Вы находитесь на странице: 1из 4

Al-Harits bin Asad Al-Muhasiby, seorang sufi besar, sekaligus pakar hokum dan hadits

serta sastrawan yang wafat di Baghdad pada tahun 857 M berkata bahwa

“Akal adalah insting yang diciptakan Allah swt pada kebanyakan makhluk-Nya, yang
(hakikatnya) oleh hamba-hamba-Nya – baik melalui (pengajaran) sebagian untuk sebagain yang
lain, tidak juga mereka secara berdiri sendiri – (mereka semua) tidak dapat menjangkaunya
dengan pandangan, indera, rasa, atau cicipan. Allah yang memperkenalkan (insting itu) melalui
akal itu (dirinya sendiri).”

Lebih lanjut al-Muhasiby berkata, “Dengan akal itulah hamba-hamba Allah mengenal-
Nya. Mereka menyaksikan wujud-Nya dengan akal itu, yang mereka kenal dengan akal mereka
juga. Dan dengannya mereka mengetahui apa yang bermanfaat bagi mereka dan dengannya
pula mereka mengetahui apa yang membahayakan bagi mereka. Karena itu siapa yang
mengetahui dan dapat membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya baginya
dalam urusan kehidupan dunianya, maka dia telah mengetahui bahwa Allah telah
menganugerahinya dengan akal yang dicabutnya dari orang gila atau yang tersesat dan juga
dari sekian banyak orang picik yang hanya sedikit memiliki akal.”

Ada lagi yang berpendapat bahwa akal terdiri dari dua macam. Akal yang merupakan
anugerah Allah dan akal yang dapat diperoleh dan dikembangkan oleh manusia melalui
penalaran, pendidikan, dan pengalaman hidup.

Al-Ghazali, sufi yang filosof itu, mengingatkan bahwa kata “akal” mempunyai banyak
pengertian. Ia dapat berarti potensi yang membedakan manusia dari binatang dan yang
menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan teoritis. Makna ini tidak jauh
berbeda dengan pendapat al-Muhasiby di atas. Akal juga berarti pengetahuan yang dicerna
oleh seorang anak yang telah mendekati usia dewasa, di mana – misalnya – ia dapat
mengetahui sesuatu tidak mungkin ada pada sesuatu yang pada saat yang sama ia tidak ada
juga di tempat itu, atau dua itu lebih banyak dari satu. Makna ketiga dari akal, menurut al-
Ghazali, adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasar pengalaman yang dilaluinya
dan yang pada gilirannya memperhalus budinya. Menurut kebiasaan, orang yang demikian ini
dinamai “orang berakal”, sedang orang yang kasar budinya dinamai “tidak berakal”. Makna
keempat dari akal adalah kekuatan insting yang menjadikan seseorang mengetahui dampak
semua persoalan yang dihadapinya, lalu mampu menekan hawa nafsunya serta mengatasinya
agar tidak terbaur larut olehnya.
Hakikat hati adalah tidak terlihat dan samar bagi panca indera manusia. Namun ,
keberadaan hati dapat dirasakan. Keberadaan hati pun termasuk perkara ghaib bagi manusia,
sama halnya dengan ruh. Oleh sebab itu, Al-Ghazali menempatkan hati pada hakikat ruh. Ia
menyebut hati sebagai bagian dari jenis malaikat.karena hati adalah suatu bentuk abstrak bagi
manusia atau tidak dapat dilihat oleh panca indera manusia.

Pengertian hati menurut Islam juga merupakan tempat memperolehnya pengetahuan


secara hakiki setelah panca indera. Jika saja Allah tidak menciptakan hati kepada manusia,
maka seseorang tidak akan mengetahui sesuatu sampai hakikatnya. Sebagaimana firman Allah
SWT:

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu pun dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati supaya kamu
bersyukur.” (Al Quran Surat An-Nahl [16] ayat 78.

Definisi lebih lanjut, ulama mengatakan bahwa hati adalah tempatnya akal (pikiran), dan
hati memiliki cahaya yang terkoneksi, terhubung sampai ke akal dan otak.jadi, tanpa hati
seorang manusia tidak dapat berfikir, serta tidak dapat membedakan antara kebaikan dan
keburukan.

Karena itu, hati merupakan instrumen terpenting dalam diri manusia. Objeknya tidak
hanya terhadap hal-hal yang bersifat profan, tapi nilai objektivitas dari hati adalah untuk
mencapai hal-hal yang bersifat spiritual dan sakral, seperti halnya ketulusan atau keikhlasan
dan rasa syukur, bahkan untuk mengenal Allah (al-ma’rifah; makrifat) sebagaimana nanti akan
dijelaskan.

Oleh sebab itu, tanpa mengupayakan hati maka dapat menjerumuskan manusia ke
dalam lembah kesesatan. Hal ini terjadi ketika orang-orang musyrik mendustakan kebenaran
Rasulullah Saw sehingga membawa mereka ke dalam azab yang pedih. Sebagaimana telah Allah
jelaskan di dalam Al-Quran:

“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka (musyrikin) dan penglihatan
mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 7).

Hati adalah sarana vital dalam menerima suatu kebenaran. Seseorang tanpa
mengupayakan hatinya dalam kebaikan maka akan terjatuh ke dalam kekufuran. Sebaliknya,
bila mengupayakannya dalam kebaikan akan menghantarkannya ke dalam rasa syukur dan jalan
keselamatan.
Hati sangat berpengaruh terhadap tindakan seseorang. Bila hatinya baik, maka
perilakunya pun baik. Dan sebaliknya, jika hatinya keruh maka tindakannya pun buruk.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan sahabat Abu Abdillah An-Nu’man bin
Basyir R.A:

“Sesungguhnya di dalam jasad (badan) terdapat segumpal daging, jika ia bagus maka
seluruh jasadnya bagus. Dan jika rusak maka seluruh jasadnya pun rusak. Ingatlah! Segumpal
daging itu adalah hati.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

Maka tidak heran jika hati sangat mempengaruhi tindakan seseorang. Karena hati
merupakan penyebab dari baik dan tidaknya perilaku seseorang. Ulama mengatakan , “hati
adalah raja. Ketika yang merawatnya bagus, maka rakyatnya pun bagus.”

Maksudnya adalah hati itu seperti raja bagi keseluruhan anggota badan, sekaligus
tindakan seseorang. Maka, ketika yang merawat hati itu dapat mengupayakannya dalam
kebaikan, maka seluruh anggota badan sekaligus perilakunya menjadi baik pula. Hal ini selaras
dengan hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudri R.A, Rasulullah bersabda:

“Sepasang mata adalah petunjuk. Sepasang telinga adalah corong. Lisan adalah juru
bicara. Kedua tangan adalah sayap. Perut adalah kasih sayang. Limpa adalah senyuman. Paru-
paru adalah jiwa. Kedua pinggang adalah tipu daya. Dan hati adalah raja. Ketika rajanya
bagus, maka rakyatnya pun bagus. Dan jika rajanya rusak, maka rakyatnya pun rusak. (HR Ibnu
Hibban, Abu syaikh dan Abu Nu’aim).

Ulama mengatakan, penglihatan, pendengaran dan indera pencium laksana daya


kekuatan yang dilihat dan dipertimbangkan oleh jiwa. sedangkan hati adalah rajanya. Jika yang
merawatnya baik maka baik pula rakyatnya. Sekali lagi, hati adalah instrumen penggerak dari
aktivitas dan perilaku manusia. Perilaku seseorang tidak dapat terpisah dari kondisi hatinya.

Jika bijaksana dalam mengupayakan hatinya, maka seseorang bisa mempertimbangkan


perbuatannya dan membawanya ke jalan yang benar. Sebaliknya, jika tidak bijaksana maka
akan memalingkannya ke jalan yang menyimpang. Contohnya adalah riya’, hasud, tamak, dan
berbagai macam penyakit hati lainnya.

Menurut Islam seperti yang disampaikan Al-Ghazali, pengertian hati adalah elemen yang
berharga bagi seorang hamba. Hati merupakan tempat mengenal Allah.

Al-Ghazali menyebutkan bahwa di dalam hati terdapat hal-hal yang berarti, yaitu hati
memiliki akal. Dan tujuannya adalah untuk mengenal Allah (makrifatullah). Hati memiliki
penglihatan yang digunakan untuk berhadapan dengan kehadirat ilahi. Dan hati memiliki niat
yang tulus dan keikhlasan dalam ketaatan terhadap Allah Swt.

Hati memiliki ilmu-ilmu dan kebijaksanaan yang menghantarkan seorang hamba kepada
tingkat kemuliaan dan akhlak yang terpuji. Menurut Al-Ghazali, sudah sepatutnya seorang
hamba senantiasa menjaga dan merawat hatinya dari segala kekotoran duniawi. Wallahu a’lam
bi as-showab.

Вам также может понравиться