Вы находитесь на странице: 1из 15

MANAJEMEN NYERI

Kenapa “pain” harus ditangani di RS Panti Waluyo Yakkum Surakarta ?


1. Hak pasien untuk terbebas dari rasa nyeri & HAM
2. Merupakan vital sign yang kelima
3. JCI/KARS
4. UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatanà BAB III ; pasal 5 ayat 2
o Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, dan terjangkau.
Manajemen nyeri
TIU  membantu pasien mengatasi rasa nyeri secara efektif
TIK :
a.) Identifikasi pasien dengan kemungkinan nyeri, saat asessment dan reassesment
b.) Memberikan pelayanan pain management sesuai SPO
c.) Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang apa yang mereka alami dan rencana
penatalaksanaan

Definisi Nyeri
Nyeri adalah suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang
dihubungkan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadinya kerusakan jaringan.(IASP)
VAS (Visual analoge scale)

 CARA MENILAI:
1. Dokter atau perawat menjelaskan kepada pasien arti dari angka-angka 0-10. Semakin
mendekati nol intensitas (tingkatan/ukuran) nyeri semakin ringan. Semakin mendekati
angka 10 intensitas nyeri semakin kuat .
2. Selanjutnya pasien diminta untuk membuat tanda digaris (0-10 cm) tersebut untuk
mengekspresikan nyeri yang dirasakan.
3. Nilai VAS antara 0-3 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan
sebagai target untuk tatalaksana analgesia.
4. Nilai VAS ≥4 cm dianggap nyeri sedang menuju berat.
Numeric Rating Pain Scale ( Anak diatas 7 tahun dan dewasa )

CARA MENILAI :
Pasien diminta untuk menyebutkan skala nyeri pasien dari 0 sampai 10
Numeric Rating Scale:
 0=tidak merasakan nyeri; dan 10=nyeri yang berat
 Nyeri ringan skala 1-3
 Nyeri sedang skala 4-7
 Nyeri berat 8-10

Wong Baker Faces Pain Rating Scores


(dewasa dan anak-anak ( > 3 tahun ) yang tidak dapat menjelaskan intensitas nyeri yang
dirasakan

Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua,
pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.
CARA MENILAI
Cukup dengan melihat ekspresi wajah pasien saat sedang diperiksa
Wong-Baker Face Scale:
0=tidak merasakan nyeri; dan 10=nyeri yang sudah berat.
Nyeri ringan 1-3
Nyeri sedang 4-6 Nyeri berat 7-10
Kapan dilakukan penilaian nyeri?
 Sejak pertama kali pasien tersebut diperiksa
 Dilakukan penilaian kembali setelah pemberian penatalaksanaan nyeri
Kapan dilakukan pengkajian ulang nyeri :
 Setiap 30 menit – 1 jam setelah pemberian obat nyeri (tatalaksana nyeri)
 Setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat intra vena pada pasien kardiak.
 Pada pasien yang menjalani prosedur yang menyakitkan
 Setiap shift jaga
 Sebelum transfer
 Sebelum pasien pulang.
VAS < 4 artinya :
 Nyeri ringan
 Diberikan terapi non farmakologi seperti penjelasan kepada pasien atau diberikan
terapi farmakologi seperti Paracetamol.

VAS ≥ 4 artinya :
 Nyeri sedang dan nyeri berat
 Diberikan terapi farmakologi seperti NSAID dan Opioid.

Keterangan:
Pasien nyeri poliklinik bedah atau non bedah:
1. Ditangani di tempat sesuai dengan penyakit dasar nya bedah atau non bedah (poli
bedah atau non bedah.
2. Poliklinik selain pain clinic boleh menangani nyeri sambil melakukan diagnosis
penyakit dasar pasien.
3. Jika VAS ≥ 4 setelah pengobatan yang kedua maka DPJP poliklinik ditempat pasien
pertama sekali masuk harus mengkonsultasikannya ke tim pain clinic
4. Tim pain clinic wajib memberi saran dan berkoordianasi dengan DPJP sebelumnya
untuk mengobati penyakit dasar pasien seperi apakah memerlukan tindakan
pembedahan atau tidak.
5. Pasien yang mengeluhkan nyeri dapat langsung menuju poliklinik nyeri. Tetapi, tim
pain clinic wajib berkoordinasi dengan DPJP bedah atau non bedah untuk mengatasi
penyakit dasar pasien (penyebab nyeri).

Keterangan:
Jika ditemukan pasien mengeluhkan nyeri:
1. Untuk penangan nyeri akut setelah operasi harus melibatkan semua pihak, dokter,
perawat serta farmasi
2. Gagal menangani nyeri akut ini akan berdampak luka operasi sulit sembuh, muncul
nyeri kronik dan perawatan pascaoperasi akan lebih lama.
3. Penangaan nyeri didahului dengan penilaian nyeri dan pengobatannya dapat
disesuaikan dengan WHO STEP LADER.
4. Opioid dapat menjadi pilihan untuk nyeri pascaoperasi (morfin atau fentanyl).
5. Penggunaan analgetik dengan anestesi lokal sangat dianjurkan seperti Epidural
analgesia.
6. NSAID dapat digunakan sebagai analgetik tunggal atau dikombinasi dengan opioid.

Keterangan:
Jika ditemukan pasien mengeluhkan nyeri: Perawat diruangan menilai derajat nyeri. Jika VAS
< 4 dilakukan terapi non farmakologi seperti edukasi, menenangkan pasien dll. Jika VAS ≥ 4
maka perawat ruangan harus melapor ke DPJP yang bertugas saat itu. DPJP harus
memberikan terapi penganagan nyeri secara farmakologis ataupun non farmakologis. DPJP
harus mengevaluasi terapi setelah 1 jam. Jika nyeri tidak berkurang atau VAS≥4 maka DPJP
wajib mengkonsultasikannya ke tim pain clinic.
Keterangan:
1. Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri harus di screening dan dilakukan
pengobatan oleh dokter triase jika VAS < 4.
2. Jika VAS ≥ 4 dokter triase wajib mengkonsultasikan ke DPJP spesialis yang sedang
bertugas sesuai dengan penilaian pertama mengenai penyakit dasar pasien, misalnya
nyeri diseluruh lapangan perut ke DPJP bedah digestive.
3. Jika setelah ditangani oleh DPJP yang pertama VAS ≥ 4 maka DPJP tersebut wajib
mengkonsultasikannya ke DPJP tim pain clinic.
4. DPJP spesilis bedah atau non bedah serta DPJP pain clinic atau anestesi harus
melakukan koordinasi mengani penanganan nyeri pasien tersebut.
5. Sebaiknya menggunakan obat antinyeri intravena agar mendapat hasil penangan nyeri
yang cepat serta dapat mengevaluasi dengan cepat apakah nyeri berkurang atau tidak.

Pengertian nyeri
1. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
2. Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori
subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan
Fisiologi nyeri
1. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam
kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri
(nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf
perifer.
2. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian
tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah
viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki
sensasi yang berbeda.
3. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan
kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
4. Reseptor A delta
5. Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab
nyeri dihilangkan
6. b. Serabut C
7. Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
8. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena
struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul
dan sulit dilokalisasi.
9. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-
organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul
pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat
sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)


1. Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor
dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang
mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali
nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)
2. Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri
dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf
pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah
pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya
menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
3. Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden
dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi
C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme
pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal,
yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan
yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme
pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat
menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan
menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut
delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien
mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak,
terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf
desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu
pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup
mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik
distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan
endorfin (Potter, 2005)

Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi
atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1. Bahaya atau merusak
2. Komplikasi seperti infeksi
3. Penyakit yang berulang
4. Penyakit baru
5. Penyakit yang fatal
6. Peningkatan ketidakmampuan
7. Kehilangan mobilitas
8. Menjadi tua
9. Sembuh
10. Perlu untuk penyembuhan
11. Hukuman untuk berdosa
12. Tantangan
13. Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14. Sesuatu yang harus ditoleransi
15. Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
16. Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan,
persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
Respon fisiologis terhadap nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI

2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)


a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri


1. Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
4. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari &
5. tangan
6. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari
kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda
terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat
menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis.
Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat
dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri
dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat
penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap
orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan
berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi
tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang
yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri
kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa
bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya
mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang
berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap
individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan
sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
6. Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah,
vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan
perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus
melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena
belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-
kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
7. 3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
8. Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih
membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan
klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang,
maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat
berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri


1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri
pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan
mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami,
karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka
takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki
mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri
misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang
harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada
nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan
bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi
persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri
yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang
menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang
cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang
sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang
mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola
koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau
teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu,
pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam
intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua
orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin
adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri
itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik


3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :
0 :Tidak nyeri
4-6 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi
masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi
10 Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri
tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan,
sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari
waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif.
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang
terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di
sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang
tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk
memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh
nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan.
Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.
Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai
pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan
skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan
setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah
suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi
verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri
yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari
pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak
mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca
dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat
bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi
perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala
menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau
peningkatan (Potter, 2005).

sumber
Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal :
87.
Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm : 76-80
Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.
Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm :
123-136.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63
Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC.
Hlm 1502-1533.

Sakit Tetapi Tidak Boleh Nyeri: Standar Manajemen Nyeri di RS


Lucia Evi Indriarini, SE

Gambaran menjadi pasien di rumah sakit yang


identik dengan berbagai jenis pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak rumah sakit,
acap kali memberikan ketakutan tersendiri bagi pasien akan rasa nyeri yang dapat menyertai
proses pemberian pelayanan kesehatan tersebut. Sebagai contoh, bagaimana proses transfusi
darah dapat memberikan rasa nyeri bagi si pasien, ataupun tindakan medis lainnya yang dapat
memberikan rasa nyeri pada pasien. Sumber-sumber nyeri dapat meliputi; prosedur tindakan
medis, tindakan keperawatan, dan prosedur diagnostik.
Nyeri sendiri dapat didefinisikan sebagai "pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial
atau dilukiskan dalam istilah seperti kerusakan" (The International Association for the Study
of Pain, 1979).
Namun dewasa ini, banyak rumah sakit yang telah melakukan upaya intensif untuk mengelola
rasa nyeri tersebut, sehingga rasa nyeri yang menyertai tindakan medis, tindakan
keperawatan, ataupun prosedur diagnostik pada pasien dapat diminimalkan atau dilakukan
tindak lanjut yang teratur, sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh rumah sakit dan
kebutuhan pasien. Nyeri yang dirasakan pasien dikelola dengan melakukan pemantauan
secara kontinyu dan terencana. Bahkan dalam akreditasi Joint Commission International (JCI)
isu manajemen nyeri ini menjadi salah satu elemen penilaian yang dipersyaratkan untuk
dipenuhi oleh pihak rumah sakit. Berbagai bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
pasien harus mengacu pada pedoman pengelolaan rasa nyeri. Hal ini seperti tercantum dalam
standar akreditasi JCI berikut:
1. Patient and Family Rights (PFR) PFR 2.4 Rumah sakit mendukung hak pasien untuk
mendapatkan asesmen dan pengelolaan rasa sakit yang tepat.
2. Assessment of Patients (AOP) AOP 1.7 Semua pasien rawat inap dan rawat jalan
diperiksa apakah mengalami rasa nyeri dan diperiksa mengenai rasa nyeri tersebut jika
ada.
3. Care of Patients (COP) COP 6. Pasien didukung secara efektif dalam mengelola rasa
nyerinya.
COP 7.1. Perawatan pasien dalam keadaan menjelang ajal mengoptimalkan kenyamanan dan
martabatnya.
Proses penerapan manajemen nyeri ini memerlukan peran aktif dari seluruh civitas hospitalia
yang memberikan pelayanan kesehatan pada pasien, serta peran langsung dari pasien itu
sendiri, dimana pasien didorong untuk menyampaikan rasa nyeri yang mereka alami.
Sedangkan pada proses pelaksanaannya, pihak rumah sakit dapat mempergunakan beberapa
alternatif tools yang dapat dipergunakan untuk mengukur dan mengkaji intensitas nyeri. Skala
pengukuran nyeri sendiri dapat didasarkan pada self report, observasi (perilaku), atau data
fisiologis.
Berikut adalah beberapa tools yang dapat dipergunakan berdasar pada 'self report' pasien :
1. Verbal Rating Scale (VRS): Verbal Rating Scale merupakan jenis pengukuran nyeri
yang telah lama dipergunakan dan merupakan pengukuran nyeri dalam bentuk
sederhana. Dapat berupa pertanyaan sederhana 'apakah anda merasa nyeri?', yang
dapat dijawab pasien dengan 'iya' atau 'tidak'. Namun, biasanya dalam pengukuran ini
mempergunakan 4 sampai dengan 5 titik intensitas skala dengan deskripsi seperti;
tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri sedang, sangat nyeri.
2. Visual Analog Scale (VAS): Visual Analog Scale (VAS) adalah instrumen untuk
mengukur besarnya nyeri pada garis sepanjang 10 cm. Biasanya berbentuk horizontal
atau vertikal, dan garis ini digerakkan oleh gambaran intensitas nyeri yang memiliki
range dari tidak nyeri sampai dengan rasa nyeri yang ekstrim.
3. Numerical Rating Scale (NRS): Numerical Rating Scale (NRS) hampir sama dengan
Visual Analog Scale, tetapi memiliki angka-angka sepanjang garisnya, kisaran angka
0-10 dan pasien diminta untuk menunjukkan rasa nyeri yang dirasakannya.
4. Faces Rating Scale dari Wong Baker: Instrumen dengan menggunakan Faces Rating
Scale terdiri dari 6 gambar skala wajah yang bertingkat dari wajah yang tersenyum
untuk "no pain" sampai wajah yang berlinang air mata. Pasien dapat menunjukkan
dengan gambar, tingkat rasa nyeri yang dirasakannya.
Manajemen nyeri menjadi salah satu isu penting dalam proses pemberian layanan kesehatan
kepada pasien. Pada implementasinya pelayanan bermutu diberikan dengan mempedulikan
rasa nyeri yang dialami pasien, didukung dengan tools pengkajian nyeri yang sesuai dan
terdokumentasi dengan baik serta pemberian manajemen nyeri sesuai pedoman yang
ditetapkan.

Referensi:
D. Gould et al. (2001). Journal of Clinical Nursing. Blackwell Science Ltd. Hockenberry MJ,
Wilson D (2009). Wong's Essentials of Pediatric Nursing. 8th Edition. St. Louis. Mosby.
John Hughes. (2008).
Pain Management: From Basic to Clinical Practice, 1st Edition. Churchill Livingstone
Elsevier. Joint Commission International Standar Akreditasi Rumah Sakit. Edisi Ke-4. Tahun
2010.

Вам также может понравиться