Вы находитесь на странице: 1из 38

BAB III

PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

PUTUSAN PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

PERKAWINAN PADA TAHUN 2016

3.1 Tinjauan Umum Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

3.1.1 Tinjauan umum mengenai Mahkamah Konstitusi.


Terhadap pertentangan peraturan mengenai kedudukan peraturan yang lebih

tinggi terhadap peraturan yang lebih rendah, dilakukan suatu pengujian undang-

undang oleh lembaga yudikatif mengenai keabsahan peraturan tersebut.

Diperlukan adanya penafsiran untuk mengetahui makna yang sebenarnya

terkadung dalam suatu pasal yang dianggap bertentangan tersebut. Mengacu pada

peraturan UUD 1945, belum cukup hanya melihat UUD 1945 dan pendapat ahli

saja, tetapi juga diperlukan suatu lembaga negara yang berfungsi sebagai penafsir

Undang-Undang Dasar.1 Dalam menelaah pendekatan kasus, perlu menggunakan

ratio decidendi, yang menurut pendapat Peter Mahmud Marzuki merupakan

pertimbangan hukum yang menjadi pedoman bagi hakim untuk memberikan

putusan dalam perkara yang sedang diajukan. 2 Hakim adalah aktor utama

penegakkan hukum (law enforcement) di pengadilan yang mempunyai peran lebih

apabila dibandingkan dengan jaksa, pengacara, dan panitera.3 Pengujian undang-

undang merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung di


1
Setelah perubahan ketiga UUD 1945, satu-satunya penafsiran konstitusi yang tafsirnya
memiliki nilai hukum hanyalah Mahkamah Konstitusi (the sole interpreter of constitution) hal
demikian senada dengan buku karangan Feri Amsari, 2011, Perubahan UUD 1945: Perubahan
Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. Deskripsi.
2
Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hal. 119.
3
Adi Sulistiyono dan Isharyanto, 2018, Sistem Peradilan Di Indonseia Dalam Teori dan
Praktik, Prenadamedia Group, Depok, hal. 339.

1
Indonesia, berdasarkan tingkat peraturan perundang-undangan yang diuji.

Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dilakukan oleh

Mahkamah Konstitusi, sementara pengujian peraturan perundang-undangan

dibawah undang-undang terhadap undang-undang merupakan wewenang dari

Mahkamah Agung, sesuai ketentuan Pasal 24 huruf A ayat (1) UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi menurut UUD 1945 merupakan lembaga kekuasaan

kehakiman, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) yang dilakukan dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi.
Pengujian undang-undang disebut juga judicial review, yaitu pengujian

Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang dilakasanakan dengan mekanisme

lembaga peradilan terhadap fakta-fakta dari suatu norma.4 Pembentukan

Mahkamah Konstitusi tidak terlepas dari perkembangan hukum dan

ketatanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau

judicial review. Pada pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi perlu

dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan mendasar atas Undang-

Undang Dasar 1945.5 Sebagai lembaga kekuasaan kehakiman, Mahkamah

Konstitusi memiliki wewenang dan kewajiban yang telah diatur dalam Pasal 24

huruf C yakni selain mengadili, juga memutus sengketa kewenangan lembaga

negara berdasarkan kewenangan UUD 1945 serta memberikan putusan mengenai

4
Jimly Asshiddiqie, 2010, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sinar Grafika, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie I), hal. 2.
5
Adi Sulistiyono dan Isharyanto, op.cit, hal. 313, dikutip dari Republik Indonesia, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI,
2002, juga Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Jakarta: PSHTN-FHUI, 2002.

2
partai politik yang diputuskan bubar serta memberikan putusan dalam persoalan

hasil pemilu; kemudian wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat mengenai adanya pelanggaran yang kemungkinan oleh Presiden dan/atau

Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945.


Selain wewenang dan kewajiban Mahkamah Konstitusi yang telah disebutkan

diatas, Mahkamah Konstitusi juga diberikan kewenangan dalam mengurus pribadi

mengenai kepentingan-kepentingan yang dibutuhkan guna terlaksananya

pelaksanaan kekuasaannya sebagai lembaga peradilan konstitusi. Definisi

Mahkamah Konstitusi yaitu merupakan pelaku kekuasaan kehakiman sebagai

fungsinya dalam lembaga peradilan, disamping keberadaan Mahkamah Agung

yang dibuat sesudah Perubahan Ketiga UUD 1945, merujuk kepada pelaksanaan

pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang.6 Sedangkan menurut Moh.

Mahfud MD dalam bukunya berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi

merupakan suatu lembaga yang memiliki kewenangan melaksanakan hak

pengujian (judicial review, atau secara lebih spesifik melakukan constitutional

review) yaitu pengujian konstitusional terhadap Undang-Undang yang

bertentangan dengan konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi Negara, 7 yang

diikuti dengan tugas khusus lain yaitu forum previlegiatum atau peradilan yang

khusus yang memberikan putusan terhadap pendapat DPR (Dewan Perwakilan

Rakyat) bahwa Presiden telah melanggar hal-hal tertentu yang disebutkan dalam

Undang-Undang Dasar sehingga dapat diberhentikan. 8 Constitutional review

6
Adi Sulistiyono dan Isharyanto, op.cit, hal. 315.
7
Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi: Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, PT. Alumni, Makasar, hal. 130.
8
Moh. Mahfud, 2010, Perdabatan Hukom Tata Negara Pasca Amandmen Konstitusi, Rajawali
Press, Jakarta, hal. 117.

3
(pengujian konstitusional) memiliki perbedaan pengertian mendasar dengan

judicial review. Pengujian konstitusionalitas (constitutional review), selain

dilakukan oleh lembaga selain hakim, dapat pula dilakukan oleh lembaga selain

hakim sesuai konstitusi oleh lembaga yang melaksanakan kewenangan untuk itu.

Selanjutnya, konsep judicial review mencakup pengertian yang lebih luas

objeknya, seperti mencakup soal legalitas peraturan di bawah undang-undang

terhadap undang-undang, sedangkan pengujian konstitusionalitas hanya mengikuti

konstitusionalitasnya atas konstitusi.9 Selain faktor sejarah, pengujian

konstitusionalitas Undang-Undang juga dipandang penting keberadaannya dalam

sebuah negara demokrasi yang berdasarkan hukum mengingat Undang-Undang

merupakan produk politik yang belum tentu sesuai dengan konstitusi. Dapat

dikatakan pula sebuah Undang-Undang dibentuk hanya sekedar untuk memenuhi

hasrat para pembuatnya.10


Pembentukan Mahkamah Konstitusi ditujukan dengan salah satu

kewenangannya dalam menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar

(constitutional review). Menurut ketentuan Pasal 24C UUD 1945, Mahkamah

Konstitusi mempunyai hak pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar sedangkan Mahkamah Agung menurut Pasal 24A Undang-Undang Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Agung

melakukan pengujian peraturang perundang-undangan dibawah undang-undang

terhadap peraturan perundang-undangan. Meskipun pengujian yang dilakukan

Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebenarnya sama-sama judicial

9
Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional, Konstitusi Press, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie II), hal. 2-4.
10
Moh. Mahfud, op.cit, hal. 99.

4
review dalam arti pengujian yang dilakukan oleh lembaga yudisial, tetapi secara

teknis pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar disebut

constitutional review. Sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi oleh Mahkamah Agung disebut judicial review.11 Sejarah pengujian

Undang-Undang bermula sejak adanya kasus “Marbury versus Madison” 12 yang

pada saat itu Mahkamah Agung Amerika Serikat sedang masa pimpinan John

Marshall yang berlangsung saat tahun 1803.13 Setelah kasus tersebut, ide

pengujian Undang-Undang menjadi popular dan secara luas terus dibicarakan oleh

khalayak ramai,14 yang menghasilkan dua tugas pokok yang dalam constitutional

review, yaitu:15
a. Memastikan bahwa sistem demokrasi dapat bermanfaat dalam hubungan

perimbangan peran (interplay) antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif,

dan lembaga peradilan (judiciary). Constitutional review dimaksudkan untuk

mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh suatu cabang

kekuasaan.
b. Memberikan perlindungan kepada masing-masing individu warga negara dari

penyelewengan kekuasaan negara yang sekiranya dapat menimbulkan

kerugian bagi hak-hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi.

11
Ibid, hal. 64.
12
Kasus “Marbury vs. Madison” yang terjadi di Supreme Court Amerika Serikat, yang untuk
pertama kalinya menyatakan bahwa keputusan Kongres tidak sah. Hakim Marshall melihat bahwa
Section 13 dan Judiciary Act Tahun 1789 yang menjadi dasar gugatan William Marbury dan
kawan-kawan tidak dapat dibenarkan karena ketentuan itu sendiri bertentangan dengan Article III
Section 2 Konstitusi Amerika Serikat, dikutip dari Jimly Asshiddiqie I, op.cit, hal. 19.
13
Berdasarkan penjelasan Geoffrey R. Stone, et.al., Constitutional Law, 2nd edition, Boston-
Toronto-London: Little, Brown and Co., 1991, hal. 21-44. Lihat juga Robert H. Brock, The
Tempting of America: The Political Seduction of The Law, London: The Free Press, Macmillan,
1990, hal. 20-28, dikutip dari Adi Sulistiyono dan Isharyanto, 2018, Sistem Peradilan Di
Indonseia Dalam Teori dan Praktik, Prenadamedia Group, Depok, hal. 320.
14
Adi Sulistiyono dan Isharyanto, op.cit, hal. 320.
15
Jimly Asshiddiqie II, op.cit, hal. 10.

5
Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai suatu proses memberikan putusan

terhadap sengketa kewenangan yang dapat terjadi antar lembaga-lembaga yang

mempunyai kekuasaan setara, yang kewenangannya ditentukan dalam Undang-

Undang Dasar serta adanya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol

proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada

prinsip “the rule of majority”.16 Terdapat dua macam pengujian undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh

Mahkamah Indonesia, yaitu:17


a. Pengujian Formil (Formele Toetsingsrecht), yaitu dibentuknya undang-

undang dengan tidak mematuhi ketentuan UUD 1945. Jimly Asshiddiqie

mengemukakan bahwa secara umum, yang dapat disebut sebagai pengujian

formil (formeele toetsing) tidak hanya mencakup proses pembentukan

undang-undang dalam arti sempit, tetapi juga mencakup pengujian mengenai

aspek bentuk undang-undang, dan pembentukan undang-undang.18


b. Pengujian Materiil (Materiele Toetsingsrecht), merupakan suatu ayat, pasal,

atau bagian-bagian dalam undang-undang berdasarkan UUD 1945”. Harun

Alrasid berpendapat bahwa hak dalam menguji material adalah milik

pembuay undang-undang untuk menentukan materi undang-undang tersebut

agar tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. 19 Sementara

16
Dalam pengertian ini muncul doktrin “demokrasi berdasar atas hukum” atau “constitutional
democracy” yang berimbang dengan doktrin negara hukum yang demokratis atau “democratische
rechtsstaat”. Lihat juga Dennis C. Mueller, Constitutional Democracy, Oxford University Press,
1996. Baca juga Mauro Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspektive, Oxford:
Clarendon Press, 1989, dikutip dari Adi Sulistiyono dan Isharyanto, 2018, Sistem Peradilan Di
Indonseia Dalam Teori dan Praktik, Prenadamedia Group, Depok, hal. 313.
17
Ibid, hal. 315.
18
Jimly Asshiddiqie II, op.cit, hal. 62-63, dikutip dari Asosiasi Pengajar Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hal.87.
19
Ibid, hal. 2.

6
menurut Jimly Asshiddiqie, pengujian materiil berhubungan dengan

kemungkinan adanya pertentangan materi dari suatu peraturan dengan

peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan

yang dimiliki oleh suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang

berlaku umum. Beliau memberikan uraiannya lebih lanjut, yaitu dalam

prinsip ‘lex specialis derogate legi generalis’ dinyatakan bahwa suatu

peraturan yang memiliki karakteristik khusus bisa dinyatakan tetap berlaku

oleh hakim, walaupun materinya bertentangan dengan materi peraturan yang

memiliki karakteristik lebih umum. Sedangkan peraturan yang dinilai

bertentangan dengan kaidah-kaidah dalam peraturan yang lebih tinggi akan

dinyatakan tidak akan berlaku berdasarkan prinsip ‘lex superiori derogate

legi inferiori’.20
Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi

menerapkan beberapa asas-asas, seperti yang diungkapkan Maruarar Siahaan,

salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi periode pertama mengemukakan 6

(enam) asas yang terdapat di peradilan Mahkamah Konstitusi,21 antara lain:


1. Asas Ius Curia Novit, yaitu menyatakan bahwa pengadilan tidak

diperkenankan menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu

perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan belum ada pengaturan yang

jelas atau tidak adanya peraturan hukum, sesuai Pasal 10 Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009.


2. Persidangan Terbuka Untuk Umum, yaitu bahwa sidang Mahkamah

Konstitusi dilakukan secara terbuka untuk umum, kecuali dalam rapat

20
Ibid, hal.1.
21
Maruarar Siahaan, 2015, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi ke-
2, Cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 61-81.

7
permusyawaratan hakim, sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003. Tujuannya agar publik dapat mengikuti proses

sidang sehingga dalam menjatuhkan putusan saat proses berperkara, hakim

memperlihatkan alat bukti serta alasan-alasan pertimbangan hakim yang

disampaikan pada saat persidangan.


3. Independen dan Imparsial, yaitu untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu

perkara secara objektif serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga

peradilan harus independen dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga

dan kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang

berperkara atau imparsial, sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.


4. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan, dengan

tujuan agar proses peradilan dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh

seluruh lapisan masyarakat dan dengan upaya mewujudkan salah satu unsur

negara hukum, yaitu equality before the law. Sehingga suatu pengadilan

yang berjalan terlalu rumit serta membutuhkan biaya yang mahal, hanya

dapat dinikmati oleh sekelompok orang tertentu saja, sesuai Pasal 2 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.


5. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem), berlaku

tidak hanya bagi sekelompok pihak yang saling berhadapan melainkan untuk

semua pihak yang terkait dan memiliki kepentingan dengan perkara yang

sedang berada di persidangan.


6. Hakim aktif dalam persidangan, menurut Maruarar Siahaan22 bahwa hakim

tidak akan memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu sebelum

disampaikan oleh pemohon ke pengadilan, yakni Hakim Konstitusi dapat


22
Ibid, hal. 76.

8
berperan aktif dalam melakukan penelusuran guna mencapai kebenaran

terhadap permasalahan yang ditangani, sesuai ketentuan Pasal 41 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.


7. Asas Praduga Keabsahan (praesumtio iustae causa), yaitu perbuatan yang

dilakukan oleh pemegang wewenang/kekuasaan dianggap sah sesuai aturan

hukum sampai dinyatakan sebaliknya, yaitu seperti kekuatan mengikat putusan

Mahkamah Konstitusi adalah sejak selesai dibacakan dalam sidang pleno

pengucapan putusan terbuka untuk umum, sehingga berlaku dan dapat

dilaksanakan.
Berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yaitu putusan

Mahkamah Konstitusi mendapatkan kekuatan hukum tetap pada saat sesudah

dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk publik. Disamping itu dalam

Undang-Undang tersebut tidak diatur mengenai suatu wadah dalam mewujudkan

hukum ataupun sistemnya terhadap pihak yang menganggap putusan tersebut

merugikan atau tidak puas atas belakunya putusan tersebut. Untuk itu, putusan

Mahkamah Konstitusi merupakan upaya yang pertama (the first resort) sekaligus

sebagai upaya yang terakhir (the last resort).23 Putusan Mahkamah Konstitusi

yang bersifat final dan mengikat (final and binding) dalam pengujian undang-

undang haruslah berisi norma hukum yang berlaku mengikat untuk subyek, ruang,

dan waktu tertentu.24 Pengujian norma yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

merupakan langkah strategis untuk mempertahankan hak-hak konstitusional

warga, dengan mewujudkan suatu keadilan konstitusi (constitutional justice).25

23
Bambang Sutiyoso, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 122.
24
Jimly Asshiddiqie I, op.cit,, hal. 192.
25
Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 278.

9
Putusan Mahkamah Konstitusi mulai berlaku sejak saat setelah dibacakan dalam

sidang pleno pembacaan putusan yang terbuka untuk umum. Terhadap

permohonan yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, berarti sejak saat

setelah pembacaan putusan tersebut tidak dapat lagi menjadikan ketentuan

undang-undang yang telah dibatalkan sebagai dasar hukum kebijakan atau

tindakan oleh setiap penyelenggara dan warga negara. Keputusan pejabat yang

berkuasa tidak butuhkan saat Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan atas

suatu perkara, selama tidak ditentukan lain oleh undang-undang.26


Pada tanggal 27 Oktober 2016 telah dikeluarkan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terkait pengujian materiil terhadap Pasal 29

ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) Undang-Undang Perkawinan, yaitu Mahkamah

Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa pada waktu sebelum

dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas

persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh

pegawai pencatat perkawinan atau notaris yang setelah itu isinya berlaku juga

terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga mengikatkan diri. Amar Putusan

Mahkamah Konstitusi dalam pengujian tersebut tercantum dalam Pasal 56

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu:

ditolak, diterima, dan dikabulkan. Apabila permohonan dikabulkan, maka sesuai

dengan Pasal 57, Mahkamah Konstitusi harus menyatakan ayat, pasal, suatu

komponen dalam undang-undang atau suatu undang-undang yang menyeluruh

berlawanan dengan ketentuan undang-undang dasar, dan tidak memiliki sifat

mengikat (null and avoid). Sehingga dapat dikatakan Putusan Mahkamah

26
Bambang Sutiyoso, op.cit, hal. 125.

10
Konstitusi tersebut membatalkan norma. Pengujian undang-undang melalui

Putusan Mahkamah Konstitusi sesungguhnya lebih mewakili kepentingan umum

dari pada kepentingan individual, walaupun untuk mengajukan permohonan

pengujian undang-undang diisyaratkan adanya kerugian konstitusional yang

diderita.27 Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian undang-undang dengan

model pengujian norma hukum yang terdapat dalam undang-undang. Secara

umum terdapat tiga bentuk norma yang berlaku, antara lain keputusan normatif

yang berupa pengaturan (regeling), keputusan normatif berupa penetapan

administratif (beschikking), dan keputusan normatif berupa penghakiman

(judgement/vonis).28
Berdasarkan hadirnya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, menyebabkan

tenggang waktu dibuatnya perjanjin perkawin menjadi tak terbatas, yakni tidak

hanya dibuat seblum atau pada saat perkwinan dilaksankan melainkan bisa juga

dibuat selama dalam iktan perkawinn. Kemudian pasangan suami istri tidak hanya

mengesahkan perjanjian perkawinan melalui pegawai pencatat nikah, melainkan

dapat juga melalui notaris.

3.1.2 Dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan

putusan.
3.1.2.1 Pengertian pertimbangan hakim.
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam

menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung

keadilan (ex aequo et bono) serta mengandung kepatian hukum yang bisa

memberian kegunaan bagi masyarakat. Selain kepastian hukum, untuk memutus

perkara hakim wajib mengombinasikan hal lainnya yaitu kemanfaatan hukum dan
27
Maruarar Siahaan, op.cit, hal. 211.
28
Jimly Asshiddiqie I, op.cit, hal. 1-3.

11
juga keadilan hukum.29 Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum

nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut memang nyata terjadi, yakni adanya

bukti mengenai kebenarannya, sehingga terdapat hubungan hukum yang terjadi

para pihak tersebut.30 Pertimbangan hakim merupakan hasil pemikiran atau

pendapat-pendapat hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal

yang dapat meringankan atau memberatkan pelaku. Sesuai Pasal 14 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa setiap diadakan

sidang permusyawaratan, hakim wajib mengutarakan alasan-alasan atau

pemikiran-pemikirannya secara tertulis mengenai suatu persoalan hukum yang

sedang diperiksa sehingga menjadi satu kesatuan dengan putusan”.


Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat

tentang hal-hal sebagai berikut:31


a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal;
b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut

semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan;


c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/ diadili

secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang

terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut sesuai

amanat putusannya.
Pada Putusan MK:69/PUU-XIII/2015, disebutkan bahwa permohonan

Pemohon ialah permohonan a quo. Berdasarkan Pasal 24 huruf C ayat (1) UUD

1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi serta Pasal 29 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan

29
Adi Sulistiyono dan Isharyanto, op.cit, hal. 339.
30
Mukti Arto, 2004, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cet ke-5, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hal. 141.
31
Ibid, hal. 142.

12
konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-

Undang Dasar. Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi sering dinilai

sebagai lembaga yang super body, dikarenakan berlindung di dalam ketentuan

Undang-Undang Dasar bahwa putusannya bersifat final dan mengikat. 32 Pokok

permohonan pengujian konstitusionalitas norma undang-undang, antara lain Pasal

29 ayat (1), ayat (3), dan Pasal 36 ayat (1) UUPA; serta Pasal 29 ayat (1), ayat (3),

ayat (4) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi

berwenang untuk mengadili permohonan a quo. I Dewa Gede Palguna dalam

bukunya berpendapat bahwa secara formal, tidak mungkin menambah

kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan tanpa diikuti

pembaharuan terlebih dahulu terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, semisal untuk mengadili perkara pengaduan konstitusional

tanpa melaksanakan pembaharuan terhadap UUD ‘45, sedangkan untuk

melakukan perubahan terhadap pasal-pasal UUD ‘45 bukan hanya tidak mudah

secara politis, tetapi juga secara prosedural.33


Tetapi kemudian Feri Amsari menyanggah pendapat tersebut dengan

pandangannya bahwa kehadiran Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari

semangat reformasi konstitusi dengan demikian tidak pula terlepas dari

kungkungan perpolitikan pembatasan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Sebagaimana Supreme Court Amerika, maka Mahkamah Konstitusi Republik

32
Adi Sulistiyono dan Isharyanto, op.cit, 317.
33
I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint), Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 594.

13
Indonesia memiliki kewenangan penafsiran konstitusi juga didasari penafsiran

terhadap lima kewenangan yang diatur dalam UUD 1945. Hal itu dilandasi logika

hukum bahwa tidaklah mungkin melakukan uji konstitusionalitas terhadap suatu

Undang-Undang tanpa melakukan tafsir terhadap makna sesungguhnya dari suatu

teks konstitusi.34 Hakim dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya harus

bebas dan tidak boleh terpengaruh atau berpihak kepada pihak manapun juga.

Pasal 24 Undang-UndangDasar ‘45 mengatur mengenai jaminan kebebasan, yaitu:

Kekuasaan kehakiman merupakan kewenangan yang merdeka guna melaksanakan

peradilan dengan tujuan menciptakan hukum yang berlandaskan keadilan. UU

tentang Kekuasaan Kehakiman diatur mengenai komitmen hukum profesi yang

harus ditaati oleh seorang hakim, yaitu: Hakim dan hakim konstitusi wajib

memiliki pengetahuan mengenai norma-norma hukum yang menyangkut nilai

keadilan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat; serta pada saat melakukan

pertimbangan hukum mengenai ukuran berat atau ringan suatu hukuman pidana,

hakim harus mengindahkan sifat dari perilaku terdakwa berupa sikap baik maupun

sikap buruknya; seorang hakim harus melakukan pengunduran diri dari

persidangan jika terdapat suatu hubungan persaudaraan, sedarah maupun

hubungan keluarga karena perkawinan sampai derajat ketiga apapun alasnannya.

Undang-undang tersebut diatas dimaksudkan untuk menjamin keseluruhan

mengenai pertumbuhan serta pengamalan hukum kebiasaan dapat terlaksana

dengan baik. Dalam hal ini, hakim adalah seseorang yang dapat memformulasikan

dan mencari norma-norma hukum yang tumbuh di kalangan rakyat”. Sudikno

Mertokusumo selanjutnya menegaskan bahwa bukanlah pekerjaan yang mudah


34
Feri Amsari, op.cit, hal. 178.

14
untuk merumuskan, menerapkan, dan mengerti norma-norma hukum yang tumbuh

di masyarakat”.35 Tanggung jawab hukum menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yaitu suatu komitmen yang dilakukan dengan unsur kesalahan

(kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana tercermin pada Pasal 1365, yaitu

pelanggaran hukum yang menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain maka orang

melakukan tindakan tersebut harus menanggung kesalahannya.36


Agar Mahkamah Konstitusi terus mampu ikut serta dalam pertumbuhan dan

memenuhi hak-hak dasar manusia, maka hendaknya sebuah lembaga konstitusi

mempunyai sifat fleksibel yang mampu memahami peristiwa/keadaan yang

megalami perubahan dari segi sejarah hingga dapat menerapkan suatu konstitusi

yang selalu hidup. Sampai sekarang ini, terdapat 78 Negara yang membentuk

Mahkamah Konstitusi secara tersendiri, antara lain Afrika Selatan, Korea Selatan,

Thailand, Lithuania, Ceko, dan beberapa negara yang umumnya mendapat

pembaharuan dari dogmatis hingga memiliki sifat kerakyatan.37 Mengenai

penetapan Hakim dalam Salinan Putusan MK:69/PUU-XIII/2015 yang

dimohonkan oleh Pemohon Ny. Ike Farida yang dapat dijadikan dasar

pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan putusan adalah

antara lain:
a. Terdapat kerugian hak konstitusional yang dirasakan Pemohon (selain juga

mewakili kelompok warga Indonesia yang melakukan kawin campur dengan

orang asing) dengan berlakunya sejumlah Pasal yang dijadikan “Objek

35
Adi Sulistiyono dan Isharyanto, op.cit, hal. 119, dikutip dari Sudikno Mertokusumo, 1984,
Bunga Rumpai Ilmu Hukum, Yogyakarta, Liberty, hal. 16.
36
Tan Thong Kie, 2013, Studi Notariat & Serba Serbi Praktek Notaris, PT. Ichitiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, hal. 951.
37
Jimly Asshiddiqie II, hal. 200-201, dikutip dari Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakry, 2002,
Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU, dan Peraturan di 78 Negara, Pusat Study
Hukum Tata Negara FH UI dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, Jakarta.

15
Pengujian” dalam Permohonan tersebut. Hal ini bisa dilihat dalam

permohonan penetapan Putusan Mahkamah Konstitusi oleh Ny. Ike Farida

sebagai pemohon, ternyata dan terbukti yaitu: bhwa tidak Pemohon saja yang

merasa timbulnya kerugian sebagai akibat ditetapkannya pasal-pasal dalam

“Objek Pengujian” dalam hal yang dimohonkan. Tetapi seluruh warga

Indonesia yang melakukan perkawinan campur dengan orang asing yang

berbeda, maka hak dan ksempatan untuk mendapat Hak Milik dan Hak Guna

Bangunan atas tanah akan hilang selamanya. Dengan adanya kondisi tersebut,

kelompok ini merasa adanya pembedaan karena orang warga negara

Indonesia yang lain tidak memiliki larangan untuk mendapatkan Hak Milik

maupun Hak Guna Bangunan.


b. Bahwa warga negara Indonesia yang melakukan kawin campur dengan orang

asing membutuhkan rasa keadilan, kepastian hukum, agar tidak ada

diskriminasi yang disebabkan oleh “objek pengujian” sehingga timbul

kecemasan dalam kehidupan perkawinan masing-masing pihak yang

melakukan kawin campur untuk mewujudkan keluarga yang bahagia.

3.1.2.2 Legal Standing pemohon.


Setiap perorangan warga negara Indonesia dapat mengajukan permohonan

pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 melalui

Mahkamah Konstitusi, merupakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya

merasa tidak diuntungkan dengan ditetapkannya suatu Undang-Undang. Legal

Standing atau dalam Bahasa Indonesia disebut kedudukan hukum berasal dari dua

kata yaitu yang dimaksud standing adalah satu konsep yang digunakan untuk

menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara cukup sehingga satu

16
perselisihan diajukan ke depan pengadilan. Ini merupakan satu hak untuk

mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar memperoleh putusan akhir

di pengadilan.38 Dalam melakukan permohonan di pengadilan harus memenuhi

beberapa persyaratan yang tercantum di Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang 24

Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu merupakan seorang

berkewarganegaraan Indonesia, merupakan kelompok masyarakat adat yang

tumbuh dan berkembang dengan prinsip yang ditentukan undang-undang,

merupakan badan hukum bersifat terbuka atau pribadi, atau merupakan lembaga

negara. Menurut Harjono, pengertian legal standing (kedudukan hukum)

dikemukakan yaitu: suatu peristiwa yang dialami oleh seseorang atau satu pihak

mengajukan permohonan terhadap suatu perkara di peradilan Mahkamah

Konstitusi dengan pemenuhan syarat terlebih dahulu yang ditentukan undang-

undang.39 Apabila pemohon tidak memenuhi unsur kedudukan hukum seperti

yang disebutkan dalam dalam tersebut diatas, maka pemohon akan menerima

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa permohonannya tidak

dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).40 Dalam Putusan MK:69/PUU-

XIII/2015 menentukan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional

sebagaimana dimaksud wajib melaksanakan lima syarat: adanya hak dan/atau

kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; hak

dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan

oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; kerugian

38
Maruarar Siahaan, op.cit, hal. 94.
39
Harjono, 2008, Konsttusi Sbagai Rumah Bngsa: Pemikian Hkum Dr. Hajono, S.H., M.C.L.
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Sekretaiat Jenderal dan Kepaniteraan Mahamah Kostitusi,
Jakarta, hal. 176.
40
Ibid.

17
konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-

tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan

terjadi; adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud

dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; dan adanya

kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian

konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Suatu sengketa yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi disebut sebagai suatu

permohonan, bukan sebagai gugatan, karena adanya suatu hal yang dalam proses

sengketa tersebut merupakan kebutuhan masyarakat luas dalam kehidupan

sosial.41 Persyaratan akan legal standing pun sudah terpenuhi apabila Ny. Ike

Farida memiliki suatu fakta akan kebutuhannya yang terlindungi secara hukum. 42

Sama halnya dengan pemohon Ny. Ike Farida, yang merupakan pelaku kawin

campur yang mengajukan uji materiil (judicial review) melalui sejumlah pasal

yang dijadikan “objek pengujian” melalui permohonnannya di pengadilan

Mahkamah Konstitusi. Beliau menuntut hak agar orang Indonesia yang

melakukan kawin campur agar bisa mempunyai Hak Milik dan Hak Guna

Bangunan atas Tanah dan Bangunan, meskipun tidak memiliki perjanjian

perkawinan. Sementara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

menjamin adanya persamaan hak setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali.

3.2 Telaah Mengenai Putusan MK:69/PUU-XIII/2015 Dalam Pemberian

Kewenangan Mengesahkan Perjanjian Perkawinan Oleh Notaris


3.2.1 Kasus posisi.
Kasus posisi dalam permohonan atas nama Ny. Ike Farida yaitu merupakan

seorang warga Indonesia bersuamikan seorang orang asing yaitu berasal dari
41
Jimly Asshiddiqie I, op.cit, hal. 16-18.
42
Maruarar Siahaan, op.cit, hal. 94.

18
Jepang, kemudian melangsungkan pernikahan di Kantor Urusan Agama

Kecamatan Makassar di kota Jakarta Timur yang sudah dicatatkan di Kantor

Catatan Sipil Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan tidak memiliki

perjanjian perkawinan mengenai pisah harta. Berdasarkan keterangan tersebut,

antara Ny. Ike Farida dan suaminya berlaku ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU

Perkawinan, yang menyatakan harta benda/harta kekayaan yang didapatkan pada

saat dalam ikatan perkawinan adalah bercampur menjadi satu kesatuan harta.

Selama perkawinan, Ny. Ike Farida tetap berkewarganegaraan Indonesia dan

bertempat tinggal di Indonesia. Permasalahan muncul ketika Beliau mengalami

“pembatalan perjanjian sepihak” oleh developer/pengembang property dengan

alasan suami dari Ny. Ike Farida merupakan seorang berkewarganegaraan asing

dan Beliau tidak memiliki perjanjian pisah harta sebelum kawin dalam

perkawinan campuran tersebut. Sudah banyak upaya yang dilakukan Ike Farida

untuk mendapatkan haknya untuk memiliki rumah berstatus Hak Milik dan Hak

Guna Bangunan, termasuk melalui pengadilan dan institusi pemerintah, namun

institusi tersebut menolak dengan alasan orang Indonesia yang melakukan

perkawinan dengan orang asing dan belum mempunyai suatu perjanjian yang

mengatur tentang penyimpangan seputar harta bersama sebelum kawin maka tidak

berhak untuk mempunyai kepemilikian sendiri atas rumah atau tanah. Akhirnya,

Ike Farida membulatkan tekadnya untuk memperjuangkan bukan hanya haknya

saja, melainkan hak seluruh pelaku kawin campur lain yang senasib dengan

dirinya untuk menuju Mahkamah Konstitusi dengan melakukan uji materiil

19
perihal ketentuan Pasal 21 ayat (1), (3), dan Pasal 36 ayat (1) UUPA, serta Pasal

29 ayat (1), (3), (4) dan Pasal 35 ayat (1).


Di Indonesia berlaku ketentuan bahwa hanyalah orang-orang yang

berkewarganegaraan Indonesia yang dapat mendapatkan hak milik atas suatu

tanah atau bangunan, sesuai ketentuan dari Pasal 21 ayat (1) UUPA, serta dalam

Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang tersebut juga menentukan hal yang sama.

Sementara, Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa

suatu perjanjian mengenai pisah harta hanya dapat dilaksanakan sebelum atau

pada saat perkawinan berlangsung, sehingga tidak memungkinkan untuk Ike

Farida membuat perjanjian pisah harta sebelum kawin kecuali Ia (Ike Farida) dan

suaminya bercerai terlebih dahulu. Dengan berlakunya Pasal-Pasal tersebut diatas,

dianggap melanggar hak konstitusional dari Ny. Ike Farida agar mendapat

kesempatan yang sama dengan warga Indonesia lainnya yaitu mempunyai Hak

Milik dan Hak Guna Bangunan atas Tanah dan Bangunan yang telah dijamin

dalam UUD 1945 yang tercantum pada Pasal 28H ayat (4) menentukan bahwa

siapa saja dapat memiliki hak kepemilikan pribadi yang harus dihormati dan tidak

bisa semena-mena diambil haknya tersebut.


3.2.2 Analisis pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam pemberian

kewenangan mengesahkan perjanjian perkawinan oleh Notaris.


Pada dasarnya, setiap akta hendaknya melalui akta otentik merupakan akta

yang dilaksanakan dihadapan dan ditandatangani hanya dengan seorang notaris

sehingga secara sah dapat diberlakukan sebagai pedoman bagi para pembuatnya,

sesuai dengan Pasal 1338 KUHPer. Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata menentukan bahwa para pihak yang memiliki suatu kebutuhan berkaitan

20
dengan para ahli warisnya atau terhadap suatu hak yang didapat, maka keberadaan

akta otentik memiliki sifat yang sempurna dalam pembuktiannya.


Dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa Mahkamah

Agung berserta badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi

melaksanakan kewenangan terhadap suatu kekuasaan kehakiman. Perbedaan yang

paling mendasar putusan Mahkamah Konstitusi dengan putusan lembaga

peradilan lainnya adalah asas erga omnes.43 Pada peradilan umum, putusannya

semata-mata mengatur pihak-pihak yang bersengketa namun pada putusan

Mahkamah Konstitusi dapat mengikat semua warga negara. Berdasarkan Pasal

24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang ditegaskan

kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu kewenangan

Mahkamah Konstitusi adalah sebuah peradilan Mahkamah Konstitusi memiliki

kewenangan untuk dapat memberikan putusan yang bersifat final ditingkat

pertama dan terakhir guna menguji suatu undang-undang yang bertentangan

dengan ketentuan UUD 1945, memberikan putusan terhadap partai politik yang

dibububarkan atau terhadap perkara pemilu.


Tambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu melalui isi Pasal 7 B ayat

1 UUD 1945, yaitu bahwa “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan

Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah


43
Erga Omnes memiliki arti yaitu setiap putusan menimbulkan konsekuensi tidak hanya
mengikat secara umum, tetapi juga harus ditaati oleh siapapun, dikutip dari Bambang Sutiyoso,
op.cit, hal. 39.

21
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus Dewan Perwakilan Rakyat

bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum

berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat

lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil

Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.

Suatu korelasi antara notaris dengan para pihak berhubungan dengan ketentuan

Pasal 1869 KUHPer, yang menyatakan bahwa kedudukan akta otentik akan

menjadi akta dibawah jika hanya ditanda tangani oleh pihak-pihak yang membuat

tanpa ditandatangani pejabat umum yang berwenang.44 Indonesia menganut sistem

hukum Civil Law yang mengenal kebebasan dalam melakukan perjanjian,

sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 KUHPer yang menyebutkan suatu

persetujuan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maka

dapat dijadikan pedoman pula bagi pembuatnya. Selain itu suatu persetujuan tidak

dapat dicabut tanpa adanya persetujuan pihak-pihak tersebut, maupun dengan

ketentuan yang terdapat dalam undnag-undang sehingga setiap perjanjian harus

dilandaskan dengan itikad baik. Dalam ketentuan tersebut mengandung pengertian

asas pacta sunt servanda yaitu janji mengikat sebagaiamana pedoman/undang-

undnag bagi yang membuatnya. Selanjutnya, prinsip kebebasan dalam melakukan

suatu perjanjian juga memberi peluang pada subjek hukum untuk dapat membuat

perjanjian baru yang belum diatur dalam KUHPer, sebagai bentuk adanya

perubahan jaman dalam kehidupan sosial. Meskipun begitu, asas kebebasan

berkontrak memiliki batasan agar tidak merugikan salah satu pihak dalam

perjanjian dan dilaksanakan berdasarkan kepatutan, kebiasaan atau undang-


44
Tan Thong Kie, op.cit, hal. 1008.

22
undang, yaitu tidak melanggar batas-batas kesusilaan atau moral, sesuai isi Pasal

1339 KUHPer, berisikan bahwa suatu kesepakatan akan mengikat apabila

ketentuan-ketentuan yang dikehendaki para pihak dituangkan secara tegas dalam

suatu perjanjian berlandaskan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang. Sehingga

diperlukan itikad baik dalam membuat perjanjian agar terhindar dari kerugian

yang sekiranya dapat timbul diantara para pihak melalui berlakunya perjanjian

tersebut.
Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa itikad baik diperlukan karena

hukum tidak dapat menjangkau keadaan-keadaan di masa mendatang. Beliau

menjelaskan45 Tidak ada buah perbuatan orang-orang manusia yang sempurna.

oleh karena itu, peraturan-peraturan tersebut diatas hanya dibuat oleh orang-orang

manusia saja, maka peraturan-peraturan itu tidak ada yang sempurna. Pengajuan

permohonan pembuatan perjanjian mengenai penyimpangan terhadap harta

bersama yang dilaksanakan selama masih terikat perkawinan sebelumnya pernah

dilakukan melalui dasar Penetapan Pengadilan Negeri 23/Pdt.P/1998/PN.Jkt.Sel;

Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 36/Pdt.P/2000/PN.Jkt.Bar; Penetapan

Pengadilan Negeri Nomor 20/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tim; dan Penetapan Pengadilan

Negeri Nomor 49/Pd.P/2007/PN.Jkt.Tim. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi

dalam praktiknya telah memberikan warna tersendiri pada ketatanegaraan

Indonesia. Khususnya dalam rangka melaksanakan kewenangan konstitusionalitas

(yang antara lain berpengaruh kepada pemilu dan pemilukada), baik langsung

maupun tidak langsung.46 Terhadap pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi untuk

45
Wirjono Prodjodikoro, 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, CV. Mandar Maju, Bandung,
hal. 56.
46
Adi Sulistiyono dan Isharyanto, op.cit, hal. 316.

23
pengujian konstitusionalitas, mencakup hukum konstitusi dan menjangkau hamper

semua lapangan hukum, yaitu dalam bidang politik, hukum perekonomian, Hak

Asasi Manusia (HAM), pelaksanaan pengujian konstitusionalitas oleh Mahkamah

Konstitusi telah menghasilkan putusan-putusan yang penting dan memberikan

khazanah baru.47
Definisi pertimbangan hukum oleh hakim atau ratio decidendi merupakan

argument/alasan yang digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan hukum

sebagai landasan sebelum memberikan putusan terhadap suatu perkara. 48 Dalam

bukunya, Justice L.P. Singh dan P.K. Majumdar mengemukakan pengertian

mengenai ratio decidendi, yaitu “ratio decidendi. Means the ground of judicial

decision. The general reasons or principles of a judicial decision, as abstracted

from any peculiarities of the case, are commonly styled, by writers on

jurisprudence, the ratio decidendi. (Austins Jurisprudence, 648 Wharton’s Law

Lexicon 14th Ed. At840)”.49 Perlu dipahami mengenai ratio decidendi, yaitu

merupakan suatu rangkaian dimana hakim menggunakan argument-argumen

hukum mencapai keputusannya. Beberapa argument/alasan tersebut yaitu adanya

peristiwa antara suami dan juga istri yang karena suatu hal baru menjumpai

adanya kepentingan dibuatnya perjanjian mengenai penyimpangan atas ketentuan

harta bersama, sementara penjelasan dalam peraturan perundang-undangan

menentukan bahwa perjanjian tersebut hanya dilaksanakan pembuatannya yaitu

sebelum ataupun ssaat pekawinan dilaksanakan. Kemudian yang menjadi

pertimbangan hukum hakim berikutnya yaitu adanya kealpaan atau ketidaktahuan

47
Ibid.
48
I.P.M. Ranuhandoko, loc.cit.
49
Justice L.P. Singh dan P.K. Majumdar, 2001, Judicial Dictionary, Orient Publishing
Company, Second Ed., Allahabad, New Delhi, hal. 1109.

24
pasangan suami istri bahwa pembuatan perjanjian mengenai pemisahan harta

benda/harta kekayaan boleh dilaksanakan hanya saat sebelum atau hanya saat

perkawinan dilaksanakan. Sebelum dikeluarkannya Putusan MK:69/PUU-

XIII/2015, terdapat beberapa penetapan pengadilan terkait pembuatan perjanjian

mengenai pemisahan harta benda/harta kekayaan sepanjang masih terikat

perkawinan. Berikut adalah contoh Penetapan Pengadilan terkait perjanjian

perkawinan yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan, seperti Penetapan

Nomor 459/Pdt.P/2007/PN Jakarta Timur.


Yang mendasari pertimbangan hukum hakim untuk mengabulkan

permohonan tersebut yaitu “bahwa menimbang, bahwa seharusnya para pemohon

telah membuat perjanjian perkawinan tentang harta bersama sebelum perkawinan

dilangsungkan, akan tetapi karena kelupaan dan ketidakpahaman para pemohon

sehingga baru timbul niatan untuk membuat perjanjian pemisahan harta;

menimbang, bahwa melalui fakta yuridis Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak

menemukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan,

karena itu permohonan para pemohon beralasan untuk dikabulkan”. Hanya saja,

Penetapan Pengadilan ini memiliki kekurangan yaitu tidak dapat berlaku untuk

umum hanya mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam penetapan tersebut. Lain

halnya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kemampuan

mengikat baik untuk pihak yang berperkara ataupun untuk seluruh Warga Negara

Indonesia.
Selanjutnya, perlu disadari bahwa Undang-Undang Perkawinan telah masuk

ke dalam agenda sidang Pengujian Undang-Undang (Judicial Review) oleh

Mahkamah Konstitusi sebanyak 4 (empat) kali, yaitu pada Putusan Nomor

25
12/PUU-V/2007 mengenai persoalan izin poligami, Putusan Nomor 46/PUU-

VIII/2010 mengenai persoalan hubungan keperdataan anak dengan ayah

biologisnya, Putusan Nomor 38/PUU-XI/2011 mengenai persoalan alasan

perceraian, dan terakhir Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 mengenai persoalan

perjanjian perkawinan pada tanggal 27 Oktober 2016 lalu. Hal tersebut

menandakan bahwa Undang-Undang Perkawinan perlu mendapat perubahan.

Putusan hakim merupakan puncak final dari suatu perkara yang diajukan

pemohon. Menurut Sudikno Mertokusumo, “hakim dalam memutus perkara harus

memiliki kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving legal

problems), yang terdiri dari tiga kegiatan, antara lain merumuskan masalah hukum

(legal problem identification), memecahkan masalah (legal problems solving), dan

mengambil putusan (decision making)”.50 Berdasarkan hal tersebut, dibutuhkan

suatu penalaran hukum dalam pembuatan putusan agar dapat menyelesaikan

masalah hukum tersebut. Menurut Shidarta dalam pendapatnya mengemukakan

bahwa terdapat enam langkah utama dalam proses penalaran hukum dalam proses

putusan hakim, antara lain:51 dapat menemukan ciri-ciri yang nyata mengenai

struktur perkara yang memang diakui/diyakini oleh hakim sebagai suatu perkara

yang benar terjadi; menyatukan susunan perkara dengan suatu sumber hukum

yang dianggap pantas mengenai perbuatan hukum yang ingin ditetapkan;

menjaring antara sumber serta aturan hukum yang sesuai agar dapat menemukan

suatu kebijakan yang terkandung didalamnya sehingga mendapatkan susunan


50
M. Syamsudin, 2012, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif,
Edisi ke-1, Cet. I, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 86, dikutip dari Sudikno
Mertokusumo, 1990, Pendidikan Hukum Di Indonesia dalam Sorotan, Kompas, 7 Nopember 1990,
hal. 4.
51
Ibid, hal. 87, dikutip dari Shidarta, 2006, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks
KeIndonesiaan, CV. Utomo, Bandung, hal. 177.

26
yang pas; menelaah hubungan susunan peraturan dengan susunan perkara;

menemukan cara-cara penyelesaian perkara yang sekiranya dapat ditempuh;

memberlakukan salah satu pilihan penyelesaian perkara yang kemudian dijadikan

sebagai putusan yang final/akhir.


Argument-argumen dari hakim Mahkamah Konstitusi yaitu berupa

permohonan yang dimohonkan Ny. Ike Farida selaku pemohon selama mengenai

Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) Undang-Undang Perkawinan berdasar menurut

hukum untuk sebagian, sementara mengenai objek yang diajukan lainnya tidak

memiliki alasan kuat menurut hukum, yaitu sebagai berikut yang menjadi dasar

dibuatnya perjanjian mengenai pisah harta sesudah perkawinan karena berdarkan

hadirnya sifat lupa seseorang serta ketidakpahaman mengenai Undang-Undang

Perkawinan yang memberikan aturan tentang perjanjian tersebut sebelum

dilaksanakannya suatu perkawinan. Karena berdasarkan Pasal 29 UU Perkawinan,

perjanjian mengenai pisah harta bisa diadakan hanya sewaktu ataupun sebelum

perkawinan dilangsungkan. Kemudian argumen berikutnya yang disebutkan

dalam salinan putusan tersebut yaitu tanggung jawab yang mungkin muncul

dengan berlakunya ketentuan undang-undang mengenai pencampuran harta

benda/harta kekayaan dalam perkawinan karena profesi/pekerjaan masing-masing

suami dan istri yang mempunyai pengaruh serta komitmen pada harta pribadi,

agar harta benda/harta kekayaan yang didapatkan masing-masing pihak dapat

selalu menjadi harta milik pribadi. Selanjutnya pertimbangan hakim dalam salinan

Putusan MK:69/PUU-XIII/2015, yaitu:


a. Melakukan pemisahan terhadap harta benda/harta kekayaan agar tidak

terjadi pencampuran harta tersebut antara suami dan istri. Ketentuan ini

27
memberi dampak positif yaitu apabila suatu saat terjadi perceraian antara

kedua belah pihak, maka harta benda/harta kekayaan dari masing-masing

pihak terlindungi, sehingga terhindar dari persoalan perebutan harta

kekayaan bersama atau gono gini;


b. Adanya rasa tanggung jawab terhadap hutang piutang dari para pihak

walaupun terjadi saat terikat dalam perkawinan mereka;


c. Dapat bertindak lebih leluasa apabila nanti ingin menjual asset yang dimiliki

pribadi, sehingga tidak memerlukan izin dari pihak yang lain (suami/istri);
d. Sama halnya dengan pengajuan kredit dengan segala fasilitasnya, maka

salah satu pihak (suami/istri) tidak lagi memerlukan izin dari salah satu

pasangannya mereka.
Dalam salinan Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015, Hakim Mahkamah

Konstitusi megabulkan permohonan yang terdapat dalam amar putusan yaitu

Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4). Kemudian menolak Pasal 21 ayat (1), ayat (3) serta

Pasal 36 ayat (1) UUPA, karena dinilai tidak sesuai dengan asas nasionalitas

(kebangsaan), yaitu hanya warga Indonesia yang bisa memiliki hubungan

seutuhnya terhadap bumi (tanah) air, ruang angkasa, dan kekayaan yang

terkandung didalamnya. Pemberlakuan atas hal ini merupakan prinsip nasionalitas

yang merupakan jaminan atas perlindungan hak-hak warga negara Indonesia atas

tanah dibumi pertiwi. Serta terhadap rumusan pemohon tentang

inkonstitusionalitas pada Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan

dianggap tak ada persoalan karena berlakunya perjanjian perkawinan sesuai Pasal

29 ayat (1) Perkawinan. Berdasarkan analisa menggunakan teori ratio decidendi

yang berlandaskan kaidah kepatutan akan Undang-Undang, agama, serta

28
kesusilaan, maka dengan perubahan frasa pada Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4)

Undang-Undang Perkawinan, yaitu dirumuskan sebagai berikut:


a. Pada Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, semula menentukan bahwa “Pada

waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas

persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan

oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga

terhadap pihak ketiga tersangkut”.


Kemudian sesudah berlakunya Putusan MK:69/PUU-XIII/2015 berubah

menjadi: “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan

perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan

perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau

notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”.
Dengan adanya perubahan mengenai makna “Pada waktu” atau “sebelum”

menjadi “Pada waktu, sebelum, atau selama dalam ikatan perkawinan” dapat

lebih menjamin hak-hak serta kebutuhan pihak-pihak dalam perkawinan

mereka. Selain itu, pasangan suami istri juga menjadi lebih leluasa dapat

melaksanakan perjanjian mengenai pisah harta, karena konsep perkawinan

menurut hukum yang ada sebelumnya mengatur bahwa dengan perkawinan

maka secara langsung harta benda/harta kekayaan tersebut menjadi harta

bersama suami dan istri. Namun setelah adanya perubahan pada Pasal

tersebut, pasangan suami istri yaitu pada posisi tertentu memerlukan

perjanjian pisah harta sehingga bisa membuat perjanjian perkawinan tanpa

rasa cemas karena perjanjian perkawinan dapat dibuat selama masih terikat

dalam perkawinan.

29
Selanjutnya, pada frasa “…dapat mengajukan perjanjian tertulis yang

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris…”. Namun dengan

adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terdapat kendala yaitu

apakah dengan disahkannya perjanjian perkawinan oleh notaris menjadikan

perjanjian perkawinan tersebut tidak perlu lagi dicatatkan di Kantor Catatan

Sipil? Hal ini dikarenakan akta notaris tersebut tidak akan mempunyai

kekuatan hukum mengikat apabila tidak didaftarkan/dicatatkan di Kantor

Catatan Sipil.
b. Ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan, semula menentukan yaitu

“Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan”.

Kemudian sesudah berlakunya Putusan MK:69/PUU-XIII/2015 mendapat

perubahan menjadi “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan

dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”.

Ketentuan trsebut tentu memberikan kesempatan bagi pasangan suami istri

pada saat pembuatan perjanjian perkawinan dapat menentukan mengenai

keberlakuan perjanjian perkawinan yaitu dapat berlaku saat dilaksanakannya

perkawinan, kecuali ada ketentuan lain dalam Perjanjian Perkawinan. Dalam

hal ini, yaitu dimana perjanjian perkawinan keberlakuannya pun ditentukan

lain yakni setelah perkawinan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan

pihak-pihak yang bersangkutan.


c. Ketentuan dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan, semula menentukan

yaitu “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat

mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau

dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk

30
mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak

merugikan pihak ketiga”. Kemudian setelah mendapat perubahan menjadi

“Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai

harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau

mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak

ketiga”. Sehubungan adanya perluasan makna terkait Pasal 29 ayat (4) UU

Perkawinan, yakni memperjelas mengenai objek dari perjanjian perkawinan.

Objek yang semula hanya mengenai harta perkawinan, kini bisa berbentuk

perjanjian lainnya. Sehingga kedua belah pihak bisa melaksanakan

perjanjian perkawinan dengan materi sesuai dengan kebutuhannya masing-

masing.
Dalam Putusan MK:69/PUU-XIII/2015 tersebut taka da pencantuman

kewajiban untuk mendaftarkan perjanjian perkawinan ke Kantor Catatan Sipil

atau bagi yang beragama Islam dapat mendaftarkan ke Kantor Urusan Agama.

Sedangkan pendaftaran perjanjian perkawinan pada buku register umum adalah

merupakan bentuk pemenuhan asas publisitas agar dapat diketahui oleh pihak

ketiga.52 Untuk memenuhi unsur publisitas perjanjian tersebut harus disahkan oleh

pegawai yang berwenang dalam instansi terkait, dengan tujuan agar pihak ketiga

(selain pasangan suami istri tersebut) mengetahui dan tunduk pada perjanjian

perkawinan tersebut, misalnya apabila pasangan suami istri melakukan kegiatan

jual beli maka perjanjian perkawinan itu akan mengikatnya dalam tindakan

hukum yang ditentukan dalam perjanjian sehingga pihak ketiga terkait jual beli

52
J. Andy Hartanto, op.cit, hal. 81.

31
tersebut (seperti kreditur atau Bank) mengetahui tentang adanya perjanjian

perkawinan tersebut karena telah termuat di akta perkawinan yang disahkan

pegawai pencatat nikah.


Pada Hukum Amerika, suatu perjanjian apabila dibuat selama pernikahan

terbagi menjadi tiga kategori, yaitu:53


1. Perjanjian yang dibuat saat pisah ranjang yang tidak segera dilakukan

bertujuan untuk menentukan kewajiban dalam pernikahan yang sedang

berlangsung atau konsekuensi dari setiap perceraian yang terjadi di masa

depan (“perjanjian pasca nikah”);


2. Perjanjian yang mempengaruhi suatu rekonsiliasi antara pasangan yang

sudah pisah ranjang (perjanjian rekonsiliasi); dan


3. Perjanjian mengenai pisah ranjang (perjanjian pisah ranjang).
Mengenai ketentuan Perjanjian Pasca Nikah dan Perjanjian Pisah Ranjang

yang menyatakan hal sebagai berikut:54 “setelah para pihak menikah,

kemungkinan mereka melalui suatu kontrak/kesepakatan setuju untuk membeli,

menjual, atau menukar property tertentu dengan kehendak (bisa juga berarti

wasiat) atau kepercayaan (bisa juga perwalian), untuk menentukan manfaat

asuransi tertentu, atau untuk menentukan hak milik dan dukungan tertentu apabila

terjadi kematian, pisah ranjang, pembubaran pernikahan, atau perceraian”.


Apabila membandingkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan

pengaturan perjanjian perkawinan yang terdapat di negara-negara diatas, maka

dapat dikatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi termasuk putusan yang

polemik, sebab di beberapa negara tersebut masih mengatur ketentuan perjanjian

perkawinan sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan sebelum berlakunya

53
Harry D. Krause dan David D. Meyer, 2009, Family Law, fourth Edition, West, Amerika, hal.
38-40.
54
John De Witt Gregory, Peter N Swisher, dan Sheryl L Wolf, 2001, Understanding Family
Law, LexisNexis, New York hal. 103.

32
Putusan MK:69/PUU-XIII/2015. Namun di negara Inggris mengatur mengenai

Matrimonial Causes Act 1973, yang mengijinkan perjanjian perkawinan

dilaksanakan sebelum atau selama masih terikat perkawinan berdasarkan adanya

persetujuan bersama antara pihak suami dan istri. 55 Hal ini menunjukkan bahwa

negara Indonesia merupakan tanggap dan supportif atas persoalan-persoalan

hukum tetapi tetap berpegang teguh pada konstitusi yang sesuai. Disinilah terlihat

peranan pembentuk negara hukum agar dapat menjamin kebutuhan masyarakat

luas, dan menanggapi dengan baik mengenai kaidah serta norma yang

berkembang menjadi hukum positif. Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh

Notaris sudah berlaku secara sah dan mengikat sesuai dengan dan harus diakui

menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini.

3.3 Kendala Bagi Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Perkara Perjanjian

Perkawinan
Hakim dalam memutus perkara tidak boleh tidak harus dikaitkan dengan

konsep negara hukum (rechsstaat), yang merupakan syarat mutlak bagi negara

hukum adalah adanya jaminan akan kemandirian kekuasaan kehakiman atau

kebebasan hakim, yang berdasar pada yurisdiksi suatu sistem peradilan. Ketentuan

sebagai negara hukum ialah dengan berlakunya peradilan yang bebas serta tidak

terpengaruh kekuasaan lain juga adil terhadap siapa saja.56 Kemandirian dalam

kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim ini berarti bahwa dalam

melaksanakan peradilan, hakim itu pada dasarnya bebas, yaitu dapat melakukan

kontrol segi hukum terhadap kekuasaan negara disamping untuk mencegah dan

55
Salim HS. dan Erls Septiana Nurbani, 2014, Perbndingan Hukum Perata (Comparative Civil
Law), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 131.
56
Moh. Mahfud MD., op.cit, hal. 117.

33
mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan.

Kekuasaan kehakiman yang independen memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk

dapat melaksanakan fungsi serta kewenangan peradilan yang jujur dan adil;

kemudian, pengawasan terhadap seluruh tindakan penguasa agar dapat dilakukan

oleh lembaga kekuasaan kehakiman.57 Adapun pengaruh dari kekuasaan

kehakiman yang independen adalah:58


1. supremasi hukum, yaitu dimana suatu proses penyelesaian perkara

selaknyanya dapat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlandaskan

prinsip kesamaan perlakuan serta kesamaan perlindungan dimuka hukum;


2. peradilan yang berfungsi sebagai penekan (pressure value), yaitu

pemberian kewenangan untuk menekan suatu kesalahan hukum terhadap

siapapun tanpa terkecuali terhadap setiap perbuatan yang tidak sesuai

dengan hukum yang berlaku;


3. peradilan sebagai tujuan terakhir, yakni dimaksudkan dalam rangka

penegakkan kebenaran serta keadilan dengan menjadikan peradilan

sebagai tujuan terakhir;


4. peradilan selaku penyelenggara penegak hukum;
5. peradilan dapat berlaku tidak demokratis secara fundamental, yaitu

pemberian keadilan bagi perorangan yang dilakukan secara tranparan dan

tanpa memihak pihak manapun, dengan tanpa memerlukan kompromi dari

siapapun dalam menyelesaikan perkara hukum khususnya terkait kasus

individual.
Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang turut dimuat dalam akta

perkawinan ketika dicatatkan pada Catatan Sipil, terdapat pada Peraturan

57
Jonaedi Efendi, 2018, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim: Berbasis Nilai-
Nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat, Prenadamedia Group, Jakarta,
hal. 89.
58
Ibid.

34
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Perjanjian Perkawinan. Pada dasarnya pihak suami dan pihak istri dapat membuat

perjanjian perkawinan selama masih terikat dalam perkawinan berlandaskan pada

prinsip kebebasan dalam membuat perjanjian yang termuat dalam Pasal 1338

KUHPer, yang menentukan: seluruh persetujuan harus dibuat sesuai ketentuan

hukum sebagai pedoman bagi para pihak yang melakukan kesepakatan yang

diadakan dengan itikad baik. Berdasarkan ketentuan tersebut, sehingga dalam

membuat perjanjian perkawinan tersebut diberikan kebebasan mengenai isi materi

nya tetapi dilarang melanggar/bertentangan dengan aturan-aturan hukum yang

berlaku, serta dilarang menyimpang dari hukum perkawinan tersebut, dan

tentunya harus dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian perkawinan melalui

Putusan MK:69/PUU-XIII/2015, mendapat perluasan menjadi bisa dilaksanakan

sebelum, pada saat perkawinan berlangsung ataupun sepanjang masih terikat

dalam ikatan perkawinan. Perjanjian perkawinan yang diadakan sebelum

perkawinan atau disebut juga dengan perjanjian pra-nikah (prenuptial agreement),

perjanjian perkawinan yang diadakan sewaktu dilaksanakannya perkawinan yaitu

pada saat akad nikah, sementara perjanjian perkawinan yang diadakan sepanjang

masih terikat dalam perkawinan disebut juga postnuptial agreement, merupakan

perjanjian mengenai penyimpangan terhadap ketentuan harta bersama dalam

perkawinan yang dibuat oleh pihak suami dan istri sepanjang masih terikat dalam

ikatan perkawinan yang sah (perjanjian pasca nikah).59


Perjanjian perkawinan kemudian dicatatkan dengan tujuan yaitu pemenuhan

atas unsur publisitas yang hendak dicapai dalam perjanjian perkawinan, sehingga

59
Irma Devita Purnamasari, op.cit. hal. 52.

35
perjanjian perkawinan wajib dilakukan pendaftaran ke instansi yang berwenang,

dengan maksud agar pihak ketiga (diluar pihak suami dan pihak istri) dapat

memahami dan menaati ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian

kawin yang telah diadakan. Perjanjian perkawinan yang tidak dilakukan

pendaftaran mengikat atau berlaku bagi para pihak dalam perjanjian tersebut saja.

Adanya perlindungan hukum dalam perjanjian mengenai harta dalam perkawinan

diberikan kebebasan dalam menentukan isi dalam perjanjian perkawinan namun

tetap menaati tata susila dan tata tertib umum.


Putusan Hakim yang mengandung unsur kepastian hukum akan memberikan

suatu kemanfaatan dalam ilmu hukum, dikarenakan putusan hakim bersifat

mengikat dan memiliki kekuatan hukum yang tetap sehingga digunakan sebagai

acuan atau pedoman bagi masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Menurut Gustav Radbruch, menjelaskan mengenai makna yang berhubungan

dengan kepastian hukum, antara lain: hukum itu positif yakni perundang-

undangan, hukum didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti,

kenyataan yang dituangkan dengan jelas untuk mencegah adanya kesalahan dalam

memaknai dan melaksanakan hukum positif yang tidak gampang berubah”.60


Dalam membuat suatu putusan, hakim melihat kepada bukti-bukti yang telah

dihadirkan oleh pemohon dan termohon agar dapat memberikan suatu putusan

yang adil dan pasti. Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi

pengambilan putusan hakim meliputi:61


1. Masyarakat: Opini Publik Budaya, yakni opini publik yang tertulis dalam

media massa ketika sidang tengah berlangsung;

60
Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
hal. 36.
61
Jonaedi Efendi, op.cit, hal. 84.

36
2. Terdakwa, misalnya dari ras terdakwa, jenis kelamin, dan kemampuan

bicara;
3. Alat bukti atau saksi-saksi, yakni dalam praktik, alat bukti yang diajukan

oleh para pihak baik pemohon maupun termohon sangat penting dalam

memutus perkara di peradilan Mahkamah Konstitusi, begitu pula dengan

keterangan saksi yang memiliki peran penting bagi pertimbangan hakim

dalam memutus perkara guna memperkokoh suatu kebenaran berdasarkan

kaidah hukum yang nyata sebagai pokok perkara sehingg ahakim mendapat

kepastian dalam menentukan dasar putusannya62;


4. Advokat/pengacara, misalnya performance dan gaya bicara yang

meyakinkan juga memberikan pengaruh terhadap putusan hukuman;


5. Keyakinan Hakim, yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan suku,

agama, pendidikan formal dan lainnya; faktor yang muncul dari luar diri

hakim yakni salah satunya ialah Jaminan Kebebasan Peradilan (Indepedency

of Judiciary), dengan begitu hakim akan menjadi independen dan tidak

memihak dalam memberikan putusan sengketa dan dalam situasi yang

kondusif tersebut, Hakim akan lebih mudah untuk menyampaikan ide-ide

dalam pertimbangan-pertimbangan putusan. Di Indonesia jaminan terhadap

Indepedency of Judiciary dicantumkan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945

yang menentukan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang

merdeka demi terselenggaranya peradilan dengan tujuan penegakkan hukum

dan keadilan di masyarakat. Kemudian pada Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 jo., Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menentukan


62
Lilik Muliadi, 2015, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 81.

37
bahwa dalam penyelenggaraan hukum dan keadilan harus berlandaskan

Pancasila dan UUD 1945 oleh kekuasaan negara yang merdeka agar

terwujudnya negara hukum.

Kepribadian Hakim, yakni faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan


pendidikan formal, serta faktor yang berpengaruh dalam kehidupan hakim seperti
lingkungan organisasi dan sebagainya;63 faktor yang mempengaruhi putusan
hakim yakni faktor yang memengaruhi kemandirian hakim dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya yang datangnya dari dalam diri hakim itu sendiri
(berkaitan dengan sumber daya hakim itu sendiri) mulai dari rekrutmen/seleksi
untuk diangkat menjadi hakim, pendidikan hakim, dan kesejahtraan hakim.

63
Jonedi Efendi, op.cit, hal. 84, dikutip dari Loebby Loqman, 1990, Delik-delik Politik, Ind-
Hill CO., Jakarta, 123 dalam M. Syamsudin, 2012, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim
Berbasis Hukum Progresif, Kencana, Jakarta, hal. 93.

38

Вам также может понравиться