Вы находитесь на странице: 1из 149

MANAQIB para mursyid tarekat

Ya Tuhanku Engkaulah Yang Menjadi Tujuanku Dan Keridhoan-Mulah Yang


Daku Cari Izinkanlah Daku Untuk Mencintaimu Dan Ma’rifat Kepadamu
MANAQIB
SYEKH AHMAD SHOHIBUL WAFA TA’JUL ARIFIN
(ABAH ANOM)
DAN PARA mursyid tarekat

Dikumpulkan
oleh :
Para Pecinta Awlia
Semoga Menjadi Wujud Khidmad Dan Mahabbah Kepada Beliau Guru Tercinta
Dan Para Awlia Serta Bermanfaat Bagi Para Ikhwan Tarekat Qodiriyyah
Wannaqsyabandiyyah
MANAQIB
Salam Untuk Wali Mursyid
SYEKH AHMAD SHOHIBUL WAFA TA,JUL ARIFIN ( ABAH ANOM )
Salam untukmu
wahai penguasa zaman
pemimpin wilayah
penegak ketentuan ar-Rahman
pewaris kitab
wakil Rasulullah s.a.w.
yang selalu pergi pulang antara bumi dan langit
yang orang-orang sezamannya adalah keluarganya
yang diturunkan pertolongan karena doanya
yang dikucurkan limpahan susu karena keberkahannya
beserta rahmat Allah dan keberkahanNya, al-Fatihah…

Untaian Mutiara
Jangan Benci Kepada Ulama Yang Sezaman
Jangan Menyalahkan Pengajaran Orang Lain
Jangan Memeriksa Murid Orang Lain
Jangan Berhenti Bekerja Meskipun Disakiti Orang
Harus Menyayangi Orang Yang Membenci Kepadamu
RIWAYAT SINGKAT
SYEKH AHMAD SHOHIBULWAFA TAJUL ARIFIN
(ABAH ANOM)
Syekh A Shohibulwafa Tajul Arifin yang dikenal dengan nama Abah Anom,
dilahirkan di Suryalaya tanggal 1 Januari 1915. Beliau adalah putra kelima
Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, dari
ibu yang bernama Hj Juhriyah. Pada usia delapan tahun Abah Anom masuk
Sekolah Dasar (Verfolg School) di Ciamis antara tahun 1923-1928. Kemudian ia
masuk Sekolah Menengah semacan Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya. Pada
tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan menuntut ilmu agama Islam
secara lebih khusus. Beliau belajar ilmu fiqih dari seorang Kyai terkenal di
Pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu fiqih, nahwu, sorof dan
balaghah kepada Kyai terkenal di Pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah kurang
lebih dua tahun di Pesantren Jambudipa, beliau melanjutkan ke Pesantren
Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh Ajengan Syatibi.
Dua tahun kemudian (1935-1937) Abah Anom melanjutkan belajar di
Pesantren Cireungas, Cimelati Sukabumi. Pesantren ini terkenal sekali
terutama pada masa kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah
dan silat. Dari Pesatren inilah Abah Anom banyak memperoleh pengalaman
dalam banyak hal, termasuk bagaimana mengelola dan memimpin sebuah
pesantren. Beliau telah meguasai ilmu-ilmu agama Islam. Oleh karena itu,
pantas jika beliau telah dicoba dalam usia muda untuk menjadi Wakil Talqin
Abah Sepuh. Percobaan ini nampaknya juga menjadi ancang-ancang bagi
persiapan memperoleh pengetahuan dan pengalaman keagaman di masa
mendatang. Kegemarannya bermain silat dan kedalaman rasa keagamaannya
diperdalam lagi di Pesantren Citengah, Panjalu, yang dipimpin oleh H. Junaedi
yang terkenal sebagai ahli alat, jago silat, dan ahli hikmah.
Setelah menginjak usia dua puluh tiga tahun, Abah Anom menikah dengan Euis
Siti Ru’yanah. Setelah menikah, kemudian ia berziarah ke Tanah Suci. Di tanah
suci mekkah beliau banyak menimba ilmu seperti Fiqh, Hadits, Tauhid, Tafsir
dan lain sebagainya dari ulama ulama di mekah dengan system bandungan, di
mekah beliau juga memperdalam ilmu tasawuf di Ribath Naqsyabandy yang
terletak di Jabal Qubaisy yang waktu itu dibimbing oleh Syekh Romli. Syekh
Romli merupakan salah seorang wakil talqin dari Abah Sepuh. Sepulang dari
Mekah, setelah bermukim kurang lebih tujuh bulan (1939), dapat dipastikan
Abah Anom telah mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman
keagamaan yang mendalam. Pengetahuan beliau meliputi tafsir, hadits, fiqih,
kalam, dan tasawuf yang merupakan inti ilmu agama. Oleh Karena itu, tidak
heran jika beliau fasih berbahasa Arab dan lancar berpidato, baik dalam bahasa
Indonesia maupun bahasa Sunda, sehingga pendengar menerimanya di lubuk
hati yang paling dalam. Beliau juga amat cendekia dalam budaya dan sastra
Sunda setara kepandaian sarjana ahli bahasa Sunda dalam penerapan filsafat
etnik Kesundaan, untuk memperkokoh Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah.
Bahkan baliaupun terkadang berbicara dalam bahasa Jawa dengan baik.
Ketika Abah Sepuh Wafat, pada tahun 1956, Abah Anom harus mandiri
sepenuhnya dalam memimpin pesantren. Dengan rasa ikhlas dan penuh
ketauladan, Abah Anom gigih menyebarkan ajaran Islam. Pondok Pesantren
Suryalaya, dengan kepemimpinan Abah Anom, tampil sebagai pelopor
pembangunan perekonomian rakyat melalui pembangunan irigasi untuk
meningkatkan pertanian, membuat kincir air untuk pembangkit tenaga listrik,
dan lain-lain. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Suryalaya tetap
konsisten kepada Tanbih, wasiat Abah Sepuh yang diantara isinya adalah taat
kepada perintah agama dan negara. Maka Pondok Pesantren Suryalaya tetap
mendukung pemerintahan yang sah dan selalu berada di belakangnya.
Di samping melestarikan dan menyebarkan ajaran agama Islam melalui
metode Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Abah Anom juga sangat konsisten
terhadap perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Maka sejak tahun 1961
didirikan Yayasan Serba Bakti dengan berbagai lembaga di dalamnya termasuk
pendidikan formal mulai TK, SMP Islam, SMU, SMK, Madrasah Tsanawiyah,
Madrasah Aliyah, Madrasah Aliyah kegamaan, Perguruan Tinggi (IAILM) dan
Sekolah Tinggi Ekonomi Latifah Mubarokiyah serta Pondok Remaja Inabah.
Didirikannya Pondok Remaja Inabah sebagai wujud perhatian Abah Anom
terhadap kebutuhan umat yang sedang tertimpa musibah. Berdirinya Pondok
Remaja Inabah membawa hikmah, di antaranya menjadi jembatan emas untuk
menarik masyarakat luas, para pakar ilmu kesehatan, pendidikan, sosiologi,
dan psikologi, bahkan pakar ilmu agama mulai yakin bahwa agama Islam
dengan berbagai disiplin Ilmunya termasuk tasawuf dan tarekat mampu
merehabilitasi kerusakan mental dan membentuk daya tangkal yang kuat
melalui pemantapan keimanan dan ketakwaan dengan pengamalan Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, Abah Anom
menunjuk tiga orang pengelola, yaitu KH. Noor Anom Mubarok BA, KH. Zaenal
Abidin Anwar, dan H. Dudun Nursaiduddin.
Sejarah Pondok Pesantren Suryalaya
Pondok Pesantren Suryalaya dirintis oleh Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad
atau yang dikenal dengan panggilan Abah Sepuh, pada masa perintisannya
banyak mengalami hambatan dan rintangan, baik dari pemerintah kolonial
Belanda maupun dari masyarakat sekitar. Juga lingkungan alam (geografis)
yang cukup menyulitkan.
Namun Alhamdullilah, dengan izin Allah SWT dan juga atas restu dari guru
beliau, Syaikh Tholhah bin Talabudin Kalisapu Cirebon semua itu dapat dilalui
dengan selamat. Hingga pada tanggal 7 Rajab 1323 H atau 5 September 1905,
Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad dapat mendirikan sebuah pesantren
walaupun dengan modal awal sebuah mesjid yang terletak di kampung
Godebag, desa Tanjung Kerta. Pondok Pesantren Suryalaya itu sendiri diambil
dari istilah sunda yaitu Surya = Matahari, Laya = Tempat terbit, jadi Suryalaya
secara harfiah mengandung arti tempat matahari terbit.
Pada awalnya Syeikh Abdullah bin Nur Muhammad sempat bimbang, akan
tetapi guru beliau Syaikh Tholhah bin Talabudin memberikan motivasi dan
dorongan juga bimbingan khusus kepadanya, bahkan beliau pernah tinggal
beberapa hari sebagai wujud restu dan dukungannya. Pada tahun 1908 atau
tiga tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Suryalaya, Abah Sepuh
mendapatkan khirqoh (legitimasi penguatan sebagai guru mursyid) dari Syaikh
Tholhah bin Talabudin
Seiring perjalanan waktu, Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang
dan mendapat pengakuan serta simpati dari masyarakat, sarana pendidikan
pun semakin bertambah, begitu pula jumlah pengikut/murid yang biasa
disebut ikhwan.
Latar belakang Masjid Nurul Asror dan Menaranya
Dukungan dan pengakuan dari ulama, tokoh masyarakat, dan pimpinan daerah
semakin menguat. Hingga keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya dengan
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah-nya mulai diakui dan dibutuhkan. Untuk
kelancaran tugas Abah Sepuh dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah dibantu oleh sembilan orang wakil talqin, dan beliau
meninggalkan wasiat untuk dijadikan pegangan dan jalinan kesatuan dan
persatuan para murid atau ikhwan, yaitu TANBIH.
Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad berpulang ke Rahmattullah pada tahun
1956 di usia yang ke 120 tahun. Kepemimpinan dan kemursyidannya
dilimpahkan kepada putranya yang kelima, yaitu KH. Ahmad Shohibulwafa
Tajul Arifin yang akrab dipanggil dengan sebutan Abah Anom. Pada masa awal
kepemimpinan Abah Anom juga banyak mengalami kendala yang cukup
mengganggu, di antaranya pemberontakan DI/TII. Pada masa itu Pondok
Pesantren Suryalaya sering mendapat gangguan dan serangan, terhitung lebih
dari 48 kali serangan yang dilakukan DI/TII. Juga pada masa pemberontakan
PKI tahun 1965, Abah Anom banyak membantu pemerintah untuk
menyadarkan kembali eks anggota PKI, untuk kembali kembali ke jalan yang
benar menurut agama Islam dan Negara.
Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya semakin pesat dan maju,
membaiknya situasi keamanan pasca pemberontakan DI/TII membuat
masyarakat yang ingin belajar Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah semakin
banyak dan mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia. Juga dengan
penyebaran yang dilakukan oleh para wakil talqin dan para mubaligh, usaha ini
berfungsi juga untuk melestarikan ajaran yang tertuang dalam asas tujuan
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dan Tanbih. Dari tahun ke tahun Pondok
Pesantren Suryalaya semakin berkembang, sesuai dengan tuntutan zaman,
maka pada tanggal 11 maret 1961 atas prakarsa H. Sewaka (Alm) mantan
Gubernur Jawa Barat (1947 – 1952) dan mantan Menteri Pertahanan RI Iwa
Kusuma Sumantri (Alm) (1952 – 1953). Dibentuklah Yayasan Serba Bakti
Pondok Pesantren Suryalaya. Yayasan ini dibentuk dengan tujuan untuk
membantu tugas Abah Anom dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah dan dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
Setelah itu Pondok Pesantren Suryalaya semakin dikenal ke seluruh pelosok
Indonesia, bahkan sampai ke Negara Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam,
dan Thailand, menyusul Australia, negara-negara di Eropa dan Amerika.
Dengan demikian ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah pun semakin luas
perkembangannya, untuk itu Abah Anom dibantu oleh para wakil talqin yang
tersebar hampir di seluruh Indonesia, dan juga wakil talqin yang berada di luar
negeri seperti yang disebutkan di atas.
Pada masa kepemimpinan Abah Anom, Pondok Pesantren Suryalaya berperan
aktif dalam kegiatan Keagamaan, Sosial, Pendidikan, Pertanian, Kesehatan,
Lingkungan Hidup, dan Kenegaraan. Hal ini terbukti dari penghargaan yang
diperoleh baik dari presiden, pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
bahkan dari dunia internasional atas prestasi dan jasa-jasanya. Dengan
demikian eksistensi atau keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya semakin
kuat dan semakin dibutuhkan oleh segenap umat manusia.
KAROMAH ABAH ANOM MENYADARKAN TANTANGAN KIAI SAKTI PILIH
TANDING

Diterima dari mantan ketua Yayasan Pondok Pesantren Suryalaya


Perwakilan Sumedang Bapak Etje Juardi beliau menerima dari orang yang
bersangkutan, Kiai Sakti.
Diceritakan Bapak Etje Juardi, ada Ulama yang dikenal sakti mandraguna
tanpa pilih tanding, namanya Kiai Jured. Beliau sudah mengenal akan
kemasyhuran dan ke Ulamaannya Abah Anom yang memiliki jutaan
pengikutnya dan terus berkembang sampai keluar negeri.
Suatu hari Kiai tersebut memiliki rencana untuk menguji karomah Abah
Anom dengan kesaktian yang dimilikinya. Kiai tersebut datang ke Pondok
Pesantren Suryalaya dengan satu bis yang membawa 70 santrinya. Semua
santri disebar disekitar Pesantren Suryalaya, setelah Kiai itu masuk ke halaman
Abah Anom, tidak disangka Abah Anom sudah berada didepan madrasah dan
menyuruh Kiai untuk masuk ke madrasah Abah Anom bersama 70 santrinya
yang telah disebar. Kiai tersebut merasa kaget akan kasyaf (penglihatan
batin)nya Mursyid TQN. Abah Anom meminta Kiai tersebut dan para santrinya
untuk makan dahulu yang telah Beliau sediakan di madrasah.
Di dalam madrasah Kiai memuji Abah Anom tentang pesantren Beliau yang
sangat luas nan indah, tetapi dibumbui kritik secara halus tentang kekurangan
pesantrenya yaitu tidak adanya burung cendrawasih, burung yang terkenal
akan bulunya yang indah. Beliau hanya tersenyum dan menimpalinya dengan
jawaban yang singkat : “Tentu saja Kiai”. Suatu di luar jangkauan akal setelah
jawaban itu burung cendrawasih yang berbulu indah melayang-layang di dalam
madrasah yang sesekali hinggap. Kejadian itu membuat terpesonanya akan
karomah yang dimiliki Beliau, Kiai itu diam seribu bahasa.
Keajaiban lagi, ketika makan dengan para santrinya yang 70 pun nasi yang
di sediakan dalam bakul kecil itu tidak pernah habis, hal itu mengingatkan akan
kejadian mujizatnya Rosulullah saw . Kiai itu sangat kagum akan karomah yang
dimiliki Beliau dan merasa kesaktian yang dimilikinya dan dibanggakannya itu
sudah tidak ada artinya dihadapan Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan
Naqsyabandiyyah Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Abah Anom.
Benarlah ungkapan : “diatas langit ada langit”. Namun, Kiai ini masih
penasaran dan tidak mau kalah begitu saja, setelah makan Kiai tersebut
meminta kepada Beliau untuk mengangkat kopeah/peci yang telah “diisi“,
yang sebelumnya dicoba oleh para santrinya tidak terangkat sedikitpun.
Subhanallah .. hanya dengan tepukan tangan Abah Anom ke lantai kopeah itu
melayang-layang, Kiai merasa malu dan kalah lagi.
Selanjutnya Kiai tersebut mengeluarkan batu yang telah disediakan
sebelumnya, dan batu itu dipukul dengan “kekuatan” tangannya sendiri
sehingga terbelah menjadi dua, sedangkan belahannya diberikan kepada Abah
Anom. Kiai itu meminta kepada Abah Anom untuk memukulnya sebagaimana
yang telah dicontohkannya.
Abah Anom mengatakan kepada kiai itu : “Abah tidak bisa apa-apa, yang
bisa membelah itu adalah Allah, baiklah abah hanya minta kepada Allah itu pun
kalo diizinkan,” selanjutnya batu itu diusap oleh tangan Mursyid dan batu itu
menjadi air ,subhanallah…
Namun kiai tersebut masih penasaran karena kesaktiannya belum bisa
mengalahkan karomah Abah Anom sebagai Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan
Naqsyabandiyyah. Kiai mencoba menguji lagi karomah Beliau dengan kelapa
yang telah dibawa santri dari daerahnya. Kiai tersebut meminta yang aneh-
aneh kepada Abah Anom agar isi dalam kelapa tersebut ada ikan yang memiliki
sifat dan bentuk tertentu.
Dengan tawadlunya Abah Anom menjawab: “Masya Allah, kenapa
permintaan kiai ke Abah berlebihan?, Abah tidak bisa apa-apa . Seharusnya
minta kepada Allah saja ,jangan kepada Abah. Hanya Allah lah yang bisa
mewujudkan segala sesuatu karena Dia Maha Berkehendak dan Berkuasa”. Kiai
itu masih penasaran akan permohonanya kepada Abah Anom, selanjutnya
Abah Anom berkata : “ Baiklah kalau begitu, kita memohon kepada Allah.
Mudah-mudahan Allah mengabulkan kita”. Setelah berdoa Beliau menyuruh
kelapa itu untuk dibelah dua, dan dengan izin Allah didalam kelapa itu ada ikan
yang sesuai dengan permintaan sang kiai. Subhanalllah…
Selanjutnya, entah darimana datangnya di tangan Abah Anom sudah ada
ketepel, dan ketepel itu diarahkan atau ditembakan kelangit-langit madrasah,
sungguh diluar jangkauan akal, muncul dari langit-langit burung putih yang
jatuh dihadapan Kiai dan Beliau
Setelah kejadian itu, Kiai menangis dipangkuan Abah Anom, sadar dan
memohon maaf atas kesombongan dan kesalahannya. Akhirnya Kiai memohon
kepada Abah Anom untuk diangkat menjadi muridnya dan menjadi seorang
pengamal Thoriqat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah .
Kiai itu ditalqin dzikir TQN (diajarkan dzikir Thoriqat Qodiriyyah wan
Naqsyabandiyyah), dengan talqin dzikir itu menyadarkan akan adanya Allah
Yang Maha Mengetahui akan perbuatan jahat makhluqnya baik lahir maupun
batin dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Setelah ditalqin Kiai menangis
dipangkuan Abah Anom sampai tertidur. Anehnya, Bangun dari tidur sudah
berada dimesjid. Subhanallah.
ABAH ANOM DAN PEMUDA YANG SUKA MELACUR
Salah satu wakil Talqin Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah Pondok
Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat Indonesia. Diceritakan ada
seorang pemuda yang hobinya melacur, pemuda tersebut berniat untuk
berhenti dari pebuatannya yang tercela. Sudah berbagai cara dilakukan untuk
menghentikannya itu tidak membuat minat lacurnya berhenti. Padahal,
pelaksanaan amalan ibadah yang “super ketat” atas petunjuk dari para kiai
yang pernah dikunjungi dari berbagai daerahpun belum berhasil. Jadi, Sudah
tidak asing lagi baginya riyadloh (latihan) seperti puasa, dzikir, sholat baik yang
sifatnya wajib maupun sunat dan amalan lainnya.
Dalam keadaan kondisi jiwa yang begitu kritis, datanglah pemuda itu ke
Pondok Pesantren Suryalaya untuk menemui seorang Wali Allah yaitu Abah
Anom sebagai Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah dan
menceritakan maksud kedatangannya. Abah Anom berkata : “Tidak apa-apa,
asal jangan dilakukan didepan Abah”. Setelah itu pemuda yang hobi “jajan”
perempuan ditalqin dzikir (diajarkan dzikir Thoriqoh Qodiriyyah wan
Naqsyabandiyyah) untuk diamalkan.
Seperti biasa pemuda tersebut datang ke hotel yang telah dipesan untuk
melaksanakan hasrat nafsunya “meniduri” wanita pelacur. Setelah siap-siap
semuanya, terbesit dalam benak pikiran dan jiwanya akan bayangan wajah
Abah Anom sebagai Mursyid TQN dan berkata : “Asal jangan dihadapan
Abah!”, pemuda itu terkejut dan gelisah, dengan segera meninggalkan hotel.
Gagallah keinginan nafsunya.
Dihari yang lain, pemuda itu datang lagi ke hotel untuk melaksanakan
hasrat nafsunya yang tidak terbendung. Namun, disaat detik-detik akan
melaksanakan maksiatnya, terulang kembali kemunculan wajah Abah Anom
dalam jiwa dan pikirannya dan mengatakan : “Tidak apa-apa, asal jangan
dihadapan Abah”. Pemuda itu kembali mengurungkan niatnya dan kembali
pulang.
Abah Anom sedang bersama para pemuda
Cerita ini diambil dari ceramahnya KH.M.Abdul Gaous Saefulloh Al-Maslul atau
Ajengan Gaos
Begitupun dihari-hari selanjutnya, kejadian itu terus terulang jiwa dan
pikirannya selalu dihantui bayangan tatapan wajah Abah Anom seorang Wali
Allah dan perkataannya disaat-saat akan melakukan maksiat dengan pelacur.
Kegagalan-kegagalan hasrat syetan yang terulang dalam jiwa pemuda itu
dikarenakan kemunculan wajah Wali Allah Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan
Naqsyabandiyyah.
Akhirnya, dengan kejadian itu pemuda tersebut menghentikan dari
hobinya melacur untuk selamanya dan menjadi pengamal Thoriqoh Qodiriyyah
wan Naqsyabandiyyah. Sesungguhnya kejadian itu suatu anugrah dari Allah
untuk hamba yang dicintai dengan perantara Mursyid sebagai pilihan-Nya.
Subhanallah. Bayangan wajah Mursyid itu adalah sebagai burhana robbihi
(cahaya / tanda dari Allah) yang membawa berkah terhadap pemuda tersebut.
Kita teringat akan kisah salah satu utusan Allah yaitu Nabi Yusuf as. yang
ditolong Allah ketika akan terjadi maksiat dengan Siti Zulaikha. Dalam al-Qur’an
Surat Yusuf ayat 24: “Sesungguhnya wanita itu telah bemaksud (melakukan
perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf-pun bermaksud (melakukan pula)
dengan wanita itu (Zulaikha) andaikata tidak melihat burhana robbihi yaitu
tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya
kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba
Kami yang terpilih.” (QS: Yusuf 24)
Dalam ayat ini terdapat perkataan Allah “Burhana Rabbihi”. Menurut
perkataan Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, juz II / 474 : “Adapun
maksud “Burhaana Rabbihi” yang terlihat oleh Yusuf, maka terdapat beberapa
pendapat. Menurut sahabat Abdullah bin Abbas, Said, Mujahid, Sa’id bin
Jubair, Muhamad bin Sirin, Hasan, Qatadah, Ibnu Sholeh, Dlohah, Muhammad
bin Ishaq dan lain-lain yakni Yusuf melihat bayangan ayahnya (Ya’kub),
rupanya, bentuknya seakan-akan ayahnya marah-marah. Menurut sebagian
riwayat memukul dada Yusuf. Al-‘Aufi berpendapat dari Ibnu Abbas, maksud
perkataan itu ialah Yusuf teringat kepada bayangan wajah suami Zulaikha yaitu
raja Qithfir yang seolah-olah ada dirumah dan mengetahui apa yang akan
diperbuat Yusuf. Demikian juga Muhammad bin Ishaq berpendapat yang
sama.” (Tafsir Ibnu Katsir, II / 474) Subhanallah…
ABAH ANOM DAN KIAI TOHIR

Tersebutlah seorang kiayi bernama KH.Tohir yang sedang menimba ilmu di


salah satu pesantren di kotanya. Konon Sang Guru yang mengajarkan ilmu di
pesantrennya tersebut melarang Kiayi Tohir untuk tidak menemui seorang
kiayi besar yang tinggal di Suryalaya bernama Abah Anom, apalagi berguru
kepadanya. Namun, setelah melalui penelusuran dan pembelajaran ilmu
tassawuf yang diajarkan di Pesantren Suryalaya, akhirnya kiayi Tohir meminta
kepada Abah Anom untuk dibaiayat atau ditalqin dzikir (di ajarkan dzikir
Thoriqoh). Namun, tentu saja dalam benak kiayi Tohir kunjungannya ke Abah
Anom yang tanpa sepengatahuan gurunya itu akan membuat murka di
pesantren dikotanya. Apalagi, setelah di talqin dzikir (pengajaran dzikir
thoriqat) ada suatu amanat dari Abah Anom yakni ucapan salam yang harus
disampaikan kepada guru dipesantrennya. Ketika kiayi Tohir sedang duduk
menunggu sholat berjamaah di Mesjid Nurur Asror di Kompleks Pesantren
Suryalaya sebelum ia kembali bertolak ke kampung halamannya, pikirannya
terus berkecamuk tidak bisa tenang. Ketika dalam benaknya terbersit
bagaimana wajah murka gurunya yang sedang memarahinya habis-habisan
karena ketidak taatannya, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dengan
sorban dan berkata: “Tong sok goreng sangka kabatur, komo ka guru
soranganmah, boa teuing teu kitu! dalam bahasa Indonesia : “jangan selalu
berburuk sangka terhadap orang lain, apalagi terhadap guru sendiri, belum
tentu seperti itu “. Kiyai Thohir begitu kaget ternyata yang menepuk pundak
dan membaca pikirannya itu adalah guru ruhaninya yang baru, yaitu Syekh
Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin ra (Abah Anom). Dari kejadian itu Kiai
Thohir mendapatkan pelajaran yang berharga bahwa seorang guru ruhani
Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah bisa mengetahui hati
murid-muridnya dimanapun mereka berada. Mursyid akan terus mengawasi
dan membimbing hati murid-muridnya agar hati selalu menuju Allah
Sepulang dari Pesantren Suryalaya dan kembali ke Pesantren
dikampungnya, Kiai Thohir menyampaikan amanat salam dari Mursyid Kammil
Mukammil Syekh ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin ra kepada gurunya. Dan
ternyata, diluar dugaan Kiayinya yang dipesantren itu malah memuji Abah
Anom bahkan Kiayi Thohir sebagai salah satu murid kesayangannya itu
dianjurkan untuk menjalankan ajaran yang di bawa oleh Abah Anom sebagai
pewaris para Nabi. Selanjutnya, Kiayi Thohir mengabdikan diri sepenuhnya
kepada Abah Anom dan mengamalkan ajaran yang telah diajarkannya.
Akhirnya Kiai Thohir dipercaya menjadi salah satu wakil Talqin, yaitu orang
yang di izinkan untuk mengajarkan atau mengijazahkan dzikir Thoriqoh kepada
orang yang membutuhkannya.
Cerita ini diambil dari ceramahnya KH.M.Abdul Gaous Saefulloh Al-Maslul
atau Ajengan Gaos salah satu wakil Talqin Thoriqoh Qodiriyyah
Naqsyabandiyyah Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat
Indonesia.
BERKAT KAROMAH ABAH ANOM
KANKER RAHIM JADI JANIN HIDUP
Abah Anom
Cerita ini diambil dari ceramahnya KH.M.Abdul Gaous Saefulloh Al-Maslul
atau Ajengan Gaos salah satu wakil Talqin Thoriqoh Qodiriyyah
Naqsyabandiyyah Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat
Indonesia.
KH. Maksum memiliki seorang istri yang sedang mengandung. Menurut fonis
dokter, istri kiayi tersebut bukanlah kehamilan normal yang biasanya terjadi
pada seorang wanita. Namun istri KH.Maksum di vonis menderita kangker dan
harus segera dioperasi. Sang Kiayi akhirnya datang ke Suryalaya ingin bertemu
Pangersa Abah Anom untuk meminta doa beliau agar istrinya diberi kelancaran
saat operasinya nanti. Ketika kiayi Maksum mengutarakan maksudnya
tersebut, Abah hanya berkata: “Heug, sing jadi jelema”, dalam bahasa
Indonesia: iya, jadi manusia, maksudnya adalah semoga kandungan istri kiayi
Maksum menjadi manusia dengan izin Allah.
Dan ternyata, baru saja istri kiayi Maksum satu langkah keluar dari rumah
Pangersa Abah, dia merasakan gerakan-gerakan dalam rahimnya itu,
subhanallah. Kontan saja istri kiayi Maksum kaget, dan langsung memeriksakan
dirinya ke Dokter. Lalu apa kata Dokter? Subhanallah, Dokter pun sama
terkejutnya dengan pasangan suami istri Kiayi Maksum tersebut. Allahu Akbar,
kun fayakun, dengan izin-Nya melalui doa Kekasih-Nya, daging jadi yang
asalnya akan diangkat tersebut, ternyata berubah menjadi sesosok manusia
kecil yang menggemaskan berjenis kelamin laki-laki. Ya, ternyata setelah
dioperasi daging jadi itu berubah menjadi seorang bayi, yang diberi nama Sufi
Firdaus. Idos panggilan anak ini, hingga saat ini masih hidup dan mengabdikan
dirinya untuk menjadi murid Syeikh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin qs.
(Abah Anom).
Diposkan oleh Rajanya Para Waliullah Zaman ini Abah Anom di 01:10
WANITA MEMANGGIL- MANGGIL ABAH ANOM
SELAMAT DARI TINDAK PERKOSAAN

Abdul telah tiada. Bunga di atas kuburan Abdul yang terletak di area
kuburan blok Nyongklang Selajambe Kab. Kuningan tampak masih segar
sekalipun sudah tiga hari terpanggang panas terik matahari. Begitu pula
gundukan tanah merah tampak terlihat masih basah padahal kuburan
sekelilingnya sudah kering bahkan terlihat retak-retak akibat kemarau
berkepanjangan.
Text Box: Abah Anom Muda Sepintas, tak ada yang istimewa pada kuburan
tersebut. Sama saja seperti kuburan yang lainnya. Namun sesuatu yang beda
akan terasa disana. Wangi bunga akan tercium manakala orang melewati
kuburan tersebut. Emangnya, siapa sich, yang “tertidur” di dalam sana? Inilah
kisahnya….
Adalah Abdul, seorang laki-laki yang 3/4 usianya dihabiskan dalam lembah
kemaksiatan. Di kota Metropolitan, Abdul menjelma menjadi bajingan yang
Super Haram Jadah. Ia adalah jagoan yang tak pernah kenal rasa takut. Bagi
sesama penjahat, Abdul adalah momok yang menakutkan. Bagi polisi lelaki
yang sekujur tubuhnya dipenuhi tato wanita telanjang itu merupakan sosok
penjahat yang super licin yang sulit ditangkap karena kepandaiannya
menggunakan jampi-jampi sehingga mampu berkelit dari kejaran aparat.
Kapanpun dan dimanapun, perbuatan maksiat tak pernah ia lewatkan.
Hingga suatu malam di bulan November 2005….. Niat jahatnya muncul
kembali ketika melihat seorang penumpang wanita sendirian di mobil
omprengan daerah Plumpang, Jakarta Utara. Bersama dua orang temannya,
ditodongkannya pisau ke arah sopir dan kernet yang tidak berdaya
menghadapi ancaman tersebut. Keduanya lalu diikat lalu Abdul CS. membawa
kendaraan tersebut ke salah satu tempat di Bogor yang sudah mereka
persiapkan sebelumnnya.
Sesampainya di tempat, Abdul CS. bermaksud untuk memperkosa wanita
cantik tersebut. Dengan cara paksaan, wanita itu -sebut saja Sinta- diminta
untuk melayani nafsu binatangnya. Namun Sinta berupaya sekuat tenaga
untuk melepaskan diri dari bahaya sambil berteriak : “Abah, Abah, Abah,
tolong saya!”. Subhanalloh, atas kehendak-Nya, disaat Abdul akan
melampiaskan nafsu kebinatangannya, tiba-tiba saja “burung” miliknya
mendadak terkulai lemas dan ia merasakan kesakitan yang luar biasa. Begitu
juga kedua temannya yang akan memperkosa Sinta mengalami hal serupa.
Dalam keadaan seperti itu, Sinta langsung melarikan diri………..
Setelah kejadian tersebut, Abdul CS mengalami nasib naas. Kemaluannya
membengkak dan tiga bulan kemudian, dua orang temannya mati
mengenaskan akibat “burung”nya MEMBESAR. Untunglah, Abdul cepat sadar.
Ia tahu, bahwa peristiwa tersebut merupakan hukuman dari Allah atas dosa-
dosa mereka yang telah diperbuat. Lalu, ia menemuia salah seorang temannya
yang sudah terlebih dahulu insyaf dan bertaubat.
Setelah diutarakan maksud dan kedatangannya, teman Abdul tersebut
membawanya ke salah satu Majlis Dzikir dan kemudian bertaubat. Melalui
Kiayi yang menuntunnya, iapun tahu bahwa taubat tidak berarti harus
menghilangkan seluruh tato yang ada ditubuhnya. Dengan semangat yang kuat
dan tekad yang membaja, Abdulpun mendapatkan Talqin Dzikir dan
mengamalkan semua amaliahnya seperti Khotaman meskipun dia hafalkan dari
latinnya.
Teman-teman seprofesi dulu di Jakarta banyak yang ia temui sehingga dia
memutuskan untuk hijrah dari Jakarta ke kampung halamannya, takut jika niat
jahatnya kembali muncul. Di kampung halamannya, masyarakat tidak begitu
saja bisa langsung menerimanya, malah menaruh rasa curiga bahkan tak jarang
kata-kata pedas sering dilontarkan kepadanya. Berbekal TANBIH dan
dzikrullah, ia tetap tersenyum dan berbaik budi. Sehingga akhirnya
masyarakatpun dapat menerima, bahwa Abdul telah kembali ke jalan yang
lurus. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia menjadi buruh tani dan
pekerjaan serabutan lainnya hanya untuk sesuap nasi sehingga tetap bisa
melaksanakan amaliah dzikrullah seperti yang pernah didapatkannya di
Jakarta. Hingga akhirnya, pada hari Jum’at di tahun 2006 selepas Subuh, ia
dipanggil kembali oleh Allah dalam posisi Tawajuh.
ABAH ANOM ADALAH SULTHANUL AWLIA DI ZAMAN INI SEBAGAMANA FATWA
SAYYID MUHAMMAD BIN ALWI AL-MALIKI AL-HASANI AS-SYADZILI. RA
KH. Dodi Firmansyah ditanya oleh almarhum Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-
Hasani Ra pada saat 40 hari menjelang wafatnya. Kiyai muda asal Garut
tersebut terperanjat saat al-‘alamah tersebut tiba2 menanyakan sosok guru
yang telah menanamkan kalimat agung dilubuk hatinya. Lebih terkejut lagi saat
Ulama tersebut “tercekat” sewaktu disebutkan nama Syekh Ahmad Shohibul
wafa Tajul ‘Arifin. Secara sepontan Al Imam al Alim al Alamah al Arif Billah
Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syeikh Muhammad al Maliki
al Hasni al Husaini as Syadzili Mekah menyebutkan bahwa Syekh ahmad
Shohibul wafa Tajul ‘Arifin adalah Sulthonul Awliya fi hadza zaman ( RAJANYA
PARA WALI ZAMAN SEKARANG ) bahkan beliaupun menyebutkan
QODDASALLAHU SIRROHU bukan rodliyallohu ‘anhu seperti yang kebanyakan
disebutkan oleh para ikhwan. Walaupun secara dhohir Syekh Muhammad
Alawy Al-Maliki belum bertemu dengan pangersa Abah namun keduanya telah
mengenal di alam ruhani yang tak dibatasi ruang dan waktu.
Sayyid Prof. Dr. Muhammad ibn Sayyid ‘Alawi ibn Sayyid ‘Abbas ibn Sayyid
‘Abdul ‘Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki al-Asy’ari asy-Syadzili lahir di Makkah
pada tahun 1365 H.
Sekilas profil KH.Dodi Firmansyah Usianya masih muda kelahiran garut tahun
1978. Sejak usia SMP ia dikenal ahli hikmah sedangkan ketertarikan dalam
dunia tasawwuf ia ke Pondok Pesanttren Suryalaya sejak dimulai kelas 4 SD .
Kiayi ini pernah di didik langsung oleh almarhum Al-Alamah Sayyid Muhammad
bin Alawi Al-Maliki ra di mekkah selama 6 tahun. Pulang mesantren dari
mekkah pada tahun 2006, kiyai ini menikah dengan Hj.Siti Fatimah putri
seorang pengusaha asal Tasikmalaya dan dikaruniai putra yang diberinama
M.Lutfi L. Makki.
Pendapat KH.Dodi tentang sosok Pangersa Abah Anom : Saya tidak bisa
mengungkapkannya dengan kata-kata. Cukuplah 2 pendapat Ulama kelas
dunia yang mengomentarinya. Pertama ungkapan dari guru saya sendiri di
mekkah, yaitu Sayyid Muhammad bin Alawy bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani ra.
Beliau sendiri yang mengungkapkan bahwa Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul
‘Arifin qs. Adalah Sulthonul Awliya fi Hadza Zaman dan kedua Mursyid Kammil
Mukammil Thoriqoh Naqsyabandi Al-Haqqani, As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif
billah Syekh Mohammad Nazim Adil al-Haqqani, sufi kenamaan dari Cyprus-
Turkey yang menyebutkan Pangersa Abah (Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul
‘Arifin qs) adalah Sufi agung di timur jauh.Dalam majalah sintoris (Sinar
thoriqoh islam) disebutkan As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif billah Syekh
Mohammad Nazim Adil al-Haqqani ra mengatakan bahwa Syekh Ahmad
Shohibul wafa Tajul ‘Arifin adalah WALI AGUNG DITIMUR JAUH.. hal itu pernah
disampaikan juga di kampus oleh KH.Wahfiuddin setelah mendampingi syekh
Mohammad Nazim Adil al-Haqqani ke P.P.Suryalaya.

Syekh Muhammad Al-Maliki Al-Hasani Ra


ABAH ANOM DIMATA AS-SAYYID AL-‘ALAMAH AL-‘ARIF BILLAH SYEKH
MOHAMMAD NAZIM ADIL AL-HAQQANI AL-HASANI
As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif billah Syekh Mohammad Nazim Adil al-Haqqani
al-Hasani dari Cyprus Turkey telah menegaskan :
"Banyak para alim ulama dan para cendikiawan muslim memberikan
pengetahuan agama kepada umat, pengetahuan itu bagaikan lilin-lilin, apalah
artinya lilin-lilin yang banyak meskipun lilin-lilin itu sebesar pohon kelapa kalau
lilin-lilin itu tidak bercahaya. Dan cahaya itu salah satunya berada dalam
qalbunya beliau ( Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul 'Arifin).
Saya tidak tahu apakah Nur Illahi yang dibawanya akan putus sampai pada
beliau saja, atau masih akan berlanjut pada orang lain. Tapi saya yakin dan
berharap, sesudah beliau nanti masih akan ada orang lain yang menjadi
pembawa Nur Illahi itu. Siapakah orangnya, saya tidak tahu.
Maka Anda sekalian para hadirin, ambillah Nur Illahi itu dari beliau saat ini.
Mumpung beliau masih ada, mumpung beliau masih hadir di tengah kita,
sulutkan Nur Illahi dari qalbu beliau kepada qalbu anda masing-masing. Sekali
lagi, dapatkanlah Nur Ilahi dari orang-orang seperti Syekh Ahmad Shohibulwafa
Tajul 'Arifin.
Dari qalbu beliau terpancar pesan-pesan kepada qalbu saya. Saya berbicara
dan menyampaikan semua pesan ini bukan dari isi qalbu saya sendiri. Saya
mengambilnya dari qalbu beliau. Di hadapan beliau saya terlalu malu untuk
tidak mengambil apa yang ada pada qalbu beliau. Saya malu untuk berbicara
hanya dengan apa yang ada pada qalbu saya sendiri."
As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif billah Syekh Mohammad Nazim Adil al-
Haqqani al-Hasani dari Cyprus Turkey telah menegaskan :
"Banyak para alim ulama dan para cendikiawan muslim memberikan
pengetahuan agama kepada umat, pengetahuan itu bagaikan lilin-lilin, apalah
artinya lilin-lilin yang banyak meskipun lilin-lilin itu sebesar pohon kelapa kalau
lilin-lilin itu tidak bercahaya. Dan cahaya itu salah satunya berada dalam
qalbunya beliau ( Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul 'Arifin).
Saya tidak tahu apakah Nur Illahi yang dibawanya akan putus sampai pada
beliau saja, atau masih akan berlanjut pada orang lain. Tapi saya yakin dan
berharap, sesudah beliau nanti masih akan ada orang lain yang menjadi
pembawa Nur Illahi itu. Siapakah orangnya, saya tidak tahu.
Maka Anda sekalian para hadirin, ambillah Nur Illahi itu dari beliau saat ini.
Mumpung beliau masih ada, mumpung beliau masih hadir di tengah kita,
sulutkan Nur Illahi dari qalbu beliau kepada qalbu anda masing-masing. Sekali
lagi, dapatkanlah Nur Ilahi dari orang-orang seperti Syekh Ahmad Shohibulwafa
Tajul 'Arifin.
Dari qalbu beliau terpancar pesan-pesan kepada qalbu saya. Saya berbicara
dan menyampaikan semua pesan ini bukan dari isi qalbu saya sendiri. Saya
mengambilnya dari qalbu beliau. Di hadapan beliau saya terlalu malu untuk
tidak mengambil apa yang ada pada qalbu beliau. Saya malu untuk berbicara
hanya dengan apa yang ada pada qalbu saya sendiri."
PROF. DR. BUYA HAMKA KETUA UMUM MUHAMMADIYYAH DI BAI’AT
TAREKAT QODIRIYYAH WANNAQSYABANDIYYAH DAN MENJADI MURID ABAH
ANOM
SIAPA sangka mantan pimpinan Muhammadiyah Buya Hamka ternyata
mengikuti Thoriqoh Qodiriyah Naqsabandiyah. Ketua MUI pertama ini berbaiat
kepada Abah Anom, mursyid tarekat dari pesantren Suryalaya Tasikmalaya.
Hal ini diungkapkan Dr Sri Mulyati, pengajar tasawwuf UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, baru-baru ini. Ini penelitian pribadi saya ketika menyelesaikan
disertasi, ada fotonya ketika berbaiat dengan Abah Anom. Cuma ada sebagian
orang Muhammadiyah yang tak percaya, katanya.
Mantan Ketua Umum Fatayat NU ini menuturkan, Buya Hamka sendiri pernah
berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka,
tetapi Hampa. Saya tahu sejarahnya, saya tahu tokoh-tokohnya, tetapi saya
tidak termasuk di dalamnya, karena itu saya mau masuk. Akhirnya beliau
masuk, karena mungkin haus spiritual, tandasnya. Buya Hamka berkata:
diantara makhluk dan kholik itu ada perjalanan yg harus kita tempuh. inilah yg
kita katakan thoriqoh.
Hamka memang dikenal memahami dunia thoriqoh. Salah satu karyanya
adalah Tasawuf Modern, yang mengupas dunia tasawuf dan penerapannya
pada era modern ini.

Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin ( Abah Anom ) memberikan jubah dan
tongkat kepada Prof. DR. Buya Hamka saat jadi Ketua MUI
PROF. DR. HARUN NASUTION TOKOH YANG DIKENAL PALING RASIONAL DI
BAI’AT TAREKAT QODIRIYYAH WANNAQSYABANDIYYAH
DAN MENJADI MURID ABAH ANOM
Tokoh lain yang dikenal publik sangat rasional tetapi juga mengikuti tarekat
adalah Harun Nasution. Menurut Sri Mulyati yang lulus doctor dari McGill
University ini, persentuhan Harun dengan dunia tarekat dimulai ketika
mengantar proses penyembuhan anaknya ke Suralaya. Ia melihat, hanya
dengan sholat tahajjud saja, seseorang bisa sembuh. Akhirnya, sampai akhir
hayatnya, beliau sangat sufi, ikut Abah Anom. Padahal beliau seorang profesor
yang sangat rasional, terangnya.
Ibnu Taimiyah, yang oleh sebagian orang dipercaya anti-thoriqoh, ternyata
juga menjelang akhir hayatnya secara pribadi mengikuti tarekat.
Dalam buku Syeikh Hisyam Kabbani, dia belajar dan mempraktekkan tarekat,
memang tidak mengajarkan. Seperti Imam Ghozali, belajar dan
mempraktekkan, meskipun bukan mursyid, setelah dia tidak puas di ilmu
kalam, akhirnya belajar tasawwuf dan mengamalkan sehingga menghasilkan
rekonsiliasi, ujarnya.
ABAH ANOM DAN JAGOAN DARI SURABAYA
K.H. M. Ali Hanafiah Akbar, itulah nama seorang kiai yang berasal dari
Surabaya. Tidak terbayangkan kiai pemimpin pesantren tersebut adalah
mantan jagoan jalanan. Ini berdasarkan cerita beliau KH. Ali Hnafiah Akbar
yang saat itu di wawancarai oleh wartawan majalah Nuqtoh beliau
menceritakan bahwa dirinya sejak kecil tidak kefikiran punya cita-cita jadi kiai
apalagi memimpin pesantren tetapi cita-citanya sejak kecil adalah ingin
menjadi seorang jagoan. Keinginanya yang sangat kuat inilah membuat ia
sangat gigih didalam mendalami ilmu kanuragan atau bela diri bahkan setiap
ada orang yang terkenal jago silat pasti ia datangi. Berbekal ilmunya tersebut
Ali berusaha menjadi jagoan jalanan di Surabaya dan akhirnya ia pun hijrah ke
Jakarta. Dan di Jakarta ia menjadi tukang pukul salah satu perusahaan bahkan
karena kemampuanya berkelahi yang tidak terkalahkan ia pernah dikontrak
oleh Edi Tansil untuk mengamankan proyek besar. Ternyata hidayah merubah
jalan hidup jagoan ini ia bertemu dengan salah seorang ikhwan TQN dan entah
apa yang terjadi didalam hatinya terbesit ingin bertemu dengan Abah Anom
Mursyid Toriqoh Qodiriyyah Wannaqsyabandiyah. Iapun pergi dari Jakarta
bermaksud menemui Abah Anom, dan maksudnya pun terlaksana dan ia
mendapat Talqin Dzikir oleh Abah Anom setelah itu abah anom menyuruhnya
pulang. Rupanya hatinya berkecamuk dan iapun mengeluh “jauh-jauh datang
dari Jakarta Cuma diajarin dzikir ,….huh….”. Tetapi apa yang terjadi setelah ada
dalam perjalanan mulutnya terasa terkunci, enggan berbicara kepada
siapapun, bahkan ia disangka orang stress…dari diamnya ia inilah ia merasa
abah anom selalu disampingnya dan mengajarinya berbagai macam ilmu
tentang agama dan entah kenapa setelah mulut mau berbicara kembali ia
sudah bisa ceramah mengenai ilmu-ilmu agama. Akhirnya beliau mendirikan
pesantren dan mendapat Khirqah sebagai wakil talqin Abah Anom di Surabaya.
ABAH ANOM DAN PEMUDA JAGO SILAT
Diceritakan oleh KH Komaruddin yang merupakan wakil talqin senior
Abah Anom beliau menuturkan bahwa ada salah seorang pemuda jago di dunia
persilatan ( beliau KH Komaruddin tidak menyebutkan nama pemuda
tersebut). Pemuda tersebut suatu hari mendatangi Mursyid Kammil
Mukammil Syekh Ahmad Shohibul wafa’tajul Arifiin (Abah Anom ) dengan
maksud menantang untuk berduel denganya, hal ini karena pemuda tersebut
mendengar kemasyhuran Abah Anom. Tetapi Abah Anom dengan suara
lembutnya menolak tantangan pemuda tersebut, seraya mengatakan bahwa
Abah tiada bisa apa-apa…. Setelah beberapa kali mendapat tolakan dari abah
anom ternyata pemuda tersebut semakin geram dan marah, sehingga ia
berusaha menerjang badan Abah Anom yang yang sedang duduk bersila, tetapi
apa yang terjadi …pemuda tersebut terpental seraya menjerit………aing jin
……aing jin…..aing jin,…..aing jin,…….padahal Abah Anom tiada bergerak dari
tempat duduknya.
ABAH ANOM DAN UPAYA PEMULIHAN KORBAN PENYALAH GUNAAN NARKOBA
Dalam rangka memberikan andil terhadap bangsa dan Negara Abah Anom
memiliki peram serta dengan merintis dan membentuk sebuah lembaga yang
khusus menangani dan menyembuhkan para korban kecanduan NARKOBA
yang disebut dengan INABAH. Metode yang diterapkan oleh Abah Anom di
dalam INABAH menggunakan metode dzikir dan shalat serta mandi taubat
yang merupakan amalan TQN Suryalaya, dengan metode ini ribuan pecandu
NARKOBA berhasil disembuhkan bahkan INABAH sekarang sudah berkambang
ke beberapa daerah di Indonesia dan mancanegara.

ABAH ANOM TELAH ADA DALAM PENGLIHATAN BATIN SYEKH TOLHAH


KALISAPU CIREBON
Syekh Abdullah Mubarrok Bin Nur Muhammad ( Abah Sepuh ) ayahanda
sekaligus guru Abah Anom
Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad r.a, diangkat menjadi
mursyid di Mesjid Kholwat oleh Syeikh Tolhah r.a. dari Kalisapu Cirebon.
Kemudian beberapa tahun setelah itu, Syeikh Tholhah r.a menyuruh beliau
untuk mendirikan pesantren dan diamanati dengan nama Pesantren itu
SURYALAYA yang artinya TEMPAT CAHAYA juga amanat agar pesantren itu
dikembangkan, karena dalam pandangannya, Pesantren dengan nama
Suryalaya ini nantinya akan menjadi pusat perkembangan Thoriqoh Qodiriyyah
Naqsyabandiyyah di manca negara oleh putranya kelak yakni Syekh Ahmad
Shohibulwafa Tajul Arifin ( Abah Anom )
Diceritakan ketika Syeikh Abdullah Mubarok ( Abah Sepuh ) pulang berguru
dari pulau Madura kepada Syeikh Kholil Bangkalan Abah Sepuh langsung naik
perahu tanpa dibekali dayung atau layar, dengan hanya bekal sholawat Bani
Hasyim yang dibacanya sepanjang perjalanan, beliau sampai ke Cirebon.
Artinya perahunya dijalankan hanya dengan bacaan sholawat Bani Hasyim
yang beliau dapatkan dari gurunya Syeikh Kholil Bangkalan.

SHALAWAT BANI HASYIM


‫ًمى َُّ ىل َال ىمَُ ىال ِمَّ َّاِ ىىُع َلد ََ ُاح ىَّمَِّشَّ ََّعَا َّم َى َّبعَا ىُع ِّ َا‬
‫ل َّمَُ لَّ َال‬
Artinya :
Ya Allah, Berikanlah rahmat serta salam kepada seorang nabi keturunan
Bangsawan Hasyim,
yakni Muhammad beserta keluarganya, semogalah tetap selamat dan
sejahtera.
Silsilah Muktabar Thoriqoh Qodiriyah Wannaqsyabandiyyah Suryalaya
Robbul Arbaabi Wamu tqurroobi Allah SWT
Sayyiduna Jibriil a.s
Sayyiduna Muhammad SAW
Sayyiduna Aliyyu Karomallahu Waj’hah
Sayyiduna Husain r. a
Sayyiduna Zainal Abidin r.a
Sayyiduna Muhammadul Baaqir r.a
Sayyiduna Imam Musa Al kadziim ra
Sayyiduna Imam Musa Al kadziim ra
Sayyiduna Abul hasani Aliyyubnu Musa ArRidho ra
Syekh Ma’rufil Karkhi ra
Syekh Sirri Saqthii ra
Syekh Abul Qaasim Junaidi Al Baghdaadi ra
Syekh Abu Bakar Diifisyibili ra
Syekh Abul Fadli A.W Atamimi ra
Syekh Abul Fraji Alturthuushi ra
Syekh Abul Hasan Aliyyubnu Yuusuufal Qirsli Alkhaari ra
Syekh Abu Sa’id Almubarrak Ibnu Alliyyu Almakhzuumi ra
Syekh Abdul Qoodir Al- Jaelani. Qsa
Syekh Abul Aziiz ra
Syekh Muhmmad Hattaak ra
Syekh Syamsuddin ra
Syekh Syaroffuddin ra
Syekh Nuuruddiin ra
Syekh Waliyyuddin. Ra
Syekh Hisyammuddin ra
Syekh Yahya ra
Syekh Abu Bakr ra
Syekh Abdurrohiim ra
Syekh Utsman ra
Syekh Abdul Fattah ra
Syekh Muhammad Muraad ra
Syekh Syamsuddiin ra
Syekh Ahmad KHaatib Syambas Ibni Abdil Ghofar ra
Syekh Tholhah ra Cirebon
Syekh Abdulah Mubarrak Bin Nur Muhammad ra ( Abah Sepuh )
Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin ( Abah Anom )
KEMULIAAN ABAH ANOM
MENURUT ( GURU SEKUMPUL ) ALLAMAH AL ‘ARIF BILLAH SYEKH M. ZAINI
ABD. GHANI MURSYID TAREKAT SAMMANNIYYAH
Ada cerita menarik dari Subhan seorang Dosen IAILM Suryalaya pernah
silaturahmi kepada Tuan Guru Ijai Martapura Kalimantan Selatan. Di kisahkan
Tuan guru Ijai menyampaikan bahwa SYEH A. SHOHIBUL WAFA TAJUL ARIFIN
ADALAH LAUTAN THORIQOH, hal ini disampaikan kepada Pangersa Abah Anom
kemudian di balas oleh Abah Anom bahwa Tuan Guru Ijai adalah LAUTAN ILMU
....
Al 'Arif Billah Syekh Muhammad Zaini Abd. Ghani al Aidrus Martapura (kanan)
dan Al 'Arif Billah Sayyid Muhammad al Maliki al Hasani as Syadzily Mekah
‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Syekh M. Zaini Abd. Ghani adalah seorang ulama
yang menghimpun antara thariqat dan haqiqat, dan beliau seorang yang
Hafazh AI-Quran beserta hafazh Tafsirnya, yaitu Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim Lil-
Imamain Al-Jalalain. Beliau seorang yang “mahfuzh”, yaitu suatu keadaan yang
sangat jarang sekali terjadi, kecuali bagi orang orang yang sudah dipilih oleh
Allah SWT. beliau tidak pernah ihtilam.
Pada usia 9 tahun di malam jumat beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar
turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah
putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Safinah al-Auliya”. Beliau ingin
masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Beliaupun terbangun.
Pada malam jum’at berikutnya, beliau kembali bermimpi hal serupa. Dan pada
malam jumat ketiga, beliau kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini beliau
dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syaikh. Ketika sudah
masuk beliau melihat masih banyak kursi yang kosong. Ketika beliau merantau
ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka orang yang pertama kali
menyambut beliau dan menjadi guru adalah orang yang menyambut beliau
dalam mimpi tersebut.
Dalam usia 10 tahun sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan
berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa-apa yang ada di dalam
atau yang terdinding. Pernah rumput-rumputan memberi salam kepada beliau
dan menyebutkan manfaatnya untuk pengobatan dari beberapa penyakit,
begitu pula batu-batuan dan besi.
Di masa remaja 'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abd Ghani
pernah bertemu dengan Saiyidina Hasan dan Saiyidina Husin yang keduanva
masing-masing membawakan pakaian dan memasangkan kepada beliau
lengkap dengan sorban dari lainnya. Dan beliau ketika itu diberi nama oleh
keduanya dengan nama Zainal 'Abidin.
Karomah- Karomahnya
Ketika beliau masih tinggal di Kampung Keraton, biasanya setelah selesai
pembacaan maulid, beliau duduk-duduk dengan beberapa orang yang masih
belum pulang sambil bercerita tentang orang-orang tua dulu yang isi cerita itu
untuk dapat diambil pelajaran dalam meningkatkan amaliyah. Tiba-tiba beliau
bercerita tentang buah rambutan, pada waktu itu masih belum musimnya;
dengan tidak disadari dan diketahui oleh yang hadir beliau mengacungkan
tangannya ke belakang dan ternyata di tangan beliau terdapat sebuah buah
rambutan yang masak, maka heranlah semua yang hadir melihat kejadian akan
hal tersebut. Dan rambutan itupun langsung beliau makan.
Ketika beliau sedang menghadiri selamatan dan disuguh jamuan oleh shahibul
bait maka tampak ketika itu makanan tersebut hampir habis beliau makan,
namun setelah piring tempat makanan itu diterima kembali oleh yang
melayani beliau, ternyata makanan yang tampak habis itu masih banyak
bersisa dan seakan-akan tidak di makan oleh beliau.
Pada suatu musim kemarau yang panjang, di mana hujan sudah lama tidak
turun sehingga sumur-sumur sudah hampir mengering, maka cemaslah
masyarakat ketika itu dan mengharap agar hujan bisa turun. Melihat hal yang
demikian banyak orang yang datang kepada beliau mohon minta doa beliau
agar hujan segera turun, kemudian beliau lalu keluar rumah dan menuju pohon
pisang yang masih berada di dekat rumah beliau itu, maka beliau goyang
goyangkanlah pohon pisang tersebut dan ternyata tidak lama kemudian, hujan
pun turun dengan derasnya.
Ketika pelaksanaan Haul Syekh Muhammad Arsyad yang ke 189 di Dalam Pagar
Martapura, kebetulan pada masa itu sedang musim hujan sehingga membanjiri
jalanan yang akan dilalui oleh 'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy Syeikh H. M.
Zaini Abd. Ghani menuju ke tempat pelaksanaan haul tersebut, hal ini sempat
mencemaskan panitia pelaksanaan haul tersebut, dan tidak disangka sejak pagi
harinya jalanan yang akan dilalui oleh beliau yang masih digenangi air sudah
kering, sehingga dengan mudahnya beliau dan rombongan melewati jalanan
tersebut; dan setelah keesokan harinya jalanan itupun kembali digenangi air
sampai beberapa hari.
Banyak orang-orang yang menderita sakit seperti sakit ginjal, usus yang
membusuk, anak yang tertelan peniti, orang yang sedang hamil dan bayinya
jungkir serta meninggal dalam kandungan ibunya, sernuanya ini menurut
keterangan dokter harus di operasi. Namun keluarga mereka pergi minta do'a
dan pertolongan. 'Allimul'allamah 'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani.
Dengan air yang beliau berikan kesemuanya dapat tertolong dan sembuh
tanpa di operasi.
Kesaksian al-Aalimul faadhil Guru Haji Ahmad Bakri : Jika saya berdusta dalam
kesaksian ini maka bolehlah saya dicap sebagai munafik. Ketika saya akan
berangkat haji pada suatu tahun, saya sowan kepada Guru Sekumpul. Dalam
kesempatan itu saya bertanya: wahai Abah! Siapakah Wali Qutub di negeri
Makkah pada masa sekarang? Guru Sekumpul tersenyum seraya berkata :
“Bakri, Bakri… nama beliau adalah Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Habsyi.
Guru Bakri Berkata: “Dimanakah ulun dapat menjumpai beliau?”. Guru
Sekumpul menjawab; “engkau pasti akan berjumpa dengan beliau”
Saya pun (Guru Bakri) berangkat haji. Satu minggu sebelum pulang ke tanah
air, belum juga saya jumpa dengan beliau (Habib Abu Bakar). Akhirnya saya
bertanya kepada salah seorang mukimin di Makkah, dimanakah ada seorang
yang terkenal sebagai Wali di Makkah ini. Maka dijawab: “ada, beliau tinggal di
daerah jabal Nur, nama beliau adalah Habib Abu Bakar al-Habsyi”. Sayapun
mencarter taxi ke sana dengan satu orang teman (tidak ramai-ramai, karena
ahlussunnah wal jama’ah sangat dicurigai dan diawasi di Saudi). Sesampainya
di sana pas waktu Ashar. Selesai sholat Ashar, saya kagum dan terkejut karena
ternyata wiridan yang dibaca di sana persis seperti wiridan di sekumpul.
Setelah selesai wirid dilanjutkan dengan majelis ta’lim dengan membaca kitab
syarah ‘ainiyyah, inipun ternyata sama seperti di sekumpul (waktu itu Guru
sekumpul pun sedang mengajarkan kita syarah ‘ainiyyah). Setelah selesai
majelis, maka sayapun minta izin untuk bertemu dengan beliau. Tidak lama
beliaupun keluar. Ternyata orangnya sudah tua tetapi tampak masih sangat
kuat dan bertenaga. Belum sempat saya mengucap salam, beliau langsung
berkata
ِ‫َرً ِب ىرَّ غ ىي زل ىي ش لخ َّم ك ب لر َّم عِم ل َرد ب‬
(selamat datang, seorang Alim yang Besar syaikh Zaini Ghani Martapura),
padahal saya tidak pernah memberi tahu beliau. Ternyata yang beliau lihat
bukan saya, tetapi Guru Sekumpul. Berarti Guru sekumpul sudah memberi
tahu beliau (entah bagaimana caranya) kalau saya akan sowan kepada beliau.
Tanpa panjang pembicaraan saya pun pulang. Karena sebelumnya sudah
dinasehati oleh Guru sekumpul untuk tidak banyak bicara. Yang penting minta
diakui sebagai murid, itu sudah cukup, sebab seorang guru akan memberi
syafaat kepada muridnya. Setibanya di Banjarmasin saya pun sowan ke Guru
sekumpul dengan niat menceritakan kepada beliau apa yang terjadi sekaligus
menggembirakan beliau dengan kajadian itu. Malam itu pas malam kamis,
selesai pengajian, saya ikuti beliau dari belakang. Beliau menoleh dan berkata:
“Naik, Bakri”. Sayapun mengikuti beliau. Kami masuk ke rumah beliau sampai
ke dalam kamar beliau. Beliau mematikan lampu dan berdoa agak lama.
Setelah kurang lebih sepuluh menitan, selesai berdoa beliau berkata: “sudah
Bakri, kada usah bakesah lagi, Abah Tahu ai (yang terjadi).” َّ.‫ه‬. (selesai kisah
Guru Haji Bakri)
Dalam kitab al-Futuhat, Ibnu 'Arabi menyebutkan kitabnya yang berjudul
Mawaqi' al-Nujum, yang sering dipujinya sebagai kitab yang sangat bagus
dalam mengupas masalah karamah yang muncul dari anggota-anggota tubuh
yang taat. Anggota tubuh itu adalah mata, telinga, lidah, tangan, perut,
kemaluan, kaki, dan hati. Apabila masing-masing anggota tubuh menaati
hukum syara' dan dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab, maka akan
muncul karamah. Dalam kitab tersebut disebutkan berbagai pengetahuan,
rahasia ilmu hakikat, dan manfaat ilmu syariat.
Mata
Di antara karamah mata jika digunakan untuk melakukan ketaatan dan
menjauhi kemaksiatan adalah mampu melihat tamu dari jarak jauh sebelum ia
datang, bisa melihat dari balik dinding tebal, melihat Ka'bah ketika shalat, dan
lain-lain. Di antara karamah lainnya adalah dapat menyaksikan alam malakut
spiritual baik malaikat, penghuni ketinggian (mala'ul a'la), jin, Nabi Khidir, dan
para Abdal.
Di antaranya pula ada yang dibukakan baginya alam ghaib di hadapan
pandangan matanya, sehingga ia dapat melihat apa saja yang terselubung di
sebalik dinding, bahkan ia dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh orang
dirumahnya. Di antaranya pula ada yang diberi karamah kasyaf. Misalnya jika
seorang wali mendatangi rumah seorang yang telah berbuat zina atau mabuk
atau mencuri atau berbuat maksiat, maka wali itu dapat mengetahuinya,
seperti yang terjadi pada Syeikh Ibnu Arabi. Mukasyafah semacam ini
dikhususkan bagi mereka yang hidup secara wara’. Di antaranya pula ada yang
diberi karamah dapat mengetahui gerak gerik orang, misalnya seorang wali
bergerak hatinya ingin bertemu dengan gurunya, maka gurunya segera hadir di
hadapannya. Ada pula jenis karamah berupa didatangkannya sebuah pohon
kepada seorang wali, kemudian wali itu menikmati buah dari pohon yang hadir
di hadapannya. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat mengetahui
segala jenis batu-batu mulia dan logam-logam mulia yang ada di perut bumi,
meskipun demikian, seorang wali yang diberi karamah jenis ini tidak
memperdulikan sedikit pun tentang harta kekayaan yang terpendam itu.
karamah Abu Ishak As-Syirazi dapat melihat Ka’bah sedangkan beliau berada di
kota Baghdad. Adakalanya seorang wali diberi kehebatan peribadi yang dapat
menyebabkan kematian orang tertentu ketika ia melihat diri wali tersebut. Hal
ini pernah terjadi pada seorang pembesar yang mati ketika berhadapan
dengan Abu Yazid Al Busthami. Adakalanya seorang yang berhadapan dengan
seorang wali seperti ini, maka ia akan tunduk, bahkan akan mengakui apa
sahaja yang tersembunyi dalam hatinya. Kejadian seperti ini banyak terjadi.
Mendapat perlindungan Allah dari segala kejahatan yang akan menimpa.
Bahkan kejahatan yang semula direncanakan itu akan berbalik jadi kebaikan.
Hal ini terjadi pada diri Imam Syafi’I apabila beliau akan dihukum oleh khalifah
Harun Rasyid, tetapi akhirnya dengan izin Allah beliau dibebaskan.
Telinga
Bila telinga digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan,
karamah yang akan muncul adalah mendengar kabar gembira bahwa sang
pemiliknya merupakan salah seorang yang diberi hidayah dan akal oleh Allah.
Ini merupakan karamah terbesar, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah,
Sebab itu sampaikanlah kabar kembira kepada hamba-hamba-Ku, yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya (QS
Al-Zumar [39]: 17-18).
Karamah lainnya adalah dapat mendengar ucapan benda mati, sehingga
terdengar semua benda bertasbih kepada Allah dengan bahasa yang jelas,
sebagaimana bahasa manusia.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah berupa ilmu yang dapat memahami
segala ucapan benda-benda yang mati, sehingga seorang wali yang diberi
karamah seperti ini, ia dapat mendengar ucapan tasbih benda-benda yang
mati. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat mengetahui segala
rahsia benda-benda yang hidup. Di antaranya pula ada yang diberi karamah
segala macam ilmu pengetahuan, baik yang berupa ilmu-ilmu zahir mahupun
ilmu-ilmu bathin. Seorang yang diberi karamah berupa ini, ia akan dapat
memahami berbagai macam persoalan dunia dan akhirat. Di antaranya pula
ada yang diberi karamah berupa tingkatan-tingkatan Al Quthbiyah. Di
antaranya pula ada yang diberi karamah pengetahuan dan kasyaf, sehingga
dapat membedakan mana-mana pendapat mazhab-mazhab yang benar. Di
antaranya pula ada yang diberi karamah dapat melihat dan mendengar hal-hal
yang ghaib, sehingga antara yang terang dan yang terselubung tidak ada beda
baginya. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat berbicara dengan
makhluk alam malakut dan dapat mendengar guratan-guratan pena di Lauh
Mahfuz.
Karomah Syeikh Ibrahim Bin Adham. Beliau pernah mendengar suara dari
pohon delima yang minta dimakan. Ketika Ibrahim Bin Adham makan buahnya,
tiba-tiba pohon itu bertambah tinggi dan buahnya yang masam berubah jadi
manis, serta dapat menghasilkan dua kali setiap tahun.
Lidah
Ketika lidah digunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menghindari
kemaksiatan, karamah yang akan muncul adalah mampu berbicara dan
bercakap-cakap dengan alam yang lebih tinggi (alam a'la). Jadi, apabila seorang
hamba memperoleh karamah atas telinganya, maka ia akan bisa memanggil
dan berhubungan dengan para penghuni alam yang lebih tinggi. Apabila ia
hanya sekedar berbicara dengannya, penghuni alam itu tidak menjawabnya.
Apabila terjadi pembicaraan antara dia dengan mereka, maka kemampuannya
berbicara dengan mereka adalah karamah lisan, kemampuannya mendengar
ucapan mereka adalah karamah telinga, dan kemampuannya menyaksikan
mereka adalah karamah mata. Demikian juga anggota-anggota tubuh lainnya,
karena ada hubungan antara anggota-anggota badan dan ketaatan yang
dilakukannya. Di antara karamah lainnya adalah mampu mengatakan suatu
keadaan sebelum terjadinya, memberitahukan hal-hal gaib, dan akan
munculnya benda-benda.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat berkata-kata dengan
makhluk alam arwah, sehingga ia dapat mengetahui keadaan mereka yang
sudah wafat, walaupun telah wafat bertahun tahun. Di antaranya pula ada
yang diberi karamah dapat melenyapkan dirinya dari alam wujud ke alam
ghaib, sehingga ia dapat menghilang dari suatu majlis tanpa pengetahuan
mereka yang hadir.
Karamah Abu Said ibnu Abil Khair Al Maihani. Singa dan binatang yang lain
takut kepadanya. Ada pula sebahagian wali yang dipatuhi segala benda seperti
yang terjadi pada diri Syeikhul Islam Izzudin Ibnu Abdis Salam beliau pernah
berkata kepada angin di waktu peperangan antara kaum Muslimin dan umat
Nasrani: “Hai angin terbangkan musuh-musuh kami”. Dengan izin Allah kaum
Nasrani diterbangkan angin dan dilempar ke tanah sampai binasa.
Karamah lain pernah terjadi pada seorang wali yang diancam oleh seorang raja
zalim. Raja zalim itu berkata: “Tunjukkanlah padaku bukti kebenaranmu, jika
tidak, aku akan hukum kamu”. Pada waktu itu si wali melihat dekatnya kotoran
unta. Maka ia berkata: “Lihatlah itu”. Tiba-tiba kotoran unta itu jadi sebungkal
emas. Kemudian ia melihat sebuah tempat air yang tidak ada airnya. Si wali itu
melemparkan tempat air yang kosong itu ke udara. Ketika tempat air itu jatuh
tiba-tiba telah berisi air penuh dan tempat air itu terjungkir. Namun air yang
didalamnya tidak tertumpah setitik pun. Melihat kejadian tersebut raja itu
hanya berkata: “Ini hanyalah perbuatan sihir belaka”. Kemudian raja
memerintahkan untuk melemparkan si wali ke dalam api yang bernyala-nyala.
Tidak lama si wali tersebut segera keluar dan menarik putera raja yang masih
kecil ke tengah api yang sedang menyala. Melihat kejadian ini raja hampir jadi
gila, kerana putera satu-satunya diseret ke tengah api yang sedang menyala.
Setelah beberapa saat, si wali keluar bersama putera raja itu dari api, sedang
ditangan kanan putera raja itu memegang buah apel dan dikirinya memegang
buah delima. Raja bertanya pada puteranya: “Wahai puteraku, dari mana
kamu tadi?” Jawab si putra: “Aku dapat dari sebuah kebun”.Mendengar
keterangan putera raja itu para pembesar kerajaan hanya berkata: “Itu
hanyalah suatu sihir belaka”. Kemudian raja berkata kepada si wali: “Jika kamu
dapat minum racun ini, aku akan percaya padamu”. Setelah itu, si wali minum
racun itu. Namun ia tidak mati hanya bajunya sahaja yang koyak. Kemudian
ditambah lagi meminum racun. Setiap kali minum racun ia tetap hidup hanya
bajunya saja yang koyak-koyak. Pada terakhir kali ketika ia diberi minuman
racun lagi bajunya tidak koyak dan ia pun selamat.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat menjadikan air asin atau
payau menjadi air tawar dan segar. Karamah seperti ini pernah diberikan
kepada Syeikh Abdullah Ibnul Ustad Al Marwazi sahabat Syeikh Abu Madyan.
Tangan
Di antara karamah yang akan muncul bila tangan dipergunakan untuk
melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah munculnya warna putih
bersih tanpa noda di tangan ketika dimasukkan ke dalam saku seperti yang
terjadi pada Nabi Musa as, memancarkan air di sela-sela jari yang terjadi pada
Nabi Muhammad Saw., melemparkan tanah ke muka musuh, sehingga mereka
kalah. Para wali Allah dengan kehendak-Nya mengepalkan tangan ke udara,
lalu ketika mereka membukanya muncullah perak, emas, dan lain-lain.
Diriwayatkan bahawa sebahagian wali ada yang diikuti oleh hujan. Salah
seorang dari mereka bernama Syeikh Abul Abbas As Syatir, ia sering menjual
hujan dengan harga beberapa dirham. Kisah semacam ini banyak terjadi,
sehingga sukar untuk dimungkiri kewujudannya.
Karamah Abu Turab, ketika beliau menghentakkan kakinya ke bumi, maka
Allah mengeluarkan air dari tanah itu. Kata Imam Subki: “Di antara jenis
karamah seperti ini ialah terpancarnya sumber mata air di musim kemarau dan
bumi tunduk pada seorang yang memukulkan kakinya ke bumi”. Pernah
diceritakan bahawa ada seorang yang berjalan ke kota Mekkah untuk berhaji.
Dalam perjalanan itu ia merasa haus sekali. Namun ia tidak mendapat seteguk
air pun. Kemudian ia menemui seorang fakir yang bertongkat. Tepat di tempat
itu terpancarlah sumber mata air yang dapat memberikan minuman kepada
para jemaah haji yang sedang lewat di tempat itu. Semua jemaah haji yang
lewat di tempat itu membekali dirinya dengan air yang terpancar di bawah
tongkat si fakir.
Karomah lain Adakalanya untuk menulis sebuah karangan sahaja seorang akan
menghabiskan seluruh umurnya. Apalagi akan menulis berpuluh-puluh buah
karangan dalam waktu yang sangat singkat. Karamah semacam ini termasuk
jenis karamah waktu dapat menjadi panjang. Jenis karamah ini pernah dialami
oleh Imam Syafi’i Rahimullah. Beliau mampu mengarang berpuluh-puluh kitab,
padahal sebenarnya waktunya tidak akan cukup untuk melakukan hal itu,
disebabkan kesibukan beliau sehari-harinya untuk mengkhatamkan Al Qur’an
setiap harinya dengan bacaan yang penuh oleh tadabbur dan di bulan
Ramadhan pun beliau dapat mengkhatamkannya dua kali setiap harinya. Di
samping itu, beliau juga di sibukkan oleh banyaknya memperdalami ilmu
pengetahuan, memberikan pelajaran, berzikir dan banyaknya penyakit yang
dialaminya. Dalam suatu riwayat dikatakan bahawa beliau menderita tiga
puluh macam penyakit. Karamah semacam ini dialami juga oleh Imamul
Haramain Abul Ma’ali Al Juwaini. Dengan umur yang tidak panjang, beliau
mampu mengarang beberapa buah kitab. Sebenarnya umur yang sependek itu
tidak akan cukup untuk mengarang berpuluh-puluh kitab disebabkan
kesibukan beliau dalam belajar dan mengajar serta berzikir.
Jenis karamah seperti ini diberikan juga kepada seorang wali yang mampu
mengkhatamkan Al Quran sebanyak lapan kali dalam sehari. Imam Nawawi
juga diberi Allah kemampuan untuk mengarang berpuluh-puluh kitab dalam
waktu singkat. Sebenarnya umur beliau yang sedemikian itu tidak cukup untuk
mengarang kitab sebanyak itu. Ditambah lagi dengan berbagai macam ibadah
yang beliau lakukan setiap harinya. Karamah seperti ini diberikan juga kepada
Imam Taqiuddin As Subki. Beliau mampu menulis berpuluh-puluh kitab.
Sebenarnya umur yang sependek itu tidak akan cukup untuk menulis kitab
sebanyak itu disebabkan beliau sangat sibuk memberi pengajaran, tekun
beribadat, banyak membaca Al Quran dan berzikir. Sebenarnya jika kita hitung
pekerjaan besar yang dikerjakannya dengan umurnya yang singkat, pasti tidak
cukup untuk memenuhi sepertiganya, namun Allah memberinya barakah
dalam umur, sehingga beliau dapat merampungkan segala tugas besar
dipikulnya.
Perut
Di antara karamah yang muncul bila perut digunakan untuk melakukan
ketaatan dan menjauhi kemaksiatan —tidak termasuk dalam kategori makr
dan istidraj— adalah terpeliharanya perut dari makanan, minuman, dan
pakaian yang tidak halal dengan munculnya tanda yang disampaikan oleh
Allah. Adakalanya tanda itu muncul dalam dirinya sendiri atau dari sesuatu
yang bersifat syubhat atau haram, sehingga ia hanya memperoleh sesuatu
yang baik saja. Dikisahkan bahwa ketika disajikan makanan syubhat kepada Al-
Harits al-Muhasibi r.a., mengucurlah keringat di sela-sela jarinya. Begitu juga
yang terjadi pada ibunda Abu Yazid al-Busthami r.a. ketika sedang
mengandung Abu Yazid, tangannya tidak pernah menyentuh makanan haram.
Pada wali lain, muncul suara yang berkata "jauhi". Wali lainnya jatuh pingsan
ketika menemukan makanan yang tidak halal. Ada juga wali yang makanan
haram di hadapannya berubah menjadi darah, berwarna hitam, seekor babi,
dan lain-lain yang Allah khususkan bagi para wali dan orang-orang suci-Nya.
Karamah lain yang muncul karena ketaatan perut adalah makanan yang sedikit
bisa mengenyangkan orang banyak. Ini merupakan warisan dari Rasulullah
Saw. Ketika itu, Rasulullah menggelar sebuah tikar kulit dan didatangi oleh
pemilik gandum dengan memberikan setangkai gandumnya dan pemilik biji-
bijian dengan memberikan setangkai biji-bijiannya, hingga terkumpullah sedikit
makanan. Beliau berdoa agar makanan itu diberkati, lalu orang-orang mengisi
tempat yang mereka bawa dengan makanan itu sampai penuh, sebagaimana
dijelaskan dalam hadis sahih riwayat Muslim.
Karamah perut yang lainnya adalah dapat membuat satu macam makanan di
atas piring menjadi berbagai macam jenis makanan sesuai dengan keinginan
orang-orang yang hadir di tempat itu. Termasuk karamah perut lainnya adalah
didatangi jin atau raja yang membawakan makanan, minuman, dan
pakaiannya, atau menggantungkannya di udara.
Karamah lain dalam maqam ini adalah mampu mengubah air minum yang asin
dan pahit menjadi manis. Ibnu 'Arabi berkata, "Saya pernah meminum
minuman seperti itu dari tangan Abu Muhammad 'Abdullah bin Ustad Al-
Marwazi Al-Hajj, termasuk murid khusus Abu Madyan r.a., beliau selalu disebut
sebagai Al-hajj al-mabrur. Makanan halal itu adakalanya diperoleh dengan
bekerja atau dengan menjauhi dosa-dosa, seperti yang dikatakan beberapa
syaikh, "Ahli ma'rifat adalah orang yang tidak memadamkan cahaya
ma'rifatnya sebagai cahaya wara'nya, maka ketika diperoleh barang halal,
sedikit saja cukup baginya. Bila ia melaksanakan hal ini, maka tumbuh dalam
batinnya keinginan melakukan perbuatan baik yang diwujudkan Allah dalam
jiwa hamba ini sebagai karamah karena kedudukan dan kejujurannya." Dan
dari kehendak kuat itu keluar semua yang telah kami sebutkan dan banyak
karamah yang belum terlintas dalam benak manusia.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah tidak tersentuh makanan, minuman
dan pakaian yang berasal dari hasil syubhat, apa lagi yang haram. Jenis
karamah ini, biasanya si wali diberi tanda tertentu oleh Allah jika ada makanan,
minuman dan pakaian dari hasil syubhat yang menyentuh dirinya. Di antara
yang mendapat karamah macam ini adalah ibunya Abu Yazid Al Bustami. Setiap
kali ia mendapat makanan atau minuman yang syubhat, maka tangannya
berpeluh dan gementar, sehingga ia harus menjauhi makanan dan
minumannya.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah berupa makanan atau minuman
sedikit yang dihidangkan dapat menjadi banyak. Karamah ini pernah diberikan
kepada Syeikh Abu Abdullah At Tawudi ketika ia menyuruh kawannya ke
tukang jahit, maka ia mengeluarkan sepotong kain yang sempit dari balik
bajunya, kemudian ia menyuruh kawannya untuk membawanya ke tukang jahit
seraya berkata: “Dari kain yang sempit ini buatlah pakaian yang cukup untuk
beberapa orang”. Nyatanya kain yang sedemikian sempit itu dapat mencukupi
pakaian untuk beberapa orang.
Disebutkan bahawa ada seorang ingin menguji karamah Syeikh Isa Al Hattar. Ia
menyuruh pelayannya membawa dua botol minuman keras kepada beliau.
Setelah kedua botol itu diterima oleh Syeikh Isa, maka ia menuang isi kedua
botol itu seraya berkata kepada sebilangan orang yang ada di sisinya:
“Minumlah minyak samin ini”. Maka minuman keras yang ada di kedua botol
itu berubah menjadi minyak samin yang rasanyaamat lazat. Kisah karamah
jenis ini sering terjadi.
Kemaluan
Di antara karamah yang dihasilkan ketika kemaluan dipergunakan untuk
melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah anugerah dari Allah
berupa rahasia menghidupkan orang-orang mati, menyembuhkan orang yang
buta sejak lahir dan penderita lepra, dan meninggalkan semua perkara yang
membuatnya melupakan Allah. Allah berfirman, Dan Maryam puteri 'Imran
yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya
sebagian dari ruh Kami (QS Al-Tahrim [66]: 12). Dan Kami jadikan dia dan
anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam (QS Al-Anbiya'
[21]: 91). Dalam hal ini, Ibnu 'Arabi juga telah menjelaskan secara mendalam
hubungan-hubungan lain antara ketaatan anggota tubuh dan karamah yang
dikeluarkannya, hikmah-hikmah dan rahasia ilmu hakikat.
Karamah seperti ini pernah terjadi pada Syeikh Sirri As-Saqathi. Seorang
pernah menemuinya ketika beliau sedang menyembuhkan orang yang sakit
kusta dan buta. Syeikh Abdul Qadir Jailani pernah berkata kepada seorang anak
yang sakit lumpuh, buta dan kusta: “Berdirilah engkau dengan izin Allah”.
Dengan izin Allah, maka anak tersebut segera bangun tanpa suatu cacat pun.
Imam Taajus Subki memberi contoh karamah Abi Ubaid Al Busri. Beliau pernah
berdoa kepada Allah agar kudanya yang mati ditengah medan perang
dihidupkan kembali. Doa beliau terkabul dan kuda Abi Ubaid akhirnya hidup
kembali.
Pernah Mifraj Ad Damamini berkata kepada anak burung yang telah
dipanggang: “Terbanglah wahai burung dengan izin Allah”. Ucapan beliau
terkabul dan burung itu hidup kemudian terbang.
Syeikh Ahdal pernah memanggil kucing yang telah mati. Akhirnya kucing itu
hidup dan datang kepada Syeikh Ahdal.
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani pernah berkata kepada seekor ayam yang baru di
makan dagingnya: “Hai ayam hiduplah kau dengan izin Zat yang dapat
menghidupkan tulang belulang”. Dengan izin Allah, tulang belulang tersebut
berubah wujudnya menjadi ayam kembali.
Pernah Abi Yusuf Dahmani berkata kepada seorang mayat:
“Hai fulan, hiduplah dengan izin Allah”. Ucapan beliau terkabul sehingga mayat
itu hidup kembali selama beberapa waktu.
Imam Subki pernah bercerita: “Aku pernah dengar kisah Syeikh Zainuddin Al
Faruqy Asy Syafi’i, bahawa pada suatu hari ada seorang anak kecil jatuh dari
atap rumahnya lalu mati. Ketika Syeikh Zainuddin melihat kejadian itu, beliau
berdoa kepada Allah. Maka dengan izin Allah, anak kecil yang mati itu hidup
kembali.
Selanjutnya Imam Subki berkata: “Sesungguhnya kejadian semacam itu tidak
terhitung banyaknya. Dan aku yakin benar adanya karamah seperti itu. Hanya
saja yang belum pernah kudengar adanya seorang wali yang dapat
menghidupkan orang mati yang telah lama atau yang sudah menjadi tulang
belulang. Yang kami dengar hanyalah pada diri sebagian Nabi di zaman
dulu.Dan itu pun merupakan suatu mukjizat baginya. Bukan termasuk jenis
karamah. Yang mungkin terjadi pada diri seorang Nabi terdahulu adalah
menghidupkan suatu kaum yang telah mati beberapa abad, kemudian mereka
dihidupkan. Dengan izin Allah kaum itu hidup selama beberapa waktu. Yang
tidak mungkin terjadi dimasa ini adalah adanya seorang wali yang
menghidupkan Imam Syafi’i atau Abu Hanifah, kemudian keduanya dapat
hidup lama dan bergaul dengan masyarakat seperti pada waktu sebelumnya.
Kaki
Di antara karamah yang akan muncul jika digunakan untuk melaksanakan
ketaatan dan menjauhi kemaksiatan ada-lah mampu berjalan di atas air, dapat
mengelilingi bumi, dan berjalan di udara. Hikayat-hikayat tentang maqam ini
sangat terkenal, saking terkenalnya hingga tidak perlu lagi kami jelaskan di sini.
Kitab-kitab kumpulan syair dipenuhi hikayat-hikayat tentang karamah ini.
Karena Allah Swt. adalah pemilik para wali, maka Dia memunculkan semua
karamah ini bersama mereka. Ibnu 'Arabi menyatakan, "Kami telah
menyaksikan dengan jelas penempuh jalan ini berjalan di atas air dan di udara,
dan dapat melipat bumi."
Karamah seperti ini pernah terjadi pada diri seorang wali yang berada di Masjid
kota Tursus (Turki). Wali tersebut pernah tergerak dalam hatinya ingin pergi ke
Masjidil Haram, kemudian beliau memasukkan kepalanya dikantungnya lalu
mengeluarkannya kembali. Maka dengan izin Allah, wali itu telah berada di
Masjidil Haram . Kisah semacam ini pada umumnya dikisahkan secara
berurutan dari orang-orang yang dapat dipercaya.
Karamah di kalangan ahli Sufi dengan “Alamul Mithsal, iaitu antara alam yang
nyata dan alam arwah. Orang yang yang mendapat karamah seperti ini dapat
berubah bentuk dan berpindah tempat dengan bebas. Karamah seperti jenis
ini pernah di alami oleh seorang wali yang bernama Qadhibul Bani. Orang yang
tidak mengenal beliau akan menyangkanya tidak pernah melakukan solat dan
ia membencinya. Pada suatu hari, ketika beliau dicela oleh seorang yang
menyangkanya tidak pernah melakukan solat, di saat itu Allah memperlihatkan
karamahnya, sehingga beliau dapat berubah dalam beberapa bentuk yang
menunjukkan bahawa beliau sedang melakukan solat. Beliau bertanya :
“Dalam gambaran atau bentuk manakah yang kamu lihat aku tidak solat?”
Perkara serupa ini pernah terjadi pula pada seorang wali yang pernah dilihat
oleh seorang ketika beliau sedang berwudhu di Masjid Sayufiah di Cairo. Orang
itu menegur: “Hai orang tua, nampaknya cara kamu berwudhu itu tidak tertib”.
Jawab si wali: “Aku tidak pernah berwudhu dengan cara yang tidak tertib.
Hanya saja anda tidak dapat melihatku, kalau anda dapat melihat, pasti kamu
akan melihat ini”. Beliau berkata demikian sambil memegang tangan orang itu,
sampai ia dapat melihat Ka’bah, kemudian beliau membawanya ke Mekkah
dan menetap di sana selama beberapa tahun.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu
murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang
thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas'aa
dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang
guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketika mendengar
teman-temannya menjawab "Tidak". Kurang puas dengan jawaban mereka, dia
menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : "Siapa
saja yang kamu temui ?" lalu si murid menjawab : "Tuanku... saya melihat
tuanku di sana ". Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : "Orang
besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang
tanah, dia pasti menjawabnya".
Hati
Di antara karamah hati ketika digunakan untuk melakukan ketaatan dan
menjauhi kemaksiatan adalah mampu mengetahui sesuatu sebelum terjadi.
Ibnu 'Arabi berkata, "Ketahuilah anakku, Allah telah menolongmu, menerangi
hatimu, melapangkan dadamu, dan menyucikan pakaian serta hatimu. Segala
karamah yang berkaitan dengan anggota tubuh lainnya merujuk dan kembali
kepada hati. Kalau tidak ada hati, maka seluruh anggota tubuh lainnya tidak
berarti.
Setiap perbuatan berasal dari hati, kalau tidak didasari keikhlasan sebagai
aktivitas hati, maka amal tersebut bagai debu beterbangan, tidak bermanfaat
dan tidak mendatangkan kebahagiaan." Allah berfirman, Padahal mereka tidak
diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus (QS Al-Bayyinah [98]: 5).
Dan Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada
niat, dan tiap-tiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya.
Barangsiapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa berhijrah kepada dunia dan
perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang
menjadi tujuan hijrahnya." Dari sini jelaslah bahwa sudi dan ternodanya semua
perbuatan lahir maupun batin tergantung pada hati. Jadi, gerakan atau
diamnya anggota tubuh untuk menaati syariat dan melakukan maksiat hanya
berdasarkan pada perintah dan kehendak hati.
Gagasan muncul pertama kali di dalam hati. Apabila hati ingin mewujudkan
gagasan itu, maka ia mempertimbangkan anggota tubuh mana yang sesuai
untuk melakukan gagasan itu, lalu hati menggerakkan anggota tubuh yang
dipilihnya untuk mewujudkan gagasan itu, baik untuk ketaatan maupun
kemaksiatan, dan atas anggota tubuh itulah pahala dan siksa diberikan.
Tidakkah kamu merenungkan bagaimana Allah menganggap pandangan
pertama kepada seorang perempuan bukan muhrim yang dilakukan tanpa
sengaja dan tidak diniati dalam hati sebagai suatu hal yang dimaafkan dan
tidak dikenai siksa?
Demikian pula ketika seorang hamba melakukan perbuatan salah tanpa
sengaja, maka Allah benar-benar telah mengampuni perbuatannya itu,
sebagaimana bila hati menghendaki dan berniat melakukan kemaksiatan,
tetapi tidak jadi melakukannya, maka niatnya itu tidak ditulis dan tidak
dihitung, selama belum dilakukan atau hanya sebatas ucapan semata. Adapun
jika hati berniat melakukan ketaatan, maka ia akan diberi ganjaran sesuai
dengan niat dan harapannya, meskipun ia belum melakukan ketaatan yang
telah diniatkannya, niatnya telah ditulis sebagai kebaikan. Bila kamu meyakini
hal ini, maka tetaplah yakin bahwa hati adalah pemimpin raga. Seluruh
karamah yang muncul dari anggota tubuh merujuk kepada hati, dan hati itu
sendiri dapat memunculkan karamah-karamah tertentu.
Karamah hati lainnya adalah Allah Swt. memperlihatkan kepadanya semua
yang tersimpan di dunia, berupa rahasia-rahasia, alasan dan sebab perintah-
Nya, atau apa pun yang mewujud dalam alam, baik spiritual maupun non
spiritual.
Seorang Wali besar Tuan Guru Sapat Syek Abdurraham Siddiq Mufti Kerajaan
Indragiri dimakamkan di desa Hidayat (dekat Sapat) Kec. Kuala Indragiri,
Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau berpendapat bahwa Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid
Mindanao.
Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin
Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al
Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin
Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As
Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali
Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali
Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin
Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin
Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An
Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam
Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina
Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wa Sayyidah Fatimah Az
Zahra binti Rasulullah SAW.
SYEKH KHOLIL BANGKALAN MADURA MURSYID TAREKAT QODIRIYAH
WANNAQSYABANDIYYAH GURU ABAH SEPUH
Berguru Dalam Mimpi
Pada waktu Syeikh Kholil masih muda, ada seorang Kiai yang terkenal di daerah
Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di
lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain,
termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu,
terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan
dipersiapkan, maka berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan
harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu.Tetapi
alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kiai Abu
Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung
duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin. Namun karena tekad belajarnya sangat
menggelora maka Kholil segera sowan ke makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di
makam Abu Darrin, Kholil lalu mengucapkan salam lalu berkata: bagaimana
saya ini Kiai, saya masih ingin berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal
desah Kholil sambil menangis. Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran.
Kemudian bertawassul dengan membaca Al Quran terus menerus sampai 41
hari lamanya.Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu Darrin dalam
mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya
kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta merta dapat
menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.
Di Datangi Macan
Suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santrinya. Anak-
anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren.
Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke
pondok kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang
sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah
timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker.
Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-
tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke
pesantren pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil
menenteng kopor seng.
Sesampainya di depan pintu rumah Syeikh Kholil, lalu mengucap salam.
Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah
berteriak memanggil santrinya ; Hey santri semua, ada macan....macan.., ayo
kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru Syeikh Kholil bak seorang
komandan di medan perang.Mendengar teriakan Syeikh kontan saja semua
santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit,
tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai
nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah.
Namun karena tekad ingin nyantri ke Syeikh Kholil begitu menggelora, maka
keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang
pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga
keesokan harinya. Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini
memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya
pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di
bawah kentongan surau.Secara tidak diduga, tengah malam Syeikh Kholil
datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-
habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Syeikh Kholil. Setelah berbasa-basi
dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima
sebagai santri Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah.
Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama
KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat,
pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab
Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan
maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh Kholil.
Santri Mimpi Dengan Wanita
Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama
Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa
sholat subuh berjamaah. Ketidak ikuts ertaan Bahar sholat subuh berjamaah
bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar
bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar.
Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya. Menjelang subuh,
terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya
berucap:“Santri kurang ajar.., santri kurang ajar.....Para santri yang sudah naik
ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan
siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.
Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di
belakang pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil
menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya ; Siapa santri
yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada menyelidik.Semua santri
merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para
santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata
yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil
memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah
diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada
bahar seraya berkata ; Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah
maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren
dengan petok ini Perintah Kiai Kholil. Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai
menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan
dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu
dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan
memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya
diselesaikan dengan baik. Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai Ucap Bahar dengan
sopan dan rendah hati. Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di
nampan itu sampai habis, Perintah Kiai kepada Bahar.Sekali lagi santri Bahar
dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar melaksanakan
hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai
habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri
Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri
Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap ; Hai santri, semua ilmuku sudah
dicuri oleh orang ini ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan
perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai
Kholil menuju kampung halamannya.Memang benar, tak lama setelah itu,
santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang
sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur.
Kia beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri
yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.
Orang Arab Dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami
jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil
mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura
menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui
tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang
mengetahui kefasihan Bahasa Arab. Habib menghampiri Kiai Kholil seraya
berucap ; Kiai, bacaan Al- Fatihah antum (anda) kurang fasih tegur Habib.
Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib dipersilahkan mengambil wudlu
untuk melaksanakan sholat magrib. Tempat wudlu ada di sebelah masjid itu.
Silahkan ambil wudlu di sana ucap Kiai sambil menunjukkan arah tempat
wudlu.
Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya
macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih
untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib
mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun
macan itu tidak pergi juga.Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai
Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab
keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang
fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai
Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh.
Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud
memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak
antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna
dalam ungkapan itu.
Jawaban Syeikh Kholil kepada tamunya
Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang
ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’,
maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘maliki’
(tanpa alif).Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk
sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Khalil bangkalan.
Ketika itu Kiyahi yang jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu sedang duduk
didalam mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola
sontak saja kiyahi Khalil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki
yaumiddin Habib, teriak Kiyahi Khalil bangkalan menyambut kedatangan Habib
Jindan.
Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu
bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah maaliki
yaumiddin itu. Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya ketika menjelaskan
perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir Thabari.
Tongkat Syeikh Kholil Dan Sumber Mata Air
Suatu hari Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri
menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa
Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat
tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya
ke tanah. Dari arah lobang bekas tancapan Kiai Kholil, memancarlah sumber air
yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus
membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai
untuk minum dan mandi. Kolam yang bersejarah itu sampai sekarang masih
ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar
1 km sebelah selatan kompleks pemakaman Kiai Kholil Bangkalan.
Diposkan oleh Rajanya Para Waliullah Zaman ini Abah Anom di 00:53
AMALIYAH TQN..., AMALKAN SAJA
Pertama : Kalimat Laa ilaaha Ilallah (dzikir Jahar yang kita amalkan), pada
mulanya diletakkan oleh Allah (tertulis) pada tiang tiang 'Arsy dan tidak ada
satupun makhluk yang diciptakan oleh Allah kecuali ruhnya berdzikir dengan
Laa Ilaaha Illallah. Karena kalimat Laa Ilaaha Illallah itu tidak lain merupakan
huruf ALIF, LAM, LAM, HA (ALLAHU). Karena itu talqin dzikir (khofi) yang telah
diisikan oleh Pangersa Abah atau Wakil Talqin yang telah ditunjuk oleh beliau,
merupakan sesuatu perkara yang amat besar. Dalam suatu hadits disebutkan
Laqqiinuu mautaakum laa ilaaha illallah. Ajarkanlah orang yang akan (hampir)
mati dengan laa ilaaha illallah. Hadits ini jangan diartikan kepada orang yang
sedang menghadapi sakaratul maut tapi yang akan mati itu adalah kita sendiri.
Laa ilaaha illallah memberikan kekuatan kepada kita sebagai muslim, laa ilaaha
illallah menghubungkan kita langsung kepada Allah, laa ilaaha illallah
memfanakan diri kita dari dunia yang akan kita tinggalkan, laa ilaaha illallah
yang menjamin diri kita masuk surga, laa ilaaha illallah sebagai kekuatan umat
Islam seperti yang diajarkan selama 12 tahun di Mekkah oleh Rasulullah Saw.
Bilal bin Rabah telah mencontohkan kepada kita bagaimana kekuatan kalimat
tersebut meskipun siksaan-siksaan didapatinya tapi dia tetap berkata, Ahadun,
ahad, Allahu, Allah ... Kita harus mempunyai keyakinan yang sempurna dengan
kalimat tersebut. Karena banyak yang mengucapkan kalimat tersebut tapi tidak
bisa sampai kepada Allah. Sayyidina 'Alipun diajarkan oleh Nabi tentang hal
tersebut sebagai suatu cara yang paling dekat, paling cepat, paling mudah,
paling unggul untuk dekat kepada Allah. Dzikir inilah sebagai benteng kita
untuk menghadapi setiap permasalahan kehidupan dunia. Dengan penuh
kesabaran, keimanan, kegungan kalimat ini, hadapilah semua permasalahan itu
sehingga timbul kesadaran bahwa kita adalah makhluk dan Allah adalah Khaliq.
Kedua Khatam atau khataman. Sebagai murid, hendaknya tidak perlu bertanya
kepada Mursyid tentang amaliyah yang diperintahkan olehnya untuk
mengamalkannya. Dzikir, amalkan saja, Khataman, amalkan saja, makaqiban
amalkan saja, Tanbih amalkan saja. Kalau kita lihat isi dari khataman tersebut,
maka akan tampak bahwa didalamnya terdapat sesuatu perkara dunia yang
tersirat tapi tidak tersurat. Misalnya Allahumma yaa qoodiyal Haajaat. Banyak
hajat dunia yang ingin kita penuhi, tapi dalam khataman tersebut cukup itu
saja yang disampaikan kepada Allah, meskipun pendek tapi penuh dengan
makna. Begitulah orang-orang yang telah berma'rifat kepada Allah
menyampaikan hajatnya. Tidak perlu kita tambah dengan hal-hal lain. Cukup
saja dengan Allahumma yaa qoodiyal Haajaat. Dan seterusnya. Dengan
mengamalkan khataman, berarti kita telah menghubungkan diri dengan para
nabi, para malaikat, para khulafaur rosyidin, para sholihin, para 'ulama, orang
tua kita, kaum muslimin dan lain-lain. Meskipun kalimat-kalimat dalam
khataman pendek-pendek, tapi bisa mengadung seribu makna. Karena itu,
amalkan saja! Itulah yang saya rasakan selama 25 tahun mengamalkannya.
Jangan lupa kuncinya adalah sabar. Insya Allah dengan berkah dzikir dan
khataman setiap permasalah hidup yang kita hadapi akan diberikan jalan
keluar oleh Allah.
Ketiga Manaqiban. Meskipun didalamnya terdapat bermacam-macam
karomah Syekh Abdul Qodur Jailani yang berada diluar kebiasaan manusia, kita
harus percaya, jangan agu-ragu, karena itulah karomah. Di dalam al-Qur'anpun
bermacam-macam keluarbiasaan dari seorang manusia yang telah dimuliakan
oleh Allah bisa kita baca seperti dalam kisah Ashabul Kahfi, kisah Siti Maryam
dan lain-lain. Mereka bukanlah Rasul yang diberikan mu'jizat tapi hanya
seorang yang telah dimuliakan oleh Allah dengan karomahnya dengan
berkahnya. Syekh 'Abdul Qodir Jailani sampai berani mengatakan, barang siapa
yang ingin berhubungan denganku, ingin aku sampaikan kepada Allah
permohonanmu, maka ucapkanlah : Bismillaahi, 'alaa niyyati sayyidi syekh
'abdul Qodir Jailani. Jauh-jauh kita datang ke Suryalaya ini untuk mengikuti
Manaqib Syekh Abdul Qodir Jailani, tidak lain untuk mendapatkan berkah dari
Pangersa Abah dan Syekh Abdul Qodir Jailani.
Yakinkanlah, dengan mengamalkan dzikir, khataman, manaqiban dan amal
shaleh yang lain baik secara lahiriyah maupun batiniah, maka Allah akan
mengabulkan hajat-hajat kita. Amalkan dengan ikhlas dan bersabarlah.
HABIB MUHAMMAD LUTHFI ALI YAHYA

Maulana Habib dilahirkan di Pekalongan pada hari Senin, pagi tanggal


27 Rajab tahun 1367 H. Bertepatan tanggal 10 November, tahun 1947 M.
Dilahirkan dari seorang syarifah, yang memiliki nama dan nasab: sayidah al
Karimah as Syarifah Nur binti Sayid Muhsin bin Sayid Salim bin Sayid al Imam
Shalih bin Sayid Muhsin bin Sayid Hasan bin Sasyid Imam ‘Alawi bin Sayid al
Imam Muhammad bin al Imam ‘Alawi bin Imam al Kabir Sayid Abdullah bin
Imam Salim bin Imam Muhammad bin Sayid Sahal bin Imam Abd Rahman
Maula Dawileh bin Imam ‘Ali bin Imam ‘Alawi bin Sayidina Imam al Faqih al
Muqadam bin ‘Ali Bâ Alawi.
Sementara nasab beliau dari jalur ayah:
Rasulullah Muhammad SAW
Sayidatina Fathimah az-Zahra + Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
Imam Husein ash-Sibth
Imam Ali Zainal Abiddin
Imam Muhammad al-Baqir
Imam Ja’far Shadiq
Imam Ali al-Uraidhi
Imam Muhammad an-Naqib
Imam Isa an-Naqib ar-Rumi
Imam Ahmad Al-Muhajir
Imam Ubaidullah
Imam Alwy Ba’Alawy
Imam Muhammad
Imam Alwy
Imam Ali Khali Qasam
Imam Muhammad Shahib Marbath
Imam Ali
Imam Al-Faqih al-Muqaddam Muhammd Ba’Alawy
Imam Alwy al-Ghuyyur
Imam Ali Maula Darrak
Imam Muhammad Maulad Dawileh
Imam Alwy an-Nasiq
Al-Habib Ali
Al-Habib Alwy
Al-Habib Hasan
Al-Imam Yahya Ba’Alawy
Al-Habib Ahmad
Al-Habib Syekh
Al-Habib Muhammad
Al-Habib Thoha
Al-Habib Muhammad al-Qodhi
Al-Habib Thoha
Al-Habib Hasan
Al-Habib Thoha
Al-Habib Umar
Al-Habib Hasyim
Al-Habib Ali
Al-Habib Muhammad Luthfi
Masa Pendidikan
Pendidikan pertama Maulana Habib Luthfi diterima dari ayahanda al Habib
al Hafidz ‘Ali al Ghalib. Selanjutnya beliau belajar di Madrasah Salafiah. Guru-
guru beliau di Madrasah itu diantaranya:
Ø Al Alim al ‘Alamah Sayid Ahmad bin ‘Ali bin Al Alamah al Qutb As Sayid
‘Ahmad bin Abdullah bin Thalib al Athas
Ø Sayid al Habib al ‘Alim Husain bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar bin Sayid
Thaha bin Yahya (paman beliau sendiri)
Ø Sayid al ‘Alim Abu Bakar bin Abdullah bin ‘Alawi bin Abdullah bin
Muhammad al ‘Athas Bâ ‘Alawi
Ø Sayid ‘Al Alim Muhammad bin Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib al
‘Athas Bâ ‘Alawi.
Beliau belajar di madrasah tersebut selama tiga tahun.
Perjalanan Ilmiah
Selanjutnya pada tahun 1959 M, beliau melanjutkan studinya ke pondok
pesantren Benda Kerep, Cirebon. Kemudian Indramayu, Purwokerto dan Tegal.
Setelah itu beliau melaksanakan ibadah haji serta menjiarahi datuknya
Rasulullah Saw., disamping menimba ilmu dari ulama dua tanah Haram;
Mekah-Madinah. Beliau menerima ilmu syari’ah, thariqah dan tasawuf dari
para ulama-ulama besar, wali-wali Allah yang utama, guru-guru yang
penguasaan ilmunya tidak diragukan lagi.
Dari Guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah Khas (khusus), dan juga
‘Am (umum) dalam Da’wah dan nasyru syari’ah (menyebarkan syari’ah),
thariqah, tashawuf, kitab-kitab hadits, tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu,
kitab-kitab tauhid, tashwuf, bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab
shalawat, kitab thariqah, sanad-sanadnya, nasab, kitab-kitab kedokteran. Dan
beliau juga mendapat ijazah untuk membai’at.

Silsilah Thariqah dan Baiat:

Al Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Yahya mengambil thariqah dan hirqah
Muhammadiah dari para tokoh ulama. Dari guru-gurunya beliau mendapat
ijazah untuk membaiat dan menjadi mursyid. Diantara guru-gurunya itu
adalah:
Thariqah Naqsyabandiah Khalidiyah dan Syadziliah al ‘Aliah

Dari Al Hafidz al Muhadits al Mufasir al Musnid al Alim al Alamah Ghauts az


Zaman Sayidi Syekh Muhammad Ash’ad Abd Malik bin Qutb al Kabir al Imam al
Alamah Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid
Sanad Naqsyabandiayah al Khalidiyah:
Sayidi Syekh ash’ad Abd Malik
dari bapaknya Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid
dari Quth al Kabir Sayid Salaman Zuhdi
dari Qutb al Arif Sulaiman al Quraimi dari Qutb al Arif Sayid Abdullah Afandi
dari Qutb al Ghauts al Jami’ al Mujadid Maulana Muhammad Khalid
sampai pada Qutb al Ghauts al Jami’ Sayidi Syah Muhammad Baha’udin an
Naqsyabandi al Hasni.
Syadziliyah :
Dari Sayidi Syekh Muhammad Ash’Ad Abd Malik
dari al Alim al al Alamah Ahmad an Nahrawi al Maki
dari Mufti Mekah-Madinah al Kabir Sayid Shalih al Hanafi ra.
Thariqah al ‘Alawiya al ‘Idrusyiah al ‘Atha’iyah al Hadadiah dan Yahyawiyah:

Dari al Alim al Alamah Qutb al Kabir al Habib ‘Ali bin Husain al ‘Athas.
Afrad Zamanihi Akabir Aulia al Alamah al habib Hasan bin Qutb al Ghauts
Mufti al kabir al habib al Iamam ‘Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Bâ
‘Alawi.
Al Ustadz al kabir al Muhadits al Musnid Sayidi al Al Alamah al Habib
Abdullah bin Abd Qadir bin Ahmad Bilfaqih Bâ ‘Alawi.
Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Ali bin Sayid Al Qutb Al Al Alamah
Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
Al Alim al Arif billah al Habib Hasan bin Salim al ‘Athas Singapura.
Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar
bin Salim Bâ ‘Alawi.

Dari guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah dan
ijazah untuk baiat, talqin dzikir khas dan ‘Am.

Thariqah Al Qadiriyah an Naqsyabandiyah:

Dari Al Alim al Alamah tabahur dalam Ilmu syaria’at, thariqah, hakikat dan
tashawuf Sayidi al Imam ‘Ali bin Umar bin Idrus bin Zain bin Qutb al Ghauts al
Habib ‘Alawi Bâfaqih Bâ ‘Alawi Negara Bali.
Dari Sayid Ali bin Umar dari Al Alim al Alamah Auhad Akabir Ulama Sayidi
Syekh Ahmad Khalil bin Abd Lathif Bangkalan. ra.

Dari kedua gurunya itu, al Habib Muhammad Luthfi mendapat ijazah menjadi
mursyid, hirqah, talqin dzikir dan ijazah untuk bai’at talqin.

Jami’uthuruq (semua thariqat) dengan sanad dan silsilahnya:

Al Imam al Alim al Alamah al Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain


Syekh Muhammad al Maliki bin Imam Sayid Mufti al Haramain ‘Alawi bin Abas
al Maliki al Hasni al Husaini Mekah.

Dari beliau, Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah mursyid, hirqah, talqin
dzikir, bai’at khas, dan ‘Am, kitab-kitab karangan syekh Maliki, wirid-wirid,
hizib-hizib, kitab-kitab hadis dan sanadnya.

Thariqah Tijaniah:
Dari Al Alim al Alamah Akabir Aulia al Kiram ra’su al Muhibin Ahli bait Sayidi
Sa’id bin Armiya Giren Tegal. Kiyai Sa’id menerima dari dua gurunya; pertama
Syekh’Ali bin Abu Bakar Bâsalamah. Syekh Ali bin Abu Bakar Bâsalamah
menerima dari Sayid ‘Alawi al Maliki. Kedua Syekh Sa’id menerima langsung
dari Sayid ‘Alawi al Maliki.
Dari Syekh Sa’id bin Armiya itu Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah, talqin
dzikir, dan menjadi mursyid dan ijazah bai’at untuk khas dan ‘am.

Kegiatan-kegiatan Maulana Habib:

Pengajian Thariqah tiap jum’at Kliwon pagi (Jami'ul Usul thariq al Aulia).
Pengajian Ihya Ulumidin tiap Selasa malam.
Pengajian Fath Qarib tiap Rabu pagi(husus untuk ibu-ibu)
Pengajian Ahad pagi, pengajian thariqah husus ibu-ibu.
Pengajian tiap bulan Ramadhan (untuk santri tingkat Aliyah).
Da’wah ilallah berupa umum di berbagai daerah di Nusantara.
Rangakain Maulid Kanzus (lebih dari 60 tempat) di kota Pekalongan dan
daerah sekitarnya. Dan kegiatan lainnya.

Jabatan Organisasi:

Ra’is ‘Am jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah.


Ketua Umum MUI Jawa Tengah dll.

KH Muhammad Sami’un
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH
Keberadaan Pondok Pesantren Parakan Onje Purwokerto yang kini dikenal
dengan Pesantren Ath-Thohiriyyah, tak dapat dilepaskan dari sosok KH
Muhammad Sami’un. Pasalnya, beliaulah yang mula pertama melakukan
babad ke-Islam-an di wilayah ini. Siapakah KH Muhammad Sami’un itu? Beliau
adalah putera K Muhammad Maksum, seorang katib di Purwokerto yang hidup
semasa penjajahan Belanda. Sami’un kecil mengenyam pendidikan formal di
bangku HIS dan MULO. Ilmu pengetahuan agama diperolehnya dari Kyai Imam
Tabri Kauman. Setamat MULO, Sami’un muda bekerja pada Pemerintah
Belanda, menangani proyek pembangunan rel kereta api jurusan Purwokerto-
Jakarta. Saat berada di Jakarta, yakni ketika sedang memberesi tempat tidur,
Sami’un dikejutkan oleh seekor kalajengking yang muncul dari balik kasur.
Sejak saat itu, bayangan akan siksa kubur bergelayut di benaknya. Pengalaman
rohani ini membuatnya berkeputusan berhenti kerja, dan putar haluan untuk
mendalami ilmu agama.
Berbekal gaji yang ditabungnya semasa kerja, Sami’un menjalani kehidupan
baru sebagai santri. Pertama-tama yang ditujunya adalah Pesantren Lirap
Kebumen yang dikenal sebagai pesantren alat (nahwu). Hafalan kitab
Jurumiyah, Imriti dan Alfiyah dikhatamkan dalam tempo tiga bulan. Di
pesantren ini, Sami’un berguru kepada Kyai Ibrahim selama dua tahun (1911-
1913). Selepas dari Lirap, ia melanjutkan ke Pesantren Termas untuk berguru
pada KH Dimyati (1914-1924). Semasa di Termas, secara temporer Sami’un
menyempatkan ngaji kitab Ihya Ulumaddin pada KH Abdullah bin Abdul
Muthalib di Kaliwungu Kendal.
Pergi ke Tanah Suci adalah tekad yang ingin segera ia wujudkan. Lantas, ia
melamar sebagai juru bahasa bagi kapal-kapal yang masuk ke Serawak. Hasil
tes wawancara mensyaratkan, ia akan diterima kerja jika sudah berkeluarga.
Maka, ia segera kembali ke kampung halaman untuk menikah dan memboyong
sang isteri (Sartinah) ke Serawak. Bekerja di Serawak adalah pilihan sebagai
batu loncatan menuju Mekkah. Lima tahun lamanya Sami’un-Sartinah tinggal
di negeri orang (1925-1930). Tahun 1929 mereka dikaruniai momongan yang
pertama dan diberi nama Abu Hamid (Pengasuh Pesantren Al-Ikhsan Beji
Purwokerto).
Saat mengandung putera kedua, Sartinah mendesak sang suami agar pulang ke
tanah air. Sejak 1930, KH Sami’un beserta keluarga kembali ke Purwokerto dan
memulai berdakwah di Masjid Wakaf Sokanegara. Sepuluh tahun lamanya KH
Sami’un mengajar para santri di Sokanegara, sebelum akhirnya hijrah ke
Parakan Onje pada 1940.
KH Sami’un menetap di Parakan Onje hingga akhir hayatnya pada 23 Ramadan
1372. Sepeninggal almarhum, para santrilah yang meneruskan dakwah beliau
di kemudian hari. Mereka antara lain KH Zaid Abu Mansyur (Lesmana), KH
Muhyiddin (putera menantu), Kiai Dimyati dan Kiai Abdul Ngalim (Kober), Kiai
Romli (Pasir Kulon), Kiai Sulaeman, Kiai Ishak, dan lain-lain. KHM Sami’un juga
dikenal sebagai mursyid tarekat Syadziliyyah. Ijazah wirid tarekat ini diperoleh
dari KH Abdullah bin Abdul Muthalib Kaliwungu (Kendal). Penerus tarekat
beliau adalah KH Zaid Abu Mansyur Lesmana dan KH Abu Hamid Beji.
Meski fasih berbahasa asing, terutama bahasa Belanda dan Arab, KH Sami’un
lebih suka mengajar para santri dengan Bahasa Jawa. Bahkan, beberapa karya
almarhum ditulis dalam dalam bahasa Arab-Jawa, seperti Lubabuz Zaad, Aqoid
50, Terjemah Yasin dan Doa Sholat Bahasa Jawa.
SYAIKH ABDUL MALIK BIN ILYAS
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH

Beliau adalah sosok ulama yang cukup di segani di kebumen propinsi


jawa tengah,Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua thariqah
besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan
Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah
telah ia peroleh secara langsung dari ayah beliau yakni Syaikh Muhammad
Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari As-Sayyid
Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik
memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an
dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalwat sebanyak 16.000 kali dalam
setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang
diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering disebut shalawat
rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang
sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau.
Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan
lain-lain.Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang
sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian
dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila
masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan
menghormatinya.Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik
dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang
telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid
(Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi
Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin
Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul
pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib
Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan
orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum
‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan
jamaah pun terkejut melihatnya.Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib
Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh
Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein
berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar
Wali Allah.”Asy-Syaikh Abdul Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada
hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1881). Nama kecilnya adalah Muhammad Ash’ad
sedang nama Abdul Malik diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika
ia menunaikan ibadah haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik
telah memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua
orang tuanya dan saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas
terutama dengan KH Muhammad Affandi.Setelah belajar Al-Qur’an dengan
ayahnya, Asy-Syaikh kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH Abu
Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika
Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke
Mekkah untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin
ilmu agama diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh,
Tasawuf dan lain-lain.
Asy-Syaikh belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih
selama limabelas tahun.Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan
Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid
Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul
Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Tha bin Yahya Al-Magribi (ulama
Hadramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya,
Sayid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-
Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada
Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin
Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), Kyai
Soleh Darat (Semarang).Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid
Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin
Raidwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi Al
Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayid Ali Ridha.Setelah
sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh
Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada
keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut).
Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas
berpulang ke Rahmatullah.Sesudah sang ayah wafat, Asy-Syaikh Abdul Malik
kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah
wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat
pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Asy Syaikh
berusia tiga puluh tahun.Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal
lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai
Zainab. Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah
haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka
bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan
dalam rentang waktu yang cukup lama.Sehingga wajarlah kalau selama
menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama
dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh
Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi
Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk
mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa
sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di
dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah
Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar Al-
‘Allamah.Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto,
seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan
mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta
barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah
Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori
(Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai
yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh
Abdul Malik.Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia
juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja.
Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahiem kepada murid-muridnya
yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa
sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuhwaluh, Bojong dan lain-
lain.Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau
dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-
bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada
mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahiem
para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung paruk yang
diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).Murid-
murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH
Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah
sekarang), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta),
KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya
(Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.Sebagaimana
diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul
Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya Al-Alamah Syaikh
Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau,
baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin.”Diantara warisan beliau yang
sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut
thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu Al-
Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-
majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”Shalawat ini
diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani Al-
Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak,
diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu
al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak
bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.Syaikh Abdul Malik wafat pada hari
Kamis, 2 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) dan dimakamkan keesokan
harinya lepas shalat Ashar di belakang masjid Baha’ul Haq wa Dhiya’uddin,
Kedung Paruk Purwokerto
SYAIKH NAHROWI DALHAR
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH

Kiai Haji Nahrowi Dalhar atau Mbah Dalhar dikenal sebagai ulama yang
mumpuni. Belum lama ini sosok Kiai Ahmad Abdul Haq meninggal dunia. Kiai
kharismatik ini adalah putra dari kiai Dalhar yang juga dikenal sebagai salah
satu wali yang masyhur di tanah Jawa. Mbah Dalhar begitu panggilan akrabnya
adalah mursyid tarekat Syadziliyah dan dikenal sebagai seorang yang wara’ dan
menjadi teladan masyarakat.
Kiai Haji Dalhar , Watucongol, Magelang dikenal sebagai salah satu guru para
ulama. Kharisma dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk
menimba ilmu. Mbah Dalhar , begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang
disegani sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu
mursyid tarekat Syadziliyah ini dikenal juga menelorkan banyak ulama yang
mumpuni.
Mbah Dalhar dilahir kan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12
Januari 1870 M) di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir
dalam lingkungan keluarga santri yang taat. Sang ayah yang bernama
Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo adalah cucu dari Kyai Abdurrauf.
Kekeknya mbah Dalhar dikenal sebagai salah seorang panglima perang
Pangeran Diponegoro. Adapun nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada
Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai
keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan
Raden Bagus Kemuning.
Semasa kanak – kanak, Mbah Dalhar belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar
ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri. Pada usia 13 tahun baru mondok di
pesantren. Ia dititipkan oleh ayahnya pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu
sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di
bawah bimbingan Mbah Mad Ushul , ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih
2 tahun.
Kemudian tercatat juga mondok di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu,
Kebumen pada umur 15 tahun. Pesantren ini dipimpin oleh Syeikh As Sayid
Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya
Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Selama delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar
di pesantren ini. Selama itulah Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh.
Hal itu terjadi atas dasar permintaan ayahnya kepada Syeikh As Sayid Ibrahim
bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Jalan Kaki dan Pemberian Nama Baru
Tidak hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah
Mukaramah berliau berguru kepada beberapa alim ulama yang masyhur.
Perjalalannya ke tanah suci untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314
H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim
bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya
Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh
As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani berkeinginan menyerahkan
pendidikan puteranya kepada shahib beliau yang menjadi mufti syafi’iyyah
Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Keduanya berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui
pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Ada sebuah kisah menarik tentang
perjalanan keduanya. Selama perjalanan dari Kebumen da singgah di Muntilan
, kemudian lanjut sampai di Semarang, Mbah Dalhar memilih tetap berjalan
kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Hal ini
dikarenakan sikap takdzimnya kepada sang guru. Padahal Sayid Abdurrahman
telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Di Makkah
(waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman
tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman
dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As Sayid Muhammad
Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan
para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah
dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar
diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai
waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian
memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau
memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli
beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As
Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt,
mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan
nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.
Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah
kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan
ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana
kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang
memasyhurkan.
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah.
Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama
ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab
dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi
nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau
ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah
Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3
tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau
melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja
serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya,
beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk mendoakan para
keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah
suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah
Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar
juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirrnya
ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh
siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH
Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan
hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ;
dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq. Sahrallayal
(meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai
Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi
bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Murid dan Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar
secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab
tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar
As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu
sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang
sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH
Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-
Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar
di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat
tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru
kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH
Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dan lain
sebagainya. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai
Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau
bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat
pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu
namun jatuh hari Kamis Pahing. http://www.sufinews.com/index.php/Tokoh-
Sufi/waliyullah-gunung-pring.sufi
Mbah Kyai Dalhar PART II
Mbah Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol,
Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 –
Je (12 Januari 1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan
nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama
Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah
seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo
sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh
karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain
dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau
memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam
kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika beliau hidup menyepi
didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal
dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang putera beliau yang
bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu
agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau
untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak
hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan
wilayah Magelang dari penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang
bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan
teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan
figure – figure yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda
sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad dimasyarakat. Menilik dari kelebihan
yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar
Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah
Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh
Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun
sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.
Pesantren Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama
Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang
sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring).
Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai Dalhar, beliau juga meneruskan
pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga dieser kearah
sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol. Adapun kisah ini
ada uraiannya secara tersendiri.
Ta’lim dan rihlahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup
kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan
oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak –
kanaknya, beliau belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada
ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai
Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad
Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo,
Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid
selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok
Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun.
Oleh ayahnya, mbah Kyai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh
As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan
laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar
belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem
pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayah beliau sendiri pada
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh
gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani
untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid
Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam
kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas
ketaatan dan keta’dziman mbah Kyai Dalhar pada gurunya. Namun akan kita
tulis pada segmen lainnya.
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan
menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-
Jilani Al-Hasani kepada shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi
mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-
Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid
Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kyai Dalhar berangkat ke Makkah
dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.
Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan
kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kyai Dalhar
kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun
kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman
telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun
itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar. Subhanallah.
Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar
dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal)
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid
Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh
gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin
mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu
mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut
hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian
memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau
memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli
beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt,
mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan
nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.
Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah
kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan
ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana
kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang
memasyhurkan nama beliau di Jawa.
Riyadhah dan amaliahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah.
Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama
ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab
dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi
nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau
ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah
Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3
tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau
melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja
serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya,
beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para
keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah
suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah
Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar
juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya
ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh
siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH
Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan
hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ;
dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah
Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi
bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Karamahnya
Sebagai seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah.
Diantara karamah yang dimiliki oleh beliau ialah :
* Suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar
300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara
* Mengetahui makam – makam auliyaillah yang sempat dilupakan oleh para
ahli, santri atau masyarakat sekitar dimana beliau – beliau tersebut pernah
bertempat tinggal
* Dll
Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara
umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab
tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar
As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu
sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang
sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH
Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-
Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar
di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat
tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Murid – muridnya
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru
kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH
Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll.
Wafatnya
Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat
pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan
dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23
Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun
jatuh hari Kamis Pahing. Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq
(putera laki-laki mbah Kyai Dalhar), yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat
pada hari Rabu Pon.
Al-Habib Umar bin Salim bin Hafiz
MURSYID TAREKAT QODIRIYYAH

Al-Imam Al-’Arifbillah Al-Musnid Al-Hafidz Al-Mufassir Al-Habib Umar bin


Muhammad bin Hafidz. Beliau adalah Al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad
putera dari Salim putera dari Hafidz putera dari Abdallah putera dari Abi Bakr
putera dari‘Aidrous putera dari Al-Hussain putera dari Al-Syaikh Abi Bakr
putera dari Salim putera dari ‘Abdallah putera dari ‘Abdarrahman putera dari
‘Abdallah putera dari Al-Syaikh ‘Abdarrahman Assaqof putera dari Muhammad
Maula Al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari Al-Faqih Al-
Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib Al-
Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad
putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari Al-Imam Al-Muhajir
Ilallah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali Al-‘Uraidi
putera dari Ja’far Asshadiq putera dari Muhammad Al-Baqir putera dari ‘Ali
Zainal ‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali
putera dari Abu Talib dan Fatimah Azzahra puteri dari Rasul Muhammad
SAWW.
Beliau terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman
yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para
ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad.
Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan
kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang
terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin
Syaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual
Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan
pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara
tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal,
semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua kakek beliau,
Al-Habib Salim bin Hafiz dan Al-Habib Hafiz bin Abdallah yang merupakan para
intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim
pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-
Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim
disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari
lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.
Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia
juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai
ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan
yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti
Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan Syaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama
lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun
mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari
ayahnya yang meninggal syahid, Al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya
didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan
bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu
memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam
lingkaran ilmu dan dhikr. Namun secara tragis, ketika Al-Habib ‘Umar sedang
menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan
komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih
membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat
lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk
meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama
seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di
masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera
dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh
perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan
da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan
ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda
maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai
kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu
tradisional. Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga
ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih
muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya
dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota Al-Bayda’ yang terletak di
tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan
mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda. Disana dimulai babak penting
baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di Al-Bayda’ ia mulai
belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia Al-Habib
Muhammad bin ‘Abdullah Al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga
dibawah bimbingan ulama madzhab Shafi‘i Al-Habib Zain bin Smith, semoga
Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai
seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya
yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.
Kali ini tempatnya adalah Al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa
disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk
mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul SAW pada hati mereka
seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-
orang dibimbing, usaha beliau yang demikian gigih mulai menunjukkan hasil
yang besar, mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang
sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal,
namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar
bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka
sebagai orang Islam, mengenakan sorban dan mulai memusatkan perhatian
mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Rasul SAWW. Sejak saat
itu, sekelompok besar orang-orang yang telah mengikuti beliau mulai
berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah
maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun
kecil di Yaman Utara. Pada masa ini beliau mulai mengunjungi kota-kota
maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, beliaupun
belajar ilmu dari mufti Ta‘iz Al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai
menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia
mendapatkan perlakuan yang sama dari Syaikh Al-Habib Muhammad Al-
Haddar, sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah
menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan
kepintaran yang agung.
Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan
ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul SAWW di
Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk
mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari Al-
Maghfurlah Al-Qutub Al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad Assaqaf yang
menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda
yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya SAWW dan sungguh-sungguh
tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat
manusia sehingga beliau dicintai oleh Al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru
besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan
dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni Al-Habib Ahmed Mashur Al-Haddad
dan Al-Habib ‘Attas Al-Habsyi.
Sejak itulah nama Al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama
dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan
memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan
ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau,
bahkan sebaliknya, beliau mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-
tujuan mulia dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap
saat dipenuhi dengan mengingat Allah SWT dan Rasul SAW dalam berbagai
situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap
membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah
menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga
membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.
Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju
pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari
sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk
menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya
dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan
kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang
disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran
beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat Al-Mustafa.
Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan,
dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti
kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan.
Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari
tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental
agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan
yang benar serta melarang yang salah. Dar-Al-Mustafa menjadi hadiah beliau
bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang
dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan
berkumpulnya para murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota
yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis.
Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro,
Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga
negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara
langsung oleh Habib Umar bin Hafiz. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa
di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen Al-Habib Umar akan
menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia.
Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim Yaman, dimana beliau mengawasi
perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah
dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif
dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau
meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di
seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya. Sumber:
http://hotarticle.org/al-habib-umar-bin-hafiz/
KH. TUBAGUS MUHAMMAD FALAK
MURSYID TAREKAT QODIRIYYAH WANNAQSYABANDIYYAH
KH. Tubagus Muhammad Falak bin KH. Tubagus Abbas adalah seorang kiai
kharismatik yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren dan
kemudian dikenal luas Oleh kalangan masyarakat sebagai pemimpin rohani
dalam gerakan sufi sebagai mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
yang mengambil ijazah langsung dari Syekh Abdul Karim Banten. Beliau adalah
tokoh agama yang dikenal pula karena keahliannya dalam ilmu kasyaf yang
memiliki kedalaman ilmu agama dan memiliki keluhuran budi pekerti yang
secara langsung dirasakan oleh masyarakat luas.
KH. Tubagus Muhammad Falak dilahirkan pada tahun 1842 di Sabi, pandeglang
banten. Sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan agama Islam dari orang
tuanya. Ayahnya KH. Tubagus Abbas adalah kiai pemimpin pesantren yang
hidup dari hasil bertani dan sangat aktif dalam melakukan kegiatan dakwah
dan syiar Islam di daerah pandeglang dan sekitarnya bersama isterinya yaitu
Ratu Quraisyn.
Secara garis kuturunan, KH.Tubagus Muhammad Falak tidak saja berasal dari
keturunan kiai pesantren, tetapi juga keturunan dari keluarga kesultanan
Banten melalui ayah beliau, KH. Tubagus Abbas. Silsilah keturunan beliau
sarnpai kepada salah seorang dari sembilan wali yang memiliki putera bernama
Sultan Maulana Hasanuddin Banten yaitu Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal
dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Kebangsawanan beliau diperkuat pula oleh
garis keturunannya dari sang ibu yaitu Ratu Quraisyn yang masih merupakan
keturunan Sultan banten.
Dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga pesantren di Sabi,
pandeglang banten menjadi awal yang sangat berpengaruh dalam perjalanan
hidup beliau. Suasana keagamaan serta bimbingan agama Islam yang diberikan
oleh orangtuanya semasa kecil sangat mempengaruhi pembentukan karakter
dan semangat KH. Tubagus Muhammad Falak untuk menuntut ilmu
pengetahuan agama Islam serta mengamalkan ilmu tersebut demi kepentingan
masyarakat luas.
Setelah selesai mempelajari beberapa kitab dalam bidang bahasa, fiqh dan
terutama aqidah dari orangtuanya hingga usia 15 tahun, KH. Tubagus
Muhammad Falak yang sejak kecil mempelajari Al-Quran dan tergolong cerdas
dalam menyerap pengetahuan Islam serta pintar dalam menguasai ilmu
beladiri ini pernah memperdalam pengetahuan agamanya di Cirebon dan
beberapa ulama banten diantaranya Syekh Abdul Halim Kadu Peusing atas
anjuran KH. Tubagus Abbas.
Di usia 15 tahun tepatnya pada tahun 1857, MH. Tubagus Muhammad Falak
diberangkatkan oleh orangtuanya ke Mekah untuk menunaikan lbadah haji dan
menuntut berbagai bidang ilmu perngetahuan agama di sana. Selama mukim
di Mekkah beliau bertempat tinggal bersama salah seorang gurunya yang
merupakan ulama besar lndonesia bernama Syekh Abdul Karim banten sesuai
dengan anjuran salah seorang gurunya selama di Banten yaitu Syekh Sohib
Kadu Pinang.
Mula-mula KH. Tubagus Muhammad Falak belajar ilmu tafsir Quran dan fiqh
kepada Syekh Nawawi Al-Bantany dan Syekh Mansur Al-Madany yang
keduanya berasal dari Indonesia. Dalam bidang ilmu Hadist beliau belajar
kepada Sayyid Amin Qutbi dan dalam ilmu tasawwuf beliau belajar kepada
Sayyid Abdullah Jawawi. Sedangkan dalam ilmu falak beliau belajar kepada
seorang ahli ilmu falak bernama Sayyid Affandi Turki. Khusus dala ilmu fiqh,
beliau belajar kepada Sayyid Ahmad Habasy, dan Sayyid Umar Baarum. Setelah
dewasa KH. Tubagus Muhammad Falak memperdalam ilmu hikmat dan ilmu
tarekat kepada Syekh Umar Bajened, ulama dari Mekkah dan Syekh Abdul
Karim dan Syekh Ahmad Jaha yang keduanya berasal dari Banten. Di bidang
fiqh beliau belajar pula kepada Syekh Abu Zahid dan Syekh Nawawi Al-
Falimbany. Di samping nama-nama di atas, selama di Mekkah beliau juga
menuntut ilmu di bawah bimbingan ulama-ulama besar lainnya antara lain:
Syekh Ali Jabrah Mina, Syekh Abdul Fatah Al-Yamany. Syekh Abdul Rauf Al-
Yamany. dan Sayyid Yahya Al-Yamany. Bahkan selama di Indonesia, baik
sebelum pergi maupun pada saat kembali dari Mekkah, KH. Tubagus
Muhammad Falak berguru dan memperdalam ilmu pengetahuan kepada
beberapa ulama besar banten diantaranya Syekh Salman, Syekh Soleh Sonding.
dan Syekh Sofyan.
Selama berada di Timur tengah, KH.Tubagas Muhammad Falak berkunjung ke
Baghdad Irak dan sempat berguru kepada ulama Mekkah yang sedang berada
di Baghdad yaitu Syekh Zaini Dahlan. Di sana beliau pernah berziarah ke
makam Syekh Abdul Qodir Jailani. Sedangkan selama berada di Madinah beliau
berziarah ke makam Nabi Besar Muhammad SAW. Selama mukim pertama di
Mekkah dan Madinah, KH.Tubagus Muhammad Falak seangkatan dengan
Syekh Kholil Bangkalan yang pada periode yang sama tepatnya sekitar tahun
1860-an menuntut ilmu di Mekkah. Setelah periode mukim pertama di Mekkah
selama kurang lebih 21 tahun lamanya, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali
ke Nusantara pada tahun 1878.
Dalam konteks pergerakan kebangsaan melawan penguasa kolonial, dalam
salah satu keterangan disebutkan bahwa KH.Tubagus Muhammad falak
menjadi salah satu kiai banten yang turut aktif dalam pemberontakan petani
banten 1888 yang dimotori oleh para kiai tarekat, diantaranya Syekh Abdul
Karim, KH. Asnawi Caringin, KH. Tubagus Wasid dan KH.Tubagus lsmail. Akibat
aktifitas politik tersebut beliau menjadi salah seorang yang menjadi sasaran
untuk ditangkap oleh Belanda. Periode tersebut bertepatan dengan periode
kepulangan beliau dari timur tengah ke Nusantara.
Pada tahun 1892, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji dan kembali memperdalam ilmu di sana hingga
menjelang awaI abad ke-20 dan mengalami masa kebersamaan dalam kurun
waktu yang sama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, kedua
tokoh agama pendiri dua organisasi besar di Nusantara yaitu Nahdlatul Ulama
dan Muhammadiyah. selama berada di Mekkah dan Madinah pada periode
pertama dan kedua, beliau sangat dikenal oleh para ulama baik seangkatan
maupun angkatan yang lebih muda khususnya yang berasal dari berbagai
daerah di Nusantara yang sedang menuntut dan memperdalam ilmu di sana.
Kemudian pada awal abad 20 setelah kepulangannya dari Timur Tengah, KH.
Tubagus Muhammad Falak memulai aktititas pendirian pesantren setelah
melalui masa perintisan yang cukup panjang baik setelah melalui aktititas
dakwah dan syiar Islam sejak dari pandeglang hingga ke pelosok-pelosok di
daerah bogor dan sekitarnya maupun setelah merintis pengajian di daerah
pagentongan.
Pendirian Pesantren Al-Falak di pagentongan bogor oleh KH. Tubagus
Muhammad Falak merupakan perwujudan akhlak yang ditunjukan oleh beliau
sebagai seorang ulama yang telah mengalami perjalanan intelektual dan
spiritual yang panjang di Timur Tengah untuk memberikan pendidikan dan
pengajaran kepada masyarakat serta mernberikan penerangan-penerangan
bagi ummat dalam hal keislaman. begitu banyak kalangan yang datang kepada
beliau untuk menjadikan dirinya sebagai guru yang dipandang memiliki
kedalaman dan keluasan ilmu pengetahuan agama Islam.
Dan begitu banyak pula para santri yang telah mendapatkan bimbingan beliau
menjadi kiai, tokoh agama yang merupakan pendiri dan pemimpin pondok
pesantren dan majelis ta`lim serta guru-guru agama Islam yang tersebar di
berbagai pelosok di Indonesia dan Mancanegara. bahkan banyak pula para
santri beliau yang telah menjadi birokrat dan politisi di Indonesia.
Khusus dalam konteks pergerakan, aktifitas KH. Tubagus Muhammad Falak
dalam gerakan kebangsaan semakin terlihat mantap ketika beliau semakin
banyak berinteraksi dengan para tokoh pergerakan nasional dari berbagai
kalangan diantaranya H.O.S Cokroaminoto, Ir. Soekarno, dan berbagai tokoh
pergerakan nasional lainnya. kemudian pada masa sebelum dan masa revolusi
fisik 1945-1949, KH. Tubagus Muhammad Falak telah tercatat sebagai salah
searang ulama besar Indonesia yang menjadi tokoh Spiritual dalam bidang
kerohanian di laskar Hizbullah yang pelatihannya berpusat di daerah Cibarusa
dan pemimpin spiritual di bogor yang senantiasa membangkitkan semangat
Jihad fii Sabilillah melawan penjajah untuk membela dan mempertahankan
republik Indonesia. Pada masa-masa kritis beliau banyak didatangi oleh banyak
masyarakat dari kalangan sipil dan militer untuk meminta keberkahan atas
karomah yang diyakini di miliki oleh beliau.
Peran beliau tersebut secara langsung telah mendorong semangat dan
kemantapan rakyat khususnya di daerah bogor untuk memperjuangkan
Republik Indonesia sebagai negeri berdaulat. Karena aktifitas perlawanan
tersebut, pasukan belanda yang berada di bogor melakukan penyerangan ke
Pagentongan yang mengakibatkan wafatnya. tujuh orang warga Pagentongan.
Setelah melakukan aksi penyerangan tersebut pasukan belanda kemudian
menangkap KH. Tubagus Muhammad Falak dan sebagian besar warga
Pagentongan yang kemudian dipenjarakan di daerah Gilendek. Namun atas
kehendak Allah SWT dan atas wasilah pengaruh KH. Tubagus Muhammad Falak
yang sangat besar di masyarakat dan dikhawatirkan dapat membangkitkan
semangat perlawanan yang lebih besar lagi maka KH. Tubagus Muhamrnad
Falak kemudian dibebaskan bersama warga lainnya.
Selama hidupnya KH. Tubagus Muhammad Falak yang dikenal sebagai tokoh
kharismatik yang memiliki pengaruh yang sangat mendalam di Masyarakat
serta menjadi pusat kunjungan para tokoh politik dari kalangan sipil maupun
militer dan tokoh agama di tingkat lokal dan nasional serta para ulama dan
masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang berkunjung
kepada beliau untuk berbagai macam keperluan, bersilaturahmi, menuntut
ilmu, meminta keberkahan, dan beramah tamah dengan beliau. Selama
hidupnya, KH. Tuhagus Muhammad Falak telah memenuhi fungsi sosial sebagai
seorang ulama yang memberikan pengobatan dengan metode spiritual healing
yaitu suatu usaha penyembuhan penyakit dengan iman dan keyakinan. Adapun
gelar falak yang selama hidupnya melekat pada beliau rnerupakan gelar yang
diberikan oleh gurunya yang bernama Sayyid Affandi Turki oleh karena
kecerdasan dan keahlian beliau dalam menguasai ilmu hisab dan ilmu falak
yang diajarkan oleh gurunya tersebut. Beliau yang dikenal di Mekkah dengan
sebutan Sayyid Syekh Muhammad Falak ini selama hidupnya memiliki
hubungan interaksi yang amat luas dan memiliki kedekatan dengan ulama-
ulama besar di dalam dan luar Nusantara yang sebagian besar pernah
berkunjung kepada beliau di Pagentongan antara lain: Syekh Abdul Halim
Palembang, Syekh Abdul Manan Palembang, Syekh Abdul Qodir Mandailing,
Syeikh Ahmad Ambon, Syekh Daud Malaysia, Tuan Guru Zainuddin Lombok,
Guru Zaini Ghoni Martapura, Habib Soleh Tanggul Jawa Timur, Habib Umar
Alatas, Habib Idrus Pekalongan, Habib Ali Al-Habsy Kwitang, Habib Abu Bakar
Kwitang dan para habaib dan kiai dari berbagai daerah lainnya di Nusantara.
Ayahandanya KH. Tubagus Abas dikenal sebagai seorang ulama besar di
Banten. Ia sebagai pendiri dan pemimpin pondok pesantren Sabi, hampir
separuh usianya dihabiskan untuk mendidik santri-santrinya. Dari beliaulah
pertama kali KH. Falak mendapat pendidikan dalam bidang baca tulis Al
Qur’an, Sufi dan terutama pemantapan Aqidah Islam, bahkan karena cintanya
kepada ilmu, di usianya yang masih muda, K.H Falak sempat mengembara
selama 15 tahun untuk menggali dan menuntut ilmu ke beberapa ulama besar
yang ada di daerah Banten dan Cirebon.
Melalui garis keturunan dari Ayahnya. KH Falak berasal dari keturunan
keluarga besar kesultanan di Banten, bahkan merujuk kepada silsilah
keluarganya, KH. Falak termasuk keturunan salah seorang mubalighin utama
(Walisongo) yang memiliki putra bernama Syarif Hidayatullah atau lebih
dikenal dengan gelar Sunan Gunung Djati. Selama di Mekah KH. Falak tinggal
bersama Syekh Abdul Karim, dari Syeh Abdul Karim hingga akhirnya
mendapatkan kedalaman ilmu tarekat dan tasawuf, bahkan oleh Syekh Abdul
Karim yang dikenal sebagai seorang Wali Agung dan ulama besar dari tanah
Banten yang menetap di Mekah itu. KH. Falak dibai’at hingga mendapat
kepercayaan sebagai mursyid (guru besar) Thoriqoh Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah.
Pada tahun 1878. KH Falak kembali ketanah air. Selama beberapa pekan
K.H. Falak tinggal di tempat kelahirannya Pandeglang Banten dan mendapat
kepercayaan untuk memimpin pesantren Sabi yang ditinggalkan oleh ayahnya.
Tetapi seperti pada umumnya perjalanan seorang mubalighin, aktivitas da’wah
dan tablignya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam tidak akan terhenti
sampai disana demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh KH Falak, sebagai
wujud untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmunya, sejak tahun itu juga
beliau mulai melancarkan aktivitas tablig dan da’wah secara estafet. Dimulai
dari daerah Pandeglang, Banten hingga sampai ke Pagentongan Bogor dan
bermukim disana hingga wafatnya.
Selanjutnya Abah Falak menikah dengan seorang putri Pagentongan yang
bernama Hajah Siti Fatimah dan mempunyai seorang putra tunggal yang
bernama KH. Tb. Muhammad Thohir Falak (dikenal sebagai Bapak Aceng).
Karomah KH Falak
KH. Tubagus Muhammad Falak bin Tubagus Abbas adalah seorang
ulama kharismatik yang sampai saat ini masih diziarahi oleh banyak orang, ini
menunjukan suatu bukti bahwa semasa hidupnya beliau memiliki kedalaman
ilmu dan pengaruh yang sangat luas diberbagai khayalak. Pernyataan seperti
itu didukung oleh pengakuan beberapa ulama besar termasuk para Habib di
nusantara, mereka memberikan pengakuan bahwa KH Falak merupakan
seorang Waliyullah, hal itu pernah disampaikan oleh Habib Umar Bin
Muhammad bin Hud Al-Attas (Cipayung ), Habib Soleh Tanggul Jawa Timur dan
Habib Ali Al-Habsyi Kwitang. Jakarta.
Salah satu karomah KH. Falak adalah ketika tiga hari menjelang wafatnya
beliau sempat dikunjungi oleh para gurunya yang telah tiada, seperti Syekh
Nawawi Al-Bantani, Syekh Said Abdul Turki, Syekh Abdul Karim bahkan juga
Syekh Abdul Qodir Jailani. Selain itu diterangkan pula, bahwa KH. Falak sering
melakukan perjalanan singkat antara Pagentongan–Banten. Selama di Banten
beliau menjadi seorang ulama besar yang menjadi pusat kunjungan berbagai
kalangan masyarakat Banten. Artinya, disana dapat dilihat tidak semata-mata
seorang individu yang memiliki pengaruh luas. Tapi, jelas ada konteks
kekaromahan yang dimilikinya dan diyakini khalayak masyarakat yang tidak
mungkin dapat dituangkan secara keseluruhan didalam tulisan yang serba
singkat ini.
Menurut KH. Zein Falak yang pernah menuturkan pengalamannya selama
menjadi pengawal pribadi KH Falak. “Subhanallah -Tabarakallah. Abah Falak itu
seorang yang Alim, Wali, ‘allamah, perawakannya kecil, kulitnya putih berseri.
Beliau sangat ramah dan selalu tersenyum kepada yang menyapanya”, tutur
KH. Zein. Lebih jauh, lelaki keturunan kelima dari KH Falak yang lahir tahun
1940 itu menuturkan, “Abah Falak tinggi badannya sekitar 150 cm, Abah selalu
memakai udeng (sorban yang dililitkan dikepala-red), wajahnya selalu berseri,
tutur katanya lembut namun tegas dan jelas. Bahkan dikagumi oleh semua
orang, baik dengan para ulama, habaib dan sahabat-sahabatnya yang datang
bersilaturahmi kepadanya, Abah Falak dalam berbicara selalu menggunakan
bahasa Arab yang fasih, sedangkan kalau kepada santri-santri dan tamunya
selalu menggunakan bahasa sunda atau bahasa Indonesia.
Abah Falak, termasuk ulama besar yang selalu menjaga kebersihan dan
kesehatan tubuhnya Karena itu sudah menjadi kebiasaan setiap pagi memakan
dua telur ayam kampung, kemudian jalan-jalan sambil melihat-lihat pondok
pesantren, madrasah, majlis ta’lim dan masjid”, tutur KH Zein. Semasa
hidupnya KH. Falak dikenal sebagai seorang yang dermawan, banyak orang
yang datang kepadanya untuk meminta tolong dan beliau selalu memberikan
pertolongan kepada orang-orang yang meminta pertolongan.
Yang tidak kalah menarik menurut penuturan KH. Zein, bahwa apabila
kedatangan tamu yang niatnya tidak bagus, maka beliau seperti orang tuli.
“Pernah suatu saat Abah Falak kedatangan tamu yang minta nomor buntut.
Pada saat orang itu mengutarakan maksudnya, Abah Falak bertanya berulang
kali seolah-olah sama sekali tidak mendengar apa yang diutarakan orang itu,
bahkan secara tiba-tiba, Abah Falak menyuruh orang itu pulang”. ujar KH Zein.
KH. Tubagus Muhammad Falak wafat pada waktu subuh pukul 04.15 hari Rabu
tanggal 19 Juli 1972 atau tanggal 8 Djumadil Akhir 1392 H di usianya yang ke,
130 tahun di Pagentongan, Bogor. Beribu-ribu jemaah datang dari berbagai
kalangan baik tokoh agama, politik dan militer serta masyarakat luas yang
berasal dari dalam dan luar negeri. Alhamdulillah, hingga saat ini Pesantren Al-
Falak peninggalan KH. Tubagus Muhammad Falak diteruskan oleh anak cucu
dari keturunan beliau. Semoga anak cucu dan keturunan beliau diberikan
kesabaran, ketabahan dan kekuatan untuk meneruskan toriqoh dan
perjuangan beliau ilaa yaumil qiyamah
Syekh Abdul Wahab Rokan
Tarekat+syadziliyahMURSYID TAREKAT NAQSYABANDIYYAH BABUSSALAM
Kendati telah wafat sejak sekitar 77 tahun silam, keberadaannya terasa di
Kampung Babussalam, Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara. Peziarah
mengalir ke makamnya di kampung yang didirikannya. Syekh Abdul Wahab
Rokan memang dikenal sebagai ulama ternama di Sumaera. Lahir pada 19
Rabiul Akhir 1230 H (28 September 1811) di Kampung Danau Runda, Rantau
Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kab. Rokan hulu, Riau, Wahab
tumbuh di lingkungan keluarga yang menjunjung agamanya. Nenek buyutnya,
H Abdullah Tembusai, dikenal sebagai alim ulama besar yang disegani.
Salah seorang putra Abdullah Tembusai, bernama M Yasin menikah dengan
Intan. Buah perkawinan itu melahirkan di antaranya Abdul Manap. Putra
tertuanya ini, kemudian menikah dan melahirkan Syekh Wahab Rokan. Dengan
titisan darah demikian, Wahab sejak kecil terdidik, terutama untuk pelajaran
agama. Demi menghapal AlQuran, Wahab kecil tak jarang bermalam, di rumah
gurunya. Ia pun patuh pada guru, bahkan kerap mencucikan pakaian orang
yang mendidiknya itu. Keistimewaan telah tampak sejak Wahab masih bocah.
Suatu ketika, saat orang terlelap pada dinihari, Wahab masih menekuni
AlQuran. Mendadak muncul seorang tua mengajarinya membaca aLQuran.
Setelah rampung satu khatam, orang tua itu menghilang.
Kesalihannya ini tak jarang mengalami godaan. Saat ia melanjutkan pendidikan
di Tembusai, seorang wanita menggodanya, bahkan mengunci pintu tempat
Wahab berada. Wahab terus melantunkan doa sehingga terlepas dari jebakan
wanita yang tergila-gila padanya. Begitu pun, suatu ketika saat mandi di sungai,
seorang gadis melarikan sarungnya.
Godaan itu tak membuat imannya meleleh. Bahkan, ia kian kukuh mendalami
ilmu agama. Setelah dari Tambusai, ia pun ke Malaysia, untuk mendalami ilmu
agama kepada Syekh H M Yusuf asal Minangkabau. Wahab yang tumbuh
menjadi pemuda berdagang untuk menopang kehidupannya. Menariknya,
berkat kesalihannya, ia menyuruh pembeli menimbang sendiri barang yang
dibeli. Ini demi menghindarkan kecurangan. Melanjutkan pendidikan ke
MAkkah, ia belajar kepada beberapa guru, di antaranya Zaini Dahlan (mufti
mazhab Syafii), Syekh Zainuddin Rawa. Terakhir, ia mendalami ilmu tarEkat
kepada Syekh Sulaiman Zuhdi di puncak Jabal Abi Kubis. Sulaiman Zuhdi
dikenal sebagai penganut tarEkat Naqsyabandiah.
Menyimak ketekunan muridnya, suatu ketika Sulaiman Zuhdi, resmi
mengangkat Wahab sebagai khalifah besar. Penabalan itu diiringi dengan
bai’ah dan pemberian silsilah tarekat Naqsyabandiyah yang berasal dari Nabi
Muhammad SAW hingga kepada Sulaiman Zuhdi yang kemudian diteruskan
kepada Wahab. Ijazahnya ditandai dengan dua cap. Ia pun mendapat gelar Al
Khalidi Naqsyabandi. Setelah kurang lebih enam tahun di MAkkah, ia kembali
ke Riau. Di sana, ia yang saat itu berusia 58, mendirikan Kampung Mesjid. Dari
sana, ia mengembangkan syiar agama dan tarEkat yang dianutnya, hingga
Sumatra Utara dan Malaysia. Namanya pun semerbak. Raja di berbagai
kerajaan di Riau dan Sumatra Utara mengundangnya.
Suatu ketika, Sultan Musa Al-Muazzamsyah dari Kerajaan Langkat, gundah.
Putranya sakit parah dan akhirnya wafat. Rasa kehilangan ini tak terperikan.
Syekh HM Nur yang — sahabat karib Wahab saat di MAkkah — menjadi
pemuka agama di kerajaan, menyarankan agar Sultan bersuluk di bawah
bimbingan Wahab. Sultan menyetujui dan mengundang Wahab.
Wahab pun datang ke Langkat. Ia mengajarkan tarEkat Naqsyahbandi dan
bersuluk kepada Sultan. Setelah berulang bersuluk, Sultan Musa — yang
belakangan melepaskan tahtanya dan memilih menekuni agama — memenuhi
saran Wahab, menunaikan ibadah haji, sekaligus bersuluk kepada Sulaiman
Zuhdi di Jabal Kubis.
Berkat kekariban hubungan guru-murid, Sultan Musa menyerahkan sebidang
tanah di tepi Sungai Batang Serangan, sekitar 1 km dari Tanjung Pura. Sultan
berharap gurunya dapat mengembangkan syiar agama dari tanah
pemberiannya. Wahab menyetujui dan menamakan kampung itu Babussalam
(pintu keselamatan). Maka pada 15 Syawal 1300 H, ia bersama ratusan
pengikutnya, menetap di sana.
Babussalam berkembang menjadi kampung dengan otonomi khusus. Menjadi
basis pengembangan tarEkat Naqsyahbandiyah di Sumatra Utara, Wahab
membentuk ‘pemerintahan’ sendiri di kampung itu. Perangkatnya antara lain
dengan membuat Lembaga Permusyawaratan Rakyat (Babul Funun).
Hingga kini, kampung itu terjaga sebagai pusat pengembangan tarekat
Naqsyahbandiyah. Tetap mendapatkan perlakuan khusus dari Pemda
setempat, aktivitas sehari-hari — ditandai dengan kegiatan suluk setiap hari —
dipimpin khalifah. Saat ini khalifah kesepuluh Syekh H Hasyim yang memimpin.
Kendati terjalin erat, hubungan Wahab dan Sultan, tak berarti selalu harmonis.
Bahkan antara keduanya sempat renggang, saat Wahab difitnah membuat
uang palsu. Akibatnya, Sultan memerintahkan penggeledahan ke rumah
Wahab. Kendati tak terbukti, bahkan saling memaafkan, Wahab seusai
peristiwa itu pindah ke Malaysia. Kepindahannya ini kabarnya menyebabkan
sumur minyak di Pangkalan Brandan surut penghasilannya.
Begitu pun, suatu kali penjajah Belanda ‘menekan’ Sultan. Dalihnya, berbekal
potret Wahab, ditengarai Tuan Guru Babussalam — demikian panggilan
kehormatannya — turut bertempur membantu pejuang Aceh melawan
Belanda. Padahal, pada saat bersamaan, pengikutnya menegaskan Tuan Guru
berdzikir di kamarnya.
Kembali ke Babussalam, setelah terharu menyaksikan kampung yang
dibangunnya menyepi, Tuan Guru menetap di Babussalam. Bersama
pengikutnya, ia kembali membangun Babussalam. Tak sekadar berkembang
pesat, Tuan Guru bersama Babussalam tumbuh disegani. Tak ayal, Belanda
berusaha menjinakkannya.
Maka pada 1 Jumadil Akhir 1241 H, Asisten Residen Van Aken, menyematkan
bintang kehormatan kepadanya. Kendati demikian, tak berarti Tuan Guru,
terpedaya. Bahkan, di saat prosesi penyematan, Tuan Guru dalam sambutan
meminta Van Aken menyampaikan kepada Raja Belanda untuk masuk Islam.
Menilai pemberian bintang itu sindiran, ia meminta pengikutnya lebih giat.
Bintang kehormatan itu pun kemudian diserahkan kepada Sultan Langkat.
Kendati dikenal sebagai pemuka agama, tak berarti Tuan Guru tak memiliki
kepedulian pada politik. Ia mengutus anaknya untuk menemui HOS
Cokroaminoto pada 1913. Tujuannya untuk membicarakan pembukaan cabang
Sarekat Islam di Babussalam. Tak lama kemudian, SI pun berdiri di kampung
yang dipimpinnya. Tuan Guru wafat di usia 115, pada 21 Jumadil Awal 1345 H
(27 Desember 1926), meninggalkan 4 istri, 26 anak, dan puluhan cucu. Hingga
kini, setiap peringatan hari wafat (haul), dirayakan besar-besaran. Ratusan
pengikutnya yang memegang tarekat Naqsyahbandiah dari berbagai kota di
Sumatra hingga Malaysia, dan Thailand hadir.
Syeikh Bahauddin Naksyahbandi
PELETAK DASAR TAREKAT NAQSYABANDIYYAH

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-


Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari. Ia lahir di Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan
Bukhara, Asia Tengah, pada bulan Muharram tahun 717 H/1317 M. Nasabnya
bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Al-Husain RA. Semua
keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar
shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari
kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata sayyid) sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ”Sesungguhnya anakku ini adalah
seorang sayyid.” Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil
menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap
beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah
bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk plural
dari ‘khwaja’ atau ‘khoja’ dalam bahasa Persia berarti para kiai agung). Dan,
pembesar mereka adalah Khoja Baba Sammasi yang ketika Muhammad
Bahauddin lahir, ia melihat cahaya menyemburat dari arah Qasrel Arifan, yaitu
saat Sammasi mengunjungi desa sebelah.
Sammasi lalu memberitahukan bahwa dari desa itu akan muncul seorang wali
agung. Sekitar 18 tahun kemudian, Khoja Baba Sammasi memanggil kakek
Bahauddin agar membawanya ke hadapan dirinya dan langsung dibaiat. Ia lalu
mengangkat Bahauddin sebagai putranya.
Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi memberi wasiat kepada
penggantinya, Sayyid Amir Kulali, agar mendidik Bahauddin meniti suluk sufi
sampai ke puncaknya seraya menegaskan, “Semua ilmu dan pencerahan
spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai
melaksanakan wasiat ini!”
Meniti jalan spiritual
Bahauddin pun berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulali di Nasaf dengan
membawa bekal dasar yang telah diberikan oleh Baba Sammasi. Sammasi
menyatakan jalan tasawuf dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk
dan perasaan hati agar tidak lancang kepada Allah, Rasulullah, dan guru.
Bahauddin juga percaya bahwa sebuah jalan spiritual hanya bisa mengantarkan
tujuan kalau dilalui dengan sikap rendah hati dan penuh konsistensi. Karena
itu, melakukan makna eksplisit dari sebuah perintah barangkali harus
diundurkan demi menjaga kesantunan.
Inilah yang dilakukan oleh Bahauddin ketika dihentikan oleh seorang lelaki
berkuda yang memerintahkan dirinya agar berguru pada orang tersebut.
Dengan tegas, tetapi sopan; ia menolak seraya menyatakan bahwa dia tahu
siapa lelaki itu. Masalah berguru kepada seorang tokoh adalah persoalan
jodoh; meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia tidak berjodoh dengan
Bahauddin.
Setelah tiba di hadapan Sayyid Amir Kulali, Bahauddin langsung ditanya
mengapa menolak perintah lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir
AS? Beliau menjawab, “Karena, hamba diperintahkan untuk berguru kepada
Anda semata!” Di bawah asuhan Amir Kulali, Bahauddin mengalami berbagai
peristiwa yang mencengangkan. Di antaranya, beliau pernah ditangkap oleh
dua orang tak dikenal dan dikirimkan ke makam seorang wali. Di sana, dia
mendapatkan lentera yang minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih
panjang, tetapi apinya hampir padam.
Bahauddin mendapat ilham untuk menggerakkan sedikit sumbu itu agar aliran
bahan bakar menjadi lancar. Dengan khusyuk, ia melakukannya, tahu-tahu
sekat pembatas antara dunia nyata dan alam barzakh terbuka di hadapan
beliau. Di balik tabir ruang dan waktu itu, Bahauddin mendapatkan semua
mahaguru khawajakan yang sudah meninggal dunia, termasuk guru
pertamanya, Khoja Baba Sammasi.
Oleh salah seorang guru mereka, Bahauddin dihadapkan kepada kepala aliran
khawajakan, yaitu Khoja Abdul Khaliq Gujdawani. Dari mahaguru yang agung
ini, Bahauddin mendapatkan bimbingan langsung dalam meniti suluk sufi.
Sejak saat itu, Bahauddin dikenal dengan gelar Al-Uwaysi karena mendapatkan
pelajaran spiritual langsung dari seorang guru yang sudah meninggal dan tidak
pernah ditemuinya di dunia. Hal ini sama dengan Uways Al-Qarny, seorang
tabiin yang mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari roh Sayyidina
Rasulillah SAW.
Di bawah bimbingan Amir Kulali pula, Bahauddin terus mempraktikkan semua
ajaran Abdul Khaliq Gujdawani, sebagaimana beliau juga mempelajari dengan
tekun ilmu-ilmu Islam lainnya, khususnya akidah, fikih, hadis, dan sirah Nabi
SAW.
Dan, karena wasiat dari Baba Sammasi, tidak heran kalau Amir Kulali
memberikan perhatian khusus kepada Bahauddin. Setelah semua ilmu dan
pencerahan spiritual yang ada pada gurunya diserap habis, Sayyid Amir Kulali
memerintahkan Bahauddin untuk mengembara seraya menunjuk ke puting
dadanya dan berkata, “Semua yang ada di sumber ini sudah habis kamu sedot,
maka mengembaralah!”
Bahauddin kemudian belajar kepada beberapa mahaguru lain, seperti Khoja
Arif Dikkarani dan Hakim Ata, hingga beliau menjadi mahaguru sufi terbesar
yang pernah muncul dari kawasan Asia Tengah (sekarang adalah negara-negara
persemakmuran bekas USSR), Persia, Turki, dan Eropa Timur. Beliau meninggal
pada malam Senin, 3 Rabiul Awwal 791 H/1391 M.
Karena di dadanya terukir Lafdzul Jalalah (Allah) yang bercahaya, ia dikenal
juga sebagai “Naqshaband” (bahasa Persia yang berarti: gambar yang
berbuhul). Dan, kepada beliau, dinisbahkan Tarekat Naqshabandiyah yang
merupakan salah satu tarekat terbesar di dunia. Tarekat ini tersebar luas di
Turki, Hejaz, kawasan Persia, Asia Tengah, serta anak benua India dan
Indonesia.
Adanya Tarekat Naqshabandiyah ternyata mampu mempertahankan identitas
keislaman di Asia Tengah dan Eropa Timur, di tengah prahara komunisme yang
menerpa selama lebih dari setengah abad. Para pemimpin kebangkitan Islam di
Turki, seperti Erbakan dan Erdogan, juga berafiliasi kepada tarekat ini. Bahkan,
akhir-akhir ini, Tarekat Naqshabandiyah memainkan peranan sangat penting
dalam penyebaran Islam di Eropah dan Amerika.
Sementara itu, di Indonesia, ada beberapa cabang Tarekat Naqshabandiyah,
seperti Khalidiyah, Mujaddidiyah, dan Muzhariyah. Yang terbesar adalah
Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah yang–sesuai namanya–merupakan hasil
simbiosis dua tarekat terbesar di dunia. Mengembalikan Esensi Tasawuf Shah
Naqshaband muncul untuk merevitalisasi perilaku beragama dengan mengajak
kembali kepada tradisi yang hidup pada zaman Nabi SAW. Bagi Shah
Naqshaband, hakikat sebuah tarekat adalah penerapan ajaran syariat dalam
wujud yang paling sempurna dan konsisten. Sementara itu, hakikat adalah
terealisasikannya “maqam kehambaan” seorang anak manusia di hadapan
Allah semata.
Shah Naqshaband menyatakan bahwa tasawuf adalah inti agama dan inti
terdalam dari tasawuf itu sendiri adalah muraqabah, musyahadah, dan
muhasabah. Muraqabah adalah melupakan segala sesuatu yang selain Allah
dengan hanya memfokuskan hati dan perbuatan hanya kepada-Nya.
Musyahadah adalah menyaksikan keagungan dan keindahan Allah dalam
seluruh eksistensi. Sementara itu, muhasabah adalah instropeksi diri yang
terus-menerus agar tidak lalai dari jalan yang mulia ini. Dengan ketiga inti
tasawuf itu, hati seorang saleh terus hidup dan dihidupkan oleh zikir dan
kebersamaan bersama Allah dalam setiap detak jantung dan embusan
napasnya sampai dia tertidur sekalipun!
Agar mencapai maqam tersebut, seorang saleh harus menjalani pelatihan di
bawah bimbingan seorang mahaguru spiritual. Dialah yang akan
mengajarkannya prosesi berzikir dalam hati sesuai dengan firman Allah, “Dan,
sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan penuh kesungguhan dan rasa
takut (akan tidak diterima amal perbuatanmu), tanpa mengangkat suara pada
siang dan sore hari dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah”
(QS Al-A`raaf: 205). Zikir dalam hati dipilih karena silsilah utama tarekat ini
bersambung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq. Metode zikir ini diajari oleh
Rasulullah dan berbeda dengan tarekat lain yang semuanya bersambung
melalui Ali bin Abi Thalib yang diajari berzikir dengan menggunakan suara jelas.
Zikir dalam hati adalah ibadah yang terbesar (sesuai dengan bunyi tekstual QS
Al-`Ankabuut: 45) dan bisa dilaksanakan dalam keadaan apa pun.
Zikir dalam hati yang dilakukan oleh seorang Naqsyabandi menggunakan
Lafdzul Jalalah (Allah) dan Laa Ilaaha illalLaah yang dilafalkan dengan cara
tertentu sebagaimana diajarkan langsung oleh seorang mahaguru sufi (syekh).
Dengan prosesi zikir ini, seorang Naqshabandi meniti tangga-tangga makrifat.
Shah Naqshaband pernah menyatakan bahwa shalat adalah titian spiritual
yang paling efektif bagi seorang saleh asalkan shalatnya khusyuk. Untuk
mewujudkannya, seorang saleh diharuskan mengonsumsi makanan yang halal
baginya dan tidak pernah lalai mengingat atau “bersama” dengan Allah dalam
kesehariannya, lebih khusus lagi saat berwudhu serta bertakbiratul ihram.
Di sisi lain, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah sebuah perilaku sosial
yang positif. Bukan sekadar berbudi pekerti yang luhur, melainkan juga
berbuat kebajikan kepada sesama makhluk Allah. Seorang saleh tidak boleh
merasa dirinya lebih mulia dari seekor anjing sekalipun. Dia juga selalu siap
mengulurkan tangan kepada siapa pun yang membutuhkan bantuan. Bahkan,
bantuan tersebut bukan sekadar diberikan dalam bentuk material semata,
tetapi juga rohaniah dan spiritual.
Selain itu, bertasawuf juga berarti menghormati waktu. Shah Naqshaband
pernah menegaskannya dalam bahasa Persia, “Orang yang berakal pasti tidak
suka berkawan dengan seorang yang suka menunda-nunda pekerjaan jika
mampu dilakukannya hari ini.” Waktu harus digunakan untuk ibadah dalam
pengertiannya yang paling komprehensif: berbuat kebajikan, baik yang ritual
maupun yang sosial. Dan, tidak boleh ada waktu yang berlalu sedetik pun
tanpa yakin bahwa kita selalu “mengingat” dan “bersama” Allah.
Dengan demikian, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah mewujudkan
ketundukan penuh kepada Nabi Muhammad SAW secara paripurna:
menjalankan perintahnya, menghindari larangannya, meneladani
perbuatannya, dan menghayati spiritualitasnya, sesuai dengan ajaran Islam
menurut mazhab ahlussunnah wal jamaah.
Tidak heran kalau banyak ulama yang mengakui bahwa Tarekat
Naqshabandiyah adalah saripati semua tarekat sufi. Dan, barang siapa yang
suluknya tidak sesuai dengan ajaran Shah Naqshaband di atas berarti sudah
keluar dari jalur yang benar meskipun mengaku sebagai pengikut beliau. Shah
Naqshaband pernah menegaskan, “Tasawuf adalah syariat. Dan, barang siapa
yang mengaku sebagai pengikut tasawuf, tetapi tidak menerapkan syariat,
berarti dia telah tersesat!” aunul abied shah/taq
Syaikh Muhammad Bahaa'uddin Naqshband (qs)
PART II
Maulana Syaikh Naqsyaband, Imam ut Thariqah adalah Pir. Pir berarti Imam.
Imam berarti Tiang. Dia adalah Tiang utama Tarekat kita. Semoga Allah
memberkati Beliau dan memberkati kita semua di dunia ini dan akhirat kelak.
Maulana Syaikh Naqsyaband berkata “Thariqathun isthufal khalqa jamii-an”.
Kita mencoba mengikut dan menjadi pengikut. Ini adalah cara yang mudah dan
enak untuk menuju kekuatan.
Ada suatu mesin yang bekerja di depan rangkaian kereta api. Semua kerja yang
berat dikerjakan oleh mesin itu. Dibelakang mesin itu ada beberapa gerbong
yang bergabung bersama gerbong lainnya membentuk suatu rangkaian, tapi
kekuatan utama berasal dari mesin itu, yaitu mesin yang berada didepan dalam
rangkaian kereta api. Karena gerbong yang lain bergabung dengan mesin itu,
mereka bergerak sesuai dengan arah dari mesin itu. Kemana saja mesin itu
menuju rangkaian gerbong itu mengikuti. Walaupun rangkaian gerbong atau
pengikut tidak punya kekuatan sendiri, tapi kemanapun mesin mengarah,
mereka dapat menuju kesana juga. Mereka bisa juga berjalan menuju tempat
tujuan mesin itu.
Karena itu, setiap Tarekat memiliki seorang Imam Tarekat. Imam-ut-Thariqah
(Imam Tarekat) telah dikaruniai kekuatan untuk membawa kita dari asfala
safiliina ilaa alaa illiyyiin, dari tingkatan terendah ke tingkatan tertinggi. Kalau
hanya mengandalkan kemampuan diri kita sendiri mustahil kita bisa
mencapainya. Anda tidak akan bisa terbang tanpa naik pesawat udara. Dengan
menumpang pesawat udara Anda bisa menempuh perjalanan bahkan dari satu
benua ke benua lainnya. Karena itu, Anda harus menggunakan sarana (tarekat)
ini untuk beranjak dari maqam terendah Anda hingga ke maqam tertinggi yang
mungkin dicapai.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) lahir di desa Qasr al-Arifan dekat
Bukhara pada tahun 711 H/1317 M. Beliau dikabarkan telah menunjukkan
berbagai keajaiban yang luar biasa sejak masa kecilnya. Ketika Beliau masih
muda, Muhammad Baba as Samasi, seorang Syaikh dari Tarekat Naqsyabandi
memintanya datang dan untuk memenuhi permintaan ini Maulana Syaikh
Bahauddin Naqsyaband berangkat ke kota Samas untuk berkhidmat kepada
Maulana Syaikh Muhammad Baba as Samasi. Tentang kehidupan Beliau dalam
periode ini Maulana Syaikh Bahauddin (ral), mengisahkan:
Bangun dari tidur setidaknya tiga jam sebelum subuh aku mengerjakan
rangkaian shalat sunah dan setelah itu ketika dalam keadaan sujud aku
memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk memberiku kekuatan untuk
memikul Cinta Ilahiah Nya. Kemudian aku shalat subuh bersama Syaikh ku.
Kelihatannya Syaikh mengetahui apa yang kuminta dalam sujudku, karena
Beliau mengatakan kepadaku: Kamu harus mengubah apa yang kau minta
dalam sujudmu, karena Allah Yang Maha Kuasa tidak suka hambaNya meminta
kesukaran. Memang Dia memberi beberapa kesulitan kepada mahlukNya
untuk menguji mereka. Hal ini berbeda. Seorang hamba tidaklah boleh
meminta untuk diberi kesulitan-kesulitan karena hal ini tidak menunjukkan
penghormatan kepada Allah. Karena itu ubahlah permohonan dalam sujudmu
dengan berdoa “untuk hambaMu yang lemah ini wahai Tuhanku,
karuniakanlah ridhoMu”.
“Sepeninggal Syaikh Muhammad Baba Samasi aku pergi ke Bukhara dan
menikah disana. Aku tinggal di Qasr al-Arifan dekat tempat tinggal Syaikh
Sayyid Amir Kulal dalam rangka berkhidmat kepada Beliau”. Menurut riwayat
lama sebelumnya Syaikh Baba Samasi telah mengatakan kepada Sayyid Amir
Kulal untuk mengasuh Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband.
Maulana Syaikh Bahauddin (ral) mengisahkan pengalamannya. “Suatu ketika
aku sedang melakukan khalwat bersama seorang kawan ketika tiba-tiba surga
dan suatu pemandangan yang luar biasa ditampakkan didepanku. Dalam visi
itu kudengar suara berkata “Tinggalkan semuanya dan datanglah ke Hadirat
Kami sendirian”. Aku mulai gemetar dan lari meninggalkan tempat khalwat ke
suatu tempat yang ada sungainya dan melompat ke dalam sungai itu. Aku
mencuci pakaianku lalu shalat dua rakaat dengan cara yang aku belum pernah
melakukan sebelumnya karena aku merasakan sedang shalat dihadapan
Hadirat Ilahi. Terjadi Penyingkapan (futuh) di hatiku dan itu merupakan
pembuka atas segala sesuatu. Seluruh alam semesta lenyap dan aku tidak
sadar akan apapun selain sedang shalat dihadapan Hadirat Ilahi”. Ada riwayat
luar biasa lainnya yang dikisahkan Wali Agung Maulana Syaikh Bahauddin
Naqsyaband (ral). Beliau bercerita “Pada tahap awal dari keadaan
kertertarikanku aku ditanya mengapa aku menempuh jalan ini. Kujawab
supaya aku mendapat kekuatan sehingga apapun yang kukatakan dan
kuinginkan akan terwujud. Dijawab bahwa tidak bisa seperti itu, karena
sesungguhnya apa yang Kami sabdakan dan yang Kami kehendaki adalah yang
akan terjadi. Kujawab lagi bahwa aku tidak setuju dengan hal itu. Aku harus
mampu berkata dan berbuat apapun yang kuinginkan, jika hal ini tidak bisa
kudapat maka kenapa aku harus menempuh jalan ini? Lalu kuterima jawaban:
tidak, sesungguhnya apapun yang Kami kehendaki Kami sabdakan dan apapun
yang Kami kehendaki akan terwujud. Kujawab lagi apapun yang kukatakan dan
kulakukan adalah jalan yang kutempuh. Setelah itu aku ditinggalkan sendirian.
Selama lima belas hari aku sendirian. Hal ini membuatku tenggelam dalam
depresi yang mendalam. Lalu tiba-tiba saja terdengar suara “Wahai Bahauddin
seperti yang kau inginkan maka Kami mengaruniaimu apapun yang kau
inginkan”. Aku memohon agar diberi jalan yang bisa langsung menuju Hadirat
Ilahi. Lalu aku mengalami visi yang luar biasa dan mendengar suara yang
mengatakan bahwa aku telah dikarunia apa yang kuminta”.
Kisah ini luar biasa karena biasanya orang patuh pada Perintah Ilahi dan tidak
meminta pemenuhan keinginan mereka sendiri. Biasanya tindakan menolak
untuk mematuhi Perintah Ilahi dan memaksa untuk mendapatkan apa yang
diingini akan dianggap tidak adab. Walaupun pada awalnya ditolak,
permohonan Maulana Syaikh Bahauddin (ral) akhirnya dikabulkan.
Permohonannya dikabulkan mungkin karena Beliau memohon untuk
kemaslahatan orang banyak dan bukan untuk kepentingan diri sendiri.
Ada kisah lain yang tak kalah menariknya kala Maulana Syaikh Bahauddin
Naqsyaband (ral) diuji oleh Syaikh nya. Ini sungguh ujian yang berat. Maulana
Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) menuturkan kejadian ini. “Suatu ketika aku
berada dalam tarikan Ilahiah yang begitu kuat sehingga aku tidak sadar akan
diriku dan berjalan tanpa menyadari apa yang kulakukan. Ketika malam tiba
kulihat kedua kakiku berdarah akibat luka sobek dan tertusuk duri. Lalu
kurasakan bahwa aku harus pergi ke rumah Syaikh ku, Sayyid Amir Kulal.
Malam itu terasa sangat dingin dan gelap tanpa ada bulan dan bintang sama
sekali. Untuk melawan dinginnya malam aku hanya mengenakan jubah tua
terbuat dari kulit. Ketika sampai di rumah Syaikh ku, kulihat Beliau sedang
bersama teman-teman dan para pengikut Beliau. Ketika Syaikh melihatku
Beliau memerintahkan pengikutnya untuk mengusirku keluar dari rumah.
Syaikh ku tidak suka aku berada di dalam rumahnya. Pengikut Syaikh
mendatangiku dan membawaku keluar dari rumah. Aku tidak terima
diperlakukan seperti ini.
Terasa egoku akan mengalahkanku dan mengambil alih kendali perasaanku
dengan mencoba meracuniku dengan menggoyah keyakinanku yang tulus pada
Syaikh ku. Bagaimana aku bisa menanggung malu dan rasa terhina seperti ini?
Lalu Rahmat Ilahi datang kepadaku sehingga aku mampu menanggung ini
semata-mata hanya demi Allah dan demi Syaikh ku. Dengan tegas kukatakan
pada egoku bahwa aku tidak akan membiarkan egoku membuatku kehilangan
cinta dan keyakinanku pada Syaikh ku.
Lalu kurasakan depresi yang mendalam melandaku. Langsung kuarahkan diriku
pada keadaan kerendahan hati, meletakkan kepalaku didepan pintu masuk
rumah Syaikh dan berjanji bahwa aku tidak akan bergerak dari keadaan seperti
itu sampai Beliau menerimaku lagi. Terasa salju dan angin dingin menyusup
tulang yang membuatku menggigil dan gemetar menahan dinginnya malam
yang kelam. Bahkan tak tampak cahaya bulan dan bintang sedikitpun pun
untuk membuatku sedikit nyaman dan hangat. Tubuhku nyaris membeku.
Hanya hangatnya cinta kepada Allah Yang Maha Kuasa dan kepada Syaikh ku
saja yang menghangatkanku.
Aku menanti dengan tetap dalam keadaaan seperti itu hingga pagi hari. Lalu
Syaikh ku melangkah keluar rumah dan tanpa melihatku kakinya menginjak
kepalaku. Ketika Syaikh melihatku, dengan cepat dibawanya aku masuk ke
dalam rumahnya dan dengan telaten serta penuh perhatian Beliau mencabuti
duri dari kakiku. Beliau berkata “Wahai anakku, hari ini kau telah dihiasi
dengan busana kebahagiaan dan Cinta Ilahi. Busana yang menghiasimu ini
belum pernah dikenakan oleh siapapun, baik diriku maupun Syaikh-syaikh
sebelumku. Allah dan Nabi Muhammad (sal) telah ridho kepadamu. Demikian
juga Para Auliya dalam silsilah Rantai Emas, mereka semua telah ridho
kepadamu”.
Sambil mencabuti duri-duri dari kakiku dan membasuh luka di kakiku, Syaikh ku
menuangkan kedalam hatiku pengetahuan yang belum pernah kualami
sebelumnya. Lalu dalam visiku kulihat diriku memasuki rahasia dari
Muhammadur RasuluLlah. Ini berarti memasuki rahasia dari ayat yang
merupakan Realitas Muhammad. Setelah itu membawaku memasuki rahasia
dari la ilaha illaLlah yang merupakan rahasia dari Keesaan Allah. Kemudian
membawaku memasuki rahasia-rahasia dari nama-nama dan sifat-sifat Allah
Yang Maha Kuasa yang berada dalam rahasia dari Keesaan Allah. Tidak
mungkin kata-kata bisa menerangkan keadaan yang kualami ini. Hal ini hanya
bisa dialami dengan merasakannya melalui qalbu”.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) dididik oleh Syaikh Baba as
Samasi dan Syaikh Sayyid Amir Kulal, keduanya merupakan figur Syaikh
terkemuka dari Rantai Emas Tarekat Naqsyabandi. Beliau juga dididik langsung
oleh Grand Syaikh terkemuka lainnya dari Rantai Emas yang sama (yang hidup
tidak sejaman dengan mereka). Kejadian ini dikisahkan oleh Maulana Syaikh
Bahauddin Naqsyaband dalam tuturan berikut: Pada awal mula langkahku
menempuh Jalan Sufi aku biasa berjalan-jalan dimalam hari dari satu tempat
ke tempat lain di desa Bukhara. Untuk belajar dari mereka yang sudah
meninggal dunia aku banyak mengunjungi kuburan di kegelapan malam dan ini
biasanya juga kulakukan di musim dingin. Suatu malam aku pergi mengunjungi
makam dari Syaikh Ahmad al Kashghari dan membaca fatihah untuk Beliau. Di
makam Beliau kutemui dua orang yang sedang menantiku. Aku belum pernah
bertemu mereka sebelumnya. Mereka disertai seekor kuda. Mereka
mendudukanku diatas pelana kuda itu dan mengikatkan dua buah pedang di
pinggangku, lalu menuntun kuda ke makam dari Syaikh Mazdakhin. Kami lalu
turun dari kuda dan memasuki makam dan mesjid dari Syaikh ini dan mulai
melakukan meditasi (murakabah).
Dalam keadaan murakabah kulihat dalam dalam visiku tembok yang
menghadap Ka’bah runtuh. Seorang laki-laki bertubuh raksasa kulihat sedang
duduk diatas singgasana yang sangat besar. Aku merasa sangat familiar
dengannya, sepertinya aku telah pernah bertemu dengannya sebelumnya.
Kemanapun aku menghadapkan wajah kulihat orang ini. Disekeliling orang ini
ada Syaikh Baba Samasi and Sayyid Amir Kulal berkumpul bersama dengan
sekelompok besar orang yang hadir. Aku merasakan rasa cinta yang mendalam
kepada laki-laki bertubuh besar ini dan pada saat bersamaan merasa takut
padanya. Sosoknya memesona sekaligus menakutkanku dan keindahannya
penampilannya menimbulkan rasa cinta dan ketertarikan. Aku bertanya pada
diriku sendiri siapa sebenarnya lelaki agung dan bertubuh besar ini. Tiba-tiba
kudengar seseorang yang berada disekitar lelaki itu berkata “Orang ini adalah
Syaikh mu dan dialah yang menjagamu dalam jalur spiritualmu. Dia mengawasi
jiwamu sejak masih berupa sebuah atom di Hadirat Ilahi. Kau telah dilatihnya
selama ini. Namanya adalah Abdul Khaliq Al Gujduwani dan kumpulan orang
yang terlihat disekelilingnya adalah para Auliya yang membawa rahasia-rahasia
besarnya, rahasia-rahasia dari Rantai Emas”. Lalu Syaikh Abdul Khalik mulai
menunjuk masing-masing Syaikh yang ada disitu dan berkata “Ini adalah Syaikh
Ahmad, ini Arif ar-Riwakri, ini Syaikh Ali ar-Ramitani, ini Syaikh mu Baba as
Samasi yang memberimu jubah semasa hidupnya”. Dia bertanya padaku
“Apakah kau mengenalnya?”. Kujawab “Ya”. Lalu Beliau berkata “Jubah yang
diberikannya kepadamu masih berada dirumahmu dan dengan perkenan
Syaikh mu maka Allah Yang Maha Kuasa telah menghapus banyak kesulitan-
kesulitan yang semestinya menimpamu”.
Lalu terdengar suara lain yang berkata ”Syaikh yang duduk diatas yang
singgasana itu akan mengajarimu sesuatu yang kau butuhkan dalam
menempuh jalan sufi ini”. Aku bertanya kepada mereka apakah aku
diperbolehkan menyentuh tangan Beliau. Setelah diijinkan aku memegang
tangan Beliau. Lalu Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani mulai mengajariku
tentang jalan sufi, permulaannya, pertengahan dan akhirnya. Beliau berkata
“Kau harus menyesuaikan sumbu hakikat dirimu sehingga cahaya yang tak
kasat mata akan diperkuat didalam dirimu dan rahasia-rahasianya menampak.
Kau harus menunjukkan istiqomah dan harus menjaga Syariah Suci dari Nabi
Muhammad (sal) pada apapun keadaanmu”.
Beliau juga berkata “Kau harus meninggalkan kesenangan hidup duniawi dan
menjauhi perbuatan bid’ah dan pusatkan dirimu hanya pada sunah-sunah Nabi
Muhammad (sal). Kau harus menghayati dan menyelami peri kehidupan Nabi
Muhammad (sal) dan para sahabatnya. Kau harus mengajak orang untuk
membaca dan mengikuti tuntunan Qur’an baik siang maupun malam dan
menegakkan shalat wajib serta semua ibadah sunah. Jangan sekali-kali
memandang rendah bahkan pada hal-hal kecil dari perbuatan dan amal shalih
Nabi Muhammad”.
Begitu Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujduwani (ral) menyelesaikan ucapannya,
wakil Beliau berkata padaku ”Agar kau yakin bahwa visi yang kau lihat ini benar
adanya Beliau akan mengirimu suatu pertanda”. Dijelaskan bahwa hal-hal dan
kejadian-kejadian tertentu akan terjadi sebagaimana mustinya terjadi dan
pada saat yang telah ditentukan. Demikianlah kejadian-kejadian itu terjadi
persis sebagaimana telah dikatakan kepada Maulana Syaikh Bahauddin (ral)
yang kemudian juga berbuat persis sebagaimana Beliau diperintahkan, hal ini
membuktikan kebenaran visi yang dialami Maulana Syaikh Bahauddin (ral).
Beliau juga diminta untuk memberikan jubah Azizan kepada Sayyid Amir Kulal
(ral). “Setelah visi itu berakhir aku pulang kerumah dan mencari jubah itu dan
bertanya kepada keluargaku dimana adanya jubah itu. Mereka mengatakan
kepadaku bahwa jubah itu sudah berada disana sejak lama, sambil membawa
jubah itu dan menyerahkannya kepadaku. Aku mulai menangis didalam hati
ketika melihat jubah itu”.
Setelah memenuhi segala hal yang dikatakan dalam visiku, sebagaimana
diperintahkan aku membawa jubah Azizan ke Syaikh Sayyid Amir Kulal (ral) dan
memberikan padanya. Setelah terdiam beberapa saat Syaikh Amir Kulal
berkata padaku “Aku diberitahu tentang jubah Azizan ini semalam yaitu bahwa
kamu akan membawa dan menyerahkannya padaku. Aku diperintahkan untuk
menyimpannya dalam sepuluh lapis selubung yang berbeda“. Beliau lalu
memintaku masuk ke dalam kamarnya dan mengajarkan serta menempatkan
didalam hatiku zikir tanpa bersuara. Aku diminta untuk terus menerus berzikir
seperti itu siang dan malam. Aku terus mengamalkan zikir ini yang merupakan
bentuk tertinggi dari zikir.
Aku juga berguru kepada ulama-ulama lain untuk belajar Syariah dan sunah-
sunah Nabi Muhammad (sal) dan juga mengkaji sifat-sifat Nabi Muhammad
(sal) dan para sahabatnya. Sejak aku melaksanakan apa-apa yang
diperintahkan dalam visiku, hidupku mengalami perubahan besar. Semua yang
diajarkan oleh Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral) dalam visi itu bermanfaat
bagiku dan membuahkan hasil. Ruh Beliau selalu menyertaiku dan mendidikku.
Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral) adalah salah satu dari beberapa
Guru/Syaikh dari Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) walaupun Syaikh
Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral) hidup dimasa sebelum jaman Maulana Syaikh
Naqsyaband (ral). Hubungan ini dalam dunia sufi dikenal sebagai Hubungan
Uwaisy, yang berarti bimbingan dan hubungan spiritual terjadi walaupun
masing-masing berasal dari jaman yang berbeda. Syaikh Abdul Khaliq Al
Gujduwani (ral) juga merupakan salah satu Syaikh dari Rantai Emas Tarekat
Naqsyabandi.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) juga mengikuti dan belajar pada
Mawlana Arif ad-Din Karani selama tujuh tahun. Setelah itu Beliau mengikuti
Maulana Kuthum Syaikh selama beberapa tahun. Beliau juga menyertai
seorang darwis bernama Khalil Ghirani yang tentangnya Beliau berkata
“Selama menyertai Syaikh Khalil Ghirani banyak pengetahuan baru yang
selama ini tersembunyi mulai tersingkap di hatiku dan Beliau selalu menjagaku,
memujiku dan mengangkat derajatku”. Ada Kekasih Allah lainnya yang disebut
oleh Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) “Beliau memerintahkanku
untuk menolong dan melayani orang miskin dan menolong mereka yang
sedang hancur hatinya. Beliau memintaku untuk rendah hati dan bersikap
toleran. Beliau juga mengatakan padaku untuk menyayangi hewan-hewan dan
menyembuhkan sakit dan luka mereka dan memberi mereka makanan”.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqshband (ral) mengisahkan tentang kejadian lain
yang masih berhubungan dengan jubah Azizan. “Suatu hari aku sedang berada
di kebunku dan dikelilingi oleh murid-muridku. Aku mengenakan jubah Azizan.
Tiba-tiba aku diliputi oleh rahmat dan tarikan surgawi dan kurasakan diriku
dihiasi dengan busana sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Kurasakan diriku
mulai gemetar sedemikian rupa yang tak pernah kualami sebelumnya sehingga
aku tak mampu lagi berdiri. Lalu tampak olehku visi yang luar biasa dimana
keberadaanku sama sekali lenyap (fana) dan aku tidak melihat apapun kecuali
Wujud Tuhanku.
Lalu kulihat diriku keluar dari Hadirat Ilahiah-Nya yang tampak terpantul dari
cermin Muhammadur RasuluLlah yang berbentuk sebuah bintang dalam
samudra cahaya tanpa batas. Wujud luarku lenyap dan kusaksikan makna
sesungguhnya dari la ilaha illaLlah Muhammadur Rasulullah. Kemudian
kusaksikan makna sejati dari nama-nama Allah yang kemudian membawaku
kepada Yang Maha Ghaib yang merupakan esensi dari nama Allah ‘Huwa”
(Dia). Begitu aku memasuki samudra ini jantungku berhenti berdetak dan
hidupku berakhir. Aku berada dalam keadaan mati. Semua orang yang berada
disekelilingku mulai menangis karena mengira aku sudah meninggal dunia.
Akan tetapi setelah kitra-kira enam jam aku diperintahkan untuk kembali ke
ragaku. Aku bisa menyaksikan ruhku kembali memasuki ragaku perlahan-lahan
dan visi itu berakhir”.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) juga mengatakan kalau Beliau
menerima rahasia-rahasia spiritual dari berbagai pihak dan khususnya dari
Uways al-Qarani (ral) yang memberi pengaruh besar dalam hal meninggalkan
keduniawian dan melekatkan diri Beliau kepada hal-hal spiritual (ukhrowi).
Beliau berkata “Aku melakukan ini dengan menjaga sunnah dan perintah-
perintah Nabi Muhammad (sal) sampai aku mulai menyebarkan hikmah dan
dikarunia rahasia-rahasia Ilahiah dari yang Maha Esa yang tidak pernah
diberikan pada seorangpun sebelumku”
Ada kisah menarik lainnya yang dituturkan oleh Wali Agung Maulana Syaikh
Bahauddin Naqsyaband (ral) mengenai kekuatan spiritual Beliau. Maulana
Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) berkata: Suatu hari aku pergi ke gurun
bersama salah satu muridku yang tulus yang bernama Muhammad Zahid. Kami
mulai menggali tanah dengan menggunakan sebuah beliung (alat untuk
menggali) dan pada saat bersamaan juga sambil membicarakan secara
mendalam tingkatan-tingkatan pengetahuan. Sambil terus mengayun beliung
pembicaraan kami terus berlangsung dan semakin mendalam. Lalu tiba-tiba
muridku bertanya “Sampai batas apakah pencapaian ibadah?”. Kujawab
”Peribadatan mencapai suatu tingkatan dimana kau mampu menunjuk pada
seseorang dan berkata “Matilah” dan lalu orang itupun mati”. Ketika aku
sedang mengatakan itu tanpa sadar sambil telunjukku menunjuk pada
Muhammad Zahid. Ketika kukatakan kata “Mati” terjadilah hal yang
mengerikanku yaitu muridku jatuh dan meninggal dunia. Waktu terus berlalu
dari pagi sampai tengah hari dan muridku masih dalam keadaan mati. Pada
saat tengah hari terasa sangat panas dan jenasah muridku mulai semakin
memburuk karena panas yang sangat. Aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan dan merasa takut serta kebingungan. Yang bisa kulakukan adalah
membawa jenasahnya ketempat teduh dibawah pohon. Aku lalu duduk mulai
berfikir dan merenung akan apa yang harus kulakukan dalam situasi ini. Tiba-
tiba muncul Ilham dalam pikiranku dan aku berkata sambil menunjuk pada
jenasah muridku “Wahai Muhammad Hiduplah!” tiga kali. Timbul rasa legaku
ketika perlahan-lahan nyawanya kembali ke tubuhnya dan secara bertahap
muridku kembali ke kesadarannya. Dengan bergegas aku menemui Syaikh ku
dan menceritakan kejadian itu. Syaikh ku kemudian berkata “Wahai anakku,
Allah Yang Maha Kuasa telah memberimu suatu rahasia yang tak pernah
diberikannya kepada siapapun”.
Dihari-hari akhir masa hidupnya Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral)
lebih sering mengurung diri di kamarnya. Banyak orang yang datang
mengunjungi Beliau. Semakin banyak orang yang berkunjung ketika sakit
Beliau semakin parah. Saat ajal Beliau makin dekat, Beliau memerintahkan
agar dibacakan Surah Yaasin. Selesai dibacakan Surah Yaasin Beliau
mengangkat tangan sambil membaca Dua Kalimah Syahadat, yaitu bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad (sal) adalah Utusan Allah.
Dengan Syahadat ruh suci Beliau kembali kepada Allah. Ketika itu tanggal 3
Rabiul Awwal, 791 H/1388 M, pada hari Senin malam. Sesuai permintaannya
Beliau dimakamkan di taman miliknya. Mengenai kejadian ini seorang Wali
Agung masa itu Abdul Wahab asy-Syarani berkata: Ketika Syaikh dimakamkan
di makamnya terbukalah untuk Beliau sebuah jendela ke surga, sehingga
makamnya menjadi sebuah taman surga. Dua mahluk spiritual berpenampilan
memesona datang dan memberi salam kepada Beliau sambil berkata “Kami
telah menanti sekian lama untuk melayani Anda sejak Allah menciptakan kami
dan sekarang waktunya telah tiba bagi kami untuk melayani Anda”, terhadap
ucapan ini Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) menjawab “Aku tidak
butuh apapun selain Dia. Aku tidak butuh kamu, aku butuh Dia”. Dengan cara
seperti itu Beliau mangkat.
Itulah kisah kebesaran dari Pir atau Tiang dari Tarekat Naqsyabandi yang mulia.
Tarekat ini sebelum jaman Beliau dikenal sebagai Tarekat Siddiqiyah. Setelah
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral), tarekat ini dikenal sebagai
Tarekat Naqsyabandiyah. Semoga Allah merahmati Maulana Syaikh Bahauddin
Naqsyaband (ral).Amiin.
Tuang Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al amfani Al Fancuri
PELETAK DASAR TAREKAT HIZIB NAHDHATUL WATHAN

Beliau adalah sosok ulama karismatik yang berasal dari Indonesia bagian timur.
Kedalaman ilmu yang dimilikinya menjadikannya beliau sosok ulama yang
cukup di segani dan termasyhur serta menjadi kebanggaan indonesia bahkan
dunia. Ulama Ahli Hadist Mekkah Habib Muhammad Alwi al maliki bahkan
pernah mengatakan ” Tidak ada para ulama dan Pelajar di Mekkah yang tidak
mengenal Syech Zainuddin , beliau adalah ulama besar yang memiliki segudang
ilmu bukan hanya milik bangsa Indonesia tapi milik umat islam sedunia.
Ucapan Habib Muhamad alwi almaliki tersebut bukan tanpa alasan. Sosok
Zainuddin bin Abdul madjid sudah terkenal memiliki kecerdasan yang luar
biasa sejak usia remaja. Para guru-gurunya pun mengakui kelebihan yang
dimiliki oleh Zainuudin.
Ulama asal Lombok ini terkenal dengan sebutan Tuang Guru Zainuddin bin
Abdul Madjid Al amfani Al Fancuri, Lahir di Desa Pancor lombok timur
tangal 11 may 1906. Ayah beliau KH. Abdul Madjid seorang ulama dan
pejuang yang cukup di segani di lombok . Menjelang kelahiran Putranya,
ayahnya bermimpi didatangi Waliyulloh dari Tarim Hadromaut , dalam mimpi
tersebut di beri pesan agar anaknya di beri Nama ”Saqqap” yang artinya
“Orang yang memperbaiki atap” Orang Indonesia menyebutnya “assegap”
dan secara kebetulan Waliyulloh tersebut bernama “Saqqop”. Sejak kecil
Zainuddin dipanggil dengan dialek sasak dengan sebutan “Segep” atau “gep”.
Setelah Menunaikan Ibadah Haji baru Namanya di ganti dengan
Haji Zainuudin bin Abdul Madjid.
Sejak kecil Tuan Guru ZAinuddin belajar kepada ayahnya dan ulama ulama di
Lombok. Menginjak usia Remaja Tuan Guru Zainuddin di kirim ayahnya untuk
belajar di Mekkah. Kecerdasan yang dimilki Tuan Guru Zainuddin mampu
menyerap ilmu-ilmu yang di berikan gurunya. Diantara guru -guru beliau di
Mekkah adalah Syech Hasan Muhamad Al masysyat, Al alamah Syech Salim
rahmatulloh dan lain-lain. Kejeniusan Tuan Guru Zainuddin sangat di kagumi
oleh guru guru beliau. Bahkan ketika masuk di Madrasah Al-Shaulatiyah
sebagaimana lazimnya setiap pelajar yang akan belajar di sana harus melalui
tes, dan yang memberikan tes tersebut adalah direktur Al Shaulatiyyah sendiri
Al alamah Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad Al-
Masysyath. Dan hasilnyapun sungguh mencengangkan, Tuan Guru Zainuddin
lulus tes dan ditempatkan langsung di tingkat tiga. Namun dengan kerendahan
hatinya Tuan Guru Zainuddin meminta agar dirinya masuk ke tingkat 2 saja
dengan alasan untuk memperdalam ilmu Nahwu Shorof. Dengan demikian
akhirnya Zainuddin belajar di Madrasah Al Shaulatiyyah langsung ke tingkat 2.
Tuan Guru Zainuddin tak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan
kepadanya untuk belajar dengan sungguh sungguh. Dengan di temani oleh
ibunya selama di Mekkah, Tuan Guru Zainuddin selalu minta Ridho dan do’a
dari ibunya demi kesuksesannya dalam belajar. Dan terbukti Tuan guru
Zainuddin lulus dengan predikat “Mumtaz” (camlaude). Sebagai penghargan
atas prestasinya Direktur Madrasah Al-Shaulatiyah Syaikh Salim Rahmatullah
mengundang Ahli Kaligrafi terbaik di Mekkah untuk menulis Ijazah Tuan guru
Zainuddin, bahkan Beliau mengatakan bahwa “Madrasah Al shaulatiyah tidak
perlu memiliki murid banyak , cukup satu orang saja asalkan memilki prestasi
dan berkualitas seperti ZAinuddin”. Prestasi yang didapat oleh Tuan guru
Zainuddin bukan tanpa pengorbanan, Ibunda yang selalu mendampingi dan
mendo’kannya telah meninggal dunia di Makkah.
Hampir 13 tahun Ta’lim di Makkah Tuan Haji Zainuddin kembali ketanah air.
Suasana konflik di tanah air dengan Belanda , telah membangkitkan semangat
beliau untuk berdakwah dan melakukan perlawanan terhadap penjajah. Beliau
melakukan dakwah ke berbagai plosok daerah dan terkenal dengan sebutan
“Guru Bajang” . Tahun 1934 Tuan Guru Haji Zainuddin mendirikan Pesantren
bernama “Al Mujahidin” yang merupakan Cikal bakal berdirinya “Nahdlatul
Wathon” yang di didirikan tgl 22 Agustus 1937 . Pembawaanya yang
berwibawa dan keluasan ilmu yang mendalam menjadikan beliau sosok ulama
yang menjadi panutan dan rujukan para ulama, sikapnya yang sederhana tak
menunjukan bahwa beliau seorang ulama. Selalu mendengar keluh kesah
warganya dan mencoba di carikan jalan keluarnya. Maka beliau begitu sangat
di cintai murid dan warganya. Perkembangan Nahdlatul Wathon sangat pesat
sampai saat ini telah memilki hampir 1000 cabang di seluruh nusantara,
perkembangan tersebut tak lepas dari peran para muridnya yang membuka
cabang di daerah tinggalnya masing masing.
Jaringan Intelektual
TGH Muhammad Zainuddin AM memiliki jaringan intelektual yang luar biasa,
terutama silsilah guru-guru yang didapatinya selama di Makkah al-
Mukarromah. Jaringan ini mencerminkan betapa luasnya pengembaraan
mencari ilmu dan matangnya keilmuwan TGH Muhammad Zainuddin AM.
Silsilah keilmuwan yang diperolehnya tidak dalam satu mata rantai dalam
setiap cabang keilmuwan, melainkan beberapa guru yang memiliki
kemampuan dan pengetahuan agama yang luas.
Guru-guru yang mengajarkan al-Qur’an dan kitab melayu:
1. T.G.H. Abdul Majid
2. T.G.H. Syarafuddin Pancor Lombok Timur
3. T.G.H. Abdullah bin Amak Dujali Kelayu Lombok Timur
4. Al ‘Alim al-‘Allamah al-Syaik al-Kabir al-Arifubillah Maulana Syaikh Hasan
Muhammad al-Mahsyat
5. Al ‘Alim al-‘Allamah al-Faqih Maulana al-Syaikh Umar Bajunaid al- Syafi’i
6. Al ‘Alim al-‘Allamah al-Faqih Maulana Syaikh Muhammad Syaid al-Yamani
al-Syafi’i
7. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Mutaffanin Sibawaihi Zanamihi Maulana Syaikh Ali al-
Maliki
8. Maulana Syaikh Abu Bakar al-Falimbangi
9. Maulana Syaikh Hasan Jambi al-Syafi’i
10. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Muffasir Maulana al-Syaikh Abdul Qadir al-Mandili
al-Syafi’i
11. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Shufi Maulana Syaikh Muhtar Betawi al-Syafi’i
12. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Muhaddis Maulana Syaikh Umar Hamdan al Mihrasi
al-Maliki
13. Al ‘Allim al- ‘Allamah al-Muhaddis Maulana Syaikh Abdul Qadir al-Syibli al-
Hanafi
14. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Adib al-Shufi Maulana Syaikh al-Syayid Muhammad
Amin al-Kuthbi al-Hanafi
15. Al ‘Allim al-‘Allamah Maulana Syaikh Muhsin al-Musahwa al-Syafi’i
16. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Falaqi Maulana Syaikh Khalifah al-Maliki
17. Al ‘Allim al-‘Allamah Maulana Syaikh Jamal al-Maliki
18. Maulana Syaikh al-Shahih Muhammad Shalih Mukhtar al-Makhdum al-
Hanafi
19. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Syafi’i Maulana Syaikh Mukhtar al-Makhdum Al
Hanafi
20. Maulana Syaikh al-Syayid Ahmad Dahlan Sadakah al-Syafi’i
21. Maulana Syaikh Salim Cianjur al-Syafi’i
21. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Muarrikh Maulana Syaikh Salim Rahmatullah al-
Maliki
22. Maulana Syaikh Abdul Gani al-Maliki
23. Maulanasyaikh al-Syayid Muhammad Arabi al-Tubani al-Jasairi al-Maliki
24. Maulana Syaikh al-Faruq al-Maliki
25. Maulana Syaikh al-Wa’id al- Syaikh Abdullah al-Farisi
26. Maulana Syaikh Mala Musa
Guru Ilmu Tajwid, al-Qur’an dan Qiraat Sab’ah:
1. Al-Syaikh Jamal Mirdad (Imam dimakam Imam Hanafi di Masjidil Haram)
2. Al-Syaikh Umar Arba’in (Ahli Qur’an dan Qasidah yang sangat terkenal)
3. Al-Syaikh Abdul Latif Qari (Guru besar di Qiraat Sab’ah di Madrasah 4.
Ashaulatiyah)
4. Al-Syaikh Muhammad Uba’id (kepala guru/Guru besar dalam bidang Tajwid
dan Qiraat yang sangat terkenal di Makkah).
Ilmu Fiqih, Tasawuf, Tajwid, Usulul Fiqih dan Tafsir:
1. Al-‘Alamah ‘al-Syaihk Umar Bajunaid al-Syafi’i
2. Al-‘Alimul al-Alamah al-Syaikh Muhammad Said al-Yamani
3. Al-‘Alamah al-Syaikh Muhtar Betawi
4. Al-‘Alamah al-Syaihk Abdul Qadir al-Mandili (Murid Khusus dari al- Allamah
5. Syaikh Ahmad Hamud Minangkabau Sumatera Barat)
6. Al-‘Alamah al-Faqih Abdul Hamid Abdur Rabb al-Yamani
7. Al-‘Mutaffanin al-‘Allamah al-Syayid Muhsin al-Musawa (Musisi Pendiri Darul
Ulum al-Diniyah Makkah Mukarramah)
8. Al-‘Allamah al-Adib al-Syaikh Abdullah al-Lajahi al-Farisi (Pengarang Yang
Sangat Terkenal)
Guru Ilmu Arud (Syair Bahasa Arab):
1. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Syaikh Abdul Qani al-Qadli
2. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Adib al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi
Guru Ilmu Falak:
1. Maulana Syaihk Cianjur (Jawa Barat)
2. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Falaki Maulana Syaikh Khalifah al-Makki
3. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Sayyid Ahmad Dahlan Sadakah al-Syafi’i
Guru Ilmu Hadits, Mustalahul Hadits, Mustahul Tafsir, Ilmu Fara’id, Sirah
(Tarikh) dan Berbagai Ilmu Alat (Nahu-Syaraf):
1. Al-‘Allamah al-Qabir Sibawaihi Zamanihi al-Syaikh al-Maliki
2. Al-‘Allamah al-Jalil Asyaikh Jamal al-Maliki
3. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Kabir al-Muhaddist Maulana Syaihk Umar Hamdan al-
Mihrazi al-Syafi’i
4. Al ‘Allimul ‘Allamah al-Kabir al-Muhaddist Maulana Syaikh Abdullah al-Buhari
al-Syafii (Mufti Istanbul)
5. Maulanna Wamurabbi Abil Barokah al-‘Allim al-‘Allamah al-Ushuli al-
Muhaddist al-Shufi al-‘Arifubillah Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-
Mahsyat al-Maliki
6. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Shorfi Maulana Syaikh Muftar Makdum al-Hanafi
7. Al-‘Allim al-‘Allamah Maulana Syaikh al-Sayyid Muhsin al-Musawa
8. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Adeb al-Shufi Maulana Shaihk al-Sayyid Muhammad
Amin al-Kutbi al-Hanafi
9. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Syaikh Umar al-Faruk al-Maliki
10. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Kabier al-Syaikh Abdul Qadir al-Syalabi al-Hanafi
Guru Ilmu Arwad (Ahzab):
1. Al-‘Allim al-‘Allamah (Kyai Falaj) (Bogor Jawa Barat)
2. Maulana Syaihk Malla Musa al-Maqribi
Guru Khat (Kaligrafi):
1. Al-Khattah al-Syaikh Abdul Aziz Langkat
2. Al-Khattah al-Syaihk Dau al-Rumani al-Fhatani
3. Al-Khattah al-Syaihk Muhammad al-Ra’is al-Maliki
Dari semua guru TGH Muhammad Zainuddin AM, ada lima guru/ulama yang
sangat berjasa dalam membimbing dan mendidiknya di Mekah: Syaikh Hasan
Muhammad al-Mahsyat al-Maliki, Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi
al-Hanafi, Syaikh Umar al-Faruk al-Maliki, dan Syaikh al-Sayyid Umar Hamdan
al-Mihrasi al-Syafi’i.

Kiprah Sosial-Keagamaan
Melihat kondisi masyarakat Lombok yang masih terbelenggu oleh kebodohan
dan keterbelakangan, TGH Muhammad Zainuddin AM merasa tertantang
untuk membenahi masyarakatnya yang masih dalam jajahan Belanda, Jepang,
Hindu Bali (Anak Agung Karangasem) melalui pencerdasan agama.
Kepulangannya dari Mekah pada tahun 1934 ketika terjadi peperangan antara
Raja Syarif Husein dengan Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman sehingga ia
kembali ke Lombok untuk membuka pengajian pemula untuk masyarakat
dengan sistem halaqah (Abdul Hayyi Nu’man, 1998).
Pondok Pesantren yang didirikan diberi nama Pondok Pesantren Nahdlatul
Wathan (membela tanah air) sesuai dengan obsesinya untuk membela tanah
air dari kaum penjajah. Dengan berbekal ilmu yang dimiliki, ia mampu tampil
sebagai seorang ulama yang mempunyai kompetensi besar dalam membentuk
kader ulama. jenjang pendidikan yang khusus untuk mencetak kader ulama
diberi nama Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits. Sebagai seorang Mujahid, TGH
Muhammad Zainuddin AM berupaya melakukan inovasi untuk meningkatkan
pengetahuan agama masyarakat. Itu sebabnya, ia membuat rintisan dengan
memperkenalkan sistem madrasi dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran agama di NTB, membukan lembaga pendidikan khusus bagi wanita,
mengadakan Syafatul Qubra, meciptakan hizib tarekat Nahdaltul Wathan,
membuka sekolah umum di samping sekolah agama, menyususn nazham
berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia.
Berikut ini kiprah sosial-keagamaan TGH Muhammad Zainuddin AM:
1. Pada tahun 1943 mendirikan Pesantren Al-Mujahidin
2. Pada tahun 1937 mendirikan Madrasah NWDI
3. Pada tahun 1943 mendirikan Madrasah NBDI
4. Pada tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok
5. Pada tahun 1946 Pelopor Penggempuran Nica di Selong Lombok Timur
6. Pada tahun 1947/1948 menjadi Amirul Hajji dari negara Indonesia Timur
7. Pada tahun 1948/1949 Anggota delegasi Negara Indonesia Timur ke Saudi
Arabia
8. Pada tahun 1950 Konsultan NU Sunda Kecil
9. Pada tahun 1952 Ketua badan penasehat Masyumi Daerah Lombok
10. Pada tahun 1953 Mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan
11. Pada tahun 1953 Ketua Umum PBNW pertama
12. Pada tahun 1953 Merestui terbentuknnya NU dan PSII di Lombok
13. Pada tahun 1954 Merestui terbentuknya PERTI Cabang Lombok
14. Pada tahun 1955 Anggota Konstituante RI hasil Pemilu I 1955
15. Pada tahun 1964 Menjadi peserta KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di
Bandung
16. Pada tahun 1964 Mendirikan Akademi Paedagogik NW
17. Pada tahun 1965 Mendirikan Ma’had Darul Qur’an Wal Hadist Al Majidiah
Asy Syafi’iyah Nadlatul Wathan
18. Pada tahun 1972/1982 Anggota MPR RI hasil Pemilu II dan III
19. Pada tahun 1971/1982 Penasehat Majelis Ulama’ Indonesia Pusat
20. Pada tahun 1974 Mendirikan Ma’had Lil Banat
21. Pada tahun 1975 Ketua Penasehat bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti
Hajar Mataram
22. Pada tahun 1977 Menjadi Rektor Universitas Hamzan Wadi
23. Pada tahun 1977 Mendirikan Universitas Hamzan Wadi
24. Pada tahun 1977 Mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzan Wadi
25. Pada tahun 1978 Mendirikan STKIP Hamzan Wadi
26. Pada tahun 1978 Mendirikan Sekolah Ilmu Syari’ah Hamzan Wadi
27. Pada tahun 1982 Mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzan Wadi
28. Pada tahun 1987 Mendirikan Universitas Nahdlatul Nathan di Mataram
29. Pada tahun 1987 Mendirikan Sekolah Ilmu Hukum Hamzan Wadi
30. Pada tahun 1990 Mendirikan Sekolah Ilmu Da’wah Hamzan Wadi
31. Pada tahun 1994 Mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) putra
putri
32. Pada tahun 1996 Mendirikan Institut Agama Islam Hamzan Wadi
Pemikiran dan Karyanya
Konsep pendidikan yang diajarkan adalah bahwa pendidikan tidak hanya
memberikan ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi juga pemupukan moral,
melatih dan mempertinggi nilai-nilai kemanusiaan. Karena pendidikan adalah
kewajiban manusia untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dalam hal ini, usaha
yang ia pikirkan dan praktikkan adalah pengembangan pendidikan Islam
melalui pesantren. Yakni, berusaha mengembangkan pesantren dengan
menerima beberapa pemikiran alternatif yang dapat dijadikan sebagai
masukan/kontribusi bagi pengembangan pesantren sejalan dengan perubahan
zaman. Karena itu, menurut TGH Muhammad Zainuddin AM, pesantren mesti
merubah orientasinya dengan tidak sekadar berorientasi pada pencarian ilmu
agama, tetapi juga ilmu-ilmu yang lain.
TGH Muhammad Zainuddin AM dikenal sebagai ulama yang tidak sekadar
menekuni dunia pendidikan di pesantren dan masyarakat, tetapi juga sebagai
penulis dan pengarang yang produktif yang bakatnya ini timbul sejak masih
belajar di Madrasah Ash-Shaulatiyah di Mekah. Beberapa karya yang
dihasilkannya di antaranya dalam bentuk kitab, kumpulan doa, dan lagu-lagu
perjuangan dalam bahasa Arab, Indonesia, dan Sasak.
Karya-karyanya antara lain:
1. Risalah al-Tauhid
2. Sullam al-Hija’
3. Syarah Safinah al-Najah
4. Nahdlah al-Zainiyyah
5. Al-Tuhfah al-Ampananiyah
6. Al-Fawakih al-Nahdliyyah
7. Mi’raj al-Sibyan ila Samaim al-Bayan
8. Anfat ‘Ala Tarikah al-Tsaniyah
9. Hizib Nahdlatul Wathan
10. Hizib Nahdlatul Banat
11. Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan
12. Batu Ngumpal Anak Nunggal
13. Tarekat Batu Ngumpal
14. Wasiat Renungan Masa I
15. Wasiat Renungan Masa II
16. Ta’sis NWDI
17. Imamuna al-Syafi’i
18. Mi’raj al-Sibyan
19. Siraj a-Qulub fi Da’iyat ‘Alamat al-Guyub
Banyaknya karya yang telah ia terbitkan mencerminkan ketinggian ilmu
yang dimilikinya, sehingga oleh guru-gurunya TGH Muhammad Zainuddin AM
mendapat pujian dan kepercayaan yang besar. Di antaranya, ia pernah diberi
kesempatan untuk memberikan kata pengantar dari gurunya Maulana Syaikh
Hasan Muhammad al-Mahsyat. Dalam kata pengantar yang ia tulis untuk kitab
Baqi’ah al-Mustarsyidin karya Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat
sambil mengutip hadist Nabi Saw mengatakan: “Janganlah kamu mempelajari
ilmu syariat dari seseorang kecuali dari orang yang baik riwayat hidupnya dan
hatinya dan kamu sekalian telah menyelidiki atas keamanahannya”. Dari
Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat inilah, ia pernah mendapatkan
risalah/ijazah dengan seluruh isi kitabnya, “al-Irsyad bi al-Dzikr ba’da Ma’alim
al-Ijazah wa al-Asnaf”. Dari sinilah, ia menukil sebagian ucapan gurunya
tentang kehidupan pribadinya yang mantap, tetapi tetap menganggap dirinya
adalah orang yang hina dan fakir dalam pengetahuan agama.
Syaikh Muhammad al-Mahsyat pernah memberikan sanjungan kepada TGH
Muhammad Zainuddin AM. Berikut kutipannya: “Demi Allah saya kagum
kepada Zainuddin, kagum pada kelebihannya atas orang lain pada kebesaran
yang tinggi dan kecerdsannya yang tiada tertandingi, jasanya bersih ibarat
permata menunjukkan kebersihan ayah bundanya dan karya-karya tulisnya
indah lagi menawan penaka bunga-bungaan yang tumbuh di lereng
pegunungan. Di lapangan ilmu ia dirikan ma’had, tetap dibanjiri thullab dab
thalibat menuntut ilmu dan menggali kitab. Ia kobarkan semangat generasi
muda menggapai mustawa dengan karyanya Mi’raj al-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm al-
Bayan. Semoga Alah memanjangkan usianya dan dengan perantarannya ia
memajukan ilmu pengetahuan agama di Ampanan bumi Selaparang.
Terkirimlah salam penghormatan harum semerbak bagaikan kasturi dari tanah
Suci menuju “Rinjani” (Syaikh Muhammad Zainuddin AM dalam Mi’raj al-
Sibyan ila Sama’i ‘Ilm al-Bayan). Dengan demikian, TGH Muhammad Zainuddin
AM selain dikenal sebagai ulama yang memiliki kepedulaian yang tinggi
terhadap dunia pendidikan Islam, ia juga mampu menuliskan pikiran-
pikirannya untuk memberikan warisan yang paling berharga bagi penerus
KIAI AS'AD SYAMSUL ARIFIN
MURSYID QODIRIYYAH WANNAQSYABANDIYYAH
Siapa tidak kenal Kiai As'ad Syamsul Arifin. Sang pembawa tongkat berisi pesan
penting dari Kiai Kholil Bangkalan untuk Khadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari itu
adalah sosok ulama kharismatik, unik dan pemberani. Beliau adalah salah satu
tokoh sentral lahirnya ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama.
Kini, Kiai As'ad sudah lama berpulang ke rahmatullah. Namun, warisan
keilmuan dan semangat juangnya masih tetap membara. Ribuan santrinya
telah menyebar di berbagai nusantara. Jelas, kenyataan itu menunjukkan
kapasitas keilmuan dan kekeramatannya. Dawuh atau wejangan Kiai As'ad,
selalu melekat dan diikuti para santri dan pecintanya. Sekali beliau berkata,
untaian kalimatnya begitu membekas dalam hati.
Pernah suatu hari, Ustadz Basori Alwi sengaja diundang oleh Kiai As'ad untuk
membacakan al-Quran di hadapan ribuan jamaah pengajian rutin yang diasuh
oleh Kiai As'ad. Usai Ustadz Basori -yang kini menjadi pengasuh Pesantren Ilmu
al-Qur'an (PIQ) Singosari Malang- melantunkan ayat-ayat suci al-Quran, Kiai
As'ad memintanya untuk memberikan sedikit tawsiyah di hadapan para
hadirin.
Tak bisa menolak, akhirnya Ustadz Basori pun menyampaikan beberapa
pelajaran terkait dengan pentingnya membaca al-Quran secara bertajwid dan
perlunya mendalami ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu al-Quran.
Setelah kurang lebih 30 menit berceramah, Kiai Basori menutup pidatonya
dengan doa singkat. Pada sesi berikutnya, Kiai As'ad lalu tampil sebagai
penceramah. Dalam muqaddimah pidatonya yang disampaikan dalam bahasa
Madura, Kiai As'ad berkata:
"Tan tretan sedejeh! Engak gi, Kiai Basori neka, guruna be'en kabbih. Inga' le,
molai setiyah, Kiai Basori nika, guruna be'en kabbih".
"Saudara-saudara! Ingat, Kiai Basori ini adalah guru kalian semua. Saya
peringatkan lagi, sejak hari ini, beliau ini menjadi guru kalian semua".
Sungguh luar biasa, akhlaq Kiai As'ad terhadap ilmu. Kiai kharismatik itu ingin
mengajarkan betapa seseorang yang telah berjasa mengajarkan sebuah ilmu,
meski hanya satu huruf, maka orang tersebut adalah gurunya. Pernyataan Kiai
As'ad di atas, mengingatkan pada statemen Sayyidina Ali bin Abu Thalib, "Ana
abdu man 'allamani wa law harfan wahidan". Artinya, "Aku adalah hamba
setiap orang yang mengajariku meski hanya satu huruf".
Setelah acara pengajian itu bubar, Kiai Basori pun pulang ke rumahnya di
Singosari, Malang. Saat itu, beliau memang telah rutin mengajar al-Quran
pulang-pergi antara Singosari-Situbondo. Karena belum punya kendaraan
pribadi dan bahkan bus angkutan umum pun masih jarang ada, maka
terkadang Kiai Basori harus "ngandol" alias numpang truk barang. Sebuah
perjuangan demi al-Quran.
Kembali ke kisah tadi. Ketika Kiai Basori naik bus kota di Situbondo, sepulang
dari pengajian tadi, kontan saja para penumpang bus mengenali sosok
penumpang itu yang tak lain adalah seseorang yang baru saja didaulat oleh Kiai
As'ad sebagai guru mereka semua.
Menyadari hal itu, syahdan para penumpang bus berebut untuk salaman
dengan Kiai Basori. Jelas hal ini membuat kiai muda itu nervous. Yang lebih
mengejutkan lagi, ternyata setiap penumpang itu menyalaminya dengan uang
seadanya. Ada memberi salam tempel sebesar 10.000, 5.000, hingga 1.000
rupiah.
Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Madura, bila bersalaman dengan
kiai, sebagai bentuk ta'dzim terhadap guru adalah memberi salam tempel
berupa uang, walaupun mungkin nilainya tidak besar. Bahkan, beberapa orang
Madura pantang bersalaman dengan seorang ulama dengan hanya tangan
kosong. Mereka menilai salam tempel kosongan adalah su'ul adab dan tidak
tahu hormat terhadap ahli ilmu.
Sungguh luar biasa, bentuk penghormatan para jamaah dan santri Kiai As'ad
yang notabene-nya adalah orang Madura. Sekali mereka di-dekrit oleh Kiai
As'ad bahwa Kiai Basori adalah juga guru mereka yang harus dihormati, maka
sejak itu pula mereka tunduk dan memperlakukan Kiai Basori layaknya guru
yang harus dimuliakan dalam segala hal, termasuk juga mensalaminya.
Hingga kini, di setiap acara haul Kiai As'ad, Kiai Basori selalu diundang untuk
membacakan surah Yasin atau ayat-ayat al-Quran. Kiai Fawaid, putra Kiai As'ad
dan juga penerusnya, sama sekali tidak mau menggantikan posisi Kiai Basori
dalam membacakan ayat-ayat suci al-Quran di acara haul Kiai As'ad. Mengapa?
Salah satu alasannya karena ayahanda beliau telah mendaulat Kiai Basori
sebagai Sang Guru Quran.
Sekali seseorang mengajari kita tentang ilmu, meski satu huruf saja, maka sejak
itu pula dialah guru kita. Inilah yang dipegangi Kiai As'ad Syamsul Arifin persis
seperti prinsip Saydina Ali bin Abu Thalib, Sang Pintu Ilmu dari Madinatul Ilmi.
Syeikh Abdul Karim Banten
(Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah)
http://teguhimanprasetya.files.wordpress.com/2008/09/gambar-
haji1.jpg?w=224&h=356&h=356 Pemimpin Tarekat dan Haji-haji Pemberontak
Gerakan kebangkitan kembali (revival) yang dipimpin Syekh Abdul Karim alias
Kiai Ageng memang memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal
keagamaan dan bernada puritan. Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang
radikal. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada tuntutan agar ketentuan-
ketentuan agama, dengan tekanan khusus kepada salat, puasa, mengeluarkan
zakat dan fitrah, agar benar-benar dilaksanakan. Dan tentu saja, zikir
merupakan kegiatan yang pokok pula.
Senin, 13 Februari 1876. Haji Abdul Karim meninggalkan Tanara. Ia terpaksa
meninggalkan Banten menuju tanah airnya yang kedua, Makkah, menyusul
pengangkatannya sebagai Pemimpin Tarekat Qadiriah, menggantikan Syekh
Ahmad Khatib Sambas. Ikut bersamanya 10 anggota keluarga, enam orang
pengawal, dan 30 atau 40 orang yang menyertainya hanya sampai Batavia.
Khawatir akan kemungkinan turunnya rakyat secara besar-besaran ke jalan,
Residen Banten meminta Kiai Abdul Karim mengubah rute perjalanannya.
Rencananya singgah di beberapa tempat di Tangerang dibatalkan; diputuskan
ia akan menumpang kapal langsung ke Batavia. Padahal banyak haji dari
Tangerang dan Distrik Bogor sudah berangkat ke Karawaci. Selain itu, satu
pertemuan besar akan digelar di rumah Raden Kencana, janda Tumenggung
Karawaci dan ahli waris perkebunan swasta Kali Pasir, yang selain oleh anggota
keluarganya juga bakal dihadiri orang-orang yang dicap pemerintah kolonial
sebagai “fanatik” dan pembangkang. Semuanya urung. Toh murid dan para
pengikut Abdul Karim berduyun-duyun bertolak dari desa-desa pantai, seperti
Pasilian dan Mauk, dengan menggunakan berbagai perahu, untuk menyatakan
salam perpisahan—dan semoga Kiai kembali.
Tak syak lagi, Haji Abdul Karim adalah salah satu ulama yang sangat dihormati
dan paling berpengaruh di Nusantara pada penghujung abad ke-19. Ia digelari
Kiai Agung. Bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai Wali Allah, yang
telah dianugerahi karamah. Di antara peristiwa yang disebut-sebut sebagai
petunjuk kekaramatannya, pertama, ia selamat ketika seluruh daerah dilanda
banjir air Sungai Cidurian; kedua, setelah ia dikenai hukuman denda, residen
diganti dan bupati dipensiun.
Besarnya pengaruh Kiai Abdul Karim, juga tampak ketika ia melangsungkan
pernikahan putrinya. Seluruh desa Lampuyang, tempat tinggalnya, dihias
dengan megah. Kiai-kiai terkemuka – termasuk dari Batavia dan Priangan –
datang di pesta yang antara lain dimeriahkan rombongan musik dari Batavia
dan berlangsung sepekan itu. Sejak muda Abdul Karim berguru kepada Syekh
Ahmad Khatib Sambas. Pemimpin tarekat yang juga menguasai hampir semua
cabang ilmu keislaman ini dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat, dan
bermukim di Makkah sejak perempat kedua abad ke-19. Pengarang Fathul
‘Arifin ini – kitab pedoman praktis untuk para pengamal tarekat di Asia
Tenggara – mengajar di Masjidil Haram sampai wafatnya pada 1875. Ulama
terkemuka ini punya banyak pengikut, sehingga ajaran Qadiriah menyebar di
berbagai daerah di Nusantara, seperti Bogor, Tangerang, Solok, Sambas, Bali,
Madura, dan Banten. Kecuali di Madura, semua pengikut tersebut berada di
bawah bimbingan Haji Abdul Karim. Boleh dikatakan, Abdul Karim adalah
murid Syekh Sambas yang paling terkemuka. Tak heran, jika dia mendapat
kepercayaan gurunya untuk menyebarkan ajaran Tarekat Qadiriyah.
Tugas pertama yang diemban Haji Abdul Karim adalah menjadi guru tarekat di
Singapura. Setelah beberapa tahun, ia kembali ke desa asalnya, Lampuyang,
Tanara, pada tahun 1872. Ia mendirikan pesantren, dan karena sudah amat
terkenal, dalam waktu singkat ia sudah banyak memperoleh murid dan
pengikut. Sulit diperkirakan berapa jumlah pengikutnya. Yang pasti, dialah yang
paling dominan di kalangan elite agama di Banten kala itu.
Kurang lebih tiga tahun Kiai Abdul Karim tinggal di Banten. Ditunjang kekayaan
yang dimiliknya, ia mengunjungi berbagai daerah di negeri ulama dan jawara
itu, sambil menyebarkan ajaran tarekatnya. Selain kalangan rakyat, ia juga
berhasil meyakinkan banyak pejabat pamong praja untuk mendukung
dakwahnya. Tidak kurang dari Bupati Serang sendiri yang menjadi
pendukungnya. Sedangkan tokoh-tokoh terkemuka lainnya, seperti Haji R.A
Prawiranegara, pensiunan patih, merupakan sahabat-sahabatnya, dan mereka
amat terkesan dengan dakwahnya. Alhasil, Kiai Abdul Karim sangat populer
dan sangat dihormati oleh rakyat; sedangkan para pejabat kolonial takut
kepadanya. Kediamannya dikunjungi Bupati Serang dan Residen Banten. Dan
tentu saja kunjungan kedua petinggi di Banten itu membuat gengsinya semakin
naik. Tidak berlebihan jika dikatakan, Kiai Abdul Karim benar-benar orang yang
paling dihormati di Banten.
Sebelum kedatangan Kiai Agung dengan tarekat Qadiriahnya, para kiai bekerja
tanpa ikatan satu sama lainnya. Tiap kiai menyelenggarakan pesantrennnya
sendiri dengan caranya sendiri dan bersaing satu sama lainnya. Maka, setelah
kedatangan Kiai Abdul Karim, tarekat Qadiriah bukan saja semakin mengakar di
kalangan rakyat, tapi mampu mempersatukan para kiai di Banten. Penyebaran
tarekat ini diperkuat oleh kedatangan Haji Marjuki, murid Haji Abdul Karim
yang paling setia, dari Makkah
Kiai Abdul Karim memang orang kaya. Dan kekayaan itu memungkinkannya
menjelajahi berbagai daerah di Banten. Dalam kunjungan-kunjungan itu dia tak
henti-henti berseru kepada rakyat supaya memperbarui kehidupan agama
mereka dengan jalan lebih taat beribadah.Ia menjelaskan bahwa aqidah
(keyakinan) dan ibadah (praktek agama) harus terus dimurnikan. Abdul Karim
memfokuskan zikir sebagai tema keangkitan kembali kehidupan agama
(revival). Maka zikir diselenggarakan di mana-mana, menggelorakan semangat
keagamaan rakyat. Dan Berkat kedudukannya yang luar biasa, khotbah-
khotbah Kiai Abdul Karim mempunyai pengaruh yang besar terhadap
penduduk.
Dalam waktu singkat, setelah Haji Abdul Karim memulai kunjungannya dari
satu tempat ketempat lain, daerah Banten diwarnai kehidupan keagamaan
yang luar biasa aktifnya. Pengaruh dari meluasnya kegiatan keagamaan ini
adalah bangkitnya semangat di kalangan umat dalam menentang penguasa
asing. Kebetulan pada waktu itu sudah berkembang rasa ketidakpuasaan
rakyat kepada pemerintah kolonial akibat tindakan politik dan ekonomi
mereka yang merugikan rakyat. Dalam situasi demikian, para ulama secara
bertahap membangunkansemangat rakyat untuk melawan pemerintah
kolonial Belanda. Ketidakpuasan itu kemudian memuncak sedemikian rupa
sehingga beberapa ulama merencanakan waktu untuk memberontak terhadap
Belanda. Kiai Abdul Karim sendiri menganggap bahwa pemberontakan belum
tiba saatnya karena rakyat belum siap.
Haji-haji Berjiwa Pemberontak
Seperti diungkapkan sejarawan Sartono Kartodirdjo, gerakan kebangkitan
kembali yang dipimpin Kiai Abdul Karim memang memperlihatkan sikap yang
keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada puritan. Tetapi ia bukan
seorang revolusioner yang radikal. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada
tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama, dengan tekanan khusus kepada
salat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah, agar benar-benar dilaksanakan.
Dan tentu saja, zikir merupakan kegiatan yang pokok pula. Setelah Haji Abdul
Karim meninggalkan Banten, menurut Sartono, gerakan itu berpaling dari
semata-semata sebagai gerakan kebangkitan kembali. Semangat yang sangat
anti asing mulai merembesi gerakan tarekat yang telah ditumbuhsuburkan Kiai
Abdul Karim. Dan pada akhirnya haji-haji dan guru-guru tarekat yang berjiwa
pemberontak menempatkan ajaran tarekat sepenuhnya di bawah tujuan
politik.
Syekh Abdul Karim disebut sebagai salah satu di antara tiga kiai utama yang
memegang peranan penting dalam pemberontakan rakyat Banten di Cilegon
pada tahun 1888. Dua tokoh kunci lainnya adalah KH Wasid dan KH Tubagus
Ismail. Sebelum bertolak ke Makkah, sekali lagi ia berkeliling Banten. Di
tempat-tempat yang dikunjunginya, ia berseru kepada rakyat agar berpegang
teguh pada ajaran agama, dan menjauhkan diri dari perbuatan mungkar. Ia
memilih beberapa ulama terkemuka untuk memperhatikan kesejahteraan
tarekat qadiriah. Ia juga pamit kepada para pamong praja terkemuka, dan
berpesan kepada mereka untuk menyokong perjuangan para ulama dalam
membangun kembali kehidupan keagamaan, dan agar selalu minta nasihat
kepada mereka mengenai soal-soal keagamaan.
Menjelang keberangkatannya, kepada murid-murid dekatnya Syekh Abdul
Karim mengatakan bahwa dia tidak akan kembali lagi ke Banten selama daerah
ini masih dalam genggaman kekuasaan asing. Dia memang tidak terlibat secara
langsung pemberontakan yang meletus 12 tahun setelah keberangkatannya ke
Tanah Suci itu. Tapi dialah yang menjadi perata jalan bagi murid-murid dan
pengikutnya untuk melakukan jihad atau perang suci. Di antara murid-
muridnya yang terkemuka, yang mempunyai peranan penting dalam
pemberontakan Banten, antara lain Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Asnawi
dari Bendung Lampuyang, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail
dari Gulacir, dan Haji Marjuki dari Tanara. Mereka juga dikenal sebagai pribadi-
pribadi yang punya karisma.
Kepergian Abdul Karim ke Makkah, ternayata tidak menyurutkan pengaruhnya
di Banten. Popularitasnya bahkan meningkat. Rakyat selah dilanda rindu dan
ingin bertemu dengannya. Sementara para muridnya sendiri sudah tidak sabar
menantikan seruannya untuk berontak. Snouck Hurgronje, yang menghadiri
pengajiannya di Makkah pada 1884-1885, menceritakan: “Setiap malam
beratus-ratus orang yang mencari pahala berduyun-duyun ke tempat
tinggalnya, untuk belajar zikir dari dia, untuk mencium tangannya, dan untuk
menayakan apakah saatnya sudah hampir tiba, dan berapa tahun lagi
pemerintahan kafir masih akan berkuasa.”
Tetapi Syekh Abdul Karim tidak memberikan jawaban pasti. Dia selalu
memberikan jawaban-jawaban yang samar tentang soal-soal yang sangat
penting seperti mengenai pemulihan kesultanan atau saat dimulainya jihad.
Dia hanya mengisyaratkan bahwa waktunya belum tiba untuk melancarkan
perang sabil.***
Dilema Guru, Dilema Murid
Pada 1883 murid Syekh Abdul Karim, Kiai Haji Tubagus Ismail, kembali dari
Makkah, mendirikan pesantren dan mendirikan cabang tarekat Qadiriah di
kampung halamannya, Gulacir. Bangsawan yang ingin menghidupkan kembali
kesultanan Banten ini juga dianggap sebagai wali – ia tidak mencukur
rambutnya seperti umumnya para haji, dan dalam setiap jamuan hampir tidak
pernah makan apa-apa. Ditambah bahwa ia juga cucu Tubagus Urip, yang
sudah dikenal sebagai wali, maka dalam waktu singkat KH Tubagus Ismail
sudah punya banyak pengikut , dan kepemimpinannya semakin diakui di
Banten. Menyadari dirinya mulai menarik perhatian umum, ia pun segera
melancarkan propaganda untuk melawan penguasa kafir. Banyak ulama yang
mendukungnya seperti Haji Wasid dari Beji, Haji Iskak dari Saneja, Haji Usman
dari Tunggak, selain kiai-kiai seperguruannya seperti Haji Abu Bakar, Haji
Sangadeli dan Haji Asnawi. Untuk mengkonkretkan rencana pemberontakan,
rapat pertama diadakan pada tahun 1884 di kediaman Haji Wasid.
Pada Maret 1887 Haji Marjuki, yang sering pulang pergi Banten-Makkah, tiba di
Tanara. Murid kesayangan dan wakil Haji Abdul Karim ini juga sahabat dekat
Haji Tubagus Ismail. Menurut dugaan para pendudukung pemberontakan,
kedatangan Haji Marjuki itu adalah atas permintaan sahabatnya itu. Haji
Marjuki segera melakukan kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah di Banten,
Tangerang, Batavia, dan Bogor untuk mendakwahkan gagasan tentang jihad.
Propagandanya cepat diterima umum, karena ia bertindak atas nama Haji
Abdul Karim. Dilaporkan, setelah berbagai kunjungannya itu, masjid-masjid
dipenuhi orang-orang yang beribadah, jamaah pada hari-hari Jum’at meningkat
tajam. Dalam berdakwah di luar Banten, Haji Marjuki dibantu oleh Haji Wasid,
yang juga sangat berhasil meyakinkan para kiai di daerah Jawa Barat.
Dikatakann, kedua haji ini sesungguhnya merupakan jiwa gerakan jihad di
Banten. Bahkan pejabat-pejabat tertentu di Banten, seperti residen,
menganggap bahwa Haji Marjuki bertanggung jawab sepenuhnya atas
pemberontakan itu.
Tetapi, menjelang pemberontakan meletus, Haji Marjuki segera berangkat ke
Makkah bersama istri dan anaknya. Sebelum berangkat ia sempat memberkati
pakaian putih yang akan dikenakan para pemberontak di masjid kediamannya
di Tanara. Rupanya ia tidak sependapat dengan kiai lainnya, khususnya Haji
Wasid, yang akan memulai pemberontakan pada bulan Juli. Kepada mereka ia
menjelaskan bahwa pemberontakan itu terlalu dini, dan ia meninggalkan
Banten sebelum pemberontakan pecah. Dan jika pemberontakan itu berhasil,
ia akan mengundang Syekh Abdul Karim dan Syekh Nawawi untuk datang ke
Banten dan ikut serta dalam perang sabil.
Di Makkah Haji Marjuki melanjutkan pekerjaan lamanya, yatu mengajar
nahwu, sharaf, dan fikih. Muridnya tergolong banyak. Ia juga tidak pernah
menyembunyikan sikap politiknya. Ia misalnya mengecam pemberontakan
yang dipimpin Haji Wasid yang dinilainya terlalu pagi dan menimbulkan korban
yang sia-sia. Menurutnya, agar berhasil, pemberontakan harus pecah di
seluruh Nusantara, selain bahwa pemberontak harus punya cukup uang dan
senjata. Karena pendapatnya itu, terjadilah perselisihan yang sulit didamaikan
dengan Haji Wasid dan kawan-kawan. Dan kepada mereka ia mengatakan
bahwa tangan kananya yang berpuru tidak memungkinnya aktif
dalamperjuangan. Andaikan dia tetap di Banten, ia pasti akan menghadapi
dilema: dibunuh oleh seradu-serdadu Belanda atau tidak berbuat apa-apa dan
menghadapi risiko tindakan pembalasan Haji Wasid. Maka hanya satu
alternatif – pergi ke Makkah. Lagi pula istri dan anak-anaknya masih ada di
sana. Apakah alasana-alasan itu merupakan dalih yang dibuat-buat untuk
meninggalkan medan pertempuran menjelang saat meletusnya
pemberontakan, dan merupakan bukti bahwa pada saat-saat terakhir Haji
Marjuki hanya mementingkan keselamatannya sendiri? .
Kedudukan pribadi yang sulit seperti itu, sebenarnya pernah dialami beberapa
tahun sebelumnya oleh guru Haji Marjuki sendiri, Syekh Abdul Karim. Hanya
saja sang guru tampaknya lebih “beruntung” karena keburu dipanggil untuk
menggantikan kedudukan Syekh Sambas. Bukankah Haji Abdul Karim dulu,
ketika masih di Banten, berpendapat bahwa rakyat sebenarnya belum siap
untuk mengadakan pemberontakan? Bahkan, di tahun-tahun ketika murid-
muridnya tidak sabar menungu “fatwa” untuk mulai berjihad, dia tidak pernah
memberikan kepastian waktu. Sementara itu, sebagai kiai agung dan
pengaruh, ia dituntut untuk merestui dan secara tidak langsung memimpin
pemberontakan. Jadi, apakah sang murid kesayangan sebenarnya hanya
mengikuti pendapat gurunya, Syekh Abdul Karim? Wallahu a’lam.
Yang pasti, setelah pemberontakan dipadamkan, pemerintah kolonial terus
memburu orang-orang yang terlibat atau mereka yang diduga terlibat dalam
terlibat. Ada yang dihukum mati dengan cara digantung di Alun-alun Cilegon,
diasingkan, dipenjara, dan, yang laing ringan, dikenai hukuman kerja paksa.
Beberapa pemimpin pemberontak berhasil meloloskan diri, dan di antaranya
ada yang lari ke Makkah. Dan meskipun diburu sampai Tanah Suci, pemerintah
tidak bisa menjangkau mereka. Sementara itu, Kiai Abdul Karim dan Haji
Marjuki terus dimata-matai.
Sekarang, jejak Syekh Abdul Karim kita temukan dalam pelbagai kumpulan
tarekat. Organisasi-organisasi tarekat di Tanah Air, terutama Jawa (di
pesantren-pesantren Cilongok, Tangerang, Pagentongan, Bogor, Suralaya,
Tasikmalaya, Mranggen, Semarang, Bejosa dan Tebuireng, keduanya di
Jombang), yang paling berpengruh dan memiliki puluhan ribu pengikut,
menyambungkan silsilah mereka ke Syekh Abdul Karim.***
Daftar Silsilah dan Aspek Sosiologis
Kyai pada masyarakat Banten sebagai elit sosial dalam melakukan peran-peran
kemasyarakatannya memiliki jaringan sosial. Karenanya, nilai-nilai yang
diajarkan tersebar secara luas dan tetap lestari dalam kehidupan masyarakat.
Jaringan sosial itu terbentuk melalui sistem kekerabatan, perkawinan
hubungan intelektual guru-murid, kerjasama antar pesantren dan lembaga-
lembaga sosial. [33] Melalui jaringan tersebut para kyai dapat berperan secara
maksimal dan juga status sosialnya selalu terjaga.
a. Kekerabatan
Seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren memiliki garis keturunan yang
selalu dijaga, yang sebagai besar para pendahulunya adalah para kyai dan
keturunan Sultan Banten. K.H. Asytari, seorang kyai keturunan Imam Nawawi
Tanara, Tirtayasa, Serang Banten. [34] Garis keturunannya tersebut apabila
dicermati adalah para kyai, sultan Banten, para tokoh-tokoh ulama tasawuf
sampai dengan Nabi Muhmmad Saw. Lebih lengkapnya sebagai berikut:

K.H. Asytari
Imam Nawawi
Kyai Umar
Kyai Arabi
Kyai Ali
Kyai Jamad
Kyai Janta
Kyai Masbugil
Kyai Masqun
Kyai Masnun
Kyai Maswi
Kyai Tajul Arusy Tanara
Maulana Hasanuddin Banten
Maulana Syarif Hidayatullah
Raja Atamuddin Abdullah
Ali Nuruddin
Maulana Jamaluddin Akhbar Husain
Imam Sayyid Akhmad Syah Jalal
Abdullah Adzmah Khan
Amir Abdullah Malik
Sayyid Alwi
Sayyid Muhammad Mirbath
Sayyid Ali Khali’ Qasim
Sayid Alwi
Imam Ubaidiilah
Imam Ahmad Muhajir Ilallahi
Imam Isa al-Naqib
Imam Muhmmad Naqib
Imam Ali Ardhi
Imam Ja’far al-Shadiq
Imam Muhammad al-Baqir
Imam Ali Zainal Abidin
Sayyidina Husain
Sayyidatuna Fathimah Zahra
Nabi Muhammad Saw.

Seorang kyai dan keturunannya sering dipercayai oleh masyarakat mendapat


karamah dan berkah dari Allah. Karamah dan berkah ini merupakan hal
penting bagi seorang kyai dan keturunan untuk mengembangkan dan
melanjutkan kepemimpinan pesantrennya. Dengan adanya hal tersebut para
kyai dan keturunannya mendapat legitimasi kuat untuk tetap
mempertahankan kedudukannya sebagai pemimpin pesantren dan elit sosial di
masyarakatnya dengan segala prestise sosial yang dimilikinya.
b. Guru-Murid
Perkembangan Islam di Indonesia tidak lepas dari terjalinannya ikatan jaringan
intelektual antara para ulama di pusat-pusat intelektual Islam, seperti Mekkah
dan Madinah di Arab Saudi dan Kairo Mesir, dengan para muridnya di
Nusantara. Jaringan intelektual itu sedemikian penting, sehingga setiap ada
gerakan keagamaan di pusat-pusat Islam itu akan memiliki pengaruh dalam
kehidupan keagamaan di Nusantara. Demikian pula kejadian-kejadian di
Nusantara akan menjadi perhatian para ulama atau syaikh-syaikh yang tinggal
di negeri-negeri Arab tersebut [35] .
Berikut ini contoh dari jaringan intelektual seorang murid dengan para guru-
gurunya. Kyai Tb. Khodim, putra K.H. Asnawi, yang telah menjadi seorang
mursyid dari tarekat Qodariyah wa Naqsabandiyah memiliki silsilah guru-guru
tarekat yang memang diakui oleh kyai-kyai lain yang seangkatan dengannya.
Silsilah tersebut adalah sebagai berikut:

Nabi Muhammad Saw.


Ali bin Abi Thalib
Husein bin Fatimah Al-Zahra
Imam Zainal Abidin
Syeikh Muhamad al-Baqir
Syeikh Ja’far al-Shadiq
Syaikh Musa al-Kadzim
Syeikh Abi Hasan Alif bin Musa al-Ridha
Syeikh Ma’ruf al-Karkhi
Syaikh Sari al-Saqati
Syeikh Abi al-Qasim Junayd
Syeikh Abu Bakar al-Shibli
Syeikh Abd al-Wahid al-Tamimi.
Syeikh Abi al-Faraj al-Tartusi
Syeikh Abi Hasan al-Hiraki
Syeikh Abi Sa’id Mubarak al-Mahzum
Syeikh Abd al-Qadir al-Jilani
Syeikh Abd al-Aziz
Syeikh Muhammad al-Hattaki
Syeikh Syams al-Din
Syeikh Syaraf al-Din
Syeikh Zayn al-Din
Syaikh Nur al-Din
Syeikh Waliyu al-Din
Syeikh Husham al-Din
Syeikh Yahya
Syeikh Abi Bakr
Syeikh Abd al-Rahim
Syeikh Ustman
Syeikh Kamal al-Din
Syeikh Abd al-Fattah
Syeikh Murod
Syeikh Syams al-Din
Syeikh Ahmad Khatib Sambas
Syeikh Abdul Karim Tanara
K.H. Asnawi Caringin
K.H. Ahmad Suhari
K.H. Khodim

c. Organisasi Massa
Para kyai di Banten dalam membangun jaringan sosialnya tidak hanya terbatas
pada kekerabatan dan intelektual tetapi juga pada organisasi-organisasi sosial
yang ada. Lembaga-lembaga sosial keagamaan yang ada di Banten adalah yang
paling banyak di pergunakan oleh para kyai untuk membangun jaringan
sosialnya. Jaringan sosial tersebut berskala baik nasional seperti Nahdatul
Ulama (NU) maupun lokal, seperti Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan
Masyarikul Anwar.
Para pendiri Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar nampak dari
awal tidak dimaksudkan untuk membentuk suatu organisasi sosial, tetapi lebih
berorientasi kepada lembaga pendidikan yang dipimpinnya semata. [36] Pada
tulisan ini akan dibahas salah satu dari ketiga organisasi lokal di daerah Banten,
yakni Al-Khaeriyah. Hal ini dikarenakan ketiganya memiliki karateristik yang
hampir sama. Maka, membahas salah satunya dianggap akan mewakili yang
lain.
Alumni dari pesantren ini, selain menjadi guru agama atau tokoh masyarakat,
juga banyak yang mendirikan pesantren atau madrasah. Lembaga-lembaga
pendidikan yang didirikan biasanya diberi nama Al-Khaeriyah. Pemberian nama
yang sama tersebut menyimbolkan bahwa jalinan dengan lembaga induk dan
antar para santri yang pernah mengenyam pendidikan di Al-Khaeriyah tetap
terjaga dengan baik. Dari ikatan-ikatan yang terjalin secara emosional itu para
alumninya mendirikan organisasi massa dengan nama yang sama. [37]
Para santri dari alumni pesantren Al-Khaeriyah yang mendirikan dan
memimpin pesantren di daerahnya masing-masing adalah:

K.H. Amad dari Pulo Merak-Serang


K.H. Ali Jaya dari Ciwandan-Cilegon.
K.H. Mohammad Nur dari Kramat Watu, Serang.
K.H. Muhamad dari Bojonegara Serang
K.H. Mohamad Zein dari Kramat Watu Serang
K.H. Mohamad Syadeli Kejayaan dari Kramat Watu, Serang.
K.H. Ismail dari Keragilan Serang.
K.H. Karna dari Sumurwatu, Kragilan-Serang
Kyai Rosyidin dari Kubang Benyawak, Pulo Merak-Serang
Kyai Arifuddin dari Citangkil, Cilegon.
K.H. Rafe’i dari Barugbug, Ciomas, Padarincang, Serang,
K.H. Asy’ari dari Kadulesung, Pandeglang.

SYEKH MUHAMMAD NAZIM ADIL HAQQONI


MURSYID TAREKAT NAQSYABANDIYYAH HAQQONIYYAH

Segala puji dan syukur bagi-Mu, wahai Tuhan kami, yang telah
membimbing kami pada samudera Rahmat dari Kebenaran-Mu dan Cahaya-
Mu. Allaahumma! Kirimkan barakah dan salam kedamaian bagi junjungan kami
Muhammad saw., Penutup para Nabi dan Utusan-Mu, yang membawa
Perjanjian Terakhir, Quran al-Karim, juga bagi keluarga Beliau dan seluruh
Sahabat-Sahabat Beliau, dan pewaris-pewaris Beliau, baik yang hidup di masa
lalu, maupun di masa kini, terutama pewaris dan wakil utama Beliau di zaman
ini. Hamba yang lemah ini, Gibril ibn Fouad diminta untuk menulis biografi dan
artikel tentang kekasih kita Mawlana Syaikh Nazim q.s. dalam beberapa kata-
kata anda sendiri tentang kehidupan dan ajaran-ajaran Beliau dan pengalaman
anda bersama Beliau. Bulan Rabi'ul Awwal 1425H (Mei 2004) adalah saat
paling tepat untuk melakukan hal ini.
Semoga Allah swt. mengilhami baik penulis maupun pembaca tentang
Mawlana Syaikh Nazim q.s. agar memiliki gambaran yang adil dan tepat
terhadap subjek yang mulia ini. Tak ada daya maupun kekuatan melainkan
dengan-Nya. Sebagaimana Dia melingkupi kebodohan kita dengan Ilmu-Nya,
semoga pula Dia melingkupinya dengan Rahmat-Nya, Amin! (Al-Hamdulillah,
izin telah diperoleh dari Mawlana untuk merilis tulisan ini pada hari ini.)
Nama lengkap Mawlana adalah Muhammad Nazim 'Adil ibn al-Sayyid Ahmad
ibn Hasan Yashil Bash al-Haqqani al-Qubrusi al-Salihi al-Hanafi q.s., semoga
Allah swt. mensucikan ruhnya dan merahmati kakek moyangnya. Kunya (nama
panggilan) beliau adalah Abu Muhammad, dari nama anak laki-laki tertua
beliau, selain itu beliau pula adalah ayah dari Baha'uddin, Naziha, dan Ruqayya.
Beliau dilahirkan pada tahun 1341 H (1922 M) di kota Larnaka, Siprus (Qubrus)
dari suatu keluarga Arab dengan akar-akar budaya Tatar. Beliau mengatakan
pada saya bahwa ayah beliau adalah keturunan dari Syaikh 'Abdul Qadir Al-
Jailani q.s. Diceritakan pula pada saya bahwa ibu beliau adalah keturunan dari
Mawlana Jalaluddin ar-Ruumi q.s. Ini menjadikan beliau sebagai keturunan dari
Nabi suci Muhammad saw., dari sisi ayahnya, dan keturunan dari Sayyidina
Abu Bakar ash-Shiddiq, y, dari sisi ibundanya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Siprus, Mawlana melanjutkan ke
perguruan tinggi di Istanbul dan lulus sebagai sarjana Teknik Kimia. Di sana,
beliau juga belajar bahasa Arab dan Fiqh, di bawah bimbingan Syaikh Jamal al-
Din al-Alsuni q.s. (wafat 1375H/1955M) dan menerima ijazah dari beliau.
Mawlana juga belajar tasawwuf dan Thariqat Naqsybandi dari Syaikh Sulayman
Arzarumi q.s. (wafat 1368H/1948M) yang akhirnya mengirim beliau ke Syams
(Syria).
Mawlana melanjutkan studi Syari'ah-nya ke Halab (Aleppo) Hama, dan
terutama di Homs. Beliau belajar di zawiyyah dan madrasah masjid sahabat
besar Khalid ibn Al-Walid di Hims/Homs di bawah bimbingan Ulama besarnya
dan memperoleh ijazah dalam Fiqh Hanafi dari Syaikh Muhammad 'Ali 'Uyun
al-Sud q.s. dan Syaikh 'Abd al-Jalil Murad q.s., dan ijazah dalam ilmu Hadits dari
Muhaddits Syaikh 'Abd al-'Aziz ibn Muhammad 'Ali 'Uyun al-Sud al-Hanafi q.s.
Perlu dicatat bahwa yang terakhir adalah salah satu dari sepuluh guru hadits
dari Rifa'i Hafizh di Aleppo, Syaikhul Islam 'Abd Allah Siraj al-Din q.s. (1924-
2002 M), yang duduk berlutut selama dua jam di bawah kaki Mawlana Syaikh
'Abdullah Faiz Daghestani q.s. ketika yang terakhir ini mengunjungi Aleppo di
tahun 1959 dan yang memberikan bay'at dalam Thariqat Naqsybandi pada
Mawlana Syaikh Nazim q.s., ketika Mawlana Syaikh Nazim q.s. mengunjunginya
terakhir kali di Aleppo di tahun 2001, sebagaimana diriwayatkan pada saya
oleh Ustadz Muhammad 'Ali ibn Mawlana al-Syaikh Husayn 'Ali q.s. dari Syaikh
Muhammad Faruq 'Itqi al-Halabi q.s. yang juga hadir pada peristiwa terakhir
itu.
Mawlana Syaikh Nazim q.s. juga belajar di bawah bimbingan Syaikh Sa'id al-
Siba'i q.s. yang kemudian mengirim beliau ke Damaskus setelah menerima
suatu pertanda berkaitan dengan kedatangan Mawlana Syaikh 'Abdullah Faiz
Ad-Daghestani q.s. ke Syria. Setelah kedatangan awal beliau ke Syria dari
Daghestan di akhir tahun 30-an, Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s. tinggal di
Damaskus, tetapi sering pula mengunjungi Aleppo dan Homs.
Di kota yang terakhir inilah, beliau mengenal Syaikh Sa'id al-Siba'i q.s. yang
adalah pimpinan dari Madrasah Khalid bin Walid. Syaikh Sa'id q.s. menulis
pada beliau (Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s.),
'Kami mempunyai seorang murid dari Turki yang luar biasa, yang tengah
belajar pada kami.
Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s. menjawab padanya,
'Murid itu milik kami; kirimkan dia kepada kami!'
Sang murid itu adalah guru kita, Mawlana Syaikh Nazim q.s., yang kemudian
datang ke Damaskus dan memberikan bay'at beliau pada Grandsyaikh kita
pada kurun waktu antara tahun 1941 dan 1943.
Pada tahun berikutnya, Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s. pindah ke rumah baru
beliau yang dibeli oleh murid Syria pertamanya, dan khalifahnya yang masih
hidup saat ini, Mawlana Syaikh Husayn ibn 'Ali ibn Muhammad 'Ifrini al-Kurkani
ar-Rabbani al-Kurdi as-Syaikhani al-Husayni q.s. (lahir 1336H/1917M), semoga
Allah swt. mensucikan ruhnya dan merahmati kakek moyangnya, di Qasyoun,
suatu gunung yang menghadap Damaskus, yang Allah swt. berfirman
tentangnya; 'Demi Tiin dan buah Zaitun! Demi Bukit Sinai! (QS. 95:1-2).
Qatadah dan al-Hasan Al-Basri berkata, 'At-Tiin adalah Gunung di mana
Damaskus terletak [Jabal Qasyoun] dan Zaitun adalah Gunung di mana
Jerusalem terletak. Diriwayatkan oleh 'Abd al-Razzaq, al-Tabari, al-Wahidi, al-
Bayzawi, Ibn al-Jawzi, Ibn Katsiir, al-Suyuti, as-Syaukani, dll., semua dalam
tafsir-tafsir mereka.
Mawlana Syaikh Nazim q.s. juga membeli sebuah rumah dekat rumah
Grandsyaikh dan bersama Mawlana Syaikh Husayn q.s., membantu
membangun Masjid al-Mahdi, Masjid Grandsyaikh, yang akhir-akhir ini
diperbesar menjadi sebuah Jami', di mana di belakangnya terletak maqam dan
zawiyyah Grandsyaikh, di tempat mana, hingga saat ini, makanan dan sup
ayam yang lezat disiapkan dalam kendi-kendi yang besar dan dibagi-bagikan
bagi kaum fuqara dan miskin dua kali dalam seminggu.
Kemudian Mawlana Syaikh Nazimk tinggal di Damaskus sejak pertengahan
tahun 40-an hingga awal 80-an, sambil sesekali melakukan perjalanan untuk
belajar atau sebagai wakil dari Grandsyaikh, hingga Grandsyaikh wafat di tahun
1973. Setelah tahun itu, Mawlana tinggal di Damaskus beberapa tahun
sebelum kemudian pindah ke Siprus.
Jadi, Mawlana, yang aslinya Cypriot, dan Grandsyaikh, yang asalnya Daghistani,
keduanya telah menjadi penduduk Damaskus 'Syamiyyun' dan tinggal di distrik
orang-orang salih (as-saalihiin) yang disebut Salihiyya! Tak ada keraguan lagi,
bahwa pentingnya Damaskus bagi Mawlana dan Grandsyaikh adalah karena
Syam adalah negeri yang penuh barakah dan terlindungi melalui para Nabi dan
Awliya .
Imam Ahmad dan murid beliau, Abu Dawud meriwayatkan dengan isnad
(rantai) yang sahih bahwa Nabi suci e bersabda, 'Kalian harus pergi ke Syam.
Tempat itu telah terpilih secara Ilahiah oleh Allah swt. di antara seluruh tempat
di bumi-Nya ini. Di dalamnya Dia melindungi hamba-hamba pilihan-Nya; dan
Allah swt. telah memberikan jaminan padaku berkenaan dengan Syam dan
penduduknya!'
Imam al-Nawawi berkata dalam kitab beliau Irsyad Tullab al-Haqa'iq ila
Ma'rifati Sunan Khayr al-Khala'iq (s): 'Hadits ini berkenaan dengan fadhillah
(keistimewaan) yang besar dari Syams dan merupakan suatu fakta yang dapat
teramati!'
Direktur pimpinan Dar al-Ifta' (secara literal bermakna 'Rumah Fatwa',
maksudnya Majelis Fatwa seperti MUI di Indonesia, penerj.) di Beirut, Lebanon,
Syaikh Salahud Diin Fakhri q.s. mengatakan pada saya di rumah beliau di Beirut
dan menulis dengan tangan beliau kepada diri saya,
Pada suatu pagi di hari Ahad, 20 Rabi'ul Akhir 1386 H, bertepatan dengan hari
Minggu 7 Agustus 1966 M, kami mendapat kehormatan untuk mengunjungi
Syaikh 'Abd Allah al-Daghistani q.s.rahimahullah (semoga Allah swt.
merahmatinya) di Jabal Qasyoun di Damaskus atas inisiatif serta disertai pula
oleh
Mawlana al-Syaikh Mukhtar al-'Alayli q.s. rahimahullah. Mufti Republik
Lebanon saat itu; [yang adalah pula paman dari Syaikh Hisyam Kabbani q.s.,
penulis],
- Syaikh Husayn Khalid q.s., imam dari Masjid Nawqara;
- Hajj Khalid Basyir, rahimahumallah (semoga Allah swt. merahmati keduanya);
Syaikh Husayn Sa'biyya q.s. [saat ini direktur dari Dar al-Hadits al-Asyrafiyya di
Damaskus]; Syaikh Mahmud Sa'd q.s.; Syaikh Zakariyya Sya'r q.s.; dan Hajj
Mahmud Sya'r.
Syaikh 'Abdullah q.s. menerima kami dengan amat baik dan penyambutan yang
ramah serta penuh kebahagiaan dan kegembiraan. Syaikh Nazim al-Qubrusi
q.s. semoga Allah swt. merahmati dan menjaga beliau juga berada di situ saat
itu!
Kami duduk dari pukul sembilan di pagi hari hingga tiba panggilan adzan
Dzuhur, sementara Syaikh (Grandsyaikh 'Abdullah Faiz ad-Daghestani q.s.,
penerj.) rahimahullah menjelaskan tentang Syams (Syria), keutamaannya,
kelebihan-kelebihannya yang luar biasa, dan bahwa tempat itu merupakan
tempat Kebangkitan dan bahwa Allah swt. akan mengumpulkan seluruh
manusia di dalamnya untuk penghakiman dan hisab.
Beliau menyebutkan pula hal-hal yang membuat hati dan pikiran kami
tersentuh dan tergerak, dikuatkan pula oleh pengaruh suasana distrik Salihiyya
yang suci, dan beliau berbicara pula tentang hubungan yang tak terpisahkan
dalam praktik maupun dalam teori antara tasawwuf dengan Syari'ah.
Semoga Allah swt. membimbing dan menunjukkan pada kita petunjuk-Nya
dalam perkumpulan dan suhbat dengan Awliya-Nya yang shiddiq. Aamiin, yaa
Rabbal 'Aalamiin!
Masih ada banyak lagi nama-nama Ulama dan Awliya Syams yang prestisius
yang mencintai dan bersahabat dengan Syuyukh kita dalam periode keemasan
tersebut, seperti
- Syaikh Muhammad Bahjat al-Baytar q.s. (1311-1396),
- Syaikh Sulayman Ghawji al-Albani q.s. (wafat 1378 H), ayah dari guru kami,
- Syaikh Wahbi q.s., Syaikh Tawfiq al-Hibri q.s.,
Syaikh Muhammad al-'Arabi al-'Azzuzi q.s. (1308-1382H) Mufti dari Lebanon,
dan Syaikh utama dari guru kami Syaikh Husayn 'Usayran q.s.,
-al-'Arif Syaikh Syahid al-Halabi q.s.,
al-'Arif Syaikh Rajab at-Ta'i q.s.,
Syaikh al-Qurra' q.s. (ahli qira'at Quran, penerj.)
Syaikh Najib Khayyata al-Farazi al-Halabi q.s.,
al-'Arif Syaikh Muhammad an-Nabhan q.s.,
Syaikh Ahmad 'Izz ad-Din al-Bayanuni q.s.,
al-'Arif Syaikh Ahmad al-Harun q.s. (1315-1382H),
Syaikh Muhammad Zayn al-'Abidin al-Jadzba q.s., dan lain-lain, semoga Allah
swt. merahmati mereka semuanya!
Dari tiga puluh tahun suhbat (asosiasi) yang barakah antara Mawlana dan
Grandsyaikh tersebut, muncullah Mercy Oceans (secara literal berarti
Samudera Kasih Sayang, merujuk pada buku-buku lama kumpulan suhbat
Mawlana Syaikh Nazim al-Haqqani q.s., penerj.) yang tak tertandingi, yang
hingga kini masih tersebar pada setiap salik/pencari dengan judul-judulnya:
- Endless Horizons (Cakrawala tanpa Batas, penerj.),
- Pink Pearls (Mutiara-Mutiara Merah Muda, penerj.),
- Rising Suns (Matahari-Matahari yang tengah terbit, penerj.).
Tak ada keraguan lagi, kumpulan-kumpulan suhbat awal tersebut adalah
tonggak-tonggak utama dari seruan da'wah Islam seorang diri Mawlana Syaikh
Nazim q.s. di Amerika Serikat dan Eropa, dengan karunia Allah swt.!
Semoga Allah swt. melimpahkan lebih banyak barakah-Nya pada Mawlana
Syaikh Nazim q.s. dan mengaruniakan pada beliau maqam-maqam tertinggi
yang pernah Dia karuniakan bagi kekasih-kekasih-Nya, berdekatan dengan
junjungan kita, Sayyidina Muhammad saw., yang bersabda,
Jika seseorang melakukan perjalanan untuk mencari ilmu, Allah swt. akan
membuatnya berjalan di salah satu dari jalan-jalan Surga, dan para Malaikat
akan merendahkan sayap mereka karena bahagia dan gembira pada ia yang
mencari ilmu, dan para penduduk langit dan bumi serta ikan-ikan di kedalaman
lautan akan memohonkan ampunan bagi seorang pencari ilmu!
Keutamaan dari seorang yang berilmu atas orang beriman kebanyakan adalah
bagaikan terangnya bulan purnama di kegelapan malam atas segenap bintang-
gemintang!
Ulama adalah pewaris-pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah memiliki
dinar maupun dirham, mereka hanya meninggalkan ilmu dan pengetahuan;
dan ia yang mengambilnya sungguh telah mengambil bagian yang banyak!
Tempat pertama yang kudatangi untuk mencari pengetahuan Nabawi
(pengetahuan kenabian) ini adalah London di bulan Ramadan 1411 H, setelah
aku bersyahadat laa ilaaha illa Allah (bahwa tiada tuhan selain Allah swt.),
Muhammadun Rasulullah e (Muhammad saw. adalah utusan Allah swt.). Di
sanalah, aku meraih tangan suci Mawlana untuk pertama kali dan melakukan
bay'at (sumpah setia) setelah diperkenalkan pada Thariqat ini oleh menantu
beliau, dan khalifah beliau di Amerika Serikat, Syaikh Hisyam Kabbani q.s.
semoga Allah swt. membimbingnya dan membimbing seluruh sahabat-sahabat
Mawlana!
Aku mengunjungi Mawlana beberapa kali di rumah beliau di Siprus dan melihat
pula beliau di Damaskus. Di antara hadiah Suhba yang diberikan Mawlana
adalah pada dua minggu terakhir di bulan Rajab di tahun 1422H Oktober 2001
di rumah dan zawiyah beliau di kota Cypriot Turki, Lefke. Catatan akan
pengalaman ini telah ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris, serta
diterbitkan dengan judul Qubrus al-Tarab fi Suhbati Rajab atau Kebahagiaan
Siprus dalam Suhbat.
Pada saat itulah, dan juga saat-saat kemudian, selama dua kunjungan
terakhirnya ke Amerika Serikat, ke Inggris, di Siprus, dan Damaskus, aku
mendapatkan dari Mawlana, petunjuk agung yang sama bagi setiap pencari
kebenaran:
Tujuan kita adalah untuk melindungi serta melukiskan Nabi Muhammad saw.
dan sifat-sifat beliau yang luhur dan agung, baginya shalawat dan salam serta
bagi ahli-bait dan sahabat-sahabat beliau; yang untuk ini Allah swt. mendukung
kita!
Dari sini, aku mengerti bahwa Murid yang sesungguhnya dalam Thariqat
Naqsybandi-Haqqani adalah sahabat, penolong dan pendukung dari setiap
pembela Sayyidina Muhammad saw., dan adalah tugasnya untuk bersahabat
dan berasosiasi dengan para pembela seperti itu karena mereka berada pada
jalan Mawlana, tak peduli apakah mereka adalah Naqsybandi atau bukan.
Ketika seorang Waliyyu-llah yang telah berumur delapan puluh tahun-an di
Johor, Malaysia, al-Habib 'Ali ibn Ja'far ibn 'Abd Allah al-'Aydarus menerima
kami di rumahnya di bulan Mei 2003, mengenakan pakaian yang tak pernah
berubah sejak tahun 1940-an, beliau terlihat seperti Mawlana dalam segenap
aspeknya, dan bahkan terlihat menyerupainya ketika beliau meminta maaf
atas bahasa Arab-nya yang tak fasih.
Ketika kami memohon du'a beliau bagi negeri-negeri kita yang terluka dan bagi
penduduk-penduduknya, beliau menjawab, 'Ummah ini terlindungi dan berada
pada tangan-tangan yang baik, dan pada Syaikh Nazim q.s. telah kau dapati
kebercukupan!'
Dus, dengan setiap perjumpaan dari murid yang sederhana dan rendah hati
dari Mawlana dengan Awliya' dari Ummat ini; Mereka (para Awliya' tersebut,
penerj.) semuanya menunjukkan rasa hormat tertinggi serta kerendahan hati
yang amat dalam bagi Mawlana dan silsilah beliau, sekalipun mereka secara
harfiah (penampakan luar) berada pada jalan (thariqat) yang berbeda, seperti
- al-Habib 'Ali al- Aydarus q.s. di Malaysia,
- Sayyid Muhammad ibn 'Alawi al-Maliki q.s. di Makkah,
- al-Habib 'Umar ibn Hafiz q.s. di Tarim,
- Sayyid Yusuf ar-Rifa'i q.s. di Kuwait,
- Syaikh 'Isa al-Himyari q.s. di Dubai,
- Sayyid 'Afif ad-Din al-Jailani q.s. dan Syaikh Bakr as-Samarra'i q.s. di Baghdad,
- as-Syarif Mustafa ibn as-Sayyid Ibrahim al-Basir q.s. di Maroko tengah,
- Grandmufti Syria (alm.) Syaikh Ahmad Kuftaro ibn Mawlana al-Syaikh Amin
q.s. dan sahabat-sahabatnya Syaikh Bashir al-Bani q.s., Syaikh Rajab Dib q.s.,
dan Syaikh Ramazan Dib q.s.; Syuyukh Kattani q.s. dari Damaskus;
- Syaikh (alm.) 'Abd Allah Siraj ud-Din q.s. dan keponakan beliau Dr. Nur ud-Din
'Itr; Mawlana as-Syaikh 'Abd ur-Rahman as-Shaghuri q.s.; Dr. Samer al-Nass;
dan guru-guru serta saudara-saudara kita lainnya di Damaskus.
semoga Allah swt. selalu melindungi Damaskus dan melimpahkan rahmat-Nya
bagi mereka dan diri kita! Aku telah bertemu dengan setiap nama yang
kusebut di atas kecuali Syaikh Sirajud-Din q.s. dan mereka semua
mengungkapkan tarazzi atas Mawlana as-Syaikh Nazim q.s., mengungkapkan
keyakinan atas ketinggian wilayah-nya (derajat kewalian, penerj.) dan
memohon do a beliau atau do a pengikut-pengikut beliau;
Dan cukuplah Allah swt. sebagai saksi. Muhammad itu adalah utusan Allah
swt.
(QS. 48:28-29)
Sudah menjadi suatu aturan yang disepakati di antara Rijal-Allah (maksudnya
para Kekasih Allah swt., penerj.) bahwa keragaman jalan ini adalah tema
(dandana, maksudnya kira-kira diperuntukkan bagi, penerj.) mereka yang
belum terhubungkan (mereka yang belum mencapai akhir perjalanan, mereka
yang belum mendapatkan amanat-nya, penerj.),
sementara mereka yang telah mawsul (sampai, penerj.) semua berada pada
satu jalan dan dalam satu lingkaran dan mereka saling mengetahui dan
mencintai satu sama lain. Mereka akan berada di mimbar-mimbar cahaya di
Hari Kebangkitan.
Karena itu, kita, para Murid dari jalan-jalan (Thuruq, jamak dari Thariqat) itu
mestilah pula saling mengetahui, mengenal dan mencintai satu sama lain demi
keridhaan Allah swt. dan Nabi-Nya serta para Kekasih-Nya agar diri kita mampu
memasuki cahaya penuh barakah tersebut dan masuk dalam lingkaran
tertinggi dari suhba (persahabatan) dan jama'ah, jauh dari furqa (perpecahan)
dan keangkuhan.
Sebagaimana Allah swt. berfriman: 'Yaa Ayyuha l-ladziina aamanu t-taqu ul-
laaha wa kuunuu ma'as shadiqiin. 'Wahai orang-orang beriman takutlah kalian
akan Allah swt. dan tetaplah berada [dalam persahabatan dan kesetiaan]
dengan orang-orang yang Benar (Shiddiqiin)!;dan Nabi Suci kita e bersabda,
'Aku memerintahkan pada kalian untuk memgikuti sahabat-sahabatku dan
mereka yang mengikutinya (tabi'in, penerj.), kemudian mereka yang
mengikutinya (tabi'it tabi'in, penerj.); setelah itu, kebohongan akan merajalela.
Tapi kalian mestilah tetap berada pada Jama'ah dan berhati-hatilah dari
perpecahan!
Jama'ah inilah yang dilukiskan dalam suatu hadits mutawatir (diriwayatkan
banyak orang, penerj.): Ia yang dikehendaki Allah swt. untuk beroleh kebajikan
besar, akan Dia karuniakan padanya pemahaman yang benar (haqq) dalam
Agama. Aku (mengacu pada Nabi e, penerj.) hanyalah membagikan dan adalah
Allah swt. yang mengkaruniakan! Kelompok itu akan tetap menjaga Perintah
dan Aturan Allah swt., tak akan terlukai oleh kelompok yang menentang
mereka, hingga datangnya Ketetapan Allah swt.
Ya Allah swt., jadikanlah kami selalu bersyukur atas apa yang telah Kau
karuniakan dan yang telah Rasul-Mu dan Habib-Mu bagikan!
Aku mendengar Mawlana Syaikh Nazim q.s. berkata beberapa kali atas nama
guru beliau, Sultan al-Awliya' Mawlana as-Syaikh 'Abd Allah ibn Muhammad
'Ali ibn Husayn al-Fa'iz ad-Daghestani tsumma asy-Syami as-Salihi q.s. (ca.
1294-1393 H)[1]
* dari Syaikh Syaraf ud-Din Zayn al- Abidin ad-Daghestani ar-Rasyadi q.s.
(wafat 1354 H),
* dari paman maternal (dari sisi ibu) beliau, Syaikh Abu Muhammad al-
Madani ad-Daghistani al-Rasyadi q.s.[2],
* dari Syaikh Abu Muhammad Abu Ahmad Hajj Abd ar-Rahman Effendi Ad-
Daghistani ats-Tsughuri q.s. (wafat 1299 H)[3],
* dari Syaikh Jamal ud-Din Effendi al-Ghazi al-Ghumuqi al-Husayni q.s. (wafat
1292 H)[4],
* juga (keduanya baik ats-Tsughuri maupun al-Ghumuqi) dari Muhammad
Effendi ibn Ishaq al-Yaraghi al-Kawrali q.s. (wafat 1260 H)[5],
* dari Khass Muhammad Effendi asy-Syirwani ad-Daghestani q.s. (wafat
1254 H)[6],
* dari Syaikh Diya uddin Isma il Effendi Dzabih Allah al-Qafqazi asy-Syirwani
al-Kurdamiri ad-Daghestani q.s. (wafat ???),
* dari Syaikh Isma il al-Anarani q.s. (wafat 1242 H),
* dari Mawlana Diya uddin Khalid Dzul-Janahayn ibn Ahmad ibn Husayn as-
Shahrazuri al-Sulaymani al-Baghdadi al-Dimashqi an-Naqsybandi al- Utsmani
ibn Utsman ibn Affan Dzun-Nurayn q.s. (1190-1242 H) dengan rantai isnad-
nya yang masyhur hingga Syah Naqsyband Muhammad ibn Muhammad al-
Uwaysi al-Bukhari q.s. yang berkata,
Thariqat kami adalah SHUHBAH (persahabatan) dan kebaikannya adalah
dalam JAMA'AH (kelompok)
Semoga Allah swt. meridhai diri mereka semuanya, merahmati mereka, dan
mengaruniakan pahala-Nya bagi mereka, dan memberikan manfaat bagi kita
lewat mereka melalui telinga kita, kalbu-kalbu kita, dan keseluruhan wujud diri
kita, Amin!
Beberapa kritik dari 'Calon Sufi' atas Thariqat Haqqani mengatakan atas
thariqat kita dengan apa yang mereka sebut sebagai 'kurang dalam sisi ilmu'.
Seorang Sufi yang teliti akan menjadi orang terakhir yang mengatakan kritik
yang menyesatkan seperti itu!
Semestinya mereka menjadi orang-orang pertama yang mengetahui bahwa
ilmu, sebagai ilmu saja, tidak hanya tanpa manfaat, tapi juga dapat menjadi
perangkap mematikan yang mengarah kepada kebanggaan syaithaniyyah.
Tak ada maaf baik bagi ia yang sombong (yaitu dengan ilmunya, penerj.)
maupun ia yang bodoh; hanya Sufi yang penuh cinta, ketulusan, serta
bertaubat-lah, walau memiliki kekurangan dalam ilmu dan adabnya, yang lebih
dekat pada Allah swt. dan pada ma'rifatullah (pengenalan akan Allah swt.)
daripada seorang Sufi berilmu yang menyimpan dalam kalbunya kebanggaan
sekalipun hanya setitik debu. Semoga Allah swt. melindungi diri kalian dan diri
kami!
Ibrahim al-Khawwass berkata bahwa ilmu (pengetahuan) bukanlah untuk
mengetahui banyak hal, tapi untuk menaati Sunnah dan mengamalkan apa
yang diketahui sekalipun itu hanya sedikit.
Imam Malik berkata bahwa ilmu bukanlah untuk mengetahui banyak hal, tapi
ia adalah cahaya Allah swt. yang Dia timpakan pada hati.
Imam as-Syafi'i berkata bahwa ilmu bukanlah untuk mengetahui bukti dan
dalil, melainkan untuk mengetahui apa yang bermanfaat.
Dan ketika seseorang berkata tentang Ma'ruf al-Karkhi (murid dari Dawud at-
Ta i, yang merupakan murid dari Habib 'Ajami, murid dari Hasan al-Bashri; guru
dari Sari as-Saqati, guru dari Sayyid Taifa Junayd al-Baghdadi, penerj.), Dia
bukanlah seseorang yang amat alim (berilmu), Imam Ahmad pun berkata,
Mah! Semoga Allah swt. mengampunimu! Adakah hal lain yang dimaksudkan
oleh Ilmu selain dari apa yang telah dicapai oleh Ma'ruf?!
Kritik lain berisi keberatan atas Rabitah atau Ikatan, suatu karakteristik khusus
dari Thariqat Naqsybandi. Lebih jelasnya, mereka yang mengkritik rabitah ini
berkeberatan atas unsur tasawwur atau Penggambaran dalam rabitah yang
meminta Murid untuk menggambarkan citra sang Syaikh dalam hatinya di
permulaan maupun selama dzikir.
Tetapi Allah swt. telah berfirman, 'Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah swt. dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah swt. [33:21]
dan Dia berfirman pula, 'Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-
pintunya; [2:189]
dan karena itulah kita datang kepada Nabi melalui ash-Shiddiq, dan datang
kepada yang terakhir ini melalui Salman, dan masuk kepada yang terakhir ini
melalui Qasim, dan kepada yang terakhir ini melalui Sayyid Ja'far, dan
seterusnya.
Karena 'Ulama adalah pewaris para Nabi", dapat dipahami bahwa sang
Mursyid adalah teladan kita akan teladan dari Nabi tersebut (di ayat 33:21 di
atas, penerj.) dan ia (sang Mursyid) mestilah seseorang di antara mereka yang
atas mereka,
Nabi bersabda, 'Jika kalian melihat mereka, kalian ingat akan Allah swt.!
Hadits ini diriwayatkan dari Ibn Abbas , Asma bint Zayd, dan Anas (semoga
Allah swt. ridha atas diri mereka semua), juga dari Tabi'in Sa'id ibn Jubayr, 'Abd
al-Rahman ibn Ghanam, dan Muslim ibn Subayh.
Beberapa orang memprotes terhadap konsep fana sang Murid dalam diri
Syaikh, atau fana fis-Syaikh. Mereka berkata, 'Syaikhmu hanyalah seorang
manusia; jadikanlah fana -mu pada diri Rasulullah.
Tetapi, adalah salah untuk menyamakan sang Syaikh pembimbing sama seperti
yang lain. Syaikh Ahmad Sirhindi q.s. qaddas-Allahu sirrahu -
berkata: Ketahuilah bahwa melakukan perjalanan (suluk) pada Thariqat yang
paling Mulia ini adalah dengan ikatan (rabitah) dan cinta pada Syaikh yang kita
ikuti.
Syaikh seperti itulah yang berjalan di Jalan ini dengan keteguhan (istiqamah),
dan ia tercelupi (insabagha) dengan segenap macam kesempurnaan melalui
kekuatan daya tarik Ilahiah (jadzbah). Pandangannya menyembuhkan
penyakit-penyakit hati dan konsentrasinya atau pemusatan pikirannya
(tawajjuh) mengangkat habis cacat-cacat ruhani. Pemilik dari kesempurnaan-
kesempurnaan ini adalah Imam dari zaman ini dan Khalifah pada waktu
itu Dus, ikatan kita (padanya) adalah (melalui) cinta, dan hubungan (nisba) kita
dengannya adalah pencerminan dan pencelupan diri, tak peduli apakah diri
kita dekat atau jauh (secara fisik darinya, penerj.). Hingga kemudian sang
murid akan tercelupkan dalam Jalan ini melalui ikatan cintanya pada sang
Syaikh, jam demi jam, dan tercerahkan oleh pantulan cahaya-cahayanya.
Dalam pola seperti ini, pengetahuan akan proses bukanlah suatu prasyarat
untuk memberi atau menerima manfaat. Buah semangka matang oleh panas
Sang Surya jam demi jam dan menghangat dengan berlalunya hari Sang
Semangka semakin matang, namun pengetahuan macam apakah yang dimiliki
sang semangka akan proses ini? Apakah sang Surya bahkan mengetahui bahwa
dirinya tengah mematangkan dan menghangatkan sang Semangka?
Sebagaimana disebutkan di atas, berkeberatan atas konsep fana fis-Syaikh
adalah berarti pula berkeberatan akan cinta pada sang Syaikh. Kita semua
memiliki keinginan dan tujuan untuk mencintai Syaikh kita dan mengetahui
bahwa ia-lah objek yang paling patut menerima cinta dan hormat kita di dunia
ini.
Sebagaimana sang penyair berpuisi:
Atas kesetiaan padamu yang suci dan tuluslah, aku mengatakan:
Cinta atasmu terpahat dalam kalbu dari kalbu-kalbuku,
Sebagai suatu ukiran yang dalam [NAQSY], suatu prasasti kuno.
Tak kumiliki lagi kehendak [IRADA] apa pun, selain cintamu,
Tak pula dapat kuucapkan apa pun padamu, selain "aku cinta padamu".
Tentang hal ini, Mawlana berkata pada suatu kesempatan baru-baru ini, Kita
telah diperintahkan untuk mencintai orang-orang suci. Mereka adalah para
Nabi, dan setelah para Nabi, adalah para pewaris mereka, Awliya . Kita telah
diperintahkan untuk beriman pada para Nabi, dan iman memberikan pada diri
kita Cinta .
Cinta membuat manusia untuk mengikuti ia yang dicintai. ITTIBA bermakna
untuk mencintai dan mengikuti, sementara ITA AT bermakna [hanya] untuk
mengikuti. Seseorang yang taat mungkin taat karena paksaan atau karena
cinta, tetapi tidaklah selalu karena cinta.
Nah, Allah swt. menginginkan hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya. Dan
para hamba tidaklah mampu menggapai secara langsung cinta atas Tuhan
mereka. Karena itulah, Allah swt. mengutus, sebagai utusan dari Diri-Nya, para
Nabi yang mewakili-Nya di antara para hamba-Nya. Dan setiap orang yang
mencintai Awliya dan Anbiya , melalui Awliya akan menggapai cinta para
Nabi. Dan melalui cinta para Nabi, kalian akan menggapai cinta Allah
swt. Karena itu, tanpa cinta, seseorang tak mungkin dapat menjadi orang yang
dicintai dalam Hadirat Ilahi. Jika kalian tak memberikan cinta kalian, bagaimana
Allah swt. akan mencintai kalian?
Namun manusia kini sudah seperti kayu, yang kering, kayu kering, mereka
menyangkal cinta. Mereka adalah orang-orang yang kering tak ada
kehidupan! Suatu pohon, dengan cinta, terbuka, bersemi dan berbunga di kala
musim semi. Tetapi kayu yang telah kering, bahkan seandainya tujuh puluh kali
musim semi mendatanginya, tak akan pernah terbuka. Cinta membuat alam ini
terbuka dan memberikan buah-buahannya, memberikan keindahannya bagi
manusia. Tanpa cinta, ia tak akan pernah terbuka, tak akan pernah berbunga,
tak akan pernah memberikan buahnya.
Jadi Cinta adalah pilar utama paling penting dari iman. Tanpa cinta, tak akan
ada iman. Saya dapat berbicara tentang hal ini hingga tahun depan, tapi kalian
harus mengerti, dari setetes, sebuah samudera! (akhir suhbat Mawlana).
Dengan dan melalui Mawlana, Allah swt. telah membuat segala macam hal
yang sulit menjadi mudah. Kita amat bersyukur mengetahui beliau karena
beliaulah jalan pintas bagi kita menuju nuur/cahaya dalam Agama ini. Nur ini
adalah tujuan dan sasaran dari setiap orang yang sehat. Nur dan cahaya inilah
yang dilukiskan dalam ayat yang Agung,
Allah swt. menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al
Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak. Dan hanya orang-orang yang berakal-lah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah swt.). [2:269]
Semoga Allah swt. mengaruniakan bagi diri kita hikmah ini dan menjaga diri
kita pada Jalan yang telah Dia perintahkan dan Dia sukai bagi diri kita! Semoga
Allah swt. mengaruniakan pada Mawlana umur panjang dalam kesehatan dan
mengaruniakan pada diri kita tingkatan (maqam) Murid yang Sejati demi
kehormatan dari Ia yang paling terhormat, Nabi Muhammad saw.!
1. Ada beberapa variasi pendapat tentang tahun lahir Mawlana as-
Syaikh Abd Allah q.s., berkisar dari 1284 H (dalam kitab at-Thariqat an-
Naqsybandiyya, karangan Muhammad Darniqa) hingga 1294 H menurut murid
tertua Syaikh Abdullah q.s., Mawlana as-Syaikh Husayn q.s. (dalam kitab at-
Thariqat an-Naqsybandiyya al-Khalidiyya ad-Daghistaniyya, karangan Ustadz
Muhammad Ali ibn as-Syaikh Husayn) hinga 1303 H dalam kitab al-Futuhat al-
Haqqaniyya, karangan Syaikh Adnan Kabbani q.s. hingga 1309 H dalam buku
The Naqshbandi Sufi Way, karangan Syaikh Hisyam Kabbani q.s.
2. Beliau menerima pula Thariqat Qadiri dari Syaikh Ibrahim al-Qadiri q.s.
(demikian pula Syaikh Jamaluddin q.s.) yang dengan bimbingannya, beliau
memulai suluknya hingga Syaikh Ibrahim q.s. menyuruhnya ke Syaikh ats-
Tsughuri q.s., lihat Ali, Thariqat Naqsybandiyya (halaman 229).
3. Lihat Hadaya al-Zaman fi Tabaqat al-Khawajagan an-Naqsybandiyya
(halaman 375) karangan Syu ayb ibn Idris al-Bakini. Beliau mengambil pula dari
al-Yaraghi, lihat Sullam al-Wusul karangan Ilyas al-Zadqari, sebagaimana dikuti
di Hadaya (halaman 378).
4. lihat Hadaya, al-Bakini (halaman 396). Beliau menerima Thariqat Qadiri
dari Syaikh Ibrahim al-Qadiri q.s. dan memperkenalkan dzikir jahr dalam
cabang Daghistani dari Naqshbandiyya melalui ijazah tersebut, lihat al-Bakini,
Hadaya (halaman 396); Ali, Tariqa Naqsybandiyya (halaman 229).
5. dan bukannya 1254 H, sebagaimana secara salah disebutkan di beberapa
sumber. Koreksi ini dari Ali, Thariqat Naqsybandiyya (halaman 214).
Muhammad al-Yaraghi juga mengambil secara langsung dari Syaikh Isma il asy-
Syirwani q.s., lihat al-Bakini, Hadaya (hal. 350-351).
6. dari Syirwan di masa sekarang di Azerbaijan. Beliau wafat di Damaskus dan
dimakamkan di Jabal Qasyoun, di samping Mawlana Khalid q.s. dan Mawlana
Isma il al-Anarani q.s. yang merupakan penerus pertama Mawlana Khalid q.s.,
yang wafat tujuh belas hari setelah wafatnya Mawlana Khalid q.s., keduanya
karena wabah semoga Allah swt. merahmati mereka semua dan seluruh
Syuhada -Nya.
SYEKH MUHAIMINAN GUNARDHO
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH
Penerus Semangat Perjuangan Bambu Runcing
Ia sangat peduli pada gonjang-ganjing bangsa. Maka ia pun berkeliling tanah
air: memimpin istigasah, menghibur umat, memberikan nasihat kepada
pemerintah.
Jemaah istigasah menyambut Muktamar Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-
Mu’tabarah An-Nahdliyah yang memadati Masjid Jami’ Pekalongan baru saja
menarik napas, setelah sebelumnya melantunkan syair Simthud Durar. Tiba-
tiba terdengar suara menggelegar. Di shaf terdepan, sesosok tegap berpakaian
putih-putih, lengkap dengan serban dan jubah, tampak khusyuk melantunkan
tawasul kepada para aulia pendiri tarekat. Menilik perawakan dan suaranya,
orang seakan tak percaya bahwa usianya telah melampaui 83 tahun.
Pembacaan doa-doa istighatsah yang baru selesai sepertinya tak menyisakan
keletihan di wajahnya yang selalu segar. Dialah K.H.R. Muhaiminan Gunardo
dari kaki Gunung Sindoro, Jawa Tengah. Tema istighatsah malam itu,
sebagaimana istighatsahnya yang lain, ialah memohon keselamatan bangsa
dari berbagai bencana yang belakangan menghantam bertubi-tubi. Semangat
kebangsaan pengasuh Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing, Parakan,
Temanggung, Jawa Tengah, ini memang luar biasa.
Usianya memang sudah cukup senja. Tapi kiprahnya semakin mengukuhkan
profil ulama pejuang ini. Kepeduliannya akan gonjang-ganjing perjalanan
bangsa mengantarkan langkahnya ke berbagai pelosok tanah air. Baik untuk
memimpin istigasah, ngayemi-ayemi (menghibur) umat, maupun memberikan
nasihat langsung kepada pemerintah.
Almarhum Mbah Hinan, panggilan akrab KH Muhaiminan Gunardo, dilahirkan
di Parakan, .Beliau adalah keturunan Raden Santri salah seorang wali yang
masih keturunan Pangeran Diponegoro. Beliau adalah pimpinan Pondok
Pesantren Bambu Runcing Parakan, Suatu Pondok Pesantren yang dikenal
sebagai pusat pendekar di jaman perjuangan Indonesia.Di Pesantren yang
didirikan oleh kakek Beliau inilah nama senjata tradisional Bambu Runcing
menjadi sangat terkenal dan ditakuti oleh penjajah Belanda. Pada jaman
perjuangan para pendekar sering berkumpul di pesantren Parakan untuk
mengatur strategi perjuangan melawan Belanda sekaligus diajarkan berbagai
macam Ilmu Hikmah. Setiap kali berangkat berjuang selain ilmu beladiri para
pendekar juga dibekali sebuah senjata yaitu Bambu Runcing, tetapi Bambu
Runcing ini bukan bambu runcing biasa karena senjata ini telah di beri Asma
oleh kyai. Konon setiap kali dilemparkan Bambu Runcing ini tidak saja dapat
membunuh lawan bahkan dapat meledak spt bom. Itulah salah satu Karomah
kyai Parakan.Sehingga Bambu Runcing Menjadi sangat terkenal di seluruh
Indonesia dan ditakuti penjajah Belanda.
Lasykar Hizbullah
Di masa-masa awal revolusi fisik itu, setiap hari ribuan pejuangan mampir ke
Parakan dalam perjalanan mereka dari ke front-front pertempuran di
Magelang, Ambarawa, Ungaran, dan Semarang. Beberapa di antaranya bahkan
datang dari berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Barat. Adalah Kiai Subeki
atau Mbah Subki, saat itu 90-an tahun, magnet yang menarik mereka ke
Parakan. Setelah wafat ia dijuluki Kiai Parak Awal.
Sebelum berangkat ke medan pertempuran, para pejuang – rata-rata anak-
anak anggota Lasykar Hizbullah – sowan kepada kiai sepuh yang sangat
tawaduk ini. Oleh Mbah Subeki mereka didoakan, dan satu per satu senjata
mereka dijamah sambil berdoa: Bismillahi bi ‘aunillah. Ya Hafidz, ya Hafidz, ya
Hafidz. Allahu akbar, Allahu akbar, Allah akbar (Dengan menyebut nama Allah,
dengan pertolongan Allah. Wahai Zat yang Maha Menjaga, Allah, yang
Mahabesar).
Begitulah “ijazah doa” yang diberikan oleh Mbah Subeki kepada para pejuang,
yang kemudian terbukti menambah keberanian dan rasa percaya diri di medan
perang. Bahkan diyakini mendatangkan perlindungan Allah dari hujan peluru
dan bom lawan. Sejak itu, setiap hari ribuan orang memasuki Parakan untuk
nyuwuake (memohonkan doa) buat senjata mereka. Mulai dari bambu runcing,
pestol, bedil, karaben, bahkan kanon.
Dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren, mantan Menteri Agama K.H.
Saifudin Zuhri antara lain menulis, di antara pasukan yang singgah ke Parakan
terdapat anggota Tentara Keamanan Rakyat dari Banyumas pimpinan Kolonel
Soedirman – yang belakangan menjadi panglima besar. Mereka membawa
peralatan tempur lengkap. Ketika itu mereka dalam perjalanan ke medan
perang Ambarawa.
Parakan sendiri daerah unik, karena merupakan pertemuan berbagai budaya,
sebagaimana diceritakan oleh Saifudin Zuhri, “Sejak tertangkapnya Pangeran
Diponegoro, sisa-sisa prajurit Mataram dalam taktik mengundurkan diri
bergerak menyusuri Kali Progo melalui daerah Sentolo, Godean, Borobudur,
Bandongan, Secang Temanggung, dan akhirnya Parakan, sebuah persimpangan
tapal batas Karesidenan Banyumas, Kedu, Pekalongan, dan Semarang.
Daerah dataran tinggi di kaki Gunung Sindoro itu menjadi tempat bertemunya
bermacam-macam sisa prajurit Diponegoro dari berbagai daerah. Tidaklah
mengherankan jika penduduk Parakan mempunyai unsur kebudayaan yang
bercampur antara ketulusan rakyat Banyumas, kesabaran rakyat Kedu,
keberanian rakyat Pekalongan, dan keterampilan rakyat Semarang.
Pencak Silat
Itulah Parakan, kota kecil tempat lahirnya K.H.R. Muhaiminan Gunardo. Ia
adalah putra Raden Abu Hasan, yang lebih dikenal dengan nama K.H.
Sumomihardho – salah seorang keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Sementara ibundanya, Hj. Mahwiyah, adalah putri Kiai Badrun, sesepuh
Parakan yang berpengaruh karena kedalaman ilmu agamanya.
Sejak muda, Kiai Muhaiminan – yang termasuk dalam forum Kiai Khos Langitan
– gemar berolahraga, khususnya pencak silat, yang digelutinya di sela-sela
mengaji kepada beberapa ulama besar. Tamat Sekolah Rakyat di Parakan, ia
mengaji kepada K.H. Dalhar alias Mbah Dalhar (Pesantren Watucongol,
Magelang), ulama besar yang pernah selama delapan tahun berkhalwat –
mengasingkan diri untuk memusatkan perhatian pada ibadah (berzikir dan
tafakur) kepada Allah SWT – di Gua Hira, tempat Rasulullah SAW melakukan
hal yang sama, beruzlah. Mbah Dalhar juga dikenal sebagai mursyid Tarekat
Syadziliyah yang termasyhur.
Selepas dari Watucongol, Muhaiminan muda melanjutkan pengembaraannya
dalam menuntut ilmu kepada K.H. Maksum (Lasem, Rembang), Kiai Muhajir di
Bendo (Pare, Kediri), lalu ke Pesantren Tebuireng, Jombang.
Selain mengaji ilmu agama, di setiap pesantren yang disinggahinya
Muhaiminan mendalami ilmu pencak silat. Pendekar tangguh yang pernah
menjadi gurunya, antara lain, K.H. Nahrowi atau Ki Martojoto. Ia juga
mendalami ilmu pencak silat di pesantren terakhir yang disinggahinya, yaitu
Ponpes Dresmo (Surabaya), yang memang terkenal dengan keampuhan olah
kanuragannya.
Sehari-hari, Mbah Minan selalu menyempatkan diri mendidik ratusan
santrinya, dan mendampingi kurang lebih 30 orang pengajar. Terutama dalam
mujahadah – zikir untuk meraih derajat yang tinggi di sisi Allah – dan istigasah
setiap bakda magrib dan setiap malam Jumat dan Selasa Kliwon. Sementara
pengelolaan sehari-hari pesantren yang berdiri pada 1955 itu diserahkan
kepada sebuah kepengurusan yang dinamakan Idarah Ma’had Kiai Parak
Bambu Runcing.
Idarah tersebut juga membawahkan beberapa lembaga yang mengurus
kepentingan pesantren dan umat. Termasuk Lembaga Seni Bela Diri Garuda
Bambu Runcing (LGBR), perguruan pencak silat yang mengajarkan dua jenis
ilmu bela diri, yakni pencak silat sebagai bela diri fisik dan bela diri batin. LGBR
tidak hanya diikuti para santri, tapi juga warga masyarakat umum. Hingga kini
anggota aktifnya kurang lebih 45.000 orang, bahkan telah memiliki beberapa
cabang di Jawa dan Sumatra.
Kemasyhuran Kiai Muhaiminan Gunardo dan pesantrennya dalam dunia
spiritualitas memang telah membuah bibir di kalangan umat Islam, khususnya
di Jawa Tengah. Di luar aktivitas keilmuan dan kanuragan, pesantren yang
terletak di dataran tinggi eks Karesidenan Kedu ini memang selalu ramai
dikunjungi orang. Baik yang hendak berkonsultasi masalah kehidupan, berguru
ilmu hikmah, maupun untuk mengaji tasawuf kepada Mbah Nan.
Ketika terjadi heboh pembunuhan terhadap para kiai dan santri pada 1999 –
yang terkenal sebagai “kasus ninja”, karena pembunuhnya bertopeng seperti
ninja – pesantren ini menjadi tujuan utama warga nahdliyin yang belajar
membentengi diri.
Barangkali memang sudah menjadi ketentuan Allah SWT bahwa ulama Parakan
secara turun-temurun ditugasi menjadi benteng pertahanan terakhir umat
dalam menghadapi berbagai kesulitan. Bisa dimaklum jika langkah Kiai
Muhaiminan sepertinya masih harus panjang – selama keadaan Indonesia
belum memenuhi harapan yang dicita-citakan para ulama pendahulunya.
Ahli Hikmah
Selama ini masyarakat lebih mengenal Mbah Hinan selain sebagai alim ulama
yang ahli di bidang agama juga ahli di bidang ilmu hikmah. Tak sedikit yang
berhubungan dengan almarhum berkaitan dengan ilmu kekebalan untuk
pertahanan diri bahkan tak sedikit yang berkaitan dengan kedudukan dan
jabatan. Salah satu Karomah Kiai khos ini Adalah ketika bermain pencak silat
orang disekitarnya merasakan tanah disekeliling beliau bergetar seperti ada
gempa bumi. Salah satu ilmu andalan Beliau adalah SASRA BIRAWA yaitu ilmu
tenaga dalam yang dapat memecahkan benda keras dari jarak jauh seperti ilmu
yang dimiliki Mahesa Jenar. Setiap Santri di Pesantren Parakan diajarkan ilmu
pencak silat Garuda Bambu Runcing. Salah satu murid beliau yang dikenal
sebagai pendekar di kota Solo adalah Almarhum KH. Hilal Adnan pimpinan
Thoriqoh Syadziliyah di Solo Jawa Tengah.
Mursyid Thoriqoh Syadziliyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Mengikuti jejak gurunya, Kiai Dalhar Watucongol, ia juga menjadi mursyid
Tarekat Sadziliyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang bersanad sampai ke
Rasulullah SAW. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat
Jami'yyah Thariqoh Muqtabaroh An-Nahdliyyah serta pimpinan thoriqoh
Syadziliyah.
Di organisai PBNU, almarhum menjabat sebagai Mustasyar. KH Muhaiminan
Gunardo merupakan seorang tokoh panutan yang sangat dikenal masyarakat
luas. Selain itu, beliau juga banyak memberikan sumbangan spiritual bagi
kehidupan masyarakat.
KH Muhammad Dimyati
PANDEGLANG BANTEN
KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah
sosok yang kharismatis. Beliau dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah
dan melahirkan banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya.
Nama lengkapnya Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Dikenal
sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga
mancanegara.
Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang
sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya
didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia
sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar
Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat
Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan.
Lahir sekitar tahun 1925 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang
disegani.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur
ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten
tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi
tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati
dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat
Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati
dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah
tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya
dikenalsebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Tidak salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid.
Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu
masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan
Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini
diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian
besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-
tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis
Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak
kebakaran hingga sampai wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah sejak kecil memang sudah
menampakan kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu
pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng Pandeglang.
Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Pleret Cirebon.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya
Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama
Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin
Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak
lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata
Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau
mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh
wafat.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar
oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke
Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan
datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di
Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya
menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok
Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena,
kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan
santri mengaji.

Jalan Spritual

Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyati ini menempuh


jalan spiritual yang unik. Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari
pesantren yang satu ke pesantren yang lain selalu dengan kegiatan Abuya
mengaji dan mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para santri. Dikenal
sebagai ulama yang komplet karena tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi
juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya
mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally,
naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca
al Quran. Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH Dimyati ,
Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang
kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak
pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam
11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga
Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid
hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu
melakukan qiyamul lail hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH
Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang.
Namun Abuya justru semakin mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai
akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.”
Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH
Baidlowio pun menjawab,” Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab,
begitu pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-
apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan
selawat.” Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk
kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai
Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat istikharah. Setelah melaksanakan solat
tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH Baidlowi yang
kemudian diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.

Dipenjara Dan Mbah Dalhar

Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh pendiriannya.
Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada zaman Orde
Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam
penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah
ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti
pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan
kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah
Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib nashr dan hidzib
ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab Aslul Qodr
yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab
Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II
yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hidzib Nasr.
Selanjutnya kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian
kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya
membahas tentang tarekat Syadziliyyah. Ada cerita-cerita menarik seputar
Abuya dan pertemuannya dengan para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu
dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan
selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar.
Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh
datang ke sini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya
mau mondok mbah.” Kemudian Kiai Dalhar pun berkata,” Perlu sampeyan
ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri
sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik
sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi
kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu
diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”
Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya
ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya
disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?” Kemudian Kiai
Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon
ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan
jangan punya teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat
Syadziliyah kepada Abuya.
Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya
Dimyati tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07
Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga
Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad
Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang,
Banten dalam usia 78 tahun.
HADLRATUS SYAIKH MUSTAQIM BIN HUSAIN
Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain lahir di desa Nawangan, kecamatan
Keras, kabupaten Kediri, pada tahun 1901 M. Ayah beliau bernama Husain bin
Abdul Djalil, yang merupakan keturunan ke 18 dari Mbah Panjalu, Ciamis, Jawa
Barat (Ali bin Muhammad bin Umar). Ketika masih berusia 12-13 tahun,
Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain mengabdi kepada Kiai Zarkasyi di dusun
Tulungagung. Beliau mengabdi dan belajar membaca Al-Quran serta ilmu
agama kepada Kiai Zarkasyi. Pada usia tersebut, Hadlratus Syaikh Mustaqim bin
Husain dikaruniai oleh Allah hati yang dapat berdzikir Allah, Allah, Allah ……
tanpa berhenti.
Dari kekuatan dzikir yang demikian tadi, Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain
juga dikaruniai oleh Allah ilmu sirri atau ilmu mukasyafah . Beliau bisa
mengetahui ilmu ghaib, alam barzakh dan alam jin, serta keinginan-keinginan
yang terbersit di hati orang lain. Pada saat itu, Allah selalu menjaga beliau dari
sifat-sifat madzmumah (sifat yang tercela).
Setelah beliau dewasa, Hadlratus Syaikh dinikahkan oleh Kyai Zarkasyi dengan
putri dari Mbah H. Rois yang juga berdomisili di Kauman, yang bernama Ibu
Nyai Halimah Sa’diyyah. Mbah H. Rois hanya mempunyai 2 anak, yang pertama
bernama Sholeh Sayuthi, yang terkenal dengan sebutan Wali Sayuti. Yang
kedua bernama Ibu Nyai Halimah Sa’diyyah yang dinikahkan dengan Hadlratus
Syaikh Mustaqim.
Sebagai seorang suami, Hadlratus Syaikh melakukan kewajibannya dengan
mencari nafkah untuk keluarganya dengan menjadi tukang potong rambut ,
tukang jahit sepatu dan berdagang. Hadlratus Syaikh pernah mendirikan toko
yang diberi nama Bintang Sembilan. Meskipun kehidupan ekonomi
keluarganya selalu memprihatinkan, pada saat itu beliau tidak pernah
meninggalkan kewajiban untuk berbuat amar ma’ruf, yaitu dengan
mengajarkan dzikir yang dimasukkan ke dalam jurus-jurus pencak silat.
Di zaman penjajahan Jepang, Hadlratus Syaikh mengalami suatu ujian bersama
dengan para ulama seluruh Indonesia. Pemerintah Jepang menganggap bahwa
para Ulama akan melakukan pemberontakan, sehingga para Kyai ditangkap,
ada yang disiksa, dan banyak yang disakiti. Setelah selamat dari penyiksaan
Jepang, Hadlratus syaikh meneruskan pengajarannya, yaitu dengan
mengajarkan dzikir di dalam hati, serta akhlaqul karimah, terutama akhlaq
kepada Allah. Rumusan amalan-amalan beliau menekankan bahwa sebelum
dan sesudah wirid harus meminta pada Allah agar mendapat 4 hal:
1. Selamat di dunia dan akhirat.
2. Hati yang bersih dari sifat madzmumah (sifat tercela).
3. Kekalnya iman sampai sakaratul maut dan bisa membaca kalimat thayyibah,
serta bisa husnul khatimah.
4. Semua hal yang barakah, maslahah, manfaat di dunia dan akhirat.
Sebab-sebab KH. Mustaqim Menerima Thariqah Syadzaliyyah
Menurut KH. Abdul Jalil Mustaqim, Romo KH. Mustaqim bin Husain sudah
mempunyai hizib-hizib sebelumnya, seperti Hizib Baladiyyah, Hizib Kafi dan
lain-lain. Pada suatu saat, murid Syaikh Mustaqim yang bernama Asfaham dari
Ngadiluwih, Kediri, ketika riyadlah mengamalkan aurad Hizib Kafi dan masuk ke
dalam maqam Jadzab Billah. Pada maqam jadzab tersebut, pak Asfaham
berkelana sampai masuk Pondok Termas pacitan, Pak Asfaham berbicara
banyak hal, termasuk mengajak beradu argumentasi (berdebat) kepada para
Ustadz Pondok Termas Pacitan. Pada saat itu, Syaikh Abdur Razzaq mengetahui
bahwa ilmunya Pak Asfaham itu haq. Kemudian Syaikh Abdur Razzaq
memanggil Pak Asfaham dan bertanya, “siapa gurumu?” kemudian Pak
Asfaham menjawab bahwa gurunya adalah KH. Mustaqim dari Kauman
Tulungagung.
Di lain waktu, Kyai Abdur Razzaq bertamu (sowan) kepada KH. Mustaqim.
Dalam persowanan tersebut Kyai Abdur Razzaq meminta ijazah ‘ammah
kepada KH. Mustaqim. Akan tetapi keduanya malah saling menghindar untuk
menjadi guru. Pada akhirnya, keduanya sepakat untuk sama-sama saling
memberikan ijazah. Romo KH. Mustaqim memberikan ijazah Hizib Baladiyah
kepada Romo Kyai Abdur Razzaq. Dan Romo Kyai Abdur Razzaq memberikan
baiat Aurad Syadzaliyyah. Pada saat akan diberi baiat Aurad Syadzaliyyah, KH.
Mustaqim menolak. Beliau berkata, “Aurad Syadzaliyyah itu berat, setahu saya
ada amalan yang ngere (keluar dari rumah tidak boleh membawa bekal,
makannya minta ke orang lain, membawa baju hanya satu setel saja untuk
menutupi aurat)”. Romo Kyai Abdur Razzaq berkata, “Kalau anda pasti kuat”.
Kemudian KH. Mustaqim jadi menerima baiat Aurad Syadzaliyyah dari Romo
Kyai Abdur Razzaq. Setelah berjalan cukup lama, KH. Mustaqim sudah
memberikan baiat kepada murid-murid yang menginginkan Aurad
Syadzaliyyah. Romo Kyai Abdur Razzaq berkata, “Thariqah Syadzaliyyah ini
nanti pusatnya akan pindah ke Kedung”, (yang dimaksud adalah akan pindah
ke Syaikh Mustaqim Kauman, Tulungagung). Pada tahun 1947 M, Romo Kyai
Abdur Razzaq datang ke Tulungagung. Beliau sangat senang dengan KH. Abdul
Jalil Mustaqim, dan pada saat itu KH. Abdul Jalil Mustaqim masih berusia 5
tahun. KH. Abdul Jalil Mustaqim digendong oleh Kyai Abdur Razzaq
mengelilingi alun-alun Tulungagung. Sepertinya Romo Kyai Abdur Razzaq
sudah mengetahui bahwa yang akan menjadi penerus guru mursyid setelah
Syaikh Mustaqim adalah KH. Abdul Jalil Mustaqim.
Musibah di Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945)
Pada saat Jepang menjajah bangsa Indonesia , Jepang memaksa bangsa
Indonesia untuk melakukan Seikerei , yang artinya pada saat matahari terbit,
menghadap ke timur untuk menyembah kepada matahari (ibadah agama
Shinto ). Dan pada saat jam 07.00 pagi harus membungkuk seperti posisi ruku’
menghadap ke utara agak serong ke barat menghadap ke arah kota Tokyo
Jepang , untuk menyembah Tenno Haika, Raja Jepang. Kedua perintah Jepang
tersebut dianggap musyrik oleh agama Islam. Oleh karena itu, Syaikh
Mustaqim dan ulama lainnya menentang hal tersebut dan tidak mau
melakukannya. Pemerintah Jepang mempunyai anggapan bahwa para ulama
dan kyai akan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Jepang.
Sehingga pemerintah Jepang dengan biadabnya melakukan penyiksaan kepada
para ulama termasuk Syaikh Mustaqim. Penyiksaan Jepang yang dialami oleh
Syaikh Mustaqim antara lain: Tubuh beliau dijepit dengan satu bal es batu di
dada, dan satu bal lagi di bagian belakang sambil tubuh beliau dirantai.
Beliau dijatuhkan dari ketinggian mencapai 10 meter. Perut beliau diisi air
lewat hidung dengan menggunakan pipa kecil, seperti yang dialami oleh kyai-
kyai lainnya. Pada saat Jepang memasukkan air ke dalam hidung KH.
Mustaqim, yang dimasuki air malah bukan hidung beliau, tetapi kantong ikat
pinggang yang sedang beliau pakai. KH. Mustaqim diberi keselamatan dari
semua hal tersebut berkat perlindungan dari Allah.
Usaha Ekonomi
KH. Mustaqim bin Husain mempunyai istri dan putra-putri. Beliau juga
melakukan usaha secara lahir, yaitu dengan berusaha mencari nafkah untuk
mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Beliau pernah menjadi tukang
potong rambut, penjahit sepatu dan sandal, dan membuka toko yang bernama
Toko Bintang Sembilan.
Akan tetapi semua usaha lahir beliau tersebut tidak ada yang kelihatan
menghasilkan banyak uang. Sepertinya beliau hanya melakukan ikhtiyar secara
lahir saja. Buktinya, pada saat Kyai Muslim (Alm) akan pergi mondok ke Pondok
Mojosari Loceret Nganjuk, Kyai Muslim meminta uang kepada KH. Mustaqim,
dan KH. Mustaqim menyuruh beliau untuk mengambil sendiri uang yang
terletak di bawah kasur. Pada saat Kyai Muslim membuka kasur tersebut,
ternyata yang ada di bawah kasur tersebut adalah uang semua. Tetapi Kyai
Muslim hanya mengambil seperlunya saja.
Perkataan-Perkataan Hikmah
Al-Maghfurullah KH. Mustaqim bin Husain jika berbicara (dawuh), banyak yang
menggunakan kalam kinayah (kata sindiran) daripada kalam sharihah (kata
terang-terangan). Begitu juga jika akan terjadi peristiwa yang aneh, beliau
hanya memberikan isyarat saja. KH. Mustaqim memelihara ayam yang sebelah
kanan berwarna merah, dan yang sebelah kiri berwarna putih bersih. Pada
bulan Rabi’ul Awal, KH. Mustaqim berkata, “Bangsa Jepang berada di Indonesia
masih 6 bulan lagi”. Dan terbukti setelah sampai pada hari Jumat Legi tanggal 9
Ramadhan 1363 H, yang bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945 M,
Negara Indonesia merdeka dan mengibarkan bendera merah putih.
KH. Mustaqim bin Husain juga pernah mempunyai ayam yang berkaki satu, jika
berjalan meloncat-loncat, di atas kepalanya dekat dengan jenggernya
ditempati sarang lebah, jika ayam tersebut akan berpindah tempat, si lebah
keluar dari sarangnya kemudian mengikuti ayam tersebut. Begitu juga dengan
KH. Abdul Jalil Mustaqim. Beliau pernah memelihara burung perkutut putih,
dan selang beberapa tahun kemudian beliau memelihara burung gagak putih.
Semua hal tersebut menunjukkan bahwa Mursyid Kamil itu tetap ada, tetapi
sangat langka dan susah untuk dicari. Bisa ditemukan, tetapi harus lewat
kesucian. KH. Mustaqim bin Husain kalau dawuh kepada murid-muridnya
kebanyakan memakai kalam kinayah , begitu juga dengan KH. Abdul Jalil
Mustaqim. Menurut perkataan KH. Shadiq Muslih Al-Hajari, jika mendengarkan
perkataan-perkataan KH. Mustaqim dan KH. Abdul Jalil Mustaqim, harus
dengan berdzikir kepada Allah, supaya kita bisa memahami makna dari
perkataan beliau tersebut, karena sumber-sumber perkataan beliau tersebut
berasal dari asrarillah (dawuh sirri). Perkataan-perkataan tersebut antara lain:
1. “Menjadi orang mukmin itu harus sering memotong kuku”
Artinya: jadi orang mukmin itu harus menghilangkan sifat ‘ujub (merasa dirinya
paling baik) dan supaya bisa ikhlas.
2. “Menjadi murid thariqah itu seperti orang yang antri karcis di loket.
Terkadang didesak oleh temannya, diserobot gilirannya, dan ketetesan
keringat temannya. Akan tetapi semua itu jangan dihiraukan, tetaplah
menghadap ke loket”.
Artinya: menjadi murid thaariqah itu terkadang mendapatkan gangguan dari
orang lain, keluarga, bahkan dari sesama murid. Jangan hiraukan dan tetap
menghadap ke depan. Hanya berharap barakah kepada guru mursyid supaya
bisa cepat mendapat tiket pesawat Thariqah Syadzaliyyah.
3. “Mencari ilmu di depan guru mursyid harus seperti orang yang mencari
rumput, tapi jangan seperti orang yang mencari rumput”.
Artinya: orang yang mencari rumput jika melihat ke bawah, akan mendapat
rumput yang banyak, wadahnya cepat penuh. Tetapi jika melihat ke tempat
lain, sepertinya rumput yang kita lihat di tempat yang lebih jauh terlihat lebih
subur daripada rumput yang ada di dekat kita. Kenyataannya, rumputnya sama
saja, bahkan lebih sedikit. Karena kebanyakan pindah-pindah maka waktunya
habis dan wadah rumputnya tetap kosong. Orang yang mencari ilmu haqiqat
harus menghadap pada satu guru, jangan sampai melirik guru yang lainnya.
Malah akan menjadi hijab (penghalang) keberhasilannya. Kecuali jika diizini
oleh sang guru. KH. Abdul Jalil Mustaqim pernah berkata, “Jangan
berpoligami!” . Artinya, jika mengamalkan amalan Syadziliyyah tidak boleh
mengamalkan amalan lainnya yang batal, atau yang tidak seizin guru mursyid.
Maqam dan Derajat KH. Mustaqim bin Husain
Pada tahun 1953, KH. Mustaqim bin Husain menerima dawuh sirri, bahwa yang
akan meneruskan kemursyidan nanti adalah KH. Abdul Jalil Mustaqim (putra
KH. Mustaqim). Pada saat itu, KH. Abdul Jalil Mustaqim sudah mulai disuruh
membaiat, meskipun pada saat itu beliau masih berusia 11 tahun.
Pada tahun 1981, Ibu Nyai Hj. Halimah Sa’diyah (istri KH. Mustaqim), Ibu Nyai
Hj. Anni Siti Fatimah (putri KH. Mustaqim), serta Bapak H. Jam’an Prawiro, S.H
(putra mantu KH. Mustaqim), bersama-sama melakukan ihram haji dan umrah.
Ibu Nyai Hj. Anni Siti Fatimah dan Bapak H. Jam’an Prawiro, S.H
mengamanatkan haji buat KH. Mustaqim yang dilaksanakan oleh H. Masduqi
Tunjung, Udanawu, Blitar, di mana pada saat itu H. Masduqi masih bermukim
di Makkah. Serban dan sertifikat KH. Mustaqim disimpan oleh KH. Arif
Mustaqim. Sebelum menerima sertifikat tersebut, KH. Arif Mustaqim sudah
inkisyaaf (diperlihatkan hal-hal sirri) bertemu dengan KH. Mustaqim yang
menggunakan jubah, kopiah dan sorban (menggunakan pakaian haji).
KH. Mustaqim dikaruniai kelebihan oleh Allah bisa berbicara dengan
menggunakan bahasa orang yang sedang bertamu (sowan). Menurut K. Lamri
Kedung Sigit, Karangan, Trenggalek, KH. Mustaqim pernah menerima tamu dari
India yang tidak membawa penerjemah bahasa. KH. Mustaqim langsung
menemui tamu tersebut dan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa
India. K. Lamri tetap mendengarkan pembicaraan beliau sambil menyapu di
halaman mushalla.
Menurut Pak Ahmad bin Badri Jeli, Karangrejo, Tulungagung, pada saat dia
berkelana selama 18 tahun, hingga anak dan cucunya lahir dia tidak
mengetahuinya. Di dalam perjalanan berkelananya, dia sempat bertamu
(sowan) kepada KH. Muhammad Dalhar Magelang (yang makamnya ada di
Gunung Pring), Pak Ahmad bin Badri ditanya oleh KH. Muhammad Dalhar,
“Anda dari mana?”. Kemudian Pak Ahmad bin Badri menjawab bahwa dia
berasal dari Jeli, Karangrejo, Tulungagung. Kemudian KH. Muhammad Dalhar
bertanya lagi, “Sudah tahu KH. Mustaqim Kauman Tulungagung?. Pak Ahmad
bin Badri menjawab, “Sudah, saya sudah tahu beliau. Malah bapak saya ikut
amalan thariqah KH. Mustaqim”. Kemudian KH. Muhammad Dalhar berkata,
“Bahwa KH. Mustaqim itu adalah Wali Quthub yang derajat kewaliannya
mastur”. Padahal di daerah Tulungagung dan sekitarnya, banyak yang tidak
mengetahui KH. Mustaqim. Yang mereka ketahui hanya Pak Takim tukang
potong rambut.
KH. Mustaqim juga membaiat Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Qadiriyah wa Al-
Naqsyabandiyah. Beliau menerima baiat dari KH. Khudlari bin Hasan
Malangbong, Garut, Jawa Barat. KH. Mustaqim menimba ilmu yang banyak
sekali dari KH. Khudlari bin Hasan, termasuk belajar ilmu syari’at lengkap
selama 6 bulan.
KH. Mustaqim bin Husain Wafat
Pada tahun 1970, pada hari Ahad tanggal 1 Muharram setelah Ashar, di mana
di situ terdapat 4 orang yang menemani KH. Mustaqim yang sedang naza’ .
Salah satunya adalah Mayor TNI AD Shomad Srianto (mantan komandan
KODIM Tulungagung). Pada saat naza’ , KH. Mustaqim kelihatan nafasnya
tersendat-sendat (idlthirob) dan sesak nafas. Akan tetapi sesak nafas beliau ini
bukan berarti tanda-tanda su’ul khatimah . Menurut kitab Tanbihul Mughtarrin
halaman 45, jika ada guru mursyid pada saat naza’ -nya terlihat kesakitan dan
sesak nafas/nafas tersendat-sendat, itu dikarenakan dua hal:
1. Karena sangat senang akan bertemu dengan Allah.
2. Karena rasa kasihan beliau kepada semua murid beliau, ingin memberikan
pendidikan (tarbiyah) kepada para murid hingga mencapai ma’rifat billah .
Oleh karena itu, karena saling tarik menariknya dua hal tersebut, sehingga
jasad beliau terlihat mengalami nafas tersendat-sendat.
Putra-Putri KH. Mustaqim bin Husain dengan Ibu Nyai Hj. Halimah Sa’diyah
1. Ibu Nyai Thowilah Sumaranten.
2. Bapak KH. Arif.
3. Bapak Muhsin.
4. Bapak Yasin.
5. Ibu Maratun.
6. Bapak KH. Abdul Ghafur.
7. Ibu Nyai Hj. Anni Siti Fatimah.
8. Bapak KH. Kyai Ali Murtadlo.
9. Romo KH. Muhammad Abdul Jalil.
10. Ibu Nyai Siti Makhfiyah.
11. Bapak Hanshon Athlab.
SYEKH Ahmad Asrori Al-Ishaqi
Beliau masih muda. Namun, Surabaya dan Jawa Timur bahkan seluruh
Jawa hingga Jakarta dan Asia Tenggara seperti dalam genggaman
pengaruhnya, itulah KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi putra keenam KH. Utsman asal
Kedinding Lor Surabaya Jawa Timur.
Minggu pagi akhir bulan Pebruari tahun 2006 lalu kawasan Lapangan Mataram
Kota Pekalongan yang biasanya ramai oleh masyarakat yang ingin berolah raga
ringan, berbelanja dan sekedar jalan jalan untuk menikmati udara pagi, hari itu
tampak lain dari hari-hari minggu sebelumnya. Puluhan keamanan sejak subuh
disibukkan oleh kehadiran puluhan ribu masyarakat berbaju putih putih dari
berbagai penjuru kota di Jawa untuk mengatur arus lalu lintas. Saking
padatnya, Jalan Wilis dan Sriwijaya merupakan jalur utama jurusan Semarang
Jakarta harus ditutup total selama 24 jam dan disulap menjadi area parkir
kendaraan roda dua dan empat atau lebih. Bahkan malam sebelumnya
puluhan rombongan bis bis pariwisata dan reguler serta ratusan kendaraan
pribadi sudah memasuki wilayah Kota Pekalongan yang terkenal dengan
industri batiknya menuju satu titik, yakni Lapangan Mataram. Ada apa
gerangan ?
Di Lapangan Mataram inilah tidak kurang dari lima puluh ribu kaum muslimin
dan muslimat, dari anak-anak hingga orang dewasa dari berbagai penjuru
tanah air secara bersama sama melakukan kegiatan istighotsah, manaqib
Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro RHa dan tahlil akbar dalam rangka “Haflah
dzikir, Maulidurrasul dan Haul Akbar Ummil Mukminin Sayyidatina Siti
Khodijah Al Kubro RHa.” yang dipimpin langsung oleh ulama kharismatik
penyejuk ummat asal Kedinding Lor, Semampir, Surabaya Jawa Timur, yakni
KH. Ahmad Asrori Utsman Al Ishaqi.
Suara gema istighotsah dan tahlil akbar mengguncang langit Kota Pekalongan
di pagi hari menembus cakrawala hingga radius dua kilometer. Kota
Pekalongan yang biasanya ramai oleh hiruk pikuk masyarakat sibuk dengan
urusannya masing masing, hari itu ikut larut dalam gema istighotsah dan tahlil.
Apalagi kegiatan ini disiarkan langsung oleh tiga radio yang sudah punya nama
di Kota Pekalongan dan Batang, yakni Radio Amarta FM, Radio Abirawa Top FM
dan Radio PTDI Walisongo, maka lengkaplah suasana di pagi hari yang cerah
dengan busana putih putih di atas hamparan rumput hijau dengan menyebut
asma Allah hingga ribuan kali sampai menggetarkan kalbu yang gersang oleh
kondisi zaman.
“Kegiatan bertaraf internasional ini diselenggarakan tidak hanya semata-mata
mendo’akan istri Rasulullah SAW Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al
Kubro saja, akan tetapi juga mendoa’akan sesepuh para ulama, syuhada’ dan
sholihin serta ummat Islam yang telah ikut berjasa dalam pengembangan
agama Islam di wilayah Kota Pekalongan dan sekitarnya”, ujar Ketua Umum
Pengurus Pusat Jama’ah Al Khidmah H. Hasanuddin, SH. kepada NUBatik
Online. Maka, tidaklah mengherankan jika masyarakat begitu antusias
mengikuti acara yang baru pertama kali digelar di Kota Pekalongan.
Bayangkan saja, lapangan Mataram yang cukup luas itu disulap oleh panitia
menjadi arena berdzikir bak tenda besar. Seluruh lapangan tertutup rapat oleh
tenda tidak kurang dari 250 set layos (tratag) dan di dalamnya membentang
panggung raksasa ukuran 50 x 16 meter persegi dengan dekorasi yang cukup
mewah. Untuk persiapannya saja, memerlukan waktu tiga hari memasangnya
dan pihak panitia mendatangkan secara khusus panggung dan dekorasi dari
Ponpes Al Fithrah Semarang.
Bahkan untuk mengcover arena agar seluruh peserta dzikir dapat mendengar
dengan baik, pihak panitia mendatangkan secara khusus sound system
berkekuatan 30 ribu watt dari Malang Jawa Timur yang diangkut satu truk
tronton, di tambah dengan 6 set sound system lokal dengan kekuatan masing
masing 3 ribu watt, sehingga peserta / pengunjung yang hadir dapat mengikuti
acara demi acara dengan baik dan khusu’, saking besarnya kekuatan sound
system, acara tersebut dapat didengar hingga radius 2 kilometer.
Mayoritas jama’ah yang hadir memang datang dari seluruh pelosok Jawa
Tengah. “Kami sengaja hadir di majelis ini, karena pada tahun ini hanya
diselenggarakan di Pekalongan”, ujar Mukminin asal Jepara. Dirinya membawa
beberapa bis untuk mengangkut rombongan asal kota ukir Jepara. “Kegiatan
tahun kemarin di Kabupaten Demak kami juga membawa rombongan lebih
besar, akan tetapi karena kali ini agak jauh maka tidak banyak yang kami
bawa” kata pemuda yang masih lajang ini. Hal senada juga diungkapkan
Rohman pimpinan rombongan asal Grobogan dan Nur Kholis asal Salatiga.
Selain Jawa Tengah, tidak sedikit pula rombongan berasal dari Jawa Timur,
Madura, Jawa Barat dan Jakarta. Hal ini terlihat dari kendaraan berplat nomor
AG, L, W, N, B dan lain lain. Bahkan juga hadir puluhan jama’ah asal
mancanegara, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Timur
Tengah.
Rumah-rumah penduduk dan gedung-gedung di sekitar Lapangan Mataram
seperti Gedung Wanita, Kantor MUI, Balai Kelurahan Podosugih, Balai
Kelurahan Bendan, Rumah Singgah Dupan Mall, Gedung Balai Latihan Kerja
(BLK), serambi-serambi Masjid, Musholla hingga ruko berubah fungsi menjadi
tempat penginapan. “Saya setiap pagi selalu mendengarkan pengajian Kiai
Asrori di Amarta FM, materinya sangat disukai masyarakat dan menyejukkan
hati, jadi sangat wajar jika masyarakat sekitar sini dengan antusias rumahnya
menjadi tempat penginapan”, kata Ibu Romlah asal Podosugih Kota
Pekalongan. Bahkan Paguyuban warung makan Lamongan yang banyak
tersebar di kawasan jalur Pantura secara ikhlas menyediakan makanan dan
minuman gratis untuk para tetamu yang telah hadir pada malam sebelumnya.
Uswah khasanah
Kalau ada pertanyaan, faktor apa yang mempersatukan mereka, bahkan rela
berdesak-desakan selama berjam-jam ? jawabannya ada dua, yaitu Thariqah
dan sosok Kiyai Asrori sendiri selaku Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan
Naqsabandiyah Al Utsmaniyah (dinisbatkan kepada Kiai Utsman). Konon,
almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim
(ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai
mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto.
Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan
kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di
samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat
estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan,
sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan
wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah
yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai
Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang
masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang
yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya
ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada
seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia
membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai
Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan
menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”,
ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok
Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok
tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa
bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan
tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta
bangunan masjid yang cukup besar.
Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang
moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-
muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada
masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus
ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama.
Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal,
melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan
thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi
masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan
banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai
Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau
adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar,
bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa
mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di
Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus
karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-
orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata
anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada
Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah
tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat
dari kalangan sipil maupun militer.
Keturunan Rasulullah ke-38
Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al
Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai
Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang. Berikut
silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso
– Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran
Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo –
Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan
Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam
– Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan –
Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi –
Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi –
Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir
– Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti
Rasulullah SAW.
Baiat thariqah
Kini, ulama yang usianya belum genap lima puluh tahun itu menjadi magnet
tersendiri bagi sebagian kaum, khususnya ahli thariqah. Karena kesibukannya
melakukan pembinaan jama’ah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air
hingga mancanegara. Kiai Rori menyediakan waktu khusus buat para tamu,
yakni tiap hari Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik bagi jama’ah baru
maupun lama dilakukan seminggu sekali. (ada tiga macam pembaiatan, yaitu
Baiat Bihusnidzdzan, bagi tingkat pemula, Baiat Bilbarokah, tingkat menengah
dan Baiat Bittarbiyah, tingkat tinggi).
Untuk menapaki level level itu, tiap jama’ah diwajibkan dzikir rutin yang harus
diamalkan oleh murid yang sudah berbaiat berupa dzikir jahri (dengan lisan)
sebanyak 160 kali dan dzikir khafi (dalam hati) sebanyak 1000 kali tiap usai
sholat. Kemudian ada dzikir mingguan berupa khususi yang umumnya
dilakukan jama’ah per wilayah seperti kecamatan.
Thariqah yang diajarkan Kiai Rori memang dirasakan berbeda dengan thariqah
atau mursyid mursyid lainnya pada umumnya. Jika kebanyakan para mursyid
setelah membaiat kepada murid baru, untuk amaliyah sehari-hari diserahkan
kepada murid yang bersangkutan di tempat masing-masing untuk
pengamalannya, tidak demikian dengan Kiai Rori. Beliau sebagai Mursyid
Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah memiliki tanggung
jawab besar, yakni tidak sekedar membaiat kepada murid baru kemudian
tugasnya selesai, akan tetapi beliau secara terus-menerus melakukan
pembinaan secara rutin melalui majelis khususi mingguan, pengajian rutin
bulanan setiap Ahad awal bulan hijriyah dan kunjungan rutin ke berbagai
daerah.
Untuk membina jama’ah yang telah melakukan baiat, khususnya di wilayah
Jawa Tengah, bahkan Kiai Rori telah menggunakan media elektronik yaitu
Radio Siaran untuk penyebaran dakwahnya, sehingga murid muridnya tidak
lagi akan merasa kehilangan kendali. Ada lima radio di Jawa Tengah yang
dimilikinya setiap pagi, siang dan malam selalu memutar ulang dakwahnya Kiai
Rori, yakni Radio Rasika FM dan “W” FM berada di Semarang, Radio Citra FM di
Kendal, Radio Amarta FM di Pekalongan dan Radio Suara Tegal berada di Slawi.
Radio radio inilah setiap harinya mengumandangkan dakwahnya yang sangat
khas dan disukai oleh banyak kalangan, meski mereka tidak atau belum
berbaiat, bahkan ketemu saja belum pernah, toh tidak ada halangan baginya
untuk menikmati suara merdu yang selalu mengumandang lewat istighotsah di
awal dan tutup siaran radio. Kemudian juga dapat didengar lewat manaqib
rutin mingguan dan bulanan serta acara-acara khusus seperti Haul Akbar di
Kota Pekalongan beberapa waktu lalu disiarkan langsung oleh tiga radio
ternama di Kota Pekalongan dan Batang.
Dalam setiap memberikan siraman rohani, Kiai Rori menggunakan rujukan
Kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi Al Bantani, Al Hikam karya Imam
Ibnu Atha’illah dan lain lain. Selain pengajian yang lebih banyak mengupas soal
tasawuf, Kiai Rori juga sering menyisipkan masalah fiqih sebagai materi
penunjang. Seorang ulama asal Ploso Kediri Jawa Timur, KH. Nurul Huda
pernah bertutur, sulit mencari ulama yang cara penyampaiannya sangat
mudah dipahami oleh semua kalangan dan do’anya sanggup menggetarkan
hati seperti Kiai Asrori. Hal senada diakui oleh KH. Abdul Ghofur seorang ulama
asal Pekalongan, Kiai Asrori seorang figur yang belum ada tandingnya, baik
ketokohannya maupun kedalaman ilmunya.
Jama’ah Al Khidmah sebagai wadah
Sadar bahwa manusia tidak akan hidup di dunia selamanya, Kiai Asrori telah
berfikir jauh ke depan untuk keberlangsungan pembinaan jama’ah yang sudah
jutaan jumlahnya. Perkembangan jumlah murid cukup menggembirakan ini
sekaligus mengundang kekawatiran. Apa pasal ? banyaknya murid yang
berbaiat di Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah
menunjukkan bahwa ajaran ini memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi murid
murid yang telah berbaiat terus dibina melalui berbagai majelis, sehingga
amalan-amalan dari sang guru tetap terpelihara.
Di sisi lain banyaknya murid juga mengundang kekhawatiran sang guru. Karena
mereka tidak terurus dan terorganisir dengan baik, sehingga pembinaannya
pun kurang termonitor. Kondisi inilah yang mendorong beberapa murid senior
memiliki gagasan untuk perlunya membentuk wadah di samping dorongan
yang cukup kuat dari Kiyai Asrori sendiri, sehingga diharapkan dengan
terbentuknya wadah bagi para murid-muridnya dapat lebih mudah
melaksanakan amalan amalan dari gurunya.
Maka dibentuklah wadah bernama “Jama’ah Al Khidmah”. Organisasi ini resmi
dideklarasikan tanggal 25 Desember 2005 kemarin di Semarang Jawa Tengah,
dengan kegiatan utamanya ialah menyelenggarakan Majelis Dzikir, Majelis
Khotmil Al Qur’an, Maulid dan Manaqib serta kirim do’a kepada orang tua dan
guru-gurunya. Kemudian menyelenggarakan Majelis Sholat Malam, Majelis
Taklim, Majelis Lamaran, Majelis Akad Nikah, Majelis Tingkepan, Majelis
Memberi nama anak dan lain lain.
H. Hasanuddin menjelaskan, organisasi ini sengaja dibentuk bukan karena latah
apalagi berorientasi ke politik praktis, akan tetapi semata mata agar
pembinaan jama’ah lebih terarah dan teratur. Siapapun bisa menjadi
anggotanya, baik yang sudah baiat atau yang belum baiat. Seperti kegiatan
kegiatan Haul Akbar di Kota Pekalongan tempo hari merupakan salah satu
bukti bahwa kegiatan Jama’ah Al Khidmah banyak diminati oleh berbagai
kalangan khususnya di wilayah Pekalongan dan sekitarnya.
Meskipun di wilayah ini belum banyak yang menyatakan baiat ke Kiai Asrori,
ternyata magnet kiai yang berpenampilan kalem dan sederhana ini dapat
menghadirkan puluhan ribu ummat Islam untuk duduk bersimpuh bersama-
sama dengan para kiyai, ulama, habaib dan ratusan undangan lainnya untuk
bersama-sama melakukan dzikir dan mendoa’akan istri Rasulullah Ummil
Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro yang kini telah mulai banyak
dilupakan ummat Islam.
Acara ini memang tergolong khusus, pasalnya kegiatan Haul Sayyidatina Siti
Khodijah tidak lazim dilaksanakan oleh ummat Islam. sehingga banyak yang
tidak menyangka kegiatan ini akan mendapat perhatian yang cukup besar.
Bahkan Habib Umar Bin Salim cucu Rasulullah SAW asal Hadramaut Yaman
Yordania yang hadir dalam secara khusus di majelis dzikir itu mengatakan,
sudah selayaknya ummat Islam mendoakan istri Rasulullah, karena beliau
mempunyai peranan yang sangat penting dan banyak jasanya membantu
Rasulullah dalam pengembangan ajaran Islam. ”Kami siap hadir setiap majelis
ini digelar”, ujarnya usai acara. [mu’is]
BIOGRAFI KH. AHMAD ASRORI AL-ISHAQI KEDINDING SURABAYA PART II
KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi.
Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan
Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah
kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai
Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan
kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan
Sunan Giri. Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai
tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya
bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat
serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun
1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan
kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara
mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori
sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak
itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju
Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan
pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah
mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di
Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum
pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab
kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian
anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu
organisasi sosial manapun. Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan
pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung
dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang
membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang
terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada
Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini
mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan
orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan
Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori
terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan
lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan
kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut
namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya.
Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan
keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu
tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak
aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan
pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan
akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat
mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’
Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian
luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar
semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari
Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah
rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran
anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan
ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai
Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain
yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, yaitu 30 tahun.
Wassalam
KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi.
Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan
Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah
kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai
Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan
kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan
Sunan Giri. Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai
Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri.
Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13
orang.
Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso
– Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran
Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo –
Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan
Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam
– Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan –
Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi –
Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi –
Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir
– Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti
Rasulullah SAW.
Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai
tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya
bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat
serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun
1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan
kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini. Konon,
almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim
(ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai
mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto.
Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan
kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di
samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat
estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan,
sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan
wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah
yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai
Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang
masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang
yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya
ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada
seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia
membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai
Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan
menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”,
ujarnya. Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok
Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok
tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa
bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan
tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta
bangunan masjid yang cukup besar. Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh
jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas
keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai
Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut
saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat
hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para
pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada
mulanya justru asing dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi
masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan
banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai
Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau
adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar,
bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu. Tanda
tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya
dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur
dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena
banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”,
bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak
jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah
lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh
yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari
kalangan sipil maupun militer.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara
mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori
sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak
itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju
Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan
pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah
mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di
Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum
pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab
kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian
anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu
organisasi sosial manapun.
Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis
yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni
keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah
menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang
ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju
dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut.
Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak
provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan
perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan
kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil
mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang
mungkin tak pernah ia bayangkan. Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa.
Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang
sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di
kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai
Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan.
Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun,
dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan
ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia
seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.”
Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori
mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali
dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh
seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut
ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori
mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam.
Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman
pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji
kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk
Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai
penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu
Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun. Telah meninggal dunia pada hari ini 26
Sya’ban 1430 H./18 Agustus 2009 pukul 02:20 WIB, KH. ASRORI BIN UTSMAN
AL-ISHAQI, Kedinding Surabaya Beliau adalah mursyid Thoriqoh Qodiriyah &
Naqsabandiyyah saat ini, semoga Allah senantiasa mengampuni semua
dosanya
Kiai As’ad, yang rajin membaca dan berlangganan enam koran ditambah
sebuah majalah mingguan berdarah Madura asli. Lahir tahur 1897 di Mekah
ketika orangtuanya menunaikan ibadat haji. Satu satunya adiknya,
Abdurrahman juga lahir di kota suci itu dan bahkan menjadi hakim dan
meninggal di Arab Saudi. Pada umur 6 tahun, oleh ayahnya, K.H. Syamsul
Arifin, seorang ulama besar di Madura, K.H. As’ad ditaruh di Pesantren Sumber
Kuning, Pamekasan. Menginjak usia 11 tahun, As’ad diajak ayahnya
menyeberangi laut dan membabat hutan disebelah timur Asembagus yang
waktu itu terkenal angker “Dulu tidak ada orang, kecuali ha- rimau dan ular
berbisa,” kata Kia As’ad mengenang. Di bekas hutan perawan itu, mereka
membangur permukiman yang kemudian menjadi Desa Sukorejo. Pada usia 16
tahun, bersama seorang adiknya, Abdurrahman. As’ad dikirim kembali ke
Mekah dengan harapan setelah pulang mewarisi Pesantren Sukorejo. Hanya 3
tahun bertahan di Mekah , ia kembali ke tanah air dan masih belajar
di beberapa pesantren. Di berbagai pondok ini, bukan cuma agama yang
dipelajari, juga ilmu silat, ilmu kanuragan. As’ad juga pernah belajar di Pondok
Tebuireng pimpinan K.H. Hasyim Asyari, dan menjadi kurir ulama ini menjelang
lahirnya NU tahun 1929. Setelah NU berkembang, ia ternyata tak terpaku
hanya pada NU. As’ad juga memasuki Sarekat Islam selama pernah menjadi
anggota organisasi Penyedar – yang didirikan Bung Karno. Di sinilah, As’ad
kenal dekat dengan presiden pertama ini. Di tengah gejolak perjuangan itu
(1939), K.H. As’ad menyunting gadis Madura, Zubaidah. Dan kini dikaruniai
lima anak. Si bungsu, satu-satunya lelaki, Ahmad Fawaid, kini baru 14 tahun.
Empat anak perempuannya semua sudah kawin dan memberinya sembilan
cucu serta tiga buyut. Pada masa mudanya, KH R. As’ad muda menghabiskan
masa lajangnya di berbagai pondok pesantren di pulau jawa. Beberapa PONPES
yang pernah beliau tempati dalam mengais ilmu agama, antara lain PP
Demangan Bangkalan asuhan KH. Cholil, PP Panji, Buduran, PP Tetango
Sampang, PP Sidogiri Pasuruan, PP Tebu Ireng Jombang dan berbnagai PONPES
lainnya di Pulau Jawa dan Madura. Setelah malang melintang di berbagai
pesantren beliau melanjutkan studinya ke Makkatal Mukarromah dan disana
beliau berguru kepada Ulama’-ulama besar seperti Sayyid Muhammad Amin
Al-Qutby, Syekh Hasan Al-Massad, Sayyid Hasan Al-Yamani dan Syekh Abbas
Al-Maliki, serta beberapa ulama besar lainnya.
Kiai As’ad dan NU
Belum lengkap rasanya cerita NU tanpa peranan ulama besar ini, KHR. As’ad
adalah sosok kyai yang dari awal telah menganut paham-paham ahl al-sunnah
wa al-jama’ah dan selalu menghiasi kehidupan dalam kesehariannya dengan
budaya-budaya ke-NU an. Saat menjadi santri KH. Cholil bangkalan, Kyai As’ad
muda menjadi santri kesayangan gurunya sehingga pada masa dimana terjadi
peralihan Perkumpulan Ulama dalam “ Komite HIjaz “ menjadi “jam’iyah” Kyai
As’ad muda menjadi satu-satunya mediator dalam penyampaian isyaroh KH.
Cholil kepada KH. Hasyim As’ari Jombang. Beliau diutus oleh Kyai Cholil pada
tahun 1924 beliau menyampaikan satu tongkat disertai Surat Thoha ayat 17
s/d 23, pada tahun 1925 beliau kembali di utus menyampaikan hasil istikhoroh
gurunya kepada KH. Hasyim As’ari, beliau kembali kejombang dengan seuntai
tasbih dan bacaan ya jabber, ya qohhar 3x. Pada tahun 1945, ketika Laskar
Hisbullah dibentuk Kyai As’ad langsung bergabung dan memimpin pasukan
bergerilya di daerah besuki dan sekitarnya. Uniknya, pasukan yang beliau
pimpin adalah bara mantan bajingan, mereka dihimpun dalam barisan pelopor
yang kemudian engambil peran dalam perjuangan kemerdekaan dan
penumpasan PKI di Situbondo 1965.
Setelah pemilu 1955, Kyai As’ad menjadi anggota konstituante sampai tahun
1959. setelah Lembaga itu di bubarkan oleh Bung Karno beliau tidak banyak
beraktivitas di bidang politik. Pada tahun 1971, Kyai As’ad menjadi DPRD
Kabupaten Situbondo dan pada tahun 1977 beliau mendukun PPP karena NU
saat itu mendukung PPP. Selain itu, Kyai As’ad merupakan salah satu diantara
sekian ulama yang selalu menjembati persoalan-persoalan yang terjadi antara
pemerintah dan umat islam, khususnya warga NU. Sikapnya yang tegas
dantangkas sertabijaksana, beliaiu mampu memainkan perannya sebagai
ulama’ NU (pengayom Masyarakat) sekaligus sebagai politisi yang arif.
Kebijakan-kebijakan kembali dibuktikan pada tahun 1982 mengenai masalah
mata
pelajaran PMP yang menjadi kontrofersi antara umat islam dan pemerintah,
tanpa banyak bicara beliau langsung menemui presiden soeharto dan
menunjukan
beberapa hal yang mestinya dikoreksi, tidak beberapa lama, dalam tahun itu
juga PMP yang menuai kontrofersi tersebut direvisi dan disempurnakan oleh
pemerintah.
Begitu pula ketika terjadi konflik antara Muslimin Indonesia vs NU dalam
tubuh PPP dan rencana pemerintah memberlakukan Pancasila sebagai
satu-satunya azas Organisasi Sosial, Politik maupun kemasyarakatan,
tiba-tiba di PP Salafiyah Syafi’iyah berkumpul ratusan Ulama’ NU untuk
mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) yang berlangsung pada tanggal
18-21
Desember 1983. ketika semua Ormas Islam benyak menolak azas pancasila,
justru Munas menerimanya dan menganggapnya tidak bertentangan dengan
aqidah
islam dan Munas tersebut memutuskan mengembalikan NU kegaris dan
landasan
asalnya, yang kemudian popular dengan istilah kembali ke khittah 1926.
Inilah sebagian dari peran Kyai As’ad dalam memulihkan keutuhan NU dan
Umat
Islam di Negara ini.
Pesantren Sukorejo di bawah K.H. As’ad kini berkembang dengan pesat.
Terletak di pinggir jalan raya Situbondo Banyuwangi, 7 km sebelah timur
Kecamatan Asembagus. Dipintu gerbangnya tertulis bahasa Arab Ahlan Wa
Sahlan
dan bahasa Inggris Welcome. Di pondok ini selain dikembangkan pendidikan
gaya pesantren, juga ditumbuhkan pendidikan umum, SMP, SMA, dan
Universitas
Ibrahimy. Santri yang mengaji d pesantren sekitar 3.000, dan jika dihitung
semua siswa (santri dan murid sekolah umum) berjumlah 4.100 orang.
Kompleks
ini dijuluki “ kota santri”. Apalagi ada lapangan di tengah pondok dan santri
setiap saat terlihat main bola – memakai sarung.
Di pondok ini ada sebuah masjid yang tidak begitu besar. Tetapi As’ad
membangun masjid yang jauh lebih besar di luar kompleks Barangkali
dimaksudkan agar para santrl lebih menyatu dengan masyarakat sekitarnya.
Kiai yang rajin memelihara tanaman hias ini pernah mempunyai seekor kuda
putih warna kegemarannya. “Nabi Ibrahim kudanya juga putih,” katanya
tentang
kuda itu. Sayang, kuda itu telah mati dan belum ditemukan kuda putih sebagai
pengganti. Namun, ada “kuda” lebih gesit yang dimiliki Kiai sekarang, yaitu
mobil kolt. Juga putih.
Selain rajin mengurusi enam ekor ayam hutannya, kiai ini juga memelihara
seekor burung beo yang pintar berbicara. Jika ada tamu yang datang, burung
itu memberi salam: assalamu’alaikum. Dan bila sang tamu membalas tegur
sapa
sang beo, biasanya tamu lantas ketawa, lantaran si beo membalas dengan
kata-kata assooiiii … Tapi burung beo itu pun, menurut santrl di sana ,
menyerukan Allahuakbar bila bergema suara azan. “Burung ini pemberian
orang
sebagai hadiah,” kata seorang pembantu Kiai As’ad.
Toh ada yang khawatir tentang pesantren yang populer di Jawa Timur ini.
Termasuk Kiai As’ad sendiri. Pasalnya, adalah soal usia Kiai yang sudah
cukup sepuh, sementara pewaris satu-satunya, Ahmad Fawaid, masih sangat
muda. “Saya tak tega menyekolahkan Ahmad ke Arab Saudi, usianya masih
muda –
mungkin tiga tahun lagi,” ujar Kiai. “Sang putra mahkota”, walau tekun juga
mengaji bersama teman sebayanya, kamarnya penuh dengan kaset, radio,
televisi, bahkan video. Sebagai anak muda, “hampir setiap saat ia tenggelam
dengan hiburan itu,” ujar seorang pembantu Kiai. Untuk Ahmad Fawaid
memang
disediakan kamar khusus yang jauh dari rumah papan Kiai As’ad. Tapi sejak
beberapa waktu lalu telah ditunjuk K.H. Dhofir Munawar, menantu Kiai As’ad
dari anak pertamanya, sebagai pengelola pesantren sehari-hari.
SETELAH menjadi anggota Konstituante (1959), ia tak lagi tergiur pada
jabatan politik. Ia menolak jabatan yang disodorkan Bung Karno untuk menjadi
menteri agama di zaman Nasakom. Bahkan, sebagai ulama yang cukup
terpandang
di kalangan Nahdatul Ulama (NU), ia juga menolak ketika ditawari untuk
menjadi rois am, bahkan rois akbar.
Kiai Haji Raden As’ad Syamsul Arifin, pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah
Syafiiyah, Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jawa
Timur, agaknya memang hanya tertarik mengurusi pesantrennya. “Saya ini
bukan
orang politik, saya ini orang pesantren,” kata kiai berusia 86 tahun itu.
Lebih-lebih karena pengalaman selama menjadi anggota Konstituante
(1957-1959): selama itu pula pesantrennya sangat mundur.
Bukan berarti Kiai As’ad menyembunyikan diri dari keriuhan politik dan
hingar-bingar NU, yang sampai kini tak pernah selesai tuntas. Terbukti dari
kegiatannya menerima tamu yang tak putus-putusnya. Banyak pengamat
menilai,
Kiai As’ad adalah salah seorang dari sedikit ulama yang pandai menjembatani
jika ada “ketegangan” antara pemerintah dan umat Islam, khususnya NU.
Ketika
ribut-ribut soal buku PMP, Kiai As’ad tanpa banyak bicara, langsung menemui
Pak Harto. “Bagaimana Pak, buku PMP ini ‘ kan bisa merusak akidah umat
Islam,” kata Kiai mengulang pembicaraan yang sudah setahun lebih itu.
Berbicara begitu, Kiai As’ad memberi beberapa contoh yang semestinya
dikoreksi. Pak Harto, menurut Kiai, berjanji akan menyelesaikannya.
“Ternyata buku itu akhirnya disempurnakan,” kata Kiai, yang sudah 15 kali ke
Mekah.
Di saat ribut-ribut soal asas tunggal Pancasila, awal Agustus, untuk
kesekian kalinya, Kiai As’ad menemui Pak Harto di Cendana. Pertemuan itu,
yang dihadiri juga oleh Menteri Agama K.H. Munawir Syadzali yang
direncanakan cuma 15 menit, mekar menjadi 1 jam. Kepada Presiden
ditegaskan
pendirian NU yang menerima Pancasila. “Ini penting ditegaskan, karena NU
sejak semula berlandaskan Pancasila dan UUD 45,” tuturnya. Presiden,
menurut
Kiai, manggut-manggut. Bahkan Kiai As’ad lebih menegaskan, “Islam wajib
menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila menolaknya. Sila pertama itu
selaras dengan doktrin tauhid dan Qulhuallahu Ahad.”
Dalam kemelut NU, Rois Am K.H. Ali Ma’shum, bersama pengurus NU lainnya,
mondar-mandir ke Situbondo. Kiai As’ad dipercayai menjadi “penengah”
penyelesaian kericuhan setelah K.H. Idham Chalid, sebagai pucuk pimpinan
PBNU, menyatakan mundur – tapi kemudian mencabut pernyataan itu.
Di pesantrennya, Kiai menempati rumah sederhana berdinding papan
berukuran 3
x 6 meter. Rumah yang terletak di antara asrama santri wanita dan santri
pria itu tergolong paling jelek di Desa Sukorejo. Tapi tidak sembarang tamu
boleh berkunjung ke rumah itu – sebab yang diterima di sana hanya yang
sudah
dianggap keluarga. Para pejabat, dari lurah sampai menteri, diterima di
rumah yang lebih bagus, milik anaknya. Di rumah si anak tersedia ruang
berukuran sekitar 30 m2 yang digelari permadani untuk tamu yang ingin
bermlm
TANBIH
Bismillahir Rohmanirrohiim
Tanbih ini dari Syekhuna Almarhum Syekh Abdullah Mubarrok bin Nur
Muhammad yang bersemayam di patapan Suryalaya Kajembaran Rahmaniyah.
Sabda beliau khususnya kepada segenap murid – murid pria maupun wanita,
tua maupun muda :
Semoga ada dalam kebahagiaan, dikaruniai Allah SubhanahuWa Ta’ala
kebahagiaan yang kekal dan abadi dan semoga tak akan timbul keretakan
dalam lingkungan kita sekalian.
Pun pula semoga Pimpinan Negara bertambah kemuliaanya dan keagunganya
supaya dapat melindungi dan membimbing seluruh rakyat dalam keadaan
aman, adil dan makmur dhohir mupun bathin.
Pun kami tempat orang bertanya tentang THOREQOT QODIRIYAH
WANNAQSYABANDIYYAH, menghaturkan dengan tulus ikhlas wasiat kepada
segenap murid – murid :
Berhati hatilah dalam segala hal jangan sampai berbuat yang bertentangan
dengan peraturan AGAMA maupun NEGARA.
Taatilah kedua – duanya tadi sepantasnya demikianlah seharusnya sikap
manusia yang tetap dalam keimanan, tegasnya dapat mewujudkan kerelaan
terhadap Hadhirat Ilahi Robbi yang membuktikan perintah dalam AGAMA
maupun NEGARA.
INSYAFILAH HAI MURID – MURID SEKALIAN !, jangan terpaut oleh bujukan
nafsu, terpengaruh oleh godaan syetan, WASPADALAH akan jalan
penyelewengan terhadap terhadap perintah AGAMA maupun NEGARA agar
dapat meneliti diri, kalau – kalau tertarik oleh bisikan iblis yang selalu
menyelinap dalam hati sanubari kita semua.
Lebih baik buktikanlah kebajikan yang timbul dari kesucian :
1. Terhadap orang –orang yang derajatnya lebih tinggi dari pada kita, baik
dhohir maupun batin, harus kita hormati begitulah seharusnya hidup rukun,
saling harga menghargai.
2. Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala –galanya,
jangan sampai terjadi persengketaan, sebaiknya harus bersikap rendah hati,
bergotong royong dalam melaksanakan perintah AGAMA maupun NEGARA,
jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau – kalau kita
terkena FirmanNYA “ AZABUN ALIIM “, yang berarti duka nestapa untuk selama
– lamanya dari DUNIA sampai AKHIRAT ( badan payah hati susah ).
3. Terhadap orang – orang yang keadaanya ada dibawah kita, janganlah
hendak menghinakanya atau berbuat tidak senonoh, bersikap angkuh,
sebaiknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang
dan gembira hatinya, jangan smpai merasa takut dan liar, sebaliknya harus
dituntun, dibimbing dengan nasihat yang lemah lembut yang akan
memberikan keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan.
4. Terhadap fakir miskin, harus belas kasih sayang, ramah tamah serta
bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar.
Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan
kekurangan, oleh karena itu janganlh acuh tak acuh, hanya diri sendiri yang
senang, karena mereka jadi fakir miskin itu bukanya kehendak sendiri, namun
itulah kodrat Tuhan.
Demikian sesungguhnya sikap manusia yang penuh kesadaran, meskipun
terhadap orang asing karena mereka masih keturunan Nabi Adam Alaihi
Salaam, mengingat ayat 70 Surat AL-Isro yang artinya :
“Sangat kami muliyakan keturunan Adam dan kami sebarkan segala apa yang
didarat dan di lautan. Dan kami beri mereka Riski yang ada didarat dan
dilautan. Juga kami mengutamakan mereka lebih utama dari makhluk lainya.”
Kesimpulan dari ayat ini, bahwa kita sekalian seharusnya saling menghargai,
jangan timbul kekecewaan, mengingat Surat AL-Maidah, yang artinya :
Hendaklah tolong menolong dengan sesama dalam melaksanakan kebajikan
dan ketakwaan dengan sungguh – sungguh terhadap AGAMA maupun
NEGARA. Sebaliknya janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan terhadap perintah AGAMA maupun NEGARA.
Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing – masing, mengingat
Surat Al-Kafirun ayat 6 : AGAMAMU UNTUK KAMU, AGAMA KU UNTUK AKU,
maksudnya jangan sampai terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan
damai, saling harga menghargai, tetapi janganlah sekali – kali ikut campur.
Cobalah renungkan pepatah leluhur kita : Hendaklah kita bersikap budiman,
tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti “ Sesal dahulu pendapatan,
Sesal kemudian tak berguna” karena yang menyebabkan penderitaan diri
pribadi itu adalah akibat dari amal perbuatan diri sendiri.
Dalam Surat An-Nahl ayat 112 diterangkan bahwa:
Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan beberapa contoh, yakni tempat
maupun kampung, desa maupun Negara yang dahulunya aman dan tenteram,
gemah ripah, loh jinawi, namun penduduknya mengingkari nikmat – nikmat
Allah, maka lalu berkecamuklah bencana kelaparan, penderitaan dan
ketakutan yang disebabkan sikap dan perbuatan mereka sendiri.
Oleh karena itu, hendaklah murid – murid bertindak teliti dalam segala jalan
yang ditempuh, guna kebaikan dhohir, bathin, dunia maupun akhirat, hati
tenteram, jasad nyaman, jangan sekali – kali timbul persengketaan, tidak lain
tujuan kita adalah “BUDI UTAMA JASMANI SEMPURNA” ( CAGEUR – BAGEUR ).
Tiada lain amalan kita, THOREQOT QODIRIYAH WANNAQSYABANDIYYAH,
amalkan sebaik – baiknya guna mencapai segala kebajikan, menjauhi segala
kejahatan dohir maupun bathin yang bertalian dengn jasmani mupun rohani,
yang selalu diliputi bujukan nafsu, digoda oleh perdaya syetan.
Wasiat ini harus dilaksanakan dengan seksama oleh segenap murid – murid
agar supaya mencapai keselamatan DUNIA dan AKHIRAT.
Aamiin…
PATAPAN SURYALAYA, 13 Februari 1956
Wasiat ini disampikan kepada sekalian ikhwan
t.t.d
(Syekh Akhmad ShohibulWafa Tajul Arifin)
Untaian Mutiara
Jangan Benci Kepada Ulama Yang Sezaman
Jangan Menyalahkan Pengajaran Orang Lain
Jangan Memeriksa Murid Orang Lain
Jangan Berhenti Bekerja Meskipun Disakiti Orang
Harus Menyayangi Orang Yang Membenci Kepadamu

Вам также может понравиться