Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Ketuban pecah dini atau spontaneus/early/premature rupture of membrans
(PROM) merupakan pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum
menunjukkan tanda-tanda persalinan / inpartu (keadaan inpartu didefinisikan
sebagai kontraksi uterus teratur dan menimbulkan nyeri yang menyebabkan
terjadinya efficement atau dilatasi serviks) atau bila satu jam kemudian tidak timbul
tanda-tanda awal persalinan atau secara klinis bila ditemukan pembukaan kurang
dari 3 cm pada primigravida dan kurang dari 5 cm pada multigravida (Saifudin,
2002).
Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi kapan saja baik pada kehamilan
aterm maupun preterm. Saat aterm sering disebut dengan aterm prematur rupture
of membrans atau ketuban pecah dini aterm. Bila terjadi sebelum umur kehamilan
37 minggu disebut ketuban pecah dini preterm / preterm prematur rupture
of membrans (PPROM) dan bila terjadi lebih dari 12 jam maka disebut
prolonged PROM (Wardhani & Kayika, 2014).
2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi KPD berkisar antara 3-18% dari seluruh kehamilan. Saat aterm,
8-10% wanita hamil datang dengan KPD dan 30-40% dari kasus KPD merupakan
kehamilan preterm atau sekitar 1,7% dari seluruh kehamilan. KPD diduga dapat
berulang pada kehamilan berikutnya, menurut Naeye pada tahun 1982 diperkirakan
21% rasio berulang, sedangkan penelitian lain yang lebih baru menduga rasio
berulangnya sampai 32%. Hal ini juga berkaitan dengan meningkatnya risiko
morbiditas pada ibu atau pun janin. Komplikasi seperti : korioamnionitis dapat terjadi
sampai 30% dari kasus KPD, sedangkan solusio plasenta berkisar antara 4-7%.
Komplikasi pada janin berhubungan dengan kejadian prematuritas dimana 80%
kasus KPD preterm akan bersalin dalam waktu kurang dari 7 hari. Risiko infeksi
meningkat baik pada ibu maupun bayi. Insiden korioamnionitis 0,5-1,5% dari
seluruh kehamilan, 3-15% pada KPD prolonged, 15-25% pada KPD preterm dan
2
mencapai 40% pada ketuban pecah dini dengan usia kehamilan kurang dari 24
minggu. Sedangkan insiden sepsis neonatus 1 dari 500 bayi dan 2-4% pada KPD
lebih daripada 24 jam (Manuaba, 2001).
2.3 ETIOLOGI
Secara teoritis pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya
elastisitas yang terjadi pada daerah tepi robekan selaput ketuban dengan
perubahan yang besar. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat
kaitannya dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh infeksi
atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada amnion di
daerah lapisan kompakta, fibroblas serta pada korion di daerah lapisan retikuler
atau trofoblas, dimana sebagaian besar jaringan kolagen terdapat pada lapisan
penunjang (dari epitel amnion sampai dengan epitel basal korion). Sintesis maupun
degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi intrleukin-1
dan prostaglandin. Adanya infeksi dan inflamasi menyebabkan bakteri penyebab
infeksi mengeluarkan enzim protease dan mediator inflamasi interleukin-1 dan
prostaglandin. Mediator ini menghasilkan kolagenase jaringan sehingga terjadi
depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion menyebabkan selaput ketuban
tipis, lemah dan mudah pecah spontan. Selain itu mediator terebut membuat uterus
berkontraksi sehingga membran mudah ruptur akibat tarikan saat uterus
berkontraksi (Wardhani & Kayika, 2014).
4
alergi terhadap zat tertentu seperti karet kondom, sabun, cairan pembersih vagina
dan bahan pakaian dalam. Keputihan pada kehamilan juga dapat terjadi akibat
adanya pertumbuhan berlebihan sel-sel jamur yang dapat menimbulkan infeksi
didaerah genital. Keputihan akibat infeksi yang terjadi pada masa kehamilan akan
meningkatkan resiko persalinan prematur dan ketuban pecah dan janinnya juga
mengalami infeksi (Nili & Ansaari, 2013).
Persalinan preterm terjadi tanpa diketahui penyebab yang jelas, infeksi
diyakini merupakan salah satu penyebab terjadinya ketuban pecah dini dan
persalinan preterm. Bakterial vaginosis adalah sindrom klinik akibat pargantian
laktobasilus penghasil H2O2 yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri
anaerob dalam konsentrasi tinggi seperti gardnerella vaginalis, yang akan
menimbulkan infeksi. Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan kejadian ketuban
pecah dini, persalinan preterm dan infeksi amnion, terutama bila pada pemeriksaan
pH vagina lebih dari 5,04 yang normalnya nilai pH vagina adalah antara 3,8-4,5.
Abnormalitas pH vagina dapat mengindikasikan adanya infeksi vagina (Soewarto,
2011)
2.4.3 Inkompetensi Serviks
Didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk
mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan
kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan
dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian
besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi,
produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi
kehamilan atau laserasi obstetrik (Soewarto, 2011).
Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis dan
membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga
kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan kesehatan dengan keluhan
perdarahan pervaginam, tekanan pada panggul, atau ketuban pecah dan ketika
diperiksa serviksnya sudah mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan
inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan berulang pada kehamilan
berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis
inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang sebelumnya terjadi,
5
yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa disertai awitan
persalinan dan pelahiran (Soewarto, 2011; Wardhani & Kayika, 2014)
Faktor resiko inkompetensi serviks meliputi riwayat keguguran pada usia
kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat laserasi serviks menyusul
pelahiran pervaginam atau melalui operasi caesar, adanya pembukaan serviks
berlebihan disertai kala dua yang memanjang pada kehamilan sebelumnya, ibu
berulang kali mengalami abortus elektif pada trimester pertama atau kedua, atau
sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah besar jaringan serviks (conization).
Apabila seorang wanita mempunyai riwayat keguguran pada trimester kedua atau
pada awal trimester ketiga, konsultasi dengan dokter mut lak diperlukan. Jika
seorang wanita datang ketika sudah terjadi penipisan serviks, pembukaan,
tekanan panggul, atau perdarahan pervaginam yang sebabnya tidak diketahui,
maka ia perlu segera mendapat penatalaksanaan medis (Myers, 2007; Nili &
Ansaari, 2013)
2.4.4 Trauma
Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini.
Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual saat hamil baik dari frekuensi
yang lebih dari 3 kali seminggu, posisi koitus yaitu suami diatas dan penetrasi penis
yang sangat dalam sebesar 37,50% memicu terjadinya ketuban pecah dini,
pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis dapat menyebabkan terjadinya ketuban
pecah dini karena biasanya disertai infeksi. Kelainan letak janin misalnya letak
lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul
(PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah
(Saifudin, 2002; Wardhani & Kayika, 2014).
Hubungan seksual selama hamil memiliki banyak dampak terhadap
kehamilan. Pada trimester pertama kehamilan biasanya gairah seks mengalami
penurunan. Hal ini terjadi akibat ibu didera mual, muntah, lemas, malas dan apapun
yang bertolak belakang dengan semangat libido. Tetapi trimester kedua umumnya
libido timbul kembali, tubuh ibu telah dapat menerima kembali, tubuh telah terbiasa
dengan kondisi kehamilan sehingga ibu dapat menikmati aktifitas dengan lebih
leluasa dari pada trimester pertama. Mual-muntah dan segala rasa tidak enak
biasanya sudah jauh berkurang demikian pula urusan hubungan seksual. Ini akibat
meningkatnya pengalihan darah ke organ-organ seksual seperti vagina dan
6
payudara. Memasuki trimester ketiga minat/libido menurun kembali, tetapi hal ini
tidak berlaku pada semua wanita hamil. Tidak sedikit wanita yang libidonya sama
seperti trimester sebelumnya, hal ini normal sebab termasuk beruntung karena
tidak tersiksa oleh kaki bengkak, sakit kepala, sakit punggung dan pinggul, berat
badan yang semakin bertambah atau keharusan istirahat total (Mirazanie &
Kurniawati, 2010).
Frekuensi koitus pada trimester ketiga kehamilan yang lebih dari tiga kali
seminggu diyakini berperan pada terjadinya ketuban pecah dini, hal ini berkaitan
dengan kondisi orgasme yang memicu kontraksi rahim, namun kontraksi ini
berbeda dengan kontraksi yang dirasakan menjelang persalinan. Selain itu,
paparan terhadaap hormon prostaglandin didalam semen (cairan sperma) juga
memicu kontraksi yang walaupun tidak berbahaya bagi kehamilan normal, tetapi
harus tetap diwaspadai jika memiliki resiko melahirkan prematur. 7,10 Pada
kehamilan tua untuk mengurangi resiko kelahiran preterm maupun ketuban pecah
adalah dengan mengurangi frekuensi hubungan seksual atau dalam keadaan betul-
betul diperlukan wanita tidak orgasme meski menyiksa. Tapi jika tetap memilih
koitus, keluarkanlah sperma diluar dan hindari penetrasi penis yang terlalu dalam
serta pilihlah posisi berhubungan yang aman agar tidak menimbulkan penekanan
pada perut ataupun dinding rahim. Mengurangi frekwensi koitus yang sejalan
dengan meminimalkan orgasme selain dapat mengurangi terjadinya ketuban
pecah dini, dapat pula mengurangi penekanan pembuluh darah tali pusat yang
membawa oksigen untuk janin, sebab penekanan yang berkepanjangan oleh
karena kontraksi pada pembuluh darah dapat menyebabkan gawat janin akibat
kurangnya supply oksigen ke janin (Nili & Ansaari, 2013).
2.4.5 Paritas
Primipara adalah wanita yang pernah hamil sekali dengan janin mencapai
titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang mengalami ketuban pecah dini
berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat hamil, gangguan
fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan. Selain itu, hal ini
berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu akhir triwulan kedua dan awal
triwulan ketiga kehamilan yang tidak terlalu dibatasi dan didukung oleh faktor lain
seperti keputihan atau infeksi maternal. Sedangkan multipara adalah wanita yang
telah beberapa kali mengalami kehamilan dan melahirkan anak hidup. Wanita yang
7
telah melahirkan beberapa kali dan mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan
sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat, diyakini lebih beresiko
akan mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan berikutnya (Manuaba, et al.,
2007)
8
menurun. Itu sebabnya, pada kehamilan pertama di usia lanjut, resiko
perkembangan janin tidak normal dan timbulnya penyakit kelainan bawaan juga
tinggi, begitu juga kondisi-kondisi lain yang mungkin mengganggu proses
kehamilan dan persalinan seperti kelahiran preterm ataupun ketuban pecah dini.
Meningkatnya usia juga membuat kondisi dan fungsi rahim menurun. Salah satu
akibatnya adalah jaringan rahim yang tak lagi subur. Padahal, dinding rahim tempat
menempelnya plasenta. Kondisi ini memunculkan kecenderungan terjadinya
plasenta previa atau plasenta tidak menempel di tempat semestinya. Selain itu,
jaringan rongga panggul dan otot-ototnya pun melemah sejalan pertambahan usia.
Hal ini membuat rongga panggul tidak mudah lagi menghadapi dan mengatasi
komplikasi yang berat, seperti perdarahan. Pada keadaan tertentu, kondisi
hormonalnya tidak seoptimal usia sebelumnya. Itu sebabnya, resiko keguguran,
ketuban pecah, kematian janin, dan komplikasi lainnya juga meningkat (Saifudin,
2002; Soewarto, 2011; Nili & Ansaari, 2013).
Namun secara umum periode waktu dari ketuban pecah dini sampai
kelahiran berbanding terbalik dengan usia gestasi saat ketuban pecah, jika ketuban
pecah pada trimester ketiga, maka hanya diperlukan beberapa hari saja sehingga
pelahiran terjadi dibandingkan dengan trimester kedua (Manuaba, 2001).
10
Kehamilan dengan janin kembar juga akan mempengaruhi kenyamanan dan
citra tubuh, kesiapan perawatan bayi dan keuangan, semua faktor ini akan
menimbulkan stres dan hendaknya petugas kesehatan lebih banyak memberi
konseling dan pendidikan kesehatan. Konseling tentang persalinan pretem dan
preeklamsi perlu di upayakan guna memberi perawatan kehamilan dengan janin
kembar yang bermutu (Manuaba, 2001; Saifudin, 2006)
2.5 PATOFISIOLOGI
Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya
selaput ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Daya
regang ini dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi komponen
matriks ekstraseluler pada selaput ketuban (Berghella, 2007)
11
9 yang juga memecah kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga diproduksi
penghambat metalloproteinase/tissue inhibitor metalloproteinase (TIMP). TIMP-1
menghambat aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan TIMP-2 menghambat aktivitas
MMP-2. TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang sama dengan TIMP-1
(Manuaba, 2001; Berghella, 2007; Soewarto, 2011).
Keutuhan dari selaput ketuban tetap terjada selama masa kehamilan oleh
karena aktivitas MMP yang rendah dan konsentrasi TIMP yang relative lebih tinggi.
Saat mendekati persalinan keseimbangan tersebut akan bergeser, yaitu didapatkan
kadar MMP yang meningkat dan penurunan yang tajam dari RIMP yang akan
menyebabkan terjadinya degradasi matriks ekstraseluler selaput ketuban.
Ketidakseimbangan kedua enzim tersebut dapat menyebabkan degradasi patologis
pada selaput ketuban. Aktivitas kolagenase diketahui meningkat pada kehamilan
aterm dengan ketuban pecah dini. Sedangkan pada preterm didapatkan kadar
protease yang meningkat terutama MMP-9 serta kadar TIMP-1 yang rendah
(Manuaba, 2001; Berghella, 2007; Soewarto, 2011).
Gangguan nutrisi merupakan salah satu factor predisposisi adanya
gangguan pada struktur kolagen yang diduga berperan dalam ketuban pecah dini.
Mikronutrien lain yang diketahui berhubungan dengan kejadian ketuban pecah dini
adalah asam askorbat yang berperan dalam pembentukan struktur triple helix dari
kolagen. Zat tersebut kadarnya didapatkan lebih rendah pada wanita dengan
ketuban pecah dini. Pada wanita perokok ditemukan kadar asam askorbat yang
rendah (Manuaba, 2001).
Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini melalui beberapa
mekanisme. Beberapa flora vagina termasuk Streptokokus grup B, Stafilokokus
aureus dan Trikomonas vaginalis mensekresi protease yang akan menyebabkan
terjadinya degradasi membrane dan akhirnya melemahkan selaput ketuban.
Respon terhadap infeksi berupa reaksi inflamasi akan merangsang produksi sitokin,
MMP, dan prostaglandin oleh netrofil PMN dan makrofag. Interleukin-1 dan tumor
nekrosis factor α yang diproduksi oleh monosit akan meningkatkan aktivitas MMP-
1 dan MMP-3 pada sel korion. Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga merangsang
produksi prostaglandin oleh selaput ketuban yang diduga berhubungan dengan
ketuban pecah dini preterm karena menyebabkan iritabilitas uterus dan degradasi
12
kolagen membrane. Beberapa jenis bakteri tertentu dapat menghasilkan fosfolipase
A2 yang melepaskan precursor prostaglandin dari membrane fosfolipid. Respon
imunologis terhadap infeksi juga menyebabkan produksi prostaglandin E2 oleh sel
korion akibat perangsangan sitokin yang diproduksi oleh monosit. Sitokin juga
terlibat dalam induksi enzim siklooksigenase II yang berfungsi mengubah asam
akidonat menjadi prostaglandin. Sampai saat ini hubungan langsung antara
produksi prostaglandin dan ketuban pecah dini belum diketahui, namun
prostaglandin terutama E2 dan F2α telah dikenal sebagai mediator dalam
persalinan mamalia dan prostaglandin E2 diketahui mengganggu sintesis kolagen
pada selaput ketuban dan meningkatkan aktivitas dari MMP-1 dan MMP-3. Indikasi
terjadi infeksi pada ibu dapat ditelusuri metode skrining klasik, yaitu temperature
rectal ibu dimana dikatakan positif jika temperature rectal lebih dari 38⁰C,
peningkatan denyut jantung ibu lebih dari 100x/menit, peningkatan leukosit dan
cairan vagina berbau (Manuaba, et al., 2007).
13
Gambar 2.2 Mekanisme inflamasi pada selaput ketuban (Myers, 2007)
Hormon
Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks ekstraseluler
pada jaringan reproduktif. Kedua hormone ini didapatkan menurunkan konsentrasi
MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi TIMP pada fibroblast serviks
dari kelinci percobaan. Tingginya konsentrasi progesterone akan menyebabkan
penurunan produksi kolagenase pada babi walaupun kadar yang lebih rendah
dapat menstimulasi produksi kolagen. Ada juga protein hormone relaxin yang
berfungsi mengatur pembentukan jaringan ikat diproduksi secara local oleh sel
desidua dan plasenta. Hormon ini mempunyai aktivitas yang berlawanan dengan
efek inhibisi oleh progesterone dan estradiol dengan meningkatkan aktivitas MMP-
3 dan MMP-9 dalam membrane janin. Aktivitas hormone ini meningkat sebelum
persalinan pada selaput ketuban manusia saat aterm. Peran hormone-hormon
tersebut dalam pathogenesis pecahnya selaput ketuban belum dapat sepenuhnya
dijelaskan (Manuaba, 2001).
14
Peregangan Selaput Ketuban
Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa factor di selaput
ketuban seperti prostaglandin E2 dan interleukin-8. Selain itu peregangan juga
merangsang aktivitas MMP-1 pada membrane. Interleukin-8 yang diproduksi dari
sel amnion dan korionik bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang
aktifitas kolagenase. Hal-hal tersebut akan menyebabkan terganggunya
keseimbangan proses sintesis dan degradasi matriks ekstraseluler yang akhirnya
menyebabkan pecahnya selaput ketuban (Manuaba, 2001).
15
Ada pula tanda dan gejala yang tidak selalu ada (kadang-kadang) timbul pada
ketuban pecah dini seperti ketuban pecah secara tiba-tiba, kemudian cairan tampak
diintroitus dan tidak adanya his dalam satu jam. Keadaan lain seperti nyeri uterus,
denyut jantung janin yang semakin cepat serta perdarahan pervaginam sedikit tidak
selalu dialami ibu dengan kasus ketuban pecah dini. Namun, harus tetap
diwaspadai untuk mengurangi terjadinya komplikasi pada ibu maupun janin
(Manuaba, 2001; Mirazanie & Kurniawati, 2010)
2.7 DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis KPD secara tepat sangat penting, karena diagnosis
yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal
atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya
diagnosis yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai
resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh
karena itu, diperlukan diagnosis yang cepat dan tepat. Diagnosis KPD ditegakkan
dengan cara : (Medina & Hill, 2006)
2.7.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesa pasien dengan KPD merasa basah pada vagina atau
mengeluarkan cairan yang banyak berwarna putih jernih, keruh, hijau, atau
kecoklatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak, secara tiba-tiba dari jalan lahir.
Keluhan tersebut dapat disertai dengan demam jika sudah ada infeksi. Pasien tidak
sedang dalam masa persalinan, tidak ada nyeri maupun kontraksi uterus. Riwayat
umur kehamilan pasien lebih dari 20 minggu (Medina & Hill, 2006).
Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan uterus lunak dan tidak adanya
nyeri tekan. Tinggi fundus harus diukur dan dibandingkan dengan tinggi yang
diharapkan menurut hari pertama haid terakhir. Palpasi abdomen memberikan
perkiraan ukuran janin dan presentasi (Medina & Hill, 2006).
16
Nitrazine Test : Kertas nitrazin merah akan jadi biru.
Ferning : Cairan dari fornix posterior di tempatkan pada objek glass dan
didiamkan dan cairan amnion tersebut akan memberikan gambaran
seperti daun pakis (Manuaba, et al., 2007).
Pemeriksaan spekulum pertama kali dilakukan untuk memeriksa adanya
cairan amnion dalam vagina. Perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari
ostium uteri eksternum apakah ada bagian selaput ketuban yang sudah pecah.
Gunakan kertas lakmus. Bila menjadi biru (basa) adalah air ketuban, bila merah
adalah urin. Karena cairan alkali amnion mengubah pH asam normal vagina. Kertas
nitrazine menjadi biru bila terdapat cairan alkali amnion. Bila diagnosa tidak pasti,
adanya lanugo atau bentuk kristal daun pakis cairan amnion kering (ferning) dapat
membantu. Bila kehamilan belum cukup bulan penentuan rasio lesitin-sfingomielin
dan fosfatidilgliserol membantu dalam evaluasi kematangan paru janin. Bila
kecurigaan infeksi, apusan diambil dari kanalis servikalis untuk pemeriksaan kultur
serviks terhadap Streptokokus beta group B, Chlamydia trachomatis, dan Neisseria
gonorea (Cunningham, et al., 2014).
17
Amniosintesis digunakan untuk mengetahui rasio lesitin - sfingomielin
dan fosfatidilsterol yang berguna untuk mengevaluasi kematangan paru
janin (Medina & Hill, 2006).
2.8.2 Aktif
Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal pikirkan
seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50µg intravaginal tiap 6
jam maksimal 4 kali.
Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan
diakhiri jika :
a. Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan serviks, kemudian induksi.
Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
18
b. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam (Nili &
Ansaari, 2013)
19
Gambar 2.4 Tatalaksana ketuban pecah dini preterm
(Cunningham, et al., 2014)
20
Gambar 2.5 Tatalaksana ketuban pecah dini aterm
(Cunningham, et al., 2014)
21
2.9 KOMPLIKASI
Tabel 2.3 Komplikasi maternal dan perinatal
(Nili & Ansaari, 2013)
22
*Komplikasi akibat oligohidramnion;
-Gangguan tumbuh kembang yang *Upaya untuk tirah baring
menyebabkan deformitas. dan pemberian antibiotic
-Gangguan sirkulasi retroplasenta yang dapat memperpanjang usia
menimbulkan asidosis dan asfiksia. kehamilan supaya berat
-Retraksi otot uterus yang badan janinnya lebih besar
menimbulkan solusio plasenta. dan lebih mamput untuk
hidup di luar kandungan.
*Komplikasi akibat ketuban pecah;
-Prolaps bagian janin terutama tali
pusat dengan akibatnya.
-Mudah terjadi infeksi intrauteri dan
neonatus.
2.10 PREVENTIF
2.10.1 Primer
Untuk mengurangi terjadinya pecah ketuban dini, dianjurkan bagi ibu hamil
untuk mengurangi aktivitas pada akhir trimester kedua dan awal trimester ke tiga,
serta tidak melakukan kegiatan yang membahayakan kandungan selama
kehamilan. Ibu hamil juga harus dinasihati supaya berhenti merokok dan
mengambil alkohol. Berat badan ibu sebelum kehamilan juga harus cukup mengikut
Indeks Massa Tubuh (IMT) supaya tidak berlaku mana-mana komplikasi. Selain itu,
pasangan juga dinasihati supaya menghentikan koitus pada trimester akhir
kehamilan bila ada faktor predisposisi (Cunningham, et al., 2014).
2.10.2 Sekunder
Mencegah infeksi intrapartum dengan;
Antibiotika spektrum luas : gentamicin iv 2 x 80 mg, ampicillin iv 4 x 1
mg, amoxicillin iv 3 x 1 mg, penicillin iv 3 x 1.2 juta IU, metronidazol drip.
Pemberian kortikosteroid : kontroversi. Di satu pihak dapat
memperburuk keadaan ibu karena menurunkan imunitas, di lain pihak
dapat menstimulasi pematangan paru janin (surfaktan) (Cunningham, et
al., 2014).
23
2.11 PROGNOSIS
Prognosis pada ketuban pecah dini sangat bervariatif tergantung pada :
Usia kehamilan.
Adanya infeksi / sepsis.
Faktor resiko / penyebab.
Ketepatan diagnosis awal dan penatalaksanaan (Saifudin, 2006;
Wardhani & Kayika, 2014)
Anjuran mengenai penatalaksanaan optimum dari kehamilan dengan
komplikasi KPD tergantung pada umur kehamilan janin, tanda infeksi intrauterin,
dan kondisi pasien. Pada umumnya, tampak lebih pantas untuk membawa semua
pasien dengan ketuban pecah ke rumah sakit dan melahirkan semua bayi yang
berumur lebih dari 36 minggu, maupun semua bayi dengan rasio lesitin-sfingomielin
matur, dalam 24 jam dari pecahnya ketuban untuk memperkecil resiko infeksi
intrauterin. Persalinan diinduksi dengan oksitosin selama presentasi janin adalah
kepala. Bila induksi gagal, dilakukan seksio sesarea. Seksio sesarea juga
dianjurkan untuk presentasi bokong, letak lintang, atau gawat janin (fetal distress),
kalau tidak janin terlalu imatur sehingga tidak ada harapan untuk bertahan hidup.
Kelahiran dianjurkan untuk pasien hamil muda dengan korioamnionitis, persalinan
prematur, atau gawat janin. Kelahiran traumatik tanpa hipoksia janin penting untuk
memperkecil mortalitas dan morbiditas perinatal (Mirazanie & Kurniawati, 2010; Nili
& Ansaari, 2013).
24
DAFTAR PUSTAKA
Berghella, V., 2007. Berghella V. Obstetric Evidence Based Guidelines. UK: Informa
Healthcare.
Cunningham, F. G. et al., 2014. William Obstetric. 24 ed. New York: McGraw Hill
Medical.
Manuaba, I. B. G., 2001. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga
Berencana. Jakarta: EGC.
Manuaba, I. B. G., Manuaba, I. A. C. & Manuaba, I. B. F., 2007. Pengantar Kuliah
Obstetri. 1 ed. Jakarta: EGC.
Medina, T. M. & Hill, A. D., 2006. Preterm Premature Rupture of Membrans:
Diagnosis and Management. UK: Am Fam Physician.
Mirazanie, H. & Kurniawati, D., 2010. Obgynacea, Obstetri dan Ginekologi. 6 ed.
Yogyakarta: Tosca Enterpris.
Myers, V. S., 2007. Berghella V. Obstetric Evidence Based Guidelines. UK: Informa
Health Care.
Nili, F. & Ansaari, A. S., 2013. Neonatal Complications of Premature Rupture of
Membrans. s.l.:Acta Medica Iranica.
Saifudin, A. B., 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Saifudin, A. B., 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Soewarto, S., 2011. Ilmu Kebidanan. 4 ed. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Wardhani, D. P. & Kayika, I. P. G., 2014. Kapita Selekta Kedokteran. 4 ed. Jakarta:
Media Aesculapius.
25
26