Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
SOPK Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kumpulan gejala
dan tanda dari kelainan hiperandrogen serta anovulasi yang diakibatkan oleh
gangguan sistem endokrin. Kelainan ini dijumpai pada sekitar 20% perempuan
umur reproduksi tanpa disertai adanya penyakit primer pada kelenjar hipofisis atau
kelenjar adrenal yang mendasari ataupun sindroma cushing.1
SOPK merupakan suatu sindroma yang memiliki kaitan erat dengan proses
inflamasi kronik, ditandai dengan adanya peningkatan C-Reaktif Protein (CRP),
TNF-α dan reseptor TNF tipe 2 serta interleukin 6 (IL-6). Pada umumnya penderita
SOPK memiliki timbunan lemak viseral yang banyak dan hal ini berhubungan
dengan mekanisme terjadinya resistensi insulin. Penumpukan lemak viseral
memberikan efek parakrin dan endokrin berupa peningkatan sekresi beberapa
marker inflamasi.2
Alasan yang paling sering menjadi penyebab pasien dengan sindroma ini
datang ke dokter ialah adanya gangguan pada siklus menstruasi, infertilitas, dan
masalah obesitas serta kelainan lainnya seperti hirsutisme dan akne.1,2
2
2.2 Epidemiologi
SOPK merupakan kondisi kelainan endokrin yang menyerang sekitar 5-
10% wanita pada usia reproduktif. Angka kejadian ini bergantung pada populasi
yang diteliti, prevalensi tertinggi yang pernah dilaporkan adalah 21% (Australia).
Sedangkan untuk prevalensi terendah yaitu 2,2 % (China). Hal ini menunjukan
bahwa ras kulit putih di Australia merupakan penderita SOPK tertinggi dan ras
Chinese merupakan penderita SOPK terendah6. Sedangkan untuk di Indonesia,
yaitu di Surabaya prevalensi SOPK tahun 2007 pada perempuan usia reproduksi
sebesar 4,5%.6
Kejadian SOPK dengan gejala klinis beragam dan memberikan gambaran
angka yang bervariasi. Pada penderita ovarium polikistik (OPK) yang didiagnosa
secara sonografi, didapati 30% menderita amenorrhea, 75% dengan
oligomenorrhea, dan 90% didapati adanya peningkatan konsentrasi kadar
luteinizing hormon (LH) dan androgen.4,7
3
Polusi kimia (hormonal disruptors)
Peradangan kronis.
2.4 Patofisiologis
Hingga saat ini, penyebab SOPK masih belum diketahui sepenuhnya.
Berbagai sumber menjelaskan bahwa SOPK terjadi akibat interaksi kompleks
antara faktor genetik dan lingkungan. Dengan berkembangnya teknologi, fokus
penelitian untuk mencari penyebab SOPK terus berubah, dari faktor ovarium, poros
hipotalamus-hipofisis-ovarium, hingga gangguan aktivitas insulin. Ketiga faktor ini
saling berinteraksi dalam mengatur fungsi ovarium.3
Faktor genetik pada pasien SOPK diperkirakan terjadi penurunan autosomal
dominan atau terpaut-X. Selain itu, juga dilaporkan adanya penetrasi inkomplit,
penurunan poligenik, dan faktor epigenetik, mutasi tungal juga dapat menghasilkan
fenotip SOPK. Salah satunya adalah polimorfisme pada gen 17- hidroksilase atau
enzim CYP 17 yang berperan dalam produksi androgen.
Lingkungan endokrin pada perempuan dengan anovulasi kronik cenderung
berada pada tahap stabil, yang berarti konsentrasi gonadotropin dan steroid seks
cenderung stabil. Hal ini berbeda dengan konsentrasi siklik pada perempuan
normal.3
1. Kelainan Androgen
4
Ovarium polikistik memiliki lapisan teka yang tebal dan pada uji in vitro,
ovarium polikistik mensekresikan androgen dalam jumlah besar pada keadaan basal
maupun terhadap stimulasi LH. Belum diketahui penyebab pasti hiperaktivitas ini,
tetapi diperkirakan terdapat gangguan jalur sinyal intrasel.3
2. Gangguan Folikulogenesis
Jumlah folikel primer, sekunder, dan antral kecil pada ovarium polikistik
adalah 2-6 kali lebih banyak dibandingkan ovarium normal. Mekanisme yang
mendasari hal ini belum sepenuhnya diketahui, tetapi tampaknya berhubungan
dengan gangguan signaling androgen. Pada beberapa penelitian dilaporkan adanya
korelasi positif antara jumlah folikel dengan kadar Testosteron dan androstenedion
serum. Penyuntikan dihidroTestosteron pada monyet juga menghasilkan morfologi
serupa SOPK, yaitu peningkatan volume ovarium dan jumlah folikel.2
5
Folikel yang berlebih pada SOPK berhenti berkembang ketika diameternya
kurang dari 10 mm, yaitu pada tahap sebelum munculnya folikel dominan.
Berhentinya perkembangan folikel ( follicular arrest ) ini berhubungan dengan
stimulasi insulin yang berlebih, LH yang meningkat dan, lingkungan
hiperandrogen, yang menyebakan tingginya konsentrasi cAMP di dalam sel
granulosa. Kadar cAMP intraseluler yang tinggi akan menghasilkan diferensiasi
terminal sel granulosa sebelum waktunya. Diferensiasi prematur ini menyebabkan
sel granulosa bereaksi terhadap stimulasi LH untuk mensekresikan estrogen dan
progesteron ketika ukuran folikel ≤ 8 mm.2
Insulin juga meningkatkan respon sel granulosa terhadap LH, yang
ditunjukkan oleh adanya luteinisasi prematur pada ovarium pasien SOPK dengan
hiperinsulinemia. Sel granulosa pada SOPK menunjukkan adanya resistensi insulin
selektif dimana terjadi resistensi pada jalur metabolisme glukosa, tetapi 7 tidak pada
jalur steroidogenesis. Gangguan metabolisme glukosa ini juga tampak berhubungan
dengan anovulasi pada SOPK.2
Pada SOPK yang berovulasi, hanya terjadi hipersekresi androgen oleh
folikel sedangkan SOPK anovulasi, terjadi hipersekresi androgen dan estrogen.
Estrogen dalam jumlah besar yang dihasilkan oleh berbagai folikel tersebut
memberikan umpan balik negatif terhadap FSH.2
Pada SOPK terjadi hipersekresi LH dengan kadar FSH yang normal atau
cenderung rendah sehingga rasio LH : FSH menjadi besar. Peningkatan kadar LH
disebabkan karena perubahan pola sekresi, terutama peningkatan frekuensi
pulsatilitas LH menjadi 1 pulsasi/jam. Kada FSH yang lebih rendah disebabkan
oleh peningkatan kadar estradiol, estron, dan inhibin B.3
Kadar FSH yang secara relatif lebih rendah menyebabkan gangguan
perkembangan folikel, dan tingginya kadar LH meningkatkan produksi androgen
pada ovarium. Konsentrasi androgen yang tinggi pada SOPK menyebabkan
desensitisasi hipotalamus terhadap umpan balik negatif progesteron, yang bersifat
6
reversibel bila diberikan obat anti-androgen. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan
sekresi gonadotropin pada SOPK merupakan dampak sekunder dari gangguan
sekresi steroid pada ovarium atau kelenjar suprarenal.3,4
7
4. Efek langsung pada hipotalamus dan kelenjar hipofisis untuk mengatur pelepasan
gonadotropin, mekanismenya belum jelas.
8
2.5 Gambaran Klinis
Gejala SOPK cenderung terjadi secara bertahap. Awal perubahan hormon
yang menyebabkan SOPK terjadi pada masa remaja setelah menarche. Gejala akan
menjadi jelas setelah berat badan meningkat pesat. Gejala yang timbul dapat
bervariasi mulai dari tanpa gejala sama sekali sampai gejala seperti infertilitas,
anovulasi kronik yang ditandai dengan amenorea, oligomenorea, gangguan haid
atau perdarahan uterus disfungsional, jerawat, hirsutisme atau maskulinisasi, dan
obesitas.9
A. Kelainan menstruasi
Pasien dapat mengeluh adanya oligomenorrhea, dimana siklus
menstruasinya menjadi sangat lama yaitu antara 35 hari sampai dengan 6 bulan,
dengan periode menstruasi < 9 per tahun. Dapat terjadi amenorrhea sekunder
dimana ada fase tidak adanya menstruasi selama 6 bulan, dapat pula terjadi episode
menometrorrhagia dengan anemia.
Pada SOPK sekresi estrogen berlangsung lama dan tidak disertai ovulasi.
Sekresi tersebut juga tidak diimbangi oleh progesteron yang selanjutnya akan
mempengaruhi pelepasan gonadotropin kelenjar hipofise. Umpan balik yang
dihasilkan dari estrogen yang normal dapat mengakibatkan peningkatan sekresi LH.
Peningkatan LH akan menstimulasi sel teka ovarium untuk menghasilkan androgen
dalam jumlah besar, akan tetapi sekresi FSH sangat ditekan. Kurangnya stimulasi
oleh FSH menyebabkan kegagalan perkembangan folikel, tidak adekuatnya
induksi terhadap enzim aromatisasi yang penting untuk pembentukan estradiol serta
menyebabkan kegagalan ovulasi.9,10
B. Kelainan hiperandrogenisme
Hirsutisme
Pada wanita, hirsutisme didefinisikan sebagai adanya rambut terminal yang
gelap dan kasar yang berdistribusi sesuai pola rambut pada laki-laki. Rambut sering
terlihat di atas bibir, dagu, sekeliling puting susu, dan sepanjang linea alba
9
abdomen. Beberapa pasien dapat mengalami perkembangan karakterisktik seks pria
(virilisasi) lainnya seperti penurunan ukuran dada, suara berat, peningkatan massa
otot, pembesaran klitoris. Untuk menentukan derajat hirsutisme dapat digunakan
sistem skoring Ferriman-Gallwey. Pada sistem ini, distribusi rambut yang abnormal
dinilai pada 9 bagian area tubuh dan dinilai dari angka 0-4.9,10
2.6 Diagnosis
Tanda dan gejala klinis SOPK didapat dari keluhan utama pasien maupun
dari pemeriksaan klinis. Keadaan hiperandrogen memiliki tanda-tanda seperti
hirsutisme, timbulnya jerawat bahkan dapat timbul pola alopesia seperti laki-laki.
Hirsutisme merupakan suatu keadaan munculnya rambut-rambut kasar pada wanita
seperti pola pertumbuhan pada laki-laki, misalnya di atas bibir, dagu, dada,
abdomen bagian atas ataupun punggung. Keadaan anovulasi kronis ditandai adanya
gangguan haid seperti amenorrhea, oigomenorrhea, perdarahan uterus
disfungsional dan akan menimbulkan infertilitas. Sebanyak 20% pasien SOPK
tidak mengalami gangguan haid.6
10
Selain itu, akhir-akhir ini dalam mengevaluasi seorang pasien dengan SOPK
penting juga dijajaki tentang kemungkinan adanya tanda-tanda resistensi insulin.
Obesitas merupakan kunci adanya sindroma resistensi insulin. Dari pemeriksaan
klinis tanda adanya resistensi insulin didapati adanya acanthosis nigricans.2,6
Diagnosis SOPK berdasarkan kombinasi kriteria klinis, sonografi dan
biokimia. Pada wanita yang menderita amenorrhea, kemungkinan timbulnya SOPK
bila didapati satu atau lebih gambaran berikut 4,7,14 :
1. Adanya ovarium polikistik pada pemeriksaan sonografi.
2. Hirsutisme
3. Hiperandrogenisme
Pada wanita dengan siklus haid yang normal adanya OPK pada pemeriksaan
sonografi menunjukkan adanya hirsutisme yang disebabkan oleh karena faktor
ovarium.
Tabel 1
Kriteria Diagnostik sindroma resistensi insulin
Adanya 3 atau lebih keadaan berikut:
Lingkar pinggang > 88 cm
Kadar trigliserida ≥ 150 mg/dl
Kadar HDL kolesterol < 50 mg/dl
Tekanan Darah ≥ 130/85 mmHg
Kadar gula darah puasa ≥ 110 mg/dl
11
spesifisitas 99% dan sensitivitas 75% untuk mendiagnosa SOPK secara
sonografi.15
Gambaran ovarium polikistik kriteria Rotterdam 2003 adalah adanya 12
folikel atau lebih yang memiliki diameter 2-9 mm pada masing-masing ovarium
dan/ atau peningkatan volume ovarium ( > 10ml). Distribusi folikel dan
peningkatan ekogenisitas stroma tidak termasuk dalam kriteria penilainan ini.4,5
12
6. Kadar gula darah puasa/rasio insulin:
< 7,0 pada orang dewasa menunjukkan adanya resistensi insulin
< 4,5 pada pasien SOPK yang obesitas, euglikemia15
2.7 Tatalaksana
Setelah SOPK didiagnosa dan penyebab hiperandrogen telah disingkirkan,
maka dapat dilakukan penatalaksanaan untuk SOPK. Tujuan terapi SOPK adalah:
1. Menghilangkan gejala dan tanda hiperandrogenisme
2. mengembalikan siklus haid menjadi normal
3. Memperbaiki fertilitas
4. Menghilangkan gangguan metabolisme yang terjadi. 16,17
Pendekatan terapi SOPK dewasa ini dilakukan dengan 3 macam cara:
I. Non farmakologi
II. Farmakologi
III. Operatif
2.7.2 Farmakologi
a. Kontrasepsi oral
Tujuan pemakaian obat ini adalah untuk menurunkan produksi steroid
ovarium dan produksi androgen adrenal, meningkatkan sex hormon-binding
globulin (SHBG), menormalkan rasio gonadotropin dan menurunkan konsentrasi
total testosteron dan androstenedione didalam sirkulasi.7,15
13
Mengembalikan seleksi haid yang normal, sehingga dapat mencegah
terjadinya hiperplasia endometrium dan kanker endometrium.
Medroxyprogesteron asetat dapat dijadikan sebagai terapi untuk
menghilangkan gejala hirsutisme. Dosis 150 mg intramuskular setiap 6 minggu
selama 3 b ulan atau 20-40 mg perhari.16
b. Antiandrogen
Fungsi kerja antiandrogen adalah untuk menurunkan produksi testosteron
maupun untuk mengurangi kerja dari testosteron.
Beberapa antiandrogen yang tersedia antara lain:16,17
- Ciproteron Acetat yang bersifat kompetitif terhadap testosteron dan
dyhidrotestosteron pada reseptor androgen. Dosis 100 mg perhari pada hari 5-
15 siklus haid.
- Flutamide bersifat menekan biosintesa testosteron. Dosis yang digunakan 250
mg 3 kali pemberian perhari selama 3 bulan.
- Finasteride yang merupakan inhibitor spesifik enzym 5α reduktase digunakan
dengan dosis 5 mg/hari.
c. GnRh analog
Pemberian GnRh agonis akan memperbaiki denyut sekresi LH sehingga
luteinisasi prematur dari folikel dapat dicegah dan dapat memperbaiki rasio
FSH/LH.
d. Clomiphene Citrat
Merupakan terapi pilihan untuk induksi ovulasi dan mengembalikan fungsi
festilisasi. Pada keadaan hiperandrogen pada wanita yang anovulasi, clomiphen
citrat dilaporkan meningkat frekuensi siklus ovulasi sampai 80% dengan rata-rata
terjadi kehamilan sekitar 67%. Dosis diberikan 50 mg satu kali pemberian perhari
dengan dosis maksimal perhari dapat ditingkatkan menjadi 200 mg.7
14
2.7.3 Operatif
a. Reseksi baji ovarium (Ovarium Wedge Resection)
Reseksi baji ovarium dapat dilakukan secara laparatomi atau laparoskopi.
Reseksi baji ovarium direkomendasi oleh Kistner dan Patton terhadap pasien
SOPK yang mengalami ovulasi pada pemberian clomiphene citrat namun tidak
terjadi kehamilan. Keduanya menganjurkan tindakan reseksi baji dilakukan pada
pasien yang tidak mengalami kehamilan setelah 7 atau 8 kali siklus pengobatan
dengan clomiphene citrat. Pada reseksi baji ovarium dilakukan insisi 2-3 cm pada
korteks ovarium yang menebal. Insisi dibuat sesuai dengan alur ovarium, dan
dihindari daerah hilus ovarium untuk menghindari terjadinya perdarahan yang
banyak. Melalui lubang insisi bagian medulla diangkat dan sebanyak mungkin
korteks ovarium dipertahankan.17
Gjonnaess (1984) melakukan prosedur reseksi baji ovarium secara
laparoskopi. Dengan memakai elektrode unipolar dibuat 8-15 lubang sedalam 2-4
mm pada kapsul pada masing-masing ovarium. Dengan tindakan ini ovulasi dapat
disembuhkan pada 92% pasien dengan angka keberhasilan kehamilan sebesar
80%.17
15
2-4 mm secara acak pada stroma ovarium.19 Tahun 1997 tehnik tindakan
pengeboran ovarium dengan laser distandarisasi dengan menggunakan jarum
elektrode unipolar yang ditusukkan kedalam kavum abdomen secara tegak lurus,
dibuat 10-15 tusukan pada masing-masing ovarium dengan arus koagulasi sebesar
40-W selama 2 detik pada masing-masing tusukan.17
Dengan menggunakan laser YAG, Huber dkk (1988) melakukan
pengeboran ovarium sebanyak 3-5 buah pada masing ovarium dengan panjang 5-
10 mm dan kedalaman 4 mm. Tindakan ini berhasil memberikan ovulasi spontan
pada 71% kasus.18
Dari beberapa penelitian penggunaan laser untuk pengeboran ovarium
didapati hasil ovulasi spontan antara 70-80% dengan tingkat keberhasilan
kehamilan antara 56-80%.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sering disebut sebagai Sindroma ovarium polikistik (SOPK-Polycystic Ovary
Syndrome) adalah endokrinopatia utama yang terjadi pada wanita pada masa
reproduksi dan diperkirakan mengenai lebih dari 10% populasi.
Dimana etiologi dari SOPK ini antara lain: riwayat SOPK dalam keluarga,
riwayat keluarga dengan Diabetes, penggunaan obat anti kejang tertentu, obesitas,
hiperandrogenisme (produksi berlebihan dari hormon laki-laki), abnormality of the
hypothalamic-pituitary-gonadal axis (organ/hormonal disorder), polusi dari zat
kimia, food adulterantion (excitatory amino acids), peradangan kronis. Dan bisa di
terapi dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi estrogen dan progestin atau
progestin sintetis, diuretic, Metformin (Glucophage), klomifen sitrat dan injeksi
gonadotropin (LH dan FSH), eflomithine (Vaniqa) dan dilakukan pembedahan.
17
DAFTAR PUSTAKA
4. Fritz, M.A, Speroff, L., 2011. Chronic Anovulation and the Polycystic
Ovary Syndrome. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility
8th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. P 495-529
18
10. Speroff, L, Frist, MA. 2005. Clinical Gynecplogic Endocrinology And
Infertility. 2005;7(2): 493-511. Lippincoth Williams And Wilkins
11. Cibula D, Cifkova R, Fanta M, et al. Increased risk of non-insulin
dependent diabetes mellitus, arterial hypertension and coronary artery
disease in perimenopausal women with a history of the polycystic ovary
syndrome. Hum Reprod 2000;15(4):785-9.
12. Frank S. Polycystic Ovary Syndrome. N eng J Med. 1995; 333-853 – 61
19
20. Bulent, O.Y., Ricardo, A., 2010. Polycystic Ovary Syndrome and
Ovulation Induction. Contemporary Endocrinology : Androgen
Disorder in Women : Polycystic Ovary Syndrome and Other Disorder,
2nd Edition. Azziz, R., et al. Humana Press Inc, Totowa, NJ. P 389- 404.
20