Вы находитесь на странице: 1из 19

ASUHAN KEBIDANAN KALA III

PERSALINAN
MELAKSANAKAN ASUHAN KEBIDANAN KALA III PERSALINAN

1. Memberikan asuhan pada ibu bersalin kala III


A. Fisiologi Kala III
Kala III dimulai sejak bayi lahir sampai lahirnya placenta / uri. Rata-rata lama kala III
berkisar 15-30 menit, baik primipara maupun multipara. Tempat implantasi placenta sering
pada dinding depan dan belakang korpus uteri atau dinding lateral (Sumarah, 2008).

1. Pelepasan Placenta
Setelah bayi lahir, terjadi kontraksi uterus, mengakibatkan volume rongga uterus
berkurang, dinding uterus menebal. Pada tempat implantasi placenta juga terjadi penurunan
luas area. Ukuran placenta tidak berubah, sehingga menyebabkan plasenta terlipat,
menebal dan akhirnya terlepas dari dinding uterus. Plasenta terlepas sedikit demi sedikit.
Terjadi pengumpulan perdarahan diantara ruang placenta dan desidua basalis yang retro
placenter hematom. Setelah plasenta terlepas, plasenta akan menempati segmen bawah
uterus atau vagina.
Macam pelepasan plasenta
a. Mekanisme Schultz : Pelepasan plasenta yang dimulai dari sentral / bagian tengah sehingga
terjadi bekuan retroplasenta. Tanda pelepasan dari tengah ini mengakibatkan perdaran tidak
terjadi sebelum plasenta lahir. Perdaran terjadi setelah placenta lahir.
b. Mekanisme Duncan : terjadi pelepasan placenta dari pinggir atau bersamaan dari pinggir
dan tengah mengakibatkan semburan darah sebelum plasenta lahir.
Tanda-tanda pelepasan plasenta
a. Perubaha bentuk uterus. Dari doscoid menjadi globuler akibat dari kontraksi uterus.
b. Semburan darah tiba-tiba
c. Tali pusat memanjang
d. Perubahan posisi uterus. Setelah plasenta lepas dan menempati segmen bawah rahim,
maka uterus muncul pada rongga abdomen

2. Pengeluaran plasenta
Plasenta yang sudah lepas dan menempati segmen bawah rahim kemudian melalui
servik, vagina dan dikeluarkan ke introitus vagina.
a. Pemeriksaan Pelepasan Plasenta
Kustner : Tali pusat diregangkan dengan tangan kanan, tangan kiri menekan atas simpisis.
Penilaian :
1. Tali pusat masuk berarti belum lepas
2. Tali pusat bertambah panjang atau tidak masu berarti lepas
Pengawasan perdarahan
a. Selama hamil aliran darah keuterus 500-800 ml/menit
b. Uterus tidak kontraksi dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 300-500 ml.
c. Kontraksi uterus akan menekan pembuluh darah uterus diantaranya anyaman miometrium.

B. Manajemen Aktif kala III


Syarat : janin tunggal / memastikan tidak ada lagi janin di uterus
Tujuan :Membuat kontraksi uterus efekif.
Keutungan :
1. Lama kala III lebih singkat
2. Jumlah perdarahan berkurang sehingga dapat mencegah perdarahan postpartum
3. menurunkan kejadian retensio plasenta
Manajemen aktif kala III terdiri dari :
a. Pemberian oksitosin
b. Penegangan tali pusat terkendali
c. Masase fundus uteri
Penjelasan
Pemberian oksitosin 10 U
1) Sebelum memberikan oksitosin, melakukan pengkajian dengan melakukan palpasi pada
abdomen untuk meyakinkan hanya ada bayi tunggal.
2) Dilakukan sepertiga paha bagian luar
3) Bila 15 menit plasenta belum lahir, maka berikan oksitosin ke-2, evaluasi kandung kemih
apakah penuh. Bila penuh lakikan kateterisasi.
4) Bila 30 menit belim lahir, maka berikan oksitosin ke-3, sebanyak 10 mg dan rujuk pasien
Penegangan tali pusat terkendali
a) Klem dipindahkan 5-10 cm dari vulva
b) Tangan kiri diletakkan di atas perut memeriksa kontraksi uterus. Ketika menegangkan tali
pusat tahan uterus.
c) Saat ada kontraksi uterus, tangan di atas perut melakukan gerakan dorso cranial dengan
sedikit tekanan. Cegah agar tidak terjadi inversion uteri
d) Ulangi lagi bila plasenta belum lepas
e) Pada saat plasenta belum lepas, ibu dianjurkan sedikit meneran dan penolong sambil terus
mengangkat tali pusat.
f) Bila plasenta sudah tampak lahir di vulva, lahirkan dengan kedua tangan. Perlu diperhatikan
bahwa selaput placenta mudah tertinggal maka plasenta ditelungkupkan dan diputar dengan
hati-hati searah dengan jarum jam
Masase fundus uteri
1) Tangan diletakkan diatas fundus uteri.
2) Gerakan tangan dengan pelan, sedikit ditekan, memutar searah jarum jam. Ibu diminta
bernafas dalam untuk mengurangi ketegangan atau rasa sakit.
3) Kaji kontraksi uterus 1-2 menit, bombing pasien dan keluarga untuk melakukan masase
uterus.
4) Evaluasi kontraksi uterus setiap 15 menit selama 1 jam pertama dan 30 menit pada jam ke-
2.

C. Pemeriksaan Plasenta

1. Selaput ketuban utuh atau tidak


2. Plasenta : ukuran plasenta
- Bagian maternal : jumlah kotiledon, keutuhan pinggir kotiledon
- Bagian fetal : utuh atau tidak
3. Tali pusat : jumlah arteri atau vena yang terputus untuk mendeteksi plasenta suksenturia.
Insersi tali pusat apakah sentral, marginal, serta panjang tali pusat.

D. Pemantauan Kala III


a) Perdarahan : Jumlah darah diukur, disertai dengan bekuan darah atau tidak
b) Kontraksi uterus : bentuk uterus, intensitas.
c) Robekan jalan lahir / laserasi, rupture perineum.
d) Tanda vital :
- Tekanan darah bertambah tinggi dari sebelum persalinan
- Nadi bertambah cepat
- Temperatur bertambah tinggi
- Respirasi berangsur normal
- Gastrointestinal normal, pada awal persalinan mungkin muntah
e) Personal hygiene

E. Kebutuhan Ibu pada Kala III


1) Ketertarikan ibu pada bayi. Ibu mengamati bayinya, menanyakan apa jenis kelaminnya,
jumlah jari-jari dan mulai menyentuh bayi.
2) Perhatian pada dirinya. Menjelaskan kondisi ibu, perlu penjahitan atau tidak, bimbingan
tentang kelanjutan tindakan dan perawatan ibu
3) Tertark plasenta. Menjelaskan kondisi plasenta, lahir lengkap atau tidak.

F. Pendokumentasian Kala III


a) Lama kala III
b) Pemberian oksitosin berapa kali
c) Bagaimana pelaksanaan Penegangan Tali Pusat Terkendali
d) Perdarahan
e) Kontraksi uterus
f) Adakah laserasi jalan lahir
g) Vital sign ibu
h) Keadaan bayi baru lahir

2.4 Asuhan pada Kala III

A. Pemantauan Kala III

1. Kontraksi
Pemantauan kontraksi pada kala III dilakukan selama melakukan manajemen aktif kala III ( ketika
Ptt), sampai dengan sesaat setelah plasenta lahir. Pemantauan kontraksi dilanjutkan selama satu jam
berikutnya dalam kala IV.
Penanganannya:

a. Memberikan oksitosin dengan segera


b. Lakukan penegangan tali pusat ( PTT ) dengan cara: satu tangan diletakan pada korpus uteri
tepat diatas simfisis phubis. Selama berkontraksi tangan mendorong korpus uteri dengan
gerakan dorsol kranial tangga yang satu memengang tali pusat dengan klem 5 - 6 cm di depan
vulva jaga tahanan ringan pada tali pusat dan tunggu adanya kontraksi kuat ( 2-3 menit) selama
kontraksi, lakukan tarikan terkendali pada tali pusat yang terus menerus dalam tegangan yang
sama dengan tangan uterus.

PTT dilakukan hanya selama uterus berkontraksi tangan pada uterus merasakan kontraksi
ibu dapat juga memebritahu petugas ketika iya merasakan kontraksi ketika uterus sedang tidak
berkontraksi tangan petugas dapat tetap berada pada uterus tetapi bukan melakukan PTT.
Ulangi langkah-langkah PTT pada setiap kontraksi sampai plasenta terlepas.

c. Pemijatan uterus ketika plasenta lahir.


Setelah plasenta dan selaputnya dikeluarkan masase fundus agar menimbulkan kontraksi
untuk menggurangi pengeluaran darah mencegah perdarahan.

2. Robekan Jalan Lahir

Selama melakukan PTT ketika tidak ada kontraksi, bidan melakukan pengkajian terhadap robekan
jalan lahir dan perinium. Pengkajian yang dilakukan seawal mungkin sehingga bidan dapat segera
menentukan derajat robekan dan teknik jahitan yang tepat yang akan digunakan sesuai dengan
kondisi pasien. Bidan memastikan jumlah darah yang keluar adalah akibat robekan jalan lahir atau
karena pelepasan plasenta.

Robekan yang terjadi bisa ringan ( lecet , laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spontan
derajat ringan sampai ruptur perinei totalitas ( sfingter ani terputus) robekan pada dinding vagina,
forniks teri, serfviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan terberat ruptura teri. Oleh karena
itu, pada setiap persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan
adanya robekan ini. Perdarahan yang terajadi pada kontraksi uterus baik, biasanya, karena adanya
robekan atau sisanya plasenta.pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada
vulva, vagina, dan servis, dengan memakai spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan irik
warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai dengan denyut nadi. Perdarahan karena ruptura
teri dapat diduga pada persalina macet atau Asep, atau uterus dengan lokus minoris resisntensia dan
adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber perdarahan terbuka
harus diklem, diikat, dan luka ditutup dengan jahitan cat- gut lapis demi lapis sampai perdarahan
berhenti.
Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan lampu yang cukup serta
spekulum dan memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita kesakitan dan tidak kooperatif, perlu
mengundang sejawat anestesi untuk ketenangan dan keamanan saat melakukan homeostasis.

3. Robekan perinium

Robekan perinium di bagi atas 4 tingkat :

a) Tingkat 1 : robekan terjadi hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit
perinium.
b) Tingkat 2 : robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinei transversalis, tetapi tidak
mengenai sfingter ani.
c) Tingkat 3 : robekan menganai perinium dengan otot sfingter ani.
d) Tingkat 4 : robekan mengenai perinium sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa rectum.

4. Tanda –tanda vital dan Hygiene

Tanda vital ibu diperiksa :

2 sampai 3 kali dalam 10 menit pertama, setiap 15 menit pada satu jam pertama, setiap 20 sampai
30 menit pada jam ke dua.

Hygiene :

Menjaga kebersihan tubuh pasien terutama didaerah Genetalia sangat penting dilakukan untuk
menggurangi kemungkinan kontaminasi terhadap luka robekan jalan lahir dan kemungkinan infeksi
intrauterus. Pada kala III kondisi pasien sangat kotor akibat pengeluaran air ketuban, darah, atau
feces saat proses kelahiran janin. Setelah plasenta lahir lengkap dan dipastikan tidak ada
perdarahan, segera keringkan bagian bawah pasien dari air ketuban dan darah. Pasang pengalas
bokong yang sekaligus berfungsi sebagai penampung dara ( underped) jika memang
dipertimbangkan untuk menampung darah yang keluar untuk kepentingan penghitungan volume
darah, maka pasang bengkok dibawah bokong pasien.

B. Kebutuhan Ibu Pada Kala III

1. Dukungan mental dari bidan atau keluarga atau pendamping.

2. Penghargaan terhadap proses kelahiran janin yang telah dilalui.

3. Informasi yang jelas mengenai keadaan pasien sekarang dan tindakan apa yang akan
dilakukan
4. Penjelasan mengenai apa yang harus ia lakukan untuk membantu mempercepat
kelahiran plasenta, yaitu kapan saat meneran dan posisi apa yang mendukung untuk
plepasan dan kelahiran plasenta.

5. Bebas dari rasa risih akibat bagian bawah yang basah oleh darah dan air ketuban.

6. Hidrasi.

2.5 Penyulit dan Komplikasi pada Kala III

Yang dimaksud dengan penyulit kala III dan IV seorang ibu bersalin adalah penyulit yang terjadi pada
ibu sedang bersalin kala III (kala uri, masa setelah dua jam post partum sampai seluruh plasenta
lengkap lahir).

Segera setelah plasenta lahir, maka dinding uterus akan berkontraksi dan menekan semua pembuluh
darah yang terbuka sehingga dapat menghentikan perdarahan yang terjadi akibat melepasnya
plasenta. Jika uterus tidak berkontraksi maka seorang ibu dapat kehilangan banyak darah, maka
deteksi dini dan penanganan kelahiran setelah plasenta segera setelah lepas dari dinding uterus
secara kompeten sangat diperlukan.

Seringkali keadaan persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukkan jumlah perdarahan yang
terjadi karena bercampur dengan air ketuban dan serapan pada kain atau alas tidur yang dipakai ibu
bersalin. Dinyatakan perdarahan post partum bila terjadi kehilangan darah lebih dari 500 mlper 24
jam. Perdarahan post partum merupakan faktor penyebab langsung kematian ibu bersalin.

Sebagian besar kematian maternal terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan dan merupakan
akibat dari masalah yang timbul selama persalinan kala tiga. Perdarahan kala tiga adalah kehilangan
darah lebih dari 500 ml setelah persalinan kala tiga. Namun, dalam prakteknya sulit untuk mengukur
kehilangan darah dengan tepat dan jumlahnya sering di perkirakan hamper terlalu rendah. Seorang
ibu dengan perdarahan hebat akan cepat meninggal bila tidak mendapatkan perawatan medis yang
sesuai. Jadi sangat penting untuk melakukan pendeteksian yang tepat mengenai penyebab
perdarahan tersebut agar dapat di tangani dengan tepat.

A. Pendarahan Kala III


Perdarahan kala tiga adalah kehilangan darah lebih dari 500 ml setelah kelahiran plasenta.
Perdarahan yang banyak pada dalam waktu yang pendek dapat segera diketahui, tapi perdarahan
sedikit dalam waktu yang lama tanpa kita sadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum
tampak pucat dan gejala lainnya.
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama 24 jam setelah anak lahir.
Termasuk perdarahan karena retensio plasenta. Perdarahan post partum adalah perdarahan dalam
kala IV lebih dari 500-600cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir (Mochtar, 1998)

Faktor predisposisi

Adapun faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum, antara lain:

A. Trauma pada traktur genitalis :

a. Episiotomy yang lebar

b. Dilatasi

c. Laserasi perineum, vagina, serviks

d. Rupture uteri

B. Perdarahan pada tempat implantasi :

a. Atonia uteri
b. Anastesi umum, anastesi blok
c. Miometrium dengan perfusi yang jelek dapat terjadi hipotensi
d. Uterus overdistensi; janin besar, kembar, hidramnion
e. Setelah persalinan lama, sangat cepat (presipitatus), induksi
f. Paritas tinggi
g. Riwayat atonia
h. Korionamnionitis
i. Jaringan plasenta tertahan; adanya sisa kotiledon dan lobus suksenturiata
j. Implantasi plasenta abnormal; akreta, inkreta, perkreta

C. Defek koagulasi

3. Diagnosis

Diagnosis perdarahan pada kala tiga dapat di tegakkan berdasarkan tanda dan gejala seperti
pengeluaran pervaginam, tumpukkan intra uteri, intraperitoneum tidak terdeteksi, kondisi uterus,
inspeksi jalan lahir, keadaan umum.

4. Cara mendeteksi

Berikut ini adalah langkah – langkah atau cara mendeteksi komplikasi kala tiga persalinan, antara lain
:

a. Palpasi uterus
Dengan melakukan perabaan pada uterus, periksa dengan seksama bagaiman kontraksi uterus dan
tinggi fundus uterus. Bila dalam perabaan di temukan :

1. Kontraksi uterus lembek, lemah dan fundus uterus masih tinggi merupakan tanda
atonia uteri
2. Kontraksi uterus kuat dan fundus uteri sudah mengecil maka diagnosis tanda atonia
uteri disingkirkan.

b. Periksa plasenta dan selaput ketuban

Periksa apakah pada plasenta terdapat robekan atau tercabik – cabik beserta selaput ketubannya.
Bila didapatkan :

1. Plasenta dan selaput ketuban tidak lengkap curigai adanya sisa plasenta dan selaput ketuban
atau retensio plasenta.
2. Plasenta dan selaput ketuban lengkap diagnosis retensio plasenta disingkirkan.

A. Retensio plasenta

1) Konsep Dasar

Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah persalinan
bayi. Pada beberapa kasus dapat terjadi retensio berulang (habitual retensio plasenta), plasenta
harus di keluarkan karena dapat menimbulkan perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati, dapat
terjadi plasenta incarserata, polip plasenta, degenerasi ganas khorio karsinoma.

2) Penyebab Retensio Plasenta

Secara fungsional dapat terjadi karena his kurang kuat (penyebab terpenting), dan plasenta sukar
terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba), bentuknya (plasenta membranasea, plasenta
anularis), dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil), plasenta yang sulit lepas karena penyebab di
atas di sebut plasenta adhesive.

3) Tanda dan gejala

Gejala yang selalu ada: plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera, kontraksi uterus
baik. Gejala yang kadang – kadang timbul: tali pusat putus akibat kontraksi berlebihan, inverse uteri
akibat tarikan, perdarahan lanjutan.
Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta), gejala yang selalu ada: Plasenta atau sebagian selaput
(mengandung pembuluh darah) tidak lengkap dan perdarahan segera. Gejala yang kadang – kadang
timbul: Uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak berkurang.

4) Penanganan secara umum

a. Jika plasenta terlihat dalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan, jika anda dapat
merasakan plasenta dalam vagina, keluarkan plasenta tersebut, pastikan kandung
kemih sudah kosong, jika di perlukan lakukan kateterisasi kandung kemih.

b. Jika plasenta belum keluar lakukakn oksitosin 10 unit IM jika belum dilakukan pada
penanganan aktif kala III. Jangan berikan ergometrin karena dapat menyebabkan
kontraksi uterus yang tonik, yang bisa memperlambat pengeluaran plasenta.

c. Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitisin dan uterus terasa
berkontraksi, lakukan penarikan tali pusat terkendali, jika traksi pusat belum berhasil,
cobalah untuk melakukan pengeluaran plasenta secara manual.

d. Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji pembekuan darah sederhana. Kegagalan
terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan
mudah menunjukkan adanya koagulopati.

e. Jika terdapat tanda – tanda infeksi (demam, secret vagina yang berbau) berikan antibiotic
untuk metritis

f. Sewaktu suatu bagian dari plasenta satu atau lebih lobus teringgal, maka uterus tidak
berkontraksi secara efektif, raba bagian dalam uterus untuk mencari sisa plasenta.

g. Eksplorasi manual uterus menggunakan teknik yang serupa dengan teknik yang digunakan
untuk mengeluarkan plasenta yang tidak keluar: keluarkan sisa plasenta dengan tangan, cunam
ovum, atau kuret besar, jika perdarahan berlanjut, lakukan uji pembekuan darah

B. Atonia Uteri

1) Konsep Dasar

Atonia uteria (relakasai otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan
pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (Depkes Jakarta ; 2002)

Definisi dari atonia uteri adalah suatu keadaan dimana terjadinya kegagalan otot rahim yang
menyebabkan pembuluh darah pada bekas implantasi plasenta terbuka sehingga menimbulkan
perdarahan.
2) Etiologi

Penyebab tersering kejadian pada ibu dengan atonia uteri antara lain :

a. Overdistension uterus seperti: gemeli, makrosomia, polihidramnion, atau paritas


tinggi
b. Umur yang terlalu muda atau tua
c. Multipara dengan jarak kehamilan pendek
d. Partus lama/partus terlantar
e. Mal nutrisi
f. Salah penanganan dalam usaha melahirkan plasenta, sedangkan sebenarnya belum
terlepas dari uterus
g. Grandemultipara
h. Uterus yang terlalu tegang
i. Plasenta previa dan solusio plasenta
j. Hipertensi dalam kehamilan
k. Infeksi uterus
l. Anemia berat
m. Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan
n. Riwayat perdarahan pasca persalinan sebelumnya atau riwayat plasenta manual
o. Pimpinan kala III yang salah dengan memijit mijit atau mendorong – dorong uterus
sebelum plasenta terlepas
p. IUFD yang sudah lama
q. Penyakit hati
r. Emboli air ketuban (koagulapati)
s. Tindakan operatif dengan anastesi umum yang terlalu dalam

3) Manifestasi klinik

Tanda dan gejala yang khas pada atonia uteri jika kita menemukan uterus tidak berkontraksi dan
lembek, perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)

4) Penanganan khusus

Jika terdapat tanda – tanda sisa plasenta, keluarkan sisa plasenta tersebut, lakukan uji pembekuan
darah sederhana, jika perdarahan terus berlanjut dan tindakan di atas telah dilakukan, lakukan KBI,
kompresi aorta abdominalis, jika perdarahan terus berlanjut setelah di lakukan kompresi lakukan
ligasi arteri uterine dan ovarika, lakukan histeroktomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa
setelah ligasi

B. Perlukaan Jalan Lahir


Persalinan seringkali menyebabkan perlukaan jalan lahir.Luka yang terjadi biasanya ringan tapi
seringkali juga terjadi luka yang luas dan berbahaya, untuk itu setelah persalinan harus dilakukan
pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan speculum perlu di
lakukan setelah pembedahan pervaginam.

a. Luka pada vulva

Akibat persalinan terutama pada primipara bisa timbul luka pada vulva di sekitar introitus vagina
yang biasanya tidak dalam akan tetapi kadang – kadang bisa timbul perdarahan banyak khususnya
luka dekat klitoris.

b. Robekan perineum

Robekan perineum terjadi pada hamper semua persalinan pertama dan tidak jarang pada persalinan
berikutnya. Dapat dihindarkan dengan jalan menjaga jangan sampai dasar panggul yang dilalui oleh
kepala janin dengan cepat. Dan adanya robekan perineum di bagi menjadi : Robekan perineum
derajat 1,2,3 dan 4. Derajat laserasi jalan lahir adalah :

a. Derajat I : Mukosa vagina, forchette posterior, kulit perineum


b. Derajat II : Mukosa vagina, forchette posterior, kulit perineum, otot perineum
c. Derajat III : Mukosa vagina, forchette posterior, kulit perineum, otot perineum,
otot sfingter ani eksterna
d. Derajat IV : Mukosa vagina, forchette posterior, kulit perineum, otot perineum,
otot sfingter ani eksterna, dinding rectum anterior.

Robekan perineum yang lebih dari derajat 1 harus di jahit dan dilakukan sebelum plasenta lahir tapi
jika ada plasenta yang harus dikeluarkan secara manual, lebih baik tindakan itu ditunda hingga
plasenta lahir.

Pada robekan perineum derajat 2, setelah diberi anastesi local otot – otot urogenitalis di hubungkan
di garis tengah dengan jahitan dan kemudian luka pada vagina dan kulit perineum di tutp dengan
mengikutsertakan jaringan – jaringan di bawahnya.

Menjahit robekan perineum derajat 3 harus dilakukan dengan teliti; mula – mula dinding depan
rectum yang robek dijahit, kemudian fasia prarektal ditutup dan muskulus sfingter ani eksterna yang
robek di jahit.Selanjutnya dilakukan penutupan robekan seperti pada robekan perineum derajat
2.Untuk mendapatkan hasil yang baik pada robekan perineum total perlu diadakan penanganan
pasca pembedahan sempurna.

Robekan perineum lebih sering terjadi akibat ekstraksi dengan cunam, lebih – lebih apabila kepala
janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan
dengan speculum, perdarahan biasanya banyak namun mudah untuk diatasi dengan jahitan.
c. Perlukaan vagina

Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum jarang sekali terjadi.mungkin
ditemukan sesudah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi akibat ekstraksi dengan cunam, lebih
– lebih apabila kepala janin harus diputar.

d. Robekan serviks

Robekan serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus.
Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti walaupun plasenta plasenta sudah lahir lengkap dan
uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan bahwa adanya perlukaan jalan lahir khususnya robekan
serviks uteri. Dalam keadaan ini serviksa harus diperiksa dengan speculum dan dilakukan secara
ruitn setelah tindakan obstetrics yang sulit.

e. Ruptur uteri

Ruptur uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat berbahaya yang umunya terjadi
pada persalinan kadang – kadang juga pada kehamilan tua. Robekan uterus yang sering terjadi
adalah robekan bagian bawah uterus apabila terjadi robekan pada vagina bagian atas hal ini
dinamakan kolpaporeksis dan kadang – kadang sulit untuk membedakannnya. Jika terjadi rupture
uteri dan peritoneum pada permukaan uterus ikut robek ini dinamakan rupturan uteri
inkompleta.pinggir rupture biasanya tidak rata, letaknya pada uterus melintang atau membujur atau
miring ke kiri atau ke kanan. Kemungkinan pula terdapat robekan dinding kandung kemih.

 Kompresi Bimanual Internal (KBI)

Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen ( diluar ) dan tinju tangan
dalam ( didalam vagina, tepatnya menekan forniks anterior berlawanan dengan tangan
eksterna ) untuk menjepit pembuluh darah di dalam myometrium ( sebagai penggant
mekanisme kontrasi ). Perhatikan pendarahan yang terjadi.

Pertahankan kondisi ini, bila pendarahan kurang atau berhenti, tunggu hingga uterus dapat
berkontrasi kembali. Apabila pendarahan tetap terjadi, coba cara kompresi aorta abdominalis.

Kompresi bimanual interna melelahkan penolong sehingga jika tidak lekas member hasil,
perlu diganti dengan perasat yang lain. Perasat Dickinson mudah diselenggarakan pada
seorang multipara dengan dinding perut yang sudah lembek. Tangan kanan diletakkan
melintang pada bagian-bagian uterus, dengan jari kelingking sedikit di atas simfisis
melingkari bagian tersebut sebanyak mungkin, dan mengangkatnya ke atas. Tangan kiri
memegang korpus uteri dan sambil melakukan massage menekannya ke bawah ke arah
tangan kanan dan ke belakang ke arah promotorium.
Kompresi bimanual interna dilakukan saat terjadi perdarahan. Perdarahan postpartum adalah
perdarahan lebih dari 500-600 ml selama 24 jam setelah anak lahir. Termasuk perdarahan
karena retensio plasenta. Perdarahan post partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari
500-600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir (Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH,
1998).

1. Pakai sarung tangan disenfeksi tingkat tinggi atau steril. Dengan lembut masukkan
secara obstetric, tangan (menyatukan kelima ujung jari) melalui introitus kedalam
vagina ibu.
2. Periksa vagina dan serviks. Jika ada selaput ketuban atau bekuan darah pada kavum
uteri mungkin hal ini yang menyebabkan uterus tidak berkontraksi secara penuh atau
sempurna.
3. Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada forniks anterior, tekanan dinding anterior
uterus kearah tangan luar yang menahan, dan mendorong dinding posterior uterus kea
rah depan sehingga uterus tertekan dari arah depan belakang.
4. Tekan kuat uterus diantara kedua tangan. Kompresi uterus memberikan tekanan
langsung pada pembuluh darah yang terbuka (bekas implantasi plasenta) di dinding
uterus dan juga merangsang miometrium untuk berkontraksi.

 Evaluasi Keberhasilan

1. Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan melakukan KBI selama
dua menit, kemudian perlahan-perlahan keluarkan tangan dan pantau ibu secara
melekat selama kala IV.
2. Jiak uterus berkontraksi tetapi perdarahan masih berlangsung, periksa ulang
perineum, vagina dan serviks, apakah terjadi laserasi. Jika terjadi laserasi, segera
lakukan penjahitan untuk menghentikan perdarahan.
3. Jika uterus tidak berkontraksi selama 5 menit, ajarkan keluarga untuk melakukan
kompresi bimanual eksternla (KBE) kemudian lakukan langkah-langkah
penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya. Minta keluarga untuk mulai menyiapkan
rujukan. Atonia uteri sering kali dapat diatasi dengan KBI, jika tidak berhasil dalam
waktu 5 menit diperlukan tindakan-tindakan lain.
4. Berikan ergometrin 0,2 mg IM atau mesopostrol 600-1.000 mcg per rectal. Jangan
berikan ergometrin papa ibu dengan hipertensi karena ergometrin dapat menaikkan
tekanan darah.
5. Gunakan jarum beriameter besar (ukuran 16 atau 18). Pasang infuse dan berikan
larutan RL yang mengandung oksitosin 20 IU. Jarum berdiameter besar
memungkinkan pemberian larutan infuse secara IV dengan cepat dan dapat dipakai
untuk transfuse darah (jika diperlukan).oksitosin dapat merangsang uterus, sedangkan
cairan RL dapat berfungsi sebagai rehidrasi volume cairan yang hilang akibat
perdarahan.
6. Jika uterus tidak berkontraksi dalam 1-2 menit, segera rujuk ibu karena hal ini
mengindikasikan bahwa keadaan tersebut bukan atonia biasa. Ibu memerlukan
tindakan kegawatdaruratan segera di fasilitas rujukan yang mampu melakukan
tindakan operatif dan transfuse darah.
7. Sambil membaw aibu ketempat rujukan, teruskan tindakan KBI dan infuse cairan
sampai tempat rujukan dengan pertimbangan : infuse 500 ml pertama harus habis
dalam waktu 10 menit, berikan tambahan 500 ml/jam hingga tiba ditempat rujukan
atau hingga cairan yang diinfuskan 1,5 liter dan kemudian lanjutkan dalam 125
cc/jam. Jika cairan infuse tidak mencukupi, infuse 500 ml (botol kedua) cairan infuse
dengan tetesan sedang dan ditambah dengan pemberian peroral untuk rehidrasi.

 Kompresi Bimanual Eksternal (KBE)

Dalam melakukan kompresi bimanual eksterna ini, waktu sangat penting, demikian juga
kebersihan. sedapat mungkin ,gantillah sarung tangan atau cucilah tangan sebelum memulai
tindakan ini.

Berikan 10 unit oksitoksin (syntocinon) secara IM atau melalui infuse jika mungkin,
kemudian berikan ergometrin 0,2 mg (methergin) IM, kecuali jika ibu menderita hipertensi
berat. Dapat juga diberikan 0,5 mg syntometrin IM jika ibu tidak menderita hipertensi. Jika
perdarahan berkurang atau berhenti mintalah ibu menyusui bayi.

Jika hal ini tidak berhasil menghentikan perdarahan dan uterus tetap tidak berkontraksi
walaupun telah di rangsang dengan mengusap-usap perut pasanglah infuse.

 Peralatan
 Sarung tangan steril
 Cairan infuse
 Peralatan infuse
 Jarum infuse
 Plester
 Kateter urin

Ada beberapa cara dalam melakukan kompresi bimanual eksterna yaitu:

Cara I

1. Tangan kiri menggenggam rahimdari luar dan dasar rahim,


2. Tangan kanan menggenggam rahim bagian bawah,
3. Kemudian keduatangan menarik rahim keluar dari rongga panggul, sedangkan tangan
kanan memeras bagian bawah rahim.

Cara II

1. Letakkan satu tangan pada dinding abdomen dan depan dinding korpus uteri, serta di
atas simfisis pubis.
2. Letakkan tangan lain pada dinding abdomen dan dinding belakang korpus uteri,
sejajar dinding depan korpus uteri. Usahakan untuk mencakup atau memegang bagian
belakang uterus seluas mungkin.
3. Lakukan kompresi uterus dengan cara saling mendekatkan tangan depan dan belakang
agar pembuluh darah di dalam anyaman miometrium dapat dijepit secara manual.
Cara ini dapat menjepit pembuluh darah uterus dan membantu uterus untuk
berkontraksi (lihat penatalaksanaan atonia uteri).

1. Kompersi Aorta Abdominalis


Peralatan yang diperlukan untuk dapat melakukan kompresi aorta abdominalis tidak ada,
kecuali sedapat mungkin menggunakan teknik yang benar , sehingga aorta benar – benar
tertutup untuk sementara waktu sehingga pendarahan karena atonia uteri dapat dikurangi.

1. Raba pulsasi uteri femoralis pada paha


2. Kepalkan tangan kiri dan lakukan penekanan bagian punggung jari telunjuk hingga
kelingking pada umbilicus kea rah kolumna vertebralis dengan arah tegak lurus
3. Dengan tangan kanan yang lain, raba pulasi arteri femoralis untuk mengetahui cukup
tidaknya kompresi :
4. Jika pulais maish teraba, artinya tekanan kompresi masih belum cukup.
5. Jika kepalan tangan mencapai aorta abdominalis, maka pulsasi arteri femoralis akan
berkurang atau terhenti.
6. jika perdarahan per vaginam berhenti, pertahankan posisi tersebut dan pemijatan
uterus (dengan bantuan asisten) hingga uterus berkontaksi dengan baik.
7. jika perdarahan masih berlanjut, lakukan ligasi uterine dan utero-ovarika, jika
perdarahan masih terus banyak, lakukan histerektomi supravaginal (tindakan ini
dilakukan dirumah sakit).

 Perhatian :

1. Jika perdarahan berhenti, tetapi uterus tidak berkontraksi dengan baik, usahakan
pemberian preparat prostaglandin.
2. Jika kontraksi membaik tetapi perdarahan berlanjut, lakukan laparatomi untuk ligasi
arteri uterine.
3. Jika kompresi sulit dilakukan secara terus menerus, pasang tampon padat
uterovaginal. Pasang gurita ibu secara kencang dan segera lakukan rujukan ke fasilitas
yang memiliki sarana operasi dan transfuse darah.
4. Jika perdarahan berhenti dan uterus berinteraksi dengan baik, kompresi baru
dihentikan.

 Prosedur alternative

Pada kondisi dimana rujukan tidak memungkinkan dan semua upaya menghentikan
perdarahan tidak berhasil, maka alternatif yang mungkin dapat dilakukan adalah pemasanga
tompon utero-vaginal dengan cara sebagai berikut :

1. Pasang speculum, jepit bibir depan portio dengan kelm ovum, minta asisten untuk
meanahan fundus uteri dengan tangan kiri, masukkan ujung kassa gulung ke dalam
uterus hingga mencapai fundus.
2. Lakukan berulang-ulang hingga seluruh kavum uteri dan vagina dipenuhi kassa
(lakukan penyambungan bila perlu). Sisahkan 15 cm kasa bagian ujung untuk
ekstraksi kemudian. Pasang kateter menetap jika kasa di dalam vagina menekan
uretra.
3. Lakukan kompresi luar dengan jalan memasang gurita kencang pada perut ibu.
4. Segera keluarkan tampo bila terjadi hal berikut :

 Perdarahan massif telah sangat berkurang


 Pastikan pemberian infuse dan uterotonika.

5. Berikan antibiotic kombinasi (ampisilin 3 x 1 g dan metrodinazol 3 x 500 mg).


6. Tampon tidak boleh terpasang lebih dari 24 jam, bahaya infeksi.

1. Plasneta Manual

Plasenta manual adalah tindakan untuk melepaskan plasenta secara manual (menggunakan
tangan) dari tempat implantasinya dan kemudian melahirkan keluar dari vakum uteri.

Kejadian retensio plasenta berkaitan dengan grandmultipara dengan implantasi plasenta


dalam bentuk plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta dan plasenta perkreta.
Retensi plasenta akan mengganggu kontraksi otot Rahim dan menimbulkan pendarahan.
Retensio plasenta tanpa pendarahan dapat diperkirakan bahwa darah penderita terlalu banyak
hilang, keseimbangan baru berbentuk pembekuan darah, sehingga pendarahan tidak terjadi,
kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam.

Plasenta manual dengan segera dilakukan bila terdapat riwayat pendarahan postpartum
berulang, terjadi pendarahan postpartum melebihi 400cc, pada pertolongan persalinan dengan
nakrosa, plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.

Bisan hanya diberikan kesempatan untuk melakukan plasenta manual dalam keadaan darurat
dengan indikasi pendarahan lebih dari 400cc dan terjadi retensio plasenta ( setelah menunggu
30 menit ). Seandainya masih terdapat kesempatan, penderita retensio plasenta dapat dikirim
ke puskesmas atau rumah sakit sehingga mendapatkan pertolongan yang adekuat.

Dalam melakua rujukan penderita, lakukan persiapan dengan memasang infus dan
memberikan cairan dan dalam perjalanan diikuti oleh tenaga yang dapat memberikan
pertolongan darurat.

Sebelum memulai prosedur ini, pasien sudah dalam keadaan terpasang infus dan kandung
kemih dalam keadaan kosong. Tangan kiri berada diatas fundus dan tahan uterus supaya tidak
naik. Tangan kanan masih ke dalam kavum uterus. Dengan mengikuti arah tali pusat,
akhirnya tangan akan sampai pada plasenta untuk kemudian mencari pinggir plasenta.
Selanjutnya masukkan jari – jari tangan di daerah antara dinding uterus dan plasenta. Sedikit
demi sedikit lepaskan plasenta dari dinding uterus sampai semua bagian plasenta terlepas.
Kemudian lahirkan plasenta seluruhnya.

 Indikasi

Retensio plasenta atau plasenta adhesiva.

 Kontraindikasi

Plasenta inkreta dan plasenta perkreta.

 Prosedur plasenta manual

Persiapan :

1. Pasang set dan cairan infus


2. Jelaskan pada ibu prosedur dan tujuan tindakan
3. Lakukan anastesi verbal atau analgesic per rectal
4. Siapkan dan jelaskan prosedur pencegahan infeksi

Tindakan penetrasi ke dalam uterus (kavum uteri) :

1. Pastikan kandung kemih dalam keadaan kosong


2. Jepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan dengan satu
tangan sejajar lantai.
3. Secara obstetrik, masukkan tangan dengan lainnya (punngung tangan dengan
menghadap kebawah) kedalam vagina menyusuri sisi bawah tali pusat
4. Setelah mencapai pembukaan serviks, minta seorang asisten / penolong untuk
memegang klem tapi pusat kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan fundus
uteri
5. Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam sampai kavum uteri sehingga
mencapai tempat implantasi plasenta
6. Bentangkan tangan obstetric menjadi dasar seperti memberi salam ( ibu jari merapat
ke jari telunjuk dan jari – jari saling merapat )

Melepas plasenta dai dinding uterus

1. Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah


2. Bila plasenta berimplantasi dikorpus bagian belakang, tali pusat tetap disebelah atas,
dan sisipkan ujung – ujung jari tangan diantara plasenta dengan dinding uterus dimana
punggung tangan menghadap ke bawah ( posterior ibu )
3. Bila korpus didepan, maka pindahkan tangan ke sebelah atas tali pusat dan sisipkan
ujung jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus. Perluas pelepasan plasenta
dengan jalan menggeser tangan kanan ke kanan dan dank e kiri sambil menggeser
keatas ( kranal ibu ) hingga semua perlengkapan plasenta terlepas dari dinding uterus.

Catatan :

1. Bila tepi plasenta tidak teraba atau plasenta berada pada dataran yang sama tinggi
dengan dinding uterus, maka hentikan upaya plasenta manual karena hal ini
menunjukkan plasenta inkreta ( tekanan dalam miometrium )
2. Bila hanya sebagian dari implantasi plasenta yang dapat dipelas dan bagian lainnya
melekat erat, maka hentikan pula plasenta manual karena hal ini adalah plasenta
aktera. Untuk keadaan ini sebaiknya ibu diberi uterotonika tambahan ( misopostrol
600mcg per rectal ) sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan.

Mengeluarkan plasenta

1. Sementara satu tangan masih didalam kavum uteri, lakukan eksplorasi untuk menilai
tidak ada sisa plasenta yang tertinggal
2. Pindahkan tangan luar dari fundus ke suprasimfisis ( tahan segmen bawah rahim )
kemudian instruksikan asisten / penolong untuk menarik tali pusat sambil tangan
dalam membawa plasenta keluar ( hindarkan terjadi percikan darah ).
3. Lakukan penekanan ( dengan tangan yang menahan suprasimfisis ) uterus kea rah
dorso cranial setelah plasenta dilahirkan dan ditempatkan plasenta didalam wadah
yang telah disediakan.

Pencegahan infeksi pascatindakan :


1. Dekontaminasi sarung tangan ( sebelum dilepaskan ) dan peralatan lain yang
digunakan.
2. Lepaskan dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya didalam larutan klorin
0,5% selama 10 menit
3. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir.
4. Keringkan tangan dengan handuk bersih dan kering

Pemantauan pascatindakan :

1. Pemeriksaan kembali tanda – tanda vital ibu


2. Catat kondisi ibu dan buat laporan tindakan
3. Tuliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih diperlukan dan asuhan lanjutan
4. Beritahukan pada ibu dan keluarga bahwa tindakan telah selesai dilakukan tetapi
masih memerlukan pemantauan dan asuhan lanjut.
5. Lanjutkan pemantauan ibbu hingga 2 jam pascatindakan sebelum dipindahkan ke
ruang rawat gabung.

Вам также может понравиться