Вы находитесь на странице: 1из 39

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A217088/ Januari 2019


**Pembimbing

PARESE NERVUS ABDUCENS

Nuraida Adlaila, S.Ked* dr. Hendra Irawan, Sp.S**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION

PARESE NERVUS ABDUCENS

Oleh:
Nuraida Adlaila, S.Ked
G1A217088

Telah Disetujui dan Dipresentasikan sebagai Salah Satu Tugas


Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi
2019

Jambi, Januari 2019


Pembimbing,

dr. Hendra Irawan, Sp.S

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Parese Nervus Abducens”. Dalam kesempatan ini
saya juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Hendra Irawan, Sp.S selaku
dosen pembimbing yang memberikan banyak ilmu selama di Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Penyakit Saraf.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna, penulis
juga dalam tahap pembelajaran, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
agar lebih baik kedepannya.
Akhir kata, saya berharap semoga laporan case report session (CRS) ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi dan
pengetahuan kita.

Jambi, Januari 2019

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Secara Fisiologi, pergerakan bola mata dipersarafi oleh 3 serat saraf yang
mengatur pergerakan otot-otot mata, yaitu saraf okulomotorius (nervus III), saraf
trokhlearis (nervus IV), dan saraf abdusen (nervus VI). Saraf-saraf tersebut
memiliki fungsi spesifik pada tiap otot-otot pergerakan mata. Adanya gangguan
pada salah satu saraf tersebut dapat menyebabkan penglihatan ganda (diplopia),
defiasi mata, dan kelainan pergerakan bola mata.

Nervus VI merupakan salah satu saraf otak yang mengatur gerakan bola
mata. Nervus kranial keenam yang juga disebut sebagai nervus abdusen adalah
saraf eferen somatik yang Mengontrol pergerakan otot tunggal yaitu otot rektus
lateralis dari mata. Nervus abducens muncul di antara pons dan mendula dan
menempuh jalan di atas clivus ke klinoid posterior, menembus dura, dan berjalan di
dalam sinus kavernosus. (semua nervus lain berjalan melalui dinding lateral sinus
karvernosus.) setelah melalui fissure orbitalis superior di dalam anulus Zinn,
nervus itu berlanjut ke lateral untuk mensarafi muskulus rektus lateralis.1
Disfungsi dari nervus kranial keenam ini dapat terjadi dari lesi sepanjang
nukleus nervus keenam pada dorsal pons dan otot rektus lateral dalam orbital. Lesi
nervus ini merupakan kelainan nervus VI yang didapat. Lesi N. VI akan
melumpuhkan otot rektus lateralis, sehingga mata akan terganggu saat melirik ke
arah luar (lateral, temporal) dan akan terjadi diplopia. Bila penderita melihat lurus
ke depan posisi mata akan terlihat sedikit mengalami adduksi. Ini karena aksi dari
otot rectus medialis yang tidak terganggu.
Angka kasus gangguan nervus VI ini merupakan yang tertinggi
dibandingkan gangguan serat saraf yang lain. Gangguan saraf abdusen biasanya
merupakan temuan terisolasi dan paling sering disebabkan oleh tumor atau lesi
vaskuler. Gangguan ini juga dapat disebabkan oleh meningitis, dan perdarahan
subaraknoid, serta akibat peningkatan tekanan intracranial. Kelumpuhan abdusen
dapat diatasi dengan oklusi mata yang lumpuh atau dengan prisma, penyuntikan
toksin botolinum tipe A ke dalam otot rektus medialis antagonis mungkin
bermanfaat secara simptomatik, namun tindakan bedah pada otot rekrus medialis,
termasuk reseksi rektus lateralis dan reseksi rektus medialis, biasa dilakukan.

iv
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien


Nama : Ny. Haida Dewi
Umur : 42 tahun
JenisKelamin : Perempuan
Alamat : Buluran
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
MRS : 31 Desember 2018

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri kepala sejak ±4 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala yang memberat sejak ±4 hari
SMRS. Nyeri dirasakan di seluruh kepala dan terasa hingga ke leher, nyeri
seperti di tusuk-tusuk dan kepala terasa seperti mau pecah. Nyeri di rasakan
terus menerus sepanjang hari. Sejak ±2 minggu SMRS os mengatakan sering
mengalami nyeri kepala namun tidak sesakit saat ini, awalnya pasien sering
mengkonsumsi obat penghilang sakit kepala (Paramex) 1 tablet tiap sakit
kepala dan nyeri dirasakan berkurang, namun ±1minggu SMRS saat os
mengalami sakit kepala nyeri tidak ada perbaikan meskipun telah
mengkonsumsi obat serupa. Demam (+), Muntah (+) ±2x, berisi sisa
makanan, sebanyak ± ½ gelas belimbing, muntah diawali dengan mual,
muntah tidak menyemprot. Kejang (-), Pingsan (-).
Pada tanggal 28 desember 2018 pasien mengeluh nyeri kepala yang terasa
sangat berat hingga pasien gelisah, saat meminum obat nyeri tidak berkurang
sedikitpun dan pasien di bawa ke RS. MMC, saat di MMC pasien dikatakan
sadar namun berbicara meracau. Muntah (-), Pingsan (-), Kejang (-).

v
Pasien mengatakan sejak keluhan muncul pasien menjadi tidak nafsu makan,
sering sulit tertidur karena nyeri kepala, penglihatan menjadi berbayang.
Pasien juga mengeluhkan nyeri punggung, nyeri dirasakan sejak 1 tahun yang
lalu, nyeri menyebabkan pasien menjadi tidak bisa berjalan dan duduk karena
nyeri selama setahun sehingga pasien hanya berbaring di tempat tidur atau
harus di papah saat berjalan. Pasien mengatakan memiliki riwayat saraf
terjepit satu tahun yang lalu dan di sarankan untuk operasi namun pasien
tidak di operasi. Riwayat terjatuh disangkal, kecelakaan di sangkal.
Pasien juga mengeluhkan nyeri di daerah pinggang sejak 1 bulan SMRS,
nyeri dirasakan di pinggang kanan dan di bagian perut tengah bawah, nyeri
hilang timbul, BAK normal, namun harus mengejan saat BAK, dan nyeri.
BAK terputus-putus, pancaran lemah, BAK berpasir, darah, batu, di sangkal.
Pasien sudah di lakukan rontgen dan didapatkan gambaran batu dan
pembengkakan pada ginjal kanan. 1 tahun yang lalu pasien telah di lakukan
operasi batu ginjal kanan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang disangkal.
Riwayat trauma pada kepala disangkal
Riwayat darah tinggi disangkal.
Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat batuk disangkal
Riwayat konsumsi obat TB disangkal
Pasien memiliki riwayat operasi batu ginjal kanan ±1 tahun yang lalu.
Riwayat saraf terjepit sejak ±1 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita hal yang sama dengan pasien.
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit tumor atau penyakit keganasan.
Tidak ada keluarga yang menderita darah tinggi.
Tidak ada keluargga yang menderita diabetes melitus

2.3 Pemeriksaan fisik

vi
1. Keadaan umum : Tampak sakit berat
2. Kesadaran : GCS: 15, E4, M6, V4
3. Tanda vital :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 kali /menit
Frekuensi respirasi : 20 kali /menit
Suhu tubuh (axila) : 36,7˚C
SpO2 : 98%
4. Status generalisata
1. Kulit :
Warna sawo matang, hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-),
pertumbuhan rambut merata, rambut tidak mudah dicabut, keringat/
kelembapan normal, turgor baik, ikterus (-)
2. Kepala :
Normochepal, ekspresi muka normal, simetris, nyeri tekan syaraf (-),
deformitas (-)
3. Kelenjar :
Pembesaran kelenjar submandibula (-), submental (-), coli dextra dan
sinistra (-)
4. Mata :
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil
kanan & kiri isokor
5. Telinga :
Serumen (+/+ minimal), fungsi pendengaran normal, tidak ada sekret,
nyeri tekan tragus (-/-)
6. Hidung :
Deformitas (-), perdarahan (-), rinore (-), pembesaran konka (-),
sumbatan (-)
7. Mulut dan faring :
Karies (+), tonsil T1-T1, gusi berdarah (-), lidah kotor (+), atrofi papil(-
), bau pernapasan khas (-), disfagia (-), odinofagia (-)
8. Leher :

vii
Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), kaku kuduk (+),
deviasi trakea (-)
9. Paru-paru
Inspeksi: simetris pada keadaan statis dan dinamis, tidak ada gerakan
paru yang tertinggal, spider nevi (-), pelebaran sela iga (-),
hipertrofi otot pernafasan (-)
Palpasi: nyeri tekan (-), fremitus taktil dekstra dan sinistra simetris
Perkusi: Sonor disemua lapangan paru.
Auskultasi: suara napas vesikuler di kedua lapangan paru, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
10. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba selebar 1 jari ICS V linea midclavikularis
sinistra, kuat angkat (-), thrill (-)
Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternalis dextra
Batas kiri: ICSVI linea axillaris anterior sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis dextra
Batas pinggang jantung : ICS III linea parasternalis Sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular, murmur (-) gallop (-),
11. Abdomen
Inspeksi : cembung, simetris, sikatrik (-), striae (-), bekas operasi (+)
region lumbal dextra ukuran ±8cm
Palpasi : soepl, nyeri tekan (+) region hypogastric, nyeri lepas (-),
hati limpa ginjal : tidak teraba.
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi: bising usus (+), normal
12. Ekstremitas
Superior dextra dan sinistra:
Look: deformitas (-), sianosis (-), CRT < 2 detik
Feel : pitting edem (-), akral hangat,
Move: ROM tidak terbatas, kekuatan motorik (5555/5555)
Inferior dextra dan sinistra:

viii
Look: deformitas (-), sianosis (-), CRT < 2 detik
Feel : pitting edem (-), akral hangat,
Move: ROM terbatas karena nyeri, kekuatan motorik (5555/5555)
5. Status neurologikus
a. Kepala
Nyeri tekan : (-)
Simetris : (+)
Pulsasi : (+)
b. Leher
Sikap : Normal
Pergerakan : Normal
Kaku kuduk : (+)

Nervus Kranialis Kanan Kiri


N I (Olfaktorius)
Subjektif Normosmia Normosmia
Objektif (dengan bahan) Normosmia Normosmia
N II (Optikus)
Tajam penglihatan Visus 1/60 proyeksi baik Visus 1/60 proyeksi baik
Lapangan pandang Tidak ada Tidak ada
Melihat warna Normal Normal
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N III (Okulomotorius)
Sela mata Simetris Simetris
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola mata Parese N. VI Normal
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil
Bentuk Bulat, isokor, 3 mm Bulat, isokor, 3 mm
Reflex cahaya

ix
+ +
Melihat kembar + +
N IV (Trochlearis)
Pergerakan bola mata ke Normal Normal
bawah-dalam
Diplopia + +
N V (Trigeminus)
Motorik
Otot Masseter Normal Normal
Otot Temporal Normal Normal
Otot Pterygoideus Normal Normal
Sensorik
Oftalmikus Normal Normal
Maksila Normal Normal
Mandibula Normal Normal

N VI (Abdusen)
Pergerakan bola mata Normal Parese
(lateral)
Diplopia - -
N VII (Fasialis)
Mengerutkan dahi + +
Menutup mata + +
Memperlihatkan gigi + +
Bersiul + +
Sensasi lidah 2/3 depan + +
N VIII (Vestibularis)
Suara berbisik Normal Normal
Detik arloji Normal Normal
Rinne test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Weber test Tidak dilakukan Tidak dilakukan

x
Swabach test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
N IX (Glossofaringeus)
Sensasi lidah 1/3 belakang Normal Normal
Refleks muntah + +
N X (Vagus)
Arkus faring Simetris
Berbicara Normal
Menelan Baik
Refleks muntah Baik
Nadi Normal
N XI (Assesorius)
Menoleh ke kanan + +
Menoleh ke kiri + +
Mengangkat bahu + +
N XII (Hipoglosus)
Kedudukan lidah dijulurkan Lurus ke depan
Atropi papil -
Disartria -
Badan dan Anggota Gerak
Badan dan Anggota Gerak Kanan Kiri
Badan
Motorik
Respirasi Simetris Simetris
Duduk Normal
Bentuk kolumna vertebralis Normal
Pergerakan kolumna
Normal
vertebralis
Sensibilitas
Taktil Normal Normal
Nyeri Normal Normal

xi
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflek
Reflek kulit perut atas Normal Normal
Reflek kulit perut tengah Normal Normal
Reflek kulit perut bawah Normal Normal
Anggota Gerak Atas
Motorik
Pergerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5555 5555
Tonus Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
Sensibilitas
Taktil Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak ilakukan
Reflek
Biseps + +
Triseps + +
Radius ++ ++
Ulna ++ ++
Hoffman-Tromner - -
Anggota Gerak Bawah
Motorik
Pergerakan Terbatas karena Terbatas
nyeri karena nyeri
Kekuatan 5555 5 (saat
5555di IGD 5)
Tonus Normal Normal
Trofi Disuse Atrofi Disuse Atrofi
Sensibilitas
Taktil Normal Normal
Nyeri Normal Normal

xii
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflek
Patella + +
Achilles + +
Babinsky - -
Chaddock - -
Rossolimo - -
Mendel-Bechterew - -
Schaefer - -
Oppenheim - -
Klonus Paha - -
Klonus Kaki - -
Tes Laseque - -
Tes Kernig - -
Koordinasi, Gait dan Keseimbangan Hasil Pemeriksaan
Cara berjalan Tidak dilakukan
Test Romberg Tidak dilakukan
Disdiadokinesis Tidak dilakukan
Ataksia Tidak dilakukan
Rebound Phomenon Tidak dilakukan
Dismetria Tidak dilakukan
Gerakan-gerakan Abnormal
Gerakan-gerakan Abnormal Hasil Pemeriksaan
Tremor -
Athetosis -
Miokloni -
Khorea -
Alat Vegetatif
Alat Vegetatif Hasil Pemeriksaan
Tidak ada kelainan (3-4 kali sehari,
Miksi
warna kuning, nyeri (+), darah (-).

xiii
Defekasi BAB 1 kali 2 hari

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
WBC 9,82 4000 – 11000
HGB 10,6 11 – 16,5
RBC 4,69 3,8 – 5,2
MCV 67,8 80-100
MCH 22,6 27-34
MCHC 333 320-360
PLT 439 100-300
HCT 31,8 35-50
GDS 82 <200
Protein Total - 6,4 – 8,4
Albumin - 3,5 – 5,0
Globulin - 3,0 – 3,6
SGOT - < 40
SGPT - < 41
Ureum 71 15- 39
Kreatinin 1,5 0,6 – 11
Na 133,58 135- 148
K 3,66 3,5 – 5,3
Cl 95,86 98-110
Ca 1,42 1,19 – 1,23

2. Pemeriksaan Radiologi
USG domen

xiv
Kesan :
Hidronephrosis dextra grade II-III ec Batu Pyelum + Fluid collection
intracavum douglass ec. Susp. KET dd/adnexitis bilateral.

X Vertebrae Lumbosacral AP:


Kesan : Osteoarthritis Lumbal + Batu ginjal kanan

MRI kepala ( 08/01/2019)

xv
Midline Shift : Tidak ada
Parenkim Cerebri : enhance abnormal di basal dan leptomeningeal
Basal ganglia, thalamus : normal
Kapsula Interna : Normal
Midbrain, pons, medulla : normal
Cerebellum : Normal
Ventrikel : Dilatasi semua system ventrikel
Sulci dan sisterna basalis : merapat
Sinus-sinus vena dural : normal
Arteri intracranial : normal
Sella : normal
Orbita : Normal
Sinus Paranasal dan Mastoid : Normal
CV Junction : Normal
Tulang : Normal
Kesan :

xvi
Communicating hydrocephalus dengan enhance abnormal di basal dan
leptomeningeal
Tidak tampak gambaran lessi soft tissue
Gambaran di atas suggestive etiologi infeksi seperti TB. Rekomendasi
koreksi studi CSF.

2.5 Diagnosis
Cephalgia ec susp. Meningoencephalitis TB + Hidronefrosis (D) ec Batu
pyelum
2.6 Tatalaksana
- Bed rest
- IVFD NaCL 0,9% 20tpm
- Inj. Ceftriaxon 1x2gr
- Inj. Dexamethason 4x5gr
- Inj. Ranitidin 2x30mg
- Paracetamol tab 3x500mg
- Betahistin tab 3x6mg

Follow Up
Tanggal Subjective Objective Assessment Planning
01-01-19 Nyeri KU: tampak sakit 1. IVFD NaCl 0,9% 20tpm
kepala berat
2. Inj. Ceftriaxone 1x2gr
menjalar Compos mentis
ke GCS:E4M6V5=15 3. Inj. Dexametason 4x5gr
kuduk(+), VAS 8-9 4. Inj. Ranitidine 2x30mg
tidak bisa TD : 120/80
tidur(+), RR : 18x/i 5. Pct tab 3x500mg
nyeri N : 82 x/i 6. Betahistine tab 3x6gr
pinggang T : 36,6⁰C
7. Cyston tab 3x1
(+), Nyeri tekan
pandangan suprapubic (+) 8. CT-Scan kepala dengan
berbayang Kaku kuduk (+)
kontras
(+), nyeri Tromner (+)

xvii
BAK (+), Parese N. VI (s)
kurang Hiporefleks
nafsu ekstremitas
makan (+) superior(+)
Hiporefleks
ekstremitas
inferior (+)
Disuses atrofi
ekstremitas
inferior(+)

02-01-18 Nyeri KU: tampak sakit - Ivfd NaCl 0,9%


kepala sedang
20tpm
menjalar Compos mentis
hingga GCS:E4M6V5=15 - Inj. Ceftriaxone
tengkuk VAS 8-9 1x2gr
(+), sulit TD : 130/80
tidur (+), RR : 18x/i - Inj Dexamethasone
penurunan N : 77 x/i 4x1gr
nafsu T : 36,9⁰C
- Inj. Omeprazole
makan, Nyeri tekan
nyeri suprapubic (+), 2x40mg
pinggang kaku kuduk (+),
- CT-Scan Kepala
(+), nyeri tromner (+),
BAK (+), parese N.VI dengan kontras
penglihatan oculi sinistra, - Konsul Sp.PD
berbayang Hiporefleks
(+) ekstremitas
superior (+),
Hiporefleks
ekstremitas
inferior (+),
Disuse atrofi
ekstremitas
inferior (+)
03-01-19 Nyeri KU: tampak sakit - IVFD NaCl 20
kepala (+) sedang
gtt
terasa Compos mentis
semakin GCS:E4M6V5=15 - Inj. Ceftriaxone 1
memberat, VAS 7-8 x 2 gr
nyeri TD : 140/90
pinggang RR : 20x/i - Inj. Dexametason
(+), sulit N : 68 x/i 4x1gr
berjalan T : 36,7⁰C
- Inj Omeprazol
(+), nyeri Nyeri tekan supra
saat BAK pubik (+), kaku

xviii
(+) kuduk (+), tromner 2x40mg
(+), parese N.VI
- Inj. Tramadol
sinistra (+), diplopia
(+), hiporefleks 2x1gr
ekstremitas superior - Bicnat tab 2x1
& inferior, disuse
atrofi ekstremitas - Furosemide tab
inferior. 3x1
- Rencana CT-
Scan Kepala
04-01-19 Nyeri KU: Tampak sakit - Ivfd NaCL 20tpm
kepala berat
- Inj. Ceftriaxone
semakin Compos Mentis
memberat, GCS : E4M6V5 1x2gr
nyeri di =15 - Inj.
rasakan VAS 8-9
sampai ke TD:150/90 Dexamethasone
kuduk, N : 72x/i 4x1gr
nyeri RR; 18x/i
- Inj. Omeprazole
pinggang T:36,8 C
dan sulit Nyeri tekan supra 2x40 mg
berjalan pubic (+), kaku
- Inj tramadol
(+), nyeri kuduk (-), tromner
saat BAK (-), parese N.VI 2x1gr
(+). sinistra (+), - Inj. Manitol
diplopia (+),
hiporefleks 4x125cc
ekstremitas - Furosemide tab
superior &
1x1
inferior (+), disuse
atrofi ekstremitas - Bicnat 2x1
inferior (+).
- MST tab 1x10mg
- Simvastatin
1x20mg
- Allopurinol
1x100mg

BAB III

xix
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi dan Fisiologi
Nervus abdusens adalah saraf motoris kecil dan mempersarafi m. rektus lateralis
bola mata. Saraf ini muncul dari permukaan anterior otak, di antara pinggir bawah pons
dan medula oblongata. Mula-mula saraf ini terletak di dalam fosa kranii posterior,
kemudian ia membelok dengan tajam ke depan, melintasi pinggir superior pars petrosa
os. temporalis. Setelah masuk sinus karvenosus, saraf ini berjalan ke depan bersama a.
karoti sinterna, masuk ke rongga orbita melalui fisura orbitalis superior.
Nukleus motrik kecil terletak di bawah lantai dari upper part ventrikel keempat;
di dekat garis tengah dan di bawah kolikulus fasialis. Nukleus menerima serabut
kortikonuklear afferent dari kedua sisi hemisfer serebral dan menerima traktus
tektobulbar dari kolikulus superior yang menghubungkannya dengan korteks visual. Inti
saraf ini juga menerima serabut dari fasikulus longitudinal medial yang menuhubungkan
dengan nukleus dari nervus kranialis III, IV, dan VIII.

Gambar 1 : persarafan otot mata

Embriologi N. Abducens berasal dari Neural Crest yang mulai tumbuh pada hari
ke tiga puluh enam masa emrio. Inti syaraf ini berasal didalam pons bagian dorsal dan di
dalam lantai ventrikel empat diparamedian kanan kiri. Bagian dorsal inti ini dilingkari
oleh N facialis sehingga membentuk suatu tonjolan di dasar ventrikel empat di atas Stria
medullare yang dikenal dengan Colliculus Facialis.

xx
Gambar. 2 Letak nervus abducens

Dari inti N. Abducens Syaraf ini melewati Tegmentum Pontis dan keluar dari
sebelah ventral batang otak setinggi Pons Medullary Junction, tepatnya diperbatasan Pons
dengan pyramid. Setelah keluar dari batang otak syaraf ini masuk ke dalam sistema
Pontis dan berjalan ke rostral antara Pan dan Clivus, menuju apex os Petrosus. Ditempat
ini N. Abducens masuk kedalam Canalis Dorello dan menembus durameter untuk
selanjutnya masuk ke dalam Sinu Cavemosus di laterocaudal dari a. Carotis Intema dan
medial dari N Opthalmicus. Dari Sinus Cavernosus Syaraf ini masuk ke dalam Cavun
orbita melalui Fissura Orbitalis Superior di Anulus Tendineus Communis, di laterocaudel
N. Opthalmicus. Selanjutnya Syaraf ini menginervasi m. Rectus Lateralis dari arah
medial.

Dalam perjalanannya N. Abducens menerima serabut propioseptik dari m.


Rectus Lateralis. Serabut ini bersatu dengan N. Abducens dan memisahkan diri di dalam
Sinus Cavemosus, selanjutnya bergabung dengan N. Opthalmicus dan berakhir di nucleus
Mesencephalic N. Trigeminal.
Proyeksi Vestibuler penting Untuk mempertahankanl fiksasi pandangan selama
gerakan kepala. Gerakan kepala akan mengaktitkan serabut afferent N vestibularis akibat
terpacunya reseptor didalam canalis semi circllfalis. Dari nucleus vestibularis medialis
akan menginhibisi inti motorik nervus III, IV, dan V ipsilateral dan mengaktivasi kontra

xxi
lateral lewat Fasiciculus Longitudinalis Medialis. Dengan demikian fiksasi visual tetap
terpelihara saat kepala bergerak. Inti-inti nervus III, IV, dan V juga menerima input yang
lebih complex yang melibatkan formatio recticuralis pontin yang dimulai dari area 8
Brodmann, area 17, a8 dan 19 selia colliculus superior.

Gambar 3 : Nervus Abducens


Jika saraf abdusens mengalami kelumpuhan, mata tidak dapat bergerak ke
lateral. Karena otot rektus medialis tidak lagi memiliki antagonis, mata agak berdeviasi
ke arah nasal. Kondisi ini dikenal sebagai strabismus konvergen atau esotropia.
Kerusakan pada setiap saraf motorik okular, menghasilkan penglihatan
ganda, karena bayangan objek pada retina tidak menutupi daerah yang bersangkutan.
Yang menyebabkan mata bergerak ke semua arah adalah kerja gabungan dari keenam
otot pada masing-masing sisi. Gerakan juga selalu secara halus atuned dan konjugat,
memastikan bahwa bayangan diproyeksikan secara tepat pada kedua fovea. Mekanisme
sentral yang agak rumit mengendalikan lima sinergisme dari berbagai otot mata dan
saraf-sarafnya. Tidak ada otot mata yang dipersarafi secara sendiri-sendiri.
Bila seseorang menguji diplopia dengan kacamata merah hijau dan lampu tangan,
bayangan ganda dari sebuah objek ini timbul pada mata yang paralisis, jika pasien
berusaha melihat ke arah otot yang paralisis normalnya akan menarik mata. Ketika pasien
melihat ke arah ini, jarak antara bayangan ganda adalah yang terbesar. Bayangan yang
paling luar berasal dari mata yang lumpuh.5

xxii
Gambar 4 : nervus abdusen
Gerakan kedua bola mata
Keempat pasang otot okular bekerja sama sedemikian rupa sehingga gambar
benda yang dilihat jelas dan tunggal. Melirik ke kiri horizontal berarti suatu gabungan
antara muskulus rektus lateralis kiri dan muskulus rektus lateralis kanan. Bila dianalisa
otot okular kiri dan kanan yang mana bekerja pada waktu melirik ke atas samping kanan
atau kiri. Yang mengurus pengendalian otot-otot okular kedua sisi pada waktu
melaksanakan lirikan mata (gaze movement) ialah korteks serebri area 8 berikut korteks
visual, area 12, 18, dan 19. Pada perangsangan area 8 tidak saja terjadi gerak lirikan bola
mata, tetapi leher dan badan juga ikut mengubah sikap, sesuai dengan gerakan kepala,
leher atas jika kita menengok ke kanan atau kekiri. Gerakan mata ke suatu jurusan (ke
kanan atau ke kiri) dinamakan gerakan konjugat. Tetapi dalam penghidupan, gerakan bola
mata konjugat itu tidak selalu berarti melirikkan mata ke kanan atau ke kiri saja. Tetapi
bisa juga menggerakkan kedua bola mata ke jurusan yang berlawanan. Seperti
menatapkan kedua bola mata pada ujung hidung. Gerakan ini dinamakan gerakan
diskonjugat.
Juga gerakan itu diurus oleh area 8 dengan bantuan korteks visual. Terutama
pada gerakan konjugat sikap badan berubah sesuai dengan arah lirikan. Dalam mengatur
sikap badan sehubungan dengan lirikan, sumbangan fungsional dari serebelum, gangglia
basalia dan susunan vestibular diintegrasikan. Yang menyalurkan impuls integratif yang
dicetuskan oleh kortes visual (area 17, 18 dan 19), pusat lirikan kortikal (area 8), gangglia
basalia, inti vestibular dan serebelum ialah fasikulus longitudinalis medialis. Impuls-
impuls untuk gerakan konjugat dan diskonjugat disalurkan melalui serabut-serabut
ekstrapiramidal ke substansia retikularis. Dari situ serabut-serabut substansia retikularis
ikut menyusun fasikulus longitudinalis medialis yang berakhir di inti-inti nervus
ilaocculomotorius, troklearis, dan abdusens. Sebagian dari serabut serabut fasikulus

xxiii
longitudalis medialis berakhir pada inti motorik nervus fasialis dan hipoglosus dan
sebagian pada motorneuron medulla spinalis bagian servikal. Serabut-serabut retikular
yang menerima impuls dari serebelum dan inti vestibularpun ikut menyusun fasikulus
longitudinalis medialis. Dengan demikian impuls keseimbangan dan tonus dapat
disampaikan kepada sel-sel motorik yang dihubungi fasikulus longitudinalis medialis.
Gerakan bola mata merupakan hasil gabungan kegiatan sepasang otot okular. Kalau
kegiaatan masing-masing otot okular ditinjau, maka otot rektus lateralis dan medialis
menggerakan bola mata ke temporal dan nasal. Otot rektus superior dan inferior menarik
bola mata ke atas dan ke bawah, pada waktu bola mata berada dalam posisi abduksi.
Sedangkan gerakan bola mata ke bawah dan ke atas pada waktu bola mata dalam posisi
abduksi merupakan kegiatan otot oblikus superior dan oblikus inferior. Tetapi jika bola
mata menatap lurus ke depan, memutarkan bola mata ke atas dan ke bawah merupakan
hasil kegiatan bersama beberapa otot okular.

Gambar 5. Otot-otot pasangan searah dalam posisi menatap

Paralisis dari muskulus rektus lateralis (disarafi oleh nervus abdusens)


memperlihatkan tanda-tanda sebagai berikut:
1. Bola mata yang terkena bersikap konvergensi, yaitu ke arah nasal.

2. Bola mata yang terkena tidak dapat digerakkan ke samping.

xxiv
3. Bayangan terletak disebelah lateral dari gambar sebenarnya; bayangan itu
akan lebih menjauhi ke samping apabila penderita disuruh melirik ke arah lesi.

Pasien yang tidak mampu melakukan abduksi mata yang sakit, pada kasus
ekstrem menyebabkan strabismus konvergen saat istirahat, karena aksi rektus medial
yang tidak dilawan. Terjadi diplopia saat melihat ke arah yang sakit, dengan arah diplopia
horisontal. Palsi nervus VI tanpa kelainan lain seringkali disebabkan oleh kerusakan
perdarahan saraf (vasa nervorum) akibat diabetes atau hipertensi. Kejadian-kejadian
mikrovaskular seperti ini akan membaik,biasanya terjadi perbaikan komplet dalam satu
bulan. Palsi nervus VI dapat juga merupakan tanda lokalisasi yang salah dari peningkatan
tekanan intrakranial. Hal ini karena nervus ini memiliki serabut saraf yang panjang dan
berlekuk-lekuk di intrakranial. Jadi, saraf ini rentan terhadap efek peningkatan tekanan,
yang dapat disebabkan oleh massa intrakranial, dan tidak harus menekan langsung nervus
VI.

Gambar 6: paralisis nervus abdusen


3.2 Epidemiologi
Insiden parese N. VI adalah 11,3 dari 100.000. kelumpuhan nervus abducens
adalah kelumpuhan otot ekstraokuler yang paling umum.
Puncak kejadian parese nervus VI adalah usia 60-70 tahun, dalam rentang usia
ini penyebab paling sering adalah 26-30% tidak bisa di tentukan, hipertensi 20%, dan
hipertensi dengan diabetes (17%). Parese N.VI pada anak sering terjadi akibat virus atau
disebabkan oleh tumor atau trauma. Penyebab tersering pada dewasa muda adalah massa
pada system saraf pusat, penyakit demielinisasi atau idiopatik. Penyakit vascular atau
penyebab yang tidak diketahui paling banyak pada dewasa tua dari usia 50 tahun. Pada
dewasa tua yang berusia lebih dari 50 tahun adalah trauma, tumor, pecah pembuluh darah
otak, aneurisma dan peningkatan tekanan intracranial.
Parese nervus keenam dikaitkan dengan penyebab berikut: 8% -30% idiopatik,
10% -30% penyebab lain, 3% -30% trauma, 0% -6% aneurisma, dan 0% -36%

xxv
iskemik.saraf kranial keenam adalah yang paling sering terkena dari saraf ocular motorik
karena perjalanan intrakranial yang panjang setelah muncul di sulkus pontomedullary dan
kemudian ke dalam orbit, di mana ia menginervasi otot rektus lateral. Titik-titik fiksasi
sepanjang perjalanannya, tortuositasnya, dan keterikatannya pada dasar tengkorak
semuanya berkontribusi pada kerentanannya terhadap kompresi.1 Meskipun adanya
faktor risiko vaskulopati pada pasien yang berusia setidaknya 50 tahun adalah prediktor
yang signifikan untuk mikrovaskuler yang diduga. penyebab mononeuropati motor okular
terisolasi akut, sebuah studi multicenter sebelumnya menunjukkan bahwa 16,5% dari 109
pasien memiliki penyebab non-mikrovaskular, seperti neoplasma atau infark.

3.3 Etiopatogenesis
Lokasi lesi sangat penting dalam menentukan penyebab parese nervus VI.
Fungsi nervus abdusens semata-mata untuk menginervasi otot rektus lateral dan abduksi
mata, namun karena berdekatan dengan saraf lain di sepanjang perjalanannya di kranial
sehingga cenderung menghasilkan tanda dan gejala neurologis tambahan. Terdapat 5
tempat yang potensial terjadi lesi pada N.VI yaitu lesi tingkat nukleus atau fasikulus, lesi
tingkat subarakhnoid/ basiler, lesi tingkat puncak petrosus, lesi tingkat sinus kavernosus
dan orbita.

3.2.1. Lesi tingkat Nukleus dan Fasikulus

Lesi pada tingkat ini menyebabkan kelainan horizontal gaze ipsilateral, sering
bersamaan dengan parese fasialis perifer sebagian bagian dari gejala klinis. Lesi sering
bersamaan dengan kelainan intraparenkimal batang otak seperti neoplasma, infeksi,
kompresi inflamasi. Sebagai tambahan lesi metabolit Wernicke Korsakoff sindroma
sering juga melibatkan nukleus N.VI, MS adalah penyebab lainnya yang sering
melibatkan N.VI tingkat nukleus Sindroma Foville adalah suatu sindroma yang ditandai
dengan defisit gerakan abduksi, horizontal gaze dan kelemahan fasialis, kehilangan
pengecapan, analgesia fasialis, horner sindroma, ketuliaan ipsilateral. Sindroma Raymond
adalah suatu kombinasi parese N.VI dengan hemiplegi kontralateral, sebagai akibat
keterlibatan traktus piramidalis yang berdekatan dengan N.VI. Sindroma Millard-Gubler
adalah kombinasi defisit abduksi hemiplegi kontralateral, parese fasialis ipsilateral.
Struktur yang dikenal adalah fasikulus N.VI, piramidalis dan fasikulus N.VI.

3.2.2. Lesi Tingkat Basiler/subarakhnoid

Pada kelainan di meningeal basilis seperti infeksi TBC, jamur, bakteri,


meningitis karsinomatos atau invasi langsung tumor dari sinus, fosa posterior, nasofaring,

xxvi
sifilis meningovaskuler, sarkoidosis, Guillain-Barre Syndrome dan herpes zoster. Dilatasi
aneurisma, ektasia A. basilaris dapat menyebabkan kelainan otak multiple. Peningkatan
tekanan intrakranial oleh sebab apa saja dapat mengganggu N.VI tingkat ini. Patologis
yang sama terjadi pada traksi servikal, trauma, manipulasi neurosurgery dan lumbal
punksi.

3.2.3. Lesi Tingkat Petrosus

Ada 4 penyebab utama kerusakan di puncak os.petrosus:

1. Mastoiditis atau infeksi telinga tengah dapat menyebabkan peradangan difus


os.petrosus dan trombosis sinus petrosus. Gejala klinis berupa nyeri telinga yang hebat
dengan kombinasi parese N.VI, VII, VIII dan kadang V. Sindroma ini dikenal dengan
sindroma Gradenigo

2. Trombosis sinus lateralis oleh karena mastoiditis menyebabkan peningkatan


intrakranial yang hebat akibat gangguan drainase vena serebral. Parese N.VI dapat akibat
langsung maupun tidak langsung

3. Karsinoma Nasofaring atau tumor sinus paranasal, metastase dapat menginfiltrasi


fisura-fisura di basis kranii dengan parese N.VI yang tidak nyeri. Bila disertai hilangnya
sekresi air mata dengan/ tanpa kelainan NV2 harus diduga proses di sphenopalatina.

4. Parese N.VI Transient Benigna dapat terjadi menyusul infeksi pada anak. Gejala
biasanya membaik setelah beberapa minggu.

3.2.4. Lesi Tingkat Sinus Kavernosus

Lesi tingkat ini sering disebabkan oleh lesi vaskuler seperti fistula karotico
kavernosus, dural shunt, aneurisma intrakavernosa, iskhemik, inflamasi
infeksius/noninfeksius, neoroplasma dapat melibatkan N.VI bersamaan saraf otak lain.
Kombinasi disfungsi okulosimpatetik dan defisit abduksi ipsilateral selalu menunjukkan
lesi sinus kavernosus. Trombosis sinus kavernosus merupakan komplikasi sepsis dari
infeksi kulit wajah atas dan sinus paranasal. Aneurisma intrakavernosa A. Karotis sering
terjadi pada wanita usia lanjut dengan hipertensi. Bila dilatasi terjadi di segmen depan
dari pinggir sinus dapat menyebabkan edema palpebra, eksopthalmus, kebutaan dan lesi
N.III dengan nyeri yang hebat. Bila lesi di posterior sinus akan terjadi iritasi N.VI dengan
rasa nyeri dan parese N.VI. Bila ruptur aneurisma ke dalam sinus akan terjadi
eksopthalmus pulsatif yang unilateral. Ini disebut Fistula Karotico kavernosa. Dapat juga

xxvii
terjadi pada fraktur basis kranii yang merobek karotis ditingkat sinus kavernosa.
Hipertensi, Diabetes Melitus, Giant Cell Arteritis, migren dapat menyebabkan parese
N.VI dengan lokalisasi yang tidak jelas, diduga kelainan di tingkat subarakhnoid atau
sinus kavernosus.

3.2.5. Lesi di Fisura Orbitalis Superior dan Orbita

Lesi N.VI di orbita yang terisolasi sangat jarang terjadi. Telah dilaporkan
paralysis N.VI orbita setelah anestesi dental. Parese N.VI bersama N.III, IV, VI di fisura
orbitalis superior dapat disebabkan oleh infiltrasi karsinoma nasofaring, tumor benigna di
orbita dengan visual loss, proptosis, diplopia yang kronik progresif. Lesi di fisura orbitalis
superior atau intrakranial tepat belakang fisura jarang menyebabkan kelumpuhan saraf
tanpa atau dengan proptosis ringan. Lesi di orbita cenderung menyebabkan proptosis
sebagai gejala utama.

3.3. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis pada lesi nervus VI adalah:

- Orthophoria pada posisi primer. Apabila melirik ke arah sisi lesi, maka abduksi
tidak bisa dilakukan oleh mata pada sisi lesi. Misalnya pada gambar di bawah, yang mana
terdapat lesi di kanan, terlihat mata kanan tidak bergerak ke arah kanan.2

Gambar 7. Ortophoria dan esotrophia kiri


- Diplopia binokuler (memburuk pada jarak jauh)
- Penurunan penglihatan
- Nyeri
- Gejala lain menurut kausanya, seperti penurunan pendengaran akibat mastoiditis,
vaskulitis, tanda-tanda trauma.

3.3 diagnosis banding parese N.IV

Diagnosis banding parese N. VI pada pasien yang berusia <50 tahun adalah :

xxviii
1. Gangguan Neuro Muscular Junction (Miastenia Gravis)
2. Gangguan restriksi otot mata ( Tiroid Mata)
3. Glioma batang otak
4. Multiple sclerosis (ganggguan demyelinasi)

Pada usia >50 tahun, diagnosis banding pada parese N.VI yang paling sering
adalah

1. Vasculopathy
2. Aneurisma
3. Sphenoiditis
4. Tumor
a. Meningioma (75%)
b. Melanoma metastatic (25%)

a. Miastenia Gravis
Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem saraf
(nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis ditandai dengan
kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di mana kelemahan tersebut
diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau berulang-ulang. Miastenia gravis adalah
penyakit autoimun yang menyerang neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan
otot dan cepat lelah akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga
jumlah AchR di neuromuskular juction berkurang.

Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline


Receptor(AChR), Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang 6 tetap pada jumlah
normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls
tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien. Pengurangan jumlah
AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang
memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran
post-synaptic.
Gejala klinis Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan
kelelahan. Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara berulang,
Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit miastenis gravis memiliki pola yang
khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis, otot kelopak mata dan gerakan bola mata
terserang lebih dahulu. Akibat dari kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul gejala berupa

xxix
penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya
kelopak mata secaara abnormal (ptosis).

a. Ptosis pada MG
b. Ptosis yang semakin memberat setelah menatap 30 detik.

Miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, Penderita juga akan


merasakan kelemahan dalam mengunyah dan menelan makanan sehingga berisiko
timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu, terjadi gejala gangguan dalam berbicara,
yang disebabkan kelemahan dari langit-langit mulut dan lidah. Sebagian besar penderita
Miastenia gravis akan mengalami kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk tangan dan
kaki. Kelemahan pada anggota gerak ini akan dirasakan asimetris .
Secara umum, gambaran klisnis Miastenia yaitu:
 Kelemahan otot yang progresif pada penderita
 Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang
 Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan istirahat
 Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
 Otot mata sering terkena pertama ( ptosis , diplopia ) , atau otot faring lainnya
( disfagia , suara sengau )
 Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik
 Kadang-kadang , kekuatan otot tiba-tiba memburuk
 Tidak ada atrofi atau fasikulasi

xxx
Miastenia grafis di klasifikasikan menjadi IV kelompok yaitu kelompok I
Miastenia grafis Okular, Kelompok IIA Miastenia umum ringan, II B Miastenia Umum
sedang,Miastenia fulminant akut, IV Miastenia berat lanjut.
b. Thiroid Associates Orbitopathy ( Tiroid Mata)
Penyakit tiroid mata (Thyroid Eye Disease), penyakit grave adalah penyakit
autoimun dimana sel sel imun menyerang kelenjar tiroid yang selanjutnya menyebabkan
respon tiroid memproduksi hormone tiroid yang berlebihan sehingga kelenjar tiroid
membesar dan kelebihan hormone meningkatkan metabolism tiroid. Keadaan
hipermetabolik ditandai oleh denyut nadi yang cepat, jantung berdebar, berkeringat
banyak tekanan darah tinggi, mudah marah, kelelahan, penurunan berat badan.

Gambar 8. Thyroid Opthalmopathy

Mata sangat rentan terhadap penyakit mata tiroid. Karena serangan autoimun
sering menjadikan otot mata dan jaringan ikat didalam rongga mata sebagai target karena
jaringan-jaringan ini mengandung protein-protein yang tampak mirip dengan sel imun
pada kelenjar tiroid. patda penyakit mata graves (Mata Tiroid), jaringan di sekitar mata di
serang dan menyebabkan terjadi peradangan dan pembengkakan yang menimbulkan
gejala :
 Kemerahan dan rasa sakit
 Bengkak di sekitar mata
 Mata tampak menonjol
 Mata kering dan iritasi, terjadi ketika kelopak mata tidak dapat menutup
sepenuhnya pada mata yang menonjol

Pembengkakan yang progressive dapat menyebabkan :

xxxi
 Peningkatan tekanan didalam rongga orbita
 Nyeri tekan dan sakit kepala bagian dalam yang memburuk dengan
gerakan mata
 Penurunan penglihatan, ketika jaringan yang bengkak menekan saraf
optic
Otot mata sangat rentan terhadap serangan limfosit, ketika otot mata kencang
dan kehilangan kemampuan untuk meregang, sehingga tampak mata terdorong ke depan
sehingga tampilan seperti menatap, gerakan normal mata terbatas dan menghasilkan
penglihatan ganda.
Temuan klinis mata yang paling sering adalah retraksi kelopak mata (91%),
proptosis (62%), disfungsi otot ekstraokular (42%), hyperemia konjungtiva (34%), edem
palpebral (32%), kemosis (23%).
Ketika system kekebalan menyerang otot dan jaringan ocular lain di rongga
mata, pembengkakan dan jaringan parut akibat peradangan menyebabkan gejala dan
tanda yang disebutkan di atas. Pada kasus yang parah, kornea dapat mengalami ulserasi
atau saraf optic kemungkinan rusak, yang salah satunya dapat menyebabkan hilangnya
penglihatan permanen jika tidak ditangani dengan tepat. Yang pertama sering disebabkan
oleh mata menonjol dan jaringan parut yang mengakibatkan kelopak mata tertarik ke
belakang. Lalu disebabkan oleh penebalan otot-otot, peradangan dan atau parut yang
mengenai saraf optic di bagian belakang soket.

c. Glioma Batang Otak

Glioma adalah tumor primer otak yang paling sering terjadi, 33% dari
tumor otak. Merupakan tumor yang berasal dari sel-sel glial dalam otak yang
merupakan sel jaringan yang mengelilingi dan mendukung saraf di otak. glioma
batang otak muncul terutama di pons, lebih jarang di medula tetapi dapat
menginfiltrasi secara luas di seluruh batang otak. Tumor menginfiltrasi antara
struktur normal dengan gambaran histologis bervariasi dari astrocytoma yang
relatif jinak ke astrocytoma anaplastik dan glioblastoma multiforme. Lebih dari
50% glioma batang otak yang diperiksa pada otopsi akan memiliki gambaran
mikroskopik glioblastoma multiforme.
Gambaran Klinis.
Gambaran klinis secara karakteristik termasuk multiple cranial nerve
palsies bilateral yang progresif dengan keterlibatan traktus piramidal dan ataksia.

xxxii
Kelemahan wajah dan kelumpuhan saraf kranial ke-6 umum terjadi dan
ophthalmoplegia internuclear merupakan indikasi lesi batang otak intrinsik.

d. Multiple Sclerosis
Multiple sclerosis adalah penyakit autoimun kronik, inflamasi neurologi pada
system saraf pusat. Multiple sclerosis merupakan keadaan inflamasi, demielinasi, dan
pembentukan jaringan parut pada selubung myelin di SSP dan menghancurkan myelin
serta akson di berbagai tingkat.
Proses primer multiple sclerosis adalah demielinisasi yang menyebabkan
hilangnya myelin pada akson susunan saraf pusat. Hilangnya myelin muncul bersamaan
dengan proses patologi lain yang mempengaruhi akson, elemen glia, atau pembuluh
darah. Pada MS juga didapatkan komponen kerusakan aksonal dan neuronal yang cukup
signifikan. Hal ini terutama relevan dengan outcome jangka panjang dan disabilitas
pasien. Bukti kerusakan aksonal dapat ditemukan pada fase awal penyakit. Hal ini
dapat ditemukan pada area demielinisasi yang mudah dilihat dan area white dan gray
matter yang tampak normal pada pemeriksaan kasar. Diduga bahwa komponen
destruktif antigen spesifik yang terkait baik dengan sel T maupun autoantibodi
maupun efek makrofag teraktivasi dan mikroglia meyebabkan kerusakan aksonal yang
signifikan pada patogenesis MS. Fungsi mitokondria dapat terganggu ketika berbagai
substrat seluler berkontribusi lebih jauh pada proses patologi ini.

e. Aneurisma
Aneurisma didefinisikan sebagai suatu pelebaran atau dilatasi dari pembuluh
darah. Bentuk yang paling sering dari aneurisma intrakranial adalah aneurisma arterial
sakuler yang merupakan proses degeneratif progresif yang mengenai dinding arteri.
Rasio antara aneurisma yang ruptur dengan yang tidak ruptur berkisar antara 5:3
sampai 5:6. Prevalensi aneurisma rendah selama 2 dekade pertama kehidupan dan
meningkat setelah dekade ketiga. Hanya 2% aneurisma yang muncul pada masa kanak-
kanak.
Proses aneurisma pada arteri yang memperdarahi susunan saraf pusat dapat
diklasifikasikan berdasarkan bentuknya (sakuler, fusiform dan dissecting), ukurannya
(non-giant atau giant, dengan diameter maksimal > 2,5 cm), tipe pembuluh darah (arteri
atau vena), penyebabnya (didapat atau familial/genetik), proses penyakit yang
mendasarinya (infeksi traumatik, inflamasi, neoplastik) dan lokasinya (intrakranial, basis
kranii, ekstrakranial, spinal dan sistemik).

xxxiii
Aneurisma dapat ruptur kapan saja tetapi terutama pada saat tekanan darah atau
aliran darah meningkat. Ruptur sering terjadi saat melakukan aktivitas berat seperti
mengangkat beban, latihan, berhubungan badan, defekasi dan melakukan pekerjaan berat.
Walaupun begitu aneurisma juga dapat ruptur pada saat sedang beristirahat atau tidur.
Semakin besar ukuran aneurisma maka semakin besar kemungkinannya untuk ruptur.
Aneurisma dapat menimbulkan penekanan terhadap jaringan otak di dekatnya
atau kompresi saraf kranial. Giant aneurysm terutama paling sering menimbulkan gejala
dan tanda defisit neurologis fokal sehubungan dengan efek massa. Giant aneurysm pada
arteri serebri media dapat menimbulkan bangkitan, hemiparesis atau disfasia. Aneurisma
pada perbatasan antara arteri karotis interna dan arteri komunikans posterior atau pada
arteri serebelaris superior dapat menyebabkan penekanan pada nervus ketiga. Giant
aneurysm pada arteri serebelaris superior dapat menyebabkan penekanan pada traktus
piramidalis di mesencephalon sehingga terjadi hemiplegia kontralateral (sindrom Weber).
Pada sinus kavernosus, aneurisma dapat menimbulkan penekanan pada nervus kranialis
ketiga, keempat dan keenam yang mengakibatkan oftalmoplegia. Aneurisma pada arteri
oftalmika dapat menyebabkan neuropati nervus optikus karena efek kompresifnya
sehingga mengakibatkan visual loss.
f. Meningioma
Meningioma adalah tumor otak yang berasal dari sel-sel yang terdapat pada
lapisan meningen yang merupakan selaput pelindung yang melingkupi otak dan medulla
spinalis. Meningioma merupakan tumor jinak tersering dan mengenai sekitar 15% dari
keseluruhan tumor intrakranial.
tidak terdapat faktor etiologi yang secara pasti menyebabkan meningioma.
Namun, terdapat kemungkinana bahwa trauma kepala dapat menjadi predisposisi
berkembangnya meningioma, namun masih kontroversi.
Meningioma berasal dari lapisan arachnoid meningen, terutama sel-sel
arachnoid. Klasifikasi meningioma berdasarkan lokasi diantaranya, lokasi tersering
meningioma adalah pada area parasagital yang muncul dari dinding sinus sagitalis
superior (parasagital) atau dari falx. Lokasi meningioma tersering kedua adalah pada
convexitas dari kubah kranium, yang mana umunya berada pada area sutura coronal.
Meningioma juga dapat berlokasi pada sphenoid yaitu pada ala minor maupun berasal
dari bagian luar phenoid dan menekan ala mayor dan perbatasan pterion (sambungan
tulang temporal, perietal dan frontal).

xxxiv
Gambar.9 Meningioma berdasarkan letak

Meningioma lebih sering diklasifikasikan berdasarkan posisi dari origo tumor


yang akan berhubungan dengan aktivitas biologis tumor, tampilan klinis yang
ditimbulkan dan penatalaksanaan serta prognosis pada meningioma.
Pada meningioma biasanya didapatkan 3 gambaran klinis utama yaitu adanya
peningkatan tekanan intrakanial, adanya gejala neurologis fokal, dan adanya epilepsi.
Posisi dari tumor akan menentukan tampilan klinis yang terjadi. Tumor berkembang
secara lambat dan biasanya memiliki gejala klinis yang berlangsung lama dan bertahun-
tahun.

G. meningitis
Meningitis adalah proses inflamasi meningen (selaput otak) khususnya
arachnoid dan pia mater berkaitan dengan invasi bakteri. Penyebab paling sering adalah 3
jenis bakteri yaitu Neisseria meningiitidis (meningokokus), Streptococcus
pneumonia(pneumokokus) dan Hemophylus influenza. Infeksi yang terjadi menyebabkan
selaput meningen meradang dan membengkak serta proses inflamasi yang meradang
merangsang reseptor-reseptor nyeri yang ada pada selaput tersebut sehingga
menimbulkan gejala nyeri dan kaku kuduk.

xxxv
Mekanisme terjadinya meningitis adalah kolonisasi mukosa (dapat berasal dari
infeksi saluran nafas atau traktus gastrointestinal), invasi ke ruang intravascular,
multiplikasi yang berlanjut pada penembusan sawar darah otak, multiplikasi pada ruang
subarachnoid yang kemudian menginduksi reaksi inflamasi dan menyebabkan pleositosis
serta gangguan permeabilitas sawar darah otak. Rute lain adalah melalui infeksi
perkontinuitatum (sinusitis atau mastoiditis) serta inokulasi langsung pada patah tulang
tengkorak atau shunting ventricular).

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini dilaporkan seorang wanita usia 42 tahun dengan diagnose
cephalggia et causa susp. Meningoencephalitis TB, dimana pasien mengalami keluhan

xxxvi
nyeri kepala hebat pada seluruh bagian kepala sejak 2 minggu ini. Berdasarkan anamnesis
di dapatkan keluhan dirasakan di seluruh bagian kepala yang terasa seperti berdenyut-
denyut dan kepala terasa seperti akan pecah. Hal ini timbul dalam hitungan minggu yaitu
terjadi selama ±2minggu. Awalnya keluhan nyeri masih berkurang jika pasien
mengkonsumsi obat penghilang nyeri kepala (Paramex) namun belakangan meskipun
pasien mengkonsumsi obat yang sama keluhann tidak berkurang. Selain itu pasien juga
awalnya mengalami demam tetapi sering muncul saat nyeri kepala terasa hebat. Selain itu
pasien juga mengalami muntah ±2x pada saat pasien mengeluh nyeri kepala, dan
berdasarkan alloanamnesis dari suami pasien di dapatkan bahwa pasien sempat tidak
nyambung saat berbicara (berbicara melantur). Pasien juga mengatakan pandangan
berbayang sejak ±1 minggu ini. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi proses desak
ruang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intracranial yang memunculkan
gejala berupa nyeri kepala yang bersifat kronik progresif, penurunan kesadaran dan
muntah.
Keadaan ini di dukung dengan dilakukannya pemeriksaan fisik, dimana pada
pemeriksaan nervus optikus didapatkan ketajaman penglihatan oculi dextra 1/300 dan
oculi sinstra 1/300. Pada pemeriksaan nervus abducens didapatkan parese oculi sinistra
dan didapatkan diplopia. Pada pemriksaan rangsang meningeal di dapatkan Kaku kuduk
(+). Hal ini menunjukkan bahwa pasien mengalami multi cranial nerve palsy dan
kemungkinan terjadi iritasi pada selaput meningens dan berdasarkan anamnesis di
dapatkan juga trias meningitis yaitu nyeri kepala, demam dan kaku kuduk (+)>.
Pada pemeriksaan penunjang, dilakukan pemeriksaan darah rutin, uji faal ginjal
dan elektrolit dimana didapatkan kadar normal dari pemeriksaan darah lengkap dan
pemeriksaan faal ginjal didapatkan peningkatan dari kadar ureum dan kreatinin yang
menandakan terjadi insufisiensi ginjal yang didukung dengan usg dan rontgen didapatkan
batu pyelum pada ginjal kanan, dan dari pemeriksaan elektrolit didapatkan elektrolit
imbalance yang kemungkinan besar terjadi akibat low intake.
Kemudian dilakukan pemeriksaan MRI kepala tanpa kontras dimana hasilnya
didapatkan dilatasi pada semua ventrikel dengan sulci dan systerna basalis merapat dan
terdapat enhance abnormal di basal dan leptomeningeal hal ini dapat menjadi penyebab
terkompresinya nervus-nervus cranialis sehingga menimbulkan gejala dan tanda pada
pasien.
Pada MRI didapatkan dilatasi pada semua ventrikel yang dapat menghambat
sirkulasi CSS dan menyebabkan obstruksi sehingga menjadi penyebab terjadinya
hidrosephalus. Untuk penatalaksanaan hydrocephalus yang kemungkinan menjadi

xxxvii
penyebab cephalgia berat pada pasien ini diberikan terapi manitol selama perawatan dan
pasien mengalami nyeri penurunan dari keluhan nyeri kepalanya dan dari dokter bedah
saraf di sarankan untuk melakukan pemasangan VP shunt dengan tujuan untuk
mengalirkan cairan serebrospinal ke dalam ruang peritoneal sehingga tekanan intracranial
dapat diturunkan dan diharapkan terjadi perbaikan dari nyeri kepala pasien. Dan
berdasarkan pemeriksaan darah lengkap dan MRI kecurigaan untuk terjadinya meningitis
pada pasien ini masih belum dapat disingkirkan sehingga pasien dipersiapkan untuk
melakukan pemeriksaan LCS untuk menentukan etiologi pada pasien ini untuk tujuan
terapi.

BAB V
KESIMPULAN

Meningitis adalah proses inflamasi meningen (selaput otak) khususnya


arachnoid dan pia mater berkaitan dengan invasi bakteri. Penyebab paling sering adalah 3
jenis bakteri yaitu Neisseria meningiitidis (meningokokus), Streptococcus
pneumonia(pneumokokus) dan Hemophylus influenza. Infeksi yang terjadi menyebabkan
selaput meningen meradang dan membengkak serta proses inflamasi yang meradang
merangsang reseptor-reseptor nyeri yang ada pada selaput tersebut sehingga
menimbulkan gejala nyeri dan kaku kuduk.
Mekanisme terjadinya meningitis adalah kolonisasi mukosa (dapat berasal dari
infeksi saluran nafas atau traktus gastrointestinal), invasi ke ruang intravascular,
multiplikasi yang berlanjut pada penembusan sawar darah otak, multiplikasi pada ruang
subarachnoid yang kemudian menginduksi reaksi inflamasi dan menyebabkan pleositosis
serta gangguan permeabilitas sawar darah otak. Rute lain adalah melalui infeksi
perkontinuitatum (sinusitis atau mastoiditis) serta inokulasi langsung pada patah tulang
tengkorak atau shunting ventricular).

xxxviii
xxxix

Вам также может понравиться