Вы находитесь на странице: 1из 11

Nama Kelompok :

-Aisah Krisna
-Naila Fira R. J 1700008049
-Atika Riani 1700008065
-VebyNindia 1700008084

HUTAN ADAT TANAH SERAM


A. Sejarah Hutan Adat Tanah Seram
Kabupaten Seram Bagian Barat (adalah kabupaten bahari dan merupakan salah
satu kabupaten di Provinsi Maluku yang terdiri dari 67 pulau di mana pulau yang
berpenghuni adalah 11 pulau. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Laut Seram
di sebelah utara, Laut Banda di sebelah selatan, Laut Buru di sebelah barat, dan
Kabupaten Maluku Tengah di sebelah timur (Badan Pusat Statistik Kabupaten Seram
Bagian Barat, 2016). Kabupaten yang sebagian besar terletak di wilayah Pulau Seram
ini terdiri dari 11 kecamatan.Negeri Honitetu yang merupakan lokasi penelitian
merupakan Ibukota Kecamatan Inamosol yang berjarak kurang lebih 76 km dari Kota
Piru, Ibu kota Kabupaten SBB.

Negeri Honitetu dipimpin oleh seorang Raja yang dipilih dari keturunan golongan
matarumah parentah. Negeri Honitetu sendiri terdiri atas satu Negeri induk yaitu
Honitetu dan empat dusun (kampung) yaitu: Ursana, Sukowati, Rumatita, dan
Imabatae. Setiap dusun dipimpin oleh kepala dusun. Bahasa yang digunakan adalah
bahasa Wemale (salah satu bahasa di Maluku yang umumnya dipakai penduduk
Negeri Piru dan beberapa Negeri lainnya dalam wilayah Kabupaten SBB) dan Bahasa
Indonesia.Semua lahan Petuanan Negeri (hak ulayat) yang dikuasai Negeri Honitetu,
termasuk hutan adat, dibagi ke dalam tiga kategori yaitu lahan milik Negeri, lahan
milik marga, dan lahan milik individu.

Lahan milik Negeri dapat dimanfaatkan oleh semua anggota masyarakat yang
diatur oleh Raja dan lembaga adat. Sementara itu pengaturan lahan milik marga diatur
oleh Kepala Marga. Terdapat sembilan marga asli di Honitetu (dikenal dengan istilah
Soa), yaitu Latu, Molly, Nurubulu, Mawene, Tebiary, Tita, Ukakale, Laiuluy, dan
Kakale. Wilayah adat yang dikuasai marga-marga di Maluku biasanya disebut Tanah
Dati atau Petuanan(di Negeri Honitetu biasanya diistilahkan dengan Petuanan). Pada
umumnya Tanah Dati atau Petuanan di Maluku dikuasai secara kolektif atau bersama
oleh beberapa keluarga sebagai suatu keluarga luas (extended family) dari suatu mata
rumah (Ohorella, Suharjito, & Ichwandi, 2011). Mata rumah itu sendiri merupakan
suatu kelompok kekerabatan yang bersifat unilateral dan berdasarkan prinsip-prinsip
hubungan patrilineal (Arianto & Talaohu, 2009). Kepemilikan atau penguasaan
petuana di Negeri Honitetu secara adat diakui oleh semua pihak dan merupakan
warisan sejak jaman leluhur mereka.

Batas-batas wilayah petuanan ditentukan berdasarkan informasi dari leluhur yang


telah disepakati bersama dalam sebuah forum lembaga adat dan telah berlangsung
turun-temurun hingga sekarang.Awal mula klaim wilayah adat Honitetu terjadi ketika
memenangi perang dengan daerah di sekitarnya. Setelah kemenangan diperoleh, para
leluhur kemudian menyebarkan sembilan kelompok marga untuk menduduki dan
menjaga perbatasan di sembilan penjuru mata angin. Oleh sebab itu, Negeri Honitetu
sering disebut Nuduasiwa yang berarti sembilan mata angin. Seperti telah disebutkan
sebelumnya bahwa dalam sistem kepemilikan lahan marga atau dati atau petuanan di
Honitetu, pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan atau kebun dilakukan bersama dan
diatur oleh seorang kepala marga yang biasa disebut Kepala Dati. Semua hasil
penjualan kayu maupun hasil hutan lainnya dibagi kepada semua anggota dati dengan
proporsi yang diatur oleh Kepala Dati. Menurut Uktolseja (2013), dalam sistem dati
di Maluku, suatu kerabat atau persekutuan dapat menikmati tanah-tanah atau dusun-
dusun yang berada di bawah kekuasaan hak petuanan suatu Negeri. Jadi, semua hasil
hutan ataupun kebun dinikmati bersama oleh semua anggota Dati.

Hubungan masyarakat hukum adat dengan tanah di Maluku adalah hubungan


menguasai, bukan memiliki secara perdata, di mana mereka menduduki tanah tersebut
di situlah mereka menguasai, dan memanfaatkannya secara kolektif (Matuankotta,
2013). Menurut Bandjar (2015), berdasarkan sejarah dan de facto semua tanah dan
kawasan hutan di Provinsi Maluku adalah tanah adat/hak ulayat/petuanan yang dihuni
kesatuan masyarakat hukum adat dan telah dikuasai dan diakui oleh sesama mereka
secara turun-temurun, kecuali tanah-tanah yang telah dilepas.Walaupun pengakuan
atas penguasaan dan kepemilikan tanah oleh kesatuan masyarakat hukum adat telah
ada dan berlangsung, Negeri Honitetu tidak mempunyai peta wilayah petuanan,
termasuk di dalamnya hutan adat.
Pulau Seram terletak di sebelah utara Pulau Ambon, Provinsi Maluku, Indonesia. Di
Pulau Seram ada tiga Kabupaten yaitu kabupaten Maluku Tengah dengan ibukota Masohi
serta dua kabupaten hasil pemekaran yaitu Kabupaten Seram Timur dengan ibu Kotanya
Bula dan Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Ibu Kotanya Piru. Di pulau ini terdapat
beberapa pelabuhan: Amahai, Masohi, Kairatu, Piru dan pelabuhan rakyat seperti Tehoru,
Bula, Geser, Wahai, Kobisadar dan Way ley.

Geografis

Pulau Seram memiliki wilayah seluas 18.625 km2 , dengan panjang 340 km dan lebar
60 km. Titik tertingginya ialah Gunung Binaiya, setinggi 3.019m di atas permukaan laut.Pulau
Seram memiliki alam pegunungan dan hutan tropis. Produk-produk yang dihasilkan antara
lain cengkih, pala, kopra, damar, sagu, ikan, dan minyak. Terdapat satu taman nasional yaitu
Taman Nasional Manusela yang terkenal karena banyak hewan dan tumbuhan endemiknya.
Untuk mencapai tempat ini dapat ditempuh melalui Desa Yaputih atau Hatu di Kecamatan
Tehoru, kurang lebih 100 km dari Masohi. Bisa juga melalui Desa Wahai, dibagian Seram
Utara, yang rutenya melewati beberapa desa yaitu Hoaulu, Kanikeh, dan desa-desa kecil
lainnya.

Maluku Tengah sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Maluku, letaknya diapit
oleh kabupaten Seram Bagian Barat di sebelah barat dan Seram Bagian Timur di sebelah
timur.Luas wilayah Kabupaten Maluku Tengah seluruhnya kurang lebih 275.907 Km2 yang
terdiri dari luas laut 264.311,43 Km2 dan luas daratan 11.595,57 Km2.

Iklim

Wilayah Maluku Tengah mengalami iklim laut tropis dan iklim musim.Keadaan ini
disebabkan oleh karena Maluku Tengah dikelilingi laut yang luas, sehingga iklim laut tropis di
daerah ini berlangsung seirama dengan iklim musim yang ada. Berikut keadaan klimatologi
yang dapat menggambarkan keadaan iklim di Kabupaten Maluku Tengah secara umum:
Tercatat Rata-rata temperatur pada tahun 2009 di Kecamatan Amahai 26,30C, di mana
temperatur maksimum rata-rata 30,40C dan minimum rata-rata 23,3 0C. Jumlah curah hujan
pada tahun 2009 rata-rata sebesar 185,1 mm dengan jumlah hari hujan rata-ratasebanyak
18,1 hari. Penyinaran matahari pada tahun 2009 rata-rata sebesar 65,9 % dengan tekanan
udara rata-rata 1011,2 Milibar dan kelembaban nisbi yang terjadi rata-rata sebesar 84,9 %.
Penduduk

Penduduk aslinya adalah suku Alifuru. Terdapat juga Suku-suku primitif lainnya
seperti Suku Hoaulu yang terletak desanya di daerah Seram bagian Utara. Namun sekarang
telah banyak pendatang dari berbagai pulau di sekitarnya, terutama suku bangsa Tionghoa
dan Arab.

B. Keanekaragaman Hayati Hutan Adat Tanah Seram


Kawasan Indonesia timur merupakan bagian Indonesia dengan banyak wilayah
yang belum banyak terjamah manusia. Kekayaan alam yang begitu melimpah dan
panorama yang sangat memikat menjadi daya tarik utama wilayah ini. Maluku
adalah salah satu provinsi di Indonesia Timur yang memiliki hampir semua
kelebihan ini. Pulau Seram adalah satu wilayah di Maluku yang menyuguhkan
keragaman kekayaan alam.
Berbagai flora dan fauna khas Maluku pun terdapat di Sebut saja Eucalyptus,
beringin, kelapa, sagu dan yang kayu merupakan salah satu sumber pendapatan utama
bagi mereka. Selain kayu, pendapatan penduduk juga diperoleh dari hasil kebun (biasa
disebut dusung) berupa buah-buahan, bahan pangan, rempah, rempah, dan masih
banyak lagi menjadi vegetasi alami hutan ini. Untuk Fauna, burung-burung besar
seperti Kakatua, Nuri, dan Kasturi atau hewan-hewan semacam Kuskus, Rusa, dan
Musang.
Nasional Manusela adalah sebuah “harta karun” yang sangat berharga milik. Satu hal
penting yang harus menjadi perhatian adalah upaya pelestarian serta mendukung, dan
mulai peduli terhadap keberadaan Keanekaragaman Hayati di sekitar kita.
Keanekaragaman Hayati di daerah ini perlu di jaga dan di lindungi maka dari itu,
Pohon yang ditebang dikatakan legal secara adat disini jika memenuhi ketentuan-
ketentuan adat yang diatur oleh Negeri. Pertama, pohon berada dalam areal petuanan
dan mendapatkan izin dari Kepala Dati. Kepala Dati berwenang mengatur pohon mana
saja yang akan ditebang dan berperan dalam proses tawar-menawar harga. Kedua,
pohon tersebut harus berada di luar areal yang dikeramatkan, yang disebut masyarakat
sebagai “Negeri Lama”. Dalam areal Negeri Lama masyarakat dibebaskan untuk
melakukan pemungutan damar tetapi tidak boleh melakukan penebangan pohon.
Ketiga, hasil penjualan pohon harus dibagikan kepada semua anggota dati dan
proporsinya diatur oleh Kepala Dati. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa
dalam sistem kepemilikan dati, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam
dilakukan secara bersama-sama. Keempat, jika pohon yang dipanen adalah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri dan kepentingan umum seperti sekolah,
rumah ibadah, maupun fasilitas umum lainnya maka pohon tersebut harus diberikan
secara cuma-cuma. Aturan-aturan tersebut di atas hanya merupakan aturan lisan dan
bukan merupakan aturan tertulis yang dituangkan dalam peraturan Negeri. Pelanggaran
akan aturan adat akan dikenai sanksi yang diatur oleh Saniri Negeri. Saniri Negeri
merupakan lembaga legislatif di tingkat Negeri yang salah satu perannya adalah untuk
menyelesaikan permasalahan pelanggaran hukum adat.

Gambar. Contoh Hewan dan Tumbuhan di Tanah Seram, Maluku.


C. Kearifan Lokal Hutan Adat Tanah Seram
Salah satu kearifan lokal yang ada di hutan adat tanah Seram adalah suku di
Maluku yang masih memegang tradisi yang bernama sasi. Sasi adalah Suku Kei di
Kabupaten Maluku Tenggara. Sasi yaitu suatu bentuk larangan pengambilan sumber
daya alam baik darat maupun laut dalam kurun waktu tertentu sehingga
memungkinkan sumber daya alam dapat tumbuh, berkembang dan dilestarikan.
Suhartini (2009), dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kearifan lokal
merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai kehidupan yang menyatu
dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Gagasan untuk mempraktekkan sasi
kelapa di ohoi Ngilngof diprakasai oleh leluhur sejak jaman dahulu kala, sekitar abad
ke 16-17. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Desa Ngilngof, ada beberapa
alasan sasi kelapa dilaksanakan sejak jaman dahulu hingga sekarang di Desa
Ngilngof, yaitu: “Orang tua-tua jaman dahulu melihat bahwa pengambilan kelapa,
maupun penebangan kelapa untuk keperluan rumah tangga maupun untuk dijual
sangatlah tinggi. Orang tua-tua (leluhur) khawatir akan kondisi tersebut maka sasi
kelapa dibuat untuk menjaga pertumbuhan kelapa tidaklah punah dan bisa dinikmati
oleh generasi berikutnya, yang artinya menjaga kelestarian kelapa”.
Dalam interpretasi masyarakat Desa (ohoi) Ngilngof bahwa sasi kelapa adalah
salah satu bagian dari hukum adat Larwul Ngabal yang wajib dihormati, dijunjung
dan dipatuhi. Ada keterikatan antara masyarakat dengan adat istiadat yang sangat
kental. Keharusan memperdulikan keadaan alam sekitar, dalam artian keharusan cara
dan alat kerja yang digunakan agar tidak merusak alam.
Secara keseluruhan masyarakat memiliki persepsi positif terhadap pelaksanaan
sasi kelapa yang dilaksanakan di Desa Ngilngof. Persepsi masyarakat dapat diamati
dari pengetahuan yang baik tentang sasi kelapa meskipun terdapat perbedaan antara
kaum tua dan kaum muda mengenai asal muasal sasi kelapa, interpretasi masyarakat
yang baik tentang sasi kelapa, pandangan positif masyarakat tentang sasi kelapa,
pemahaman tentang fungsi dan manfaat sasi kelapa.
Perilaku masyarakat adat Kei khususnya Desa Ngilngof melalui sasi kelapa yang
telah turun- temurun dan berkembang dalam masyarakat menjadi nilai-nilai yang
dipegang teguh. Perilaku masyarakat adat Desa Ngilngof yang ikut serta dalam
pelaksanaan sasi kelapa merupakan keberlanjutan dari cara pandang masyarakat
mengenai cara pengelolaan sumberdaya alam yang bijak. Perilaku masyarakat dapat
dilihat dalam proses pelaksanaan sasi kelapa, keikutsertaan warga dalam pelaksanaan
sasi kelapa, ketaatan dalam menaati setiap peraturan sasi kelapa, serta perilaku
masyarakat dalam melestarikan budaya sasi kelapa.
Pelanggaran terhadap semua jenis sasi akan mendapatkan sanksi (hukuman) adat.
Pelanggaran terhadap sasi yang bersifat umum (disebut hawear), yaitu sasi dengan
tanda anyaman janur, akan dikenakan denda berat, sedang dan ringan. Derajat sanksi
tersebut diputuskan dan dipertimbangkan dalam sidang Dewan Adat (Seniri)
setempat. Terdapat beberapa patokan dasar dalam penetapan hukuman denda,
diantaranya adalah: 1) Satu buah lela (meriam kuno) atau emas Kei 3 tahil. 2)
Menanggung biaya perkara yang jumlahnya ditetapkan oleh sidang Dewan Adat. 3)
Bentuk hukuman lainnya yang besarannya disesuaikan dengan pertimbangan sidang
Dewan Adat. Dalam 20 tahun terakhir ini sudah tidak terjadi pelanggaran lagi.
Masyarakat semakin sadar dan semakin memahami makna pelestarian sumberdaya
alam dan lingkungan.

Gambar. Hutan Adat Sasi Kelapa di Tanah Seram, Maluku.

D. Akses Masuk Kawasan (Transportasi dan Akomondasi)

Transportasi yang dapat digunakan untuk ke pulau kei yaitu dapat ditempuh
dengan menyewa mobil, dengan akomondasi kurang lebih Rp. 400.000,00. Dapat juga
dengan menggunakan angkot, tetapi tidak dapat menjangkau semua lokasi yang
diinginkan. Untuk akses masuk kawasan hutan kelapa dipulau Kei masih
gratis,dikarenakan tempat ini atau desa ini belum dijadikan tempat wisata seutuhnya.

E. Pengelolaan dan Mitos

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat berbasis masyarakat merupakaan salah


satu alternatif atau pilihan dalam pengelolaan sumber daya hutan yang saat ini sedang
mengelami keterburukan, sebagai akibat dari kesalahan pengurusan di masa lalu. Hal
ini terjadi karena tidak adanya kepatuhan terhadap prinsip pengelolaan hutan secara
berkelanjutan yang menekankan pada aspek ekonomi, ekologi dan equitu (keadilan)
serta Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33. Bangkitnya pilihan pada sistem
pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat dalam pembangunan kehutanan,
disebapkan oleh pengelolaan yang dilakukan Pemerintah tidak memenuhi persyaratan
utama. Hal ini terbukti dengan adanya deforestasi dan degradasi lingkungan serta
makin banyaknya jumlah masyarakat miskin yang tinggal di sekitar hutan.
Berbasis masyarakat mengandung arti bahwa masyarakat dengan segala
kemampuan yang ada untuk mengatur pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup
mereka. Hal ini menunjukan bahwa bukan saja masyarakat di ikutsertakan dalam
pengelolaan hutan, melainkan masyarakat ditempatkan sebagai faktor utama dalam
pengelolaan hutan, baik hutan yang diusahakan pada lahan milik maupun lahan
Negara. Praktek kehutanan masyarakat (berbasis masyarakat) adalah sistem
pengelolaan hutan yang dilakukan indifidu, komonitas atau kelompok pada lahan
Negara, lahan komunal, lahan adat, atau lahan milik untuk memenuhi kebutuhan
infidual rumatangga dalam masyarakat serta diusahakan secara komersial atau sekedar
subsistem. (Anonim,2005).
Memulai cerita dengan mitos dan legenda. Artinya mereka memang tak pernah
melupakan sejarah leluhur mereka. Terlebih pada suku pedalaman yang masih
menganut animisme dan dinamisme. Gaya bahasanya yang khas cukup sulit unutk
dimengerti. Bicara tentang mitos dan legenda, tak ada habisnya ketika sudah
berhadapan dengan penduduk pulau berpantai indah ini. Berjuta rahasia yang belum
sempat terungkit di hadapan massa nusantara tersimpan rapi di bumi hijau ini. Mitos-
mitos yang terdengar dari mulut ke mulut tiap warga yang bercerita benar-benar
menarik dan memicu sanubari untuk tahu lebih jauh tentang itu. “piring dolo”, sebuah
contoh yang melegenda di kalangan mereka. Ada yang dikatakan sebagai piring yang
jahat, ada pula yang baik. Masing-masing memiliki kekuatan tersendiri. Yang baik
dapat menyembuhkan dengan menetralisir racun dalam makanan yang disaji
diatasnya, sementara yang jahat akan membawa malapetaka bagi penggunannya.
Piring ini disebutkan digunakan oleh para pendahulu mereka dari golongan tinggi atau
para raja. Dikatakan pula bahwa piring-piring ini banyak tersimpan dan terkubur di
hutan rimba karena disembunyikan keberadaanya untuk menjaga kelesterian dan
kesaktiannya. Secara ilmiah, dapat disebutkan bahwa piring-piring ini termasuk benda
yang tergolong artefak. Tentu saja, hanya oang-orang yang beruntung bias
menemukan benda ajaib ini. Memang agak sulit dipercaya bagi masyarakat modern
saat ini karena memang hanya menganggapnya mitos belaka, tapi tidak bagi mereka
yang menganggapnya sebagai hal yang dikeramatkan.
Terlepas dari itu, ada pula disebut “kupu-kupu raja”. Nah, hewan ini diceritakan
oleh penduduk asli Kanikeh, kaki Gunung Binaiya. Kupu-kpu raja berukuran lebih
besar dari biasanya dan muncul pada waktu tertentu dengan tujuan mengganggu
langkah para pendaki yang menuju Binaiya. Konon katanya ia akan muncul jika yang
bersangkutan tidak mengikuti upacara adat sirih pinang sebelum naik ke puncak
Binaiya. Sang kupu-kupu raja akan terbang menhalangi pandangan mereka agar
tersesat di jalan. Makanya, setiap pendaki diharuskan mengikuti upacara adat sebelum
menjejakkan kaki di pelataran Gunung Binaiya. Masih seputar mitos di Binaiya, air
yang dikenal dengan istilah wai Puku. Sebuah telaga yang tepat tergenang di puncak
Gunung ini.
Menurut sumber, Oce Masahuna (25) di desa Roho, air it adalah sisa air laut
ketika Binaiya masih belum muncul di permukaan laut, tentunya sebelum zaman es
dahulu kala. Air ini akan terasa asin persis seperti air laut jika seseoarang
meminumnya di puncak tepat pada hari jumat. Sementara di hari yang lain, air dari
telaga kecil ini sama seperti biasanya. Di luar dari wilayah pegunungan, legenda yang
bersumber dari daerah pesisir pantai Pulau seram tak kalah menariknya. Tepatnya di
Tanjung Hewal yang berada pada pesisir pantai Utara Pulau ini. Di tempat inilah
terdapat sebuah legenda yang menceritakan tentang sebuah mesjid yang berdiri di
tengah laut. Anehnya, mesjid ini semu dan hanya halusinasi dari setiap orang yang
sempat melihatnya. Tentunya, hanya orang-orang tertentu pada waktunya yang
kebetulan melihatnya dengan kasat mata, walaupun benda ini bersifat semu.
Rahman(28), pria lokal asal Hatilen, sebuah kampung yang dekat dengan tempat ini
mengatakan bahwa mesjid juga ada yang menghuninya. Mereka adalah orang-orang
yang berbusana muslim lengkap dengan kopiah dan talkum layaknya orang yang akan
menunaikan shalat. Mereka akan memanggil siapa saja yang melewati wilayah dekat
mesjid yang berdiri di atas permukaan laut ini.
Disamping legenda ini pula, cerita rekyat tentang hubungan tali persaudaraan
diantara penduduk pantai dan gunung sangat mencengangkan dan membuat kuping
siap menyimak dengan tajam. Orang-orang di gunung pada dasarnya memiliki talii
persaudaraan yang dekat dengan penduduk di pantai sejak dahulu. Dahulu kala,
pendahulu mereka merupakan saudara dimana salah satu diantaranya turun ke pantai.
Sampai pada saat ini, anak cucu hanya tinggal mencocokkan marga untuk tahu silsilah
keluarga yang sempat terpisah ini. Diketahui bersama bahwa Maluku ketika zaman
kolonilisme belanda adalah salah satu wilayah favorit sasaran mereka berburu
rempah. Nah, barang tentu banyak hal yang menjadi behan bersejarah yang kian
menjadi peninggalan sang penjajah di tempat ini. Contohnya, “seterika VOC” yang
sampai pada saat ini banyak diburu masyrakat karena dipercaya memiliki kekuatan
ghaib. Seterika yang dilengkapi dengan kepala ayam jago dan tujuh lubang khas
seterika arang diyakini oleh mereka punya nilai tersendiri yang sangat berharga.
Warnanya agak kekuning-kuningan dan entah apa tujuannya sehingga sangat diincar
oleh masyarakat lokal. Jadi, merupakan sebuah keberuntungan yang amat sangat
ketika ada yang memiliki benda itu. Begitu pula halnya dengan uang logam
peningggalan Belanda yang bergambar Ratu Welhemina. Turut menjadi buruan warga
karena kekuatannya yang ajaib menurut mereka. Mitos-mitios makin berkembang dan
menjadi hal-hal yang dikeramatkan di Pulau seram sampai pada saat ini. dengan
warga Pulau Seram selalu saja berujung pada hal yang berkaitan
DAFTAR PUSTAKA

Anonim,2005. Kebudayaan dan Masyarakat (Materi Kuliah Sosiologi Keutanan

Massyarakat). Jurusan Kehutanan UNPATTI, Ambon

Purnaweni, Hartuti Dkk.2013. Studi Kearifan Lokal Sasi Kelapa Pada Masyarakat Adat di

Desa Ngilngof Kabupaten Maluku Tenggara Jurnal Ilmu Lingkungan. Volume 11


Issue 1: 23-29 (2013)

Rosman Rumakefig, 2000, Pengamat dan Pengelolaan Hutan Kepulauan Watubela Skipsi

Fakultas Pertanian Uncen Manukwari Irian. (tidak dipublikasikan).

Yuki, Putri Anggita. 2017. 10 Hal Yang Perlu kamu Ketahui Tentang Pulau

Kei. https://ohelterskelter.com diakses 24 maret 2019

Вам также может понравиться