Вы находитесь на странице: 1из 20

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) merupakan kumpulan gejala dan


tanda dari kelainan hiperandrogen serta anovulasi yang diakibatkan oleh gangguan
sistem endokrin1. Saat ini SOPK semakin meningkat angka kejadiannya, terutama
pada wanita usia reproduktif, dimana menimbulkan keluhan atau masalah yang
berkaitan dengan fertilitas. Masalah infertilitas yang sering terjadi pada pasien
SOPK adalah oligo ataupun anovulasi. Gangguan ovulasi ini disebabkan
hiperandrogen dan resistensi insulin2,3,4.
Sejak dikemukakan oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1935, pada
mulanya diterangkan bahwa SOPK merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri
dari amenorrhea, haid yang tidak teratur, infertil, hirsutisme dan obesitas.
Belakangan diketahui bahwa wanita dengan siklus haid yang reguler dengan
keadaan hiperandrogen dengan atau tanpa ovarium polikistik juga dapat menderita
SOPK. Selain itu pada beberapa wanita dengan sindroma ini dapat menderita
ovarium polikistik tanpa tanda-tanda klinis hiperandrogen namun terdapat bukti
adanya disfungsi ovarium.4
SOPK merupakan kondisi kelainan endokrin yang menyerang sekitar 5-
10% wanita pada usia reproduktif. Angka kejadian ini bergantung pada populasi
yang diteliti, prevalensi tertinggi yang pernah dilaporkan adalah 21% (Australia).
Sedangkan untuk prevalensi terendah yaitu 2,2 % (China). Hal ini menunjukan
bahwa ras kulit putih di Australia merupakan penderita SOPK tertinggi dan ras Asia
Timur merupakan penderita SOPK terendah. Sedangkan untuk di Indonesia, yaitu
di Surabaya prevalensi SOPK tahun 2007 pada perempuan usia reproduksi sebesar
4,5%.5,6
Meskipun penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun terdapat
kemajuan dalam bidang endokrinologi, biokimia dan farmakologi untuk
memberikan pengobatan SOPK, termasuk terapi yang bersifat farmakologi maupun
operatif. Tindakan operatif memberikan angka keberhasilan yang cukup tinggi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
SOPK Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kumpulan gejala
dan tanda dari kelainan hiperandrogen serta anovulasi yang diakibatkan oleh
gangguan sistem endokrin. Kelainan ini dijumpai pada sekitar 20% perempuan
umur reproduksi tanpa disertai adanya penyakit primer pada kelenjar hipofisis atau
kelenjar adrenal yang mendasari ataupun sindroma cushing.1
SOPK merupakan suatu sindroma yang memiliki kaitan erat dengan proses
inflamasi kronik, ditandai dengan adanya peningkatan C-Reaktif Protein (CRP),
TNF-α dan reseptor TNF tipe 2 serta interleukin 6 (IL-6). Pada umumnya penderita
SOPK memiliki timbunan lemak viseral yang banyak dan hal ini berhubungan
dengan mekanisme terjadinya resistensi insulin. Penumpukan lemak viseral
memberikan efek parakrin dan endokrin berupa peningkatan sekresi beberapa
marker inflamasi.2
Alasan yang paling sering menjadi penyebab pasien dengan sindroma ini
datang ke dokter ialah adanya gangguan pada siklus menstruasi, infertilitas, dan
masalah obesitas serta kelainan lainnya seperti hirsutisme dan akne.1,2

2
2.2 Epidemiologi
SOPK merupakan kondisi kelainan endokrin yang menyerang sekitar 5-
10% wanita pada usia reproduktif. Angka kejadian ini bergantung pada populasi
yang diteliti, prevalensi tertinggi yang pernah dilaporkan adalah 21% (Australia).
Sedangkan untuk prevalensi terendah yaitu 2,2 % (China). Hal ini menunjukan
bahwa ras kulit putih di Australia merupakan penderita SOPK tertinggi dan ras
Chinese merupakan penderita SOPK terendah6. Sedangkan untuk di Indonesia,
yaitu di Surabaya prevalensi SOPK tahun 2007 pada perempuan usia reproduksi
sebesar 4,5%.6
Kejadian SOPK dengan gejala klinis beragam dan memberikan gambaran
angka yang bervariasi. Pada penderita ovarium polikistik (OPK) yang didiagnosa
secara sonografi, didapati 30% menderita amenorrhea, 75% dengan
oligomenorrhea, dan 90% didapati adanya peningkatan konsentrasi kadar
luteinizing hormon (LH) dan androgen.4,7

2.3 Faktor Risiko


Faktor Risiko terjadinya Sindroma Polikistik Ovarium adalah8 :
 Riwayat SOPK dalam keluarga. Diperkirakan terdapat kombinasi
genetik dalam kejadian SOPK. Bila dalam satu keluarga terdapat
penderita SOPK maka kemungkinan terjadinya SOPK adalah 50%.
SOPK dapat diturunkan dari ibu kepada anaknya.
 Riwayat keluarga dengan Diabetes diperkirakan juga akan
meningkatkan risiko terjadinya SOPK oleh karena ada hubungan
yang sangat kuat antara kejadian diabetes dan SOPK. Saat sekarang
sedang dilakukan penelitian kearah ini.
 Penggunaan obat anti kejang tertentu juga diperkirakan akan
meningkatkan risiko terjadinya SOPK.
 Obesitas.
 Hiperandrogenisme (produksi berlebihan dari hormon laki-laki).
 Kelainan axis hipotalamus-pituitari-gonadal (organ/hormonal
disorder).

3
 Polusi kimia (hormonal disruptors)
 Peradangan kronis.

2.4 Patofisiologis
Hingga saat ini, penyebab SOPK masih belum diketahui sepenuhnya.
Berbagai sumber menjelaskan bahwa SOPK terjadi akibat interaksi kompleks
antara faktor genetik dan lingkungan. Dengan berkembangnya teknologi, fokus
penelitian untuk mencari penyebab SOPK terus berubah, dari faktor ovarium, poros
hipotalamus-hipofisis-ovarium, hingga gangguan aktivitas insulin. Ketiga faktor ini
saling berinteraksi dalam mengatur fungsi ovarium.3
Faktor genetik pada pasien SOPK diperkirakan terjadi penurunan autosomal
dominan atau terpaut-X. Selain itu, juga dilaporkan adanya penetrasi inkomplit,
penurunan poligenik, dan faktor epigenetik, mutasi tungal juga dapat menghasilkan
fenotip SOPK. Salah satunya adalah polimorfisme pada gen 17- hidroksilase atau
enzim CYP 17 yang berperan dalam produksi androgen.
Lingkungan endokrin pada perempuan dengan anovulasi kronik cenderung
berada pada tahap stabil, yang berarti konsentrasi gonadotropin dan steroid seks
cenderung stabil. Hal ini berbeda dengan konsentrasi siklik pada perempuan
normal.3

1. Kelainan Androgen

Hiperandrogenisme adalah salah satu tanda pasien dengan SOPK, ini


diakibatkan produksi berlebih pada ovarium dan kelenjar suprarenal. Sekitar 60-
80% pasien dengan SOPK memiliki konsentrasi testosteron yang tinggi di sirkulasi.
Androgen yang meningkat pada SOPK mencakup testosteron, androstenedion,
dehidroepiandosteron (DHEA), dehidroepiandosteron sulfat (DHEA-S), dan 17-
hidroksiprogesteron (17-OHP). Peningkatan produksi androgen ovarium
disebabkan oleh peningkatan stimulasi bioaktivasi LH oleh insulin. Belum ada
penjelasan mengapa produksi androgen oleh kelenjar suprarenal juga meningkat
pada SOPK.2

4
Ovarium polikistik memiliki lapisan teka yang tebal dan pada uji in vitro,
ovarium polikistik mensekresikan androgen dalam jumlah besar pada keadaan basal
maupun terhadap stimulasi LH. Belum diketahui penyebab pasti hiperaktivitas ini,
tetapi diperkirakan terdapat gangguan jalur sinyal intrasel.3
2. Gangguan Folikulogenesis

Jumlah folikel primer, sekunder, dan antral kecil pada ovarium polikistik
adalah 2-6 kali lebih banyak dibandingkan ovarium normal. Mekanisme yang
mendasari hal ini belum sepenuhnya diketahui, tetapi tampaknya berhubungan
dengan gangguan signaling androgen. Pada beberapa penelitian dilaporkan adanya
korelasi positif antara jumlah folikel dengan kadar Testosteron dan androstenedion
serum. Penyuntikan dihidroTestosteron pada monyet juga menghasilkan morfologi
serupa SOPK, yaitu peningkatan volume ovarium dan jumlah folikel.2

Gambar 2.1 Skema Hubungan Estrogen dengan Androgen4


Selain efek androgen pada folikel, jumlah folikel yang berlebih juga
mempengaruhi laju perkembangan folikel. Pada SOPK, folikel berkembang dengan
lambat, yang mungkin disebabkan defisiensi sinyal pertumbuhan dari oosit atau
efek inhibisi AMH (Anti Mullerian Hormon) yang berlebih.2

5
Folikel yang berlebih pada SOPK berhenti berkembang ketika diameternya
kurang dari 10 mm, yaitu pada tahap sebelum munculnya folikel dominan.
Berhentinya perkembangan folikel ( follicular arrest ) ini berhubungan dengan
stimulasi insulin yang berlebih, LH yang meningkat dan, lingkungan
hiperandrogen, yang menyebakan tingginya konsentrasi cAMP di dalam sel
granulosa. Kadar cAMP intraseluler yang tinggi akan menghasilkan diferensiasi
terminal sel granulosa sebelum waktunya. Diferensiasi prematur ini menyebabkan
sel granulosa bereaksi terhadap stimulasi LH untuk mensekresikan estrogen dan
progesteron ketika ukuran folikel ≤ 8 mm.2
Insulin juga meningkatkan respon sel granulosa terhadap LH, yang
ditunjukkan oleh adanya luteinisasi prematur pada ovarium pasien SOPK dengan
hiperinsulinemia. Sel granulosa pada SOPK menunjukkan adanya resistensi insulin
selektif dimana terjadi resistensi pada jalur metabolisme glukosa, tetapi 7 tidak pada
jalur steroidogenesis. Gangguan metabolisme glukosa ini juga tampak berhubungan
dengan anovulasi pada SOPK.2
Pada SOPK yang berovulasi, hanya terjadi hipersekresi androgen oleh
folikel sedangkan SOPK anovulasi, terjadi hipersekresi androgen dan estrogen.
Estrogen dalam jumlah besar yang dihasilkan oleh berbagai folikel tersebut
memberikan umpan balik negatif terhadap FSH.2

3. Gangguan Sekresi Gonadotropin

Pada SOPK terjadi hipersekresi LH dengan kadar FSH yang normal atau
cenderung rendah sehingga rasio LH : FSH menjadi besar. Peningkatan kadar LH
disebabkan karena perubahan pola sekresi, terutama peningkatan frekuensi
pulsatilitas LH menjadi 1 pulsasi/jam. Kada FSH yang lebih rendah disebabkan
oleh peningkatan kadar estradiol, estron, dan inhibin B.3
Kadar FSH yang secara relatif lebih rendah menyebabkan gangguan
perkembangan folikel, dan tingginya kadar LH meningkatkan produksi androgen
pada ovarium. Konsentrasi androgen yang tinggi pada SOPK menyebabkan
desensitisasi hipotalamus terhadap umpan balik negatif progesteron, yang bersifat

6
reversibel bila diberikan obat anti-androgen. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan
sekresi gonadotropin pada SOPK merupakan dampak sekunder dari gangguan
sekresi steroid pada ovarium atau kelenjar suprarenal.3,4

Gambar 2.2 Perbandingan Gambaran kadar Hormon wanita ovulasi dengan


wanita SOPK anovulasi4

4. Gangguan kerja Insulin

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia terjadi pada 50-75% penderita


SOPK. Penderita SOPK menunjukkan resistensi insulin perifer yang serupa dengan
diabetes tipe 2 dimana terjadi penurunan ambilan glukosa yang dimediasi insulin
sebesar 35-40%. Resistensi insulin yang terjadi pada SOPK bersifat selektif, artinya
resiten pada beberapa jaringan (seperti pada jaringan otot), tetapi sensitif pada
jaringan lain (seperti suprarenal dan ovarium).2
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia berperan terhadap terjadinya
hiperandrogenisme dan gangguan sekresi gonadotropin dengan cara.3
1. Menurunkan kadar sex-Hormon binding globulin (SHBG) sehingga
meningkatkan biovailabilitas testosteron
2. Sebagai kofaktor stimulasi biosintesis androgen pada ovarium dan kelenjar
suprarenal.
3. Meningkatkan potensi kerja LH sehingga bekerja secara sinergis untuk
meningkatkan produksi androgen.

7
4. Efek langsung pada hipotalamus dan kelenjar hipofisis untuk mengatur pelepasan
gonadotropin, mekanismenya belum jelas.

Gambar 2.3 Hubungan Resistensi Insulin dan Hiperandrogen11

Gambar 2.4 Dampak Resistensi insulin pada wanita SOPK4

8
2.5 Gambaran Klinis
Gejala SOPK cenderung terjadi secara bertahap. Awal perubahan hormon
yang menyebabkan SOPK terjadi pada masa remaja setelah menarche. Gejala akan
menjadi jelas setelah berat badan meningkat pesat. Gejala yang timbul dapat
bervariasi mulai dari tanpa gejala sama sekali sampai gejala seperti infertilitas,
anovulasi kronik yang ditandai dengan amenorea, oligomenorea, gangguan haid
atau perdarahan uterus disfungsional, jerawat, hirsutisme atau maskulinisasi, dan
obesitas.9

A. Kelainan menstruasi
Pasien dapat mengeluh adanya oligomenorrhea, dimana siklus
menstruasinya menjadi sangat lama yaitu antara 35 hari sampai dengan 6 bulan,
dengan periode menstruasi < 9 per tahun. Dapat terjadi amenorrhea sekunder
dimana ada fase tidak adanya menstruasi selama 6 bulan, dapat pula terjadi episode
menometrorrhagia dengan anemia.

Pada SOPK sekresi estrogen berlangsung lama dan tidak disertai ovulasi.
Sekresi tersebut juga tidak diimbangi oleh progesteron yang selanjutnya akan
mempengaruhi pelepasan gonadotropin kelenjar hipofise. Umpan balik yang
dihasilkan dari estrogen yang normal dapat mengakibatkan peningkatan sekresi LH.
Peningkatan LH akan menstimulasi sel teka ovarium untuk menghasilkan androgen
dalam jumlah besar, akan tetapi sekresi FSH sangat ditekan. Kurangnya stimulasi
oleh FSH menyebabkan kegagalan perkembangan folikel, tidak adekuatnya
induksi terhadap enzim aromatisasi yang penting untuk pembentukan estradiol serta
menyebabkan kegagalan ovulasi.9,10

B. Kelainan hiperandrogenisme
 Hirsutisme
Pada wanita, hirsutisme didefinisikan sebagai adanya rambut terminal yang
gelap dan kasar yang berdistribusi sesuai pola rambut pada laki-laki. Rambut sering
terlihat di atas bibir, dagu, sekeliling puting susu, dan sepanjang linea alba

9
abdomen. Beberapa pasien dapat mengalami perkembangan karakterisktik seks pria
(virilisasi) lainnya seperti penurunan ukuran dada, suara berat, peningkatan massa
otot, pembesaran klitoris. Untuk menentukan derajat hirsutisme dapat digunakan
sistem skoring Ferriman-Gallwey. Pada sistem ini, distribusi rambut yang abnormal
dinilai pada 9 bagian area tubuh dan dinilai dari angka 0-4.9,10

Gambar 6. Distribusi rambut yang abnormal pada hirsutisme

2.6 Diagnosis
Tanda dan gejala klinis SOPK didapat dari keluhan utama pasien maupun
dari pemeriksaan klinis. Keadaan hiperandrogen memiliki tanda-tanda seperti
hirsutisme, timbulnya jerawat bahkan dapat timbul pola alopesia seperti laki-laki.
Hirsutisme merupakan suatu keadaan munculnya rambut-rambut kasar pada wanita
seperti pola pertumbuhan pada laki-laki, misalnya di atas bibir, dagu, dada,
abdomen bagian atas ataupun punggung. Keadaan anovulasi kronis ditandai adanya
gangguan haid seperti amenorrhea, oigomenorrhea, perdarahan uterus
disfungsional dan akan menimbulkan infertilitas. Sebanyak 20% pasien SOPK
tidak mengalami gangguan haid.6

10
Selain itu, akhir-akhir ini dalam mengevaluasi seorang pasien dengan SOPK
penting juga dijajaki tentang kemungkinan adanya tanda-tanda resistensi insulin.
Obesitas merupakan kunci adanya sindroma resistensi insulin. Dari pemeriksaan
klinis tanda adanya resistensi insulin didapati adanya acanthosis nigricans.2,6
Diagnosis SOPK berdasarkan kombinasi kriteria klinis, sonografi dan
biokimia. Pada wanita yang menderita amenorrhea, kemungkinan timbulnya SOPK
bila didapati satu atau lebih gambaran berikut 4,7,14 :
1. Adanya ovarium polikistik pada pemeriksaan sonografi.
2. Hirsutisme
3. Hiperandrogenisme
Pada wanita dengan siklus haid yang normal adanya OPK pada pemeriksaan
sonografi menunjukkan adanya hirsutisme yang disebabkan oleh karena faktor
ovarium.

Tabel 1
Kriteria Diagnostik sindroma resistensi insulin
Adanya 3 atau lebih keadaan berikut:
Lingkar pinggang > 88 cm
Kadar trigliserida ≥ 150 mg/dl
Kadar HDL kolesterol < 50 mg/dl
Tekanan Darah ≥ 130/85 mmHg
Kadar gula darah puasa ≥ 110 mg/dl

Pemeriksaan sonografi pelvis akan sangat mendukung untuk menegakkan


diagnosa SOPK. Jumlah folikel dan volume ovarium penting dalam pemeriksaan
sonografi. Kriteria SOPK secara sonografi adalah dengan adanya kista folikel ≥ 10
buah dengan diameter 2-8 mm dengan stroma yang tebal. Jonard dkk mengajukan
kriteria SOPK secara sonografi dengan adanya peningkatan luas ovarium (> 5,5
cm2) atau dengan volume ovarium > 11 ml dan/atau adanya folikel ≥ 12 buah
dengan diameter 2-9 mm. Kriteria yang diajukan oleh Jonard dkk ini memiliki

11
spesifisitas 99% dan sensitivitas 75% untuk mendiagnosa SOPK secara
sonografi.15
Gambaran ovarium polikistik kriteria Rotterdam 2003 adalah adanya 12
folikel atau lebih yang memiliki diameter 2-9 mm pada masing-masing ovarium
dan/ atau peningkatan volume ovarium ( > 10ml). Distribusi folikel dan
peningkatan ekogenisitas stroma tidak termasuk dalam kriteria penilainan ini.4,5

Gambar 2.6 Gambaran USG SOPK10

Pemeriksaan hormonal pada penderita SOPK memperlihatkan beberapa


kelainan endorkin. Beberapa hormon yang perlu diperiksa:
1. Nisbah luteinizing hormon/follicle stimulating hormon:
Nisbah ≥ 2,0 menunjukkan adanya suatu SOPK
2. Kadar 17-hydroxyprogesteron:
Kadar ≥ 20 ng/dl mengkonfirmasikan diagnosis SOPK
3. Testosteron:
Kadar testosteron ≤ 150 ng/dl banyak didapati pada penderita SOPK
4. Dehydorepiandrosterone-sulfate (DHEAS):
Kadar DHEAS akan normal atau sedikit meningkat pada penderita SOPK
5. Prolaktin:
Lima sampai 30% pasien SOPK dilaporkan mengalami hiperprolaktif-nemia
ringan.

12
6. Kadar gula darah puasa/rasio insulin:
< 7,0 pada orang dewasa menunjukkan adanya resistensi insulin
< 4,5 pada pasien SOPK yang obesitas, euglikemia15

2.7 Tatalaksana
Setelah SOPK didiagnosa dan penyebab hiperandrogen telah disingkirkan,
maka dapat dilakukan penatalaksanaan untuk SOPK. Tujuan terapi SOPK adalah:
1. Menghilangkan gejala dan tanda hiperandrogenisme
2. mengembalikan siklus haid menjadi normal
3. Memperbaiki fertilitas
4. Menghilangkan gangguan metabolisme yang terjadi. 16,17
Pendekatan terapi SOPK dewasa ini dilakukan dengan 3 macam cara:
I. Non farmakologi
II. Farmakologi
III. Operatif

2.7.1 Non Farmakologi


Tanda dan gejala hirsutisme akan memakan waktu cukup lama untuk
kembali normal setelah pemberian terapi antiandrogen. Penurunan berat badan akan
memberikan pengaruh terhadap kadar hormon dalam sirkulasi.
Suatu penelitian menerangkan pada 6 orang penderita SOPK yang
mengalami penurunan berat badan rata-rata sebesar 16,2 kg akan menyebabkan
penurunan kadar testosteron, 4 orang diantaranya terjadi ovulasi.16

2.7.2 Farmakologi
a. Kontrasepsi oral
Tujuan pemakaian obat ini adalah untuk menurunkan produksi steroid
ovarium dan produksi androgen adrenal, meningkatkan sex hormon-binding
globulin (SHBG), menormalkan rasio gonadotropin dan menurunkan konsentrasi
total testosteron dan androstenedione didalam sirkulasi.7,15

13
Mengembalikan seleksi haid yang normal, sehingga dapat mencegah
terjadinya hiperplasia endometrium dan kanker endometrium.
Medroxyprogesteron asetat dapat dijadikan sebagai terapi untuk
menghilangkan gejala hirsutisme. Dosis 150 mg intramuskular setiap 6 minggu
selama 3 b ulan atau 20-40 mg perhari.16

b. Antiandrogen
Fungsi kerja antiandrogen adalah untuk menurunkan produksi testosteron
maupun untuk mengurangi kerja dari testosteron.
Beberapa antiandrogen yang tersedia antara lain:16,17
- Ciproteron Acetat yang bersifat kompetitif terhadap testosteron dan
dyhidrotestosteron pada reseptor androgen. Dosis 100 mg perhari pada hari 5-
15 siklus haid.
- Flutamide bersifat menekan biosintesa testosteron. Dosis yang digunakan 250
mg 3 kali pemberian perhari selama 3 bulan.
- Finasteride yang merupakan inhibitor spesifik enzym 5α reduktase digunakan
dengan dosis 5 mg/hari.
c. GnRh analog
Pemberian GnRh agonis akan memperbaiki denyut sekresi LH sehingga
luteinisasi prematur dari folikel dapat dicegah dan dapat memperbaiki rasio
FSH/LH.
d. Clomiphene Citrat
Merupakan terapi pilihan untuk induksi ovulasi dan mengembalikan fungsi
festilisasi. Pada keadaan hiperandrogen pada wanita yang anovulasi, clomiphen
citrat dilaporkan meningkat frekuensi siklus ovulasi sampai 80% dengan rata-rata
terjadi kehamilan sekitar 67%. Dosis diberikan 50 mg satu kali pemberian perhari
dengan dosis maksimal perhari dapat ditingkatkan menjadi 200 mg.7

14
2.7.3 Operatif
a. Reseksi baji ovarium (Ovarium Wedge Resection)
Reseksi baji ovarium dapat dilakukan secara laparatomi atau laparoskopi.
Reseksi baji ovarium direkomendasi oleh Kistner dan Patton terhadap pasien
SOPK yang mengalami ovulasi pada pemberian clomiphene citrat namun tidak
terjadi kehamilan. Keduanya menganjurkan tindakan reseksi baji dilakukan pada
pasien yang tidak mengalami kehamilan setelah 7 atau 8 kali siklus pengobatan
dengan clomiphene citrat. Pada reseksi baji ovarium dilakukan insisi 2-3 cm pada
korteks ovarium yang menebal. Insisi dibuat sesuai dengan alur ovarium, dan
dihindari daerah hilus ovarium untuk menghindari terjadinya perdarahan yang
banyak. Melalui lubang insisi bagian medulla diangkat dan sebanyak mungkin
korteks ovarium dipertahankan.17
Gjonnaess (1984) melakukan prosedur reseksi baji ovarium secara
laparoskopi. Dengan memakai elektrode unipolar dibuat 8-15 lubang sedalam 2-4
mm pada kapsul pada masing-masing ovarium. Dengan tindakan ini ovulasi dapat
disembuhkan pada 92% pasien dengan angka keberhasilan kehamilan sebesar
80%.17

b. Pengeboran ovarium dengan Laser secara Laparoskopi (Laparoscopy Laser


Ovarian Drilling).
Tindakan pengeboran ovarium dengan laser diperkenalkan dan digunakan
untuk terapi SOPK sejak 15 tahun terakhir. Dsar tindakan ini adalah bahwa laser
memiliki densitas power yang terkontrol sehingga didapat kedalaman penetrasi
pada jaringan sesuai yang diharapkan serta kerusakan jaringan akibat pengaruh
panas yang dapat diprediksi. Pemakaian laser juga akan mengurangi risiko
perlengketan.18
Beberapa jenis laser yang sering digu nakan adalah : karbon dioksida (CO2),
argon dan YAG. Tidnakan pengeboran ovarium dengan laser dilakukan dengan
laparoskop dengan diameter 10 mm yang dihubungkan dengan laser CO2. Dapat
digunakan CO2 ultrapulsa (40-80 W, 25-200 Mj) atau CO2 Superpulsa (25-40 W).
Seluruh folikel subkapsular yang tampak divaporisasi dan dibuat lubang ukuran

15
2-4 mm secara acak pada stroma ovarium.19 Tahun 1997 tehnik tindakan
pengeboran ovarium dengan laser distandarisasi dengan menggunakan jarum
elektrode unipolar yang ditusukkan kedalam kavum abdomen secara tegak lurus,
dibuat 10-15 tusukan pada masing-masing ovarium dengan arus koagulasi sebesar
40-W selama 2 detik pada masing-masing tusukan.17
Dengan menggunakan laser YAG, Huber dkk (1988) melakukan
pengeboran ovarium sebanyak 3-5 buah pada masing ovarium dengan panjang 5-
10 mm dan kedalaman 4 mm. Tindakan ini berhasil memberikan ovulasi spontan
pada 71% kasus.18
Dari beberapa penelitian penggunaan laser untuk pengeboran ovarium
didapati hasil ovulasi spontan antara 70-80% dengan tingkat keberhasilan
kehamilan antara 56-80%.

Terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan ketika mengevaluasi


dan mengobati SOPK. Pengobatan terapi bertujuan, pertama melancarkan siklus
haid dan mengembalikan kesuburan, kedua merubah gangguan metabolik glukosa
dan metabolisme lipid, ketiga mengidealkan berat badan karena kejadiannya
berhubungan dengan kesakitan dan keempat untuk mengatasi aspek psikologis.
Pengobatan SOPK adalah bersifat simptomatis. Merubah gaya hidup adalah terapi
utama pada SOPK. 18

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sering disebut sebagai Sindroma ovarium polikistik (SOPK-Polycystic Ovary
Syndrome) adalah endokrinopatia utama yang terjadi pada wanita pada masa
reproduksi dan diperkirakan mengenai lebih dari 10% populasi.
Dimana etiologi dari SOPK ini antara lain: riwayat SOPK dalam keluarga,
riwayat keluarga dengan Diabetes, penggunaan obat anti kejang tertentu, obesitas,
hiperandrogenisme (produksi berlebihan dari hormon laki-laki), abnormality of the
hypothalamic-pituitary-gonadal axis (organ/hormonal disorder), polusi dari zat
kimia, food adulterantion (excitatory amino acids), peradangan kronis. Dan bisa di
terapi dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi estrogen dan progestin atau
progestin sintetis, diuretic, Metformin (Glucophage), klomifen sitrat dan injeksi
gonadotropin (LH dan FSH), eflomithine (Vaniqa) dan dilakukan pembedahan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Stefano, P., Angela, F., Giovanni, B.L.S., 2014. Metformin and


gonadotropins for ovulation induction in patiens with polycystic ovary
syndrome : a systematic review with meta-analysis of randomized
controlled trials. Reproductive Bilogy and Endocrinology. (serial
online), [cited 2015 oktober 21]. Available from : URL :
http://www.rbej.com/content/12/1/3.

2. Andon, H., dkk., 2013. Sindroma Ovarium Polikistik. Current Updates


in Polycystic Ovary Sindrome, Endometriosis, Adenomyosis. Andon,
H., dkk. Sagung Seto, Jakarta. P 1-52

3. Richard, S.L., et al. 2013. Diagnosis and treatment of Polycystic Ovary


Syndrome : An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. Clinical
Guideline Endocrine Society’s

4. Fritz, M.A, Speroff, L., 2011. Chronic Anovulation and the Polycystic
Ovary Syndrome. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility
8th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. P 495-529

5. Criteria, Prevalensi, SOPK

6. Budi Santoso Review Article : Management of Polycistic Ovary


Syndrome in Adolecent. Majalah FoliaMedica Indonesiana, Vol. 46 No.
1 Januari - Maret 2010 / 0303-7932)

7. Frank S. Polycystic ovary syndrome. N Engl J Med 1995;333:853-61

8. Norman RJ, Wu R, Stankiewicz MT. Polycystic ovary syndrome. Med


J Aust 2004; 180:132-37

9. Brassard, maryse. Et all. Basic Infertility Including Polycystic Ovary


Syndrom .Med Clin N Am;2008: 92 : 1163–1192.

18
10. Speroff, L, Frist, MA. 2005. Clinical Gynecplogic Endocrinology And
Infertility. 2005;7(2): 493-511. Lippincoth Williams And Wilkins
11. Cibula D, Cifkova R, Fanta M, et al. Increased risk of non-insulin
dependent diabetes mellitus, arterial hypertension and coronary artery
disease in perimenopausal women with a history of the polycystic ovary
syndrome. Hum Reprod 2000;15(4):785-9.
12. Frank S. Polycystic Ovary Syndrome. N eng J Med. 1995; 333-853 – 61

13. Hadibroto BR. 2005. Sindroma Ovarium Poliskistik. Departemen


Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran universitas Sumatera
Utara RSUP H. Adam Malik- RSUD. Dr. Pringadi Medan. 38 (4) : 334-
335.

14. The Rotterdam ESHRE/ASRM-Sponsored SOPK Consensus Workshop


Group. Revised 2003 Consensus on diagnostic criteria and long-term
health risks Related to polycystic ovary syndrome. Fertil Steril
2004;81(1):19-25

15. Sheehan MT. Polycystic ovarian syndrome: diagnostic and


management. Clin Med Res 2004;2(1):13-27

16. Patel SR, Korytkowski MT. Treating polycystic ovary syndrome:


today’s approach. Women Health Primary Care 2000;3(2):109-113

17. Amin M, Abdel-Kareem O, Takekida S, Moriyama T, Abd el Aal G,


Maruo T. Update management of non responder to clomiphene citrate
in polycystic ovary syndrome. Kobe J Med Sci 2003;49(3):59-73

18. Pirwany I, Tulandi T. Laparoscopic treatment of polycystic ovaries: is


it time to relinguish the procedure?. Fertil Steril 2003;80(2):241-51

19. American Society for Reproductive Medicine. 2012. Medication For


inducing Ovulation. A Guide for Patients. (serial online), [cited 2015
oktober 29]. Available from : URL : http://www.ReproductiveFacts.org

19
20. Bulent, O.Y., Ricardo, A., 2010. Polycystic Ovary Syndrome and
Ovulation Induction. Contemporary Endocrinology : Androgen
Disorder in Women : Polycystic Ovary Syndrome and Other Disorder,
2nd Edition. Azziz, R., et al. Humana Press Inc, Totowa, NJ. P 389- 404.

20

Вам также может понравиться