Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TIM DOSEN
Rayhani Sholihatul Mukaromah, S.Kep., Ners., M. Kep
Disusun Oleh:
Aaz Miraj AK.1.16.002
Dini Erika Sandi AK.1.16.012
Mia Aminah AK.1.16.038
N. Aneu Nur’aeni AK.1.16.040
Palma Alfira AK.1.16.042
Sandra Febriani AK.1.16.045
Kelas A, Kelompok 6
Puji dan syukur Tim penulis panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa atas
Rahmat-Nya yang telah dilimpahkan sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah
yang berjudul “Asuhan Keperawatan Lansia dengan Gangguan Kognitif dan
Intelektual” yang merupakan salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan masih terdapat beberapa
kekurangan, hal ini tidak lepas dari terbatasnya pengetahuan dan wawasan yang
penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan
saran yang konstruktif untuk perbaikan di masa yang akan datang, karena manusia
yang mau maju adalah orang yang mau menerima kritikan dan belajar dari suatu
kesalahan.
Akhir kata dengan penuh harapan penulis berharap semoga makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Lansia dengan Gangguan Kognitif dan Intelektual”
mendapat ridho dari Allah SWT, dan dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca umumnya. Amiin....
Tim Penulis
i
Daftar Isi
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
Daftar Pustaka 55
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas
Keperawatan Gerontik. Selain itu untuk memberikan wawasan dan pengetahuan
mengenai konsep asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan kognitif dan
intelektual.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
a. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 th) sebagai masa
vibrilitas
b. Kelompok usia lanjut (55-64 th) sebagai presenium
c. Kelompok usia lanjut (65 th >) sebagai senium
4
Teori ini fokus pada genetik memprogram genetik DNA, dimana
kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, dimana penuaan dan
usia hidup kita telah ditentukan secara genetik.
7. Teori Radikal Bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena
terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang
waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang
memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki
sifat reaktivitas tinggi, karena kecenderungan menarik elektron dan
dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena
hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain.
5
Pada tahap ini penurunan kadar hormone terus berlanjut yang
meliputi DHEA, melatonin, growth hormon, testosteron,
estrogen dan juga hormon tiroid. Terjadi penurunan bahkan
hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin dan
mineral. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh
mulai mengalami kegagalan.
6
1) Sumber pendapatan resmi: Pensiunan ditambah sumber
pendapatan lain kalau masih bisa aktif.
2) Sumber pendapatan keluarga: Ada bahkan tidaknya bantuan
keuangan dari anak atau keluarga lainnya atau bahkan masih ada
anggota keluarga yang tergantung padanya.
3) Kemampuan pendapatan: Lansia memerlukan biaya yang lebih
tinggi, sementara pendapatan semakin menurun. Status ekonomi
sangat terancam, sehinga cukup beralasan untuk melakukann
berbagai perubahan besar dalam kehidupan, menentukan kondisi
hidup yang dengan perubahan status ekonomi dan kondisi fisik.
7
Ada kecenderungan lansia untuk menjauhkan diri dari hub.sosial,
namun keluarga menjadi fokus interaksi lansia dan sumber utama
dukungan sosial.
8
dapat mengeras karena meningkatnya keratinin. Terjadinya
perubahan penurunan pendengaran pada lansia yang mengalami
ketegangan jiwa atau stress.
d. Sistem Penglihatan
Perubahan pada sistem penglihatan meliputi: timbulnya
sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih
berbentuk sferis (bola), terjadi kekeruhan pada lensa yang
menyebabkan katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar,
daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat
pada cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang
pandang, serta menurunnya daya untuk membedakan warna biru
atau hijau. Pada mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah
ukuran pupil menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan
juga terhadap akomodasi, lensa menguning dan berangsur-angsur
menjadi lebih buram mengakibatkan katarak, sehingga
memengaruhi kemampuan untuk menerima dan membedakan
warna-warna. Kadang warna gelap seperti coklat, hitam, dan marun
tampak sama. Pandangan dalam area yang suram dan adaptasi
terhadap kegelapan berkurang (sulit melihat dalam cahaya gelap)
menempatkan lansia pada risiko cedera. Sementara cahaya
menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi kemampuan
untuk membedakan objek-objek dengan jelas, semua hal itu dapat
mempengaruhi kemampuan fungsional para lansia sehingga dapat
menyebabkan lansia terjatuh.
e. Sistem Kardiovaskuler
Perubahan pada sistem kardiovaskuler meliputi: terjadinya
penurunan elastisitas dinding aorta, katup jantung menebal dan
menjadi kaku, menurunnya kemampuan jantung untuk memompa
darah yang menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya,
kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi yang
9
dapat mengakibatkan tekanan darah menurun (dari tidur ke duduk
dan dari duduk ke berdiri) yang mengakibatkan resistensi pembuluh
darah perifer.
f. Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
Perubahan pada sistem pengaturan tempertur tubuh meliputi:
pada pengaturan sistem tubuh, hipotalamus dianggap bekerja
sebagai thermostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu,
kemunduran terjadi berbagai faktor yang mempengaruhinya,
perubahan yang sering ditemui antara lain temperatur suhu tubuh
menurun (hipotermia) secara fisiologik kurang lebih 35°C, ini akan
mengakibatkan metabolisme yang menurun. Keterbatasan refleks
mengigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga
terjadi rendahnya aktivitas otot.
g. Sistem Respirasi
Perubahan sistem respirasi meliputi: otot pernapasan
mengalami kelemahan akibat atropi, aktivitas silia menurun, paru
kehilangan elastisitas, berkurangnya elastisitas bronkus, oksigen
pada arteri menurun, karbon dioksida pada arteri tidak berganti,
reflek dan kemampuan batuk berkurang, sensitivitas terhadap
hipoksia dan hiperkarbia menurun, sering terjadi emfisema senilis,
kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan otot pernapasan
menurun seiring pertambahan usia.
h. Sistem Pencernaan
Perubahan pada sistem pecernaan, meliputi: kehilangan gigi,
penyebab utama periodontal disease yang bisa terjadi setelah umur
30 tahun, indra pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf
pengecap terhadap rasa asin, asam dan pahit, esofagus melebar, rasa
lapar nenurun, asam lambung menurun, motilitas dan waktu
pengosongan lambung menurun, peristaltiklemah dan biasanya
timbul konstipasi, fungsi absorpsi melemah, hati semakin mengecil
dan tempat penyimpanan menurun, aliran darah berkurang.
10
i. Sistem Perkemihan
Perubahan pada sistem perkemihan antara lain ginjal yang
merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui
urine, darah masuk keginjal disaring oleh satuan (unit) terkecil dari
ginjal yang disebut nefron (tempatnya di glomerulus), kemudian
mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun
sampai 50% sehingga fungsi tubulus berkurang, akibatnya,
kemampuan mengkonsentrasi urine menurun, berat jenis urine
menurun. Otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, sehingga
kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan buang air
seni meningkat. Vesika urinaria sulit dikosongkan sehingga
terkadang menyebabkan retensi urine.
j. Sistem Endokrin
Perubahan yang terjadi pada sistem endokrin meliputi:
produksi semua hormon turun, aktivitas tiroid, BMR (basal
metabolic rate), dan daya pertukaran zat menurun. Produksi
aldosteron menurun, Sekresi hormon kelamin, misalnya
progesterone, estrogen, dan testoteron menurun.
k. Sistem Integumen
Perubahan pada sistem integumen, meliputi: kulit mengerut
atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit
cenderung kusam, kasar, dan bersisi. Timbul bercak pigmentasi,
kulit kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu, berkurangnya
elestisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi, kuku jari
menjadi keras dan rapuh, jumlah dan fungsi kelenjar keringat
berkurang.
l. Sistem Muskuloskeletal
Perubahan pada sistem muskuloskeletal meliputi: tulang
kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh, kekuatan dan
stabilitas tulang menurun, terjadi kifosis, gangguan gaya berjalan,
tendon mengerut dan mengalami sklerosis, atrofi serabut otot,
11
serabut otot mengecil sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram,
dan menjadi tremor, aliran darah keotot berkurang sejalan dengan
proses menua. Semua perubahan tersebut dapat mengakibatkan
kelambanan dalam gerak, langkah kaki yang pendek, penurunan
irama. Kaki yang tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih
cenderung gampang goyah, perlambatan reaksi mengakibatkan
seorang lansia susah atau terlambatmengantisipasi bila terjadi
gangguan terpeleset, tersandung, kejadian tiba-tiba sehingga
memudahkan jatuh.
12
praksis, visuospasial, atensi serta konsentrasi, kalkulasi, mengambil
keputusan (eksekusi), reasoning dan berpikir abstrak (Wiyoto, 2012).
a. Memori
Memori dapat didefinisikan sebagai kemampuan dalam menyimpan
dan mengulang kembali informasi yang diperoleh yang terdiri dari 3
tahap. Tahap pertama yaitu encoding yang merupakan fungsi
menerima, proses, dan penggabungan informasi. Tahap kedua yaitu
storage merupakan pembentukan suatu catatan permanen dari
informasi yang telah dilakukan encoding. Tahap yang ketiga yaitu
retrieval merupakan suatu fungsi memanggil kembali informasi yang
telah disimpan untuk interpretasi dari suatu aktivitas (Satyanegara et
al, 2010).Memori merupakan suatu proses biologis yang melibatkan
jutaan sel neuron yang saling membentuk sinaps yang
kemudianmentransmisikan impulsnya melalui suatu neurotransmiter
asetilkolin, sehingga fungsi memori dapat disalurkan. Apabila terjadi
peningkatan pemakaian fungsi memori maka sinaps antar neuron yang
terbentuk akan semakin bertambah yang mengakibatkan semakin
meningkatnya kapasitas dari memori (Guyton & Hall, 2008).
Hipokampus merupakan suatu bagian otak yang terletak medial dari
girus temporal yang berperan penting dalam fungsi memori, yaitu
memproses informasi yang masuk melakukan konsolidasi dari
memori jangka pendek, serta memilah informasi yang penting untuk
dijadikan memori jangka panjang. Hipokampus juga berfungsi
sebagai memori spasial yaitu memori mengenai navigasi lokasi.
Berbagai penelitian telah dilakukan dan ditemukan bahwa pada
penderita alzheimer terjadi kerusakan pada hipokampus yang berefek
pada penurunan fungsi memori. Penelitian lain juga dilakukan pada
tikus yang diambil lobus temporalnya mengalami kesulitan dalam
menentukan lokasi. Fungsi hipokampus dapat terganggu, misal pada
kejadian hipoksia, ensepaalitis, epilepsi lobus temporal yang berakibat
pada terjadinya amnesia (Guyton & Hall, 2008).
13
Pembagian klasifikasi memori sangat beragam ada beberapa
pendapat ahli yang membagi memori secara berbeda-beda. Menurut
American Academy of Neurology fungsi memori secara garis besar
dibagi menjadi 3 kategori yaitu, short term memory yang
merupakankemampuan seseorang dalam mengingat informasi baru
misalnya pada saat kita mengingat nomor telepon baru. Kategori
kedua adalah long term memory adalah kemampuan seseorang dalam
mengingat perihal yang pernah kita pelajari atau dapat pada masa
lampau, misalnya kemampuan mengingat nama teman masa kecil.
Kategori ketiga adalah working memory yaitu fungsi pengerjaan dua
aktivitas secara sekaligus misalnya saat kita melakukan penghitungan
terhadap pembagian angka, kita harus menyimpan satu angka hasil
dan pada waktu yang bersamaan kita melakukan penghitungan
terhadap angka yang lain. Ketiga fungsi memori tersebut akan
terpengaruhi fungsinya pada proses penuaan (Lumbantobing, 2007).
Berdasarkan neurologi klinis, fungsi memori dibagi dalam tiga
tingkatan bergantung lamanya rentang waktu antara stimulus dan
recall, yaitu:
a) Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara
stimulus dan recall hanya beberapa detik. Disini hanya
dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention).
b) Memori baru (recent memory), rentang waktunya lebih lama
yaitu beberapa menit, jam, hari.
c) Memori lama (remote memory), rentang waktumya bertahun-
tahun bahkan seumur hidup (Satyanegara et al, 2010).
b. Bahasa
Berbahasa merupakan suatu instrumen dasar bagi manusia untuk
berkomunikasi antara satu orang dengan yang lainnya. Bila terdapat
gangguan dalam hal ini, akan mengakibatkan hambatan yang cukup
besar bagi penderita. Kemampuan berbahasa seseorang mencakup
14
kemampuan untuk berbicara spontan, pemahaman, pengulangan,
membaca, dan menulis (Satyanegara et al, 2010).
Beberapa kelainan dalam berbahasa antara lain disartria (pelo),
disfonia (serak), disprosodi (gangguan irama bicara), apraksia oral,
afasia, aleksia atau agrafia (Satyanegara et al, 2010).
c. Praksis
Praksis merupakan integrasi motorik untuk melakukan gerakan
kompleks yang bertujuan, sebagai contoh seseorang dapat
menggambar segilima, membuat gambar secara spontan, membuat
rekonstruksi balok tiga dimensi (Satyanegara et al, 2010).
d. Visuospasial
Visuospasial merupakan kemampuan untuk mengaitkan keadaan
sekitar dengan pengalaman lampau, sebagai contoh orientasi
seseorang terhadap orang lain, waktu, dan tempat (Satyanegara et al,
2010).
e. Atensi
Atensi merupakan kemampuan untuk memusatkan perhatian pada
sesuatu yang dihadapi, dapat diperiksa dengan mengulangi 7 angka
yang kita pilih secara acak untuk diucapkan kembali atau
mengetukkan jari diatas meja sesuai angka yang kita sebutkan
(Satyanegara et al, 2010).
f. Kalkulasi
Kemampuan berhitung sebenarnya lebih dipengaruhi oleh
pendidikan dan pekerjaan seseorang, kemampuan berhitung misalnya
mengitung 100 dikurangi 7 dan seterusnya (Satyanegara et al, 2010).
g. Eksekusi
Pengambilan keputusan merupakan salah satu fungsi kognitif yang
penting, dimana seseorang memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan, misalnya untuk menentukan tindakan apa yang perlu
dilakukan untuk mengerjakan suatu tugas (Satyanegara et al, 2010).
h. Reasoning
15
Reasoning merupakan kemampuan seseorang secara sadar
mengaplikasikan logika terhadap sesuatu, sebagai contoh kepercayan
seseorang setelah adanya fakta yang mendukung suatu pemikiran.
Reasoning merupakan kebalikan dari pemikiran secara intuisi, karena
fungsi reasoning didasari oleh pengetahuan dan intelegensi
(Satyanegara et al, 2010).
i. Abstraksi
Berpikir abstrak diperlukan untuk menginterpretasi suatu pepatah
atau kiasan, misalnya seseorang mampu menginterpretasi pepatah ada
gula ada semut, atau kemampuan seseorang untuk mendeskripsikan
perbedaan antara kucing dengan anjing (Satyanegara et al, 2010).
16
serta terganggunya mekanisme perbaikan sel otak (Fatimah, 2010). Otak
mengalami penebalan meningeal atrofi serebral (penurunan volume
otak). Mula-mula tonjolan dendrit di neuron hilang, di susul bengkaknya
batang dendrit dan badan sel. Secara progresif terjadi fragmentasi dan
kematian sel terjadi deposit lipofunchsin (Darmojo, 2009).
Beberapa faktor yang diperkirakan sebagai pernyebab gangguan
kognitif global adalah (1) gangguan neurotransmiter, (2) gangguan
cerebral blood flow, (3) gangguan metabolisme neuron, (4) patologi
neuron dan (5) gangguan homeostasis ion kalsium (Ca2+). Pada proses
penuaan otak, terjadi penurunan jumlah neuron secara bertahap yang
meliputi area girus temporal superior (merupakan area yang paling cepat
kehilangan neuron), girus presentralis dan area striata. Secara patologis
penurunan jumlah neuron kolinergik akan menyebabkan berkurangnya
neurotransmiter asetilklolin sehingga menimbulkan gangguan kognitif
dan perilaku (Soetedjo, 2006).
Pengurangan volume dan massa otak pada penuaan yang normal
tidak hanya diakibatkan oleh hilangnya jumlah neuron, tetapi juga karena
adanya perubahan di dalam neuron: berkurangnya cabang-cabang neuron
(spina dendrit), pengurangan kerapatan sinapsis, dan merosotnya lapisan
myelin yang melapisi akson pada neuron (Nelson, 2008). Penurunan
fungsi kognitif akan menyebabkan gangguan pada sistem saraf pusat,
yaitu pengurangan massa otak dan pengurangan aliran darah otak.
Selanjutnya akan menyebabkan atrosit berploriferasi sehingga
neurotransmitter (dopamin dan serotonin) akan berubah. Perubahan pada
neurotransmitter ini akan meningkatkan aktivitas enzim
monoaminoksidase (MAO) (Pranarka 2006).
17
ditemukan dalam area otak yang berperan dalam fungsi belajar dan
memori, seperti hipokampus.
Penurunan fungsi kognitif umum dan memori verbal dikaitkan
dengan rendahnya level estradiol dalam tubuh. Estradiol diperkirakan
bersifat neuroprotektif yaitu dapat membatasi kerusakan akibat stress
oksidatif serta sebagai pelindung sel saraf dari toksisitas amiloid pada
pasien Alzheimer (Yaffe dalam Myers, 2008).
Hasil penelitian Scanlan et al (dalam Saragih, 2010) menunjukkan
adanya hubungan positif antara usia dan penurunan fungsi kognitif. Hasil
dari pengukuran fungsi kognitif pada lansia yang adalah 16% pada
kelompok umur 65-69 tahun, 21% pada 70-74 tahun, 30% pada 75-79
tahun, dan 44% pada 80 tahun keatas.
Ada beberapa faktor penting yang memiliki efek penting terhadap
fungsi kognitif seperti usia, stres, ansietas, latihan memori, genetik,
hormonal, lingkungan, penyakit sistemik, infeksi, intoksikasi obat dan
diet.
a. Usia
Semakin tua usia seseorang maka secara alamiah akan terjadi
apoptosis pada sel neuron yang berakibat terjadinya atropi pada otak
yang dimulai dari atropi korteks, atropi sentral, hiperintensitas
substantia alba dan paraventrikuler. Yang mengakibatkan penurunan
fungsi kognitif pada seseorang, kerusakan sel neuron ini diakibatkan
oleh radikal bebas, penurunan distribusi energi dan nutrisi otak
(Carayannis, 2001).
b. Stres, Depresi, Ansietas
Depresi, stres dan ansietas akan menyebabkan penurunan kecepatan
aliran darah dan stres memicu pelepasan hormon glukokortikoid yang
dapat menurunkan fungsi kognitif (Parkin, 2009).
c. Latihan memori
Semakin sering seseorang menggunakan atau melatih memorinya
maka sinaps antar neuron akan semakin banyak terbentuk sehingga
18
kapasitas memori seseorang akan bertambah, berdasar penelitian
Vasconcellos pada tikus yang diberi latihan berenang selama 1 jam
perhari selama 9 minggu terbukti memiliki fungsi memori jangka
pendek dan jangka panjang yang lebih baik daripada kelompok
kontrol (Vasconcellos et al, 2003).
d. Genetik
Terdapat beberapa unsur genetik yang berperan pada fungsi genetik
seperti gen amyloid beta merupakan prekursor protein pada kromosom
21, gen Apolipoprotein E alel delta 4 pada kromosom 19, gen
butyrylcholonesterae K variant menjadi faktor resiko alzheimer, gen
prenisilin 1 pada kromosom 14 dan prenisilin 2 kromososm 1 (Li,
Sung & Wu, 2002).
e. Hormon
Pengaruh hormon terutama yang mengatur deposit jaringan lipid
seperti testosteron akan menyebabkan angka kenaikan kadar
kolesterol darah yang berakibat pada fungsi kognitif, dan sebaliknya
estrogen terbukti menurunkan faktor resiko alzheimer pada wanita
post menopause, karena estrogen memiliki reseptor di otak
yangberhubungan dengan fungsi kognitif dan juga meningkatkan
plastisitas sinap (Desa & Grossberg, 2003)
f. Lingkungan
Pada orang yang tinggal di daerah maju dengan sistem pendidikan
yang cukup maka akan memiliki fungsi kognitif yang lebih baik
dibandingkan pada orang dengan fasilitas pendidikan yang minimal,
semakin kompleks stimulus yang didapat maka akan semakin
berkembang pula kemampuan otak seseorang ditunjukkan pada
penelitian pada tikus yang berada pada lingkungan yang sering
diberikan rangsang memiliki kadar asetilkolin lebih tinggi dari
kelompok kontrol (Wood et al, 2000).
g. Intoksikasi obat
19
Beberapa zat seperti toluene, alkohol, bersifat toksik bagi sel neuron,
selain itu defisiensi vitamin B kompleks terbukti menyebabkan
penurunan fungsi kognitif seseorang, obat golongan benzodiazepin,
statin juga memiliki efek terhadap memori (Faust, 2008).
h. Diet
Konsumsi makanan yang tinggi kolesterol akan menyebabkan
akumulasi protein amiloid beta pada percobaan dengan menggunakan
tikus wistar yang memicu terjadinya demensia (Kaudinov &
Kaudinova, 2011).
20
e) Lebih sering menjabarkan fungsi atau bentuk daripada
menyebutkan namanya (Hartono, 2006).
21
1. Gangguan memori yang dikeluhkan oleh pasiennya sendiri,
keluarganya maupun dokter yang memeriksanya.
2. Aktivitas sehari-hari masih normal.
3. Fungsi kognitif secara keseluruhan (global) normal.
4. Gangguan memori obyektif, atau gangguan pada salah satu
wilayah kognitif, yang dibuktikan dengan skor yang jatuh di
bawah 1,5 – 2,0 SD dari rata-rata kelompok umur yang sesuai
dengan pasien
5. Nilai CDR 0,5
6. Tidak ada tanda demensia
Bilamana dalam praktek ditemukan seorang pasien yang
mengalami gangguan memori berupa gangguan memori tunda
(delayed recall) atau mengalami kesulitan mengingat kembali
sebuah informasiwalaupun telah diberikan bantuan isyarat (cue)
padahal fungsi kognitif secara umum masih normal, maka perlu
dipikirkan diagnosis MCI. Pada umumnya pasien MCI mengalami
kemunduran dalam memori baru. Namun diagnosis MCI tidak boleh
diterapkan pada individu-individu yang mempunyai gangguan
psikiatrik, kesadaran yang berkabut atau minum obat-obatan yang
mempengaruhi sistem saraf pusat (Hartono, 2006).
22
dimodifikasi oleh Nadia Husein, dkk tahun 2009. MoCA-InA secara
keseluruhan terdiri atas 13 poin tes yang mencakup 8 domain yaitu
visuospatial/executive terdiri 3 poin, penamaan terdiri dari 1 poin, memori
terdiri dari 1 poin, perhatian terdiri dari 3 poin, bahasa 2 poin, abstrak 1
poin, pengulangan kembali 1 poin, dan orientasi terdiri dari 1 poin. Skor
tertinggi yaitu 30 poin. Interpretasinya skor 26-30 disebut normal dan < 26
disebut tidak normal (Doerflinger, 2012). Selain validitas dan reabilitas
MoCA untuk mendeteksi gangguan kognitif merupakan yang paling tinggi
yang ada saat ini yaitu 90–96% sensitifitas dan 87–95% spesifik,
keunggulan lain alat ini dibandingkan alat lain adalah efisiensi waktu. Alat
ini dapat dipergunakan dalam waktu ±10 menit. Instruksi manual dan
skoring tersedia dalam 36 bahasa. MoCA dalam versi Indonesia (MoCA –
Ina) telah diuji oleh Husein-dkk (2009). Instrumen MoCA sudah dibakukan
sebagai instrumen umum sejak tahun 1996 dan sudah diuji validitas dan
reabilitasnya (Doerflinger, 2012).
Pemeriksaan status mental singkat yang telah terstandardisasi
bertujuan untuk pemeriksaan fungsi-fungsi kognitif kompleks melalui satu
atau dua pertanyaan. Mental State Examination ( MMSE ) adalah tes
skrining yang paling umum digunakan untuk penilaian fungsi kognitif. Mini
Mental State Examination (MMSE) merupakan pemeriksaan mental mini
yang cukup populer, diperkenalkan oleh Folstein (1971). MMSE digunakan
sebagai alat untuk mendeteksi adanya gangguan kognitif pada
seseorang/individu, mengevaluasi perjalanan suatu penyakit yang
berhubungan dengan proses penurunan kognitif dan memonitor respon
terhadap pengobatan (Turana, 2004). Sejalan dengan banyaknya
penggunaan tes ini selama bertahuntahun, kegunaan utama MMSE berubah
menjadi suatu media untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan
gangguan kognitif yang berkaitan dengan kelainan neurodegeneratif.
(Kusumoputro, 2004).
MMSE merupakan suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin
yang dikelompokkan menjadi 7 kategori : orientasi terhadap tempat (negara,
23
provinsi,kota, gedung dan lantai), orientasi terhadap waktu (tahun, musim,
bulan, hari dan tanggal), registrasi (mengulang dengan cepat 3 kata), atensi
dan konsentrasi (secara berurutan mengurangi 7, dimulai dari angka 100,
atau mengeja kata WAHYU secara terbalik), mengingat kembali
(mengingat kembali 3 kata yang telah diulang sebelumnya), bahasa
(memberi nama 2 benda, mengulang kalimat, membaca dengan keras dan
memahami suatu kalimat, menulis kalimat dan mengikuti perintah 3
langkah), dan kontruksi visual (menyalin gambar). Skor MMSE diberikan
berdasarkan jumlah item yang benar sempurna; skor yang makin rendah
mengindikasikan performance yang buruk dan gangguan kognitif yang
makin parah. Skor total berkisar antara 0-30 (performance sempurna).
MMSE sangat reliabel untuk menilai gangguan fungsi kognitif dan dapat
digunakan secara luas sebagai pemeriksaan yang sederhana untuk penapisan
adanya gangguan fungsi kognitif. Instrumen ini direkomendasikan sebagai
screening untuk penilaian kognitif global oleh American Academy of
Neurology (AAN). Kusumoputro (2004).
24
meskipun kebingungan yang tampak. Agitasi delirium secara khas
berfluktuasi dan dapat berubah atau berlanjut menjadi keadaan
bingung yang redup. Gambaran klinis ditunjukkan oleh adanya
halusinasi yang gembira dari delirium tremens yang menyertai
berhentinya minum alkohol. Akan tetapi delirium mungkin
tampak pada keadaan bingung akut dari setiap penyebab
(Isselbacher dkk, 1999 dalam Aggraini, 2014).
Delirium adalah suatu sindrom yang mencakup gangguan
kesadaran yang disertaidengan perubahan kognisi. Delirium
biasanya terjadi dalam waktu singkat, kadang kadangtidak lebih
dari beberapa jam, dan berfluktuasi atau berubah sepanjang hari.
Klien sulitmemberikan perhatian, mudah terdistraksi, disorientasi,
dan dapat mengalami gangguansensori seperti ilusi, salah
interpretasi atau halusinasi. Suara keras dari kereta cucian
dilorong dapat disalahartikan sebagai suara tembak (salah
interpretasi), kabel listrik yang terletak di lantai dapat terlihat
seperti ular (ilusi) atau individu dapat melihat “malaikat”melayang
layang di udara ketika tidak ada sesuatu di sana ( halusinasi ).
Kadang kadangindividu juga mengalamai gangguan siklus tidur-
bangun, perubahan aktivitas psikomotor dangangguan
emosionalseperti ansietas, takut,iritabilitas, euforia, atau apati
(DSM-IV-TR,2000 dalam Septian, 2015).
25
Proses-proses ini yang menjelaskan mengapa proses
penuaan berkaitan dengan beberapa gangguan defisist kognitif
dan peningkatan risiko dementia. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa ada hubungan resiprokal antara delirium dan penurunan
fungsi kognitif. Dementia merupakan faktor risiko utama delirium
pada pasien-pasien usia lanjut dan kelanjutan proses delirium itu
sendiri tampaknya meningkatkan risiko penurunan fungsi kognisi,
termasuk dementia.
Penuaan itu sendiri menunjukkan peningkatan jumlah
mediator inflamasi di dalam sirkulasi yang menunjukkan bahwa
proses neurodegenerasi kronik yang disebakan oleh respon
inflamasi mengaktivasi sel mikroglia SSP. Sel mikroglia ini
menghasilkan respon inflamasi yang berlebihan terhadap
perubahan imunologi. Perubahan pada sistem imun yang berkaitan
dengan penuaan (immunosenescence) menyebabkan peningkatan
sekresi sitokin oleh jaringan adiposit. Hal ini merupakan penyebab
utama inflamasi kronik, yang lebih dikenal sebagai
“inflammaging”.
Proses inflamasi ini mungkin berkontribusi terhadap
progresifitas penyakit melalui produksi mediator inflamasi.
Proses penuaan berhubungan dengan peningkatan nilai baseline
dua sampai empat kali mediator inflamasi termasuk sitokin dan
protein fase akut. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap
delirium pada pasien usia lanjut adalah lower cognitive reserves,
kapasitas metabolik yang rendah, peningkatan sensitivitas
terhadap obat-obatan dan rendahnya threshold terhadap efek obat-
obat antikoloinergik.
Beberapa mekanisme utama yang berhubungan dengan
peningkatan risiko terjadinya delirium pada usai lanjut:
a. Kehilanagn sel saraf terutama pada lokus coereleus dan
substantia nigra.
26
b. Perubahan pada berbagai sistem neurotransmitter.
c. Penurunan intergritas white matter yang berhubungan
dengan usia.
d. Penurunan aliran darah otak, terutama pada gyrus
cingulate anterior, basal ganglia bilateral, bagian
prefrontal kiri, bagian frontal lateral kiri dan bagian
temporal superior kiri, dan korteks insular. Penurunan
metabolisme oksigen pada otak. Berkurangnya suplai
oksigen (misalnya hipoksia). Berkurangnya metabolism
oksidatif otak Rara, (2016).
3. Etiologi
Bila membicarakan etiologi delirium, maka faktor
predisposisi dibedakan dengan faktor presipitasi. Faktor
predisposisi membuat seseorang lebih rentan mengalami delirium,
sedangkan faktor presipitasi merupakan faktor penyebab somatik
delirium.
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi membuat seseorang lebih rentan
mengalami delirium. Faktor predisposisi gangguan otak
organik: seperti demensia, umur lanjut, kecelakaan otak seperti
stroke, penyakit parkinson, gangguan penglihatan dan
pendengaran, ketidakmampuan fungsional, hidup dalam
institusi, ketergantungan alkohol, isolasi sosial, depresi,
gangguan sensorik dan gangguan multiple lainnya, dan riwayat
delirium post-operative sebelumnya.
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi merupakan faktor penyebab somatik
delirium. Termasuk perubahan lingkungan (perpindahan
ruangan), pneumonia, infeksi, dehidrasi, hipoglikemia,
imobilisasi, malagizi, dan pemakaian kateter buli-buli.
27
Penggunaan anestesia juga meningkatkan resiko delirium,
terutama pada pembedahan yang lama. Demikian pula pasien
lanjut usia yang dirawat di bagian ICU beresiko lebih tinggi
Aggraini, (2014).
4. Gambaran Klinis
Berdasarkan kriteria DSM-IV, delirium dicirikan oleh gejala
yang mulainya sangat cepat (biasanya dalam beberapa jam sampai
hari) dan cenderung berfluktuasi, dengan perubahan tingkat
kesadaran, ketidakmampuan berfokus, perhatian yang bertahan
atau teralih, dan perubahan kognitif (seperti gangguan memori,
disorientasi, gangguan bahasa) atau terjadinya gangguan
perseptual hanya dapat dijelaskan oleh demensia. Lebih lanjut,
terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratoris bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh konsekuensi
fisiologis langsung dari suatu kondisi medis umum, atau
intoksikasi/withdrawal senyawa, atau karena berbagai penyebab
(Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012 dalam Aggraini,
2014).
Awal perjalanan yang tiba-tiba dan akut adalah gambaran
sentral delirium. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk
memastikan tingkat fungsi kognitif dasar pasien serta perjalanan
perubahan kognitifnya. Kesadaran sebagai fungsi otak
memungkinkan kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta
kewaspadaan terhadap lingkungannya dan dicirikan oleh dua
aspek utama: tingkat dan isi kesadaran. Tingkat kesadaran
mencerminkan bangkitan kewaspadaan: bangun, tidur, atau koma.
Isi kesadaran, atau bagiannya, dialami oleh subyek sebagai
kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta lingkungannya saat
subyek bangun dan sadar baik. Isi kesadaran dan kognitif hanya
dapat diperiksa jika subyek minimal memiliki tingkat kesadaran
28
tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes,
2012 dalam Septian, 2015).
Pada delirium, gangguan kesadaran adalah salah satu
manifestasi paling awal, yang sering berfluktuasi, terutama di
malam hari saat stimulasi lingkungan berada pada titik terendah.
Tingkat kesadaran dapat berflukutasi pada yang paling ekstrim
untuk pasien yang sama, atau dapat muncul dengan tanda yang
lebih ringan seperti mengantuk atau gangguan tingkat perhatian.
Faktanya, pasien dapat tampak benar benar mengantuk, letargi,
atau bahkan semi-koma pada kasus yang lebih berat.
5. Penatalaksanaan
Pertama, kondisi medis diperbaiki sebisa munkin. Sampai
kondisi baik, pemantauan harus tetap dilakukan untuk
mempertahankan kesehatan dan keselamatan pasien, termasuk
observasi rutin, perawatan konsisten, menenangkan dengan
penjelasan sederhana secara berulang. Mengurangi ketegangan
jiwa diperlukan oleh pasien dengan agitasi tinggi meskipun
pengalaman menunjukkan bahwa pada beberapa pasien cenderung
mengalami peningkatan agitasi. Rangsangan eksternal diperkecil.
Karena bayangan atau kegelapan mungkin menakuti mereka.
Pasien delirium sangat sensitif terhadap efek samping obat, jadi
pengobatan yang tidak perlu harus dihentikan termasuk golongan
hipnotik-sedatif (contoh : benzodiazepin).
Pasien dengan agitasi tinggi ditenangkan dengan dosis
rendah obat antipsikotik potensi tinggi (contoh : haloperidol,
thiothixene). Obat dengan efek antikolinergik seperti
klorpomazine, tioridazin di hindari karena dapat memperburuk
atau memperpanjang delirium. Kenyataannya, tingkat
antikolinergik plasma yang memicu delirium ditemukan pada
pasien-pasien bedah. Bila sedasi diperlukan gunakan dosis rendah
29
benzodiazepin dengan kerja singkat seperti oxazepam, lorazepam.
Karena benzodiazepin membantu mengobati keadaan putus obat
pada pasien pasca bedah dengan gejala putus obat golongan
alkohol yang tidak diketahui jenisnya. Pada kasus ini,
benzodiazepin dilanjutkan 35 hari.
30
secara cepat, kehilangan kemampuan penamaan (naming) dengan
cepat. Dalam bidang komunikasi sosial akan terjadi kehilangan
kemampuan untuk tetap berbicara dalam topik, mudah
tersinggung, marah, pembicaraanbisa menjadi kasar dan terkesan
tidak sopan. Namun tidak disertai gangguan derajat kesadaran
(Mardjono & Sidharta, 2008).
Adapun kriteria diagnosis untuk demensia adalah :
6. Kemunduran memori dengan ciri :
a) Kehilangan orientasi waktu
b) Sekedar kehilangan memori jangka panjang dan pendek
c) Kehilangan informasi yang diperoleh
d) Tidak dapat mengingat daftar lima item atau nomor telepon.
2. Kemunduran pemahaman
3. Kemunduran kemampuan bicara dan Bahasa.
4. Kemunduran komunikasi sosial (Lumbantobing, 2007).
Demensia merupakan istilah digunakan untuk menjelaskan
penurunan fungsional yang disebabkan oleh kelainan yang terjadi
pada otak. Demensia bukan berupa penyakit dan bukanlah
sindrom. Pada usia muda, demensia bisa terjadi secara mendadak
jika cedera hebat, penyakit atau zat-zat racun (misalnya karbon
monoksida) menyebabkan hancurnya sel-sel otak. Tetapi
demensia biasanya timbul secara perlahan dan menyerang usia
diatas 60 tahun. Namun demensia bukan merupakan bagian dari
proses penuaan yang normal. Sejalan dengan bertambahnya
umur, maka perubahan di dalam otak bisa menyebabkan
hilangnya beberapa ingatan (terutama ingatan jangka pendek) dan
penurunan beberapa kemampuan belajar. Perubahan normal ini
tidak mempengaruhi fungsi.
Pikun merupakan gejala umum demensia, walaupun pikun
itu sendiri belum berarti indikasi terjadinya demensia. Orang-
orang yang menderita demensia sering tidak dapat berpikir
31
dengan baik dan berakibat tidak dapat beraktivitas dengan baik.
Oleh sebab itu mereka lambat laun kehilangan kemampuan untuk
menyelesaikan permasalahan dan perlahan menjadi emosional,
sering hal tersebut menjadi tidak terkendali.
2) Penyebab Demensia
Banyak penyakit/sindrom menyebabkan demensia, seperti
stroke, Alzheimer, penyakit Creutzfeldt-Jakob, Penyakit Pick,
Huntington, Parkinson, AIDS, dan lain-lain. Demesia juga dapat
diinduksi oleh defisiensi niasin.
Hidrosefalus ini menyebabkan demensia yang tidak biasa,
dimana tidak hanya menyebabkan hilangnya fungsi mental tetapi
juga terjadi inkontinensia air kemih dan kelainan berjalan. Orang
yang menderita cedera kepala berulang (misalnya petinju)
seringkali mengalami demensia pugilistika (ensefalopati
traumatik progresif kronik); beberapa diantaranya juga menderita
hidrosefalus.
Usia lanjut yang menderita depresi juga mengalami
pseudodemensia. Mereka jarang makan dan tidur serta sering
mengeluh tentang ingatannya yang berkurang; sedangkan pada
demensia sejati, penderita sering memungkiri hilangnya ingatan
mereka.
3) Gambaran Klinis
e. Demensia biasanya dimulai secara perlahan dan makin lama
makin parah, sehingga keadaan ini pada mulanya tidak
disadari.
1. Terjadi penurunan dalam ingatan, kemampuan untuk
mengingat waktu dan kemampuan untuk mengenali
orang, tempat dan benda.
32
2. Penderita memiliki kesulitan dalam menemukan dan
menggunakan kata yang tepat dan dalam pemikiran
abstrak (misalnya dalam pemakaian angka).
3. Sering terjadi perubahan kepribadian.
f. Demensia karena penyakit Alzheimer biasanya dimulai
secara samar.
1. Gejala awal biasanya adalah lupa akan peristiwa
yang baru saja terjadi; tetapi bisa juga bermula
sebagai depresi, ketakutan, kecemasan, penurunan
emosi atau perubahan kepribadian lainnya.
2. Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara;
penderita menggunakan kata-kata yang lebih
sederhana, menggunakan kata-kata yang tidak tepat
atau tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat.
3. Ketidakmampuan mengartikan tanda-tanda bisa
menimbulkan kesulitan dalam mengemudikan
kendaraan.
4. Pada akhirnya penderita tidak dapat menjalankan
fungsi sosialnya.
g. Demensia karena stroke kecil memiliki perjalanan
penyakit dengan pola seperti menuruni tangga.
1. Gejalanya memburuk secara tiba-tiba, kemudian
agak membaik dan selanjutnya akan memburuk
kembali ketika stroke yang berikutnya terjadi.
2. Mengendalikan tekanan darah tinggi dan kencing
manis kadang dapat mencegah stroke berikutnya dan
kadang terjadi penyembuhan ringan.
3. Beberapa penderita bisa menyembunyikan
kekurangan mereka dengan baik.
4. Mereka menghindari aktivitas yang rumit (misalnya
membaca atau bekerja).
33
5. Penderita yang tidak berhasil merubah hidupnya bisa
mengalami frustasi karena ketidakmampuannya
melakukan tugas sehari-hari.
6. Penderita lupa untuk melakukan tugasnya yang
penting atau salah dalam melakukan tugasnya.
4) Macam-Macam Demensia
a. Dementia Alzheimer
Dementia Alzheimer merupakan penyebab demensia
degeneratif yang utama, jmlahnya 50% - 60% dari kasus
demensia. Hal tersebut mempengaruhi 2,5 juta penduduk
Amerika. Dalam DSM-IV-TR, demensia Alzheimer dibagi
dua yaitu tipe onset awal (usia 65 tahun) dan tipe onset
lanjut (usia > 65 tahun). Sebagian besar yang menjalani
demensia tipe onset awal mempunyai riwayat keluarga
penderita Alzheimer.
Pasien jarang mengalami onset di dekade ke 5,
dengan gangguan mutasi kromosom 1, 14 & 21. Penyakit
Alzheimer berbahaya, menimbulkan kematian 8 – 10 tahun
setelah ditemukan gejala. Penyakit Alzheimer diderita
pasien usia 65 tahun (5%) sampai usia 90 tahun (20%).
Gejala menetap dan memburuk setelah beberapa tahun,
ditandai dengan kolaps fungsi intelektual. Kelainan fisik
jarang ditemukan, kecuali pada Alzheimer tingkat lanjut :
reflek tendon hiperaktif, tanda Babinski, tanda lepasnya
lobus frontal. Timbulnya halusinasi, delusi, ulisi
berhubungan dengan kemunduran fungsi kognitif. Atrofi
kortikal pembesaran ventrikel otak ditemukan pada
pemeriksaan CT Scan atau MRI.
Faktor resiko penderita Alzheimer diantaranya
memiliki riwayat trauma kepala, sindroma down, tingkat
pendidikan dan pekerjaan rendah, berasal dari turunan,
34
langsung penderita Alzheimer. Kenyataannya, 50% pasien
pada riwayat keluarga demensia Alzheimer, menderita
penyakit tersebut pada usia 90 tahun. Gen dari kromosom
19, apolipoprotein E (APOE), ditemukan menjadi faktor
resiko faktor penyakit Alzheimer. APOE 4 allel
meningkatkan resiko dan mempercepat onset penyakit
Alzheimer dan APOE 2 allel mempunyai efek sebagai
pelindung. Penyakit Alzheimer dari APOE terjadi diseluruh
dunia.
35
C. Perjalanan penyakit ditandai oleh onset yang bertahap dan penurunan
kognitif yang terus menerus.
D. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 bukan karena salah satu dari
berikut:
(1) Kondisi system saraf pusat lain yang menyebabkan defisit progresif
dalam daya ingat dan kognisi (misalnya, penyakit serebrovaskular,
penyakit Parkinson, penyakit Huntington, hematoma subdural,
hidrosefalus tekanan normal, tumor otak).
Dengan onset dini : jika onset pada usia 65 tahun atau kurang
Tanpa penyulit : jika tidak ada satu pun di atas yang menonjol pada
gambaran klinis sekarang
36
Dengan delirium : jika delirum menumpang pada demensia
Tanpa penyulit : jika tidak ada satu pun di atas yang menonjol pada
gambaran klinis sekarang.
b. Dementia Vaskular
Demensia vaskular merupakan penyebab penyebab
demensia kedua terbesar setelah penyakit Alzheimer.
Didapatkan sekitar 15% - 30% dari kasus demensia. Pada
beberapa kasus merupakan kombinasi demensia vaskular
dengan tipe Alzheimer. Demensia vaskular sangat
bervariasi, tergantung dari penyebabnya (contoh, infark
multipel, infark satu pembuluh darah strategis, penyakit
pembuluh darah kecil, perdarahan).
Demensia vaskuler adalah demensia yang
disebabkan oleh infark pada pembuluh darah kecil dan besar,
misalnya multi-infarct dementia. Konsep terbaru
menyatakan bahwa demensia vaskuler juga sangat erat
berhubungan dengan berbagai mekanisme vaskuler dan
perubahan-perubahan dalam otak, berbagai faktor pada
individu dan manifestasi klinis (Mardjono & Sidharta,
2008).
Demensia yang disebabkan multiple infark sering
terjadi , disebabkan oleh sekumpulan infark cerebri pada
penderita aterosklerotik pembuluh darah besar atau katup
jantung. Kadang disertai dengan defisit neurologi fokal.
37
Riwayat onset dini dan mundurnya pola pikir pada pasien
usia 50 atau 60 tahun membantu membedakan demensia
karena infark multipel atau demensia karena degeneratif.
Pasien dengan demensia vaskular biasanya memiliki
darah tinggi dan diabetes atau pernah terkena stroke,
beberapa diantaranya tidak memiliki penyakit tersebut.
Atherosklerosis pada pembuluh darah arteri utama dapat di
koreksi dengan pembedahan, tetapi karena atherosklerosis
terjadi diantara pembuluh darah intrakonial yang lebih kecil,
tidak diperbolehkan melakukan intervensi spesifik apapun.
Hipertensi yang terkontrol merupakan awal pengobatan
pasien tanpa gejala dan dapat mencegah atau menahan
perkembangan demensia vaskular. Penatalaksanaan dengan
antikoogulan atau aspirin dapat membantu mencegah
terbentuknya trombus, sehingga menurunkan resiko
terjadinya infark miokard dan stroke.
Berlainan dengan demensia alzheimer, dimana
setelah terdiagnosa penyakit akan berjalan terus secara
progresif sehingga dalam beberapa tahun (7-10 tahun) pasien
biasanya sudah mencapai taraf terminal dan meninggal.
Demensia vaskuler mempunyai perjalanan yang fluktuatif,
pasien bisa mengalami masa dimana gejala relatif stabil,
sampai terkena serangan perburukan vaskuler yang berikut.
Karena itu pada demensia vaskuler relatif masih ada
kesempatan untuk mengadakan intervensi yang bermakna,
misalnya mengobati faktor risiko (Lumbantobing, 2007).
Demensia dapat terjadi pada pasien AIDS. Demensia
dapat disebabkan oleh infeksi langsung HIV di sistem saraf,
tumor intrakranial, infeksi (contoh, toksoplasmosis,
cryptococcus), atau oleh penyakit sistemik berefek indirek
(contoh, septikemi, hipoksia, gangguan keseimbangan
38
elektrolit). Karena demensia dapat terjadi pada tahap awal
infeksi HIV, evaluasi kuman HIV seropositif diindikasikan
bagi pasien dengan resiko tinggi HIV (contoh, homoseksual,
penderita ketergantungan obat) yang memiliki gejala
perubahan kognitif, mood, atau tingkah laku).
c. Dementia dengan badan lewy
Demensia dengan lewy bersifat progresif dan
Irreversibel dan memiliki gambaran klinik mirip dengan
penyakit Alzheimer. Halusinasi visual menonjol dan
gambaran parkinsonisme menandai gejala awal dari
penyakit. Perubahan parenkin otak khas pada Alzheimer,
pada badan lewy khas ditemukan badan inklusi eosrafilik di
khas kortek serebri dan badan otak. Penelitian terakhir
memperkirakan demensia dengan badan lewy mencapai 1
dari 15 kasus demensia. Pasien dengan demensia jenis ini
sangat sensitif terhadap efek samping obat antipsikotik
konvensional sehingga dikontraindikasikan.
39
2.3 Asuhan Keperawatan Lansia dengan Gangguan Kognitif dan Intelektual
1. Pengkajian Keperawatan Gerontik
Pengkajian keperawatan pada lansia adalah suatu tindakan peninjauan
situasi lansia untuk memperoleh data dengan maksud menegaskan situasi
penyakit, diagnosis masalah, penetapan kekuatan dan kebutuhan promosi
kesehatan lansia. Data yang dikumpulkan mencakup data subyektif dan data
obyektif meliputi data bio, psiko, sosial, dan spiritual, data yang
berhubungan dengan masalah lansia serta data tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi atau yang berhubungan dengan masalah kesehatan lansia
seperti data tentang keluarga dan lingkungan yang ada.
1) Faktor Predisposisi
a. Gangguan fungsi susunan saraf pusat
b. Gangguan pengiriman nutrisi
c. Gangguan peredaran darah
2) Faktor Presipitasi
a. Hipoksia
b. Anemia hipoksik
c. Histotoksik hipoksia
d. Hipoksemia hipopoksik
e. Iskemia hipoksik
f. Suplai darah ke otak menurun/berkurang
Racun Infeksi
40
a. Gagal ginjal
b. Syphilis
c. Aids Dement Comp
Perubahan Struktur
a. Tumor
b. Trauma
Stimulasi Sensori
a. Stimulasi sensori berkurang
b. Stimulasi berlebih
3) Perilaku
a. Delirum
Delirium adalah Suatu keadaan proses pikir yang terganggu,
ditandai dengan: Gangguan perhatian, memori, pikiran dan orientasi
b. Demensia
Demensia adalah Suatu keadaan respon kognitif maladaptif yang
ditandai denganhilangnya kemampuan intelektual/ kerusakan
memori, penilaian, berpikir abstrak.
Karakteristik Delirium dan demensia:
Delirium Demensia
Onset Biasanya Tiba- tiba Biasanya Perlahan
Lama Biasanya Singkat/ < Biasanya Lama dan
1 Bulan Progresif
Paling Banyak
dijumpai Pada Usia
>65 Tahun
Stressor Racun, Infeksi, Hipertensi,
Trauma, Hipertermi Hipotensi, Anemia,
Racun, Defisit
Vitamin, Tumor
41
Atropi Jaringan
Otak
Perilaku Fluktuasi Tingkat Hilang daya Ingat
Kesadaran Kerusakan
Disorientasi Penilaian
Gelisah Perhatian Menurun
Agitasi Perilaku Sosial
Ilusi tidak sesuai
Halusinasi Afek Labil
Pikiran Tidak Gelisah
Teratur Agitasi
Gangguan Penilaian
dan Pengambilan
Keputusan
Afek Labil
a. Mekanisme koping
a. Dipengaruhi pengalaman masa lalu
b. Regresi
c. Rasionalisasi
d. Denial
e. Intelektualisasi
b. Sumber Koping
a. Pasien
b. Keluarga
c. Teman
c. Pengkajian Status Kognitif
a. SPMSQ (Short Portable Mental Status Questionaire) adalah
penilaian fungsi intelektual lansia.
42
Benar Salah No. Pertanyaan
01 Tanggal Berapa Hari Ini?
02 Hari Apa Sekarang?
03 Apa Nama Tempat ini?
04 Dimana Alamat Anda?
05 Berapa Umur Anda
06 Kapan Anda Lahir? (Minimal Tahun)
07 Siapa Presiden Indonesia Sekarang?
08 Siapa Presiden Indonesia Sebelumnya?
09 Siapa Nama Ibu Anda?
10 Kurangi 3 Dari 20 dan Tetap
Pengurangan 3 Dari setiap Angka Baru,
Secara Menurun.
Total Nilai
43
3 a. Nama 3 Obyek (1 Detik untuk
mengatakan masing- masing)
b. Tanyakan Pada Lansia Ke 3 Obyek
Setelah Anda Katakan.
c. Beri Point Jawaban Benar, Ulangi sampai
lansia mempelajari Ketiganya dan
Jumlahkan Skor yang telah dicapai.
Perhatian dan Kalkulasi
5 Pilihlah Kata dengan 7 Huruf misal Kata
“Panduan”, Berhenti setelah 5 Huruf, Beri 1
Point Tiap Jawaban Benar, Kemudian
dilanjutkan, Apakah Lansia Masih Ingat
Huruf Selanjutnya.
Mengingat
3 Minta Untuk mengulangi Ke- 3 Obyek di atas,
Beri 1 Point Untuk Setiap Jawaban Benar.
Bahasa
9 a. Tnjukan pada klien suatu benda dan
tanyakan namanya pada klien, missal jam
tangan dan pensil
b. Minta klien untuk mengulang kata berikut
“jika, dan, atau, tetapi”
c. Minta klien untuk mengikuti perintah
berikut yang terdiri dari 3 langkah: (1)
Ambil kertas ditangan anda, (2) Lipat 2,
(3) Taruh dilantai
d. Perintahkan pada klien untuk hal berikut
bila aktivitas sesuai perintah poin 1, missal
“tutup mata anda”
44
e. Perintahkan pada klien untuk menulis 1
kalimat dan menyalin gambar : (1) tulis 1
kalimat, (2) menyalin gambar.
Keterangan:
>23 = Aspek kognitif dari fungsi mental baik
18-22 = Kerusakan aspek fungsi mental ringan
<17 = Terdapat kerusakan aspek fungsi mental berat
45
2. Diagnosa Keperawatan Gerontik
Diagnosis keperawatan adalah “Clinical Judgment” yang berfokus
pada respon manusia terhadap kondisi kesehatan atau proses kehidupan atau
kerentanan (vulnerability) baik pada individu, keluarga, kelompok atau
komunitas (NANDA, 2015-2017).
Berdasarkan pengertian tersebut, pengertian dari diagnosis
keperawatan gerontik adalah keputusan klinis yang berfokus pada respon
lansia terhadap kondisi kesehatan atau kerentanan tubuhnya baik lansia
sebagai individu, lansia di keluarga maupun lansia dalam kelompoknya.
46
mengaktualisasikan potensi kesehatan pada individu, keluarga,
kelompok atau komunitas. Respon dinyatakan dengan kesiapan
meningkatkan perilaku kesehatan yang spesifik dan dapat digunakan
pada seluruh status kesehatan. Setiap label diagnosis promosi
kesehatan diawali dengan frase: “Kesiapan meningkatkan”
(NANDA, 2014).
Contoh:
1. Kesiapan untuk meningkatkan kemampuan pembuatan
keputusan,
2. Kesiapan meningkatkan pengetahuan,
3. Kesiapan meningkatkan religiusitas.
47
d) Sindrom
Sindrom kelelahan lansia
Sindrom tidak berguna
48
f. Koping individu, ketidakefektifan
g. Pemeliharaan rumah, gangguan
h. Cedera, resiko
i. Memori, kerusakan
j. Mobilitas fisik, hambatan
k. Performa peran, ketidakefektifan
l. Defisit perawatan diri, mandi/hygiene, berpakaian/berhias, makan,
eliminasi
m. Persepsi sensori, gangguan: penglihatan, pendengaran, kinestetik,
pengecapan, peraba, penghidung
n. Pola tidur, gangguan
o. Interaksi sosial, hambatan
p. Isolasi sosial
q. Proses pikir, gangguan
r. Keluyuran Gangguan proses pikir berhubungan dengan gangguan
otak ditandai dengan:
Interpretasi lingkungan yang tidak akurat
Kurang memori saat ini
Kerusakan kemampuan memberikan rasional
Konfabulasi
s. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan:
Ketakutan
Disorientasi yang ditandai dengan perilaku agitasi
t. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan:
Kerusakan kognitif
Kehilangan memori saat ini
Konfabulasi
49
3. Intervensi Keperawatan Gerontik
Perencanaan keperawatan gerontik adalah suatu proses penyusunan berbagai intervensi keperawatan yang berguna untuk
untuk mencegah, menurunkan atau mengurangi masalah-masalah lansia.
50 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
2. Berikan kemudahan untuk
memperoleh kacamata, alat bantu
pendengaran, tongkat, alat bantu
berjalan, jika diperlukan
3. Amati dan jauhkan dari keadaan yang
membahayakan (mis; lantai licin,
penerangan kurang)
4. Awasi pengobatan jika perlu
5. Lindungi pasien dari cedera selama
periode agitasi
Pasien akan mengalami 1. Lakukan orientasi realitas Gangguan kognitif merupkan ancaman terhadap
tingkat harga diri yang 2. Bina hubungan saling percaya harg diri; hubungan perawat-pasien yang positif
optimal 3. Dukung kemandirian dapat membantu pasien mengekspresikan rasa takut
4. Identifikasi minat dan keterampilan; dan merasa aman dalam lingkungan ia berada;
berikan kesempatan untuk memberikan pujian terhadap keberhasilan yang
menggunakannnya dicapainya juga dapat meningkatkan harga diri
5. Beri pujian yang tulus terhadap
keberhasilan yang dicapainya
51 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
6. Gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk membantu pasien
menyampaikan pikiran dan
perasaannya
Pasien akan 1. Awali kontrak dengan orang yang Hubungan yang penuh perhtian dengan orang lain
mempertahankan dekat dengan pasien akan meningkatkan konsep diri yang positif;
hubungan interpersonal 2. Dukung pasien untuk berinteraksi komunikasi dengn orang terdekat seringkali dapat
yang positif dengan orang lain; libatkan dalam lebih mudah dimengerti daripada komunikasi
aktivitas kelompok dengan orang asing; keluarga dan teman dapat
3. Ajarkan keluarga dan pasien tentang memberikan bantuan berupa informasi tentang
sifat masalah dan rencana pelayanan kebiasaan dan minat pasien; keterlibatan orang
kesehatan yang direkomendasikan terdekat dalam pemberian asuhan sering membantu
4. Izinkan orang terdekat untuk mereka untuk mengatasi stres yang berkaitan dengan
membantu dalam asuhan pasien kesehatan pasien.
5. Bertemu dengan orang terdekat
secara teratur dan berikn mereka
kesempatan untuk berbicara
6. Libatkan pasien dan keluarga dalam
perencanaan pulang
52 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
2) Rencana Penyuluhan Keluarga: Membantu Anggota Keluarga dengan Respon Kognitif Maladaptif
Isi Aktivitas intruksional Evaluasi
Jelaskan kemungkijnan penyebab Uraikan factor – factor predisposisi dan Keluarga mengidentifikasi
respon kognitif maladaptive stressor pencetus yang mungkin kemungkinan penybab gangguan
mengarah pada kerusakan kognisi: pasien
berikan bahan referensi tertulis
Definisikan dan uraikan orientasi Definisikan tiga bidang orientasi: Keluarga mengidentifikasi
terhadap waktu, tempat dan orang mainkan peran respons interpersonal disorientasi dan melakukan reorientasi
terhadap disorientasi
Uraikan hubungan tigkat fungsi Uraikan dampak respons kognitif Keluarga menyesuaikan pendekatan
kognitif dengan kemampuan maladaptifpada komunikasi; peragakan komunikasi dengan kemampuan
berkomunikasi teknik komujnikasi yang efektif; rekam pasien dalam berinteraksi.
dan bahas peragaan ulang
53 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gangguan kognitif merupakan gangguan atau kerusakan pada fungsi otak
yang lebih tinggi dan dapat memberikan efek yang merusak pada kemampuan
individu untuk melakukan funsi sehari hari sehingga individu tersebut lupa nama
anggota keluarga atautidak mampu melakukan tugas rumah tangga harian atau
melakukan hygiene personal (Caine & lyness,2000 dalam Aggraini, 2014).
Gangguan kognitif yang paling sering ditemui meliputi Demensia dan
Delirium.Banyak orang mensalah artikan antara Demensia, Delirium dan Depresi.
Juga tentangrespon kognitif yang maladaptive pada seseorang.
Hal ini merupaka tugas perawatsebagai tenaga professional yang mencakup
bio-psiko-sosial yang memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien
dengaan gangguan kognitif yang akan dibahas olehkelompok kali ini. Delirium dan
demensia merupakan kelainan yang sering ditemukan pada pasienpada semua usia,
namun kelainan ini paling sering ditemukan pada pasien usia lanjut.
54 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i
DAFTAR PUSTAKA
1. Capernito, Lyda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 13.
Jakarta: EGC
2. Stuart, Gw. and Sundeen S.J (1995). Perbandingan Delirium, Depresi dan
Demensia.St.louis : Mosby year book
3. Sunaryo. 2015. Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: ANDI
4. Muhith, Abdul. 2016. Pendidikan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta:
ANDI.
55 | A s u h a n K e e r a w a t a n D e f i c i t P e r a w a t a n D i r i