Вы находитесь на странице: 1из 13

MATERI BATUBARA

Pembentukan Batubara secara umum


Apabila Suatu tumbuhan atau pohon mati dan roboh ke atas tanah, maka pohon tersebut akan
mengalami pembusukan dan penguraian baik secara biokimia yang melibatkan bakteri maupun
secara kimia dan fisika. Bagian organik pohon tersebut akan terurai menjadi CO2, HK, dan
H2O, sedangkan bagian atau unsur anorganiknya akan kembali ke tanah dan bercampur dengan
mineral tanah.
Apabila suatu pohon yang mati kemudian jatuh kedalam air atau rawa yang cukup dalam, maka
pohon tersebut akan mengalami pembusukan baik secara biokimia maupun secara kimia dan
Fisika. Pada kedalaman tertentu bakteri yang menguraikan sisa pohon tersebut tidak dapat
bekerja lagi, sehingga perubahan yang terjadi selanjutnya hanya perubahan fisik dan kimia.
Dalam hal ini pohon tersebut tidak mengalami pembusukan secara sempurna, dan lama
kelamaan, sisa tumbuhan tersebut akan berubah menjadi suatu sediment organik yang
kemudian disebut “ BATUBARA “
Ada 2 teori yang menerangkan terjadinya
batubara yaitu :
1. Teori In-situ : Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan
dimana batubara tersebut terbentuk.
2. Teori Drift : Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan
yang bukan di tempat dimana batubara tersebut terbentuk
Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori in-situ biasanya terjadi di hutan basah dan
berawa, sehingga pohon-pohon di hutan tersebut pada saat mati dan roboh, langsung tenggelam
ke dalam rawa tersebut, dan sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami pembusukan secara
sempurna, dan akhirnya menjadi fossil tumbuhan yang membentuk sediment organik.
Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori Drift, bisa berasal dari hutan basah atau kering.
Tumbuhan atau pohon yang sudah mati dan roboh keatas tanah kemudian terbawa oleh banjir
atau aliran sungai sehingga sisa-sisa tumbuhan tersebut akhirnya mengendap di delta-delta
sungai purba atau terkumpul dan tersedimentasi didasar danau purba.
Pembentukan Batubara (Coalification)
 Peatification (Pembentukan Peat) , Perubahan Biokimia atau Diagenetik Oleh bakteri
aerob dan anaerob
 Transisi Peat – Lignite, Perubahan diagenetik dan metamorphosis Disebabkan oleh
perubahan fisik dan kimia karena pengaruh panas dan tekanan terhadap endapan
tersebut.
 Transisi Lignite - Sub-bituminous, Pengurangan porositas dan kadar air akibat tekanan
overburden.
 Transisi Sub-bituminous – Bituminous, Penurunan Oksigen dan moisture, dan
naiknya nilai kalori yang
 cukup signifikan.
 Transisi Bituminous – Anthrasit, Penurunan drastis hydrogen dan rasio H/C diikuti
dengan pelepasan gas methan. Peningkatan gugus hidrokarbon aromatik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan batubara adalah umur, temperatur,
dan tekanan.
Substansi batubara yaitu moister, mineral matter dan organic matter.

GENESA DAN PETROLOGI BATUBARA

Pendahuluan
Batubara adalah suatu endapan yang tersususn dari bahan organik dan non organik. Bahan
organik berasal dari sisa tumbuhan yang telah mengalami berbagai tingkat pembusukan
(decomposition) dan perubahan sifat-sifat fisisk serta kimia baik sebelum maupun sesudah
tertutup endapan lain di atasnya. Proses pembentukan batubara secara umum adalah :

Tumbuh-tumbuhan =================> Gambut/Peat =================> Variasi Batubara


(Biological Steps) (Physio chemical steps)

Bahan non organik pada batubara terdiri dari bermacam-macam mineral ( mineral matters )
yang terbentuk sebagai material-material halus menyebar pada batubara atau terkumpul
menjadi lapisan-lapisan tipis. Mineral matters umumnya tersususn dari : mineral-mineral
lempung (biasanya membentuk clay bands), karbonat, sulfida, silikat dan beberapa mineral
lainnya dengan jumlah yang relatif sedikit.

Perubahan fisika pada proses peat menjadi batubara ( Physical coalification ):


a Pemadatan, pengeringan, litifikasi
b Terbentuknya joint, clevage dan schistosy
c Perubahan optis mineral
d Dehidrasi
e Perubahan warna ( coklat ===> hitam )
f Pertumbuhan nilai specifik gravity
g Perubahan kilap dan pecahan ( mis. : concoidal )

Perubahan sifat kimia peat menjadi batubara ( Chemical coalification ):


a Hilang/berkurangnya kadar air dan oksigen
b Penambahan jumlah volume
c Berkurangnya kadar unsur hydrogen
d Berkembangnya molekul hidrokarbon berat
e Bertambahnya daya tahan ( resistensi ) terhadap pelarut, oksidasi dan panas.

Maseral
Masera didefinisikan sebagai komponen terkecil ( optical ) bahan-bahan organik
penyusun/pembentuk batubara (analog dengan mineral pada batuan), yang berkaitan dengan
sifat keteknikan batubara tersebut (mis.: sifat pencairan, penggasan, dan pembakaran).
Berdasarkan pada bentuk morfologi, ukuran, relief, internal structure, kesamaan komposisi
kimia, warna pantulan, intensitas refleksi dan tingkat pembatubaraan (degree of coalification),
maseral pada batubara dapat dikelompokkan pada tiga kelompok utama, yaitu :
1. Kelompok Vitrinit
Vitrinit merupakan bahan utama penyusun batubara (umumnya > 50%). Berasal dari
tumbuh-tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody tissues) seperti batang, dahan, akar
dan serat daun.
Pengamatan dengan mikroskop sinar langsung (transmitted light microscope) menunjukkan
warna coklat kemerahan sampai gelap (tergantung pada tingkat metamorfosa batubara).
Semakin tingkat ubahannya, maseral ini terlihat semakin gelap.
Pengamatan dengan mikroskop sinar pantul (reflected light microscope) menunjukan warna
pantul yang lebih terang, mulai dari abu-abu tua sampai abu-abu terang. Semakin tinggi
tingkat coalifikasinya, warna yang ditunjukan semakin terang.
Kandungan presentase hidrogen dan zat terbang dalam kelompok maseral ini berada
diantara kelompok inertinit dan eksinit.
Berdasarkan struktur bagian dalam, jenis maseral ini terbagi tiga kelompok, yaitu :
a. Telinit, dicirikan oleh adanya struktur dinding sel.
b. Kolinit, terlihat tanpa strukttur (structurless), didapatkan sebagai perekat dan pengisi
ruang antar jaringan.
c. Vitrodetrinit, merupakan fragment yang terkungkung dalam kolinit.
2.Kelompok Eksinit / Liptinit
Berasal dari jenis tumbuhan yang tingkatannya lebih rendah, misalnya : spora, ganggang
(algae), kulit luar (culticles), getah tanaman (resin), dan serbuk sari (polen).
Pengamatan dengan mikroskop sinar langsung menunjukkan warna terang, kuning sampai
kuning tua.
Pengamatan dengan mikroskop sinar pantul menunjukkan warna pantul abu-abu sampai
gelap.
Kandungan presentase hidrogen dalam kelompok maseral ini paling besar diantara kedua
kelompok lainnya.
Berdasarkan morfologi dan bahan asalnya kelompok eksinit dibagi menjadi : sporinit,
kutinit, alginit, resinit, suberinit, dan liptodetrinit.
3.Kelompok Inertinit
Berasal dari jenis tumbuhan yang tingkatannya lebih rendah, misalnya : spora, ganggang
(algae), kulit luar (culticles), getah tanaman (resin), dan serbuk sari (polen).
Pengamatan dengan mikroskop sinar langsung menunjukkan warna terang, kuning sampai
kuning tua.
Pengamatan dengan mikroskop sinar pantul menunjukkan warna pantul abu-abu sampai
gelap.
Kandungan presentase hidrogen dalam kelompok maseral ini paling besar diantara kedua
kelompok lainnya.
Berdasarkan morfologi dan bahan asalnya kelompok eksinit dibagi menjadi : sporinit,
kutinit, alginit, resinit, suberinit, dan liptodetrinit.

Cleat
Cleat adalah kekar di dalam lapisan batubara, khususnya pada batubara bituminous
yang ditunjukkan oleh serangkaian kekar yang sejajar, umumnya mempunyai orientasi berbeda
dengan kedudukan lapisan batubara.
Adanya cleat dapat disebabkan beberapa faktor :
- mekanisme pengendapan
- petrografi batubara
- derajat batubara
- tektonik (struktur geologi)
- aktifitas penambangan
Berdasar genesanya dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Endogenous cleat dibentuk oleh gaya internal akibat pengeringan atau penyusutan
material organic. Umumnya tegak lurus bidang perlapisan sehingga bidang kekar
cenderung membagi lapisan batubara menjadi fragmen-fragmen tipis yang tabular.
b. Exogenic cleat dibentuk oleh gaya eksternal yang berhubungan dengan kejadian
tektonik. Mekanismenya tergantung pada karakteristik struktur dari lapisan pembawa
batubara. Cleat ini terorientasi pada arah tegasan utama dan terdiri dari dua pasang
kekar yang saling membentuk sudut.
c. Included cleat bersifat local akibat proses penambangan dengan adanya perpindahan
beban kedalam struktur tambang. Frekuensi included cleat tergantung pada tata letak
tambang dan macam teknologi penambangan yang digunakan.
Berdasarkan bentuknya dapat dikelompokkan menjadi lima :
a. Bentuk kubus, umumnya pada endogeneous cleat yang berderajat rendah.
b. Bentuk laminasi, pada exogenic cleat berupa perselingan antara batubara keras dan
lunak atau antara durain dan vitrain.
c. Bentuk tidak menerus, berhubungan dengan endogeneous dan exogenic cleat.
d. Bentuk menerus, berhubungan dengan struktur geologi atau akibat penambangan.
e. Bentuk bongkah yang disebabkan oleh kejadian tektonik.

Hubungan Cleat dengan penambangan


Arah kekar merupakan faktor utama dalam penentuan arah penambangan. Operasi
penambangan akan lebih mudah jika kita bekerja pada kekar utama sehingga produksi batubara
akan lebih cepat.
Besarnya pengaruh cleat pada beberapa bagian dari suatu rangkaian industri pertambangan,
membuat cleat menjadi penting untuk dipelajari dan diketahui karena kehadiran dan orientasi
cleat antara lain akan mempengaruhi pemilihan tata letak tambang, arah penambangan,
penerapan teknologi penambangan, proses pengolahan batubara, penumpukan batubara bahkan
pemasaran batubara (fine coal sampai lumpy coal).
Oleh karena itu perekaman data cleat :
- kedudukan
- kisaran jarak antar cleat,
- jenis cleat,
- pengisi cleat,
- pengendali terbentuknya,
- karakteristik kerekatannya
- jarak dominan cleat.

Hubungan Cleat dengan struktur geologi


Cleat mempunyai pola sama dengan pola kekar pada batuan disekitarnya, namun spasi lebih
rapat.
Permukaan cleat :
- vertical  pada lapisan batubara yang datar
- miring (oblique)  terhadap lapisan batubara yang terganggu struktur
Permukaan bagian cleat yang tersingkap kadang-kadang dilapisi mineral sekunder (kaolinit,
pirit, kalsit, ankerit, melanterit / FeSO4)

Hubungan Cleat dengan kualitas batubara


Cleat sering terisi material klastik yang menyebabkan meningkatnya kandungan mineral
matter, volatile matter dan abu sehingga nilai kalorinya rendah. Semakin banyak cleat maka
batubara tersebut semakin rendah kalorinya.

Intrusi batuan beku pada lapisan batubara


Karena material organik dalam batubara mengalami perubahan mendasar apabila dipanaskan,
adanya intrusi batuan beku memiliki pengaruh yang besar pada lapisan batubara daripada yang
dialami oleh batuan bukan batubara. Batubara yang dekat dengan tubuh intrusi batuan beku,
secara lokal meningkat derajatnya sehubungan dengan meningkatan panas yang menyertainya.
Intrusi batuan beku biasanya berkembang menjadi komplek, dimana pada titik pertemuan
antara tubuh intrusi dengan lapisan batubara membentuk kontak yang meliuk. Hal ini
berhubungan dengan perilaku plastik dari bahan organik karena pemanasan serta berkurangnya
kandungan air didalam batubara.
“Cinder coal” (batubara terarangkan) akibat intrusi, biasanya lemah, massanya porous dengan
pola belahan hexagonal. Dalam banyak hal cinder coal kurang mempunyai nilai ekonomi,
dengan demikian cinder menunjukkan hilangnya sebagian lapisan batubara yang dapat
ditambang. Dari sudut peningkatan derajat batuabara, mungkin lebih menguntungkan dari segi
ekonomi jika pengaruh cinder coal tidak terbentuk.
Batuan yang biasanya berasosiasi dengan lapisan batubara
Batuan yang sering ditemukan di dalam atau dekat dengan lapisan batubara adalah batuan
sedimen klastika halus seperti batulempung, batulanau, serpih dan batupasir. Juga kaolin
seperti “flint clay” dan “underclay” material siliceous seperti chert dan gannister serta endapan
ferrigenous seperti mudstone siderit dan clay ironstone termasuk yang berasosiasi dengan
batubara.
Beberapa material di atas hanya diminati secara akademik, tetapi sekarang mulai diperhatikan
karena mempunyai arti industri, seperti underclay.
Struktur sedimen sangat membantu didalam interpretasi lingkungan pengendapan dan yang
banyak dijumpai berasosiasi dengan lapisan batubara adalah perlapisan silangsiur, laminasi
sejajar, laminasi bergelombang, laminasi karbonan (carbonaceous laminae), coal strings,
konkresi, dan cetak beban.
SEDIMENTOLOGI BATUBARA

Pengantar

Lapisan sediment yang mengandung gambut atau batubara terdapat di banyak tempat di dunia
yang berumur mulai dari Paleozoikum Akhir hingga Resent. Batubara merupakan hasil
akumulasi rombakan material tumbuhan yang terbentuk pada lingkungan pengendapan
tertentu. Akumulasi ini dipengaruhi oleh proses synsedimenter dan postsedimenter yang
menghasilkan endapan batubara dengan berbagai peringkat dan tingkat kompleksitas struktur
geologinya.

Sedimentasi dan Lapisan Batuan Pembawa Batubara

Dewasa ini minat mempelajari proses sedimentasi batubara begitu tinggi, terutama
karakteristik lingkungan fluviatil dan delta. Ahli geologi batubara perlu mengetahui prinsip
dasar dalam pengenalan lingkungan pengendapan yang menyangkut proses fisik yang terjadi
agar dapat menghasilkan lapisan batubara yang bernilai ekonomis. Selain itu pemahaman
mengenai bentuk, morfologi dan mutu batubara merupakan hal mendasar dalam perencanaan
dan menambangan batubara.

Model-model Pengendapan

Pengenalan model pengendapan yang dapat menjelaskan pembentukan lapisan pembawa


batubara dan hubngannya terhadap lingkungan sekelilingnya dapat dilakukan dengan
membandingkan lingkungan pembentukan gambut modern dengan lapisan pembawa batubara
(Tabel…)

Tabel….

Karakteristik Fluvial dan Transitional Lower Delta Back Barrier


Upper Delta Lower Delta Plain Barrier
Plain Plain
Model pengendapan tradisional yang digunakan oleh banyak ahli didasarkan pada “cyclothem”
yakni suatu seri litotipe yang terbentuk pada siklus yang berulang-ulang. Saat ini konsep
tersebut telah dimodifikasi menjadi suatu model yang berkaitan dengan perubahan lateral dan
vertical pada kondisi pengendapan yang sudah diketahui yakni pada system fluvial, deltaic,
dan coastal barrier. Urutan perlapisan atau litofasiesnya dicirikan oleh kenampakan
sedimentasinya.

-Fasies Coastal Barrier dan Back Barrier

Model pengendapan pantai dicirikan oleh batupasir penghalang, ke arah laut butirannya lebih
halus dengan sisipan serpih dan batuan karbonat. Ke arah daratan bergradasi menjadi serpih
lagonal warna hitam dengan adanya fauna air payau dan pada sisi rawa tumbuh pepohonan.
Batupasir penghalang (barrier sandstone) mengalami perombakan kembali secara terus
menerus, sehingga kandungan kuarsanya lebih tinggi dibanding dengan batupasir di sekitarnya
yang mempunyai sumber yang sama.

Batupasir penghalang ini menunjukkan variasi perlapisan yaitu adanya belahan bidang
perlapisan serta ripple dan burrow pada bagian atasnya. Hal ini dapat ditapsirkan sebagai
“storm washover sand”. Tubuh batuan yang memanjang ke arah darat bisa mencapai ketebalan
6 m, terdapat struktur silang siur, dan bidang miring yang ditapsirkan sebagai endapan “delta
banjir pasang” (flood tide delta) kemudian batupasir pengisi saluran yang ditapsirkan sebagai
“endapan saluran pasang surut”.

Rekonstruksi pengendapan didasarkan studi yang dilakukan di Amerika. Lingkungan back-


barrier lagonal dicirikan oleh coarsening upward, serpih yang kaya organic dan batulanau
yang ditindih oleh batubara tipis dan tidak menerus. Lapisan ini menunjukkan zona bioturbasi
yang kuat disertai oleh adanya lapisan tipis dan konkresi besi karbonat yang terpresipitasi
secara kimia (siderite). Penyebaran batuan ini diperkirakan mencapai 20 – 30 m dengan lebar
antara 5 – 25 km (Gambar…)

-Fasies Lower Delta Plain

Endapan lower delta plain didominasi oleh sikuen coarsening upward, mudstone, dan
batulanau dengan ketebalan 15 – 55 m serta penyebaran lateral mencapai 8 – 110 km. Bagian
bawah sikuen ini dicirikan oleh mudstone kelabu – hitam dengan sisipan batugamping dan
siderite.

Pada bagian atas umumnya disusun oleh batupasir yang mencerminkan peningkatan energi air
dangkal, sehingga terjadi pengisian muara oleh sediment. Bila muara telah terisi sedimen yang
cukup, maka tanaman dapat tumbuh di atasnya yang pada akhirnya batubara dapat terbentuk.
Namun jika muara tidak diisi oleh sediment yang cukup, maka akan terbentuk bioturbasi,
batupasir dengan semen berupa siderit dan batulanau. Pola coarsening upward tersebut dapat
terpotong di beberapa tempat oleh crevasse splay. Pada beberapa kasus, sikuen transitional
lower delta plain, endapannya merupakan perselingan antara channel, interdistributary bay
dan crevasse splay (gambar…..)

Fasies dan Lingkungan Pengendapan batubara


Pada umumnya studi fasies batubara dapat digunakan untuk merekonstruksi model
pengendapan yang ditapsirkan bahwa batubara merupakan hasil pengendapan rawa. Studi pada
lapisan batubara itu sendiri difokuskan pada analisis petrologi dan ditambah dengan analisis
sediment di sekelilingnya.

Model pengendapan gambut/batubara saat ini menjadi banyak perhatian terutama jika
dikaitkan dengan kualitas batubara sebagai bahan tambang. Sekitar 3 % permukaan bumi ini
ditutupi oleh lahan gambut. Keragaman bentuk gambut sangat ditentukan oleh adanya fluktuasi
muka air tanah serta curah hujan yang tinggi.

Istilah “mire” atau “moor” meliputi semua lahan basah (rawa) dimana akumulasi gambut bias
terjadi. Akumulasi gambut mengikuti persamaan kesetimbangan sebagai berikut :

Aliran Masuk + Hujan = Aliran Keluar + Penguapan + Retensi

Kondisi yang diperlukan agar gambut dapat terakumulasi adalah adanya keimbangan antara
produksi tanaman dan pembusukan organic. Ini merupakan fungsi iklim. Karena gambut
relative kedap air, maka pertumbuhannya dapat menghambat aliran air pada daerah yang luas,
sehingga lahan gambut yang cekung (low moor) menjadi sangat luas. Pada daerah dimana
presipitasi tahunan melebihi penguapannya, serta tidak ada periode kering yang panjang, maka
akan berkembang “raised mire” (high moor). Gambut dapat tumbuh ke arah atas karena muka
air tetap bertahan. Perkembangan suatu lingkungan pembentukan gambut dari low mor menjadi
high moor akan menghasilkan zonasi pengendapan gambut (Gambar…).

Model-model pengendapan dapat menunjukkan pembentukan gambut berdampingan dan


bersisipan dengan lingkungan pengendapan klastik aktif. Akmulasi gambut tersebut pada
daerah antar saluran di paparan delta dapat dipotong oleh adanya kontaminasi klastik dari
crevasse-splay atau oleh adanya penurunan daerah antar saluran yang menyebabkan
terendamnya gambut, terhentinya akumulasi dan adanya influks klastik.

Sedimen-sedimen juga dapat masuk ke rawa “low moor” oleh banjir, badai atau pasang naik.
Kontaminasi klastik ini menyebabkan batubara mempunyai kadar abu tinggi.

Batubara berkadar abu rendah terbentuk pada daerah yang bebas dari pengendapan klastik
dalam waktu yang relative lama, mungkin sampai berabad-abad. Parting pada batubara seperti
mudstone, menunjukkan adanya penghentian sementara pengendapan gambut dan bias
berlangsung ribuan tahun lamanya.

Pengamatan pada endapan gambut di paparan delta modern menunjukkan kadar abu lebih dari
50 % db, dan gambut yang abunya kurang dari 25 % db jarang melebihi tebal 1 m. Bila gambut
ini terawetkan dalam waktu geologi, maka akan terbentuk mudstone karbonan dengan urat-urat
batubara (coaly stringer).

Studi pada lingkungan pengendapan modern menunjukkan bahwa tempat pembentukan


gambut dengan kadar abu rendah bukan pada paparan delta, dan kebanyakan moor pada daerah
pantai atau dataran banjir juga bukan tempat yang baik untuk terakumulasinya gambut
terkecuali daerah itu berkembang “high moor”.

Mire yang mengambang juga dapat memproduksi gambut berkadar abu rendah, namun
penyebarannya terbatas.
Studi pada “raised mire” menunjukan kandungan kandungan abu kurang dari 5 %, dan pada
daerah yang luas bias mencapai 1 – 2 %. Laju akumulasi organic pada “raised bog” melebihi
laju sedimentasi dari overbank atau banjir pasang. Akan tetapi meskipun batubara kadar abu
rendah berasal dari “raised mire” namun ada juga yang terbentuk selain lingkungan tersebut.

Ada yang beranggapan bahwa batubara berkadar abu rendah berasal dari gambut yang sama
dengan kadar abu tinggi, namun penurunan abu terjadi selama proses pembatubaraan. Air asam
dapat mempercepat proses pelarutan berbagai mineral, tetapi tidak semua rawa bersifat asam
dan bahkan ada yang mengandung material karbonatan. Anggapan lain adalah bahwa
akumulasi gambut tidak bersamaan dengan pengendapan sediment klastik, menunjukan bahwa
pemebntukan batubara beda dengan sediment di atas atau di bawahnya. Pada rawa yang
dirembesi dengan air laut, dapat diketahui dari kadar sulfurnya yang tinggi.
Sebagai kesimpulan terhadap mekanisme kontaminasi klastik pada gambut, “raised mire”
dapat mempertahankan permukaannya dengan agradasi saluran dan dapat menghambat
sediment fluvial. Jika ini terjadi, maka gambut tebal dapat mempengaruhi geometri
pengendapan yang berdampingan dengan akumulasi klastik.

LAPISAN PEMBAWA BATUBARA


Lapisan batubara terbentuk bersama-sama dengan bahan anorganik yang kebanyakan berupa
klastik halus seperti serpih, batulempung, batulanau, dan batulumpur. Juga dapat berasosiasi
dengan batupasir halus sampai kasar, konglomerat, bahkan batugamping. Asosiasi batuan di
atas yang dijumpai bersama lapisan batubara, disebut sebagai lapisan pembawa
batubara/formasi pembawa batubara (coal measures/coal bearing formation).

Ketebalan lapisan pembawa batubara, bervariasi dari beberapa meter sampai ribuan meter. Di
Jerman, batubara Ruhr dengan lapisan pembawa batubara setebal 3.000 m, lapisan batubaranya
tidak menerus karena tererosi. Di Indonesia, seperti di Bukit Asam yang total tebal batubaranya
35 m mempunyai lapisan pembawa batubara yang tebalnya mencapai 450 m sampai 750 m
pada Formasi Muara Enim. Demikian juga, di Tutupan Kalimantan Selatan yang tebal total
batubaranya 100 m dengan lapisan pembawa batubaranya setebal 600 m.

BATUAN YANG BERASOSIASI DENGAN LAPISAN BATUBARA


Batuan yang sering ditemukan berasosiasi dengan lapisan batubara, umumnya adalah batuan
sedimen klastika berbutir halus.

Batuan sedimen klastika


Dalam suatu urutan perlapisan batuan yang mengandung batubara, maka batuan sedimen
klastika yang umum dijumpai adalah serpih, batulempung, batulanau, dan batulumpur.
Perbandingan serpih, batulempung, dan batulanau dengan batupasir diperkirakan sebesar 3:1
(Duff dan Walton, 1962, dalam Murchison, 1968).

Perubahan fraksi serpih atau batulanau ke batupasir halus, biasanya sebagai perlapisan yang
baik, tetapi bentuknya bermacam-macam dan menghasilkan suatu seri jenis batuan yang tidak
mudah untuk dimasukan ke dalam skala ukuran butir yang sederhana. Seri batuan yang tidak
sederhana ini lalu diformulasikan sendiri oleh ahli tambang, di Inggris disebut dengan
stonebind, yaitu selang-seling batulempung dan batupasir. Untuk batupasir masif yang
berselingan dengan lensa-lensa batubara yang tidak teratur disebut sebagai skary post (Arkell
dan Tomkeiff, 1953 dalam Murchison, 1968).
Istilah-istilah demikian memang tidak menguntungkan dalam terminologi geologi.
Sesungguhnya litologi dan tekstur yang kompleks ini sebagai cerminan variasi kondisi
lingkungan pengendapan.

Batupasir dijumpai dalam berbagai jenis, tidak jarang dengan kandungan batulanau dan
batulempung yang cukup banyak, sehingga struktur sedimennya bervariasi. Batuan karbonat
juga dijumpai, tetapi tidak umum, di Inggris dijumpai dalam jumlah yang melimpah seperti
argilaceous, batugamping bioklastik, dan kadang dolomit.

Fraksi batulanau dan batupasir halus sering sulit dibedakan secara megaskopis, padahal
sedimen ini khas dalam urutan vertikal dan fasies berubah kearah horisontal terutama kearah
lapisan yang kasar, seperti yang terdapat pada channel sandstone.

Seatearths, underclays, fireclays, dan gannisters


Batuan alas lapisan batubara terdiri dari material yang bervariasi, antara lain serpih,
batulumpur, batupasir, batugamping, atau soil yang umumnya masif, mengandung bekas akar
tumbuhan, berwarna abu-abu cerah sampai coklat, plastis, merupakan tanah purba tempat
tumbuhan hidup, tidak mengandung alkali, kandungan kalsium dan besi rendah, sehingga perlu
pemahaman yang baik bila kelak dilakukan penambangan. Terjadi karena proses perlindian
(leaching) oleh air yang jenuh asam humik dari pembusukan tanaman.

Beberapa istilah untuk batuan alas, yaitu:


Seatearth: merupakan istilah umum untuk batuan berbutir kasar maupun halus yang
mengandung akar tumbuhan dalam posisi tumbuh (tegak terhadap bidang perlapisan) dan
berada di bawah lapisan batubara, Istilah lain adalah seatrocks (Huddle dan Patterson (1961).
Underclays: istilah untuk batuan berbutir halus yang mengandung akar tumbuhan dalam posisi
tumbuh (tegak terhadap bidang perlapisan) dan berada di bawah lapisan batubara. Pengertian
underclays lebih pada posisi batulempung yang berada di bawah lapisan batubara.
Fireclays: batuan seatearth berbutir halus (lempung) yang dapat dipergunakan sebagai bahan
baku tahan api untuk bermacam produk yang berasal dari batulempung.
Gannisters: adalah seatearth yang batuannya terdiri dari batupasir kuarsa, batulumpur plastis,
dan batulanau yang tersusun oleh kuarsa, illit, montmorilonit, kaolinit, dan mineral lempung
lainnya, juga dimungkinkan hadir kalsit, siderit, dan pirit (Odom dan Parham, 1968). Di
Inggris, istilah gannister digunakan untuk batulempung kaolin atau disebut juga dengan
flintclays.

Ketebalan seatearth sangat bervariasi, dari beberapa cm sampai beberapa meter. Kontaknya
dengan lapisan batubara di atasnya dapat tegas sampai bergradasi, secara lateral bergradasi
menjadi batuan lain seperti batupasir, serpih, batulempung, atau batugamping.

Tidak semua lapisan seatearth ditumpangi oleh lapisan batubara, hal ini dimungkinkan apabila
tanah peat tidak terakumulasi atau telah tererosi. Sebaliknya tidak semua lapisan batubara pada
bagian bawahnya terdiri dari seatearth, hal ini dimungkinkan terjadi pada batubara
allochthonous.

Asal mula seatearth dianggap sebagai tanah atau substratum tempat tumbuhan hidup dan
berkembang. Meskipun nampaknya seperti itu, namun pada saat tanah peat terakumulasi
sampai ketebalan tertentu, akar tumbuhan dapat masuk dan berkembang di dalam debris
organiknya sendiri. Atas dasar ini, maka ketebalan dan karakteristik seatearth kurang
menunjukan adanya hubungan langsung dengan ketebalan lapisan batubara yang diendapkan
di atasnya.

Berkembangnya permukaan yang licin (slicken side) pada seatearth, disebabkan karena
kekompakan di sekitar struktur akar yang tercampur dengan akumulasi lempung di perairan
rawa yang mengalami proses kompaksi.
KENAMPAKAN GEOLOGI PADA LAPISAN BATUBARA:
Plies, bands, dan partings

Splits
Kemenerusan lapisan batubara sering terbelah oleh bentuk membaji dari sedimen bukan
batubara. Berdasarkan penyebabnya, dapat akibat proses sedimentasi (autosedimentational
split) atau tektonik yang ditunjukan oleh perbedaan penurunan dasar cekungan yang mencolok
akibat sesar (Warbroke, 1981 dalam Diessel, 1984).

Berdasarkan bentuknya dapat dikelompokan menjadi 3 (Britten et al, 1975 dalam Ward, 1983),
yaitu:
1. Simple splitting: adalah split sederhana yang disebabkan oleh kehadiran tubuh
lentikuler yang besar dari sedimen bukan batubara.
2. Progressive splitting: bila terdiri dari beberapa lensa, sehingga splitting dapat
berkembang secara terus menerus.
3. Zig-zag splitting: terjadi pada satu lapisan batubara yang terbelah dan kemudian
menyatu dengan lapisan batubara yang lain.
Pemahaman yang baik tentang split akan sangat membantu di dalam:
1. Kegiatan eksplorasi, yaitu untuk menentukan sebaran lapisan batubara dan
perhitungan cadangan.
2. Kegiatan penambangan, yaitu pada split dengan kemiringan sekitar 45o yang
umumnya disertai dengan perubahan kekompakan batuan, maka akan
menimbulkan masalah dalam kegiatan tambang terbuka, kestabilan lereng, dan
kestabilan atap pada operasi penambangan bawah tanah.
Floor
Umumnya berupa seatearth, baik underclay maupun gannister (lihat seatearth).

Roof
Litologinya lebih bervariasi daripada floor. Batas batubara dengan roof dan tegas atau
berangsur yang merupakan fungsi dari proses pengendapannya. Pada batas yang tegas, apabila
penutupan atau pengendapan berlangsung secara tiba-tiba. Pada kontak yang berangsur, bila
pengendapan berlangsung secara lambat. Hal ini dapat terjadi bila material lumpur masuk
kedalam peat bog dan terjadi pengenceran oleh lanau/lempung, sehingga batasnya kandungan
karbonan berangsur dari batubara ke batuan sedimen karbonan, seperti
batulempung/batulanau/serpih batubaraan dan hadirnya coal strings.

Serpih atau batulanau umumnya ditemukan di atas batubara daripada batupasir yang bersifat
lokal. Roof banyak mengandung fosil, sehingga baik untuk korelasi. Hadirnya cangkang,
remis, atau kepak yang terorientasi/sejajar menandakan horison laut atau endapan pantai.

Cleats
Adalah kekar di dalam batubara, khususnya pada batubara bituminous yang ditunjukan oleh
serangkaian kekar yang sejajar, umumnya orientasinya berbeda dengan kedudukan lapisan
batubara.
Adanya cleat di dalam batubara disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu akibat mekanisme
pengendapan, petrografi batubara, derajat batubara, tektonik (struktur geologi), dan aktivitas
penambangan.
Group Leader adalah pimpinan yang paling bawah di suatu industri. Group Leader adalah
ujung tombak dalam operasi harian. Tanggung Jawab Group Leader adalah :
1. Menjaga tingkat productivity dan quality product.
2. Memelihara standard operasi produksi.
3. Mengajar dan membimbing Pelaksana (Pelaksana adalah karyawan yang
melaksanakan pekerjaan secara langsung misalnya : operator atau teknisi) yang
menjadi bawahannya.
4. Melakukan pengamatan apakah kerja Pelaksana (operator/teknisi) sesuai antara
SOP (Standard Operating Procedure) vs Actual
5. Menilai hasil kerja tiap pelaksana yang menjadi bawahannya
6. Membantu pelaksana bila terjadi penyimpangan-penyimpangan dan mengambil
tindakan-tindakanperbaikan agar hasil yang dicapai lebih baik.
7. Apabila proses produksi/operasi mesin berhenti (Shutdown/Line-stop),
Group Leader harus mengambil tindakan agar tidak terjadi Shutdown/Line-stop di proses kerja
yang menjadi tanggung jawabnya. Group Leader Berperan untuk memelihara standard-standar
kerja yang ada di lapangan. Dalam melakukan pengawasan kerja seorang
Group Leader dapat melihat tugas dan urutan kerja yang dilakukan oleh Pelaksana,sesuai atau
tidak dengan urutan kerja yang ada. Bila pelaksana melakukan kerja tidak sesuai dengan
"Standardkerja", hal ini dapat mengakibatkan:
1. Target produksi tidak tercapai
2. Qualitas produk rendah
3. Kerusakan mesin dan peralatan
4. Kecelakaan kerja
Oleh karena besarnya kerugian yang akan didapatkan bila seorang Pelaksana bekerja tidak
sesuai dengan standard,adalah tugas seorang Group Leader untuk mengawasi dan
mengevaluasi kerja pelaksana agar bekerja sesuaidengan standard kerja. Untuk dapat
melakukan pengawasan dengan baik maka Group Leader
harus mempunyaikemampuan :
a. Kemampuan Mengajar dan Membimbing
Kemampuan untuk mengajar serta membimbing bawahannya. Group Leader diharapkan
mampu berperan sebagai "Orang Tua" terhadap bawahannya.
b. Mempunyai Keahlian
Menguasai dengan baik seluruh pekerjaan yang ada dibawah tanggung jawabnya. Dalam arti
Group Leader harus menguasai produk yang dibuat, mesin yang dioperasikan, proses inspeksi,
peralatan inspeksi, dan qualitas produk akhir. Apabila terjadi produksi atau mesin berhenti
(Shutdown/Line-stop) akibat dari kerusakan mesin, bahan ataumaterial produksi/spare part
habis, ataupun terjadi cacat product dari proses produksi,

Group Leader
Diharapkan dapat membantu pelaksana untuk menangani kejadian tersebut sehingga
Shutdown/Line-Stop dapat dihindari.Bila masalahnya tidak dapat ditangani oleh mereka,
Group Leader
berkewajiban untuk memberitahukan kepadaatasannya ataupun bagian lain yang terkait untuk
dapat menangani masalah yang ada. Karena Group Leader bertanggung jawab terhadap
kelancaran produksi oleh karenanya ada beberapa hal yangharus dilakukan:
1. Mengatur kebutuhan orang guna kelancaran produksi atau mesin.
2. Memeriksa persiapan-persiapan peralatan kerja, material, dan part part penunjang kelancaran
produksi ataumesin.
3. Melakukan pemeriksaan pada awal produksi guna meyakinkan bahwa produksi atau mesin
dapat terus dilanjutkan.
4. Melatih dan mendidik orang.orang baru guna dapat melakukan pekerjaannya.
5. Menguasai dengan baik dalam penanggulangan kerusakan mesin atau peralatan produksi
atau mesin untuk sementara (temporary action).

Вам также может понравиться