Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
melakukan sesuatu kecuali mengurung diri di dalam kamar serta menonton Anime untuk
menemaniku menghabiskan waktu serta memberikan kala suhu dingin menyerang tulang-
tulangku. Aku memang suka menonton anime di waktu hujan, entah kenapa hal itu benar-
benar bisa membuatku bahagia, bahkan meneteskan air mata saat ceritanya menyanyat hati.
Mungkin sedikit aneh untuk pria sepertiku menyukai film drama bahkan sampai meneteskan
air mata.
Panggil saja aku Shin, Shin Hiro. Aku sekolah di Sma Rokuha, salah satu sekolah
favorit di kotaku. Aku cukup beruntung bisa masuk disana,begitu pikirku. Aku memiliki
banyak teman dan sahabat, kami telah menghabiskan jutaan tawa dan ribuan tetes air mata
bersama, serta merasakan pedihnya luka dan menikmati indahnya senja bersama-sama.
Namun entah kenapa, aku sering merasakan kesepian meskipun berada di keramaian yang
membuatku bising. Aku seperti terjebak diantara gemuruh kembang api yang meledak
diantara heningnya malam serta tawa orang-orang di sekitarnya, atau seperti berlari diantara
labirin yang tak berujung. Entah kenapa aku nyaman dengan kesendirian. Karena bagiku,
sendiri dan aku adalah satu.
“Shin...Cepat bangun, kau harus siap-siap untuk berangkat sekolah.” Teriak Ayahku dengan
keras sehingga aku langsung terbangun.
“Iyaa Yah sebentar lagi,mataku masih terasa kantuk.” Jawabku dengan lemas.
Ahhh...Sial pasti aku terlalu lelah menonton film hingga ketiduran,pikirku dalam hati.
“Iyaa Yah baik.” Jawabku dan segera bergegas menuju kamar mandi.
Aku berjalan menuju kamar mandi dengan sedikit mengantuk, jalanku terhuyung-
huyung hingga kepalaku menatap pintu kamar mandi.”Ahh...Sial.”Ujarku dengan kesal. Aku
bergegas untuk mandi karena bergantian dengan ayah dan adikku Naomi. Setelah selesai
mandi aku bergegas kembali ke kamar untuk berganti pakaian dan berangkat sekolah.
“Shin uang sakunya ada di atas kulkas.” Teriak ayahku dari kamarnya.
Aku kemudian berpamitan dengan ayahku, aku berjalan menuju teras rumah ku ayunkan
pedal sepedaku dan melaju menuju sekolah. Memang sejak Ibuku meninggal keluarga kami
jarang sekali sarapan pagi, mungkin terlalu repot bagi ayahku untuk menyiapkan makanan di
pagi hari karena ia bekerja hingga larut malam dan harus beristirahat untuk hari esok. Ayahku
adalah pria yang tangguh, ia bisa membuat kami merasa nyaman dan tidak takut akan apapun.
Bahkan saat hari pemakaman ibu, ia tidak meneteskan mata sedikitpun. Aku yakin hatinya
hancur seperti hatiku yang kehilangan sebagian besar dunianya dan enggan untuk merasakan
apapun selain kesedihan. Air mataku bercucuran dengan derasnya, sebetulnya aku adalah pria
yang lemah dan sensitif dengan perasaan, namun saat itu ayah berkata padaku “Jangan
menangis, tersenyumlah aku yakin ibumu ingin melihatmu selalu bahagia, ibumu sudah
terbebas dari penderitaan dan rasa sakit yang menyerangnya, jadi do’a kan saja.” Katanya
dengan tersenyum. Sejak saat itu aku sadar ayahku hanya ingin anak-anaknya tidak bersedih
atas apa yang menimpa mereka, oleh karena itu aku berjanji untuk tidak menunjukkan
tangisku pada siapapun karena aku tidak ingin orang di sekitarku merasakan penderitaan yag
sama denganku.
Sinar hangat mentari disertai bau hujan yang masih tercium jelas di pagi itu
mengiringi perjalananku menuju sekolah. Suara bising motor yang biasanya lalu lalang masih
belum terdengar karena masih teramat pagi. Dedaunan jatuh dengan tenang seolah-olah
mereka menikmatinya. Pintu gerbang sudah terbuka dengan lebar, aku masuk bersama
motorku dan beberapa siswa lainnya. Koridor-koridor yang masih sepi kulewati sambil
bersenandung ria. Ku buka pintu kelasku, hanya beberapa saja yang sudah masuk mungkin
karena masih pagi. Ku taruh tasku di atas meja dan aku duduk di pinggir jendela kelas
sehingga halaman sekolah terlihat jelas olehku. Bel berdering siswa-siswa lain masuk dengan
tergopoh-gopoh.