Вы находитесь на странице: 1из 23

MAKALAH MIKROBIOLOGI

FAKTOR-FAKTOR VIRULENSI MIKROBA

Dosen : Prof. Dr. H. M. Natsir Djide, MS., Apt.

O L E H:
M. AMHAR JAMIL
N012181003

PROGRAM STUDI FARMASI


PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam
bidang kefarmasian.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini
sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 15 Desember 2018

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bakteri merupakan salah satu makhluk hidup yang jumlahnya banyak disekitar kita.
Bakteri pun berada di mana-mana. Di tempat yang paling dekat dengan kita pun juga
terdapat bakteri contohnya saja tas, buku, pakaian, dan banyak hal lainnya. Maka dari itu
bakteri merupakan penyebab penyakit yang cukup sering terjadi. Karena banyaknya
manusia yang mengabaikan penyakit tersebut karena terkadang gejala awal yang
diberikan ada gelaja awal yang biasa saja. Maka dari itu alangkah baiknya jika kita
masyarakat dapat mengetahui bagaimana cara bakteri itu menginfeksi dan gejala-gejala
apa yang akan dberikannya.

Banyaknya manusia yang mulai tidak begitu peduli dengan gejala awal terjangkitnya
bakteri salah satunya adalah pada saluran pencernaan. Saluran pencernaan adalah saluran
yang sangat berperan dalam tubuh. Jika saluran pencernaan terganggu akan cukup
mengganggu aktivitas tubuh saat itu. Tapi banyak masyarakat yang tidak peduli dengan
penyakit yang ditimbulkan. Misalnya saja penyakit yang dapat ditimbulkan oleh bakteri
ada diare, gejala awalnya ada kondisi perut yang tidak enak gejala awalnya cukup biasa
tetapi jika terlalu didiamkan akan membuat kondisi itu menjadi akut dan fatal. Maka dari
itu, bakteri merupakan penyebab penyakit yang cukup banyak pada saat ini.

Pada dasarnya dari seluruh mikroorganisme yang ada di alam, hanya sebagian kecil saja
yang merupakan patogen. Patogen adalah organism atau mikroorganisme yang
menyebabkan penyakit pada organism lain. Kemampuan pathogen untuk menyebabkan
penyakit disebut dengan patogenisitas. Dan patogenesis disini adalah mekanisme infeksi
dan mekanisme perkembangan penyakit. Infeksi adalah invasi inang oleh mikroba yang
memperbanyak dan berasosiasi dengan jaringan inang. Infeksi berbeda dengan penyakit.
Sebagaimana kita ketahui sebelumnya mikroorganisme adalah organisme hidup yang
berukuran mikroskopis sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.
Mikroorganisme dapat ditemukan disemua tempat yang memungkinkan terjadinya
kehidupan, disegala lingkungan hidup manusia. Mereka ada di dalam tanah, di
lingkungan akuatik, dan atmosfer ( udara ) serta makanan, dan karena beberapa hal
mikroorganisme tersebut dapat masuk secara alami ke dalam tubuh manusia, tinggal
menetap dalam tubuh manusia atau hanya bertempat tinggal sementara. Mikroorganisme
ini dapat menguntungkan inangnya tetapi dalam kondisi tertentu dapat juga menimbulkan
penyakit.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Definisi Patogenesis Bakteri Patogen?


2. Bagaimana mekanisme bakteri patogen ?
3. Apa Saja factor virulensi mikroba ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:

1. Definisi Patogenesis Pada Bakteri


2. Proses patogenesisi
3. Faktor virulensi mikroba
BAB II

PE M BAHASAN

Patogenesis adalah mekanisme infeksi dan mekanisme perkembangan penyakit.


Infeksi adalah invasi inang oleh mikroba yang memperbanyak dan berasosiasi dengan
jaringan inang. Infeksi berbeda dengan penyakit. Kapasitas bakteri menyebabkan
penyakit tergantung pada patogenitasnya. Dengan kriteria ini, bakteri dikelompokan
menjadi 3, yaitu agen penyebab penyakit, patogen oportunistik, nonpatogen. Agen
penyebab penyakit adalah bakteri patogen yang menyebabkan suatu penyakit
(Salmonella spp.). Patogen oportunistik adalah bakteri yang berkemampuan sebagai
patogen ketika mekanisme pertahanan inang diperlemah (contoh E. coli menginfeksi
saluran urin ketika sistem pertahanan inang dikompromikan (diperlemah). Nonpatogen
adalah bakteri yang tidak pernah menjadi patogen. Namun bakteri nonpatogen dapat
menjadi patogen karena kemampuan adaptasi terhadap efek mematikan terapi modern
seperti kemoterapi, imunoterapi, dan mekanisme resistensi. Bakteri tanah Serratia
marcescens yang semula nonpatogen, berubah menjadi patogen yang menyebabkan
pneumonia, infeksi saluran urin, dan bakteremia pada inang terkompromi.
Virulensi adalah ukuran patogenitas organisme. Tingkat virulensi berbanding
lurus dengan kemampuan organisme menyebabkan penyakit. Tingkat virulensi
dipengaruhi oleh jumlah bakteri, jalur masuk ke tubuh inang, mekanisme pertahanan
inang, dan faktor virulensi bakteri. Secara eksperimental virulensi diukur dengan
menentukan jumlah bakteri yang menyebabkan kematian, sakit, atau lesi dalam waktu
yang ditentukan setelah introduksi.
KERENTANAN INANG
Kerentanan terhadap infeksi bakteri tergantung pada kondisi fisiologis dan
imunologis inang dan virulensi bakteri. Pertahanan inang terhadap infeksi bakteri adalah
mekanisme nonspesifik dan spesifik (antibodi). Mekanisme nonspesifik dilakukan oleh
sel-sel neutrofil dan makrofag. Perkembangan imunitas spesifik seperti respons antibodi
memerlukan waktu beberapa minggu (Gambar 18.1). bakteri flora normal kulit dan
permukaan mukosa juga memberi perlindungan terhadap kolonisasi bakteri patogen. Pada
individu sehat, bakteri flora normal yang menembus ke tubuh dapat dimusnahkan oleh
mekanisme humoral dan seluler inang. Contoh terbaik tentang kerentanan adalah AIDS,
di mana limfosit helper CD4+ secara progresif berkurang 1/10 oleh virus imunodefisiensi
(HIV). Mekanisme resistensi dipengaruhi oleh umur, defisiensi, dan genetik. Sistem
pertahanan (baik spesifik maupun nonspesifik) orang lanjut usia berkurang. Sistem imun
bayi belum berkembang, sehingga rentan terhadap infeksi bakteri patogen. Beberapa
individu memiliki kelainan genetik dalam sistem pertahanan.

Gambar 1. Respons serum antibodi terhadap Salmonella typhii selama periode demam
tifoid.

Resistensi inang dapat terkompromi oleh trauma dan penyakit lain yang diderita.
Individu menjadi rentan terhadap infeksi oleh berbagai bakteri jika kulit atau mukosa
melonggar atau rusak (terluka). Abnormalitas fungsi silia sel pernafasan mempermudah
infeksi Pseudomonas aeruginosa galur mukoid. Prosedur medis seperti kateterisasi dan
intubasi trakeal menyebabkan bakteri normal flora dapat masuk ke dalam tubuh melalui
plastik. Oleh karena itu, prosedur pengantian plastik kateter rutin dilakukan setiap
beberapa jam (72 jam untuk kateter intravena).
Banyak obat diproduksi dan dikembangkan untuk mengatasi infeksi bakteri. Agen
antimikroba efektif melawan infeksi bakteri jika sistem imun dan fagosit inang turut
bekerja. Namun terdapat efek samping penggunaan antibiotik, yaitu kemampuan difusi
antibiotik ke organ nonsasaran (dapat mengganggu fungsi organ tersebut), kemampuan
bertahan bakteri terhadap dosis rendah (meningkatkan resistensi), dan kapasitas beberapa
organisme resisten terhadap multi-antibiotik.
DASAR GENETIK VIRULENSI
Faktor virulensi pada bakteri dapat dikode dari DNA kromosom, DNA
bakteriofag, plasmid, atau tranposon (Tabel 18.1). Faktor virulensi Shigella dikode dari
plasmid. Enterotoksin LTI dan LTII E. coli dikode dari plasmid dan kromosom. Toksin
kolera Salmonella enterotoxin dan faktor invasi Yersinia dikode dari kromosom. Namun
terdapat faktor vitulensi bakteri yang diperoleh dari bakteriofag (Gambar 18.2) melalui
transduksi dan diikuti proses lisogeni. Bakteriofag temperate sering berkontribusi
terhadap produksi faktor virulensi seperti toksin difteria (Corynebacterium diphtheriae),
toksin eritrogenik (Streptococcus pyogenes), toksin mirip-Shiga (E. coli), dan toksin
botulinum tipe C dan D (Clostridium botulinum).
Tabel 18.1 Dasar genetik faktor virulensi bakteri
Faktor Virulensi Bakteri Patogen Penghasil Dikode dari Gen
Enterotoksin Vibrio cholerae Kromosom
Enterotoksin, faktor invasi Salmonella typhimurium Kromosom
Enterotoksin, faktor invasi Shigell spp. Kromosom
Enterotoksin, aerolisin Aeromonas hydrophyla Kromosom
Eksotoksin A Pseudomonas aeruginosa Kromosom
Enterotoksin B Staphylococcus aureus Kromosom
Faktor invasi Yersinia enterocolitica Kromosom
Faktor invasi Yersinia pseudotuberculosis Kromosom
Enterotoksin LTII Escherichia coli Kromosom
Faktor invasi Shigella spp Plasmid
Faktor invasi, faktor Escherichia coli Plasmid
kolini, enterotoksin LTI
Toksin eksfoliatif Staphylococcus aureus Plasmid
Toksin anthraks Bacillus anthracis Plasmid
Toksin difteria Corynebacterium diphtheriae Bakteriofag
Toksin eritrogenik Streptococcus pyogenes Bakteriofag
Enterotoksin mirip-Shiga Escherichia coli Bakteriofag
Toksin botulinum C & D Clostridium botulinum Bakteriofag
Enterotoksin STA & STB, Escherichia coli Transposon
akuisisi besi, hemolisin

Gambar 2 Mekanisme bakteri memperoleh virulensi dari bakteriofag

MEKANISME PATOGENIK
Aktivitas Infeksi Bakteri
Faktor yang dihasilkan mikroba dan dapat membangkitkan penyakit disebut
faktor virulensi. Contoh faktor virulensi adalah toksin (substansi yang menghambat
fagositosis dan dapat mengikat permukaan sel inang. Kebanyakan bakteri patogen
oportunistik mengembangkan faktor virulensi yang memungkinkan memperbanyak diri
di dalam inang tanpa terbunuh atau terbuang oleh sistem pertahanan inang. Banyak faktor
virulensi hanya diproduksi oleh mikroba galur virulen (enterotoksi diproduksi oleh E.
coli galur tertentu).
Secara praktis, bakteri dapat dikatakan sebagai obyek tunggal yang mampu
meyebabkan suatu penyakit (hanya beberapa jenis bakteri yang dapat menyebabkan
penyakit). Secara teleologis, tidak menguntungkan patogen membunuh inang. Hal ini
karena dengan kematian inang, maka patogen juga ikut mati. Mikroba patogen
teradapatasi tinggi adalah yang dapat tumbuh dan menyebar dengan sedikit energi dan
sedikit kerusakan pada inang.
Resistensi Inang
Meskipun mudah rusak, kulit merupakan pembatas penting antara tubuh dengan
dunia luar. Untungnya, kebanyakan bakteri di lingkungan luar dapat diatasi dengan
sistem imun normal. Namun pasien dengan sistem imun rendah seperti pasien kemoterapi
kanker atau penderita AIDS terancam infeksi mikroba patogen oportunistik.
Bagian terluar tubuh manusia dan mencegah masuknya benda asing adalah kulit
dan permukaan mukosa. Bagian terluar kulit dan permukaan mukosa adalah lapisan sel-
sel epitel. Sel epitel pipih berlapis kulit sangat sulit ditembus oleh mikroba. Pada
permukaan kulit berkembang bakteri flora normal dan dapat berkompetisi dengan
mikroba patogen. Sel epitel mukosa berkembang dan membelah dengan cepat. Hanya
dalam waktu 36—48 jam sel epitel baru dapat bekerja efektif mengantikan sel epitel
lama. Pada lapisan mukosa juga dijumpai substansi pelindung (lisosim, laktoferin, dan
laktoperoksidase) terhadap invasi bakteri. Sel plasma lapisan submukosa mampu
menyekresi mukus yang berisi imunoglobulin (didominasi sIgA).
Mekanisme resistensi inang lainnya adalah kompetisi konsumsi besi. Besi bebas
dalam darah dan jaringan sangat dibutuhkan oleh bakteri meskipun dalam jumlah sedikit.
Transferin dan hemoglobin dengan cepat mengkonsumsi besi bebas, sehingga tidak
memungkinkan tersedianya besi bebas di jaringan inang. Sel fagositosis berpatroli di
seluruh peredaran darah dan jaringan dan menghancurkan benda asing. Sel fagositosis
didominasi oleh neutrofil, tetapi monosit, makrofag, dan eosinofil turut serta. Aktivitas
fagositosis terhambat jika jumlah bakteri sangat banyak dan memiliki faktor virulensi,
sehingga mampu bertahan terhadap aktivitas lisosim dan pH asam. Aktivitas fagositosis
gagal biasanya ditandai dengan peradangan di lapisan submukosa dan bakteri hidup di
makrofag. Ketika peradangan terjadi, maka sel fagositosis bersama limfosit memulai
sistem imun terhadap infeksi bakteri. Selama interaksi sel bakteri dengan makrofag, sel T
dengan sel B atau dengan antibodi atau dengan sel termediasi imun berkembang untuk
mencegah reinfeksi.
Patogenesis Termediasi Respons Inang
Patogenesis pada kebanyakan infeksi bakteri tidak dapat dipisahkan dari respons
imun inang. Kebanyakan kerusakan jaringan akibat respons inang daripada faktor bakteri.
Patogeneisi termediasi respons inang dapat dilihat pada sepsis bakteri gram negatif,
tuberkulosis, dan leprosi tuberkuloid. Jaringan rusak pada infeksi-infeksi tersebut
disebabkan oleh faktor toksis yang dilepaskan oleh limfosit, makrofag, dan neutrofil pada
lokasi infeksi (Gambar 18.3). kebanyakan respons inang sangat kuat, sehingga jaringan
inang rusak dan memungkinkan bakteri resisten memperbanyak diri.
Gambar 3 Mekanisme patogenesis termediasi respons inang

Pertumbuhan Intrasel
Secara umum bakteri dapat masuk dan bertahan di dalam sel eukariota dapat
bertahan terhadap antibodi humoral, tetapi dapat dieliminasi hanya dengan respons imun
seluler. Namun bakteri ini harus memiliki mekanisme khusus untuk melindungi dari efek
enzim lisosim yang ada dalam sel inang. Berdasarkan pertumbuhan selama patogenesis,
bakteri patogen dapat dikelompokan menjadi 3, yaitu patogen intrasel obligat, patogen
fakultatif intrasel, dan patogen ekstrasel (Gambar 18.4). Bakteri patogen intrasel adalah
bakteri patogen yang selalu tumbuh di dalam sel inang selama proses patogenesis.
Bakteri patogen fakultatif intrasel adalah bakteri patogen tumbuh di luar dan si dalam sel
inang selama proses patogenesis. Bakteri patogen ekstrasel adalah bakteri patogen
tumbuh di luar sel inang selama proses patogenesis.
Gambar 4 Pengelompokan bakteri patogen berdasarkan pertumbuhannya selama
patogenesis

R. ricketsii menghasilkan fosfolipase untuk melarutkan vesikel fagosit, sehingga


tidak pernah bertemu dengan lisosim. Legionella pneumophila lebih memilih hidup di
dalam makrofag dan menghambat fusi lisosim dengan mekanisme yang belum diketahui.
Coxiella burnetii lebih menyukai lingkungan bernilai pH asam di dalam granula
lisosomal. Salmonella dan Mycobacterium sangat resisten terhadap aktivitas sel
fagositosis.
Bakteri yang tidak menginvasi sel inang, biasanya memperbanyak diri di fluida
tubuh yang kaya nutrisi. V. cholerae dan Bordetella pertussis tidak pernah menembus
jarungan tubuh, tetapi hanya menempel di permukaan sel epitel dan menyekresi protein
toksin. E. coli dan P. aeruginosa bukan patogen invasif, tetapi mereka menyebar dengan
cepat ke berbagai jaringan ketika memperoleh akses. Bakteri dapat dikatakan patogen
intrasel ketika dia dicerna oleh neutrofil dan makrofag, tetapi bakteri ini tidak
mempunyai kapasitas bertahan tumbuh di lingkungan intrasel.
FAKTOR FAKTOR VIRULENSI
Faktor Kolonisasi dan Perlekatan
Sel-sel epitel mukosa biasanya mengeluarkan mukus untuk membersihkan
permukaan mukosa secara teratur. Sel-sel epitel mukosa hanya memerlukan waktu 48 jam
untuk meregenerasi sel-sel yang rusak. Untuk menginfeksi, kebanyakan bakteri harus
melekatkan diri dan memperbanyak diri di permukaan mukosa sebelum mukus dan silia
sel epitel membuannya. Untuk itu, bakteri memiliki pili atau fimbria yang dapat dipakai
sebagai alat perlekatan ke permukaan mukosa. Faktor kolonisasi juga memerankan
peranan penting dalam perlekatan bakteri ke permukaan mukosa. Beberapa bakteri yang
menghasilkan faktor kolonisasi adalah V. cholerae, E. coli, Salmonella spp., N.
gonorrheae, N. meningitidis, dan Streptococcus pyogenes.
Pili dan Fimbria
Pili adalah apendages yang keluar dari dalam sel. Struktur pili berongga, sehingga
memudahkan sintesis pili. Pili adalah polimer protein yang disintesis dari dasar ke ujung.
Protein ujung pili mampu mengenali reseptornya pada sel inang, sehingga
memungkinkan perlekatan pada sel inang. Reaksi perlekatan antara pili dan reseptornya
sangat kuat dan sangat sulit dipisahkan. Setelah kontak dengan sel inang pili berdifusi
dengan membran sel inang, sehingga pili menyediakan jembatan atau kanal bagi eksport
material toksis bakteri patogen ke sitoplasma sel inang. Sintesis pili diregulasi oleh
lingkungan, sehingga pili hanya disintesis dalam kondisi tertentu. Kebanyakan pili adalah
antigen kuat, sehingga mudah dikenali oleh imunitas humoral dan seluler. Namun
beberapa populasi bakteri patogen dapat mengubah struktur protein ujung pili (melalui
mutasi), sehingga tidak mudah dikenali sistem pertahanan inang.
Fimbria lebih langsing daripada pili. Fimbria juga menyediakan mekanisme
perlekatan pada sel inang. Namun struktur fimbria kompak dan tidak berongga, sehingga
tidak memfasilitasi eksport berbagai faktor virulenke ke sel inang.
Kapsula dan Struktur Permukaan Lain
Bakteri memiliki beberapa struktur untuk dapat bertahan dalam inang. Kapsula
telah diketahui sejak lama sebagai faktor pelindung bakteri dari pertahanan inang. Bakteri
berkapsula lebih virulen dan resisten terhadap fagositosis dan pertahanan intrasel
daripada bakteri tanpa kapsula. Organisme penyebab bakteremia (Pseudomonas)
menghasilkan komponen yang disebut serum resistant. Komposisi dan struktur serum
resistant mirip dengan komposisi kapsula. Salmonella typhii dan beberapa organisme
penyebab paratifoid memiliki antigen permukaan, yaitu antigen Vi. Antigen Vi dapat
meningkatkan virulensi bakteri. Antigen Vi terdiri atas polimer galaktosamin dan asam
uronat. Antigen Vi mampu bertahan terhadap antibodi inang.
Beberapa bakteri dan parasit mampu bertahan dan memperbanyak diri di dalam
sel fagositosis. Mycobacterium tuberculosis mampu bertahan dan memperbanyak diri
karena struktur permukaan selnya tahan terhadap aktivitas lisosomal sel inang. Parasit
Toxoplasma gondii mampu menghambat fusi lisosom dan vakuola fagositosis. Sedangkan
mekanisme bertahan dan memperbanyak diri Legionella pneumophila, Brucella abortus,
dan Listeria monocytogenes di dalam sel fagositosis belum diketahu dengan jelas.
Sintesis kapsula memerlukan energi dan karbon tinggi. Bakteri mampu
meregulasi sintesis kapsula, sehingga memungkinkan merekan menyintesis kapsula
dalam keadaan tertentu (menguntungkan). Bakteri mempunyai mekasime yang dapay
mendeteksi inang dan dengan cepat mengekspresikan gen pengkode faktor virulensi
termasuk kapsula. Bakteri patogen tidak menghasilkan kapsula jika dikultur dalam
laboratorium. Mekanisme kapsula dalam virulensi bakteri patogen adalah mencegah
fagositosis sel inang, memfasilitasi kolonisasi di sel inang, memberikan struktur unik
yang mampu “menyembunyikan” dirinya dari sistem imun inang, dan memungkinkan
perlekatan bersama membentuk biofilm yang tidak mudah dihancurkan oleh sistem
pertahanan inang.
Faktor Invasi
Setelah melekat di permukaan mukosa, bakteri harus mampu menembus lapisan
mukosa, sehingga dapat tersebar ke seluruh jaringan tubuh inang. Bakteri patogen obligat
intrasel seperti Rickettsia dan Chlamydia species dan bakteri patogen fakultatif intrasel
menghasilkan faktor-faktor yang memfasilitasi invasi. Faktor invasi Shigella dikode dari
plasmid 140 megadalton. Mekanisme invasi Rickettsia dan Chlamydia species belum
diketahu dengan jelas.
Endotoksin
Endotoksi terdiri atas komponen lipopolisakarida toksis membran luar bakteri
gram negatif. Endotoksin berefek serius terhadap sel inang bahkan letal. Istilah endotoksi
diintroduksi oleh Pfeiffer pada tahun 1893 untuk membedakan substansi toksis yang
dikeluarkan setelah sel bakteri mengalami lisis dari substansi toksis (eksotoksin).
Struktur endotoksin adalah kompleks lipid dan polisakarida. Struktur molekul
endotoksin Salmonella spp. Dan E. coli telah diketahui secara detail. Meskipun semua
molekul endotoksin mirip secara struktur kimiawi dan aktivitas biologis, tetapi terdapat
keragaman di antara mereka. Kompleks molekul endotoksin dapat dibagi menjadi 3
bagian (Gambar 18.5) mulai terluar, yaitu rantai oligosakarida atau disebut rantai antigen-
O, polisakarida core yang merupakan tulang punggu molekul, dan lipid A yang biasanya
terdiri atas disakarida glukosamin yang melekat pada asam lemak dan fosfat. Jika bagian
polisakarida diganti dengan polisakarida lain, maka toksisitas endotoksin masih terjaga.
Namun jika bagian lipid A diganti dengan lipid lain, maka toksisitas endotoksin melemah.
Oleh karena itu bagian toksis endotoksin adalah lipid A. Peran polisakarida adalah
sebagai agen pelarut lipid A dan secara laboratorium posisakarida dapat diganti dengan
protein pembawa seperti bovins erum albumin. Anggota famili Enterobacteriaceae
memiliki beragam panjang rantai antigen-O. Sementara itu, N. gonorrhoeae, N.
meningitidis, dan B. Pertussis tidak memiliki rantai antigen-O.

Gambar 5 Struktur endotoksin dari bakteri gram negatif

Aktivitas Biologis Endotoksin


Efek biologis endotoksin telah dipelajari secara mendalam. Efek biologis
endotoksin bervariasi, yaitu leukopenia, leukositosis, depresi tekanan darah, aktivasi
keping darah, nekrosis sumsum tulang, hipotermia dan toksisitas letal (pada tikus), dan
induksi sintesis prostaglandin. Namun terdapat efek dari endotoksin yang
menguntungkan inang, yaitu efek mitogenik limfosit B (dapat meningkatkan resistensi
terhadap infeksi virus dan bakteri), induksi sintesis -interferon oleh limfosit T(dapat
mengaktifkan makrofag dan sel-sel pembunuh dan mengaktifkan penolakan terhadap sel
tumor), aktivasi komplemen, induksi nonspesifik resistensi infeksi, aktivasi makrofag,
induksi sintesis faktor nekrosis tumor, dan induksi toleransi endotoksin.
Penelitian terakhir terfokus pada eksploitasi efek positif endotoksin khususnya
dalam perkembangan menstimulasi respons imun. Menghidrolisis gugus fosfat atau
deasilasi satu atau beberapa asam lemak dari lipid A dapat menurunkan toksisitas lipid A.
Toleransi terhadap endotoksin dapat dihasilkan dengan mengintroduksi lebih dulu
endotoksin dosis rendah atau mengintroduksi lipid A nontoksis sebelum endotoksin dosis
tinggi.
Deteksi Endotoksin
Endotoksin adalah bagian dari membran luar sel bakteri patogen. Oleh karena itu
meskipun bakteri tersebut mati, tetapi endotoksin masih tetap aktif. Hal ini karena
endotoksin tahan panas, sehingga tidak mudah rusak oleh aktivitas sterilisasi. Endotoksin
dalam larutan medis dapat dihilangkan dengan filtrasi dengan ion exchange resin.
Keberadaan endotoksin dari perlalatan dan larutan medis dapat dideteksi denga
metode uji pirogenitas kelinci atau uji Limulus lysate. Uji pirogenitas kelinci berdasarkan
sensitivitas kelinci terhadap endotoksin. Uji ini sangat mudah, yaitu mengintroduksi
cairan yang diduga mengandung endotoksin ke dalam kelinci melalui vena telinga. Suhu
rektum kelinci dimonitor setiap saat. Jika suhu rektum meningkat, maka cairan tersebut
mengandung endotoksin.
Uji Limulus lysate merupakan uji deteksi endotoksin yang umum dan lebih murah
dibandingkan uji pirogentitas kelinci. Uji ini berdasarkan kemampuan endotoksin
menginduksi lysate gelation sel amoebosit Limulus polyphemus (ketam kaki kuda). Uji
ini sederhana dan sangat sensitif (mendeteksi sampai 1 ng/ml). Perangkat uji telah
tersedia secara komersial.
Eksotoksin
Eksotoksin berbeda dengan endotoksin. Eksotoksin adalah protein toksis yang
dilepaskan oleh bakteri patogen. Sebagian besar eksotoksin dengan berat molekul tinggi
tidak tahan panas, tetapi eksotoksin dengan berat molekul rendah tahan panas. Eksotoksin
dapat diproduksi oleh bakteri gram positif dan baktri gram negatif. Aksi eksotoksin
terhadap sel inang biasanya terlokalisir dan khusus pada sel dan lokasi tertentu. Hal ini
karena setiap eksotoksin memiliki masing-masing reseptor pada sel inang, misalnya
toksin tetanus hanya berefek pada internuncial neuron. Kebanyakan eksotoksin dapat
dikenali oleh antibodi.
Eksotoksin dapat dikelompokan menjadi beberapa kelompok berdasarkan efek
eksotoksin terhadap sel inang, seperti neurotoksin, sitotoksin, dan enterotoksin. Contoh
nerotoksin adalah toksin botulinum ayng dihasilkan Clostridium botulinum. Contoh
sitotoksin adalah toksin dipteria yang dihasilkan Corynebacterium diphtheriae.
Siderofor
Baik hewan dan mikroba memerlukan besi dalam pertumbuhan dan metabolisme.
Hewan memiliki mekanisme menahan besi dalam jaringan sehingga membatasi
pertumbuhan bakteri patogen. Meskipun darah kaya akan besi, tetapi sangat sedikit
dijumpai besi bebas di dalam darah. Sebagian besar besi telah diambil oleh hemoglobin
dari eritrosit dan transferin dari plasma darah. Bakteri mampu menghasilkan reseptor
untuk protein penangkap besi, sehingga menghambat penagkapan besi oleh sel inang.
Dengan demikian jumlah besi bebas untuk pertumbuhan bakteri meningkat.
Bakteri lain memperoleh besi bebas dengan mengekstraksi besi dari sel inang dan
menyintesis protein penagkap besi. Siderofor adalah substansi yang dihasilkan bakteri,
untuk menangkap besi baik dari inang maupun dari lingkungan (Gambar 18.6).
Kemampuan siderofor mengikat besi lebih tinggi daripada transferin dan laktoferin.
Salahsatu siderofor adalah enterochelin yang dihasilkan E. coli dan Salmonella sp.
Salmonella yang kehilangan kemampuan menyintesis enterochelin, maka dia kehilangan
virulensi terhadap tikus.
Gambar 6 Mekanisme kompetisi antara siderofor bakteri patogen dan protein pengikat
besi inang

PATOGENESIS Bacillus anthracis


Bacillus anthracis adalah bakteri batang gram positif pembentuk endospora
fakultatif anaerob. Spora B. anthracis terletak di tengah sel dan tetap berada di dalam sel
vegetatif. B. anthracis merupakan bakteri tanah dan dapat diisolasi dari hewan dan
manusia terinfeksi.
Manifestasi Infeksi
Terdapat 3 bentuk penyakit yang ditimbulkan B. anthracis, yaitu anthrax
kutaneus, anthrax gastrointestinal, dan anthrax inhalasi. Ketiga penyakit menunjukkan
rute masuk dan infeksi B. anthracis. Anthrax kutaneus merupakan penyakit akibat infeksi
B. anthracis melalui luka minor kulit dan dapat menyebabkan necrostic ulcer. Anthrax
gastrointestinal merupakan penyakit akibat infeksi B. anthracis melalui saluran
pencernaan dan menyebabkan necrotic ulcer di saluran pencernaan dan sistem limfatikus.
Anthrax inhalasi merupakan penyakit akibat infeksi B. anthracis melalui saluran
pernafasan dan menembus jaringan paru. Gejala anthrax inhalasi mirip dengan influenza
dan penyakit akibat virus lainnya, yaitu demam tinggi dan sakit di dada. Semua penyakit
anthrax ini bersifat letal jika tanpa perawatan memadai.
Mekanisme Patogenesis
B. anthracis memiliki 2 properti dasar virulensi, yaitu pembentukan kapsula dan
produksi toksin anthrax. Kapsula B. anthracis adalah polimer asam amino glutamat.
Galur patogen B. anthracis memiliki karakter koloni sebagai berikut, koloni basah,
mukoid, kenampakan halus. Galur nonpatogen B. anthracis mempunyai koloni kasar
(tetap menghasilkan kapsula). Kapsula melindungi B. anthracis dari berbagai respons
imunologi inang, seperti serum, lisin, fagositosis. Gen pengkode kapsula terdapat pada
plasmid. Secara laboratorium, gen pengkode kapsula dapat diekspresikan dengan
menumbuhkan B. anthracis pada media berisi serum dan kadar CO2 atmosfir 5%.
Toksin anthrax B. anthracis baru dikenal sejak tahun 1954. Toksin anthrax B.
anthracis terdiri atas 3 komponen yaitu faktor letal, faktor edema, dan antigen protektif.
Faktor letal adalah enzim kinase yang mampu merusak fungsi sel. Makrofag merupakan
target toksin anthrax. Faktor edema adalah enzim yang memiliki aktivitas adenilat siklase
(menghasilkan AMP dari ATP), sehingga menurunkan kadar ATP yang berguna untuk
mrnyuplai energi untuk fagositosis. Antigen protektif tidak memiliki efek toksis,
melainkan untuk perlekatan dengan sel sasaran, sehingga ke-2 faktor lainnya dapat
dieksport ke sel inang.
Diagnosis dan Perlakuan
Identifikasi B. anthracis cukup sulit, karena B. anthracis mirip dengan anggota
Bacillus lainnya. Metode umum untuk mengidentifikasi B. anthracis adalah dengan uji
biokimiawi (Tabel 18.2). Sejumlah uji lainnya diperlukan untuk mengkonfirmasi hasil
identifikasi. Uji biokimiawi memerlukan waktu 48 jam. Oleh karena itu diperlukan uji
yang cepat mengidentifikasi B. anthracis. Uji cepat (rapid test) berdasarkan reaksi antara
antibodi dengan toksin atau kapsula telah tersedia dan mampu memberi informasi hanya
dalam beberapa jam. Uji terbaru berdasarkan reaksi rantai polimerase (polymerase chain
reaction) yang mampu mendeteksi urutan DNA spesifik pengkode faktor virulensi dan
hanya memerlukan waktu 15 menit.
Tabel 18.2 Karakteristik Bacillus species
Karakteristik B. anthracis B. cereus dan
B. thuringiensis
Kebutuhan akan thiamin + +
Hemolisis pada sheep blood agar - -
Kapsula polipeptida glutamil + +
Lisis oleh gama-fag + +
Motilitas - -
Pertumbuhan pada chloralhydrate agar - -
Aransemen rantai ujung ke ujung sel + +

Perlakuan pada penderita anthrax dengan antibiotik. B. anthracis sensitif terhadap


berbagai antibiotik, khususnya penisilin. Jika sebelum infeksi B. anthracis sedang
dilakukan perlakuan antibiotik, maka perlakuan antibiotik memiliki efek kecil. Vaksin
anthrax untuk hewan telah tersedia sejak Pasteur memformulasikan vaksin anthrax
pertama kali. Konsentrasi rendah toksin dapat menstimulasi sistem antibodi inang.
PENYAKIT STREPTOKOKUS
Infeksi bakteri Streptococcus menghasilkan penyakit serius pada manusia. Baktri
patogen penting Streptococcus adalah S. pneumoniae dan S. pyrogenes. Streptococcus
merupakan kelompok organisme heterogen yang secara normal berasosiasi dengan
organisme tingkat tinggi. Beberapa galur merupakan bakteri patogen dan yang lainnya
merupakan bakteri flora normal manusia. Streptococcus adalah bakteri kokus gram positif
dan membelah dalam satu model arah (one plane division) . Setelah membelah,
sel0selnya saling berasosiasi menghasilkan struktur rantai. S. pneumoniae dan S.
pyrogenes tidak memiliki enzim katalase. Streptococcus mampu memfermentasi berbagai
sumber karbon, tetapi lebih menyukai gula sebagai sember karbon. Pada media padat,
Streptococcus menghasilkan koloni halus. Pada media blood agar, terdapat karakteristik
berbeda pada beberapa jenis Streptococcus.
Manifestasi Infeksi
S. pyrogenes merupakan bakteri penginfeksi saluran pernafasan, kulit, dan aliran
darah. Infeksi kulit dapat mengakibatkan impetigo, selulitis, necrotic fascitis, dan
myositis. Penyakit saluran pernafasan, yaitu faringitis akut dan pneumonia. Meskipun
jarang, S. pyrogenes mampu menyebar sampai aliran darah dan mengakibatkan
bakteremia dan sepsis dan dalam beberapa kesempatan menghasilkan toxic shock
syndrome yang bersifat letal. Respons imunologis terhadap S. pyrogenes pada otot
jantung menyebabkan demam rematik dan ini mungkin terjadi sekitar 3% dari kasus
faringitis. Perawatan intensif terhadap S. pyrogenes dapat mencegah perkembangan
demam rematik.
S. pneumoniae merupakan penyebab utama infeksi saluran ernafasan pada orang
dewasa. S. pneumoniae dapat berubah menjadi karier (tidak memunculkan simptom),
sehinga tertransfer ke orng lain melalui udara. S. pneumoniae menginfeksi telinga, sinus,
dan mata. Pasien dengan infeksi bakteri ini sering terlihat adanya peradangan.
Mekanisme Patogenesis
S. pyrogenes
Terdapat 2 tahap perlekatan S. pyrogenes terhadap sel inang. Pertama, bakteri
melekat pada permukaan sel inang menggunakan asam lipotekoat dinding sel. Setelah
perlekatan pertama ini, diikuti perlekatan (ikatan) protein M pada ujung fimbria dengan
fibronektin dan menghasilkan perlekatan kuat.
Setelah melekat, S. pyrogenes menyekresi berbagai enzim untuk invasi sampai ke
jaringan dalam. Enzim hialuronidase mendegradasi asam hialuronat yang ada di antara 2
sel inang. Enzim streptokinase merusak fibrin inang. Beberapa enzim streptodornase
mendegradasi DNA dan RNA. Kumpulan enzim ini juga membantu S. pyrogenes dalam
menghindari dan melawan sistem imun inang. S. pyrogenes menghasilkan kapsula yang
terbuat dari asam hialuronat (berasal dari sel inang). Kapsula berperan dalam
menghindari fagositosis. Enzim streptolisin dan NADase mampu membunuh leukosit.
Enzim protease C5a menghancurkan protein kompleman C5a inang yang merupakan
kemoatraktan untuk fagosit.
Beberapa galur S. pyrogenes menyekresi eksotoksin pirogenik yang menginduksi
demam. Beberapa galur S. pyrogenes yang menghasilkan infeksi serius dan merusak
kulit, juga menghasilkan toksin pirogenik.
S. pneumoniae
Mekanisme patogenesis S. pneumoniae belum diketaui dengan jelas. Meskipun
demikian kapsula S. pneumoniae berperan dalam resistensi fagositosis dan memfasilitasi
penyebaran bakteri ini. Protein lain sebagai faktor virulensi adalah pneumolisis dan
permease, tetapi mekanisme keduanya tidak jelas.
Diagnosis dan Perlakuan
Diagnosis Streptococcus tergantung pada teknik kultur dari jaringan tubuh. S.
pyrogenes secara normal dikonfirmasi dengan hemolisis pada media blood agar, bakteri
gram positif rantai kokus (S. pneumoniae bakteri gram positif rantai lancet), sensitif
bacitracin dan optochin.
S. pyrogenes biasanya diperlakukan dengan penisilin dan bakteri ini tidak mampu
mengembangkan resistensi terhadap antibiotik. Vaksin berbagai serotipe protein M
sedang dikembangkan. S. pneumoniae diperlakukan dengan antibiotik penisilin, tetapi
bakteri ini mengembangkan resistensi terhadap antiobiotik. Pada bakteri resisten
penisilin, antibitik cefrriaxone dan cefotaxime sangat efektif. Vaksin polisakarida dengan
lebih dari 23 serotipe sedang dikembangkan. Vaksin untuk S. pneumoniae biasanya
efektif terhadap orang dewasa, tetapi tidak efektif untuk anak-anak.

BAB III
PE N UTU P
A. Kesimpulan
1. Patogenesis adalah mekanisme infeksi dan mekanisme perkembangan penyakit.
Infeksi merupakan invasi inang oleh mikroba yang memperbanyak dan
berasosiasi dengan jaringan inang
2. Bakteri dapat merusak sistem pertahanan inang dimulai dari permukaan kulit,
saluran pencernaan, saluran respirasi, saluran urogenitalia. Mikroorganisme
patogen dapat memasuki tubuh inang melalui berbagai macam jalan, misalnya
melalui membran mukosa, kulit ataupun rute parental. Banyak bakteri dan virus
memiliki akses memasuki tubuh inang melalui membran mukosa saluran
pernapasan, gastrointestinal, saluran genitourinari, konjungtiva, serta membran
penting yang menutupi bola mata dan kelopak mata.
3. Faktor-faktor virulensi mikroba adalah Faktor Kolonisasi dan Perlekatan, factor
invasi, endotoksin, eksotoksin dan sederofor.

B. Saran
Bakteri makhluk kecil yang jarang kita sadari keberadaanya. Maka jika terjangkit
salah satu penyakit dari bakteri kita jangan meremehkan gejala awal yang dialami
karena umumnya gejala awalnya sangat biasa. Karena jika diremehkan bisa saja
menjadi akut. Harus mengikuti tahap-tahap pencegahan yaitu dengan menjaga
kebersihan diri.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Jenis dan patogenesis Mikroorganisme penyebab diare.

http://www.scribd.com. (diakses tanggal 14 desember 2018, Pkl. 13.00)

Pelczar Jr, Michael J. 1988. Dasar-dasar mikrobiologi jilid 2 terjemahan. Jakarta :


Universitas Indonesia.

http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/2074655-patogenesis/

http://wanenoor.blogspot.com/2011/06/pengertian-patogenesis.html

Вам также может понравиться