Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Dikumpulkan
oleh :
Para Pecinta Awlia
Semoga Menjadi Wujud Khidmad Dan Mahabbah Kepada Beliau Guru Tercinta
Dan Para Awlia Serta Bermanfaat Bagi Para Ikhwan Tarekat Qodiriyyah
Wannaqsyabandiyyah
MANAQIB
Salam Untuk Wali Mursyid
SYEKH AHMAD SHOHIBUL WAFA TA,JUL ARIFIN ( ABAH ANOM )
Salam untukmu
wahai penguasa zaman
pemimpin wilayah
penegak ketentuan ar-Rahman
pewaris kitab
wakil Rasulullah s.a.w.
yang selalu pergi pulang antara bumi dan langit
yang orang-orang sezamannya adalah keluarganya
yang diturunkan pertolongan karena doanya
yang dikucurkan limpahan susu karena keberkahannya
beserta rahmat Allah dan keberkahanNya, al-Fatihah…
Untaian Mutiara
Jangan Benci Kepada Ulama Yang Sezaman
Jangan Menyalahkan Pengajaran Orang Lain
Jangan Memeriksa Murid Orang Lain
Jangan Berhenti Bekerja Meskipun Disakiti Orang
Harus Menyayangi Orang Yang Membenci Kepadamu
RIWAYAT SINGKAT
SYEKH AHMAD SHOHIBULWAFA TAJUL ARIFIN
(ABAH ANOM)
Syekh A Shohibulwafa Tajul Arifin yang dikenal dengan nama Abah Anom,
dilahirkan di Suryalaya tanggal 1 Januari 1915. Beliau adalah putra kelima
Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, dari
ibu yang bernama Hj Juhriyah. Pada usia delapan tahun Abah Anom masuk
Sekolah Dasar (Verfolg School) di Ciamis antara tahun 1923-1928. Kemudian ia
masuk Sekolah Menengah semacan Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya. Pada
tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan menuntut ilmu agama Islam
secara lebih khusus. Beliau belajar ilmu fiqih dari seorang Kyai terkenal di
Pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu fiqih, nahwu, sorof dan
balaghah kepada Kyai terkenal di Pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah kurang
lebih dua tahun di Pesantren Jambudipa, beliau melanjutkan ke Pesantren
Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh Ajengan Syatibi.
Dua tahun kemudian (1935-1937) Abah Anom melanjutkan belajar di
Pesantren Cireungas, Cimelati Sukabumi. Pesantren ini terkenal sekali
terutama pada masa kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah
dan silat. Dari Pesatren inilah Abah Anom banyak memperoleh pengalaman
dalam banyak hal, termasuk bagaimana mengelola dan memimpin sebuah
pesantren. Beliau telah meguasai ilmu-ilmu agama Islam. Oleh karena itu,
pantas jika beliau telah dicoba dalam usia muda untuk menjadi Wakil Talqin
Abah Sepuh. Percobaan ini nampaknya juga menjadi ancang-ancang bagi
persiapan memperoleh pengetahuan dan pengalaman keagaman di masa
mendatang. Kegemarannya bermain silat dan kedalaman rasa keagamaannya
diperdalam lagi di Pesantren Citengah, Panjalu, yang dipimpin oleh H. Junaedi
yang terkenal sebagai ahli alat, jago silat, dan ahli hikmah.
Setelah menginjak usia dua puluh tiga tahun, Abah Anom menikah dengan Euis
Siti Ru’yanah. Setelah menikah, kemudian ia berziarah ke Tanah Suci. Di tanah
suci mekkah beliau banyak menimba ilmu seperti Fiqh, Hadits, Tauhid, Tafsir
dan lain sebagainya dari ulama ulama di mekah dengan system bandungan, di
mekah beliau juga memperdalam ilmu tasawuf di Ribath Naqsyabandy yang
terletak di Jabal Qubaisy yang waktu itu dibimbing oleh Syekh Romli. Syekh
Romli merupakan salah seorang wakil talqin dari Abah Sepuh. Sepulang dari
Mekah, setelah bermukim kurang lebih tujuh bulan (1939), dapat dipastikan
Abah Anom telah mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman
keagamaan yang mendalam. Pengetahuan beliau meliputi tafsir, hadits, fiqih,
kalam, dan tasawuf yang merupakan inti ilmu agama. Oleh Karena itu, tidak
heran jika beliau fasih berbahasa Arab dan lancar berpidato, baik dalam bahasa
Indonesia maupun bahasa Sunda, sehingga pendengar menerimanya di lubuk
hati yang paling dalam. Beliau juga amat cendekia dalam budaya dan sastra
Sunda setara kepandaian sarjana ahli bahasa Sunda dalam penerapan filsafat
etnik Kesundaan, untuk memperkokoh Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah.
Bahkan baliaupun terkadang berbicara dalam bahasa Jawa dengan baik.
Ketika Abah Sepuh Wafat, pada tahun 1956, Abah Anom harus mandiri
sepenuhnya dalam memimpin pesantren. Dengan rasa ikhlas dan penuh
ketauladan, Abah Anom gigih menyebarkan ajaran Islam. Pondok Pesantren
Suryalaya, dengan kepemimpinan Abah Anom, tampil sebagai pelopor
pembangunan perekonomian rakyat melalui pembangunan irigasi untuk
meningkatkan pertanian, membuat kincir air untuk pembangkit tenaga listrik,
dan lain-lain. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Suryalaya tetap
konsisten kepada Tanbih, wasiat Abah Sepuh yang diantara isinya adalah taat
kepada perintah agama dan negara. Maka Pondok Pesantren Suryalaya tetap
mendukung pemerintahan yang sah dan selalu berada di belakangnya.
Di samping melestarikan dan menyebarkan ajaran agama Islam melalui
metode Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Abah Anom juga sangat konsisten
terhadap perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Maka sejak tahun 1961
didirikan Yayasan Serba Bakti dengan berbagai lembaga di dalamnya termasuk
pendidikan formal mulai TK, SMP Islam, SMU, SMK, Madrasah Tsanawiyah,
Madrasah Aliyah, Madrasah Aliyah kegamaan, Perguruan Tinggi (IAILM) dan
Sekolah Tinggi Ekonomi Latifah Mubarokiyah serta Pondok Remaja Inabah.
Didirikannya Pondok Remaja Inabah sebagai wujud perhatian Abah Anom
terhadap kebutuhan umat yang sedang tertimpa musibah. Berdirinya Pondok
Remaja Inabah membawa hikmah, di antaranya menjadi jembatan emas untuk
menarik masyarakat luas, para pakar ilmu kesehatan, pendidikan, sosiologi,
dan psikologi, bahkan pakar ilmu agama mulai yakin bahwa agama Islam
dengan berbagai disiplin Ilmunya termasuk tasawuf dan tarekat mampu
merehabilitasi kerusakan mental dan membentuk daya tangkal yang kuat
melalui pemantapan keimanan dan ketakwaan dengan pengamalan Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, Abah Anom
menunjuk tiga orang pengelola, yaitu KH. Noor Anom Mubarok BA, KH. Zaenal
Abidin Anwar, dan H. Dudun Nursaiduddin.
Sejarah Pondok Pesantren Suryalaya
Pondok Pesantren Suryalaya dirintis oleh Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad
atau yang dikenal dengan panggilan Abah Sepuh, pada masa perintisannya
banyak mengalami hambatan dan rintangan, baik dari pemerintah kolonial
Belanda maupun dari masyarakat sekitar. Juga lingkungan alam (geografis)
yang cukup menyulitkan.
Namun Alhamdullilah, dengan izin Allah SWT dan juga atas restu dari guru
beliau, Syaikh Tholhah bin Talabudin Kalisapu Cirebon semua itu dapat dilalui
dengan selamat. Hingga pada tanggal 7 Rajab 1323 H atau 5 September 1905,
Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad dapat mendirikan sebuah pesantren
walaupun dengan modal awal sebuah mesjid yang terletak di kampung
Godebag, desa Tanjung Kerta. Pondok Pesantren Suryalaya itu sendiri diambil
dari istilah sunda yaitu Surya = Matahari, Laya = Tempat terbit, jadi Suryalaya
secara harfiah mengandung arti tempat matahari terbit.
Pada awalnya Syeikh Abdullah bin Nur Muhammad sempat bimbang, akan
tetapi guru beliau Syaikh Tholhah bin Talabudin memberikan motivasi dan
dorongan juga bimbingan khusus kepadanya, bahkan beliau pernah tinggal
beberapa hari sebagai wujud restu dan dukungannya. Pada tahun 1908 atau
tiga tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Suryalaya, Abah Sepuh
mendapatkan khirqoh (legitimasi penguatan sebagai guru mursyid) dari Syaikh
Tholhah bin Talabudin
Seiring perjalanan waktu, Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang
dan mendapat pengakuan serta simpati dari masyarakat, sarana pendidikan
pun semakin bertambah, begitu pula jumlah pengikut/murid yang biasa
disebut ikhwan.
Latar belakang Masjid Nurul Asror dan Menaranya
Dukungan dan pengakuan dari ulama, tokoh masyarakat, dan pimpinan daerah
semakin menguat. Hingga keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya dengan
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah-nya mulai diakui dan dibutuhkan. Untuk
kelancaran tugas Abah Sepuh dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah dibantu oleh sembilan orang wakil talqin, dan beliau
meninggalkan wasiat untuk dijadikan pegangan dan jalinan kesatuan dan
persatuan para murid atau ikhwan, yaitu TANBIH.
Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad berpulang ke Rahmattullah pada tahun
1956 di usia yang ke 120 tahun. Kepemimpinan dan kemursyidannya
dilimpahkan kepada putranya yang kelima, yaitu KH. Ahmad Shohibulwafa
Tajul Arifin yang akrab dipanggil dengan sebutan Abah Anom. Pada masa awal
kepemimpinan Abah Anom juga banyak mengalami kendala yang cukup
mengganggu, di antaranya pemberontakan DI/TII. Pada masa itu Pondok
Pesantren Suryalaya sering mendapat gangguan dan serangan, terhitung lebih
dari 48 kali serangan yang dilakukan DI/TII. Juga pada masa pemberontakan
PKI tahun 1965, Abah Anom banyak membantu pemerintah untuk
menyadarkan kembali eks anggota PKI, untuk kembali kembali ke jalan yang
benar menurut agama Islam dan Negara.
Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya semakin pesat dan maju,
membaiknya situasi keamanan pasca pemberontakan DI/TII membuat
masyarakat yang ingin belajar Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah semakin
banyak dan mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia. Juga dengan
penyebaran yang dilakukan oleh para wakil talqin dan para mubaligh, usaha ini
berfungsi juga untuk melestarikan ajaran yang tertuang dalam asas tujuan
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dan Tanbih. Dari tahun ke tahun Pondok
Pesantren Suryalaya semakin berkembang, sesuai dengan tuntutan zaman,
maka pada tanggal 11 maret 1961 atas prakarsa H. Sewaka (Alm) mantan
Gubernur Jawa Barat (1947 – 1952) dan mantan Menteri Pertahanan RI Iwa
Kusuma Sumantri (Alm) (1952 – 1953). Dibentuklah Yayasan Serba Bakti
Pondok Pesantren Suryalaya. Yayasan ini dibentuk dengan tujuan untuk
membantu tugas Abah Anom dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah dan dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
Setelah itu Pondok Pesantren Suryalaya semakin dikenal ke seluruh pelosok
Indonesia, bahkan sampai ke Negara Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam,
dan Thailand, menyusul Australia, negara-negara di Eropa dan Amerika.
Dengan demikian ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah pun semakin luas
perkembangannya, untuk itu Abah Anom dibantu oleh para wakil talqin yang
tersebar hampir di seluruh Indonesia, dan juga wakil talqin yang berada di luar
negeri seperti yang disebutkan di atas.
Pada masa kepemimpinan Abah Anom, Pondok Pesantren Suryalaya berperan
aktif dalam kegiatan Keagamaan, Sosial, Pendidikan, Pertanian, Kesehatan,
Lingkungan Hidup, dan Kenegaraan. Hal ini terbukti dari penghargaan yang
diperoleh baik dari presiden, pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
bahkan dari dunia internasional atas prestasi dan jasa-jasanya. Dengan
demikian eksistensi atau keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya semakin
kuat dan semakin dibutuhkan oleh segenap umat manusia.
KAROMAH ABAH ANOM MENYADARKAN TANTANGAN KIAI SAKTI PILIH
TANDING
Abdul telah tiada. Bunga di atas kuburan Abdul yang terletak di area
kuburan blok Nyongklang Selajambe Kab. Kuningan tampak masih segar
sekalipun sudah tiga hari terpanggang panas terik matahari. Begitu pula
gundukan tanah merah tampak terlihat masih basah padahal kuburan
sekelilingnya sudah kering bahkan terlihat retak-retak akibat kemarau
berkepanjangan.
Text Box: Abah Anom Muda Sepintas, tak ada yang istimewa pada kuburan
tersebut. Sama saja seperti kuburan yang lainnya. Namun sesuatu yang beda
akan terasa disana. Wangi bunga akan tercium manakala orang melewati
kuburan tersebut. Emangnya, siapa sich, yang “tertidur” di dalam sana? Inilah
kisahnya….
Adalah Abdul, seorang laki-laki yang 3/4 usianya dihabiskan dalam lembah
kemaksiatan. Di kota Metropolitan, Abdul menjelma menjadi bajingan yang
Super Haram Jadah. Ia adalah jagoan yang tak pernah kenal rasa takut. Bagi
sesama penjahat, Abdul adalah momok yang menakutkan. Bagi polisi lelaki
yang sekujur tubuhnya dipenuhi tato wanita telanjang itu merupakan sosok
penjahat yang super licin yang sulit ditangkap karena kepandaiannya
menggunakan jampi-jampi sehingga mampu berkelit dari kejaran aparat.
Kapanpun dan dimanapun, perbuatan maksiat tak pernah ia lewatkan.
Hingga suatu malam di bulan November 2005….. Niat jahatnya muncul
kembali ketika melihat seorang penumpang wanita sendirian di mobil
omprengan daerah Plumpang, Jakarta Utara. Bersama dua orang temannya,
ditodongkannya pisau ke arah sopir dan kernet yang tidak berdaya
menghadapi ancaman tersebut. Keduanya lalu diikat lalu Abdul CS. membawa
kendaraan tersebut ke salah satu tempat di Bogor yang sudah mereka
persiapkan sebelumnnya.
Sesampainya di tempat, Abdul CS. bermaksud untuk memperkosa wanita
cantik tersebut. Dengan cara paksaan, wanita itu -sebut saja Sinta- diminta
untuk melayani nafsu binatangnya. Namun Sinta berupaya sekuat tenaga
untuk melepaskan diri dari bahaya sambil berteriak : “Abah, Abah, Abah,
tolong saya!”. Subhanalloh, atas kehendak-Nya, disaat Abdul akan
melampiaskan nafsu kebinatangannya, tiba-tiba saja “burung” miliknya
mendadak terkulai lemas dan ia merasakan kesakitan yang luar biasa. Begitu
juga kedua temannya yang akan memperkosa Sinta mengalami hal serupa.
Dalam keadaan seperti itu, Sinta langsung melarikan diri………..
Setelah kejadian tersebut, Abdul CS mengalami nasib naas. Kemaluannya
membengkak dan tiga bulan kemudian, dua orang temannya mati
mengenaskan akibat “burung”nya MEMBESAR. Untunglah, Abdul cepat sadar.
Ia tahu, bahwa peristiwa tersebut merupakan hukuman dari Allah atas dosa-
dosa mereka yang telah diperbuat. Lalu, ia menemuia salah seorang temannya
yang sudah terlebih dahulu insyaf dan bertaubat.
Setelah diutarakan maksud dan kedatangannya, teman Abdul tersebut
membawanya ke salah satu Majlis Dzikir dan kemudian bertaubat. Melalui
Kiayi yang menuntunnya, iapun tahu bahwa taubat tidak berarti harus
menghilangkan seluruh tato yang ada ditubuhnya. Dengan semangat yang kuat
dan tekad yang membaja, Abdulpun mendapatkan Talqin Dzikir dan
mengamalkan semua amaliahnya seperti Khotaman meskipun dia hafalkan dari
latinnya.
Teman-teman seprofesi dulu di Jakarta banyak yang ia temui sehingga dia
memutuskan untuk hijrah dari Jakarta ke kampung halamannya, takut jika niat
jahatnya kembali muncul. Di kampung halamannya, masyarakat tidak begitu
saja bisa langsung menerimanya, malah menaruh rasa curiga bahkan tak jarang
kata-kata pedas sering dilontarkan kepadanya. Berbekal TANBIH dan
dzikrullah, ia tetap tersenyum dan berbaik budi. Sehingga akhirnya
masyarakatpun dapat menerima, bahwa Abdul telah kembali ke jalan yang
lurus. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia menjadi buruh tani dan
pekerjaan serabutan lainnya hanya untuk sesuap nasi sehingga tetap bisa
melaksanakan amaliah dzikrullah seperti yang pernah didapatkannya di
Jakarta. Hingga akhirnya, pada hari Jum’at di tahun 2006 selepas Subuh, ia
dipanggil kembali oleh Allah dalam posisi Tawajuh.
ABAH ANOM ADALAH SULTHANUL AWLIA DI ZAMAN INI SEBAGAMANA FATWA
SAYYID MUHAMMAD BIN ALWI AL-MALIKI AL-HASANI AS-SYADZILI. RA
KH. Dodi Firmansyah ditanya oleh almarhum Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-
Hasani Ra pada saat 40 hari menjelang wafatnya. Kiyai muda asal Garut
tersebut terperanjat saat al-‘alamah tersebut tiba2 menanyakan sosok guru
yang telah menanamkan kalimat agung dilubuk hatinya. Lebih terkejut lagi saat
Ulama tersebut “tercekat” sewaktu disebutkan nama Syekh Ahmad Shohibul
wafa Tajul ‘Arifin. Secara sepontan Al Imam al Alim al Alamah al Arif Billah
Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syeikh Muhammad al Maliki
al Hasni al Husaini as Syadzili Mekah menyebutkan bahwa Syekh ahmad
Shohibul wafa Tajul ‘Arifin adalah Sulthonul Awliya fi hadza zaman ( RAJANYA
PARA WALI ZAMAN SEKARANG ) bahkan beliaupun menyebutkan
QODDASALLAHU SIRROHU bukan rodliyallohu ‘anhu seperti yang kebanyakan
disebutkan oleh para ikhwan. Walaupun secara dhohir Syekh Muhammad
Alawy Al-Maliki belum bertemu dengan pangersa Abah namun keduanya telah
mengenal di alam ruhani yang tak dibatasi ruang dan waktu.
Sayyid Prof. Dr. Muhammad ibn Sayyid ‘Alawi ibn Sayyid ‘Abbas ibn Sayyid
‘Abdul ‘Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki al-Asy’ari asy-Syadzili lahir di Makkah
pada tahun 1365 H.
Sekilas profil KH.Dodi Firmansyah Usianya masih muda kelahiran garut tahun
1978. Sejak usia SMP ia dikenal ahli hikmah sedangkan ketertarikan dalam
dunia tasawwuf ia ke Pondok Pesanttren Suryalaya sejak dimulai kelas 4 SD .
Kiayi ini pernah di didik langsung oleh almarhum Al-Alamah Sayyid Muhammad
bin Alawi Al-Maliki ra di mekkah selama 6 tahun. Pulang mesantren dari
mekkah pada tahun 2006, kiyai ini menikah dengan Hj.Siti Fatimah putri
seorang pengusaha asal Tasikmalaya dan dikaruniai putra yang diberinama
M.Lutfi L. Makki.
Pendapat KH.Dodi tentang sosok Pangersa Abah Anom : Saya tidak bisa
mengungkapkannya dengan kata-kata. Cukuplah 2 pendapat Ulama kelas
dunia yang mengomentarinya. Pertama ungkapan dari guru saya sendiri di
mekkah, yaitu Sayyid Muhammad bin Alawy bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani ra.
Beliau sendiri yang mengungkapkan bahwa Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul
‘Arifin qs. Adalah Sulthonul Awliya fi Hadza Zaman dan kedua Mursyid Kammil
Mukammil Thoriqoh Naqsyabandi Al-Haqqani, As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif
billah Syekh Mohammad Nazim Adil al-Haqqani, sufi kenamaan dari Cyprus-
Turkey yang menyebutkan Pangersa Abah (Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul
‘Arifin qs) adalah Sufi agung di timur jauh.Dalam majalah sintoris (Sinar
thoriqoh islam) disebutkan As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif billah Syekh
Mohammad Nazim Adil al-Haqqani ra mengatakan bahwa Syekh Ahmad
Shohibul wafa Tajul ‘Arifin adalah WALI AGUNG DITIMUR JAUH.. hal itu pernah
disampaikan juga di kampus oleh KH.Wahfiuddin setelah mendampingi syekh
Mohammad Nazim Adil al-Haqqani ke P.P.Suryalaya.
Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin ( Abah Anom ) memberikan jubah dan
tongkat kepada Prof. DR. Buya Hamka saat jadi Ketua MUI
PROF. DR. HARUN NASUTION TOKOH YANG DIKENAL PALING RASIONAL DI
BAI’AT TAREKAT QODIRIYYAH WANNAQSYABANDIYYAH
DAN MENJADI MURID ABAH ANOM
Tokoh lain yang dikenal publik sangat rasional tetapi juga mengikuti tarekat
adalah Harun Nasution. Menurut Sri Mulyati yang lulus doctor dari McGill
University ini, persentuhan Harun dengan dunia tarekat dimulai ketika
mengantar proses penyembuhan anaknya ke Suralaya. Ia melihat, hanya
dengan sholat tahajjud saja, seseorang bisa sembuh. Akhirnya, sampai akhir
hayatnya, beliau sangat sufi, ikut Abah Anom. Padahal beliau seorang profesor
yang sangat rasional, terangnya.
Ibnu Taimiyah, yang oleh sebagian orang dipercaya anti-thoriqoh, ternyata
juga menjelang akhir hayatnya secara pribadi mengikuti tarekat.
Dalam buku Syeikh Hisyam Kabbani, dia belajar dan mempraktekkan tarekat,
memang tidak mengajarkan. Seperti Imam Ghozali, belajar dan
mempraktekkan, meskipun bukan mursyid, setelah dia tidak puas di ilmu
kalam, akhirnya belajar tasawwuf dan mengamalkan sehingga menghasilkan
rekonsiliasi, ujarnya.
ABAH ANOM DAN JAGOAN DARI SURABAYA
K.H. M. Ali Hanafiah Akbar, itulah nama seorang kiai yang berasal dari
Surabaya. Tidak terbayangkan kiai pemimpin pesantren tersebut adalah
mantan jagoan jalanan. Ini berdasarkan cerita beliau KH. Ali Hnafiah Akbar
yang saat itu di wawancarai oleh wartawan majalah Nuqtoh beliau
menceritakan bahwa dirinya sejak kecil tidak kefikiran punya cita-cita jadi kiai
apalagi memimpin pesantren tetapi cita-citanya sejak kecil adalah ingin
menjadi seorang jagoan. Keinginanya yang sangat kuat inilah membuat ia
sangat gigih didalam mendalami ilmu kanuragan atau bela diri bahkan setiap
ada orang yang terkenal jago silat pasti ia datangi. Berbekal ilmunya tersebut
Ali berusaha menjadi jagoan jalanan di Surabaya dan akhirnya ia pun hijrah ke
Jakarta. Dan di Jakarta ia menjadi tukang pukul salah satu perusahaan bahkan
karena kemampuanya berkelahi yang tidak terkalahkan ia pernah dikontrak
oleh Edi Tansil untuk mengamankan proyek besar. Ternyata hidayah merubah
jalan hidup jagoan ini ia bertemu dengan salah seorang ikhwan TQN dan entah
apa yang terjadi didalam hatinya terbesit ingin bertemu dengan Abah Anom
Mursyid Toriqoh Qodiriyyah Wannaqsyabandiyah. Iapun pergi dari Jakarta
bermaksud menemui Abah Anom, dan maksudnya pun terlaksana dan ia
mendapat Talqin Dzikir oleh Abah Anom setelah itu abah anom menyuruhnya
pulang. Rupanya hatinya berkecamuk dan iapun mengeluh “jauh-jauh datang
dari Jakarta Cuma diajarin dzikir ,….huh….”. Tetapi apa yang terjadi setelah ada
dalam perjalanan mulutnya terasa terkunci, enggan berbicara kepada
siapapun, bahkan ia disangka orang stress…dari diamnya ia inilah ia merasa
abah anom selalu disampingnya dan mengajarinya berbagai macam ilmu
tentang agama dan entah kenapa setelah mulut mau berbicara kembali ia
sudah bisa ceramah mengenai ilmu-ilmu agama. Akhirnya beliau mendirikan
pesantren dan mendapat Khirqah sebagai wakil talqin Abah Anom di Surabaya.
ABAH ANOM DAN PEMUDA JAGO SILAT
Diceritakan oleh KH Komaruddin yang merupakan wakil talqin senior
Abah Anom beliau menuturkan bahwa ada salah seorang pemuda jago di dunia
persilatan ( beliau KH Komaruddin tidak menyebutkan nama pemuda
tersebut). Pemuda tersebut suatu hari mendatangi Mursyid Kammil
Mukammil Syekh Ahmad Shohibul wafa’tajul Arifiin (Abah Anom ) dengan
maksud menantang untuk berduel denganya, hal ini karena pemuda tersebut
mendengar kemasyhuran Abah Anom. Tetapi Abah Anom dengan suara
lembutnya menolak tantangan pemuda tersebut, seraya mengatakan bahwa
Abah tiada bisa apa-apa…. Setelah beberapa kali mendapat tolakan dari abah
anom ternyata pemuda tersebut semakin geram dan marah, sehingga ia
berusaha menerjang badan Abah Anom yang yang sedang duduk bersila, tetapi
apa yang terjadi …pemuda tersebut terpental seraya menjerit………aing jin
……aing jin…..aing jin,…..aing jin,…….padahal Abah Anom tiada bergerak dari
tempat duduknya.
ABAH ANOM DAN UPAYA PEMULIHAN KORBAN PENYALAH GUNAAN NARKOBA
Dalam rangka memberikan andil terhadap bangsa dan Negara Abah Anom
memiliki peram serta dengan merintis dan membentuk sebuah lembaga yang
khusus menangani dan menyembuhkan para korban kecanduan NARKOBA
yang disebut dengan INABAH. Metode yang diterapkan oleh Abah Anom di
dalam INABAH menggunakan metode dzikir dan shalat serta mandi taubat
yang merupakan amalan TQN Suryalaya, dengan metode ini ribuan pecandu
NARKOBA berhasil disembuhkan bahkan INABAH sekarang sudah berkambang
ke beberapa daerah di Indonesia dan mancanegara.
Al Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Yahya mengambil thariqah dan hirqah
Muhammadiah dari para tokoh ulama. Dari guru-gurunya beliau mendapat
ijazah untuk membaiat dan menjadi mursyid. Diantara guru-gurunya itu
adalah:
Thariqah Naqsyabandiah Khalidiyah dan Syadziliah al ‘Aliah
Dari al Alim al Alamah Qutb al Kabir al Habib ‘Ali bin Husain al ‘Athas.
Afrad Zamanihi Akabir Aulia al Alamah al habib Hasan bin Qutb al Ghauts
Mufti al kabir al habib al Iamam ‘Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Bâ
‘Alawi.
Al Ustadz al kabir al Muhadits al Musnid Sayidi al Al Alamah al Habib
Abdullah bin Abd Qadir bin Ahmad Bilfaqih Bâ ‘Alawi.
Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Ali bin Sayid Al Qutb Al Al Alamah
Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
Al Alim al Arif billah al Habib Hasan bin Salim al ‘Athas Singapura.
Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar
bin Salim Bâ ‘Alawi.
Dari guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah dan
ijazah untuk baiat, talqin dzikir khas dan ‘Am.
Dari Al Alim al Alamah tabahur dalam Ilmu syaria’at, thariqah, hakikat dan
tashawuf Sayidi al Imam ‘Ali bin Umar bin Idrus bin Zain bin Qutb al Ghauts al
Habib ‘Alawi Bâfaqih Bâ ‘Alawi Negara Bali.
Dari Sayid Ali bin Umar dari Al Alim al Alamah Auhad Akabir Ulama Sayidi
Syekh Ahmad Khalil bin Abd Lathif Bangkalan. ra.
Dari kedua gurunya itu, al Habib Muhammad Luthfi mendapat ijazah menjadi
mursyid, hirqah, talqin dzikir dan ijazah untuk bai’at talqin.
Dari beliau, Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah mursyid, hirqah, talqin
dzikir, bai’at khas, dan ‘Am, kitab-kitab karangan syekh Maliki, wirid-wirid,
hizib-hizib, kitab-kitab hadis dan sanadnya.
Thariqah Tijaniah:
Dari Al Alim al Alamah Akabir Aulia al Kiram ra’su al Muhibin Ahli bait Sayidi
Sa’id bin Armiya Giren Tegal. Kiyai Sa’id menerima dari dua gurunya; pertama
Syekh’Ali bin Abu Bakar Bâsalamah. Syekh Ali bin Abu Bakar Bâsalamah
menerima dari Sayid ‘Alawi al Maliki. Kedua Syekh Sa’id menerima langsung
dari Sayid ‘Alawi al Maliki.
Dari Syekh Sa’id bin Armiya itu Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah, talqin
dzikir, dan menjadi mursyid dan ijazah bai’at untuk khas dan ‘am.
Pengajian Thariqah tiap jum’at Kliwon pagi (Jami'ul Usul thariq al Aulia).
Pengajian Ihya Ulumidin tiap Selasa malam.
Pengajian Fath Qarib tiap Rabu pagi(husus untuk ibu-ibu)
Pengajian Ahad pagi, pengajian thariqah husus ibu-ibu.
Pengajian tiap bulan Ramadhan (untuk santri tingkat Aliyah).
Da’wah ilallah berupa umum di berbagai daerah di Nusantara.
Rangakain Maulid Kanzus (lebih dari 60 tempat) di kota Pekalongan dan
daerah sekitarnya. Dan kegiatan lainnya.
Jabatan Organisasi:
KH Muhammad Sami’un
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH
Keberadaan Pondok Pesantren Parakan Onje Purwokerto yang kini dikenal
dengan Pesantren Ath-Thohiriyyah, tak dapat dilepaskan dari sosok KH
Muhammad Sami’un. Pasalnya, beliaulah yang mula pertama melakukan
babad ke-Islam-an di wilayah ini. Siapakah KH Muhammad Sami’un itu? Beliau
adalah putera K Muhammad Maksum, seorang katib di Purwokerto yang hidup
semasa penjajahan Belanda. Sami’un kecil mengenyam pendidikan formal di
bangku HIS dan MULO. Ilmu pengetahuan agama diperolehnya dari Kyai Imam
Tabri Kauman. Setamat MULO, Sami’un muda bekerja pada Pemerintah
Belanda, menangani proyek pembangunan rel kereta api jurusan Purwokerto-
Jakarta. Saat berada di Jakarta, yakni ketika sedang memberesi tempat tidur,
Sami’un dikejutkan oleh seekor kalajengking yang muncul dari balik kasur.
Sejak saat itu, bayangan akan siksa kubur bergelayut di benaknya. Pengalaman
rohani ini membuatnya berkeputusan berhenti kerja, dan putar haluan untuk
mendalami ilmu agama.
Berbekal gaji yang ditabungnya semasa kerja, Sami’un menjalani kehidupan
baru sebagai santri. Pertama-tama yang ditujunya adalah Pesantren Lirap
Kebumen yang dikenal sebagai pesantren alat (nahwu). Hafalan kitab
Jurumiyah, Imriti dan Alfiyah dikhatamkan dalam tempo tiga bulan. Di
pesantren ini, Sami’un berguru kepada Kyai Ibrahim selama dua tahun (1911-
1913). Selepas dari Lirap, ia melanjutkan ke Pesantren Termas untuk berguru
pada KH Dimyati (1914-1924). Semasa di Termas, secara temporer Sami’un
menyempatkan ngaji kitab Ihya Ulumaddin pada KH Abdullah bin Abdul
Muthalib di Kaliwungu Kendal.
Pergi ke Tanah Suci adalah tekad yang ingin segera ia wujudkan. Lantas, ia
melamar sebagai juru bahasa bagi kapal-kapal yang masuk ke Serawak. Hasil
tes wawancara mensyaratkan, ia akan diterima kerja jika sudah berkeluarga.
Maka, ia segera kembali ke kampung halaman untuk menikah dan memboyong
sang isteri (Sartinah) ke Serawak. Bekerja di Serawak adalah pilihan sebagai
batu loncatan menuju Mekkah. Lima tahun lamanya Sami’un-Sartinah tinggal
di negeri orang (1925-1930). Tahun 1929 mereka dikaruniai momongan yang
pertama dan diberi nama Abu Hamid (Pengasuh Pesantren Al-Ikhsan Beji
Purwokerto).
Saat mengandung putera kedua, Sartinah mendesak sang suami agar pulang ke
tanah air. Sejak 1930, KH Sami’un beserta keluarga kembali ke Purwokerto dan
memulai berdakwah di Masjid Wakaf Sokanegara. Sepuluh tahun lamanya KH
Sami’un mengajar para santri di Sokanegara, sebelum akhirnya hijrah ke
Parakan Onje pada 1940.
KH Sami’un menetap di Parakan Onje hingga akhir hayatnya pada 23 Ramadan
1372. Sepeninggal almarhum, para santrilah yang meneruskan dakwah beliau
di kemudian hari. Mereka antara lain KH Zaid Abu Mansyur (Lesmana), KH
Muhyiddin (putera menantu), Kiai Dimyati dan Kiai Abdul Ngalim (Kober), Kiai
Romli (Pasir Kulon), Kiai Sulaeman, Kiai Ishak, dan lain-lain. KHM Sami’un juga
dikenal sebagai mursyid tarekat Syadziliyyah. Ijazah wirid tarekat ini diperoleh
dari KH Abdullah bin Abdul Muthalib Kaliwungu (Kendal). Penerus tarekat
beliau adalah KH Zaid Abu Mansyur Lesmana dan KH Abu Hamid Beji.
Meski fasih berbahasa asing, terutama bahasa Belanda dan Arab, KH Sami’un
lebih suka mengajar para santri dengan Bahasa Jawa. Bahkan, beberapa karya
almarhum ditulis dalam dalam bahasa Arab-Jawa, seperti Lubabuz Zaad, Aqoid
50, Terjemah Yasin dan Doa Sholat Bahasa Jawa.
SYAIKH ABDUL MALIK BIN ILYAS
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH
Kiai Haji Nahrowi Dalhar atau Mbah Dalhar dikenal sebagai ulama yang
mumpuni. Belum lama ini sosok Kiai Ahmad Abdul Haq meninggal dunia. Kiai
kharismatik ini adalah putra dari kiai Dalhar yang juga dikenal sebagai salah
satu wali yang masyhur di tanah Jawa. Mbah Dalhar begitu panggilan akrabnya
adalah mursyid tarekat Syadziliyah dan dikenal sebagai seorang yang wara’ dan
menjadi teladan masyarakat.
Kiai Haji Dalhar , Watucongol, Magelang dikenal sebagai salah satu guru para
ulama. Kharisma dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk
menimba ilmu. Mbah Dalhar , begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang
disegani sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu
mursyid tarekat Syadziliyah ini dikenal juga menelorkan banyak ulama yang
mumpuni.
Mbah Dalhar dilahir kan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12
Januari 1870 M) di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir
dalam lingkungan keluarga santri yang taat. Sang ayah yang bernama
Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo adalah cucu dari Kyai Abdurrauf.
Kekeknya mbah Dalhar dikenal sebagai salah seorang panglima perang
Pangeran Diponegoro. Adapun nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada
Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai
keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan
Raden Bagus Kemuning.
Semasa kanak – kanak, Mbah Dalhar belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar
ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri. Pada usia 13 tahun baru mondok di
pesantren. Ia dititipkan oleh ayahnya pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu
sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di
bawah bimbingan Mbah Mad Ushul , ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih
2 tahun.
Kemudian tercatat juga mondok di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu,
Kebumen pada umur 15 tahun. Pesantren ini dipimpin oleh Syeikh As Sayid
Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya
Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Selama delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar
di pesantren ini. Selama itulah Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh.
Hal itu terjadi atas dasar permintaan ayahnya kepada Syeikh As Sayid Ibrahim
bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Jalan Kaki dan Pemberian Nama Baru
Tidak hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah
Mukaramah berliau berguru kepada beberapa alim ulama yang masyhur.
Perjalalannya ke tanah suci untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314
H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim
bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya
Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh
As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani berkeinginan menyerahkan
pendidikan puteranya kepada shahib beliau yang menjadi mufti syafi’iyyah
Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Keduanya berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui
pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Ada sebuah kisah menarik tentang
perjalanan keduanya. Selama perjalanan dari Kebumen da singgah di Muntilan
, kemudian lanjut sampai di Semarang, Mbah Dalhar memilih tetap berjalan
kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Hal ini
dikarenakan sikap takdzimnya kepada sang guru. Padahal Sayid Abdurrahman
telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Di Makkah
(waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman
tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman
dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As Sayid Muhammad
Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan
para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah
dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar
diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai
waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian
memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau
memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli
beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As
Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt,
mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan
nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.
Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah
kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan
ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana
kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang
memasyhurkan.
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah.
Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama
ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab
dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi
nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau
ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah
Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3
tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau
melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja
serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya,
beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk mendoakan para
keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah
suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah
Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar
juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirrnya
ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh
siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH
Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan
hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ;
dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq. Sahrallayal
(meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai
Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi
bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Murid dan Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar
secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab
tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar
As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu
sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang
sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH
Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-
Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar
di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat
tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru
kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH
Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dan lain
sebagainya. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai
Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau
bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat
pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu
namun jatuh hari Kamis Pahing. http://www.sufinews.com/index.php/Tokoh-
Sufi/waliyullah-gunung-pring.sufi
Mbah Kyai Dalhar PART II
Mbah Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol,
Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 –
Je (12 Januari 1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan
nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama
Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah
seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo
sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh
karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain
dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau
memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam
kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika beliau hidup menyepi
didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal
dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang putera beliau yang
bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu
agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau
untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak
hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan
wilayah Magelang dari penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang
bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan
teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan
figure – figure yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda
sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad dimasyarakat. Menilik dari kelebihan
yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar
Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah
Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh
Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun
sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.
Pesantren Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama
Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang
sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring).
Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai Dalhar, beliau juga meneruskan
pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga dieser kearah
sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol. Adapun kisah ini
ada uraiannya secara tersendiri.
Ta’lim dan rihlahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup
kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan
oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak –
kanaknya, beliau belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada
ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai
Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad
Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo,
Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid
selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok
Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun.
Oleh ayahnya, mbah Kyai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh
As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan
laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar
belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem
pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayah beliau sendiri pada
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh
gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani
untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid
Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam
kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas
ketaatan dan keta’dziman mbah Kyai Dalhar pada gurunya. Namun akan kita
tulis pada segmen lainnya.
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan
menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-
Jilani Al-Hasani kepada shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi
mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-
Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid
Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kyai Dalhar berangkat ke Makkah
dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.
Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan
kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kyai Dalhar
kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun
kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman
telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun
itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar. Subhanallah.
Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar
dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal)
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid
Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh
gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin
mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu
mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut
hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian
memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau
memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli
beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt,
mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan
nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.
Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah
kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan
ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana
kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang
memasyhurkan nama beliau di Jawa.
Riyadhah dan amaliahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah.
Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama
ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab
dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi
nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau
ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah
Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3
tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau
melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja
serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya,
beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para
keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah
suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah
Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar
juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya
ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh
siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH
Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan
hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ;
dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah
Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi
bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Karamahnya
Sebagai seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah.
Diantara karamah yang dimiliki oleh beliau ialah :
* Suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar
300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara
* Mengetahui makam – makam auliyaillah yang sempat dilupakan oleh para
ahli, santri atau masyarakat sekitar dimana beliau – beliau tersebut pernah
bertempat tinggal
* Dll
Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara
umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab
tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar
As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu
sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang
sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH
Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-
Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar
di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat
tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Murid – muridnya
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru
kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH
Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll.
Wafatnya
Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat
pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan
dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23
Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun
jatuh hari Kamis Pahing. Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq
(putera laki-laki mbah Kyai Dalhar), yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat
pada hari Rabu Pon.
Al-Habib Umar bin Salim bin Hafiz
MURSYID TAREKAT QODIRIYYAH
Beliau adalah sosok ulama karismatik yang berasal dari Indonesia bagian timur.
Kedalaman ilmu yang dimilikinya menjadikannya beliau sosok ulama yang
cukup di segani dan termasyhur serta menjadi kebanggaan indonesia bahkan
dunia. Ulama Ahli Hadist Mekkah Habib Muhammad Alwi al maliki bahkan
pernah mengatakan ” Tidak ada para ulama dan Pelajar di Mekkah yang tidak
mengenal Syech Zainuddin , beliau adalah ulama besar yang memiliki segudang
ilmu bukan hanya milik bangsa Indonesia tapi milik umat islam sedunia.
Ucapan Habib Muhamad alwi almaliki tersebut bukan tanpa alasan. Sosok
Zainuddin bin Abdul madjid sudah terkenal memiliki kecerdasan yang luar
biasa sejak usia remaja. Para guru-gurunya pun mengakui kelebihan yang
dimiliki oleh Zainuudin.
Ulama asal Lombok ini terkenal dengan sebutan Tuang Guru Zainuddin bin
Abdul Madjid Al amfani Al Fancuri, Lahir di Desa Pancor lombok timur
tangal 11 may 1906. Ayah beliau KH. Abdul Madjid seorang ulama dan
pejuang yang cukup di segani di lombok . Menjelang kelahiran Putranya,
ayahnya bermimpi didatangi Waliyulloh dari Tarim Hadromaut , dalam mimpi
tersebut di beri pesan agar anaknya di beri Nama ”Saqqap” yang artinya
“Orang yang memperbaiki atap” Orang Indonesia menyebutnya “assegap”
dan secara kebetulan Waliyulloh tersebut bernama “Saqqop”. Sejak kecil
Zainuddin dipanggil dengan dialek sasak dengan sebutan “Segep” atau “gep”.
Setelah Menunaikan Ibadah Haji baru Namanya di ganti dengan
Haji Zainuudin bin Abdul Madjid.
Sejak kecil Tuan Guru ZAinuddin belajar kepada ayahnya dan ulama ulama di
Lombok. Menginjak usia Remaja Tuan Guru Zainuddin di kirim ayahnya untuk
belajar di Mekkah. Kecerdasan yang dimilki Tuan Guru Zainuddin mampu
menyerap ilmu-ilmu yang di berikan gurunya. Diantara guru -guru beliau di
Mekkah adalah Syech Hasan Muhamad Al masysyat, Al alamah Syech Salim
rahmatulloh dan lain-lain. Kejeniusan Tuan Guru Zainuddin sangat di kagumi
oleh guru guru beliau. Bahkan ketika masuk di Madrasah Al-Shaulatiyah
sebagaimana lazimnya setiap pelajar yang akan belajar di sana harus melalui
tes, dan yang memberikan tes tersebut adalah direktur Al Shaulatiyyah sendiri
Al alamah Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad Al-
Masysyath. Dan hasilnyapun sungguh mencengangkan, Tuan Guru Zainuddin
lulus tes dan ditempatkan langsung di tingkat tiga. Namun dengan kerendahan
hatinya Tuan Guru Zainuddin meminta agar dirinya masuk ke tingkat 2 saja
dengan alasan untuk memperdalam ilmu Nahwu Shorof. Dengan demikian
akhirnya Zainuddin belajar di Madrasah Al Shaulatiyyah langsung ke tingkat 2.
Tuan Guru Zainuddin tak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan
kepadanya untuk belajar dengan sungguh sungguh. Dengan di temani oleh
ibunya selama di Mekkah, Tuan Guru Zainuddin selalu minta Ridho dan do’a
dari ibunya demi kesuksesannya dalam belajar. Dan terbukti Tuan guru
Zainuddin lulus dengan predikat “Mumtaz” (camlaude). Sebagai penghargan
atas prestasinya Direktur Madrasah Al-Shaulatiyah Syaikh Salim Rahmatullah
mengundang Ahli Kaligrafi terbaik di Mekkah untuk menulis Ijazah Tuan guru
Zainuddin, bahkan Beliau mengatakan bahwa “Madrasah Al shaulatiyah tidak
perlu memiliki murid banyak , cukup satu orang saja asalkan memilki prestasi
dan berkualitas seperti ZAinuddin”. Prestasi yang didapat oleh Tuan guru
Zainuddin bukan tanpa pengorbanan, Ibunda yang selalu mendampingi dan
mendo’kannya telah meninggal dunia di Makkah.
Hampir 13 tahun Ta’lim di Makkah Tuan Haji Zainuddin kembali ketanah air.
Suasana konflik di tanah air dengan Belanda , telah membangkitkan semangat
beliau untuk berdakwah dan melakukan perlawanan terhadap penjajah. Beliau
melakukan dakwah ke berbagai plosok daerah dan terkenal dengan sebutan
“Guru Bajang” . Tahun 1934 Tuan Guru Haji Zainuddin mendirikan Pesantren
bernama “Al Mujahidin” yang merupakan Cikal bakal berdirinya “Nahdlatul
Wathon” yang di didirikan tgl 22 Agustus 1937 . Pembawaanya yang
berwibawa dan keluasan ilmu yang mendalam menjadikan beliau sosok ulama
yang menjadi panutan dan rujukan para ulama, sikapnya yang sederhana tak
menunjukan bahwa beliau seorang ulama. Selalu mendengar keluh kesah
warganya dan mencoba di carikan jalan keluarnya. Maka beliau begitu sangat
di cintai murid dan warganya. Perkembangan Nahdlatul Wathon sangat pesat
sampai saat ini telah memilki hampir 1000 cabang di seluruh nusantara,
perkembangan tersebut tak lepas dari peran para muridnya yang membuka
cabang di daerah tinggalnya masing masing.
Jaringan Intelektual
TGH Muhammad Zainuddin AM memiliki jaringan intelektual yang luar biasa,
terutama silsilah guru-guru yang didapatinya selama di Makkah al-
Mukarromah. Jaringan ini mencerminkan betapa luasnya pengembaraan
mencari ilmu dan matangnya keilmuwan TGH Muhammad Zainuddin AM.
Silsilah keilmuwan yang diperolehnya tidak dalam satu mata rantai dalam
setiap cabang keilmuwan, melainkan beberapa guru yang memiliki
kemampuan dan pengetahuan agama yang luas.
Guru-guru yang mengajarkan al-Qur’an dan kitab melayu:
1. T.G.H. Abdul Majid
2. T.G.H. Syarafuddin Pancor Lombok Timur
3. T.G.H. Abdullah bin Amak Dujali Kelayu Lombok Timur
4. Al ‘Alim al-‘Allamah al-Syaik al-Kabir al-Arifubillah Maulana Syaikh Hasan
Muhammad al-Mahsyat
5. Al ‘Alim al-‘Allamah al-Faqih Maulana al-Syaikh Umar Bajunaid al- Syafi’i
6. Al ‘Alim al-‘Allamah al-Faqih Maulana Syaikh Muhammad Syaid al-Yamani
al-Syafi’i
7. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Mutaffanin Sibawaihi Zanamihi Maulana Syaikh Ali al-
Maliki
8. Maulana Syaikh Abu Bakar al-Falimbangi
9. Maulana Syaikh Hasan Jambi al-Syafi’i
10. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Muffasir Maulana al-Syaikh Abdul Qadir al-Mandili
al-Syafi’i
11. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Shufi Maulana Syaikh Muhtar Betawi al-Syafi’i
12. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Muhaddis Maulana Syaikh Umar Hamdan al Mihrasi
al-Maliki
13. Al ‘Allim al- ‘Allamah al-Muhaddis Maulana Syaikh Abdul Qadir al-Syibli al-
Hanafi
14. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Adib al-Shufi Maulana Syaikh al-Syayid Muhammad
Amin al-Kuthbi al-Hanafi
15. Al ‘Allim al-‘Allamah Maulana Syaikh Muhsin al-Musahwa al-Syafi’i
16. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Falaqi Maulana Syaikh Khalifah al-Maliki
17. Al ‘Allim al-‘Allamah Maulana Syaikh Jamal al-Maliki
18. Maulana Syaikh al-Shahih Muhammad Shalih Mukhtar al-Makhdum al-
Hanafi
19. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Syafi’i Maulana Syaikh Mukhtar al-Makhdum Al
Hanafi
20. Maulana Syaikh al-Syayid Ahmad Dahlan Sadakah al-Syafi’i
21. Maulana Syaikh Salim Cianjur al-Syafi’i
21. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Muarrikh Maulana Syaikh Salim Rahmatullah al-
Maliki
22. Maulana Syaikh Abdul Gani al-Maliki
23. Maulanasyaikh al-Syayid Muhammad Arabi al-Tubani al-Jasairi al-Maliki
24. Maulana Syaikh al-Faruq al-Maliki
25. Maulana Syaikh al-Wa’id al- Syaikh Abdullah al-Farisi
26. Maulana Syaikh Mala Musa
Guru Ilmu Tajwid, al-Qur’an dan Qiraat Sab’ah:
1. Al-Syaikh Jamal Mirdad (Imam dimakam Imam Hanafi di Masjidil Haram)
2. Al-Syaikh Umar Arba’in (Ahli Qur’an dan Qasidah yang sangat terkenal)
3. Al-Syaikh Abdul Latif Qari (Guru besar di Qiraat Sab’ah di Madrasah 4.
Ashaulatiyah)
4. Al-Syaikh Muhammad Uba’id (kepala guru/Guru besar dalam bidang Tajwid
dan Qiraat yang sangat terkenal di Makkah).
Ilmu Fiqih, Tasawuf, Tajwid, Usulul Fiqih dan Tafsir:
1. Al-‘Alamah ‘al-Syaihk Umar Bajunaid al-Syafi’i
2. Al-‘Alimul al-Alamah al-Syaikh Muhammad Said al-Yamani
3. Al-‘Alamah al-Syaikh Muhtar Betawi
4. Al-‘Alamah al-Syaihk Abdul Qadir al-Mandili (Murid Khusus dari al- Allamah
5. Syaikh Ahmad Hamud Minangkabau Sumatera Barat)
6. Al-‘Alamah al-Faqih Abdul Hamid Abdur Rabb al-Yamani
7. Al-‘Mutaffanin al-‘Allamah al-Syayid Muhsin al-Musawa (Musisi Pendiri Darul
Ulum al-Diniyah Makkah Mukarramah)
8. Al-‘Allamah al-Adib al-Syaikh Abdullah al-Lajahi al-Farisi (Pengarang Yang
Sangat Terkenal)
Guru Ilmu Arud (Syair Bahasa Arab):
1. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Syaikh Abdul Qani al-Qadli
2. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Adib al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi
Guru Ilmu Falak:
1. Maulana Syaihk Cianjur (Jawa Barat)
2. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Falaki Maulana Syaikh Khalifah al-Makki
3. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Sayyid Ahmad Dahlan Sadakah al-Syafi’i
Guru Ilmu Hadits, Mustalahul Hadits, Mustahul Tafsir, Ilmu Fara’id, Sirah
(Tarikh) dan Berbagai Ilmu Alat (Nahu-Syaraf):
1. Al-‘Allamah al-Qabir Sibawaihi Zamanihi al-Syaikh al-Maliki
2. Al-‘Allamah al-Jalil Asyaikh Jamal al-Maliki
3. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Kabir al-Muhaddist Maulana Syaihk Umar Hamdan al-
Mihrazi al-Syafi’i
4. Al ‘Allimul ‘Allamah al-Kabir al-Muhaddist Maulana Syaikh Abdullah al-Buhari
al-Syafii (Mufti Istanbul)
5. Maulanna Wamurabbi Abil Barokah al-‘Allim al-‘Allamah al-Ushuli al-
Muhaddist al-Shufi al-‘Arifubillah Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-
Mahsyat al-Maliki
6. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Shorfi Maulana Syaikh Muftar Makdum al-Hanafi
7. Al-‘Allim al-‘Allamah Maulana Syaikh al-Sayyid Muhsin al-Musawa
8. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Adeb al-Shufi Maulana Shaihk al-Sayyid Muhammad
Amin al-Kutbi al-Hanafi
9. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Syaikh Umar al-Faruk al-Maliki
10. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Kabier al-Syaikh Abdul Qadir al-Syalabi al-Hanafi
Guru Ilmu Arwad (Ahzab):
1. Al-‘Allim al-‘Allamah (Kyai Falaj) (Bogor Jawa Barat)
2. Maulana Syaihk Malla Musa al-Maqribi
Guru Khat (Kaligrafi):
1. Al-Khattah al-Syaikh Abdul Aziz Langkat
2. Al-Khattah al-Syaihk Dau al-Rumani al-Fhatani
3. Al-Khattah al-Syaihk Muhammad al-Ra’is al-Maliki
Dari semua guru TGH Muhammad Zainuddin AM, ada lima guru/ulama yang
sangat berjasa dalam membimbing dan mendidiknya di Mekah: Syaikh Hasan
Muhammad al-Mahsyat al-Maliki, Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi
al-Hanafi, Syaikh Umar al-Faruk al-Maliki, dan Syaikh al-Sayyid Umar Hamdan
al-Mihrasi al-Syafi’i.
Kiprah Sosial-Keagamaan
Melihat kondisi masyarakat Lombok yang masih terbelenggu oleh kebodohan
dan keterbelakangan, TGH Muhammad Zainuddin AM merasa tertantang
untuk membenahi masyarakatnya yang masih dalam jajahan Belanda, Jepang,
Hindu Bali (Anak Agung Karangasem) melalui pencerdasan agama.
Kepulangannya dari Mekah pada tahun 1934 ketika terjadi peperangan antara
Raja Syarif Husein dengan Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman sehingga ia
kembali ke Lombok untuk membuka pengajian pemula untuk masyarakat
dengan sistem halaqah (Abdul Hayyi Nu’man, 1998).
Pondok Pesantren yang didirikan diberi nama Pondok Pesantren Nahdlatul
Wathan (membela tanah air) sesuai dengan obsesinya untuk membela tanah
air dari kaum penjajah. Dengan berbekal ilmu yang dimiliki, ia mampu tampil
sebagai seorang ulama yang mempunyai kompetensi besar dalam membentuk
kader ulama. jenjang pendidikan yang khusus untuk mencetak kader ulama
diberi nama Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits. Sebagai seorang Mujahid, TGH
Muhammad Zainuddin AM berupaya melakukan inovasi untuk meningkatkan
pengetahuan agama masyarakat. Itu sebabnya, ia membuat rintisan dengan
memperkenalkan sistem madrasi dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran agama di NTB, membukan lembaga pendidikan khusus bagi wanita,
mengadakan Syafatul Qubra, meciptakan hizib tarekat Nahdaltul Wathan,
membuka sekolah umum di samping sekolah agama, menyususn nazham
berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia.
Berikut ini kiprah sosial-keagamaan TGH Muhammad Zainuddin AM:
1. Pada tahun 1943 mendirikan Pesantren Al-Mujahidin
2. Pada tahun 1937 mendirikan Madrasah NWDI
3. Pada tahun 1943 mendirikan Madrasah NBDI
4. Pada tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok
5. Pada tahun 1946 Pelopor Penggempuran Nica di Selong Lombok Timur
6. Pada tahun 1947/1948 menjadi Amirul Hajji dari negara Indonesia Timur
7. Pada tahun 1948/1949 Anggota delegasi Negara Indonesia Timur ke Saudi
Arabia
8. Pada tahun 1950 Konsultan NU Sunda Kecil
9. Pada tahun 1952 Ketua badan penasehat Masyumi Daerah Lombok
10. Pada tahun 1953 Mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan
11. Pada tahun 1953 Ketua Umum PBNW pertama
12. Pada tahun 1953 Merestui terbentuknnya NU dan PSII di Lombok
13. Pada tahun 1954 Merestui terbentuknya PERTI Cabang Lombok
14. Pada tahun 1955 Anggota Konstituante RI hasil Pemilu I 1955
15. Pada tahun 1964 Menjadi peserta KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di
Bandung
16. Pada tahun 1964 Mendirikan Akademi Paedagogik NW
17. Pada tahun 1965 Mendirikan Ma’had Darul Qur’an Wal Hadist Al Majidiah
Asy Syafi’iyah Nadlatul Wathan
18. Pada tahun 1972/1982 Anggota MPR RI hasil Pemilu II dan III
19. Pada tahun 1971/1982 Penasehat Majelis Ulama’ Indonesia Pusat
20. Pada tahun 1974 Mendirikan Ma’had Lil Banat
21. Pada tahun 1975 Ketua Penasehat bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti
Hajar Mataram
22. Pada tahun 1977 Menjadi Rektor Universitas Hamzan Wadi
23. Pada tahun 1977 Mendirikan Universitas Hamzan Wadi
24. Pada tahun 1977 Mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzan Wadi
25. Pada tahun 1978 Mendirikan STKIP Hamzan Wadi
26. Pada tahun 1978 Mendirikan Sekolah Ilmu Syari’ah Hamzan Wadi
27. Pada tahun 1982 Mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzan Wadi
28. Pada tahun 1987 Mendirikan Universitas Nahdlatul Nathan di Mataram
29. Pada tahun 1987 Mendirikan Sekolah Ilmu Hukum Hamzan Wadi
30. Pada tahun 1990 Mendirikan Sekolah Ilmu Da’wah Hamzan Wadi
31. Pada tahun 1994 Mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) putra
putri
32. Pada tahun 1996 Mendirikan Institut Agama Islam Hamzan Wadi
Pemikiran dan Karyanya
Konsep pendidikan yang diajarkan adalah bahwa pendidikan tidak hanya
memberikan ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi juga pemupukan moral,
melatih dan mempertinggi nilai-nilai kemanusiaan. Karena pendidikan adalah
kewajiban manusia untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dalam hal ini, usaha
yang ia pikirkan dan praktikkan adalah pengembangan pendidikan Islam
melalui pesantren. Yakni, berusaha mengembangkan pesantren dengan
menerima beberapa pemikiran alternatif yang dapat dijadikan sebagai
masukan/kontribusi bagi pengembangan pesantren sejalan dengan perubahan
zaman. Karena itu, menurut TGH Muhammad Zainuddin AM, pesantren mesti
merubah orientasinya dengan tidak sekadar berorientasi pada pencarian ilmu
agama, tetapi juga ilmu-ilmu yang lain.
TGH Muhammad Zainuddin AM dikenal sebagai ulama yang tidak sekadar
menekuni dunia pendidikan di pesantren dan masyarakat, tetapi juga sebagai
penulis dan pengarang yang produktif yang bakatnya ini timbul sejak masih
belajar di Madrasah Ash-Shaulatiyah di Mekah. Beberapa karya yang
dihasilkannya di antaranya dalam bentuk kitab, kumpulan doa, dan lagu-lagu
perjuangan dalam bahasa Arab, Indonesia, dan Sasak.
Karya-karyanya antara lain:
1. Risalah al-Tauhid
2. Sullam al-Hija’
3. Syarah Safinah al-Najah
4. Nahdlah al-Zainiyyah
5. Al-Tuhfah al-Ampananiyah
6. Al-Fawakih al-Nahdliyyah
7. Mi’raj al-Sibyan ila Samaim al-Bayan
8. Anfat ‘Ala Tarikah al-Tsaniyah
9. Hizib Nahdlatul Wathan
10. Hizib Nahdlatul Banat
11. Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan
12. Batu Ngumpal Anak Nunggal
13. Tarekat Batu Ngumpal
14. Wasiat Renungan Masa I
15. Wasiat Renungan Masa II
16. Ta’sis NWDI
17. Imamuna al-Syafi’i
18. Mi’raj al-Sibyan
19. Siraj a-Qulub fi Da’iyat ‘Alamat al-Guyub
Banyaknya karya yang telah ia terbitkan mencerminkan ketinggian ilmu
yang dimilikinya, sehingga oleh guru-gurunya TGH Muhammad Zainuddin AM
mendapat pujian dan kepercayaan yang besar. Di antaranya, ia pernah diberi
kesempatan untuk memberikan kata pengantar dari gurunya Maulana Syaikh
Hasan Muhammad al-Mahsyat. Dalam kata pengantar yang ia tulis untuk kitab
Baqi’ah al-Mustarsyidin karya Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat
sambil mengutip hadist Nabi Saw mengatakan: “Janganlah kamu mempelajari
ilmu syariat dari seseorang kecuali dari orang yang baik riwayat hidupnya dan
hatinya dan kamu sekalian telah menyelidiki atas keamanahannya”. Dari
Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat inilah, ia pernah mendapatkan
risalah/ijazah dengan seluruh isi kitabnya, “al-Irsyad bi al-Dzikr ba’da Ma’alim
al-Ijazah wa al-Asnaf”. Dari sinilah, ia menukil sebagian ucapan gurunya
tentang kehidupan pribadinya yang mantap, tetapi tetap menganggap dirinya
adalah orang yang hina dan fakir dalam pengetahuan agama.
Syaikh Muhammad al-Mahsyat pernah memberikan sanjungan kepada TGH
Muhammad Zainuddin AM. Berikut kutipannya: “Demi Allah saya kagum
kepada Zainuddin, kagum pada kelebihannya atas orang lain pada kebesaran
yang tinggi dan kecerdsannya yang tiada tertandingi, jasanya bersih ibarat
permata menunjukkan kebersihan ayah bundanya dan karya-karya tulisnya
indah lagi menawan penaka bunga-bungaan yang tumbuh di lereng
pegunungan. Di lapangan ilmu ia dirikan ma’had, tetap dibanjiri thullab dab
thalibat menuntut ilmu dan menggali kitab. Ia kobarkan semangat generasi
muda menggapai mustawa dengan karyanya Mi’raj al-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm al-
Bayan. Semoga Alah memanjangkan usianya dan dengan perantarannya ia
memajukan ilmu pengetahuan agama di Ampanan bumi Selaparang.
Terkirimlah salam penghormatan harum semerbak bagaikan kasturi dari tanah
Suci menuju “Rinjani” (Syaikh Muhammad Zainuddin AM dalam Mi’raj al-
Sibyan ila Sama’i ‘Ilm al-Bayan). Dengan demikian, TGH Muhammad Zainuddin
AM selain dikenal sebagai ulama yang memiliki kepedulaian yang tinggi
terhadap dunia pendidikan Islam, ia juga mampu menuliskan pikiran-
pikirannya untuk memberikan warisan yang paling berharga bagi penerus
KIAI AS'AD SYAMSUL ARIFIN
MURSYID QODIRIYYAH WANNAQSYABANDIYYAH
Siapa tidak kenal Kiai As'ad Syamsul Arifin. Sang pembawa tongkat berisi pesan
penting dari Kiai Kholil Bangkalan untuk Khadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari itu
adalah sosok ulama kharismatik, unik dan pemberani. Beliau adalah salah satu
tokoh sentral lahirnya ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama.
Kini, Kiai As'ad sudah lama berpulang ke rahmatullah. Namun, warisan
keilmuan dan semangat juangnya masih tetap membara. Ribuan santrinya
telah menyebar di berbagai nusantara. Jelas, kenyataan itu menunjukkan
kapasitas keilmuan dan kekeramatannya. Dawuh atau wejangan Kiai As'ad,
selalu melekat dan diikuti para santri dan pecintanya. Sekali beliau berkata,
untaian kalimatnya begitu membekas dalam hati.
Pernah suatu hari, Ustadz Basori Alwi sengaja diundang oleh Kiai As'ad untuk
membacakan al-Quran di hadapan ribuan jamaah pengajian rutin yang diasuh
oleh Kiai As'ad. Usai Ustadz Basori -yang kini menjadi pengasuh Pesantren Ilmu
al-Qur'an (PIQ) Singosari Malang- melantunkan ayat-ayat suci al-Quran, Kiai
As'ad memintanya untuk memberikan sedikit tawsiyah di hadapan para
hadirin.
Tak bisa menolak, akhirnya Ustadz Basori pun menyampaikan beberapa
pelajaran terkait dengan pentingnya membaca al-Quran secara bertajwid dan
perlunya mendalami ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu al-Quran.
Setelah kurang lebih 30 menit berceramah, Kiai Basori menutup pidatonya
dengan doa singkat. Pada sesi berikutnya, Kiai As'ad lalu tampil sebagai
penceramah. Dalam muqaddimah pidatonya yang disampaikan dalam bahasa
Madura, Kiai As'ad berkata:
"Tan tretan sedejeh! Engak gi, Kiai Basori neka, guruna be'en kabbih. Inga' le,
molai setiyah, Kiai Basori nika, guruna be'en kabbih".
"Saudara-saudara! Ingat, Kiai Basori ini adalah guru kalian semua. Saya
peringatkan lagi, sejak hari ini, beliau ini menjadi guru kalian semua".
Sungguh luar biasa, akhlaq Kiai As'ad terhadap ilmu. Kiai kharismatik itu ingin
mengajarkan betapa seseorang yang telah berjasa mengajarkan sebuah ilmu,
meski hanya satu huruf, maka orang tersebut adalah gurunya. Pernyataan Kiai
As'ad di atas, mengingatkan pada statemen Sayyidina Ali bin Abu Thalib, "Ana
abdu man 'allamani wa law harfan wahidan". Artinya, "Aku adalah hamba
setiap orang yang mengajariku meski hanya satu huruf".
Setelah acara pengajian itu bubar, Kiai Basori pun pulang ke rumahnya di
Singosari, Malang. Saat itu, beliau memang telah rutin mengajar al-Quran
pulang-pergi antara Singosari-Situbondo. Karena belum punya kendaraan
pribadi dan bahkan bus angkutan umum pun masih jarang ada, maka
terkadang Kiai Basori harus "ngandol" alias numpang truk barang. Sebuah
perjuangan demi al-Quran.
Kembali ke kisah tadi. Ketika Kiai Basori naik bus kota di Situbondo, sepulang
dari pengajian tadi, kontan saja para penumpang bus mengenali sosok
penumpang itu yang tak lain adalah seseorang yang baru saja didaulat oleh Kiai
As'ad sebagai guru mereka semua.
Menyadari hal itu, syahdan para penumpang bus berebut untuk salaman
dengan Kiai Basori. Jelas hal ini membuat kiai muda itu nervous. Yang lebih
mengejutkan lagi, ternyata setiap penumpang itu menyalaminya dengan uang
seadanya. Ada memberi salam tempel sebesar 10.000, 5.000, hingga 1.000
rupiah.
Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Madura, bila bersalaman dengan
kiai, sebagai bentuk ta'dzim terhadap guru adalah memberi salam tempel
berupa uang, walaupun mungkin nilainya tidak besar. Bahkan, beberapa orang
Madura pantang bersalaman dengan seorang ulama dengan hanya tangan
kosong. Mereka menilai salam tempel kosongan adalah su'ul adab dan tidak
tahu hormat terhadap ahli ilmu.
Sungguh luar biasa, bentuk penghormatan para jamaah dan santri Kiai As'ad
yang notabene-nya adalah orang Madura. Sekali mereka di-dekrit oleh Kiai
As'ad bahwa Kiai Basori adalah juga guru mereka yang harus dihormati, maka
sejak itu pula mereka tunduk dan memperlakukan Kiai Basori layaknya guru
yang harus dimuliakan dalam segala hal, termasuk juga mensalaminya.
Hingga kini, di setiap acara haul Kiai As'ad, Kiai Basori selalu diundang untuk
membacakan surah Yasin atau ayat-ayat al-Quran. Kiai Fawaid, putra Kiai As'ad
dan juga penerusnya, sama sekali tidak mau menggantikan posisi Kiai Basori
dalam membacakan ayat-ayat suci al-Quran di acara haul Kiai As'ad. Mengapa?
Salah satu alasannya karena ayahanda beliau telah mendaulat Kiai Basori
sebagai Sang Guru Quran.
Sekali seseorang mengajari kita tentang ilmu, meski satu huruf saja, maka sejak
itu pula dialah guru kita. Inilah yang dipegangi Kiai As'ad Syamsul Arifin persis
seperti prinsip Saydina Ali bin Abu Thalib, Sang Pintu Ilmu dari Madinatul Ilmi.
Syeikh Abdul Karim Banten
(Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah)
http://teguhimanprasetya.files.wordpress.com/2008/09/gambar-
haji1.jpg?w=224&h=356&h=356 Pemimpin Tarekat dan Haji-haji Pemberontak
Gerakan kebangkitan kembali (revival) yang dipimpin Syekh Abdul Karim alias
Kiai Ageng memang memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal
keagamaan dan bernada puritan. Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang
radikal. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada tuntutan agar ketentuan-
ketentuan agama, dengan tekanan khusus kepada salat, puasa, mengeluarkan
zakat dan fitrah, agar benar-benar dilaksanakan. Dan tentu saja, zikir
merupakan kegiatan yang pokok pula.
Senin, 13 Februari 1876. Haji Abdul Karim meninggalkan Tanara. Ia terpaksa
meninggalkan Banten menuju tanah airnya yang kedua, Makkah, menyusul
pengangkatannya sebagai Pemimpin Tarekat Qadiriah, menggantikan Syekh
Ahmad Khatib Sambas. Ikut bersamanya 10 anggota keluarga, enam orang
pengawal, dan 30 atau 40 orang yang menyertainya hanya sampai Batavia.
Khawatir akan kemungkinan turunnya rakyat secara besar-besaran ke jalan,
Residen Banten meminta Kiai Abdul Karim mengubah rute perjalanannya.
Rencananya singgah di beberapa tempat di Tangerang dibatalkan; diputuskan
ia akan menumpang kapal langsung ke Batavia. Padahal banyak haji dari
Tangerang dan Distrik Bogor sudah berangkat ke Karawaci. Selain itu, satu
pertemuan besar akan digelar di rumah Raden Kencana, janda Tumenggung
Karawaci dan ahli waris perkebunan swasta Kali Pasir, yang selain oleh anggota
keluarganya juga bakal dihadiri orang-orang yang dicap pemerintah kolonial
sebagai “fanatik” dan pembangkang. Semuanya urung. Toh murid dan para
pengikut Abdul Karim berduyun-duyun bertolak dari desa-desa pantai, seperti
Pasilian dan Mauk, dengan menggunakan berbagai perahu, untuk menyatakan
salam perpisahan—dan semoga Kiai kembali.
Tak syak lagi, Haji Abdul Karim adalah salah satu ulama yang sangat dihormati
dan paling berpengaruh di Nusantara pada penghujung abad ke-19. Ia digelari
Kiai Agung. Bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai Wali Allah, yang
telah dianugerahi karamah. Di antara peristiwa yang disebut-sebut sebagai
petunjuk kekaramatannya, pertama, ia selamat ketika seluruh daerah dilanda
banjir air Sungai Cidurian; kedua, setelah ia dikenai hukuman denda, residen
diganti dan bupati dipensiun.
Besarnya pengaruh Kiai Abdul Karim, juga tampak ketika ia melangsungkan
pernikahan putrinya. Seluruh desa Lampuyang, tempat tinggalnya, dihias
dengan megah. Kiai-kiai terkemuka – termasuk dari Batavia dan Priangan –
datang di pesta yang antara lain dimeriahkan rombongan musik dari Batavia
dan berlangsung sepekan itu. Sejak muda Abdul Karim berguru kepada Syekh
Ahmad Khatib Sambas. Pemimpin tarekat yang juga menguasai hampir semua
cabang ilmu keislaman ini dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat, dan
bermukim di Makkah sejak perempat kedua abad ke-19. Pengarang Fathul
‘Arifin ini – kitab pedoman praktis untuk para pengamal tarekat di Asia
Tenggara – mengajar di Masjidil Haram sampai wafatnya pada 1875. Ulama
terkemuka ini punya banyak pengikut, sehingga ajaran Qadiriah menyebar di
berbagai daerah di Nusantara, seperti Bogor, Tangerang, Solok, Sambas, Bali,
Madura, dan Banten. Kecuali di Madura, semua pengikut tersebut berada di
bawah bimbingan Haji Abdul Karim. Boleh dikatakan, Abdul Karim adalah
murid Syekh Sambas yang paling terkemuka. Tak heran, jika dia mendapat
kepercayaan gurunya untuk menyebarkan ajaran Tarekat Qadiriyah.
Tugas pertama yang diemban Haji Abdul Karim adalah menjadi guru tarekat di
Singapura. Setelah beberapa tahun, ia kembali ke desa asalnya, Lampuyang,
Tanara, pada tahun 1872. Ia mendirikan pesantren, dan karena sudah amat
terkenal, dalam waktu singkat ia sudah banyak memperoleh murid dan
pengikut. Sulit diperkirakan berapa jumlah pengikutnya. Yang pasti, dialah yang
paling dominan di kalangan elite agama di Banten kala itu.
Kurang lebih tiga tahun Kiai Abdul Karim tinggal di Banten. Ditunjang kekayaan
yang dimiliknya, ia mengunjungi berbagai daerah di negeri ulama dan jawara
itu, sambil menyebarkan ajaran tarekatnya. Selain kalangan rakyat, ia juga
berhasil meyakinkan banyak pejabat pamong praja untuk mendukung
dakwahnya. Tidak kurang dari Bupati Serang sendiri yang menjadi
pendukungnya. Sedangkan tokoh-tokoh terkemuka lainnya, seperti Haji R.A
Prawiranegara, pensiunan patih, merupakan sahabat-sahabatnya, dan mereka
amat terkesan dengan dakwahnya. Alhasil, Kiai Abdul Karim sangat populer
dan sangat dihormati oleh rakyat; sedangkan para pejabat kolonial takut
kepadanya. Kediamannya dikunjungi Bupati Serang dan Residen Banten. Dan
tentu saja kunjungan kedua petinggi di Banten itu membuat gengsinya semakin
naik. Tidak berlebihan jika dikatakan, Kiai Abdul Karim benar-benar orang yang
paling dihormati di Banten.
Sebelum kedatangan Kiai Agung dengan tarekat Qadiriahnya, para kiai bekerja
tanpa ikatan satu sama lainnya. Tiap kiai menyelenggarakan pesantrennnya
sendiri dengan caranya sendiri dan bersaing satu sama lainnya. Maka, setelah
kedatangan Kiai Abdul Karim, tarekat Qadiriah bukan saja semakin mengakar di
kalangan rakyat, tapi mampu mempersatukan para kiai di Banten. Penyebaran
tarekat ini diperkuat oleh kedatangan Haji Marjuki, murid Haji Abdul Karim
yang paling setia, dari Makkah
Kiai Abdul Karim memang orang kaya. Dan kekayaan itu memungkinkannya
menjelajahi berbagai daerah di Banten. Dalam kunjungan-kunjungan itu dia tak
henti-henti berseru kepada rakyat supaya memperbarui kehidupan agama
mereka dengan jalan lebih taat beribadah.Ia menjelaskan bahwa aqidah
(keyakinan) dan ibadah (praktek agama) harus terus dimurnikan. Abdul Karim
memfokuskan zikir sebagai tema keangkitan kembali kehidupan agama
(revival). Maka zikir diselenggarakan di mana-mana, menggelorakan semangat
keagamaan rakyat. Dan Berkat kedudukannya yang luar biasa, khotbah-
khotbah Kiai Abdul Karim mempunyai pengaruh yang besar terhadap
penduduk.
Dalam waktu singkat, setelah Haji Abdul Karim memulai kunjungannya dari
satu tempat ketempat lain, daerah Banten diwarnai kehidupan keagamaan
yang luar biasa aktifnya. Pengaruh dari meluasnya kegiatan keagamaan ini
adalah bangkitnya semangat di kalangan umat dalam menentang penguasa
asing. Kebetulan pada waktu itu sudah berkembang rasa ketidakpuasaan
rakyat kepada pemerintah kolonial akibat tindakan politik dan ekonomi
mereka yang merugikan rakyat. Dalam situasi demikian, para ulama secara
bertahap membangunkansemangat rakyat untuk melawan pemerintah
kolonial Belanda. Ketidakpuasan itu kemudian memuncak sedemikian rupa
sehingga beberapa ulama merencanakan waktu untuk memberontak terhadap
Belanda. Kiai Abdul Karim sendiri menganggap bahwa pemberontakan belum
tiba saatnya karena rakyat belum siap.
Haji-haji Berjiwa Pemberontak
Seperti diungkapkan sejarawan Sartono Kartodirdjo, gerakan kebangkitan
kembali yang dipimpin Kiai Abdul Karim memang memperlihatkan sikap yang
keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada puritan. Tetapi ia bukan
seorang revolusioner yang radikal. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada
tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama, dengan tekanan khusus kepada
salat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah, agar benar-benar dilaksanakan.
Dan tentu saja, zikir merupakan kegiatan yang pokok pula. Setelah Haji Abdul
Karim meninggalkan Banten, menurut Sartono, gerakan itu berpaling dari
semata-semata sebagai gerakan kebangkitan kembali. Semangat yang sangat
anti asing mulai merembesi gerakan tarekat yang telah ditumbuhsuburkan Kiai
Abdul Karim. Dan pada akhirnya haji-haji dan guru-guru tarekat yang berjiwa
pemberontak menempatkan ajaran tarekat sepenuhnya di bawah tujuan
politik.
Syekh Abdul Karim disebut sebagai salah satu di antara tiga kiai utama yang
memegang peranan penting dalam pemberontakan rakyat Banten di Cilegon
pada tahun 1888. Dua tokoh kunci lainnya adalah KH Wasid dan KH Tubagus
Ismail. Sebelum bertolak ke Makkah, sekali lagi ia berkeliling Banten. Di
tempat-tempat yang dikunjunginya, ia berseru kepada rakyat agar berpegang
teguh pada ajaran agama, dan menjauhkan diri dari perbuatan mungkar. Ia
memilih beberapa ulama terkemuka untuk memperhatikan kesejahteraan
tarekat qadiriah. Ia juga pamit kepada para pamong praja terkemuka, dan
berpesan kepada mereka untuk menyokong perjuangan para ulama dalam
membangun kembali kehidupan keagamaan, dan agar selalu minta nasihat
kepada mereka mengenai soal-soal keagamaan.
Menjelang keberangkatannya, kepada murid-murid dekatnya Syekh Abdul
Karim mengatakan bahwa dia tidak akan kembali lagi ke Banten selama daerah
ini masih dalam genggaman kekuasaan asing. Dia memang tidak terlibat secara
langsung pemberontakan yang meletus 12 tahun setelah keberangkatannya ke
Tanah Suci itu. Tapi dialah yang menjadi perata jalan bagi murid-murid dan
pengikutnya untuk melakukan jihad atau perang suci. Di antara murid-
muridnya yang terkemuka, yang mempunyai peranan penting dalam
pemberontakan Banten, antara lain Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Asnawi
dari Bendung Lampuyang, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail
dari Gulacir, dan Haji Marjuki dari Tanara. Mereka juga dikenal sebagai pribadi-
pribadi yang punya karisma.
Kepergian Abdul Karim ke Makkah, ternayata tidak menyurutkan pengaruhnya
di Banten. Popularitasnya bahkan meningkat. Rakyat selah dilanda rindu dan
ingin bertemu dengannya. Sementara para muridnya sendiri sudah tidak sabar
menantikan seruannya untuk berontak. Snouck Hurgronje, yang menghadiri
pengajiannya di Makkah pada 1884-1885, menceritakan: “Setiap malam
beratus-ratus orang yang mencari pahala berduyun-duyun ke tempat
tinggalnya, untuk belajar zikir dari dia, untuk mencium tangannya, dan untuk
menayakan apakah saatnya sudah hampir tiba, dan berapa tahun lagi
pemerintahan kafir masih akan berkuasa.”
Tetapi Syekh Abdul Karim tidak memberikan jawaban pasti. Dia selalu
memberikan jawaban-jawaban yang samar tentang soal-soal yang sangat
penting seperti mengenai pemulihan kesultanan atau saat dimulainya jihad.
Dia hanya mengisyaratkan bahwa waktunya belum tiba untuk melancarkan
perang sabil.***
Dilema Guru, Dilema Murid
Pada 1883 murid Syekh Abdul Karim, Kiai Haji Tubagus Ismail, kembali dari
Makkah, mendirikan pesantren dan mendirikan cabang tarekat Qadiriah di
kampung halamannya, Gulacir. Bangsawan yang ingin menghidupkan kembali
kesultanan Banten ini juga dianggap sebagai wali – ia tidak mencukur
rambutnya seperti umumnya para haji, dan dalam setiap jamuan hampir tidak
pernah makan apa-apa. Ditambah bahwa ia juga cucu Tubagus Urip, yang
sudah dikenal sebagai wali, maka dalam waktu singkat KH Tubagus Ismail
sudah punya banyak pengikut , dan kepemimpinannya semakin diakui di
Banten. Menyadari dirinya mulai menarik perhatian umum, ia pun segera
melancarkan propaganda untuk melawan penguasa kafir. Banyak ulama yang
mendukungnya seperti Haji Wasid dari Beji, Haji Iskak dari Saneja, Haji Usman
dari Tunggak, selain kiai-kiai seperguruannya seperti Haji Abu Bakar, Haji
Sangadeli dan Haji Asnawi. Untuk mengkonkretkan rencana pemberontakan,
rapat pertama diadakan pada tahun 1884 di kediaman Haji Wasid.
Pada Maret 1887 Haji Marjuki, yang sering pulang pergi Banten-Makkah, tiba di
Tanara. Murid kesayangan dan wakil Haji Abdul Karim ini juga sahabat dekat
Haji Tubagus Ismail. Menurut dugaan para pendudukung pemberontakan,
kedatangan Haji Marjuki itu adalah atas permintaan sahabatnya itu. Haji
Marjuki segera melakukan kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah di Banten,
Tangerang, Batavia, dan Bogor untuk mendakwahkan gagasan tentang jihad.
Propagandanya cepat diterima umum, karena ia bertindak atas nama Haji
Abdul Karim. Dilaporkan, setelah berbagai kunjungannya itu, masjid-masjid
dipenuhi orang-orang yang beribadah, jamaah pada hari-hari Jum’at meningkat
tajam. Dalam berdakwah di luar Banten, Haji Marjuki dibantu oleh Haji Wasid,
yang juga sangat berhasil meyakinkan para kiai di daerah Jawa Barat.
Dikatakann, kedua haji ini sesungguhnya merupakan jiwa gerakan jihad di
Banten. Bahkan pejabat-pejabat tertentu di Banten, seperti residen,
menganggap bahwa Haji Marjuki bertanggung jawab sepenuhnya atas
pemberontakan itu.
Tetapi, menjelang pemberontakan meletus, Haji Marjuki segera berangkat ke
Makkah bersama istri dan anaknya. Sebelum berangkat ia sempat memberkati
pakaian putih yang akan dikenakan para pemberontak di masjid kediamannya
di Tanara. Rupanya ia tidak sependapat dengan kiai lainnya, khususnya Haji
Wasid, yang akan memulai pemberontakan pada bulan Juli. Kepada mereka ia
menjelaskan bahwa pemberontakan itu terlalu dini, dan ia meninggalkan
Banten sebelum pemberontakan pecah. Dan jika pemberontakan itu berhasil,
ia akan mengundang Syekh Abdul Karim dan Syekh Nawawi untuk datang ke
Banten dan ikut serta dalam perang sabil.
Di Makkah Haji Marjuki melanjutkan pekerjaan lamanya, yatu mengajar
nahwu, sharaf, dan fikih. Muridnya tergolong banyak. Ia juga tidak pernah
menyembunyikan sikap politiknya. Ia misalnya mengecam pemberontakan
yang dipimpin Haji Wasid yang dinilainya terlalu pagi dan menimbulkan korban
yang sia-sia. Menurutnya, agar berhasil, pemberontakan harus pecah di
seluruh Nusantara, selain bahwa pemberontak harus punya cukup uang dan
senjata. Karena pendapatnya itu, terjadilah perselisihan yang sulit didamaikan
dengan Haji Wasid dan kawan-kawan. Dan kepada mereka ia mengatakan
bahwa tangan kananya yang berpuru tidak memungkinnya aktif
dalamperjuangan. Andaikan dia tetap di Banten, ia pasti akan menghadapi
dilema: dibunuh oleh seradu-serdadu Belanda atau tidak berbuat apa-apa dan
menghadapi risiko tindakan pembalasan Haji Wasid. Maka hanya satu
alternatif – pergi ke Makkah. Lagi pula istri dan anak-anaknya masih ada di
sana. Apakah alasana-alasan itu merupakan dalih yang dibuat-buat untuk
meninggalkan medan pertempuran menjelang saat meletusnya
pemberontakan, dan merupakan bukti bahwa pada saat-saat terakhir Haji
Marjuki hanya mementingkan keselamatannya sendiri? .
Kedudukan pribadi yang sulit seperti itu, sebenarnya pernah dialami beberapa
tahun sebelumnya oleh guru Haji Marjuki sendiri, Syekh Abdul Karim. Hanya
saja sang guru tampaknya lebih “beruntung” karena keburu dipanggil untuk
menggantikan kedudukan Syekh Sambas. Bukankah Haji Abdul Karim dulu,
ketika masih di Banten, berpendapat bahwa rakyat sebenarnya belum siap
untuk mengadakan pemberontakan? Bahkan, di tahun-tahun ketika murid-
muridnya tidak sabar menungu “fatwa” untuk mulai berjihad, dia tidak pernah
memberikan kepastian waktu. Sementara itu, sebagai kiai agung dan
pengaruh, ia dituntut untuk merestui dan secara tidak langsung memimpin
pemberontakan. Jadi, apakah sang murid kesayangan sebenarnya hanya
mengikuti pendapat gurunya, Syekh Abdul Karim? Wallahu a’lam.
Yang pasti, setelah pemberontakan dipadamkan, pemerintah kolonial terus
memburu orang-orang yang terlibat atau mereka yang diduga terlibat dalam
terlibat. Ada yang dihukum mati dengan cara digantung di Alun-alun Cilegon,
diasingkan, dipenjara, dan, yang laing ringan, dikenai hukuman kerja paksa.
Beberapa pemimpin pemberontak berhasil meloloskan diri, dan di antaranya
ada yang lari ke Makkah. Dan meskipun diburu sampai Tanah Suci, pemerintah
tidak bisa menjangkau mereka. Sementara itu, Kiai Abdul Karim dan Haji
Marjuki terus dimata-matai.
Sekarang, jejak Syekh Abdul Karim kita temukan dalam pelbagai kumpulan
tarekat. Organisasi-organisasi tarekat di Tanah Air, terutama Jawa (di
pesantren-pesantren Cilongok, Tangerang, Pagentongan, Bogor, Suralaya,
Tasikmalaya, Mranggen, Semarang, Bejosa dan Tebuireng, keduanya di
Jombang), yang paling berpengruh dan memiliki puluhan ribu pengikut,
menyambungkan silsilah mereka ke Syekh Abdul Karim.***
Daftar Silsilah dan Aspek Sosiologis
Kyai pada masyarakat Banten sebagai elit sosial dalam melakukan peran-peran
kemasyarakatannya memiliki jaringan sosial. Karenanya, nilai-nilai yang
diajarkan tersebar secara luas dan tetap lestari dalam kehidupan masyarakat.
Jaringan sosial itu terbentuk melalui sistem kekerabatan, perkawinan
hubungan intelektual guru-murid, kerjasama antar pesantren dan lembaga-
lembaga sosial. [33] Melalui jaringan tersebut para kyai dapat berperan secara
maksimal dan juga status sosialnya selalu terjaga.
a. Kekerabatan
Seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren memiliki garis keturunan yang
selalu dijaga, yang sebagai besar para pendahulunya adalah para kyai dan
keturunan Sultan Banten. K.H. Asytari, seorang kyai keturunan Imam Nawawi
Tanara, Tirtayasa, Serang Banten. [34] Garis keturunannya tersebut apabila
dicermati adalah para kyai, sultan Banten, para tokoh-tokoh ulama tasawuf
sampai dengan Nabi Muhmmad Saw. Lebih lengkapnya sebagai berikut:
K.H. Asytari
Imam Nawawi
Kyai Umar
Kyai Arabi
Kyai Ali
Kyai Jamad
Kyai Janta
Kyai Masbugil
Kyai Masqun
Kyai Masnun
Kyai Maswi
Kyai Tajul Arusy Tanara
Maulana Hasanuddin Banten
Maulana Syarif Hidayatullah
Raja Atamuddin Abdullah
Ali Nuruddin
Maulana Jamaluddin Akhbar Husain
Imam Sayyid Akhmad Syah Jalal
Abdullah Adzmah Khan
Amir Abdullah Malik
Sayyid Alwi
Sayyid Muhammad Mirbath
Sayyid Ali Khali’ Qasim
Sayid Alwi
Imam Ubaidiilah
Imam Ahmad Muhajir Ilallahi
Imam Isa al-Naqib
Imam Muhmmad Naqib
Imam Ali Ardhi
Imam Ja’far al-Shadiq
Imam Muhammad al-Baqir
Imam Ali Zainal Abidin
Sayyidina Husain
Sayyidatuna Fathimah Zahra
Nabi Muhammad Saw.
c. Organisasi Massa
Para kyai di Banten dalam membangun jaringan sosialnya tidak hanya terbatas
pada kekerabatan dan intelektual tetapi juga pada organisasi-organisasi sosial
yang ada. Lembaga-lembaga sosial keagamaan yang ada di Banten adalah yang
paling banyak di pergunakan oleh para kyai untuk membangun jaringan
sosialnya. Jaringan sosial tersebut berskala baik nasional seperti Nahdatul
Ulama (NU) maupun lokal, seperti Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan
Masyarikul Anwar.
Para pendiri Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar nampak dari
awal tidak dimaksudkan untuk membentuk suatu organisasi sosial, tetapi lebih
berorientasi kepada lembaga pendidikan yang dipimpinnya semata. [36] Pada
tulisan ini akan dibahas salah satu dari ketiga organisasi lokal di daerah Banten,
yakni Al-Khaeriyah. Hal ini dikarenakan ketiganya memiliki karateristik yang
hampir sama. Maka, membahas salah satunya dianggap akan mewakili yang
lain.
Alumni dari pesantren ini, selain menjadi guru agama atau tokoh masyarakat,
juga banyak yang mendirikan pesantren atau madrasah. Lembaga-lembaga
pendidikan yang didirikan biasanya diberi nama Al-Khaeriyah. Pemberian nama
yang sama tersebut menyimbolkan bahwa jalinan dengan lembaga induk dan
antar para santri yang pernah mengenyam pendidikan di Al-Khaeriyah tetap
terjaga dengan baik. Dari ikatan-ikatan yang terjalin secara emosional itu para
alumninya mendirikan organisasi massa dengan nama yang sama. [37]
Para santri dari alumni pesantren Al-Khaeriyah yang mendirikan dan
memimpin pesantren di daerahnya masing-masing adalah:
Segala puji dan syukur bagi-Mu, wahai Tuhan kami, yang telah
membimbing kami pada samudera Rahmat dari Kebenaran-Mu dan Cahaya-
Mu. Allaahumma! Kirimkan barakah dan salam kedamaian bagi junjungan kami
Muhammad saw., Penutup para Nabi dan Utusan-Mu, yang membawa
Perjanjian Terakhir, Quran al-Karim, juga bagi keluarga Beliau dan seluruh
Sahabat-Sahabat Beliau, dan pewaris-pewaris Beliau, baik yang hidup di masa
lalu, maupun di masa kini, terutama pewaris dan wakil utama Beliau di zaman
ini. Hamba yang lemah ini, Gibril ibn Fouad diminta untuk menulis biografi dan
artikel tentang kekasih kita Mawlana Syaikh Nazim q.s. dalam beberapa kata-
kata anda sendiri tentang kehidupan dan ajaran-ajaran Beliau dan pengalaman
anda bersama Beliau. Bulan Rabi'ul Awwal 1425H (Mei 2004) adalah saat
paling tepat untuk melakukan hal ini.
Semoga Allah swt. mengilhami baik penulis maupun pembaca tentang
Mawlana Syaikh Nazim q.s. agar memiliki gambaran yang adil dan tepat
terhadap subjek yang mulia ini. Tak ada daya maupun kekuatan melainkan
dengan-Nya. Sebagaimana Dia melingkupi kebodohan kita dengan Ilmu-Nya,
semoga pula Dia melingkupinya dengan Rahmat-Nya, Amin! (Al-Hamdulillah,
izin telah diperoleh dari Mawlana untuk merilis tulisan ini pada hari ini.)
Nama lengkap Mawlana adalah Muhammad Nazim 'Adil ibn al-Sayyid Ahmad
ibn Hasan Yashil Bash al-Haqqani al-Qubrusi al-Salihi al-Hanafi q.s., semoga
Allah swt. mensucikan ruhnya dan merahmati kakek moyangnya. Kunya (nama
panggilan) beliau adalah Abu Muhammad, dari nama anak laki-laki tertua
beliau, selain itu beliau pula adalah ayah dari Baha'uddin, Naziha, dan Ruqayya.
Beliau dilahirkan pada tahun 1341 H (1922 M) di kota Larnaka, Siprus (Qubrus)
dari suatu keluarga Arab dengan akar-akar budaya Tatar. Beliau mengatakan
pada saya bahwa ayah beliau adalah keturunan dari Syaikh 'Abdul Qadir Al-
Jailani q.s. Diceritakan pula pada saya bahwa ibu beliau adalah keturunan dari
Mawlana Jalaluddin ar-Ruumi q.s. Ini menjadikan beliau sebagai keturunan dari
Nabi suci Muhammad saw., dari sisi ayahnya, dan keturunan dari Sayyidina
Abu Bakar ash-Shiddiq, y, dari sisi ibundanya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Siprus, Mawlana melanjutkan ke
perguruan tinggi di Istanbul dan lulus sebagai sarjana Teknik Kimia. Di sana,
beliau juga belajar bahasa Arab dan Fiqh, di bawah bimbingan Syaikh Jamal al-
Din al-Alsuni q.s. (wafat 1375H/1955M) dan menerima ijazah dari beliau.
Mawlana juga belajar tasawwuf dan Thariqat Naqsybandi dari Syaikh Sulayman
Arzarumi q.s. (wafat 1368H/1948M) yang akhirnya mengirim beliau ke Syams
(Syria).
Mawlana melanjutkan studi Syari'ah-nya ke Halab (Aleppo) Hama, dan
terutama di Homs. Beliau belajar di zawiyyah dan madrasah masjid sahabat
besar Khalid ibn Al-Walid di Hims/Homs di bawah bimbingan Ulama besarnya
dan memperoleh ijazah dalam Fiqh Hanafi dari Syaikh Muhammad 'Ali 'Uyun
al-Sud q.s. dan Syaikh 'Abd al-Jalil Murad q.s., dan ijazah dalam ilmu Hadits dari
Muhaddits Syaikh 'Abd al-'Aziz ibn Muhammad 'Ali 'Uyun al-Sud al-Hanafi q.s.
Perlu dicatat bahwa yang terakhir adalah salah satu dari sepuluh guru hadits
dari Rifa'i Hafizh di Aleppo, Syaikhul Islam 'Abd Allah Siraj al-Din q.s. (1924-
2002 M), yang duduk berlutut selama dua jam di bawah kaki Mawlana Syaikh
'Abdullah Faiz Daghestani q.s. ketika yang terakhir ini mengunjungi Aleppo di
tahun 1959 dan yang memberikan bay'at dalam Thariqat Naqsybandi pada
Mawlana Syaikh Nazim q.s., ketika Mawlana Syaikh Nazim q.s. mengunjunginya
terakhir kali di Aleppo di tahun 2001, sebagaimana diriwayatkan pada saya
oleh Ustadz Muhammad 'Ali ibn Mawlana al-Syaikh Husayn 'Ali q.s. dari Syaikh
Muhammad Faruq 'Itqi al-Halabi q.s. yang juga hadir pada peristiwa terakhir
itu.
Mawlana Syaikh Nazim q.s. juga belajar di bawah bimbingan Syaikh Sa'id al-
Siba'i q.s. yang kemudian mengirim beliau ke Damaskus setelah menerima
suatu pertanda berkaitan dengan kedatangan Mawlana Syaikh 'Abdullah Faiz
Ad-Daghestani q.s. ke Syria. Setelah kedatangan awal beliau ke Syria dari
Daghestan di akhir tahun 30-an, Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s. tinggal di
Damaskus, tetapi sering pula mengunjungi Aleppo dan Homs.
Di kota yang terakhir inilah, beliau mengenal Syaikh Sa'id al-Siba'i q.s. yang
adalah pimpinan dari Madrasah Khalid bin Walid. Syaikh Sa'id q.s. menulis
pada beliau (Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s.),
'Kami mempunyai seorang murid dari Turki yang luar biasa, yang tengah
belajar pada kami.
Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s. menjawab padanya,
'Murid itu milik kami; kirimkan dia kepada kami!'
Sang murid itu adalah guru kita, Mawlana Syaikh Nazim q.s., yang kemudian
datang ke Damaskus dan memberikan bay'at beliau pada Grandsyaikh kita
pada kurun waktu antara tahun 1941 dan 1943.
Pada tahun berikutnya, Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s. pindah ke rumah baru
beliau yang dibeli oleh murid Syria pertamanya, dan khalifahnya yang masih
hidup saat ini, Mawlana Syaikh Husayn ibn 'Ali ibn Muhammad 'Ifrini al-Kurkani
ar-Rabbani al-Kurdi as-Syaikhani al-Husayni q.s. (lahir 1336H/1917M), semoga
Allah swt. mensucikan ruhnya dan merahmati kakek moyangnya, di Qasyoun,
suatu gunung yang menghadap Damaskus, yang Allah swt. berfirman
tentangnya; 'Demi Tiin dan buah Zaitun! Demi Bukit Sinai! (QS. 95:1-2).
Qatadah dan al-Hasan Al-Basri berkata, 'At-Tiin adalah Gunung di mana
Damaskus terletak [Jabal Qasyoun] dan Zaitun adalah Gunung di mana
Jerusalem terletak. Diriwayatkan oleh 'Abd al-Razzaq, al-Tabari, al-Wahidi, al-
Bayzawi, Ibn al-Jawzi, Ibn Katsiir, al-Suyuti, as-Syaukani, dll., semua dalam
tafsir-tafsir mereka.
Mawlana Syaikh Nazim q.s. juga membeli sebuah rumah dekat rumah
Grandsyaikh dan bersama Mawlana Syaikh Husayn q.s., membantu
membangun Masjid al-Mahdi, Masjid Grandsyaikh, yang akhir-akhir ini
diperbesar menjadi sebuah Jami', di mana di belakangnya terletak maqam dan
zawiyyah Grandsyaikh, di tempat mana, hingga saat ini, makanan dan sup
ayam yang lezat disiapkan dalam kendi-kendi yang besar dan dibagi-bagikan
bagi kaum fuqara dan miskin dua kali dalam seminggu.
Kemudian Mawlana Syaikh Nazimk tinggal di Damaskus sejak pertengahan
tahun 40-an hingga awal 80-an, sambil sesekali melakukan perjalanan untuk
belajar atau sebagai wakil dari Grandsyaikh, hingga Grandsyaikh wafat di tahun
1973. Setelah tahun itu, Mawlana tinggal di Damaskus beberapa tahun
sebelum kemudian pindah ke Siprus.
Jadi, Mawlana, yang aslinya Cypriot, dan Grandsyaikh, yang asalnya Daghistani,
keduanya telah menjadi penduduk Damaskus 'Syamiyyun' dan tinggal di distrik
orang-orang salih (as-saalihiin) yang disebut Salihiyya! Tak ada keraguan lagi,
bahwa pentingnya Damaskus bagi Mawlana dan Grandsyaikh adalah karena
Syam adalah negeri yang penuh barakah dan terlindungi melalui para Nabi dan
Awliya .
Imam Ahmad dan murid beliau, Abu Dawud meriwayatkan dengan isnad
(rantai) yang sahih bahwa Nabi suci e bersabda, 'Kalian harus pergi ke Syam.
Tempat itu telah terpilih secara Ilahiah oleh Allah swt. di antara seluruh tempat
di bumi-Nya ini. Di dalamnya Dia melindungi hamba-hamba pilihan-Nya; dan
Allah swt. telah memberikan jaminan padaku berkenaan dengan Syam dan
penduduknya!'
Imam al-Nawawi berkata dalam kitab beliau Irsyad Tullab al-Haqa'iq ila
Ma'rifati Sunan Khayr al-Khala'iq (s): 'Hadits ini berkenaan dengan fadhillah
(keistimewaan) yang besar dari Syams dan merupakan suatu fakta yang dapat
teramati!'
Direktur pimpinan Dar al-Ifta' (secara literal bermakna 'Rumah Fatwa',
maksudnya Majelis Fatwa seperti MUI di Indonesia, penerj.) di Beirut, Lebanon,
Syaikh Salahud Diin Fakhri q.s. mengatakan pada saya di rumah beliau di Beirut
dan menulis dengan tangan beliau kepada diri saya,
Pada suatu pagi di hari Ahad, 20 Rabi'ul Akhir 1386 H, bertepatan dengan hari
Minggu 7 Agustus 1966 M, kami mendapat kehormatan untuk mengunjungi
Syaikh 'Abd Allah al-Daghistani q.s.rahimahullah (semoga Allah swt.
merahmatinya) di Jabal Qasyoun di Damaskus atas inisiatif serta disertai pula
oleh
Mawlana al-Syaikh Mukhtar al-'Alayli q.s. rahimahullah. Mufti Republik
Lebanon saat itu; [yang adalah pula paman dari Syaikh Hisyam Kabbani q.s.,
penulis],
- Syaikh Husayn Khalid q.s., imam dari Masjid Nawqara;
- Hajj Khalid Basyir, rahimahumallah (semoga Allah swt. merahmati keduanya);
Syaikh Husayn Sa'biyya q.s. [saat ini direktur dari Dar al-Hadits al-Asyrafiyya di
Damaskus]; Syaikh Mahmud Sa'd q.s.; Syaikh Zakariyya Sya'r q.s.; dan Hajj
Mahmud Sya'r.
Syaikh 'Abdullah q.s. menerima kami dengan amat baik dan penyambutan yang
ramah serta penuh kebahagiaan dan kegembiraan. Syaikh Nazim al-Qubrusi
q.s. semoga Allah swt. merahmati dan menjaga beliau juga berada di situ saat
itu!
Kami duduk dari pukul sembilan di pagi hari hingga tiba panggilan adzan
Dzuhur, sementara Syaikh (Grandsyaikh 'Abdullah Faiz ad-Daghestani q.s.,
penerj.) rahimahullah menjelaskan tentang Syams (Syria), keutamaannya,
kelebihan-kelebihannya yang luar biasa, dan bahwa tempat itu merupakan
tempat Kebangkitan dan bahwa Allah swt. akan mengumpulkan seluruh
manusia di dalamnya untuk penghakiman dan hisab.
Beliau menyebutkan pula hal-hal yang membuat hati dan pikiran kami
tersentuh dan tergerak, dikuatkan pula oleh pengaruh suasana distrik Salihiyya
yang suci, dan beliau berbicara pula tentang hubungan yang tak terpisahkan
dalam praktik maupun dalam teori antara tasawwuf dengan Syari'ah.
Semoga Allah swt. membimbing dan menunjukkan pada kita petunjuk-Nya
dalam perkumpulan dan suhbat dengan Awliya-Nya yang shiddiq. Aamiin, yaa
Rabbal 'Aalamiin!
Masih ada banyak lagi nama-nama Ulama dan Awliya Syams yang prestisius
yang mencintai dan bersahabat dengan Syuyukh kita dalam periode keemasan
tersebut, seperti
- Syaikh Muhammad Bahjat al-Baytar q.s. (1311-1396),
- Syaikh Sulayman Ghawji al-Albani q.s. (wafat 1378 H), ayah dari guru kami,
- Syaikh Wahbi q.s., Syaikh Tawfiq al-Hibri q.s.,
Syaikh Muhammad al-'Arabi al-'Azzuzi q.s. (1308-1382H) Mufti dari Lebanon,
dan Syaikh utama dari guru kami Syaikh Husayn 'Usayran q.s.,
-al-'Arif Syaikh Syahid al-Halabi q.s.,
al-'Arif Syaikh Rajab at-Ta'i q.s.,
Syaikh al-Qurra' q.s. (ahli qira'at Quran, penerj.)
Syaikh Najib Khayyata al-Farazi al-Halabi q.s.,
al-'Arif Syaikh Muhammad an-Nabhan q.s.,
Syaikh Ahmad 'Izz ad-Din al-Bayanuni q.s.,
al-'Arif Syaikh Ahmad al-Harun q.s. (1315-1382H),
Syaikh Muhammad Zayn al-'Abidin al-Jadzba q.s., dan lain-lain, semoga Allah
swt. merahmati mereka semuanya!
Dari tiga puluh tahun suhbat (asosiasi) yang barakah antara Mawlana dan
Grandsyaikh tersebut, muncullah Mercy Oceans (secara literal berarti
Samudera Kasih Sayang, merujuk pada buku-buku lama kumpulan suhbat
Mawlana Syaikh Nazim al-Haqqani q.s., penerj.) yang tak tertandingi, yang
hingga kini masih tersebar pada setiap salik/pencari dengan judul-judulnya:
- Endless Horizons (Cakrawala tanpa Batas, penerj.),
- Pink Pearls (Mutiara-Mutiara Merah Muda, penerj.),
- Rising Suns (Matahari-Matahari yang tengah terbit, penerj.).
Tak ada keraguan lagi, kumpulan-kumpulan suhbat awal tersebut adalah
tonggak-tonggak utama dari seruan da'wah Islam seorang diri Mawlana Syaikh
Nazim q.s. di Amerika Serikat dan Eropa, dengan karunia Allah swt.!
Semoga Allah swt. melimpahkan lebih banyak barakah-Nya pada Mawlana
Syaikh Nazim q.s. dan mengaruniakan pada beliau maqam-maqam tertinggi
yang pernah Dia karuniakan bagi kekasih-kekasih-Nya, berdekatan dengan
junjungan kita, Sayyidina Muhammad saw., yang bersabda,
Jika seseorang melakukan perjalanan untuk mencari ilmu, Allah swt. akan
membuatnya berjalan di salah satu dari jalan-jalan Surga, dan para Malaikat
akan merendahkan sayap mereka karena bahagia dan gembira pada ia yang
mencari ilmu, dan para penduduk langit dan bumi serta ikan-ikan di kedalaman
lautan akan memohonkan ampunan bagi seorang pencari ilmu!
Keutamaan dari seorang yang berilmu atas orang beriman kebanyakan adalah
bagaikan terangnya bulan purnama di kegelapan malam atas segenap bintang-
gemintang!
Ulama adalah pewaris-pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah memiliki
dinar maupun dirham, mereka hanya meninggalkan ilmu dan pengetahuan;
dan ia yang mengambilnya sungguh telah mengambil bagian yang banyak!
Tempat pertama yang kudatangi untuk mencari pengetahuan Nabawi
(pengetahuan kenabian) ini adalah London di bulan Ramadan 1411 H, setelah
aku bersyahadat laa ilaaha illa Allah (bahwa tiada tuhan selain Allah swt.),
Muhammadun Rasulullah e (Muhammad saw. adalah utusan Allah swt.). Di
sanalah, aku meraih tangan suci Mawlana untuk pertama kali dan melakukan
bay'at (sumpah setia) setelah diperkenalkan pada Thariqat ini oleh menantu
beliau, dan khalifah beliau di Amerika Serikat, Syaikh Hisyam Kabbani q.s.
semoga Allah swt. membimbingnya dan membimbing seluruh sahabat-sahabat
Mawlana!
Aku mengunjungi Mawlana beberapa kali di rumah beliau di Siprus dan melihat
pula beliau di Damaskus. Di antara hadiah Suhba yang diberikan Mawlana
adalah pada dua minggu terakhir di bulan Rajab di tahun 1422H Oktober 2001
di rumah dan zawiyah beliau di kota Cypriot Turki, Lefke. Catatan akan
pengalaman ini telah ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris, serta
diterbitkan dengan judul Qubrus al-Tarab fi Suhbati Rajab atau Kebahagiaan
Siprus dalam Suhbat.
Pada saat itulah, dan juga saat-saat kemudian, selama dua kunjungan
terakhirnya ke Amerika Serikat, ke Inggris, di Siprus, dan Damaskus, aku
mendapatkan dari Mawlana, petunjuk agung yang sama bagi setiap pencari
kebenaran:
Tujuan kita adalah untuk melindungi serta melukiskan Nabi Muhammad saw.
dan sifat-sifat beliau yang luhur dan agung, baginya shalawat dan salam serta
bagi ahli-bait dan sahabat-sahabat beliau; yang untuk ini Allah swt. mendukung
kita!
Dari sini, aku mengerti bahwa Murid yang sesungguhnya dalam Thariqat
Naqsybandi-Haqqani adalah sahabat, penolong dan pendukung dari setiap
pembela Sayyidina Muhammad saw., dan adalah tugasnya untuk bersahabat
dan berasosiasi dengan para pembela seperti itu karena mereka berada pada
jalan Mawlana, tak peduli apakah mereka adalah Naqsybandi atau bukan.
Ketika seorang Waliyyu-llah yang telah berumur delapan puluh tahun-an di
Johor, Malaysia, al-Habib 'Ali ibn Ja'far ibn 'Abd Allah al-'Aydarus menerima
kami di rumahnya di bulan Mei 2003, mengenakan pakaian yang tak pernah
berubah sejak tahun 1940-an, beliau terlihat seperti Mawlana dalam segenap
aspeknya, dan bahkan terlihat menyerupainya ketika beliau meminta maaf
atas bahasa Arab-nya yang tak fasih.
Ketika kami memohon du'a beliau bagi negeri-negeri kita yang terluka dan bagi
penduduk-penduduknya, beliau menjawab, 'Ummah ini terlindungi dan berada
pada tangan-tangan yang baik, dan pada Syaikh Nazim q.s. telah kau dapati
kebercukupan!'
Dus, dengan setiap perjumpaan dari murid yang sederhana dan rendah hati
dari Mawlana dengan Awliya' dari Ummat ini; Mereka (para Awliya' tersebut,
penerj.) semuanya menunjukkan rasa hormat tertinggi serta kerendahan hati
yang amat dalam bagi Mawlana dan silsilah beliau, sekalipun mereka secara
harfiah (penampakan luar) berada pada jalan (thariqat) yang berbeda, seperti
- al-Habib 'Ali al- Aydarus q.s. di Malaysia,
- Sayyid Muhammad ibn 'Alawi al-Maliki q.s. di Makkah,
- al-Habib 'Umar ibn Hafiz q.s. di Tarim,
- Sayyid Yusuf ar-Rifa'i q.s. di Kuwait,
- Syaikh 'Isa al-Himyari q.s. di Dubai,
- Sayyid 'Afif ad-Din al-Jailani q.s. dan Syaikh Bakr as-Samarra'i q.s. di Baghdad,
- as-Syarif Mustafa ibn as-Sayyid Ibrahim al-Basir q.s. di Maroko tengah,
- Grandmufti Syria (alm.) Syaikh Ahmad Kuftaro ibn Mawlana al-Syaikh Amin
q.s. dan sahabat-sahabatnya Syaikh Bashir al-Bani q.s., Syaikh Rajab Dib q.s.,
dan Syaikh Ramazan Dib q.s.; Syuyukh Kattani q.s. dari Damaskus;
- Syaikh (alm.) 'Abd Allah Siraj ud-Din q.s. dan keponakan beliau Dr. Nur ud-Din
'Itr; Mawlana as-Syaikh 'Abd ur-Rahman as-Shaghuri q.s.; Dr. Samer al-Nass;
dan guru-guru serta saudara-saudara kita lainnya di Damaskus.
semoga Allah swt. selalu melindungi Damaskus dan melimpahkan rahmat-Nya
bagi mereka dan diri kita! Aku telah bertemu dengan setiap nama yang
kusebut di atas kecuali Syaikh Sirajud-Din q.s. dan mereka semua
mengungkapkan tarazzi atas Mawlana as-Syaikh Nazim q.s., mengungkapkan
keyakinan atas ketinggian wilayah-nya (derajat kewalian, penerj.) dan
memohon do a beliau atau do a pengikut-pengikut beliau;
Dan cukuplah Allah swt. sebagai saksi. Muhammad itu adalah utusan Allah
swt.
(QS. 48:28-29)
Sudah menjadi suatu aturan yang disepakati di antara Rijal-Allah (maksudnya
para Kekasih Allah swt., penerj.) bahwa keragaman jalan ini adalah tema
(dandana, maksudnya kira-kira diperuntukkan bagi, penerj.) mereka yang
belum terhubungkan (mereka yang belum mencapai akhir perjalanan, mereka
yang belum mendapatkan amanat-nya, penerj.),
sementara mereka yang telah mawsul (sampai, penerj.) semua berada pada
satu jalan dan dalam satu lingkaran dan mereka saling mengetahui dan
mencintai satu sama lain. Mereka akan berada di mimbar-mimbar cahaya di
Hari Kebangkitan.
Karena itu, kita, para Murid dari jalan-jalan (Thuruq, jamak dari Thariqat) itu
mestilah pula saling mengetahui, mengenal dan mencintai satu sama lain demi
keridhaan Allah swt. dan Nabi-Nya serta para Kekasih-Nya agar diri kita mampu
memasuki cahaya penuh barakah tersebut dan masuk dalam lingkaran
tertinggi dari suhba (persahabatan) dan jama'ah, jauh dari furqa (perpecahan)
dan keangkuhan.
Sebagaimana Allah swt. berfriman: 'Yaa Ayyuha l-ladziina aamanu t-taqu ul-
laaha wa kuunuu ma'as shadiqiin. 'Wahai orang-orang beriman takutlah kalian
akan Allah swt. dan tetaplah berada [dalam persahabatan dan kesetiaan]
dengan orang-orang yang Benar (Shiddiqiin)!;dan Nabi Suci kita e bersabda,
'Aku memerintahkan pada kalian untuk memgikuti sahabat-sahabatku dan
mereka yang mengikutinya (tabi'in, penerj.), kemudian mereka yang
mengikutinya (tabi'it tabi'in, penerj.); setelah itu, kebohongan akan merajalela.
Tapi kalian mestilah tetap berada pada Jama'ah dan berhati-hatilah dari
perpecahan!
Jama'ah inilah yang dilukiskan dalam suatu hadits mutawatir (diriwayatkan
banyak orang, penerj.): Ia yang dikehendaki Allah swt. untuk beroleh kebajikan
besar, akan Dia karuniakan padanya pemahaman yang benar (haqq) dalam
Agama. Aku (mengacu pada Nabi e, penerj.) hanyalah membagikan dan adalah
Allah swt. yang mengkaruniakan! Kelompok itu akan tetap menjaga Perintah
dan Aturan Allah swt., tak akan terlukai oleh kelompok yang menentang
mereka, hingga datangnya Ketetapan Allah swt.
Ya Allah swt., jadikanlah kami selalu bersyukur atas apa yang telah Kau
karuniakan dan yang telah Rasul-Mu dan Habib-Mu bagikan!
Aku mendengar Mawlana Syaikh Nazim q.s. berkata beberapa kali atas nama
guru beliau, Sultan al-Awliya' Mawlana as-Syaikh 'Abd Allah ibn Muhammad
'Ali ibn Husayn al-Fa'iz ad-Daghestani tsumma asy-Syami as-Salihi q.s. (ca.
1294-1393 H)[1]
* dari Syaikh Syaraf ud-Din Zayn al- Abidin ad-Daghestani ar-Rasyadi q.s.
(wafat 1354 H),
* dari paman maternal (dari sisi ibu) beliau, Syaikh Abu Muhammad al-
Madani ad-Daghistani al-Rasyadi q.s.[2],
* dari Syaikh Abu Muhammad Abu Ahmad Hajj Abd ar-Rahman Effendi Ad-
Daghistani ats-Tsughuri q.s. (wafat 1299 H)[3],
* dari Syaikh Jamal ud-Din Effendi al-Ghazi al-Ghumuqi al-Husayni q.s. (wafat
1292 H)[4],
* juga (keduanya baik ats-Tsughuri maupun al-Ghumuqi) dari Muhammad
Effendi ibn Ishaq al-Yaraghi al-Kawrali q.s. (wafat 1260 H)[5],
* dari Khass Muhammad Effendi asy-Syirwani ad-Daghestani q.s. (wafat
1254 H)[6],
* dari Syaikh Diya uddin Isma il Effendi Dzabih Allah al-Qafqazi asy-Syirwani
al-Kurdamiri ad-Daghestani q.s. (wafat ???),
* dari Syaikh Isma il al-Anarani q.s. (wafat 1242 H),
* dari Mawlana Diya uddin Khalid Dzul-Janahayn ibn Ahmad ibn Husayn as-
Shahrazuri al-Sulaymani al-Baghdadi al-Dimashqi an-Naqsybandi al- Utsmani
ibn Utsman ibn Affan Dzun-Nurayn q.s. (1190-1242 H) dengan rantai isnad-
nya yang masyhur hingga Syah Naqsyband Muhammad ibn Muhammad al-
Uwaysi al-Bukhari q.s. yang berkata,
Thariqat kami adalah SHUHBAH (persahabatan) dan kebaikannya adalah
dalam JAMA'AH (kelompok)
Semoga Allah swt. meridhai diri mereka semuanya, merahmati mereka, dan
mengaruniakan pahala-Nya bagi mereka, dan memberikan manfaat bagi kita
lewat mereka melalui telinga kita, kalbu-kalbu kita, dan keseluruhan wujud diri
kita, Amin!
Beberapa kritik dari 'Calon Sufi' atas Thariqat Haqqani mengatakan atas
thariqat kita dengan apa yang mereka sebut sebagai 'kurang dalam sisi ilmu'.
Seorang Sufi yang teliti akan menjadi orang terakhir yang mengatakan kritik
yang menyesatkan seperti itu!
Semestinya mereka menjadi orang-orang pertama yang mengetahui bahwa
ilmu, sebagai ilmu saja, tidak hanya tanpa manfaat, tapi juga dapat menjadi
perangkap mematikan yang mengarah kepada kebanggaan syaithaniyyah.
Tak ada maaf baik bagi ia yang sombong (yaitu dengan ilmunya, penerj.)
maupun ia yang bodoh; hanya Sufi yang penuh cinta, ketulusan, serta
bertaubat-lah, walau memiliki kekurangan dalam ilmu dan adabnya, yang lebih
dekat pada Allah swt. dan pada ma'rifatullah (pengenalan akan Allah swt.)
daripada seorang Sufi berilmu yang menyimpan dalam kalbunya kebanggaan
sekalipun hanya setitik debu. Semoga Allah swt. melindungi diri kalian dan diri
kami!
Ibrahim al-Khawwass berkata bahwa ilmu (pengetahuan) bukanlah untuk
mengetahui banyak hal, tapi untuk menaati Sunnah dan mengamalkan apa
yang diketahui sekalipun itu hanya sedikit.
Imam Malik berkata bahwa ilmu bukanlah untuk mengetahui banyak hal, tapi
ia adalah cahaya Allah swt. yang Dia timpakan pada hati.
Imam as-Syafi'i berkata bahwa ilmu bukanlah untuk mengetahui bukti dan
dalil, melainkan untuk mengetahui apa yang bermanfaat.
Dan ketika seseorang berkata tentang Ma'ruf al-Karkhi (murid dari Dawud at-
Ta i, yang merupakan murid dari Habib 'Ajami, murid dari Hasan al-Bashri; guru
dari Sari as-Saqati, guru dari Sayyid Taifa Junayd al-Baghdadi, penerj.), Dia
bukanlah seseorang yang amat alim (berilmu), Imam Ahmad pun berkata,
Mah! Semoga Allah swt. mengampunimu! Adakah hal lain yang dimaksudkan
oleh Ilmu selain dari apa yang telah dicapai oleh Ma'ruf?!
Kritik lain berisi keberatan atas Rabitah atau Ikatan, suatu karakteristik khusus
dari Thariqat Naqsybandi. Lebih jelasnya, mereka yang mengkritik rabitah ini
berkeberatan atas unsur tasawwur atau Penggambaran dalam rabitah yang
meminta Murid untuk menggambarkan citra sang Syaikh dalam hatinya di
permulaan maupun selama dzikir.
Tetapi Allah swt. telah berfirman, 'Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah swt. dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah swt. [33:21]
dan Dia berfirman pula, 'Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-
pintunya; [2:189]
dan karena itulah kita datang kepada Nabi melalui ash-Shiddiq, dan datang
kepada yang terakhir ini melalui Salman, dan masuk kepada yang terakhir ini
melalui Qasim, dan kepada yang terakhir ini melalui Sayyid Ja'far, dan
seterusnya.
Karena 'Ulama adalah pewaris para Nabi", dapat dipahami bahwa sang
Mursyid adalah teladan kita akan teladan dari Nabi tersebut (di ayat 33:21 di
atas, penerj.) dan ia (sang Mursyid) mestilah seseorang di antara mereka yang
atas mereka,
Nabi bersabda, 'Jika kalian melihat mereka, kalian ingat akan Allah swt.!
Hadits ini diriwayatkan dari Ibn Abbas , Asma bint Zayd, dan Anas (semoga
Allah swt. ridha atas diri mereka semua), juga dari Tabi'in Sa'id ibn Jubayr, 'Abd
al-Rahman ibn Ghanam, dan Muslim ibn Subayh.
Beberapa orang memprotes terhadap konsep fana sang Murid dalam diri
Syaikh, atau fana fis-Syaikh. Mereka berkata, 'Syaikhmu hanyalah seorang
manusia; jadikanlah fana -mu pada diri Rasulullah.
Tetapi, adalah salah untuk menyamakan sang Syaikh pembimbing sama seperti
yang lain. Syaikh Ahmad Sirhindi q.s. qaddas-Allahu sirrahu -
berkata: Ketahuilah bahwa melakukan perjalanan (suluk) pada Thariqat yang
paling Mulia ini adalah dengan ikatan (rabitah) dan cinta pada Syaikh yang kita
ikuti.
Syaikh seperti itulah yang berjalan di Jalan ini dengan keteguhan (istiqamah),
dan ia tercelupi (insabagha) dengan segenap macam kesempurnaan melalui
kekuatan daya tarik Ilahiah (jadzbah). Pandangannya menyembuhkan
penyakit-penyakit hati dan konsentrasinya atau pemusatan pikirannya
(tawajjuh) mengangkat habis cacat-cacat ruhani. Pemilik dari kesempurnaan-
kesempurnaan ini adalah Imam dari zaman ini dan Khalifah pada waktu
itu Dus, ikatan kita (padanya) adalah (melalui) cinta, dan hubungan (nisba) kita
dengannya adalah pencerminan dan pencelupan diri, tak peduli apakah diri
kita dekat atau jauh (secara fisik darinya, penerj.). Hingga kemudian sang
murid akan tercelupkan dalam Jalan ini melalui ikatan cintanya pada sang
Syaikh, jam demi jam, dan tercerahkan oleh pantulan cahaya-cahayanya.
Dalam pola seperti ini, pengetahuan akan proses bukanlah suatu prasyarat
untuk memberi atau menerima manfaat. Buah semangka matang oleh panas
Sang Surya jam demi jam dan menghangat dengan berlalunya hari Sang
Semangka semakin matang, namun pengetahuan macam apakah yang dimiliki
sang semangka akan proses ini? Apakah sang Surya bahkan mengetahui bahwa
dirinya tengah mematangkan dan menghangatkan sang Semangka?
Sebagaimana disebutkan di atas, berkeberatan atas konsep fana fis-Syaikh
adalah berarti pula berkeberatan akan cinta pada sang Syaikh. Kita semua
memiliki keinginan dan tujuan untuk mencintai Syaikh kita dan mengetahui
bahwa ia-lah objek yang paling patut menerima cinta dan hormat kita di dunia
ini.
Sebagaimana sang penyair berpuisi:
Atas kesetiaan padamu yang suci dan tuluslah, aku mengatakan:
Cinta atasmu terpahat dalam kalbu dari kalbu-kalbuku,
Sebagai suatu ukiran yang dalam [NAQSY], suatu prasasti kuno.
Tak kumiliki lagi kehendak [IRADA] apa pun, selain cintamu,
Tak pula dapat kuucapkan apa pun padamu, selain "aku cinta padamu".
Tentang hal ini, Mawlana berkata pada suatu kesempatan baru-baru ini, Kita
telah diperintahkan untuk mencintai orang-orang suci. Mereka adalah para
Nabi, dan setelah para Nabi, adalah para pewaris mereka, Awliya . Kita telah
diperintahkan untuk beriman pada para Nabi, dan iman memberikan pada diri
kita Cinta .
Cinta membuat manusia untuk mengikuti ia yang dicintai. ITTIBA bermakna
untuk mencintai dan mengikuti, sementara ITA AT bermakna [hanya] untuk
mengikuti. Seseorang yang taat mungkin taat karena paksaan atau karena
cinta, tetapi tidaklah selalu karena cinta.
Nah, Allah swt. menginginkan hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya. Dan
para hamba tidaklah mampu menggapai secara langsung cinta atas Tuhan
mereka. Karena itulah, Allah swt. mengutus, sebagai utusan dari Diri-Nya, para
Nabi yang mewakili-Nya di antara para hamba-Nya. Dan setiap orang yang
mencintai Awliya dan Anbiya , melalui Awliya akan menggapai cinta para
Nabi. Dan melalui cinta para Nabi, kalian akan menggapai cinta Allah
swt. Karena itu, tanpa cinta, seseorang tak mungkin dapat menjadi orang yang
dicintai dalam Hadirat Ilahi. Jika kalian tak memberikan cinta kalian, bagaimana
Allah swt. akan mencintai kalian?
Namun manusia kini sudah seperti kayu, yang kering, kayu kering, mereka
menyangkal cinta. Mereka adalah orang-orang yang kering tak ada
kehidupan! Suatu pohon, dengan cinta, terbuka, bersemi dan berbunga di kala
musim semi. Tetapi kayu yang telah kering, bahkan seandainya tujuh puluh kali
musim semi mendatanginya, tak akan pernah terbuka. Cinta membuat alam ini
terbuka dan memberikan buah-buahannya, memberikan keindahannya bagi
manusia. Tanpa cinta, ia tak akan pernah terbuka, tak akan pernah berbunga,
tak akan pernah memberikan buahnya.
Jadi Cinta adalah pilar utama paling penting dari iman. Tanpa cinta, tak akan
ada iman. Saya dapat berbicara tentang hal ini hingga tahun depan, tapi kalian
harus mengerti, dari setetes, sebuah samudera! (akhir suhbat Mawlana).
Dengan dan melalui Mawlana, Allah swt. telah membuat segala macam hal
yang sulit menjadi mudah. Kita amat bersyukur mengetahui beliau karena
beliaulah jalan pintas bagi kita menuju nuur/cahaya dalam Agama ini. Nur ini
adalah tujuan dan sasaran dari setiap orang yang sehat. Nur dan cahaya inilah
yang dilukiskan dalam ayat yang Agung,
Allah swt. menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al
Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak. Dan hanya orang-orang yang berakal-lah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah swt.). [2:269]
Semoga Allah swt. mengaruniakan bagi diri kita hikmah ini dan menjaga diri
kita pada Jalan yang telah Dia perintahkan dan Dia sukai bagi diri kita! Semoga
Allah swt. mengaruniakan pada Mawlana umur panjang dalam kesehatan dan
mengaruniakan pada diri kita tingkatan (maqam) Murid yang Sejati demi
kehormatan dari Ia yang paling terhormat, Nabi Muhammad saw.!
1. Ada beberapa variasi pendapat tentang tahun lahir Mawlana as-
Syaikh Abd Allah q.s., berkisar dari 1284 H (dalam kitab at-Thariqat an-
Naqsybandiyya, karangan Muhammad Darniqa) hingga 1294 H menurut murid
tertua Syaikh Abdullah q.s., Mawlana as-Syaikh Husayn q.s. (dalam kitab at-
Thariqat an-Naqsybandiyya al-Khalidiyya ad-Daghistaniyya, karangan Ustadz
Muhammad Ali ibn as-Syaikh Husayn) hinga 1303 H dalam kitab al-Futuhat al-
Haqqaniyya, karangan Syaikh Adnan Kabbani q.s. hingga 1309 H dalam buku
The Naqshbandi Sufi Way, karangan Syaikh Hisyam Kabbani q.s.
2. Beliau menerima pula Thariqat Qadiri dari Syaikh Ibrahim al-Qadiri q.s.
(demikian pula Syaikh Jamaluddin q.s.) yang dengan bimbingannya, beliau
memulai suluknya hingga Syaikh Ibrahim q.s. menyuruhnya ke Syaikh ats-
Tsughuri q.s., lihat Ali, Thariqat Naqsybandiyya (halaman 229).
3. Lihat Hadaya al-Zaman fi Tabaqat al-Khawajagan an-Naqsybandiyya
(halaman 375) karangan Syu ayb ibn Idris al-Bakini. Beliau mengambil pula dari
al-Yaraghi, lihat Sullam al-Wusul karangan Ilyas al-Zadqari, sebagaimana dikuti
di Hadaya (halaman 378).
4. lihat Hadaya, al-Bakini (halaman 396). Beliau menerima Thariqat Qadiri
dari Syaikh Ibrahim al-Qadiri q.s. dan memperkenalkan dzikir jahr dalam
cabang Daghistani dari Naqshbandiyya melalui ijazah tersebut, lihat al-Bakini,
Hadaya (halaman 396); Ali, Tariqa Naqsybandiyya (halaman 229).
5. dan bukannya 1254 H, sebagaimana secara salah disebutkan di beberapa
sumber. Koreksi ini dari Ali, Thariqat Naqsybandiyya (halaman 214).
Muhammad al-Yaraghi juga mengambil secara langsung dari Syaikh Isma il asy-
Syirwani q.s., lihat al-Bakini, Hadaya (hal. 350-351).
6. dari Syirwan di masa sekarang di Azerbaijan. Beliau wafat di Damaskus dan
dimakamkan di Jabal Qasyoun, di samping Mawlana Khalid q.s. dan Mawlana
Isma il al-Anarani q.s. yang merupakan penerus pertama Mawlana Khalid q.s.,
yang wafat tujuh belas hari setelah wafatnya Mawlana Khalid q.s., keduanya
karena wabah semoga Allah swt. merahmati mereka semua dan seluruh
Syuhada -Nya.
SYEKH MUHAIMINAN GUNARDHO
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH
Penerus Semangat Perjuangan Bambu Runcing
Ia sangat peduli pada gonjang-ganjing bangsa. Maka ia pun berkeliling tanah
air: memimpin istigasah, menghibur umat, memberikan nasihat kepada
pemerintah.
Jemaah istigasah menyambut Muktamar Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-
Mu’tabarah An-Nahdliyah yang memadati Masjid Jami’ Pekalongan baru saja
menarik napas, setelah sebelumnya melantunkan syair Simthud Durar. Tiba-
tiba terdengar suara menggelegar. Di shaf terdepan, sesosok tegap berpakaian
putih-putih, lengkap dengan serban dan jubah, tampak khusyuk melantunkan
tawasul kepada para aulia pendiri tarekat. Menilik perawakan dan suaranya,
orang seakan tak percaya bahwa usianya telah melampaui 83 tahun.
Pembacaan doa-doa istighatsah yang baru selesai sepertinya tak menyisakan
keletihan di wajahnya yang selalu segar. Dialah K.H.R. Muhaiminan Gunardo
dari kaki Gunung Sindoro, Jawa Tengah. Tema istighatsah malam itu,
sebagaimana istighatsahnya yang lain, ialah memohon keselamatan bangsa
dari berbagai bencana yang belakangan menghantam bertubi-tubi. Semangat
kebangsaan pengasuh Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing, Parakan,
Temanggung, Jawa Tengah, ini memang luar biasa.
Usianya memang sudah cukup senja. Tapi kiprahnya semakin mengukuhkan
profil ulama pejuang ini. Kepeduliannya akan gonjang-ganjing perjalanan
bangsa mengantarkan langkahnya ke berbagai pelosok tanah air. Baik untuk
memimpin istigasah, ngayemi-ayemi (menghibur) umat, maupun memberikan
nasihat langsung kepada pemerintah.
Almarhum Mbah Hinan, panggilan akrab KH Muhaiminan Gunardo, dilahirkan
di Parakan, .Beliau adalah keturunan Raden Santri salah seorang wali yang
masih keturunan Pangeran Diponegoro. Beliau adalah pimpinan Pondok
Pesantren Bambu Runcing Parakan, Suatu Pondok Pesantren yang dikenal
sebagai pusat pendekar di jaman perjuangan Indonesia.Di Pesantren yang
didirikan oleh kakek Beliau inilah nama senjata tradisional Bambu Runcing
menjadi sangat terkenal dan ditakuti oleh penjajah Belanda. Pada jaman
perjuangan para pendekar sering berkumpul di pesantren Parakan untuk
mengatur strategi perjuangan melawan Belanda sekaligus diajarkan berbagai
macam Ilmu Hikmah. Setiap kali berangkat berjuang selain ilmu beladiri para
pendekar juga dibekali sebuah senjata yaitu Bambu Runcing, tetapi Bambu
Runcing ini bukan bambu runcing biasa karena senjata ini telah di beri Asma
oleh kyai. Konon setiap kali dilemparkan Bambu Runcing ini tidak saja dapat
membunuh lawan bahkan dapat meledak spt bom. Itulah salah satu Karomah
kyai Parakan.Sehingga Bambu Runcing Menjadi sangat terkenal di seluruh
Indonesia dan ditakuti penjajah Belanda.
Lasykar Hizbullah
Di masa-masa awal revolusi fisik itu, setiap hari ribuan pejuangan mampir ke
Parakan dalam perjalanan mereka dari ke front-front pertempuran di
Magelang, Ambarawa, Ungaran, dan Semarang. Beberapa di antaranya bahkan
datang dari berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Barat. Adalah Kiai Subeki
atau Mbah Subki, saat itu 90-an tahun, magnet yang menarik mereka ke
Parakan. Setelah wafat ia dijuluki Kiai Parak Awal.
Sebelum berangkat ke medan pertempuran, para pejuang – rata-rata anak-
anak anggota Lasykar Hizbullah – sowan kepada kiai sepuh yang sangat
tawaduk ini. Oleh Mbah Subeki mereka didoakan, dan satu per satu senjata
mereka dijamah sambil berdoa: Bismillahi bi ‘aunillah. Ya Hafidz, ya Hafidz, ya
Hafidz. Allahu akbar, Allahu akbar, Allah akbar (Dengan menyebut nama Allah,
dengan pertolongan Allah. Wahai Zat yang Maha Menjaga, Allah, yang
Mahabesar).
Begitulah “ijazah doa” yang diberikan oleh Mbah Subeki kepada para pejuang,
yang kemudian terbukti menambah keberanian dan rasa percaya diri di medan
perang. Bahkan diyakini mendatangkan perlindungan Allah dari hujan peluru
dan bom lawan. Sejak itu, setiap hari ribuan orang memasuki Parakan untuk
nyuwuake (memohonkan doa) buat senjata mereka. Mulai dari bambu runcing,
pestol, bedil, karaben, bahkan kanon.
Dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren, mantan Menteri Agama K.H.
Saifudin Zuhri antara lain menulis, di antara pasukan yang singgah ke Parakan
terdapat anggota Tentara Keamanan Rakyat dari Banyumas pimpinan Kolonel
Soedirman – yang belakangan menjadi panglima besar. Mereka membawa
peralatan tempur lengkap. Ketika itu mereka dalam perjalanan ke medan
perang Ambarawa.
Parakan sendiri daerah unik, karena merupakan pertemuan berbagai budaya,
sebagaimana diceritakan oleh Saifudin Zuhri, “Sejak tertangkapnya Pangeran
Diponegoro, sisa-sisa prajurit Mataram dalam taktik mengundurkan diri
bergerak menyusuri Kali Progo melalui daerah Sentolo, Godean, Borobudur,
Bandongan, Secang Temanggung, dan akhirnya Parakan, sebuah persimpangan
tapal batas Karesidenan Banyumas, Kedu, Pekalongan, dan Semarang.
Daerah dataran tinggi di kaki Gunung Sindoro itu menjadi tempat bertemunya
bermacam-macam sisa prajurit Diponegoro dari berbagai daerah. Tidaklah
mengherankan jika penduduk Parakan mempunyai unsur kebudayaan yang
bercampur antara ketulusan rakyat Banyumas, kesabaran rakyat Kedu,
keberanian rakyat Pekalongan, dan keterampilan rakyat Semarang.
Pencak Silat
Itulah Parakan, kota kecil tempat lahirnya K.H.R. Muhaiminan Gunardo. Ia
adalah putra Raden Abu Hasan, yang lebih dikenal dengan nama K.H.
Sumomihardho – salah seorang keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Sementara ibundanya, Hj. Mahwiyah, adalah putri Kiai Badrun, sesepuh
Parakan yang berpengaruh karena kedalaman ilmu agamanya.
Sejak muda, Kiai Muhaiminan – yang termasuk dalam forum Kiai Khos Langitan
– gemar berolahraga, khususnya pencak silat, yang digelutinya di sela-sela
mengaji kepada beberapa ulama besar. Tamat Sekolah Rakyat di Parakan, ia
mengaji kepada K.H. Dalhar alias Mbah Dalhar (Pesantren Watucongol,
Magelang), ulama besar yang pernah selama delapan tahun berkhalwat –
mengasingkan diri untuk memusatkan perhatian pada ibadah (berzikir dan
tafakur) kepada Allah SWT – di Gua Hira, tempat Rasulullah SAW melakukan
hal yang sama, beruzlah. Mbah Dalhar juga dikenal sebagai mursyid Tarekat
Syadziliyah yang termasyhur.
Selepas dari Watucongol, Muhaiminan muda melanjutkan pengembaraannya
dalam menuntut ilmu kepada K.H. Maksum (Lasem, Rembang), Kiai Muhajir di
Bendo (Pare, Kediri), lalu ke Pesantren Tebuireng, Jombang.
Selain mengaji ilmu agama, di setiap pesantren yang disinggahinya
Muhaiminan mendalami ilmu pencak silat. Pendekar tangguh yang pernah
menjadi gurunya, antara lain, K.H. Nahrowi atau Ki Martojoto. Ia juga
mendalami ilmu pencak silat di pesantren terakhir yang disinggahinya, yaitu
Ponpes Dresmo (Surabaya), yang memang terkenal dengan keampuhan olah
kanuragannya.
Sehari-hari, Mbah Minan selalu menyempatkan diri mendidik ratusan
santrinya, dan mendampingi kurang lebih 30 orang pengajar. Terutama dalam
mujahadah – zikir untuk meraih derajat yang tinggi di sisi Allah – dan istigasah
setiap bakda magrib dan setiap malam Jumat dan Selasa Kliwon. Sementara
pengelolaan sehari-hari pesantren yang berdiri pada 1955 itu diserahkan
kepada sebuah kepengurusan yang dinamakan Idarah Ma’had Kiai Parak
Bambu Runcing.
Idarah tersebut juga membawahkan beberapa lembaga yang mengurus
kepentingan pesantren dan umat. Termasuk Lembaga Seni Bela Diri Garuda
Bambu Runcing (LGBR), perguruan pencak silat yang mengajarkan dua jenis
ilmu bela diri, yakni pencak silat sebagai bela diri fisik dan bela diri batin. LGBR
tidak hanya diikuti para santri, tapi juga warga masyarakat umum. Hingga kini
anggota aktifnya kurang lebih 45.000 orang, bahkan telah memiliki beberapa
cabang di Jawa dan Sumatra.
Kemasyhuran Kiai Muhaiminan Gunardo dan pesantrennya dalam dunia
spiritualitas memang telah membuah bibir di kalangan umat Islam, khususnya
di Jawa Tengah. Di luar aktivitas keilmuan dan kanuragan, pesantren yang
terletak di dataran tinggi eks Karesidenan Kedu ini memang selalu ramai
dikunjungi orang. Baik yang hendak berkonsultasi masalah kehidupan, berguru
ilmu hikmah, maupun untuk mengaji tasawuf kepada Mbah Nan.
Ketika terjadi heboh pembunuhan terhadap para kiai dan santri pada 1999 –
yang terkenal sebagai “kasus ninja”, karena pembunuhnya bertopeng seperti
ninja – pesantren ini menjadi tujuan utama warga nahdliyin yang belajar
membentengi diri.
Barangkali memang sudah menjadi ketentuan Allah SWT bahwa ulama Parakan
secara turun-temurun ditugasi menjadi benteng pertahanan terakhir umat
dalam menghadapi berbagai kesulitan. Bisa dimaklum jika langkah Kiai
Muhaiminan sepertinya masih harus panjang – selama keadaan Indonesia
belum memenuhi harapan yang dicita-citakan para ulama pendahulunya.
Ahli Hikmah
Selama ini masyarakat lebih mengenal Mbah Hinan selain sebagai alim ulama
yang ahli di bidang agama juga ahli di bidang ilmu hikmah. Tak sedikit yang
berhubungan dengan almarhum berkaitan dengan ilmu kekebalan untuk
pertahanan diri bahkan tak sedikit yang berkaitan dengan kedudukan dan
jabatan. Salah satu Karomah Kiai khos ini Adalah ketika bermain pencak silat
orang disekitarnya merasakan tanah disekeliling beliau bergetar seperti ada
gempa bumi. Salah satu ilmu andalan Beliau adalah SASRA BIRAWA yaitu ilmu
tenaga dalam yang dapat memecahkan benda keras dari jarak jauh seperti ilmu
yang dimiliki Mahesa Jenar. Setiap Santri di Pesantren Parakan diajarkan ilmu
pencak silat Garuda Bambu Runcing. Salah satu murid beliau yang dikenal
sebagai pendekar di kota Solo adalah Almarhum KH. Hilal Adnan pimpinan
Thoriqoh Syadziliyah di Solo Jawa Tengah.
Mursyid Thoriqoh Syadziliyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Mengikuti jejak gurunya, Kiai Dalhar Watucongol, ia juga menjadi mursyid
Tarekat Sadziliyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang bersanad sampai ke
Rasulullah SAW. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat
Jami'yyah Thariqoh Muqtabaroh An-Nahdliyyah serta pimpinan thoriqoh
Syadziliyah.
Di organisai PBNU, almarhum menjabat sebagai Mustasyar. KH Muhaiminan
Gunardo merupakan seorang tokoh panutan yang sangat dikenal masyarakat
luas. Selain itu, beliau juga banyak memberikan sumbangan spiritual bagi
kehidupan masyarakat.
KH Muhammad Dimyati
PANDEGLANG BANTEN
KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah
sosok yang kharismatis. Beliau dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah
dan melahirkan banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya.
Nama lengkapnya Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Dikenal
sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga
mancanegara.
Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang
sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya
didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia
sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar
Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat
Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan.
Lahir sekitar tahun 1925 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang
disegani.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur
ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten
tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi
tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati
dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat
Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati
dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah
tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya
dikenalsebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Tidak salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid.
Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu
masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan
Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini
diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian
besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-
tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis
Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak
kebakaran hingga sampai wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah sejak kecil memang sudah
menampakan kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu
pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng Pandeglang.
Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Pleret Cirebon.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya
Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama
Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin
Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak
lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata
Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau
mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh
wafat.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar
oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke
Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan
datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di
Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya
menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok
Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena,
kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan
santri mengaji.
Jalan Spritual
Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh pendiriannya.
Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada zaman Orde
Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam
penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah
ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti
pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan
kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah
Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib nashr dan hidzib
ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab Aslul Qodr
yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab
Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II
yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hidzib Nasr.
Selanjutnya kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian
kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya
membahas tentang tarekat Syadziliyyah. Ada cerita-cerita menarik seputar
Abuya dan pertemuannya dengan para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu
dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan
selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar.
Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh
datang ke sini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya
mau mondok mbah.” Kemudian Kiai Dalhar pun berkata,” Perlu sampeyan
ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri
sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik
sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi
kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu
diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”
Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya
ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya
disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?” Kemudian Kiai
Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon
ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan
jangan punya teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat
Syadziliyah kepada Abuya.
Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya
Dimyati tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07
Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga
Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad
Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang,
Banten dalam usia 78 tahun.
HADLRATUS SYAIKH MUSTAQIM BIN HUSAIN
Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain lahir di desa Nawangan, kecamatan
Keras, kabupaten Kediri, pada tahun 1901 M. Ayah beliau bernama Husain bin
Abdul Djalil, yang merupakan keturunan ke 18 dari Mbah Panjalu, Ciamis, Jawa
Barat (Ali bin Muhammad bin Umar). Ketika masih berusia 12-13 tahun,
Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain mengabdi kepada Kiai Zarkasyi di dusun
Tulungagung. Beliau mengabdi dan belajar membaca Al-Quran serta ilmu
agama kepada Kiai Zarkasyi. Pada usia tersebut, Hadlratus Syaikh Mustaqim bin
Husain dikaruniai oleh Allah hati yang dapat berdzikir Allah, Allah, Allah ……
tanpa berhenti.
Dari kekuatan dzikir yang demikian tadi, Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain
juga dikaruniai oleh Allah ilmu sirri atau ilmu mukasyafah . Beliau bisa
mengetahui ilmu ghaib, alam barzakh dan alam jin, serta keinginan-keinginan
yang terbersit di hati orang lain. Pada saat itu, Allah selalu menjaga beliau dari
sifat-sifat madzmumah (sifat yang tercela).
Setelah beliau dewasa, Hadlratus Syaikh dinikahkan oleh Kyai Zarkasyi dengan
putri dari Mbah H. Rois yang juga berdomisili di Kauman, yang bernama Ibu
Nyai Halimah Sa’diyyah. Mbah H. Rois hanya mempunyai 2 anak, yang pertama
bernama Sholeh Sayuthi, yang terkenal dengan sebutan Wali Sayuti. Yang
kedua bernama Ibu Nyai Halimah Sa’diyyah yang dinikahkan dengan Hadlratus
Syaikh Mustaqim.
Sebagai seorang suami, Hadlratus Syaikh melakukan kewajibannya dengan
mencari nafkah untuk keluarganya dengan menjadi tukang potong rambut ,
tukang jahit sepatu dan berdagang. Hadlratus Syaikh pernah mendirikan toko
yang diberi nama Bintang Sembilan. Meskipun kehidupan ekonomi
keluarganya selalu memprihatinkan, pada saat itu beliau tidak pernah
meninggalkan kewajiban untuk berbuat amar ma’ruf, yaitu dengan
mengajarkan dzikir yang dimasukkan ke dalam jurus-jurus pencak silat.
Di zaman penjajahan Jepang, Hadlratus Syaikh mengalami suatu ujian bersama
dengan para ulama seluruh Indonesia. Pemerintah Jepang menganggap bahwa
para Ulama akan melakukan pemberontakan, sehingga para Kyai ditangkap,
ada yang disiksa, dan banyak yang disakiti. Setelah selamat dari penyiksaan
Jepang, Hadlratus syaikh meneruskan pengajarannya, yaitu dengan
mengajarkan dzikir di dalam hati, serta akhlaqul karimah, terutama akhlaq
kepada Allah. Rumusan amalan-amalan beliau menekankan bahwa sebelum
dan sesudah wirid harus meminta pada Allah agar mendapat 4 hal:
1. Selamat di dunia dan akhirat.
2. Hati yang bersih dari sifat madzmumah (sifat tercela).
3. Kekalnya iman sampai sakaratul maut dan bisa membaca kalimat thayyibah,
serta bisa husnul khatimah.
4. Semua hal yang barakah, maslahah, manfaat di dunia dan akhirat.
Sebab-sebab KH. Mustaqim Menerima Thariqah Syadzaliyyah
Menurut KH. Abdul Jalil Mustaqim, Romo KH. Mustaqim bin Husain sudah
mempunyai hizib-hizib sebelumnya, seperti Hizib Baladiyyah, Hizib Kafi dan
lain-lain. Pada suatu saat, murid Syaikh Mustaqim yang bernama Asfaham dari
Ngadiluwih, Kediri, ketika riyadlah mengamalkan aurad Hizib Kafi dan masuk ke
dalam maqam Jadzab Billah. Pada maqam jadzab tersebut, pak Asfaham
berkelana sampai masuk Pondok Termas pacitan, Pak Asfaham berbicara
banyak hal, termasuk mengajak beradu argumentasi (berdebat) kepada para
Ustadz Pondok Termas Pacitan. Pada saat itu, Syaikh Abdur Razzaq mengetahui
bahwa ilmunya Pak Asfaham itu haq. Kemudian Syaikh Abdur Razzaq
memanggil Pak Asfaham dan bertanya, “siapa gurumu?” kemudian Pak
Asfaham menjawab bahwa gurunya adalah KH. Mustaqim dari Kauman
Tulungagung.
Di lain waktu, Kyai Abdur Razzaq bertamu (sowan) kepada KH. Mustaqim.
Dalam persowanan tersebut Kyai Abdur Razzaq meminta ijazah ‘ammah
kepada KH. Mustaqim. Akan tetapi keduanya malah saling menghindar untuk
menjadi guru. Pada akhirnya, keduanya sepakat untuk sama-sama saling
memberikan ijazah. Romo KH. Mustaqim memberikan ijazah Hizib Baladiyah
kepada Romo Kyai Abdur Razzaq. Dan Romo Kyai Abdur Razzaq memberikan
baiat Aurad Syadzaliyyah. Pada saat akan diberi baiat Aurad Syadzaliyyah, KH.
Mustaqim menolak. Beliau berkata, “Aurad Syadzaliyyah itu berat, setahu saya
ada amalan yang ngere (keluar dari rumah tidak boleh membawa bekal,
makannya minta ke orang lain, membawa baju hanya satu setel saja untuk
menutupi aurat)”. Romo Kyai Abdur Razzaq berkata, “Kalau anda pasti kuat”.
Kemudian KH. Mustaqim jadi menerima baiat Aurad Syadzaliyyah dari Romo
Kyai Abdur Razzaq. Setelah berjalan cukup lama, KH. Mustaqim sudah
memberikan baiat kepada murid-murid yang menginginkan Aurad
Syadzaliyyah. Romo Kyai Abdur Razzaq berkata, “Thariqah Syadzaliyyah ini
nanti pusatnya akan pindah ke Kedung”, (yang dimaksud adalah akan pindah
ke Syaikh Mustaqim Kauman, Tulungagung). Pada tahun 1947 M, Romo Kyai
Abdur Razzaq datang ke Tulungagung. Beliau sangat senang dengan KH. Abdul
Jalil Mustaqim, dan pada saat itu KH. Abdul Jalil Mustaqim masih berusia 5
tahun. KH. Abdul Jalil Mustaqim digendong oleh Kyai Abdur Razzaq
mengelilingi alun-alun Tulungagung. Sepertinya Romo Kyai Abdur Razzaq
sudah mengetahui bahwa yang akan menjadi penerus guru mursyid setelah
Syaikh Mustaqim adalah KH. Abdul Jalil Mustaqim.
Musibah di Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945)
Pada saat Jepang menjajah bangsa Indonesia , Jepang memaksa bangsa
Indonesia untuk melakukan Seikerei , yang artinya pada saat matahari terbit,
menghadap ke timur untuk menyembah kepada matahari (ibadah agama
Shinto ). Dan pada saat jam 07.00 pagi harus membungkuk seperti posisi ruku’
menghadap ke utara agak serong ke barat menghadap ke arah kota Tokyo
Jepang , untuk menyembah Tenno Haika, Raja Jepang. Kedua perintah Jepang
tersebut dianggap musyrik oleh agama Islam. Oleh karena itu, Syaikh
Mustaqim dan ulama lainnya menentang hal tersebut dan tidak mau
melakukannya. Pemerintah Jepang mempunyai anggapan bahwa para ulama
dan kyai akan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Jepang.
Sehingga pemerintah Jepang dengan biadabnya melakukan penyiksaan kepada
para ulama termasuk Syaikh Mustaqim. Penyiksaan Jepang yang dialami oleh
Syaikh Mustaqim antara lain: Tubuh beliau dijepit dengan satu bal es batu di
dada, dan satu bal lagi di bagian belakang sambil tubuh beliau dirantai.
Beliau dijatuhkan dari ketinggian mencapai 10 meter. Perut beliau diisi air
lewat hidung dengan menggunakan pipa kecil, seperti yang dialami oleh kyai-
kyai lainnya. Pada saat Jepang memasukkan air ke dalam hidung KH.
Mustaqim, yang dimasuki air malah bukan hidung beliau, tetapi kantong ikat
pinggang yang sedang beliau pakai. KH. Mustaqim diberi keselamatan dari
semua hal tersebut berkat perlindungan dari Allah.
Usaha Ekonomi
KH. Mustaqim bin Husain mempunyai istri dan putra-putri. Beliau juga
melakukan usaha secara lahir, yaitu dengan berusaha mencari nafkah untuk
mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Beliau pernah menjadi tukang
potong rambut, penjahit sepatu dan sandal, dan membuka toko yang bernama
Toko Bintang Sembilan.
Akan tetapi semua usaha lahir beliau tersebut tidak ada yang kelihatan
menghasilkan banyak uang. Sepertinya beliau hanya melakukan ikhtiyar secara
lahir saja. Buktinya, pada saat Kyai Muslim (Alm) akan pergi mondok ke Pondok
Mojosari Loceret Nganjuk, Kyai Muslim meminta uang kepada KH. Mustaqim,
dan KH. Mustaqim menyuruh beliau untuk mengambil sendiri uang yang
terletak di bawah kasur. Pada saat Kyai Muslim membuka kasur tersebut,
ternyata yang ada di bawah kasur tersebut adalah uang semua. Tetapi Kyai
Muslim hanya mengambil seperlunya saja.
Perkataan-Perkataan Hikmah
Al-Maghfurullah KH. Mustaqim bin Husain jika berbicara (dawuh), banyak yang
menggunakan kalam kinayah (kata sindiran) daripada kalam sharihah (kata
terang-terangan). Begitu juga jika akan terjadi peristiwa yang aneh, beliau
hanya memberikan isyarat saja. KH. Mustaqim memelihara ayam yang sebelah
kanan berwarna merah, dan yang sebelah kiri berwarna putih bersih. Pada
bulan Rabi’ul Awal, KH. Mustaqim berkata, “Bangsa Jepang berada di Indonesia
masih 6 bulan lagi”. Dan terbukti setelah sampai pada hari Jumat Legi tanggal 9
Ramadhan 1363 H, yang bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945 M,
Negara Indonesia merdeka dan mengibarkan bendera merah putih.
KH. Mustaqim bin Husain juga pernah mempunyai ayam yang berkaki satu, jika
berjalan meloncat-loncat, di atas kepalanya dekat dengan jenggernya
ditempati sarang lebah, jika ayam tersebut akan berpindah tempat, si lebah
keluar dari sarangnya kemudian mengikuti ayam tersebut. Begitu juga dengan
KH. Abdul Jalil Mustaqim. Beliau pernah memelihara burung perkutut putih,
dan selang beberapa tahun kemudian beliau memelihara burung gagak putih.
Semua hal tersebut menunjukkan bahwa Mursyid Kamil itu tetap ada, tetapi
sangat langka dan susah untuk dicari. Bisa ditemukan, tetapi harus lewat
kesucian. KH. Mustaqim bin Husain kalau dawuh kepada murid-muridnya
kebanyakan memakai kalam kinayah , begitu juga dengan KH. Abdul Jalil
Mustaqim. Menurut perkataan KH. Shadiq Muslih Al-Hajari, jika mendengarkan
perkataan-perkataan KH. Mustaqim dan KH. Abdul Jalil Mustaqim, harus
dengan berdzikir kepada Allah, supaya kita bisa memahami makna dari
perkataan beliau tersebut, karena sumber-sumber perkataan beliau tersebut
berasal dari asrarillah (dawuh sirri). Perkataan-perkataan tersebut antara lain:
1. “Menjadi orang mukmin itu harus sering memotong kuku”
Artinya: jadi orang mukmin itu harus menghilangkan sifat ‘ujub (merasa dirinya
paling baik) dan supaya bisa ikhlas.
2. “Menjadi murid thariqah itu seperti orang yang antri karcis di loket.
Terkadang didesak oleh temannya, diserobot gilirannya, dan ketetesan
keringat temannya. Akan tetapi semua itu jangan dihiraukan, tetaplah
menghadap ke loket”.
Artinya: menjadi murid thaariqah itu terkadang mendapatkan gangguan dari
orang lain, keluarga, bahkan dari sesama murid. Jangan hiraukan dan tetap
menghadap ke depan. Hanya berharap barakah kepada guru mursyid supaya
bisa cepat mendapat tiket pesawat Thariqah Syadzaliyyah.
3. “Mencari ilmu di depan guru mursyid harus seperti orang yang mencari
rumput, tapi jangan seperti orang yang mencari rumput”.
Artinya: orang yang mencari rumput jika melihat ke bawah, akan mendapat
rumput yang banyak, wadahnya cepat penuh. Tetapi jika melihat ke tempat
lain, sepertinya rumput yang kita lihat di tempat yang lebih jauh terlihat lebih
subur daripada rumput yang ada di dekat kita. Kenyataannya, rumputnya sama
saja, bahkan lebih sedikit. Karena kebanyakan pindah-pindah maka waktunya
habis dan wadah rumputnya tetap kosong. Orang yang mencari ilmu haqiqat
harus menghadap pada satu guru, jangan sampai melirik guru yang lainnya.
Malah akan menjadi hijab (penghalang) keberhasilannya. Kecuali jika diizini
oleh sang guru. KH. Abdul Jalil Mustaqim pernah berkata, “Jangan
berpoligami!” . Artinya, jika mengamalkan amalan Syadziliyyah tidak boleh
mengamalkan amalan lainnya yang batal, atau yang tidak seizin guru mursyid.
Maqam dan Derajat KH. Mustaqim bin Husain
Pada tahun 1953, KH. Mustaqim bin Husain menerima dawuh sirri, bahwa yang
akan meneruskan kemursyidan nanti adalah KH. Abdul Jalil Mustaqim (putra
KH. Mustaqim). Pada saat itu, KH. Abdul Jalil Mustaqim sudah mulai disuruh
membaiat, meskipun pada saat itu beliau masih berusia 11 tahun.
Pada tahun 1981, Ibu Nyai Hj. Halimah Sa’diyah (istri KH. Mustaqim), Ibu Nyai
Hj. Anni Siti Fatimah (putri KH. Mustaqim), serta Bapak H. Jam’an Prawiro, S.H
(putra mantu KH. Mustaqim), bersama-sama melakukan ihram haji dan umrah.
Ibu Nyai Hj. Anni Siti Fatimah dan Bapak H. Jam’an Prawiro, S.H
mengamanatkan haji buat KH. Mustaqim yang dilaksanakan oleh H. Masduqi
Tunjung, Udanawu, Blitar, di mana pada saat itu H. Masduqi masih bermukim
di Makkah. Serban dan sertifikat KH. Mustaqim disimpan oleh KH. Arif
Mustaqim. Sebelum menerima sertifikat tersebut, KH. Arif Mustaqim sudah
inkisyaaf (diperlihatkan hal-hal sirri) bertemu dengan KH. Mustaqim yang
menggunakan jubah, kopiah dan sorban (menggunakan pakaian haji).
KH. Mustaqim dikaruniai kelebihan oleh Allah bisa berbicara dengan
menggunakan bahasa orang yang sedang bertamu (sowan). Menurut K. Lamri
Kedung Sigit, Karangan, Trenggalek, KH. Mustaqim pernah menerima tamu dari
India yang tidak membawa penerjemah bahasa. KH. Mustaqim langsung
menemui tamu tersebut dan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa
India. K. Lamri tetap mendengarkan pembicaraan beliau sambil menyapu di
halaman mushalla.
Menurut Pak Ahmad bin Badri Jeli, Karangrejo, Tulungagung, pada saat dia
berkelana selama 18 tahun, hingga anak dan cucunya lahir dia tidak
mengetahuinya. Di dalam perjalanan berkelananya, dia sempat bertamu
(sowan) kepada KH. Muhammad Dalhar Magelang (yang makamnya ada di
Gunung Pring), Pak Ahmad bin Badri ditanya oleh KH. Muhammad Dalhar,
“Anda dari mana?”. Kemudian Pak Ahmad bin Badri menjawab bahwa dia
berasal dari Jeli, Karangrejo, Tulungagung. Kemudian KH. Muhammad Dalhar
bertanya lagi, “Sudah tahu KH. Mustaqim Kauman Tulungagung?. Pak Ahmad
bin Badri menjawab, “Sudah, saya sudah tahu beliau. Malah bapak saya ikut
amalan thariqah KH. Mustaqim”. Kemudian KH. Muhammad Dalhar berkata,
“Bahwa KH. Mustaqim itu adalah Wali Quthub yang derajat kewaliannya
mastur”. Padahal di daerah Tulungagung dan sekitarnya, banyak yang tidak
mengetahui KH. Mustaqim. Yang mereka ketahui hanya Pak Takim tukang
potong rambut.
KH. Mustaqim juga membaiat Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Qadiriyah wa Al-
Naqsyabandiyah. Beliau menerima baiat dari KH. Khudlari bin Hasan
Malangbong, Garut, Jawa Barat. KH. Mustaqim menimba ilmu yang banyak
sekali dari KH. Khudlari bin Hasan, termasuk belajar ilmu syari’at lengkap
selama 6 bulan.
KH. Mustaqim bin Husain Wafat
Pada tahun 1970, pada hari Ahad tanggal 1 Muharram setelah Ashar, di mana
di situ terdapat 4 orang yang menemani KH. Mustaqim yang sedang naza’ .
Salah satunya adalah Mayor TNI AD Shomad Srianto (mantan komandan
KODIM Tulungagung). Pada saat naza’ , KH. Mustaqim kelihatan nafasnya
tersendat-sendat (idlthirob) dan sesak nafas. Akan tetapi sesak nafas beliau ini
bukan berarti tanda-tanda su’ul khatimah . Menurut kitab Tanbihul Mughtarrin
halaman 45, jika ada guru mursyid pada saat naza’ -nya terlihat kesakitan dan
sesak nafas/nafas tersendat-sendat, itu dikarenakan dua hal:
1. Karena sangat senang akan bertemu dengan Allah.
2. Karena rasa kasihan beliau kepada semua murid beliau, ingin memberikan
pendidikan (tarbiyah) kepada para murid hingga mencapai ma’rifat billah .
Oleh karena itu, karena saling tarik menariknya dua hal tersebut, sehingga
jasad beliau terlihat mengalami nafas tersendat-sendat.
Putra-Putri KH. Mustaqim bin Husain dengan Ibu Nyai Hj. Halimah Sa’diyah
1. Ibu Nyai Thowilah Sumaranten.
2. Bapak KH. Arif.
3. Bapak Muhsin.
4. Bapak Yasin.
5. Ibu Maratun.
6. Bapak KH. Abdul Ghafur.
7. Ibu Nyai Hj. Anni Siti Fatimah.
8. Bapak KH. Kyai Ali Murtadlo.
9. Romo KH. Muhammad Abdul Jalil.
10. Ibu Nyai Siti Makhfiyah.
11. Bapak Hanshon Athlab.
SYEKH Ahmad Asrori Al-Ishaqi
Beliau masih muda. Namun, Surabaya dan Jawa Timur bahkan seluruh
Jawa hingga Jakarta dan Asia Tenggara seperti dalam genggaman
pengaruhnya, itulah KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi putra keenam KH. Utsman asal
Kedinding Lor Surabaya Jawa Timur.
Minggu pagi akhir bulan Pebruari tahun 2006 lalu kawasan Lapangan Mataram
Kota Pekalongan yang biasanya ramai oleh masyarakat yang ingin berolah raga
ringan, berbelanja dan sekedar jalan jalan untuk menikmati udara pagi, hari itu
tampak lain dari hari-hari minggu sebelumnya. Puluhan keamanan sejak subuh
disibukkan oleh kehadiran puluhan ribu masyarakat berbaju putih putih dari
berbagai penjuru kota di Jawa untuk mengatur arus lalu lintas. Saking
padatnya, Jalan Wilis dan Sriwijaya merupakan jalur utama jurusan Semarang
Jakarta harus ditutup total selama 24 jam dan disulap menjadi area parkir
kendaraan roda dua dan empat atau lebih. Bahkan malam sebelumnya
puluhan rombongan bis bis pariwisata dan reguler serta ratusan kendaraan
pribadi sudah memasuki wilayah Kota Pekalongan yang terkenal dengan
industri batiknya menuju satu titik, yakni Lapangan Mataram. Ada apa
gerangan ?
Di Lapangan Mataram inilah tidak kurang dari lima puluh ribu kaum muslimin
dan muslimat, dari anak-anak hingga orang dewasa dari berbagai penjuru
tanah air secara bersama sama melakukan kegiatan istighotsah, manaqib
Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro RHa dan tahlil akbar dalam rangka “Haflah
dzikir, Maulidurrasul dan Haul Akbar Ummil Mukminin Sayyidatina Siti
Khodijah Al Kubro RHa.” yang dipimpin langsung oleh ulama kharismatik
penyejuk ummat asal Kedinding Lor, Semampir, Surabaya Jawa Timur, yakni
KH. Ahmad Asrori Utsman Al Ishaqi.
Suara gema istighotsah dan tahlil akbar mengguncang langit Kota Pekalongan
di pagi hari menembus cakrawala hingga radius dua kilometer. Kota
Pekalongan yang biasanya ramai oleh hiruk pikuk masyarakat sibuk dengan
urusannya masing masing, hari itu ikut larut dalam gema istighotsah dan tahlil.
Apalagi kegiatan ini disiarkan langsung oleh tiga radio yang sudah punya nama
di Kota Pekalongan dan Batang, yakni Radio Amarta FM, Radio Abirawa Top FM
dan Radio PTDI Walisongo, maka lengkaplah suasana di pagi hari yang cerah
dengan busana putih putih di atas hamparan rumput hijau dengan menyebut
asma Allah hingga ribuan kali sampai menggetarkan kalbu yang gersang oleh
kondisi zaman.
“Kegiatan bertaraf internasional ini diselenggarakan tidak hanya semata-mata
mendo’akan istri Rasulullah SAW Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al
Kubro saja, akan tetapi juga mendoa’akan sesepuh para ulama, syuhada’ dan
sholihin serta ummat Islam yang telah ikut berjasa dalam pengembangan
agama Islam di wilayah Kota Pekalongan dan sekitarnya”, ujar Ketua Umum
Pengurus Pusat Jama’ah Al Khidmah H. Hasanuddin, SH. kepada NUBatik
Online. Maka, tidaklah mengherankan jika masyarakat begitu antusias
mengikuti acara yang baru pertama kali digelar di Kota Pekalongan.
Bayangkan saja, lapangan Mataram yang cukup luas itu disulap oleh panitia
menjadi arena berdzikir bak tenda besar. Seluruh lapangan tertutup rapat oleh
tenda tidak kurang dari 250 set layos (tratag) dan di dalamnya membentang
panggung raksasa ukuran 50 x 16 meter persegi dengan dekorasi yang cukup
mewah. Untuk persiapannya saja, memerlukan waktu tiga hari memasangnya
dan pihak panitia mendatangkan secara khusus panggung dan dekorasi dari
Ponpes Al Fithrah Semarang.
Bahkan untuk mengcover arena agar seluruh peserta dzikir dapat mendengar
dengan baik, pihak panitia mendatangkan secara khusus sound system
berkekuatan 30 ribu watt dari Malang Jawa Timur yang diangkut satu truk
tronton, di tambah dengan 6 set sound system lokal dengan kekuatan masing
masing 3 ribu watt, sehingga peserta / pengunjung yang hadir dapat mengikuti
acara demi acara dengan baik dan khusu’, saking besarnya kekuatan sound
system, acara tersebut dapat didengar hingga radius 2 kilometer.
Mayoritas jama’ah yang hadir memang datang dari seluruh pelosok Jawa
Tengah. “Kami sengaja hadir di majelis ini, karena pada tahun ini hanya
diselenggarakan di Pekalongan”, ujar Mukminin asal Jepara. Dirinya membawa
beberapa bis untuk mengangkut rombongan asal kota ukir Jepara. “Kegiatan
tahun kemarin di Kabupaten Demak kami juga membawa rombongan lebih
besar, akan tetapi karena kali ini agak jauh maka tidak banyak yang kami
bawa” kata pemuda yang masih lajang ini. Hal senada juga diungkapkan
Rohman pimpinan rombongan asal Grobogan dan Nur Kholis asal Salatiga.
Selain Jawa Tengah, tidak sedikit pula rombongan berasal dari Jawa Timur,
Madura, Jawa Barat dan Jakarta. Hal ini terlihat dari kendaraan berplat nomor
AG, L, W, N, B dan lain lain. Bahkan juga hadir puluhan jama’ah asal
mancanegara, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Timur
Tengah.
Rumah-rumah penduduk dan gedung-gedung di sekitar Lapangan Mataram
seperti Gedung Wanita, Kantor MUI, Balai Kelurahan Podosugih, Balai
Kelurahan Bendan, Rumah Singgah Dupan Mall, Gedung Balai Latihan Kerja
(BLK), serambi-serambi Masjid, Musholla hingga ruko berubah fungsi menjadi
tempat penginapan. “Saya setiap pagi selalu mendengarkan pengajian Kiai
Asrori di Amarta FM, materinya sangat disukai masyarakat dan menyejukkan
hati, jadi sangat wajar jika masyarakat sekitar sini dengan antusias rumahnya
menjadi tempat penginapan”, kata Ibu Romlah asal Podosugih Kota
Pekalongan. Bahkan Paguyuban warung makan Lamongan yang banyak
tersebar di kawasan jalur Pantura secara ikhlas menyediakan makanan dan
minuman gratis untuk para tetamu yang telah hadir pada malam sebelumnya.
Uswah khasanah
Kalau ada pertanyaan, faktor apa yang mempersatukan mereka, bahkan rela
berdesak-desakan selama berjam-jam ? jawabannya ada dua, yaitu Thariqah
dan sosok Kiyai Asrori sendiri selaku Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan
Naqsabandiyah Al Utsmaniyah (dinisbatkan kepada Kiai Utsman). Konon,
almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim
(ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai
mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto.
Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan
kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di
samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat
estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan,
sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan
wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah
yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai
Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang
masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang
yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya
ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada
seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia
membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai
Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan
menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”,
ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok
Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok
tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa
bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan
tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta
bangunan masjid yang cukup besar.
Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang
moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-
muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada
masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus
ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama.
Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal,
melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan
thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi
masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan
banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai
Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau
adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar,
bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa
mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di
Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus
karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-
orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata
anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada
Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah
tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat
dari kalangan sipil maupun militer.
Keturunan Rasulullah ke-38
Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al
Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai
Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang. Berikut
silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso
– Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran
Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo –
Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan
Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam
– Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan –
Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi –
Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi –
Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir
– Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti
Rasulullah SAW.
Baiat thariqah
Kini, ulama yang usianya belum genap lima puluh tahun itu menjadi magnet
tersendiri bagi sebagian kaum, khususnya ahli thariqah. Karena kesibukannya
melakukan pembinaan jama’ah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air
hingga mancanegara. Kiai Rori menyediakan waktu khusus buat para tamu,
yakni tiap hari Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik bagi jama’ah baru
maupun lama dilakukan seminggu sekali. (ada tiga macam pembaiatan, yaitu
Baiat Bihusnidzdzan, bagi tingkat pemula, Baiat Bilbarokah, tingkat menengah
dan Baiat Bittarbiyah, tingkat tinggi).
Untuk menapaki level level itu, tiap jama’ah diwajibkan dzikir rutin yang harus
diamalkan oleh murid yang sudah berbaiat berupa dzikir jahri (dengan lisan)
sebanyak 160 kali dan dzikir khafi (dalam hati) sebanyak 1000 kali tiap usai
sholat. Kemudian ada dzikir mingguan berupa khususi yang umumnya
dilakukan jama’ah per wilayah seperti kecamatan.
Thariqah yang diajarkan Kiai Rori memang dirasakan berbeda dengan thariqah
atau mursyid mursyid lainnya pada umumnya. Jika kebanyakan para mursyid
setelah membaiat kepada murid baru, untuk amaliyah sehari-hari diserahkan
kepada murid yang bersangkutan di tempat masing-masing untuk
pengamalannya, tidak demikian dengan Kiai Rori. Beliau sebagai Mursyid
Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah memiliki tanggung
jawab besar, yakni tidak sekedar membaiat kepada murid baru kemudian
tugasnya selesai, akan tetapi beliau secara terus-menerus melakukan
pembinaan secara rutin melalui majelis khususi mingguan, pengajian rutin
bulanan setiap Ahad awal bulan hijriyah dan kunjungan rutin ke berbagai
daerah.
Untuk membina jama’ah yang telah melakukan baiat, khususnya di wilayah
Jawa Tengah, bahkan Kiai Rori telah menggunakan media elektronik yaitu
Radio Siaran untuk penyebaran dakwahnya, sehingga murid muridnya tidak
lagi akan merasa kehilangan kendali. Ada lima radio di Jawa Tengah yang
dimilikinya setiap pagi, siang dan malam selalu memutar ulang dakwahnya Kiai
Rori, yakni Radio Rasika FM dan “W” FM berada di Semarang, Radio Citra FM di
Kendal, Radio Amarta FM di Pekalongan dan Radio Suara Tegal berada di Slawi.
Radio radio inilah setiap harinya mengumandangkan dakwahnya yang sangat
khas dan disukai oleh banyak kalangan, meski mereka tidak atau belum
berbaiat, bahkan ketemu saja belum pernah, toh tidak ada halangan baginya
untuk menikmati suara merdu yang selalu mengumandang lewat istighotsah di
awal dan tutup siaran radio. Kemudian juga dapat didengar lewat manaqib
rutin mingguan dan bulanan serta acara-acara khusus seperti Haul Akbar di
Kota Pekalongan beberapa waktu lalu disiarkan langsung oleh tiga radio
ternama di Kota Pekalongan dan Batang.
Dalam setiap memberikan siraman rohani, Kiai Rori menggunakan rujukan
Kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi Al Bantani, Al Hikam karya Imam
Ibnu Atha’illah dan lain lain. Selain pengajian yang lebih banyak mengupas soal
tasawuf, Kiai Rori juga sering menyisipkan masalah fiqih sebagai materi
penunjang. Seorang ulama asal Ploso Kediri Jawa Timur, KH. Nurul Huda
pernah bertutur, sulit mencari ulama yang cara penyampaiannya sangat
mudah dipahami oleh semua kalangan dan do’anya sanggup menggetarkan
hati seperti Kiai Asrori. Hal senada diakui oleh KH. Abdul Ghofur seorang ulama
asal Pekalongan, Kiai Asrori seorang figur yang belum ada tandingnya, baik
ketokohannya maupun kedalaman ilmunya.
Jama’ah Al Khidmah sebagai wadah
Sadar bahwa manusia tidak akan hidup di dunia selamanya, Kiai Asrori telah
berfikir jauh ke depan untuk keberlangsungan pembinaan jama’ah yang sudah
jutaan jumlahnya. Perkembangan jumlah murid cukup menggembirakan ini
sekaligus mengundang kekawatiran. Apa pasal ? banyaknya murid yang
berbaiat di Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah
menunjukkan bahwa ajaran ini memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi murid
murid yang telah berbaiat terus dibina melalui berbagai majelis, sehingga
amalan-amalan dari sang guru tetap terpelihara.
Di sisi lain banyaknya murid juga mengundang kekhawatiran sang guru. Karena
mereka tidak terurus dan terorganisir dengan baik, sehingga pembinaannya
pun kurang termonitor. Kondisi inilah yang mendorong beberapa murid senior
memiliki gagasan untuk perlunya membentuk wadah di samping dorongan
yang cukup kuat dari Kiyai Asrori sendiri, sehingga diharapkan dengan
terbentuknya wadah bagi para murid-muridnya dapat lebih mudah
melaksanakan amalan amalan dari gurunya.
Maka dibentuklah wadah bernama “Jama’ah Al Khidmah”. Organisasi ini resmi
dideklarasikan tanggal 25 Desember 2005 kemarin di Semarang Jawa Tengah,
dengan kegiatan utamanya ialah menyelenggarakan Majelis Dzikir, Majelis
Khotmil Al Qur’an, Maulid dan Manaqib serta kirim do’a kepada orang tua dan
guru-gurunya. Kemudian menyelenggarakan Majelis Sholat Malam, Majelis
Taklim, Majelis Lamaran, Majelis Akad Nikah, Majelis Tingkepan, Majelis
Memberi nama anak dan lain lain.
H. Hasanuddin menjelaskan, organisasi ini sengaja dibentuk bukan karena latah
apalagi berorientasi ke politik praktis, akan tetapi semata mata agar
pembinaan jama’ah lebih terarah dan teratur. Siapapun bisa menjadi
anggotanya, baik yang sudah baiat atau yang belum baiat. Seperti kegiatan
kegiatan Haul Akbar di Kota Pekalongan tempo hari merupakan salah satu
bukti bahwa kegiatan Jama’ah Al Khidmah banyak diminati oleh berbagai
kalangan khususnya di wilayah Pekalongan dan sekitarnya.
Meskipun di wilayah ini belum banyak yang menyatakan baiat ke Kiai Asrori,
ternyata magnet kiai yang berpenampilan kalem dan sederhana ini dapat
menghadirkan puluhan ribu ummat Islam untuk duduk bersimpuh bersama-
sama dengan para kiyai, ulama, habaib dan ratusan undangan lainnya untuk
bersama-sama melakukan dzikir dan mendoa’akan istri Rasulullah Ummil
Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro yang kini telah mulai banyak
dilupakan ummat Islam.
Acara ini memang tergolong khusus, pasalnya kegiatan Haul Sayyidatina Siti
Khodijah tidak lazim dilaksanakan oleh ummat Islam. sehingga banyak yang
tidak menyangka kegiatan ini akan mendapat perhatian yang cukup besar.
Bahkan Habib Umar Bin Salim cucu Rasulullah SAW asal Hadramaut Yaman
Yordania yang hadir dalam secara khusus di majelis dzikir itu mengatakan,
sudah selayaknya ummat Islam mendoakan istri Rasulullah, karena beliau
mempunyai peranan yang sangat penting dan banyak jasanya membantu
Rasulullah dalam pengembangan ajaran Islam. ”Kami siap hadir setiap majelis
ini digelar”, ujarnya usai acara. [mu’is]
BIOGRAFI KH. AHMAD ASRORI AL-ISHAQI KEDINDING SURABAYA PART II
KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi.
Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan
Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah
kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai
Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan
kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan
Sunan Giri. Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai
tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya
bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat
serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun
1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan
kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara
mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori
sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak
itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju
Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan
pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah
mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di
Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum
pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab
kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian
anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu
organisasi sosial manapun. Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan
pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung
dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang
membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang
terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada
Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini
mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan
orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan
Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori
terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan
lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan
kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut
namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya.
Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan
keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu
tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak
aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan
pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan
akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat
mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’
Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian
luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar
semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari
Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah
rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran
anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan
ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai
Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain
yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, yaitu 30 tahun.
Wassalam
KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi.
Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan
Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah
kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai
Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan
kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan
Sunan Giri. Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai
Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri.
Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13
orang.
Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso
– Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran
Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo –
Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan
Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam
– Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan –
Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi –
Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi –
Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir
– Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti
Rasulullah SAW.
Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai
tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya
bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat
serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun
1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan
kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini. Konon,
almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim
(ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai
mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto.
Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan
kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di
samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat
estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan,
sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan
wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah
yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai
Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang
masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang
yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya
ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada
seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia
membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai
Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan
menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”,
ujarnya. Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok
Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok
tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa
bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan
tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta
bangunan masjid yang cukup besar. Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh
jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas
keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai
Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut
saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat
hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para
pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada
mulanya justru asing dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi
masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan
banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai
Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau
adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar,
bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu. Tanda
tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya
dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur
dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena
banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”,
bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak
jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah
lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh
yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari
kalangan sipil maupun militer.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara
mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori
sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak
itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju
Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan
pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah
mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di
Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum
pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab
kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian
anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu
organisasi sosial manapun.
Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis
yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni
keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah
menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang
ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju
dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut.
Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak
provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan
perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan
kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil
mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang
mungkin tak pernah ia bayangkan. Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa.
Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang
sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di
kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai
Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan.
Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun,
dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan
ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia
seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.”
Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori
mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali
dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh
seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut
ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori
mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam.
Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman
pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji
kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk
Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai
penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu
Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun. Telah meninggal dunia pada hari ini 26
Sya’ban 1430 H./18 Agustus 2009 pukul 02:20 WIB, KH. ASRORI BIN UTSMAN
AL-ISHAQI, Kedinding Surabaya Beliau adalah mursyid Thoriqoh Qodiriyah &
Naqsabandiyyah saat ini, semoga Allah senantiasa mengampuni semua
dosanya
Kiai As’ad, yang rajin membaca dan berlangganan enam koran ditambah
sebuah majalah mingguan berdarah Madura asli. Lahir tahur 1897 di Mekah
ketika orangtuanya menunaikan ibadat haji. Satu satunya adiknya,
Abdurrahman juga lahir di kota suci itu dan bahkan menjadi hakim dan
meninggal di Arab Saudi. Pada umur 6 tahun, oleh ayahnya, K.H. Syamsul
Arifin, seorang ulama besar di Madura, K.H. As’ad ditaruh di Pesantren Sumber
Kuning, Pamekasan. Menginjak usia 11 tahun, As’ad diajak ayahnya
menyeberangi laut dan membabat hutan disebelah timur Asembagus yang
waktu itu terkenal angker “Dulu tidak ada orang, kecuali ha- rimau dan ular
berbisa,” kata Kia As’ad mengenang. Di bekas hutan perawan itu, mereka
membangur permukiman yang kemudian menjadi Desa Sukorejo. Pada usia 16
tahun, bersama seorang adiknya, Abdurrahman. As’ad dikirim kembali ke
Mekah dengan harapan setelah pulang mewarisi Pesantren Sukorejo. Hanya 3
tahun bertahan di Mekah , ia kembali ke tanah air dan masih belajar
di beberapa pesantren. Di berbagai pondok ini, bukan cuma agama yang
dipelajari, juga ilmu silat, ilmu kanuragan. As’ad juga pernah belajar di Pondok
Tebuireng pimpinan K.H. Hasyim Asyari, dan menjadi kurir ulama ini menjelang
lahirnya NU tahun 1929. Setelah NU berkembang, ia ternyata tak terpaku
hanya pada NU. As’ad juga memasuki Sarekat Islam selama pernah menjadi
anggota organisasi Penyedar – yang didirikan Bung Karno. Di sinilah, As’ad
kenal dekat dengan presiden pertama ini. Di tengah gejolak perjuangan itu
(1939), K.H. As’ad menyunting gadis Madura, Zubaidah. Dan kini dikaruniai
lima anak. Si bungsu, satu-satunya lelaki, Ahmad Fawaid, kini baru 14 tahun.
Empat anak perempuannya semua sudah kawin dan memberinya sembilan
cucu serta tiga buyut. Pada masa mudanya, KH R. As’ad muda menghabiskan
masa lajangnya di berbagai pondok pesantren di pulau jawa. Beberapa PONPES
yang pernah beliau tempati dalam mengais ilmu agama, antara lain PP
Demangan Bangkalan asuhan KH. Cholil, PP Panji, Buduran, PP Tetango
Sampang, PP Sidogiri Pasuruan, PP Tebu Ireng Jombang dan berbnagai PONPES
lainnya di Pulau Jawa dan Madura. Setelah malang melintang di berbagai
pesantren beliau melanjutkan studinya ke Makkatal Mukarromah dan disana
beliau berguru kepada Ulama’-ulama besar seperti Sayyid Muhammad Amin
Al-Qutby, Syekh Hasan Al-Massad, Sayyid Hasan Al-Yamani dan Syekh Abbas
Al-Maliki, serta beberapa ulama besar lainnya.
Kiai As’ad dan NU
Belum lengkap rasanya cerita NU tanpa peranan ulama besar ini, KHR. As’ad
adalah sosok kyai yang dari awal telah menganut paham-paham ahl al-sunnah
wa al-jama’ah dan selalu menghiasi kehidupan dalam kesehariannya dengan
budaya-budaya ke-NU an. Saat menjadi santri KH. Cholil bangkalan, Kyai As’ad
muda menjadi santri kesayangan gurunya sehingga pada masa dimana terjadi
peralihan Perkumpulan Ulama dalam “ Komite HIjaz “ menjadi “jam’iyah” Kyai
As’ad muda menjadi satu-satunya mediator dalam penyampaian isyaroh KH.
Cholil kepada KH. Hasyim As’ari Jombang. Beliau diutus oleh Kyai Cholil pada
tahun 1924 beliau menyampaikan satu tongkat disertai Surat Thoha ayat 17
s/d 23, pada tahun 1925 beliau kembali di utus menyampaikan hasil istikhoroh
gurunya kepada KH. Hasyim As’ari, beliau kembali kejombang dengan seuntai
tasbih dan bacaan ya jabber, ya qohhar 3x. Pada tahun 1945, ketika Laskar
Hisbullah dibentuk Kyai As’ad langsung bergabung dan memimpin pasukan
bergerilya di daerah besuki dan sekitarnya. Uniknya, pasukan yang beliau
pimpin adalah bara mantan bajingan, mereka dihimpun dalam barisan pelopor
yang kemudian engambil peran dalam perjuangan kemerdekaan dan
penumpasan PKI di Situbondo 1965.
Setelah pemilu 1955, Kyai As’ad menjadi anggota konstituante sampai tahun
1959. setelah Lembaga itu di bubarkan oleh Bung Karno beliau tidak banyak
beraktivitas di bidang politik. Pada tahun 1971, Kyai As’ad menjadi DPRD
Kabupaten Situbondo dan pada tahun 1977 beliau mendukun PPP karena NU
saat itu mendukung PPP. Selain itu, Kyai As’ad merupakan salah satu diantara
sekian ulama yang selalu menjembati persoalan-persoalan yang terjadi antara
pemerintah dan umat islam, khususnya warga NU. Sikapnya yang tegas
dantangkas sertabijaksana, beliaiu mampu memainkan perannya sebagai
ulama’ NU (pengayom Masyarakat) sekaligus sebagai politisi yang arif.
Kebijakan-kebijakan kembali dibuktikan pada tahun 1982 mengenai masalah
mata
pelajaran PMP yang menjadi kontrofersi antara umat islam dan pemerintah,
tanpa banyak bicara beliau langsung menemui presiden soeharto dan
menunjukan
beberapa hal yang mestinya dikoreksi, tidak beberapa lama, dalam tahun itu
juga PMP yang menuai kontrofersi tersebut direvisi dan disempurnakan oleh
pemerintah.
Begitu pula ketika terjadi konflik antara Muslimin Indonesia vs NU dalam
tubuh PPP dan rencana pemerintah memberlakukan Pancasila sebagai
satu-satunya azas Organisasi Sosial, Politik maupun kemasyarakatan,
tiba-tiba di PP Salafiyah Syafi’iyah berkumpul ratusan Ulama’ NU untuk
mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) yang berlangsung pada tanggal
18-21
Desember 1983. ketika semua Ormas Islam benyak menolak azas pancasila,
justru Munas menerimanya dan menganggapnya tidak bertentangan dengan
aqidah
islam dan Munas tersebut memutuskan mengembalikan NU kegaris dan
landasan
asalnya, yang kemudian popular dengan istilah kembali ke khittah 1926.
Inilah sebagian dari peran Kyai As’ad dalam memulihkan keutuhan NU dan
Umat
Islam di Negara ini.
Pesantren Sukorejo di bawah K.H. As’ad kini berkembang dengan pesat.
Terletak di pinggir jalan raya Situbondo Banyuwangi, 7 km sebelah timur
Kecamatan Asembagus. Dipintu gerbangnya tertulis bahasa Arab Ahlan Wa
Sahlan
dan bahasa Inggris Welcome. Di pondok ini selain dikembangkan pendidikan
gaya pesantren, juga ditumbuhkan pendidikan umum, SMP, SMA, dan
Universitas
Ibrahimy. Santri yang mengaji d pesantren sekitar 3.000, dan jika dihitung
semua siswa (santri dan murid sekolah umum) berjumlah 4.100 orang.
Kompleks
ini dijuluki “ kota santri”. Apalagi ada lapangan di tengah pondok dan santri
setiap saat terlihat main bola – memakai sarung.
Di pondok ini ada sebuah masjid yang tidak begitu besar. Tetapi As’ad
membangun masjid yang jauh lebih besar di luar kompleks Barangkali
dimaksudkan agar para santrl lebih menyatu dengan masyarakat sekitarnya.
Kiai yang rajin memelihara tanaman hias ini pernah mempunyai seekor kuda
putih warna kegemarannya. “Nabi Ibrahim kudanya juga putih,” katanya
tentang
kuda itu. Sayang, kuda itu telah mati dan belum ditemukan kuda putih sebagai
pengganti. Namun, ada “kuda” lebih gesit yang dimiliki Kiai sekarang, yaitu
mobil kolt. Juga putih.
Selain rajin mengurusi enam ekor ayam hutannya, kiai ini juga memelihara
seekor burung beo yang pintar berbicara. Jika ada tamu yang datang, burung
itu memberi salam: assalamu’alaikum. Dan bila sang tamu membalas tegur
sapa
sang beo, biasanya tamu lantas ketawa, lantaran si beo membalas dengan
kata-kata assooiiii … Tapi burung beo itu pun, menurut santrl di sana ,
menyerukan Allahuakbar bila bergema suara azan. “Burung ini pemberian
orang
sebagai hadiah,” kata seorang pembantu Kiai As’ad.
Toh ada yang khawatir tentang pesantren yang populer di Jawa Timur ini.
Termasuk Kiai As’ad sendiri. Pasalnya, adalah soal usia Kiai yang sudah
cukup sepuh, sementara pewaris satu-satunya, Ahmad Fawaid, masih sangat
muda. “Saya tak tega menyekolahkan Ahmad ke Arab Saudi, usianya masih
muda –
mungkin tiga tahun lagi,” ujar Kiai. “Sang putra mahkota”, walau tekun juga
mengaji bersama teman sebayanya, kamarnya penuh dengan kaset, radio,
televisi, bahkan video. Sebagai anak muda, “hampir setiap saat ia tenggelam
dengan hiburan itu,” ujar seorang pembantu Kiai. Untuk Ahmad Fawaid
memang
disediakan kamar khusus yang jauh dari rumah papan Kiai As’ad. Tapi sejak
beberapa waktu lalu telah ditunjuk K.H. Dhofir Munawar, menantu Kiai As’ad
dari anak pertamanya, sebagai pengelola pesantren sehari-hari.
SETELAH menjadi anggota Konstituante (1959), ia tak lagi tergiur pada
jabatan politik. Ia menolak jabatan yang disodorkan Bung Karno untuk menjadi
menteri agama di zaman Nasakom. Bahkan, sebagai ulama yang cukup
terpandang
di kalangan Nahdatul Ulama (NU), ia juga menolak ketika ditawari untuk
menjadi rois am, bahkan rois akbar.
Kiai Haji Raden As’ad Syamsul Arifin, pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah
Syafiiyah, Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jawa
Timur, agaknya memang hanya tertarik mengurusi pesantrennya. “Saya ini
bukan
orang politik, saya ini orang pesantren,” kata kiai berusia 86 tahun itu.
Lebih-lebih karena pengalaman selama menjadi anggota Konstituante
(1957-1959): selama itu pula pesantrennya sangat mundur.
Bukan berarti Kiai As’ad menyembunyikan diri dari keriuhan politik dan
hingar-bingar NU, yang sampai kini tak pernah selesai tuntas. Terbukti dari
kegiatannya menerima tamu yang tak putus-putusnya. Banyak pengamat
menilai,
Kiai As’ad adalah salah seorang dari sedikit ulama yang pandai menjembatani
jika ada “ketegangan” antara pemerintah dan umat Islam, khususnya NU.
Ketika
ribut-ribut soal buku PMP, Kiai As’ad tanpa banyak bicara, langsung menemui
Pak Harto. “Bagaimana Pak, buku PMP ini ‘ kan bisa merusak akidah umat
Islam,” kata Kiai mengulang pembicaraan yang sudah setahun lebih itu.
Berbicara begitu, Kiai As’ad memberi beberapa contoh yang semestinya
dikoreksi. Pak Harto, menurut Kiai, berjanji akan menyelesaikannya.
“Ternyata buku itu akhirnya disempurnakan,” kata Kiai, yang sudah 15 kali ke
Mekah.
Di saat ribut-ribut soal asas tunggal Pancasila, awal Agustus, untuk
kesekian kalinya, Kiai As’ad menemui Pak Harto di Cendana. Pertemuan itu,
yang dihadiri juga oleh Menteri Agama K.H. Munawir Syadzali yang
direncanakan cuma 15 menit, mekar menjadi 1 jam. Kepada Presiden
ditegaskan
pendirian NU yang menerima Pancasila. “Ini penting ditegaskan, karena NU
sejak semula berlandaskan Pancasila dan UUD 45,” tuturnya. Presiden,
menurut
Kiai, manggut-manggut. Bahkan Kiai As’ad lebih menegaskan, “Islam wajib
menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila menolaknya. Sila pertama itu
selaras dengan doktrin tauhid dan Qulhuallahu Ahad.”
Dalam kemelut NU, Rois Am K.H. Ali Ma’shum, bersama pengurus NU lainnya,
mondar-mandir ke Situbondo. Kiai As’ad dipercayai menjadi “penengah”
penyelesaian kericuhan setelah K.H. Idham Chalid, sebagai pucuk pimpinan
PBNU, menyatakan mundur – tapi kemudian mencabut pernyataan itu.
Di pesantrennya, Kiai menempati rumah sederhana berdinding papan
berukuran 3
x 6 meter. Rumah yang terletak di antara asrama santri wanita dan santri
pria itu tergolong paling jelek di Desa Sukorejo. Tapi tidak sembarang tamu
boleh berkunjung ke rumah itu – sebab yang diterima di sana hanya yang
sudah
dianggap keluarga. Para pejabat, dari lurah sampai menteri, diterima di
rumah yang lebih bagus, milik anaknya. Di rumah si anak tersedia ruang
berukuran sekitar 30 m2 yang digelari permadani untuk tamu yang ingin
bermlm
TANBIH
Bismillahir Rohmanirrohiim
Tanbih ini dari Syekhuna Almarhum Syekh Abdullah Mubarrok bin Nur
Muhammad yang bersemayam di patapan Suryalaya Kajembaran Rahmaniyah.
Sabda beliau khususnya kepada segenap murid – murid pria maupun wanita,
tua maupun muda :
Semoga ada dalam kebahagiaan, dikaruniai Allah SubhanahuWa Ta’ala
kebahagiaan yang kekal dan abadi dan semoga tak akan timbul keretakan
dalam lingkungan kita sekalian.
Pun pula semoga Pimpinan Negara bertambah kemuliaanya dan keagunganya
supaya dapat melindungi dan membimbing seluruh rakyat dalam keadaan
aman, adil dan makmur dhohir mupun bathin.
Pun kami tempat orang bertanya tentang THOREQOT QODIRIYAH
WANNAQSYABANDIYYAH, menghaturkan dengan tulus ikhlas wasiat kepada
segenap murid – murid :
Berhati hatilah dalam segala hal jangan sampai berbuat yang bertentangan
dengan peraturan AGAMA maupun NEGARA.
Taatilah kedua – duanya tadi sepantasnya demikianlah seharusnya sikap
manusia yang tetap dalam keimanan, tegasnya dapat mewujudkan kerelaan
terhadap Hadhirat Ilahi Robbi yang membuktikan perintah dalam AGAMA
maupun NEGARA.
INSYAFILAH HAI MURID – MURID SEKALIAN !, jangan terpaut oleh bujukan
nafsu, terpengaruh oleh godaan syetan, WASPADALAH akan jalan
penyelewengan terhadap terhadap perintah AGAMA maupun NEGARA agar
dapat meneliti diri, kalau – kalau tertarik oleh bisikan iblis yang selalu
menyelinap dalam hati sanubari kita semua.
Lebih baik buktikanlah kebajikan yang timbul dari kesucian :
1. Terhadap orang –orang yang derajatnya lebih tinggi dari pada kita, baik
dhohir maupun batin, harus kita hormati begitulah seharusnya hidup rukun,
saling harga menghargai.
2. Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala –galanya,
jangan sampai terjadi persengketaan, sebaiknya harus bersikap rendah hati,
bergotong royong dalam melaksanakan perintah AGAMA maupun NEGARA,
jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau – kalau kita
terkena FirmanNYA “ AZABUN ALIIM “, yang berarti duka nestapa untuk selama
– lamanya dari DUNIA sampai AKHIRAT ( badan payah hati susah ).
3. Terhadap orang – orang yang keadaanya ada dibawah kita, janganlah
hendak menghinakanya atau berbuat tidak senonoh, bersikap angkuh,
sebaiknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang
dan gembira hatinya, jangan smpai merasa takut dan liar, sebaliknya harus
dituntun, dibimbing dengan nasihat yang lemah lembut yang akan
memberikan keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan.
4. Terhadap fakir miskin, harus belas kasih sayang, ramah tamah serta
bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar.
Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan
kekurangan, oleh karena itu janganlh acuh tak acuh, hanya diri sendiri yang
senang, karena mereka jadi fakir miskin itu bukanya kehendak sendiri, namun
itulah kodrat Tuhan.
Demikian sesungguhnya sikap manusia yang penuh kesadaran, meskipun
terhadap orang asing karena mereka masih keturunan Nabi Adam Alaihi
Salaam, mengingat ayat 70 Surat AL-Isro yang artinya :
“Sangat kami muliyakan keturunan Adam dan kami sebarkan segala apa yang
didarat dan di lautan. Dan kami beri mereka Riski yang ada didarat dan
dilautan. Juga kami mengutamakan mereka lebih utama dari makhluk lainya.”
Kesimpulan dari ayat ini, bahwa kita sekalian seharusnya saling menghargai,
jangan timbul kekecewaan, mengingat Surat AL-Maidah, yang artinya :
Hendaklah tolong menolong dengan sesama dalam melaksanakan kebajikan
dan ketakwaan dengan sungguh – sungguh terhadap AGAMA maupun
NEGARA. Sebaliknya janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan terhadap perintah AGAMA maupun NEGARA.
Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing – masing, mengingat
Surat Al-Kafirun ayat 6 : AGAMAMU UNTUK KAMU, AGAMA KU UNTUK AKU,
maksudnya jangan sampai terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan
damai, saling harga menghargai, tetapi janganlah sekali – kali ikut campur.
Cobalah renungkan pepatah leluhur kita : Hendaklah kita bersikap budiman,
tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti “ Sesal dahulu pendapatan,
Sesal kemudian tak berguna” karena yang menyebabkan penderitaan diri
pribadi itu adalah akibat dari amal perbuatan diri sendiri.
Dalam Surat An-Nahl ayat 112 diterangkan bahwa:
Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan beberapa contoh, yakni tempat
maupun kampung, desa maupun Negara yang dahulunya aman dan tenteram,
gemah ripah, loh jinawi, namun penduduknya mengingkari nikmat – nikmat
Allah, maka lalu berkecamuklah bencana kelaparan, penderitaan dan
ketakutan yang disebabkan sikap dan perbuatan mereka sendiri.
Oleh karena itu, hendaklah murid – murid bertindak teliti dalam segala jalan
yang ditempuh, guna kebaikan dhohir, bathin, dunia maupun akhirat, hati
tenteram, jasad nyaman, jangan sekali – kali timbul persengketaan, tidak lain
tujuan kita adalah “BUDI UTAMA JASMANI SEMPURNA” ( CAGEUR – BAGEUR ).
Tiada lain amalan kita, THOREQOT QODIRIYAH WANNAQSYABANDIYYAH,
amalkan sebaik – baiknya guna mencapai segala kebajikan, menjauhi segala
kejahatan dohir maupun bathin yang bertalian dengn jasmani mupun rohani,
yang selalu diliputi bujukan nafsu, digoda oleh perdaya syetan.
Wasiat ini harus dilaksanakan dengan seksama oleh segenap murid – murid
agar supaya mencapai keselamatan DUNIA dan AKHIRAT.
Aamiin…
PATAPAN SURYALAYA, 13 Februari 1956
Wasiat ini disampikan kepada sekalian ikhwan
t.t.d
(Syekh Akhmad ShohibulWafa Tajul Arifin)
Untaian Mutiara
Jangan Benci Kepada Ulama Yang Sezaman
Jangan Menyalahkan Pengajaran Orang Lain
Jangan Memeriksa Murid Orang Lain
Jangan Berhenti Bekerja Meskipun Disakiti Orang
Harus Menyayangi Orang Yang Membenci Kepadamu