Вы находитесь на странице: 1из 33

1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prostat
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli,
depan dari rektum dan membungkus uretra posterior. Prostat memiliki ukuran 4 x
3 x 2.5 cm3 dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas 30%
jaringan fibromuskular stroma yang menempati zona anterior dan 70% jaringan
glandular yang menempati zona sentral, zona perifer, dan zona transisional
(Wein, 2012).
Zona anterior memanjang mulai dari leher buli-buli sampai dengan sfingter
striata (uretra interna). Zona ini dapat digantikan oleh jaringan glandular pada
kondisi pembesaran prostat (BPE). Zona sentral menjadi 25% dari jaringan
glandular prostat. Zona ini dilewati oleh duktus ejakulatorius yang melewati basis
vesica urinaria. Sekitar 7% dari kasus keganasan pada prostat berasal dari zona
ini. Zona perifer berkontribusi terhadap 70% dari jaringan glandular prostat. Di
zona perifer terdapat duktus yang mengalirkan cairan dari kelenjar prostat
sepanjang uretra pars prostatika. Zona transisional berkontribusi terhadap 5% dari
total jaringan glandular prostat. Kasus BPH umumnya berasal dari zona ini.
Berdasarkan pembagian zona tersebut 70% dari kasus keganasan pada prostat
berasal dari zona perifer, 20% dari zona transisional, dan 10% berasal dari zona
sentral (Wein, 2012).
Secara histopatologi, kelenjar prostat ini terdiri atas komponen kelenjar dan
stroma. Stroma terdiri atas otot polos, otot striata, fibroblast, pembuluh darah,
saraf, dan jaringan penyangga yang lain (Purnomo, 2014).
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen
dari cairan semen atau ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius
dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan
semen pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat yang keluar ±25% dari
keseluruhan cairan ejakulat (Purnomo, 2014).
2

Vaskularisasi prostat berasal dari arteri vesical inferior dan arteri capsular.
Prostat mendapatkan inervasi otonom simpatis dan parasimpatis dari pleksus
prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatis
dari korda spinalis S2-S4 dan serabut simpatis dari nervus hipogastrikus T10-L2.
Rangsangan parasimpatis akan meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat,
sedangkan rangsangan simpatis akan menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke
uretra posterior, seperti saat ejakulasi. Sistem simpatis memberikan inervasi pada
otot polos prostat, kapsul prostat, dan leher buli-buli. Di tempat itu banyak
terdapat reseptor adrenergik α. Sistem simpatis juga menyebabkan meningkatnya
tahanan pada tonus otot polos prostat (Wein, 2012).

2.2 BPH (Benign Prostate Hyperplasia)


2.2.1 Definisi
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH (Benign Prostat
Hyperplasia) sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Kelenjar prostat
adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak disebelah inferior buli-buli dan
membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu
uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-
buli (Kapoo, 2012).

2.2.2 Epidemiologi
Penelitian IAUI pada tahun 2015 menunjukkan peningkatan hampir dua kali
lipat pada pria berusia 60 tahun atau sekitar 70% dan terus akan meningkat pada
usia di atas 80 tahun yang mencapai 90%. Pasien BPH di Indonesia pada tahun
2013 sebesar 0,2% atau diperkirakan sebanyak 25.012 penderita dengan estimasi
jumlah penderita penyakit BPH terbanyak berada pada Provinsi Jawa Timur dan
Provinsi Jawa Tengah (Kementerian Kesehatan RI, 2015).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit jinak yang umum pada
laki-laki yang lebih tua. Otopsi penelitian telah mengungkapkan bukti histologis
BPH pada 42% laki-laki berusia 51-60 tahun, meningkat hingga 85% pada laki-
3

laki yang berumur lebih dari 80 tahun. Keparahan penyakit BPH ini mengarah
pada kemerosotan kualitas hidup penderita. Di masa depan dengan profil
demografis yag berubah dan populasi semakin menua, tidak akan dapat terelakkan
lagi bahwa gangguan BPH ini akan menjadi lebih umum di masyarakat.
Pada penelitian Cuneyt et al. (2006), di klinik rawat jalan Urologi, RS
Numune, Ankara, Turkey pada bulan Mei dan Desember 2004 terdapat 93 sampel
pasien BPH dengan LUTS yang berusia 50 tahun. Dari 93 pasien, hanya 78 pasien
yang memenuhi kriteria sampel penelitian. Dari 78 pasien BPH, 38 diantaranya
menderita Sindrom Metabolik.

2.2.3 Etiologi
Penyebab BPH belum diketahui secara pasti namun, diyakini sampai saat ini
berhubungan dengan proses penuaan yang mengakibatkan penurunan kadar
hormon pria, terutama testosteron. Selanjutnya testosteron dalam kelenjar prostat
akan diubah menjadi Dihidrotestosteron (DHT). Kemudian DHT secara progresif
merangsang kelenjar prostat sehingga membesar (Purnomo, 2014). Di samping itu
pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor
lingkungan diduga berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak
langsung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk
mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang berperan
dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Faktor yang mampu
meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik
sedangkan protein growth factor dikenal sebagai faktor intrinsik yang
menyebabkan hiperplasia kelenjar prosta (IAUI, 2015).
Pada sel-sel normal akan terjadi keseimbangan antara laju proliferasi sel dan
apoptosis sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat
sehingga volume prostat bertambah (Purnomo, 2014). Adanya kesamaan antara
BPH dan morfogenesis embriologi dari kelenjar prostat telah menghasilkan suatu
hipotesis bahwa BPH mungkin disebabkan oleh “reawakening” atau masih
tumbuhnya sel-sel embriogenik pada saat dewasa (AUA Guideline, 2010).
4

2.2.4 Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin buli-buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus tersebut
menyebabkan perubahan struktur dari buli-buli yang oleh pasien dirasakan
sebagai keluhan pada saluran kencing sebelah bawah atau lower urinary tract
symtomp (LUTS) yang dulu dikenal dengan gejala prostatismus. Proses
pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga efek perubahan juga
akan terjadi perlahan-lahan. Terdapat dua mekanisme yang mempengaruhi
patofisiologi dari BPH yaitu komponen statis akibat dari pembesaran kelenjar
prostat dan komponen dinamis oleh peningkatan tonus dan resistensi otot polos
yang terdapat pada stroma prostat, kapsul prostat, dan leher vesika urinari (AUA
Guideline, 2010).
Sekitar 50% kasus BPH berkembang menjadi benign prostate enlargement
(BPE) yang menggambarkan bertambahnya volume prostat akibat adanya
perubahan histopatologis yang jinak pada prostat. Pada keadaan yang lebih lanjut,
BPE akan menimbulkan obstruksi pada saluran kemih yang dikenal sebagai
benign prostate obstruction (BPO), yang apabila obstruksi terjadi pada leher
uretra disebut bladder outflow obstruction (BOO). Pada BPH yang membesar
dapat terjadi obstruksi infravesika atau BOO (Oelke et al., 2013). Adanya
obstruksi, baik BPO atau BOO akan menimbulkan keluhan pada saluran kemih
bawah atau LUTS (IAUI Guideline, 2015). Pembesaran kelenjar ini telah terbukti
menyumbang terjadinya LUTS yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding
symptom), gejala iritasi (storage symptom) dan gejala pascamiksi (post
micturition).
Di Amerika, menurut hasil studi Olmstead County Survey yang dilakukan
secara random pada pria Caucasian dengan rentang usia 40-79
tahun,menunjukkan 13% pria mengalami moderate-to-severe LUTS pada usia 40-
49 tahun dan 28% mengalami moderate-to-severe LUTS pada usia>70 tahun.
Hasil dari berbagai study centre di Asia menunjukkan prosentase lebih tinggi
5

dimana 18% dari pria berusia >40 tahun mengalami moderate-to-severe LUTS
dan 56% di atas usia 70 tahun (Gambar 2.1) (Roehborn, 2011). Adanya moderate-
to-severe LUTS ini berhubungan dengan kejadian retensi urin akut (AUR) sebagai
sebagai progresivitas dari BPH dimana prevalensi terjadinya adalah 7:1000 kasus
BPH per tahun (Mc Vary, 2010).

Gambar 2.1 Hubungan antara usia, BPH, BPE, BOO, dan LUTS
(Campbell dan Walsh, 2012)

Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher
vesika dan daerah prostat meningkat serta otot detrusor menjadi lebih tebal atau
mengalami fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah
dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin atau acute urine retention (AUR) (Sjamsuhidayat dan
de Jong, 2010).
Selain itu, pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
tekanan intravesika. Untuk mengeluarkan urin, vesika urinari harus berkontraksi
lebih kuat guna melawan tahanan yang terjadi. Kontraksi yang terus menerus ini
6

menyebabkan perubahan anatomi vesika urinari berupa hipertrofi otot detrusor,


trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel vesika yang dirasakan oleh
pasien sebagai keluhan pada saluran kemih bawah atau LUTS (IAUI Guideline,
2015). Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesikoureter. Apabila berlangsung terus menerus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, akhirnya dapat jatuh ke gagal ginjal (Gambar 2.2)
(Madersbacher et al., 2004).

Gambar 2.2 Skema Patofisiologi BPH (Sumber : Campbell-Walsh Urology, 2012)

2.2.5 Gejala Klinis


Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala obstruksi
berupa hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat berkemih,
double voiding, mengejan saat berkemih dan urin menetes setelah berkemih.
Gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi dan nokturia. Gejala-gejala tersebut
disebut sebagai gejala saluran kemih bagian bawah atau LUTS (Lower Urinary
Tract Symptoms), yang terdiri atas (Tabel 2.1);
7

a. Gejala obstruksi atau voiding symptom, terjadi karena detrusor gagal


berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama
sehingga kontraksi terputus-putus (Sjamsuhidayat dan de Jong, 2010).
Adanya obstruksi infravesika menyebabkan hesitansi atau awal keluarnya
urin menjadi lebih lama dan seringkali pasien harus mengejan untuk
mengeluarkan miksi. Setelah urin keluar seringkali pancarannya menjadi
lemah, tidak jauh dan kecil, bahkan urin jatuh di bawah kaki pasien. Pada
pertengahan miksi seringkali berhenti dan kemudian memancar lagi
(intermitensi).
b. Gejala iritasi atau storage symptom, terjadi karena pengosongan yang tidak
sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat akan menyebabkan
rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi
meskipun belum penuh (Sjamsuhidayat dan de Jong, 2010). Gejala iritasi
meliputi;
1) Urgensi adalah rasa sangat ingin kencing hingga terasa sangat sakit.
Keadaan ini disebabkan oleh hiperiritabilitas atau hiperaktivitas vesika
urinari.

2) Frekuensi (polakisuria) merupakan peningkatan frekuensi berkemih,


yakni kurang dari dua jam sekali. Polakisuria dapat disebabkan karena
produksi urin yang berlebihan (poliuri) atau karena kapasitas vesika
urinari yang menurun.

3) Nokturia adalah berkemih lebih dari satu kali pada saat malam hari.
Nokturia dapat disebabkan karena produksi urin meningkat ataupun
kapasitas vesika urinari yang menurun.

4) Disuria adalah nyeri pada saat miksi. Disuria yang terjadi pada awal
miksi biasanya berasal dari kelainan uretra dan jika terjadi pada akhir
miksi berasal dari kelainan oleh vesika urinari.
8

Tabel 2.1 Gejala obstruksi dan iritasi

2.2.6 Diagnosis
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan
awal dan pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus
dilakukan oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan
pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk
melakukan pemeriksaan itu. Pada 5th International Consultation on BPH (IC-
BPH) membagi kategori pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH menjadi:
pemeriksaan awal (recommended) dan pemeriksaan spesialistik urologi (optional)
(IAUI, 2015).
a. Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau
wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang
dideritanya. Anamnesis itu meliputi gambaran klinis pada saluran kemih meupun
di luar saluran kemih (Purnomo, 2014) (IAUI, 2015):
1) Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala
obstruksi dan gejala iritatif. Untuk menilai tingkat keparahan dari
keluhan pada saluran kemih bagian bawah, beberapa ahli/organisasi
urologi membuat sistem skoring yang secara subyektif dapat diisi dan
dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO
dan Asosiasi Ahli Urologi Amerika (AUA) adalah Skor Internasional
Gejala Prostat atau IPSS (International Prostatic Symptom Score) yang
9

telah distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai dan memantau


keadaan pasien BPH (Purnomo, 2014) (Tabel 2.2).
Tabel 2.2 International Prostate Symptom Score (IPSS) (IAUI, 2015)
Dalam 1 bulan terakhir Tidak < 1x < setengah Kadang- > setengah Hampir Skor
Pernah dalam kejadian Kadang (50% kejadian selalu
5x kejadian)
1. Seberapa sering Anda 0 1 2 3 4 5
merasa masih ada sisa urin
selesai kencing ?
2. Seberapa sering Anda 0 1 2 3 4 5
harus kembali kencing
dalam waktu < 2 jam dari
kencing sebelumnya ?
3. Seberapa sering kencing 0 1 2 3 4 5
anda terputus-putus ?
4. Seberapa sering anda sulit 0 1 2 3 4 5
menahan kencing ?
5. Seberapa sering Anda 0 1 2 3 4 5
mengalami kencing dengan
pancaran lemah ?
6. Seberapa sering anda 0 1 2 3 4 5
harus mengejan untuk mulai
kencing ?
Skor Total Pertanyaan 1 sampai 6 =
Dalam 1 bulan terakhir Tidak Pernah 1 2x 3 4x 5x Skor
x x

7. Berapa kali anda harus bangun tidur untuk kencing sejak mulai 0 1 2 3 4 5
tidur pada malam hari hingga bangun pagi hari ?
Skor total pertanyaan 1 sampai 7 =
Dalam 1 bulan terakhir Sangat Senang Puas Campuran Sangat Tidak Buruk Skor
Senang Antara Tidak Bahagia Sekali
Puas dan Puas
Tidak

8. Seandainya fungsi 1 2 3 4 5 6 7
kencing anda akan seperti
ini selama sisa hidup
Anda, bagaimana
perasaan Anda ?
Skor total pertanyaan 1 sampai 8 =
Skor 0-7 : Gejala Ringan ; Skor 8-19 : Gejala Sedang ; Skor 20-35 : Gejala Berat

Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki


nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35. Kuesioner IPSS dibagikan kepada
pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan
pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh. Skor 0-7
mengalami gejala ringan; skor 8-19 mengalami gejala sedang; skor 20-35
mengalami gejala berat. Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan
10

IPSS terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life
atau QoL) yang juga terdiri atas 7 kemungkinan jawaban (Purnomo, 2014).
2) Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian
atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di
pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang
merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis (Purnomo, 2014).
3) Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia
inguinalis atau hemoroid. Timbulnya penyakit tersebut karena sering
mengejan pada saat miksi sehingga meningkatkan tekanan
intraabdominal. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli
yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis
akibat retensi urin. Kadang-kadang didapati urin yang selalu menetes
tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan pertanda dari inkontinensia
paradoksa (Purnomo, 2014).
b. Pemeriksaan Fisik
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan
yang penting pada pasien BPH, di samping pemeriksaan fisik pada regio
suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari
pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat,
konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari
keganasan prostat (Mc Vary, 2010).
Colok dubur pada pembesaran prostat benigna menunjukkan konsistensi
kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak
dapatkan nodul, sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat
keras/teraba nodul dan mungkin di antara lobus prostat tidak simetris (Purnomo,
2014).
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
11

a) Urinalisis / Sedimen Urin


Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses
infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin
berguna untuk dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi
dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa
antimikroba yang diujikan dan dapat mengungkapkan adanya
leukosituria dan hematuria. Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi
saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau
terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan
pemeriksaan sitologi urine. Pada pasien BPH yang sudah mengalami
retensi urine dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak
banyak manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun
eritostiruria akibat pemasangan kateter (Purnomo, 2014).
b) Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus
urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal
akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal
ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%)
lebih sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan
mortalitas menjadi enam kali lebih banyak. Oleh karena itu
pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya
melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas
(Purnomo, 2014).
c) Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi
bukan cancer specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan
perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi
berarti: (a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat, (b) keluhan akibat
BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan (c) lebih mudah terjadinya
retensi urine akut. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami
peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi
12

prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan


prostat, dan usia yang makin tua. Rentang kadar PSA yang dianggap
normal berdasarkan usia adalah: a. 40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml; b. 50-59
tahun : 0-3,5 ng/ml; c. 60-69 tahun : 0-4,5 ng/ml; d. 70-79 tahun : 0-6,5
ng/ml. Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya
karsinoma prostat, tetapi kelompok usia BPH mempunyai resiko
terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA bersamaan dengan
colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur saja
dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia
ini pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi
kemungkinan adanya karsinoma prostat. Sebagian besar guidelines
yang disusun di berbagai negara merekomendasikan pemeriksaan PSA
sebagai salah satu pemeriksaan BPH (IAUI, 2015).
2) Pencitraan
a) Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen berguna untuk mencari adanya batu opak di
saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat
menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin, yang
merupakan tanda dari suatu retensi urin. Pemeriksaan PIV (Pielografi
Intravena) dapat menerangkan kemungkinan adanya: (1) kelainan pada
ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, (2)
memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya
indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter
di sebelah distal, dan (3) penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu
adanya trabekulasi, divertikel, atau sakulasi buli-buli. Pemeriksaan
pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai PIV atau USG,
ternyata bahwa 70-75% tidak menunjukkan adanya kelainan pada
saluran kemih bagian atas; sedangkan yang menunjukkan kelainan,
hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan penanganan
berbeda dari yang lain. Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian
atas tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali
13

jika pada pemeriksaan awal ditemukan adanya: (a) hematuria, (b)


infeksi saluran kemih, (c) insufisiensi renal (dengan melakukan
pemeriksaan USG), (d) riwayat urolitiasis, dan (e) riwayat pernah
menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia (IAUI, 2015;
Purnomo, 2014)
b) Pemeriksaan Ultrasonografi Transrektal (TRUS)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mengetahui besar atau volume
kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna,
sebagai guideline (petunjuk) untuk melakukan biopsi aspirasi prostat,
menetukan jumlah residual urine, dan mencari kelainan lain yang
mungkin ada di dalam buli-buli. Disamping itu ultrasonografi
transrectal mampu untuk mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun
kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama (Purnomo, 2014).
c) Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan Derajat Obstruksi (IAUI, 2015) (Purnomo, 2014);
(a) Residual urin yaitu jumlah sisa urin setelah miksi yang dapat
dihitung dengan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada
orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL.
Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai residual urine
kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine
tidak lebih dari 12 mL.
(b) Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu
dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin yang meliputi lama
waktu miksi, lama pancaran, waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai pancaran maksimum, rerata pancaran, maksimum
pancaran, dan volume urin yang dikemihkan. Pemeriksaan yang
lebih teliti lagi yaitu urodinamika.
14

2.2.7 Terapi
Standar informasi tentang manfaat dan bahaya dari pengobatan untuk LUTS
sekunder pada BPH harus dijelaskan kepada pasien dengan gejala sedang sampai
parah (AUA-SI Skor≥8) yang cukup digunakan untuk mempertimbangkan terapi.
Pasien harus di berikan informasi mengenai ketersediaan dan pengobatan
alternatif yang berlaku untuk kondisi klinis, serta terkait manfaat, risiko dan biaya
setiap modalitas. Jadi pasien nantinya secara aktif berpartisipasi dalam pemilihan
terapi. Beberapa pasien dengan gejala yang sangat parah mungkin akan memilih
untuk operasi, sedangkan pasien lain mungkin akan memilih untuk waspada
menunggu atau terapi medis tergantung pada pandangan individu, manfaat,
risiko,dan biaya (Tabel 2.3) (AUA, 2010).
Tabel 2.3 Terapi pasien BPH gejala sedang-berat (AUA, 2010)

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup


pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan,
keadaan pasien, maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh
penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari: (1) tanpa terapi (watchful waiting), (2)
15

medikamentosa, dan (3) terapi intervensi di Indonesia, tindakan Transurethral


Resection of the prostate (TURP) masih merupakan pengobatan terpilih untuk
pasien BPH. Perlu diketahui tidak semua pasien BPH perlu mejalani tindakan
medik namun di antaranya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau
tindakan medik (AUA, 2010).
a. Watchful Waiting
Ditujukan untuk pasien dengan gejala ringan atau sedang dengan
keluhan yang tidak mengganggu (IPSS≤7) dan pasien yang menolak
terapi medikamentosa. Pasien hanya diberikan petunjuk, di antaranya
adalah:
1) Hindari obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya serangan
LUTS atau retensi urine akut.
2) Batasi minum yang menyebabkan diuresis, terutama pada malam
hari.
3) Diperbanyak melakukan aktivitas fisik.
Setiap 6 bulan dilakukan evaluasi, dan jika tidak ada kemajuan selama
terapi atau keluhan bertambah berat perlu dipikirkan untuk pemberian
terapi medikamentosa (AUA, 2010).
b. Medikamentosa
Pasien BPH bergejala biasanya memerlukan pengobatan bila telah
mencapai tahap tertentu. Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan
yang mengganggu, apalagi membahayakan kesehatannya, direkomen-
dasikan pemberian medikamentosa. Dalam menentukan pengobatan
perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu dasar pertimbangan terapi
medikamentosa, jenis obat yang digunakan, pemilihan obat, dan
evaluasi selama pemberian obat. Perlu dijelaskan pada pasien bahwa
harga obat-obatan yang akan dikonsumsi tidak murah dan akan
dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Memakai piranti skoring IPSS
dapat ditentukan kapan seorang pasien memerlukan terapi. Sebagai
patokan jika skoring >7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi
medikamentosa atau terapi lain. Tujuan terapi medikamentosa adalah
16

berusaha untuk: (1) mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai


komponen dinamik atau (2) mengurangi volume prostat sebagai
komponen statik. Jenis obat yang digunakan adalah (AUA, 2010):
1) Antagonis Adrenergik Reseptor-α
Pengobatan dengan antagonis adrenergik-α bertujuan menghambat
kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus
leher buli-buli dan uretra yang dapat berupa:
a) Preparat non selektif: fenoksibenzamin adalah obat antagonis
adrenergik-α non selektif yang pertama kali diketahui mampu
memper-baiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan
miksi. Namun obat ini tidak disenangi oleh pasien karena
menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di
antaranya adalah hipotensi postural dan menyebabkan penyulit
lain pada sistem kardiovaskuler.
b) Preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan
indoramin yang cukup diberikan sekali sehari.
c) Preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin,
terazosin, dan tamsulosin. Doksazosin dan terazosin yang pada
mulanya adalah suatu obat antihipertensi terbukti dapat
memperbaiki gejala BPH dan menurunkan tekanan darah
pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak 5- 20% pasien
mengeluh pusing setelah pemberian doksazosin maupun
terazosin, < 5% setelah pemberian tamsulosin.
2) Inhibitor 5-α Reduktase
Finasteride dan dutasteride. Obat ini bekerja dengan cara
menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari
testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 α- redukstase di dalam
sel-sel prostat. Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat ini
mampu menurunkan ukuran prostat hingga 20-30% dan menekan
kemungkinan tindakan pembedahan hingga 50%.
17

3) Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data
farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung
mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-
estrogen, antiandrogen, menurunkan kadar sex hormone binding
globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF)
dan epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme
prostaglandin, efek antiinflamasi, menurunkan outflow resistance,
dan memperkecil volume prostat. Di antara fito-terapi yang banyak
dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya.
c. Terapi Intervensi
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan
prostat atau pembedahan dan teknik instrumentasi alternatif. Termasuk
ablasi jaringan prostat adalah: pembedahan terbuka, TURP, TUIP, laser
prostatektomi. Sedangkan teknik instrumentasi alternatif adalah
interstitial laser coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent
uretra (AUA, 2010).
1) Pembedahan
Mungkin sampai saat ini solusi terbaik pada BPH yang telah
mengganggu adalah pembedahan, yakni mengangkat bagian
kelenjar prostat yang menyebabkan obstruksi. Cara ini memberikan
perbaikan skor IPSS dan secara obyektif meningkatkan laju
pancaran urine. Guidelines di beberapa negara juga menyebutkan
bahwa terapi pembedahan diindikasikan pada BPH yang telah
menimbulkan keluhan sedang hingga berat, tidak menunjukkan
perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang
menolak pemberian terapi medikamentosa. Terdapat tiga macam
teknik pembedahan yang direkomendasikan di berbagai negara,
18

yaitu prostatektomi terbuka, insisi prostat transuretra (TUIP), dan


reseksi prostat transuretra (TURP). Dilaporkan bahwa
prostatektomi terbuka menimbulkan komplikasi striktura uretra dan
inkontinensia urine yang lebih sering dibandingkan dengan TURP
ataupun TUIP (AUA, 2010).
2) Laser Prostektomi
Energi laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak tahun 1986,
yang dari tahun ke tahun mengalami penyempurnaan. Terdapat 4
jenis energi yang dipakai, yaitu: Nd:YAG, Holmium: YAG, KTP:
YAG, dan diode yang dapat dipancarkan melalui bare fibre, right
angle fibre, atau intersitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 60o-
65oC akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari
100oC mengalami vaporisasi. Jika dibandingkan dengan
pembedahan, pemakaian laser ternyata lebih sedikit menimbulkan
komplikasi dan penyembuhan lebih cepat, tetapi kemampuan dalam
meningkatkan perbaikan gejala miksi maupun Qmax tidak sebaik
TURP. Di samping itu terapi ini membutuhkan terapi ulang 2%
setiap tahun. Kekurangannya adalah: tidak dapat diperoleh jaringan
untuk pemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak
menimbulkan disuria pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2
bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi, dan peak
flow rate lebih rendah dari pada pasca TURP. Penggunaan
pembedahan dengan energi Laser telah berkembang dengan pesat
akhir-akhir ini. Penelitian klinis memakai Nd:YAG menunjukkan
hasil yang hampir sama dengan cara desobstruksi TURP, terutama
dalam perbaikan skor miksi dan pancaran urine. Meskipun
demikian efek lebih lanjut dari Laser masih belum banyak
diketahui. Teknik ini dianjurkan pada pasien yang memakai terapi
antikoagulan dalam jangka waktu lama atau tidak mungkin
dilakukan tindakan TURP karena kesehatannya (AUA, 2010).
19

3) Tindakan Invasif Minimal


a) Termoterapi
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan > 45oC
sehingga menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat.
Gelombang panas dihasilkan dari berbagai cara, antara lain
adalah: (1) TUMT (transurethral microwave thermotherapy),
(2) TUNA (transurethral needle ablation), (3) HIFU (high
intensity focused ultrasound), dan (4) Laser. Makin tinggi suhu
di dalam jaringan prostat makin baik hasil klinik yang
didapatkan, tetapi makin banyak menimbulkan efek samping.
Teknik termoterapi ini seringkali tidak memerlukan mondok di
rumah sakit, namun masih harus memakai kateter dalam
jangka waktu lama. Sering kali diperlukan waktu 3-6 minggu
untuk menilai kepuasan pasien terhadap terapi ini. Pada
umumnya terapi ini lebih efektif daripada terapi
medikamnetosa tetapi kurang efektif dibandingkan dengan
TURP. Tidak banyak menimbulkan perdarahan sehingga
cocok diindikasikan pada pasien yang memakai terapi
antikoagulansia (AUA, 2010).
b) Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi
obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang
intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal
verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati lumen
uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau
permanen. Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan
terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan
reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali
secara endoskopi. Stent yang telah terpasang bisa mengalami
enkrustasi, obstruksi, menyebabkan nyeri perineal, dan disuria
(AUA, 2010).
20

2.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada BPH antara lain batu saluran kemih,
ISK, dekompensasi buli-buli, inkontinensia, penurunan saluran kemih bawah,
azotemia, hematuria, retensi urin akut. Retensi urin akut adalah ketidakmampuan
dari seseorang untuk mengeluarkan urin dalam buli-buli hingga kapasitas
maksimal dari buli-buli terlampaui. Adanya proses penyumbatan pada uretra,
faktor kontraksi buli-buli, kontraksi otot detrusor yang inadekuat, atau
inkoordinasi antara buli-buli dengan uretra yang menyebabkan retensi urin
tersebut (Wein, 2012).

2.3 International Prostate Symptoms Score (IPSS)


International Prostate Symptom Score (IPSS) merupakan salah satu
pemandu untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat
pembesaran prostat melalui sistem skoring keluhan. IPSS telah dikembangkan
oleh American Urology Association (AUA) dan telah distandarisasi oleh World
Health Organization (WHO) (IAUI Guideline, 2015). IPSS merupakan kuesioner
yang identik, valid, dan bersifat self-administered atau dapat diisi sendiri oleh
penderita yang digunakan untuk menilai derajat keparahan dari gejala iritasi
(storage) dan gejala obstruksi (voiding). IPSS juga menilai derajat
ketidaknyamanan yang berkaitan degan ketujuh gejala yang dinilai dari kualitas
hidup (quality of life) (AUA Guideline, 2010).
Indeks IPSS berkaitan dengan gejala LUTS yang dialami oleh pasien yang
terdiri atas:
a. IPSS-Voiding terdiri atas empat gejala obstuksi (pertanyaan nomor 1, 3,
5, dan 6) yang meliputi kencing tidak puas (incomplete emptying),
kencing terputus putus (intermittency), pancaran kencing lemah (weak
stream), dan kencing mengejan (straining).
b. IPSS-Storage meliputi tiga gejala iritasi (pertanyaan nomor 2, 4, dan 7)
yaitu sering kencing (frequency), tidak dapat menunda kencing
(urgency), dan kencing pada malam hari (nocturia).
21

c. IPSS-Quality of Life terdiri atas satu kualitas hidup pasien dengan tujuh
kemungkinan jawaban. Kebanyakan laki-laki dengan BPH dan gejala
yang tidak mempengaruhi kualitas hidup tidak selalu mencerminkan
komplikasi yang akan muncul. (Pearson dan Williams, 2014).
IPSS dibagi menjadi 3 derajat berdasarkan skornya seperti pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Derajat IPSS

1.4 Kualitas Hidup


Konsep kualitas hidup menurut WHOQoL (World Health Organization
Quality of Life) akan digunakan sebagai kerangka acuan untuk menggali kualitas
hidup pasien-pasien dan pasangannya dalam penelitian ini. Kualitas hidup
didefinisikan sebagai persepsi seseorang tentang posisinya dalam hidup dalam
kaitannya dengan budaya dan sistem tata nilai di mana ia tinggal dalam
hubungannya dengan tujuan, harapan, standar, dan hal-hal menarik lainnya
(WHOQOL Group, 1994). Definisi ini mengacu pada definisi “sehat” dari WHO
yang dinyatakan sebagai suatu keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial dan
bukan hanya terbebas dari penyakit atau kecacatan (WHO, 1994). Sebagai
konsekuensinya, pengukuran sehat dan efek dari perawatan kesehatan bukan
hanya meliputi indikasi dari perubahan frekuensi dan beratnya penyakit, tetapi
juga meliputi aspek-aspek kesejahteraan (well being). Makna kualitas hidup
muncul dari tawar menawar antara individu dengan lingkungan yang dipengaruhi
latar belakang peribadi, kesehatan, situasi sosial, budaya, dan usia (Zhan, 1992).
Menurut WHOQOL Group, kualitas hidup dapat dibagi menjadi 4 domain,
yaitu kesehatan fisik, kesehatan psikologs, hubungan sosial, dan hubungan dengan
lingkungan (Afiyanti,2010). Kualitas hidup domain fisik berkaitan erat dengan
aktivitas sehari-hari, ketergantungan terhadap obat, dan tindakan medis, energi
dan kelelahan, mobilitas, sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, serta
kapasitas kerja. Kualitas hidup domain psikologis terdiri atas bodily image
22

appearane, perasaan positif, perasaan negatif, self esteem, berpikir, belajar,


memori, dan konsentrasi. Kualitas hidup domain sosial terdiri atas relasi personal,
dukungan sosial, dan aktivitas seksual. Kualitas hidup domain lingkungan terdiri
atas sumber finansial, freedom, physical safety, security, health care, dan social
care, lingkungan rumah, kesempatan untuk berekreasi, kesempatan untuk
mendapatkan informasi dan skill, lingkungan fisik, dan transportasi (Anbarasan,
2015).
Instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup berupa lembar
pengumpulan data kuesioner. Instrumen ini merupakan versi pendek dari
instrumen kualitas hidup WHO yang semula terdiri dari 100 pertanyaan kemudian
dibuat versi pendek menjadi hanya 26 pertanyaan. Instrumen ini terdiri dari 24
pertanyaan untuk mengukur empat domain kualitas hidup seperti telah
diterangkan sebelumnya dan 2 pertanyaan untuk mengukur status sehat dan
kualitas hidup secara keseluruhan. Setiap pertanyaan memiliki 5 skala dan subjek
diminta untuk memilih salah satu skala yang paling sesuai dengan keadaan subjek.
Total skore akan terentang antara 26 sampai 130. Perhitungan skor menggunakan
rumus yang telah ditetapkan pada kuesioner untuk mendapatkan raw score
kemudian ditranformasikan dengan rumus yang telah ditetapkan WHO yaitu (raw
score-4)x100/16 untuk mendapatkan skor akhir.
Interpretasi dari skor tersebut yaitu sebagai brikut:
1. Skor Akhir 0-20 : Kualitas Hidup Sangat Buruk
2. Skor Akhir 21-40: : Kualitas Hidup Buruk
3. Skor Akhir 41-60 : Kualitas Hidup Sedang
4. Skor Akhir 61-80 : Kualitas Hidup Baik
5. Skor Akhir 81-100 : Kualitas Hidup Sangat Baik (Anbarasan, 2015)

2.6 Diabetes Mellitus Tipe 2


2.6.1 Definisi
Diabetes adalah penyakit endokrin yang sering dijumpai dengan adanya
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiperglikemia timbul karena
defisiensi insulin atau adanya faktor-faktor yang melawan aksi insulin.
23

Peningkatan kadar glukosa tersebutu dapat disertai gejala atau tidak sama sekali.
Ada yang khas pada penderita diabetes adalah adanya komplikasi kronik pada
retina atau ginjal, kerusakan saraf perifer, rentan terhadap infeksi, dan
aterosklerosis dini dibandingkan penderita bukan diabetes. Pendidikan manajemen
mandiri pasien yang sedang berlangsung dan dukungan sangat penting untuk
mencegah komplikasi akut dan mengurangi risiko komplikasi jangka panjang.
Ada bukti kuat yang mendukung berbagai intervensi untuk meningkatkan hasil
diabetes (ADA, 2016).
Dalam DM Tipe 2, pankreas dapat menghasilkan cukup jumlah insulin
untuk metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu untuk memanfaatkan
secara efisien. Seiring waktu, penurunan produksi insulin dan kadar glukosa darah
meningkat (Adhi, 2011). Diabetes mellitus sebelumnya dikatakan diabetes tidak
tergantung insulin atau diabetes pada orang dewasa. Ini adalah istilah yang
digunakan untuk individu yang relatif terkena diabetes (bukan yang absolut)
defisiensi insulin. Orang dengan jenis diabetes ini biasanya resisten terhadap
insulin. Diabetes sering tidak terdiagnosis dalam jangka waktu yang lama karena
hiperglikemia ini sering tidak berat cukup untuk memprovokasi gejala nyata dari
diabetes. Namun demikian, pasien tersebut adalah risiko peningkatan
pengembangan komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler (WHO,2006).
Faktor yang diduga menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan
hiperinsulinemia ini adalah adanya kombinasi antara kelainan genetik, obesitas,
inaktifitas, faktor lingkungan dan faktor makanan (Tjeyan, 2007).

2.6.2 Epidemiologi
Menurut Internasional of Diabetic Ferderation (IDF, 2015) tingkat
prevalensi global penderita DM pada tahun 2014 sebesar 8,3% dari keseluruhan
penduduk di dunia dan mengalami peningkatan pada tahun 2014 menjadi 387 juta
kasus. Indonesia merupakan negara menempati urutan ke 7 dengan penderita DM
sejumlah 8,5 juta penderita setelah Cina, India dan Amerika Serikat, Brazil, Rusia,
Mexico. Angka kejadian DM menurut data Riskesdas (2013) terjadi peningkatan
dari 1,1 % di tahun 2007 meningkat menjadi 2,1 % di tahun 2013 dari keseluruhan
24

penduduk sebanyak 250 juta jiwa. Diabetes tipe 2 merupakan hasil dari
ketidakefektifan penggunaan insulin dalam tubuh. Menurut WHO (2011) sekitar
90% orang dengan diabetes di seluruh dunia menderita diabetes tipe 2. Itu
merupakan sebagian besar hasil dari kelebihan berat badan dan kurangnya
aktivitas fisik.

2.6.3 Etiologi
Diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang
progresif dan adanya resistensi insulin. Pada pasien-pasien dengan Diabetes
Mellitus tak tergantung insulin (NIDDM), penyakitnya mempunyai pola familial
yang kuat. NIDDM ditandai dengan adanya kelainan dalam sekresi insulin
maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya kelihatan terdapat resistensi dari sel-
sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada
reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang
meningkatkan transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasien-pasien
dengan NIDDM terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Ini
dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsive
insulin pada membrane sel. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara
kompleks reseptor insulin dengan sistem transport glukosa. Kadar glukosa normal
dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dengan meningkatkan sekresi
insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin menurun, dan jumlah insulin yang
beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80%
pasien NIDDM mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi
insulin, maka kemungkinan besar gangguan toleransi glukosa dan diabetes
mellitus yang pada akhirnya terjadi pada pasien-pasien NIDDM merupakan akibat
dari obesitasnya. Pengurangan berat badan seringkali di kaitkan dengan perbaikan
dalam sensitivitas insulin dan pemilihan toleransi glukosa (BOP ,2010).

2.6.4 Patofisiologi
Metabolisme glukosa dalam sel memerlukan ikatan antara insulin dengan
reseptor. Reseptor yang telah berikatan dengan insulin yang berada pada
25

membrana sel tersebut, sekaligus bermanfaat pula untuk memancarkan atau


transduksi sinyal ke dalam sel. Ini diperlukan oleh sel beserta perangkatnya,
sebagai perintah atau aba-aba bagi berlangsungnya suatu proses metabolisme
glukosa. Reseptor tersebut terdiri dari 2 bagian yakni insulin receptor alpha (IR
alpha) dan insulin receptor beta (IR beta). Proses ini baru dinamai tahap 1 dari
mekanisme kerja insulin dalam metabolisme glukosa. Tahap selanjutnya (tahap
2), merupakan proses yang sampai saat ini masih rumit untuk dipahami, bahkan
ada yang sama sekali belum diketahui secara pasti. Sedangkan tahap 3 atau tahap
akhir dari proses metabolisme glukosa, merupakan tahap yang relatif mudah
dipahami yakni bagian dari proses fosforilasi dan defosforilasi (Medicinus 2014).
Perdefinisi, resistensi insulin diartikan sebagai kemunduran dari efek
fisiologis dari insulin dalam metabolisme glukosa, lipid, dan protein serta fungsi
endotel dari vaskuler. Resistensi insulin pada DMT2 merupakan defek atau
kelainan yang bersifat genetik, 1 dimana jaringan tubuh tidak memberikan
respons yang seharusnya terhadap insulin yang ada. Berdasarkan penelitian, hal
tersebut bukanlah utama disebabkan karena kurangnya reseptor insulin pada sel
secara kuantitas, tapi lebih disebabkan gangguan pada post reseptor. Gangguan
tersebut berupa pembentukan (sintesis) dan juga translokasi dari GLUT, suatu
faktor yang penting bagi pemindahan glukosa dari darah ke dalam sel untuk
selanjutnya di metabolisme (Medicinus 2014).
Pada DMT2, proses ini mengalami hambatan tidak pekanya jaringan
terhadap insulin. Hambatan utama adalah pada tahap 2, yakni pada tahap
pembentukan, pengaktivan, serta penempatan (translokasi) dari glucose
transporter (GLUT). Bagaimana mekanisme terjadinya gangguan tersebut secara
pasti belum terungkap. Di antara beberapa yang diketahui adalah bahwa pada
tahap ini terdapat peran penting peroxisome proliferator activated receptors
(PPARs) yakni proses transkripsi PPARs menerjemahkan rangsangan metabolik
dan farmakologis menjadi ekspresi gen yang penting untuk metabolisme asam
lemak dan lipid serta beberapa proses seluluer lainnya, PPAR tidak mengalami
aktivasi pada DMT2 terutama PPARγ. PPARγ merupakan suatu nuclear receptor
yang bila teraktivasi akan berfungsi dalam proses transkripsi, dan juga translokasi
26

glucose transporter. Insulin resistance merupakan masalah utama pada sebagian


besar diabetes mellitus tipe 2 (DMT2), yang tentu saja menimbulkan dampak
utama hiperglikemia, di samping dampak lainnya. Utilisasi glukosa tidak berjalan
normal, sehingga tingkat toleransi tubuh terhadap glukosa semakin rendah, dan
berakhir pada hiperglikemia. Di pihak lain, di jaringan hepar resistensi insulin
menurunkan efek inhibisi insulin terhadap proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis yang terlihat pada meningkatnya kadar glukosa darah puasa.
Sindroma resistensi insulin bahkan telah mulai muncul pada prediabetes yakni
pada tahap TGT. Hal ini menyebabkan komplikasi makrovaskuler mulai
meningkat. Selanjutnya, begitu diabetes muncul, komplikasi mikrovaskuler pun
muncul secara tajam (Medicinus 2014).
Insulin resistance dalam perjalanan penyakit, cenderung selalu mengalami
peningkatan oleh karena adanya interaksi faktor genetik dengan faktor lingkungan
(enviromental factors). Faktor lingkungan yang seringkali memicu proses tersebut
pada DMT2 adalah obesitas. Obesitas sendiri dipengaruhi kombinasi faktor
genetik (insulin resistance) dan lingkungan yang saling terkait dan mempengaruhi
satu sama lain. Interaksi kedua faktor tersebut, genetik dan lingkungan, secara
klinis akan memberikan gejala hiperglikemia yang terjadi secara langsung atau
tidak langsung (Gambar 2.3) (Medicinus 2014).

Gambar 2.3 Dampak resistensi insulin terhadap hambatan pembentukan dan translokasi
GLUT4 (Medicinus 2014).
27

2.6.5 Gejala Klinis


Aktivitas insulin yang rendah akan menyebabkan ;
a. Penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel, disertai peningkatan
pengeluaran glukosa oleh hati melalui proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis. Sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa tanpa bantuan insulin, timbul keadaan ironis, yakni terjadi
kelebihan glukosa ekstrasel sementara terjadi defisiensi glukosa
intrasel.
b. Kadar glukosa yang meninggi ke tingkat dimana jumlah glukosa yang
difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi akan
menyebabkan glukosa muncul pada urin, keadaan ini dinamakan
glukosuria.
c. Glukosa pada urin menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O
bersamanya. Keadaan ini menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai
oleh poliuria (sering berkemih).
d. Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan
dehidrasi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi
perifer karena volume darah turun mencolok. Kegagalan sirkulasi,
apabila tidak diperbaiki dapat menyebabkan kematian karena
penurunan aliran darah ke otak atau menimbulkan gagal ginjal sekunder
akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat.
e. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi
akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang
hipertonik. Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai
mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
f. Defisiensi glukosa intrasel menyebabkan “sel kelaparan” akibatnya
nafsu makan (appetite) meningkat sehingga timbul polifagia
(pemasukan makanan yang berlebihan).
g. Efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak menyebabkan
penurunan sintesis trigliserida dan peningkatan lipolisis. Hal ini akan
menyebabkan mobilisasi besar-besaran asam lemak dari simpanan
28

trigliserida. Peningkatan asam lemak dalam darah sebagian besar


digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternatif karena glukosa
tidak dapat masuk ke dalam sel.
h. Efek insulin pada metabolisme protein menyebabkan pergeseran netto
ke arah katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot
menyebabkan otot rangka lisut dan melemah sehingga terjadi
penurunan berat badan (Sherwood, L. 2011).

2.6.6 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik di bawah ini:
- Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
- Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya
keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). TTGO dengan beban 75g glukosa
lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.
29

TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat


jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus (Tabel 2.5)
(Gambar 2.4) (PERKENI, 2011)
Tabel 2.5 Kriteria diagnosis diabetes (ADA, 2011)

Gambar 2.4 Diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa (ADA, 2011)


30

2.6.7 Hubungan Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan BPH


Ada beberapa mekanisme pada orang yang menderita diabetes yang dapat
memperngaruhi terjadinya BPH.
a. Aktivitas saraf simpatis yang berlebihan
Efek dari peningkatan insulin sekunder pada pasien diabetes dapat
menyebabkan kelenjar prostat membesar. Insulin yang tinggi dalam
tubuh dapat menurunkan produksi kadar Nitric Oxide sehingga
menyebabkan meningkatnya kerja saraf dari saraf simpatis yang
mungkin memberikan kontribusi terhadap peningkatan tonus otot polos
pada kelenjar prostat.
Hiperglikemi juga memiliki peran yang penting dalam hal ini.
Hiperglikemi dapat menyebabkan peningkatan kalsium sitosol bebas
pada sel otot polos dan jaringan saraf sehingga menyebabkan aktifitas
sistem saraf simpatik (Burke, 2006).
b. Aktivitas IGF
Insulin-like Growth Factor merupakan protein kecil yang dibentuk
dari hormon pertumbuhan oleh hati dan sebagian kecil jaringan lain
yang disebut juga somatomedin. Efek somatomedin atau IGF ini
terhadap pertumbuhan banyak yang mirip dengan efek insulin terhadap
pertumbuhan. Oleh karena itu somatomedin ini disebut juga faktor
pertumbuhan yang mirip insulin (IGF).
Akibat sktruktur yang sama antara insulin dan IGF ini,
menyebabkan insulin dapat mengikat reseptor dari IGF dalam sel
prostat yang diduga dapat mengaktifkan reseptor untuk menginduksi
pertumbuhan dan proliferasi sel-sel pada kelenjar prostat sehingga
kelenjar prostat menjadi hiperplasia (Breyer dan Sarma, 2014).
c. Perubahan Metabolisme Hormon Seks
Perubahan hormonal terjadi akibat peningkatan transkripsi gen dan
translasi protein serta metabolisme sex hormone oleh insulin. Keadaan
hiprinsulinemia dapat mnyebabkan penurunan sex hormone-binding
globulin dan penurunan IGFBP-1. Penurunan SHBG menyebabkan
31

peningkatan jumlah sex hormone yang memasuki sel prostat dan


memicu pertumbuhan sel. Selain itu, penurunan SHBG dapat
menyebabkan peningkatkan rasio antara esterogen dan testosteron
(Breyer dan Sarma, 2014).
Sebagian besar pengaruh testosteron pada dasarnya dihasilkan dari
peningkatan kecepatan pembentukan protein di sel sasaran. Dalam
kelenjar prostat, testosteron memasuki sel prostat dalam waktu
beberapa menit setelah disekresikan. Kebanyakan testosteron ini akan
diubah menjadi hormon dihidrotestosteron (DHT) di bawah pengaruh
enzim intrasel 5-alfa reduktase yang kemudian berikatan dengan protein
reseptor di sitoplasma.
Hormon dihidrotestosteron (DHT) merupakan metabolit androgen
yang memiliki peran penting dalam pertambahan ukuran kelenjar
prostat. Adanya peningkatan konversi hormon testosteron menjadi DHT
menyebabkan DHT yang dihasilkan lebih banyak sehingga terjadi
peningkatan sinyal untuk melakukan proliferasi sel bagi kelenjar prostat
(Gambar 2.5) (Corona G, 2014).

Gambar 2.5 Hubungan pengaruh hormon seks terhadap BPH


(Sumber : Campbell-Walsh Urology, 2012)
32

2.6 Kerangka Konsep Penelitian

BPH

BPE

BOO

Retensi Urin LUTS DM

Gejala Pasca Miksi Gejala Voiding: Gejala Storage:


:

Quality of Life

Keterangan
Diteliti
Tidak Diteliti

Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian

BPH akan menimbulkan BPE yang menyebabkan terjadinya obstruksi


infravesika (BOO) pada saluran kemih. BOO akan meningkatkan resistensi uretra
sehingga dapat terjadi retensi urin karena urin tidak dapat mengalir keluar menuju
ke uretra. Di samping itu akibat BOO buli-buli akan merespon dengan memacu
otot detrusor untuk bekerja lebih keras dalam fungsinya mengosongkan buli-buli.
Akibat dari aktivitas berlebih detrusor dapat terjadi perubahan anatomis berupa
selula, sakula, divertikula dan hipertrofi otot detrusor yang memicu LUTS.
LUTS terdiri atas komponen storage, voiding, dan pasca miksi. LUTS yang
terjadi pada BPH adalah nocturia, urgensi, frekuensi, hesitancy, intermittency,
33

incomplete emptiying, straining, postvoid, dan terminal dribbling yang pada


akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup penderita BPH. Peneliti ingin
mengetahui perbedaan derajat keparahan dan kualitas hidup dari kedua grup,
yakni BPH dengan LUTS diabetes dengan BPH dengan LUTS non-diabetes.

2.7 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini,
1. Ada perbedaan derajat keparahan pasien Benign Prostate Hyperplasia
(BPH) dengan Diabetes Mellitus dengan pasien Benign Prostate
Hyperplasia (BPH) tanpa Diabetes Mellitus.
2. Ada perbedaan kualitas hidup pasien Benign Prostate Hyperplasia
(BPH) dengan Diabetes Mellitus dengan pasien Benign Prostate
Hyperplasia (BPH) tanpa Diabetes Mellitus.
3. Terdapat hubungan antara IPSS dan kualitas hidup WHOQOL-BREF.

Вам также может понравиться