Вы находитесь на странице: 1из 5

KOMPREHENSIF TEORI PENDIDIKAN

Tut Wuri Handayani merupakan semboyan yang dijadikan


sebagai dasar pendidikan yang dikemukan oleh Ki Hajar Dewantara
dalam menyelenggarakan pendidikan di Perguruan Taman Siswa yang
artinya mengikuti di belakang sambil memberi pengaruh. Maksud dari
semboyan tersebut adalah bahwa anak-anak dibiarkan untuk mencari
jalan sendiri, jangan dipaksa. Guru atau pamong baru berperan apabila
anak-anak tersebut salah jalan, dengan membantu menyingkirkan
halangan atau rintangan, apabila mereka tidak mampu untuk
menghindarinya sendiri. Menurut beliau kemajuan yang sejati hanya
dapat diperoleh dengan perkembangan sesuai dengan kodrat yang
dimiliki oleh masing-masing anak.
Konsep ‘Alam Takambang Jadi Guru”, yang menjadi falsafah
hidup orang MinangKabau, memiliki kekuatan nilai-nilai yang sangat
kaya dengan konsep pendidikannya. Alam sebagai tempat dimana
manusia itu hidup dipandang sebagai sesuatu yang dapat memberikan
berbagai pelajaran bagi manusia. Dengan menelaah apa-apa yang ada di
alam sekitar, kita terpanggil untuk lebih mempelajarinya agar alam
tersebut dapat menjadi teman bagi kita. Bagaimana kita dapat
memanfaatkan alam bagi kepentingan kehidupan manusia, dan
bagaimana alam mengajarkan berbagai konsep yang bagus bagi
kehidupan manusia. Misalnya adalah keberadaan hewan yang berbagai
macam jenis, mendorong kita, manusia, untuk mempelajarinya, mencari
cara untuk memanfaatkannya bagi kepentingan kita, atau berjangkitnya
suatu penyakit, mendorong kita untuk mencarikan solusi
penyembuhannya. Alam mengajarkan kepada kita tentang adanya
waktu siang dan malam, tentang adanya daya tarik bumi dan berbagai
hal lainnya yang secara keseluruhan pada dasarnya memberikan
sesuatu hal yang menarik untuk diketahui dan dipelajari. Bahkan alam
secara tidak langsung mengajarkan kepada kita, bagaimana kita
seharusnya mengakui dan menyadari adanya Allah SWT, yang dengan
kebesarannya telah menciptakan alam untuk kepentingan manusia.
Teori pendidikan yang diberikan oleh Jean Piaget memperlihatkan
bahwa perkembangan peserta didik tersebut terdiri dari beberapa tahap
yaitu:
Sensorimotor 0-2 th
Preoperasional 2-7 th
Concrete operasional 7-11 th
Formal operasional 11 th - dewasa

Tahap-tahap tersebut dikenal dengan tahap perkembangan kognitif,


dimana menurut Piaget, proses berpikir manusia berubah secara
radikal, walaupun dalam waktu yang lambat, mulai dari lahir hingga
dewasa, karena kita secara konstan berusaha untuk memberikan
perubahan terhadap dunia, lingkungan maupun diri masing-masing.
John Dewey mengatakan bahwa pendidikan itu bersinonim dengan
tumbuh, dan tumbuh itu merupakan penjelasan biologis yang paling
penting baginya. Dewey menyatakan bahwa pengalaman merupakan
sesuatu yang mendidik apabila pengalaman itu menghasilkan suatu
pertumbuhan, yaitu sesuatu yang mampu membuat siswa lebih tertarik
untuk mengetahui atau mempelajarinya, atau mengalaminya. Tujuan
dari pendidikan menurut Dewey adalah untuk mendapatkan
pendidikan berikutnya, oleh sebab itu, pendidikan dapat berfungsi
sebagai alat sekaligus tujuan untuk memperoleh atau mendapat
sesuatu. Selanjutnya, Dewey mempercayai bahwa proses pendidikan
sebagai sebuah proses yang harus dilalaui oleh seseorang dalam
kehidupan sehari atau sering disebut dengan ”learning by doing”.
J.J. Rousseau yang menganut paham naturalistik menyatakan bahwa
manusia dipengaruhi oleh alam. Manusia terlahir baik namun
perubahan manusia menjadi jahat karena dipengaruhi oleh alam,
lingkungan sekitarnya. Tugas utama seorang manusia adalah untuk
menjadi manusia seutuhnya. (learn to be human). Menurut Rousseau
untuk mengajari seorang anak kita harus mengenali mereka terlebih
dahulu, dan untuk menghindarkan anak dari pendidikan yang
’mencelakakan’ maka anak harus tumbuh di alam atau lingkungannya
sendiri.
Dari kelima teori tersebut di atas, beberapa hal yang dapat diambil
sebagai suatu pemikiran yang mampu memberikan sumbangan
terhadap pelaksanaan pendidikan adalah bahwa :
1. Manusia terlahir dengan potensi yang berbeda
2. Alam membantu proses perkembangan manusia dengan usaha
yang dilakukan oleh manusia itu sendiri
3. Manusia dan alam tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan
satu kesatuan yang akan saling mendukung.
4. Keberadaan manusia barulah menjadi sesuatu yang berarti jika
dia dapat memberikan kebaikan pula kepada alam, dan alam
mengajarkan berbagai macam hal kepada manusia.
5. Untuk menjadi manusia yang seutuhnya, seorang haruslah bisa
memahami alam dan lingkungannya, dengan cara tumbuh dan
berkembang di alam dan lingkungan tersebut, sehingga dia paham
betul dengan apa yang seharusnya dia lakukan untuk menjaga
keseimbangan alam tersebut.
6. Pengalaman memberikan pelajaran yang baik bagi seseorang
dalam menghadapi alam dan lingkungannya, dan menjadi
’referensi’ dalam menjalani sesuatu hal yang baru.
7. Seseorang akan mempelajari sesuatu sesuai dengan kemampuan,
dan sesuai dengan kebutuhannya.
8. Keberadaan seorang guru atau pendidik dibutuhkan untuk
menjadi pendorong, inspirasi dan pengarah bagi seseorang dalam
mengembangkan potensi dirinya.

Dalam proses pembelajaran dewasa ini, kelima teori di atas dicoba


diaplikasikan dengan kerangka Kurikulum Berbasis Kompetensi
(Kurikulum 2004), yang menempatkan peran guru yang lebih mengarah
kepada fasilitator, mengajarkan kepada para peserta didik tentang ’life
skill’ sesuai dengan perkembangannya dan memberikan kesempatan
yang luas bagi peserta didik dalam memperoleh pengetahuan yang
dibutuhkan. Guru sebagai fasilitator sesuai dengan falsafah tut wuri
handayani, mengajarkan ’life skill’ sejalan theory of knowledge yang
dikemukakan oleh Rousseau yaitu educate to be a man, not one
profession, he will be able to do whatever is needed in any situation
(didiklah anak untuk menjadi seorang manusia, bukan menjadi sebuah
profesi, maka ia akan mampu mengatasi berbagai hal diberbagai
situasi), dan sesuai pula dengan pandangan Dewey bahwa pengalaman
merupakan sesuatu yang mendidik apabila pengalaman itu
menghasilkan suatu pertumbuhan, yaitu sesuatu yang mampu
membuat siswa lebih tertarik untuk mengetahui atau mempelajarinya,
atau mengalaminya, yang teraplikasi dalam ’life skill’ tersebut.
Sementara teori Piaget tentang perkembangan kognitif diaplikasikan
dalam bentuk standar kompetensi yang harus dikuasai atau dimiliki
oleh seorang peserta didik sesuai dengan tingkatannya.
Contoh lain adalah dalam pelaksanaan pendidikan inklusif yang
saat ini tengah disosialisasikan di Indonesia. Setiap anak memiliki hak
yang sama untuk mendapatkan pendidikan agar mereka bisa
mengembangkan potensi dirinya. Pendidikan inklusif menjanjikan
kesempatan yang sama tersebut dengan memberikan kesempatan bagi
anak-anak yang’ berkekurangan’ untuk belajar bersama-sama dengan
anak-anak normal. Rousseau menyatakan bahwa manusia itu
dipengaruhi oleh alamnya, sehingga jika seorang anak yang
berkekurangan ikut belajar bersama-sama dengan anak-anak yang
normal dalam satu lingkungan yang sama, akan mampu memberikan
sumbangan yang positif bagi setiap anak dengan memberikan
pemahaman bahwa kehidupan setiap individu tidaklah sama dan
sebangun, dan mereka diajarkan untuk hidup dalam lingkungan yang
demikian. Sementara prinsip learning by doing yang diusung oleh Dewey
memperlihatkan bahwa anak-anak yang berkekurangan akan belajar
berdasarkan pengalaman mereka masing-masing bagaimana hidup di
lingkungan anak-anak yang normal, yang membiasakan mereka untuk
hidup bersama-sama masyarakat luas nantinya. Peran guru yang
memberikan bimbingan, terutama guru pembimbing bagi anak-anak
yang berkurangan, memperlihatkan bagaimana prinsip tut wuri
handayani memang diperlukan dalam membimbing anak-anak yang
berkekurangan di dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah.
Mereka tidak berperan sebagai yang maha tahu dan memberikan
jawaban kepada siswa yang berkekurangan, namun berperan sebagai
pengarah yang memberi petunjuk bagaimana seharusnya yang
dilakukan oleh siswa tersebut. Keikut sertaan para siswa yang
berkekurangan ini di sekolah yang diikuti oleh siswa normal juga
menjadi modal dasar bagi mereka untuk belajar menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang sesungguhnya, yang sejalan dengan falsafah
alam takambang jadi guru. Pendidikan inklusif juga tidak melupakan
tahapan perkembangan anak dengan menempatkan anak sesuai dengan
tingkatan perkembangan usianya, maksudnya pendidikan inklusif tidak
hanya pada satu tingakt pendidikan saja, namun tetap pada satuan
pendidikan umum seperti tingkatan sekolah dasar dan sekolah
menengah.

2. Pengertian Pendidikan menurut UU No. 20/2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Penekanan akan pentingnya psikologi pendidikan terlihat sangat
kental pada definisi ini. Psikologi pendidikan adalah sebuah disiplin
ilmu yang memfokuskan kajiannya terhadap proses belajar mengajar
dengan mengaplikasikan berbagai metode dan teori psikologi ke dalam
proses tersebut. Hal ini terlihat jelas dengan dinyatakannya bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran, yang memerlukan kajian dan
pemahaman yang mendalam tentang bagaimana metode dan apa teori
yang diperlukan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran yang dimaksud. Bagian yang menyatakan ’agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya’ memperlihatkan
perlunya kajian yang mendalam tentang diri peserta didik agar kegiatan
pendidikan yang mereka lakukan sesuai dengan potensi yang mereka
miliki.
Sebagai salah satu contoh aplikasi dalam proses pembelajaran
adalah proses pembelajaran dalam pendidikan inklusif. Pendidikan
inklusif adalah pengejawantahan dari prinsip education for all, yang
memberikan kesempatan pendidikan untuk semua anak tanpa
memandang perbedaan yang mereka miliki, khususnya bagi anak-anak
yang berkekurangan (cacat) yang diberikan kesempatan untuk
menikmati pendidikan yang sama dengan anak-anak yang normal.
Jika dikaji dari sudut pandang ini, usaha untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran yang sesuai dengan anak-
anak yang berkekurangan ini sangat memerlukan pengetahuan dan
pemahaman para penyelenggara pendidikan. Termasuk di dalam
penyelenggara pendidikan ini adalah guru, administator serta stake
holder lainnya. Kajian tentang metode dan teori yang cocok dengan
keadaan peserta didik inilah yang termasuk ke dalam bidang kajian
psikologi pendidikan. Kemudian bagaimana seorang guru mampu
memfasilitasi anak-anak yang berkekurangan ini untuk bisa memahami
dan menguasai sebuah subjek yang diajarkan dan bagaimana si anak
berusaha untuk memahami dan terlibat dalam proses pembelajaran
yang memberikan hasil yang positif, juga memerlukan kajian yang
mendalam yang termasuk ke dalam bidang psikologi pendidikan, seperti
usaha seorang guru pembimbing (bagi anak yang berkekurangan) untuk
mendamping siswa yang berkekurangan di dalam kelas tanpa
mengganggu konsentrasi siswa (normal) lainnya .
Pengembangan potensi diri peserta didik juga menjadi fokus kajian
dalam psikologi pendidikan. Dalam pendidikan inklusif hal tersebut
lebih kentara dengan adanya kekurangan yang dimiliki oleh siswa,
sehingga guru harus jeli melihat potensi apa yang dimiliki oleh siswa
sehingga dapat dikembangkan dan berhasil membuat siswa tersebut
dapat memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan sebagaimana
yang dimaksud pada pengertian pendidikan dalam UU No 20/2003 di
atas.
Sebagai penguatan atas argumen di atas, kegiatan pendidikan
sebagaimana disebutkan di atas telah teraplikasi pada salah satu
sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di Padang, yaitu
SMP Negeri 23. Gaung ”education for all” yang dikumandangkan oleh
UNESCO memperjelas pentingnya peran psikologi pendidikan dalam
memahami pengertian pendidikan sebagaimana yang dinyatakan dalam
pasal 1 UU No. 20/2003 tersebut. Potensi peserta didik bukan hanya
potensi yang dimiliki oleh peserta didik yang normal, akan tetapi juga
peserta didik yang termasuk siswa yang berkekurangan (exceptional
child) dan siswa yang berkelebihan (gifted child), sehingga perlu
pemahaman yang sangat mendalam agar usaha mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran tersebut dapat terlaksana dengan baik.

Вам также может понравиться