
Dukungan ini melipui dukungan jasmaniah meliputi pelayanan, bantuan
finansial, dan material berupa bantuan nyata (Instrumental Support Material
Support), suatu kondisi dimana benda atau jasa akan membantu
memecahkan masalah termasuk didalamnya bantuan langsung seperti
seseorang memberi atau meminjamkan uang, membantu pekerjaan
sehari-hari, menyampaikan pesan, menyediakan transportasi, menjaga dan
merawat saat sakit.
c. Dukungan Informasi
Jenis dukungan ini meliputi komunikasi dan tanggung jawab bersama
termasuk didalamnya memberikan solusi dari masalah, memberikan nasehat
pengarahan, saran atau umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh
seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan
tentang dokter, terapi yang baik bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi
individu dalam melawan stressor.
d. Dukungan Emosional
Selama depresi berlangsung, individu sering menderita secara emosional,
sedih dan kehilangan harga diri. Jika depresi mengurangi perasaan
seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai. Dukungan emosional memberikan
individu perasaan nyaman, merasa dicintai saat mengalami stress, bantu
dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya perhatian sehingga individu
yang menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga
menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat.

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kualitas Hidup Pada Pasien Tuberculosis


Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari faktor-faktor yang
berhubungan dengan kualitas hidup pada pasien tuberkulosis paru. Beberapa
penelitian sebelumnya telah mengidentifikasi dan mengevaluasi dampak
sosiodemografi pada kualitas hidup. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa sosiodemografi dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien tuberkulosis, di
antaranya jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, status pekerjaan, dan
pendapatan. Dhuria, dkk (2008) dan Cruz, et al., (2011) menyatakan bahwa jenis
kelamin berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien tuberkulosis, laki-laki memiliki
kualitas hidup yang lebih baik daripada perempuan. Nilai rata-rata kualitas hidup
pada perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki pada keseluruhan kualitas
hidup dan domain sosial Penelitian Cruz, et al., (2011) Louw, et al., (2012)
membuktikan bahwa tingkat pendidikan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien
tuberkulosis. I ndividu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki nilai kualitas
hidup yang lebih baik daripada individu dengan tingkat pendidikan yang rendah.
Penelitian Adeyeye, et al., (2014) membuktikan bahwa usia, status pekerjaan, dan
pendapatan juga dapat mempengaruhi kualitas hidup pada pasien tuberkulosis. Usia,
status pekerjaan, dan pendapatan merupakan
faktor prediktor yang mempengaruhi rendahnya kualitas hidup pada pasien
tuberkulosis, terutama pada domain fisik dan sosialnya (Adeyeye, et al., 2014). Selain
faktor sosiodemografi, lama pengobatan juga dapat mempengaruhi kualitas hidup
pasien tuberkulosis (Unalan, et al., 2008). Proses pengobatan tuberkulosis
membutuhkan waktu minimal 6 bulan (Depkes RI, 2008). Hasil penelitian Unalan,
et al., (2008) menunjukkan bahwa lama telah menjalani pengobatan berkorelasi
positif terhadap kualitas hidup pasien tuberkulosis (p < 0,05). Artinya pasien yang
telah menjalani pengobatan lebih lama memiliki kualitas hidup yang lebih baik
daripada pasien yang baru menjalani pengobatan (Unalan, et al., 2008).
Adanya penyakit penyerta yang bersifat kronik juga dapat mempengaruhi kualitas
hidup pada pasien tuberkulosis (Unalan, et al., 2008; Louw et al., 2012).Pasien
dengan penyakit penyerta (kronik) mempunyai nilai kualitas hidup yang rendah
hampir pada keseluruhan domain kualitas hidup (p = 0,001, p < 0,05). Beberapa
penyakit yang sering ditemui menjadi penyakit penyerta pada pasien tuberkulosis di
antaranya hipertensi, diabetes melitus, dan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
(Unalan, et al., 2008). Sejumlah 16,3% dari pasien tuberkulosis paru memiliki
paling sedikitnya satu penyakit penyerta (kronik). Banyaknya jumlah penyakit
penyerta (kronik) yang diderita juga dapat mempengaruhi kualitas hidup. Semakin
banyak jumlah penyakit penyerta kronik semakin rendah kualitas hidupnya (Louw, et al.,
2012).
Kualitas hidup merupakan persepsi atau penilaian subjektif dari individu yang
mencakup beberapa aspek sekaligus, yang meliputi kondisi fisik, psikologis, sosial dan
lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Hermann (Silitonga, 2007)
definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan dapat diartikan sebagai
respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan
hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara
harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasandalam melakukan fungsi fisik,
sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain.
Dalam penelitian dengan judul Kualitas Hidup Seorang Penderita Tuberkulosis
(TB) ini peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran kualitas hidup seorang
penderita TB. Sebagian besar penderita TB merasakan perubahan yang signifikan
dalam kehidupannya, dalam hal ini setiap penderita akan membutuhkan
penyesuaian yang berbeda-beda tergantung pada persepsi, sikap serta pengalaman
pribadi terkait penerimaan diri terhadap perubahan yang terjadi. Hal ini akan
mempengaruhi kualitas hidupnya dari segi kesehatan fisik, kondisi psikologis, sosial
dan lingkungan. Maka kondisi inilah yang akan berpengaruh terhadap kualitas hidup
penderita TB (Fitriani & Ambarini, 2012).
Penelitian lain dari Ratnasari (2012) yang bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita TB paru.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode deskriptif.
Jumlah sampel 50 orang penderita TB paru. Hasil penelitian ini yaitu ada
hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup
penderita TB paru. Semakin tinggi dukungan sosial maka semakin tinggi kualitas hidup.

E.
Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Angriyani (2008), Saragih (2010), Depkes (2007), Silitonga (2007),

Keterangan :
: ​Variabel yang diteliti
: ​Variabel yang tidak diteliti
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. 2009. Pengobatan TB Termutakhir. In : Buku ajar. IPD. Jakarta:
Interna Publishing

Angriyani, D. (2008). Kualitas Hidup pada Orang dengan Penyakit Lupus Erythematotus
(Odapus). Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Armen, Muchtar. 2008. Farmakologi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) sekunder. Jurnal
Tuberkulosis Indonesia

Camelo-Ordaz, C., J. n. Garcı´a-Cruz, et al. (2011). "The influence of human resource


management on knowledge sharing and innovation in Spain: the mediating role of
affective commitment." The International Journal of Human Resource
Management Vol. 22(No. 7)

Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes. 3.


Kemkes RI.

Dinkes Jateng. 2011. ​Profil Kesehatan Jawa Tengah.​ Semarang: Dinkes Jateng

Fitriani, A. Nimas & Ambarini, K. Tri. (2012). Kualitas Hidup Pada Penderita Kanker
Serviks yang Mengalami Pengobatan Radioterapi. Jurnal Psikologi Klinis dan
Kesmen. Vol. 1,

Hawari, Dadang., 2009, Peran Keluarga Dalam Gangguan Jiwa. Edisi 21, Jurnal
Psikologi, Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, Bandung.

Herry, E. (2011). Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, Dan Mekanisme Koping Terhadap
Kelentingan Keluarga Pada Keluarga Dengan TB Paru Di Kecamatan Ciomas
Bogor.Skripsi, Program Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Ina, dkk (2014). Hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita
Tuberculosis paru di balai kesehatan kerja masyarakat provinsi Jawa Barat tahun
2014.​ ​Bhakti Kencana Medika, Volume 4, No. 1, Maret 2014

Jahja, Yudrik. (2011). Psikologi Perkembangan : Jakarta. Kencana.

Juliandari, dkk. (2014) Hubungan antara dukungan sosial dan coping stres dengan kualitas
hidup pasien tb paru di puskesmas Perak timur Surabaya tahun 2014. Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya.

Jurnal Tuberculosis Indonesia.Vol 8. (2012). http://


ppti.info/ArsipPPTI/PPTI-Jurnal-Ma-ret-2012.pdf.

Kemenkes Rl. 2011. ​Penanggulangan TB Kini Lebih Baik.​ Ditjen PP&PL -Departemen
Kesehatan R.l. Jakarta: Depkes Rl
Lase, W. N. (2011). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien Gagal
Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan.Skripsi
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Manurung, Santa, dkk. 2009. Gangguan Sistem Pernafasan Akibat Infeksi, Cetakan
Pertama CV. Trans Info Media : Jakarta.

Ozbay et al, 2007, Social support and resilience to stress, Psychiatry (Edgmont) MMC,
Volume 4, pp. 35-40

Prabu, 2008. ​Faktor Risiko TBC​. Yogyakarta: Nuha Medika

Ratnasari (2012) Hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup pada


penderita tuberkulosis (TB paru) di balai pengobatan penyakit paru (bp4) yogyakarta
unit minggiran. Jurnal Tuberkulosis Indonesia;

Saragih R. 2010. Peranan Dukungan Keluarga dan Koping Pasien Dengan Penyakit
Kanker Terhadap Pengobatan Kemoterapi di RB 1 Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik Medan Tahun 2010. Universitas Darma Agung: Medan.

Setiadi. 2008. Konsep & keperawatan keluarga. Yogyakarta : Graha ilmu. Azwar, s. 2010,
Metodologi penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sholeh. S. Naga. 2012. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan Pertama.
Diva Press. Jogjakarta.

Silitonga, Robert. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kualitas Hidup Penderita
Penyakit Parkinson Di Poliklinik Saraf Rs Dr Kariadi. Program pascasarjana magister
ilmu

Suryo, Joko. 2010. ​Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernapasan.​ Yogyakarta: Bentang
Pustaka

Tamher, S., & Noorkasiani. (2009). Kesehatan usia lanjut dengan pendekatan asuhan
keperawatan. Jakarta: Salemba medika.

Unalan, Demet., Soyuer, Ferhan., Ceyhan, Osman., Basturk, Mustafa., and Ozturk, Ahmet.,
2008, Is The Quality of Life Diferrent in Patients with Active and Inactive Tuberculosis
?, Indian Journal of Tuberculosis, 2008

WHO. (2012). ‘’Tuberculosis Control’.New Delhi, WHO Regional For South East Asia.

World Health Organization, 2008, Global Tuberculosis Control 2008. Geneve. WHO.

Вам также может понравиться