Вы находитесь на странице: 1из 21

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, dimana atas segala rahmat dan
hidayat-nya, kami dapat menyelesaikan Makalah Tentang Management Airway
Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya akhir zaman.

Alhamdulillah, kami dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun penulis


menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan di dalam makalah ini.
Untuk itu kami berharap adanya kritik dan saran yang membangun guna
keberhasilan penulis yang akan datang.

Akhir kata, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak


yang telah membantu hingga terselesainya makalah ini semoga segala upaya yang
telah dicurahkan mendapat berkah dari Allah SWT. Amin

Bandar Lampung, 29 Maret 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 2

1.3 Tujuan .................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Anatomi jalan nafas.................................................................................. 3


2.2 Pengertian airway management ............................................................... 4
2.3 Macam-macam gangguan jalan napas ..................................................... 5
2.4 Pengkajian jalan napas ............................................................................. 6
2.5 teknik pengelolaan jalan nafas/manajemen airway .................................. 7

BAB III PENUTUP

Kesimpulan .................................................................................................. 18

Daftar pustaka .............................................................................................. 19

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat
tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pertolongan.
Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula pasien tersebut
mendapat pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.
Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang
cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan
ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain.
Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam
kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila
terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak
permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan kematian.
Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan
menunjukkan dimana kesulitan dalam menangani jalan napas dan kesalahan
dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi
pasien tersebut. Keenan dan Boyan melaporkan bahwa kelalaian dalam
memberikan ventilasi yang adekuat menyebabkan 12 dari 27 pasien yang
sedang dioperasi mengalami mati jantung (cardiac arrest). Salah satu
penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata
oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup
terhadap episode pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541
pasien dalam studi tersebut. Tiga kesalahan mekanis, yang terhitung
terjadi sebanyak 75% pada saat tatalaksanan jalan napas yaitu : ventilasi
yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan intubasi
trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi kasus,
mengalami kematian dan kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari 15411
pasien di atas), mengalami masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan
napas yang minimal. Menurut Cheney et al menyatakan beberapa hal yang

1
menjadi komplikasi dari tatalaksana jalan napas yang salah yaitu : trauma
jalan napas, pneumothoraks, obstruksi jalan napas, aspirasi dan spasme
bronkus. Berdasarkan data-data tersebut, telah jelas bahwa tatalaksana
jalan napas yang baik sangat penting bagi keberhasilan proses operasi dan
beberapa langkah berikut adalah penting agar hasil akhir menjadi baik,
yaitu: (1) anamnesa dan pemeriksaan fisik, terutama yang berhubungan
dengan penyulit dalam sistem pernapasan, (2) penggunaan ventilasi
supraglotik ( seperti face mask, Laryngeal Mask Airway/LMA), (3) tehnik
intubasi dan ekstubasi yang benar, (4) rencana alternatif bila keadaan gawat
darurat terjadi.
Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita gawat darurat
penting dilakukan secara efektif dan efisien dan penatalaksanaan jalan nafas
(airway management) perlu dilakukan..

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana anatomi jalan nafas?
2. Apakah yang dimaksud dengan airway management?
3. Apa saja macam-macam gangguan jalan nafas?
4. Bagaimana pengkajian jalan nafas?
5. Bagaimanakah teknik pengelolaan jalan nafas/manajemen airway?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi jalan nafas.
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan airway management.
3. Untuk mengetahui macam-macam gangguan jalan nafas.
4. Untuk mengetahui pengkajian jalan nafas.
5. Untuk mengetahui teknik pengelolaan jalan nafas/manajemen airway.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Jalan Nafas


Keberhasilan pengelolaan jalan nafas diantaranya intubasi, ventilasi,
krikotirotomi dan anestesi regional untuk laring memerlukan pengetahuan
detail dari anatomi jalan nafas.

Gambar 1. Anatomi jalan nafas

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung
yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars
oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi
kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar 1). Faring
berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar
tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian
depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring
dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh
garis imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional
epiglotis memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis
mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat
menelan. Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan

3
otot. Laring disusun oleh 9 kartilago (gambar 2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan
(sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.

Gambar 2. Anatomi Kartilago

2.2 Pengertian Airway Management


Airway management ialah memastikan jalan napas terbuka. Tindakan
paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran
pernapasan dengan tujuan untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru
secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenasi jaringan (American
Society of Anesthesiologists, 2013).
Menurut Bingham (2008), airway management adalah prosedur medis
yang dilakukan untuk mencegah obstruksi jalan napas untuk memastikan jalur
nafas terbuka antara paru-paru pasien dan udara luar. Hal ini dilakukan dengan
membuka jalan nafas atau mencegah obstruksi jalan napas yang disebabkan
oleh lidah, saluran udara itu sendiri, benda asing, atau bahan dari tubuh sendiri,
seperti darah dan cairan lambung yang teraspirasi.

4
2.3 Macam-Macam Gangguan Jalan Nafas
1. Obstruksi jalan nafas dibagi menjadi 2 berdasarkan derajat sumbatan:
a. Obstruksi total
Keadaan dimana jalan nafas menuju paru-paru tersumbat total,
sehingga tidak ada udara yang masuk ke paru-paru. Terjadi perubahan
yang akut berupa hipoksemia yang menyebabkan terjadinya kegagalan
pernafasan secara cepat. Sementara kegagalan pernafasan sendiri
menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi kardiovaskuler dan
menyebabkan pula terjadinya kegagalan SSP dimana penderita
kehilangan kesadaran secara cepat diikuti dengan kelemahan motorik
bahkan mungkin pula terdapat renjatan (seizure). Bila tidak dikoreksi
dalam waktu 5 – 10 menit dapat mengakibatkan asfiksia (kombinasi
antara hipoksemia dan hipercarbi), henti nafas dan henti jantung.

b. Obstruksi parsial
Sumbatan pada sebagian jalan nafas sehingga dalam keadaan ini
udara masih dapat masuk ke paru-paru walaupun dalam jumlah yang
lebih sedikit. Bila tidak dikoreksi dapat menyebabkan kerusakan otak.
Hal yang perlu diwaspadai pada obstruksi parsial adalah Fenomena
Check Valve yaitu udara dapat masuk, tetapi tdk keluar.

2. Obstruksi jalan nafas berdasarkan penyebab:


Keadaan yang harus diwaspadai adalah :
a. Trauma
Trauma dapat disebabkan oleh karena kecelakaan, gantung diri, atau
kasus percobaan pembunuhan. Lokasi obstruksi biasanya terjadi di
tulang rawan sekitar, misalnya aritenoid, pita suara dll.
1) Trauma maksilofasial
Trauma pada wajah membutuhkan mekanisme pengelolaan airway
yang agresif. Contoh mekanisme penyebab cedera ini adalah
penumpang/pngemudi kendaraan yang tidak menggunakan sabuk
pengaman dan kemudian terlempar mengenai kaca depan dan

5
dashboard. Trauma pada daerah tengah wajah dapat menyebabkan
fraktur-dislokasi dengan gangguan pada nasofaring dan orofaring.
2) Trauma leher
Cedera tumpul atau tajam pada leher dapat menyebabkan
kerusakan pada laring atau trakhea yang kemudian meyebabkan
sumbatan airway atau perdarahan hebat pada sistem trakheobronkial
sehingga sebegra memerlukan airway definitif. Cedera leher dapat
menyebabkan sumbatan airway parsial karena kerusakan laring dan
trakea atau penekanan pada airway akibat perdarahan ke dalam
jaringan lunak di leher.
3) Trauma laringeal
Meskipun fraktur laring merupakan cedera yang jarang terjadi, tetapi
hal ini daat menyebabkan sumbatan airway akut.

2.4 Pengkajian Jalan Nafas


1. LOOK:
Look untuk melihat apakah pasien agitasi/gelisah, mengalami penurunan
kesadaran, atau sianosis. Lihat juga apakah ada penggunaan otot bantu pernafasan
dan retraksi. Kaji adanya deformitas maksilofasial, trauma leher trakea, dan debris
jalan nafas seperti darah, muntahan, dan gigi yang tanggal.
a. Kesadaran; “the talking patient” : pasien yang bisa bicara berarti airway
bebas, namun tetap perlu evaluasi berkala. Penurunan kesadaran memberi
kesan adanya hiperkarbia
b. Agitasi memberi kesan adanya hipoksia
c. Nafas cuping hidung
d. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya
oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan kulit
sekitar mulut
e. Adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang
merupakan bukti adanya gangguan airway.

6
2. LISTEN:
Dengarkan suara nafas abnormal, seperti:
a. Snoring, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
b. Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda asing
c. Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas
setinggi larings (Stridor inspirasi) atau setinggi trakea (stridor ekspirasi)
d. Hoarseness, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
e. Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang
membutuhkan napas pendek untuk bicara menandakan telah terjadi gagal
napas
3. FEEL:
a. Aliran udara dari mulut/ hidung
b. Posisi trakea terutama pada pasien trauma. Palpasi trakea untuk
menentukan apakah terjadi deviasi dari midline.
c. Palpasi apakah ada krepitasi

2.5 Teknik Pengelolaan Jalan Nafas/Manajemen Airway


Manajemen airway/jalan napas merupakan salah satu ketrampilan khusus yang
harus dimiliki oleh dokter atau petugas kesehatan yang bekerja di Unit Gawat
Darurat. Manajemen jalan napas memerlukan penilaian, mempertahankan dan
melindungi jalan napas dengan memberikan oksigenasi dan ventilasi yang efektif.
1. Pengelolaan Jalan Nafas dengan Mengeluarkan benda asing dari jalan
nafas
a. Teknik Mengeluarkan Benda Asing Pada Pasien Dewasa Sadar
1) Manuver Heimlich/Abdominal Thrust (hentakan pada perut), langkah –
langkah sebagai berikut:
(1) Langkah 1
 Memastikan pasien/korban tersedak, tanyakan” apakah anda

7
 tersedak ?”
 Jika pasien/korban mengiyakan dengan bersuara dan masih dapat
bernafas serta dapat batuk, mintalah pasien/korban batuk sekeras
mungkin agar benda asing dapat keluar dari jalan napas
 Bila jalan napas pasien/korban tersumbat, dia tidak dapat
berbicara, bernapas, maupun batuk dan wajah pasien/korban
kebiruan (sumbatan total). Penolong harus segera melakukan
langkah berikutnya.
(2) Langkah 2
 Bila pasien/korban berdiri penolong berdiri di belakang
pasien/korban, bila pasien/korban duduk penolong berlutut dan
berada di belakang pasien/korban.
 Letakkan satu kaki di antara kedua tungkai pasien/korban

Gambar 3. Abdominal Thrust


(3) Langkah 3
 Lingkarkan lengan anda pada perut pasien/korban dan cari pusar
 Letakkan 2 jari di atas pusar
 Kepalkan tangan yang lain
 Tempatkan sisi ibu jari kepalan tangan pada dinding abdomen di
atas dua jari tadi
 Minta pasien/korban membungkuk dan genggam kepalan tangan
anda dengan tangan yang lain
 Lakukan hentakan ke arah dalam dan atas (sebanyak 5 kali )
 Periksa bilamana benda asing keluar setiap 5 kali hentakan

8
 Ulangi abdominal thrust sampai benda asing keluar atau
pasien/korban tidak sadar.
(4) Chest Thrust (Hentakkan Dada)
Langkahnya sama dengan Manuver Heimlich bedanya pada
peletakan sisi ibu jari kepalan tangan pada pertengahan tulang dada
pasien/korban dan hentakan dilakukan hanya ke arah dalam serta
posisi kepala pasien/korban menyandar di bahu penolong.

b. Teknik Pertolongan Sumbatan Benda Asing Pada Pasien Dewasa Tidak


Sadar
1. Langkah 1
1) Posisikan pasien/korban terlentang di alas yang datar dan keras.
2 Langkah 2
1) Buka jalan napas pasien/korban dengan head tilt-chin lift
2) Periksa mulut pasien/korban untuk melihat bilamana tampak benda
asing.
3) Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan
teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk
yang disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah. Kegagalan membuka
nafas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan
jalan nafas di daerah faring atau adanya henti nafas (apnea)

·
Gambar 4. Cross Finger

9
4) Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga
mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari (finger sweep).

Gambar 5. Finger Sweep


3 Langkah 3
1) Evaluasi pernapasan pasien/korban dengan melihat, mendengar dan
merasakan
2) Bila tidak ada napas, lakukan ventilasi
3) Bila jalan napas tersumbat, reposisi kepala dan lakukan ventilasi ulang
4 Langkah 4
Bila jalan napas tetap tersumbat, lakukan 30 kompresi dada (posisi
tangan untuk kompresi dada sama dengan RJP dewasa)
5 Langkah 5
Ulangi langkah 2-4 sampai ventilasi berhasil (ventilasi berhasil bila
terjadi pengembangan dinding dada)
6 Langkah 6
1) Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi ketika jalan napas bebas
2) Jika nadi tidak teraba, perlakukan sebagai henti jantung, lanjutkan RJP
30:2
3) Jika nadi teraba, periksa pernapasan
4) Jika tidak ada napas, lakukan bantuan napas 10-12x/menit (satu tiupan
tiap 5-6 detik) dengan hitungan satu ribu, dua ribu, tiga ribu, empat
ribu, tiup. Ulangi sampai 12 kali.
5) Jika nadi dan napas ada, letakkan pasien/korban pada posisi recovery
6) Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pernapasan tiap beberapa
menit.

10
2. Pengelolaan Jalan Nafas Secara Manual
Pada pasien yang tidak sadar, penyebab tersering sumbatan jalan napas yang
terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot tenggorokan. Dalam kasus ini
lidah jatuh ke belakang dan menyumbat jalan napas ada bagian faring.
Letakkan pasien pada posisi terlentang pada alas keras ubin atau selipkan papan
kalau pasien diatas kasur. Jika tonus otot menghilang, lidah akan menyumbat
faring dan epiglotis akan menyumbat laring. Lidah dan epiglotis penyebab
utama tersumbatnya jalan nafas pada pasien tidak sadar. Untuk menghindari
hal ini dilakukan beberapa tindakan, yaitu:
1) Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift manuver)
Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong
mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong
dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan
epiglotis terbuka, sniffing position, posisi hitup.
2) Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust manuver)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangakat didorong
kedepan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Karena lidah
melekat pada rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan nafas terbuka.
Dalam melakukan teknik membebaskan jalan nafas agar selalu diingat
untuk melakukan proteksi Cervical-spine terutama pada pasien
trauma/multipel trauma.

Gambar 8: Teknik Head Tilt-Chin Lift Gambar 8: Teknik Jaw Thrust

11
Gambar 9. Proteksi Cervical-Spine

3. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat Sederhana


Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang tidak sadar
atau dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah
dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan
teknik yang disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk mempertahankan
jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway) dapat dimasukkan
melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara antara lidah
dengan dinding faring bagian posterior (Gambar 11). Pasien yang sadar atau
dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat
memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring masih intact.

Gambar 11. Oropharyngeal Airway dan Nasopharyngeal Airway

12
a. Oropharyngeal Airway (OPA)
Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan
penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah
dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80
mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100
mm/Guedel no 5).
Alat bantu napas ini hanya digunakan pada pasien yang tidak sadar
bila angkat kepala-dagu tidak berhasil mempertahankan jalan napas atas
terbuka. Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien sadar atau setengah
sadar karena dapat menyebabkan batuk dan muntah. Jadi pada pasien yang
masih ada refleks batuk atau muntah tidak diindikasikan untuk pemasangan
OPA.

Gambar 12. Pemasangan OPA

Setelah pemasangan OPA, lakukan pemantauan pada pasien.


Jagalah agar kepala dan dagu tetap berada pada posisi yang tepat untuk
menjaga patensi jalan napas. Lakukan penyedotan berkala di dalam mulut
dan faring bila ada sekret, darah atau muntahan.

Perhatikan hal-hal berikut ini ketika menggunakan OPA :


1) Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan
menyebabkan trauma pada struktur laring.
2) Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat
menekan dasar lidah dari belakang dan menyumbat jalan napas.

13
3) Masukkan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya trauma
jaringan lunak pada bibir dan lidah.

b. Nasopharyngeal Airway (NPA)


Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang
hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral
airway. Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh
digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid.
Juga, nasal airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis
cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa
nasogastrik, pipa nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal airway lebih
ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan anestesi ringan.

Gambar 13: Pemasangan Nasofaringeal Airway

4. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat Lanjutan


a. Face Mask Design dan Teknik
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen dari
sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat
(gambar 15). Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka
pasien. Face mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi
dan muntahan.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face
mask yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak
tepat dapat menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup,
hal ini menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya,

14
tekanan sirkuit breathing yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara
pernafasan yang minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.

Gambar 14. Face mask dewasa

b. Intubasi dengan Endotrakeal Tube (ETT)


ETT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang
lentur, spiral, wire – reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai
pada operasi kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup.
Jika pipa lapis baja menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim (contoh
pasien bangun dan menggigit pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT
harus diganti.

Gambar 18. Endotrakeal Tube

c. Combitube
Pipa kombinasi esophagus – tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2
pipa, masing-masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya.
Meskipun pipa kombinasi masih rerdaftar sebagai pilihan untuk penanganan
jalan nafas yang sulit dalam algoritma Advanced Cardiac Life Support,
biasanya jarang digunakan oleh dokter anestesi yang lebih suka memakai
LMA atau alat lain untuk penanganan pasien dengan jalan nafas yang sulit.

15
Gambar 19. Pemasangan Combitude

5. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Pengisapan Benda Cair (suctioning)


Bila terdapat sumbatan jalan nafas oleh benda cair. Pengisapan dilakukan
dengan alat bantu pengisap (pengisap manual atau dengan mesin).

6. Pengelolaan Jalan Nafas dengan Tindakan Operasi


Metode bedah untuk manajemen jalan napas mengandalkan membuat
sayatan bedah dibuat di bawah glotis untuk mencapai akses langsung ke saluran
pernapasan bagian bawah, melewati saluran pernapasan bagian atas.
Manajemen jalan napas bedah sering dilakukan sebagai upaya terakhir dalam
kasus di mana Orotracheal dan intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau
kontraindikasi. Manajemen jalan napas bedah juga digunakan ketika seseorang
akan membutuhkan ventilator mekanik untuk jangka waktu lama.
Metode bedah untuk manajemen jalan napas termasuk cricothyrotomy dan
trakeostomi. Cricothyrotomy adalah sayatan dilakukan melalui kulit dan
membran krikotiroid untuk membangun jalan napas paten selama situasi yang
mengancam jiwa tertentu, seperti obstruksi jalan napas oleh benda asing,
angioedema, atau trauma wajah besar. Cricothyrotomy hampir selalu dilakukan
sebagai jalan terakhir dalam kasus di mana Orotracheal dan intubasi
nasotrakeal tidak mungkin atau kontraindikasi. Cricothyrotomy lebih mudah
dan lebih cepat untuk dilakukan daripada tracheostomy, tidak memerlukan
manipulasi tulang belakang leher dan berhubungan dengan komplikasi yang
lebih sedikit.
Tracheostomy adalah pembukaan operasi dibuat dari kulit leher ke trakea.
Sebuah tracheostomy di mana seseorang akan perlu berada di ventilator
mekanik untuk jangka waktu lama. Keuntungan dari tracheostomy termasuk
risiko kurang dari infeksi dan kerusakan trakea seperti trakea stenosis

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengelolaan jalan nafas atau airway management adalah prosedur medis
yang dilakukan untuk mencegah obstruksi jalan napas untuk memastikan jalur
nafas terbuka antara paru-paru pasien dan udara luar. Hal ini dilakukan dengan
membuka jalan nafas atau mencegah obstruksi jalan napas yang disebabkan
oleh lidah, saluran udara itu sendiri, benda asing, atau bahan dari tubuh sendiri,
seperti darah dan cairan lambung yang teraspirasi.
Obstruksi jalan nafas terbagi menjadi 2 yaitu obstruksi total dan parsial. Ada
dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang
menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars
oralis). Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari
otot genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis
jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring. Pemasangan oral airway
kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas dan kadang-
kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah.
Untuk menghilangkan sumbatan pada jalan nafas agar jalan nafas dapat
terbuka sehingga udara dapat masuk ke paru-paru dilakukan tatalaksana jalan
nafas yang terdiri dari pengeluaran benda asing/sumbatan dari saluran
pernafasan menggunakan teknik heimlich manuver dan abdominal thrust pada
pasien sadar dan cross finger dan finger sweep pada pasien tidak sadar;
pengelolaan jalan nafas dengan teknik manual yaitu head-tilt chin lift untuk
pasien non trauma servikal dan jaw thrust untuk pasien yang mengalami trauma
servikal; pengelolaan jalan nafas dengan bantuan alat sederhana yaitu
Oropharyngeal airway (OPA) dan Nasopharyngeal Airway; pengelolaan jalan
nafas dengan alat lanjutan yaitu bag valve mask, combitube, intubasi dengan
ETT.

17
DAFTAR PUSTAKA

American Society of Anesthesiologists, 2013. Practice Guidelines for Management of


the Difficult Airway-An Updated Report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway. Jurnal
American Society of Anesthesiologists vol.118 no.2.

Bingham, Robert M.; Proctor, Lester T. 2008. Airway Management. Pediatric


Clinics of North America. 55 (4): 873–886. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18675024 pada 11 Oktober 2016.

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi 2nd ed.
Jakarta: FKUI.

Manchini, Mary E. 2000. Prosedur Keperawatan Darurat.Jakarta: EGC

Morgan GE et al. 2006.Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange


Medical Book.

Ollerton, JE. 2007. Adult Trauma Clinical Practice Guidelines, Emergency Airway
Management in the Trauma Patient. NSW Institute of Trauma and Injury
Management. Diunduh dari http://www.itim.nsw.gov.au pada 11 Oktober
2016.

Prasenohadi. 2010. Manajemen Jalan Napas; Pulmonologi Intervensi dan Gawat


Darurat Napas. Jakarta: FK UI.

Wilson WC, Grande CM, Heyt DB. 2007. Trauma Emergency Resuscitation
Perioprative Anesthesia Surgical Management Volume 1. New York:
Informa Health Care

18

Вам также может понравиться