Вы находитесь на странице: 1из 123

Ruang Kota

Ruang Kota

Prolog :Revianto B. Santosa


Epilog : Purnawan Basundoro

Anna Nurlaila Kurniasari / Ardyan M. Erlangga /Azwar Anas


Dian Dwi Anisa / Hasti Kusuma Dewi / Jihan Riza Islami
Khairul Anam / Miftahul Fawaid / Moh. Habib Asyhad
Nisrina Muthahari / Nor Islafatun / Nurdini Diah Ekawati
Prima Sulistya W/ Rhea Yustitie / Swadesta Aria Wasesa
RUANG KOTA
Ardyan M. Erlangga, dkk. DAFTAR ISI
Tim Editor :
Budi Mulyono, Fadila Fikriani Armadita, Iswara Noor Raditya, Anna Nurlaila Kurniasari
Kalam Jauhari,­Mindiptono Akbar, M. Rodhi Asy’ad Dari Penerbit : Melipat Kota dalam Kata - - 9

Penyelaras: Tim Kerja Buku Prolog :


Desain Sampul: Cahyo Waskito P. A. Revianto B. SANTOSO
Konsep Desain Sampul: Indra Widianto S. M. Berkediaman di Simpang Raya:
Penata Letak: Dwi Fajar Wijayanto, Rhea Yustitie Ruang Urban dan Dinamikanya- -17
Pemeriksa Aksara: Dian Dwi Anisa
Foto: Azwar Anas, Dwi Fajar Wijayanto Sketsa Ruang
Ardyan M. Erlangga
Tim Kerja: Ruangmu Belum Tentu Istanamu - - 25
Ardyan M. Erlangga, Azwar Anas, Khairul Anam, Khairul Anam
Moh. Habib Asyhad, Prima S.W., Swadesta A. Wasesa Berebut Ruang: Ikhtisar Kota (Indonesia) - - 43

Cetakan Pertama, Februari 2011


Diterbitkan oleh EKSPRESI Buku
Fenomena Kota Kontemporer
Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI Azwar Anas
Gedung Student Center Lt. 2 Karangmalang Mal dan Raut Wajah Kota - - 59
Universitas Negeri Yogyakarta
Prima Sulistya W.
Telp (0274) 586168 ext 250 –– Fax (0274) 565500
Email: lpm_ekspresi@yahoo.com Nama Jalan di Sepanjang Jaman - - 71
http://www.ekspresionline.com Anna Nurlaila Kurniasari
ISBN: 978-979-99631-4-7 Masa Lalu Sungai, Masa Depan Kota - - 83
Moh. Habib Asyhad
Mari Melebur Bersama (­Kampung) Kota! - - 93
Nor Islafatun
Geliat Makam di Ruang Kota - - 105
NISRINA MUTHAHARI
Imajinasi Ruang dalam Cluster - - 115
Jihan Riza Islami
Baliho dan Politik Ruang:
Pertarungan Antara Warga, Pemerintah, dan Kapitalis - - 127
Miftahul Fawaid
Ruang yang Rapuh Bernama Pendidikan - - 139
Swadesta Aria Wasesa
Relokasi dan Kuasa Atas ­Ingatan - - 149
Nurdini Diah Ekawati
Peta yang Tersisih - - 159

Geliat Masyarakat Kota


Rhea Yustitie
Ruang dan Inovasi untuk Pedagang “Lima Kaki” - - 169
Dian Dwi Anisa
Mari Bertemu di Rel Lempuyangan - - 179
Hasti Kusuma Dewi
Akhir dari Realitas Dunia:
Ketika Aktivitas Manusia Beralih ke Ruang Maya - - 191

EPILOG
Purnawan Basundoro
Status Sosial-Ekonomi Warga sebagai Basis Pembagian Ruang Kota-- 205

Indeks - - 221

p
Tentang Penulis - - 235
Dari Penerbit
Tentang EKSPRESI - - 239
x Melipat Kota dalam... Anna Nurlaila Kurniasari x

Anna Nurlaila Melipat Kota


Kurniasari
dalam Kata

Pertama kali mendengar kata ruang, pasti da­lam be­nak An­


da akan hadir persepsi atau gam­bar­an pa­ling se­der­hana tentang
ruang, yakni sebuah tem­pat tiga di­men­si yang me­mi­li­ki pan­jang,
lebar dan tinggi, yang dari peng­ga­bung­an da­ri ke­ti­ga di­men­si
ter­se­but meng­ha­sil­kan su­atu ru­ang.
Lalu, per­ta­ma ka­li men­de­ngar ka­ta ko­ta, mung­kin An­da akan
mem­ba­yang­kan se­bu­ah tem­pat yang ra­mai, pe­nuh ba­ngun­an, de­
ngan ja­lan-ja­lan yang pa­dat, per­kam­pung­an yang ber­je­jer-je­jer
dan ju­ga mal-mal. Se­ga­la ma­cam hal ter­se­dia di sa­na, tak se­per­ti
di de­sa -la­wan da­ri ka­ta ko­ta- yang le­bih se­ring di­per­sep­si­kan
se­ba­gai tem­pat yang jauh da­ri ke­ra­mai­an, de­ngan sa­wah-sa­wah
yang meng­ham­par lu­as, ser­ta ru­mah-ru­mah yang sa­ling men­
jauh­i. La­ntas bagai­ma­na­jika ruang­dan kota itu bertemu? Hasil­
nya ti­dak akan ­se­sem­pit pengertian ruang dan kota itu sendiri
bila berdiri masing-­masing.­

8 9
x Melipat Kota dalam... Anna Nurlaila Kurniasari x

Pertemuan ruang dan kota tersebut disusul dengan hadirnya isinya di­su­guh­i dengan wacana-wacana ten­tang ko­ta, tapi pem­
de­fin ­ i­si-de­fi­ni­si, kon­sep ser­ta te­ori yang ber­kem­bang. Zaman ba­ca ju­ga di­a­jak men­je­la­jahi tiap de­tail ko­ta, se­akan ki­ta bi­sa
da­hu­lu, kota ada­lah pusat pe­me­rin­tahan. Se­iring wak­tu ber­la­lu, sa­ma-sa­ma hen­dak mem­ba­ca ko­ta itu sen­diri de­ngan ber­ba­gai
ia luruh dan sudi mencipta definisi-defisnisi lain ten­tang ko­ta ci­ri yang ke­rap kita hiraukan.
de­ngan ruang memesona. Kota te­lah me­nu­lis ri­wa­yat hi­dup­nya Mula-mula, buku kami menyuguhkan konsep ruang dan­
sen­di­ri, lewat ma­sya­ra­kat se­ba­gai pe­la­ku se­ka­li­gus pem­ben­tuk. lika-­liku­ lanskap ruang kota di Indonesia. Cukup dua da­hu­
Jilidan yang Anda sibak kala ini, adalah buah pikir yang bu­ lu.­ Se­ka­dar bekal awal pembaca menjelajah bagian yang a­kan
tuh tum­buh la­ma; 5 bulan. Se­bu­lan me­lam­bat da­ri jad­wal awal. men­je­lang.­ Mereka berupaya membukakan jalan su­pa­ya pem­
Se­jak be­ru­pa ide men­tah sam­pai ja­lin­an pi­kir yang co­ba ka­mi baca­ja­ngan sampai tersesat menyerap maksud-­maksud tulisan
se­la­ras­kan. Se­kum­pul­an ide-ide itu te­lah me­la­lui pro­ses 'pe­pe­ se­lan­jut­nya.
rang­an' de­ngan lain­nya, ber­mu­la dari bank te­ma, pre­sen­ta­si Mari kita sejenak tinggalkan konsep dan lanskap ruang ko­
­te­ma, pe­nga­dil­an te­ma hing­ga di­pi­lih­nya te­ma ini; Ru­ang Ko­ta. ta Indonesia barusan tadi. Feno­mena­-­feno­mena ru­ang ko­ta
Teristimewa lebih, ia tergarap disela-sela "euforia" pra­ben­ ­Indonesia kekinian, tidak boleh dice­rai­kan dari pem­ben­tuk­nya
ca­na-­pascabencana erupsi Gunung Merapi sejak Oktober 2010 di kala­lewat. Renik-renik itu mi­sal­nya; mal, sungai, kampung,
si­lam. Sepintas kami merenung dan mewajibkan diri va­kum makam, baliho, sam­pai peta kota yang ha­nya ter­pan­cang di
se­la­ma beberapa waktu, dan membutuhkan upaya yang ti­dak per­empat­an ja­lan atau depan pos polisi. Barang­ka­li de­ret­an-
­se­ben­tar guna menumbuhkan dan menempatkan ka­mi ke rel se­ de­ret­an ba­ngun­an dan area ta­di ba­gi se­ba­gi­an ka­lang­an se­ba­tas
mu­la. Tak ayal, prioritas kami terbelah. Kerja 'inte­lek­tu­al' yang ru­pa itu. Ta­pi si­apa ki­ra ter­nya­ta me­reka semua mem­ben­tuk
su­dah se­pa­ruh jalan, tiba-tiba ditantang oleh kerja ke­ma­nu­sia­an. dan ter­ben­tuk oleh war­ga ko­ta.
Susah payah, mereka berdua sanggup kami gauli. Sesudah pembaca berplesir dengan renik-renik itu, serasa
Menyinggung wacana ruang kota, tentu bukanlah sesuatu­ per­lu ter­tun­tas­kan pada penyikapan warga kota terhadap ru­ang­
yang sama sekali baru. Perbincangan kota, sudah berulangkali­ nya­sen­di­ri. Pem­ba­ca­an yang lebih tepat adalah memakai peng­
di tulis di berbagai pengumuman. Satu lagi PR kami; jangan­me­ a­mat­an lang­sung de­ngan terjun ke lapangan. Menanyai me­re­ka
ngu­lang.­Sempat mestinya pembaca yang budiman mendengar­ satu-­satu. Menggali apa yang dirasa dan diperbuat se­sung­guh­
is­tilah 'kota mati', namun kota sendiri tak akan pernah mati nya.­Ca­ta­tan per­ja­lan­an ini sengaja di letakkan pada bab ter­ak­hir,
hing­ga zaman berakhir kelak. Dan, itulah titik anjaknya. Tidak se­ba­gai pe­leng­kap konsep dan wacana kota. Se­hing­ga tak ha­nya
ada kematian untuk kota, wacana ruang kota apalagi. Begitu me­wa­ca­na­kan dan meneorikan ruang kota, na­mun di “Ruang
dah­syatnya istilah kota, hingga kota tetap saja menjadi patokan­ Kota” i­ni a­da ruang ter­sen­di­ri tentang perilaku masyarakat me­
tempat dengan segala sesuatu yang tersedia di sana. Untuk nying­kap­i ha­bi­tat­nya, mi­sal­nya saja tentang adanya PKL mo­dern.
beberapa­riwayat, sering diperdengartuliskan terma bedol desa, A­kan ter­ku­ak ba­gai­ma­na masyarakat sebagai pelaku me­nyi­kap­i
namun belum sempat terjumpai oleh kami istilah bedol kota. ke­ber­a­da­an ko­ta de­ngan segala tetek-bengeknya, dan men­ja­di­
Jika Anda pecandu buku-buku EKSPRESI, mesti ­merasai be­ kan hal-­hal ter­se­but menjadi bagian dari pola hi­dup­me­re­ka. Dan
da­ besar dengan terbitan-terbitan kami yang telah lewat. Ka­sat se­mua i­tu ter­ja­di di sebuah tempat istimewa, ber­na­ma kota.
mata,­ ukurannya lebih besar dari yang sudah-sudah. Ti­dak se­ Te­ri­ma­ka­sih ka­mi ter­u­cap mantap terhadap jajaran rektorat;­
me­na-mena alasan mengapa harus terjadi perubahan ­ukur­an. Bapak Rochmad Wahab, Bapak Herminarto Sofyan, Ibu
Dis­ku­si alot dengan kawan-kawan dan evaluasi sebelum­nya, me­ Nurfina­ Aznam dan Bapak Sutrisna Wibawa. Tak bo­leh ter­lu­
min­ta ka­mi per­lu merevisi luaran buku EKSPRESI. Imbas­nya, pa,­ Bapak­ Budi Sulistya dan Bapak Hermanto. Me­re­ka se­mua­
pem­ba­ca tidak bu­tuh lagi se­ben­tar-ben­tar me­mi­cing­kan ma­ta se­la­in­ bertang­gung­ja­wab­ atas tindak-­tanduk kami sebagai ba­
ka­re­na mi­ni­nya ukur­an bu­ku. gi­an ke­cil da­ri Universitas Negeri Yogyakarta, juga sekaligus
Untuk isi, pembaca tidak perlu risau. Kami masih menyedia­ di bebe­rapa ke­sem­pat­an­ men­ja­di pem­bim­bing yang amat
kan tiga bab untuk me­ngu­las ja­lin­an pi­kir ka­mi. Ti­dak me­lu­lu berharga. Juga se­lak­sa hor­mat ke­pa­da Bu Ari Kusmiatun yang

10 11
x Melipat Kota dalam... Anna Nurlaila Kurniasari x

dengan sabar me­ne­ma­ni, mem­bim­bing, meng­a­rah­kan dan juga ca­se­ka­li­an. Ang­gap sa­ja buku ini sejumput proses belajar­ka­mi
memberi ba­nyak­ ma­suk­an yang berarti kepada kami. Ia selalu di EKPRESI. Se­ki­ra­nya ka­lau pandangan pembaca terwakilkan­
sedia meluangkan­waktu­nya un­tuk ka­mi ber­ke­luh kesah. di si­ni?­ Atau ma­lah sungg­uh ber­tolak belakang dengan isi ke­
Se­la­ma pro­ses be­la­jar ka­mi melahirkan buku, beragam dis­ pala­pem­baca?­Ma­ka sam­pai­kan dengan bernas kritik itu! 3
ku­si­ ter­lak­sa­na­kan de­ngan be­be­ra­pa pemerhati wacana per­
kota­an.­Sa­lam ha­ngat bu­at Yosi Fajar Kresno Mukti dari IVAA
(Indonesian Visual Art Archive) dan Revianto Budi Santoso,
Do­sen Pro­di Ar­si­tek­tur Fa­kul­tas Tek­nik Si­pil dan Perencanaan
UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta, yang su­di me­
leng­gang­kan waktunya menemani­dis­ku­si­gu­na me­ma­ham­kan
a­kan wacana ruang kota Indonesia.­
La­in dari­pada i­tu, sejenak juga haturan hormat bagi para
kon­tri­bu­tor. Revianto Budi Santoso sudi menulis prolognya
un­tuk men­jem­ba­tan­i a­wal i­si bu­ku dengan pembaca. Purnawan
Basundoro me­mung­ka­si­nya de­ngan epilog yang menggugah
se­le­ra ba­ca. Te­ri­ma­ka­sih ba­gi dua senior intelektual kami itu.
Dur­ha­ka a­mat apa­bi­la ka­mi yang ma­sih belia ini tidak meng­
ham­bur­kan­ ka­sih dan hor­mat ter­un­tuk; Muhidin M. Dahlan,
Zen RS, Mustaqim, M. Iqbal, M. Safrinal Lubis, Sismono La
Ode, M. Thobroni, Antok Priyo W, M. Faiz Ahsoul, Agung DH,
Nur Iswarso, Iswarta Bima PL, Islahuddin, Ana Novianti, dan
sederet nama tak ter­se­but yang te­lah mem­be­la­jar­kan EKSPRESI.
Mungkin mereka ti­dak bu­tuh te­ri­ma­ka­sih, ta­pi i­tu kewajiban
bagi kami yang su­dah­ber­u­lang­ka­li me­re­cok­i ke­hi­dup­an mereka
dengan kerja-­kerja EKSPRESI, ser­ta ban­tu­an dan sa­ran yang tak
hendak su­rut.­
Ser­ta pa­ra a­lum­ni la­in­nya yang te­rus saja dirusuhi untuk
mem­ban­tu men­ja­di e­dit­or bu­ku meskipun di tengah-tengah ke­si­
buk­an masing-­masing, te­tap mau meluangkan waktunya; Kalam
Jauhari, Budi Mulyono, Iswara N. Raditya, Fadila F. Armadhita,­
M. Rodhi As’ad, serta Mindiptono Akbar. Masukan dan sen­tuh­an
me­re­ka ki­ra­nya menyelematkan buku jadi 'lebih'­ter­baca.
Pung­kas­nya, ja­lin­an hor­mat dan salut mesti tersampaikan­
ba­gi kawan-­kawan EKSPRESI ke­peng­u­rus­an 2010. Kerja sama­
nya,­yang se­la­ma i­ni te­lah berproses diawali dengan bank tema
dan su­dah­i de­ngan launching hing­ga evalusi buku ini kelak.
A­pa la­cur, deadline te­lah me­lang­ka­hi ka­mi beberapa waktu.
Tapi,­i­ni­lah bu­ah­nya, mes­ki ti­dak amat manis.
Se­la­lu a­da ru­ang da­lam se­ti­ap ce­lah­nya. Buku ini juga diha­
rap­kan­mam­pu me­nem­pat­i ruang tersendiri di hati para pem­ba­

12 13
x Status Sosial-Ekonomi... Purnawan Basundoro x

p
Prolog

14
x Berkediaman di Simpang...

Berkediaman di Simpang
Revianto B.
Santoso Raya: Ruang Urban dan
Dinamikanya

“If a city, according to the opinion of philosophers, be no more than a


great house and, on the other hand, a house be a little city; why it may not
be said, that the members of that house are so many little houses.”
-Leon Battista Alberti (1755)-

“Kota adalah rumah yang besar,” begitu para filsuf meng­gam­


bar­kan po­la ke­ru­angan kota se­ca­ra me­ta­fo­ris. I­ma­ji dan fan­
tasi ten­tang ra­nah do­mes­tik se­ba­gaimana ru­mah ke­di­aman
ki­ta yang ten­tram di­nis­bat­kan pa­da ko­ta un­tuk mem­be­ri­kan
gam­bar­an ke­ten­traman yang terken­dali se­la­ik­nya ru­mah kita.
Le Corbusier, dalam mendo­rong per­kem­bangan ko­ta be­sar se­
pe­nuh­nya me­nya­da­ri ke­sen­jangan skala ini. “A detail in a city
means a house multiplied a thousand times; therefore it is the
city,” (Le Corbusier, 1924).

16 17
x Berkediaman di Simpang... Revianto B. Santoso x

Kota memang dibentuk, dihayati dan digagaskan pertama- diper­tuan yang berkediaman di utara pasar. Secara ke­ruangan
ta­ma se­ba­gai ruang. Seba­gai­ma­na ru­mah, kota ada­lah ­ru­ang pasar ini terletak di simpang yang menghubung­kan istana dan
yang di­lahirkan dari hasrat berkediaman, memapankan keber­ pusat kota dengan wilayah-wilayah di sekitarnya. Kini, para
ada­an di sepenggal bentang alam. Namun demikian, Alberti raja pen­di­ri wangsa telah berabad berlalu, alun-alun dan istana
­ju­ga mengingatkan bahwa relasi antara keduanya tak pernah Mataram telah berubah menjadi kampung yang sesak, para pe­
­se­der­hana sehingga kita tak dapat semata memahaminya se­ba­gai zi­arah makam leluhur junjungan pun tak lagi seberapa banyak,
ru­mah besar yang berisi rumah kecil. ta­pi Pasar Kotagede tak surut menunjukkan vitalitasnya. Dua
Manusia telah ada sejak seratus ribu tahun yang lalu, dan mu­ pu­luh empat jam pasar ini hidup dengan dinamikanya.
lai mem­ben­tuk ko­ta se­jak li­ma ri­bu ta­hun yang lalu. ­Na­mun de­ Pasar (market) dan permukiman (settlement) adalah dua per­
mikian abad yang kita jalani adalah masa ketika per­adab­an me­­ kara yang berbeda secara mendasar. Yang pertama men­da­sar­
ne­tap­kan bah­wa ma­nu­sia lebih baik ber­ke­dia­man di kota, dengan kan pada pergerakan dan dinamika sehingga ­memungkinkan
segala konsekuensinya. Pada awal abad kedua pu­luh ha­nya 10 se­sum­ber yang berasal dari berbagai tempat dihimpun dan di­
persen ma­nu­sia ting­gal di kota, se­dang­kan ­sa­at ini lebih dari 50 per­tukarkan. Yang kedua mengandalkan pada kemenetapan
persen manusia memilih ataupun terpaksa ber­ke­diaman di kota. dan kestabilan yang me­mung­kin­kan kita untuk memapankan
Per­sen­tase manusia tinggal di kota ­me­ning­kat pe­sat berjalan ke­ber­ada­an da­lam suatu ling­kungan binaan. Berkota adalah
berbarengan dengan penurunan kualitas ling­kung­an hidup di ber­mu­kim di sim­pang raya.
perkotaan sebagaimana ditengarai de­ngan pe­ning­katan secara Ketegangan dan kontras antara kemapanan dan pergerakan
tajam persentase mereka yang ting­gal di ling­kungan kumuh. ini­lah yang banyak mencirikan perkembangan suatu kota, baik
Ber­tam­bah­nya jumlah dan mening­kat­nya ska­la kota secara sig­ da­lam pemikiran, pengalaman maupun fisik. Secara sim­bolis
ni­fi­kan menbangkitkan masalah dan kon­flik yang sebelum­nya kon­disi ini acapkali dirayakan dalam bentuk-bentuk monu­
tak pernah terjadi. Rumah besar nan da­mai dan teratur yang di­ men­tal. Tugu yang menjadi penanda utama Kota Yogyakarta
ba­yang­kan pun acap­ka­li ki­an jauh dari im­pi­an. mi­salnya, adalah sosok tegak yang difahami sebagai perwuju­
Kota ada lantaran manusia ingin berkumpul, berbagi dan me­ dan kemanunggalan kawula-gusti yang mapan di kota, terlebih
la­ku­kan per­tukar­an. “In the meaning of the word here, the city pa­da wujudnya semula yang golong gilig (bola dan silinder).
is a market settlement,” simpul Weber (1958: 67) yang me­ru­mus­ ­Namun demikian, Tugu ini ditegakkan di perempatan yang
kan hakikat kota sebagai permukiman pasar tempat per­tu­kar­an te­ren­tang ke timur menuju Surakarta dan ke barat untuk ke­
diselenggarkan. Dari ber­ba­gai pen­ju­ru ma­nu­sia me­nu­ju ko­ta mu­dian membelok ke utara me­nuju Semarang tempat Loji
untuk menyelenggarakan pertukaran barang, jasa dan bah­kan Kumpeni berada. Sementara arah utara me­nuju ke Merapi
pemikiran dan spiritalitas. Dari pertukaran intensif ini mun­cul dan ke selatan menuju ke Kraton yang men­ja­di ru­jukan sta­tis
ke­pa­dat­an, ke­ra­gam­an, dinamika, dominasi dan ken­da­li yang se­ ben­tukan kota. Hal serupa terbentuk di Monumen Plengkung
cara me­ru­ang terwujud dalam kota. Kota adalah tem­pat se­ja­rah Ke­ja­yaan yang secara simbolis menjadi kubur para pahlawan
di­ru­ang­kan, se­ka­li­gus se­ba­gai tem­pat ru­ang di­se­ja­rah­kan. ­pe­rang tegak di kota Paris tepat di simpang dua belas jalan raya
Pasar Kotagede adalah perwujudan yang sempurna dari yang dibangun Baron Hausmann.
ri­wa­yat permukiman pasar yang menjadi pangkal tolak pem­ Permukiman berpagar yang bebentuk cluster adalah per­
bentuk­annya. Pen­du­duk setem­pat dan se­ki­tar­nya sering me­nye­ wu­jud­an pragmatis yang paling mencolok belakangan ini.
but Kotagede de­ngan nama Sargede akronim dari Pasar Gede, Yang per­tama adalah permukiman ini terben­tuk seba­gai ha­
yang me­ru­pa­kan stra­tegi pars-pro-toto yang me­ring­kas ke­se­lu­ sil ko­mo­di­­fikasi wantah ruang kota dengan me­nying­kir­kan
ruh­an ka­wa­san de­ngan menyebut bagian yang pa­ling esen­sial­ se­­mua peng­guna lain yang berpotensi sebagai intruder. Yang
nya. Panembahan Senapati sebagai penguasa ­ber­dau­lat per­tama kedua per­mu­kim­an ini se­la­lu di­ta­war­kan de­ngan dua ta­war­an
atas Mataram yang beribu negeri di Kotagede ­memiliki julu­ penting,­ yak­ni ter­lin­dungi dan akses yang cepat ke jalan raya.
kan masa mudanya sebagai Ngabehi Saloring Pasar, alias yang Dua hal yang se­be­nar­nya dikotomis antara menyingkir dari

18 19
x Berkediaman di Simpang... Revianto B. Santoso x

per­jum­pa­an­ dengan ketidakpastian kota dan bergabung den­ teori-teori urban, Simon Parker (2006) menyimpulkan dalam
gan la­ju dinamika kota. su­atu generalisasi bahwa semua teori urban berkaitan den­
Dengan logika yang sama, mal-mal pun dibangun. Semula gan sa­tu atau lebih dari 4-C: culture, consumption, conflict dan
mal berarti ja­lan dan ru­ang ter­buka me­man­jang tem­pat ­war­ga ­community dalam arti yang luas.
khu­sus­nya yang berjalan kaki bersua. Tapi sekarang mal ­menja­di Culture atau budaya berkenaan dengan sistem simbol da­
ruang dalam tempat komodifikasi intensif diselenggara­kan. Ke­ lam ra­nah yang luas, ter­ma­suk se­ni dan ke­per­ca­ya­an ser­ta
ten­traman dan kenyamanannya didapatkan dengan me­le­tak­ ­ha­rap­an-ha­rap­an kon­tem­por­er yang berkembang dalam ma­
kan­nya di tengah keramaian kota sembari menyingkirkan pa­ra sya­rakat per­ko­ta­an dan terwujud secara fisik dalam ruang-
pe­nyelonong yang potensial mengusuik kenyamanan me­re­ka ruangnya. Consumption atau konsumsi meliputi pertukaran
yang sedang menikmati kota ber-AC ini. Hanya warga pem­be­ ba­rang dan jasa serta sistem relasi sosial yang memproduksi
lan­ja dan para penjaja yang hadir di dalamnya. ba­rang dan jasa tersebut. Selain berkaitan dengan pertikaian
Dalam wujud yang jauh lebih sederhana, trotoar pun melem­ dan perebutan secara fisik yang melibatkan kekerasan, conflict
ba­ga­kan kon­flik yang se­ru­pa. Ruang mem­bu­jur se­pan­jang ja­lan atau konflik berkenaan juga dengan perebutan sumber daya
men­jadi perebutan antara mereka yang me­lin­tas ber­jalan ka­ki yang abstrak dan persaingan antar kelompok sosial dan ke­pen­
de­ngan mereka yang bermukim di tepi jalan yang me­man­dang ting­an. Komunitas atau community berkaitan dengan nilai-nilai
ru­ang trotoar sebagai bagian dari halaman depan mereka ser­ta yang mengikat suatu masyarakat serta mengungkapkan kebera­
pa­ra pengambil keuntungan mendadak yang men­du­duki ru­ang da­an mereka dalam ruang.
ini dengan lapak-lapak mereka. Kerangka ini tampaknya dapat juga menjangkau semua ra­
Pertukaran intensif dan kompleks menjadi mungkin ka­re­na, gam tulisan yang tersaji di sini sebagai manifestasi dari kesenja­
di mata Henri Lefebvre, kota pada hakikatnya adalah tem­pat ni­ ngan dan ketegangan antara pemukim dan penjaja yang sama-
lai guna dan nilai tukar dipertemukan dan dikom­bi­na­si­kan da­ sa­ma menghuni simpang raya yang bernama kota. 3
lam suatu “sistem relasi produksi”. Secara umum, nilai guna ber­
kaitan kemanfaatan yang didapatkan dari suatu ling­kung­an fi­sik.
Sementara nilai tukar berkaitan dengan ‘harga’ yang di­ten­tukan
oleh sistem kapitalisme. Dengan peningkatan ­inten­si­tas ka­pi­ta­lis­
me, trans­for­ma­si ru­ang kota yang ber­kon­se­ku­en­si pada penga­
lokasian kegiatan, kemanfaatan dan kenyaman­an di lingkungan
perkotaanpun kian dikomodifikasikan. Kawasan ko­mer­si­al ge­
merlap, perumahan mewah berpagar, lingkungan ku­muh tanpa
layanan, adalah di antara dampak nyata dari sistem relasi ini.
“Right to the City” yang diajukan Lefebvre bukan hanya ber­
ka­it semata dengan penggunaan ruang kota, tapi juga berkaitan
de­ngan hak warga kota untuk bermain, mengembangkan diri,
me­ngung­kapkan gagasan dan memiliki kebanggaan di dalam
ko­ta­nya dan terhadap kotanya. Ruang kota menjadi hak bagi
se­mua warga untuk memenuhi kebutuhan dan menyatakan ke­
ber­ada­an me­re­ka.
Simpang raya tempat bermukim itu kian lama kian hi­ruk
pi­kuk. Berbagai kepentingan melintas dan meninggalkan jejak­
nya yang memerlukan kerangka teoretik yang lebih kompleks
un­tuk menjelaskannya. Menjelajahi kisaran yang luas tentang
20 21
x Melipat Kota dalam... Anna Nurlaila Kurniasari x

p
Sketsa Ruang

22
x Ruangmu Belum Tentu... Ardyan M. Erlangga x

Ruangmu
Ardyan M.
Erlangga Belum Tentu
Istanamu

Bagi saya, idiom "rumahku istanaku" be­lum ten­tu ber­mak­na


"be­bas ber­tin­dak se­su­ka ha­ti ketika ber­ada di ru­mah". ­Pa­sal­nya
—setidaknya dalam budaya Jawa—me­ne­ri­ma ta­mu ada­lah per­
ka­ra yang ja­uh da­ri re­meh. Ta­mu me­ru­pa­kan per­lam­bang da­ri
re­ze­ki. Tak aneh bi­la se­orang ta­mu da­lam adat ma­sya­ra­kat Jawa
di­sam­but de­ngan se­di­­kit ba­nyak ke­re­pot­an. Si­tu­a­si ­ma­cam itu
ma­sih kerap saya temui, salah satunya ketika ber­tan­dang ke ru­
mah se­orang ka­wan di daerah Kulonprogo belum lama ini.
Saat itu turun hujan dan terpaksalah saya berteduh di ­ping­gir
ja­lan lan­tar­an lu­pa mem­ba­wa jas hu­jan. Tak la­ma ke­mu­di­an­,
se­o­rang ba­pak yang ke­li­hatan sepuh me­mang­gil sa­ya, me­­na­wa­
ri­ ber­te­duh di dalam ru­mah­nya yang per­sis ber­ada di ping­gir
ja­lan. Hu­jan semakin deras sehingga saya tak mam­pu me­no­lak
ta­war­an tersebut. Walau tak ingin berlama-lama, ­nya­ta­nya saya
se­tengah "dipaksa" masuk ke ruang tamu.

24 25
x Ruangmu Belum Tentu... Ardyan M. Erlangga x

Si bapak tampak kelimpungan merapikan ruang ta­mu­nya Demikianlah ritus yang bia­sa­nya terjadi kala keluarga saya
dan berkali-kali meminta maaf karena merasa ruang yang ia me­ne­ri­ma ta­mu. Rang­kai­an ter­se­but be­gi­tu te­re­kam da­lam
per­si­ap­kan un­tuk sa­ya ma­sih tam­pil "be­ran­tak­an". Pa­da­hal ba­gi ­be­nak se­­hing­ga mau tak mau saya mem­ban­ding­kan­nya de­ngan
sa­ya pri­ba­di tak ada ma­sa­lah sama sekali. Ruang yang ia se­but ca­ra sa­ya di­per­la­ku­kan di ke­dia­man ba­pak yang tak sa­ya ke­nal
be­ran­ta­kan itu tak jauh beda dengan ruang tamu ke­ba­nyak­an;­ sa­ma sekali itu. Baik keluarga saya maupun si bapak me­mi­li­ki
ter­di­ri dari meja utama yang dikelilingi kursi, ber­ukur­an tak ke­samaan. Tak sa­ma per­sis memang, tapi yang jelas tin­dak­an-
ter­lalu luas, tergantung lampu tepat di atas meja tamu, dan di­ tin­dak­an yang co­ba sa­ya gambarkan barusan men­cer­min­kan
tam­bah be­be­ra­pa wadah camilan. Lantainya bahkan sudah be­ ada­nya kesamaan per­sep­si soal ruang tamu.
ru­pa ke­ra­mik putih mengkilap. Saya tak menemui satu hal pun Yang paling kasat mata ada­lah ke­hendak untuk me­nam­pil­kan
yang bisa disebut berantakan dari kondisi semacam itu. ru­ang tamu sebagai wi­la­yah per­sing­gung­an antara tuan ru­mah dan
Meski sebisa mungkin tak hendak merepotkan, ternyata ta­mu dengan sesempurna ­mung­kin. Sebuah rumah me­mang me­
saya harus bersedia disuguhi beberapa makanan ringan serta mi­li­ki banyak ruang, na­mun mengingat pengalaman sa­ya pri­badi
minuman hangat. Padahal saya sepenuhnya orang asing, kami —dan bisa jadi an­da juga— ada lebih ba­nyak atur­an yang melekat
tak saling mengenal sebelumnya. pa­da pemanfaatan ruang tamu di­ban­ding ru­ang-ru­ang lain dalam
Peristiwa tersebut tak ayal membuat saya ter­ingat de­ngan satu kesatuan bangunan ru­mah tesebut. Contohnya, sewaktu
pe­nga­la­man pribadi dalam memperlakukan ta­mu. ­Ma­sih cu­ kanak-kanak saya dila­rang ber­ma­in-main dengan benda-benda
kup je­las te­re­kam ba­gai­ma­na urus­an me­ne­ri­ma ta­mu da­lam yang terdapat di ruang ta­mu, seperti sofa, vas bunga, lukisan-
ke­luar­ga sa­ya me­mer­lu­kan be­be­ra­pa rang­kai pro­se­dur ­te­tap. lukisan di dinding, dan ju­ga karpetnya.
Sa­ya bi­asa­­nya ber­tu­gas mem­bu­ka pin­tu ke­ti­ka bel ru­mah ber­ Sebaliknya, aturan melonggar saat saya dan anggota ke­lu­ar­ga
bu­nyi. Se­ki­ra­nya ti­dak me­nge­nal ta­mu yang da­tang, sa­ya se­ge­ra lain beraktivitas di ruang keluarga atau di ka­mar tidur ma­sing-
ta­nya­kan ke­per­lu­an­nya. masing. Ada cukup keleluasaan buat saya untuk mem­per­la­ku­
Jika ia atau mereka hanya meminta sumbangan, saya su­dah kan kasur, meja belajar, atau rak buku di dalam kamar. Ka­mar
pa­ham dan tak per­lu mem­per­si­lakan ma­suk ke ru­ang ta­mu. ter­ke­san menghadirkan keintiman antara saya dan benda-ben­da
La­in so­al bi­la ta­mu yang ber­tan­dang me­nyam­pai­kan ke­te­rang­ di dalamnya, apalagi orang asing tidak diper­ke­nan­kan ma­suk.
an yang je­las. Jika itu yang terjadi, maka pro­se­dur­nya pun ber­ Situasi yang serba intim dan pri­vat itu tam­pak kon­tras de­ngan
ubah. Teras rumah akan menjadi tempat me­nung­gu ter­le­bih ruang tamu yang terasa berjarak, pe­nuh atur­an, dan cen­derung
da­hu­lu, se­men­tara saya memberitahu orang tua saya yang se­ artifisial.
ge­ra bersiap-siap; ayah akan masuk ke kamar untuk ber­gan­ti “Ada banyak peristiwa kolektif dalam hidup ini yang di­
ba­ju yang biasa ia kenakan untuk menemui tamu, ­sedang­kan ang­gap sebagai situasi terberi (given) dan sudah ­se­mes­ti­nya
ibu lang­sung me­nu­ju dapur guna menyiapkan suguhan. (necessary), sehingga jarang kita pertanyakan lagi,” ­tulis
Tak jauh beda dengan tindakan bapak sepuh yang ­men­ja­mu Wendy James dalam The Ceremonial Animal: A New Portrait
sa­ya kala kehujanan, saya dan para saudara juga ikut sibuk. of Anthropology. Aktivitas me­ne­rima tamu dan menampilkan
Ka­mi bergegas membereskan meja tamu dari berbagai ben­da ruang tamu sebagai wilayah pa­ling artifisial dari sebuah
yang dirasa tak pantas hadir seperti kertas yang berserakan, rumah—menilik kepentingan sang pe­mi­lik un­tuk meng­ha­dir­
koran yang tak tertata rapi, atau barangkali bungkus per­men kan­kon­disi yang dirasa ­sem­pur­na, ter­ma­suk pe­na­ta­an ba­rang,
yang dibuang sembarangan. hiasan,­hingga suguhan bagi tamu—­da­pat kita kategorikan se­
ba­gai situasi terberi, dan karena itu tipis ke­mung­ki­nan­nya un­
Ketika ayah siap, si tamu dipersilakan masuk ke ruang ta­mu.
tuk kita pikirkan lebih lanjut.
Saya sendiri siap sedia untuk menghaturkan suguhan-su­guh­an
bagi mereka sekiranya ibu telah tuntas me­nyiap­kan. ­Bi­la ke­ada­an Padahal, sebagaimana yang dibahas Anthony Giddens da­lam
ma­kin gayeng, ma­ka ibu akan me­nyu­sul dan tu­rut ­ber­ceng­kra­ma. The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration,
Se­men­tara sa­ya ba­ru akan hadir apa­bi­la me­mang di­bu­tuh­kan. fenomena yang telah saya uraikan se­be­tul­nya merupakan

26 27
x Ruangmu Belum Tentu... Ardyan M. Erlangga x

konsekuensi logis dari ada­nya kons­truk­si so­si­al pada ruang. dan berbeda dengan benda, maka mungkin saja se­buah ben­da
Menyitir pemikiran Giddens, se­ga­la ru­ang tak mungkin luput atau obyek tidak akan dapat dibedakan meski berada di ru­ang
dari aktivitas pemaknaan yang di­la­ku­kan ma­nu­sia di dalamnya. yang berbeda.
Setiap kebudayaan bisa saja ber­lain­an da­lam memperlakukan Untuk itulah Leibniz menyediakan solusi melalui ­konsep­nya
ruang-ruang yang mereka temui. Ta­pi sa­tu hal yang pasti, manu­ bah­wa ruang sebaiknya diasumsikan sebagai "proyeksi" ba­rang-
sia akan se­la­lu me­mak­nai ruang. ba­rang yang saling terhubung satu sama lain. Seperti ter­can­tum
Jika ditilik lebih lanjut, persoalan ruang tampaknya ber­pe­ da­lam su­rat­nya yang ke­em­pat, ia mem­os­ i­si­kan ­pe­nanda ruang
nga­ruh besar dalam menghadirkan situasi-situasi sosial yang se­bagai batas sebagaimana halnya dinding yang mengakhiri
akrab kita jumpai. Namun sebelum membahas­nya le­bih da­lam, ­re­la­si antar­benda.
sa­ya akan coba mengurai makna atas konsep "ru­ang" ter­le­bih Filsuf asal Jerman lainnya, Immanuel Kant, meneruskan sis­
dahulu. tem pemikiran Leibniz. Ia bahkan secara lebih tegas ­me­nya­ta­kan
bah­wa "ruang" pertama-tama hadir dalam pikiran, yakni se­ma­
Pemantik Aktivitas Sosial cam proses mental untuk menghubungkan beberapa obyek dan
Ruang sebagai konsep harus diakui cukup jarang kita pi­ lan­tas mengonfigurasikannya dalam berbagai kategori ­un­tuk
kir­kan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari. Ke­ber­ada­ d­imak­nai konteks keberadaannya.
an ba­ngunan, jalan, kamar, hingga taman ham­pir-ham­pir tak
lang­sung menyulut rasa ingin tahu. Mengapa bisa seperti itu?

dok. istimewa
Ja­wa­ban­nya mu­dah, ka­rena kita hidup di dalamnya.
Manusia sebagai sebuah entitas di alam ini tidak ­mung­kin
ha­dir di luar ruang. Me­nya­da­ri fak­ta ter­se­but, il­mu­wan ­se­per­ti
Isaac Newton yang didukung oleh sahabatnya, Samuel Clarke,
me­ru­mus­kan bah­wa ru­ang memiliki sifat absolut. Me­nurut ­su­dut
pandang keduanya, ruang tak pernah berubah ka­re­na bila ber­
ubah berarti kita mengandaikan bahwa alam ini ­ber­gerak se­cara
relatif dan ka­re­nanya tidak da­pat di­ukur mau­pun di­pa­ha­mi.
Analogi "ember" adalah salah satu rumusan kondang ­un­tuk
mem­bu­mi­kan pos­tulat ter­sebut. Newton mencon­toh­kan, ji­ka
ka­pal kecil diletakkan di ember yang penuh dengan air, ­ti­dak
ja­di soal apakah kapal itu menjauhi atau bahkan ­ber­ge­rak men­
de­kati tepian ember. Yang penting menurutnya ada­lah me­nen­
tuk­an seperti apa wujud penampang yang membentuk ruang
ge­rak (space of flow) kapal tersebut—yang ber­ar­ti ten­tu sa­ja
de­ngan ca­ra me­mahami diameter ember dan juga mengamati
geo­metri penampang ember.
Pada tahun 1715 sampai 1716, argumen Newton ­diten­tang
Gottfried Wilhelm Leibniz melalui serangkaian ­surat-me­nyu­rat Jika merujuk pada pola pemikiran Leibniz maupun Kant, tak
de­ngan Clarke. Sang filsuf menyebutkan bahwa relasi antar­ben­ mungkin ruang hadir tanpa diartikan sifat hubungannya ­de­ngan
da me­ru­pa­kan awal ter­cip­ta­nya ruang, berkebalikan de­ngan ar­ benda lain. Karena ada meja, kursi, lantai, lampu, alat tulis, ser­ta
gu­men Newton yang menekankan kepastian sifat ru­ang. Me­nu­ lemari, hadirlah konsep ruang yang disebut ruang kerja. Be­gitu
rut­nya, apabila ruang memang absolut, yakni ber­sifat man­di­ri pula dalam kasus lain, ketika ada mobil, jalan ­ber­as­pal, ta­man

28 29
x Ruangmu Belum Tentu... Ardyan M. Erlangga x

di pinggir jalan, trotoar, dan juga ­di­pe­nuhi manusia ­yang mau Sebagai sebuah produk, ruang hadir laiknya fakta ter­be­ri, se­
tak mau harus melewati rangkai­an ­per­sing­gung­an ­ta­di, ruang mi­sal kontur tanah atau keberadaan sungai yang me­mang ti­dak
tersebut kita namai "jalan pro­to­ko­ler". bisa direncanakan sebelumnya. Pada kasus tersebut, ilmu te­
Tradisi pemikiran Kant dan Leibniz agaknya memang me­ rap­an seperti geometri yang mempelajari sifat-sifat bentuk dan
lan­da­si nalar ruang sebagai “fakta eksistensial”, menyitir uca­ objek berperan lebih besar. Sebagai produk, maka ruang ber­sifat
pan Massey dalam Space, Place, and Gender. Artinya, ki­ta pasti. Dan sesuai faktanya, ia bisa menjadi terbatas. Ka­re­na itulah
sudah merasa hidup sepaket dengan ruang itu sendiri. De­ngan ruang bukan hal yang bersifat relatif bagi para il­mu­wan alam dan
mengembangkan teori relativitas yang ditemukan fi­si­ka­wan pada titik ini gagasan absolut Newton amat re­levan.
Albert Einstein, Massey mengidentifikasi ruang seba­gai kon­ Di sisi lain, kehadiran ruang sebagai proses sosial ter­wu­jud
sep yang tercipta melalui hubungan antarobyek. Dan ­se­ba­gai da­lam bentuk rekayasa ruang seperti jalan raya atau jembatan.
implikasi dari pemikiran semacam itu, kita dapat me­nyim­ Ru­ang semacam ini muncul sebagai proses manusiawi untuk
pul­kan bah­wa ma­nu­sia be­serta segala aktivitasnya me­ru­pa­kan me­mak­nai ruang seka­li­gus me­responsnya. Dalam pengertian
­pe­nye­bab mun­cul­nya ruang-ruang di se­ki­tar kita. inilah ilmuwan sosial ber­ope­rasi, yak­ni un­tuk me­na­kar re­la­si-
Tak heran bila dalam banyak kasus sebuah ruang ­me­mi­li­ki re­la­si yang ter­cip­ta da­ri dan oleh keberadaan ruang serta ak­ti­
ni­lai sekaligus makna yang berbeda-beda di setiap tem­pat. vi­tas pe­mak­na­an­nya. Di samping itu, wujud ruang hasil proses
­Se­per­ti ilustrasi ruang tamu yang saya hadirkan sebelumnya, so­sial ini juga memungkinkan terlibatnya pendekatan keilmuan
si­tu­asi tersebut bisa jadi hanya bisa terjadi di kebudayaan ter­ la­in, mu­lai da­ri fil­safat, sosiologi, hingga kajian budaya.
ten­tu, jadi tak dapat kita pukul rata untuk semua tempat. Ambil contoh jembatan. Ia dibangun oleh manusia un­tuk
Lewat karya seminal-nya, The Sociology of Space, Georg meng­ha­pus­kan kon­sep ja­rak yang bi­asa­nya menge­mu­ka dari
Simmel menegaskan makna relasi sosial sebagai “Interaksi se­bu­ah ruang terberi yaitu sungai. Sebagaimana tercantum
­an­tar­manusia yang mengisi ruang; keberadaan bermacam in­ da­lam esai "Bridge and Door", Simmel memandang jembatan
di­vi­du menandakan aktivitas berbagai ruang.” Pandangan se­ba­gai manifestasi hal-hal yang sanggup dilakukan manusia
Simmel meng­ga­ris­bawahi bahwa ruang sesungguhnya terba­tas ter­ha­dap ruang, semacam mukjizat pemaknaan ruang dalam
serta per­lu dibatasi. Di samping itu, ruang juga mewadahi seka­ kon­teks­nya selaku proses sosial.
li­gus me­nga­wali interaksi sosial antar-individu. "...(keajaiban aktivitas manusia tersebut) mencapai puncaknya da­
lam pembangunan sebuah jembatan. Dalam kasus itu, kehendak
Yang menjadi soal adalah belum teratasinya per­be­da­an manusia untuk terhubung dengan satu sama lain serta meng­ha­dir­
men­da­sar dalam memandang ruang. Konsep ruang absolut ala kan interaksi sosial terhadang oleh pemisahan yang muncul akibat
Newton tidak sepenuhnya salah, sementara pemikiran Leibniz ruang, sehingga kadang hanya mampu bersikap pasif me­ne­ri­ma­
dan Kant juga masih dapat dipertanyakan lebih lanjut ihwal nya. Jembatan pada akhirnya menyimbolkan kemauan kita untuk
pe­ne­ra­pan praktisnya di kehidupan sehari-hari. Misalnya, kita me­lam­paui penghalang tersebut. Hanya bagi manusialah sebuah
dua sisi tepian sungai bermakna “keterpisahan”. Jika tidak meng­hu­
mung­kin bertanya apakah konsep ruang melulu hadir ­ka­re­na bungkan kedua tepi itu dalam pikiran praktis mereka, melekat­kan
ke­ber­ada­an interpretasi manu­sia yang hidup di dalamnya? nilai fungsionalitas (jembatan) dalam fantasi mereka, maka konsep
Atau dapat pula muncul per­ta­nyaan, bila ruang lebih berupa “keterpisahan” barangkali tidak ada maknanya sama sekali."
per­sep­si men­tal, apakah berarti per­soalan ruang ha­nya per­ka­ra
re­latif? Bila demikian, me­nga­pa kerap muncul sengketa la­han Penjelasan Simmel secara tersirat mengajak kita untuk mem­
de­ngan dalih ter­ba­tas­nya tanah yang tersedia? ba­ngun kesadaran akan ruang. Sebab terbukti banyak se­ka­li
Henry Lefebvre memberi penjelasan alternatif yang da­pat ru­ang yang nyatanya memang hadir semata-mata berasal da­ri
me­ne­ngahi perdebatan tersebut. Menurutnya, konsep ru­ang per­ upa­ya manusia untuk menciptakan interaksi dengan se­sa­ma­
lu dibagi menjadi dua, yakni sebagai sebuah benda (produk) dan nya. Jika kembali ke soal ruang tamu yang dibahas ­sebe­lum­nya,
sebagai proses mengada yang berkelanjut­an (tindakan so­sial). ten­tu kita mafhum bahwa urusan memaknai ruang tamu dan
ruang-ruang lainnya di sebuah rumah berakar dari pe­ma­ha­man
30 31
x Ruangmu Belum Tentu... Ardyan M. Erlangga x

akan ruang dan lantas menjadi benih munculnya kebudayaan. ru­mah susun di Pejompongan (Jakarta), atau bahkan di ru­mah-
Tak bijak rasanya bila kita kini tetap meremehkan atau bahkan ru­mah yang berderet sepanjang pinggir rel kereta api Jatinegara
meng­abaikan konsepsi ruang. (Jakarta). Padahal, contoh-contoh perumahan tersebut ber­ada
di kota, dan bisa saja penghuni merupakan etnis Jawa pula. Tak
heran bila dalam penjelasannya Ronald memberi tajuk se­ba­gai
Persinggungan "Tradisional" dan "Kota" “rumah tradisional Jawa”, bukan “rumah” saja. Namun, bu­kan­
Kebudayaan Jawa mengenal kaidah keruangannya sendiri. Me­
kah telah dijelaskan oleh Giddens bahwa setiap budaya memi­
nurut Arya Ronald dalam Nilai-nilai Arsitektur Rumah Tradisional
liki alokasi maknanya sendiri terhadap ruang?
Jawa, rumah dalam budaya Jawa di­ba­ngun meng­ikuti prinsip
Vastu Shastra, prinsip yang berakar ­pa­da penge­tahuan zaman Rupanya ada faktor yang perlu juga kita perhitungkan dalam
Hindu kuno yang dahulu ­di­te­rap­kan ­da­lam perancangan candi- me­ni­lai kondisi tersebut. Dan dari sana kita akan ­bersing­gung­an
candi Hindu. Pengetahuan ini ber­guna untuk menyelaraskan de­ngan tipologi khas ruang kota yang menyulap hunian ­men­jadi
bentuk dan tata letak su­atu ­ba­ngunan dengan lima unsur alam: mak­na yang sama se­ka­li lain dari wilayah spasial lainnya.
prithivi (tanah), agni (api), tej (cahaya), vayu (angin), dan akash
(angkasa). Selu­ruh­nya ­se­ngaja dipelajari agar relasi antara manusia Menegosiasikan (Nyaris) Semuanya
dan material ­di seki­tar­nya da­pat ber­jalan seim­bang. Kini kita dapat memahami ruang sebagai sebuah wa­ca­na yang
Susunan ruang dalam rumah Jawa mengenal pem­ba­gian ber­ meliputi hampir seluruh aspek kehidupan, tak peduli di ma­na
da­sar­kan situasi kuadran, yaitu kuadran depan kanan, de­pan pun kita berada. Sebab sebagaimana halnya waktu, ruang ada­lah
kiri, belakang kanan, serta belakang kiri. Ruang yang ber­ada di faktor fundamental yang melatari alam semesta. Un­tuk be­be­rapa
kuadran depan kanan berkualifikasi sebagai ru­ang umum (public hal, ruang kota memiliki sifat yang tak jauh be­da de­ngan ruang-
space), depan kiri untuk ruang setengah umum (semi-public ruang lain sehingga tak salah bila kita da­pat mem­pertimbangkan
space), belakang kanan untuk ruang setengah pri­vat (se­mi­­-pri­ potensi keruangannya ketika meng­kaji kota.
va­te space), sedangkan kuadran belakang kiri untuk ru­ang privat Hari-hari ini kita sudah terbiasa mendengar disiplin ilmu
(private space). pe­ren­ca­na­an kota. Na­mun tahukah Anda bahwa pers­pek­tif
Dari sistem ini terlihat bahwa bagian kanan dari sisi pemi­lik baru un­tuk mempertimbangkan perencanaan kota tanpa me­na­
ru­mah menjadi bagian yang lebih utama daripada se­be­lah ­ki­ri fi­kan ana­lisis terhadap potensi keruangannya baru benar-benar
se­hingga bagian kanan disediakan untuk orang luar (public) mun­cul pada awal abad ke-20? Pencetus tradisi intelektual yang
sementara bagian kiri untuk diri sendiri (private). Konsep itu me­ne­kankan pada ruang dan segala turunan wacananya adalah
menegaskan fakta bahwa setiap budaya mendesain ­ru­mah de­ pa­ra pemikir sosiologi asal Amerika Serikat yang dikenal de­
ngan caranya masing-masing, tergantung pada alokasi mak­na ngan sebutan Mazhab Chicago. Dengan ciri khas pendekatan
atau bentuk-bentuk tindakan yang dianggap tepat. gekologi manusia, kelompok ini memberi pengaruh besar pada
Jika saya tilik kembali penjelasan Ronald kebetulan saya te­ ham­pir semua ahli perencanaan kota, termasuk di Indonesia.
mui pula di ru­mah yang saya singgahi kala hujan. Ruang ta­mu­ Diawali oleh artikel klasik Ernest Burgess—sering juga di­
nya terletak di sebelah kanan sisi rumah, sementara satu-satu­ se­but bapak pendiri Mazhab Chicago—pada tahun 1925, di­
nya pintu un­tuk menuju kamar terletak di sebelah kiri. Ru­ang­an ru­mus­kan bahwa sebuah kota baru bisa berkembang se­ca­ra
ter­se­but juga betul-betul berfungsi untuk khalayak, termasuk ideal jika ditata ber­da­sar­kan peman­fa­at­an ruangnya. Me­nu­rut
sa­ya yang ter­hitung bukan penghuninya. Dan yang tak kalah Burgess, sebuah kota yang ideal harus terwujud dalam ben­tuk
me­na­rik, fe­nomena yang sama tidak mudah saya temukan di ling­karan konsentris, di mana sentra bisnis menjadi jan­tung
ka­wa­san yang lebih padat penduduk. uta­ma yang meng­gerak­kan kota dan kemudian dikelilingi oleh
Mencari rumah yang masih menerapkan kaidah Vasthu zo­na transisi yang se­ma­kin melebar dari pusat. Pada wi­la­yah
Sastra sebagaimana digambarkan Ronald memang sulit di­te­ tran­sisi itulah pemu­ki­man penduduk berdiri. Diktum Burgess
mu­kan di pemukiman daerah Klitren (Yogyakarta), di se­bu­ah tam­pak­nya tak hanya menemui kecocokan pada kota-kota
32 33
x Ruangmu Belum Tentu... Ardyan M. Erlangga x

Amerika Utara atau Eropa. Pada sejumlah kota yang me­wa­ bagi studi humaniora maupun sains, sehingga mam­pu mem­per­
risi pe­nga­ruh kolonialisme seperti Jakarta (atau lebih tepatnya kaya cara pan­dang kita ketika membahas per­soalan kota.
Batavia), pola pengembangannya masih sejalan dengan apa yang Terobosan lebih lanjut datang dari Henry Lefebvre lewat
diandaikan Burgess. buku The Production of Space. Pemikir Marxis itu menilai bah­
Hal itu dapat kita simak dari pemaparan Bedjo Riyanto wa ruang bukanlah sebuah wadah kosong yang tak berarti dan
yang menyoroti perkembangan kota-kota Indonesia pada diisi oleh aktivitas manusia, melainkan hasil pro­duk­si dan re­
pe­riode 1870-an. Dalam Iklan Surat Kabar dan Perubahan pro­duksi relasi sosial itu sendiri. Ia membagi ruang ke dalam
Masyarakat di Jawa Masa Kolonial, kota-kota besar Hindia ti­ga ka­te­go­ri.
Belanda semisal Surabaya, Semarang, ataupun Batavia mulai Yang pertama adalah espace perçu (ruang yang dira­sa­kan).
berkembang menjadi kota modern dengan keberadaan in­ Da­lam ka­te­gori ini, ru­ang hadir sebagai fe­no­me­na ma­te­rial, se­
dustri manufaktur serta kehadiran mesin-mesin bertenaga uap. per­ti ke­ha­dir­an ge­dung tinggi, pagar besi, maupun jalan ­ra­ya
Seiring proses industrialisasi, masyarakat Eropa kian ba­nyak dengan bahan dasar aspal hotmix. Kategori kedua ­ada­lah espace
mengalir masuk dan lantas menghendaki penataan ulang ko­ta conçu (ruang yang diandaikan), atau se­der­ha­na­nya ruang
agar serupa dengan kota-kota di negeri asal mereka, ter­ma­suk dengan makna yang hendak direpresentasikan oleh sang pe­
pola pemukiman beserta fasilitasnya. ran­cang (arsitek, ahli tata kota, maupun pemerintah), se­mi­sal
Tapi ada satu hal yang membuat analisis Burgess berbeda, mo­nu­men, tugu, ataupun taman kota. Ruang dalam kon­teks
yak­ni tak sekadar membahas kota berdasarkan karakter geo­ ini sa­rat pesan, serta ingin menabalkan makna melebihi fung­
gra­fis semata. Menurutnya, perbedaaan fundamental kota dari sinya se­ba­gai se­bu­ah realitas material. Kategori ketiga, Lefebvre
sis­tem keruangan lain adalah kompetisi tanpa akhir untuk menyebut ruang sebagai espace vécu (ruang yang dialami).
­me­ngu­asai ruang (dalam hal ini biasanya dipersempit pada soal Pada konteks ini, sebuah ruang ­di­be­ri mak­na tidak hanya oleh
ta­nah). Setiap etnis kemudian terpaksa membangun ruang-­ru­ sang kreator tapi juga oleh manusia ko­­ta kebanyakan yang
ang khasnya sendiri, sebab konsolidasi dibutuhkan agar me­re­ menghidupinya. Persepsi masyarakat ko­ta terhadap keberadaan
ka dapat bertahan dari persaingan tak kunjung usai guna mem­ ruang dan respons mereka dalam me­nyi­ka­pinya masuk dalam
peroleh lahan di kawasan perkotaan. Perebutan itulah yang kerangka berpikir yang satu ini.
menjadi penanda pola persebaran serta pengorganisasian ru­ang Memanfaatkan pemikiran Lefebvre, kalangan posmodernis
sebuah kota. me­le­bar­kan pengamatan mereka pada sifat ruang kota yang
Meski demikian, pemikiran Burgess bukannya tak sepi da­ri kapi­ta­lis­tik dan kental intervensi politik, ter­uta­ma de­ngan
kritik. Banyak kalangan menilai pemikirannya terlalu re­duk­ me­minjam pemahaman Lefebvre mengenai sifat ruang yang
sio­nis, terutama bila dikaitkan dengan kondisi keruangan di dialami. Mengutip Tajbakhsh (2001), cara pandang posmo­
ko­ta-kota di luar Amerika Serikat. Salah seorang pengkritik der­nisme itu melihat ruang kota sebagai kerumunan ruang
Burgess adalah Ulf Hannerz di bukunya, Exploring the City: yang padat makna dan juga saling melindas satu sama lain
Inquiries Toward an Urban Anthropology. Ruang per­ko­taan (overlapping).
sebetulnya tidak melulu sama dengan komoditas. Se­la­in itu, Kota agaknya direpresentasikan menurut citra yang hendak
pola persebaran etnis tak selalu bernuansa rasional-eko­no­mis di­ba­ngun oleh pihak yang berkepentingan dengan kota ­ter­se­but,
seperti yang Burgess bayangkan. da­lam hal ini tentunya pemerintah dan pemilik modal. Contoh
Mazhab Chicago pun kemudian sering dipahami se­bagai ka­sat mata dari pemikiran tersebut adalah keberadaan taman hi­
corak pemikiran berdimensi tunggal yang terlalu meng­ge­ne­ra­ bu­ran seperti Disneyland di beberapa kota besar dunia. Da­lam
li­sa­si kon­di­si ma­sya­rakat per­ko­taan, dengan me­lu­lu mem­ba­has ka­sus Indonesia, Monumen Nasional, Taman Mini Indonesia
ruang kota sebagai sebuah entitas yang sifatnya fisik dan arti­fi­ Indah, atau Bandara Internasional Soekarno-Hatta co­ba di­ba­
sial. Akan tetapi, bagaimana pun juga kita harus meng­a­kui jus­tru ngun menjadi penanda yang melengkapi mozaik citra se­bu­ah
ber­kat Burgess-lah persoalan ruang akhirnya dipan­dang kru­sial kota bernama Jakarta.

34 35
x Ruangmu Belum Tentu... Ardyan M. Erlangga x

Dari penjabaran di atas, kita setidaknya mampu menilai kan menjadi sentra perniagaan. Tak keliru bila dikatakan bahwa
me­ngapa pengaruh etnisitas dan tradisi budaya masing-masing ru­ang kota merupakan jenis ruang yang menerapkan nilai-nilai
se­a­kan tidak berarti apa-apa ketika sudah menjejakkan kaki di de­ngan dampak bernegosiasinya hampir seluruh kepercayaan
wila­yah kota. Sebab, sebelum manusia bisa me­nge­depan­kan asli seseorang. Kota terbukti memiliki nalarnya sendiri. Jika de­
apa yang dipercayai, mereka sudah harus ber­ha­dap­an dengan mi­kian, apakah dampak praktis pelaksanaan politik ruang ter­
jenis ruang yang menyesap mereka pada se­kum­pul­an tan­da se­but bagi masyarakat kota sehari-hari?
yang harus dipatuhi.
Observasi mengenai persebaran etnis Cina di Jakarta, ­se­per­ti Menghadapi Politik Ruang Kota
ter­gam­bar dalam artikel Harald Leish "Perception and Use of Anthony Giddens memperkenalkan konsep wilayah ­de­pan
Space by Ethnic Chinese in Jakarta" (2002), menunjukkan ­con­toh dan wilayah belakang. Ruang depan bisa kita analogi­kan se­
kasus masyarakat etnis Cina yang hendak melakoni pola migrasi ru­pa panggung di mana pertunjukan ditampilkan di hadapan
Huashang—bermigrasi untuk kemudian berdagang di titik-titik pu­blik. Bisa dikatakan pula bahwa ruang depan hanya akan
per­te­mu­an transaksi ekonomi yang muncul di kota pelabuhan— me­nam­pung aktivitas formal dan yang bisa diterima secara
be­lum tentu dapat memiliki ruang tinggal (baca: rumah) yang sosial-aktivitas (perbedaan fundamental dalam aktivitas sosial)
se­su­ai kehendaknya. Muncul peraturan legal-formal—yang un­tuk mengilustrasikan perbedaan spasial.
ber­arti diakomodir oleh pemerintah—agar mereka me­nem­pati
ka­wa­san tertentu, alih-alih memperjuangkannya sen­diri seba­ Sementara itu, wilayah belakang adalah ruang yang tak ter­
gai­mana dibayangkan oleh Burgess. Mereka bisa saja ber­da­gang li­hat, lebih berfungsi untuk bersantai. Di sana, perilaku dan
di Glodok, tapi rumah tinggal mereka belum tentu ber­pu­sat di pem­bicaraan yang kurang formal dimungkinkan untuk hadir.
sa­na pula. Me­nu­rut Giddens, pembedaan antara wilayah depan dan bela­
kang—sebagaimana diilustrasikan di awal tulisan me­nge­nai
Itulah sebabnya, boro-boro membangun rumah yang se­suai kon­vensi sosial atas cara memperlakukan ruang tamu, ruang
de­ngan kaidah-kaidah kepercayaan mereka, belum apa-apa ma­kan, dan kamar tidur—semuanya bersifat kultural.
me­re­ka ha­rus disibukkan untuk menegaskan eksistensi ter­le­bih
da­hulu yang terlihat jelas dalam hal kepemilikan tanah (yang Kesenjangan alokasi kebijakan penguasa dapat kita ma­suk­
pa­da zaman sekarang ditandai dengan surat sakti ber­na­ma kan sebagai penyebab awal hadirnya kesenjangan antara '"ruang
IMB (Izin Men­dirikan Bangunan). Keberadaan faktor-faktor ko­ta depan" dan "ruang kota belakang". Salah satu ­fak­ta­nya ada­
eks­ter­nal itu­lah yang sejak masa pemerintahan kolonial Hindia lah kon­di­si ironis yang bisa kita saksikan pada lanskap per­kam­
Belanda hing­ga rezim Orde Baru membuat mereka tidak bisa pungan kumuh di balik ruko-ruko mewah di ka­wa­san Jalan
se­enak­nya mem­ba­ngun rumah. Antasari, Cipete, Jakarta. Beberapa waktu lalu juga sem­pat mun­
cul usulan untuk membangun ulang Bandara Soekarno-Hatta
Fenomena tersebut dialami oleh semua warga kota, tak ­ha­nya menjadi konsep terintegrasi Aeropolis, sebuah wilayah ting­gal
terbatas pada etnis Cina. Di kota, hunian tidak bisa ha­dir se­cara temporal bagi penumpang pesawat yang menanti ke­ber­ang­
tulus, yakni sebagai tempat berteduh yang me­mun­cul­kan ci­ta katan. Apa yang salah kemudian?
rasa romantis. Konflik tiada akhir akan selalu menge­muka dan
itulah yang membuat kota senantiasa bersifat dinamis—wa­lau­ Yang bermasalah bagi saya adalah nalar perkotaan (termasuk
pun beberapa pihak beranggapan kota bisa dibikin jadi ideal, yang kita alami di Indonesia) sekarang coba diseragamkan un­
utopia yang rasanya jauh dari mungkin. tuk mengakomodir nalar '"ruang tamu". Istilah itu tentu saya
cip­takan sendiri, namun pada dasarnya saya me­man­fa­at­kan isti­
Karenanya, muncullah sebuah faktor utama yang ­meng­gejala lah tersebut untuk menggambarkan fenomena sistem per­eko­no­
da­lam karakteristik ruang kota, yaitu penerapan po­li­tik ­ru­ang mian terintegrasi (lebih akrab disebut globalisasi), yang me­nu­rut
yang coba dihadirkan oleh mereka yang memiliki kuasa. Ki­ta Michael Sorkin “...(menciptakan) kota baru yang meng­gan­tikan
bisa mengamati sendiri bagaimana suatu kawasan tidak bo­leh anomali dan kelokalan, lantas meng­gan­tinya dengan sebuah
dijadikan hunian, sementara ada beberapa ruang yang di­wa­jib­ kekhasan universal, sebuah penerapan paham kota generik.”
36 37
x Ruangmu Belum Tentu... Ardyan M. Erlangga x

Masih merujuk Sorkin, jenis kota masa kini memiliki karakter Lefebvre. Mereka menemukan adanya ketidaksamaan per­sepsi
se­ra­gam, yaitu “peningkatan manipulasi dan pengawasan...ser­ ruang antara penduduk Margonda Depok de­ngan pe­me­rintah
ta pe­mun­cul­an pola segregasi sosial baru.” Orientasi penataan kotanya. Pangkal per­soal­an yang mereka teliti adalah ke­butuh­an
ruang kota pun dititikberatkan pada simulasi, infrastruktur te­ akan ruang pu­blik untuk kegiatan ber­jalan kaki, yang me­­me­nu­hi
le­visi, dan pewujudan kota sebagai taman rekreasi (theme park). eks­pek­tasi se­suai dengan repre­sen­tasi persepsi ma­sya­rakat.
Sir­kuit kapital masa kini kemudian digenjot untuk kepen­tingan Masalahnya, Pemerintah Kota Depok menempatkan pem­
men­jamu "tamu", tidak hanya terbatas pada wisata­wan, na­mun ba­ngunan ruang untuk pejalan kaki pada prioritas yang ren­dah,
ju­ga setiap orang yang bertandang. ser­ta tidak memiliki persepsi yang dibangun berdasarkan su­atu
Penekanan pembangunan dan penanganan ruang tidak ber­ kon­sep perencanaan yang jelas. Hal ini terlihat dari per­alih­an
orien­tasi untuk kepentingan penghuninya, tapi lebih condong fung­si tro­to­ar menjadi lahan usaha dan parkir. Kondisi tersebut
pa­da kepentingan estetika dan kebutuhan mereka yang sa­ma ra­sa­nya jamak terjadi di hampir seluruh kota Indonesia.
sekali tak kita kenal. Bagi saya, kota yang memusatkan per­ha­ Berangkat dari kondisi itu, wajar bila kita harus merumuskan
ti­an berlebih pada penataan "ruang tamu", yang artifisial, tapi su­dut pandang baru dalam memahami ruang, khususnya
ke­mu­dian meminggirkan "ruang tidur" penghuninya, adalah ­ru­ang kota. Mengapa ruang kota diutamakan? Sebab tak bisa
kota yang sama sekali tidak manusiawi. di­pungkiri bahwa ruang kota merupakan ruang-ruang terberi
Jakarta mulai menampakkan fenomena seperti itu. Mes­ki­ yang biasanya diterima manusia dengan ikhlas. Bagi saya, me­
pun luas tanah di sana terus berkurang, bukan berarti pem­ ma­hami ruang kota merupakan upaya yang perlu, sebuah sikap
bangunan kawasan hunian ikut menurun. Buktinya, di sejum­ un­tuk membangun kesadaran partisipatif warga kota.
lah sudut kota ada saja proyek pembangunan kawasan hunian Mempercayakan sepenuhnya usaha untuk memahami ru­
ba­ru. Seperti dilansir oleh Studi Properti Indonesia pada tahun ang kota hanya pada "ahlinya" (seperti kampanye gubernur
2010, ter­jadi peningkatan pembangunan rumah berharga mi­ DKI tempo hari), rasanya kini tak bijak lagi. Sebab kita melulu
liar­an le­bih yang umumnya ditawarkan di Kelapa Gading, akan mengeluh ketika menghadapi jalanan yang macet, pe­ru­
Pon­dok Indah, Pantai Indah Kapuk, Sunter, Puri Indah, Pluit, mah­an yang banjir, atau sampah yang menggunung. Faktanya,
dan Ancol. Ka­rena itu, perumahan-perumahan seperti Kelapa se­tiap aktor dalam politik ruang kota, pemerintah, pemilik ta­
Gading dan Pondok Indah yang semula hanya me­ma­sar­kan nah, perencana ruang, masyarakat akar rumput, hingga co­pet
har­ga Rp700 jutaan pada 1990-an sekarang mulai menjual ru­ dan maling memiliki persepsinya masing-masing dalam me­
mah di atas Rp3 miliaran. man­dang kota. Tawaran Freek Colombijn dan Aygen Erdentug
Pemerintah DKI Jakarta hingga saat ini pun tampak men­ ba­rang­ka­li perlu kita pertimbangkan.
du­kung pembangunan masif perumahan maupun apartemen Menurut mereka, “Ada berlapis-lapis makna yang saling
di berbagai sudut kota. Dalam Cities and Visitors: Regulating ber­ke­lin­dan­ mengenai ruang, khususnya ruang kota. Tapi fak­
People, Markets, and City Spaces, Dennis Judd menilai bah­wa ta­nya jelas, hanya ruang fisik yang tetap satu adanya. Ka­rena
kebijakan perencanaan ruang semacam itu disebabkan oleh itu, keseimbangan kuasa antara tiap-tiap aktor akan sangat me­
per­edar­an sirkuit kapital yang bertujuan untuk menopengi nen­tukan bagaimana sebuah ruang diproduksi secara sosial.”
ruang lokal. Hal itu terlihat dalam bentuk perumahan cluster Atas dasar itulah buku ini disusun, yakni untuk me­na­jam­kan
ber­por­tal dan bersatpam yang disebut hunian ideal masa kini, sen­si­bilitas kita pada sifat-sifat khas ruang kota kon­tem­porer
hing­ga mal yang kini disebut ruang publik baru. yang berpijak pada pengamatan langsung.
Nalar timpang tersebut juga terekam pada hasil penelitian Pastinya, memandang kota dari sudut pandang keruangan
ga­bungan Universitas Indonesia yang bertajuk Persepsi Pe­me­ akan terasa parsial dan tidak menyentuh keseluruhan akar ma­
rin­tah Kota dan Masyarakat Pengguna tentang Ruang Publik sa­lah yang mungkin kita rasakan sebagai warga sebuah kota.
Pe­jalan Kaki di Depok (Indonesia) dan Kitakyushu (Jepang): Akan tetapi, cukup banyak pula kasus yang menunjukkan ba­
Se­buah Analisis Ruang Kota dengan Konsep Spatial Triad dari gaimana sikap abai pada ruang dapat menyebabkan ka­cau­nya
38 39
x Ruangmu Belum Tentu... Ardyan M. Erlangga x

pembangunan. Sebagai contoh, kebanyakan mal di Jabodetabek Regulating­People, Markets, and City Spaces. London: Blackwell.
tidak memikirkan akses kendaraan umum. Atau ka­lau di James, W. (2005). The Ceremonial Animal: A New Portrait of Anthropology.
Yogyakarta, sebuah kampus yang mengaku "kampus ke­rak­yat­ Oxford: Oxford University Press.
an" malah membangun jalan di samping masjid kampus tanpa Lefebvre, Henry. “La Production de l’espace”. a.b. Donald Nicholson-Smith.
me­nyediakan trotoar. (1991). The Production of Space. Massachusetts: Blackwell.
Dua ilustrasi tersebut timpang karena meminggirkan ke­bu­ Nataliwati, S. dkk. (2009). Persepsi Pemerintah Kota dan Masyarakat Pengguna­
tuh­an manusia untuk berjalan. Atau dengan kata lain, hanya tentangRuang Publik Pejalan Kaki di Depok (Indonesia) dan
yang mengendarai kendaraan bermotor saja yang nyaman me­ Kitakyushu­ (Jepang): Sebuah Analisis Ruang Kota dengan Konsep
la­kukan mobilitas di dalamnya. Spatial Triad dari Lefebvre. Jakarta: Universitas Indonesia.

Kumpulan tulisan ini memang dilandasi kadar subyektivitas, Riyanto, B. (2000). Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa
ter­utama pada unsur pemilihan angle. Namun pembahasannya Masa Kolonial (1870-1915). Yogyakarta: Tarawang.
te­tap berakar pada dasar pemikiran yang telah dinukil se­be­lum­ Ronald, A. (2005). Nilai-nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta:
nya. Penga­mat­an ini digerakkan oleh keingintahuan empiris pa­ Gadjah Mada University Press.
da fe­no­me­na-fenomena kota sesuai dengan yang dirasakan oleh Simmel, G. “Bridge and Door”. dalam Frisby, D. dan Featherstone, M. (1997).
tiap-tiap penulis. Mengamati "ruang yang dialami" adalah misi Simmel on Culture. London: Sage.
uta­ma bu­ku ini, yang dihadirkan dalam bentuk pengamatan _________. “The Sociology of Space”. dalam Frisby, D. dan Featherstone, M.
ter­hadap mal, penamaan jalan, cara baru masyarakat kota me­ (1997). Simmel on Culture. London: Sage.
lakukan aktivitas rekreasi, aspek pemaknaan lintas sudut pan­ Sorkin, M. (ed.). (1992). Variations on a Theme Park. New York: Hill and
dang penghuni kota, serta lain sebagainya. Wang.
Jika Lefebvre pernah berseru bahwa untuk mengubah ­ko­ta, Tajbakhsh, K. (2001). The Promise of the City: Space, Identity, and Politics in
kita harus mengubah ruang, rasa-rasanya membiasakan ­di­ri Contemporary Social Thought. Berkeley: University of California
meninjau kembali kondisi ruang kota dalam tataran per­mu­ Press.
kaan perlu dilakukan terlebih dulu agar kesadaran akan pen­ Zieleniec, A. (2007). Space and Social Theory. London: Sage.
tingnya ruang dapat terbentuk. Semoga pengantar yang ha­nya
menyediakan sejumput pembacaan serta keseluruhan bu­nga
rampai ini dapat memberi secercah panduan untuk mem­bangun
kesadaran serupa. Sehingga kita dapat berharap agar wajah kota
menjadi lebih manusiawi melalui partisipasi war­ganya.3

Daftar Pustaka
Alexander, H (ed.). (1956). The Correspondence with Clarke. Manchester:
Manchester University Press.
Erdentug, A. dan Colombijn, F. (Ed.). (2002). Urban Ethnic Encounters: The
Spatial Consequences. London: Routledge.
Gidden, A. (1984). The Constitution of Society: Outline of the Theory of
Structuration.­Oxford: Basil-Blackwell.
_________. 1990. The Consequences of Modernity. Oxford: Basil-Blackwell.
Hannerz, Ulf. (1980). Exploring the City: Inquiries Toward an Urban
Anthropology.­New York: Columbia University Press.
Hoffman, L., Fainstein, S dan Judd, D. (ed.). (2003). City and Visitors:

40 41
x Berebut Ruang: Ikhtisar... Khairul Anam x

Berebut Ruang:
Khairul Anam Ikhtisar Kota
(Indonesia)

Kota adalah ketegangan dalam kepanjangan, dan ketegangan dalam


ketinggian.Tak ada apa-apa lagi...
-van Doesburg-

Meruang dalam Upacara


Gadjah Mada mu­lai me­nye­ru ke­pa­da segenap menteri dan
pung­ga­wa ke­ra­ja­an. A­tas ti­tah raja, segenap perangkat is­ta­na ha­
rap­me­nyi­ap­kan se­ga­la uba rampe pes­ta. Istana akan menghelat
ha­jat­an me­gah. Wak­tu­nya te­lah ditetapkan pada bulan Badra
ta­hun Saka 1284/ Masehi 1362. Be­gi­tu kira-­kira anjuran Ratu
Tribuwanatunggadewi ke­pa­da Pra­bu Hayam Wuruk, sebagai
pen­da­hu­lu­an ri­tu­al pe­min­da­han abu jenazah Rajapatni, nenek
sang raja.
Pes­ta (ri­tu­al) Srada bo­leh di­ang­gap sebagai momen perdana
per­jum­pa­an pu­blik di sa­tu ti­tik, yang disebut dengan kota.
42 43
x Berebut Ruang: Ikhtisar... Khairul Anam x

S­ e­ti­dak­nya ji­ka meng­a­cu pa­da bukti-bukti yang dapat ditelusuri Mpu Prapanca, memberi porsi 5 pupuh un­tuk se­ka­dar me­ngu­rai
dan­bu­kan me­lu­lu mi­to­lo­gi. Nagarakretagama, pujasastra—ca­ desk­rip­si is­ta­na (kota) Majapahit­da­lam pujasastranya. Me­mu­la­
ta­tan­puja-­puji ba­gi Hayam Wuruk dan perjalanannya ke pe­da­ i­nya di pu­puh 8 dan meng­ak­hir­i­nya di pupuh 12.
lam­an­Majapahit—ka­rang­an Mpu Prapanca itu memaparkannya­ Me­nga­nut pa­da te­o­ri vorstendomein cip­ta­an Rouffer yang di­
se­ba­nyak 5 pu­puh, di pu­puh 63-67.1 Hajatan selama tujuh siang nu­kil o­leh Suhartono, se­ja­ra­wan yang menaruh minat istimewa­
tu­juh ma­lam i­tu me­mang di­he­lat di sekeliling tembok ting­gi­ pa­da stu­di se­ja­rah so­si­al i­tu, le­wat kar­ya­nya, A­pa­na­ge dan Be­
ber­ba­han batu-­bata me­rah sebagai tapal batas pusat Kerajaan­ kel: Per­ubah­an So­si­al di Pe­de­sa­an Su­ra­kar­ta 1830-1920, bah­wa
Majapahit, a­tau i­bu­ko­ta­nya. Pada gilirannya, tiap-tiap pe­ne­ri­ se­ti­ap jengkal tanah yang ber­ada da­lam ra­di­us ku­a­sa raja a­da­
ma­ti­tah me­nyi­ap­kan se­sem­bah­an ta­di, dipersilakan untuk me­ lah mu­tlak milik raja, dan peng­gu­na­an­nya­ a­tas pe­tun­juk raja.
nyem­bul­kan­ su­guh­an me­re­ka. Slamet Muljana, profesor yang Lahan, a­pa­kah i­tu yang di da­lam a­tau luar benteng, mutlak
me­naf­sir­kan Nagarakretagama bi­lang, “Setiap hari disajikan milik raja. Ba­gi siapa-­siapa yang hen­dak men­du­duk­i diharap
ma­kan­an­yang sedap-­sedap,” (Muljana, 2005: 264). untuk sudi men­da­pat per­ke­nan dari sang raja.
Tan­pa a­da­nya pes­ta ta­di, mus­ta­hil orang dari segala pelosok­ Ma­kin men­de­kat­i ling­kar is­ta­na, rasa kuasa raja tambah ­ku­at.­
ne­ge­ri mam­pu men­ci­cip a­ro­ma kota. Kota, di era kerajaan- I­den­ti­tas ko­ta (ku­a­sa) tra­di­si­o­nal tersebut tidak banyak­ ber­u­
­kerajaan­ tra­di­si­o­nal a­da­lah pu­sat pemerintahan. Tempat ber­ bah­sam­pai Ki Ageng Pe­ma­nah­an membabat Alas Mentaok­dan
mu­kim­ sang ra­ja ser­ta se­pe­rang­kat rumah tangga yang me­ me­le­gi­ti­ma­si di­ri­nya se­ba­gai penguasa kerajaan baru, Mataram­
ngu­rus­i­ ke­ra­ja­an. Un­tuk wi­la­yah di luar khutanegara, cukup (yang Islam). Po­la ruang kota masa kerajaan Jawa di­pa­ha­m­i se­
ber­be­sar ha­ti di­se­but se­ba­gai manchanegara. Toh beberapa ka­ ba­gai ja­lin hu­bung­an antara lapis terjauh sam­pai ­ter­de­kat,­me­
wa­san­yang manchanegara justru melebihi keramaian dan ten­ wa­kil­kan nilai-­nilai pa­ling sa­kral hingga pro­fan, ­ru­ang yang
tu­nya­ ke­ra­gam­an yang di­pu­nya­i oleh khutanegara, Tuban dan sedikit-­dikit mam­pu di­ja­mah o­leh kawula hing­ga semutlak-
Gresik mi­sal­nya, yang men­ja­di kota dagang bagi Majapahit. ­mu­tlak­nya be­ra­da da­lam kuasa raja. Po­la i­tu le­bih­ da­lam me­
Ko­ta Majapahit a­mat ter­kon­sep dengan fungsional masing- nga­tur pe­ri­la­ku, sis­tem pertanahan, perpajakan dan lain-­lain.
­masing ko­mu­ni­tas pe­mu­kim. Makin mendekati istana Raja Sri Ra­sa ru­ang ko­ta se­ma­cam i­ni me­wa­kil­kan satu masa saat
Nata Rajasanegara (gelar Hayam Wuruk), dapat dipastikan hu­ a­da so­sok a­tau ke­lom­pok yang di­ang­gap dan menganggap diri
bung­an ke­ke­ra­bat­an­nya ki­an e­rat. Adalah saudara-saudara raja men­ja­di yang 'pa­ling' ter­ha­dap yang la­in­nya. Yang 'paling' i­tu
yang me­nem­pat­i wi­la­yah i­tu, dan ten­tu­nya berada di dalam ben­ a­da­lah raja/sultan/susuhan di wi­la­yah ku­a­sa­nya. Ia, sekali la­
teng.­ Pa­ra men­te­ri, ju­ga me­ne­ma­ni istana raja lewat beberapa gi,­ me­ngang­gap dan di­ang­gap se­ba­gai ejawantah dari Tuhan
ba­ngu­nan yang men­ja­di pe­mu­ki­man­nya. Menteri-menteri ini (Dewa). I­tu­lah yang ter­ja­di pa­da Ken Arok, yang kata mitologi
bu­kan men­te­ri sem­ba­rang­an. Me­re­ka­lah yang mengetuai para Pararaton se­ba­gai bu­ah kar­ya Brahma. Walaupun nilai-nilai
peng­ha­dap yang hen­dak ber­a­tur sembah kepada raja. Mereka Islam su­dah me­nyu­sup ke­mu­di­an, tetap saja rasa raja sebagai
se­ha­ri­an­nya ber­tin­dak sebagai sesepuh penangkil. yang pu­nya hu­bung­an in­tim de­ngan Tuhan masih dielu-elu. Hal
Me­lin­ta­si ben­teng tem­bok ba­ta, barulah dapat dijumpai i­ni di­sa­ji­kan pada gelar-­gelar Raja Mataram dan keturunannya,­
golongan-­golongan pe­mu­kim la­in yang bukan kerabat dekat raja­ Sayidin Panatagama (penata agama).
dan pa­ra se­se­p­uh pe­nang­kil. Tem­pat mereka, walaupun di­ lu­ar­ Forbidden (yang terlarang) ba­gi bu­kan hak. Keadaan kota
ben­teng, te­tap a­mat de­kat, kalau tidak mau dibilang­ber­himpitan­ raja-­raja tra­di­si­o­nal itu mirip-­mirip a­tau bahkan di banyak­si­si­
de­ngan tem­bok. Mahapatih, patih, menteri, pung­gawa,­ prajurit­, men­da­pat­i ke­sa­ma­an­nya, tat­ka­la Kim Dovey melihat ke­ber­a­da­
pendeta Sivha dan Budha menyebar rata di­pen­ju­ru ma­ta a­ngin. an­forbidden space (ru­ang ter­la­rang) di Beijing (yang 'juga' ter­
lin­dung­i­o­leh tem­bok ben­teng), pusat kekaisaran Cina se­be­lum­
1
Ten­tang pergunjingan apakah Prapanca itu nama asli atau samaran, saya memilih
untuk­ un­dur di­ri sa­ja. Yang su­dah te­rang, Prapanca bu­kan termasuk dari pujangga­ istana
re­vo­lu­si 1948. Ka­ta­nya, Beijing merupakan satu ruang yang pa­
yang di­gaji­oleh rumah­tangga kerajaan. Prapanca hanya pujangga biasa penghasil karya lu­ ling ter­tu­tup dan sa­tu ba­gi­an dari pusat kekuasaan di se­ja­rah
ar­bi­asa. Pemicu Prapanca menyusun Nagarakratagama, yang sampai­kini diamini oleh para­
ahli filologi atau sejarawan, adalah kecintaannya terhadap prabu Hayam Wuruk.
Ko­ta Cina, (Dovey, 1999: 71). Jika Cina punya Tiananmen­ se­

44 45
x Berebut Ruang: Ikhtisar... Khairul Anam x

ba­gai pin­tu ger­bang ba­gi rak­yat­nya un­tuk sedikit-sedikit me­lo­ Jakarta se­ka­rang, yang me­nyi­sa­kan kota tua dan beberapa­si­
ngok­ke da­lam pu­sat ku­a­sa, Yogyakarta dan Solo ada alun-alun tus­la­in di bi­bir tan­jung Ancol, se­ba­gai mula-mula kota kolonial­
yang men­ja­di pe­la­yan kawula di beberapa kesempatan. di­Hindia, me­mang je­rih payah Coen. Tidak ada siapa yang da­
Alun-­alun, Utara me­nyim­bol­kan pe­so­na halaman depan­dan­ pat­ me­nge­lak da­ri ke­pi­a­wa­i­an Jan Pieterszoon Coen, Gubernur
Selatan men­ja­di pe­ka­rang­an belakang istana. Para kawula2,­ un­ Jenderal VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie; Per­se­ku­tu­an
tuk da­pat men­je­jak­kan ka­ki di lapangan berpasir i­tu, pa­tut­lah Dagang Hindia Timur).
men­da­pat res­tu da­ri raja. Minimal, ada hajatan yang se­dang di­ Mar­kas VOC di Banten du­lu, ia ge­ser kantor dagangnya
he­lat. Setonan, sekaten, dan rampogan adalah ke­ti­ga con­toh ri­tu­ se­di­kit ke Timur. Ti­tik per­jum­pa­an su­ngai dan laut, muara
al yang me­li­bat­­kan mas­sal. Maka semua daya da­pat di­ke­rah­kan. Su­ngai Ciliwung. Di mu­a­ra Su­ngai Ciliwung itu, ia sulap
Ti­dak a­da ba­tas­an. Selain berfungsi sebagai ton­ton­an, ia ju­ga nassau­ huis3 yang se­mu­la a­da. Sa­king bu­ruk­nya huis4, seorang
men­ja­di se­ma­cam pelambang digdaya raja. Dan bi­a­sa­nya, cu­ma Indonesianis­ yang ti­dak a­mat mu­rah­an, mengejeknya sebagai
Alun-­alun Utara saja yang dipakai. “Su­a­tu ba­ngun­an­ yang a­gak ber­mu­tu ren­dah de­ngan susunan
A­pa­bi­la ke­be­tul­an se­dang ti­dak ada repot kerajaan, ma­ka ter­di­ri da­ri ba­tu, a­du­kan se­men (ples­te­ran), ka­yu, bambu dan
pa­tut­lah perihal-­perihal ka­wu­la yang penting saja. Tapa pepe je­ra­mi,” (Hanna, 1988: 19).­ O­leh Coen, nassau huis di­be­ri te­
ba­rang­ka­li. Tatkala kawula dari sang raja merasai diri ter­za­lim­ man,­mauritius huis. Si Kem­bar huis i­ni­lah yang ke­lak men­ja­di
i,­ ia boleh-­boleh me­nga­du, menyampaikan ketimpangan­ yang Kastil Jakatra. Men­ja­lar­ke Jakatra Landen (wilayah pedalaman
ia a­lam­i. Ca­ra­nya? Ber­si­la sa­ja di tengah alun-alun leng­kap­ Jakatra) dengan me­nyu­su­ri Ciliwung, me­nge­vo­lu­si nama dan
de­ngan­ uba rampe sem­ba­ri me­nun­duk khusuk dan berharap- bentuk; Jakarta.
­harap ce­mas me­nung­gu ke­a­dil­an yang diturunkan o­leh raja­ Oh ya, ja­ngan ha­rap di ma­sa i­tu, menjumpai pribumi men­
nya.­Se­ma­cam meng­a­du barangkali. Tentu di siang bolong saat di­am­i­ko­ta. Me­re­ka yang ber­hak a­tas tanah di dalam kastil, ha­
ma­ta­ha­ri­sedang terik. nya­sau­da­gar dan pe­tu­gas bang­sa Eropa. Beranjak ke luar kastil
Ya, gerak-­gerik ka­wu­la di ko­ta (kerajaan) berada di bawah na­mun­ma­sih da­lam tem­bok ko­ta, berdiri campuran bangunan­
sim­bol ku­a­sa raja,­ ka­re­na se­ti­ap jeng­kal tanah, milik raja, dan ga­ya Eropa-Cina (yang di­ting­gal­i oleh Eropa totok, Cina, hingga­
raja,­adalah sosok Tuhan yang menjelma di dunia atau yang da­ Indo) dan se­ba­gi­an, wa­lau amat kecil, pemukim-­pemukim
pat­in­tim dengan Tuhan. Jawa, Ambon, Bali, Sunda dan Makassar yang memencar tak
te­ren­ca­na, yang be­ker­ja se­ba­gai ne­la­yan, pem­ban­tu per­ke­bu­
nan, dan buruh-­angkut di perkapalan.
Dari Benteng Turun ke Jalan: Kuasa Kota Kolonial Be­lum pu­as se­ba­tas men­cip­ta '"kota benteng". Mulailah pem­
“Hei, kamu perempuan Melayu, berani bicara-bicara sama lelaki,
apa kamu orang sundel, hei?,” be­da­an ma­na bu­dak ma­na tu­an. Para tuan (orang Eropa), yang
-Y.B. Mangunwijaya, Rara Mendut- ber­ja­lan ka­ki, su­dah di­se­dia­kan lintasan khusus. Jalan-jalan
bu­at me­re­ka di­per­ke­ras de­ngan la­pis­an batu bata merah. Un­tuk
Pe­rem­pu­an baik-­baik a­kan tiba-­tiba menjadi sundel, jika bu­dak (pri­bu­mi a­tau non Eropa) wajib menapaki tanah tan­pa
sa­lah la­ku di ja­lan­an ko­ta. Pastur-­pekerja sosial-arsitek Romo a­las ka­ki dan ja­ngan coba-­coba menjejakkan telapak kaki ba­
Mangun, me­ra­wi­nya di ro­man Rara Mendut, ka­lau­ Puan rang se­sen­tuh kalau tidak hendak pisah kepala dari badan. Pe­
Buchori­dan Lusi Lindri, su­dah me­ra­sai ja­di sundel se­la­ma­se­ ne­gas­an Eropa de­ngan Non-Eropa i­tu, tu­lis Christopher Silver,
pu­luh de­tik. Sa­at i­tu, se­o­rang opsir kulit hitam penjaga ja­lan se­ba­gai ben­tuk “… Sis­tem pe­mi­sa­han dan stratifikasi ber­asas
(se­per­ti­nya Ambon), ba­ru sa­dar diri jika ia sedang tanya-­jawab ras yang di­ten­tu­kan da­lam se­mua level interaksi,” (Silver, 2008:
de­ngan dua pe­rem­pu­an da­lam kereta, sejurus si opsir tiba-­tiba 45).­
mem­ben­tak (kutipan di atas adalah bentakan si opsir).
3
Kantor dagang VOC mulai terbangun sejak 1607
4
Sederhananya: rumah. Huis punya beberapa saudara kembar-identik, misalnya;­
2
Kaum papa, saat itu; petani. factorij dan lodge. Ketiganya mengerucut pada satu arti; rumah atau kantor dagang.

46 47
x Berebut Ruang: Ikhtisar... Khairul Anam x

Se­ki­sar­an a­bad ke- 17 dan 18, Batavia terlekati julukannya Da­ri ben­teng (kastil) tu­run ke jalan. Makna kota ditanamkan­
sen­­di­ri;­ Koningin van het Oosten (Ratu dari Timur) se­ka­li­gus o­leh ko­lo­ni­al, se­ba­gai lan­jut­an mak­na ter­be­ri dari kompeni.
Graf der Hollanders (ku­bur­an o­rang Belanda). Menjejak abad Mak­na pe­ngu­a­sa. Se­be­ra­pa besar kereta bagi pribumi atas,
18,­ mu­lai ber­ge­lim­pang ma­yat se­ba­gai akibat dari kebusukan­ dan pa­ling be­sar pun ti­dak da­pat me­le­bih­i kereta yang dimiliki
u­da­ra dan sa­lur­an a­ir­nya yang a­mat mengerikan. Sering mun­ o­leh Eropa. I­ni­lah yang sem­pat di­ka­ta Mas Marco via Doenia
cul­le­dek­an yang a­mat me­nya­yat, “Tak seorangpun akan me­ra­sa­ Bergerak se­ba­gai “Jawa di­ja­di­kan se­per­em­pat ma­nu­sia”, kaum
he­ran,­ bi­la men­de­ngar bah­wa te­man dengan siapa ia ke­ma­rin­ ke­cil “si setengah, seperempat dan seperdelapan manusia” bagi
ma­kan­ma­lam ber­sa­ma, a­kan di­ku­bur besoknya,” (Hanna, 1988: Pramoedya Ananta Toer dalam versi sejarah ilmiah tetralogi
109).­Be­be­ra­pa pe­ja­bat Kom­pe­ni dan para tokoh berduit­mu­lai­ Pulau Buru, Sang Pemula.
men­ja­uh­i Kastil Jakarta, dan men­da­pat­i satu wilayah yang le­
bih­nya­man, Weltevreden (Puas Hati). Pramoedya Ananta Toer,
dalam­ ba­gi­an magnum opus-nya, Jejak Langkah, me­nye­but Coen Turun, Monas Naik!
Weltevreden, yang su­dah a­da sta­si­un­nya, di sa­tu dia­log dalam Ha­ri i­tu, 6 Maret 1943. Se­ge­rom­bol­an o­rang (kebanyakan
trem, antara Minke de­ngan se­o­rang ne­nek Indo. Weltevreden, pe­mu­da) ma­kin men­de­kat ke Lapangan Banteng. Di sa­mping
kata orang Betawi; Gambir, terang si nenek pada Minke.­ pe­mu­da-­pemuda ta­di, a­da be­be­ra­pa (tidak terlalu banyak) bala­
tentara Dai Nippon, yang meng­ang­gap di­ri­nya sebagai kakak
Ta­hun 1809. Tu­juh pu­luh em­pat ta­hun se­be­lum pantai ­Anyer su­lung di Asia. Me­re­ka da­tang ke la­pang­an, tidak untuk latihan­
di Banten lu­luh o­leh ter­jang­an tsu­na­mi a­ki­bat letupan Gu­nung­ baris-­berbaris; ke­bi­a­sa­an Jepang ke­lak. Tidak pula bala­tentara­
Krakatau, Daendels ti­ba. Ia meng­ang­gap, Jakarta Coen su­dah Dai Nippon hen­dak meng­ek­se­ku­si pemuda-pemuda tadi. Me­
ti­dak pa­tut hu­ni. Si­a­satn­ya pertama kali adalah berteguh ha­ti re­ka­ bu­kan ta­wan­an pe­rang, ka­re­na bukan musuh (incaran)
un­tuk meng­a­lih­kan pu­sat kekuatan dari kastil ke Weltevreden. Dai Nippon. Ba­la­ten­ta­ra dan ba­la­pe­mu­da itu hendak menemui
Dan meng­hu­bung­kan­nya de­ngan jalan; Jalan Daendels. Jan Pieterszoon Coen, ar­si­tek Kota Jakarta. Tapi, Coen yang ini,
Ya, ri­bu­an pri­bu­mi pergi da­ri bu­mi ka­re­na di­ro­di­kan un­tuk da­lam ben­tuk ba­tu, yang su­dah bertahun-tahun berdiri walau
membikinnya. Pramoedya, me­ra­tap­i­nya di no­vel ring­kas, Jalan te­rik­ma­ta­ha­ri me­nyu­luh dan hu­jan lebat mengguyur. Hari itu,
Raya Pos, Jalan Daendels, de­ngan ke­sak­si­an me­mi­lu, “Dalam se­ba­gai pe­tan­da hilangnya Belanda di Indonesia.
pem­bi­ki­nan me­man­tai La­ut Ja­wa da­ri Ka­rang­sem­bung ke Sema­ Per­la­han, Coen di­tu­run­kan dari pedestalnya; tidak di­han­cur­
rang, pe­ker­ja paksa bu­kan sa­ja di­se­rang o­leh ke­le­lah­an, ju­ga kan.­ Pe­lung­su­ran Coen, me­nam­pak­kan masyarakat sudah ti­dak
o­leh malaria. Se­dang wak­tu meng­ga­rap ru­as Demak-Kudus “... sa­bar 'me­nung­gu' sam­pai ta­hun 1945, ketika proklamasi­di­u­mum­­
Para pekerja berkaparan ... ka­re­na ke­le­lah­an, perlakuan keras kan o­leh Soekarno-Hatta, un­tuk memoles ruang kota di­­Indonesia,
...” (Toer, 2009 : 26). Jakarta mi­sal­nya. Se­ke­ti­ka Belanda terusir oleh Jepang, son­tak
Ja­lan pos me­ngun­dang hunian-­hunian mendekati jalan. Ke­ i­den­ti­tas Belanda coba dihilangkan ­war­ga de­ngan so­kong­an ba­la­
ber­a­da­an­deret-­deret ru­mah di ping­gir jalan itu, paling tidak ber­ ten­ta­ra Jepang tentu.
ha­sil meng­gi­ring sa­ya un­tuk mengamini Rudolf Mrazek. ­Engineers Gejala de­mi­ki­an di­na­mai ­Kusno se­ba­gai “politik memori”, tu­
of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di lis­nya, “Pemakna­an ­ter­ha­dap ru­ang pu­blik a­da­lah su­a­tu kegiatan
Sebuah Koloni, adalah percobaan sukses baginya ­un­tuk me­nu­lis yang melibatkan wa­ca­na peng­i­ngat­an, peng­a­bai­an, dan pelupaan,”
renik-­renik se­ja­rah di tanah kolonial, sekaligus me­le­pas pre­di­kat (Kusno, 2009: 3). Pen­ting mem­ben­tuk i­ngat­an ber­sa­ma masyarakat
se­ba­gai se­ja­ra­wan biografi. Katanya di buku ba­ik itu: akan se­bu­ah za­man baru, zaman tanpa Belanda.
“Senantiasa ada kesadaran, dalam arsitektur dan perencanaan Belanda,­
a­kan ke­te­gang­an an­ta­ra lu­ar rumah dan dalam rumah ... a­da­lah mo­del Pierra Nora, be­ru­pa­ya men­je­las­kan “politik memori”, seba­
ke­se­la­ras­an energetik antara kedua wilayah itu (luar dan da­lam ru­mah gai­se­ca­rik “dia­lek­ti­ka an­ta­ra ke­nang­an (souvenir) dan amnesia
-Pen.)­... Rumah contoh dalam tradisi Belanda­i­tu, de­ngan ka­ta lain, cukup (amnesie),” (Gouda, 2007: 414). Pe­lu­pa­an dan pengenangan,
berani untuk menghadapi pihak luar, jalanan, lapangan, dan kota ...” sama-­sama vit­al pe­nga­ruh­nya mem­ben­tuk imajinasi kolektif
(Mrázek, 2006: 103)." bang­sa.­ Te­ta­pi, yang ter­a­mat vital lebihnya, justru kapankah
48 49
x Berebut Ruang: Ikhtisar... Khairul Anam x

wak­tu yang di­se­pa­kat­i un­tuk me­mu­lai pelupaan itu dan berjanji­ la­pang­an a­da­lah so­lu­si. Ti­dak a­da kecuali bertatap wajah lang­
­

meng­ha­pus ber­sih da­ri me­mo­ri. sung­de­ngan rak­yat­nya. Bu­kan ketidakwajaran apabila di setiap
Terselip pesan, masyarakat di ha­ri i­tu—pe­nu­run­an Coen— ko­ta yang pu­nya alun-­alun, pas­ti­lah pernah digunakan sebagai
se­ba­gai kesepakatan bahwa inilah­ ha­ri mu­la pe­lu­pa­an ter­ha­ a­jang te­mu mas­sa de­ngan pemimpinnya. Di setiap kota yang
dap kolonial, sebagai pembentuk bayang-­bayang bangsa yang mem­pu­nya­i ja­lan ra­ya, pas­ti­lah di­la­lui serombongan pawai re­
utuh (walau masih ada Jepang). Pa­tung Coen, ti­dak ha­nya se­ vo­lu­si­o­ner.­ Ke­bia­sa­an penguasa-­penguasa di daerah itu ter­il­
ba­tas penghormatan yang di­se­mat­kan­ o­leh pe­me­rin­tah ko­lo­ ham­i­oleh Soekarno.
ni­al. Ia simbol kuasa atas tanah ja­jah­an. Me­ma­jang sa­tu so­sok Alun-­alun Tiananmen Beijing dan Alun-­alun Merah Moscow­
yang dianggap paling berjasa da­lam­ ta­hap ko­lo­ni­alisasi pa­ling pun se­ru­pa. Ia men­jel­ma men­ja­di tem­pat bertemunya­ rak­
ma­syhur, tepat di ruang publik yang ma­ha ra­mai, La­pang­an q

doc. istimewa
Banteng. Ma­ka, Coen (patungnya) a­ d ­ a­lah­sim­bol kolonial. Soekarno bicara
dengan massa
La­zim su­dah simbol-­simbol ter­do­ku­men­ta­si oleh benda a­tau di alun-alun
mo­nu­men yang da­pat di­a­mat­i tuntas. Candi-candi yang ber­ja­ Yogyakarta pada
tahun 1947.
jar­ dan me­nge­li­ling di se­ku­jur Jawa adalah simbol kuasa raja,
te­pat­nya la­gi sim­bol ke­masy­hu­ran ra­ja dan ketaatan kawula.­
Pa­tung­Coen pun begitu.
Per­ma­in­an sim­bol di ma­sa le­wat, tam­pak digemari Soekarno,­
yang ten­tu di­tam­bah­i sen­di­ri o­leh­nya. Soekarno gemar sangat
a­kan per­ma­in­an simbol-­simbol.5 Simbol kemegahan sebagai
bang­sa mer­de­ka se­ba­gai­ma­na ter­li­hat di Senayan atau Tugu
Pancoran. Sim­bol re­vo­lu­si­o­ner pembiaran ruang-ruang publik
yang da­pat di­ak­ses o­leh mas­sa (Lapangan Banteng) dan jalan-
­jalan le­bar un­tuk pejalan kaki.
Se­per­ti Senayan dan Pancoran, Monas di­tam­pil­kan oleh
Soekarno se­ba­gai i­den­ti­tas ko­ta (Negara?) yang merdeka. Da­ yat­ de­ngan pe­mim­pin, a­tau se­ka­dar aduan kepada pemimpin.
lam­ a­ngan­ Soekarno, Monas nan­ti, di­pu­cuk­nya a­kan ter­la­ Alun-­alun Tiananmen, yang se­mu­la a­da­lah ko­ta ter­larang,­o­leh
pis­ e­mas an­ti ka­rat. De­ngan per­wa­jah­an ko­ta tadi, “Soe­kar­no vi­si Mao Tse Tung, di­u­bah menjadi ruang luas yang de­mo­kra­
mem­pre­sen­ta­si­kan­ rak­yat, dan rak­yat dipresentasikan oleh tis. Dan, alun-­alun Merah Moscow lebih dari se­ka­dar lan­tai
bangunan-­bangunan dan ko­ta yang ia bangun,” (Kusno, 2009: pa­ra­de rak­yat. Te­sis “ru­ang ter­bu­ka” ini, oleh Dovey, di­te­kan­
46). Integrasi pertautan­ ma­nung­gal­ ter­cip­ta an­ta­ra rakyat dan kan­ se­ba­gai anti tesis da­ri “forbidden space”, bahwa “alun-­alun
negara, demikian kata Kusno sa­at meng­a­mat­i Jakarta. un­tuk rak­yat, tan­pa tem­bok (benteng), tanpa sudut-sudut,
Se­la­in Monas (se­ba­gai sim­bol ke­me­gah­an bangsa yang a­tau petanda-­petanda tingkatan manusia,” (Dovey, 1999: 80).­
mer­de­ka),­ sa­tu ra­sa khas ru­ang kota era Bung Karno adalah Walaupun,­ nantinya selepas kala Mao, Tiananmen menjadi
ko­ta pe­nge­rah­an. Meng­ge­rak­kan massa. Proses bicara antara Forbidden Space jilid II.
pemimpin-­rakyat de­ngan rakyat-­terpimpin. Soekarno butuh­ I­ma­ji­na­si, bayangan-­bayangan yang telah diciptakan oleh
wa­dah un­tuk bi­ca­ra de­ngan rakyatnya. Ia melihat, jalan dan Soekarno, ber­ha­sil me­ran­tai ruang-­ruang sosial baru yang ter­
5
Simbol-simbol Soekarno ini sempat jadi obrolan akrab antara dua sejarawan cip­ta. Lefebvre, men­je­las­kan ten­tang “ruang so­si­al”­i­ni, de­ngan
muda-­hebat, Ong dan dan Gie. Diskusi yang terjadi beberapa hari sebelum Sabtu, 16 Maret
1964 itu,­ juga jadi ajang debat antar keduanya, yang diabadikan Gie dalam diarinya,­ se­be­lum­nya me­nu­kil dari Henri Lefebrve bah­wa,­ “Hu­bung­an
Catatan­Seorang­Demonstran. Ong bilang ke Gie, tentang simbol (gelar) Soekarno, “Panglima­ an­ta­ra i­den­ti­tas dan tem­pat bukanlah per­kara i­den­ti­fi­ka­si­ wi­
Tertinggi­ Angkatan Perang” (Senapati ing ngalaga) dan “Pemimpin Besar Revolusi” (Syekh
Sahidin Ngbadulrachmad). Ada lagi simbol Soekarno di daftar tunggu sebut: Penyambung la­yah be­la­ka tapi juga tentang aliran imajinasi­ yang ter­ka­it de­
Lidah Rakyat.

50 51
x Berebut Ruang: Ikhtisar... Khairul Anam x

ngan prak­tik so­si­al yang mengakar dalam ­ru­ang,”­ (Lefebvre, ­ undi u­ang de­mi­pe­ngem­ba­ngan­u­sa­ha me­re­ka dan percepatan
p
1991: 148). pembangunan­ na­si­o­nal. La­jur yang se­la­lu dihindari betul oleh
Monas dan La­pang­an Banteng mi­sal­nya, ber­ha­sil meng­hi­ Soekarno,­se­hing­ga ia ja­di rival utama bagi Amerika Serikat.
dup­i im­pi­an war­ga a­kan kota (bangsa) yang mer­de­ka, wa­lau Oleh Kusno, yang se­mpat me­nga­mat­i Jakarta dari dekat pas­ca­
ha­nya se­men­ta­ra. Ke­fa­na­an i­tu, masyarakat sa­dar­i ke­ti­ka harga- Orde Baru, me­li­hat ji­ka ko­ta masanya Soeharto (masih) pu­nya­
­harga po­kok sehari-­hari membumbung di sa­at monumen- ci­ta ra­sa ku­at ter­ha­dap sekali lagi, pelupaan dan pengenangan.­
­monumen, proyek impi Soekarno bertaburan. “Ju­al e­mas Pe­lu­pa­an ter­tu­ju a­tas men­cip­ta sebuah keadaan bahwa jalan,
Monas­bu­at ba­yar ga­ji pegawai,” kata selebaran-­tem­pel bi­kin­an lapangan, alun-­alun, yang menjadi lalulintas war­ga a­da­lah a­rea
ge­rak­an mahasiswa 1966. yang ja­uh dari aman. Banyak kejahatan. Dan, itu adalah corak
hidup sosialis-­komunis yang su­ka­nya mengerahkan massa.
Tempat-tem­pat i­tu, “Ber­ba­ha­ya dan per­lu dijaga oleh kekuatan
Menghias Kota dengan Kuasa militer,” (Kusno, 2009: 47).
Authority with high levels of legitimation,
institutional power which is hihgly secure, Pe­nge­na­ngan, e­ra ba­ru di­ba­ngun da­ri pondasi-­pondasi tiang
has less need for the trappings of power pan­cang berderet-­deret ja­lan la­yang mi­sal­nya. Se­ba­gai pe­tan­da
-Kim Dovey- e­ra pem­ba­ngun­an yang ti­dak stagnan nan penuh pengharapan.­
Da­ri mal-­mal yang men­ja­di, me­min­jam isitilahnya Kusno;
Ke­pe­mi­lik­an ja­ma­ah ma­sya­ra­kat atas kotanya lantas pupus­ “ruang­ pu­blik swas­ta,” se­ba­gai pe­nye­dia hiburan, kebutuhan
per­la­han ber­ba­reng de­ngan Orde Baru naik. Jalan-jalan di ma­ kon­sum­si, dan la­han refreshing war­ga. Dari atas jalan layang itu,
sa te­lah le­wat nik­mat ja­di lalu-­lalang pejalan kaki mulai tiada.­ ka­lang­an me­ne­ngah ke a­tas da­pat melempar pandang bebas ke
Lapangan-­lapangan yang ber­pe­luang sebagai pusat-­pusat kum­ papa-­papa yang be­ra­da di ­ba­wah­nya. Lewat etalase-etalase mal,
pul mas­sa lambat-lambat terpangkas tuntas. Gerak-­gerik massa ka­um be­ra­da da­pat me­ma­mer rupa kepada pengemudi dan
mulai dihias. pejalan-­pejalan ka­ki mi­no­ri­tas yang tidak mampu mengakses
U­pa­ya me­ngen­da­li­kan la­ju khalayak khas Orde Baru itu se­o­ pin­tu mal.
lah­me­n­era­kan tiru-­laku Charles De Gaulle yang diteruskan­la­ Me­ru­yup da­sa­ta­hun 1980- an, beberapa cita rasa kota
gi­o­leh Francois Maurice dan Adrien Marie Mitterand terhadap­ Indonesia­ ju­ga meng­a­lam­i po­le­san ba­ru lagi. Sebagai imbas­
Paris. Wa­lau­pun ti­dak se­de­til mereka berdua, toh Soeharto, me­ lang­sung da­ri de­rai­an modal, warga yang berada, di­ta­war­i­
ne­rap­kan ku­a­sa ko­ta a­tas ma­sya­ra­kat­nya tat­ka­la ci­tra Jakarta un­tuk men­ja­uh­i kampung-­kampung.­ Me­re­ka di­ke­nal­kan de­
sebagai kota mobilisasi di habisi. ngan konsep pemukiman yang le­bih men­ja­min ke­a­man­an dan
Ta­pi ru­pa ko­ta khas Orde Baru, bukan melulu seputar pe­ kenyamanan; pe­ru­mah­an. Men­da­sar­kan pa­da ujaran Michel
nge­­bi­ri­an de­mo­kra­si. E­ko­no­mi, ter­u­ta­ma yang disokong oleh Foucault di Dicipline and Punish: The Birth of Prison, praktek
mo­dal ku­at (a­sing) tu­rut memolesnya. Prolog era Soeharto, dikotomi kam­pung dan pe­ru­mah­an, bu­kan ha­nya ber­ki­sar se­
ter­tan­da­i o­leh ke­ter­bu­ka­an ter­ha­dap modal asing. UU per­ta­ma pu­tar penguasaan­ sosial ru­ang ko­ta a­tas si mis­kin, lebih jauh
yang di­bu­buh­i tandatangannya adalah Un­dang-­Undang Pe­na­ juga untuk mendisiplinkan si ber­a­da. I­tu­lah, kon­trol so­si­al
nam­an Modal Asing Tahun 1967. dengan pendisiplinan tertera pa­da ke­len­tur­an­nya, un­tuk "si
papa" dan "si berada" sekaligus.
Hong Lan Oei, me­nu­lis im­pli­ka­si ke­bi­ja­kan i­tu di jur­nal
Indonesia, sa­tu diantara­ tiga jur­nal yang se­ri­us me­nu­lis per­ka­ Yang spe­si­al da­ri "kon­trol so­si­al" Soeharto terhadap kota ­ten­tu
ra tentang Indonesia6. Artikelnya,­ "Implications of Indonesia’s ber­ke­na­an de­ngan ja­lan. Marco Kusumawijaya, aktivis ur­ban
New Foreign Investment:­ Policy for Economic Development", alumni SMA De Brito Yogyakarta, mengenang kota tem­pat­ia be­
me­nan­dai era yang me­nyi­la­kan pi­hak a­sing me­na­nam pundi- la­jar si­lam dengan kesan "jalanan" di media "jalanan" ma­ya­. "Jalan",
ia unggah di blog pribadi ber-url kusumawijaya.wordpress.com.
6
Selain Indonesia, masih ada BKI (Bijdragen tot de Taal-, land- en Volkenkunde),­dan
Archipel, jurnal lainnya yang rajin menulis segala rupa Indonesia.
"Ja­lan" dan "pe­ja­lan ka­ki" ba­gi­nya; kota itu sen­di­ri. Dia bi­lang:

52 53
x Berebut Ruang: Ikhtisar... Khairul Anam x

“Pe­ja­lan ka­ki a­da­lah ah­li ko­ta yang se­sejatinya. Mereka mendiami­ ko­ta g­ ara se­ring me­man­cing ban­jir. Se­be­lum peng­gu­sur­an, dua warga
se­­ca­ra se­pe­nuh­nya, meng­hi­rup ha­wa­nya, mengarungi relung,­rong­ga dan me­na­war­kan ja­lan te­ngah. Mula-­mula mereka mengajak tatap-
lorong-­lorongnya. Pejalan kaki menawarkan perlawanan­pu­i­tis ter­ha­dap
ta­ta­nan wak­tu dan ru­ang paksaan yang kuasa, justru­de­ngan meng­a­la­mi ­muka de­ngan war­ga ban­ta­ran kali. Mereka menyampaikan­apa
ru­ang dan wak­tu secara zig-zag, senang dan te­nang,­ ber­hen­ti di­ma­na yang a­kan di­per­bu­at gu­na me­re­ka tidak mesti pindah dengan
ha­ti min­ta, berkelok­ di mana suka. Pejalan ka­ki­ mem­per­lam­bat se­ga­la be­rat ha­ti da­ri ke­di­a­man. Wal­ki­sah, warga-warga tadi tetap
hal, mem­ben­tang­kan jeda dan jarak kepada di­ri sen­di­ri, ke­pa­da ko­ta men­di­am­i bantaran sungai itu sampai kini.
a­khir­nya.”­
A­pa ja­di­nya ji­ka warga-­warga dan “dua warga” itu tidak ter­
Soeharto si pe­ngi­dap ko­mu­nis­to­pho­bia, memandang jalan li­bat­ da­lam per­ka­ra Kali Code Yogyakarta puluhan tahun si­
se­ba­gai in­ti ge­rak­an mas­sa. Lantas ia paras jalan-jalan kota agar lam?­Ya, se­per­ti su­dah da­pat diterka, warga bantaran Kali Code
be­bas da­ri pe­ja­lan ka­ki. Ti­dak ia sediakan trotoar mula-mula, mes­ti­ su­di ter­li­pur se­jak tahun 1983. Andai Youesef Bilyarta­
ta­pi ke­mu­di­an ia se­dia­kan wa­lau kecil. "Bapak" telah berhasil­ Mangunwijaya­ dan si ke­tua RT, Willi Prasetya, tidak merayu­
de­ngan gilang-­gemilang memberi "hiasan-hiasan" kuasa "pem­ Pe­me­rin­tah­ Ko­ta Yogyakarta dan me­nga­jak warga untuk
ba­ngun­annya". mengubah­ ke­a­da­an hu­ni­an de­ngan me­na­wa­ri konsep, yang
bagi anggapan Kusno, “Ru­ang ke­hi­dup­an a­da­lah sebuah bahasa
sosial yang te­rus ber­u­bah ta­pi bi­sa di­tam­pil­kan dengan luhur,”
Ruang Kota=Ruang Warga (Kusno, 2009: 167).­
DOYOK
“Dibelokkan!” Kisah Kali Code me­ne­gas­kan ji­ka (tidak) semua par­ti­si­pa­
“Ditemukan bukti bahwa sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 telah si a­ktif war­ga mem­ben­tuk ruang kotanya baru dimulai­ benar-
dengan­sengaja dibelokkan oleh Soeharto...!!” ­benar pas­ca-Soeharto. Padahal di saat berbarengan­, tet­ang­ga­
“Sejarah oleh Soeharto mau dibikin seenak jidatnya sendiri ‘ngkali?!” Kali Code di se­be­lah ba­rat­nya, Kali Winongo, menjadi sasaran
“Puluhan tahun menindas, KKN dan membelokkan sejarah pula ...!!”
MUS
utama Petrus (pe­nem­bak mis­te­ri­us); Kam­pung Badran. Yang
“Oalah ... To... Soeharto...Rusak amat luh jadi orang!!” masa-­masa i­tu a­wam ke­nal se­ba­gai gu­dang gali, memancing
-“Lembergar”, Pos Kota, 3 Maret 2001- operasi u­ta­ma pasukan-­pasukan eks o­pe­ra­si Timor Timur.
Ko­ta bu­kan se­ka­dar la­han sem­pit yang punya banyak pen­
Dialog antara Doyok dan Mus itu menyebar ke pembaca ti­ du­duk.­ Ti­dak me­lu­lu gedung-­gedung penyunduk awan. Ko­ta
ga­ ta­hun pas­ca lung­sur­nya Soeharto. Andai ia­ ke­luar ti­ga ta­ a­da­lah a­du­kan ma­nu­sia. "Si berada", mengail untung dari u­sa­
hun men­da­hu­lui, mes­ti Pos Kota bakal menyusul­ ko­le­ga­nya, ha-­kerja me­re­ka. "Si papa", ju­ga mengail untung dari usaha-­kerja
Indonesia­Raya; terbredel. me­re­ka. “De­ka­de ter­a­khir da­lam sejarah urban Indonesia di­tan­
Se­le­pas Soeharto, t­idak mam­pu di­pung­ki­ri jika kelonggaran da­i se­ca­ra sig­ni­fi­kan o­leh ma­suk­nya kaum papa da­lam­ ling­kup
pu­sat (Negara) ter­ha­dap kota-­kota makin menganga. Pusat, su­ ke­hi­dup­an ur­ban … Me­re­ka bukan hanya tidak da­pat­ di­hen­ti­
dah­ ter­a­mat su­lit mi­sal­nya, me­me­san nama jalan di salah sa­ kan … ta­pi me­mang ti­dak ada gunanya untuk meng­hen­ti­kan­
tu­ ko­ta de­ngan da­lih na­si­o­nal­is­me. Teristimewa sekali adalah,­ me­re­ka,” bi­lang Marco Kusumawijaya di esai pan­jang­nya da­lam
a­wam su­dah ti­dak ter­la­lu takut untuk bicara atau sekadar men­ CP Bienalle 2005 ber­ta­juk “Urban Culture”, Urbanitas­Indonesia:­
dong­kol­a­pa­bi­la men­jum­pai ke­tak­se­su­ai­an atas harapan mereka­ Sebuah Proyek yang Berjalan tanpa Cetak Biru. Na­mun ko­ta
ter­ha­dap ke­nya­ta­an. Ta­pi ti­dak se­mua partisipasi aktif warga tidak hanya ten­tang­'si papa'. Se­hing­ga, se­ka­rang ka­la­nya tarung
ba­ru meng­ge­lo­ra pas­ca Orde Baru. terbuka antara mak­na ru­ang ko­ta yang co­ba ditebarkan oleh
Be­la­san ta­hun mun­dur dari 26 Mei 1998. 300 kilometer le­ yang mampu, dan di­la­wan o­leh yang kurang mampu.
bih ke a­rah ti­mur da­ri Gedung MPR-RI, bukan lagi ditemui Ruang-­ruang pu­blik, ple­sir­an misalnya, menjadi kesahihan­
berbaris-­baris longmarch ma­ha­sis­wa, namun hanya deretan ta­rung ter­bu­ka ter­se­but. Di Yogyakarta, kelas menengah punya­
'sam­pah' di se­pan­jang bantaran su­ngai. Rumah-rumah amat ru­ang­nya: Ambarukmo Plaza, Kid Fun, sampai Kaliurang.
sangat se­der­ha­na i­tu ter­an­cam ter­gu­sur o­leh pe­me­rin­tah gara- Saudara-­saudara me­re­ka yang bi­a­sa­nya berpenghasilan cukup

54 55
x Berebut Ruang: Ikhtisar... Khairul Anam x

men­ca­pai ba­tas UMR (Upah Minimum Regional) men­cip­


ta; Portal Stasiun Lempuyangan. Baliho-baliho yang ter­tan­
cap­ di se­gum­pil ta­man ja­lan, men­da­pat la­wan sepadan oleh
berlembar-­lembar "te­ri­ma se­dot WC" di banyak tiang listrik.
Pe­man­dang­an sa­ling cip­ta ter­se­but memperlihatkan adanya
ne­go­si­a­si an­ta­ra be­ra­gam ting­kat­an.
Bagi Weber, sosiolog ter­ke­mu­ka i­tu me­li­hat 'partisipasi sipil'
terutama sekali partisipasi­ yang de­mo­kra­tis, a­da­lah kun­ci dari
masa depan perkembangan­ur­ban. Wa­lau­pun i­tu bu­kan berarti
hanya orang kota yang da­pat­ me­nge­nyam ke­hi­dup­an de­mo­
kra­si, karena cikal bakal de­mo­kra­si ti­dak ber­a­sal da­ri kota,
(Parker, 2004: 12). Sipil di sini, ti­dak me­lu­lu yang pa­pa, si­pil
un­tuk semua; warga.3

Daftar Pustaka
Dovey, Kim. (1999). Framing Places: Mediating Power in Built From. London and New
York: Routledge.
Gouda, Frances. “Dutch Culture Overseas: Colonial Practice in the Netherland­Indies
1900-1942”. a.b. Jugiarie Soegiarto dan Suma Riella Rusdiarti.­ (2007).
Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942.
Jakarta: Serambi.
Hanna, Willard. (1988). Hikayat Jakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kusno, Abidin. (2009). Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-
Soeharto. a.b. Lilawati Kurnia. Yogyakarta: Ombak.
Lefebvre, Henri. “La Production de l’espace”. a.b. Donald Nicholson-Smith.
(1991). The Production of Space. Massachusetts: Blackwell.
Mrázek, Rudolf. “Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony”.
a.b. Hermojo. (2006). Engineers of Happy Land: Perkembangan­Teknologi
dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Jakarta:­Yayasan Obor Indonesia.

p
Muljana, Slamet. (2005). Menuju Puncak Kemegahan Majapahit: Sejarah Kerajaan­
Majapahit. Yogyakarta: LkiS. Fenomena Kota Kekinian
Parker, Simon. (2004). Urban Theory and the Urban Experience: Encountering the City.
London and New York: Routledge.
Silver, Christhoper. (2008). Planning the Megacity:­ Jakarta in the Twentieth Century.
London and New York: Routledge.­
Toer, Pramoedya Ananta.(2009). Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta: Lentera
Dipantara.­

56
x Berebut Ruang: Ikhtisar... Khairul Anam x

Azwar Anas
Mal dan
Raut Wajah Kota

(Social) space is a (social) product ... the space thus produced also serves
as a tool of thought and of action ... in addition to being a means of pro-
duction it is also a means of control, and hence of domination, of power.

Ruang (sosial) adalah produk (sosial) ...sehingga ruang yang dihasilkan


juga berfungsi sebagai alat pemikiran dan tindakan ... selain menjadi
alat produksi juga merupakan alat kontrol, dan bentuk dominasi, dari
kekuasaan.­
-Henry Lefebvre-

SEBUTAN mal bermula dari Perancis “maille” yang ­ber­ar­ti palu


kayu, pemukul bola pada permainan palle maille. ­Per­mainan
mirip­tenis ini dimainkan di lorong-lorong atau ja­lanan sepi yang
di­sebut­ pall malls. Permainan ini mampu menye­dot ­perhatian
o­rang un­tuk memadati pall malls di kala itu. Di mata pengusaha,­
animo yang besar terhadap permainan ini ­merupakan peluang­
58 59
x Mal dan Raut... Azwar Anas x

usaha yang menggiurkan. Mereka menyadari bahwa para pe­ Sarinah adalah ikon kota. Sebuah identitas Kota Jakarta menuju go
ngun­jung­akan membutuhkan sesuatu untuk dimakan sehingga­ international.
mereka memutuskan untuk membuka to­ko di sekitar pall malls.
Akan tetapi, lambat laun permainan ini mulai dilupakan. Wajah Baru Kota
Mereka­tidak memainkan palle maille lagi. Meskipun begitu, toko-
toko di sekitar area permainan palle maille masih tetap dikun­ "Jakarta sekarang, tampak sangat berbeda dengan dulu. Kota i­ni pe­
jungi orang. Bahkan orang-orang lebih girang ­berjalan-jalan dari nuh de­ngan bangunan tinggi. Pada tahun 1967 sebagian besar dari
Anda belum lahir, Hotel Indonesia adalah salah satu bangunan tinggi
satu toko ke toko lain sehingga membentuk pusat perbelanjaan. dan hanya ada satu department store besar bernama Sarinah"
Usai Perang Dunia II, pusat perbelanjaan ini mulai digagas Pidato Obama, di Indonesia. November 2010. Tempointeraktif.com
de­ngan serius. Di dunia barat, Amerika mengonsep mal serupa
'ko­tak besar' tertutup, di tahun 1950-an. Di dalamnya, secara in­ Di tahun 1980-an, keberadaan mal semakin melegitimasi
dividual terdapat toko-toko kecil. Tujuannya, guna memudah­kan kota.­ Bahkan, jangan pernah berharap wilayah Anda ­dibilang
pembeli untuk berjalan kaki dari unit ke unit tan­pa ­terganggu kota kalau belum terdapat mal yang mentereng di sana. Akhi­r­
lalu lintas kendaraan. nya,­sampai saat ini pertumbuhan mal semakin melejit. ­Hampir
Ide lahirnya pusat perbelanjaan tertutup sebenarnya tidak di setiap kota di wilayah Indonesia berlomba-lomba untuk
berinduk dari Amerika. Pada abad ke-10, dunia Islam Timur men­dandani kotanya dengan mal.
Tengah sudah lebih dulu mencacakkan bangunan besar yang Contohnya Yogyakarta, kota yang kental dengan budaya
berfungsi sebagai pusat perbelanjaan. Hanya saja, bangunan lokal ini pelan-pelan telah menanggalkan baju kekhasannya.
seperti itu dikenal dengan istilah bazaar, seperti di Suriah, Tanah hadiningrat dengan ikon Tugu Yogya-nya ini nampaknya­
Turki, dan Iran. mulai tergiur mendandani kotanya dengan simbol ­bangunan
Rancangan standar sebuah bazaar terdiri dari jaringan ekonomi yang megah seperti Mal Ambarrukmo ­Plaza, Saphir
blok-blok berupa pasar yang berada dalam satu bangunan. Ter­ Square, Ramayana Mall, dan lain sebagainya.
ka­dang, de­ngan sebuah kubah utama di pusat bangunan. Se­ Generasi mudanya pun dibuat kian menggandrungi ­pu­sat
per­ti hal­nya po­la pusat perdagangan masa kini. Toko-toko yang per­be­lan­ja­an ter­se­but, ke­tim­bang ha­rus me­nge­nal ­kem­ba­li
men­jual barang sejenis berkelompok dalam satu blok ­se­hing­ga ikon ko­ta yang menyimpan memori kolektif itu. Kota yang se­
mem­ben­tuk lorong. Pola ini dapat ditemukan hampir pa­da mu­la akrab di­ju­luki kota pe­lajar ini kian ber­trans­for­ma­si men­
ke­ba­nyakan ­bazaar di beberapa dunia Islam, seperti Bazaar ja­di pu­sat ke­gi­at­an be­lan­ja mes­ki­pun ti­dak se­pa­dat Ko­ta Jakarta
Aleppo, di Re­pu­blik Arab Suriah. dan Surabaya.
Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, mulai me­ Robert B. Bawollo, dalam Deskontruksi Ruang Sebagai ­Mindset
lirik model "pusat perbelanjaan" di awal ta­hun 1960-an. Dengan Postmodernisme merinci, ada tiga penanda­ yang dihadapi pada
celengan da­na pam­pas­an pe­rang da­ri Jepang, akhirnya berdirilah model tata kota pasca ­revolusi industri ini. Pertama, tuntutan
Pertokoan Besar Serba Lengkap (Toserba) Sarinah pada 1965 di kualitatif baru pada tata arsitektonis,­kedua peng­gunaan material
Jakarta. Meski pada namanya belum melekat kata mall, Toserba dan teknik di ­dalam bangunan, dan ketiga kal­ahnya bangunan dari
Sarinah cukup memenuhi syarat menjadi mal kala itu. imperatif ­fung­si­onal, terutama dari tun­tut­an dunia ekonomi.
Setiap gerai atau tempat menjual barang di semua lantai ­Sarinah, Bawollo secara frontal menukil istilah yang ketiga dari pe­
terhubung oleh jalan yang tidak terganggu oleh lalu-lintas kendaraan. mi­kir­an Habermas itu. Bangunan dikatakannya mempunyai
Begitu masuk di lantai pertama menuju ke gerai mana pun Anda an­dil besar dalam membentuk identitas dan raut wajah kota.
akan terlindungi dari g­ angguan h
­ ujan dan sengatan matahari. Ke­ha­diran bangunan yang mempunyai karakter akan mampu
Gedung bertingkat dengan fasilitas ­eskalator dan lift ini, bisa tam­pil sebagai penanda suatu kawasan sebagai landmark baru.
dikatakan cikal bakal tumbuhnya mal di Indonesia. Bagi Soekarno, Ko­ta yang sengaja dipoles dengan mengadopsi budaya luar ne­
ge­ri tutur Bawollo, sebagai hajatan ekonomi.
60 61
x Mal dan Raut... Azwar Anas x

Yogyakarta, mengalami gejala yang demikian beberapa da­sa­

Fajar
warsa­terakhir. Pertumbuhan dengan mo­ti­va­si ekonomi se­ma­
ta,­telah memicu dan memacu ­per­kem­bang­an fisik yang se­mau
gue.­ Melupakan kepentingan aspek ke­hidupan yang lain, ba­ik
se­ca­ra sosial ataupun budaya. ­Sehingga ter­jadi peng­abaian se­
cara ekologis, sebagaimana tampak pada ba­ngunan-bangunan
yang tumbuh dan berkembang secara ego­is, bu­kan dalam satu
kesatuan jaringan atau kawasan. Aki­bat­nya, identitas kota pun
men­jadi pudar.
Pertumbuhan serta perkembangan kota sebagai akibat dari
me­ningkatnya aktivitas ekonomi seharusnya juga diimbangi q
de­ngan pembangunan kesadaran berkebudayaan. Namun pe­ Ambarukmo
Plaza. Pusat
lu­ang ini agak­nya terlewatkan untuk dikembangkan. Perbelanjaan
Rencana kota yang ditetapkan menjadi tidak efektif, tidak dan retail yang
menjadi Wajah
­mam­pu me­ngan­ti­si­pasi kebutuhan publik jangka pan­jang. Iro­ baru kota
nis­nya jus­tru mengesankan tertinggal dari dina­mi­ka yang ter­ja­ Yogyayakarta.
di, ti­dak antisipatif bahkan mengancam posisi ke­ber­ada­an ru­ang
pu­blik yang menyimpan sejuta memori kolektif di da­lam­nya.
Rahardjo Adisasmita dalam Pembangunan Ekonomi Per­ko­ta­ Hal ini mengakibatkan kota-kota yang ada semakin diko­
an, me­nye­but upaya semacam ini sebagai proses peremajaan ko­ tak-kotakkan. Unsur pusat kota, ibarat medan magnet yang me­
ta.­Sebuah trik dari pemerintah untuk memompa, mengalirkan, na­rik biji besi yang terdapat di sekitarnya dengan sangat kuat.
dan menciptakan kegiatan produktif bagi ­perkembangan dan Se­hing­ga dampak baru kota kian "sempit" menjadi semacam
pertumbuhan sebuah kota. pe­nya­kit akut yang sukar diobati, taruh saja Kota Jakarta.
Pada dasarnya, ­peremajaan kota dianggap menarik. Karena
de­ngan sendirinya keadaan ini, akan dapat memperbaiki dan Mengimitasi Ruang Publik
me­nambah hasil pendapatan kota, salah satunya lewat per­pa­ Ruang publik merupakan sebuah ruang di mana ­ma­sya­ra­kat
jak­an. Bagi pengusaha atau investor, dan pemilik modal akan me­ bi­sa ber­ak­ti­vitas se­ca­ra be­bas tan­pa di­ba­ta­si jang­kau­an ­ke­las
ng­ang­gap pe­remajaan kota ini sebagai prospek stagnasi ­dalam pen­ so­sial. Ak­ti­vi­tas da­lam ru­ang ini ti­dak ada un­sur dis­kri­mi­na­si,
ju­alan dan dalam milik kekayaan. Akan tetapi, da­lam ­prakteknya ­ka­rena se­mua orang bisa meng­akses ter­­ma­suk ke­las me­ne­ngah
ke­rap terjadi konflik antara hak sosial dengan pe­me­rin­tah sebab ke ba­wah.
pe­remajaan kota ini malah menghancurkan ciri so­si­al kota itu sen­ Kehadiran mal di tengah-tengah kota telah meng­eli­mi­
di­ri, seperti perebutan ranah ruang publik yang ada ­sebelumnya. na­si ruang publik yang sebenarnya dan memasukkannya ke­
Arsitektur kota kemudian tidak ubahnya ha­nya sederet topeng- dalam mal. Namun pengalihan ruang publik ke dalam mal, ti­
­topeng bentuk luar bahkan hanya komposisi elemen-elemen di­ dak ­se­pe­nuh­nya mengadopsi nilai-nilai egaliter yang men­jadi
men­si­o­nal. Arsitektur hanya menjadi sekadar komoditas. Kalau ­karakter khas ruang publik. Saat memasuki mal, ma­sya­rakat
ki­ta perhatikan maraknya suasana bisnis properti dan men­ju­ secara tidak sadar kian diatur sedemikian rupa.
lang­nya harga tanah di perkotaan maka pertanyaan yang da­pat Ketika hendak berjalan-jalan ke taman kota, Anda bebas
di­ajukan adalah, apakah ada yang masih hirau dengan perihal me­nge­nakan pa­kai­an apa­pun (se­la­ma ba­tas ke­so­pan­an yang di­
iden­titas kota atau budaya? Agaknya yang terjadi justru pa­da anut ma­sya­ra­kat se­tem­pat ma­sih di­ta­ati), me­nge­na­kan san­dal
per­lombaan menegasikan karakter lokal dan upaya me­re­ma­ja­ je­pit, dengan kaos oblong yang dibeli di pasar murah. Atau­pun
kan­kota dengan induk "kebarat-baratan".
62 63
x Mal dan Raut... Azwar Anas x

ber­ceng­kra­ma de­ngan ke­lu­ar­ga de­ngan mem­bawa per­alat­an Timezone yang selalu tersedia di sudut-sudut mal. Remaja janji­
dan makanan sendiri, tidak akan menjadi masalah. an­dengan teman sebayanya di mal meski hanya sekedar jalan-
Hal-hal semacam ini tidak akan pernah ter­ja­di pa­da ru­ang­ jalan.
pu­blik bernama mal. Ruang publik bentukan mal, ­ada­lah ru­ang Bahkan pengalaman mereka menjadi simbol ­modernitas.
publik yang me­nye­leksi pe­ngun­jung se­ca­ra halus. Sa­at ki­ta ma­ ­Ji­ka se­umur hidupnya belum pernah merasakan dingin­nya AC
suk­ke da­lam­nya, bukan ukur­an sopan dan tidak so­pan pa­kai­an mal maka label cupu, udik dan kurang pergaulan akan me­le­kat
yang kita kena­kan, melain­kan seberapa bernilai pakaian atau­ pa­da­nya.
pun ak­se­sori yang kita pakai. Sulit kita temui ada orang yang Lantas, jangan dikata mal menyediakan itu se­mua bu­kan
menge­na­kan ka­os oblong mu­rah­an de­ngan san­dal je­pit be­bas tan­pa pamrih. Ada harga di balik tersedianya segala ke­bu­tuh­an
ber­ke­liar­an­ da­lam mal, meskipun tidak ada aturan yang me­ i­tu. Motif untuk mengeruk keuntungan sebanyak-ba­nyak­nya
larangnya. me­ma­cu ruang mal untuk menampung segala kebutuhan.
Indonesian Companies News (ICN), situs online yang ge­mar Abidin Kusno, mempunyai definisi yang jeli untuk me­mak­
me­nyoroti kewirausahaan politik dan kebijakan Indonesia, per­ nai­ruang publik ini. Ia menyebut ruang publik yang secara ­fi­si­ k
nah­menyebut hal ini sebagai pertarungan besar an­tara dua ru­ bi­sa ditunjuk dan ditempati sekaligus sebagai pengkontur me­
ang pu­blik. Dalam terbitan 1 Januari 2010, ICN ­meng­gam­bar­kan mo­ri kolektif masyarakatnya. Mal, kata Abidin, merupakan ru­
ba­gai­ma­na mal-mal itu kemudian mengimitasi ruang pu­blik ang­ swasta yang telah mengambil alih ruang publik dan kini
de­ngan meniru istilah yang biasa dipakai dalam ruang pu­blik men­jadi bagian penting dari memori kolektif generasi muda.
se­per­ti plaza, square, bahkan town square.
Dalam bukunya Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif
Pertarungan itu, tentu saja tidak berhenti pada penamaan Jakarta Pasca-Soeharto, Kusno mengisbatkan kalau mal itu telah
se­mata. Mal dirancang menjadi ruang publik serba guna. Ia me­ me­rajut me­mo­ri ko­lek­tif ma­sya­ra­kat­nya. Mes­ki­pun me­mo­ri
nye­diakan diri sebagai lahan untuk semua kegiatan ­ter­ma­suk ter­sebut tidaklah selalu berhasil menyeragamkan pengalaman
men­jadi situs aneka aktivitas, dari festival makanan, musik, pa­ so­sial, mal ini akan tetap menjadi wajah baru kota. Oleh karena
me­ran, hingga lomba ketangkasan binatang. itu segencar apapun kritik terhadap mal, ruang-ruang publik
Mal telah me­nye­rupai ruang publik sebenarnya. Dikonsep ma­cam ini tidak akan pernah sepi dengan penghuni karena
de­ngan lebih me­narik dan nyaman sehingga masyarakat cen­ kan­dung­an me­mo­ri ge­ne­rasi mu­da te­lah meng­ge­ser atau me­m­
de­rung mening­gal­kan ruang publik sebenarya seperti taman be­ri makna baru pada ruang publik sebenarnya.
ko­ta.
Ruang publik yang semula bermakna luas sebagai wahana hi­ Pusat Gaya
dup­bersama, bercengkerama, ngobrol, menghirup udara se­gar,­ Josh Poag dan Terry McEwen, penggawang perusahaan re­­tail
ser­ta rekreasi dan relaksasi untuk hidup lebih lanjut lagi, pelan- di Amerika menyebut Mal sebagai pusat gaya di akhir 1980-an.
­pelan mendapatkan makna khususnya sebagai ruang pu­blik Argumen mereka dikenal dengan Transfer Gruen yang diadopsi
po­litik ekonomi. Mal membuat ruang bersama menjadi fung­si­ dari seorang arsitek pusat perbelanjaan modern Amerika, Victor
eko­no­mis pasar dengan kepentingan kelas-kelas ­eko­no­mis se­ Gruen. Ketika konsumen memasuki pusat per­belanjaan modern
jak­kapitalisme menjadi penentu hidup manusia. dan dikelilingi oleh unit pertokoan yang kom­pleks maka mereka
Beberapa dekade lalu akan sangat mudah melihat sege­rom­ akan kehilangan jejak pada niat aslinya un­tuk bertransaksi
bol­an anak kecil berlarian dan bermain bola di lapangan ter­bu­ ekonomi.
ka.­Atau­pun sekelompok remaja yang asik menghabiskan wak­ Mal merupakan bentuk ruang ekonomi yang lahir dari ra­him
tu­ sore di areal taman kota, stadion, ataupun di ruang pu­blik ka­pitalis. Ia mempunyai daya pikat yang kuat untuk ­me­ngu­bah
lain­nya. Namun pemandangan semacam ini lambat laun te­lah at­mos­fer di dalamnya. Temasuk ruang sosial dan kons­truk­si
ber­alih ke mal. Anak akan merengek minta diajak ­ber­main ke sosial yang kompleks. Namun dengan fasilitas yang ber­ori­en­ta­si

64 65
x Mal dan Raut... Azwar Anas x

pada masyarakat menengah ke atas. nostalgia kaum modernis maju yang damba akan ko­mu­ni­tas
Bangunan komersil yang menggabungkan fungsi ­re­tail dan otentik yang khas sesuai stratifikasi sosial dan pe­mi­lik­an.
pusat perbelanjaan ini, diprakarsai oleh kelas-kelas he­ge­monik Mal sangat gencar menyuguhi konsumen­ deng­an­ se­rang­
untuk mengukuhkan kekuasaan. Eksistensi sosial men­jadi ko­ kaian produk dan pelayanan, serta suasana lingkungan yang di­
mo­diti utama, sehingga pusat perbelanjaan ini, kian men­jel­ma re­majakan. Suasana yang selalu berubah, bak sebuah teater yang
menjadi jantung kehidupan urban. selalu menampilkan lakon yang berbeda. Konsep pe­ran­cangan
Michel Foucault, seorang filsuf Perancis yang tajam ­dalam interior sebuah pusat perbelanjaan masa kini selalu me­na­war­
bi­dang institusi sosial dan psikologi, melihat masyarakat kon­ kan hal-hal baru yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
su­mer yang lahir dari wacana kapitalis tidak lagi sekadar obyek Banyak tema-tema ditawarkan yang akhirnya mengantar
dan subyek, akan tetapi "diferensi", perubahan konstan produk, ang­gota masyarakat untuk merasakan suasana yang di luar ba­
dan penampakan gaya hidup. Diferensi telah menjadi kata tas realitas. Sebagai contoh, suasana hari kasih sayang atau di­
kun­ci dalam masyarakat konsumer saat ini. Manusia ber­lomba- kenal dengan Valentine Day telah dimanfaatkan oleh para ka­pi­
lomba dalam segala aktivitasnya agar tampil berbeda dengan ta­lis untuk menangguk keuntungan yang berlipat.
sesama dalam lingkup sosialnya. Indonesia secara tradisi tidak mengenal perayaan ini. ­Na­mun,
Diferensi menjadi komoditi yang paling dicari oleh ma­ se­cara berangsur-angsur kapitalis mendandani ruang pu­blik me­
sya­ra­kat konsumer. Dalam posisi masyarakat yang ­demikian, re­ka dengan warna-warna kasih sayang, yakni warna me­rah
mal dan pusat-pusat perbelanjaan telah menjadi panggung mu­da yang menyelimuti suasana pusat-pusat per­be­lan­ja­an saat
pertunjukan yang strategis. Tempat pelaku-pelaku budaya men­dekati Hari Valentine.
saling ber­tukar peran dengan masyarakatnya sendiri sebagai Kesenangan ini pun ternyata te­lah menjadi kesenangan ba­
penonton­nya. Bila mereka tidak melakukannya mereka merasa nyak orang dan telah disepakati ber­sama sehingga orang akan
tidak da­pat menjadi anggota sejati masyarakat konsumer dan merasa nyaman dan betah dalam su­asana tersebut. Maka kon­su­
ter­sing­kir. men yang telah di-setting se­ba­gai penonton dan pemain dapat sa­
Mencermati fenomena ini, antropolog Akbar S. Ahmed ling menikmati sesamanya dan dalam perannya sendiri-sendiri.
mem­punyai sebutan yang menarik. Mal bukan hanya sebagai Mal telah menjadi wadah kegiatan mengekspresikan posisi
se­buah panggung tontonan melainkan sebuah kuil manusia dan iden­titas diri ma­syarakatnya. Kecenderungan masyarakat
mo­dern. Mal, mengajarkan dan menyebarkan citra ­konsumtif ke arah pem­ben­tukan iden­ti­tas melalui gaya hidup sebagai ko­
yang kuat. Sehingga dalam teorinya muncul istilah “Saya ber­ mu­nikasi simbolik dan mak­na-mak­na per­so­nal di­ha­dir­kan da­
be­lanja maka saya ada,” yang meruncing pada budaya kon­su­ lam pang­gung yang di­iden­ti­tas­kan se­ba­gai Mal ini. Ga­ya hi­dup
merisme yang tidak mengenal ruang dan waktu. ma­syarakat layaknya pemain teater di atas panggung yang ter­
Mal adalah mesin ajaib untuk belanja yang dimanipulasi ha­ ha­­dirkan melalui gaya busana, pakaian, sepatu, mode rambut,
sratnya dengan arsitektur, desain lokasi, dan lanskap ­simbo­lik akse­soris, model tas, telepon genggam, bahkan cara berbahasa
yang berfantasi. Hasrat belanja, jalan-jalan, nonton dan me­nam­ yang kian beraneka macam.
pilkan diri sebagai identitas dengan menaruh mal di ­lans­kap
budaya pop yang menyatukan kepuasan pemenuhan ha­srat Menggeser Tradisi
ruang privat dan ekspresi citra ruang publik yang gaul dan mam­ Perubahan-perubahan mendasar terasa pada dekade akhir
pu membeli gaya hidup modern. ini yang ditandai pula oleh ber­gerak­nya ber­bagai hal pada titik-
Dari sisi politik ekonomi, tempat seperti mal merupakan titik akhir. Per­ubah­an ini memang terasa amat me­nge­jut­kan
political fact. Artinya, sebuah ruang di kontrol kelas yang se­dang dan hampir tidak terbayangkan sebelumnya. Banyak re­ali­tas
berkuasa secara birokratis dan pemilik modal. Untuk mem­ yang hilang di hadapan masyarakat, baik realitas-realitas so­
bangun tempat eksotis pusat belanja, pengembang me­ma­nipulasi sial yang arif dari masa lampau, maupun realitas-realitas fisik

66 67
x Mal dan Raut... Azwar Anas x

s­ e­per­ti hilangnya flora dan fauna. Konsep-konsep tradisional kom­plek pusat perbelanjaan cenderung menjadi sok luar ne­ge­ri.
te­lah lebur dalam budaya kontemporer yang mengakhiri se­ Misal­nya menghadirkan sensasi fantasi Itali palsu atau Spanyol
mua­nya dalam konsep-konsep baru munculnya mal. palsu sebagai tumpuan target keberhasilan penjualan ko­moditas.
Proses jual-beli merupakan tindak-tanduk tradisional yang Plaza, square, town square adalah fenomena pe­nga­dop­si­an nama
sudah ter­jadi demikian lama. Bahkan terjadinya sebuah kota dari negara-negara Eropa.
salah ­sa­tunya berawal dari proses jual-beli yang dulu dikenal Perancangan arsitektur tidak bisa dilepaskan kaitannya de­
se­butan barter. Tempat bertemu antara penjual dan pembeli ngan si­tua­si dan kon­di­si yang terjadi pada masyarakatya. Ke­
inilah yang kemudian berangsur-angsur berkembang menjadi bu­tuh­an a­kan fa­si­li­tas atau wadah untuk menampung ke­giat­an
tem­pat yang lebih lengkap dari sekadar aktivitas ekonomi be­ ma­sya­ra­kat ter­se­but merupakan bagian yang tidak bisa di­le­pas­
laka, ber­tumbuh setelah melengkapi dirinya dengan fasilitas-­fa­ kan dari analisis-­analisis perancangan arsitektur dalam langkah
silitas lain. ­Perkembangan ekonomi sebagai akibat kejelian ka­ awal rancang bangunnya. Studi tentang kondisi budaya yang
pitalis telah menyulap konsep ekonomi sebuah pasar menjadi ber­kem­bang, dapat dimungkinkan sebagai bagian kunci dari
panggung pertunjukkan. perancangan bangunan.
Kapitalisme telah mengantar konsumen masuk dalam Perancangan arsitektur sebuah pusat perbelanjaan kiranya
jeratan suatu lingkungan jual-beli yang berbeda dibandingkan ha­rus disikapi dengan lebih dewasa. Sebab, wadah ini bukan
­konsep pasar tradisional. Di pasar tradisional, kegiatan transaksi ha­nya menampung kegiatan yang bersifat transaksi secara tra­
jual beli tidak lepas dari budaya tawar-menawar. Harga sebuah di­­sional (jual-beli) saja, tetapi telah menjadi bagian dari kehi­
barang dapat dikatakan tergantung kecerdikan dan kelihaian dup­­an masyarakat kota metropolitan.
pembeli. Di pusat perbelanjaan modern teknik model kearifan Kebudayaan berbelanja tidak sekadar pemenuhan ke­bu­tuh­an
macam itu mutlak dilarang. Harga yang berlaku adalah harga pri­mer saja, tetapi di balik itu kebudayaan ini telah mengha­dir­
pas. Bila cocok silakan bayar di kasir sesuai harga tercantum. kan gaya-hidup penggunanya. Di dalam sebuah mal tidak lagi
Bila tidak silakan pergi, tidak akan ada yang menahan. dibaca sebagai satu lalu-lintas kebudayaan benda saja, akan te­
*** tapi telah menjadi teater-sosial di mana masyarakat pengguna­
Realitas perkotaan seakan-akan telah terakomodasi oleh se­ nya menjadi pemeran pemerannya. Perancang bangunan harus
bu­ah pusat perbelanjaan berselimut penghawaan yang nyaman, me­nyikapi hal ini dengan membuka kemungkinan ruang-ruang
sis­tem pengudaraan yang diatur, anti hujan, apalagi sengatan terbuka yang memfasilitasi kecenderungan tersebut. 3
matahari. Realitas elemen kota semisal restoran, bioskop,
warung­internet, salon kecantikan, pusat permainan anak-anak Daftar Pustaka
(Timezone), penjual hewan piaraan dan fasilitas-fasilitas lain Adisasmita, Rahardjo, H. (2005). Pembangunan Ekonomi Perkotaan.Yogyakarta:­
yang ser­ba lengkap dan menyenangkan ada dalam satu kotak Graha Ilmu.
besar, mal. Bawollo, Robert. (2010). Deskontruksi sebagai Mindset Postmodernism.
Usaha mendandani kota, yang paling menguntungkan se­ca­ra Yogyakarta:­­Kanisius.
ekonomi adalah membikin mal. Ia lamat-lamat men­de­fi­ni­sikan Hartanto, Freddy. (2011). “Pengaruh Kebudayaan Kontemporer dalam
u­lang identitas kota yang selama ini dikenal. Kota men­da­dak Perancangan­ Arsitektur Mal”. Tersedia pada http://puslit.petra.
ber­ubah wajah menjadi modis, penuh bangunan ber­langgam ac.id/journals/architecture/01/05/2011. Diakses pada 10 Januari
cam­pur baur. Maka, saat ini cukup sulit membeda­kan suasana 2011, 22.31 WIB.­
di sa­tu kota dengan kota lain. Nyaris seragam, dengan landmark Kusno, Abidin. (2009). Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta
ba­ru bangunan komersial yang modis serta egois itu. Pasca-Suharto. Yogyakarta: Ombak.
Akan tetapi, semakin ke sini, agaknya yang terjadi justru “Mall dan Ruang Publik yang Hilang”. Tersedia pada www.regional.roll.co.id/
pa­da perlombaan yang menegasikan karakter lokal. Penamaan Mall dan Ruang Publik yang Hilang/01/17/2011. Diakses pada 20

68 69
x Nama Jalan di... Prima Sulistya Wardhani x

Januari 2011, 22.31 WIB.


“Merebut Kembali Ruang Publik”. Tersedia pada www.IndonesianCompanies­
News.com­/Merebut Kembali Ruang Publik/01/13/2011. Diakses
pada 1 Februari 2011, 22.45 WIB.

Prima Sulistya Nama Jalan


Wardhani
di Sepanjang Jaman

Roda-roda mencintai jalan yang keras dan mulus.

SU­A­TU ha­ri di ta­hun 1962, ter­cip­ta­lah se­bu­ah la­gu de­ngan ira­ma


ri­ang gem­bi­ra. Tak di­nya­na, la­gu itu men­jel­ma menjadi alunan
na­da­ yang meng­a­ba­di. Ya, si­a­pa yang ti­dak kenal dengan la­gu
Naik Delman?1 Se­ba­gi­an be­sar a­nak Indonesia dipasti­kan ha­fal
ti­ap ba­it la­gu i­tu. Co­ba­lah cer­na larik-larik liriknya berikut ini:

Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota


Naik delman istimewa kududuk di muka
Kududuk di samping Pak Kusir yang sedang bekerja
Mengendarai kuda supaya baik jalannya
Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk
Tuk tik tak tik tuk tik tak
Suara sepatu kuda
1
Informasi mengenai siapa pencipta lagu Naik Delman ma­sih sim­pang-siur. A­da
be­­be­­ra­pa ­na­ma pen­cipta lagu anak-anak yang diyakini sebagai­ orang ­yang men­cip­ta­kan­
la­gu itu,­yak­ni Pak Kasur, Ibu Sud, atau AT Mahmud.

70 71
x Nama Jalan di... Prima Sulistya Wardhani x

Me­ru­nut pa­da li­rik­nya, la­gu Naik Delman berkisah tentang se­ ja­lan i­ni me­mang me­ru­pa­kan ku­bur­an bagi lima ribu bu­ruh
o­rang a­nak yang gem­bi­ra ha­ti­nya ka­re­na diajak ayahnya ­per­gi ke­ ­pe­ker­ja­nya, i­tu­lah me­nga­pa ja­lan ini menjadi proyek ber­darah-
ko­ta.­Ji­ka me­nu­rut­i ke­bi­a­sa­an ma­sya­ra­kat dengan biasa ­mem­ba­gi­ ­da­rah yang sia-­sia. Ja­lan ra­ya tanpa roda, perjalanan ja­uh yang
wi­la­yah spa­si­al men­ja­di di­ko­to­mi desa dan kota, ma­ka bisa di­sim­ ma­sih­ meng­an­dal­kan ku­da, ma­ka usaha memperta­han­kan diri
pul­kan­bah­wa ru­mah si a­nak ber­ada di desa. Ka­re­na si anak me­la­ dari Inggris ga­gal. Ta­hun 1811 Inggris ber­ha­sil me­ngu­asai Hindia
fal­kan ko­ta de­ngan se­but­an “kota”, bukan “pu­lang”, “rumah”, atau Belanda.­
kosa­kata­lain yang menunjukkan dari ma­na ia ­berasal. Mes­ki­pun de­mi­ki­an, Jalan Raya Pos te­tap menjadi ­per­ubah­an
Pa­da e­ra 1960-an itu, be­ra­gam ken­da­ra­an “aneh” yang ki­ni ­te­lah­ pa­ling pen­ting da­lam ben­tuk fi­sik dan struk­tur Jawa, (Kusno,
lang­ka ma­sih bi­sa di­te­mui di mana-­mana. Del­man dan ­he­licak­mi­ 2007: 52).­ Se­ti­ap 16 1/3 me­nit di se­pan­jang ­ja­lan ra­ya itu, kata
sal­nya, ma­sih la­zim di­gu­na­kan se­ba­gai alat transportasi.­­Se­ka­rang,­ Mrázek, a­da se­bu­ah pan­cang un­tuk ­me­nun­juk­kan ja­rak. “Pada
delman le­bih se­ring men­ja­di kendaraan wisata ketim­bang di­ber­ se­ti­ap pancang­ ke li­ma, a­da bang­sal untuk ­mengganti ­ku­da
da­ya­gu­na­kan un­tuk sa­ra­na ang­kut ­sehari-hari, ­sedangkan na­sib kereta su­rat pe­me­rin­tah,” lan­jut Mrázek da­lam tulisannya,
helicak le­bih tragis: tamat riwayatnya. (Mrázek, 2006: 8).­Bang­sal a­tau gar­du i­tu la­lu me­mun­cul­kan se­
Me­ner­je­mah­kan Naik Delman, ba­rang­ka­li si bocah dan buah ke­ra­ma­ian­ba­ru be­ru­pa hotel-­hotel tem­pat ­per­is­ti­ra­hat­an,
sang a­yah me­num­pang ke­re­ta ku­da i­tu untuk pergi dari rumah (Mrázek, 2006: 55). “I­ni a­da­lah si­tu­asi ja­lan­an ko­ta,” tu­lis Eliza
me­reka­di­de­sa me­nu­ju ke ko­ta. Namun, bisa pula mereka naik Ruhamah Scidmore, se­o­rang travel writer ber­ke­bang­sa­an
del­man se­te­lah ti­ba di ko­ta. Ba­gi si a­nak, yang paling menarik Amerika Serikat yang me­lin­tasi ja­lan i­tu di ta­hun 1890. “ … Di
da­lam per­ja­lan­an­i­tu bu­kan­lah de­rum mo­bil a­tau de­sing ­motor. sa­na ba­nyak laki-­laki, pe­rem­pu­an, dan anak-­anak ber­kum­pul.
Sesuatu yang le­bih de­kat dan ber­i­ra­ma ter­nya­ta jauh lebih Ja­lan u­ta­ma terlihat ramai seperti ja­lan­an ko­ta dan di se­ki­tar
ber­ke­san, yaitu bunyi ta­pal ku­da ber­ba­han be­si yang ber­a­du me­re­ka yang ber­se­li­wer­an i­tu ja­lan raya de­ngan su­ara­ hiruk-
­dengan jalanan keras secara terus-­menerus. ­pikuk,” lanjutnya, (Mrazek, 2006: 55).
Ter­le­pas da­ri kon­teks si­tu­a­si mana yang benar, “sebuah Si­no­nim an­tara ko­ta dan ja­lan ada­lah se­bu­ah hu­bung­an
­per­ja­lan­an­da­ri de­sa ke ko­ta”, a­tau “sebuah situasi pelesir di kota”, per­u­bah­an.­Per­ubah­an da­ri se­bu­ah ko­ta Jawa de­ngan pe­nan­da
ter­da­pat­si­no­nim di da­lam ke­du­a­nya: pasangan “jalan” dan “kota”. fe­odal­is­tis­nya (alun-alun, pu­sat ke­ra­ja­an, tem­pat iba­dah, dan
Jalan ke­ras yang ha­nya di­jum­pai di ko­ta, inilah jalan modern. pa­sar), men­ja­di ko­ta yang modern (jalan raya, pu­sat pro­duk­si
hilir, dan kon­sum­si).
Ja­lan mo­dern, tu­lis Rudolf Mrázek da­lam Engineers of ­Happy
Land, a­da­­lah “Se­su­a­tu ba­ru yang ke­ras dan bersih,” (Mràzek, 2006: Jalan Raya Pos adalah jalan yang membentuk kota-kota.
13). Hindia Belanda (cikal-bakal negara Indonesia) untuk pertama Di Bandung, jalan raya itu menjadi muara bagi jalan-jalan
ka­li­nya me­nge­nal ja­lan mo­dern dan ber­as­pal ba­ru pa­da awal abad ­proto­kol, se­per­ti Jalan Jenderal A. Yani, Jalan Asia Afrika,
ke-19.­Ja­lan per­da­na i­tu a­da­lah Ja­lan Raya Pos atau Groote postweg dan Jalan Jenderal Sudirman. Ke­ber­ada­an Jalan Raya Pos juga
yang mu­lai di­bu­at ta­hun 1808 a­tas instruksi Gubernur Jenderal ­men­ja­di per­hi­tung­an ke­ti­ka pe­me­rin­tah ko­lo­ni­al memulai
Hindia Belanda Herman Willem Daendels. O­leh ka­re­na i­tu, orang pembangunan kota-kota garnizun2 dan kota-kota lain­nya
le­bih su­ka me­nye­but­nya dengan nama Jalan Daendels. ­se­te­lah usai­nya Perang Jawa (1825-1830).
Jalan Raya Pos se­le­sai di ta­hun 1811, empat tahun setelah Jalan dengan aspalnya yang lantas dilewati roda-roda ken­­
cang­kul­an per­ta­ma di­a­yun­kan di Anyer. Jalan raya pos ­ber­fung­si da­ra­an, ke­mu­di­an la­lu-lalang manusia yang me­mun­cul­kan ke­
un­tuk meng­hu­bung­kan an­tar­ka­re­si­den­an di Jawa da­lam rang­ka ra­mai­an dan mem­ben­tuk ke­hi­dup­an ba­ru, mem­buat “kota” dan
meng­an­ti­si­pa­si serangan Inggris. “jalan” iba­rat du­et sim­bol mo­der­ni­tas yang tak ­ter­pi­sah­kan.
Ki­ni, di Ka­bu­pa­ten Kebumen, Jawa Tengah, Jalan Raya Pos
se­per­ti ku­bur­an. Se­bu­ah ja­lan ne­ga­ra, jalur alternatif yang di­apit ***
­ke­bun te­bu yang tak habis-­habisnya nan sepi lagi gelap. La­gipula­ 2
Kota garnizun adalah is­ti­lah un­tuk me­nye­but ko­ta ­sen­tra ­pro­duk­si, dis­tri­bu­si dan
per­da­gang­an,­ser­ta ko­ta pe­ris­ti­rahatan.

72 73
x Nama Jalan di... Prima Sulistya Wardhani x

Nama-nama Sederhana Pro­to­ti­pe serupa juga berlaku untuk nama-nama jalan di


Penggunaan terma “sesuatu” dalam tulisan Mrázek ketika Ko­ta Yogyakarta. Jalan menuju Kampung Gejayan dinamai Ja­
men­de­fin ­ i­si­kan ja­lan mo­dern me­nim­bul­kan su­atu sen­sa­si lan Gejayan. La­lu ada Ja­lan Solo (jalan menuju ke Solo), Jalan
a­sing. Ja­lan mo­dern ada­lah se­bu­ah ben­da ba­ru un­tuk Hindia- Bantul (ja­lan me­nu­ju ke Ka­bu­paten Bantul), Ja­lan Parangtritis
Belanda, na­mun be­lum ter­la­lu pen­ting, (Mrázek, 2006: 8). Ja­lan (ja­lan me­nu­ju ke Pantai Parangtritis), dan se­te­rus­nya.
ra­ya ber­as­pal ha­nya ber­ar­ti ba­gi ro­da-ro­da. Ke­ti­ka pem­bangun­ Ke­cen­de­rung­an me­na­mai ja­lan de­ngan te­ma ter­ten­tu da­pat
an Jalan Raya Pos se­le­sai, ke­gi­at­an ber­pin­dah tem­pat dan lin­tas di­se­li­di­ki le­wat to­po­ni­mi­nya. To­po­ni­mi me­ru­pa­kan il­mu yang
da­erah ma­sih sa­ja meng­an­dal­kan ke­ku­at­an ka­ki; ­ka­ki ma­nu­sia mem­pe­la­jar­i pe­na­ma­an un­sur-un­sur ru­pa bu­mi, ter­ma­suk ta­
atau ru­pa-ru­pa he­wan be­ban lain­nya. ­Se­men­ta­ra del­man, mo­ ta­ca­ra pe­nu­­lis­an, peng­ucap­an, dan pem­ba­ku­an­nya. Na­ma yang
bil, mo­tor, ser­ta ber­je­nis-je­nis ken­da­ra­an be­ro­da lain­nya, ba­ru te­lah di­ba­ku­kan akan men­ja­di na­ma res­mi yang di­akui.
ti­ba di Hindia-Belanda pa­da abad ke-19 atau awal abad ke-20.
Toponimi nama jalan di Kota Yogyakarta di­rang­kum da­
Sekali lagi, di tempo-tempo sebe­lum itu, ja­lan be­lum­lah lam la­por­an ber­ju­dul Toponimi Kota Yogyakarta, (Tim, 2004).
be­gi­tu ber­ar­ti. Asum­si­nya, ja­lan ba­ru te­ra­sa man­fa­at­nya bi­la Bebe­ra­pa di an­ta­ra­nya ter­da­pat to­po­ni­mi khas yang men­ci­ri­kan
se­se­orang te­lah me­mi­li­ki ken­da­ra­an, dan me­ma­kai ja­lan ra­ya Yogyakarta se­ba­gai be­kas ke­ra­ja­an, an­ta­ra la­in se­ba­gai be­ri­kut:
se­ba­gai ak­ses yang le­bih mu­dah ke­tim­bang me­nem­bus ja­lan
• Nama jalan berdasarkan nama ke­di­a­man (da­lam ba­ha­
se­ta­pak. Ja­di­lah an­ta­ra ja­lan dan ke­hi­dup­an pri­bu­mi ke­ba­nyak­
sa Jawa di­se­but ndalem) pa­ra pa­nge­ran atau bang­sa­wan
an ma­sing-ma­sing ber­ge­rak sen­di­ri-sen­di­ri. Pri­bu­mi se­ba­tas
ke­ra­ja­an.
hi­dup menge­ru­bung­i ja­lan un­tuk men­ca­ri peng­hi­dup­an, yaitu
• Na­ma ja­lan ber­da­sar­kan na­ma-na­ma ke­ah­li­an abdi dalem
di se­ki­tar bang­sal-bang­sal tem­pat meng­gan­ti ku­da yang ra­mai
(pegawai) ke­ra­ja­an.
o­leh mu­sa­fir. Di si­tu­lah pa­ra pribumi da­tang un­tuk ber­ju­al­an
• Na­ma ja­lan ber­da­sar­kan na­ma-na­ma pe­ti­la­san pe­ning­
ba­rang atau me­na­war­kan ja­sa.
gal­an ke­ra­ja­an.
Hubungan me­re­ka de­ngan ja­lan me­mang cu­ma se­ba­tas itu. • Na­ma ja­lan ber­da­sar­kan tem­pat ting­gal abdi dalem atau
Ke­ter­asing­an ja­lan, ken­dati ke­ha­dir­an­nya ti­dak bi­sa di­tam­pik, pra­­ju­rit ke­ra­ja­an.
mem­bu­at ja­lan se­ka­dar di­iden­ti­fi­ka­si de­ngan ca­ra se­der­ha­na.
Jalan Raya Pos se­ba­gai se­bu­ah na­ma res­mi di­te­pis, ke­mu­di­an Se­ba­gai con­toh ada­lah Ja­lan Sosrowijayan yang ter­le­tak
pri­bu­mi men­cip­ta­kan kon­ven­si sen­di­ri, me­nye­but se­ca­ra kul­ di se­be­lah ba­rat Malioboro. Ja­lan yang akrab ba­gi pa­ra tu­
tu­ral ja­lan per­ta­ma di Hindia Belanda itu de­ngan na­ma Ja­lan ris ka­re­na ter­se­dia ba­nyak pe­ngi­nap­an ini di­am­bil da­ri na­ma
Daendels. Na­ma ini di­aba­di­kan pe­nu­lis Pramoedya Ananta Tumenggung Sosrowijaya, sa­lah se­o­rang pem­be­sar Kasultanan
Toer da­lam no­vel­nya, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Bah­kan, Ngayogyakarta Hadiningrat yang du­lu ber­di­am di tem­pat yang
na­ma ju­luk­an itu le­bih ke­kal ke­tim­bang na­ma asli­nya. se­ka­rang ber­na­ma Ja­lan Sosrowijayan.
Sebagai sesuatu yang asing, ja­lan ti­dak per­nah di­na­mai mu­luk- Selain itu, sejak masa pe­me­rin­tah­an ­Sri ­Sultan Hameng­ku­
mu­luk atau ma­lah ber­mak­na yang ter­ke­san pi­cis­an, se­per­ti na­ma bu­wono VI, tem­pat ting­gal pa­ra abdi dalem di­ke­lom­pok­kan ke
Ja­lan Rue du Chat qui pêche di Paris yang ar­ti­nya “Ja­lan Kucing da­lam­ kam­pung-kam­pung (ja­lan-ja­lan) me­nu­rut­ ka­te­go­ri ke­ah­
yang Me­man­cing”. Pe­na­ma­an su­atu ja­lan se­per­ti­nya ­be­rang­kat li­an mere­ka. Ja­di­lah na­ma-na­ma se­per­ti Ja­lan Gamelan (tem­pat
da­ri ke­nya­ta­an-ke­nya­ta­an yang se­der­ha­na sa­ja. Se­but­ sa­ja di ting­gal un­tuk pa­ra gamel atau tukang urus kuda kerajaan), Jalan
Daerah Istimewa Yogyakarta di ma­na pe­na­ma­an ­tempat di­da­ Kemasan (tem­pat ting­gal un­tuk pa­ra ­peng­ra­jin dan peng­u­sa­ha
sarkan pada morfologi wilayahnya. Nama Kulonprogo, ­mi­sal­nya, emas), dan se­te­rus­nya.
mun­cul ka­re­na wi­la­yah ka­bu­pa­ten itu ter­le­tak di se­be­lah ba­rat
Se­la­in ka­te­go­ri to­po­ni­mi di atas, ja­lan-ja­lan di Yogyakarta
(kulon) Su­ngai Progo, ju­ga Ka­bu­pa­ten Gunungkidul yang ber­­ada
di­na­mai de­ngan na­ma-na­ma pah­la­wan na­si­onal la­yak­nya ko­ta-
di si­si se­la­tan (kidul) Pu­lau Ja­wa dan kon­tur wi­la­yah­nya yang be­
ko­ta la­in di Indonesia, se­per­ti Jalan Kyai Haji Ahmad Dahlan,
ru­pa gu­nung-gu­nung atau bu­kit-bu­kit ka­pur yang ger­sang.
Jalan Pangeran Diponegoro, Jalan H.O.S. Tjokroaminoto, dan
74 75
x Nama Jalan di... Prima Sulistya Wardhani x

la­in se­ba­gai­nya. ­Ada ju­ga ja­lan yang di­na­mai de­ngan na­ma-na­ yang be­rang­kat da­ri iden­ti­fi­ka­si se­der­ha­na.
ma bu­ah, tum­buh­an, he­wan, atau un­sur-un­sur ce­ri­ta le­gen­da Se­ba­gai pe­nan­da, na­ma Pasarkembang ti­dak la­gi men­ja­di
(mi­sal­nya na­ma-na­ma to­koh da­lam ki­sah Mahabarata) yang gam­bar­an men­tal un­tuk se­bu­ah ja­lan yang me­lin­tas di ­se­be­rang
ba­nyak di­pa­kai di ja­lan-ja­lan pe­ru­mah­an tan­pa mem­per­hi­ se­la­tan Sta­siun Tugu be­ser­ta se­ga­la je­nis pe­ra­bot­an­nya. Na­ma
tung­kan se­ca­ra se­ri­us ni­lai his­to­ris dan po­li­tis­nya. itu ke­mu­di­an ma­lah me­nyem­pit men­ja­di se­ka­dar ­pe­nan­da
­un­tuk se­bu­ah gang be­ser­ta ak­ti­vi­tas­nya. Mak­na­nya pun
Nama Jalan sebagai Simulakrum ­me­nga­la­mi pe­yo­ra­si. Me­nga­ta­kan Sarkem di ha­dap­an siapa­pun
The simulacrum is never that which conceals the truth —it is the truth which yang me­ngenal gang 3 akan me­nim­bul­kan se­bu­ah gam­bar­an
conceals that there is none. The simulacrum is true. men­tal: Yogyakarta, gang, perempuan, dan seks ­ko­mer­si­al.
-Ecclesiastes-3 Apa­la­gi ada­nya ke­be­tul­an bah­wa ka­ta kem­bang pu­nya dua­li­tas
yang ko­he­ren de­ngan Jalan Pasarkembang du­lu dan se­ka­rang.
Na­ma ja­lan men­ja­di se­ma­cam “ja­lan peng­hubung” antara
sebuah ruang asing bernama “jalan” de­ngan orang ­ke­ba­nyak­an Pasarkembang dalam konteks wujudnya, yakni jalan ber­aspal
­yang hi­dup di da­lam­nya, yak­ni rak­yat. Me­ngu­tip is­ti­lah yang mem­ben­tang di se­la­tan Stasiun Tugu dan ber­de­kat­an de­ngan
­an­tro­po­log James Dananjaya, “ja­lan peng­hu­bung” itu ­di­bung­kus Jalan Malioboro, ten­tu­nya le­bih da­hu­lu ha­dir ke­tim­bang se­ba­gai
da­lam se­bu­ah ba­ha­sa rak­yat, ka­re­na pa­da na­ma ­ja­lan ter­se­but, se­ ­pe­nan­da alias nama Pasarkembang itu sen­di­ri. Se­bu­ah jalan ten­tu
ba­gai na­ma tra­di­sio­nal, ter­cer­min se­ja­rah ­ter­ben­tuk­nya, ­se­ja­rah sa­ja ek­sis ter­le­bih du­lu ba­ru ke­mu­di­an di­iden­ti­fi­ka­si pe­na­ma­an­nya.
yang di­ala­mi rak­yat. Nama itu, mem­per­ha­ti­kan ke­bia­sa­an-ke­bia­sa­an kon­sep pe­
Tapi ada ka­la­nya ba­ha­sa rak­yat itu mem­ben­tuk hi­per­rea­li­tas na­ma­an ja­lan di Yogyakarta yang te­lah di­pa­par­kan ­se­be­lum­nya,
ba­gi pen­du­duk asli dan pen­da­tang yang ti­dak me­nge­nal se­ja­rah. di­ben­tuk oleh ru­ang dan kul­tur ja­lan. Na­mun ­ke­mu­di­an, penge­
Pe­nge­ta­hu­an yang sa­lah ini ter­ben­tuk se­mi­sal ke­ti­ka men­de­ngar la­na­an na­ma ja­lan ter­se­but man­dek pa­da ­se­bu­ah re­ali­tas la­in.
na­ma Ja­lan Pasarkembang yang ter­le­tak di se­be­lah se­la­tan Sta­ Me­ru­juk pa­da kon­sep hi­per­re­ali­tas ­Jean Baudrillard, na­ma itu
si­un Tugu Yogyakarta. Bila da­tang da­ri arah ti­mur, per­ha­ti­kan te­lah men­ja­di se­bu­ah “simulakrum”.
gang ke tiga di kiri jalan, di situlah inti dari Sarkem–de­mi­ki­an Se­bu­ah ke­be­tul­an, ke­ti­ka Pasarkembang da­lam ­mak­na ­har­fi­ah,
orang me­nying­kat Pa­sarkembang–ber­ada. men­ja­di te­tap re­le­van mes­ki­pun ti­dak ada orang ­ber­ju­al­an kem­
Kira-kira setelah tahun 1884, Sarkem mu­lai iden­tik se­ba­gai bang lagi. Na­ma ini te­tap iden­tik de­ngan ko­no­ta­si yang se­ka­rang
area lo­ka­li­sa­si. Hing­ga me­dio 1960-1970, lo­kasi gang 3 le­bih di­ men­ja­di acu­an, bu­kan se­ba­gai se­bu­ah ja­lan la­gi, me­la­in­kan le­bih
ke­nal de­ngan na­ma Balokan. Na­mun ke­mu­di­an na­ma ­Balokan ter­fo­kus se­la­ku na­ma gang. Ta­pi na­ma itu su­dah pu­tus hu­bung­
teng­ge­lam dan mun­cul­lah na­ma Pasarkembang. ­Se­be­lum­nya, an de­ngan mak­na har­fi­ah­nya atau se­ja­rah ­me­nga­pa ja­lan itu di­
Balokan dan Pasarkembang bi­asa di­gu­na­kan un­tuk meng­acu na­mai be­gi­tu, ju­ga de­ngan apa yang ­se­ha­rus­nya ia tan­dai, yak­ni
pa­da sa­tu tem­pat, yang ti­dak lain ada­lah gang 3 itu. se­bu­ah ja­lan.
Asal-usul Pasarkembang se­ba­gai na­ma ja­lan ber­mu­la da­ri Na­ma itu men­ja­di si­mu­lakrum ka­re­na ia men­da­hu­lui ­re­ali­tas
ba­nyak­nya pe­da­gang ber­ju­al­an bu­nga (kem­bang) di se­pan­jang yang ia tan­dai (jalan), dan ma­lah “ber­ja­lan-ja­lan”, la­lu ­me­nan­dai
ja­lan itu.4 Na­ma Pa­sarkembang ha­nya­lah se­bu­ah na­ma ja­lan se­sua­tu yang sa­ma se­kali la­in (mes­ki­pun ma­sih ber­ada da­lam
ru­ang ja­lan Pasarkembang). Pro­ses ke­ti­ka orang-orang te­rus-
3
Jean Baudrillard, “Simulacra and Simulations” dalam Jean Baudrillard, Selected
Writings, ed Mark Poster (Stanford University Press: 1998), pp.166-184, diakses dari http://
me­ne­rus menye­but Pasarkembang bu­kan se­ba­gai ja­lan na­mun
www.egs.edu/faculty/jean-baudrillard/articles/simulacra-and-simulations/ pada 22 Januari se­ba­gai tem­pat lo­ka­li­sa­si itu­lah yang di­na­ma­kan si­mu­la­si. Ini
2011, pukul 18.20 WIB.
4
Sumber diambil dari tulisan A. Barata yang berjudul “Toponimi Jalan di Yogya”
me­ru­pa­kan dam­pak da­ri ker­ja simulakrum dan pemak­na­an
di http://www.tembi.org/yogjamu-prev/toponim_jalan.htm. Tulisan itu mengacu pada data kem­bang yang ko­no­ta­tif.
dalam buku tulisan Salamun, Mengenal Bangunan Bersejarah dan Nama-nama Jalan di
Kotamadya­ Yogyakarta. Meski begitu, keterangan dalam tulisan A. Barata masih dangkal,­ Si­tu­asi fi­nal­nya ada­lah bi­la per­ta­nya­an “Apa itu Sarkem?”
sementara­ saya tidak menemukan buku yang ia acu tersebut. Dalam karya Moedjijono ­di­aju­kan ke­pa­da se­seo­rang yang te­lah menge­nal Sarkem. Orang
dengan­judul Sarkem: Reproduksi Sosial Pelacuran, lebih banyak membahas asal-usul nama
Balokan dan tidak menyinggung Pasarkembang sama sekali.

76 77
x Nama Jalan di... Prima Sulistya Wardhani x

q Im­bas­nya, men­ja­di se­su­atu yang wa­jar, bah­kan wa­jib, bi­la


Plang Jalan ­ a­ma-na­ma kor­ban pe­ris­ti­wa itu ha­rus di­aba­di­kan da­lam ber­ba­
n
Pasar Kembang gai ben­tuk, ter­ma­suk mo­nu­men, film, bu­ku se­ja­rah, dan bah­kan
yang terletak di
se­ki­tar ­ka­wa­san­ na­ma ja­lan. Alhasil, na­ma-na­ma pah­la­wan re­vo­lu­si yang men­ja­
Malioboro di kor­ban pe­ris­ti­wa G30S ba­nyak ber­te­ba­ran di jalan-ja­lan pro­
­Yogyakarta. Pasar to­kol ko­ta-kota nya­ris di se­lu­ruh wi­la­yah Republik Indonesia.
Kembang te­lah Bah­kan, na­ma-na­ma para “pem­bela Pancasila” itu di­ang­gap ber­
di­aku­i se­ba­gai
nama objek wisata hak meng­gan­ti­kan na­ma-na­ma ja­lan yang te­lah ter­se­mat se­be­
seksual dengan lum­nya.
posisinya ­sebagai Mengganti na­ma ja­lan de­ngan na­ma-na­ma pah­la­wan re­vo­
­simulakrum
lu­si ada­lah se­bu­ah prak­tik po­li­tik un­tuk meng­klaim atau mem­
ben­tuk me­mo­ri ko­lek­tif akan su­atu ke­ja­di­an se­ja­rah de­ngan ca­
ra re­pe­ti­si. Hal ini se­ja­lan de­ngan apa yang di­gam­bar­kan oleh
George Orwell da­lam bu­ku Animal Farm, yakni se­bu­ah fak­ta
bi­sa di­ka­bur­kan le­wat bual­an yang te­rus di­re­pe­ti­si. Ce­ri­ta sa­lah
Prima

yang di­ulang-ulang bah­kan bi­sa mem­bu­at sak­si se­ja­rah me­ra­


gu­kan ingat­an­nya. Na­ma “pah­la­wan re­vo­lu­si” yang akan te­rus
yang di­tanya nis­ca­ya akan men­ja­wab: “Sarkem ada­lah tem­pat di­ulang-ulang da­lam ala­mat se­ko­lah, lo­ka­si pusat per­be­lan­ja­an,
di ma­na ka­mu bisa “mem­beli” pe­rem­pu­an di Yogya.” atau ja­lan di ma­na kan­tor pe­me­rin­ta­han ber­ada, me­ne­gas­kan
bah­wa to­koh-to­koh yang dia­ba­di­kan na­ma­nya itu se­olah-olah
Ini­lah si­tu­asi hi­per­rea­li­tas. Pe­nge­la­na­an na­ma Sarkem telah men­jadi “kor­ban” dan PKI adalah “pelakunya”.
men­cip­ta­kan kul­tur lain. Ia men­cip­ta­kan pe­nger­ti­an ­bah­wa
Sarkem ada­lah se­bu­ah ka­ta ta­bu. Le­bih pa­rah la­gi, Sarkem Se­ba­gai con­toh ka­sus ada­lah, du­lu, se­be­lum Orde Baru la­hir
­se­o­lah te­lah di­vo­nis se­ba­gai tem­pat yang ti­dak ba­ik un­tuk dan ber­ku­asa, Jalan Malioboro mem­ben­tang da­ri uta­ra ke se­la­
dikun­ju­ngi. Ke­sim­pul­an­nya ada­lah mes­ki­pun Pa­sarkembang tan, di­mu­lai da­ri rel Sta­si­un Tugu hing­ga Alun-alun Uta­ra. Se­
se­ba­gai na­ma ru­ang yang di­tem­pat­i pa­ra pen­ju­al bu­nga le­bih te­lah Soeharto men­ja­di presiden, Jalan Malioboro di­pi­lah-pi­lah.
du­lu la­hir ke­tim­bang na­ma Pasarkembang se­ba­gai na­ma ja­lan, Dari rel Stasiun Tugu sam­pai toko Terang Bulan tetap di­na­mai
na­mun yang le­bih di­ke­nal jus­tru Pa­sarkembang se­ba­gai na­ma se­ba­gai Jalan Malioboro, lalu dari toko Terang Bulan ke selatan
ja­lan, dan bah­kan me­la­hir­kan kul­tur dan pe­mak­na­an ba­ru yang diberi nama baru: Jalan Ahmad Yani, na­ma sa­lah se­orang jen­
iro­nis­nya me­mu­at ci­tra yang ta­bu da­lam tra­di­si ma­sya­ra­kat. de­ral yang gu­gur da­lam pe­ris­ti­wa G30S. Ada pula Jalan Pugeran
yang berubah menjadi Jalan MT Haryono, Jalan Timuran
menjadi Jalan Mayjen Sutoyo, dan Jalan Gondomanan men­ja­di
Bahasa Rakyat sebagai Aspal5 Jalan Brigjen Katamso, (Tempo, 2010).
Nama jalan se­ba­gai ba­ha­sa rak­yat te­lah ter­bukti mam­pu
Muatan politik yang tersirat dalam peng­gan­ti­an na­ma-na­ma
men­cip­ta­kan kul­tur, dan ia te­rus di­ha­rap­kan be­git­u, ­se­ti­dak­nya
ja­lan itu ju­ga di­akui oleh Windarto Koeswardono, Ke­pa­la Sek­si
oleh. Ge­ne­ra­si yang la­hir ja­uh se­te­lah pe­ris­ti­wa Ge­ra­kan 30
Ma­na­je­men La­lu Lin­tas Di­nas Per­hu­bu­ngan Kota ­Yogyakarta,
September 1965 atau G30S, me­ne­ri­ma hal itu se­ba­gai se­bu­ah
“Bu­kan se­ka­dar ke­mau­an se­ren­tak pe­me­rin­tah ko­ta, me­lain­
ke­ja­di­an se­ja­rah yang te­ra­mat pen­ting, ke­jam, dan me­nun­juk­
kan ins­truk­si pe­me­rin­tah (pa­da era) Orba,” ka­ta­nya, (Tempo,
kan bah­wa Partai Komunis Indonesia (PKI) ser­ta ko­mu­nis­me
2010). Jalanan telah menjadi panggung politik, kata Muhidin
ada­lah i­blis be­ngis yang ti­dak ter­ma­af­kan.
M. Dahlan, (Kompas, 2007).
5
Sub judul ini diadaptasi dari judul salah satu judul bab dalam buku karya Rudolf Kem­ba­li pa­da Dananjaya, na­ma ja­lan se­ba­gai ba­ha­sa rak­yat.
Mrázek yang berjudul Engineers of Happy Land, Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme
di Sebuah Koloni (2006).
Na­ma ja­lan­lah yang ber­asal da­ri ba­ha­sa rak­yat. La­lu, apa­kah

78 79
x Nama Jalan di... Prima Sulistya Wardhani x

na­ma ja­lan bi­sa mem­ben­tuk ba­ha­sa rakyat? Jalan Ahmad Yani juga dinafikkan karena jalan ini ­merupakan
Se­be­lum men­ja­wab­nya, ba­rang­ka­li apa yang di­ha­rap­kan oto­ jalur lurus yang semuanya dianggap sebagai Jalan Malioboro.
ri­tas sa­ma de­ngan apa yang di­gam­bar­kan Mrázek de­ngan ba­ha­sa Jalanan di depan Benteng Vredeburg beserta trotoarnya pun
se­ba­gai as­pal. Ba­ha­sa bi­sa di­se­bar­kan de­ngan ce­pat, dan bah­kan ­selalu dianggap sebagai Jalan Malioboro, padahal penggal jalan
mam­pu me­re­kat­kan ber­sa­ma se­ga­la se­su­atu yang pa­ling ti­dak itu sudah termasuk “wilayah kekuasaan” (Jalan) Ahmad Yani.
akur, (Mrázek, op.cit, : 28). Ba­ha­sa itu se­per­ti ja­lan­an, ha­nya per­ Ini boikot dari sebuah anarkisme yang sama sekali tidak
lu men­ja­di ra­ta. Dan bila ada ma­sa­lah, se­di­kit le­bih ra­ta la­gi. anarkis. Gerakan —kalau bisa disebut gerakan— antistruktur
Yogyakarta de­ngan tra­di­si tua­nya yang te­rus hi­dup be­ser­ yang kalem saja. Bukan sebuah kesepakatan komunal yang
ta su­a­sa­na feo­da­lis­tis yang ma­sih te­ra­sa, ru­ang ko­ta tak se­pe­ ­terucap apalagi tertulis dari kelompok-kelompok masyarakat.
nuh­nya ber­si­fat ur­ban. Rak­yat lo­kal pu­nya se­su­atu yang di­rasa Para pendatang pun hanya menjadi epigon dari yang dicontohkan
ma­­sih per­lu di­per­ta­han­kan. Bah­kan un­tuk se­bu­ah na­ma ja­lan, penduduk lokal. Dalam dokumen tertulis, nama-nama besar itu
se­bu­ah ika­tan asal-usul te­tap pen­ting un­tuk di­ka­it­kan de­ngan tetap diakui. Di kehidupan lisan, nama itu juga tetap dikenali.
na­ma ja­lan. Pe­ru­bah­an na­ma jalan-jalan meng­gu­na­kan na­ma Apakah ini gerakan yang memiliki tujuan tertentu?
pah­la­wan di­ba­las pen­du­duk lo­kal de­ngan se­ru­an un­tuk me­ ­Entahlah. Bila iya pun, ini sebuah fakta yang baru bisa diketahui
ngem­ba­li­kan­nya ke na­ma se­mu­la un­tuk me­ne­gas­kan iden­ti­­­tas setelahnya (postfactum). Yang jelas, ada kalanya otoritas
kul­tur­al. Na­ma ja­lan yang ha­dir se­per­ti ja­tuh dari la­ngit, bu­kan ­kalah dan ­mengakui supremasi bahasa rakyat. Saat itu adalah
ba­gi­an da­ri ba­ha­sa rak­yat. Apa­la­gi ba­ha­sa as­pal. Se­hing­ga ia tak di hari ketika tonggak plang jalan Pasarkembang ditanam.
akan men­cip­ta­kan kul­tur apa-apa, tak ada hiper­rea­li­tas. Pasarkembang telah diakui sebagai nama, dengan posisinya
sebagai ­simulakrum atas objek wisata seksual.
Memboikot Nama-nama Besar Padahal, Sarkem tidak pernah diakui ada di atas kertas dan
Otoritas bisa menciptakan nama, namun bahasa di­hi­du­ oleh otoritas. serangkaian peraturan dari tahun 1924, 1954, 1974,
pi oleh peng­gu­na­nya. Tiga ta­hun le­bih se­te­lah Jalan Gejayan 1976, 1977, 1993, dan akhirnya 1997, menegaskan ­pem­berantasan
­Yogyakarta di­gan­ti na­ma­nya men­ja­di Ja­lan Affandi, sang prostitusi di jalan Pasarkembang. Namun Sarkem tetap hidup
­pelukis le­gen­daris te­tap saja hanya hidup di dalam tulisan. hingga hari ini. Plang nama jalan menjadi paradoks un­tuk
­Bahkan, bebe­ra­pa toko di sepanjang jalan itu masih mencan­ ­per­aturan-peraturan tersebut.
tum­kan Jalan Gejayan pada plang toko mereka. Kekalahan otoritas terhadap bahasa rakyat adalah penegasan
Mes­ki­pun be­gi­tu, oto­ri­tas bu­kan­nya ku­rang so­sia­li­sa­ atas apa yang dikatakan de Certau dalam, Walking in The City;
si, ­se­bab di pang­kal uta­ra Jalan Gejayan alias Jalan Affandi “Sebuah kota, terencana atau bagus seperti apapun, tak akan
sempat terpampang sebuah plang besar bergambar wajah berarti apa-apa tanpa manusia. Kota itu tidak akan pernah ada
Affandi dengan senyum ompongnya di mana di situ tertera karena manusialah yang menciptakan kota.”6
seruan, “Panggil saya Jalan Affandi!”, yang ditulis dalam bahasa Nama jalan adalah ruang itu sendiri beserta orang-orang
Inggris. yang berkehidupan di dalamnya. 3
Ngeyelnya si penghuni ruang untuk mengganti kebi­asa­an
ada­lah ben­tuk boi­kot diam-diam, dan cenderung bawah sadar. Daftar Pustaka
Dan ini tak hanya terjadi di pada Affandi. Bila mencari Jalan MT Barata, A. (t.t). “Toponimi Jalan di Yogya”. Tersedia pada http://www.tembi.­
­Haryono dengan jurus tanya-tanya sepanjang jalan, akan lebih org/yogjamu-prev/toponim_jalan.htm. Diakses tanggal 24
mudah dengan mengatakan “pojok benteng (jokteng) kulon” Januari­2011, 15.55 WIB.
yang mengacu pada sudut sebelah barat bangunan benteng yang Baudrillard, Jean. “Simulacra and Simulations” dalam Mark Poster. (Ed.). Jean
mengelilingi bekas lingkungan keraton. Hal serupa juga terjadi pada Baudrillard,  Selected Writings. California: Stanford University­
Jalan Brigjen Katamso yang nama populernya Gondomanan. 6
http://www.cyberartsweb.org/cpace/politics/wodtke/DeCerteau.html, diak­ses­
­tang­gal 24 Januari 2011, pukul 15.34 WIB.

80 81
x Masa Lalu Sungai,... Anna Nurlaila Kurniasari x

Press: 1998. pp.166-184. Tersedia pada http://www.egs.edu/


faculty/­jean-baudrillard/articles/simulacra-and-simulations/.
Diakes tanggal 22 Januari 2011, pukul 18.20 WIB.
Mràzek, Rudolf. “Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism
in a Colony”. a.b. Hermojo. (2006). Engineers of Happy Land:
Perkembangan­ Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni.
Jakarta:­Yayasan Obor Indonesia.
Scidmore, ER. (1984). “Java, The Garden of The East. Singapore: Oxford
University Press. dalam Abidin Kusno. (2007). Penjaga Memori;
Gardu di Perkotaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Tim. (2004). Toponimi Kota Yogyakarta: Laporan oleh Lembaga Penelitian­
Pengkajian Sejarah dan Antropologi bekerjasama dengan
Dinas­ Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, Tahun
2004. Yogyakarta:­ Lembaga Penelitian Pengkajian Sejarah dan
Antropologi­ bekerjasama dengan Dinas Pariwisata, Seni dan
Budaya­Kota Yogyakarta.
http://www.cyberartsweb.org/cpace/politics/wodtke/DeCerteau.html. Diak­
ses tanggal 24 Januari 2011, pukul 15.34 WIB.
Anna Nurlaila Masa Lalu Sungai,
“Identitas Yogyakarta yang Terpotong”. Koran Tempo. 9 April 2010.
Kurniasari
Masa Depan Kota
“Jalan Gejayan, “Jalan Komunis” Affandi”. Kompas. 10 ­November 2007.

Se­tiap ka­li hu­jan de­ras meng­gu­yur, ban­jir la­har di­ngin me­ner­jang­da­


e­rah ban­taran sungai­-sungai yang ber­hu­lu di ­Gu­nung Merapi.­Ini akan
te­tap men­ja­di an­cam­an hingga ber­ta­hun-ta­hun
ke­mudian.­

Banjir lahar dingin yang masih terjadi hingga Januari 2011


a­da­lah ren­tet­an da­ri pe­ris­ti­wa e­rup­si Gu­nung Merapi sekitar
November­ 2010 si­lam. Dam­pak ben­ca­na be­ru­pa la­har di­ngin
a­kan te­tap di­ra­sa­kan war­ga Yogyakarta dan ­se­ki­tar­nya yang ting­
gal­di ban­tar­an Kali Putih, Kali Gendol, Kali Opak, Kali Kuning,
dan ter­u­ta­ma Kali Code yang mem­be­lah Kota ­Yogyakarta. Hal
itu bi­sa ter­ja­di ka­re­na fung­si u­ta­ma ­sungai-sungai ter­se­but
adalah se­ba­ga­i a­li­ran pem­bu­ang­an sisa-sisa e­rup­si Merapi yang
berupa pa­sir dan bongkahan batu.
Antisipasi pemerintah selama ini baru sebatas menyiapkan
be­be­ra­pa ti­tik peng­ung­si­an ji­ka ter­ja­di lu­ap­an sungai, ­selain ­ju­ga­
82 83
x Masa Lalu Sungai,... Anna Nurlaila Kurniasari x

mem­bu­at ta­lut se­der­ha­na di ban­tar­an sungai dengan ­karung Ban­jir ­ki­rim­an yang secara periodik­ di­be­ri­kan Su­ngai Nil,
ber­i­si­kan pa­sir. Long­gar­nya a­tur­an pe­me­rin­tah tentang jarak ­mi­sal­nya, me­ru­pa­kan anugerah bagi peradaban­ Mesir Ku­no­
hunian di­bi­bir su­ngai se­la­ma i­ni meng­a­ki­bat­kan ­menjamurnya ka­re­na ­lum­pur su­bur yang tertinggal setelah banjir su­rut ­sa­ngat­
hunian sam­pa­i ha­nya sa­tu me­ter da­ri bi­bir Kali Code. Kondisi ber­gu­na ba­gi per­tum­buh­an gan­dum, makanan pokok me­re­ka.­
yang padat ter­se­but men­cip­ta­kan ke­bi­ngung­an dan ke­pa­nik­an Su­ngai Nil dan ta­nah su­bur­nya merupakan oase dengan le­bar
yang sangat ting­gi ter­u­ta­ma ke­ti­ka mun­cul­nya ancaman lahar men­ca­pa­i 50 km di te­ngah ri­bu­an kilometer luas gurun di se­
dingin Merapi se­per­ti sa­at i­ni. Per­ta­ruh­an­nya a­da­lah jiwa dan ke­li­ling­nya. Ti­dak sa­lah bi­la Herodotus, filsuf dan sejarawan
harta benda ratus­an­ribu o­rang. Yunani­ da­ri a­bad ke-5 SM, da­lam sa­lah sa­tu perjalanannya ke
Pe­ris­ti­wa yang ter­ja­di di Kali Code ter­se­but da­pat menjadi Mesir­me­nga­ta­kan,­“Mesir adalah hadiah dari Sungai Nil!”
pe­la­jar­an­be­ta­pa ke­ha­dir­an su­nga­i di tengah-tengah kota dapat Contoh lain tentang peradaban besar tepi sungai dapat kita
men­jadi­sa­ngat kru­si­al. Ke­be­ra­da­an­nya tak mungkin diabaikan. am­bil da­ri Su­ngai Kuning di Cina. Per­ja­lan­an Su­nga­i Kuning
Le­tak su­ngai yang ber­a­da di tengah-tengah ko­ta bukanlah ber­mu­la da­ri puncak­-puncak­pe­gu­nung­an Kwen-Lun di Tibet.
suatu ke­betul­an.­ U­mur su­ngai itu je­las le­bih tua dari kota. Ia Su­ngai­ pan­jang yang mem­ba­wa lum­pur ber­war­na ku­ning i­ni
telah lama ada di­ sa­na da­lam se­ga­la ke­bi­su­an ke­ti­ka tiba-tiba me­lin­tas­i da­tar­an ren­dah di Cina dan ber­mu­a­ra di Te­luk Tsii-
kota mengusiknya de­ngan se­mu­a ke­ga­duh­an dan ke­bi­sing­an. Li di­ La­ut Kuning. Se­pan­jang per­ja­lan­an­nya ia me­mun­tah­kan
Sudah selayaknya kita me­re­flek­si­kan kem­bali hu­bung­an sungai lapisan­-lapisan­ta­nah su­bur di wilayah­-wilayah­yang di­la­lu­i­nya.
dan kota. Wilayah­-wi­la­yah­ i­ni ke­mu­di­an men­ja­di la­han per­ta­ni­an yang
sa­ngat po­ten­si­al un­tuk me­na­nam gan­dum, pa­di, teh, ja­gung,
Sungai dan Kota dalam Masa Lalu dan Masa Kini dan ke­de­la­i se­jak ku­rang le­bih 5000 ta­hun la­lu. Pa­da ­ma­sa
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa sungai-sungai ­Di­nas­ti Chin (221-206 SM),­ wi­la­yah i­ni men­ja­di ­lum­bung
­telah di­gu­na­kan ma­nu­si­a se­jak za­man pur­ba. Dahulu ­sungai ­pa­ngan yang me­no­pang ke­besar­an Ke­ka­i­sar­an Chin.
merupakan­pu­sat da­ri per­a­dab­an ma­nu­si­a, yang ju­ga bisa ­berarti Se­la­in sungai­-sungai dan berbagai peradaban besar dunia
bahwa sungai­a­da­lah tem­pat ter­ben­tuk­nya se­ja­rah ­manusia untuk yang te­lah se­c­ara fa­mi­li­ar di­ke­nal tersebut, di Nusantara juga di­
pertama kali. Pa­da be­kas a­lir­an sungai­-sungai pur­ba banyak kenal­ba­nyak se­ka­li per­a­dab­an te­pi sungai seperti Sungai Musi
ditemukan jejak pan­jang per­a­da­ban be­ru­pa alat­-alat berburu, di­ Sumatera­ Selatan, Su­ngai Siak di Riau, Sungai Mahakam di
perangkat rumah tang­ga, serta alat-alat untuk upacara. Kalimantan­Timur, Su­ngai Kapuas di Kalimantan Barat, Sungai­
Pada masa ribuan tahun lalu, banyak peradaban besar yang Brantas di Jawa Timur, dan Su­nga­i Bengawan Solo di Jawa
mun­cul da­ri tepi­-tepi su­nga­i. Sungai-sungai besar di masa lalu Tengah.­ Contoh­-contoh­ su­ngai ter­se­but kebanyakan me­rupa­
te­lah­di­gu­na­kan se­ba­ga­i pu­sat pembentukan kota dan ­peradaban kan sungai be­sar­ de­ngan a­lir­an air yang pan­jang dan tenang
se­per­ti Su­ngai Nil ba­gi per­a­dab­an Mesir Kuno, ­Sungai Eufrat se­hingga me­miliki­ ti­pi­kal yang mi­rip de­ngan sungai­-sungai
dan Tigris ba­gi per­ad ­ ab­an Babilonia, Sungai Indus dan Gangga pem­bangun peradaban be­sar dunia yang telah ­dicontohkan
bagi per­a­dab­an India Kuno, dan Sungai Hwang Ho (Sungai sebelum­nya.
Kuning) dan­Yang-Tze Kiang bagi peradaban Cina Kuno. Mo­del su­nga­i lain yang agak berbeda dapat kita lihat
Secara naluri, manusia tentu akan membangun kehidupan­ pada Ka­li­ Code dan Kali Opak di wi­la­yah Daerah Istimewa
de­kat­ de­ngan sum­ber ma­ta air yang da­pat memberinya ­Yogyakarta. Ke­dua su­ngai i­tu khas ti­pi­kal su­ngai pegunungan
penghidupan,­ dan­ de­kat de­ngan su­ngai me­ru­pa­kan sa­lah satu yang berkontur­ter­jal dan ber­a­rus de­ras ser­ta ber­a­lir­an pendek.
pilihan untuk­ me­nen­tu­kan­ tem­pat ting­gal. Se­jak la­ma sungai Kota Yogyakarta­me­ru­pa­kan sa­lah sa­tu pu­sat per­a­dab­an utama
merupakan kawan ba­gi ma­nu­sia. O­leh ka­re­na i­tu, ­se­per­ti halnya yang didirikan ber­san­ding­an de­ngan ke­dua su­ngai tersebut.
kawan yang baik, ma­nu­si­a pun me­nge­nal ­ta­bi­at ­su­ngai. ­ Kali Code tepat mem­be­lah Ko­ta Yogyakarta se­dang­kan Kali
Opak mengaliri sisi ti­mur­nya,­ ber­san­ding­an de­ngan Candi
Manusia mengambil ke­un­tung­an­ da­ri su­ngai me­la­lu­i ­Prambanan. Hal yang me­na­rik a­da­lah bi­la sa­at i­ni Ka­li Code
­per­ta­ni­an, ­perikanan, perniagaan hing­ga­ ma­sa­lah ­ke­ber­sih­an.
84 85
x Masa Lalu Sungai,... Anna Nurlaila Kurniasari x

bersisian dengan peradaban modern­ (Ko­ta Yogyakarta) ma­ka


pa­da ­ma­sa lalu Kali Opak merupa­kan­ pu­sat per­ad ­ ab­an yang
di­buk­ti­kan de­ngan berdirinya Candi Prambanan,­Candi Sewu,
Candi ­Kalasan, dan Candi Ratu Boko di­de­kat alirannya.
Ke­dua su­ngai ter­se­but je­las ti­dak ber­fung­si sebagai sarana
trans­por­ta­si. Peng­a­mat­an se­ki­las su­dah cukup membuktikan
hal i­tu se­bab a­lir­an­nya ter­lalu ter­jal dan deras. Saat ini kedua
sungai ter­se­but le­bih ber­fung­si se­ba­ga­i irigasi terhadap areal
persawahan­ di wi­la­yah Ko­ta Yogyakarta dan se­ki­tar­nya.
Selain itu terlihat ak­ti­vi­tas­ e­ko­no­mi be­ru­pa pe­nam­bang­an
pasir dan pemanfaatan ke­ram­ba­ un­tuk per­i­kan­an. Pa­sir ha­
sil penambangan dari aliran-a­lir­an­ su­nga­i di se­ki­tar Ko­ta
Yogyakarta ­ter­ke­nal sangat bagus untuk ba­han ba­ngun­an. I­kat­
an se­men pa­sir vulkanik sangat bagus selain kan­dung­an be­si
yang ting­gi dan lem­pung yang rendah. Pasir-pasir i­tu me­ru­pa­
kan ha­sil e­rup­si Gu­nung Merapi yang ter­kenal sebagai gu­nung
ter­ak­tif di dunia.
Tak da­pat di­pung­ki­ri bah­wa bi­la pa­da zaman dahulu,
­se­men­jak­za­man pra­se­ja­rah, su­ngai su­dah dijadikan awal mun­ su­ngai Ciliwung ha­nya­lah jalur buangan yang men­ji­jik­kan,­ Azwar

cul­nya se­bu­ah­ per­a­dab­an ma­ka sa­at i­ni fungsi sungai ­sebagai tem­pat lim­bah dan para gelandangan. q
pem­bangun­ ko­ta pun te­rus ber­lan­jut. Bi­la pa­da masa kerajaan Ada beda kon­sep yang men­co­lok an­ta­ra sungai dalam Salah satu ba­
du­lu banyak ba­ngun­an­ can­di di­bu­at di pinggir­-pinggir sungai masyarakat Jawa dan luar Jawa. Kon­sep ter­se­but lang­sung gi­an­Kali Code
de­ngan pertimbangan­mu­dah men­da­pat­kan ba­han ­ba­ku u­ta­ma berkenaan lang­sung­ de­ngan fung­si su­ngai. Konsep­-konsep yang ter­sapu
pem­buatan candi berupa ba­tu, ma­ka sa­at i­ni pun pa­ra war­ga banjir la­har
tersebut ­di ­antaranya me­nge­nai­ kon­sep su­ngai se­ba­gai dingin be­ru­pa
kota juga mendapatkan bahan ba­ku u­ta­ma untuk ­membangun ­peng­a­ir­an atau ­irigasi. Di luar Jawa, sungai­-sungai di­de­sa­in de­ en­dap­an ma­
se­buah kota dari sungai, yaitu pasir.­ ngan ­mem­per­tim­bang­kan sungai se­ba­gai­ hal yang men­da­sar te­rial vul­ka­nik
Merapi tahun
Per­kem­bang­an za­man dan kon­di­si perkotaan ikut me­nen­tu­ da­lam ke­hi­dup­an mereka, yakni sebagai sa­ra­na­ peng­hu­bung 2011
kan­kon­di­si su­ngai. Pa­da ma­sa la­lu, se­ki­tar tahun 1800-an, ­ketika dan ju­ga peng­a­ir­an. Itu berbeda dengan sungai-su­ngai yang
ke­pa­dat­an­pen­du­duk ti­dak se­per­ti se­ka­rang, sungai mempunyai a­da di Jawa, ka­rena di Jawa sa­ra­na jalan raya dan rel ke­re­ta a­pi
pe­ran yang cu­kup pen­ting. Se­but sa­ja ­Sungai ­Ciliwung di Jakarta te­lah la­ma men­ja­di le­bih populer ketimbang sungai.
yang di­gu­na­kan se­ba­gai sum­ber air mi­num, memasak, mencuci, Wijanarka da­lam bu­ku­nya, Desain Tepi Sungai: Belajar
dan man­di. Na­mun ki­ni fung­si ­Su­ngai ­Ciliwung hanya sebagai dari Ka­wa­san Te­pi Su­ngai Ka­ha­nan Palangkaraya, telah
tem­pat mem­bu­ang ha­jat, ­sam­pah, dan lim­bah industri. Kondisi mem­berikan­ u­rai­an se­ca­ra ter­pe­rin­ci ten­tang si­tu­a­si sungai­-
air yang hi­tam dan ko­tor su­dah ti­dak memungkinkan lagi untuk sungai di Kota Palangkaraya­ ki­ra­nya da­pat di­ja­di­kan con­toh.
men­cu­ci dan man­di, apa­la­gi un­tuk di­kon­sum­si. Sebelumnya ­su­ngai di­ Palangkaraya be­lum men­ja­di titik pusat
Masyarakat yang ter­ben­tuk pun­ tak la­gi ­ma­sya­ra­kat yang pertumbuhane­ko­no­mi.­ Hal i­tu ter­ja­di ka­re­na sungai­-sungai
menggantungkan dirinya pa­da su­ngai.­ ­Su­ngai ha­nya­lah se­ba­ di Palangkaraya be­lum­ se­pa­dat se­ka­rang. Te­pi­an su­ngai di
gai kenyataan alam yang tidak pen­ting. Su­dah ja­rang se­ka­li ki­ta Palangkaraya belum di­ja­di­kan se­ba­gai pu­sat per­ko­ta­an dan
melihat rumah-rumah yang meng­ha­dap ke­ ­su­ngai di ­Jakarta. hanya beberapa ­ba­ngunan yang tam­pak.­
Su­ngai selalu di tempatkan di ­be­la­kang, ­ka­re­na ­fung­si­nya ha­ Se­i­ring de­ngan ­per­kem­bang­an­nya, kini Palangkaraya­ bi­sa­
nya­lah un­tuk sa­lur­an pembuangan. Bagi para ­war­ga Jakarta, di­ja­di­kan al­ter­na­tif de­sa­in te­pi sungai bagi kota-kota dengan
86 87
x Masa Lalu Sungai,... Anna Nurlaila Kurniasari x

su­ngai be­sar la­in­nya. Ka­rak­ter su­ngai ­Palangkaraya sendiri -su­ngai be­sar le­bih di­man­faat­kan se­ba­gai­ sa­ra­na per­hu­bung­an
adalah su­ngai pa­sang su­rut. Ar­ti­nya, apa­bi­la musim hujan tiba, un­tuk meng­hu­bung­kan da­erah satu ke daerah­yang la­in ju­ga se­
air sungai­ ter­se­but­ a­kan me­lu­ap ke ­da­er­ ah aliran sungainya. ba­gai a­lat trans­por­ta­si me­nu­ju pu­sat pe­mu­ki­man­ la­in a­tau­pun
Apabila mu­sim ke­ma­rau ti­ba, ter­ja­di pen­dang­ka­lan aliran me­nu­ju sawah.
sungai karena air su­ngai surut. Pen­du­duk yang se­ma­kin pa­dat, ting­kah la­ku ­masya­ra­kat,
Sementara Kali Code telah mendapat tempat khusus pe­ne­bang­an li­ar, ser­ta ke­be­ra­da­an ­pe­ru­sa­ha­an­-pe­ru­sa­ha­an air
di hati war­ga Yogyakarta. Hal i­ni ter­li­hat ke­ti­ka Ka­li Code ­mi­num ikut mem­pe­nga­ruh­i­ per­u­bah­an su­ngai ba­ik keadaan
­digunakan se­ba­gai­ tem­pat pa­ri­wi­sa­ta ba­gi yang in­gin me­nik­ maupun fung­sinya.­ Peng­gu­na­an air yang se­ca­ra ber­le­bih­an
ma­ti kehidupan­ di ping­gi­ran Ka­li Code. Ke­e­lok­an Ka­li Code untuk memenuhi ke­­hi­dup­an­ma­sya­ra­kat se­per­ti sum­ber a­ir mi­
da­pat menjadi hiburan se­ka­li­gus mem­bu­ka pe­lu­ang un­tuk me­ num, men­cuci, me­ma­sak,­dan ke­bu­tuh­an hi­dup lain­nya mem­
nga­is rejeki. Saat ini kita ten­tu­nya su­dah ti­dak a­sing la­gi de­ngan bu­at de­bit air yang me­nga­lir se­ma­kin ha­ri se­ma­kin ber­ku­rang.
tem­pat ­makan dan minum­ di­ pinggiran Kali Code yang buka Pa­da sa­at Kota Palangkaraya di­ba­ngun, pada em­brio ­ko­ta
dari sore hingga menjelang pa­gi.­Me­le­pas le­lah de­ngan me­ngo­ ter­se­but ter­da­pat Der­ma­ga Gubernur­an. Dermaga Gubernuran
brol san­tai dan tentunya sambil meng­i­si pe­rut men­ja­di le­bih i­ni me­ru­pa­kan der­ma­ga un­tuk pe­me­rin­tah­an dalam ­rangka
asyik ­di­te­ma­ni pemandangan aliran su­ngai dan lampu­-lampu kun­jung­an­ ker­ja pe­me­rin­tah me­nu­ju ke seluruh wilayah
­ko­ta yang ­berpendar di permukaannya. Pe­so­na Ka­li Code te­lah ­Kalimantan Tengah.­De­ngan a­da­nya pe­mu­kim­an pa­da kawasan
men­­ja­di ba­gi­an dari gaya hidup masyarakat Kota­Yogyakarta. tepi sungai ter­se­but,­ Su­ngai Kahayan men­ja­di ti­dak ter­li­hat
­sebagai embrio Kota Palangkaraya.­ Dalam perkembangannya,
Sungai dan Tata Ruang Kota kawasan tepi sungai­ ini men­ja­di ka­wa­san pe­mu­kim­an yang
Bi­la ki­ta a­mat­i se­ca­ra sek­sa­ma, kemunculan sungai, arah, ­pa­dat. Bangunan-bangunan da­lam ka­wa­san i­ni pa­da da­sar­nya
ben­tuk­ a­lir­an, dan de­bit air yang a­da di da­lam­nya akan bisa ti­dak permanen dengan bahan da­sar kayu.
mem­­ben­tuk­ke­bu­da­ya­an ma­sya­ra­kat di se­ki­tar­nya. ­Misalnya saja Per­lu­nya be­la­jar da­ri ne­ga­ra te­tang­ga untuk merevitalisasi pe­
sungai di Ko­ta Banjarmasin. Wi­la­yah per­a­ir­an ­Banjarmasin ter­ ran­su­ngai men­ja­di su­ngai ko­ta yang ideal. Banyak negara di du­
di­ri dari su­ngai,­te­rus­an, dan da­e­rah ra­wa. ­Ik­lim musim ­dengan nia­i­ni yang te­lah suk­ses merevitalisasi sungai-sungai besar yang
curah hujan yang cu­kup, ke­a­da­an per­mu­ka­an ­ta­nah yang ­rendah se­be­lum­nya me­ru­pa­kan sa­lah satu ­permasalahan, ­misalnya sa­ja
dan datar, ser­ta pa­sang su­rut air yang ku­at ­mengakibatkan Ko­ta Venesia, Amsterdam, Singapura, dan ­Bangkok. Kita bi­sa­
keadaan perairan­di­wi­la­yah Banjarmasin ­cu­kup te­nang. Sarana me­ngam­bil con­toh ka­sus da­ri Singapura yang awal mulanya­me­
transportasi air yang di­ka­yuh, di­do­rong de­ngan ga­lah, ataupun nga­la­mi ma­sa­lah de­sa­in ko­ta di tepi ­sungai.
dengan mesin, mu­dah hi­lir mu­dik un­tuk men­ca­pai berbagai Seperti yang di­papar­kan­ ol­eh Wijanarka, Singapura a­wal­
tempat, (Colombijn, 2005: 338). nya berupa pemukiman yang mul­ti­et­nik yang ber­ada di te­pi­an
De­ngan ke­a­da­an yang se­per­ti i­tu, yakni sungai sebagai alat sungai maupun di tepi laut. Da­lam­per­kem­bang­an­nya, ka­wa­san
tras­por­ta­si ut­a­ma dan pu­sat per­e­ko­no­mi­an, hampir ­semua tepi sungai yang sekarang di­na­ma­kan­ Boat Quay ­ber­kem­bang
tempat yang di­tu­ju se­per­ti se­ko­lah­an, pa­sar, kantor, dan menjadi kawasan komersil yang pa­dat, se­la­in i­tu der­ma­ga di
­tempat-tempat pu­blik la­in­nya bah­kan un­tuk meng­hu­bung­kan sepanjang Boat Quay menjadi penuh se­sak de­ngan perahu­-
satu kota dengan­ ko­ta la­in­nya da­pat dic­apai me­la­lui su­ngai. perahu tradisional, (Wi­ja­nar­ka­, 2008: 151).
Masyarakat yang ­ter­ben­tuk pun ma­sya­ra­kat yang ti­dak bi­sa Di era Singapura me­nu­ju ke­bang­sa­an (1941-1965) Boat
melepaskan diri dari ­su­ngai.­ Quay­ te­tap men­ja­di ka­wa­san ra­mai. Se­la­in ramai oleh adanya
Ma­sya­ra­kat su­ngai yang ber­a­da di da­erah-da­erah ­per­air­an ke­giat­an per­da­gang­an, Boat Quay ju­ga ra­mai dengan hadirnya
­su­ngai be­sar le­bih me­man­fa­at­kan su­ngai se­ba­gai sa­ra­na per­­hu­­ perahu­-perahu. Ka­re­na ke­ku­muh­an­nya sen­di­ri, Pemerintah
bung­­an­da­­ri­pa­da di­gu­na­kan se­­ba­­gai sa­ra­na pro­duk­si, ­se­mi­sal su­ Kota Singapura­ me­mi­kir­kan ke­be­ra­da­an Boat Quay ­sebagai
ngai yang meng­ha­sil­kan i­kan, (Budhisantoso, 1995: 13). Su­ngai­ salah satu em­brio ko­ta. Se­ba­gai sa­lah sa­tu pemecahannya
88 89
x Masa Lalu Sungai,... Anna Nurlaila Kurniasari x

adalah dengan me­min­dah­kan der­ma­ga pe­ra­hu tra­di­si­o­nal ­ke tepi su­ngai da­pat di­ca­ri me­la­lui li­ma cara, yaitu pembentukan
pelabuhan yang se­be­lum­nya te­lah ada. Lang­kah be­ri­kut­nya identitas­ fi­sik, pem­ben­tuk­an iden­ti­tas bu­da­ya, pem­ben­tuk­an
adalah merubah land­use­ka­wa­san. Ka­wa­san Boat Quay i­ni pa­da struk­tur ka­wasan,­pem­ben­tuk­an ru­ang ka­wa­san, dan pelestarian
awalnya merupakan ka­wa­san yang se­nga­ja di­ran­cang. Kon­sep air. Namun­ desain­ pe­me­cah­an pe­les­ta­ri­an dan pe­ngem­bang­an
awalnya adalah water­front,­yak­ni ada­nya a­rah ­ha­dap bangunan­ kawasan sungai ter­se­but­ a­da­lah de­sa­in yang di­te­rap­kan untuk
-bangunan di Boat Quay yang mengarah ke air. sungai-sungai besar di­lu­ar Jawa.
Da­lam per­kem­bang­an­nya ter­u­ta­ma de­ngan ada­nya per­ Da­ri ke­li­ma ben­tuk de­sa­in ter­se­but, kita akan mengambil
kem­bang­an­ko­ta se­ca­ra me­nye­lu­ruh, ka­wa­san Boat Quay men­ con­toh­ Ka­li Code un­tuk pe­ne­rap­an­nya. Dari desain tersebut
jadi ka­wa­san bangunan­-bangunan ber­ting­kat. Hadirnya ba­ nan­ti­nya a­kan da­pat di­ke­ta­hu­i se­ja­uh ma­na desain tersebut
ngunan­-bangunan ber­ting­kat ter­se­but me­ru­pa­kan hasil dari ­dapat me­ngem­ba­li­kan­ fung­si su­ngai di ma­sa lalu sebagai
­ada­nya ke­butuh­an­ dan tun­tu­tan Singapura. O­leh karena itu, pusat kehidupan dan ke­se­jah­te­ra­an ko­ta. Pe­na­war­an un­
­ba­gi­an ­be­la­kang­da­ri Boat Quay di­u­bah de­ngan meng­ha­dir­kan tuk desain yang pertama adalah pem­ben­tuk­an i­den­ti­tas fi­sik.
ba­ngun­an­-ba­ngun­an ber­ting­kat. Untuk sungai-sungai besar ­Pembentukan identitas fisik sendiri a­da dua ca­ra, yak­ni yang
yang sejenis de­­ngan­ka­wa­san Boat Quay, ki­ta dapat belajar dari se­nga­ja ­dirancang dan secara organik.
­Singapura. Ki­ta da­pat me­nga­mat­i bah­wa Kali Code mem­ben­tuk iden­
Pe­na­ta­an Ka­li Code o­leh Romo Mangun (pang­gil­an ak­rab ­da­ri ti­tas­fi­sik de­ngan ca­ra or­ga­nik, ya­kni de­ngan desain ­tepi sungai
ro­ha­ni­a­wan,­bu­da­ya­wan, dan ar­si­tek Y.B. Mangunwijaya) ju­ga dapat yang me­ru­pa­kan pro­duk ma­sya­ra­kat se­tem­pat. ­Hal ­ter­se­but
di­ja­di­kan re­fe­ren­si yang ber­har­ga. Wajah sungai ikut me­nen­tu­kan­ bisa di­mung­kin­kan da­ri­pa­da de­ngan cara diran­cang, karena
wa­jah ko­ta, ma­ka ti­dak salah bila Kampung Code Utara yang ter­ di tepian Ka­li Code se­ca­ra ti­dak lang­sung men­ja­di ­kawasan
le­tak di Ke­lu­rah­an Kota Baru, Gondokusuman, ­Ko­ta­Yogyakarta,­ ­pemukiman. O­leh pen­du­duk te­pi Kali Code, di la­han yang
yang du­lu­nya ku­muh pa­da tahun 1984 ­men­dapat­ ­per­ha­ti­an ser­ tidak bertuan ­ter­se­but­ ma­sya­ra­kat se­tem­pat mem­ba­ngun
ta bi­na­an da­ri Romo Mangun se­hing­ga men­jadi ­ling­kung­an yang ­rumah s­ ebagai tempat ting­gal­nya.
­as­ri de­ngan ba­ngunan-ba­ngunan ­ber­ar­si­tek­tur u­nik. Se­lan­jut­nya a­da­lah pem­ben­tuk­an iden­ti­tas ­bu­da­ya. Pem­­ben­
Romo Mangun me­ngon­sep pe­mu­kim­an di Ka­li Code dari tuk­an­i­den­ti­tas bu­da­ya da­pat di­ca­pai de­ngan cara ­melestarikan
yang se­be­lum­nya pe­mu­kim­an ku­muh ber­bah­an tri­plek a­tau­ ke­hi­dup­an dan ke­gi­at­an ma­sya­ra­kat ­tradisionalnya. Kali Code
pun kar­dus se­ada­nya men­ja­di pe­mu­kim­an berarsitektur unik mam­pu me­les­ta­ri­kan bu­da­ya ma­sya­ra­kat ­se­tem­pat, yak­ni
dari ba­han­ bam­bu dan ka­yu. Se­la­in i­tu, Romo Mangun juga dengan­men­ja­di­kan Ka­li Code se­ba­gai su­ngai pariwisata ­de­ngan
­melengkapi pe­mu­kim­an ba­ru i­tu de­ngan ber­ba­gai ­fasilitas se­gala ke­le­bih­an­nya. Ka­li Code ­mem­pu­nya­i upacara ­Merti
­sosial dan ke­ber­sih­an­ se­per­ti WC u­mum, ru­ang ber­ma­in, Code yang bi­sa men­ja­di ca­ra ­ter­sen­di­ri da­lam ­melestarikan
­rumah susun, dan aula ser­ta per­pus­ta­ka­an tem­pat ­ber­kum­pul budaya dan pa­ri­wi­sata­Kota Yogyakarta.
warga dan anak-anak. Pada ta­hun 1992, bu­ah kar­ya Romo Pem­ben­tuk­an ru­ang ka­wa­san Kali Code per­lu mem­per­tim­
Mangun dan warga Kampung Code Utara itu mem­per­o­leh bang­k­an­ fu­ngsi a­lam­i Ka­li Code sebagai sa­lu­ran pem­buang­an
­peng­har­ga­an internasional di bidang ar­si­tek­tur,­ Aga Khan la­har­ Gu­nung Merapi. Ba­ha­ya la­har di­ngin be­ru­pa timbunan
Award for ­Architecture. pasir dan bong­kah­an ba­tu da­pat membahayakan jiwa dan
­harta benda pen­du­duk yang ber­mu­kim di ban­tar­an su­ngai.
Desain Tepi Sungai Oleh ­karena itu, pem­ben­tuk­an­ ru­ang ka­wa­san bi­sa di­la­ku­kan
Ma­sa la­lu su­ngai se­ba­gai pu­sat kehidupan kota ­su­dah se­layak­ ­dengan cara mem­bu­at ga­ris peng­a­tur ya­i­tu be­ru­pa ga­ris pem­
nya­di­bang­kit­kan kem­ba­li. Su­ngai se­ba­gai ­pu­sat ke­hi­dup­an war­ga­ batas pinggiran su­ngai de­ngan­ ba­ngun­an di ma­na ada ja­rak
ko­ta per­lu di­ta­ta dan di­de­sa­in ulang ­dengan mem­per­ha­tikan­un­ sekian ­mater dari sungai. Garis pem­ba­tas i­tu mem­pu­nya­i be­
sur­-unsur e­ko­lo­gis dan ar­tis­tik­nya. ­Me­nu­rut Wijanarka, desain­ be­ra­pa fungsi, yakni membuat ruang di­se­pan­jang su­ngai men­
pe­me­cah­an pe­les­ta­ri­an su­ngai dan ­pengem­bangan ka­wasan ja­di sedap di pandang karena tak lagi ter­li­hat ru­mah yang ber­

90 91
x Masa Lalu Sungai,... Anna Nurlaila Kurniasari x

dem­pet­an ­de­ngan bantaran sungai. Ini di­mung­kin­kan ­un­tuk


­meng­an­ti­si­pa­si ter­ja­di­nya luapan dari materi Gu­nung Merapi
di ke­mu­di­an ha­ri ke­lak, sehingga tidak ada warga yang me­ra­
sa di­ru­gi­kan a­tas ter­ja­di­nya bencana banjir tersebut ­de­ngan­
­ke­hi­lang­an har­ta bendanya.
Pem­bu­at­an ja­lur trans­por­ta­si di tepi Kali Code untuk men­
du­kung­ pem­ben­tuk­an de­sa pa­ri­wi­sa­ta ju­ga perlu ­dilakukan.
Desa wi­sa­ta ter­se­but se­yog­ya­nya bu­kan­lah wilayah pemukiman
pen­du­duk­ yang per­ma­nen me­la­in­kan ha­nya bangunan-
­bangunan per­tun­juk­kan,­ tem­pat ber­ju­al­an ba­rang ke­ra­ji­
nan, kedai-kedai un­tuk ber­ju­al­an­ ma­ka­nan, dan sa­ra­na MCK
(­mandi cuci kakus). I­tu di­mak­sud­kan­a­gar bi­la sewaktu-waktu
terjadi bencana banjir­la­har di­ngin tak akan­me­nim­bul­kan kor­
ban jiwa. Meskipun un­tuk­me­la­ku­kan­hal­i­ni ten­tu­nya di­per­lu­
kan ker­ja sa­ma an­ta­ra masyarakat dan­pe­me­rin­tah,­a­gar ke­dua­
nya ti­dak ada yang merasa dirugikan.
Mari ­Melebur
A­khir­nya, un­tuk men­ja­di­kan Ka­li Code se­ba­gai kawasan
Habib Asyhad ­Bersama
pu­sat­ ke­hi­dup­an dan ke­se­jah­te­ra­an Kota Yogyakarta, salah
satu hal yang per­lu di­ca­pai ada­lah pe­les­ta­ri­an air. Hal itu ­dapat
(­Kampung) Kota!
dicapai de­ngan­ pe­na­na­man po­hon di te­pian su­ngai agar ­di
ba­wahnya da­pat ber­kem­bang ha­bi­tat ba­ru, seperti ikan atau
hewan-hewan ke­cil lain­nya­. Se­la­in i­tu per­lu adanya aturan dan
ketegasan menge­nai­ la­rang­an mem­bu­ang sam­pah ­mau­pun
lim­bah di Kali Code, se­hing­ga­bi­sa ter­cip­ta kon­di­si su­ngai yang
bersih, nyaman, dan indah.­ Ki­ra­nya, bi­la Pe­me­rin­tah Kota
Yogyakarta dan masyarakat te­pi Ka­li Code mem­pu­nyai i­ti­kad
ba­ik untuk membenahi su­ngai ke­bang­ga­an war­ga Yogyakarta  Pusat dan pinggiran, dalam konteks sejarah selalu berubah. Pada jaman
itu, tak ada kata sulit untuk me­wu­jud­kan­nya. Es­ta­fet yang te­lah kolonial, VOC menjadikan townhall-nya sebagai pusat kota pada kota-ko-
di­mu­la­i oleh Romo Mangun dan kawan­-kawannya itu sudah ta pesisir. Tapi dalam perjalanan sejarah abad ke-18 sampai abad ke-19
Belanda memakai elemen pembentuk ruang kota prakolonial sebagai pusat
selayaknya kita lanjutkan. 3 kotanya. Yaitu alun-alun berserta bangunan pendukungnya sebagai pusat
kota dan sekaligus sebagai kontrol administratif atas tanah jajahannya.
Daftar Pustaka -Rully Damayanti-
Subiyakto, Bambang. “Infrastruktur Pelayaran Sungai Kota Banjarmasin­
Tahun­ 1900-1970”. dalam, Freek Colombijn, dkk, (Ed.).­ (2005). Minggu, 25 Desember 2010, bertepatan dengan ber­lang­
Kota Lama dan Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia.­
Yogyakarta:­Ombak. sung­nya Hari Raya Natal untuk umat Nasrani. Surabaya dira­
Budhisantoso, dkk. (1995). Analisis Pemukiman di Ling­kungan­ Perairan­ di mai­kan oleh arak-arakan orang yang menamakan dirinya Ko­
Indonesia.­Jakarta: Departeman ­Pendidikan dan Kebudayaan.­ mu­nitas Jejak Petjinan. Komunitas ini mengadakan sebuah
Wijanarka. (2008). Desain Tepi Sungai: Belajar dari Kawasan Tepi Sungai ke­giatan napak tilas kebudayaan Tionghoa di Surabaya.1 Se­be­
Kahanan­Palangkaraya. Yogyakarta: Ombak. narnya kegiatan ini sudah beberapa kali dilaksanakan, na­mun
1
Pemakaian istilah Tionghoa digunakan untuk menyebut masyarakat Tiongkok yang
ada di Indonesia.

92 93
x Mari Melebur Bersama... Moh. Habib Asyhad x

untuk perhelatan kali ini terasa istimewa. Faktor utama yang mencari bentuk ter­baik­nya. Tidak hanya Pecinan, mungkin
menjadikan melancong kali ini berbeda adalah karena ber­te­ juga Kampung Arab, Kampung India, dan yang lainnya.
pat­an dengan peringatan satu tahun Melancong Petjinan. ***
Oleh karenanya, untuk menghiasi momen istimewa ini Sebenarnya kalau mau menilik lebih lanjut lagi, banyak
panitia pelaksana membuat rangkaian acara berbeda dengan sekali ke­giatan-kegiatan yang serupa di atas. Tidak lain dan
acara-acara melancong sebelumnya. Mulai dari membuat tidak bukan tujuannya adalah untuk melestarikan budaya-
wedang ronde, bedah buku memoar Prof. Dr. Han Hwie yang budaya lokal wa­risan leluhur yang semakin tergerus pergeseran
merupakan salah seorang tokoh Tionghoa Surabaya, dan zaman seiring dengan laju dinamika masyarakat (per)kota(an).
dipungkasi dengan deklarasi pembentukan Sketsa (Sejarah Wilayah perkot­aan—kalau dilihat dari karakteristik
Kebudayaan Tionghoa Surabaya). ­manusianya—cenderung bersifat heterogen dan bercam­pur
Untuk memulai rangkaian acara, panitia memilih Jalan Bibis baur. Seolah tidak ada lagi tembok pembatas yang ­membedakan
—yang merupakan salah satu kawasan Pecinan di Surabaya— per in­dividu berdasar latar belakang apapun. Baik itu agama,
sebagai awal permulaan start. Di Jalan Bibis, peserta ­Melancong ras, suku, bangsa, dan bahasa. Meskipun demikian, itu tidak
Pecinan dianjurkan untuk mengikuti praktik ­pembuatan we­ ser­ta merta menjadikan warga kota secara sadar ­memunculkan
dang ronde, sebuah minuman khas yang ­mempunyai ­makna ka­rak­ter-karakter toleransi yang seharusnya dijunjung tinggi.
men­dalam bagi sebagian besar komunitas Tionghoa. ­Setelah Dengan kata lain, benih-benih individualistik ­cenderung me­
pu­as dengan nikmatnya minuman hangat wedang ronde, peser­ nga­nga sangat lebar.
ta melancong diarahkan menuju Jalan Karet, me­nu­ju ­ru­mah Berbicara mengenai masyarakat Tionghoa, selalu diben­tur­
ke­luarga Han Hwie. kan dengan sejarah panjang kedatangan, dan ­keberadaannya.
Penggagas acara Melancong Pecinan, Paulina Mayasari, se­ Belum jelas kapan kedatangan mereka pertama kali di ­Surabaya.
perti yang dilansir oleh Jawa Pos Senin, 26 Desember 2010, Ricklefs menjelaskan bahwa kedatangan mereka ­ke Surabaya
mengatakan bahwa acara tersebut ditujukan untuk membuka ketika masih berbentuk kerajaan. Sekitar abad ke-14 telah di­te­
kembali budaya-budaya Tionghoa yang sudah banyak tergerus mukan sebuah sumber yang menyatakan bahwa telah ada per­
oleh arus modernisasi, yang nantinya ditakutkan sedikit demi q
sedikit hilang oleh zaman. Kembang Jepun
tahun 1940
Kalau dihubungkan dengan konsep tata ruang kota, maka
(dulu bernama
penyelenggaraan acara ini akan memunculkan perspektif yang Handel-Straat).
lebih bervariasi. Menurut Lefebvre, ruang selalu diperantarai Daerah Pecinan
oleh sistem pemaknaan dan simbol yang bekerja melalui di Surabaya
yang me­ru­
­imajinasi, (Lefebvre, 1974: 45).  Dengan demikian ada semacam
pa­kan daerah
“ruang representasi” yang mengatasi “ruang fisik” yang secara per­dagangan.
langsung dihidupi melalui citra dan simbol-simbol dan yang Di tempat itulah
mau diubah dan diapropriasi oleh kerja imajinasi. banyak didapati
Wanita Tuna
Pun halnya dengan kasus di atas. Melancong Petjinan Susila.
­adalah sebuah ruang representasi terhadap budaya Tionghoa
yang tujuannya adalah untuk memberi warna baru bahkan
menye­la­mat­kan kepunahan yang mungkin terjadi terhadap
ruang fi­sik yang telah ada. Dalam hal ini adalah pecinan itu
sendiri. Melancong Pecinan yang bisa diartikan sebagai sebuah
doc istimewa

simbol un­tuk kembali menumbuhkan citra pecinan sebagai


sebuah dina­mi­ka tata (per)kota(an) yang terus berputar
94 95
x Mari Melebur Bersama... Moh. Habib Asyhad x

kam­pungan orang-orang Tionghoa di Muara Kali Brantas Kiri meru­pakan salah satu kampung kota yang sangat dinamis.
(seka­rang Kali Porong) yang beraktivitas sebagai pedagang ­hasil Masya­rakat Tionghoa awalnya jauh sekali dari kesan Tionghoa
bumi. Disinyalir inilah tempat di mana mereka ­membentuk seka­rang: pengusaha sukses, hidup makmur, menguasai pasar
sebuah perkampungan Tionghoa untuk pertama kalinya dan dan ekonomi, dan seterusnya. Melainkan masyarakat yang juga
tentunya mempraktikkan kebudayaan asli mereka. ­mempunyai nasib yang tidak jauh berbeda dengan pribumi.
Banyak sekali makna yang dapat dikeruk dan dinikmati Demikian pula dengan keadaan kaum Tionghoa di masa
da­ri perhelatan wisata melancong budaya Tionghoa Surabaya Jepang. Alih-alih berharap mendapat kesejahteraan yang me­
itu, terutama yang terkait dengan pelestarian budaya. Sebagai madai, orang-orang Jepang di Indonesia bahkan men­jadikan
kampung yang terintegrasi dengan kota, pecinan mencoba pe­mu­ki­man Cina Indonesia sebagai ajang senang-senang. Sa­lah
memaknai dan mengapresiasikan diri sebagai entitas. Apapun sa­tunya adalah sebagai tempat untuk menyalurkan hasrat seks
keadaannya, ketika mereka memutuskan untuk berada dalam mereka. Remy Silado dan Lan Fang dalam buku-bukunya se­cara
satu kesatuan —kampung Pecinan— berarti ada dua buah tugas detail menggambarkan bagaimana keadaan kawasan Pecinan
besar yang harus diemban, yaitu menjaga homogenitas dan Surabaya pada masa Jepang. Kembang Jepun—objek tulisan
­keseragaman kampungnya. Kedua adalah ikut serta berdialekti­ Remy dan Lan—yang pada masa Belanda menjadi ­sentra dan
ka de­ngan ciri umum masyarakat kota yang kebanyakan adalah ekonomi yang dan juga menjadi salah satu wilayah ko­munitas
hete­rogen alias beraneka ragam. Tionghoa Surabaya, pada masa Jepang disulap men­jadi arena
Kampung Pecinan Surabaya, yang telah banyak diekspos senang-senang dan hiburan.  Serdadu-serdadu Jepang yang
oleh beberapa media, baik cetak maupun elektronik, memang tidak membawa turut serta istri dan keluarga ­mereka lebih
memilih gadis-gadis Cina sebagai teman tidurnya.
doc istimewa

***
Perkampungan pertama di Amerika diduga  banyak menonjolkan kota-
kota baru orang Eropa. Model lapangan hijau lebih dominan, tetapi
dalam­­beberapa hal juga dibutuhkan model radikal, di lain sisi atau dalam
hubungannya­dengan pola jaringan ... sejak ekspansi kolonial dan revolusi
­pembangunan kota baru yang berkelanjutan di wilayah-wilayah yang
diperoleh secara gradual.
-Donald C. Klein-

Tidak hanya Kampung Cina atau Pecinan saja yang sering


dijumpai dalam kota. Biasanya, di kota-kota besar di Indonesia
minimal ada dua sampai tiga kampung yang melabelkan
dirinya sebagai kampung kota. Misal Kampung Arab, tempat
berkumpul orang-orang keturunan ataupun pendatang dari
Arab, ada juga Kampung India yang menjadi poros hunian
q
Jalan Panggung
­komunitas ­India, selain itu ada Kampung Eropa—yang
da­erah pecinan ­biasanya ­mempunyai kesan lebih elite dan mewah—tempat
di Surabaya para ­ekspatriat menghabiskan waktu mereka. Selain kampung-
ta­hun 1­ 920-an kampung yang berlatarkan Eropa dan Timur Asing, ada juga
yang sering
di­se­but sebagai
yang Kampung Jawa, Kampung Madura, Kampung Bugis, dan
“Benedenstad” lain-lain yang tentunya dengan penghuni sesuai dengan asal
(kota bawah). masing-masing.
96 97
x Mari Melebur Bersama... Moh. Habib Asyhad x

Enam Juni tahun 1866 Pemerintah Hindia-Belanda membuat Masyarakat Eropa Yogyakarta ditempatkan di kawasan Loji
per­aturan tentang pembagian wilayah pemukiman dalam ta­ta Kecil, sekarang berada di seputaran Benteng Vredeburg dan
kota rancangan mereka, yaitu wijkenstelsel yang ­ditujukan se­ Taman Budaya Yogyakarta. Selain di Loji Kecil, masyarakat
bagai pemusatan pemukiman Tionghua dan ­etnik asing lain­nya. Eropa Yogyakarta juga bisa dijumpai di seputaran Kota Baru.
Dalam lembaran peraturan itu, pemerintah ­setempat me­me­ Untuk saat ini kawasan Loji Kecil tidak terlalu kentara kalau
rin­tahkan untuk menunjuk tempat-tempat ­di mana dapat di­ dulunya adalah kampung Eropa, berbeda halnya dengan Kota
gu­nakan sebagai wilayah penempatan golongan Tionghoa dan Baru. Di sana kita masih bisa menjumpai sisa-sisa peninggalan
Timur Asing lainnya. Tujuannya jelas, supaya keberadaan mereka bangunan Eropa yang sangat elok. Sepanjang jalan terdapat
dan gerak-gerik mereka dapat dipantau semudah mungkin. taman yang memperindah tatanan kota, sehingga bangunan-
Per­aturan ini jelas sangat menguntungkan Pemerintah Hindia- bangunannya pun terlihat linier dengan jalannya. Bangunan-
Belanda sebagai penentu kebijakan, ­(Suryadinata, 1994: 21). bangunan yang sebagian besar menghadap ke jalan itu nampak
Peraturan ini akhirnya menimbulkan semacam dikotomi mempunyai ciri-ciri tersendiri dan seakan-akan berkata “saya
dan pembedaan-pembedaan tiap-tiap etnik, dan ­membentuk adalah warisan Eropa di Yogyakarta”.
se­buah kampung-kampung sendiri. Ada Kampung Cina, Terkait dengan keberadaan Kota Baru, sebenarnya Kota Baru
Kampung Arab, Kampung Jawa, dan kampung-kampung yang awalnya bukanlah kota utama masyarakat Eropa ­Yogyakarta,
lain. Sudah barang tentu sedikit banyak kebijakan ini meng­ karena yang lebih dulu terkenal adalah Loji Kecil. Kota Baru
hambat pola interaksi antar individu, terutama mereka yang dibangun sekitar tahun 1917. Alasan utama dibangunnya Kota
mem­punyai latar belakang etnik yang berbeda. Baru adalah karena Loji Kecil tidak mampu lagi menampung
Pola ­interaksi mungkin dapat berlangsung hanya terjadi ke­ jumlah pendatang Eropa yang terus bertambah dan berkembang.
tika ­dalam ranah-ranah formal saja, semisal perdagangan dan Dan keputusan itu nampaknya berjalan sukses dan lancar, Kota
­pemerintahan, ­selain itu jarang.­ Kondisi ini pada akhirnya me­ Baru bahkan berkembang jauh lebih pesat dari pada Loji Kecil,
maksa kampung-kam­pung itu berdinamika ke dalam, dalam bahkan masih bisa eksis sampai sekarang.
artian pola-pola in­te­raksi hanya terjadi dalam lingkaran kampung- Tidak hanya kampung Eropa, Yogyakarta —yang juga besar
­kampung itu sen­diri.­ Kampung Cina berpola dan berinteraksi pada masa kolonial— juga terdapat kampung Tionghoa dan
sesuai dengan ­kebiasaan asli mereka. Para ­pendatang dari Arab kampung Arab. Berbeda dengan Kota Baru, Kampung Tionghoa,
yang men­di­am­i perkampungan Arab melakukan hal yang sama.­ dan Kampung Arab tidak mempunyai jejak-jejak sejarah yang
Dan ini se­mua hampir terjadi di seluruh negara poskolonial, tak cukup detail, semisal bangunan. Kampung Tionghoa Jogja bisa
terkecu­ali Indonesia. kita jumpai di sepanjang daerah Kranggan dan Pecinan.
Mengacu pada pernyataan yang diungkapan Klein dalam Kalau kita jalan-jalan di seputaran Tugu Yogyakarta, di
Psikologi Kota bahwa perkembangan kota-kota di Amerika ­diawali sebelah utara, tepatnya daerah Jalan AM. Sangaji, kita akan
oleh kemunculan kampung-kampung yang bercirikan Eropa ­me­ne­mu­kan se­bu­ah pasar. Orang-orang setempat biasa me­nye­
­sentris. Pun halnya di Indonesia. Kalau kita berkeliling ke hampir but pa­sar itu dengan Pasar Kranggan. Ternyata pasar itu mem­
seluruh kota besar di Indonesia pasti akan ­menemui ba­ngunan- punyai nilai historis yang cukup tinggi karena di tem­pat itu­lah
bangunan tua khas Eropa. Perkampungan-perkampungan Eropa dulunya orang-orang Tionghoa membentuk komunitas. Seperti
biasanya dulu digunakan sebagai pusat pe­me­rin­tah­an. halnya Pecinan di pelbagai daerah di kota-kota besar Indonesia,
pecinan Yogyakarta alias Kranggan juga menjadi pusat ekonomi
Kampung (unik) Kota Yogyakarta kota kala itu bahkan sampai sekarang. ­Meskipun yang berjualan
Sebagai salah satu kota besar masa kolonial, sebenarnya di sana tidak lagi warga Tionghoa melainkan p ­ enduduk asli.
­Yogyakarta juga tidak lepas dari kebijakan wijkenstelsel Keadaan Pecinan juga unda-undi (hampir sama) dengan
pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, yang membagi-bagi Kranggan. Artinya untuk saat ini kita sulit mengidentifikasi
kawasan Yogyakarta menurut etnik-etnik yang mendiaminya. bahwa dulu keduanya adalah kampung Tionghoa Yogyakarta.
98 99
x Mari Melebur Bersama... Moh. Habib Asyhad x

Semuanya sudah membaur menjadi satu. Mungkin ini yang Semua tempat-tempat itu terletak di kawasan dalam benteng.
membedakan pecinan Yogyakarta dengan pecinan-pecinan Keadaan di luar benteng juga tidak jauh berbeda ­de­ngan yang
di kota lainnya, Surabaya dan Semarang misalnya. Kedua kota di dalam. Nama-nama kampung di sesuaikan dengan si­apa
ini sampai sekarang masih mempunyai penduduk keturunan yang tinggal di situ. Kalau di dalam banyak didiami oleh para
­Tionghoa dengan jumlah yang sangat besar. Tentunya saat ini bangsawan dan para juru kraton, di luar benteng ­kebanyakan
mereka sudah tidak lagi terbatas oleh aturan-aturan ­wijkenstelsel didiami oleh para prajurit dan tentara kraton. Selain itu ada
bikinan Pemerintah Belanda itu. pula tenaga administrasi, tukang dan pengrajin. Sebelah barat
Selain Kampung Eropa dan Tionghoa, di Yogyakarta kraton ada kampung Wirobrajan, yang dulunya merupakan
juga terdapat kawasan yang dikhususkan untuk masyarakat tempat tinggal prajurit Wirabraja. Sebelah selatannya ada
pendatang dari Arab—mereka menyebutnya keturuan para ­kampung Patangpuluhan, tempat para prajurit Patangpuluh,
Sayid—yang berada di kawasan Sayidan. Namun sayang, jejak- ada juga Jogokaryan, Prawirotaman, dan Mantrijeron.
jejak peninggalannya tidak berbekas sama sekali. Kawasan Tidak hanya sesuai dengan nama prajurit, nama-nama
Sayidan sekarang berbeda dengan Sayidan pada masa kolonial kampung luar benteng juga disesuaikan dengan para tenaga
Hindia Belanda. Kawasan ini sekarang lebih terkenal sebagai adiministrasi, tukang dan pengrajin. Jika pernah mendengar
tempat mangkalnya para musisi jalanan Kota Yogyakarta— Kampung Pajeksan, maka di tempat itulah dulu para jaksa
seperti yang didendangkan grup band Shaggy Dog. ­kraton tinggal. Begitu pula dengan Jlagran, yang merupakan
Sebenarnya ada yang unik dengan penataan tata kota di tempat para tukang batu.
­Yogyakarta, terlepas dari keberadaan kampung Eropa, ­kampung Pembagian nama-nama itu menjadi unik dan menarik
Cina dan Arab. Secara historis—menurut Joko Suryo—­kota ­lantaran masih dipertahankan sampai sekarang. Namun ­jangan
Yogyakarta berawal dari kota istana atau kota kraton yang membayangkan keadaannya sama persis dengan dahulu. Te­r­u­
ber­nama Ngayogyokarto Hadiningrat yang terletak di daerah ta­ma kam­pung-kampung prajurit. Kita baru bisa menyaksi­kan
agraris di pedalaman Jawa, (Suryo, 2004: 4). Sebagai sebuah ke­beradaan para prajuri —yang berasal dari kampung-­kam­
kerajaan, tentunya Kraton Ngayogyokarto memosisikan diri pung tersebut— ketika dilaksanakannya upacara kraton, kirab
sebagai pusat kota dengan alun-alun sebagai pusat kota dan budaya ataupun ketika memperingati bulan suro. 
benteng sebagai pembatas kota itu sendiri. Selain membangun
alun-alun dan benteng, kraton juga membuat kebijakan ihwal Pemanfaatan Kampung Kota sebagai Ruang
pemukiman warganya. Pengelompokan pemukiman ini ­secara Perencanaan kota adalah salah satu upaya untuk
umum dibagi menjadi dua bagian. Dalam benteng, lazim memanipulasi ruang perkotaan secara terencana dan terarah
­disebut jero benteng kelompok pertama dan kelompok kedua guna mendapat sebuah kondisi ruang yang lebih baik. kondisi
adalah luar benteng atau jaba benteng. yang baik da­lam perencanaan kota memang terkesan sangat
Yang menarik adalah bahwa penamaan kampung-kampung subjektif dan ter­kadang menjurus ke arah utopis. Namun
itu disesuaikan dengan siapa dan apa profesi masyarakat yang ­demikian, dalam kajian lingkungan-perilaku (invorenment
ting­gal di daerah itu. Daerah dalam benteng meliputi alun-alun— ­behavior study) ­kondisi ini didefinisikan sebagai: ruang atau
selatan dan utara, Pagelaran, Sitihinggil, Prabayaksa,  Kraton se­ lebih khusus, lingkung­an bermukim yang suportif terhadap
bagai tem­pat tinggal raja. Masih di kawasan jero ­benteng juga budaya inti s­ etempat.
terdapat sejumlah kampung tempat para abdi da­lem kra­ton yang Dengan demikian, perancangan kota berusahan men­cip­
bertugas sehari melayani kraton. ­Semisal ­Siliran, yang merupakan takan kondisi ideal interaksi antara manusia dengan budaya
tempat tinggal para silir, yaitu ­tukang urus lampu keraton. Ada dan lingkungannya. Oleh sebab itu, perancangan kota adalah
juga kampung Patehan, yang ­merupakan tempat para pateh, sebuah proses sosiospasial dam strategi keruangan untuk men­
yiatu mereka yang ditugaskan untuk mengurusi ­minuman teh di cip­takan lingkungan bermukim yang benar-benar suportif,
kraton. Selain itu ada pula Gamelan, ­Kemitbumen, dan Nagan. (Samadhi, 2003:48).
100 101
x Mari Melebur Bersama... Moh. Habib Asyhad x

Nampaknya konsep tersebut sangat bisa untuk dijadikan se­bu­ beraneka bentuk. Hal ini memungkinkan terjadinya gesekan-
ah tolak ukur dalam pengembangan dan perencaan ­ruang kota, gesekan pada kota yang nantinya akan menimbulkan sebuah
ter­masuk bagaimana menata keberadaan kampung kota sebagai kompleksitas bahkan kontradiksi. Kemungkinan ini terjadi
sa­lah satu kesatuan ruang kota.  Kampung kota yang sela­ma ini karena adanya homogenitas yang kaku dan kolot namun
begitu getol dengan kegiatan-kegiatan berbasis tradi­si lokal pun ­seragam dengan heterogenitas yang kenyal dan beragam.
sepertinya bisa dimanfaatkan untuk ­berbagai macam kebutuhan, Hambatan lain yang mungkin muncul adalah proses per­
pariwisata misalnya. Di samping bisa di­ja­dikan tempat berkumpul kem­bangan kota yang tidak statis, alias terus bergerak ­dinamis.
dan liburan keluarga setiap akhir pe­kan­nya, ­pemanfaatan itu juga Hal ini dikarenakan pergerakan penduduk yang terus bergerak
bisa menambah kas masing-masing daerah. se­panjang waktu. Meskipun demikian, hal ini tidak serta merta
Kya-kya Kembang Jepun Surabaya mungkin bisa ­dijadikan men­jadi halangan untuk mewujudkan sebuah kota yang teratur.
salah satu contoh pemanfaatan kampung kota. Seperti yang Asal­kan tidak terlalu memperketat pola tata ruang kota, karena
­telah dibahas sebelummnya, bahwa Kembang Jepun ­merupakan tata ruang kota yang terlalu ketat dan kaku tidak bisa tanggap
salah satu kawasan Pecinan di Surabaya, yang ­kemudian de­ngan perubahan kota itu sendiri (Budiharjo, t.t:1).
­sekarang disulap menjadi area jalan-jalan ­keluarga. Tentunya, Akhirnya untuk mengatasi permasalah semacam itu
selain sebagai wahana rekreasi, proyek ini juga ­dianggap ­mampu diperlukan sebuah perencanaan kota yang terbuka dan
­menyelematkan warisan-warisan Tiongkok di Surabaya. ­toleran. Hal tersebut yang menentukan bagian-bagian tertentu
Memang, untuk membuat konsep yang benar-benar ideal dari sistem kota memberikan peluang bagi bagian-bagian lain
untuk perencanaan suatu kota adalah sesuatu yang utopis, ­untuk bergerak secara spontan. Perencanaan kota yang terbuka
lantaran tata ruang kota bukanlah sesuatu yang diam dan dan toleran akan menciptakan lingkungan yang memberikan
stagnan. Dinamika tata ruang kota selalu bergerak cepat, ada tingkat kebebasan dan tindakan yang lebih bervariasi. Dan
kalanya konsep yang nampaknya matang untuk hari ini belum yang paling penting adalah memberi kebebasan dan peran
tentu berhasil diterapkan untuk pola perencanaan esok harinya. yang sebesar-besarnya terhadap masyarakat untuk bervariasi
Apalagi ini terkait dengan keberadaan kampung kota yang dan beradaptasi aktif, kreatif serta modifikatif. 3
masih sangat homogen.
Pariwisata, bisa dijadikan sebagai solusi paling jitu untuk Daftar Pustaka
membangun dan menghidupkan esksistensi kampung kota. Kita Budiharjo, Eko. (t.t). “Tata Ruang Perkotaan dengan Pendekatan Aspek­
bisa berkaca dengan apa yang dilakukan oleh warga keturunan Masyarakat”. Sejarah Penataan Ruang ­Indonesia. Jakarta:
Departemen­Permukiman dan Prasarana Wilayah.
Tionghoa di Kampung Pecinan Surabaya dan kesadaran
Damayanti, Rully. (2005). “Kawasan “Pusat Kota” dalam Perkembangan
Pemerintah Kota Surabaya dengan keadaan mengenaskan, Sejarah­Perkotaan di Jawa”. Dimensi Teknik Arsitektur. Vol.33, No.
Kembang Jepun yang sebenarnya penuh dengan nilai historis. 1,­Juli 2005. Surabaya: Univeristas Kristen Petra.
Namun demikian kita harus memperhatikan beberapa hal Jawa Pos. 25 Desember 2010.
terkait kota itu sendiri. Kota pada dasarnya adalah merupakan Klein, Donald. C. (2005). Psikologi Tata Kota. Yogyakarta: Alenia.
pengejawantahan budaya, dengan beraneka ragam karakter,
Lefebvre, Henri. “La Production de l’espace”. a.b. Donald Nicholson-Smith.
sifat, kekhasan, keunikan, dan kepribadian. Oleh sebab itu (1991). The Production of Space. Massachusetts: Blackwell.
yang perlu diperhatikan adalah budaya dari pelbagai kelompok Samadhi, Nirarta. (2003). “Merevitalisasi Tradisi: Mengadopsi Desa Adat di
dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan Bali Sebagai Unit Perancangan Kota”. Jurnal Antropologi Indonesia.­
simbol-simbol yang mereka anut dalam pola penataan tata kota XXVII No. 70 Tahun 2003. Jakarta: FISIP UI.
mereka sendiri. Suryadinata, Leo. (1994). Politik Tionghoa dan Peranakan di Jawa. Jakarta:
Sinar Harapan.
Budhiharjo mengatakan bahwa kota merupakan ­melting
Suryo, Joko. (2004). “Penduduk dan Perkembangan Kota ­Yogyakarta 1900-
plot yang di dalamnya selalu tercampur kebudayaan yang 1990”. Makalah tidak dipublikasikan dalam The First International­
Conference on Urban History Surabaya.

102 103
x Baliho dan Politik... Jihan Riza Islami x

Nor Islafatun Geliat Makam di


Ruang Kota

Kegemerlapan Jakarta adalah cermin kepahitan yang


gagal diredamnya.
-Seno Gumira Adjidarma-

Rabu, 14 April 2010, bentrokan hebat terjadi di utara Jakarta.


Ben­trok­an ter­ja­di an­ta­ra war­ga dan Satuan Pamong Praja (Satpol
PP) aki­bat adanya ka­bar peng­gu­sur­an ma­kam Mbah Priok di
Tanah Koja, Jakarta Utara. Masa yang terlibat bentrok tidak ha­
nya ber­asal da­ri ke­lu­ar­ga atau ah­li wa­ris sa­ja ­me­lain­kan juga
ra­tus­an warga sekitar yang mungkin tidak ada garis ­ke­tu­runan
de­ngan Mbah Priok. Alasan warga melakukan per­la­wan­an,
ma­kam Mbah Priok dianggap sebagai “makam keramat”.1
Dari kasus ini, dapat kita lihat, makam yang me­ru­pa­kan se­
buah simbol kematian justru mampu memantik daya hidup se­
de­mi­ki­an hebat.
1
Perihal keberadaan makam tersebut masih jadi perdebatan, karena beberepa ahli
menyatakan bahwa makam tersebut adalah fiktif yang dibesar-besarkan peranannya karena
tidak punya nilai kebenaran sejarah yang kuat.

104 105
x Geliat Makam di... Nor Islafatun x

Kata “keramat” didengung-dengungkan men­ja­di ­kun­ci per­ apa-apa pada akal sehat-, ternyata masih memegang ke­per­ca­
la­wan­an itu. Ka­rena menjadi sentral dari penye­bab ben­trok ter­ yaan pada hal-hal abstrak seperti mitos dan keramat.
se­but, maka tak ada sa­lah­nya jika kita ke­nal­i du­lu mak­na ­ka­ta Fenomena kemarahan warga Koja kemudian memunculkan
ke­ra­mat. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), me­nye­but­kan per­ta­nya­an; apa dan sebe­ra­pa be­sar arti ma­kam ba­gi ­ma­sya­ra­kat
ke­ra­mat adalah suci dan dapat mengadakan se­sua­tu di lu­ar ke­ kota? Lalu jika kita lihat minimnya lahan karena kepadatan
mam­puan manusia biasa karena ketakwaannya ke­pa­da Tuhan; pen­du­duk muncul lagi satu pertanyaan, bagaimana bisa makam
Suci dan bertuah yang dapat memberikan efek ma­gis dan ­te­tap dibangun di tengah kota?
psikologis kepada pihak lain. Dari definisi ter­se­but da­pat di­ka­
Kemudian, kaitannya sebagai ruang publik, bagai­mana wa­
ta­kan, sesuatu disebut keramat jika sesuatu itu mem­pu­nyai ni­lai
jah-wajah makam di perkotaan? Apakah ia benar-benar di­per­
lebih ‘magis’. Sesuatu itu dihormati, karena ia diang­gap se­ba­gai
un­tuk­kan bagi publik?
se­sua­tu yang suci.
Jika Makam Mbah Priok disebut sebagai makam keramat,
ar­ti­nya Makam Mbah Priok bukanlah makam sembarangan. Ia Makam; Jembatan Pemanggil Ingatan
ada­lah tem­pat ter­hor­mat yang bisa mem­be­ri­kan dam­pak psi­kis Manusia telah mengenal makam sejak zaman purba. Secara
pa­da orang-orang yang me­ngi­man­i­nya. har­fiah, makam dimaknai sebagai ruang yang digunakan untuk
Yang menarik dan perlu dicatat dari kasus tersebut adalah me­nem­pat­kan ja­sad.
“ke­ber­ada­an” Makam Mbah Priok yang terletak di Jakarta Makam merupakan satu produk kebudayaan. Definisi ke­bu­
Utara. Sebuah kota, yang sering kali diang­gap seba­gai sim­bol da­ya­an ten­tu sa­ngat­lah be­ra­gam. Dalam bukunya Kebudayaan
per­adab­an, kemajuan, kemewahan, dan tem­pat ­mo­der­nis­me Mentalitas dan Pembangunan, Koentjaraningrat me­nye­but­
ber­tum­pu. Mo­der­nis­me se­ca­ra se­der­hana da­pat diar­ti­kan se­ kan ter­da­pat lebih dari 179 definisi mengenai kebudayaan.
bu­ah upaya meraih kemajuan dengan cara berkiblat pada rasio, ­Seba­gai kon­sep, ke­bu­da­ya­an ada­lah kese­lu­ruh­an ga­gas­an dan
men­ja­di titik pangkal atas semua perkembangan yang ada. karya ma­nusia, yang harus dibi­asa­kan­nya dengan belajar, be­
Setelah memahami definisi kota tersebut, sekarang mari kita ser­ta ke­se­lu­ruh­an da­ri ha­sil bu­di dan kar­ya­nya, (Koentjara­
kembali pada “Tragedi Koja”. Di tengah modernitas kota di ma­ ningrat; 2004). Koenjtaraningrat mem­ba­gi wu­jud ke­bu­da­
na ma­sya­ra­kat­nya identik sebagai budak rasio -­mengem­ba­likan­ ya­an men­jadi tiga, yang pertama ada­lah wujud kebudayaan
sebagai satu kesatuan dari ide-ide, ga­gas­an, nilai-nilai, norma,
peraturan, dan sebagainya. Kedua, wu­jud kebudayaan sebagai
doc istimewa

suatu kompleks aktivitas kela­ku­an ber­pola dari manusia dalam


masyarakat. Ketiga adalah wujud ke­bu­dayaan sebagai benda-
benda hasil karya masyarakat.
Makam sebagai produk budaya dapat dimaknai sebagai wu­
jud ke­eksis­ten­sian manu­sia atau per­adab­an. Karena ber­wujud
ma­te­rial artinya bisa menyimpan memori lebih ­la­ma ke­tim­
q
bang manusia. Dia mempunyai fungsi sebagai jen­dela me­ma­
Insiden Priok : hami peradaban masa lalu.
14 april 2010, Munawar Ahmad dalam artikelnya "Makam Mbah Priok
Koja, Jakarta
Utara. dan Revitalitas Kapitalis (Makam dalam Perspektif Antropologi
Politik Orang Asia)" menulis:
“Funerary architecture has an eclectic nature that often borrows forms from
past societies to lend prestige to the present. Tombs are striking way of
asserting­ desired power and stability. Monumental tombs are not a part of
all cultures, religions, or political system, but where they occur, they are often

106 107
x Geliat Makam di... Nor Islafatun x

associated with times of transition in power, a transition frequently triggered ­ e­ti­ka mem­bicarakan kota, kita tak bisa lepas dari bahasan me­
K
by the death of a ruler. (Arsitektur makam memiliki sifat eklektis­ yang nge­nai ba­ngunan fisik yang ada di dalamnya. Karena bangunan-
sering­kali­meminjam bentuk-­bentuk dari sistem kepercayaan masyarakat
lam­pau untuk menampilkan­ nilai-­nilai kewibawaan di masa kini. Nisan ba­ngunan itu adalah pembentuk kota itu sendiri.
ada­lah wujud langsung upaya­ mendirikan kuasa dan stabilitas. Desain "Pada da­sar­nya, kelahiran suatu kota melalui proses yang panjang den­
nisan tidak dipengaruhi oleh nilai pranata sosial atau politik pada waktu gan mem­per­li­hat­kan per­kem­bangan dan perubahan baik pada kon­di­si
itu, namun lebih pada upaya­ menampilkan­ kembali simbol kekuasaan fisik maupun nonfisik. Perubahan fisik kota dapat dilihat da­ri bangunan
pada masa lampau. Dan perubahan­ nisan lebih sering hadir sebagai dan perkampungan lama masyarakat. Sementara perubahan nonfisik
penanda transisi kekuasaan yang menandakan penguasa yang telah kota dapat dilihat pada per­kem­bang­an politik masyarakat kota," (Co­
mati).” lombijn, 2005: 314).

Dalam artikel tersebut, Munawar Ahmad menjelaskan bah­ Makam atau pemakaman secara kasat mata masuk ke dalam
wa Arkeologi, sebagai sub dari antropologi meletakkan ­bu­da­ya ka­te­go­ri ruang yang ber­orien­tasi pada kondisi spasial. Ba­nyak
yang berwujud materi merupakan jendela memahami per­ ki­ta temui ka­sus-ka­sus terkait makam di perkotaan. Mulai da­ri
adab­an masa lalu, ter­ma­suk ma­kam. Arsitektur makam me­ru­ seng­keta, keter­sediaan lahan, penggusuran, sampai pada ­kon­flik
pakan arsi­tek­tur yang utuh men­je­laskan kekuatan peradaban, yang ber­ke­pan­jang­an. Kebetulan atau tidak, penggusuran ma­
ke­kuasa­an hingga rasa sentimental manusia dalam se­bu­ah per­ kam tak ja­rang meng­atas­na­ma­kan pe­nataan ruang kota.
adab­annya, (Ahmad, 2010). Makam dimak­nai se­ba­gai ar­tefak Tragedi Koja pun tak lain merupakan sebuah aksi perebutan
kebu­da­ya­an mem­pu­nyai pe­ran­an sebagai jembatan memahami ruang, antara PT Pelindo (PT. Pelabuhan Indonesia II) dan
peradaban ma­sa silam. Tidak dimak­nai se­kadar bangunan atau warga yang ber­si­ke­ras mempertahankan keberadaan makam
nisan, me­lain­kan sebuah simbol, peng­hu­bung an­ta­ra manu­sia tersebut.
hi­dup dan yang telah mati. Ditinjau dari kepemilikan tanah, lahan tersebut adalah milik
Sejalan dengan pernyataan tersebut, kaitannya sebagai ruang PT Pelindo II. Di sisi lain ahli waris Mbah Priok meng­klaim ta­
pu­blik, makam pun berperan dalam pembentukan memori ko­ nah tersebut adalah milik keluarga berdasarkan verklaring no­
lek­tif masyarakat. Dalam bukunya Ruang Publik, Identitas dan mor 1268/RB pada 19 September 1934.
Memori Kolektif: Jakarta Pasca Soeharto, Abidin Kusno men­ Sengketa ta­nah su­dah ber­lang­sung se­jak lama. Bahkan pada
jelas­kan bahwa me­mo­ri ko­lek­tif ha­dir secara tidak stabil karena tahun 2001 ahli waris per­nah me­la­yang­kan gu­gat­an ke­pa­da PT
mun­cul ter­gan­tung pada keberadaan ruang tersebut. Masalah Pelindo II melalui Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Namun pe­
yang muncul ketika ruang publik beserta artefak-artefaknya hi­ nga­dilan menolak gugatan tersebut. Penggugat atau ahli wa­ris
lang adalah yang bersangkutan akan kehilangan tempat un­tuk ti­dak meng­aju­kan ban­ding sampai batas waktu pengajuan ban­
merajut memori kolektif tersebut. ding atas keputusan tersebut, (Ahmad, 2010).
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa makam tidak hanya Jika kita lihat, masa bentrok rencana penggusuran ter­se­but
di­mak­nai se­ba­gai se­bu­ah nisan, me­lain­kan simbol yang di da­ be­rang­kat dari latar belakang yang berbeda, mulai dari umur,
lam­nya me­nyim­pan nilai se­ja­rah per­adab­an ma­sa si­lam. ­Ma­kam pen­di­dik­an, dan latar keadaan sosial ekonomi. Tentang masa,
men­jadi sa­ra­na pengantar menuju masa lalu. Maka da­pat di­pa­ bi­sa kita lihat dari sudut pandang psikologi. Le Bon, psikolog
ha­mi mengapa masyarakat Koja secara mati-matian me­la­wan ber­ke­bang­sa­an Perancis mengemukakan suatu teori klasik ten­
aksi penggusuran tersebut. Ada semacam ketakutan akan ke­hi­ tang­ massa. Menurutnya, individu-individu yang ter­ga­bung da­
langan tempat untuk menjalin memori kolektif mereka. Se­lain lam­ massa kehilangan kepribadiannya sendiri dan jiwa­nya ber­
ma­kam ter­sebut diang­gapnya suci dan keramat. ada di bawah suatu jiwa bersama (collective mind). Jiwa ber­sama
inilah yang selanjutnya mengatur perilaku individu-in­di­vidu itu.
Konflik Perebutan Ruang Masa dalam Tragedi Koja dikendalikan oleh ­ji­wa bersama; rasa
Mengenang kota sama kiranya dengan mengingat gedung, memiliki dan semangat mempertahankan ­Ma­kam Mbah Priok.
mal, apartemen, dan bangunan-bangunan me­gah lain­nya.
108 109
x Geliat Makam di... Nor Islafatun x

Makam dan Diskriminasi Ruang Publik sa­tu area. Namun demikian, harapan ini terhapus karena mun­
Ketersediaan lahan huni di kota ternyata tidak berbanding cul­nya sektarianisme dan makam-makam mewah.
lu­rus dengan laju per­tum­buh­an pen­du­duk. Se­men­ta­ra jum­lah Ada makam dibangun layaknya real estate bagi manusia hi­
ke­ma­tian de­ngan ta­nah yang tersedia berbanding terbalik. Se­ dup. Ma­kam ter­se­but di­ba­ngun se­de­mi­kian megah lengkap de­
la­in aki­bat ang­ka ke­la­hir­an yang tidak ter­kon­trol dengan ra­pi, ngan beberapa fasilitas tambahannya. Satu contoh ­ada­lah ma­
ur­bani­sasi juga menjadi faktor penyebab meledaknya jum­lah kam San Diego Hills Memorial Park and Funeral Homes yang
pen­du­duk perkotaan. Kota, seringkali dianggap sebagai ­sim­bol terletak di Karawang Barat, Jawa Barat. Makam seluas lima
per­adab­an dan kemakmuran yang menjanjikan, se­hing­ga ratus hektar dengan gaya arsitektur Mediteranian ini mena­
mem­buat orang-orang pedesaan berbondong menyerbu kota war­kan beberapa fasilitas tambahan seperti restoran bergaya
un­tuk meraih peruntungan. Italia, ruang olah raga (lapangan basket, sepak bola, dan kolam
Perkembangan penduduk bersifat dinamis dan cenderung renang), toko, dan arena bermain. Bahkan ada juga gedung
me­ningkat jum­lahnya. Ber­ke­ba­lik­an de­ngan la­han atau ­ta­nah serba guna.
yang ber­si­fat sta­tis. Hal ini mem­bu­at ko­ta ki­an te­ra­sa ­me­nyem­pit. Mereka yang ingin memakamkan kerabatnya di San Diego
Hu­kum ekonomi mengatakan, semakin banyak per­min­ta­an se­ Hills, harus membayar tiga sampai tiga puluh juta rupiah per
ma­kin mahal pula harga barang yang ditawarkan. Imbasnya, ka­ me­ter perseginya. Dengan biaya setinggi itu maka jelaslah un­
um mis­kin kota tak mampu menjangkau harga tanah yang kian tuk siapa makam ini dibangun.
me­ning­gi. Gelandangan menjadi sangat akrab dengan ­wa­jah
Jika ditelisik sektarianisme dan bangunan makam-makam
ko­ta dan pemukiman liar dapat ditemukan dimana-mana.
me­wah ter­nya­ta su­dah mun­cul se­jak za­man ke­ra­ja­an. Dahulu,
Kata "individualis" pun begitu dekat dengan gambaran ma­ ma­kam raja dan bangsawan dibangun sesuai dengan sta­tus­nya.
sya­ra­kat ko­ta. Kaum miskin kota semakin tertatih mengejar ke­ Bah­kan jauh se­be­lum dike­bu­mi­kan para raja te­lah me­nun­juk di­
ter­ting­galan, sedang yang mapan acuh tak acuh. Diskriminasi ma­na kelak ia ingin di­ke­bu­mi­kan. Ma­kam pa­ra ra­ja di­bangun
pun­ mun­cul, bahkan pada ranah ruang-ruang publik per­ko­ta­ de­ngan sek­ta­rian yang berisi makam raja beserta keluarga be­sar­
an.­ nya. Se­ba­­gai contohnya, adalah kompleks makam “Asia Tinggi”
"Ji­ka ruang publik adalah gambaran dari jiwa warga kota, di ke­ca­mat­an Sumenep, Kabupaten Sumenep, Madura. Di Asia
ma­ka gam­bar­an itu adalah keterasingan dan diskriminasi. Tinggi ini, di­ma­kamkan be­be­ra­pa penguasa Madura timur
­Jelaja­hi­lah ru­ang-ruang pu­blik di kota kita dan rasakanlah sekat- (Sumenep), di antaranya Panembahan Sumala (1762-1811) dan
sekat yang akan me­rang­kap kita dalam kelas-kelas sosial. Sekat puteranya Sultan Abdul Rahman atau Sultan Paku Nataningrat
yang a­kan meng­asingkan diri dengan kemanusiaan kita sendiri," (1811-1854).
(Arif, 2010). ­Da­lam artikelnya, Ahmad Arif “Diskriminasi dalam Dari tulisan di atas, dapat dikatakan bahwa kekuasaan dan
Ruang Pu­blik Kota” menyorot beberapa ruang publik yang kehi­ mo­dal seringkali mendominasi ruang publik, bahkan pada ra­­
lang­an esen­si maknanya sebagai ruang bersama dan nirsekat. nah pe­ma­kam­an se­ka­li­pun. Wajah kota nampak se­ma­kin mi­ris
Mal, jalan raya, dan transportasi adalah tiga diantara ru­ karena bahkan untuk menempati ruang sebagai tempat per­
ang-ruang yang ia maksud. Sejatinya, ruang-ruang ter­se­but di­ is­ti­ra­hatan terakhirnya sekalipun, manusia harus di­be­da­kan
per­un­tukkan ke semua kalangan. Namun pada ke­nya­ta­an­nya, ber­dasar status sosial. Melihat kebermunculan makam-makam
ru­ang-ruang itu tidak serta merta dapat digunakan oleh setiap me­wah di perkotaan menguatkan bahwa gagasan masya­ra­kat
in­di­vi­du, melainkan kelas-kelas tertentu. Akibatnya ter­ja­di pe­ tan­pa kelas semakin jauh dari harapan. Karena sebaiknya, ru­
nyem­pitan interaksi sosial. ang pu­blik, sebagaimana dikatakan Jurgen Habermas dalam
Ahmad Arif juga memunculkan “pemakaman umum” se­ bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere: an
ba­gai sa­tu-satunya tempat yang me­mung­kin­kan ma­sya­ra­kat Inquiry into a Category of Borjouis Society dan Civil Society and
ber­kum­pul dalam satu ruang tanpa mengenal sta­tus so­si­al. Di the Political Public Sphere, yang disampaikan Ahmad Arif adalah
ma­kam inilah, semua elemen masyarakat bisa ber­kum­pul dan ruang yang mam­pu men­ja­di jem­batan in­te­rak­si an­ta­ra pe­ngu­

110 111
x Geliat Makam di... Nor Islafatun x

asa dan ma­syarakat dari beragam kelas. Melalui ruang publik aga­ma datang dan mengajarkan pelarangan memuja selain
ini­lah terwujud manusia yang dewasa, bebas penindasan, dan Tuhan, manusia berusaha untuk menghapus ke­per­ca­ya­an­nya
mam­pu menanggulangi krisis. pa­­da roh-roh atau hal gaib lainnya. Namun demikian,­ ke­per­ca­
Jika diperhatikan lebih lanjut, letak makam mewah San ya­an tersebut belum dapat benar-benar dihilangkan.
Diego Hills ini berada di Karawang Barat, Jawa Barat, berada di Masyarakat percaya bahwa berdoa di makam leluhur atau
ping­giran ko­ta. Hal ini me­mun­cul­kan asumsi bahwa kota, se­ wali, cepat dikabulkan karena mereka dianggap sosok yang
akan hanya diperuntukkan bagi yang hidup. Sedangkan orang- ­mem­punyai ke­de­kat­an dengan Tuhan, sehingga bisa men­ja­di
orang yang mati se­nga­ja diletakkan jauh dari pusat kota karena per­antara untuk me­nyam­pai­kan doa-doanya ke­pa­da Tuhan.
di­ang­gap tidak penting. Pa­ra wali dan le­luhur yang telah meninggal diyakini lebih dekat
Dari pemaparan dua contoh kasus di atas, Tragedi Koja dan de­ngan Tuhan. Ritual-ritual seperti pem­ba­kar­an ke­me­nyan dan
mun­cul­nya pemakaman mewah, dapat kita lihat bahwa satu sisi, ta­bur bunga di makam yang dilakukan oleh ma­nu­sia pa­da sa­at
ma­kam mewah sekarang menjamur sebagai lahan bis­nis ka­um ini, juga dilakukan oleh manusia primitif dalam pemujaan atas
dominan. Namun, di sisi lain ter­nya­ta justru makam ju­ga­lah yang roh-roh ne­nek mo­yang­nya yang di­la­ku­kan di candi-candi.
me­num­bang­kan ke­ku­at­an do­mi­nan atau eks­pansi ­ka­pi­ta­lis­me. Dari ulasan diatas dapat disimpulkan bahwa masya­ra­kat
­(ko­ta)­ma­sih ada yang mempercayai mitos. Dalam defi­ni­si­nya,
mi­tos da­lam strukturalisme tidak lain adalah dongeng.
Mitos dan Tradisi yang Berlanjut
Kubur batu dan menhir menjadi bukti bahwa manusia Menurut Levi Strauss, seperti halnya mimpi ­menu­rut pan­
telah me­nge­nal makam sejak zaman prasejarah. Se­iring ber­ja­ dangan Sigmund Freud, mitos pada da­sar­nya ada­lah ­eks­pre­si
lan­nya per­adaban, se­ma­kin pula makam mendapat perhatian atau per­wu­jud­an da­ri unconsiousness wishes, ke­ingin­an-ke­
serius da­lam pem­bangun­an­nya. Bah­kan di be­be­ra­pa ke­bu­da­ ingin­an yang ti­dak di­sa­dari, yang se­di­kit ba­nyak tidak kon­
ya­an, ia di­ba­ngun leng­kap de­ngan me­le­tak­kan da­sar-da­sar filo­ sis­ten, ti­dak ­se­suai, ti­dak klop de­ngan ke­nya­ta­an se­ha­ri-hari.
sofis di dalamnya. Sebagai contoh adalah bangunan termashur Meng­acu pada definisi ini, sekali lagi ma­kam mem­buk­tik­an
Piramida, Mesir. Makam Firaun ini dibangun sekitar tahun 2560 bah­wa da­lam ki­prah­nya, ia meng­ha­pus pa­ra­dig­ma ko­ta se­
SM dengan rentan waktu pembangunan yang tak tanggung- ba­gai pu­sat mo­der­ni­tas yang se­la­lu ber­tum­pu pa­da ra­sio­na­li­
tang­gung, 14-20 tahun. Pada waktu itu, tidak ada ba­ngun­an yang tas. Pada ke­nya­ta­an­nya, masyarakat kota masih ­mem­per­cayai
bisa menandingi kemasyhuran makam ter­se­but, bah­kan istana- mitos-mi­tos tersebut.
istana Mesir sekalipun. Dari fisik bangunannya, Piramida di­ba­
ngun dengan bentuk pucuk runcing menjulang ke langit. Ha­ra­ “Baik-Buruk” Wajah Makam Perkotaan
pan­nya, agar memudahkan perjalanan sang raja me­nu­ju surga. Beberapa kota dikenal mempunyai makam-makam yang
Kita mengenal tradisi ziarah, aktivitas mengunjungi makam ke­rap dikunjungi para peziarah. Sebut saja Demak, Kudus,
ke­luar­ga atau tokoh yang dianggap punya pengaruh (wali). Tra­ Jombang, dan Tuban, yang ikut ter­dong­krak po­pu­la­ri­tas­nya.
disi ini pun bisa kita temukan pada ma­sya­ra­kat ­per­ko­ta­an. ­Sa­tu Ma­kam para wali itu menjadi ko­moditas wisata religi dan wisata
yang menarik dari aktivitas ini masih se­ring ditemui orang- stu­di. Satu sisi, keberadaan makam-makam tersebut memberi
orang yang berziarah tidak untuk men­doa­kan arwah yang di­ ke­un­tungan bagi penduduk sekitar karena mampu menyerap
ku­bur­kan na­mun meng­ha­rap ber­kah da­ri para leluhur ter­se­ ra­tus­an tenaga kerja.
but. Maka dampak baik dari keberadaan makam-makam besar ini
Tradisi ziarah merupakan warisan leluhur purba. Jauh se­be­ ada­lah warga bisa membuka warung atau toko dan penyediaan
lum manusia mengenal agama, masih berpegang pada ani­mis­ jasa transportasi di daerah pemakaman. Namun demikian, ke­
me-dinamisme, manusia mengenal candi dan tempat-tempat ber­ada­an makam-makam besar ini juga melahap space yang be­
su­ci sebagai tempat pemujaaan roh nenek moyang. Baru setelah gi­tu besar. Akibatnya, lahan tersita mulai dari untuk lahan ­par­kir,

112 113
x Geliat Makam di... Nor Islafatun x

area pedagang, sampai untuk ruang penziarah itu ­sen­di­ri yang


seringkali berjumlah ratusan atau ribuan. Dan untuk se­mua itu,
kadang sampai diperlukan alokasi beberapa puluhan hek­tar.
***
Demikianlah, geliat makam di ruang kota. Se­per­ti hal­nya
ko­ta, ia terus ber­ge­rak meng­ikuti la­ju di­namika ­per­adab­an­nya.
Da­lam dina­mi­ka­nya tersebut ia menyimpan sejarahnya ­sen­diri,
se­per­ti hal­nya ia menyimpan ingatan-ingatan narasi masa silam
yang dikuburkan. Ma­kam tetap ber­di­ri, di ­te­ngah arus ­ke­pa­dat­an
kota yang kian membengkak. Karena makam, tidak ­se­ka­dar di­
ter­je­mah­kan sebagai ruang untuk menempatkan jasad, na­mun
le­bih dari itu. Ada simbol, mistis, dan penghormatan di se­ti­ap
ni­san yang berdiri.
Pun dalam wujudnya, makam turut andil dalam mengupas
mi­ris dan bengisnya wajah kota. Diskriminasi, penggusuran, dan
sengketa lahan terus berjalan berkelindan seiring per­kem­bang­ Nisrina Imajinasi Ruang
an kota yang terus direncanakan. Paradox; mung­kin tak ter­la­lu
berlebihan jika kata itu dipinjam untuk ­meng­gam­bar­kan ge­liat
Muthahari
dalam Cluster
makam-makam besar di perkotaan. Satu sisi, ia membantu me­
naik­kan perputaran uang kaum menengah kebawah. Namun
sisi yang lain, makam-makam besar itu telah melahap ribuan
hek­tar tanah per­ko­ta­an.3

Daftar Pustaka
Ahmad, Munawar. (t.t). "Makam mbah Priok dan Revitalitas Kapitalis
(Makam dalam Perspektif Antropologi Politik Orang Asia)".
Tersedia pada http://ushuluddin.uin-suka.ac.id. Diakses pada 9 Epos sekarang mungkin terutama
Februari 2010, 21.09 WIB. akan berupa epos tentang ruang.
-Michel Foucault-
Arif, Ahmad. (2010). "Diskriminasi dalam Ruang Publik Kota". Kompas. 1
Maret 2010.
Colombijn, Freek, dkk. (2005). Kota Lama Kota Baru, Sejarah Kota-Kota di Pernahkah An­da mem­ba­ca a­tau me­li­hat iklan cluster yang
Indonesia. Yogyakarta: Ombak. ter­pam­pang di ko­ran mau­pun ta­yang­an televisi? Bagi Anda
Hermin A.M, Kusmayati. (2000). Arak-arakan: Seni Pertunjukan dalam Up- yang be­lum ta­hu me­nge­nai­nya, ba­ik kita mencari asal mula ka­ta
acara Tradisional di Madura. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indone­ cluster du­lu. Da­lam ka­mus Inggris-Indonesia, cluster diartikan­
sia. Koentjaraningrat. (2004). Kebudayaan Mentalitas dan Pem- se­ba­gai ke­lom­pok a­tau ke­ru­mu­nan. Istilah cluster dalam tulisan
bangunan. Jakarta: PT Gramedia.
i­ni a­kan ter­fo­kus pa­da kelompok perumahan eksklusif yang
Putra, Heddy-Sry Ahimsa. (2006). Stukturalisme Levi Strauss: Mitos dan ter­di­ri da­ri sedikit bangunan dengan sistem keamanan ketat.
Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press.
Iklan-­iklan cluster ter­se­but di­ke­mas dengan cukup menarik.
Mi­sal­nya de­ngan di­bum­bui bu­ai­an semacam ini: “Hunian ba­
ru­ ter­pa­du de­ngan ger­bang in­dah bergaya Romawi berlantai
ti­ga de­ngan pan­jang 72 me­ter ser­ta obelisk setinggi 27 meter

114 115
x Imajinasi Ruang dalam... Nisrina Muthahari x

me­nyam­but­pa­ra peng­hu­ni ser­ta pengunjung kawasan ini yang nar­kan bah­wa benda-­benda tersebut memang di­butuhkan o­leh
ki­ri ka­nan­nya ju­ga di­per­in­dah de­ngan adanya dua danau kecil ma­nu­sia. Ru­mah ju­ga men­ja­di a­rea di mana manusia me­nya­
yang in­dah.”1 lur­kan­ ra­sa se­ni­nya da­lam bentuk-bentuk yang mereka ingin­
Sis­tem pem­be­li­an yang mu­dah mem­bu­at perkembangan kan.­Ma­ka tak he­ran a­pa­bi­la da­ya cip­ta manusia menghasilkan
cluster se­per­ti ja­mur di mu­sim hu­jan. Para pengembang dengan­ a­ne­ka­ ru­pa ben­tuk ru­mah ka­re­na manusia mempunyai rasa
o­rien­ta­si ke­un­tung­an ber­u­sa­ha mengembangkan cluster de­ngan yang ber­be­da-beda.
syarat-­syarat pem­be­li­an yang gampang. Banyak kita jumpai ik­ Se­dang­kan fung­si la­ten ru­mah adalah alasan manusia mem­
lan­ di me­dia ce­tak mau­pun elek­tro­nik menawarkan konsep ba­ngun ru­mah. Mung­kin sa­ja naluri yang membuatnya. Ke­
ran­cang­an cluster yang a­kan di­bu­at pengembang, kemudian di­ mau­an yang me­ru­pa­kan na­lu­ri pa­da setiap makhluk manusia­
su­guh­kan de­ngan animasi cluster dalam bentuk visual. yang di­se­but se­ba­gai do­rong­an. Misalnya dorongan un­tuk
Mem­bi­ca­ra­kan cluster ma­ka ha­rus pula membicarakan ru­ mem­per­tahan­kan hi­dup yang bisa jadi adalah dorongan­bio­lo­
mah. Tem­pat ting­gal di­il­ham­i ma­nu­sia sebagai kebutuhan po­ gis­ da­ri da­lam di­ri ma­nu­sia hingga mampu mem­per­tahan­kan­
kok yang ha­rus di­pe­nuh­i. Se­su­ai dengan tingkatan dan ke­bu­ hi­dup­nya­di bu­mi.
tuh­an­nya ter­ha­dap ru­mah, ma­nu­sia akan menentukan sendiri Fung­si la­ten bu­kan ha­nya ter­ka­it de­ngan persoalan dorongan­
ru­mah se­per­ti apa yang pantas untuk mereka tinggali. se­ma­ta, na­mun ju­ga se­ga­la sesuatu yang berhubungan dengan
da­ya­psi­ko­log­is ma­nu­sia. Ba­gi Hayward, dorongan sosial sebagai­
Konsep Rumah wa­dah ke­a­krab­an, tem­pat me­nyen­di­ri, akar kesinambungan,
A­wal­nya ma­nu­sia hi­dup de­ngan cara berpindah-pindah. dan pu­sat ja­ring­an so­si­al a­da­lah beberapa cakupan konsep so­
Ke­ti­ka su­dah mem­per­o­leh ke­nya­man­an, manusia mulai hidup si­al­da­ri ru­mah, (Budihardjo, 2005: 138). Parahnya, konsep me­
me­ne­tap di sa­tu tem­pat. Ber­a­wal dari kehidupan menetap itu­lah nge­nai ru­mah da­lam ben­tuk fisik selalu memperoleh ­perhatian
ma­nu­sia mem­bu­at ru­mah ting­gal, misalnya di gua yang ber­lu­ be­sar di­ban­ding kon­sep rumah yang menyangkut aspek sosial
bang be­sar yang a­man da­ri serangan hewan buas. Hal itu di­ dan­psikologis.
buk­ti­kan de­ngan di­te­mu­kan­nya lukisan-­lukisan di dinding gua Se­mu­la ki­ta me­nge­nal sa­tu ru­mah yang berdiri sendiri, da­
yang seolah-­olah men­ja­di penghias rumah manusia purba. tang­lah­ke­mu­di­an ma­nu­sia la­in dan mendirikan rumah, datang­
Se­ir­ ing de­ngan per­kem­bang­an du­nia, manusia mulai me­ la­gi terus-­menerus men­di­ri­kan ru­mah lan­tas terbentuklah­a­pa
ngang­gap ru­mah men­ja­di hal po­kok yang wajib dipenuhi. Ke­ yang di­se­but se­ba­gai pe­mu­kim­an. Istilah pemukiman dan pe­ru­
mu­di­an mun­cul kon­sep ke­bu­tuh­an primer; sandang, pangan, mah­an­se­ring­ka­li di­sa­ma­kan mes­ki­pun sebenarnya ­mem­pu­nya­i­
dan pa­pan. Pe­me­nuh­an ke­bu­tu­han primer dianggap sebagai mak­na ber­be­da.
stan­dar ke­tun­ta­san ke­hi­dup­an ma­nu­sia, namun bukan berarti Pe­ru­mah­an me­ru­pa­kan kelompok rumah­ un­tuk­ tem­pat
ma­pan ka­re­na so­al kemapanan adalah hal yang relatif. ting­gal yang di­leng­kap­i dengan sarana dan pra­sa­ra­na.­ Se­
Ki­ta me­nge­nal ru­mah ha­nya se­ba­tas benda yang berwujud dangkan pemukiman adalah kawasan yang didominasi­ ling­
ba­ngun­an. Na­mun ji­ka ki­ta re­nung­kan, rumah tidak hanya kung­an hu­ni­an de­ngan fungsi utama sebagai tempat tinggal­
ber­mak­na se­ka­dar i­tu. Me­re­nung­kan rumah, kita bisa jadi akan yang di­leng­kap­i sa­ra­na dan pra­sa­ra­na serta tempat kerja yang
kem­ba­li ke­pa­da fung­si manifes dan laten. ter­ba­tas, (Adisasmita, 2005: 138).­Ke­ter­be­la­kang­an pemukiman­
di­kota-­kota me­nye­bab­kan keadaan perumahan yang tidak se­
Ma­ni­fes­ta­si ih­wal ru­mah ter­cer­min dari detail bangunan i­tu hat.­I­ni ke­mu­di­an yang men­ja­di dasar tumbuhnya perumahan-
sen­di­ri. Gen­ting, din­ding, jen­de­la, pintu, dan anggota ba­ngun­ pe­ru­mah­an de­ngan fa­si­li­tas dan keamanan terjamin berskala
an­ ru­mah la­in­nya mem­pu­nya­i peran dan fungsi yang mem­be­ ke­cil, medium, atau besar.
1
Iklan kawasan hunian terpadu yang diluncurkan paramount serpong yang dinama-
kan II Lago yang berarti danau, dalam kawasan ini memang terdapat danau seluas 37 hektar.
Lihat, “II Lago: Kawasan Hunian Baru dengan Danau 37 Ha dan Hutan Pinus”, tersedia pada
Antara Hasrat dan Kebutuhan Rasa Aman
http://properti.kompas.com. 4 Januari 2011, 23.11 WIB. Se­be­nar­nya, em­bri­o mun­cul­nya perumahan sudah ada se­
116 117
x Imajinasi Ruang dalam... Nisrina Muthahari x

jak­ za­man pen­ja­jah­an Belanda. Ka­wa­san Menteng misalnya,­ ta­di­nya di­bang­un tan­pa se­kat yang mengelilingi, kini tumbuh
me­mang­di­si­ap­kan se­ba­gai kawasan hunian mewah oleh pe­me­ men­ja­di pe­ru­mah­an de­ngan sekat-sekat pembatas. Kebutuhan
rin­tah­ko­lo­ni­al dan me­na­fi­kan sisi bahwa di Menteng juga a­da a­kan tem­pat ting­gal yang nya­man dan aman dari gangguan me­
pe­mu­ki­man bi­a­sa. Men­teng men­ja­di sebuah contoh nyata ko­ta ru­pa­kan hal a­lam­i­ah da­lam sifat dasar manusia. Dituliskan o­leh
de­ngan sis­tem ta­man yang meng­gu­na­kan sepenuhnya mo­bil Sigmund Freud bahwa ma­nu­sia hi­dup dengan kecemasan a­tau
da­lam ta­ta ko­ta mo­dern, pe­ru­mah­an mewah komersial per­ta­ ke­kha­wa­tir­an yang me­mak­sa dirinya untuk bertahan, ke­cemas­
ma­ yang me­nan­dai ke­be­bas­an ekonomi dan merupakan salah an­ini mun­cul se­ba­gai a­ki­bat dari realitas yang membahayakan
sa­tu con­toh ran­cang­an ko­ta modern pertama di negeri ini. e­go. Ia mem­ba­gi ke­ce­mas­an men­ja­di tiga, yaitu kecemasan re­
Era 1970-an, pe­me­rin­tah se­dang gencar-­gencarnya menata al­i­tas a­tau o­bjek­tif, ke­ce­mas­an neurosis, dan kecemasan moral.
ru­ang per­ko­taan de­ngan men­di­ri­kan kawasan biasa maupun Dan da­lam gam­bar­an di a­tas ter­ma­suk kecemasan realitas.
ka­wa­san elit. Pro­yek pem­ba­ngun­an dipacu agar perekonomian Re­al­itas yang a­da me­nun­juk­kan bah­wa angka kriminalitas
ber­ge­rak. Ba­nyak ka­wa­san yang tadinya berbanderol murah bi­ cen­de­rung na­ik ka­re­na situasi ekonomi yang memburuk. Hal
sa ber­ka­li li­pat da­ri har­ga sebelumnya. Semisal perkebunan ka­ i­ni ke­mu­di­an me­nim­bul­kan ber­ba­gai tin­dak kejahatan seperti­
ret yang te­lah la­ma ber­sa­lin men­ja­di perumahan mewah ma­cam­ pe­ram­pok­an, pen­cu­ri­an, pem­bu­nuh­an, dan semacamnya se­ba­
Pondok Indah. Bah­kan, sur­vei peneliti di Yogyakarta­me­ne­mu­ gai­ca­ra un­tuk ber­ta­han hi­dup. Kecemasan akan kejahatan yang
kan­adanya pertumbuhan cluster, baik skala kecil, me­di­um,­atau me­wa­bah mem­bu­at o­tak ma­nu­sia memikirkan cara untuk ber­
be­sar yang di­pa­gar­i se­ke­li­ling­nya mencapai lebih dari 380 pe­ru­ ta­han mau­pun me­ngan­ti­si­pa­si datangnya kejahatan. Ber­sa­ma­
mah­an ba­ru ha­nya dalam kurun tahun 2000 sampai 2005.2 an­de­ngan i­tu, mun­cul­lah perumahan yang menawarkan sis­tem
Ge­rak ko­ta a­da­lah ge­rak ke­hi­dup­an kerja, waktu menjadi ke­a­man­an sa­tu pin­tu dengan penjagaan ketat dalam menyikapi­
kun­ci me­nen­tu­kan ke­ber­ha­sil­an. Terkait dengan hal itu, kota res­pons kon­di­si lingkungan yang tidak kondusif.
me­ru­pa­kan kom­po­si­si an­ta­ra kehidupan kerja dan tempat Ma­nu­sia mem­bu­tuh­kan ra­sa aman dan pihak pengembang
­ting­gal,­ di ma­na e­fi­sien­si dan e­fek­ti­vi­tas wak­tu menjadi obsesi me­nyi­ap­kan ke­bu­tuh­an ma­nu­sia itu. Tingkah-polah manusia
warga­ ko­ta. Pe­ru­mah­an dan kan­tor menjadi simbol-simbol se­per­ti i­ni­lah yang di­se­but se­ba­gai mekanisme pertahanan yang
identitas ko­ta. Se­per­ti de­sa de­ngan sa­wah dan la­dang yang me­ru­pa­kan ca­ra un­tuk menghilangkan maupun mengurangi
menjadi ciri kon­tur desa. ke­ce­mas­an se­ca­ra a­lam­i. Manusia memilih tinggal di cluster de­
Pe­mi­sah­an tem­pat ker­ja dan tem­pat tinggal menjadi ke­bu­ ngan sis­tem ke­a­man­an ke­tat agar terbebas dari kecemasan dan
tuh­an­bagi o­rang yang men­ca­ri kenyamanan, sedang jarak pe­ an­cam­an a­gar ketenangan bisa didapat.
mi­sah an­ta­ra ke­dua­nya da­pat dijangkau dengan transportasi Pe­nen­tu la­in mun­cul­nya perumahan mewah, didorong o­leh
yang me­ma­dai. Se­bi­sa mung­kin jarak yang jauh bisa ditempuh tum­buh­nya ke­las me­ne­ngah yang menempati kota-kota be­sar.­
de­ngan wak­tu yang se­mi­ni­mal mungkin. Latar belakang inilah Go­long­an ke­las me­ne­ngah ter­ge­rak untuk bekerja keras de­mi
yang ke­mu­di­an me­mun­cul­kan i­de mendekatkan tempat kerja men­da­pat­kan a­pa yang ba­gi kebanyakan manusia dianggap­
­de­ngan tem­pat ting­gal. ba­gus. Da­lam 10 ta­hun ter­ak­hir i­ni, kaum kelas menengah
Pe­ngem­bang da­pat me­li­hat a­da­nya peluang dengan fe­no­me­ Indonesia­tum­buh pesat dan diperkirakan berjumlah sekitar 40
na­ se­ma­cam i­tu hing­ga men­cip­ta­kan perumahan-­perumahan % da­ri to­tal jum­lah pen­du­duk.3 Gaya hidup ala kota menjadi
ba­ru de­ngan me­man­faat­kan lahan-­lahan yang kurang ­pro­duk­tif.­ a­cu­an su­a­tu ke­ber­ha­sil­an. Kota besar mengajarkan gaya hidup
Bah­kan, da­lam per­kem­bang­an­nya, lahan-lahan yang se­ha­rus­ kon­sum­tif dan pe­nuh pencitraan dan inilah yang membuat
nya­di­gu­na­kan se­ba­gai lahan resapan beralih fungsi sebagai la­ cluster la­ris ter­ju­al karena pencitraannya yang menyilaukan.
han­baru perumahan. Sa­sa­ran pe­ngem­bang ti­dak lain dan tidak bukan adalah kaum
ke­las me­neng­ah i­ni.
Pa­da per­kem­bang­an se­lan­jut­nya, perumahan mewah yang
Jean Baudrilard me­nye­but­kan bah­wa gravitasi dunia kini te­
2
Ilya Fadjar Maharika, “Kriminalitas dan Ruang Kota”. Tersedia pada maharika.
wordpress.com. Diakses pada 4 Januari 2011, 21.34 WIB. 3
“Masih Sebatas Macan Kertas”, Kompas, 14 Januari 2011.

118 119
x Imajinasi Ruang dalam... Nisrina Muthahari x

lah­ di­gan­ti­kan o­leh a­pa yang disebutnya sebagai ekonomi li­bi­ pen­ting­an,­ter­ma­suk pa­ra pe­da­gang yang ingin menawarkan da­
do­ ber­ka­it­an de­ngan pe­ngem­bang­bi­ak­an hawa nafsu, (Piliang, gang­an.­Pen­ju­al sa­yur yang bi­sa masuk ke dalam hanyalah me­re­
2006: 110).­ Ber­ba­gai ma­cam mo­del cluster terus ditawarkan. ka­yang men­da­pat i­zin da­ri petugas keamanan, itu pun dibatasi.
Bu­juk ra­yu ik­lan terus digaungkan agar individu tertarik untuk­ Re­la­si an­ta­ra pen­du­duk cluster dan pen­du­duk luar terhalang oleh
ber-cluster ria. Ti­dak ha­nya sam­pai di situ, dalam sistem ekono­ tem­bok dan pa­gar yang me­nge­li­li­ngi kawasan cluster.
mi­ be­bas, ha­wa naf­su di­mun­cul­kan terus-menerus agar selalu Pe­ru­mah­an de­ngan ja­lan le­bar beserta bangunan megah
tim­bul ke­ti­dak­pu­as­an. Dengan begitu, orang-orang semakin men­ja­di pe­tan­da sta­tus so­si­al para penghuninya. Sedangkan
ber­naf­su un­tuk membeli cluster model terbaru. me­re­ka yang ha­nya pu­nya ru­mah ke­cil dan halaman sempit
men­ja­di ter­ping­gir­kan. Ji­ka di­ra­sa­kan, cluster memberi kesan­
Ruang-Ruang Eksklusif pen­cip­ta­an ru­ang eks­klu­sif de­ngan memberikan batasan-ba­
Manusia memang selalu berada dalam lingkupan. Sejak ia diciptakan tas­an fi­sik an­ta­ra pe­ru­mah­an mewah dengan perumahan
dalam rahim sampai berada di ruang-ruang sosial biasa­ a­tau kam­pung. Pa­da­hal, du­lu di da­e­rah Kebayoran Baru,
-Peter Sloterdijk- rumah-­rumah be­sar dan ke­cil me­ngin­te­gra­si di setiap blok. Ru­
mah­ be­sar di te­pi ja­lan be­sar, se­dang yang kecil di dalam me­
Pe­ru­mah­an ma­cam cluster men­cip­ta­kan ruang-ruangnya nge­li­li­ngi­taman lingkungan.
sen­di­ri de­ngan sa­ra­na pra­sa­ra­na yang diciptakan dan dinikmati­ Ru­ang pu­blik yang hi­lang a­da­lah harga yang harus dibayar
o­leh ka­lang­an ter­ba­tas sa­ja. Por­tal yang sengaja dipasang di pin­ da­ri proyek-­proyek pem­ba­ngun­an mo­del cluster. Menyempitnya­
tu­ cluster me­mang bu­kan ha­nya pajangan semata, namun ber­ ru­ang pu­blik sa­lah sa­tu­nya ka­re­na pro­yek tanpa kontrol. Konsep­
fung­si­ se­ba­gai pe­ngen­da­li. O­rang yang hendak masuk cluster cluster ti­dak me­nga­jar­kan un­tuk berbagi ruang publik dengan
di­sa­ring, di­ta­nya­i ke­per­lu­an­nya, terkecuali orang itu mengenal me­re­ka yang ber­a­da di lu­ar ka­wa­san. Privatisasi ruang publik
dan pu­nya jan­ji de­ngan pe­mi­lik rumah dalam cluster. Barang yang se­ha­rus­nya men­ja­di mi­lik bersama bukan tak mungkin
ten­tu ki­ta ha­rus me­ning­gal­kan i­den­ti­tas diri ketika kita lewat a­kan me­nim­bul­kan ke­cem­bu­ru­an sosial dari mereka yang
por­tal ti­dak ber­sa­ma de­ngan si penghuni. tak per­nah me­ra­sa­kan. Ke­cem­bu­ru­an sosial ini yang semakin
Se­ba­gai con­toh, Pe­ru­mah­an Casa Grande di Yogyakarta. Pe­ mem­per­je­las ju­rang pe­mi­sah antara si kaya dan si miskin. Tak
ru­mah­an­i­ni ter­ma­suk ka­wa­san cluster skala besar dengan sistem he­ran ji­ka kota-­kota be­sar menjadi minim ruang publik yang
por­tal dan ti­dak me­ngi­zin­kan ma­suk siapapun yang tidak ber­ke­ di­gu­na­kan se­ka­dar un­tuk berkumpul, tentu dengan embel-
q
­embel gratis.
Fajar

Salah satu Cluster dibuat oleh pengembang dengan bentuk dan ukur­an­
perumahan yang sa­ma, ter­ke­cu­a­li pe­mi­lik mengubah atau memperle­bar­ben­
atau Cluster di
daerah Seturan, tuk ru­mah­nya sen­di­ri. Bi­sa dibilang proyek cluster a­da­lah­se­bu­ah
Yogyakarta. ho­mo­ge­ni­sa­si per­ko­ta­an. Proses penyamaan bentuk­ ba­ngun­an
ter­ja­di da­lam kon­sep cluster dengan tujuan mem­per­mu­dah­pro­
ses pem­ba­ngun­an karena pengembang tidak harus mem­bu­at ba­
nyak ran­cang­an. Kondisi penyamaan inilah yang me­nim­bul­kan
ke­san mo­no­ton pa­da setiap rumah dan berujung pa­da tum­buh­
nya ko­ta tanpa karakter.
Bangunan-­bangunan ru­mah da­lam cluster juga banyak yang
me­na­war­kan re­pli­ka da­ri ba­ngun­an kla­sik, sering pula di­guna­
kan­ bentuk-­bentuk mi­ni­ma­lis hing­ga menarik mata yang me­
man­dang.­ Se­dang­kan me­re­ka yang memakai tidak begitu pa­
ham­ me­nge­na­i se­gi his­to­ris su­a­tu bangunan beserta dampak

120 121
x Imajinasi Ruang dalam... Nisrina Muthahari x

ling­kung­an yang di­tim­bul­kan ka­re­na tidak pernah ikut campur ti­ka­ia ber­jum­pa dan ber­hu­bung­an dengan orang lain.
da­lam pro­ses pem­ba­ngun­an. De­ngan kata lain, pengembang ha­ Pe­naf­sir­an pe­ri­la­ku a­tas orang-orang yang berada di dalam­
nya men­ju­al mim­pi ke­pa­da calon penghuni cluster. cluster ba­rang­ten­tu di­la­ku­kan oleh mereka yang berada di lu­ar­
Melebarnya ja­rak­an­ta­ra pe­ngem­bang dan ca­lon peng­hu­ni ru­ ko­mu­ni­tas cluster. Ti­dak a­da­nya jembatan yang menjembatani­
mah menyebabkan ti­dak sin­kron­nya ke­hen­dak ca­lon peng­hu­ni ke­dua ke­lom­pok ma­sya­ra­kat un­tuk berdiskusi agar tidak ter­pe­
de­ngan bangunan yang su­dah ja­di. Pe­ngem­bang ter­li­bat da­lam­ rang­kap­ da­lam pra­sang­ka bisa jadi berujung pada stigma ne­
proses pembuatan ru­mah, se­dang­kan peng­hu­ni ku­rang men­ ga­tif. Di­ko­to­mi antara warga cluster dengan luar cluster tidak
dapat peluang untuk ber­pe­ran ser­ta di da­lam­nya. Akibatnya, a­kan se­le­sai jika interaksi tidak dibentuk.
calon penghuni hanya me­mi­li­ki sedikit rasa untuk men­jaga Ji­ka di­te­li­sik, pem­ben­tuk ada­nya pa­to­lo­gi antarwarga berasal­
lingkungannya. da­ri ter­ba­tas­nya ru­ang pu­blik. Ruang publik yang nyaman ha­
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009, ter­ja­di­ nya­di­pu­nya­i o­leh ma­sya­ra­kat cluster dan diklaim sebagai ru­ang­
ke­tim­pang­an an­ta­ra ka­wa­san ku­muh dan kawasan eksklusif­da­ri eks­klu­sif me­re­ka. Maka,­pa­da sa­at i­tu­lah eksistensi ruang pu­blik
54 hek­tar pa­da 2008 men­ja­di 57 hektar pada 2009.4 Ini me­nun­ ter­an­cam. Saskia Sassen yang sosiolog asal Belanda, me­nge­mu­
juk­kan bah­wa se­ma­kin banyak lahan yang beralih fungsi men­ja­ ka­kan­pen­ting­nya ru­ang publik bagi masyarakat kota yang ter­
di ka­wa­san eks­klu­sif di­tam­bah banyaknya manusia yang meng­ bu­ka.5­ Ru­ang pu­blik da­lam ben­tuk prasarana khalayak sa­ngat
i­ngin­kan cluster. pen­ting se­ba­gai stra­te­gi pen­ca­pa­i­an integrasi perkotaan, da­lam
Cluster de­ngan ba­ngun­an tem­bok dan pagar, mewakili peng­ pe­nger­ti­an hu­bung­an an­tar ang­go­ta masyarakat, bukan­ da­lam
hu­ni­nya mem­bu­at sim­bol per­ten­tang­an semakin jelas. Ma­sya­ pe­nger­ti­an penyatuan dalam penyeragaman. Pada per­kem­bang­
ra­kat me­ne­ngah ke­ba­wah ti­dak akan berani mendekat ke tem­ an­nya,­ru­ang pu­blik menjadi hilang, dialihfungsikan, dan se­lan­
bok cluster ke­cu­a­li de­ngan maksud-­maksud tertentu. Menandai jut­nya a­kan ter­ja­di kapitaliasasi atas nama ruang pu­blik.­
de­ngan ba­tas­an fi­sik ju­ga ber­ar­ti mengisyaratkan kepemilikan
yang ten­tu­nya bu­kan milik bersama. Pemisahan ini juga akan Interaksi Minim
men­cip­ta­kan ba­tas fi­sik dan bu­da­ya, tidak ada peleburan antara Ba­gi An­da yang me­nyu­kai ketenangan, barangkali pilihan te­
bu­da­ya ma­sya­ra­kat dalam dengan masyarakat luar cluster. pat un­tuk ting­gal di se­bu­ah cluster yang me­na­war­kan suasana te­
Ba­rang­ka­li i­ni­lah yang di­se­but sebagai sebuah gejala ­patologi nang dan pri­ba­di. Ba­gi Anda yang ingin hidup tidak ingin di­gun­
so­si­al. Pa­ra so­si­o­log mendefinisikan patologi sosial sebagai jing te­tang­ga, cluster ju­ga merupakan pilihan tepat untuk hi­dup
tingkah-­laku yang ber­ten­tang­an dengan stabilitas lokal, moral, be­bas da­ri ki­cau­an war­ga sekitar. Kesadaran kolektif di da­lam
po­la ke­se­der­ha­na­an, dan le­bih lanjut mengenai ilmu tentang ling­kung­an cluster ti­dak tampak karena masing-masing in­di­vi­du
gejala-­gejala so­si­al yang di­ang­gap sakit, (Kartono, 1983: 1). peng­hu­ni cluster si­buk dengan aktivitas hariannya. Jadi,­ ja­ngan
Lantas,­ a­pak­ah ba­ngun­an cluster de­ngan fasilitas ruang publik ha­rap An­da a­kan men­da­pat perlakuan istimewa da­ri te­tang­ga
di da­lam­nya yang di­ser­tai tem­bok pembatas merupakan gejala ka­lau An­da ti­dak benar-­benar mengenalnya se­ca­ra­dekat.
pa­to­lo­gi sosial? Se­di­kit meng­i­ngat per­ja­lan­an beberapa waktu lalu ketika­
Ter­gan­tung da­ri masing-­masing masyarakat mengartikan ber­tan­dang ke ru­mah ke­ra­bat di se­bu­ah cluster daerah
pa­to­lo­gi so­si­al, to­lok u­kur yang dipakai tentu berbeda-beda di Tangerang Se­la­tan. Di kom­pleks cluster ter­se­but kira-kira ha­nya
ti­ap ma­sya­ra­kat. Pi­kir­an yang ser­ba apriori mengenai kota yang a­da duapuluhan­ru­mah de­ngan tembok dan pagar yang me­nu­
ti­dak a­man me­nye­bab­kan proteksi atas rasa ketidakamanan tup­i­tiap-­tiap ru­mah. Sesuai dengan kebiasaan ketika di ru­mah,
mun­cul. Se­sung­guh­nya, me­re­ka yang merasa aman di dalam
cluster ti­dak a­kan men­da­pat ke­a­man­an se­ru­pa ketika berada di 5
Marco kusumawijaya, Mujtaba Hamdi dan Felicia Hutabarat “Tantangan dan
Kemajuan Kebebasan Berekspresi di Indonesia untuk Mendorong Terwujudnya Masyarakat
lu­ar cluster. O­rang cen­de­rung hi­dup dalam ketidakamanan ke­ Terbuka: Merawat Khalayak dan Ruang Khalayak”. Diskusi yang disampaikan­pada Tanggal
8 Desember 2010 di Bidakara. Tersedia pada mkusumawijaya.wordpress.com. Diakses pada
4
Anjar Fahmiarto “ Agar Perumahan Perkotaan Berkualitas”, tersedia pada batavi- 4 Januari 2011, 23.12 WIB.
ase.co.id. Diakses pada 4 Januari 2011, 22.31 WIB.

122 123
x Imajinasi Ruang dalam... Nisrina Muthahari x

sa­ya me­nyem­pat­kan untuk keluar rumah, sekadar untuk­jalan- ko­ta­an yang ting­gal da­lam petak-petak cluster. Kodrat ma­nu­sia­
ja­lan sem­ba­ri olah­raga pa­gi ditemani saudara sepupu saya yang se­ba­gai ma­khluk so­sial ti­dak bi­sa dilepaskan begitu saja. Mes­
tingg­al di sana. ki­pun so­li­da­ri­tas or­ga­nik dapat dimiliki masyarakat perkotaan,­
Be­be­ra­pa ka­li pu­tar­an da­lam area cluster, kami bertemu be­ ta­pi in­ter­ak­si an­tar te­tang­ga tidak boleh dihilangkan. Masih in­
be­ra­pa­ te­tang­ga yang ke­be­tul­an berada di luar rumah. Sepupu gat­ka­sus pa­brik nar­ko­ti­ka dengan omset milyaran rupiah yang
saya,­yang su­dah li­ma ta­hun tinggal di sana, ketika berpapasan­ ber­o­pe­ra­si di pe­ru­ma­han ma­cam cluster? Para tetangga me­nge­
de­ngan te­tang­ga­nya ha­nya melemparkan senyum, tanpa me­ ta­hu­i­nya­ ba­ru se­te­lah po­li­si menggrebek rumah yang menjadi
nya­pa­dan me­nye­but na­ma, kami pun berlalu begitu saja. Saya­ pa­brik nar­ko­ti­ka tersebut.
he­ran de­ngan fe­no­me­na yang barusan terjadi. Bertolak be­la­ Kelalaian terhadap apa yang ada di sekitar kita meng­golong­
kang­ de­ngan kon­di­si di kam­pung rumah tinggal saya, ketika kan­ki­ta pa­da si­kap a­so­si­al yang berujung pada sikap antisosial.­
ber­te­mu te­tang­ga, kami bukan hanya saling melempar senyum Ma­nu­sia men­ja­di ma­khluk au­tis yang hanya memikirkan ke­
na­mun ju­ga sa­ling me­nya­pa dan sesekali menanyakan kabar senang­an­nya­ se­ma­ta tan­pa memikirkan orang lain yang ter­
a­tau ke­a­daan. kena ke­su­sah­an. Freud mengemukakan bahwa akan terjadi
Pe­ri­hal i­tu, se­pu­pu saya menjelaskan bahwa pada dasarnya ketegangan-­ketegangan yang terus-­menerus antara manusia
ia me­mang ti­dak me­nge­nal banyak tetangganya, apalagi untuk dan ling­kung­an­nya. Ka­re­na selama manusia hidup ia akan me­
men­ja­di a­krab ka­re­na se­ba­gi­an dari penduduk cluster jarang ke­ res­pon­ a­pa sa­ja yang a­da pa­da sekitarnya. Tapi benarkah teori
lu­ar ru­mah. Me­ni­lik ke­hi­dup­an masyarakat perkotaan yang ter­ Freud ter­se­but ji­ka ki­ta me­li­hat interaksi antar penghuni cluster
cer­min da­ri war­ga cluster maka saya sedikit memukul rata bah­wa yang mi­nim?
yang ter­ben­tuk da­lam lingkungan cluster adalah sebuah ma­sya­ra­ ***
kat­de­ngan in­te­gra­si ren­dah. Rendahnya integrasi terbentuk­da­ri Batas-­batas fi­sik an­ta­ra ko­ta de­ngan desa hampir-hampir ti­
po­la pe­ri­la­ku dan ke­hi­dup­an masyarakat yang hanya me­mikir­ dak ter­li­hat ka­re­na ki­ni cluster-cluster bukan hanya terdapat di
kan­ apa yang men­ja­di ke­bu­tuh­an­nya semata tanpa memikirkan te­ngah ko­ta, na­mun ju­ga terdapat di pinggiran kota yang nota­
ling­kung­an sekitar. Tum­buh­nya egoisme itu barangkali karena bene­ me­ru­pa­kan wi­la­yah fisik dari desa. Cluster menciptakan
me­re­ka ti­dak per­nah berinteraksi secara intensif. se­bu­ah peng­ko­ta­an di wi­la­yah pedesaan, sehingga urbanisasi
Ji­ka­pun ter­jadi in­te­gra­si, itu mungkin disebabkan karena bu­kan la­gi men­ja­di per­pin­dah­an ma­nu­sia dari desa ke kota da­
la­tar be­la­kang dan tu­ju­an hidup yang sama. Menyitir ucapan lam­ hal fi­sik se­ma­ta, na­mun menjadi perpindahan hawa dan
yang di­lon­tar­kan Emile Durkheim bahwa masyarakat kota cen­ ik­lim ko­ta ke desa.
de­rung­ mem­pu­nyai so­li­da­ri­tas organik dan merupakan­ se­bu­ Perkembangbiakan cluster di desa menyerobot tanah-tanah
ah ting­kat ke­er­ at­an da­lam ma­sya­ra­kat yang terbentuk ka­re­na yang semula difungsikan sebagai sawah, hutan, sungai, laut,
faktor-­faktor ter­ten­tu. Fak­tor yang menjadi embrio ter­ben­tuk­ ataupun daerah yang dijadikan tumpuan lingkungan untuk
nya­ so­li­da­ri­tas i­ni karena ikatannya yang semata didasarkan keseimbangan. Tak heran jika banjir dan tanah longsor ada­lah­
pa­da i­kat­an kerja saja. ben­ca­na ru­tin yang ke­rap menyambangi penduduk di luar cluster­
Ke­hi­dup­an yang berbeda-­beda pa­da tiap individu yang ting­ ka­re­na la­han ke­se­im­bang­an su­dah diserobot untuk la­han­cluster.­
gal­di cluster me­nye­bab­kan ti­dak a­da­nya ikatan untuk menja­lin­ Eko Prawoto, se­o­rang ar­si­tek sekaligus murid Romo Mangun,
hu­bung­an e­rat. Spe­si­al­i­sa­si pekerjaan pada masyarakat per­kota­ bah­kan me­nga­ta­kan bah­wa arsitektur tidak se­ha­rus­nya me­mi­
an­yang heterogen men­ja­di awal terbentuknya kedekatan yang sah­kan di­ri dari ekosistem. Pembangunan ha­rus­ me­nye­su­ai­kan
ber­a­sal da­ri ke­sa­ma­an pekerjaan. Dibandingkan dengan so­li­ di­ri dengan kontur alam dan ekosistem yang a­da pa­da su­a­tu la­
da­ri­tas yang di­ba­ngun o­leh masyarakat pedesaan, solidaritas­ han sehingga terjadi pembangunan yang ber­ke­lan­jut­an.
i­ni le­bih kendur ikatannya. Ke­ba­nya­kan pe­ngem­bang mau­pun pengelola cluster tidak
Manusia pasti membutuhkan manusia lain dalam usaha un­ mam­pu me­nye­le­sai­kan persoalan-­persoalan ke arah sosial mau­
tuk­men­ca­pai tu­ju­an hi­dup, be­gi­tu juga dengan masyarakat per­ pun­ling­kung­an. Ta­pi bu­kan tidak mungkin pengembang mam­
124 125
x Imajinasi Ruang dalam... Nisrina Muthahari x

pu­ mem­ba­ca ke­ku­rang­an dari sistem cluster dan menciptakan­


kon­sep cluster yang ber­be­da. Kini muncul cluster dengan sistem
baru,­ me­na­war­kan ke­ra­mah­an sosial dan lingkungan. Setiap
peng­hu­ni di­a­jak un­tuk berpartisipasi dalam semua kegiatan,
men­ja­ga hu­bung­an so­si­al, perawatan lingkungan, keamanan,
dan men­ja­ga fasilitas bersama.
Berkembang biaknya cluster merupakan suatu fenomena­
lum­rah yang mau tak mau su­ka tak su­ka ha­rus diterima ma­sya­
ra­kat. Be­be­ra­pa kon­se­kuen­si memang muncul dengan ada­nya­
cluster da­ri per­ma­sa­lah­an so­si­al hingga lingkungan. Namun­a­pa
yang bi­sa An­da ha­rap­kan selain mengimajinasikan lingkung­
an­ nya­man, ru­ang pu­blik lebar, akses jalan lebar mulus tanpa
ham­bat­an­selain di cluster.3

Daftar Pustaka
Adisasmita, Rahardjo. (2005). Pembangunan Ekonomi Perkotaan. ­Yogyakarta: Jihan Riza Baliho dan Politik Ruang:
Graha Ilmu. Islami Pertarungan antara Warga, Pemerintah,
Fahmiarto, Anjar. “ Agar Perumahan Perkotaan Berkualitas”. Tersedia pada dan Kapitalis
bataviase.co.id. Diakses pada 4 Januari 2011, 22.31 WIB.
Hayward, PG. “Home as an Environmental and Psychological Concept,” dalam­
Eko Budihardjo. (2006). Arsitektur dan Perumahan Perkotaan.­
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Kartono, Kartini. (1983). Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali.
Kusumawijaya, Marco, Mujtaba Hamdi dan Felicia Hutabarat. “Tantangan­dan
Kemajuan Kebebasan Berekspresi di Indonesia untuk Mendorong­
Terwujudnya Masyarakat Terbuka: Merawat Khalayak­dan Ruang
Khalayak”. Tersedia pada mkusumawijaya.wordpress.com. Di­ Waktu, ruang, uang, dan kecepatan merupakan empat unsur yang tidak
akses pada 4 Januari 2011, 23.12 WIB. bisa dilepaskan dari wacana kapitalisme global.
Maharika, Ilya Fadjar. “Kriminalitas dan Ruang Kota”. Tersedia pada mahari­ -Yasraf Amir Piliang-
ka.­wordpress.com. Diakses pada 4 Januari 2011, 21.34 WIB.
“Wader... wader!“ teriak seorang perempuan penjual ikan
Virilio, Paul. “The last Vehicle”. dalam Yasraf Amir Piliang. (2006). Dunia
yang Dilipat. Bandung: Jalasutra.
wader­ go­reng. Be­be­ra­pa ming­gu terakhir dia menjajakkan
ikan-­ikan ke­cil yang di­go­reng di kam­pung ini. Perempuan itu
“Masih Sebatas Macan Kertas”. Kompas. 14 Januari 2011. ber­ja­lan me­ngi­ta­ri kam­pung de­ngan setia meneriakkan kata
“II Lago: Kawasan Hunian Baru dengan Danau 37 Ha dan Hutan Pinus”. “wader” ber­u­lang ka­li. Bu­kan se­ka­dar kata biasa, wader di be­
Tersedia pada http://properti.kompas.com. Diakses pada 4 nak­war­ga kam­pung i­ni a­da­lah penanda bahwa ada seorang pe­
Januari­2011, 23.11 WIB. rem­pu­an men­ju­al i­kan wader yang digoreng tepung dan rasa­
nya sangat gurih.
Sa­ma hal­nya ke­ti­ka men­de­ngar “sayur-­sayur” atau “pa­yung
ru­sak”.­Ba­gi war­ga di si­ni, “sayur-sayur” artinya ada penjual sa­yur
mem­ba­wa sa­yur­an. Ke­mu­di­an “payung rusak” artinya ada se­se­o­
rang yang me­na­war­kan ja­sa perbaikan payung yang telah ru­sak.
126 127
x Baliho dan Politik... Jihan Riza Islami x

Mo­del bu­juk ra­yu tra­di­si­o­nal se­ma­cam ini memang masih mau­nya ber­so­lek, ta­pi kok jadinya clemongan! (ma­af Pak Wa­
se­ring di­gu­na­kan di da­e­rah perkampungan terutama oleh li­ko­ta), ma­ke up-nya tumpuk-­menumpuk dan enggak ra­ta la­gi.
pedagang-­pedagang ke­cil. Ter­ba­yang ji­ka penjual wader goreng Ka­re­na ke­nya­ta­an yang ada papan-papan ik­lan­ ter­se­but wa­ton
ter­se­but tiba-­tiba me­mi­li­ki pe­lang­gan dari seluruh kampung gue­de wa­ton magrong-­magrong di tempat stra­te­gis. A­ki­bat­nya
bah­kan se­lu­ruh ke­ca­mat­an, pas­ti dia kesusahan membawa pe­ papan-­papan ter­se­but berdesakkan enggak ka­ru­an (te­pat­nya
san­an se­mua pe­lang­gan ka­re­na saking banyaknya. Dalam kon­ eng­gak ke­ba­ca!) karena masing-masing punya ke­pen­ting­an
di­si se­per­ti i­tu, men­ja­di pen­ju­al yang menunggu pelanggan di “men­ju­al diri”.
ru­mah a­tau mem­bu­ka wa­rung di pa­sar sepertinya merupakan Prilla me­ra­sa­kan bah­wa ko­ta ke­la­hir­an­nya ini mengalami
lang­kah yang tepat. per­u­ba­han ha­nya da­lam wak­tu dua ta­hun. Ambil contoh Jalan
Na­mun ber­ju­al­an se­ca­ra me­ne­tap tentu akan mengubah pola Gejayan, ba­ru ke­lu­ar ru­mah sa­ja sudah disuguhi papan besar.
in­ter­ak­si an­ta­ra si pen­ju­al wader dan para pembelinya. Bukan Dia benar-­benar stres ke­ti­ka me­nya­da­ri bahwa tak ada lagi
ha­nya ru­ang ge­rak yang ber­u­bah tapi juga media publikasinya. pohon-­pohon di se­pan­jang ja­lan, a­da­ pun cuma sedikit. Kini
Bi­sa ja­di yang du­lu­nya su­dah cu­kup­de­ngan berkeliling kampung yang tam­pak a­da­lah baliho-­baliho dan papan reklame yang
sam­bil ber­se­ru, “Wader…­wader!”­ki­ni harus memasang plakat lain.­
ber­tu­lis­kan “Wader Go­reng Yu Jum: Enak, Gurih, dan Sehat” di Ja­lan Gejayan i­tu sem­pit. Na­mun pihak pengiklan produk
de­pan ru­mah a­tau wa­rung­nya. Bila di lingkungan sekitar tem­ dan toko-­toko ti­dak tanggung-­tanggung dalam memasang pa­
pat­ ia ber­ju­al­an su­dah ba­nyak plakat bertebaran, ia juga per­lu pan re­kla­me­nya. Se­mua berlomba-­lomba membuat papan yang
me­mi­kir­kan po­si­si dan de­sa­in plakatnya agar tetap dapat me­ pa­ling be­sar dan kin­clong. “Na­ma to­ko gue kudu lebih terlihat
na­rik per­ha­ti­an di an­ta­ra plakat-­plakat yang lain. Bahkan se­an­ kin­clong da­ri­pa­da to­ko eloe!” De­mi­ki­an istilah yang dipakai
dai­nya i­tu ma­sih ku­rang ber­ha­sil, mungkin ia juga harus ber­pi­ o­leh Prilla.
kir­un­tuk mem­bu­at ba­li­ho yang lebih besar.
Se­ba­gai war­ga as­li Yogyakarta, Prilla merasa sangat terganggu
Am­bil con­toh mo­del u­sa­ha yang se­ru­pa yakni Ayam Goreng de­ngan pe­man­dang­an papan-­papan re­kla­me itu. Bukan berarti
Ny. Suharti di Kota Yogyakarta. Ti­dak ha­nya pla­kat tapi ju­ga k­ita wa­jib me­li­hat ta­pi ba­gai­ma­na­pun ju­ga, mau tak mau papan
bali­ho yang ter­pam­pang di de­pan res­to­ran­nya. Bila kita ber­ re­kla­me i­tu a­kan te­tap ter­lihat o­leh mata kita. Bukankah itu sa­
tan­dang ke­Kota Yogyakarta, ki­ta ju­ga me­ne­mu­kan bahwa bu­ ngat meng­gang­gu? Prilla ha­nya­lah satu dari ribuan penduduk
kan­ha­nya Ayam Goreng Ny. Suharti sa­ja yang me­mi­li­ki baliho Kota Yogyakarta yang me­nge­luh­kan ta­ta kota yang semrawut.
di­ de­pan tem­pat usa­ha­nya ka­re­na ham­pir se­mua toko, hotel, Dia ada­lah ba­gi­an dari masyarakat yang mendambakan sebuah
pro­du­sen, bah­kan instansi-­instansi pen­di­di­kan me­mi­li­ki ruang ko­ta yang in­dah ke­ti­ka keluar dari rumah.
pu­bli­ka­si se­ma­cam i­tu. Papan-­papan re­kla­me berukuran besar
Na­da per­la­wan­an ju­ga di­su­a­ra­kan oleh para seniman terha­
i­tu a­da di se­ti­ap ru­as ja­lan, ti­kung­an, bun­dar­an, dan titik-ti­tik
dap­ papan-­papan re­kla­me yang kerap menguntungkan para
la­in yang me­nu­rut pi­hak peng­ik­lan di­ang­gap stra­te­gis. Sa­king
ka­pi­ta­lis dan pen­ca­ri ke­kua­sa­an. Se­per­ti yang dituturkan oleh
ba­nyak­nya, ke­san sem­ra­wut ak­hir­nya tak ter­hin­dar­kan­ se­
Seno Joko Suyono, war­ta­wan se­ni­or Majalah Tempo, di tem­po­in­
hing­ga ma­kin ba­nyak ma­sya­ra­kat yang mengeluhkan ke­tidak­
te­rak­tif.­com tang­gal 16 Februari 2009, ketika menceritakan ten­
nyama­nan ko­ta ka­re­na pe­nem­pat­an baliho-baliho itu.
tang pa­ge­lar­an se­ni ur­ban yang diselenggarakan di teras Galeri­
Nasional­ di Jakarta. Da­ri se­ki­an kar­ya yang ada, yang benar-
Wajah Kotaku ­benar me­nyen­tuh pro­blem ko­ta kekinian adalah karya se­pu­tar
Pro­tes ma­sya­ra­kat ter­ha­dap pe­nem­pat­an dan penggunaan billboard yang di­ku­ra­to­ri Ardi Yunanto. Maraknya pe­ma­sang­an
baliho-­baliho ko­ta di­la­ku­kan me­la­lui ba­nyak cara dan media. span­duk dan ba­li­ho di Jakarta yang centang-­perenang me­ru­pa­
Sa­lah sa­tu­nya a­da­lah me­la­lui blog se­per­ti apa yang ditulis oleh kan­per­so­al­an kota kontemporer. Apalagi setiap menjelang pe­
Prilla di Blog Eltigo “Clay and Drawing Class”, 4 Januari 2007 mi­li­han u­mum. Tak ada aturan jelas yang mengatur pemasangan
silam: “Kalo Yogya di­um­pa­ma­kan sebagai se­o­rang wa­ni­ta… span­duk mau­pun ba­li­ho di pinggir jalan.
128 129
x Baliho dan Politik... Jihan Riza Islami x

Me­nu­rut Ardi, pe­ma­sang­an billboard Biennale bukan di­mak­ Pa­da ma­sa Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (1587-
sud­kan un­tuk tu­ju­an kam­pa­nye, i­ni lebih kepada penyadaran 1629),­di Indonesia (ke­ti­ka i­tu ma­sih Hindia-Belanda) reklame
ter­ha­dap ma­sya­ra­kat. Se­per­ti yang di­la­ku­kan Angki Purbando. per­ta­ma ka­li di­gu­na­kan un­tuk mengumumkan perpindahan
Dia me­ma­sang billboard be­sar ber­gam­bar wanita berkebaya di pe­ja­bat te­ras­nya di be­be­ra­pa wilayah. Pengumuman itu du­lu di­
de­pan Sarinah. Ia ingin mem­per­ta­nya­kan apakah masyarakat mu­at da­lam su­rat ka­bar ter­bit­an per­ta­ma. Seiring perkembangan
ma­sih me­nge­nal so­sok Sarinah atau sudah melupakannya. me­sin ce­tak dan de­sa­in gra­fis, mun­cul­lah media-media visual
A­da sa­tu la­gi i­de yang me­na­rik namun gagal terealisasi ya­ ba­ru ter­u­ta­ma me­dia lu­ar ru­ang. Mulai dari pamflet, banner,
i­tu se­bu­ah running text kar­ya Ari Dina Krestyawan. Waktu itu span­duk,­hing­ga yang pa­ling men­jamur di kota, baliho. Saat ini
Ardi Yunanto be­ser­ta ka­wan­nya itu ber­mak­sud meminjam pi­hak peng­ik­lan ba­nyak yang menggunakan media luar ruang
running text milik pemerintah yang pada jam-jam tertentu ti­ ter­se­but, ter­u­tama baliho.
dak di­gu­na­kan. Na­mun ter­nya­ta ti­dak diizinkan. Padahal kalau Alasan pertama mengapa baliho dipilih adalah masalah pe­
bi­sa meng­gu­na­kan me­dia ter­se­but, karya dari Ari Dina itu pasti na­­nam­an me­rek da­gang di be­nak konsumen. Bila merek dagang
bi­sa mem­be­ri hi­bur­an se­gar bagi pengendara yang terjebak su­dah di­ke­nal dan me­nan­cap di benak khalayak, maka yang di­
ke­ma­cet­an di da­e­rah Thamrin. Semisal teks, “Jagung Manis bu­tuh­kan ke­mu­di­an ada­lah u­pa­ya memelihara merek dagang
Bangkok as­li Bogor Mas Kartono Rp.2.000 di Pengkolan depan ter­se­but a­gar ti­dak me­re­dup. Tidak ada merek dagang yang bi­sa­
McDonald,” yang bi­sa men­ja­di hiburan tersendiri. ku­at dan me­nan­cap di be­nak khalayak bila ia tidak pernah ter­li­
Se­ni­man me­ru­pa­kan o­rang yang mempunyai ke­mam­puan hat di ru­ang pu­blik. Kedua, baliho memiliki keunggulan dalam
o­lah ra­sa yang ba­ik. Me­re­ka akan dengan cepat tanggap ter­ha­ hal­ du­ra­si ta­yang yang re­la­tif panjang. Baliho dapat bertahan
dap­fenomena-­fenomena ur­ban yang sekiranya menarik, unik, se­la­ma berbulan-­bulan. Kemudian yang ketiga adalah soal le­
a­tau jus­tru fe­no­me­na yang me­ru­sak keindahan dan fungsi ru­ tak­nya yang ber­a­da pa­da ja­lur per­ge­rak­an manusia sehingga
ang­ ko­ta. Sa­lah sa­tu fe­no­me­na yang dianggap merusak ke­in­ ung­gul da­lam jum­lah o­rang yang berkemungkinan membaca
dah­an dan fung­si ru­ang ko­ta a­da­lah media-media iklan yang pesan.­
sem­rawut di jalanan. Sa­lah sa­tu con­toh­nya ada­lah ik­lan rokok. Ketika pemerintah
mu­lai mem­ba­tas­i ik­lan ro­kok di te­le­vi­si, para produsen rokok
Baliho Sebagai Ruang Visual Kapitalis se­ma­kin gen­car me­ma­kai ba­li­ho sebagai alternatif iklan visual.
Ernst Mandel da­lam pe­ngan­tar­nya un­tuk buku Karl Marx, Class Mild mi­sal­nya, de­ngan pencitraannya sebagai “rokok
Das Capital jilid II menyatakan bahwa munculnya kaum pe­ker­ja orang-­orang de­ngan kar­ya be­sar” pun turut merambah jalan.
semata-­mata a­da­lah sebagai pembeli barang-barang kon­sum­si. Ba­li­ho Class Mild ber­di­ri me­gah di Jalan Solo (Jalan Laksda
Ernst Mandel ju­ga men­je­las­kan bah­wa terdapat kesatuan yang Adisucipto)­ de­kat ja­lan la­yang Janti. Jalan Solo merupakan ja­
tak mung­kin ter­ba­gi an­ta­ra pro­duk­si nilai dan nilai-lebih di­sa­ lan yang meng­hu­bung­kan Kota Yogyakarta dengan Kota Solo.
tu pi­hak dan sir­ku­la­si barang-­dagangan (perwujudan nilai) di­ De­ngan me­nem­pat­kan ik­lan di ruas jalan tersebut, maka peng­
la­in pi­hak. De­mi ter­wu­jud­nya nilai di lain pihak (konsumen) ik­lan te­lah mem­be­ri­kan ke­sem­pat­an kepada pengendara dari
i­tu­lah pa­ra pro­du­sen ber­u­sa­ha mengenalkan produknya me­la­ Solo dan Yogyakarta untuk melihatnya.
lu­i ik­lan. De­ngan ha­rap­an se­te­lah me­li­hat iklan tersebut, para Se­la­in i­tu, tak ja­rang ke­ti­ka saya melintas di jalanan Kota
kon­su­men a­kan tertarik untuk membelinya. Yogyakarta sa­ya ter­ta­rik mem­be­li barang yang diiklankan lewat
Dalam sejarahnya, papan reklame dapat ditelusuri jauh se­ ba­li­ho. Mi­sal­nya sa­ja lap­top a­tau iklan buah-buahan di depan
ki­tar ta­hun 1100 SM di Cina. Masa itu masyarakat Cina meng­ Plaza Ambarukmo. Ha­srat un­tuk membeli itu memang sering
al­a­mi ke­ma­ju­an da­lam bercocok tanam dan per­da­gang­an yang se­ka­li mun­cul. Iming-­iming yang menggiurkan dari iklan-ik­lan­
di­du­kung o­leh media promosi. Bukti-bukti me­nun­juk­kan bah­ itu se­la­lu meng­gu­gah gairah konsumsi. Kondisi semacam ini­
wa te­lah a­da transaksi baik barter maupun de­ngan u­ang yang lah yang ke­mu­di­an di­man­fa­at­kan kaum kapitalis untuk meng­
ha­nya bi­sa di­mu­lai jika menunjukkan se­ma­cam­se­le­baran. hip­no­tis khalayak melalui bujuk rayu iklan.

130 131
x Baliho dan Politik... Jihan Riza Islami x

Baliho sebagai wujud kekuasaan kaum kapitalis atas jalan kon­tem­po­rer. Karya ini juga termasuk karya yang di­tam­pil­kan
seolah-­olah te­lah men­ja­di hal yang biasa. Produsen butuh da­lam per­he­lat­an seni urban di teras Galeri Nasional­Jakarta.
mem­pro­mo­si­kan ba­rang, konsumen butuh informasi terkait Koridor-koridor Kapital
ba­rang yang a­kan me­re­ka be­li. Seakan-­akan keduanya adalah Ada fenomena menarik ketika kawasan semakin menjadi kota: fasilitas
hu­bung­an timbal-­balik yang se­la­lu menguntungkan. Padahal di komersial tumpah ke jalanan. Ke tepi-tepi ruang linear kota yang men­
si­ni jelas-­jelas konsumen hanya dijadikan objek para kapitalis. dadak jadi ajang perebutan, jadi kawasan komersial.
Men­ja­mur­nya pa­pan re­kla­me di jalanan adalah dampak -Mahatmanto-
da­ri pro­duk­si dan kon­sum­si ta­di. Semakin padat suatu kota, Mahatmanto, Dosen Sejarah Arsitektur di Universitas
ma­ka se­ma­kin ku­at pu­la ha­srat belanjanya. Yogyakarta adalah Kristen Duta Wacana Yogyakarta dan sa­lah sa­tu pe­ngu­rus
sa­lah sa­tu­nya. Ham­pir se­ti­ap tahun ratusan ribu mahasiswa ba­ Indonesian Visual Art Archive (IVAA) di Yogyakarta, da­lam­
ru­ ma­suk ke ko­ta i­ni. Se­la­in i­tu, Yogyakarta juga merupakan tu­li­san­nya yang ber­ju­dul “Tanda-Tanda dan Wajah Kota” men­
tu­ju­an wi­sa­ta ba­ik tu­ris do­mes­tik maupun mancanegara. Di je­las­kan bah­wa te­pi­an jalan adalah kawasan dengan te­gang­an
ko­ta i­ni­lah ke­mu­di­an berkumpul manusia dengan ber­bagai ke­ yang ka­dang se­ti­pis garis pagar dan kadang selebar trotoar.
pen­tingan.­­ Me­nu­rut­nya, kawasan itu kemudian menjadi lahan per­ta­run­
Mem­ba­ca keadaan ma­sya­ra­kat Kota Yogyakarta yang he­ gan­ke­pen­ting­an dengan menempatkan tanda-tanda yang o­leh
te­ro­gen i­ni, biro-­biro ik­lan berbondong-bondong ingin me­ Herman Hertzberger dinamai sebagai ruang ketiga (the third
na­nam­kan brand pro­duk me­re­ka di jalanan kota. Mereka place) dan ru­ang an­ta­ra (in between space). Suatu ka­was­an pem­
berlomba-­lomba men­da­pat­kan titik strategis di tengah mo­bi­ ba­tas an­ta­ra privat dan zo­na pu­blik di mana orang mendapatkan
li­tas ma­sya­ra­kat. Ba­gi me­re­ka dunia periklanan adalah arena tanda-­tanda ke­ha­di­ran­nya. Semakin panjang jaringan jalan
per­ta­rung­an yang me­ne­gang­kan. Agar tidak kalah dalam per­ yang lam­bat di kota-­kota, semakin padat pula intensitas yang
ta­rung­an, me­re­ka tak segan-­segan mem­bu­at iklan dengan ter­ja­di di tepiannya.
u­kur­an yang ka­lau bi­sa lebih besar dari lawan. Se­men­ta­ra i­tu, Kirk R. Bishop dalam buku Designing Urban
Sa­king ba­nyak­nya pe­ru­sa­ha­an yang ingin mengiklan, Kota Corridors te­lah mem­ba­gi ru­ang (koridor) urban menjadi dua
Yogyakarta ki­ni di­pa­dat­i o­leh ba­li­ho. Mereka ada di setiap ruas ma­cam. Pertama ada­lah urban commercial corridor, meliputi
ja­lan, per­sim­pang­an, ti­kung­an, dan tempat-tempat perhentian. ja­lan ba­gi ken­da­ra­an yang me­le­wa­ti kota. Biasanya dimulai dari
Tak ja­rang ma­sya­ra­kat me­nge­luh­kan kehadiran mereka yang area-­area ko­mer­si­al me­nu­ju pu­sat sub-urban yang baru yang
mem­bu­at Ko­ta Yogyakarta ter­ke­san kumuh dan semrawut. pa­dat dengan perkantoran dan pusat pelayanan.
Selain itu masyarakat juga me­nge­luh­kan ruang hijau kota yang Ja­lan Affandi —yang o­leh ma­sya­ra­kat Yogyakarta lebih akrab
semakin berkurang karena dipakai oleh baliho. di­se­but de­ngan Ja­lan Gejayan— ada­lah salah satunya. Jalan ini
Ji­ka Yogyakarta me­mang te­lah men­ja­di kota yang semrawut, me­ru­pa­kan ko­ri­dor yang meng­hu­bung­kan Jalan Solo (Jalan
i­tu pas­ti a­da se­bab­nya. Sa­lah sa­tu­nya adalah kebijakan pe­me­rin­ Laksda Adisucipto) de­ngan Ring Road Utara. Selain dilalui
tah­yang ku­rang te­gas da­lam meng­a­tur tata ruang kota terutama ma­sya­ra­kat pada umumnya, Jalan Gejayan juga merupakan
da­lam pe­nen­tu­an ti­tik stra­te­gis ba­gi pengiklan. Pemerintah ku­ ja­lur me­nu­ju be­be­ra­pa universitas besar di Yogyakarta seperti
rang­ mem­per­ha­ti­kan a­pa yang disebut sebagai ruang publik Universitas Atma Jaya, Universitas Sanata Dharma, Universitas
dan­ru­ang privat. Negeri Yogyakarta, dan Universitas Gadjah Mada.
Iswanto Hartono, arsitek yang mengajar di Universitas Atma Ba­gi peng­ik­lan, ja­lur de­ngan kon­sen­tra­si massa adalah ka­
Jaya Jakarta me­ngi­sya­rat­kan bah­wa sejak zaman Jan Pieterszoen wa­san em­puk yang co­cok untuk menancapkan baliho-baliho
Coen sam­pai Susilo Bambang Yudhoyono tidak a­da ke­bi­jak­an me­re­ka. Per­ha­ti­kan per­ti­ga­an Colombo (pertemuan antara Ja­
yang sa­ling me­nyam­bung untuk mengatur negeri i­ni. Pen­da­pat lan Gejayan dan Ja­lan Colombo), jika kita berjalan dari a­rah Ja­
i­tu ia ung­kap­kan da­lam se­bu­ah karya berupa kapal-­kapal yang lan Colombo pas­ti a­kan di­su­guh­i berbagai macam iklan di sana.
berputar-­putar di tem­pat de­ngan sentuhan ma­sa lam­pau dan Ke­ba­nyak­an ik­lan a­ca­ra a­nak mu­da, publikasi universitas, iklan
132 133
x Baliho dan Politik... Jihan Riza Islami x

ik­lan i­tu de­ngan ma­sya­ra­kat yang konsumtif, yakni para peng­


un­jung mal de­ngan gai­rah belanja yang tinggi, semakin be­sar
pu­la pe­lu­ang ba­rang i­tu terbeli. Bila kita melalui jalan di de­
kat Ambarrukmo Plaza, ki­ta a­kan men­da­pat­i beberapa baliho
berjajar di sam­ping­tro­to­ar. Tak ha­nya itu, pihak pengiklan tidak
tanggung-tang­gung me­na­ruh banner di sekitar pepohonan.
Selain ter­ke­san ti­dak ter­a­tur, papan-­papan iklan itu juga
mengurangi ke­in­dahan.
Koridor kota yang kedua menurut Bishop adalah scenic
corridor,­be­ru­pa pe­man­dang­an unik dan terkenal atau pe­nga­la­
man re­kre­a­si ba­gi pe­ngen­da­ra kendaraan saat mereka melewati
ja­lan ter­se­but. Tu­gu se­ba­gai landmark ota Gudeg merupakan
sa­lah sa­tu pe­nga­la­man u­nik bagi yang melihatnya. Dengan ka­
ta­ la­in, ki­ta benar-­benar me­ra­sa berada di Yogyakarta ketika
su­dah me­li­hat dan me­ngam­bil fo­to di Tugu. Sense inilah yang
ke­mu­di­an coba dibangun oleh agen-agen travel di Yogyakarta
me­la­lui ik­lan pa­ri­wi­sa­ta­nya dengan menampilkan foto Tugu
pa­da bro­sur dan website.
Se­la­in Tu­gu ada­lagi yang me­na­rik dari kota Yogyakarta, ya­
Dwi Fajar W
i­tu mu­ral. Lukisan-­lukisan di din­ding kota yang mencoba me­
q pro­duk se­lu­ler, lap­top, dan se­ga­la sesuatu yang berkaitan dengan nga­jak ki­ta ber­bi­ca­ra ten­tang kota. Mural bukanlah sembarang
Papan reklame ma­ha­sis­wa (a­nak mu­da). Tem­pat di sisi makam Jalan Gejayan lu­kis­an ka­re­na dia mem­ba­wa pesan. Salah satunya adalah
di Jalan Gejayan
yang tampak
i­ni me­mang sa­ngat stra­te­gis. Selain bisa dilihat lama oleh para pesan-­pesan un­tuk pe­me­rin­tah se­ba­gai wujud kritik. Akan
semrawut. pe­ngen­da­ra yang ber­hen­ti, tempat ini juga merupakan domain men­ja­di hal yang me­na­rik ten­tu­nya ji­ka pengendara disuguhi
mar­ket yang te­pat ji­ka ik­lan itu menyangkut kepentingan mu­ral di din­ding ma­kam Ja­lan Gejayan saat berhenti di lampu
maha­siswa.­ la­lu lintas pertigaan Colombo.
Se­bu­ah ti­tik lo­ka­si di­ka­ta­kan strategis manakala berada di Na­mun sa­yang, se­per­ti­nya pemerintah kurang perduli ter­
ru­as ja­lan de­ngan ting­kat mo­bi­li­sa­si massa yang tinggi serta ha­dap a­pa yang di­se­but Bishop sebagai scenic corridor ini. Me­
peng­gu­na ja­lan yang mem­pu­nyai kesamaan dengan target pro­ re­ka ja­uh le­bih me­men­ting­kan berapa pajak baliho yang akan
duk yang hen­dak di­pa­sar­kan. Target yang dimaksud di sini di­te­ri­ma da­e­rah da­ri­pa­da ke­in­dah­an dan kenyamanan kota.
ada­lah kon­su­men yang se­su­ai dengan perwujudan nilai barang. Se­la­in i­tu peraturan terkait penentuan titik strategis pun tidak
Ban­ding­kan sa­ja ik­lan di per­ti­ga­an Colombo dengan pertigaan jelas.­A­ki­bat­nya pa­ra pengiklan semena-mena memasang ba­li­
de­pan Ban­da­ra Adisucipto. Bi­la pertigaan Colombo dikuasai ho­nya. Lagi-­lagi ke­in­dah­an dan kenyamanan kota menjadi kor­
o­leh iklan-­iklan de­ngan tar­get konsumen mahasiswa, maka di ban hasrat-­hasrat kapitalis.
de­kat Ban­da­ra Adi Sucipto ki­ta akan disuguhi iklan travel, hotel,
ob­jek wi­sa­ta, ticketing, cargo, ser­ta jasa pengiriman barang yang Politik Ruang dan Keberanian Pemerintah
la­in de­ngan tar­get kon­su­men para turis atau mereka-mereka Mes­ki­pun ba­li­ho dan ka­um ka­pi­tal­is tampak berjaya dan se­o­
yang ber­ke­pen­ting­an dengan pesawat. lah­tak ter­tan­ding­i, war­ga ko­ta dan pemerintah selayaknya te­tap
Ti­tik stra­te­gis yang be­ri­kut­nya adalah ruas jalan di dekat ha­rus ber­u­sa­ha un­tuk me­ner­tib­kan­nya. Setidaknya terdapat be­­
pusat-­pusat per­be­lan­ja­an. Se­ba­gai­ma­na ruas jalan di depan be­ra­pa so­lu­si yang se­ki­ra­nya da­pat meminimalisir dampak dari
Ambarrukmo Plaza (Amplaz) dan Galeria Mall. Semakin ­de­kat­ sem­ra­wut­nya span­duk dan ba­li­ho. Solusi ini sangat berkaitan
134 135
x Baliho dan Politik... Jihan Riza Islami x

de­ngan ke­be­ra­ni­an pe­me­rin­tah dalam menerapkan politik ru­ Daftar Pustaka


ang. Pertama ada­lah me­ngem­ba­li­kan ruang hijau kota. Mari Bishop, Kirk R. Designing Urban Corridors. Chicago: American Planning
se­je­nak ki­ta te­ngok ru­as ja­lan di de­pan Rumah Sakit Bethesda, Association,­1989.
Marx, Karl. (2001). Das Capital II. Massachusetts: Regnery Publishing.
Yogyakarta. Ter­nya­ta ke­ti­ka te­pi­an ja­lan itu ditumbuhi pohon-
po­hon yang rim­bun dan men­ju­lang ting­gi, pengiklan enggan Prilla. (2007). “Papan Iklan Jalan Gejayan”. http://eltigo.blogspot.com/2007/01/
un­tuk me­nem­pat­kan ba­li­ho­nya di sana. Jelas saja baliho itu papan-iklan-jalan-gejayan.html. Diakses pada 9 Februari 2011,
a­kan ter­tu­tup o­leh po­hon ji­ka mereka nekat meletakkannya di 21.21 WIB.
sana.­
Suyono, Seno Joko. (2009). “Tentang Kota, Billboard, dan Mal“. http://majalah.
Kedua adalah menaikkan pajak baliho. Dengan mahalnya tempointeraktif.com/id/arsip/2009/02/16/LYR/mbm.20090216.
har­ga ta­nah di ti­tik stra­te­gis di­ha­rap­kan para pengiklan akan LYR129493.id.html. Diakses pada 16 Januari 2011, 21.23 WIB.
ber­a­lih ke me­dia mas­sa a­tau­pun me­dia cetak dalam ukuran ke­
Taufiq, Fatkhurrohman dan Zed Abidien. (2011). “Walikota Surabaya
cil se­per­ti leaflet dan poster. Diberhentikan­ DPRD”. Tersedia pada http:// tempointeraktif.
Kasus Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, yang di­berita­kan­ com/hg/surabaya/2011/01/31/brk,20110131-310080,id.html.
o­leh Tempointeraktif.com dalam “Walikota Surabaya Diber­hen­ Diakses­pada 2 Februari 2011, 21.12 WIB.
ti­kan DPRD” da­pat di­jadi­kan contoh keberanian seorang pe­ja­
bat pu­blik da­lam me­la­wan kekuasaan para pemilik modal. Pa­
da tang­gal 31 Januari 2010 la­lu Tri Rismaharini diberhentikan
o­leh DPRD ka­re­na di­ang­gap te­lah melanggar Undang-Undang.
Pem­ber­hen­ti­an i­ni di­pi­cu o­leh keputusan Rismaharini untuk
me­nge­lu­ar­kan Per­a­tur­an Wali Kota Surabaya No. 56 Tahun
2010 ten­tang Per­hi­tung­an Nilai Sewa Reklame dan Perwali
No. 57 ten­tang Per­hi­tung­an Ni­lai Se­wa Reklame Terbatas di
Kawasan Khu­sus Kota Surabaya.
Se­la­in ka­sus po­li­tik yang me­ner­pa­nya, alasan mengapa ia me­
na­ik­kan ta­rif re­kla­me sa­ya ki­ra adalah hal yang tepat bagi kota.
Ten­tang Perwali No. 57 yang di­ter­bit­kan­nya itu, Rismaharini
ber­a­las­an bah­wa pa­jak di ka­was­an khu­sus perlu dinaikkan agar
pe­ngu­sa­ha ti­dak se­enak­nya me­ma­sang iklan di jalan umum,
dan a­gar ko­ta tak men­ja­di be­lan­ta­ra iklan. Dengan pajak yang
ting­gi i­tu, pe­me­rin­tah ber­ha­rap agar pengusaha iklan beralih
me­ma­sang ik­lan di me­dia mas­sa, ketimbang memasang baliho
di jalan-­jalan kota.
Dan yang ketiga adalah penetapan peraturan yang te­gas ter­ka­
it ti­tik stra­te­gis ba­gi para pengiklan. Sebaiknya pe­me­rin­tah ha­nya
meng­i­zin­kan pengiklan menaruh balihonya di jalan-­jalan pro­
to­kol sa­ja. Dem­i kenyamanan membaca serta ke­se­la­mat­an pa­ra
pe­ngen­da­ra. Akhir-­akhir ini tak jarang orang me­ning­gal ka­re­na
ba­li­ho. En­tah tertimpa baliho yang ambruk mau­pun me­nga­lam­i
ke­ce­la­ka­an akibat tidak konsentrasi saat me­ngen­da­rai ken­da­ara­
an sa­at membaca baliho. Tentu ini sa­ngat­lah disayangkan.3

136 137
Ruang yang
Miftahul
Fawaid Rapuh Bernama
Pendidikan

“Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama yang lain.


Kita tidak bisa membayangkan bahwa suatu ketika pengetahuan tidak
lagi bergantung pada kekuasaan,
sebagaimana mustahil pengetahuan tidak mengandung kekuasaan”.
-Michel Foucault-

MEMBICARAKAN ruang pendidikan tidak ubahnya mem­bi­


ca­ra­kan se­su­a­tu yang ki­ta sen­di­ri tidak mengetahui wujud asli­
nya.­Ba­gai­ma­na ti­dak, sa­at ki­ta membicarakan pendidikan ma­
ka­yang a­kan ki­ta ba­has ada­lah i­si da­ri ruang otak manusia yang
mem­pu­nyai se­ja­rah pan­jang ju­ta­an tahun yang telah melampaui
pro­ses e­vo­lu­si yang njlimet. Pa­da hakekatnya pendidikan adalah
a­lat, mes­ki­pun ia se­la­lu ber­ke­lit dengan kedok ‘bebas nilai’ dan
‘ob­jek­ti­fi­tas’ te­ta­pi ti­dak bi­sa ditolak bagaimana pendidikan te­
lah­ men­ja­di a­lat un­tuk me­lang­geng­kan kekuasaan pihak yang
bi­sa menaklukannya.
138 139
x Ruang yang Rapuh... Miftahul Fawaid x

Pendidikan dan Kekuasaan me­num­buh­kan se­ma­ngat konfrontasi budaya yang di­mi­li­ki o­leh
Ru­ang pen­di­di­kan ti­dak u­bah­nya seperti ruang-ruang sosial kom­po­nen pe­san­tren. Kolonialisasi Belanda te­lah me­nying­kir­
la­in yang im­ple­men­ta­si­nya di­pe­nuh­i dengan relasi-relasi subjek kan pe­san­tren se­de­mi­ki­an ru­pa sehingga persebarannya hanya
ke­ku­a­sa­an. In­sti­tu­si pen­di­di­kan yang dibangun oleh institusi be­ra­da di daerah-­daerah terpencil.
ne­ga­ra, ada­lah ru­ang pe­num­pah­an nilai-nilai kemanusiaan Zamakhsari dalam Tradisi Pesantren : Studi tentang Pan­da­
ke­da­lam ru­ang su­bjek­ti­fi­tas kekuasaan. Nilai-nilai tersebut di­ ngan Hi­dup Kyai me­ni­lai, se­te­lah kehadiran pemerintahan ko­
bang­un de­ngan ske­ma dok­tri­na­si dan rekayasa sesuai pihak lo­ni­al Belanda, pe­san­tren men­ja­di terasingkan sampai akhirnya
yang ber­ku­a­sa. Hal i­ni di­ba­ngun atas dasar kekuasaan itu sen­ me­nying­kir da­ri pusat-­pusat pemerintahan dan setelah itu me­
di­ri, di ma­na pe­ran pen­ting dari kekuasaan adalah menjaga ek­ ne­pi di pe­de­sa­an. Pe­nying­ki­ran ini tidak lain karena baik me­
sis­ten­si.­ to­de mau­pun i­de­o­lo­gi yang berbeda dengan sistem pendidikan
Pen­dis­tri­bu­si­an i­de­o­lo­gi ter­se­but terselubung melalui pen­ Belanda. Pe­san­tren me­na­nam­kan semangat anti kolonialisme
dis­tri­bu­si­an wa­ca­na. An­ta­ra wa­ca­na dan kekuasaan memiliki se­hing­ga me­mun­cul­kan laskar-­laskar perlawanan sedangkan
hu­bung­an tim­bal ba­lik. Foucault menyebutnya sebagai “elemen yang di­bu­tuh­kan o­leh Pe­me­rin­tah­an Kolonial Belanda ada­
tak­tis” yang sa­ngat ter­ka­it de­ngan kajian strategis dan politis, lah­ kader-­kader yang me­nyo­kong Pemerintahan Kolonial
ta­pi ten­tu sa­ja is­ti­lah po­li­tik di si­ni tidak selalu berarti faktor- Belanda.
fak­tor pe­me­rin­ta­han. Se­ga­la se­suatu yang menghegemoni, ba­ik A­khir­nya ke­be­ra­da­an pe­san­tren di pusat-pusat pemerintahan
i­tu se­ca­ra kul­tu­ral maupun secara ideologis, sebenarnya me­mi­ di­sing­kir­kan dan di­gan­ti­kan dengan sekolah-sekolah yang ber­
li­ki kon­struk­si politisnya sendiri. co­rak pen­di­di­kan ba­rat se­per­ti STOVIA (School Tot Opleiding
Pro­ses pro­duk­si dan re­pro­duk­si kekuasaan dalam ruang Van Inlansche Artsen), dan MULO (Meer Uitgebreid Lager
pen­di­di­kan i­ni di­is­ti­lah­kan Louis Althusser sebagai ideological Onderwijs). Mes­ki­pun se­ko­lah kre­a­si Belanda ini didirikan dan
state apparatus. Se­ba­gai ba­gi­an a­pa­ra­tus yang penting bagi di­per­un­tuk­kan ba­gi priyai-­priyai pribumi, akan tetapi yang di­
negara, sek­tor pen­di­di­kan se­la­lu di­bang­un dan diorientasikan se­ko­lah­kan di­sa­na ba­kal dipekerjakan di kantor-kantor mi­lik
untuk me­no­pang gagasan-­gagasan ke­ku­at­an yang dominan. Pe­me­rin­ta­han Belanda.
Apabila pen­di­di­kan mem­os­ i­si­kan ber­ha­dap­an dengan yang Ma­sa ko­lo­ni­al meng­gam­bar­kan bagaimana pendidikan ti­
berkuasa ma­ka ber­si­ap­lah un­tuk disingkirkan atau direduksi dak u­bah­nya me­ru­pa­kan ca­ra penanaman kesadaran kolonial
kedalam ke­ku­a­sa­an itu sendiri. se­ba­gai pemenuhan dari mekanisme pendisiplinan pribumi.
Se­ja­rah pan­jang pen­di­di­kan di Indonesia menunjukkan Pen­di­di­kan ada­lah u­pa­ya kekuasaan yang lebih halus untuk
ba­gai­ma­na ru­ang pen­di­di­kan telah menjadi sarana kekuasan men­trans­fer­ ga­gas­an dan ke­pen­ting­an penguasa kolonial. Ki
un­tuk me­na­kluk­an rak­yat. Pendidikan pesantren, yang meng­a­ Hajar Dewantara se­ba­gai pe­mi­kir a­wal pendidikan Indonesia
dop­si sis­tem pen­di­di­kan pada masa Hindu-Budha, merupakan bah­kan su­dah jauh-­jauh mem­per­i­ngat­kan bahwa ”Pendidikan
ins­tu­si­o­na­li­sa­si lem­ba­ga pen­di­di­kan awal pada masa kerajaan Ko­lo­ni­al ber­tu­ju­an men­di­dik rakyat kita supaya mereka cakap
Islam mu­lai ber­kem­bang di Nu­san­ta­ra. Pada masa ini pesantren men­ja­di pem­ban­tu­nya kekuasaan Kolonial”.
me­ne­mu­kan ma­sa ke­ja­ya­an­nya de­ngan dukungan yang kuat Persinggungan antara pedidikan dan kekuasaan tersebut
da­ri ke­ra­ja­an se­hing­ga tu­rut memberikan sumbangsih corak me­nem­pat­kan pen­di­dik­an ber­a­da pada dua posisi yang saling
ke­pe­mim­pi­nan pa­da masa itu. ber­la­wan­an sam­pai pa­da ak­hir­nya pendidikan ditaklukkan o­leh
Ke­ber­ada­an pe­san­tren pa­da awalnya berlokasi dekat de­ngan ke­ku­a­sa­an. Po­si­si i­ni ti­dak ha­nya terjadi pada masa kolonial
pu­sat ke­ku­asa­an. A­kan te­ta­pi, Lambat laun keberadaan pe­san­ Belanda sa­ja. Masa-­masa se­te­lah kemerdekaan pun terjadi
tren se­ma­kin ter­sing­kir­kan ke daerah pedalaman. Salah sa­tu per­sing­gung­an lu­ar bi­a­sa antara kekuasaan dengan pen­di­dik­
fak­tor yang me­nye­bab­kan peta pesantren tergusur ke da­e­rah an.­ Pun­cak­nya pa­da sa­at terjadi peristiwa Malari (Malapetaka
pe­da­lam­an dan kampung-kampung adalah faktor kolonialis­me Lima Januari) tahun 1974.
yang sa­ngat pan­jang. Penjajahan yang dilakukan bangsa Eropa Peristiwa ini sendiri dimotori oleh para mahasiswa yang
140 141
x Ruang yang Rapuh... Miftahul Fawaid x

me­ra­sa ge­rah ke­ti­ka ke­ku­at­an kapital asing semakin menguasai ti­dak di­be­ri ke­sem­pa­tan yang a­dil da­lam relasi-­relasi yang le­bih
se­ti­ap li­ni bang­sa Indonesia. Karena peristiwa ini, institusi pen­ ma­nu­sia­wi. Man­dat e­man­si­pa­si ba­gi se­ti­ap sub­jek pen­di­dik­an
di­dik­an pa­da ma­sa i­tu dianggap sebagai ancaman bagi sta­bi­li­tas ma­sih ber­hen­ti.
ke­ku­asa­an Orde Baru. Sehingga penguasa pada waktu i­tu me­ Me­nu­rut Paulo Freire di da­lam bu­ku yang ber­ju­dul
ra­sa per­lu un­tuk me­la­ku­kan antisipasi secara birokrasi de­ngan Pendidikan­Masyarakat­Kota, diterangkan bahwasanya ha­ki­kat
pem­ber­la­ku­an NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kam­pus/ prak­tik pendidikan tersebut (kemestian sifatnya yang meng­a­
Ba­dan Ko­or­di­na­si Kam­pus). Melalui kebijakan yang di­ke­lu­ar­ rah­kan, tujuan dan impian yang selalu mengikuti praktik) tidak
kan o­leh Men­te­ri Pendidikan Daoed Yusuf ini pemerintah ber­ a­kan membiarkan dirinya bersifat netral, tetapi (justru) selalu
u­sa­ha un­tuk ‘meng­kon­di­si­kan’ semua sivitas pendidikan untuk po­li­tis. Paulo Freire menyebut ini semua sebagai “politisitasi”
kem­bali ke kampus. pen­di­dik­an, bahwa pendidikan pasti bersifat politis. Masalah
Mak­sud da­ri peng­kon­di­si­an ini mempunyai banyak arti, yang di­ha­dapi adalah untuk mengetahui warna politik pen­di­
mes­ki­pun pa­da in­ti­nya ya­i­tu ingin menjauhkan para pelaku dik­an yang sekarang ini berlaku, untuk kepentingan apa dan si­
pen­di­dik­an un­tuk ti­dak i­kut da­lam pang­gung per­po­li­tik­an da­ apa, serta melawan apa dan siapa. Hal ini mempunyai indikasi
lam ne­ge­ri. Ka­re­na ji­ka di­bi­ar­kan pa­ra pe­ngu­a­sa ta­kut ke­ku­a­ bah­wa pen­didikan memang selalu mempunyai sifat politis.
sa­an­nya a­kan ter­gang­gu dan sta­bi­li­tas pe­me­rin­ta­han­nya a­kan
go­yah o­leh ak­ti­vi­tas pa­ra a­ka­de­mi­si.
Komoditas Ekonomi
Me­la­lui ke­bi­jak­an NKK/BKK, Pe­me­rin­tah­an Orde­ Baru­ Kesadaran menjadi salah satu tujuan pendidikan. Se­ba­gai­
me­mak­sa pa­da a­ka­de­mi­si un­tuk ke­lu­ar da­ri pang­gung per­po­li­ ma­na diterangkan oleh Freire (1970) dalam Pedagogy of the
ti­kan,­dan kem­ba­li ke tu­ju­an a­wal­nya ya­itu se­ba­gai pe­la­ku a­ka­ Oppressed bahwa perlu adanya kesadaran transformasi yang di­
de­mik yang ha­nya be­la­jar dan ti­dak i­kut cam­pur ma­suk da­lam ja­la­ni oleh seorang peserta didik. Freire menginginkan adanya
ra­nah po­li­tik. Mes­ki­pun pa­da da­sar­nya hal i­ni di­ber­la­ku­kan pen­di­dik­an yang memberikan penggabungan antara alfabet
se­ba­gai ben­tuk an­ti­si­pa­si ter­ha­dap ge­ra­kan-­gerakan da­ri ma­ de­ngan kesadaran faktual baik dalam fakta sosial, budaya, po­
ha­sis­wa yang di­ta­kut­kan da­pat meng­gang­gu sta­bi­li­tas pe­me­ li­tik dan sebagainya. Tetapi tujuan pendidikan tersebut telah
rin­tah­an. Se­jak ma­sa i­tu ins­ti­tu­si per­gu­ru­an ting­gi per­se­ba­ran­ tereduksi ketika mekanisme pasar ikut menentukan arah ke­
nya di­per­lu­as ke daerah-­daerah dan di ja­uh­kan de­ngan pu­sat bi­jak­an pendidikan.
ke­ku­a­sa­an i­tu sen­di­ri. Pe­na­ri­kan ke da­e­rah ping­gir­an i­ni ten­tu
mem­pu­nya­i mak­sud ter­ten­tu. Di­an­ta­ra­nya un­tuk meng­hin­da­ri Atas kepentingan pasar pula, maka sejak “neoliberalisme”
kon­fron­ta­si i­de­o­lo­gis de­ngan pe­nguasa negara tersebut. men­ja­di landasan bagi pembangunan pendidikan saat ini, pen­
di­dik­an di dorong menjadi komoditas yang diharapkan da­pat
Yang men­ja­di so­ro­tan da­lam hal i­ni a­da­lah a­da­nya hu­bung­ memperoleh keuntungan dalam pelaksanaannya. Per­tim­bang­
an per­ten­tang­an an­ta­ra pen­di­dik­an dan ke­ku­a­sa­an, di­ma­na an i­tu mempengaruhi kepentingan pasar untuk memaksakan
ke­kua­sa­an me­li­hat bah­wa pen­di­dik­an da­pat men­ja­di su­atu an­ agenda-­agenda­penting dalam “komersialisasi” sektor ilmu pe­
cam­an yang da­pat meng­gang­gu ke­sta­bil­an ke­kua­sa­an pe­me­rin­ nge­ta­hu­an ini. Pendidikan kemudian menjadi jembatan bagi
tah ji­ka pen­di­dik­an ti­dak bi­sa di­tak­luk­kan o­leh pe­ngua­sa. Fe­ ma­suk­nya ide-ide dan gagasan bagi kepentingan neoliberal. Ti­
no­me­na i­ni su­dah mun­cul se­jak ma­sa pe­san­tren sam­pai ma­sa dak he­ran ji­ka kepentingan pasar telah berhasil memasukkan
Or­de Ba­ru. Ka­re­na me­mang pa­da da­sar­nya pen­di­dik­an a­da­lah pen­di­dik­an sebagai salah satu ”sektor jasa” yang disepakati da­
se­su­atu yang mem­be­bas­kan, mem­be­bas­kan da­ri ke­ti­dak­ta­hu­an lam fo­rum perdagangan dunia (WTO) untuk bisa dijual dan
dan mem­be­bas­kan da­ri ke­ter­tin­das­an. di­per­da­gang­kan.
Ne­ga­ra te­lah me­nen­tu­kan pe­nge­ta­hu­an yang sah dan pe­ Yasraf Amir Piliang da­lam Dunia yang Dilipat: Tamasya
nge­ta­hu­an yang ti­dak sah meng­gam­bar­kan si­apa yang se­sung­ Melampaui­Batas-­Batas­Kebudayaan­me­nya­ta­kan, bah­wa­sanya
guh­nya ber­ku­a­sa. Pen­di­dik­an ti­dak u­bah­nya se­ba­gai ba­ngunan du­nia pen­di­dik­an yang terperangkap di dalam mekanisme pa­
ke­ku­a­sa­an dan ke­ke­ra­san se­ka­li­gus. Subjek-­subjek pen­di­dik­an sar men­ja­di­kan prinsip-prinsip pasar sebagai prinsip dasarnya.
142 143
x Ruang yang Rapuh... Miftahul Fawaid x

Pen­di­dik­an kemudian dikemas sebagai sebuah komoditi un­tuk ­ e­nge­ta­hu­an agar kelak dapat men­datangkan hasil de­ngan
p
di­kon­sum­si. Pendidikan berkembang menjadi sebuah ins­ti­tu­ berlipat-­­gan­da. A­nak menjadi objek investasi dan sumber de­po­
si yang mencari nilai tukar (exchange value), lewat pen­cip­ta­an si­to po­ten­si­al. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis
berbagai citra (image). Dalam rangka memperoleh nilai ke­un­ la­in­nya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah
tung­an (profit) pendidikan kemudian dimuati dengan tanda- pa­ra gu­ru yang mewakili lembaga-lembaga ke­ma­sya­ra­kat­an
tan­da­ (sign) sebagai upaya untuk menciptakan nilai tukar ter­ ma­pan dan ber­ku­a­sa. Sementara depositonya berupa ilmu pe­
se­but. Citra-citra seperti gedung-gedung yang nyaman, lokasi nge­ta­hu­an yang di­a­jar­kan ke­pa­da anak didik.
yang­stra­te­gis, peralatan dan labotarium yang modern, jaringan Ji­ka dibuat sebuah piramida untuk menggambarkan ske­ma
yang­ ber­si­fat glo­bal digunakan sebagai nilai jual (nilai tukar) ci­tra pen­di­dik­an tersebut maka akan nampak adanya pembagian-
da­ri ins­ti­tu­si yang bersangkutan. Citra tersebut dikembangkan pem­ba­gi­an seperti sebuah kasta. Hal ini karena meliputi ke­las
habis-­ha­bisan (misalnya citra sekolah prestise), yang pada ti­tik a­tas, ke­las menengah dan kelas bawah. Jadi sekarang ru­ang
tertentu melupakan mereka akan kesesuaian antara citra ter­se­ pen­di­dik­an sudah terkotak-kotakkan dalam sebuah pen­ci­tra­an
but de­ngan kondisi yang sesungguhnya. un­tuk membagi-bagi pangsa pasar mana yang akan dituju. Se­
Ba­gi Yasraf Amir Piliang, melihat hal ini sebagai sebuah citra- hing­ga, se­ca­ra tidak langsung konsumen yang no­ta­bene­a­da­lah
ci­tra an­ti­fi­sial, luks atau semu, yang sebenarnya tidak me­rupa­ ka­um akademis diarahkan untuk mengikuti konstruksi so­si­al
kan hal­yang e­sen­si­al bagi institusi pendidikan itu sendiri, se­perti yang dibuat oleh lembaga pendidikan tersebut.
World Class University, sekolah berstandar internasional, se­kolah Munculnya sekolah-sekolah internasional maupun sekolah
glo­bal,­dan sebagainya. Masyarakat akademis kemudian di­kons­ Islam­ ter­padu dengan biaya melangit yang selalu muncul di
truk­si secara sosial untuk mengelilingi diri mereka de­ngan citra- tengah-­te­ngah perkotaan sedikit banyak menggambarkan po­la
­citra semu tersebut, yang melupakan mereka akan ha­ki­kat pen­ in­dus­tri pendidikan yang sedang berjalan. Selain itu, pengkotak-
di­dikan yang lebih dalam. Dikelilingi oleh tanda dan ci­tra, du­nia ­kotakan juga berlaku pada jenis ilmu pe­nge­ta­hu­an yang di­pe­
pendidikan menjelma menjadi sebuah dunia, yang di­da­lam­nya la­jar­i. Jurusan yang tersedia adalah jurusan-jurusan yang men­
ti­dak lagi terjadi pertukaran pengetahuan (exchange), a­kan te­tapi ja­di kebutuhan pasar. Akhirnya bukan kesadaran yang men­ja­di
per­tu­karan tanda dan citra-citra yang ber­sifat se­mu. tu­juan, tetapi pasar yang dipuaskan. Dunia pendidikan ha­nya
Ji­ka dunia pendidikan sudah masuk kedalam ranah ka­pi­talis­
me, maka hal itu tidak bisa dilepaskan dari komersialisasi pen­

Azwar Anas
di­dik­an. Pen­di­dik­an se­ka­rang sudah dikemas menjadi sebuah
ko­mo­di­ti yang tu­ju­an u­ta­ma­nya adalah untuk dikonsumsi oleh
ma­sya­ra­kat. Bu­kan kesadaran sebagaimana disampaikan oleh
Paulo­ Freire di­a­tas. Masyarakat pun mengikuti dan menerima
pen­di­dik­an i­­ni se­ba­gai sebuah komoditi yang dapat dijadikan q
se­ba­gai pe­mu­as ke­bu­tuh­an. Karena penerimaan masyarakat Swalayan Mirota
yang­ welcome, ma­ka pen­di­dik­an berkembang menjadi sebuah Kampus di Jl.
ins­ti­tu­si yang­tu­ju­an utamanya adalah untuk mendapatkan ke­ C. Simanjuntak
Yogyakarta,
un­tung­an (profit). Ja­lan un­tuk mendapatkan keuntungan ini yang mendekati
di­da­pat­kan me­la­lui ber­ba­gai cara, salah satunya adalah dengan kampus dan
men­ju­al ci­tra. Karena memang pada kenyataannya, Pendidikan menggunakan
te­lah men­ja­di sebuah komoditas kapitalisme yang didalamnya "kampus"
sebagai merek
men­ju­al ci­tra dan tanda. dagang.
Dengan teori Banking Concept of Education Paulo Freire
­me­nya­ta­kan bahwa, dengan sistem ini, pelajar di­beri ­ilmu

144 145
x Ruang yang Rapuh... Miftahul Fawaid x

ber­tugas menciptakan mesin-mesin hidup yang siap pa­kai yang Potensi ekonomi ini menggiurkan para pemilik modal uintuk
se­la­lu harus siap bersaing didalam bursa kerja, dan profesi- men­di­ri­kan pusat-pusat ekonomi di wilayah sekitar kampus.
­profesi popular lainnya. Jika pun dia berlari dari profesi po­pu­ A­khir­nya muncul pusat-pusat ekonomi yang menawarkan ko­
ler i­ni ma­ka jangan harap ada bentuk penghargaan yang ke­lu­ar mo­di­tas­nya langsung di hadapan para pembeli. Contohnya ka­
secara baik kepada dirinya. Semuanya harus sama sesuai de­ wa­san di sekitar UGM (Universitas Gadjah Mada). Kampus yang
ngan ke­sa­ma­an bentuk ideal yang hidup di dalam ruang sosial berdampingan dengan UNY (Universitas Negeri Yogyakarta)­
dan re­lasi-relasinya. i­ni dikelilingi oleh komoditas-komoditas ekonomi yang­me­na­
war­kan berbagai produk kepada mahasiswa. Swalayan Mirota­
Kampus berdiri dengan angkuhnya di halaman depan kam­pus
Menciptakan Kota ter­se­but mengiming-imingi modernitas kepada setiap ma­ha­
Kaitan antara pendidikan dan pasar mempunyai hu­bung­ sis­wa yang keluar kampus. Selain itu, di sisi yang lain muncul
an yang sa­ngat lu­as sekali. Hal ini tidak terlepas dari peranan ber­ba­gai bidang usaha yang menawarkan entertainment mulai
ru­ang pen­di­dik­an yang selalu dapat mempengaruhi ling­kung­ da­ri tem­pat ka­ra­oke, pusat kebugaran, penyewaan film, hingga
an di­se­ki­tar­nya. Tentu saja hubungan-hubungan yang ada di­ tem­pat dugem­ba­gi mahasiswa yang menginginkan hiburan. Di­
da­­la­m ru­ang tidak hanya berhubungan dengan ekonomi sa­ja, se­be­lah u­ta­ranya berdiri kos yang dikelola warga setempat de­
a­kan te­ta­pi ju­ga ber­hu­bung­an de­ngan komponen-­komponen ngan ber­bagai tipe.
la­in­nya. Se­ba­gai se­bu­ah ru­ang, pen­di­dik­an ti­dak bi­sa ber­di­ri
sen­di­ri, a­da ruang-­ruang la­in yang me­ngi­ku­ti­nya. Tidak kalah ramainya, sejak tahun 2006 muncul ber­ba­gai
wa­rung ko­pi yang menjadi pusat aktivitas mahasiswa se­te­lah
Filsuf Leibniz berpendapat bahwa ruang adalah hubungan kam­pus. A­ne­ka u­saha ini muncul tentu karena besarnya po­ten­
se­bu­ah ob­jek de­ngan ob­jek la­in­nya, sehingga tercipta se­buah si e­ko­no­mi yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan. Dengan
hu­bung­an atau koneksi. Sebuah objek individual tanpa re­lasi ba­nyak­nya sen­tra-sentra usaha ini mencirikan bah­wa ru­ang
de­ngan obyek lainnya tidak dapat dikatakan memiliki ruang. pen­di­dik­an menjadi sebuah daya tarik untuk mem­buat ruang-
Ru­ang sebagai sebuah objek dengan material yang nyata bu­kan ru­ang me­nge­li­linginya menjadikan kota yang leng­kap de­ngan
ha­nya menyangkut ukuran dimensi saja, objek dalam ruang ti­ se­ga­la infrastrukturnya. Ruang pendidikan menjadi i­den­ti­tas
dak bi­sa ti­dak memiliki relasi dengan objek lainnya se­hing­ga ter­sen­di­ri bagi eksistensi kota, ditambah dengan adanya pu­
de­ngan demikian memiliki parameter untuk dikatakan se­ba­gai sat per­be­lan­ja­an yang mengelilingi ruang pendidikan men­ja­di
se­bu­ah ruang. pe­leng­kap bahwasanya ruang pendidikan menciptakan su­atu
Ru­ang pendidikan ibarat gula yang akan selalu di datangi kon­di­si penciptaan kota.
dan di­ke­li­lingi oleh semut-semut yang memanfaatkan gula ter­ ****
se­but. Da­ri ruang pendidikan ini akan tercipta sebuah kondisi
yang ma­na a­kan membentuk pusat ruang-ruang disekitar sen­ Ruang pendidikan adalah ruang yang sangat luas, namun
tral ru­ang pen­di­dik­an. Contoh kasus adalah Yogyakarta. Ko­ta me­mi­lik­i struktur yang sangat rapuh sehingga keberadaannya
pen­di­dik­an i­ni me­mi­lik­i puluhan perguruan tinggi yang ti­ap men­ja­di alat bagi kekuasaan untuk melanggengkan dominasinya.
ta­hun­nya didatangi ribuan mahasiswa yang berasal dari nu­ Mes­ki­pun kekuasaan tersebut telah dikendalikan oleh hasil da­ri
san­ta­ra. Secara tidak langsung kehadiran para pendatang i­ni pen­di­dik­an yaitu pengetahuan, maka sesungguhnya pe­nge­ta­
mem­pe­nga­ruh­i ruang-ruang disekitar pusat pendidikan, pro­ hu­an ter­se­but te­lah menciptakan penguasa baru atas dirinya.
ses mem­pe­nga­ruhi ini menyebabkan terciptanya ruang-ruang ru­ang pen­di­dik­an te­lah menarik eksistensi nilai kemanusian
ba­ru se­ba­gai pelengkap bagi ruang pendidikan tersebut. Karena yang ber­ge­ser ja­uh da­ri keharusan. Di dalam ruang perilaku
se­ca­ra simultan akan muncul sentra-sentra usaha seperti mal in­di­vi­du te­lah ter­ja­di keharmonisan kerja antara sistem kerja
a­tau pu­sat perbelanjaan, penginapan, rumah kos, laundry, toko in­di­vi­du de­ngan sis­tem ker­ja ne­gara. Namun sistem kerja ini ti­
bu­ku dan lain sebagainya. Sentra-sentra usaha ini menjadi pe­ dak akan ber­ta­han lama karena pada akhirnya akan saling me­
me­nuh ke­bu­tuh­an kaum pelajar ini. nak­luk­kan. Ti­dak a­kan mung­kin su­atu bentuk bangunan yang­

146 147
x Ruang yang Rapuh... Miftahul Fawaid x

ku­at dari kon­di­si yang rapuh. Yang ada adalah proses pe­man­
fa­at­an dan eksploitasi, baik itu dalam bentuk produk sampai
pa­da dominasi nilai yang telah direkayasa demi skenario pe­
lang­gengan.
Rapuhnya pendidikan juga tercermin dari isi dari pen­di­dik­
an­ itu­ sen­di­ri. Mekanisme pasar telah menggusur tujuan da­
ri pen­di­dik­an menjadi pencetak mesin siap pakai. Kenyataan
i­ni men­ja­di se­ma­kin ironis karena pendidikan juga me­nye­lek­si
peng­gu­na­nya. De­ngan me­ri­as di­ri­nya men­ja­di ba­rang ju­al­an
sam­bil me­nung­gu pe­nawar paling tinggi. Terlepas dari ra­puh­
nya struk­tur ru­ang pen­di­dik­an, ruang ini ternyata me­mi­lik­i da­
ya yang­mum­p­un­i dalam menciptakan kota. Dengan se­gu­dang
po­ten­si­nya, ruang-­ruang e­ko­no­mi yang di­cip­ta­kan­nya tu­rut
ser­ta men­de­fi­ni­si­kan ciri kota yang dibuatnya.3

Daftar Pustaka Swadesta Relokasi dan Kuasa


Dofier, Zamakhsari. (1982). Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Aria W.
Atas ­Ingatan
Freire, Paulo. “Pedagogy of the City”. a.b. Agung Prihantoro. (2003).
Pendidikan­Masyarakat Kota. Yogyakarta: LKiS.
-----------------. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Herder and
Herder.
Piliang, Yasraf Amir. (2004). Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-
batas Kebudayaan. Bandung: Jalasutra.

Sejak pertama muncul di Mesopotamia, kota-kota selalu


menarik orang untuk berpindah tempat. Kelengkapan sarana
dan gemerlap kehidupan urban membuat manusia berbondong-
bondong pindah dari pedesaan.
Di kota, para pendatang itu sedikit saja yang dapat ber­diam
di pemukiman elit atau superblok. Kebanyakan dari me­reka
tinggal di bawah kolong jembatan, bantaran sungai, per­kam­
pungan kumuh, dan, yang sedikit lebih beruntung, ­tinggal
di ­perkampungan atau perumahan “biasa”. Tapi ­­di ma­na­­pun
mereka berdomisili, manusia cenderung mencintai ­tempat di
mana mereka biasa melakukan segala aktivitas.
Sejak dianggap sanggup memenuhi segala macam ­kebutuhan
manusia, kota sudah menjadi ladang pertempuran kepentingan
an­tar lapisan sosial masyarakatnya. Pada umumnya, konflik
ke­pentingan itu hanya melibatkan dua kelas sosial, yaitu kelas
148 149
x Relokasi Dan Kuasa... Swadesta Aria Wasesa x

dominan (penguasa) dan kelas bawah (rakyat kecil). Memori proses terbentuknya wacana tersebut. Ketidaktahuan akan
kolektif adalah salah satu dari sekian banyak kepentingan yang proses terbentuknya wacana dapat menghalangi pandangan
dipertarungkan. kita terhadap sebuah fenomena dan menghasilkan sesuatu yang
Bersisalak kepentingan itulah yang kerapkali menyebabkan berbeda, tetapi dalam batas-batas yang telah ditentukan.
sekelompok orang berpindah tempat. Tetapi perpindahan itu Dalam episteme, memang terdapat pertautan antara bahasa
lebih sering dialasi oleh kemauan orang-orang di luar ­kelompok dengan realitas. Namun, Foucault menolak pendapat bahwa
yang pindah. Praktik ini kita kenal dengan istilah relokasi. ­bahasa merupakan medium yang transparan. Bahasa ­bukan
­Tu­lis­an ini berfokus pada relokasi sebagai upaya ­penciptaan cerminan realitas. Ia merupakan alat yang ­dipergunakan
dan pelupaan memori kolektif. episteme untuk mengatur, menyusun, bahkan mengubah
­“kenyataan” sesuai dengan tabiat episteme itu sendiri.
Memaknai Relokasi dan Memori Kolektif Itulah sebabnya saya tidak bersepakat dengan pemaknaan
Sebelum mengulas masalah ini lebih jauh, ada baiknya kita relokasi tersebut di atas. Jelas pengertian itu menyembunyikan
telusuri terlebih dahulu makna relokasi itu sendiri. Kamus Besar suatu realitas. Memang, relokasi adalah soal ­pemindahan
Bahasa Indonesia dan sejumlah situs internet mengartikan tempat. Namun, dalam praktiknya, relokasi tidak jarang
relokasi sebagai proses pemindahan tempat yang berkaitan ­men­ja­dikan pihak yang direlokasi sebagai korban. Ada banyak
dengan kegiatan industri. Tetapi ada yang ­mengatakan bahwa ­ke­ti­dak­adilan dalam proses relokasi; mulai dari tidak layaknya
pemindahan tempat itu tidak hanya soal kegiatan industri. ­Istilah lokasi baru, tidak sepadannya uang pengganti lokasi yang lama,
ini juga dapat dipakai untuk ­pemindahan bangunan, ­secara fisik hingga adanya unsur paksaan. Tidak jarang suatu aksi yang
maupun mental, ke tempat yang baru karena ­adanya beberapa sebenarnya lebih tepat disebut sebagai penggusuran ­justru
kondisi, seperti bencana alam atau penataan ruang kota. dikatakan sebagai relokasi.
Saya melihat makna relokasi dari beberapa sumber di atas Sedangkan yang dimaksudkan dengan memori kolektif
menyesatkan. Relokasi seakan-akan menjadi suatu hal yang adalah kumpulan ingatan individual yang terikat pada
netral. Padahal, pengertian itu hanya bertolak dari satu sudut representasi ruang-waktu dan menciptakan kelompok pemilik
pandang saja. Yaitu sudut pandang penguasa (lebih ­tepat; memori. Istilah ini dikarang oleh Maurice Halbwach, seorang
­pemerintah) terhadap suatu realitas yang tengah terjadi. ­Realitas sosiolog murid Emile Durkheim. Menurutnya, memori ­kolektif
yang dirangkumkan dalam sebuah bahasa, lalu ­menjadi wacana ­memiliki dampak yang luas pada manusia. Memori kolektif
dengan label-label kerakyatan. bukanlah gambaran akurat tentang peristiwa, melainkan
Wacana-wacana tersebut tidak lebih dari sebuah konsep campuran antara kenangan masa lalu, kebutuhan masa kini,
yang disebut Michel Foucault sebagai episteme (sistem ­wacana). dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu
Episteme ialah suatu kondisi yang memungkinkan bagi memori kolektif bukanlah fakta keras, melainkan fakta yang
terbitnya pelbagai pengetahuan atau teori pada masa tertentu. dimaknai.
Teori dan pengetahuan ini merupakan hasil interpretasi Pemaknaan atas fakta itulah yang mendefinisikan identitas
penguasa terhadap masyarakat, dengan tujuan melanggengkan suatu kolektif, sekaligus membuatnya di antara kolektif-
kekuasaannya. Sebab itu penguasa cenderung mengunggulkan kolektif lain. Identitas berisi ingatan, baik dalam level personal
­wacana pihaknya dan menindas wacana tandingan. maupun sosial. Keduanya dibentuk dan dilestarikan oleh praktik
Kita tahu, bahwa wacana yang dimaksud Foucault bukanlah sosial, atau yang disebut Halbwach sebagai “cara hidup”. “Cara
sekadar rangkaian kata atau preposisi dalam teks saja. ­Wacana hidup” di sini dapat dimengerti sebagai sekumpulan kebiasaan,
pasti akan melahirkan sesuatu yang lain. Akan tetapi dalam ­kepercayaan, dan cara hidup yang muncul dari pekerjaan biasa
prosesnya, wacana tersebut tidak mudah untuk kita baca. Hal serta bagaimana semua itu terbentuk. Pendek kata, seluruh
ini, menurut Foucault, karena kaitan antara wacana dan ­realitas identitas, kebiasaan, dan kebudayaan manusia terbentuk dari
se­kitar tidak mungkin dijelaskan jika kita tidak ­menelusuri ingatan akan masa lalunya dalam lingkungan yang didiaminya.

150 151
x Relokasi Dan Kuasa... Swadesta Aria Wasesa x

Ketika penguasa merelokasi atau “mengusir” masyarakat ke Dalam hal ini, simbol itu berupa makam. Dengan de­mi­ki­an re­
tempat yang berbeda, maka ketika itu pula mereka kehilangan lokasi makam tersebut bisa diartikan sebagai upaya pe­ming­gir­an
memori akan tempat tinggal sekaligus identitas. Oleh karena atau penghapusan memori kolektif kelompok pe­mi­lik­nya.
itu, bila istilah serta pemaknaan atas relokasi yang kita ­temukan Maraknya relokasi sebagai upaya penciptaan dan peng­ha­
merujuk pada kepentingan penguasa, maka kepentingan itu pusan memori di Indonesia sebenarnya bisa dilacak sampai za­
adalah penciptaan dan penghapusan memori kolektif. man ko­lo­nial Belanda. Misalnya, ketika Pemerintah Kolonial
mem­buat Undang-undang Agraria Tahun 1870, yang ­mengatur
Paksaan untuk Lupa masalah batas antara tanah dan hutan negara dan rakyat. Di
Salah satu contoh penggunaan wacana relokasi yang me­nye­ atas tanah dan hutan negara tidak ada bangunan atau aktivitas
sat­kan ialah kasus makam Mbah Priok, pertengahan 2010 lalu. pribumi yang boleh dijalankan. Implikasinya, rakyat pribumi
Kasus tersebut bermula dari pernyataan sebuah perusahaan­ yang terlanjur memiliki rumah dan lahan pertanian di lahan
yang membidani pelabuhan Tanjung Priok; keadaan di sekitar­ negara “direlokasikan” ke tempat-tempat marjinal, seperti pe­
pe­la­buhan menjadi semrawut karena adanya keberada­an ­makam si­sir, bantaran sungai, atau di lereng pegunungan. Apa yang di­
dan maraknya pedagang yang berjualan di sekitar makam.­ la­ku­kan Pemerintah Kolonial itu bisa disebut paksaan untuk
Perusahaan­ itu juga menganggap kondisi demikian diper­ lupa. Pribumi dipaksa melupakan ingatan tentang kehidupan
parah dengan munculnya beberapa perumahan warga di sekitar so­sial -yang turun-temurun- di lingkungan mereka.
makam.­ Tentu saja locus pelupaan dan penciptaan memori di ­negara
Ketika Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) hendak­ Indonesia ti­dak berhenti sampai di situ. Pembangunan yang
membongkar­makamdanmenertibkanpedagangsertaperumahan­ ­diusung Soekarno dan Soeharto dapat diambil sebagai contoh
warga, masyarakat sekitar makam melakukan­ ­perlawanan. Aksi yang ­tepat tentang bagaimana relokasi digunakan sebagai
menolak keras relokasi makam itu mengakibatkan­ puluhan ­sarana ­penciptaan memori kolektif.
orang luka-luka. Agar masyarakat melupakan memori tentang segala ­macam
Insiden ini terjadi karena warga tidak ingin kehilangan me­ penjajahan dan memulai sebuah era baru di bawah ­tampuk
mo­ri kolektif mereka atas makam, dengan demikian juga atas kekuasaannya, Soekarno banyak membangun bangunan
to­koh yang mereka puja—ditambah penggunaan ­kekerasan yang kental dengan identitas sosialis. Maksudnya, bangunan-
oleh petugas. Ini cukup dapat dipahami mengingat semasa ­bangunan yang cocok untuk agitasi atau pertemuan antara diri­
hidupnya,­ Mbah Priok, atau yang lebih dikenal dengan Habib nya dengan rakyat. Salah satu contohnya adalah ­pembangunan
Hasan, dianggap­ warga sebagai tokoh penyebar agama Islam di GBK (Gelora Bung Karno). Pembangunan gelanggang olahraga
Batavia, Jakarta sekarang. Para peziarah berbondong-bondong ini mesti merelokasi hampir seluruh warga yang ada di ­kawasan
mengunjungi­ makam Mbah Priok setiap harinya, kemudian Senayan ke kawasan Tebet.
diikuti dengan kemunculan pedagang dan perumahan warga di Lain lagi dengan Soeharto. Ia, yang ingin me­nan­di­ngi po­
sekitarnya. pularitas Soekarno, melakukan upaya secara represif agar
Pentingnya keberadaan makam Mbah Priok bagi komunitas­ ­masyarakat melupakan Soekarno. Bangunan dan mo­numen-
pemilik memori kolektif itu memunculkan penolakan atas monumen yang identik dengan “sosialisme” ­Soekarno ­diberangus
r­encana pemindahannya. Komunitas memori kolektif Mbah tanpa ampun. Meski bangunan fisik GBK tetap ada, Soeharto
Priok tidak ingin ritual mereka yang sudah berjalan puluhan, merasa perlu mengubah namanya menjadi Senayan.
bah­kan ratusan tahun, menjadi terganggu oleh relokasi. Sebab Soeharto juga membuat beberapa bangunan sebagai ba­
jika direlokasi, maka komunitas itu akan kehilangan tempat gi­an dari penciptaan memori kekuasaannya. Misalnya pem­
yang sudah dianggap mempunyai nilai sakral. bangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1971.
Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Halbwach bahwa me­ Un­tuk pembangunan monumen itu, pemerintah menggusur
mori kolektif sering diinterpretasikan melalui simbol-­simbol. per­kampungan warga yang berada di lokasi tanpa ganti rugi
152 153
x Relokasi Dan Kuasa... Swadesta Aria Wasesa x

yang pantas. Tentu saja, penggusuran itu juga diwacanakan subjek kekuasaan, tetapi ia juga menyediakan ruang bagi
oleh rezim Orde Baru sebagai relokasi. ­resistensi dan negosiasi terhadap kekuasaan tersebut.
Selanjutnya, mari kita telaah mengapa penguasa (baca: pe­ Jalanan, bangunan, dan desain ruang menuturkan kisah-
me­rin­tah) menggunakan relokasi sebagai alat untuk melegalkan kisah yang menarik, kompleks, dan penuh ketegangan ­tentang
kekuasaannya dan sebagai upaya pelupaan dalam realitas kon­ bagaimana mereka dipaksa memainkan peran protagonis
temporer perkotaan. maupun antagonis oleh tangan-tangan kuasa yang saling
berebut untuk menorehkan narasi di atas teks kehidupan urban.
Berebut Ruang dalam Relokasi Di sini, bangunan, desain dan infrastruktur dikaitkan dengan
Kota adalah selubung ideologis. Perencanaan kota dengan ­konstruksi identitas dan memori kolektif.
ti­­po­­lo­gi dan morfologinya merupakan representasi sebuah re­ Monumen tidak lagi dimaknai sebagai sekadar sebuah
zim yang menaunginya. Persis sebagaimana dinyatakan Aldo tugu batu yang berfungsi untuk mengingatkan warga pada
Rossi: “Kota merupakan memori kolektif yang bercerita tentang suatu pe­ris­tiwa di masa lampau, tetapi juga untuk menghapus
kekuasaan. Sejarah kota sebagai bagian dari sejarah kelas yang atau me­ngubah suatu memori kolektif sesuai dengan ke­pen­
berkuasa, mengindikasikan adanya catatan sejarah kota yang tingan yang sedang berkuasa. Hal yang demikian berlaku pula
selalu berkaitan dengan pergantian kekuasaan”. bagi bangunan-bangunan serta infrastruktur akbar ­lainnya.
Setiap kekuasaan memerlukan simbol untuk mempertegas Inilah yang menyebabkan setiap rezim kekuasaan merasa
ke­be­ra­da­an­nya. Kota merupakan wujud nyata dimana simbol- ­perlu ­membangun monumen-monumen dan bangunan serta
simbol tersebut bisa dimunculkan. Sejak awal abad ke 19, ­infrastruktur akbar lain sedini mungkin dalam masa kekuasaan
­kota-kota di Indonesia telah menganut paham ­modernisme, mereka, dengan biaya yang tidak kecil.
dimana bentuk kota disesuaikan dengan struktur dominan Apa yang dijelaskan oleh Abidin Kusno tersebut ­dipertajam
yang ­berkuasa. Seperti yang dijelaskan oleh Abidin Kusno dengan penemuannya yang menunjukkan hubungan erat antara
dalam bu­kunya, Ruang Publik, Identitas, dan Memori Kolektif: kekuasaan dengan tata ruang yang ada. Ia ­menggarisbawahi
Pasca Soeharto, kota menjadi gelanggang utama tempat para banyaknya obyek-obyek arsitektur yang menjadi sarana re­
pe­main bertemu, identitas dibentuk, dan memori-memori ko­ pre­sen­tasi para penguasa dalam menyampaikan maksud dan
lek­tif dipersandingkan dan dipertandingkan. Kota menjadi sak­ ke­ingin­annya. Dengan kata lain, seorang penguasa tentu akan
si yang tidak sepenuhnya bisu atas pertarungan-­pertarungan meng­gu­nakan ru­ang sesuai dengan ideologinya, hingga eksis­
yang terjadi dalam dinding-dindingnya. Ia berbicara melalui ten­sinya diakui oleh semua kalangan yang ditandai dengan
lanskap fisik yang dibangun manusia di atasnya. Ia menjadi sim­bol-simbol bangunan yang berdiri.
Dalam perebutan ruang, relokasi dianggap sebagai mo­
doc istimewa

q del yang paling baik untuk memenangkan ruang yang di­pe­


Perebutan ruang
relokasi antara
re­butkan. Hal ini dikarenakan relokasi mampu mengubah
warga dan ruang yang diperebutkan menjadi ruang-ruang yang baru.
Polisi. Mereka Se­cara sederhana dapat dikatakan bahwa dengan relokasi, ba­
di­paksa mema­ ngunan yang ada di lokasi tertentu dapat diberangus dan di­
in­kan peran
an­ta­go­nis dan
gan­ti ­dengan ­bangunan yang menjadi simbol kekuasaan sang
pro­ta­go­nis oleh pem­bangun. Maka dari itu, pemusnahan —fisik sekaligus
ta­ngan-tangan memori— ­tersebut ­diwacanakan dengan pelbagai wacana yang
pe­ngu­asa yang mam­pu ­menyesatkan korban relokasi.
­berkepentingan
Kasus Manzanar, kiranya tepat dijadikan gambaran pe­re­
but­an ru­ang dengan menggunakan wacana relokasi di daerah
Manzanar, ­California, Amerika Serikat, dulunya merupakan
154 155
x Relokasi Dan Kuasa... Swadesta Aria Wasesa x

tempat ­tinggal suku Indian. Akan tetapi, sejak ditemukannya untuk mengetahui lokasi makam dari gerbang pemakaman.
tambang emas, mereka dipaksa pindah ke lain tempat oleh para Sikap Sabeni itu dapat menjadi cerminan terhadap bernilainya
penambang dan peternak. Suku Indian di Mazanar ini semakin ingatan bagi manusia. Adegan itu juga menjadi contoh tentang
menghilang tergerus oleh keberadaan para pendatang. ba­gai­ma­na re­lokasi diterapkan secara semena-mena.
Para penambang emas dan peternak itu kemudian me­nga­ Selama ini, penerapan relokasi yang ideal oleh pemerintah
la­mi nasib yang sama dengan suku Indian sejak Los Angeles memang masih jauh api dari panggang. Yang saya maksudkan
mem­beli hak penguasaan air di seluruh kota Mazanar. Perang dengan relokasi yang ideal di sini merujuk pada empat hal yang
Dunia II sekali lagi mengubah keadaan Mazanar menjadi ditawarkan F. Davidson, dalam buku Relocation and Resettlement
­daerah hunian tawanan perang, khususnya orang Jepang. Manual: A Guide to Managing and Planing Relocation. Yaitu,
Apa yang terjadi di Manzanar menjadi pemantik bagi pertama, pemilihan lokasi harus melibatkan penduduk
Dr. James Hirabayashi, dekan Studi Etnik Universitas San ­setempat (yang direlokasi). Kedua, lokasi baru yang akan dibe­
­Francisco, untuk mengasumsikan bahwa istilah relokasi buat ri­kan haruslah mempunyai kesamaan ekologis dengan tempat
­menggambarkan keadaan di Manzanar merupakan sebuah eu­fi­ yang lama. Ketiga, penyusunan rancangan pemukiman harus
mis­me; peng­gan­tian ung­kap­an yang lebih halus untuk ­ung­kapan melibatkan warga yang akan direlokasi. Keempat, pemukiman
yang dianggap tidak menyenangkan. Dalam artikelnya yang atau lokasi baru harus sudah memiliki sarana dan prasarana
bertajuk "Concentration Camp or “Relocation Center”—What in fisik dan sosial sebelum penduduk diminta pindah ke lokasi.
a Name", ia menyatakan alasan dipakainya eufimisme untuk Kemiripan lokasi yang baru dengan yang lama sangatlah
menggambarkan kamp-kamp seperti Manzanar. penting. Sebab kesamaan tempat, secara geomorfologis dan
Hirabayashi menulis bahwa hanya korban bencana alam saja psikologis, dapat membantu korban relokasi “mengurangi” rasa
yang pantas disebut sebagai relokasi karena tujuannya ­untuk kehilangan memori kolektif yang sudah mengakar di ­tempat
menyelamatkan dan melindungi yang direlokasi dari bahaya. tinggal yang lama.
Kata “relokasi” yang digunakan pejabat pembuat kebijakan Apa yang saya paparkan dalam tulisan ini hanya akan
terkait Mazanar jelas sebuah eufemisme. Karena istilah tersebut ­menjadi klise jika penguasa tetap melakukan tindakan-
tidak mencakup pemindahan secara paksa atau penawanan ­di tindakan represif dan memaksa sebuah kolektif untuk lupa
lokasi yang dikelilingi oleh pagar dan patroli penjaga ­bersenjata. demi kepentingan mereka melalui relokasi. Kiranya tulisan ini
Penghalusan ini tentunya disengaja. Eufemisme digunakan oleh dapat menjadi bacaan wajib mereka yang bercita-cita menjadi
penguasa sebagai alat pembenaran atas tindakannya. seorang penguasa. Semoga! 3

Mencari Yang Ideal Daftar Pustaka


Saat hendak menyusun penutup tulisan ini, saya jadi teringat Gouda, Frances. “Dutch Culture Overseas: Colonial Practice in the Netherland­
pada sinetron berjudul Si Doel Anak Sekolahan. Dalam salah satu Indies, 1900-1942”. a.b. Jugiarie Soegiarto dan Suma Riella Rus­
episodenya diceritakan bahwa Sabeni (Benyamin) me­nga­jak Si di­ar­ti­. (2007). Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942.
Jakarta:­Serambi Ilmu.
Doel (Rano Karno) untuk berziarah ke makam kakeknya yang
berada di daerah kota. Sesampai di tempat yang dituju, si Doel Halbwachs, Mourice. (1950). ”The Collective Memory”. Tersedia pada http://
terkejut karena makam itu berubah menjadi lapangan Golf. Akan web.mit.edu./allanmc/wwwhlbwachsspace.pdf. Diakses tanggal
17 januari 2011, 21.33 WIB.
tetapi Sabeni tidak mengindahkan pernyataan si Doel, bahwa
makam kakeknya telah dipindahkan ke tempat lain berdasarkan Kusno, Abidin. (2009). Ruang Publik, Identitas, Dan Memori Kolektif: Jakarta
informasi yang diterima dari orang di sekitar lapangan. Pasca-Soeharto. Yogyakarta: Ombak.

Saya lupa dialognya seperti apa. Namun, Sabeni tetap Mràzek, Rudolf. “Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism
in a Colony”. a.b. Hermojo. (2006). Engineers of Happy Land:
bersikukuh, bahwa di sanalah makam kakeknya. Sebab ia hafal Perkemba­ngan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni.
betul dengan bau udara, jalan, dan hitungan langkah kaki
156 157
x Ruang dan Inovasi... Rhea Yustitie x

Jakar­ta: Yayasan Obor Indonesia.


Santoso, Listiono, dkk. (2007). Epistomologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Me­
dia­.
“Bentrokan Kasus Priok”. 12 April 2010. Tersedia pada detik.com. Diakses
tanggal 17 Januari 2011, 21.35 WIB.

Nurdini
Dyah E.
Peta yang Tersisih

Kota-kota mekar ke segala penjuru. Berlomba-lomba un­tuk


terus meng­isi setiap ruangnya yang longgar. Seolah ma­nu­sia se­
ka­rang tak senang pada yang lapang. Semua harus ber­din­ding.
Mungkin itu sebabnya orang membutuhkan peta kota; ber­
li­ku­nya jalan dan majemuknya gedung-gedung sulit untuk di­
ha­fal. Mungkin karena kebutuhan itu sekarang peta kota tak
ha­nya berupa seonggok kertas lipat di saku atau yang nempel di
din­­ding, tapi juga beton di perempatan.
“Mari kita pergi ke pasar, tapi kita tidak tahu dimana letak
pa­sar, ayo kita tanya peta!”
Tiba-tiba saya teringat akan film kartun Dora. Dimana se­ti­
ap episodenya mengajak penonton untuk ikut membaca peta.
Da­lam tayangan itu penonton diajak untuk mencari lokasi su­atu
tem­pat da­lam pe­ta yang ditayangkan. Di dalam peta itu mi­sal­
nya, toko buku yang dituju digam­bar­kan de­ngan je­las; me­lewati
158 159
x Peta yang Tersisih Nurdini Diah Ekawati x

jalan yang berliku. Film kartun untuk anak-anak itu se­olah ba­nyak di­li­rik ji­ka ia dike­mas dan di­so­sia­li­sa­sikan dengan baik.
mengatakan bahwa peta sangat penting; anak-anak harus di­ Kemasan peta, terutama desain dan tata-letaknya, begitu
di­dik membaca peta.Tulisan ini akan membahas karakteristik pen­ting karena menyangkut keterbacaan. Keterbacaan di si­ni
pe­ta yang seharusnya ada di ruang kota kita. tentu saja ber­kaitan dengan bagaimana simbol-simbol di­ha­
dir­kan dalam peta. Bagaimana simbol-simbol (seperti kantor
Merangkai Kota dalam Peta polisi, terminal, bandar udara, mal, dan seterusnya) dipilih, di­
Membuat peta bukanlah perkara gampang. Ada pelbagai bentuk, dan ditata di samping simbol jalan dalam skala per­ban­
atur­an yang mes­ti ditu­ruti. Bagi ICA (Internasional Cartographic ding­an yang sesuai dengan ke­nya­ta­an.
Association) pe­ta ha­rus me­wakil­i ciri-ciri pi­lih­an da­ri kenyataan Seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi membuat peta ter­ca­
geografis. Sedang bagi Sukwardjono dan Mas Kuncoro dalam kup dalam apa yang disebut sebagai kartografi. Ilmu karto­grafi
Kartografi, peta merupakan representasi atau pe­nyajian mengharuskan setiap peta grafikal mempunyai tiga un­sur mi­
gambaran secara riil dari ruang geografis. Singkatnya, se­buah ni­mal. Pertama, melaporkan (recording). Setiap peta me­nyim­
peta harus dapat menjadi petunjuk lokasi yang jitu bagi peng­ bol­kan informasi yang akan disampaikan. Dengan demikian
gu­nanya. Jika tidak, ia akan menyesatkan banyak orang. in­for­masi ini haruslah informasi yang diperlukan oleh pembaca
Kenyataannya, peta-peta kota dari beton kita yang umumnya yang dimaksud. Di samping itu, informasi itu mesti yang
di­bu­at oleh pemerintah kota jarang digunakan oleh warganya. ­ter­ba­ru. Kedua, memperagakan (displaying). Sebuah informasi
Ia lebih mirip sebagai hiasan kota—kalau bukan sebagai pe­ di­ka­ta­kan penting jika ia dapat memperagakan realitas. In­for­
leng­kap yang asal ada—agar dikategorikan sebagai kota yang masi yang terdapat dalam peta seharusnya merupakan in­for­
ba­ik. Peta di depan Monumen Serangan Umum Sebelas masi yang telah teruji kebenarannya. Jika tidak, ia akan men­
Maret, Yogyakarta, con­tohnya. Peta itu jarang digunakan oleh ce­la­ka­kan banyak orang. Terakhir, menganalisis (analyzing).
yang melintasinya. Pa­da­hal, peta itu sudah stra­tegis: di pusat Peng­gu­na­an simbol yang ada harus jelas. Peta harus disajikan
kota, pusat ke­ra­mai­an, ba­nyak dikun­jungi pe­lancong. Bagi de­ngan sederhana tetapi mampu menyampaikan informasinya.
saya, persoalannya ada­lah ka­rena peta itu kurang memenuhi Pe­ta yang baik adalah peta yang mudah dianalisis (dicerna)
beberapa faktor: ke­bu­tuh­an, so­si­ali­sa­si, dan ke­me­narikan, le­ oleh pembacanya yang paling awam sekalipun.
gen­da, lo­kasi dan ma­nu­sia­nya. Ada delapan komponen yang harus dipenuhi agar peta mu­
Peta haruslah dibutuhkan oleh warganya, atau sekurangnya dah dibaca oleh masyarakat awam. Pertama judul peta. Peta
ter­le­tak di tengah-tengah orang yang membutuhkan. Sebuah umum­nya memiliki identitas. Jika tidak memiliki identitas,
peta tidak lagi berguna bagi mereka yang sudah mengenal baik ma­ka pembacanya tidak dapat mengetahui gambar tersebut
wila­yah yang digambarkan peta itu. Demikian sebaliknya. Ibarat me­rupakan peta apa. Kedua, skala peta. Skala penting dalam
te­le­pon umum yang begitu penting ketika jarang orang yang mem­bantu pembaca peta memperkirakan seberapa jauh per­
me­milikinya, tetapi tidak ketika semua orang telah memiliki ja­lan­an yang akan ditempuh. Keempat, legenda. Legenda me­
te­le­pon pribadi. ru­pakan suatu keterangan yang digunakan sebagai acuan pen­
ca­rian lokasi tempat. Kelima, orientasi (tanda arah). Tanda
Saya teringat bagaimana Eddie Purwanto menyebutkan arah harus juga terdapat di dalam suatu peta. Arah merupakan
bah­wa tingkat kebutuhan akan peta suatu desa dengan ­desa ­in­for­masi yang sangat mendasar untuk mencari lokasi tempat.
la­in­nya berbeda, tergantung jumlah serta permasalahan yang
di­ha­da­pinya. Dengan demikian, tergantung bagaimana ke­bu­ Keenam, simbol dan warna. Tidak ada ketentuan khusus
tuh­an masyarakat pembacanya. yang di­gu­nakan dalam pewarnaan peta. Tetapi, pada umumnya
­pe­ta menggunakan pewarnaan yang sama. Sedangkan simbol
Dua kue serupa dengan rasa yang mirip bisa memiliki jum­ me­­nun­juk­kan, mi­sal­nya, ja­lan kota, kota, dan lainnya. Ketujuh,
lah pembeli yang begitu senjang karena perbedaan ke­ma­san dan sum­ber dan ta­hun pem­bu­at­an. Suatu kota dapat ber­kem­bang
peng­iklan­an. De­mi­ki­an pu­la de­ngan pe­ta kota. Suatu peta akan dan berubah dengan cepat. Lokasi yang termuat dalam peta

160 161
x Peta yang Tersisih Nurdini Diah Ekawati x

Faktor budaya itu barangkali yang membedakan masyarakat


Indonesia dengan turis asing. Para turis lebih mengandalkan
pe­ta karena budaya mereka mengajarkan untuk tidak mudah
q per­caya pada orang lain dan mengandalkan diri sendiri (in­di­vi­
Peta Kota du­alis­me). Budaya Indonesia yang umumnya lebih sosial men­
Yogyakarta yang do­rong orang untuk bertanya pada yang lain. Bertanya pada
terpancang di
bilangan Parkir orang lain berarti juga bersosialisasi.
Abu Bakar Ali Tapi kerasnya kehidupan kota juga dapat mendorong ­war­ga
Yogyakarta. Jarang untuk lebih percaya kepada peta dibanding orang tak di­kenal.
dibaca oleh warga
kota selain turis Juga konstruksi dan interaksi sosial lain, juga tata kota. Sing­
(mancanegara). kat­nya, faktor budaya punya peran penting dalam membuat
peta kota berarti bagi warga dan pengunjungnya.
Seperti apa yang dikatakan oleh Parsudi Suparlan, melalui
Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, tatkala kebudayaan
men­cip­takan kebutuhan sekaligus alat untuk memenuhi ke­bu­
Dwi Fajar W

tuh­an tersebut. Ketika membaca peta sudah menjadi budaya


ba­gi suatu ma­sya­rakat, maka peta akan dibuat dalam skala yang
be­be­ra­pa ta­hun yang lalu bisa sangat berbeda dengan keadaan besar dan dengan teknologi yang terus dipercanggih. Sebab itu,
riil se­ka­rang. Terakhir, lettering, adalah penamaan lokasi. Pe­ di Indonesia yang masyarakatnya masih kurang me­mi­li­ki bu­
na­ma­an na­ma lo­ka­si mes­ti se­suai de­ngan na­ma asli­nya (yang da­ya membaca peta, peta hanya diproduksi dalam jum­lah yang
mutakhir). kecil. Secara tidak langsung, hal ini terjadi karena ma­sya­ra­kat
Indonesia masih belum terlalu membutuhkan peta dalam ke­hi­
Bila semua syarat di atas sudah ter­pe­nuhi, namun peta yang dup­an sehari-harinya.
dipajang tetap saja langka di­gu­nakan masyarakat, maka per­so­
al­an­nya ber­ada di ma­sya­ra­kat itu sendiri. Ba­rang­kali ma­sya­ Pemerintah seharusnya mencari jawab mengapa masyarakat
ra­kat su­dah hafal betul setiap lokasi yang dimunculkan da­lam ki­ta masih belum terbiasa menggunakan peta ketika kesulitan
peta kota, atau malah tahu lebih rinci. Atau, boleh ­ja­di, ma­ men­cari lokasi. Bukan perkara yang mudah bagi masyarakat un­
syarakat kita tidak memiliki budaya membaca peta un­tuk me­ tuk mengubah kebiasaan bertanya mereka dalam menemukan
ngetahui suatu lokasi. Barangkali mereka lebih ­per­ca­ya atau lo­kasi. Budaya membaca peta tentu akan semakin sulit dimiliki
suka bertanya pada orang lain. Jika demikian soalnya, agar ma­sya­ra­kat ki­ta bila peta-peta kota kita menyulitkan para peng­
suatu peta kota berguna bagi warganya, maka warga kota itu gu­nan­nya un­tuk menemukan suatu lokasi.
mesti dididik untuk lebih percaya kepada peta ketimbang pe­ Saya menduga kurangya perhatian pemerintah pada ke­
tun­juk orang di jalan. bu­tuh­an masyarakatnya mengakibatkan tidak bergunanya se­
Orang Indonesia yang dikenal akan keramahannya, tentunya jum­lah fasilitas yang ada. Dalam hal peta kota, ketidaktahuan
akan lebih memilih bertanya kepada orang yang ia temui di akan kebu­tuh­an masyarakat ini hanya menjadikan peta sebagai
jalan, dari pada harus bersusah payah membaca peta jalan yang pe­leng­kap saja. Lebih ironis lagi jika fasilitas itu ber­alih fung­si
tak jelas legendanya. Selama ini peta kota buatan pemerintah men­­ja­di pa­ja­ngan ko­ta.
le­bih banyak berguna bagi wisatawan daripada warganya dan
pe­ngun­jung lain dengan tujuan nonwisata. Bagaimana tidak, Kembali ke Esensi
tem­pat-tempat wisata adalah yang paling banyak muncul Peta seharusnya dapat digunakan sebagai penyalur informasi
­da­lam peta-peta buatan pemerintah. Itupun tempat-tempat wi­ ba­gi pembacanya. Jika sebuah peta tidak dapat memberikan in­
sa­ta yang cenderung digemari turis asing.
162 163
x Peta yang Tersisih Nurdini Diah Ekawati x

for­masi, ma­ka peta tersebut dapat dikatakan gagal dalam me­ ma­hasiswa baru dan calon mahasiswa yang akan mendaftar ku­
lak­sa­na­kan tu­gasnya. liah di UNY. Mereka lebih suka bertanya pada orang lain un­tuk
Seperti telah diungkapkan, bahwa peta kota memiliki ba­nyak menemukan lokasi ujian masuk atau bangunan ­kam­pus ter­tentu.
sekali faktor penunjang. Salah satu yang penting adalah ke­bu­ Atau mereka datang bersama dan meng­andal­kan orang yang
tuh­an para pembaca peta tersebut. Seperti dikatakan Dhya me­ telah mengetahui seluk-beluk UNY. Sedikit saja ­da­ri mereka
lalui tulisan dalam blognya dengan tajuk, “Karakteristik Ma­sya­ yang menggunakan peta lokasi UNY. Jadinya, tak ha­nya peta di
ra­kat Indonesia 10 Tahun Terakhir”; sifat manusia adalah suka depan gerbang UNY yang sia-sia, denah lo­kasi uji­an masuk yang
hal-hal yang mudah. Peta yang diperlukan masyarakat awam diberikan kepada setiap calon maha­sis­wa pun tidak berguna.
Indonesia bukanlah peta yang muluk dan rumit, melainkan Adanya fenomena seperti ini dalam masyarakat kita mung­
­pe­ta yang sederhana namun dapat menuntun pada lokasi yang kin dise­bab­kan oleh mi­nim­nya pe­nge­ta­hu­an ke­ruang­an dan
di­mak­sud. meng­akar­nya tradisi. Kenyataan ini membuat banyak pe­ta kota
Kenyataan yang ada, peta-peta yang berdiri tegak disekitar ke­se­pi­an.
ja­lan kota tidak dapat dikatakan memenuhi kebutuhan ma­sya­ Perlu diingat, faktor budaya pembaca peta hanya sa­lah satu
ra­kat­nya. Bagi warga kota kita, masih lebih jelas dan lebih dibu­ dari sekian faktor yang menyebabkan peta ber­guna ­de­ngan baik.
tuh­kan petunjuk arah yang terdapat di pinggir jalan dengan Sayangnya, harus dikatakan, peta-peta kota ­ki­ta ­ku­rang men­
ha­nya berbentuk panah dan nama lokasi saja, ketimbang peta jel­ma­kan berbagai faktor pembuatan peta yang ba­ik tersebut.
lo­ka­si yang hanya berfungsi sebagai peta wisata. Hemat saya, yang terpenting untuk disoroti adalah bahwa
Bagi saya pribadi, petunjuk arah yang terdapat di ping­gir peta kota buatan pemerintah justru tidak menjawab kebutuhan
ja­lan merupakan bentuk penyederhanaan dari peta jalan yang warganya. Ia ada untuk memenuhi kebutuhan pelancong.
ada. Mengingat kebutuhan warga pengendara, maka peta per­ Dengan demikian juga berarti memenuhi kebutuhan finansial
lu di­ran­cang sesederhana mungkin sehingga mudah di­tang­kap dan prestise si empunya peta. Hampir tak tersua lokasi-lokasi
oleh pem­baca yang tengah melaju. yang menjadi kebutuhan sehari-hari warga kota seperti jasa
Penyederhanaan seperti ini mungkin dapat lebih efisien sedot wc, sekolah, atau tukang urut. Yang melulu muncul dalam
­da­lam penyampaian informasi. Selain itu, dapat lebih meng­he­ peta kota pemerintah hanyalah hotel, pantai, pusat penjualan
mat bi­aya bila dibandingkan dengan bangunan peta yang bagus oleh-oleh, dan semacamnya.
na­mun miskin informasi. Tak sepenuhnya salah memang. Tapi akan jauh lebih baik
jika pemerintah kota mau menggelontorkan uangnya untuk
mem­bangun peta yang mewakili kebutuhan warganya, di
Peta yang Kesepian samping peta wisata.3
Membaca peta memang terkait dengan kebudayaan. Ada­
nya film Dora tadi, paling kurang, menunjukkan bahwa di
­Ba­rat masyarakat dididik untuk dapat menemukan lokasi yang Daftar pustaka
Dhya. (2010). “Karakteristik Masyarakat Indonesia 10 Tahun Terakhir”.­Ter­
me­reka cari sendiri sejak kecil. Tanpa mengandalkan bantuan se­dia­pada http://dhyva.wordpress.com/2010/01/22/karakteristik­
orang lain. -masyarakat indonesia-10-tahun-terakhir/. Diakses pada ­9
Jika saya amati peta lokasi kampus yang megah berdiri di Januari­2011.­
depan gerbang masuk, secara simbol-simbol, peta tersebut su­ Purwanto, Eddie. (2011). ”Belajar Arc View Mudah”. Tersedia http://freewebs.
dah memenuhi persyaratan peta yang baik. Namun, pe­ta ter­se­ com/arcview-belajar-mudah/metodologipemetaan.htm. Diakses
pada 9 Januari 2011, 20.09 WIB.
but tetap saja sepi pengunjung. Bagi warga UNY (Uni­ver­sitas
Negeri Yogyakarta), saya menduga, hal itu karena mahasiswa Abdullah, Irwan. (2006). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:­
Pustaka Pelajar
UNY sendiri yang sudah mengenal seluk-beluk kampus UNY.
Suparlan, Parsudi. (1984). Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan. Jakarta:
Yang jadi soal adalah peta tersebut tetap tidak berguna bagi Rajawali.

164 165
x Peta yang Tersisih Nurdini Diah Ekawati x

Junaidi, Wawan. (2008). “Jenis-Jenis Kebutuhan Manusia”. Tersedia pada


http://wawan-junaidi.blogspot.com/2010/08/jenis-jenis-
kebutuhan-­manusia.html. Diakses pada 9 Februari 2011, 20.17
WIB.
Younggemorphologys. (2006). Kartografi. Tersedia pada http:// young­
geomorphologys.wordpress.com/2010/04/01/kartografi/.Diakses
pada 2 Februari 2011, 20.15 WIB.

p
Geliat Masyarakat Kota

166
Ruang dan Inovasi
Rhea Yustitie untuk Pedagang
“Lima Kaki”

So­re i­tu cu­a­ca Ko­ta Yogyakarta se­dang ce­rah, situasi yang


akhir-­akhir i­ni ja­rang ter­ja­di, se­hing­ga saya memutuskan un­tuk­
pu­lang ku­li­ah de­ngan ber­ja­lan ka­ki. Agak lain dari biasanya,­ru­te
yang sa­ya pi­lih ka­li i­tu a­da­lah berjalan dari depan Rektorat­UNY
di­Ja­lan Colombo, ber­be­lok ke ki­ri dan menyusuri se­pan­jang­Ja­
lan Affandi (du­lu Ja­lan Gejayan). Lalu lintas ramai dan ba­nyak
to­ko di­ba­ngun di se­pan­jang ja­lan ini. Lantas saya me­ra­sa­ ja­lan
sa­ya a­gak ter­ham­bat, tro­to­ar yang saya pijak tak le­lu­a­sa­la­gi un­
tuk ber­ja­lan ka­re­na a­da yang berjualan dan parkir di­sana.
Tro­to­ar yang se­ha­rus­nya me­nam­pung para pejalan kaki
de­ngan le­lu­a­sa se­ka­rang ba­nyak di­man­fa­at­kan orang-orang
“kreatif ”­un­tuk me­nga­is re­je­ki. Persaingan ketat dalam mempe­
re­but­kan sumber-­sumber ekonomi telah memaksa orang untuk­
men­ja­di kre­a­tif da­lam men­cip­ta­kan lapangan pekerjaan. Salah
sa­tu­ca­ra­nya a­da­lah de­ngan me­man­fa­at­kan trotoar jalan ini un­

169
x Ruang dan Inovasi... Rhea Yustitie x

tuk­ ber­ju­al­an. Ki­ta se­ring me­nye­but mereka sebagai pedagang pu­sat ke­ra­ma­i­an yang men­jan­ji­kan agar barang dagangannya
ka­ki lima (PKL). la­ku.­Oleh karenanya kita kerap menjumpai mereka di tempat-
Is­ti­lah pe­da­gang ka­ki li­ma pun ternyata muncul secara me­ tem­pat seperti trotoar, taman kota, dan alun-alun.
na­rik.­ Orang-­orang u­mum­nya a­kan mem­berikan penjelasan
bah­wa is­ti­lah i­tu pertama-­tama me­ru­juk pada para penjual Pasca Orde Baru dan Merebaknya PKL
yang meng­gu­na­kan ge­ro­bak ber­ka­ki tiga, dua ban dan satu ka­ Pa­da ma­sa kri­sis mo­ne­ter 1998 dan pas­ca­run­tuh­nya rezim
yu peng­gan­jal di ba­gian de­pan, yang bila ditambah dengan dua Or­de Ba­ru, men­ja­di pe­da­gang ka­ki lima benar-benar pekerjaan
ka­ki pen­ju­al­nya ma­ka se­mua­nya ber­jum­lah lima. Contoh ter­se­ yang di­pi­lih orang-­orang da­ri go­long­an menengah ke bawah
but­sa­at i­ni da­pat di­ru­juk pa­da ba­nyak sekali para penjual yang un­tuk mempertahankan hi­dup. Sa­ya ingat betul apa yang ditulis­
ma­sih meng­gu­na­kan ge­ro­bak se­per­ti penjual martabak, bakso, o­leh Abidin Kusno da­lam bu­ku­nya yang berjudul Memori
soto,­ ang­kring­an, na­si/mie goreng, pecel lele, tempe penyet, Kolektif­ Jakarta­ Pasca-Soeharto, ke­ti­ka dia men­je­las­kan bahwa
capcai,­ go­reng­an,­ bu­bur ka­cang i­jo, dan bubur ayam. Namun mu­lai­ ta­hun 1998 ma­rak se­ka­li la­pak yang ber­di­ri di pinggir
sa­at i­ni is­ti­lah i­ni te­lah me­lu­as pa­da semua jenis penjual semi ja­lan­dan bah­kan di a­tas tro­to­ar mi­lik pe­ja­lan kaki. Pemerintah
per­ma­nen ba­ik yang ma­sih memakai gerobak ataupun yang ti­ pa­da sa­at i­tu su­dah ber­u­sa­ha me­ngu­rang­i jumlah PKL dengan
dak­ me­ma­ka­i­nya se­per­ti lapak-­lapak buku, pakaian, mainan me­nge­rah­kan­ Satpol PP un­tuk meng­u­sir PKL. Bah­kan isunya
a­nak, per­a­lat­an ru­mah tang­ga, nasi gudeg, dan nasi pecel. sa­at­ i­tu, —pasca-Orde Baru— pem­ba­ngun­an tro­to­ar ham­pir
Na­mun, bi­la ki­ta men­ca­ri­nya di literatur yang ada dalam saja di­hi­lang­kan­gu­na me­ngu­ra­ngi jumlah PKL.
ka­mus­ dan se­ja­rah ma­ka ki­ta a­kan menemukan bahwa da­ Abidin Kusno men­je­las­kan bah­wa pas­ca­ke­ku­a­sa­an Presiden
lam Ka­mus­Be­sar­Ba­ha­sa Indonesia (Pusat Bahasa, Depdiknas, Soeharto men­ja­di pe­da­gang ka­ki li­ma adalah wujud perjuangan­
2008) is­ti­lah “ka­ki li­ma” di­pa­dankan dengan: 1 lantai diberi atap hak hi­dup di da­lam ko­ta, khususnya di Jakarta pada waktu itu.
sbg penghubung rumah dng rumah; 2 serambi muka (emper) toko di PKL ber­pi­kir bah­wa a­pa­rat ju­ga pejabat pemerintah dengan be­
pinggir jalan (biasanya berukuran lima kaki, biasa dipakai sbg tempat bas­nya­ ber­tin­dak ko­rup dan semena-­mena maka mereka pun
berjualan); 3 (lantai di) tepi jalan. ber­hak men­du­duk­i ruang publik seperti trotoar, emperan toko,
Pa­da­nan da­lam ka­mus ter­se­but ter­nya­ta sa­ngat berhubungan­ a­tau pojok-­pojok taman kota untuk mendirikan lapak PKL.
de­ngan li­te­ra­tur se­ja­rah pa­da ma­sa Pemerintahan Kolonial Ti­dak da­pat di­pung­ki­ri bahwa keadaan kota semakin sem­
­Hindia-Belanda. Pa­da ma­sa i­tu su­dah dikenal istilah lima kaki ra­wut,­ta­ta le­tak ko­ta yang se­ha­rus­nya enak dipandang menjadi
ka­re­na un­tuk se­ti­ap pem­ba­ngun­an ja­lan ra­ya, pemerintah am­bu­ra­dul de­ngan ba­nyak­nya PKL. Suasana ini tidak hanya
Hindia­-Belanda mem­be­ri­kan a­tur­an a­gar dibangun juga sarana di­te­mu­kan di Jakarta, na­mun juga di kota-kota besar lainnya
un­tuk pe­ja­lan ka­ki se­le­bar li­ma kaki. Thomas Stamford Raflles,­ se­per­ti Semarang, Surabaya, juga Yogyakarta. Hal ini menurut
Gu­ber­nur­ Jen­de­ral Inggris yang pernah menjajah Hindia An­tro­po­log UGM, Heddy-Shri Ahimsa Putra, terjadi karena
Belanda­ dan mem­per­ha­ti­kan pem­ba­ngun­an­nya, da­lam Town Indonesia­ti­dak mem­pu­nya­i kon­sep­si urban yang pasti. “Di ITB
Plan of 1822, mem­ber­la­ku­kan pe­ra­tur­an yang sama (dengan a­da ju­rus­an urban planning tapi akhirnya ini hanya planning­sa­
istilah­ five feet) da­lam mem­ba­ngun tro­toar se­pan­jang jalan-ja­ ja tan­pa im­ple­men­tasi,” ungkapnya.
lan di Singapura dan­Malaysia. Se­ca­ra iseng saya mencoba un­
tuk mengukur tro­to­ar yang se­dang sa­ya lalui, ternyata lebarnya Yogyakarta mi­sal­nya, di Malioboro sebelum 1980 belum­
memang lima kaki!­ nam­pak kum­pul­an pe­da­gang yang me­me­nuh­i sepanjang
trotoar­ Jalan Malioboro se­per­ti yang ki­ta lihat sekarang. Jalan
Bi­la se­ca­ra se­der­ha­na ki­ta meng­ga­bung­kan semua pen­je­ Malioboro­ ha­nya di­ke­nal se­ba­gai ja­lur lalu lintas perdagangan­
la­san­ di­ a­tas, ma­ka kira-­kira ke­sim­pul­an­nya—dalam konteks saja.­ Ba­ru se­ki­tar ta­hun 1990 Malioboro mulai ramai oleh pe­
ke­ki­ni­an­—ba­kal se­per­ti i­ni: pedagang kaki lima adalah para da­gang.­Ba­nyak pe­da­gang ter­ta­rik membuka lapak di sepanjang­
pe­da­gang se­mi per­ma­nen yang menggunakan ruang publik tro­to­ar Jalan Malioboro ka­re­na turis domestik atau mancanegara­
un­tuk ber­ju­al­an. Dan ru­ang publik yang dituju adalah pusat- berbondong-­bondong ke Yogyakarta untuk berwisata.
170 171
x Ruang dan Inovasi... Rhea Yustitie x

Na­mun,­pro­blem di Jakarta ju­ga ter­ja­di di Yogyakarta, lagi- q


­lagi ber­ha­dap­an de­ngan a­pa­rat pe­me­rin­tah­an yang mencoba­ "PKL elite" di
pinggiran Jalan
me­ner­tib­kan PKL. De­ngan da­lih ba­nyak masyarakat yang Gejayan, inovasi
mem­pro­tes ma­sa­lah ke­ber­sih­an, ke­nya­ma­nan juga keamanan dari PKL in­for­
de­ngan ke­ber­ad ­ a­an PKL di tro­to­ar Jalan Malioboro tersebut.­ mal­yang kreatif
Pe­ner­tib­an pun di­la­ku­kan. Pe­me­rin­tah Kota Yogyakarta me­ dan men­jan­ji­kan.
nge­lu­ar­kan­SK ter­ka­it de­ngan hal ini: Perda No. 26 tahun 2002 Keberadaannya
ten­tang pe­na­ta­an PKL. Per­da i­ni ber­u­sa­ha menegakkan aturan ti­dak dianggap
dan me­ngem­ba­li­kan fung­si ruang publik (dalam hal ini adalah menyalahi aturan
trotoar).­ yang diberlakukan­
Pe­da­gang yang me­mi­li­ki la­pak di sepanjang Malioboro pa­da­ pe­me­rin­tah se­tem­
pat.­
sa­at i­tu me­ra­sa ti­dak te­ri­ma de­ngan di­bu­at­nya peraturan se­ma­
cam i­ni ma­ka me­re­ka pun pro­tes, sam­pai akhirnya mereka­te­tap
bi­sa ber­ju­al­an se­per­ti sa­at i­ni. Hal se­per­ti i­ni me­nu­rut Ahimsa

Dwi Fajar W
se­be­nar­nya e­go­is ka­re­na me­mang seharusnya pedagang­ pun­
pa­ham ba­gai­ma­na ru­ang pu­blik dapat digunakan se­ba­gai­ma­na­
mes­ti­nya un­tuk o­rang ba­nyak dan bukan hanya untuk ke­pen­
ting­an­ pri­ba­di sa­ja. Mes­ki­pun demikian, bisnis semacam PKL me­nge­luh­kan mu­sim hu­jan yang ber­a­ki­bat pada menurunnya
i­ni ti­dak lan­tas di­ting­gal be­gi­tu saja. Meributkan permasalahan pem­be­li­an jus di outlet-nya. Na­mun dia menyukai pekerjaannya.­
PKL pun se­la­lu ter­ja­di bah­kan be­lum menemukan titik temu “Da­ri­pa­da ha­rus di­am di ru­mah dan ba­nyak menganggur, lebih
sam­pai se­ka­rang. Ben­trok­an an­ta­ra Satpol PP dengan PKL pun ba­ik ja­di pen­ju­al jus, Mbak,” te­gas Atik. Be­be­ra­pa sa­at ke­mu­di­an­
su­dah ja­di cerita sehari-hari. a­da pem­be­li da­tang dan Atik ber­si­ap membuat jus lagi, se­dang­
kan sa­ya se­ge­ra mem­ba­yar jus dan beranjak untuk berjalan­lagi.­
A­kan te­ta­pi hal se­per­ti i­ni tidak membuat orang takut untuk
mem­bu­at i­no­va­si bis­nis se­ma­cam PKL. Bahkan untuk sebagian Sa­ya me­nya­da­ri pe­la­ku bis­nis ti­dak hanya menyerah a­tau
o­rang i­de ber­da­gang in­for­mal ala PKL adalah hal yang kreatif dan stag­nan pa­da kon­sep PKL yang itu-­itu saja; mendirikan ten­da,­
men­jan­ji­kan a­sal a­da di tem­pat yang strategis, dikemas me­na­rik,­ mem­bang­un ge­ro­bak, dan ber­ju­al­an. Kota Yogyakarta mi­sal­
dan ten­tu sa­ja ti­dak menyalahi aturan yang diberlakukan­ pe­ nya,­ di­ po­jok ja­lan, te­ngah ko­ta, pinggir taman, depan mi­ni­
me­rin­tah se­tem­pat. Ak­hir­nya pemerintah yang dituntut un­tuk­ mar­ket,­se­pan­jang Ja­lan Malioboro, dan pa­da jalan-jalan utama­
sa­dar dan da­pat me­nye­diakan ruang kosong bagi PKL se­hing­ga di­ Yogyakarta­ a­kan ter­li­hat ba­nyak sekali PKL bertebaran. Se­
mampu terorganisir dengan rapi tanpa mengganggu sa­ra­na pu­ la­ma­ i­tu a­da­lah ka­wa­san ra­mai pas­ti akan didatangi para PKL
blik semacam trotoar. na­mun me­re­ka ak­hirnya sadar bahwa inovasi memang tetap
ha­rus diupayakan.
Pa­da su­a­tu ke­sem­pa­tan yang ber­be­da saya bertemu dengan
Inovasi Baru PKL sa­lah sa­tu mar­ke­ting Tela-­Tela, I Kadek Gede Merta Yasa, atau
Ber­ja­lan ja­uh ter­nya­ta cu­kup me­ngu­ras te­na­ga dan ­mem­bu­at­ yang bi­a­sa di­sa­pa Kadek. Kadek men­ce­ri­ta­kan awal mula bisnis
sa­ya ha­us. Sa­ya ham­pi­ri PKL mi­num­an yang ada di per­tiga­an­ Tela-­Tela i­ni ber­ja­lan. Mu­la­nya bis­nis i­ni mencoba menawarkan
de­kat sa­lah sa­tu wa­ra­la­ba di Ja­lan Affandi. “Raja Juss” na­ma pa­da pa­ra kon­su­men­nya be­ru­pa pro­duk makanan olahan dari
PKL i­ni. Outlet-nya ter­nya­ta tidak hanya satu tapi sudah lu­ma­ ke­te­la. La­hir­nya Tela-­Tela i­ni a­da­lah hasil iseng yang dilakukan
yan­ba­nyak ter­se­bar di Yogyakarta. Saya memesan jus jeruk­ke­ o­leh em­pat ma­ha­sis­wa yang ber­ka­wan ka­rib: Eko Yulianto, Fath
su­ka­an­sa­ya. Aulia Muhammad, Febri Triyanto, dan Asyari Tamimi. Iseng
Sam­bil me­nung­gu jus se­le­sai, sa­ya i­seng bertanya pada Atik, sa­ja­ me­re­ka­ men­co­ba me­ngo­lah singkong menjadi penganan
pen­ja­ga outlet jus i­ni, ma­ka dia pun ber­ce­ri­ta pada saya. Dia yang se­di­kit ber­ke­las. Me­re­ka mendesain sendiri dan dengan
172 173
x Ruang dan Inovasi... Rhea Yustitie x

de­ta­il se­ga­la ma­cam­nya mu­lai da­ri kemasan sampai bagaimana sa­ya bi­sa ber­te­mu de­ngan pemilik Jus Q-ta ini. Doddy nama­
me­ma­sar­kan­nya. Mes­ki­pun di da­lam gerobak Tela-Tela ada nya,­lu­lus­an Teknik Industri Universitas Atmajaya Yogyakarta.­
peng­go­reng­an­nya, ge­ro­bak­nya di­de­sa­in tidak begitu besar. Ini Dia me­rin­tis Jus Q-ta sejak 2007. Pa­da awalnya bisnis ini ber­
mem­pu­nya­i tu­ju­an a­gar ge­ro­bak dapat fleksibel ditempatkan di mo­dal­kan­15 ju­ta ru­pi­ah. Dengan modal tersebut Doddy sang­
tem­pat yang se­ki­ra­nya strategis. gup­un­tuk mem­bu­at tiga gerobak. “Banyak halangan pada awal
Tela-­Tela a­da­lah se­ma­cam bis­nis waralaba atau franchise yang men­ja­lan­kan bisnis ini,” kenang Doddy.
i­ngin­nya me­nye­ru­pa­i kon­sep Kentucky Fried Chicken (KFC), Di­mu­lai pa­da ta­hun 2007, wak­tu itu Doddy belum lulus ku­
McDonald’s (McD), a­tau la­in­nya. Si­a­pa sa­ja yang mau ber­ga­bung li­ah,­ ta­pi te­kad­nya su­dah bu­lat un­tuk menjalankan bisnis jus­
un­tuk bis­nis Tela-­Tela bi­sa mem­be­li lisensi langsung­da­ri kan­tor i­ni se­ka­li­gus ku­li­ah. Doddy mengurus semuanya sendiri, mu­
Tela-­Tela. Har­ga bu­ka bisnis ini antara 4 juta sam­pai­6 juta.­“Ta­pi lai­ da­ri mem­be­li bu­ah sam­pai distribusi buah ke outlet-outlet
ka­lau di Wonosari masih 2,5 juta-an karena har­ga­ bu­ka se­sua­i Jus Q-ta. Se­ring­ka­li dia mem­ba­wa bu­ah di dalam tas kuliah­nya­
de­ngan pem­ba­ca­an tim marketing terhadap pen­da­pat­an­ per­ka­ sampai-­sampai dia ha­rus me­ne­ri­ma cemoohan kawan kuliah­
pi­ta masing-­masing daerah yang akan dibuka­ bis­nis­ Tela-­Tela,” nya­ham­pir­se­ti­ap ha­ri ha­nya ka­re­na kerap ketahuan membawa
tu­tur Kadek. Dia juga menjelaskan bahwa tidak­ a­da sya­rat khu­ bu­ah ke kam­pus. Bis­nis­nya dianggap memalukan bagi kawan-
sus da­lam mem­be­li li­sen­si Tela-Tela, yang pa­ling­pen­ting a­da­lah ­kawannya. Ba­nyak yang me­no­lak diajak kerja sama oleh Doddy.
kemauan berbisnis dari calon penjual itu sen­di­ri.­ Ham­pir se­mua ka­wan­nya ra­gu kalau bisnis ini dapat berjalan
A­kan te­ta­pi ke­ti­ka di­kon­fir­ma­si­kan pa­da Ahimsa, dia ­tidak lan­car sa­at me­nge­ta­hui bahan bakunya yang cepat busuk.
se­pa­kat ji­ka bis­nis se­ma­cam ini dinamai franchise. Ahimsa lebih­ Doddy bu­kan ti­pi­kal o­rang yang gampang pasrah, dia terus
se­pa­kat ji­ka hal i­ni di­bi­lang menyerupai saja. Menurutnya bisnis­ ber­u­sa­ha de­ngan ke­ras me­ma­ju­kan bisnis ini meskipun hanya­
franchise a­da­lah bis­nis yang li­sen­si­nya sudah dipatenkan,­dia­ra­ se­o­rang di­ri. Bis­nis ini benar-benar sudah diperhitungkan
gu­ka­lau bis­nis PKL di Indonesia su­dah dipatenkan se­per­ti yang o­leh­nya.­ Dia meng­a­wal­i bis­nis i­ni dengan berbagai macam
di­mi­lik­i o­leh KFC dan McD. Ahimsa me­ngang­gap bis­nis se­per­ti survei, mu­lai da­ri tem­pat sam­pai u­ji kualitas dan kuantitas. Pe­
i­ni semata-­mata a­da­lah inovasi dari pa­ra pem­ra­kar­sa­nya.­Mes­ki­ milih­an bis­nis i­ni pun se­sung­guh­nya a­da alasan di baliknya,
pun­ de­mi­ki­an dia me­nga­pre­si­a­si dengan baik i­no­va­si­ se­ma­cam­ Doddy meng­i­ngin­kan kon­su­men yang me­min­um produknya
i­tu. “I­ni ba­gus dan pa­tut un­tuk diapresiasi juga di­kem­bang­kan da­pat te­rus se­hat. Pro­duk­nya yang berbahan baku buah segar
la­gi ka­re­na ada pembaruan cara dagang meskipun­te­tap sa­ja bis­ i­ni diharap­kan berguna untuk kesehatan konsumennya tidak
nis i­ni bis­nis informal PKL,” ungkapnya. ha­nya se­ka­dar pelepas dahaga.
Bis­nis PKL yang me­ru­juk wa­ra­la­ba memang sedang men­ja­ Se­te­lah sur­vei tem­pat di­la­ku­kan, maka diperoleh tiga titik­
mur­di Kota Yogyakarta. Hampir tiap sudut kota kita dapat­men­ per­ta­ma: di Ja­lan Solo dekat salon kecantikan ternama di
jum­pa­i bis­nis PKL i­ni. Se­pan­jang Jalan Affandi saja misalnya­ada Yogyakarta,­di Ja­lan Kaliurang, dan di Jalan Magelang. Tapi ak­
ham­pir 10 ge­ro­bak PKL se­ma­cam ini dengan tawaran produk hir­nya outlet di Ja­lan Magelang sepi dan Doddy memilih me­
yang berbeda-­beda, a­da ma­ka­nan ri­ngan berbahan baku jamur, nu­tup­nya sa­ja se­hing­ga ha­nya tersisa dua outlet Jus Q-ta dan
ke­te­la, ken­tang, pi­sang, bah­kan burger. Selain itu juga terdapat sa­tu ge­ro­bak nganggur. “Penempatan ini juga tidak asal me­
a­ne­ka jus bu­ah se­gar. Se­mu­a­nya tidak serta-merta berdagang di nem­pat­kan, Kri­te­ria pe­nem­pat­an­nya adalah dekat dengan ca­
a­tas tro­to­ar me­mang, a­da ju­ga yang menempel di depan toko lon­pem­be­li­nya a­tau dalam artian adalah penduduk, kemudian­
a­tau di ka­wa­san yang se­ki­ra­nya dekat dengan konsumen. ti­dak de­kat de­ngan se­lok­an ka­re­na yang penting adalah tempat­
Sa­ya la­lu me­ning­gal­kan Ja­lan Affandi, belok ke arah Deresan­ ter­se­but­ha­rus ber­sih,” te­rang­nya.
dan ber­ja­lan la­gi ke a­rah Ja­lan Flamboyan. Sampai depan Fa­ Bisnis terus berlanjut dan Doddy me­mi­lih un­tuk men­ja­lan­
kul­tas­Teknik UNY sa­ya ber­te­mu la­gi dengan gerobak jus buah, kan­nya sen­di­ri, alasannya a­da­lah­ pen­ja­min­an­ mu­tu pro­duk.
ka­li i­ni ber­la­bel Jus Q-ta. Kon­sep­nya hampir sama dengan Raja Kalaupun harus membangun kon­trak ker­ja sa­ma ­ma­ka Doddy
Jus ya­i­tu men­ju­al jus bu­ah segar. Kebetulan di kemudian ha­ri memilih menjalankannya ber­sa­ma ke­lu­a­rga­ atau orang ter­de­

174 175
x Ruang dan Inovasi... Rhea Yustitie x

katnya. Saat ini Doddy sudah memiliki ku­rang ­le­bih 50 gerobak Na­mun Tela-­Tela dan Jus Q-ta a­da­lah con­toh PKL yang bu­
yang tersebar di Yogyakarta, Surabaya, hing­ga Malang. kan­men­ja­di sa­sar­an Satpol PP se­ti­ap sa­at. Karena pada proses
pe­nem­pat­an­nya me­re­ka ma­sih menggunakan prosedur dengan
ba­ik­ dan be­nar. Doddy dan Kadek sama-­sama menjelaskan
Ruang dan PKL: Antara Sektor Formal dan Informal bah­wa me­re­ka pun meng­u­sa­ha­kan gerobaknya mendapat ijin
Pe­da­gang ka­ki li­ma te­tap saja pedagang kaki lima, selalu­ ber­ju­al­an ser­ta ti­dak meng­gang­gu ru­ang publik yang nantinya
me­mi­li­ki per­so­al­an yang ti­dak se­der­ha­na. Apalagi untuk pe­da­ a­kan me­re­ka tempati.
gang­ka­ki li­ma yang la­pak da­gang­an­nya mengambil ruang­pu­
blik­yang se­ha­rus­nya bi­sa di­pa­kai semua warga kota. Pemakaian­ Ja­rak an­ta­ra outlet yang sa­tu de­ngan lainnya pun diukur
ru­ang pu­blik un­tuk ke­pen­ting­an ekonomi rupanya merupakan­ o­leh masing-­masing marketer, je­las fung­si­nya agar penjualan
pe­mak­na­an e­ko­no­mis a­tas ru­ang pu­blik. Yang menjadi soal a­pa­ ge­ro­bak yang sa­tu ti­dak meng­gang­gu penjualan gerobak yang
bi­la pe­mak­na­an i­tu se­ka­li­gus menjadi pemilikan, ruang publik la­in­nya. Se­dang­kan me­re­ka sa­ma sekali tidak takut tersaingi
men­ja­di mi­lik da­ri pe­da­gang ka­ki lima yang sudah bertahun- gerobak-­gerobak PKL yang la­in ka­re­na masing-­masing dari
­tahun me­ma­kai­nya. Sa­ya se­ba­gai pe­ja­lan kaki saat ini pun ikut me­re­ka merasa menjual produk yang berbeda.
me­ra­sa­kan, ja­lan sa­ya tak lu­rus sepanjang trotoar karena jika A­da­nya bis­nis PKL me­ru­pa­kan sa­ra­na bisnis informal yang
me­ne­mui PKL yang a­da di a­tas trotoar saya harus turun dari mem­bang­kit­kan e­ko­no­mi ke­rak­yat­an mengingat banyak seka­li
tro­to­ar un­tuk mencari jalan. sek­tor formal yang dibangun seperti Mal atau pertokoan lain­
Se­be­nar­nya sek­tor in­for­mal se­per­ti PKL ini di satu sisi ber­ nya.­ A­da­nya sek­tor in­for­mal di samping bisnis formal karena
pe­ran se­ba­gai pen­du­kung ekonomi masyarakat terutama ma­ se­ca­ra po­li­tis bis­nis in­for­mal me­nye­rap banyak tenaga kerja se­
sya­ra­kat me­ne­ngah ke ba­wah, di samping juga menimbulkan hing­ga se­be­nar­nya bis­nis in­for­mal membantu pemerintah me­
hal­ne­ga­tif ba­gi ma­sya­ra­kat dan pe­me­rin­tah setempat dari as­pek­ nye­la­mat­kan­para pengangguran.
so­si­al se­per­ti ter­ha­dap lingkungan dan ketertiban umum. Ma­ Sem­pat pu­la sa­ya mem­ba­ca tu­lis­an Suparwoko, Upaya
sa­lah per­i­zin­an pun ke­rap ka­li menjadi perbincangan, ka­re­na­ Penataan PKL Diperkotaan: Studi Kasus Jalan Kaliurang dalam
bi­a­sa­nya PKL ti­dak me­la­ku­kan izin terlebih dulu. PKL me­ra­sa Jur­nal Unisia No. 59, yang men­co­ba me­ma­par­kan bahwa sektor
bu­kan bis­nis yang me­ne­tap di satu tempat, maka terkadang me­ in­for­mal per­ko­ta­an me­ru­pa­kan ba­gi­an dari masyarakat yang
re­ka tak me­ngu­rus ma­sa­lah i­zin tempat. Mereka biasanya me­ mar­gi­nal yang jum­lah­nya te­rus me­ning­kat dari tahun ke tahun.
nem­pel­pa­da ba­ngun­an a­tau pa­da tanah yang kurang terkontrol Se­hing­ga me­mang per­lu pe­ran pemerintah untuk menata­sektor­
peng­gu­na­an­nya a­tau bah­kan ada di trotoar-trotoar. in­for­mal de­ngan rin­ci a­tau se­ha­rus­nya difokuskan menuju pola
Ke­bi­a­sa­an PKL un­tuk me­nem­pat­i ru­ang publik telah me­ pe­nyu­su­nan se­ca­ra konstruktif.
nim­bul­kan­ pro dan kon­tra di ka­lang­an masyarakat. Terutama­ Stig­ma ma­sya­ra­kat ten­tang PKL itu hanyalah pedagang yang
di­se­bab­kan ru­ang pu­blik yang me­re­ka tempati kerap kali me­ me­la­ya­ni ma­sya­ra­kat me­ne­ngah ke ba­wah sebaiknya di­hi­lang­
rupa­kan­sa­ra­na u­mum de­ngan intensitas pemakaian yang tinggi­ kan.­Buk­ti­nya a­da­lah PKL sa­at ini juga telah dinikmati o­leh ka­
se­per­ti tro­toar se­hing­ga meng­a­ki­bat­kan terjadinya perebutan lang­an a­tas. Si­lah­kan te­ngok kon­sep PKL di Kemang (Jakarta)
ru­ang an­ta­ra PKL dan war­ga pengguna ruang lainnya. a­tau Semanggi (Surakarta). Ke­dua­nya menawarkan kon­sep
Kadek dan Doddy se­ba­gai wa­kil pe­bis­nis PKL inovasi pun­se­ PKL e­lite yang di­ke­mas de­ngan eksklusif dan tidak ka­lah­ de­
ca­ra ti­dak lang­sung me­ya­ki­ni hal ini. Dalam proses pe­ma­sar­an­ ngan­ res­to­ran bin­tang li­ma. Begitu juga dengan PKL ge­ro­bak
pro­duk me­re­ka hal yang pa­ling diutamakan adalah meng­hi­tung­ se­per­ti Jus Q-ta, Raja Juss, Tela-­tela a­tau la­in­nya yang men­co­ba­
ke­pa­dat­an dan per­ge­rak­an penduduk di tempat yang a­kan men­ me­na­war­kan se­su­a­tu de­ngan kon­sep baru; PKL dengan­ke­ma­
ja­di sa­sar­an pe­nem­pat­an gerobak mereka. Konsep mar­ke­ting­de­ san­yang le­bih menarik.
ngan ge­ro­bak yang me­nye­bar juga mempunyai tu­ju­an­ pem­be­li I­no­va­si dan pem­ba­ru­an je­nis penjualan PKL yang sudah
da­pat de­ngan mu­dah men­jang­kau produk olahan me­re­ka ini. di­la­ku­kan Jus Q-ta juga Tela-­tela se­ha­rus­nya dapat memacu
se­ma­ngat ma­sya­ra­kat un­tuk terus berinovasi. Penting kiranya
176 177
x Mari Bertemu di... Dian Dwi Annisa x

me­mi­kir­kan nan­ti­nya sek­tor in­for­mal mampu mendapat ruang


ber­se­be­lah­an de­ngan sek­tor for­mal. Lagi-lagi ini bukan hanya
tu­gas pe­me­rin­tah se­tem­pat ta­pi ju­ga kita sebagai masyarakat
pe­du­li ma­sa­lah urban.
A­khir­nya ru­ang pun men­ja­di hal yang mendasar untuk
mem­ba­ngun kem­ba­li e­ko­no­mi kerakyatan semacam PKL. Ten­
tu­nya­ de­ngan i­no­vasi yang se­sua­i de­ngan perkembangan za­
man.­ Ki­ta ber­ha­rap ma­sya­ra­kat mam­pu membangun kembali­
e­ko­no­mi ke­rak­yat­an de­ngan mo­del pengembangan bisnis in­for­
mal­ se­ma­cam PKL yang inovatif ini, tentunya dengan menaati­
a­pa yang te­lah di­se­pa­kat­i de­ngan publik. Yang penting, jangan
per­nah ta­kut untuk terus berinovasi! 3

Daftar Pustaka
Kusno, Abidin. Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca- Mari Bertemu
Soeharto.­a.b. Lilawati Kurnia. (2009). Yogyakarta: Ombak.
Suparwoko. (2006). “Upaya Penataan PKL Diperkotaan: Studi Kasus di Jalan
Dian
Dwi Anisa di Rel
Kaliurang”.­ Jurnal Unisia. No. 59/XXIX/I/2006. Yogyakarta:
Universitas­Islam Indonesia.­
­Lempuyangan

Se­per­ti ku­bi­lang, se­la­in pen­du­duk, jum­lah ja­lan sa­ngat me­nen­tu­kan la­


hir­nya­se­bu­ah ko­ta. Ba­rang­si­apa i­ngin me­num­buh­kan ko­ta, ba­ngun­lah
ja­lan dan pe­li­ha­ra sim­pang-sim­pang­nya!
Kota-kota Kecil Penyangga Kota Kecil, Raudal Tanjung Banua.

So­re i­tu sa­ya se­nga­ja­kan me­ngun­jung­i rel ke­re­ta a­pi di ba­


wah ja­lan la­yang de­kat Stasiun Lempuyangan1 ber­sa­ma sa­lah
se­o­rang ka­wan. Di­ ba­wah ja­lan la­yang, sa­ya di­sam­but o­leh
mu­ral-mu­ral can­tik yang me­nyatu de­ngan pe­nyang­ga ja­lan la­
yang. Pukul 16.30 WIB,­ru­ang ko­song di sam­ping pin­tu pa­lang
rel Lempuyangan su­dah ra­mai de­ngan ke­lu­ar­ga mu­da ­be­ser­ta
a­nak-a­nak me­re­ka yang ma­sih ke­cil, pa­sang­an mu­da-mu­di,
dan tak ke­ting­gal­an pedagang-­pedagang yang se­la­lu bi­sa me­
man­fa­at­kan tem­pat ra­mai.
1
Tepatnya berada di bawah jalan layang dekat stasiun kereta api, terangnya di
seberang utara rel kereta api. Untuk selanjutnya, di tulisan ini hanya disebut rel Lempuyangan­
saja.

178 179
x Mari Bertemu di... Dian Dwi Annisa x

Se­te­lah me­mar­kir­kan se­pe­da mo­tor, sa­ya dan ka­wan ta­di ja­di pi­lih­an pu­blik ka­rena se­men­jak ia ber­tu­gas se­pu­luh ta­hun
du­duk­se­je­nak di­sa­lah sa­tu rel­lo­ko­mo­tif yang me­lin­tang. Sem­ yang la­lu, tem­pat i­ni su­dah ra­mai se­ti­ap pe­tang men­je­lang.
ba­ri me­nung­gu sen­ja dan­me­nung­gu ke­re­ta a­pi le­wat, sa­ya me­ Sa­ya ke­su­lit­an men­ca­ri keterangan awal mula rel Lempuyangan­
lihat-­lihat mu­ral di­pe­nyang­ga ja­lan la­yang da­ri ke­ja­uh­an. A­da men­ja­di tem­pat pilih­an pu­blik karena hampir se­mua orang
sa­lah sa­tu mu­ral yang me­na­rik, yang per­nah sa­ya ­ba­ca ­ce­ri­ta­nya yang sa­ya ta­nya tak per­nah tahu perihal sejarah ramainya rel
ke­ti­ka SD­ du­lu, mu­ral yang ber­ce­ri­ta ten­tang Joko Tarub dan­ Lempuyangan. Kusmadi, alum­nus Fakultas Hukum, spe­sial­i­sa­si
se­len­dang bi­da­da­ri (Nawangwulan) yang­ia­cu­ri. Hukum­Lingkungan,­Universitas­Gadjah­Mada,­yang sa­at i­tu tak
Ba­gi sa­ya, me­ngun­jung­i rel Lempuyangan me­ru­pa­kan sa­ se­nga­ja sa­ya te­mu­i se­dang du­duk di sam­ping pen­ju­al mi­num­an
lah sa­tu ca­ra me­na­rik meng­ha­bis­kan waktu. Bisa melihat per­ di ka­wa­san rel Lempuyangan, ju­ga tak per­nah ta­hu ka­pan te­pat­
gantian so­re ke ma­lam, bi­sa me­li­hat kereta api, bisa melihat nya rel Lempuyangan i­tu ra­mai.
mobil-­mobil dan­ motor-­motor ber­de­rak maju menuju ke ”A­ku per­ta­ma ke Yogyakarta­ i­tu ta­hun 1996. Sa­at i­tu su­dah
tujuan masing-ma­sing.­ Sa­ya pun ja­di si­buk menerka, apakah lu­ma­yan ra­mai,” tu­tur pe­mu­da yang sa­at i­tu me­nga­ku se­dang
kenik­ma­tan yang di­da­pat pe­ngun­jung la­in sa­ma de­ngan men­ca­ri ins­pi­ra­si.
­ke­nik­ma­tan yang sa­ya da­pat­kan?­ Me­nga­pa me­re­ka tak per­gi
sa­ja ke­ mal yang me­nyu­guh­kan pe­man­dang­an ba­rang-barang
be­ser­ta ­har­ga­nya yang su­dah di­ban­de­rol? Me­nga­pa me­re­ka tak Ruang Publik, Ruang Bersama
q me­ngun­jung­i alun-­alun atau museum?­ Kun­jung­an sa­ya di rel Lempuyangan ka­li i­tu su­dah ber­lang­
Area ­sekitar
Se­te­lah ke­re­ta a­pi per­ta­ma lewat, saya mengunjungi pos jaga sung se­la­ma ku­rang le­bih sa­tu jam. Ke­ti­ka ham­pir Magh­rib,­sa­ya
Stasiun me­nyam­bang­i se­bu­ah ke­luar­ga mu­da yang ter­lihat asyik ber­ceng­
Lempunyangan di­ de­kat pa­lang ke­re­ta a­pi. Mujiyo, pegawai kereta api, saat itu
menjadi ruang tengah du­duk sem­ba­ri as­yik memainkan handy talky, me­nyam­ kra­ma di­sa­lah sa­tu rel yang sudah tak terpakai. Faiz, ang­go­ta ke­
publik alternatif
but kami de­ngan ra­mah di pos-nya. Pos tempatnya ­bekerja hanya lu­ar­ga ter­ke­cil da­ri ke­luar­ga i­tu si­buk ­me­ngu­nyah ma­kan­an yang
sore hari oleh
ber­ukur­an­2x2 me­ter de­ngan se­bu­ah ka­mar man­di ­ke­cil. Ter­nya­ ia­da­pat da­ri su­ap­an i­bu­nya dan men­ca­ri per­ha­tian a­yah­nya.
warga setempat
ta Mujiyo tak per­nah me­nge­ta­hui a­wal mu­la rel ­Lempuyangan ”Papah, li­hat i­tu ke­re­ta­nya. Ke­re­ta­nya kok ba­nyak?” u­jar
Faiz di­se­la-se­la o­bro­lan ka­mi.
A­yah Faiz, Alex, se­la­lu bi­lang bah­wa a­la­san ia dan ­se­ke­lu­ar­ga
me­ngu­njung­i rel Lempuyangan de­mi me­me­nuh­i tun­tu­tan a­nak
yang i­ngin me­li­hat ke­re­ta a­pi.
”Sa­ya wak­tu mu­da mi­kir, ngapain o­rang-o­rang pa­da ke si­ni.
Ter­nya­ta ya me­me­nuh­i ke­i­ngin­an a­nak. Su­pa­ya a­nak mau ma­
kan. So­al­nya ka­lau di ru­mah pa­ling cu­ma em­pat su­ap.”
Du­lu, Alex a­da­lah se­o­rang ma­ha­sis­wa di sa­lah sa­tu per­gu­
ru­an ting­gi di Yogyakarta. Da­ri Palembang ia da­tang.
Ter­nya­ta bu­kan ha­nya Faiz dan ke­lu­ar­ga­nya yang mem­
bu­tuh­kan tem­pat un­tuk ber­san­tai se­je­nak sem­ba­ri me­me­nuh­i
ke­ing­in­an a­nak yang i­ng­in me­li­hat ke­re­ta a­pi. Hartanto dan
ke­lu­ar­ga­nya ju­ga tak ja­rang me­ngun­jung­i Rel Lempuyangan.
A­la­san yang di­pa­par­kan ham­pir sa­ma, su­paya a­nak­nya yang
ter­ke­cil, Keisha, ma­u ma­kan le­bih da­ri bi­a­sa­nya.
“Ka­lau a­nak su­sah ma­kan ke si­ni Mbak. Stra­te­gi sa­ja su­pa­ya
Azwar

a­nak ma­u ma­kan le­bih,” tu­tur i­bu da­ri Keisha, Handayani.

180 181
x Mari Bertemu di... Dian Dwi Annisa x

Keisha sen­di­ri ha­nya meng­ge­la­yut man­ja pa­da i­bu­nya. ru­ang pu­blik, na­mun ru­ang pu­blik yang ter­se­di­a tak men­cu­kup­i
­Ter­nya­ta­rel­Lempuyangan­ka­li i­ni a­da­lah o­bat ba­gi Keisha yang bah­kan bi­sa di­bi­lang tak a­da. Yang ke­dua a­da­lah ke­ingin­an war­ga
be­lum la­ma ter­ja­tuh. Se­men­ta­ra i­tu, di­sam­ping ­pa­sang­an su­ami sen­di­ri un­tuk ke­luar da­ri tem­pat ting­gal­nya yang “ke­mun­gkin­an”
is­tri i­tu ter­li­hat se­o­rang bo­cah kecil menulis di buku pelajaran sum­pek dan ke­ing­in­an un­tuk re­lak­sa­si di lu­ar ru­mah.
yang ia pe­gang. Via, na­ma bo­cah itu, pu­tri per­ta­ma pa­sang­an “Ya se­be­tul­nya i­tu fe­no­me­na um­um. I­tu ka­re­na tem­pat ter­se­
Hartanto dan­Handayani, se­dang be­la­jar un­tuk per­siapan u­ji­an but me­mung­kin­kan un­tuk men­ja­di tem­pat nongkrong. Li­hat se­
di se­ko­lah e­sok ha­ri­nya. per­ti i­tu (ke­re­ta a­pi dan pe­sa­wat) kan ek­so­tis. Ka­lau o­rang yang
So­re ha­ri me­ru­pa­kan pi­lih­an ham­pir se­lu­ruh pe­ngun­jung rel su­dah se­ring na­ik sih bi­asa. Ka­lau nggak per­nah, ya de­ngan me­li­
Lempuyangan. Di wak­tu i­ni bi­a­sa­nya pe­ngun­jung me­re­gang­ hat se­per­ti i­tu men­ja­di hi­bur­an ter­sen­di­ri,” lanjut Ahimsa.
kan pi­kir­an se­te­lah me­la­ku­kan ru­ti­ni­tas yang tak u­bah-u­bah. Ahimsa me­nam­bah­kan, di Yogyakarta me­mang berkembang
Ba­gi o­rang Ja­wa pa­da u­mum­nya, se­per­ti di­a­ma­ti Siegel da­lam fe­no­me­na pen­ca­ri­an ru­ang pu­blik un­tuk dan o­leh warga ka­rena
ar­ti­kel Nuraini Juliastuti pa­da ma­sya­ra­kat Solo, mem­pu­nya­i di­ a­re­a i­tu a­da ob­jek yang bi­sa di­ton­ton dan a­da tem­pat un­tuk
pi­kir­an me­la­yang ber­ar­ti me­mi­li­ki po­ten­si un­tuk ke­ma­suk­an me­non­ton­nya.
se­tan. Ka­re­na i­tu, me­la­ku­kan ak­ti­vi­tas di so­re ha­ri me­ru­pa­kan
Ru­ang pu­blik se­ba­gai ling­kup spa­si­al sendiri dapat berarti
ma­ni­fes­ta­si ga­gas­an un­tuk mem­be­bas­kan di­ri da­ri ke­te­gang­an
suatu ru­ang yang da­pat di­ak­ses se­mu­a o­rang dan membatasi
pi­kir­an se­ka­li­gus me­ngi­si wak­tu su­pa­ya pi­ki­ran ti­dak me­la­
dirinya se­ca­ra spa­si­al da­ri ru­ang pri­vat; or­ga­ni­sa­si a­la­mi­ah atau
yang, (Juliastuti, 2010).
keluarga. Hannah Arendt (1906-1975) mem­per­li­hat­kan ba­hwa
Sa­at me­la­ku­kan ak­ti­vi­tas ber­san­tai, ka­dang o­rang-o­rang e­volusi his­to­ris ke­mun­cu­lan an­ta­ra yang privat dan yang publik
me­ngun­jung­i tem­pat-tem­pat yang di­de­sain ti­dak un­tuk ke­bu­ dimulai se­jak za­man Yunani ku­no. Ke­mun­cul­an polis (negara
tuh­an ter­se­but. Di da­lam tem­pat ter­se­but te­lah ter­su­sun be­be­ kota) mem­be­ri ma­nu­sia hi­dup se­la­in di du­nia pri­vat. Yai­tu hi­
ra­pa e­le­men yang men­cip­ta­kan kon­di­si yang e­nak dan nya­man dup po­litis. De­ngan de­mi­ki­an, se­ti­ap war­ga ne­ga­ra me­mi­lik­i
un­tuk tem­pat hi­buran. Se­ti­dak­nya tem­pat ter­se­but me­ngan­ dua ma­cam ek­sis­ten­si da­lam hi­dup­nya; a­pa yang mi­lik­nya pri­
dung se­su­atu yang me­na­rik un­tuk di­ja­di­kan ton­ton­an dan bi­sa ba­di (idion) dan a­pa yang men­ja­di mi­lik ber­sa­ma (koinon).
di­ja­di­kan o­bro­lan san­tai. Mung­kin i­ni­lah yang men­ja­di sa­lah Arendt da­lam, The­ Human­ Condition­ mem­ba­has bah­wa polis
sa­tu pe­nye­bab rel­ Lempuyangan­ se­la­lu ra­mai, dan ke­ra­mai­an se­ba­gai ru­ang pe­nam­pak­an, polis i­tu sen­diri a­dalah se­bu­ah
i­tu sen­di­ri se­la­lu ber­lang­sung so­re ha­ri. kons­truk­si ar­si­tek­tur­al yang me­nen­tu­kan ba­gai­ma­na yang pu­
Bi­ca­ra ru­ang pu­blik yang ber­fung­si un­tuk in­te­rak­si so­si­al, blik di­or­ga­ni­sa­si­kan se­ca­ra spa­si­al.
se­­per­ti­nya hal sa­tu i­ni su­dah men­ja­di ke­bu­tuh­an po­kok ­war­ga Hannah Arendt mem­be­ri­kan ske­ma per­be­da­an an­ta­ra ­ru­ang
Yogyakarta­. I­ni di­tan­dai de­ngan a­da­nya ru­ang pu­blik yang seng­ pu­blik dan ru­ang pri­vat ku­rang le­bih se­per­ti be­ri­kut:
a­ja di­ca­ri dan di­cip­ta­kan sen­di­ri o­leh war­ga. Con­toh la­in se­la­in
rel Lempuyangan a­da­lah Ban­da­ra Adi Sucipto. Di ban­da­ra, ob­jek Private Realm Publik Realm
yang di­mi­na­ti tak ja­uh ber­be­da da­ri rel Lempuyangan, ya­itu a­lat (ranah privat) (ranah publik)
trans­por­ta­si. Ji­ka di rel Lempuyangan yang di­a­mat­i a­da­lah ke­re­ta Household (family) Political realm
a­pi yang ke­luar ma­suk sta­si­un Lempuyangan. Na­mun di Ban­da­ Ruang
(keluarga) (ranah politik)
ra Adi Sucipto, pe­man­dang­an yang “di­ang­gap” me­na­rik a­da­lah Wants+needs, law of necessity, Freedom
pe­sa­wat ter­bang yang men­da­rat dan yang le­pas lan­das. the driving force is life it self. (Kemerdekaan)
Me­me­nuh­i ra­sa ing­in ta­hu, sa­ya me­na­nya­kan mu­sa­bab (keinginan+kebutuhan,
Hukum dasar
­fe­no­me­na ter­se­but ter­ja­di—pen­ca­ri­an ru­ang pu­blik o­leh war­ga dan asas pemenuhan, kekuatan
un­tuk di­nik­ma­ti war­ga sen­di­ri—pa­da An­tro­po­log da­ri Universitas­ pengendali adalah hidup itu
Gadjah Mada, Heddy-Shri Ahimsa Putra. Ia mem­pu­nya­i dua pen­ sendiri)
da­pat a­kan hal i­ni. Yang per­ta­ma a­da­lah ke­bu­tuh­an war­ga a­tas

182 183
x Mari Bertemu di... Dian Dwi Annisa x

Force+violence Speech (logos); tah dan ru­ang pu­blik yang di­cip­ta­kan o­leh war­ga­nya sen­di­ri,
Cara
(kekuatan, kekerasan) persuasion (kemampuan ­se­per­ti di­je­las­kan di ba­wah ini.
mengatur bicara, persuasi

Relasi antar Inequality Equality (isonomia) Fasilitas Non-Pemerintah:


manusia (tak sederajat) (sederajat) • Rel Lempuyangan: Tem­pat i­ni jus­tru dilarang oleh Pe­
me­rin­tah­, na­mun ma­sya­ra­kat memadatinya di sore hari
karena­ mendapat hiburan murah dengan melihat kerata
Me­nge­nai hu­bung­an an­ta­ra ke­du­anya, Arendt me­nga­ta­kan, api lewat.
“If­ there­ was­ a relationship between these two spheres, it was a • Bandara Adi Sucipto: Termasuk fasiltias Pemerintah te­
matter of course that the mastering of the necessities of life in the ta­pi be­lum a­da si­kap pas­ti da­ri mereka. Menjadi pilihan
household­ was­ the condition for freedom of polis (Ji­ka ter­da­pat ma­sya­ra­kat sendiri karena mendapat hiburan menarik
hubungan an­ta­ra ke­dua ruang ini, tentu saja perihal bahwa dengan me­li­hat pesawat naik-turun di bandara.
penguasaan ke­bu­tuh­an hi­dup da­lam ke­luarga menjadi kondisi
• Alun-­alun Selatan: Di­cip­ta­kan oleh masyarakat wa­
untuk ke­mer­de­ka­an suatu kota- Pen.)”.
lau­pun tem­pat i­ni mi­lik ke­ra­ton Yogyakarta. Warga
Ten­tu de­fi­ni­si ru­ang pu­blik dan ru­ang pri­vat di a­tas su­dah memilihnya ka­re­na da­hu­lu­a­da gajah pe­li­ha­ra­an keraton
ku­rang be­gi­tu pas ji­ka di­pa­kai un­tuk men­je­las­kan fe­no­me­na yang bisa dilihat­ se­ba­gai hi­bur­an. Se­lain­ i­tu la­pang­an
ru­ang pu­blik de­wa­sa i­ni yang be­gitu kom­pleks e­le­men­nya. Na­ lu­as be­rum­put dengan se­pa­sang ber­i­ngin kem­bar ju­ga
mun se­ti­dak­nya pen­je­las­an ter­se­but bi­sa mem­be­ri­kan ki­ta se­ mem­be­ri­kan da­ya tarik ter­sen­diri. Di­sa­na juga tersedia
di­kit gam­bar­an yang se­dang ter­ja­di di ma­sa la­lu. Ter­u­ta­ma ru­ segala hi­bur­an seperti sepeda mini,­ becak mini, dan
ang pu­blik sa­at i­ni tak la­gi se­pe­nuh­nya di­pa­kai se­ba­gai ­tem­pat lain-lain.
ber­lang­sung­nya ak­ti­vi­tas po­li­tik, pi­da­to-pi­da­to, de­bat dan de­
• Se­pan­jang ja­lan lem­bah UGM: Ka­wa­san ini milik kam­
mons­tra­si un­tuk men­ca­ri ke­mer­de­ka­an/ke­be­bas­an da­lam me­
pus UGM yang ti­ap Ming­gu men­ja­di a­rea pasar kaget
nyu­ara­kan pen­da­pat­nya se­bagai war­ga ko­ta yang ba­ik.
(sunday morning). Se­la­in­ i­tu di ba­nyak tem­pat ju­ga
Ha­nya a­da be­be­ra­pa ru­ang pu­blik yang mem­fa­si­li­ta­si ak­ti­ diminati untuk berolah raga.
vi­tas po­li­tik se­per­ti i­tu, se­mi­sal boulevard ko­ta, a­lun-a­lun, ha­
• Te­pi­an Ka­li Code, Kotabaru: Tem­pat tong­krong­an pe­
la­man ge­dung pe­me­rin­tah­an, dan se­ba­gai­nya. Se­lain ak­ti­vi­tas
mu­da dan ma­ha­sis­wa. bi­a­sa­nya ra­mai pa­da malam hari.
ter­se­but, war­ga ko­ta ju­ga me­ma­kai ru­ang pu­blik un­tuk ber­ba­
Namun, fasilitas ini ti­dak bi­sa sem­ba­rang di­pa­kai ka­re­
gai ke­pen­ting­an —me­ne­ngok da­ri po­tret rel Lempuyangan—
na di kawasan ini telah berjejer­pe­da­gang ma­ka­nan dan
bah­wa ba­nyak hal se­dang ber­lang­sung di sa­na, se­per­ti mem­be­
ko­pi. Setidaknya perlu merogoh kocek un­tuk­menikmati
ri ma­kan a­nak, men­ca­ri hi­bur­an mu­rah, se­ka­dar ca­ri ins­pi­ra­si,
tepian Kali Code.
hing­ga ke­pa­da ak­ti­vi­tas e­ko­no­mi ke­cil sa­at di­da­pat­i ba­nyak se­
ka­li pe­da­gang ke­cil yang ju­ga meng­ge­lar da­gang­an di sa­na.
Fasilitas Pemerintah:
Yogyakarta Krisis Ruang Publik • Taman Pintar: Dibangun oleh Pemkot (Pemerintah Ko­
Ji­ka seng­gang, sem­pat­kan­lah ber­ke­li­ling Kota­ Yogyakarta.­ ta) Yog­yakarta pada tahun 2003 untuk memfasilitasi
Ca­ri­lah ru­ang-ru­ang ko­ta di ma­na o­rang da­pat be­bas me­leng­ para keluarga yang butuh hiburan pintar bagi anaknya.
gang­kan ka­ki­nya dan ber­kum­pul de­ngan ke­ra­bat­nya. To­long Hiburan ini tidak murah karena butuh biaya untuk
ban­tu sa­ya un­tuk me­ne­mu­kan ru­ang pu­blik yang re­pre­sen­ta­tif. masuk ke dalamnya. Selain itu dalam prakteknya,
Mung­kin a­da be­be­ra­pa pi­lih­an bi­sa di­a­ju­kan yang ke­mu­di­an banyak fasilitas taman pintar yang tidak menggunakan
da­pat di­ka­te­go­ri­kan se­ba­gai ru­ang pu­blik fa­si­li­tas pe­me­rin­ bahasa yang mudah dimengerti masyarakat awam.

184 185
x Mari Bertemu di... Dian Dwi Annisa x

• Taman Kuliner: Dibagun oleh Pemda (Pemerintah Plaza. Di sim­pang em­pat sam­ping ta­man par­kir Abu Bakar Ali,
Dae­rah) Yogyakarta pada tahun 2006. Tidak ada tiket Malioboro, da­hu­lu a­da ta­man yang ber­gu­na se­ba­gai hi­jau­an,
masuknya. Namun seiring waktu tampaknya tempat na­mun be­be­ra­pa ta­hun la­lu DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat
ini hanya ramai pada malam Minggu dan hari Minggu Daerah) me­nye­tu­ju­i a­lih fung­si la­han ter­se­but men­ja­di tem­pat
saja. Selebihnya sepi. Letak yang tidak strategis juga pa­jang i­klan e­lek­tro­nik yang me­gah. Bah­kan tro­to­ar un­tuk pe­
membuat Taman Kuliner sepi peminat. ja­lan ka­ki pun di­ba­bat o­leh pe­da­gang ka­ki li­ma.
• Kebun Binatang Gembira Loka: Wahana menarik ini De­ngan kon­di­si ta­ta ko­ta sa­at i­ni yang cu­kup mem­pr­iha­
pun mem­butuhkan biaya masuk yang tidak sedikit tin­kan ka­rena mi­nim­nya ru­ang-ru­ang pu­blik un­tuk war­ga­nya,
sehingga tidak dapat dikunjungi dengan bebas. ma­ka tak he­ran pu­la ji­ka Ahimsa a­khir­nya me­nge­mu­ka­kan
per­ta­nya­an, “A­pa per­kem­bang­an ru­ang pu­blik di Yogyakarta?
Ma­na ru­ang pu­blik ba­ru di Yogyakarta?”
Pe­nga­la­man sa­ya se­la­ma dua ta­hun men­ja­ja­ki Yogyakarta
a­da­lah tak per­nah me­ne­mu­kan tem­pat ter­bu­ka dan ber­fung­si Ma­ri ki­ta me­ne­ngok a­lun-a­lun. A­lun-a­lun mung­kin bi­sa di­
so­si­al yang pa­ling nya­man. Wa­lau­pun di rel Lempuyangan bi­ ka­ta­kan ham­pir me­me­nuh­i as­pek i­de­al ru­ang pu­blik (wa­lau­
sa me­nung­gu sen­ja dan ke­re­ta na­mun sa­ya se­di­kit ka­sihan pa­da pun a­lun-a­lun bu­kan mi­lik ko­ta Yogyakarta me­la­in­kan mi­lik
pa­ru-pa­ru s­a­ya yang ha­rus meng­hi­rup Kar­bon monoksida (CO) Keraton). A­lun-alun Keraton da­lam fung­si­nya me­mi­li­ki se­ja­
da­ri mo­tor-mo­tor dan mo­bil. Pe­po­hon­an di si­tu pun sa­ngat mi­ rah ter­sen­di­ri. Da­hulu fung­si u­tama a­lun-a­lun a­da­lah tem­pat
nim, ha­nya a­da rum­put yang tak ter­u­rus. Se­lain i­tu bi­sa re­pot ber­la­tih (gladi­yudha)­pra­ju­rit ke­ra­ja­an dan tem­pat pe­nye­leng­
ke­ti­ka hu­jan ti­ba-ti­ba da­tang. Ku­yup ja­di an­cam­an ter­sen­di­ri. ga­ra­an sa­yem­ba­ra dan pe­nya­mpai­an ti­tah ra­ja ke­pada ka­wu­la
a­tau rak­yat. Na­mun, a­lun-a­lun sa­at i­tu ju­ga di­gu­na­kan se­ba­gai
Pen­cip­ta­an ruang pu­blik yang i­de­al ha­rus me­me­nuh­i be­be­
pu­sat per­da­gang­an rak­yat dan ju­ga hi­bu­ran se­per­ti rampogan,
ra­pa as­pek, an­ta­ra la­in As­pek e­ti­ka (moral) yaitu terbuka ba­gi
ya­itu u­pa­ca­ra pe­nyam­but­an ta­mu de­ngan me­le­pas­kan se­e­kor
se­mua o­rang dan de­mo­kra­tis. Aspek berikutnya adalah aspek
ha­ri­mau yang di­ke­li­ling­i o­leh pra­ju­rit ber­sen­ja­ta.
so­si­al yang me­ru­pa­kan sya­rat u­ta­ma un­tuk menghidupkan
ruang pu­blik. Ru­ang pu­blik ju­ga ha­rus ber­fung­si men­ja­ga ke­ Ketika saya mengunjungi alun-alun, saya mencoba mem­
les­ta­ri­an ling­kung­an ka­re­na ling­kung­an yang nyaman akan ban­ding­kan an­ta­ra Alun-­alun Utara dan Alun-alun Selatan.
mem­ban­tu meng­hi­dup­kan su­a­sa­na da­lam ru­ang pu­blik. Setelah pu­as­ me­nge­li­li­ngi Alun-­alun Utara sebanyak satu
putaran, lalu motor­ sa­ya­ a­rah­kan me­nu­ju alun-­alun Selatan
Aspek lainnya a­da­lah as­pek ke­in­dah­an (estetika) yang me­mi­
melewati Plengkung Gading.­Di sini suasana terasa lebih sejuk
lik­i ti­ga ting­kat­an, ya­i­tu es­te­ti­ka for­mal di­ma­na ob­jek ke­in­dah­an
dan menyenangkan.
me­mi­lik­i ja­rak de­ngan sub­jek (ha­nya bi­sa di­li­hat), es­te­ti­ka fe­
no­me­no­lo­gi a­tau pe­nga­la­man di­ma­na ob­jek di­nik­ma­ti de­ngan Di a­tas se­bi­dang ta­nah itu­-alun-alun Selatan- puluhan orang
par­ti­si­pa­si a­ta­u in­te­rak­si, dan es­te­ti­ka e­ko­lo­gi di­ma­na ke­in­dah­an ber­di­ri, ter­ma­suk sa­ya. Se­la­lu a­da keinginan yang menggelitik
a­tau ob­jek di­nik­ma­ti me­la­lui pro­ses par­ti­si­pa­si dan a­dap­ta­si yang un­tuk­ kem­ba­li men­co­ba me­la­ku­kan masangin. Mitosnya, jika
me­mung­kin­kan ki­ta ber­kre­asi ter­ha­dap ru­ang ter­se­but. kita ber­ha­sil ja­lan di­an­ta­ra dua po­hon beringin dengan lurus
maka pi­kir­an ki­ta pun sa­ma lu­rus­nya. Sayangnya, saya tak
Ji­ka su­dah men­ca­ri ke se­ga­la pen­ju­ru ko­ta, ba­gai­ma­na ke­
pernah me­la­ku­kan masangin de­ngan mu­lus. Selalu saja belok
sim­pul­an sau­da­ra-sau­da­ra? A­pa­kah An­da bi­sa me­ne­mu­kan
sebelum sempat me­lewati beringin kembar.
tem­pat de­ngan kri­te­ria ter­se­but di Yogyakarta?­
Ka­lau ki­ta per­ha­ti­kan sek­sa­ma, tak sedikit pedagang yang
Ki­ta tak da­pat me­nge­lak da­ri ke­nya­ta­an bah­wa ta­ta ru­
men­co­ba per­un­tung­an di a­rea alun-alun Selatan. Lihat saja, di
ang ko­ta ka­rut-ma­rut. Ter­le­bih, da­lam pe­nye­dia­an ru­ang pu­
si­si ja­lan se­la­lu a­da pe­da­gang. Bakso, tempura, siomay, sup buah,
blik o­leh Pe­me­rin­tah. Be­be­ra­pa ru­ang stra­te­gis se­ba­gai fa­si­li­
wedang­ ron­de, ja­gung ba­kar, angkringan. Bukan hanya penuh
tas pu­blik jus­tru ber­a­lih men­ja­di mal, se­per­ti be­ru­bah­nya SD
de­ngan pen­ju­al ma­ka­nan, a­ne­ka permainan pun tumplek blek
(Se­ko­lah Da­sar) Am­ba­rruk­mo men­ja­di Mal Ambarrukmo
di alun-­alun. Be­cak mi­ni, se­pe­da motor mini, sepeda tandem,
186 187
x Mari Bertemu di... Dian Dwi Annisa x

sepeda­mi­ni, ke­re­ta mi­ni. A­sal pu­nya nyali mengeluarkan kocek Mujiyo, pe­ga­wai ke­re­ta a­pi, ber­u­jar bah­wa be­lum per­nah a­da
banyak, ten­tu semua bisa dijajal. ke­ce­la­ka­an di ka­was­an ter­se­but. Dan ber­ha­rap sa­ma de­ngan sa­
Sa­at i­tu tiba-­tiba sa­ya ter­i­ngat percakapan saya dengan ya, se­mo­ga ja­ngan per­nah a­da ke­ja­di­an bu­ruk yang ter­ja­di.
ibunya­ Faiz yang sa­ya te­mu­i di rel Lempuyangan. Ibu­nya Faiz Se­su­ai yang di­tu­tur­kan Mujiyo, se­be­tul­nya a­rea ter­se­but me­
pernah ber­kata­bah­wa se­be­lum­nya ia dan keluarga lebih sering ru­pa­kan a­rea em­pla­se­men, a­rea yang ha­rus ber­sih a­tau ste­ril
mengunjungi alun-­alun Se­la­tan. A­da ob­jek yang menarik ka­re­na ter­ma­suk a­rea ber­ba­ha­ya. Ste­ril da­ri ma­nu­sia ten­tu­nya.
perhatian di sa­na. Dua e­kor gajah! Na­mun se­ka­rang, alun-­alun Mujiyo ber­di­ri, lan­tas me­nun­juk­kan di ma­na per­a­tur­an me­nge­
Selatan sudah ti­dak pu­nya­da­ya ta­rik la­gi ba­gi­nya ka­re­na gajah- nai ha­rus ste­ril­nya a­rea em­pla­se­men di de­kat pa­lang pin­tu ke­
­gajah tadi entah hilang­ ke­ma­na.­ Be­be­ra­pa ha­ri ke­mu­di­an, tak re­ta a­pi. Ter­tu­lis:
sengaja saya membaca sebuah ar­ti­kel di se­bu­ah web­si­te pe­ri­ “Selain Petugas Dilarang Memasuki Area Emplasemen
hal hilangnya si gajah. Berikut saya ku­tip­kan cerita dari salah Kereta Api Stasiun Kereta Api”
seorang tim proyek Space/Scape:
"Ga­jah-ga­jah i­tu di­pin­dah­kan ke Kebun Binatang Gembira Loka ka­re­na Di­ba­wah­nya ma­sih ter­tu­lis ke­te­rang­an bah­wa pa­pan ter­se­but
sa­tu in­si­den be­lum la­ma i­ni di se­ki­tar kan­dang ga­jah ter­se­but. Ja­di, wak­tu me­nga­cu pa­da UU No. 23 Tahun­ 2007 BAB XV Pasal 181 dan
i­tu ken­da­ra­an yang di­tum­pang­i sa­lah se­o­rang “pe­ting­gi keraton” yang BAB­XVII­Ps­199. Tak tang­gung-tang­gung ba­gi yang me­lang­gar
ter­je­bak ke­ma­cet­an di depan kan­dang ga­jah. Ke­ti­ka su­pir mo­bil ter­se­
but tu­run un­tuk me­ne­gur tu­kang par­kir yang a­da di sa­na ka­re­na ti­dak a­kan di­pi­da­na ti­ga bu­lan pen­ja­ra a­tau den­da Rp15.000.000,00.
ter­ta­ta­nya par­kir­an di lokasi tersebut yang menyebabkan kemacetan, si Na­mun, pa­pan pe­ngu­mum­an i­tu se­per­ti­nya tak ber­ar­ti a­pa-
tukang tersebut menukas ‘Siapa kamu menyuruh saya menata kekacauan ­a­pa­ka­re­na ba­nyak pe­ngun­jung yang tak ta­hu-me­na­hu me­nge­
ini? Wong yang “punya tempat” saja tidak pernah menata!‘. Mendengar
sindiran tersebut, dari dalam mobil si petinggi keraton menurunkan jen­
na­i ke­be­ra­da­an pa­pan ter­se­but. Handayani, is­tri Hartanto a­da­
dela mobilnya sambil berkata: “Ya sudah. Kalau begitu mulai besok akan lah sa­lah sa­tu­nya.
saya tata.” Dan keesokan harinya kedua gajah itu sudah tidak ada di “Nggak tau per­a­tu­ran­nya Mbak. Lagian di­sa­na kan su­dah
kandangnya lagi," (Juliastuti, 2010). a­da ba­tas, ja­di nggak mung­kin ke­re­ta le­wat,” ta­ngan­nya me­nun­
juk pa­da rel yang ter­pu­tus da­ri sam­bu­ngan­nya.
Su­atu sa­at ji­ka sa­ya kem­bali ber­kun­jung ke rel ­Lempuyangan Na­mun a­neh­nya, se­bu­ah pa­pan la­in ber­di­ri ko­koh di u­jung
dan ber­te­mu de­ngan Faiz se­ke­lu­ar­ga, wa­lau ke­mung­ki­nan­ rel yang ter­pu­tus, ber­bu­nyi; “Bu­ang Sam­pah Pa­da Ke­ran­jang
nya ke­cil, a­kan sa­ya ce­ri­ta­kan a­pa yang te­lah sa­ya ba­ca da­lam Sam­pah. Ja­ngan di Rel KA.”
website­ta­di. Ting­gal i­bu­nya Faiz dan ke­lu­ar­ga­nya yang me­mu­
tus­kan si­apa yang sa­lah dan si­apa yang mem­buat me­re­ka ke­ Ten­tu tu­li­san di pa­pan ini meng­i­sya­rat­kan bah­wa PT KAI
hi­lang­an sa­lah sa­tu tem­pat fa­vo­rit­nya. A­pa­kah si tu­kang par­ (PT­ Kereta­ Api­ Indonesia­) se­ca­ra ti­dak lang­sung me­le­gal­kan
kir yang ti­dak mau men­ja­wab de­ngan se­di­kit pe­lan dan so­pan, ke­be­ra­da­an pe­ngun­jung dan pen­ju­al yang me­ma­dat­i a­rea ter­se­
ke­mu­di­an men­co­ba me­na­ta wi­la­yah par­kir a­gar tak se­mra­wut. but dan ti­dak ke­be­rat­an a­rea ter­se­but ja­di tem­pat pu­blik. Pa­pan
A­tau si pe­ting­gi keraton yang pu­nya ke­kua­sa­an “menata“ tem­ pe­ngu­mum­an ter­sebut ju­ga me­nan­dai PT KAI ti­dak sung­kan
pat ta­di. me­lang­gar a­tur­an yang te­lah di­bu­at sen­di­ri.
Ke­a­da­an i­ni mem­bu­at sa­ya me­ngi­ngat gu­rau­an ka­wan-
­kawan­ se­ma­sa SMA sa­at ne­kat me­ng­gu­na­kan se­pa­tu war­na
Aturan Ada Untuk Dilanggar pu­tih sa­at u­pa­ca­ra ben­de­ra se­ti­ap ha­ri Senin. Pa­da­hal per­a­
Se­be­nar­nya ha­ti sa­ya mi­ris me­li­hat ba­nyak a­nak ke­cil du­ tur­an me­nye­but­kan bah­wa sa­at u­pa­ca­ra ha­rus me­nge­na­kan
duk dan ber­la­ri-la­ri di se­ki­tar rel Lempuyangan. Ba­yang­an bu­ se­pa­tu hi­tam dan pa­kai­an se­ra­pi mung­kin, de­ngan to­pi OSIS
ruk ka­dang mun­cul, ba­gai­ma­na ka­lau ke­re­ta ce­pat mun­cul dan (Organisasi­Siswa­Intra­Sekolah)­ber­teng­ger di ke­pa­la ma­sing-
o­rang tu­a me­re­ka la­lai, tak me­nga­wa­si a­nak­nya yang ber­ke­li­ar­ ma­sing o­rang dan tak lu­pa sa­buk hi­tam yang me­li­lit ping­gang.
an. Se­mo­ga sa­ja tak a­da ke­ja­di­an bu­ruk me­nim­pa pe­ngun­jung Ya, u­ca­pan me­re­ka bah­wa per­a­tur­an di­bu­at un­tuk di­lang­gar.
rel­Lempuyangan.­
188 189
x Mari Bertemu di... Dian Dwi Annisa x

Ba­yang­kan ka­lau per­a­tur­an ter­se­but be­nar-be­nar di­te­


gak­kan. A­da du­a ja­wab­an a­kan hal ta­di; pen­ja­ra yang pe­nuh
se­sak dan a­tau PT. KAI­ me­ngan­tong­i mi­lyar­an ru­piah. Ji­ka
me­ni­lik kon­di­si rel Lempuyangan­ di ba­wah ja­lan la­yang ter­
se­but, mung­kin­kah bo­leh di­sim­pul­kan bah­wa se­per­ti­nya pe­
me­rin­tah ko­ta ma­sih be­lum si­ap da­lam me­na­ta ru­ang pu­blik
yang nya­man ba­gi war­ga­nya? Ja­wab­nya kem­bali ke­pa­da war­ga
Yogyakarta sen­di­ri. 3

Daftar pustaka
Hardiman, F. Budi. (Ed.). (2010). Ruang Publik Melacak “Partisipasi
Demokratis”­dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius
Juliastuti, Nuraini. (2010). “Studi atas Saat Bersenang-senang di Alun-alun
Kidul“. Tersedia pada http://space.kunci.or.id. Diakses tanggal 20
Desember 2010.
Manahampi, Stevanus J. (2008). “Kebutuhan Akan Ruang Ketiga”. Tersedia­
Hasti Akhir Dari Realitas Dunia
Kusuma Dewi Ketika Aktivitas Manusia Beralih
pada http://jiwangga.com/index.php. Diakses tanggal 10
­De­sem­ber­­­2010. ke Ruang Maya

Ketika dimensi-dimensi geografis sebuah kota (tempat, jalan, sudut,


gang,­perempatan) telah diambil alih oleh dimensi-dimensi virtual dan
artifisial yang dibangun oleh teknologi informasi, telekomunikasi, dan
digital merupakan saat di mana kematian arsitektur tiba.
-Paul Virilio-

Hijrah Ke Dunia Maya


Malam i­tu tang­gal 17 ja­nu­a­ri, se­ki­tar pu­kul 20.00 WIB,
ketika­ sa­ya me­ne­mu­i ka­wan la­ma sa­ya, Fajar Brianta, seorang
yang ke­can­du­an­ hi­dup di du­nia ma­ya di kos­nya di da­e­rah
pertigaan Bulurejo,­ Minomartani, Yogyakarta. Sa­at di­te­
mu­i, Fajar sedang a­sik ber­ma­in po­ker de­ngan de­la­pan orang
temannya di internet. Si­al­nya, sa­ya sa­ma se­ka­li ti­dak me­nge­nal
satu pun di antara teman main kartu tersebut.
190 191
x Akhir Dari Realitas... Hasti Kusuma Dewi x

Pada putaran pertama, saat saya masuk ruangan itu, Fajar Su­dah se­jak ti­ga ta­hun yang la­lu, Fajar memilih untuk hidup
me­me­nang­kan­ per­ma­in­an­nya. U­ang ta­ruh­an pun mengucur se­per­ti i­ni. “Me­mang ba­ru dua ta­hun terakhir ini jadi banyak
deras­ke­kan­tong­nya. Cloes, sa­lah sa­tu la­wan da­lam permainan di kos,” je­las­nya. Se­jak me­ma­ka­i mo­dem, le­la­ki a­sal Gunung
itu bang­krut­dan ke­luar da­ri lingkaran permainan. Kidul ini me­mi­lih ber­ma­in de­ngan layar laptopnya.
Tak la­ma, o­rang ber­na­ma Alai meng­ggan­ti­kan Cloes ­dalam Ti­dak a­da be­da­nya bi­la di­su­ruh membandingkan ke­hi­
per­ma­in­an i­tu. Per­ma­in­an ke­dua pun digelar. Nampaknya dup­an­nya­ se­ka­rang atau du­lu. Fajar me­nga­ku sama-sama bisa
kali i­ni ke­ber­un­tung­an ti­dak me­mi­hak ke­pa­da Fajar. Fajar ber­ko­mu­ni­kasi­de­ngan ka­wan­nya. “Da­ri pa­da di lu­ar mengha­
­kalah pada per­ma­in­an ke­dua. Se­te­lah se­di­kit mengumpat, biskan uang, men­ding­di si­ni ca­ri u­ang,” tuturnya bangga pada
Fajar ­keluar dari per­ma­in­an ter­se­but. Kan­tong penyimpanan permainan yang meng­ha­sil­kan u­ang tersebut.
uangnya hanya tinggal­ be­be­ra­pa do­lar, yang bi­la di­ru­pi­ah­kan A­pa yang di­la­ku­kan Fajar de­ngan dunianya me­rupakan
hanya sekitar seratus ribu. gam­­bar­an­ pra­ktis ba­gai­ma­na du­nia yang senyatanya telah di­
Bi­a­sa­nya Fajar men­ju­al dolar-­dolar (chip) yang ­dimenangkan alih­­kan men­ja­di ma­ya. Se­per­ti yang disampaikan oleh Yasraf
da­lam per­ma­in­an po­ker­nya pa­da temannya dengan cara “nge­ Amir Piliang,­ bah­wa ko­ta ar­si­tek­tur (architectural city) ki­ni
cer” (diecer).­Fajar men­je­las­kan, tran­sak­si biasanya dilakukan se­ telah berubah­ men­ja­di­ ko­ta di­gi­tal (digital city) atau kota in­
cara lang­sung ke­pa­da pem­be­li yang me­mang su­dah dikenalnya formasi (information city), yang di da­lam­nya re­lasi dan ko­mu­
dengan­ har­ga yang te­lah di­ten­tu­kan tan­pa menggunakan jasa ni­ka­si antar manusia tidak lagi se­ca­ra lang­sung, a­lam­i­ah, te­ta­pi
bank. Se­ti­dak­nya ti­dak a­da po­tong­an da­lam tran­sak­si yang lewat t­ eknologi digital.
menurutnya ti­dak se­be­ra­pa i­ni di­ban­ding­kan kawan-­kawannya Is­ti­lah du­nia ma­ya per­ta­ma kali dikenalkan dalam novel
yang telah ber­ha­sil­membeli sepeda motor dari judi ini. Neuromancer­ kar­ya William Gibson. Novel yang berlatar ta­
Ke­lu­ar da­ri per­ma­in­an po­ker­nya, Fajar ber­a­lih menyapa te­ hun 1960-an ­ter­se­but me­ngi­sah­kan bahwa dunia maya ber­arti
man­nya,­ Budie, le­wat je­ja­ring so­si­al facebook. Setelah sekian jaringan­ in­for­ma­si lu­as yang ko­nek­sinya akan terhubung de­
lama ber­te­gur sa­pa, Budie me­nya­ta­kan i­ngin ti­dur. Padahal ngan sistem sya­raf me­re­ka (penggunanya).
jam baru me­nun­juk­kan pu­kul de­la­pan le­wat beberapa menit. Paul Virilio, e­sais da­ri Prancis yang ter­ke­nal dengan tulisan­
Kemudian Fajar me­ne­ngur­nya, “gasik men?” (awal sekali?). nya me­nge­na­i tek­no­lo­gi, me­lu­kis­kan kon­di­si ko­ta postmodern
Budie dengan si­gap­ men­ja­wab bah­wa i­ni su­dah pu­kul sebelas dalam Lost Dimension se­ba­gai tem­pat yang ke­hi­lang­an dimensi
malam waktu Korea. Fajar ba­ru ter­sa­dar ka­lau dia se­dang interaksi, ta­tap mu­ka, aura, dan ingatan.
berbincang dengan temannya yang se­dang tidak di Indonesia.
Ba­yang­kan sa­ja, ke­ti­ka an­da pu­lang da­ri kantor menuju ru­
Fajar kem­ba­li me­ma­in­kan te­ti­kus­nya dan beralih ke tempat la­ mah.­ Di­ ja­lan an­da di­sa­pa o­leh se­o­rang kawan lama. Lalu saat
in.­Se­bu­ah dis­ku­si yang se­dang hangat di jurusannya. Berita yang me­le­wat­i ta­man an­da me­li­hat anak-­anak yang sedang bermain
me­mu­at tu­li­san kri­tik me­nge­na­i pementasan drama mahasiswa kejar-­kejar­an.­ Di per­ti­ga­an ja­lan de­kat rumah, ternyata sudah
Bahasa­ dan Sastra Indonesia. Se­le­sa­i mem­ba­ca komentar yang ada ibu yang me­nung­gu ke­pu­lang­an An­da. Namun semuanya
di­ting­gal­kan o­leh pem­ba­ca, Fajar ikut berkomentar. Namun tiba-tiba ti­dak ada.
dia ma­sih me­mi­kir­kan na­ma sa­ma­ran yang co­cok dengannya.
Ber­te­gur sa­pa de­ngan ka­wan la­ma sudah digantikan dengan
Setelah ber­pi­kir la­ma akhirnya dia mem-posting pendapatnya.
­i­kut ak­tif di je­ja­ring so­si­al facebook. Ibu anda pun tidak per­lu
I­den­ti­tas pal­su me­mang se­ring di­pa­kai olehnya. Hal ini ­ber­di­ri­di­per­ti­ga­an ja­lan un­tuk me­mas­ti­kan kapan anda pu­lang
untuk­meng­hin­da­ri a­da­nya ke­te­gang­an. Isu yang sedang ia ikuti ka­re­na­ de­ngan me­li­hat sta­tus di twitter i­bu sudah tahu ­po­si­si
ini me­ru­pa­kan ma­sa­lah sen­si­tif yang ada di jurusannya, maka anda se­dang di ma­na. Se­dang­kan pe­man­da­ngan anak yang ber­
dari itu un­tuk meng­hin­da­ri a­da­nya sa­lah paham, Fajar memilih main di­ta­man su­dah mus­nah ka­re­na me­re­ka le­bih a­sik ­bermain
memakai na­ma la­in. Su­dah da­ri se­jak a­wal be­ri­ta ter­se­but di di du­nia ma­ya­ (i­ngat­an ma­nu­sia ten­tang hal-­hal tersebut pun
keluarkan, Fajar­se­la­lu meng­i­kut­i­nya. Me­nu­rut­nya walau tidak sudah di­rekam­kan­o­leh seperangkat komputernya).
terlibat langsung­te­ta­pi selalu mengawasi perkembangannya.
192 193
x Akhir Dari Realitas... Hasti Kusuma Dewi x

Gam­bar­an Virilio me­nge­na­i ko­ta ba­ru i­ni ti­dak la­gi me­ Bi­la ru­ang di­li­pat, ma­ka a­kan ter­ja­di perubahan pada ruang
men­ting­kan­di­men­si fi­sik. Di­men­si ter­se­but direbut oleh virtual­ ter­sebut. Con­toh ke­cil ja­rak tem­puh un­tuk ruang tentu akan se­
­(in­ter­net).­ Pe­ru­bah­an ter­se­but a­kan membawa dunia pada ke­ ma­kin ke­cil. Ar­ti­nya mem­per­ke­cil ja­rak ruang dengan cara mem­
mati­an­ar­si­tek­tur. Pa­ra ar­si­tek i­ni a­kan digantikan oleh desainer per­pendek­wak­tu tem­puh di da­lam ruang tersebut. Jadi, melipat
vir­tual.­ se­bu­ah ru­ang a­kan se­ca­ra o­to­ma­tis melipat waktu, sedangkan
A­ura yang in­gin di­mun­cul­kan Virilio da­lam pertemuan nya­ per­u­bah­an­wak­tu ha­nya da­pat dialami di dalam ruang.
ta, men­ja­di ka­bur. Ru­ang vir­tu­al je­las ti­dak bisa memfasilitasinya Hal yang sa­ma di­ka­ta­kan o­leh David Harvey dalam The
ka­re­na­hi­lang­nya mo­men ber­ta­tap muka di ruang tiga dimensi. Condition­ of Postmodernity bahwa, pemampatan ruang-
Ma­ya a­tau nya­ta? Ma­nu­sia ti­dak la­gi mau tahu dengan waktu (time-­space compression) ya­i­tu ham­bat­an ruang (spatial
hal ter­se­but. Ke­ti­ka ko­ta i­tu ha­nya se­ba­tas pada imaji setiap barries) di­a­tas­i o­leh tek­no­lo­gi, se­hing­ga men­cip­ta­kan semacam
manusia­a­tau bu­kan. Bah­kan ma­nu­sia tersebut bisa hidup nya­ percepatan­du­nia ke­hi­dup­an.
man di dalam­ ha­sil i­ma­ji­na­si­nya. Ke­hi­dup­an so­si­al­nya kemu­ Pe­li­pat­an ru­ang yang di­a­lam­i Fajar mung­kin memudahkannya­
dian digantikan de­ngan ha­nya ber­tatap de­ngan la­yar ka­ca yang ber­ko­mu­ni­ka­si de­ngan ka­wan­nya yang berada di Korea. Namun,­
di dalamnya telah di­bu­at se­su­ai ke­i­ngin­an­nya. La­lu bagaimana ba­gai­ma­na de­ngan ke­hi­dup­an fi­sik­nya yang terus berlangsung?­
dengan kehidupan nya­ta yang te­lah di­la­lu­i­nya ter­le­bih dahulu? Fajar­ yang le­bih me­mi­lih hi­dup di du­nia maya ini jadi meng­hi­
rau­kan­ ke­hi­dup­an di du­nia nya­ta­nya. Sosialisasi dengan orang
lain yang ti­dak ter­ga­bung da­lam dunia maya tentu akan berhenti,
Ruang yang Cepat atau se­ti­dak­nya­ter­gang­gu intensitasnya.
Da­lam hi­tung­an de­tik Fajar bi­sa berkomunikasi dengan
ka­wan­nya, Budie, di Korea yang ja­rak­nya ri­bu­an kilometer Di ke­sem­pat­an la­in ke­hi­dup­an Fajar memang menjadi lebih
dari tem­pat­nya­ ber­a­sal. In­ter­net te­lah me­me­cah­kan masalah ring­kas,­ na­mun di si­si la­in ia ti­dak beranjak dari tempatnya.
jarak yang ha­rus di­tem­puh Fajar ha­nya un­tuk berkomunikasi Ini me­ru­pa­kan sebuah resiko perkembangan zaman yang
dengan karib la­ma­nya i­tu. Fajar ha­nya bi­sa membayangkan menjadikannya konsekuensi dari teknologi ini.
lawan bicaranya a­da di­ha­dap­an­nya mes­ki­pun mereka tidak
saling menatap. Lalu ba­gai­ma­na Fajar bi­sa mem­ba­yang­kan Ruang Maya: Simulasi Ruang Nyata
Budie menjadi seolah ti­dak­ber­jarak? Ko­mu­ni­ka­si me­la­lui du­nia ma­ya bukan hal yang asing lagi.
Per­ta­nya­an i­tu me­nun­tun sa­ya pa­da sebuah buku karya Ti­dak­ per­lu me­nung­gu sam­pai jaraknya jauh seperti yang
Yasraf Amir Piliang yang ber­ju­dul Dunia yang Dilipat. Dari dilakukan­ Fajar dan te­man­nya yang berada di Korea. De­ngan
buku ter­se­but­ ak­hir­nya sa­ya ta­hu bah­wa ruang dan dunia jarak yang de­kat­ pun ter­ka­dang ko­mu­ni­ka­si ini menjadi pi­
merupakan kata yang me­mi­li­ki ar­ti sa­ma. Bu­ku­nya tersebut lihan. Hal inilah yang ke­mu­di­an di­se­but o­leh ba­nyak o­rang
juga membahas bagai­mana­dia bi­sa melipat dunia. de­ngan komunikasi du­nia ma­ya. Ko­mu­ni­ka­si yang memilih
Ji­ka an­da me­li­hat se­lem­bar ker­tas, ma­ka itulah dunia menggunakan perantara me­dia (internet).
menurut­ Yasraf. Melipat kertas sama saja artinya melipat Lebih lanjut, saya mulai berselancar lewat internet untuk
dunia. Walau­ke­dua­nya­me­mi­li­ki ben­tuk yang ber­be­da, namun me­nge­ta­hu­i­ gam­bar­an me­nge­na­i du­nia ma­ya. Sampailah saya
kerusakan akibat­ pe­mak­sa­an ben­tuk i­ni a­kan me­mu­dahkan pada blog se­o­rang do­sen da­ri Universitas Padjajaran, Dadang
pembacanya mengerti mak­sud akibat pelipatan dunia. Sugiana, yang me­mu­at tu­lis­an ber­ju­dul "Tren Komunikasi Dunia
Kem­ba­li pa­da se­lem­bar ker­tas mi­lik Yasraf tadi, jika dilipat Maya dan Dam­pak­nya Pa­da In­ten­si­tas In­ter­ak­si Tatap Muka". Da­
apa yang ter­ja­di? Ten­tu ma­sa­lah ke­te­bal­an dan ukurannya yang lam tu­li­san­nya­Dadang me­nun­juk kom­pu­ter sebagai pengganti
lebih ke­cil. Na­mun, ti­dak sam­pai di si­tu saja, karena nantinya realitas fisik.
kertas ter­se­but ju­ga a­kan ru­sak bahkan robek. Seperti itulah Ma­nu­sia mu­lai ter­hu­bung de­ngan kehidupan di dunia nya­
bila dunia di­lipat. ta­nya­ me­la­lu­i kom­pu­ter. Ja­di, per­te­mu­an secara fisik sudah

194 195
x Akhir Dari Realitas... Hasti Kusuma Dewi x

di­a­bai­kan­ ka­re­na per­te­mu­an i­tu bi­sa dilakukan hanya dengan da­ri­ mo­der­ni­tas yang te­lah men­ca­pai ti­tik ekstrim. Nilai-nilai
duduk di de­pan­la­yar. A­kan sa­ma nya­ta­nya de­ngan pertemuan dan norma-­norma so­si­al ti­dak la­gi diperhatikan. Mereka ber­
di dunia tiga di­men­si. tin­dak­ meng­i­kut­i ke­i­ngin­an in­di­vi­du da­lam proses perubahan
Dadang meng­i­ba­rat­kan­nya se­per­ti jen­de­la. Kita bisa me­ (ka­pi­tal­is­me­global).
lihat o­rang ber­ja­lan, men­de­ngar o­rang ber­bin­cang. Na­mun, A­khir so­si­al i­ni se­ma­kin di­per­ce­pat dengan adanya internet
untuk me­me­gang­ la­wan bi­ca­ra a­tau orang yang kita dengar mau­pun te­le­vi­si. Ke­dua­nya me­ru­pa­kan alat pencipta berbagai si­
pembicaraannya­ a­kan sa­ngat su­lit. Meng­i­ngat fung­si jendela mu­la­si re­la­si so­si­al. Pem­ben­tuk masyarakat seperti batas sosial,­
untuk sirkulasi udara dan meng­intip. Peng­gu­na­nya pun, ­se­per­ti hie­rar­ki­so­si­al su­dah i­kut le­nyap. Alain juga menilai yang ada se­
Fajar, hanya akan bisa me­nik­ma­ti­nya da­ri ba­tas la­yar. Dia bi­sa ka­rang­i­ni bu­kan­lah sa­tu ko­mu­ni­tas yang diikat oleh satu ideologi
menantang temannya ber­ma­in kar­tu, bi­sa bercakap-­cakap de­ po­li­tik ter­ten­tu, me­la­in­kan sebuah perebutan antar individu.
ngan temannya yang jauh di Korea, bi­sa i­kut ak­tif da­lam dis­ku­ Ru­ang yang di­cip­ta­kan da­lam dunia maya telah menjauhkan­
si namun hanya sekadar melihat­a­tau men­de­ngar. da­ri re­a­li­tas ter­de­kat pe­ma­kai­nya, namun sebaliknya, ruang
Te­man a­tau ba­han dis­ku­si yang di­la­ku­kan di du­nia ma­ya ma­ya ju­ga men­de­kat­kan de­ngan realitas yang jauh dari aktivitas
me­mang ti­dak ma­ya. Ka­re­na ter­ka­dang o­rang yang ki­ta sa­pa o­rang i­tu. Se­ba­gai con­toh ak­si dukungan facebooker terhadap
a­da­lah o­rang yang ki­ta ke­nal, bah­kan dis­ku­si yang ki­ta i­ku­ti duo pim­pi­nan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M
me­ru­pa­kan i­su yang nya­ta, yang men­ja­di­kan­nya maya karena Hamzah dalam re­ka­ya­sa ka­sus yang me­nim­pa­nya. Dukungan
tidak adanya per­te­mu­an se­cara fisik di ruang tiga dimensi. yang besar dan me­lu­as tak pe­lak me­man­cing pe­me­rin­tah dan
Ki­ta li­hat sa­ja, ke­ti­ka Fajar ber­ha­sil ber­ko­mu­nikasi dengan Mahkamah Agung un­tuk mem­be­ri­kan deponeering ter­ha­dap
temannya­yang ber­ada di Korea, dia ha­nya a­kan bertemu de­ngan kasus Bibit-Hamzah ter­sebut.
tu­lis­an yang ter­pam­pang di la­yar. Ba­gai­ma­na tingkah lakunya A­tau­pun du­kung­an facebooker ter­ha­dap Prita Mulya Sari
saat i­tu, se­dang me­m­aka­i ba­ju a­pa, a­tau bagaimana interior da­lam­ ka­sus tun­tut­an RS Omni Internasional terhadap Prita
tempatnya­ ber­a­da wak­tu i­tu ha­nya a­kan dapat dibayangkan yang di­den­da­se­be­sar Rp 204.000 000,00 a­ki­bat ulahnya curhat
oleh Fajar. Per­te­mu­an­ se­per­ti i­tu­lah yang di­se­but ma­ya (semu). mengenai­ pe­la­yan­an RS. Omni Internasional di Internet.
Seperti bertemu, na­mun masing-­masing hanya bertatap dengan Dukungan yang be­sar ter­se­but te­lah meng­ge­rak­kan masyarakat
layar kaca. untuk mengumpulkan­ko­in se­ba­nyak mung­kin gu­na membantu
pembebasan Prita.
Nilai-nilai Sosial yang Kabur Pa­ra peng­gu­na facebook mung­kin ti­dak me­nge­nal Bibit,
In­ten­si­tas Fajar de­ngan du­nia maya membuatnya tercabut Hamzah, maupun Prita sebelumnya. Mungkin juga hanya me­­
dari re­a­li­tas ke­hi­dup­an yang nya­ta. Dia menjadi tidak nge­nal­sa­at dia mem­be­ri du­kung­an­nya. Tetapi pengetahuannya
peduli dengan se­su­a­tu yang ter­ja­di di sekelilingnya. Bahkan, yang sing­kat ten­tang ke­ti­ga o­rang ter­se­but tidak mengurangi
mungkin, Fajar ti­dak­ me­nge­ta­hu­i ji­ka te­tang­ga kos­nya sakit ke­i­ngin­an­nya­ un­tuk i­kut ter­li­bat da­lam ge­rak­an so­si­al dunia
dan membutuhkan ban­tu­an­nya. maya ter­se­but.­ Mes­ki­pun te­tang­ga mau­pun kerabat terdekat
juga mengalam­i si­tua­si yang sa­ma be­lum ten­tu orang itu ikut
Ak­ti­vi­tas­nya di du­nia ma­ya te­lah mengaburkan batas dan tergerak dalam du­kung­an­a­tau­pun ge­rak­an pengumpulan koin
ni­lai­so­si­al yang la­ma di­a­nut Fajar da­lam kehidupannya. Nilai- untuknya.
­nilai ten­tang so­li­da­ri­tas, ke­se­tia­ka­wan­an, nasionalisme, dan
nilai lo­ka­li­tas­ la­in­nya se­ma­kin hi­lang dari realitas sosial Fajar I­ni­lah rea­li­tas yang ter­ben­tuk dalam dunia maya. Nilai sosial
dan akhir­nya ha­nya men­ja­di mi­tos. Ni­lai yang menggantikannya yang dia­nut, me­nu­rut Yasraf Amir Piliang, menjadi transparansi
berubah men­ja­di­nilai universal. so­si­al. Ya­i­tu su­a­tu kon­di­si le­nyap­nya kategori sosial, batas sosial,
dan­hie­rar­ki so­si­al yang se­be­lum­nya membentuk masyarakat. Ti­
Alain Touraine da­lam Re­turn­ of the A­ctor: So­ci­al Theory in­ dak a­da la­gi ba­tas an­ta­ra ka­ya dan miskin, penguasa dan rakyat,
Postindustrial Society, me­li­hat pro­ses ter­se­but se­ba­gai akibat­ anak-­anak a­tau­pun dewasa, semuanya sejajar dan universal.
196 197
x Akhir Dari Realitas... Hasti Kusuma Dewi x

Peringkasan Ruang-Psikis q
Kumpulan
Yasraf Amir Piliang ju­ga me­nu­lis ten­tang jarak-ruang lewat­ Kaskuser regional
tek­no­lo­gi trans­por­ta­si, te­le­ko­mu­ni­ka­si, dan informasi telah Jogja. Di Jalan
meng­u­bah­ per­sep­si dan pan­dang­an manusia terhadap ruang ­Mangkubumi
dan wak­tu i­tu sen­di­ri. Per­sep­si ten­tang jarak, tempo, lambat (emperan KR).
Komunitas ini
laun kini meng­a­lam­i per­u­bah­an men­da­sar. Tem­pat yang ja­uh mengadakan temu
di­ra­sa dekat, be­gi­tu ju­ga yang de­kat men­ja­di ja­uh se­ca­ra psikis. antaranggota
Sama halnya de­ngan pan­dang­an ma­nu­sia ten­tang nya­ta atau ­setiap Rabu malam
fantasi, asli atau pal­su, realitas­atau simulasi.
Ti­dak pu­as de­ngan mem­ba­ca buku milik Yasraf, saya
mencari se­o­rang do­sen ah­li Psikologi, Pratiwi Wahyu Widarti, di

Dwi Fajar W
Universitas­ Negeri Yogyakarta. Namun, ternyata saya gagal me­
ne­mu­i­di ru­ang­an­nya. Lang­kah te­rak­hir menghubunginya lewat
ber­ta­nya pada mesin pen­cari,­Google, da­ri­pa­da te­man ataupun
pe­san sing­kat me­la­lui handphone. Gayung bersambut. Dosen
dosen. Ruang maya lebih bi­sa mem­bu­at­nya nya­man da­ri pa­da
yang ak­tif da­lam ber­ba­gai ke­gi­at­an so­si­al khu­sus­nya tentang
bergabung dalam obrolan du­nia nya­ta.
anak-anak ber­ke­bu­tuh­an khusus ini membalas pesan saya.
Pe­mak­na­an ter­ha­dap ru­ang sen­di­ri memang sudah dianggap­
So­re i­tu, se­ki­tar pu­kul em­pat sore, saya berhasil menemuinya­
bu­kan ke­bu­tu­han psi­kis la­gi, tetapi menjadi alat pemenuhan
di­ se­bu­ah ka­fe yang ter­da­pat di Karangmalang, UNY. ­Sambil
ha­srat­ a­kan per­be­da­an dan ke­pu­a­sa­an. Pemaknaan ini hanya
me­nik­ma­ti­ san­tap­an sore­nya, dia berkomentar tentang
oleh ma­nu­sia itu sendiri.
psikologi ma­nu­sia ter­ha­dap tum­buh kem­bang­nya teknologi,
khususnya in­ter­net. Ma­nu­sia mu­lai di­per­bu­dak oleh teknologi. Pem­bi­ca­ra­an i­ni ber­lan­jut pa­da pendapatnya tentang
Alat yang ha­rus­nya di­cip­ta­kan un­tuk mem­ban­tu manusia, kejadian i­ni ha­nya se­bu­ah eu­fo­ria. Ti­dak a­da da­lam sebuah
malah membuat men­ja­di bu­dak­nya. “Yang ideal manusia harus euforia yang ti­dak a­kan ber­ak­hir. “Se­per­ti du­lu manusia kenal
mampu menguasai a­lat ter­se­but,” terangnya. dengan telepon geng­gam,­e­ufo­ria­nya ber­le­bih­an, namun lama-
lama akan bosan ju­ga,”­jelasnya.
Ruang-­ruang yang ter­cip­ta di du­nia nyata harusnya bisa
di­kem­ba­li­kan ke­pa­da ma­nu­sia. Contoh kecil yang diberikan
pada per­bin­cang­an so­re i­tu me­nge­nai kecanduannya manusia Kembalinya Manusia ke Dunia Nyata
terhadap ru­ang yang ti­dak nya­ta dalam sebuah reuni. A­pa­kah re­a­li­tas yang se­sung­guh­nya benar-­benar telah ter­gan­
Se­mi­sal reu­ni ter­se­but diadakan di sebuah rumah makan. ti­­kan­ se­pe­nuh­nya de­ngan realitas yang terbentuk dalam dunia
Se­mua­ ber­kum­pul da­lam me­ja yang sama agar tercipta obrolan ma­ya? Per­ta­nya­an i­ni meng­ge­rak­kan saya untuk mengetahuinya
yang hangat.­ Na­mun, yang ter­ja­di ma­lah pe­ser­ta reuni sibuk le­bih lan­jut ke­pa­da pa­ra pegiat bisnis dalam dunia maya.
dengan pe­ra­lat­an e­lek­tro­nik­nya, te­le­pon genggam. Entah itu A­wal per­ja­lan­an sa­ya un­tuk mengetahuinya dimulai dari se­­
facebook-an,­ twitter-an atau SMS. “A­khir­nya me­re­ka ber­hu­bu­ bu­­ah ka­fe. Te­pat­nya di da­e­rah Ja­lan Pawiro Kuat, nomor 25,
ngan dengan alat,”­tegasnya. Mancasan,­Sleman, Yogayakarta. Wak­tu i­tu se­ki­tar pukul 19.30
O­rang yang te­lah ke­can­du­an, se­per­ti Fajar, merupakan WIB. Sa­ya di­sam­but o­leh se­o­rang pria ber­pe­ra­wakan tinggi
korban da­ri tum­buh kem­bang tek­no­lo­gi i­ni. Dimana pertemuan besar. Na­ma­nya Novian Saputra atau yang akrab disapa Ian.
secara fi­sik di ru­ang ti­ga di­men­si su­dah tidak menjadi berarti. Ian lan­tas me­nga­jak sa­ya un­tuk me­ne­ngok lapaknya di
Ketika dia me­mi­lih me­nya­pa teman-­temannya lewat internet sebuah blog ko­m­uni­tas KasKus. Ha­nya ber­ja­lan be­be­ra­pa
daripada berta­tap mu­ka lang­sung. Me­nu­rut­nya hal tersebut langkah saja da­ri tem­pat ka­mi du­duk. Te­pat­nya di meja kasir,
sama saja dengan dia­ me­nya­pa te­man­nya se­ca­ra langsung. di sana ada se­pe­rang­kat­ kom­pu­ter yang lan­tas mengantarkan
Bahkan dalam ruang ku­li­ah pun, sa­at dis­ku­si, dia le­bih me­mi­lih saya dan Ian me­ma­suk­i­lapaknya.
198 199
x Akhir Dari Realitas... Hasti Kusuma Dewi x

Da­gang­an kaos­nya ter­pam­pang di la­yar. Harga dan nomor Ko­mu­ni­tas ter­se­but ter­ga­bung karena keinginan dari ang­go­
te­le­pon Ian pun ter­te­ra di sa­na. Hal tersebut untuk memudahkan ta­nya­un­tuk ber­te­mu se­ca­ra lang­sung di du­nia nya­ta. Per­bin­cang­
pem­be­li­nya. Tran­sak­si­nya pun cukup praktis. Tinggal mengirim an yang di­la­ku­kan pun sa­ma de­ngan yang dilakukan di dunia
pe­san sing­kat ber­i­si ko­de barang yang diinginkan ke nomor Ian. maya. Hal i­ni ka­re­na su­dah dekatnya mereka di dunia tersebut.
La­lu me­ngi­rim­kan u­ang le­wat rekening yang telah disepakati Ke­hi­dup­an nya­ta yang di­tan­da­i de­ngan bertemunya
ma­ka ba­rang a­kan lang­sung dikirim oleh Ian. manusia­ se­ca­ra fisik di ru­ang ti­ga dimensi, ternyata masih
Na­mun, ber­be­da ji­ka pem­be­li berasal dari sesama daerah, berlaku di hukum­ du­nia ma­ya. Namun pertemuan ini hanya
ser­ta­ i­ngin me­ngu­rang­i bi­a­ya pe­ngi­ri­man barang dengan pos. sekadar perpanjangan­ta­ngan da­ri du­nia ma­ya­nya. Yang terjadi
Pem­beli­ dan pedagang tinggal menentukan tempat bertemu justru sebaliknya. Kini du­nia nya­ta ma­lah men­ja­di ruang yang
un­tuk­ me­la­ku­kan tran­sak­si jual-­beli ter­se­but. Jadi, internet dibuat untuk memfasilitasi­ un­tuk me­re­ka ka­re­na ke­ter­ba­tas­
hanya di­ja­di­kan­se­ba­gai me­dia i­klan da­lam hal ini. Lalu untuk an di dunia maya maka memakai ru­ang ti­ga dimensi untuk
melanjutkan per­jan­ji­an­yang di­la­ku­kan di internet diadakanlah merampungkannya.
pertemuan secara ru­tin un­tuk menyelesaikannya. Pe­tua­lang­an Fajar da­lam du­nia maya mengantarkannya
Ian ju­ga ter­li­bat ak­tif da­lam pertemuan rutin yang diadakan men­jadi­ ma­nu­sia yang ba­ru. Migrasi manusia dari relitas
o­leh pa­ra pe­gi­at ko­mu­ni­tas online. Tanpa pikir panjang saya ruang nyata me­nu­ju rea­li­tas du­nia ma­ya telah mereduksi nilai-
pun me­na­war­kan di­ri un­tuk i­kut dalam pertemuan yang nilai tradisional yang se­la­ma i­ni di­a­nut dan te­lah membentuk
dilaksanakan ti­ap Rabu ma­lam di Jalan Mangkubumi, di kesatuan masyarakat. Te­ta­pi du­nia ma­ya ju­ga telah memberikan
emperan kantor surat ka­bar Yogyakarta itu. nilai tersendiri tentang trans­pa­ran­si so­si­al yang lebih universal
Se­ming­gu ke­mu­di­an, sa­ya ba­ru bisa mengikuti pertemuan yang tak terbatas ruang dan wak­tu.
ru­tin­ ter­se­but. Sa­ya ke­mu­di­an ber­ga­bung dengan salah satu Ru­ang ma­ya te­lah mem­be­ri­kan ruang yang tidak terbatas
ke­lom­pok­ ke­cil di sa­na. Se­te­lah mem­per­ke­nal­kan diri dan un­tuk­ me­mu­as­kan has­rat manusia yang tidak ter-cover dalam
menyatakan­ mak­sud­ ke­da­tang­an sa­ya, me­re­ka menyambut dunia nya­ta. Te­ta­pi pa­da ak­hir­nya ma­nu­sia akan kembali
hangat kehadiran­ sa­ya.­ Ke­mu­di­an me­re­ka pun mem­per­ke­ pada realitas fi­sik­nya. Se­per­ti se­o­rang yang terbangun dalam
nal­kan namanya. Lelaki­ yang men­ja­wab per­ta­nya­an a­wal saya mimpinya, manusia­ te­tap a­kan kem­ba­li da­lam interaksi fisik,
tadi namanya Riyan, leng­kap­nya­ Riyan Jogja, la­lu se­be­lah­nya meskipun nilainya telah ber­be­da de­ngan saat sebelum manusia
ada Kandra, sedangkan pe­rem­pu­an ber­ka­ca ma­ta yang du­ itu tertidur.3
duk paling utara bernama Putky. Me­re­ka me­na­ma­kan diri
Pengusaha Muda Jogja (PMJ).
Daftar Pustaka
Se­di­kit ber­te­ri­ak me­la­wan ke­ra­mai­an satu persatu men­cerita­ Gibson, Wiliam. (1993). Neuromancer. New York: Harper Collin Publisher.
kan­ se­ja­rah me­re­ka ma­suk ke­lom­pok tersebut. Saya ke­mu­di­an­
Harvey, David. (1990). The Condition of Postmodernity. Cambridge: Basil
tertarik pa­da Putky. Bu­kan ka­re­na dia satu-­satunya pe­rem­pu­an Blackwell.
yang ada di­ sana, me­la­in­kan ka­re­na ki­sah­nya. Dia me­rupa­kan
Piliang, Yasraf Amir. (2004). Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-
orang yang te­lah men­ci­cip­i bisnis di dunia nyata dan maya. batas Kebudayaan. Bandung: Jalasutra.
Du­lu­nya, dia per­nah me­mi­lik­i sebuah rumah makan. Namun,
Sugiana, Dadang. (2010). “Tren Komunikasi Dunia Maya dan Dampaknya
dia­ha­rus se­ge­ra me­re­la­kan keinginannya untuk melanjutkan ru­ ­Pada Intensitas Interaksi Tatap Muka”. Tersedia pada http://
mah­ ma­kan ter­se­but ka­re­na bangkrut. Setelah itu, Putky ingin dankfsugiana.­wordpress.com. Diakses tanggal 18 Januari 2011
be­la­jar bis­nis me­la­lui me­dia online. Lama-kelamaan, dia bisa jadi
Touraine, Alan. (1998). Return of the Actor: Social Theory in Postindustrial
ma­suk blog i­ni: KasKus. Se­te­lah me­nge­ta­hui banyaknya pilihan Society. Minnesota: Minnesota University Press.
dan ke­me­na­rik­an­nya dia mu­lai ber­ga­bung. Tidak lama kemudian
dia i­kut da­lam per­kum­pul­an i­ni. “Ini me­ru­pa­kan pengalaman Virilio, Paul. (1991). Lost Dimension. New York: Semiotext(e).
per­ta­ma saya,” terangnya kemudian.
200 201
p
Epilog
Purnawan
Status Sosial-
Basundoro Ekonomi ­Warga
Sebagai Basis Pembagian Ruang Kota

Pada tahun 1991, tanpa sebuah kesalahan apapun, saya ­ber­sa­ma­


be­be­ra­pa te­man “diusir” dari kos saya di Terban, dengan­ a­la­san
bah­wa tem­pat tersebut akan direnovasi. Tempat kos yang sa­ngat
se­der­ha­na, yang hanya berdinding gedhek, yang sudah sa­ya tem­
pat­i selama satu tahun pun akhirnya saya tinggalkan.
Pa­da so­re ha­ri se­te­lah Maghrib, dengan diangkut dua buah
becak,­ sa­ya pin­dah­an ke kos baru di Blimbingsari. Sebagai se­
orang­pen­da­tang yang belum begitu paham dengan seluk-beluk­
dan kon­di­si Kota Yogyakarta, saya memilih pindah ke kam­pung­
Blimbingsari,­yang berjarak sekitar satu kilometer dari kam­pus
tem­pat sa­ya kuliah di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah­Mada.­
Pi­lih­an un­tuk tinggal di Blimbingsari semata-mata­ ka­re­na ja­
rak ke kam­pus tidak terlalu jauh, sehingga tidak me­mer­lu­kan
ong­kos tam­bah­an untuk naik angkutan kota. Cu­kup­ ber­ja­lan
ka­ki se­ki­tar li­ma belas menit sudah sampai di kam­pus.­ Mak­
lum, uang saku bulanan sangat terbatas.
204 205
x Status Sosial-Ekonomi... Purnawan Basundoro x

Be­be­ra­pa sa­at se­su­dah sa­ya tinggal di Blimbingsari, suatu yang wajar, baik dari segi tempat maupun dari segi ke­la­yak­an.1
so­re sa­ya duduk-­duduk de­ngan beberapa kawan di depan ka­ Blimbingsari bukanlah satu-satunya makam yang ter­gu­sur. Di
mar­ kos. Tem­pat yang di­gu­na­kan un­tuk duduk-duduk adalah Yogyakarta terdapat beberapa tempat la­in­de­ngan ka­sus se­ru­pa,
se­bu­ah tem­pat du­duk me­man­jang yang terbuat dari beton cor. yaitu Badran, Kompleks Masjid Kampus­UGM, dan Sagan.
Se­mu­la sa­ya me­ngi­ra bahwa yang saya duduki benar-benar di­ Blimbingsari, Badran, Kompleks Masjid Kampus UGM,
bu­at un­tuk tem­pat du­duk. Namun, beberapa saat kemudian sa­ dan Sagan ada­lah ba­gi­an dari sebuah kenyataan ketika kota-
ya mu­lai cu­ri­ga ka­re­na tempat duduk tersebut salah satu u­jung­ ­kota ber­kem­bang tidak terkendali akibat kenaikan jumlah
nya mem­ben­tuk ling­kung­an, persis seperti makam untuk­o­rang penduduk yang terjadi secara simultan dan tidak dibarengi
Cina. Ke­cu­ri­ga­an sa­ya pun akhirnya terjawab, ketika pa­da su­ dengan kebijakan untuk membagi dan menata ruang secara
a­tu ke­sem­pat­an sa­ya ber­ta­nya kepada teman-teman yang le­bih adil oleh pemegang otoritas kota. Ketika para penghuni kota
da­hu­lu ting­gal di tem­pat tersebut. Mereka menjawab bah­wa­ atau orang-orang yang tertarik untuk tinggal di kota dibiarkan
tem­pat yang ki­ta ja­di­kan a­rea untuk duduk-duduk memang­se­ untuk bersaing secara bebas, maka akan terjadi proses di mana
bu­ah ba­ngun­an ma­kam Cina. Saya baru sadar, bahwa kampung ruang-ruang kota yang masih terbuka diperebutkan secara bebas
Blimbingsari a­da­lah be­kas ma­kam Cina yang digusur oleh para pula.2 Bahkan tidak jarang ruang kosong yang sudah memiliki
pen­da­tang un­tuk dijadikan tempat tinggal. legalitas klaim, yang mestinya bukan lagi ruang kosong karena
Be­be­ra­pa ta­hun ke­mu­di­an, setelah saya intensif mempelajari­ sudah ada otoritas di tempat itu, diabaikan begitu saja oleh
ruang-­ruang ko­ta, sa­ya ba­ru pa­ham bahwa terbentuknya kam­ individu atau kelompok yang merasa memiliki kekuatan untuk
pung­ Blimbingsari me­ru­pa­kan hasil dari sebuah perebutan menduduki ruang tersebut.3
ru­ang. Wa­lau­pun ka­wa­san Blimbingsari pada awalnya adalah Menilik kenyataan tersebut maka sejatinya antara ke­na­ik­
se­bu­ah ma­kam, bu­kan ber­ar­ti perebutan ruang yang terjadi di an jumlah penduduk yang tidak terkendali yang ber­ujung pa­da
ka­wa­san ter­­se­but a­da­lah an­ta­ra yang telah mati dengan yang kebutuhan akan ruang, ruang kota yang terbatas, dan ke­ku­atan
te­lah hi­dup. Blimbingsari a­da­lah hasil dari sebuah pertarungan (powers) yang dimiliki oleh kelompok maupun in­di­vi­du peng­
an­ta­ra pa­ra pe­wa­ris da­ri yang telah dimakamkan, dengan para huni ko­ta me­mi­li­ki keterkaitan yang erat yang ber­ujung pada
pen­da­tang yang mem­bu­tuh­kan tempat tinggal. Kekalahan para klaim terhadap ruang kota. Jika klaim dilawan oleh klaim yang
pe­wa­ris te­lah me­nye­bab­kan le­lu­hur mereka merana di dalam lain, maka sebuah proses pe­re­but­an ru­ang kota tengah terjadi.
ma­kam,­ ka­re­na di a­tas mereka telah muncul kehidupan baru Proses semacam ini hampir me­lan­da semua kota di dunia di mana
yang ti­dak layak muncul di tempat tersebut. 1
Baik para penganut agama maupun para pengemban tradisi yang berakar dari
Re­al­itas yang ter­jadi di Blimbingsari adalah contoh betapa­ kesukuan,­ makam biasanya dianggap sebagai tempat yang keramat dan harus dihormati
­karena di tempat tersebut berbaring makhluk sejenis yang akan menghadap Sang Pencipta.
pro­ses pe­re­but­an ru­ang di ko­ta be­sar sudah melembaga se­de­ Dalam agama Islam misalnya terdapat petunjuk, aturan sopan-santun, perilaku, atau adab di
mi­kian­k­eras, se­hing­ga makam yang mestinya menjadi tempat­ makam, antara lain dilarang duduk-duduk di atas makam. Terdapat hadist nabi yang menga-
takan bahwa melompati atau menduduki makam adalah perbuatan yang tidak disukai atau
yang te­nang un­tuk tempat beristirahat orang-orang yang su­ makruh. Masyarakat penganut tradisi Jawa sangat percaya bahwa makam adalah salah satu
dah­ per­gi ke “a­lam sa­na” masih harus terganggu dengan ke­ tempat keramat yaitu tempat tinggal roh-roh nenek moyang, sehingga pada hari-hari tertentu
harus dibersihkan serta dibacakan doa-doa. Anak-anak yang tiba-tiba sakit, sering dikait-kait-
ha­dir­an­ manusia-­manusia kuburan. Bisa jadi mereka yang te­ kan dengan para “penunggu” di makam-makam keramat. Makam adalah salah satu tempat
ngah is­ti­ra­hat­ di alam lain tidak lagi RIP dalam arti Requiem­ yang harus dihormati selain masjid. Lihat A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maraam Berikut Ke­te­
rangan dan Penjelasannya, Bangil: Pustaka Tamam, 2001, hlm. 261. Clifford Geertz, Abangan,
in Pacem atau rest in peace (istirahat dalam ketenangan), tetapi Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989, hlm. 91-103
rest in panic (istirahat dalam kepanikan) karena ruang mereka­ 2
Sejak merdeka, Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus
mengatur penggunaan tanah di perkotaan. Undang-undang pertanahan yang telah ada be-
tergusur­oleh pen­da­tang la­in. serta peraturan di bawahnya sangat dipengaruhi oleh semangat pengaturan tanah untuk
pertanian, bukan pengaturan tanah untuk tempat bermukim di perkotaan. Akibatnya pada
Blimbingsari adalah contoh perebutan ruang yang sudah setiap masa selalu muncul kasus-kasus pertanahan di perkotaan yang selalu berakhir dengan
mencapai taraf excessive (keterlaluan)­ karena sudah­ me­le­wa­ konflik antar individu atau kelompok yang memperebutkan tanah tersebut.
Legalitas klaim atas tanah biasanya dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat,
ti batas-­batas ke­wa­jar­an moral secara umum. Jika di­pan­dang­
3

pethok D, letter C, dan lain-lain. Namun legalitas yang paling kuat dibuktikan dengan kepemi-
me­la­lui kacamata orang-orang yang bisa memperoleh­ ru­ang likan sertifikat tanah. Sarjita, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi
Daerah, Yogyakarta: Tugu Jogja Pustaka, 2005.

206 207
x Status Sosial-Ekonomi... Purnawan Basundoro x

kenaikan jumlah pendu­duk kota tidak terkendali dan tidak diikuti Kota-kota di Jawa mulai mengalami berbagai persoalan ke­
kebijakan untuk mem­bagi ruang kota secara adil dan legal. ti­ka mu­lai ter­ja­di per­ubah­an yang amat drastis dari ko­ta tra­di­
Pembagian ruang ko­ta secara adil mustahil dila­ku­kan ma­ si­o­nal me­nu­ju ke ko­ta mo­dern. Me­nu­rut Wertheim, kota-kota
na­kala kota ha­nya me­mi­liki ruang yang amat terbatas, se­men­ di Indonesia mengalami loncatan perubahan yang men­dasar
tara ruang tersebut tidak ubahnya sebagai sebuah ko­moditi.4 se­te­lah tahun 1870. Liberalisasi ekonomi yang dimulai setelah
Dalam hukum komoditi maka siapa yang me­mi­liki modal yang di­sah­kan­nya Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang
lebih besar dan lebih baik, ­apapun bentuknya, maka dialah yang Gula, te­lah meningkatkan perdagangan dan industri, mem­per­
akan berhasil menguasai ruang tersebut. luas ad­mi­nis­trasi si­pil, dan meng­aki­bat­kan ke­naik­an ce­pat jum­
lah pen­du­duk perkotaan di Jawa.6 Sensus pen­du­duk ta­hun 1920
Jika hal ter­se­but yang ter­ja­di ma­ka per­ta­nya­an ki­ta ada­lah, di
men­ca­tat bah­wa 6,63 persen pen­du­duk Jawa ting­gal di ko­ta, dan
ma­na po­si­si rak­yat miskin perkotaan memperoleh t­ empat? Rak­
pa­da sen­sus pen­du­duk ta­hun 1930 pen­du­duk yang ting­gal di ko­
yat mis­kin ada­lah ke­lom­pok yang me­mi­li­ki mo­dal yang amat
ta me­lon­jak men­ja­di 8,7 persen. Da­ri jum­lah ter­se­but, 3,8 per­sen
mi­ni­mal. Di ko­ta-ko­ta yang dikembangkan dengan me­nge­de­
ting­gal di kota-kota yang ber­pen­du­duk le­bih da­ri 100.000 jiwa.7
pan­kan ide-ide li­be­ral dan ka­pi­ta­lis ma­ka orang mis­kin ada­lah
beban bagi sebuah kota. Tidak ada tempat yang layak ­ba­gi orang Tingginya pertumbuhan penduduk kota sebelum Indonesia
mis­kin un­tuk me­nem­pat­i ru­ang ko­ta. Ji­ka ke­nya­ta­an­nya sam­pai mer­de­ka di­se­bab­kan ka­re­na ting­gi­nya arus mi­gra­si da­ri desa ke
saat ini me­re­ka ma­sih bi­sa mem­per­ta­han­kan di­ri un­tuk ting­gal ko­ta. Peng­hitungan penduduk tahun 1940 mencatat bahwa ­lebih
di ko­ta, ma­ka hal ini ter­ja­di ka­re­na be­be­ra­pa ala­san. da­ri se­tengah penduduk kota Bandung, Batavia, dan Surabaya
di­la­hir­kan di luar batas kota tersebut, namun mayoritas dilahir­
Pertama, ko­ta te­lah men­ja­di tem­pat yang nya­man un­tuk hi­
kan di propinsi di mana kota tersebut terletak.8 Me­lon­jak­nya
dup dan ber­tem­pat ting­gal di­ban­ding­kan de­ngan ka­wa­san la­in,
ke­da­tangan orang-orang Eropa ke kota-kota di Indonesia bi­sa
ka­ta­kan­lah de­sa. Kedua, ti­dak ada pi­lih­an la­in se­la­in ber­ta­han
ja­di me­ru­pa­kan fak­tor pe­nen­tu yang me­la­hir­kan mo­der­ni­sa­
di kota dengan segala resiko yang harus terus-menerus di­ha­
si ko­ta. Ke­pu­tus­an me­re­ka un­tuk me­mi­lih ting­gal di se­ba­gi­an
dapi, yaitu bertahan atau melawan. Eksistensi rakyat mis­kin di
be­sar kota-kota di Indonesia telah mela­hir­kan tun­tut­an ada­nya
kota merupakan bagian dari paradoks kota, pada satu sisi ko­ta
oto­no­mi ko­ta yang di­re­ali­sa­si­kan de­ngan di­ben­tuk­nya pe­me­
diang­gap meng­ha­sil­kan dan men­ja­di sum­ber da­ri per­adab­an te­
rin­ta­han ko­ta yang oto­nom (gemeente).9 Mo­der­ni­sa­si ko­ta-kota
ta­pi pa­da sa­at yang ber­sa­ma­an ko­ta ju­ga me­la­hir­kan ma­sya­ra­kat
itulah yang pada akhirnya memancing proses mi­gra­si yang
yang “kurang beradab”. Ke­nya­ta­an se­ma­cam ini bu­kan­lah ke­nya­
lebih besar. Orang-orang dari desa ber­bon­dong-bon­dong da­
ta­an se­sa­at te­ta­pi la­hir me­la­lui pro­ses se­ja­rah yang amat pan­jang
tang ke kota untuk men­ca­ri peng­hi­dup­an ba­ru yang le­bih men­
me­la­lui per­saing­an an­ta­ra yang “ber­adab” dan yang “ti­dak ber­
adab”. Da­lam pro­ses se­ja­rah yang panjang itulah ­pro­ses ber­ta­han ada Jalan Lain: Revolusi tersembunyi di Negara Dunia Ketiga, Jakarta: Yayasan Obor Indo-
nesia, 1991, Petrick McAuslan, Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata, Jakarta:
dan melawan dalam rangka mem­per­oleh ruang un­tuk hi­dup te­ Gramedia, 1986, terutama Bab IV.
rus-menerus dilakukan.5 6
W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, hlm. 138.
4
Dalam kasus Indonesia berbagai kebijakan yang memiliki muatan untuk membagi 7
Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel, Volkstelling 1930, Java en
ruang secara fisik hanya bisa diberlakukan di daerah pedesaan karena konteks pembagian ru- Madoera, Batavia Centrum: Landsdrukkerij, 1931. W. Brand dalam salah satu artikelnya me-
ang tersebut lebih bernuansa agraris. Beberapa undang-undang yang mengatur pembagian ru- nyodorkan data yang cukup luas sebagai perbandingan. Pada tahun 1930 jumlah penduduk
ang secara fisik (tanah) yang cukup monumental antara lain Agrarisch Wet 1870 dan Undang- Indonesia yang tinggal di kota mencapai 3,8 persen, dari jumlah tersebut penduduk yang
Undang Pokok Agraria 1960. Bahkan aturan tentang pembagian tanah (landreform) yang tinggal di kota-kota di Jawa dan Madura mencapai 4,7 persen dan di kota-kota pulau-pulau
digariskan dalam UUPA 1960 tidak pernah bisa dijalankan lagi secara wajar, walaupun di lain hanya 2 persen. Prosentase tersebut meningkat tajam pada tahun 1961. Pada tahun
pedesaan, sejak undang-undang tersebut diundangkan. Artinya, terdapat problem yang men- tersebut penduduk Indonesia yang tinggal di kota mencapai 14,8 persen, khusus kota-kota di
dasar berkaitan dengan proses pembagian ruang secara fisik, sekalipun di desa yang masih Jawa dan Madura dihuni oleh 15,6 persen dan di kota-kota pulau pulau lain melonjak sampai
memiliki ruang yang relatif luas. Lihat Andi Achdian, Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreform 13,3 persen. W. Brand, “Some Statistical Data on Indonesia,” dalam Bijdragen tot de Taal-,
pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965, Bogor: Kekal Press, 2009. Land- en Volkenkunde, Deel 125, 1969, hlm. 308.
5
Perlawanan rakyat miskin kota dalam rangka memperoleh ruang untuk hidup mun- 8
Ibid., hlm. 259; Graeme J. Hugo, “Population Movements in Indonesia during the
cul dalam bentuk yang amat beragam, terutama di negara-negara dunia ketiga di mana Colonial Period,” dalam J.J. Fox et al. (ed.), Indonesia: Australian Perspectives, Canberra:
kemampuan negara untuk mengelola rakyat miskin di perkotaan masih amat terbatas serta Research School of Pasific Studies, ANU, 1980, hlm. 95-136.
tingginya angka urbanisasi di kota-kota besar. Kasus-kasus semacam ini banyak muncul di 9
F.W.M. Kerchman, 25 Jaren Decentralitatie in Nederlandsch-Indie 1905-1950,
Amerika Latin, Asia Selatan dan Tenggara, serta di Afrika. Lihat Hernando de Soto, Masih Semarang: Vereeniging voor Locale Belangen, 1930.

208 209
x Status Sosial-Ekonomi... Purnawan Basundoro x

jan­ji­kan se­ka­li­gus me­nik­ma­ti ko­ta yang te­lah me­la­hir­kan ima­ ber­akhir ge­rakan untuk memasuki kota ber­langsung kem­bali,
ji­na­si-ima­ji­na­si ba­ru ba­gi ka­um pen­da­tang. bahkan dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan
Terdapat beberapa alasan mengapa setelah tahun 1870 ke­da­ jumlah penduduk kota yang keluar ketika terjadi pe­ngung­sian.
tang­an orang-orang Eropa ke Indonesia me­lon­jak se­ca­ra dras­tis. Ke­ti­ka kota-kota mulai aman dan aktivitas perekono­mian mulai
Per­ta­ma, po­li­tik ko­lo­ni­al yang se­di­kit de­mi se­di­kit me­ning­gal­kan ber­ge­rak kembali, kota men­ja­di sa­lah satu tujuan dari masyarakat
cultuurstelsel me­nun­jang per­kem­bangan per­ke­bun­an mi­lik pri­ pe­de­sa­an untuk meng­adu dan mengubah nasib. Kondisi ini telah
ba­di dan men­ja­di­kan Indonesia se­ba­gai ko­lo­ni un­tuk pe­mu­kim­ me­nye­bab­kan jum­lah pen­duduk di kota besar terutama di Jawa
an. Kedua, ke­lan­car­an trans­por­ta­si an­ta­ra Belanda dan Indonesia me­nga­la­mi lon­jakan yang cukup tajam.13
te­lah mem­per­mu­dah ke­da­ta­ngan wa­nita-wa­ni­ta Belanda, setelah Sejak zaman kolonial sampai awal kemerdekaan, baik pe­me­
dicabutnya larangan membawa wanita Eropa ke ­Indonesia sejak rin­tah ko­lo­nial Belanda maupun pemerintah Indonesia, ti­dak per­
awal abad ke-19.10 nah meng­an­ti­si­pa­si ke­naik­an jum­lah pen­du­duk di per­ko­ta­an yang
Kedatangan wanita-wanita Eropa ke Indonesia mengakibat­ sa­ngat cepat ter­sebut, baik yang ber­si­fat pre­ven­tif de­ngan ca­ra
kan kondisi masyarakat di kota-kota besar tampak lebih homo­ mem­ba­tas­i jum­lah ke­la­hir­an dan me­ngu­ra­ngi arus mi­gra­si mau­
gen karena sejak saat itu bagian terbesarnya adalah ­wanita pun de­ngan ca­ra me­naik­kan daya dukung ko­ta. Pa­da­hal ke­naik­an
Eropa. Perkawinan campuran semakin hilang, dan pria-pria jum­lah pen­du­duk ter­se­but ber­akibat cu­kup fa­tal pa­da kon­disi ke­
Eropa mempunyai kesempatan untuk mengukuhkan kembali se­jah­te­ra­an ma­sya­rakat ter­uta­ma ma­sya­ra­kat ke­las ba­wah.
ikat­an perkawinan ideal dengan sesama orang Eropa.11 Dengan Kenaikan jumlah penduduk yang tidak diikuti dengan
per­kawinan tersebut maka mereka membangun keluarga yang daya dukung kota yang memadai, akan memicu timbulnya
meng­hasilkan keturunan-keturunan di Indonesia. kemiskinan. H.F. Tillema seorang apoteker di Kota Semarang
Uraian di atas menunjukkan bahwa sudah sejak sebelum pada awal abad ke-20 amat tertegun ketika menyaksikan kota-
pe­rang jumlah penduduk di kota-kota besar di Indonesia su­ kota di ­Indonesia ternyata dihuni oleh sebagian besar pen­du­duk
dah sangat tinggi. Namun perubahan yang amat drastis terja­di pri­bumi yang amat miskin. Kemiskinan mereka terlihat ­de­ngan
setelah Indonesia berhasil keluar dari peperangan pasca pro­kla­ jelas pada kondisi pemukiman-pemukiman pribumi di ber­ba­gai
masi kemerdekaan. Selama periode perang penduduk di be­be­ra­ ko­ta di Indonesia, ter­utama di Kota Surabaya dan Semarang.14
pa kota besar di Indonesia dengan terpaksa harus ke­lu­ar dari kota Beberapa kota besar di Indonesia harus menanggung ­beban
mereka ke daerah-daerah pengungsian.12 ­Namun, setelah pe­rang yang lebih berat akibat kenaikan penduduk terutama yang di­
se­bab­kan oleh arus migrasi. Hal ini disebabkan karena pa­da pe­
VOC pernah membuat larangan keras yang diperuntukkan bagi para pegawain-
ri­ode ko­lo­nial sampai awal kemerdekaan ketika kota yang ber­
10

ya untuk tidak membawa serta wanita-wanita dari Eropa dengan alasan untuk menghemat
pengeluaran untuk membiayai pengiriman perempuan dari Eropa. Dengan adanya larangan kem­bang ba­ru se­di­kit, arus mi­gra­si hanya menuju ke sedikit
ini maka VOC memperbolehkan adanya pergundikkan serta perkawinan sah dengan pen-
duduk lokal. Larangan tersebut baru dicabut ketika VOC bubar. Jean Gelman Taylor, Kehidu-
ko­ta besar se­hing­ga ter­ja­di pe­num­puk­an orang-orang miskin
pan Sosial di Batavia, Jakarta: Masup Jakarta, 2009, hlm. 25 di kota-kota tersebut.15
11
Data statistik tahun 1905 menunjukkan bahwa pada tahun 1900 terdapat 23.000
wanita Eropa, suatu keadaan yang menunjukkan kontras yang mencolok dengan abad-abad Penelitian demografis yang dilakukan di beberapa kota se­
sebelumnya. Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan, Jakarta:
Gramedia, 2000, hlm. 80
per­ti di Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Surakarta,
12
Beberapa peristiwa yang menyebabkan penduduk di beberapa kota besar harus ­Yogyakarta, dan Makassar setelah perang mengungkapkan
keluar dari kota mereka antara lain, pertama ketika kota Surabaya diserang oleh pasukan
Sekutu selama bulan Oktober dan Nopember tahun 1945. Perang besar yang berkobar di
keadaan yang bahkan lebih buruk dibandingkan dengan
kota ini telah menyebabkan ribuan penduduk harus menyelamatkan diri ke daerah yang
lebih aman di luar kota. Bahkan pemerintahan kota dan propinsi yang berkedudukan di
kota Surabaya juga harus mengungsi. Lihat Roeslan Abdulgani, Api Revolusi di Surabaja, 13
W. Brand, “Some Statistical Data on Indonesia,” dalam Bijdragen tot de Taal-,
(Surabaja: Ksatrya, 1964), hlm. 43, Kementrian Penerangan, Djawa Timur, Djakarta: Ke- Land- en Volkenkunde, Deel 125, 1969, hlm. 308.
mentrian Penerangan, 1952. Kedua, sebagai konsekuensi dari perjanjian Renville tentara 14
H.F. Tillema, Kromoblanda: Over ‘t Vraagstuk van “het Wonen” in Kromo’s Grote
yang masih berada di luar wilayah Republik Indonesia harus keluar dari wilayah tersebut Land, 6 Jilid, ’s-Gravenhage: uden Masman, De Atlas dan Adi Poestaka, 1915-1923.
menuju ke kantong-kantong republik. Akibatnya, kota Jakarta dan Bandung ditinggalkan oleh 15
Lihat Gavin Jones, ”Demografi dalam Kemiskinan di Kota,” dalam Dorodjatun
sebagian besar tentara dari Divisi Siliwangi beserta keluarga-keluarga mereka dalam jumlah Kuntjoro-Jakti (peny.), Kemiskinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986, hlm.
yang cukup besar (hijrah). 38-56.

210 211
x Status Sosial-Ekonomi... Purnawan Basundoro x

kondisi di Jakarta (Batavia) pada tahun 1930-an.16 Kondisi ini Hal itu terjadi karena pemukiman miskin di perkotaan ­secara
terjadi karena kota-kota di Indonesia sebenarnya tidak pernah umum akan menciptakan persebaran kemiskinan dalam ben­
dirancang untuk menampung lonjakan penduduk dalam tuk-bentuk yang beraneka ragam seperti sistem ekonomi per­
­jumlah yang demikian tinggi. Pada awal abad ke-20, para ko­taan yang bersifat informal berskala kecil dalam bentuk pe­
­pe­ran­cang ko­ta bahkan merancang dan mengangankan Kota da­gang asongan, pemulung, tukang rombeng, pedagang kaki
Batavia ha­nya untuk sembilan ratus ribu jiwa.17 li­ma, tukang sayur keliling, tukang minyak, tukang reparasi
Kecilnya jumlah penduduk yang diharapkan tinggal di kota- ­se­pe­da, dan sebagainya.
kota Jawa terkait erat dengan keterbatasan jumlah lahan yang bi­ Pemukiman miskin juga ­menghasilkan sistem transportasi
sa diakses sebagai tempat tinggal yang layak. Akibatnya, ke­ti­ka yang bersifat informal seperti tukang becak, tu­kang ojek, taksi
tekanan penduduk semakin tinggi maka problem utama yang gelap, dan sebagainya. Keberadaan sektor in­for­mal di kalangan
tim­bul di kota-kota besar di Jawa adalah masalah pe­mu­kim­ masyarakat miskin perkotaan disebabkan ka­re­na rendahnya
an. Penduduk asli yang tidak mampu membangun pe­mu­kim­an ketrampilan yang dimiliki oleh para pen­da­tang serta jumlah
yang layak maupun para pendatang yang tidak bi­sa di­tam­pung ­mereka yang tidak sebanding dengan ke­ter­se­diaan lapangan
da­lam rumah-rumah yang memadai akhir­nya ha­rus rela ­ting­gal kerja.19
di pemukiman-pemukiman miskin ­(low cost ­housing) dengan Munculnya berbagai dimensi yang bersifat informal di per­
bahan se­ada­nya dan sebagian lagi bahkan ha­rus rela hidup tan­ ko­taan mengindikasikan bahwa sistem yang ada tidak dirancang
pa pe­mu­kim­an sama sekali (pavement ­dwellers). Kondisi ini te­ untuk menerima para pendatang dalam skala besar karena ruang
lah mengakibatkan tumbuhnya kantong-kantong ke­mis­kin­an di kota memang terbatas. Terbatasnya ruang kota mem­ba­wa kon­
berbagai kota di ­Indonesia yang nyaris tidak bisa di­atas­i sampai se­ku­ensi bahwa penggunaan ruang yang berlangsung se­ca­ra
saat ini. terus-menerus akan melibatkan ketegangan di antara sejumlah
Keberadaan pemukiman-pemukiman miskin di kota ke­ kelompok kepentingan karena tingginya permintaan akan ruang
mu­di­an berkembang menjadi salah satu simpul dari pro­blem baik oleh perorangan maupun oleh kelompok terten­tu. Oleh
per­ko­taan yang lebih luas yang tidak hanya men­ca­kup per­ma­ karena itu konflik yang menyangkut penggunaan suatu lo­kasi
sa­lah­an pemukiman itu sendiri tetapi juga mencakup ­banyak tertentu da­pat timbul dengan mudah.
di­men­si yang menurut Hernando de Soto bersifat informal.18 Persaingan untuk mendapatkan ruang di sini dianggap se­ba­
ga­i su­atu perlombaan dan hadiahnya adalah ruang tersebut. Ti­dak
16
Lihat misalnya studi dari The Siauw Giap, ”Urbanisatieproblemen in Indonesia”,
dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 115, 1959, untuk melihat kondisi
­se­mua pemain atau tim dalam perlombaan ini sama ­pen­ting­nya,
per­ko­ta­an di Jawa. Untuk penelitian terhadap kondisi demografi di Makassar setelah periode ke­lom­pok-kelompok yang paling strategis adalah yang paling
pe­rang lihat R. Soemitro, “Zuigelingensterfte te Makassar,” Vol. III, 1950. Untuk kondisi Ja-
karta setelah perang lihat H.J. Heeren, ”The Urbanisation of Djakarta,” dalam Ekonomi dan
ber­pe­nga­ruh, sedangkan sebagian besar anggota ma­sya­ra­kat
Keuangan Indonesia, Vol. VIII (1955). Pada tahun 1930-an J.H. de Haas melakukan peneli- yang lain­nya harus menyesuaikan diri dengan keadaan supaya
tian demografi di Jakarta (Batavia). Ia menemukan kondisi yang amat buruk bagi penduduk
pribumi di kota tersebut, dan menemukan korelasi positif antara kondisi pemukiman dengan
me­reka da­pat menemukan ruang (niche) untuk mereka.20
kondisi kesehatan para penghuninya. Penduduk pribumi yang rata-rata miskin dan tinggal di Buku yang ditulis kawan-kawan LPM EKSPRESI ­Universitas
pemukiman-pemukiman miskin pula memiliki resiko kematian paling tinggi diantara penduduk
Eropa, Cina, dan pribumi. Lihat J.H. de Haas, ”Sterfte naar leeftijdsgroepen in Batavia in het Negeri Yogyakarta merupakan gambaran dari per­sa­ing­an atau
bijzonder op den konderleeftijd,” dalam Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, per­lom­ba­an untuk memperebutkan ruang kota, se­ba­gai­ma­na di­
Vol. VI, 1939.
17
Adolf Heuken dan Grace Pamungkas, Menteng: Kota Taman Pertama di Indone- ung­kap­kan oleh Colombijn tersebut. Pertanyaan kita selanjut­nya
sia, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2001. Pada kenyataannya apa yang diangankan adalah, siapakah yang disebut sebagai kelompok strategis ter­se­
oleh perancang kota tersebut tidak pernah terwujud. Kota Batavia, yang kemudian berubah
nama menjadi Jakarta, pada perkembangannya menjadi kota yang mendapat tekanan jum- but se­hingga paling berpengaruh untuk mengubah ruang kota?
lah penduduk paling kuat. Pada tahun 1954 kota ini telah berpenduduk 1.800.000 jiwa, dan
pada tahun 1980 penduduk kota Jakarta telah melonjak menjadi 6,5 juta jiwa. Lihat Susan Kelompok strategis tersebut tidak lain dan tidak bukan ada­
Abeyasekere, Jakarta: A History, Singapore: Oxford University Press, 1987, hlm. 245 19
Lea Jellinek, Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Ja-
18
Menurut de Soto dimensi perkotaan yang bersifat informal antara lain peruma- karta, Jakarta: LP3ES, 1994, terutama pada bab 3.
han informal, perdagangan (ekonomi) informal, dan angkutan informal. Hernando de Soto, 20
Freek Colombijn, Paco-Paco (Kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota di Indonesia
Masih ada Jalan Lain: Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga, Jakarta: Yayasan Obor pada Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota, Yogyakarta: Ombak, 2006, hlm. 3
­Indonesia, 1991, bab 2 sampai 4.
212 213
x Status Sosial-Ekonomi... Purnawan Basundoro x

lah orang-orang yang memiliki modal besar. Merekalah se­ja­ti­ dan saling menyendiri. Jarang sekali ter­jadi pembauran yang
nya pe­me­nang da­ri per­ta­rung­an un­tuk mem­pe­re­but­kan ­ru­ang sejajar di dalam ruang kota.
di per­ko­ta­an. Hal ini se­ja­lan de­ngan pe­mi­kir­an da­ri Max ­Weber, Matriks di atas merupakan gambaran dari ho­mo­ge­ni­tas
yang me­nga­ta­kan bah­wa kota adalah tem­pat pasar (market ber­da­sar­kan pem­ba­gi­an ruang kota yang ber­ba­sis pada ­sta­tus
place), sebuah pemukiman pasar (market settlement).21 Jika kota so­sial dan ekonomi para pendukungnya. Jika suatu ke­ti­ka ­sa­at
diidentikkan dengan tempat pasar, maka orang-orang ber­duit ja­lan-jalan ke mal, maka kita tidak akan melihat pedagang ber­
sa­jalah yang bisa mendapatkan yang terbaik di kota. mo­dal kecil menggelar dagangannya di tempat tersebut. Mal-
Buku yang merupakan hasil semi-investigasi ini secara jelas mal dikuasai oleh pedagang besar dalam skala perusahaan me­
frag­men­taris yang merupakan gambaran riil dari persaingan ne­ngah ke atas, seperti Matahari, Carrefour, Giant, Lotte Mart,
antara orang-orang yang bermodal dengan orang-orang tidak dan lain-lain. Sedangkan para pedagang dengan modal yang
­bermo­dal. Hasilnya adalah sebuah matriks dengan oposisi a­mat ke­cil hanya menempati tepi-tepi jalan yang ­berstatus ile­
binner sebagai berikut: gal, alias menjadi pedagang kaki lima. Karena tempatnya yang
ber­sta­tus ile­gal, ma­ka pa­ra pe­da­gang ber­mo­dal sa­ngat ke­cil ter­
Basis Sosial-Ekonomi se­but ti­dak ja­rang harus dikejar-kejar petugas ketertiban kota
Kategori Ruang
Orang Kaya Orang Miskin (Polisi Pamong Praja).
Ruang Jarang sekali mal di Indonesia yang membaurkan toko-toko
Mal, Pertokoan Kaki Lima ber­ska­la besar dengan para pedagang berskala kaki lima da­lam
Ber­da­gang sa­tu tempat. Kalaupun ada pedagang kaki lima yang ber­jual­an
Kampung, di mal, maka tempatnya bukan di dalam mal, tetapi di tepi-­te­pi
Ruang jalan di dekat mal. Jika dilihat dari status sosial-ekonomi pa­ra pe­
Perumahan, Real Estate Tepi,
Ber­mu­kim ngun­jung­nya, ti­dak se­mua orang bisa ber­be­lan­ja di mal. Orang-
Sungai, Makam orang miskin jarang sekali bisa membelanjakan uangnya di mal.
Tepi Rel Jangankan berbelanja di mal, untuk makan sehari-ha­ri saja sudah
Ruang Publik Mal, Teater, Dunia Maya kesusahan. Maka antara pengunjung mal dengan pe­ngun­jung
Kereta Api pedagang kaki lima sudah berbeda secara sosial-eko­nomi.
Ruang bermukim di kota juga dibedakan berdasarkan status
Selama ini kota selalu digambarkan sebagai wilayah dengan so­sial dan ekonomi para penghuninya. Real es­ta­te dan kom­pleks
he­te­ro­genitas para penghuninya, yang dilawankan dengan desa perumahan besar dihuni oleh orang-orang ber­du­it. Ko­ta se­jak
yang aspek-aspek homogenitasnya lebih menonjol. He­te­ro­ge­ni­ za­man kolonial, pemukiman di Kota Yogyakarta su­dah di­be­da­
tas para penghuni kota amat beragam dan saling bersilangan, kan ber­da­sar­kan sta­tus so­sial dan eko­no­mi peng­hu­ni­nya. Kota
mu­lai dari yang berbasis etnis (Jawa, Sunda, Batak, Minang, Baru merupakan pe­mu­kim­an eli­te pe­ning­gal­an za­man ko­lo­nial.
­Madura, dan lain-lain), profesi (menejer, guru, dosen, tukang Sa­at ini pem­ba­gi­an pe­mu­kim­an se­ma­cam itu te­rus ber­lan­jut,
sa­pu, pengemis, tentara, polisi, dan lain-lain), kedudukan (wali­ yang me­ne­guhkan adanya pem­ba­gi­an ru­ang ber­mu­kim ber­da­
ko­­ta, camat, lurah, ketua RT, dan lain-lain), status sosial (orang sar­kan be­sar-ke­cil­nya mo­dal yang di­mi­li­ki oleh para penghuni.
ka­ya, orang miskin, golongan bangsawan, golongan orang ke­cil, Di sepanjang Jalan Kaliurang sampai ke kawasan Wisata
dan lain-lain), dan sebagainya. Kaliurang, kanan dan kirinya dipenuhi oleh pemukiman elite
Namun demikian, he­te­ro­ge­ni­tas yang tercipta secara sosial yang dimiliki oleh orang-orang berduit. Pemukiman semacam
dan ekonomi tersebut ti­dak ser­ta-mer­ta ter­cer­min da­lam pem­ itu biasanya ditandai dengan kavling dan bangunan yang ­besar,
ba­gi­an ru­ang ko­ta, ka­rena yang ter­jadi sesungguhnya adalah dan kebanyakan bertingkat, jalan lingkungan yang lebar, ­serta
penciptaan homogenitas di dalam ruang-ruang yang mandiri terdapat gardu satuan pengaman (satpam) di pintu masuk pe­
21
Max Weber, The City, New York: The Free Press, 1966, hlm. 66
ru­mah­an. Sementara, para kelas menengah ke bawah harus rela

214 215
x Status Sosial-Ekonomi... Purnawan Basundoro x

ting­gal di lingkungan perumahan kecil, yang ditandai dengan kat ko­ta mencari hiburan justru dijadikan tempat untuk bu­
jalan­nya yang sempit, agak kumuh, kavling yang kecil, dan ti­dak nuh di­ri. Padahal pada zaman dahulu kala, bunuh diri biasa­nya
memiliki penjagaan khusus. dila­ku­kan di tempat sepi dan jarang diketahui oleh ma­sya­rakat
Orang-orang yang tidak beruntung, karena tidak memiliki umum. Inilah gambaran dari paradoks kota. Kota yang hi­ruk-
modal, harus rela tinggal di tepi-tepi sungai. Munculnya pe­ pi­kuk dengan berbagai aktivitas dan heterogenitas para peng­
mu­kim­an di sepan­jang ban­taran Kali Code merupakan kisah hu­ni­nya sering kali menjebak warga kota ke dalam kesepian.
ter­ping­gir­kan­nya ka­um mis­kin di Kota Yogyakarta. Para pem­ Buku ini merupakan studi awal yang mencoba menelusuri
buka pe­mu­kim­an tersebut merupakan para gelandangan dan re­alitas kota besar kontemporer. Melalui sebuah sejarah yang
orang-orang miksin di Kota Yogyakarta.22 Sebagian lagi harus pan­jang, ruang-ruang kota semakin terbagi menjadi bagian-ba­
rela ting­gal di tempat yang sangat tidak layak untuk orang-orang gi­an yang kecil, yang masing-masing bagian telah ada oto­ri­tas
yang masih hidup, yaitu tinggal di atas makam. Kisah kampung yang mengontrolnya. Buku ini bisa menjadi dasar untuk me­ne­
Badran, di Kota Yogyakarta bagian barat adalah kisah ter­gu­sur­ liti lebih lanjut realitas kota-kota di Indonesia yang mengalami
nya Makam Tionghoa (Bong Cina) oleh para pengembara dan per­ce­patan perubahan. Dengan membagi tema studi menjadi
pen­datang.23 tema-tema yang lebih sempit, maka realitas yang sesungguhnya
Gambar di atas telah meneguhkan sebuah realitas, bah­wa da­ri ruang kota akan semakin terlihat jelas.3
wa­laupun kota merupakan gambaran dari heterogenitas, namun
heterogenitas semu. Secara umum dalam keseharian pendu­duk Daftar Pustaka
ko­ta tetap terkotak-kotak dalam basis sosial ekonomi mereka, Abdulgani, Roeslan. (1964). Api Revolusi di Surabaja. Surabaja: Ksatrya.
yang tercermin dalam pembagian ruang-ruang kota. Mereka Abeyasekere, Susan. (1987). Jakarta: A History. Singapore: Oxford University
hi­dup sen­diri-sen­di­ri, tidak saling kenal, dan tidak akrab. Press.
Achdian, Andi. (2009). Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreform pada
Hubungan sosial mereka didasarkan atas hubungan ker­ja Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965. Bogor: Kekal Press.
yang kaku. Ruang-ruang kantor juga disekat, dibagi-bagi, un­ Brand, W. (1969). “Some Statistical Data on Indonesia.” Bijdragen tot de Taal-
tuk ditem­pati para kar­ya­wan berdasarkan status mereka. Para , Land- en Volkenkunde, Deel 125, 1969.
bos bia­sanya me­nempati ruangan yang lebih nyaman, ber­pen­ Chaplin. J.P. (2009). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: RajaGrafindo.
dingin otomatis, ha­rum, dan paling luas. Sementara pa­ra ba­wah­ Colombijn, Freek. (2006). Paco-Paco (Kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota di
Indonesia pada Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota. Yogya­
an menempati ruangan yang bersifat massal, di­tem­pat­i ba­nyak karta: Ombak.
karyawan, tidak berpendingin otomatis, de­ngan bau cam­pur- Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel. (1931). Volkstelling 1930,
aduk. Kota adalah tempat yang ramai, te­ta­pi ti­dak ­ja­rang para Java en Madoera. Batavia Centrum: Landsdrukkerij.
peng­hu­ninya di­hing­gapi rasa kesendirian atau anomi. Geertz, Clifford. (1989). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Anomi adalah disorganisasi nilai-nilai personal dan so­sial Giap, The Siauw. (1959). ”Urbanisatieproblemen in Indonesia.” Bijdragen tot
se­la­ma saat-saat penuh ketegangan-ketegangan atau te­kan­an- de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 115, 1959.
te­kan­an katastrofik.24 Kasus bunuh diri di mal yang men­jadi Haas, J.H. de. (1939). ”Sterfte naar leeftijdsgroepen in Batavia in het bijzonder
tren akhir-akhir ini merupakan bukti kuat bahwa banyak ma­ op den konderleeftijd.” Geneeskundig Tijdschrift voor Nederland-
sya­rakat yang tinggal di kota besar mengalami anomi. Bu­nuh sch-Indie, Vol. VI, 1939.
Hadi, Kusen Alipah. (2004). ”Upaya Menghadirkan ”Citra Lain” dari Ledok
di­ri di mal adalah sesuatu yang aneh. Mal yang sangat ra­mai Badran.” Kampung: Kampung Menulis Kota, Yayasan Pondok
de­ngan lalu-lalang manusia dan merupakan tempat masya­ra­ Rakyat.
Hassan, A. (2001). Tarjamah Bulughul Maraam Berikut Keterangan dan Pen-
22
Mengenai kisah asal mula kehidupan di pinggir sungai di Kota Yogyakarta, lihat jelasannya. Bangil: Pustaka Tamam.
Hermawan Trinugraha, ”Kali, Ruang Kota, Siasat,” dalam Kampung: Kampung Menulis Kota, Heeren, H.J. (1955). ”The Urbanisation of Djakarta.” Ekonomi dan Keuangan
Yayasan Pondok Rakyat, 2005, hlm. 67-81 Indonesia, Vol. VIII, 1955.
23
Lihat Kusen Alipah Hadi, ”Upaya Menghadirkan ”Citra Lain” dari Ledok Badran,” Heuken, Adolf dan Grace Pamungkas. (2001). Menteng: Kota Taman Pertama
dalam Kampung: Kampung Menulis Kota, Yayasan Pondok Rakyat, 2004, hlm. 39-55
24
J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: RajaGrafindo, 2009, hlm. 30 di Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

216 217
x Status Sosial-Ekonomi... Purnawan Basundoro x

Hugo, Graeme J. “Population Movements in Indonesia during the Colonial


Period.” J.J. Fox et al. (ed.). (1980). Indonesia: Australian Perspec-
tives. Canbera: Research School of Pasific Studies, ANU.
Jellinek, Lea. (1994). Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kam-
pung di Jakarta. Jakarta: LP3ES.
Jones, Gavin ”Demografi dalam Kemiskinan di Kota.” Dorodjatun Kuntjoro-
Jakti (peny.) (1986). Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Kementrian Penerangan. (1952). Djawa Timur. Djakarta: Kementrian Pen­
erangan.
Kerchman, F.W.M. (1930). 25 Jaren Decentralitatie in Nederlandsch-Indie
1905-1950. Semarang: Vereeniging voor Locale Belangen.
Lombard, Denys. (2000). Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan.
Jakarta: Gramedia.
McAuslan, Petrick. (1986). Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata.
Jakarta: Gramedia.
Sarjita. (2005). Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi
Daerah. Yogyakarta: Tugu Jogja Pustaka.
Soto, Hernando de. (1991). Masih ada Jalan Lain: Revolusi tersembunyi di
Negara Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Taylor, Jean Gelman. (2009). Kehidupan Sosial di Batavia. Jakarta: Masup Ja­
karta.
Tillema, H.F. (1915-1923). Kromoblanda: Over ‘t Vraagstuk van “het Wonen”
in Kromo’s Grote Land, 6 Jilid. s-Gravenhage: uden Masman, De
Atlas dan Adi Poestaka.
Trinugraha, Hermawan. (2005). ”Kali, Ruang Kota, Siasat,” Kampung: Kam-
pung Menulis Kota, Yayasan Pondok Rakyat.
Weber, Max. (1966). The City. New York: The Free Press.
Wertheim, W.F. (1999). Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Peruba-
han Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

p
Index

218
x Ruang Kota Indeks x

Index Anarkis 81
Ancol 38, 47
Angki Purbando 130
Animal Farm 79
A Anthony Giddens 27, 37
Antisipatif 62
Abdi dalem 75, 100 Antropolog 66, 76
Abidin Kusno 65, 82, 108, 154, Antropologi 108
155, 171 Anyer 48, 72
Absolut 28, 30, 31 Arab 60, 95, 97, 98, 99, 100
Abstrak 21, 107 Architectural city 193
Adrien Marie Mitterand 52 Ardi Yunanto 129, 130
Aeropolis 37 Arendt 183, 184
Affandi 80, 82, 133, 169, 172, Ari Dina Krestyawan 130
174 Arsitektonis 61
Aga Khan Award for Architec- Arsitektur 48, 66, 69, 90, 108,
ture 90 111, 125, 155, 191, 193,
Agama 45, 95, 112, 113, 152, 194
207 Arsitektur 12, 32, 41, 62, 69,
Ahimsa 114, 171, 172, 174, 103, 108, 126, 133, 237
182, 183, 187 Asia 49, 73, 107, 111, 114, 208
Ahmad Arif 110, 111 Asia Tinggi 111
Akademisi 142 Ayam Goreng Ny. Suharti 128
Akbar S. Ahmed 66
Alain Touraine 196 B
Alas Mentaok 45 Babilonia 84
Alberti 17, 18 Badan Pusat Statistik 121
Aldo Rossi 154 Bali 47, 103, 236
Alun-alun Selatan 187, 188 Baliho 11, 56, 128, 129, 131,
Alun-alun Selatan 185, 187 132, 133, 135, 136
Alun-alun Utara 46, 79, 187 Baliho 6, 56, 127, 130, 131, 132
Ambarukmo Plaza 55, 63, 134, Balokan 76
186 Bandara Adi Sucipto 134, 182,
Ambon 46, 47 185
Amerika 33, 34, 53, 60, 65, 73, Bangkok 89, 130
97, 98, 155, 208 Banjarmasin 88, 92
Amerika Serikat 33, 34, 53, 73, Banten 47, 48
155 Barat 85, 111, 112, 164
Amerika Utara 34 Baron Hausmann 19
Amnesie 49 Barter 68, 130
Amsterdam 89 Batavia 34, 48, 152, 209, 210,
Analyzing 161 212, 217, 218
220 221
x Ruang Kota Indeks x

Bawollo 61, 69 Collective mind 109 E Francois Maurice 52


Bazaar 60 Colombijn 39, 40, 88, 92, 109, Freire 143, 144, 148
Beijing 45, 51 114, 213, 217 Ecclesiastes 76 Freud 113, 119, 124, 125
Belanda 34, 36, 48, 49, 56, 72, Colombo 133, 134, 135, 169 Eddie Purwanto 160 Funeral Homes 111
73, 74, 93, 97, 98, 100, Community 21 Efektif 62
118, 122, 141, 153, 157, Conflict 21 Egaliter 63 G
170, 210, 211 Consumption 21 Ekologis 62, 90, 157
Eko Prawoto 125 G30S 78, 79
Benteng 44, 45, 47, 49, 51, 80, Corbusier 17 Gadjah Mada 41, 43, 126, 181,
100, 101 Culture 21 Eksistensi 36, 122, 140, 147,
183 182, 205, 237
Benteng Vredeburg 81 Gairah konsumsi 131
Benyamin 156 D Ekspektasi 39
Eliza Ruhamah Scidmore 73 Galeria Mall 134
Betawi 48 Dadang Sugiana 195 Galeri Nasional 129, 133
Bibit Samad Riyanto 197 Emile Durkheim 124, 151
Daendels 48, 56, 72, 74 Epigon 81 Gambir 48
Billboard 129, 130 Dai Nippon 49 Gamelan 75, 100
Biografi 48 Episteme 150, 151
Dananjaya 76, 79 Epos 115 Gangga 84
Boat Quay 89, 90 Daoed Yusuf 142 Garnizun 73
boulevard 184 Erdentug 39, 40
Dasawarsa 62 Ernst Mandel 130 Gayeng 26
Brahma 45 David Harvey 195 GBK 153
Budha 44, 140 Eropa 34, 47, 49, 69, 97, 98, 99,
De Certau 81 100, 140, 209, 210, 212 Gekologi 33
Budhiharjo 102 Dekade 64, 67 Gembira Loka 186, 188
Budhisantoso 88, 92 Erupsi 10, 83, 86
Demak 48, 113 Espace conçu 35 Geomorfologis 157
Bujuk rayu iklan 120, 131 Depok 38, 39, 41 George Orwell 79
Bujuk rayu tradisional 128 Espace perçu 35
Deresan 174 Espace vécu 35 Georg Simmel 30
Burgess 33, 34, 36 Dermaga Gubernuran 89 Gerakan 30 September 1965 78
Etnik 98
C Dhya 164, 165 Etnis 33, 34, 36, 214 Giddens 27, 28, 33, 37
Digital city 193 Eufemisme 156 Given 27
California 41, 81, 155 Dikotomi 53, 72, 98 Euforia 199 Gladi yudha 187
Candi Kalasan 86 Dikotomi 122 Exchange 144 Glodok 36
Candi Prambanan 85, 86 Dinasti Chin 85 Exchange value 144 Go international 61
Candi Ratu Boko 86 Diskriminasi 110, 114 Gondokusuman 90
Candi Sewu 86 Disneyland 35 F Gondomanan 79, 80
Chandra M Hamzah 197 Displaying 161 Gottfried Wilhelm Leibniz 28
Charles De Gaulle 52 Dominan 97, 112, 140, 150, Fauna 68 Gouda 49, 56, 157
Chip 192 154, 242 F. Davidson 157 Gresik 44
Christopher Silver 47 Donald C. Klein 97 Feodalistis 80 Groote postweg 72
Ciliwung 47, 86, 87 Dora 159, 164 Filsuf 17, 28, 29, 66, 85, 146 Gubernur Jenderal 47, 72, 131,
Cina 36, 45, 47, 84, 85, 97, 98, Dovey 45, 51, 52, 56 Five feet 170 170
100, 130, 206, 212, 216 Dugem 147 Flora 68 Gunungkidul 74, 193
Cipete 37 Dunia maya 191, 193, 195, 196, Forbidden 45, 51 Gunung Kidul 193, 236
Cluster 19, 38, 115, 116, 118, 197, 199, 201 Foucault 53, 66, 115, 139, 140, Gunung Krakatau 48
119, 120-125 dunia periklanan 132 150, 151 Gunung Merapi 10, 83, 86, 91,
Coen 47, 48, 49, 50, 131, 132 Franchise 174 92
222 223
x Ruang Kota Indeks x

H IMB 36 41, 47, 48, 49, 50, 52, 53, Jalan Raya Pos 48, 56, 72, 73,
Immanuel Kant 29 56, 60, 61, 63, 65, 69, 82, 74
Habermas 61, 111 In between space 133 86, 92, 103, 105, 106, Jalan Rue du Chat qui pêche 74
Habib Hasan 152 India Kuno 84 108, 109, 114, 126, 129, Jalan Solo 75, 131, 133, 175
Hadiningrat 61, 75, 100 Indian 156 132, 133, 148, 152, 157, Jalan Timuran 79
Han Hwie 94 Indonesia 5, 11, 12, 33-35, 158, 165, 171, 172, 177, James Dananjaya 76
Hanna 47, 48, 56 37-39, 41, 43, 49, 52-54, 178, 209, 210, 211, 212, James Hirabayashi 156
Hannah Arendt 183 55, 56, 60, 61, 64, 67, 71, 213, 217, 218 Jan Pieterszoon Coen 47, 49,
Hannerz 34, 40 72, 75, 78, 79, 82, 92, 93, Jakarta Utara 105, 106, 109 131
Hasrat 66, 117, 131 97, 98, 99, 103, 106, 109, Jakatra 47 Jawa 25, 32, 33, 34, 41, 45, 47,
Hasrat-hasrat kapitalis 135 114, 115, 119, 123, 126, Jakatra Landen 47 48, 49, 50, 72, 73, 74, 75,
Hayam Wuruk 43, 44 131, 140, 141, 142, 150, Jalan Affandi 80, 133, 169, 172, 82, 85, 87, 91, 94, 97, 98,
Hayward 117, 126 153, 154, 158, 162, 163, 174 100, 103, 111, 112, 182,
Heddy-Shri Ahimsa Putra 171, 164, 165, 170, 171, 174, Jalan Ahmad Yani 79, 81 207, 209, 210, 211, 212,
182 178, 189, 192, 207, 208, Jalan AM. Sangaji 99 214, 217, 218, 236
Henri Lefebvre 20, 59 209, 210-213, 215, 217, Jalan Antasari 37 Jawa Barat 111, 112
Herman Willem Daendels. 72 218, 235, 236, 237, 238 Jalan Asia Afrika 73 Jean Baudrilard 119
Herodotus 85 Indonesianis 47 Jalan Bibis 94 Jean Baudrillard 76, 77, 81
Heterogen 95, 96, 124, 132 Industrialisasi 34 Jalan Brigjen Katamso 79, 80 Jejak Langkah 48
Heterogenitas 103, 214, 216, Information city 193 Jalan Colombo 133, 169 Jejak Petjinan 93
217 Inggris 72, 73, 80, 115, 170, Jalan Flamboyan 174 Jepang 38, 41, 49, 50, 60, 97,
Hindia Belanda 34, 36, 56, 72, 235, 236, 237 Jalan Gejayan 75, 80, 82, 129, 156
73, 74, 100, 131, 157, Institusi 66, 140, 142, 144 133-135, 137, 169, 173 jero benteng 100
170 Interaksi 30, 31, 47, 98, 101, Jalan Gondomanan 79 Jlagran 101
Hindu-Budha 140 110-122, 124, 125, 128, Jalan H.O.S. Tjokroaminoto 75 Jogokaryan 101
Hiperrealitas 76, 77, 78, 80 163, 182, 186, 193, 201 Jalan Jenderal A. Yani 73 Joko Suryo 100
Homogen 102, 210 Internet 68, 150, 191, 194, 195, Jalan Jenderal Sudirman 73 Jombang 113
Homogenitas 96, 103, 214, 215 197, 198, 200 Jalan Kyai Haji Ahmad Dahlan Josh Poag 65
Hong Lan Oei 52 Intervensi 35 75 Judd 38, 40
Humaniora 35 Intruder 19 Jalan Laksda Adisucipto 131, Jurgen Habermas 111
Hunian 115, 116, 126 Investor 62 133 Jus Q-ta 174, 175, 177
Invorenment behavior study Jalan Magelang 175
I K
101 Jalan Malioboro 77, 79, 81,
ICA 160 Iran 60 171, 172, 173 Kali Brantas 96
Identitas 49, 50, 51, 61, 62, 66, Isaac Newton 28 Jalan Mangkubumi 199, 200 Kali Code 55, 83, 84, 85, 87,
67, 68, 80, 91, 118, 120, Islam 12, 45, 60, 140, 145, 152, Jalan Mayjen Sutoyo 79 88, 90, 91, 92, 185, 216
147, 151-155, 161 178, 207, 237 Jalan MT Haryono 79, 80 Kali Gendol 83
Ideologi 140, 141, 197 Iswanto Hartono 132 Jalan Pangeran Diponegoro 75 Kali Kuning 83
Ideological state apparatus 140 Jalan Pawiro Kuat 199 Kalimantan Barat 85
Idiom 25 J Jalan Pugeran 79 Kalimantan Tengah 89
Image 144 Jaba benteng 100 jalan raya 19, 31, 35, 51, 73, Kalimantan Timur 85
Imajinasi 49, 51, 94, 210 Jakarta 33, 34, 35, 36, 37, 38, 74, 87, 110, 170 Kali Opak 83, 85, 86
224 225
x Ruang Kota Indeks x

Kali Porong 96 120, 122, 125, 172 Komoditas 34, 62, 69, 113, 143, L
Kali Putih 83 Kebayoran Baru 120 144, 147
Kaliurang 55, 175, 177, 178, Kebumen 72 Komunisme 78 Landmark 61, 68, 135
215 Kecemasan 119 Komunistophobia 54 Lan Fang 97
Kampung 11, 19, 53, 75, 96, Kekaisaran Chin 85 Konflik 36, 108 Lapangan Banteng 49, 50, 52
97, 98, 99, 100, 101, 102, Kelapa Gading 38 Konfrontasi budaya 141 Laten 116, 117
120, 123, 127, 128, 140, Kematian 10, 105, 110, 191, Konsolidasi 34 Laut Kuning 85
205, 206, 216 194, 212 Konsumtif 66, 119, 135 Lefebvre 20, 30, 35, 39, 40, 41,
Kampung Arab 95, 97, 98, 99 Kembang Jepun 95, 97, 102 Kontemporer 21, 39, 68, 129, 51, 52, 56, 59, 94, 103
Kampung Bugis 97 Kemitbumen 100 133, 154, 217 Leibniz 28, 29, 30, 146
Kampung Cina 97, 98 Ken Arok 45 Konvensi 37, 74 Leish 36
Kampung Code Utara 90 Kepadatan 18, 86, 107, 114, Korea 192, 194, 195, 196 Lettering 162
Kampung Gejayan 75 176 Kota 9, 10, 11, 12, 17, 18, 19, Levi Strauss 113, 114
Kampung India 95, 97 Kepentingan 20, 21, 27, 38, 62, 20, 21, 33-56, 61-65, 68, Locus 153
Kampung Madura 97 64, 129, 132, 133, 134, 69, 71-73, 75, 79, 80, 81, Loji Kecil 99
Kampung Pajeksan 101 141, 143, 149, 150, 152, 84, 86-91, 93-103, 106- Loji Kumpeni 19
Kampung Tionghoa 99 155, 157, 172, 176, 184, 114, 117-119, 121, 122, Lokalisasi 76, 77
kampus 40, 142, 145, 147, 164, 213 124, 125, 128, 129-136, Longmarch 54
165, 175, 185, 205, 240, Kerajaan 44, 56 147-150, 154, 156, 159, Los Angeles 156
243 Keramat 105, 106, 107, 108, 160- 165, 171, 173, 174, Louis Althusser 140
Kant 29, 30 207 176, 179, 183, 184, 186, Lusi Lindri 46
Kapital asing 142 Kesadaran kolektif 123 187, 190, 191, 193, 194,
M
Kapitalis 65, 66, 67, 68, 129, KFC 174 205-217, 236, 238
131, 132, 135, 208 Khutanegara 44 Kotabaru 185 Madura 97, 111, 114, 209, 214
Kapitalisme 68 Ki Ageng Pemanahan 45 Kota Baru 90, 92, 99, 114, 215 Magnum 48
Karakter 34, 38, 61, 62, 63, 68, Kid Fun, 55 Kotagede 18 Mahabarata 76
95, 102, 121 Ki Hajar Dewantara 141 KPK 197 Mahasiswa 52, 54, 132, 134,
Karawang Barat 111, 112 Kirab budaya 101 Kranggan 99 141, 142, 146, 147, 164,
Karl Marx 130 Kirk R. Bishop 133 Kraton 19, 100 165, 173, 181, 185, 192,
Kasultanan Ngayogyakarta Klitren 32 Krusial 34, 84 235, 236, 237, 239, 240,
Hadiningrat 75 Koentjaraningrat 107, 114 Kuasa 36, 39, 45, 46, 50, 52, 243
Kawasan 18, 32, 34, 36, 37, 38, Kolektif 27, 49, 61, 62, 65, 79, 54, 108, 155 Mahatmanto 133
44, 61, 62, 78, 89, 90, 91, 108, 123, 150, 151, 152, Kudus 48, 113 Maille 59, 60
92, 94, 97, 98, 99, 100, 153, 154, 155, 157 Kulonprogo 74 Majapahit 44, 45, 56
101, 102, 116, 117, 118, Koloni 48, 56, 78, 82, 157 Kulon Progo 25 Makam 6, 105, 106, 107, 108,
120, 121, 122, 133, 136, Kolonial 36, 47, 48, 49, 50, 73, Kultural 37, 74, 80, 140 109, 111, 112, 113, 114,
147, 153, 173, 174, 181, 93, 97, 98, 99, 100, 118, Kusno 49, 50, 53, 55, 56, 65, 207, 214, 216
185, 189, 206, 208, 215 141, 153, 210, 211, 215 69, 73, 82, 108, 154, 155, Makam Mbah Priok 106, 109
Kawasan eksklusif 121, 122 Kolonialisasi 141 157, 171, 178 Makassar 47, 211, 212
Kawula 19, 45, 46, 50, 187 Kolonialisme 34, 140, 141 Kwen-Lun 85 Mal 9, 11, 20, 38, 40, 53, 59,
Kawula-gusti 19 Komersial 20, 68, 77, 118, 133 Kya-kya 102 60, 61, 63, 64, 65, 66, 68,
Keamanan 53, 115, 117, 119, Komersialisasi 143, 144 69, 108, 135, 146, 180,

226 227
x Ruang Kota Indeks x

186, 215, 216 Modernitas 65, 73, 106, 113, Online 64, 200 89, 92, 98, 127, 132, 135,
Malari 141 147, 197 Orde Baru 36, 52, 53, 54, 79, 153, 163, 171, 172, 185,
Malioboro 75, 77, 78, 79, 81, Monas 49, 50, 52 142, 154, 171 186
171, 172, 173, 187 Monumen Plengkung Kejayaan Otoritas 80 Pemerintahan Belanda 141
Mancasan 199 19 Outlet 172, 173, 175, 177 Pemisahan 118, 122
Manchanegara 44 Monumen Serangan Umum Pemukiman 32, 33, 34, 53, 89,
Manifestasi 116 Sebelas Maret 160 P 90, 91, 92, 97, 98, 100,
Mantrijeron 101 Moscow 51 Pahlawan revolusi 79 110, 117, 118, 149, 157,
Manzanar 155, 156 Mrázek 48, 56, 72, 73, 74, 78, Pajak baliho 135, 136 210, 211, 212, 213, 214,
Mao Tse Tung 51 80 Palangkaraya 87, 88, 89, 92 215, 216
Marco Kusumawijaya 53, 55 Muhidin M. Dahlan 12, 79 Palle 59, 60 Pendidikan 109, 128, 139, 140,
Margonda 39 Muljana 44, 56 Panatagama 45 141, 142, 143, 144, 145,
Market 18, 19, 134, 214 MULO 141 Panembahan Sumala 111 146, 147, 148
Marxis 35 Munawar Ahmad 107, 108 Pantai Indah Kapuk 38 Pendisiplinan pribumi 141
Masa 5, 34, 41, 83, 84, 90, 105, Mural 135 Pantai Parangtritis 75 Pengelompokan 100
109, 130, 141, 208, 217 Musafir 74 Paradoks 81, 208, 217 Pengembang 66, 116, 119, 121,
Masangin 187 Pararaton 45 125
Mas Kuncoro 160 N Pengembang 118, 121
Paris 19, 52, 74
Mataram 18, 19, 45 Nagan 100 Parsudi Suparlan 163 Pengiklan 128, 129, 131, 132,
Maurice Halbwach 151 Nagarakretagama 44 Partai Komunis Indonesia (PKI) 133, 135, 136
Mauritius huis 47 Nasionalisme 54, 196 78 Pengiklan produk 129
Mazhab Chicago 33, 34 Nasionalisme 48, 56, 78, 82, Pasar Kembang 76, 77, 78, 81 Perancis 59, 66
Mbah Priok 105, 106, 109, 152 157 Pasar Kranggan 99 Perang Dunia II 60, 156
McD 174 Nasrani 93 Patangpuluhan 101 Perebutan Ruang 108
Media promosi 130 Nassau huis 47 Patehan 100 Perencana 39
Melancong Pecinan 94 Natal 93 Paulina Mayasari 94 Perencanaan 12, 101, 103, 154,
Melancong Petjinan 94 Nawangwulan 180 Paulo Freire 143, 144 237
Memori kolektif 61, 62, 65, 79, Necessary 27 Paul Virilio 191, 193 Pertarungan kepentingan 133
108, 150, 151, 152, 153, Negosiasi 56, 155 pecinan 94, 96, 99, 100 Perumahan 117, 118, 120, 121,
154, 155, 157 Neoliberalisme 143 Pecinan 94, 95, 96, 97, 99, 102 126, 214
Menhir 112 Newton 28, 30, 31 Pejompongan 33 Perumahan Casa Grande 120
Menteng 118, 212, 217 Ngabehi Saloring Pasar 18 Pelindo 109 Pesantren 140, 141, 142
Merti Code 91 Ngayogyokarto Hadiningrat Pembela Pancasila 79 Peta kota 11, 159, 160, 162,
Mesir 84, 85, 112 100 Pemerintah 35, 36, 39, 50, 54, 163, 164, 165
Mesir Kuno 84, 85 NKK/BKK 142 62, 73, 79, 83, 84, 89, 92, Peter Sloterdijk 120
Mesopotamia 149 Nuraini Juliastuti 182 98, 100, 102, 118, 130, Petrus 55
Michel Foucault 53, 66, 115, Nusantara 85, 140 131, 132, 135, 136, 142, Pierra Nora 49
139, 150 150, 153, 154, 157, 160, Piramida 112
Minke 48 O 162, 163, 165, 170, 171, PKI 78, 79
Minomartani 191 172, 173, 176, 177, 178, PKL 11, 170, 171, 172, 173,
Modernisasi 94, 209 Obama 61 174, 176, 177, 178
Obyek 29, 66, 146, 155 184, 190, 197, 211, 243
Modernisme 106 Pemerintah 6, 38, 39, 41, 55, Plaza 55, 61, 63, 69, 131, 134,

228 229
x Ruang Kota Indeks x

187 53, 55, 62, 63, 64, 65, Riyanto 34, 41, 197 Saskia Sassen 122
Plaza Ambarukmo 131 66, 67, 88, 107, 108, 110, Romo Mangun 46, 90, 92, 125 Satpol PP 105, 152, 171, 172,
Plengkung Gading 187 111, 112, 121, 122, 123, Ronald 32, 33 177
Polis 183, 184 125, 131, 132, 133, 136, Rouffer 45 Satuan Pamong Praja 105
Political fact 66 170, 171, 172, 176, 177, Ruang 9-12, 18-21, 25-40, 45, Sayidan 100
Politik 35-37, 39, 49, 64, 66, 178, 180, 181, 182, 183, 49-55, 59, 62, 63, 64, 65, Scenic corridor 135
79, 108, 109, 136, 140, 184-190 66, 67, 69, 76, 77, 78, 80, Sedot wc 165
142, 143, 183, 184, 197, Purba 84, 107, 112, 116 81, 90, 91, 93, 94, 101- Sekaten 46
210 Puri Indah 38 103, 107-115, 118, 120, Sekolah Islam 145
Politik Ruang 6, 37, 127, 135 121-123, 125, 127, 128, Sekolah-sekolah internasional
Politisitasi 143 R 130-133, 136, 139, 140, 145
Pondok Indah 38, 118 Rahardjo Adisasmita 62 145, 146,-148, 150, 151, Sektarianisme 111
Portal 56, 120 Raja 19, 43, 44, 45, 46, 50, 100, 154, 155, 160, 170-172, Semarang 19, 34, 48, 100, 171,
Posmodernisme 35 111, 112, 187 176-180, 182-187, 190, 209, 211, 218
Postfactum 81 Raja Juss 172, 177 194-199, 201, 206-208, Senapati 18, 50
Postkolonial 98 Rajapatni 43 213-17, 237 Senayan 50, 153
Postmodernisme 61 Ramayana Mal 61 Ruang pendidikan 139, 140, Seno Gumira Adjidarma 105
Pramoedya Ananta Toer 48, Rampogan 46, 187 145, 146, 147, 148 Seno Joko Suyono 129
49, 74 Rano Karno 156 Ruang Publik 38, 56, 63, 65, Sentimental 108
Prapanca 44, 45 Rara Mendut 46 69, 70, 108, 110, 114, Sequare 69
Prasejarah 86, 112 Raudal Tanjung Banua 179 154, 157, 178, 181, 184, Sesepuh penangkil 44
Pratiwi Wahyu Widarti 198 Real estate 111 190, 214 Setonan 46
Prawirotaman 101 Recording 161 Rudolf Mrázek 72, 78 Setting 67
Prestise 144, 165 Rekreasi 38, 40, 64, 102, 135 Rully Damayanti 93 Settlement 18, 19, 214
Pribumi 47-49, 74, 97, 141, Relasi 18, 20, 21, 28, 29, 30, Rumah 9, 17, 18, 25, 26, 27, 31, Sigmund Freud 113, 119
153, 211, 212 31, 32, 35, 140, 143, 146, 32, 33, 36, 38, 44, 47, 48, Sign 144
Prilla 128, 129, 137 193, 197, 240 54, 72, 84, 86, 90, 91, 94, Simbol 21, 46, 50, 61, 65, 73,
Primer 69, 116 Relatif 28, 30, 31, 116, 131, 116, 117, 120, 121, 123, 94, 102, 105, 106, 108,
Prita Mulya Sari 197 208 124, 128, 129, 146, 153, 110, 114, 118, 122, 152,
Privat 27, 32, 66, 132, 133, 183, Relativitas 30 170, 173, 181, 183, 193, 153, 154, 155, 161, 164
184 Rel kereta api 33, 87, 179 198, 200, 212, 237 Simmel 30, 31, 41
Private 32 Rel Lempuyangan 179, 180, Running text 130 Simon Parker 21
Privatisasi ruang publik 121 181, 182, 184-186, 188, Simpang 19, 21, 71, 179, 187
Profit 144 S Simulakrum 76- 78, 81
190
Proklamasi 49, 210 Relokasi 150, 151, 152, 153, Sains 35 Singapura 89, 90, 170
Prospek 62 154, 155, 156, 157 Samuel Clarke 28 Sivha 44
Prototipe 75 Remy Silado 97 San Diego Hills Memorial Park Sketsa 5, 23, 94, 203, 219
psikologi 66, 109, 198 Republik Arab Suriah 60 111 SMA De Brito 53
PT KAI 189 Republik Indonesia 60, 79, 210 Saphire Square 61 Soeharto 52, 53, 54, 56, 65, 79,
Puan Buchori 46 Riau 85 Sargede 18 108, 153, 154, 157, 171,
Public 32 Ricklefs 95 Sarinah 60, 61, 130 178
Publik 37, 38, 39, 43, 49, 50, Ritus 27 Sarkem 76, 77, 78, 81 Soekarno 35, 37, 49, 50, 51, 52,

230 231
x Ruang Kota Indeks x

53, 60, 153 Sungai Indus 84 Terry McEwen 65 karta 175


Soekarno-Hatta 35, 37, 49 Sungai Kahayan 89 Thamrin 130 Universitas Gadjah Mada 133,
Solidaritas 124, 196, 241 Sungai Kapuas 85 The third place 133 147, 181, 182, 205, 237
Solo 46, 75, 85, 131, 133, 175, Sungai Kuning 84, 85 Thomas Stamford Raflles 170 Universitas Indonesia 38, 41
182 Sungai Mahakam 85 Tiananmen 45, 51 Universitas Negeri Yogyakarta
Sorkin 37, 38 Sungai Musi 85 Tibet 85 4, 11, 133, 147, 164, 198,
Sosialisme 153 Sungai Nil 84, 85 Tigris 84 213, 235, 236, 237, 238
Space 28, 32, 45, 51, 59, 113, Sungai Progo 74 Time-space compression 195 Universitas Sanata Dharma 133
133, 190, 195 Sungai Siak 85 Timezone 65 Universitas San Francisco 156
Space of flow 28 Sunter 38 Timor Timur 55 UNY 147, 164, 165, 169, 174,
Spanyol 69 Suparwoko 177, 178 Timur Asing 97, 98 198, 236, 238, 239, 241
Spatial barries 195 Superblok 149 Tionghoa 93, 94, 95, 96, 97, 98, Urban 21, 53, 55, 56, 66, 80,
Srada 43 Surabaya 34, 61, 93, 94, 95, 96, 99, 100, 102, 103, 216 129, 130, 133, 149, 155,
Sri Sultan Hamengkubuwono 97, 100, 102, 103, 136, Tiongkok 93, 102 171, 178
VI 75 137, 171, 176, 209, 210, Toponimi 75, 76, 81, 82 Urban commercial corridor 133
Stagnasi 62 211, 237 Toserba 60 Urban Culture 55
Stasiun Tugu 76, 77, 79 Surakarta 19, 45, 177, 211 Town sequare 69 Utopis 101, 102
Stasiun Tugu Yogyakarta 76 Suriah 60 Tradisional 33, 44, 45, 68, 69,
Statis 19, 103, 110 76, 89, 90, 128, 201, 209 V
Suro 101
STOVIA 141 Susilo Bambang Yudhoyono Tragedi Koja 106, 109, 112 Valentine Day 67
Struktur ruang pendidikan 148 132 Transfer Gruen 65 Van Doesburg 43
Subiyakto 92 Swalayan Mirota Kampus 145, Travel writer 73 Vastu Shastra 32
Subyek 66 147 Tribuwanatunggadewi 43 Venesia 89
Suhartono 45 Trotoar 20, 30, 39, 40, 54, 133, Verklaring 109
Sukwardjono 160 T 135, 169, 170, 171, 172, Victor Gruen 65
Sultan 45 174, 176, 187 VOC 47, 93, 210
Sultan Abdul Rahman 111 Tajbakhsh 35 Trotoar 169
Taman Budaya Yogyakarta 99 Vorstendomein 45
Sultan Paku Nataningrat 111 Tuban 44, 113
Sumatera Selatan 85 Taman Kuliner 186 Tugu 19, 50, 61, 76, 77, 79, 99, W
Sumenep 111 Taman Mini Indonesia Indah 135, 207, 218
Sunda 47, 214 35, 153 Tuhan 45, 46, 106, 113 Wajah kota 111
Sunday morning 185 Taman Pintar 185 Tumenggung Sosrowijaya 75 Waralaba 172, 174
Sundel 46 Tanah Koja 105 Turki 60 Warung kopi 147
Sungai 11, 31, 47, 54, 55, 83, Tanjung Priok 152 Waterfront 90
84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, Tata ruang 94, 102, 103, 132, U Webber 56
91, 92, 125, 149, 153, 155, 186, 237 Weber 18, 214, 218
Tebet 153 Uba rampe 43, 46 Wedang ronde 94, 187
216 UGM 147, 171, 185, 207
Sungai Bengawan Solo 85 Tela-Tela 173, 174, 177 Welcome 144
Teluk Tsii-Li 85 Unconsiousness wishes 113 Weltevreden 48
Sungai Brantas 85 Undang-undang Agraria Tahun
Sungai Ciliwung 47, 86 Terang Bulan 79 Wendy James 27
Terberi 27, 31, 39, 49 1870 153 Wijanarka 87, 89, 90, 92
Sungai Eufrat 84 Universitas Atma Jaya 132, 133
Sungai Hwang Ho 84 Terma 10, 74 Wijkenstelsel 98, 100
Universitas Atmajaya Yogya-
232 233
x Ruang Kota Indeks x

William Gibson 193


Willi Prasetya 55
Windarto Koeswardono 79
Wirobrajan 101
Wonosari 174
World class university 144

Y
Yang-Tze Kiang 84
Yasraf Amir Piliang 126, 127,
143, 144, 193, 194, 197,
198
Y.B. Mangunwijaya 46, 90
Yogyakarta 4, 11, 12, 19, 32,
40, 41, 46, 51, 53, 55, 56,
61, 62, 69, 74, 75, 76, 77, Tentang
78, 79, 80, 82, 83, 85, 86,
88, 90, 91, 92, 98, 99,
100, 103, 114, 118, 120,
Penulis
126, 128, 129, 131-136,
145, 146, 148, 157, 158,
160, 162, 164, 165, 169,
171-176, 178, 181-187,
190, 191, 198, 205, 207,
209, 211, 213, 215-218,
235, 236, 237, 238 Anna Nurlaila Kurniasari. Lahir di Sleman, 27 April 1989.­
Yosi Fajar Kresno Mukti 12 Ma­ha­sis­wi Baha­sa dan Sastra Indonesia ang­kat­an 2007 ini ­pa­da
Yunani 85, 183 ta­hun yang sa­ma ma­suk men­ja­di ang­gota LPM EKSPRESI.
Meng­awali debut­nya se­bagai Pim­pin­an Pro­yek atau Pimpro
Z Bu­letin EXPEDISI, kemu­dian di tahun 2009 diberi kepercayaan
Zamakhsari 141, 148 men­ja­di Redaktur Ba­hasa, dan kini dia­ma­nahi se­ba­gai Pim­
Ziarah 112 pin­an Umum LPM EKSPRESI tahun 2010. Obsesi terbe­sar­nya
ada­lah me­ngum­pul­kan puisi-puisinya menjadi buku puisi yang
utuh miliknya.

Ardyan M. Erlangga. 23 tahun silam pemuda ini lahir te­


pat­nya tanggal 19 Mei 1988 kala itu di Boyolali. Payah-payah,
ia te­lah me­ram­pung­kan masa belajarnya di EKSPRESI dan
kini sedang ber­keras hati menun­tas­kan stu­di sas­tra Inggris
di Universitas Negeri Yogyakarta. Selain ter­catat aktif sebagai
mahasiswa, ia ju­ga te­rus aktif perihal sinematografi di bicarafilm.

234 235
x Ruang Kota Tentang Penulis x

com dan me­ngam­pu Cinemabookclub, mimbar nonton dan 2006 ini di­da­puki sebagai pemimpin JK (Jaringan Kerja) di
diskusi ­film-film ber­mu­tu di Indonesia Buku. EKSPRESI ke­pe­ngurusan 2010.

Azwar Anas. Lahir dan besar di Rembang, Jawa Tengah 20 Nisrina Muthahari. Gadis asli Yogyakarta ini lahir di rumah
Juli 1988. Mu­lai 2007, ia belajar Bahasa dan Sastra Indonesia sa­kit tanggal 4 September 1990. Menjadi mahasiswa Pendidikan
di UNY. Sejak 2010, ia memimpin redaksi EKSPRESI sembari So­sio­logi diawali pada tahun 2008 yang dibarenginya dengan
me­nyi­cil meluluskan kuliahnya. ma­suk EKSPRESI juga.

Dian Dwi Anisa. Me­ran­tau dari Tegal ke Yogyakarta ­se­jak Nor Islafatun. 30 Desember 1989 ia terlahir di Jepara. Sejak
2008 tidak untuk mem­bu­ka warteg. Tujuannya ada­lah be­la­jar 2008, ia belajar Sastra Inggris di Universitas Negeri Yogyakarta.
di Pen­di­dik­an Ba­hasa Jerman UNY. Gadis ini lahir di Bandung, Se­jak awal belajar di EKSPRESI, ia sudah buru-buru jatuh per­
8 Januari 1991. Saat ini Dian mengampu Redaktur Bahasa ha­tian untuk kader-mengader. Saat kepengurusan 2010, ia
EKSPRESI 2010. akhir­nya mengampu Diklat dan Kaderisasi PSDM Ekspresi.

Hasti Kusuma Dewi. Pribumi Sleman sejak 15 September Nurdini Dyah Ekawati. Lahir di Cilacap, 16 Januari 1989.
1­ 989 ini da­pat di­ka­ta mul­ti­ba­kat. Soal keuangan ia ma­hir se­hing­ 18 tahun kemudian, Dini (sapaannya) merantau ke Yogyakarta
ga divisi Perusahan EKSPRESI 2010 dipimpin olehnya, wa­lau un­tuk belajar di Pendidikan Fisika. Baca novel ia suka. Sepintas
bakat lebih condong jadi aktris. Mulai 2007 ia belajar Ba­ha­sa dan ji­ka mengamati diri Dini, amat aneh ternyata ia gemar me­non­
Sastra Indonesia di UNY, tapi masih mendamba jadi dok­ter. ton film ho­ror. Sementara ia bercita cepat lulus kuliah, Litbang
PSDM ­tu­rut menyibuki dirinya.
Jihan Riza I. Lahir di Gunung Kidul pada 18 Agustus 1989.
Besar juga di Gunung Kidul. Sejak tahun 2007, terdaftar se­ba­gai Prima Sulistya Wardhani. Pontianak, 18 Maret 1991. Satu
mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris UNY. Setahun kemudian, asa­nya sebagai editor, sehingga ia perlu merintis awal dengan
ia mendobel belajar di EKSPRESI dan di ­ke­pe­ngurus­an 2010 men­jadi Redpel Majalah Ekspresi 2010. Beberapa esainya per­
dipercaya sebagai subdivisi LSM dan NGO di Jaringan Kerja. nah mampir di kolom-kolom pengumuman na­si­onal.

Khairul Anam. Lahir di Negara, kota paling pojok ba­rat Purnawan Basundoro. Aktif sebagai staf pengajar di De­
Pulau Bali. Sejak 2006 belajar di Pendidikan Sejarah UNY sam­ par­temen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
pai dua tahun kemudian ingin belajar lagi dan mendapati sang­ Airlangga Surabaya. Be­be­rapa kar­ya­nya su­dah sejak lama dapat
gar­nya di EKSPRESI. Didaulat oleh pengurus Ekspresi 2010 se­ di­nik­mati kha­la­yak, misalnya: Dua Kota Tiga Zaman. Saat ini
ba­gai Redaktur Pelaksana Buku. men­ja­di kan­di­dat Doktor di Universitas Gadjah Mada.

Miftahul Fawaid. Lahir di Banyuwangi, 12 April 1989. Se­ Revianto B. Santoso. Staf pengajar di Jurusan Arsitektur
dang mengurusi Jaringan Kerja subdvisi Internal Ekspresi 2010 Fa­kultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII (Universitas Islam
se­lagi ia ber­upa­ya me­nun­tasi stu­di Pen­di­dikan Ekonomi di Indonesia) Yogyakarta. Alumni McGill University ini selain ak­
Universitas Negeri Yogyakarta. tif mengajar, juga terus sibuk merancang perkara tata ruang se­
ba­gai im­bas dari keah­lian­nya.
Moh. Habib Asyhad. Pria asal Lamongan ini mengaku
lahir tang­gal 21 Mei 1987. Mahasiswa Ilmu Sejarah UNY sejak Rhea Yustitie. Lahir di Boyolali, 21 April 1989. Mahasiswa
236 237
x Ruang Kota Tentang Penulis x

Pendidikan Bahasa Jerman UNY angkatan 2007. Kepengurusan


EKSPRESI 2010 mengamanatinya sebagai kepala sekolah
(sebutan untuk pemimpin PSDM LPM EKSPRESI) juga salah
satu perempuan di EKSPRESI yang belajar menjadi layouter
sampai sekarang.

Swadesta Aria W. Lahir di kota agraris, Klaten, 2 Desember


(t.t) yang mengidolai Mick Jagger dan orang tuanya sendiri.
Mulai belajar di EKSPRESI sekaligus di Prodi Bahasa dan Sastra
Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta sejak 2008.

Tentang
EKSPRESI

Pers mahasiswa di UNY ya­ng tergabung dalam wadah kegiatan


Lem­baga Pers Mahasiswa (LPM) EKSPRESI. LPM EKSPRESI
se­be­narnya sudah ada se­­­jak tahun 1989. Embrio berdirinya
EKSPRESI di­pe­lo­pori oleh Hasyim Abdullah, Farid, dkk. Me­re­
ka­lah yang gi­gih melobi Rektor Prof. Djohar, M.S. Usaha Hasyim
dkk., ternyata juga didukung oleh beberapa do­sen, se­per­ti Prof.
Dr. Syafii Maarif, M. Rusli Kari, dan Djihad Hisyam. Mereka
men­dampingi EKSPRESI di­awal ber­di­ri­nya. Ba­ru pada tanggal
20 April 1992, EKSPRESI se­ca­ra resmi lahir dangan SK Rektor
No. 069/1992.
Perkembangan selanjutnya tidak hanya berkutat pa­da ma­­ja­
lah sa­ja. Pengembangan pemikiran intelektual ­ma­­ha­sis­wa men­
ja­di sasaran berikutnya. Tahun 1998 Bu­letin Dwi Mingguan
EXPEDISI muncul setelah EKSPRESI meng­i­kut­i dik­lat jur­na­
lis­tik tingkat nasional. Se­­lan­jut­nya, tahun 2005 merambah pada
EKSPRESI Bu­ku dan EKSPRESI Online.
238 239
x Ruang Kota Tentang EKSPRESI x

Refleksi Pemikiran Intelektual adalah jargon yang diusung, Divisi PSDM


ide yang diawali dari penerbitan majalah kampus, sampai ke­mu­ Terdiri atas subdivisi penting, yaitu Diklat dan Kaderisasi
dian secara konsisten mengembangkan pemikiran-pemikiran yang mengampu segala urusan pengaderan hing­­ga sistem pem­
in­telektual mahasiswa pada zamannya. Untuk menunjang ku­ be­la­jaran di EKSPRESI, Litbang yang meng­urusi semua hal yang
ali­tas media, kegiatan peng­a­ya­an intelektual terus dilakukan. Di ber­­hubungan dengan ri­­set data dan dokumentasi sebagai media
peng­hujung 2002, Komunitas Cinta Baca (KCB) lahir sebagai transfer il­mu un­tuk memenuhi kebutuhan intelektual anggota
sa­lah satu me­di­um penga­yaan intelektual kader. Inilah yang ke­ EKSPRESI, Perpustakaan yang menyediakan buku-bu­­ku se­
mu­dian mem­fa­si­li­ta­si kultur diskusi, membaca, dan me­nu­lis. bagai penunjang pembelajaran, dan Diskusi. Tak berlebihan
Senyatanya, kultur ini adalah warisan silam. menjuluki PSDM sebagai “otak”nya EKSPRESI sebab di PSDM-
Kultur ini di­wujud­kan pada September 2007, EKSPRESI lah ihwal pengintelektualan EKSPRESI difasilitasi.
me­ng­­ada­kan dis­ku­si Tiga Tahun Mengenang Munir de­ngan
meng­­ha­dir­kan Rusdi Marpaung dari Imparsial. Ke­mu­di­an Divisi Perusahaan
Januari 2009, EKSPRESI mem­pe­ringati hari pers na­si­onal de­ Anggota EKSPRESI diharapkan tak hanya cakap da­lam ­du­nia
ngan menggelar diskusi bertema Lahirnya Pers Bumiputera tulis menulis dan jurnalistik. Oleh ka­re­na itu, le­­wat di­visi pe­
dengan pembicara Oki Tirtoadhisoerjo, ci­cit Tirtoadhisoerjo. ru­sahaan, belajar bagaimana mem­pro­duksi me­­dia, men­dis­tri­
EKSPRESI juga memiliki rentangan sejarah yang cu­kup bu­sikannya, mencari ik­lan, sampai meng­u­rus event organizer,
pan­jang untuk dijadikan sebagai pijakan awal dan po­ten­si ba­ EKSPRESI Production.
gi pengembangan lembaga ke depan, baik se­ca­ra internal dan
eks­ternal. Sejarah telah mencatat ak­ti­vi­tas dan kepedulian Divisi Jaringan Kerja
EKSPRESI pada isu-isu pengem­bang­an sosial antara kawan- Kegiatannya mengatur dan memperluas seluruh ­ke­gi­at­an
kawan LPM, pergerakan, LSM, organisasi mahasiswa, dan relasi keorganisasian EKSPRESI, internal dan eksternal. Peran
EKSPRESI de­­ngan ma­ha­sis­wa. Hal itu dibuktikan dengan acara EKSPRESI di ranah sosial dan pergerakan sudah cu­­­kup ter­
Di­alog Nasional pada tahun 1992 yang menghadirkan to­koh- buk­ti dengan andilnya EKSPRESI dalam aksi-ak­­si ge­rak­an,
tokoh nasional, seperti: BJ. Habibie, Dr. Marwah Daud Ibrahim, be­dah buku, serta terlibatnya EKSPRESI di lem­ba­ga-lembaga
dan Kasum ABRI yang juga dihadiri oleh utusan dari berbagai so­lidaritas dan aksi sosial seperti Pos­­ko Pers Mahasiswa, Per­
lem­baga kepemudaan dan ma­ha­sis­wa dari perguruan tinggi. himpunan Pers Mahasiswa (PPMI), dan juga Forum Ko­mu­ni­
ka­si Unit Kegiatan Ma­ha­siswa (FK-UKM) UNY.
*** Lewat kurikulum dan aktivitas-aktivitasnya, LPM EKSPRESI
LPM EKSPRESI mempunyai 4 divisi yang dipimpin oleh men­coba menghasilkan output sumber daya ­ma­nu­sia yang
pengurus harian yang dikepalai oleh seorang Pe­mim­­pin mumpuni lewat Lima Komunitas Imajiner. Ko­munitas adalah
Umum. Keempat divisi tersebut antara lain: Re­daksi, PSDM kumpulan dua atau lebih individu yang mem­pu­nyai ke­sa­ma­
(Pengembangan Sumber Daya Manusia), Pe­ru­sa­haan, dan an, seperti persepsi yang sama, ke­sa­dar­an yang sa­ma, dan se­
Jaringan Kerja. Tiap-tiap di­vi­si memiliki pe­ran yang saling tiap anggota komunitas mem­bu­tuh­kan yang lain un­tuk me­
menunjang, sebagai be­ri­kut: nyelesaikan sesuatu se­­hin­g­ga menumbuhkan rasa saling
mem­butuhkan. Lima Komunitas Imajiner tersebut antara lain.
Divisi Redaksi
Bertanggung jawab atas penerbitan Majalah EKSPRESI, pe­ A. Jurnalis Profesional
ner­bitan EKSPRESI Buku, Penerbitan Bu­letin Dwi Mingguan Jurnalis profesional dicirikan dengan kemampuan tek­
EXPEDISI, serta pengelolaan EKSPRESI Online de­ngan alamat nik jurnalistik yang handal seperti reportase (li­put­an), me­
www.ekspresionline.com nu­lis be­ri­ta, editing dan kemampuan meng­ana­lis­is ke­cen­de­

240 241
x Ruang Kota Tentang EKSPRESI x

rungan-kecenderungan sosial. Kompetensi re­por­ta­se me­liputi kerja sosial transformatif seperti ad­vo­ka­si, pen­dampingan, dan
kemampuan menembus narasumber, ke­mam­pu­an me­milah lainnya. Pekerja sosial trans­for­ma­­tif mem­pu­nyai tujuan makro
fakta, check dan recheck, cover both side, in­ves­tigasi. Ke­mam­pu­ me­lepaskan ma­sya­ra­kat da­ri kondisi keterkungkungan.
an menulis berita meliputi ke­mam­pu­an menulis hard news, soft
news, feature, dan la­in­nya. Kemampuan editing berupa ke­mam­ E. Media Watch
pu­an bahasa, me­nya­tukan ga­gas­an da­lam paragraf dan lainnya. Media Watch adalah figur yang mempunyai ke­mam­pu­an
Ke­mam­­pu­an layout dan percetakan dibutuhkan dalam hal un­tuk da­pat mengamati, membaca, menelaah, mau­pun meng­
pro­duk­si media. Dengan demikian, para anggota di­ha­rap­kan ana­lisis me­dia ba­ik itu media kampus atau me­dia umum/
mem­punyai kemampuan sebagai jurnalis yang pro­fe­si­onal. nasional. Program ini dimaksudkan agar se­mua ka­der menge­
tahui karakteristik masing-ma­sing media. Apa­la­gi realitas yang
B. Pengelola Media ada saat ini media me­ru­pa­kan kekuatan yang mampu men­
Pengelola media adalah figur yang berkemampuan ­un­tuk jadi “anjing penjaga” ba­gi ke­bi­jakan yang dilakukan oleh pe­
me­lakukan kerja manajerial dan pengorganisasian dalam dunia merintah, legislatif, mau­pun yudikatif, serta organisasi di luar
media, baik mulai dari personalia, distribusi kerja, ke­sek­ pemerintah. Sa­dar atau tidak peran pers apalagi pers ma­ha­sis­
retariatan, korespondensi, negoisasi, lobby, ­ke­mam­pu­an me­ wa, yang di­ang­gap masih independen, harus mampu m­ema­
mim­pin rapat, dan pemasaran. Skill beror­gani­sasi yang andal in­kan pe­ran­an­nya sekaligus menjadi sosok yang dapat meng­
me­rupakan ciri khas dari ko­mu­ni­tas ini. a­mat­i media yang tumbuh bagi jamur sampai se­ja­uh ­ma­na
independensi media itu.3
C. Intelektual Kritis
Dunia pers identik dengan dunia intelektual karena ­se­la­lu
ber­hadapan dengan realitas dan perubahan so­si­al. Da­lam ­lin­tas
sejarahnya persma selalu menja­di sa­tu elem­en yang ­ak­tif me­
la­ku­kan analisis-anali­sis kri­tis. Ko­mu­nitas ini merupakan
tempat ber­kum­pul me­reka yang suka berteori, menggali teori,
atau me­la­kukan teo­ri­sasi terhadap krisis di masyarakat. ­Me­re­ka
se­nang berdiskusi dengan topik-topik yang po­pu­lis. Mereka
diharapkan memiliki tiga kecakapan ya­itu reading, speaking,
dan writing. Intelektual kri­tis mem­per­­sya­rat­kan ke­mam­pu­an
untuk menganalisis kondisi, mem­pre­dik­sikan ke­cenderungan-
kecenderungan perubahan, dan me­­la­ku­kan ker­ja re­ka­yasa
sosial lainnya. Intelek­tu­al kri­tis ber­be­da de­ngan in­te­lek­tual
langit. Intelektual kri­­tis bu­kan saja mempunyai kemampuan
menganalisis, te­­ta­pi juga mempunyai kesadaran pada dirinya
untuk me­­la­ku­kan pem­be­la­an terhadap kelompok-kelompok
yang meng­alami diskriminasi, peminggiran atau re­pre­si­­fi­tas.
Go­long­an ini juga kritis terhadap bangun pikir ilmu penge­ta­
hu­an, sehingga melakukan kerja co­un­ter he­­ge­mo­nik ter­hadap
wa­cana-wa­cana yang dominan.
D. Pekerja Sosial Transformatif
Komunitas ini adalah kumpulan mereka yang ber­ba­kat men­
jadi pengorganisir sosial dan mau terjun da­lam ber­bagai kerja-
242 243

Вам также может понравиться