Вы находитесь на странице: 1из 34

RESPON ORGANISME LAUT TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN

(Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Laut)

Oleh :

Afif Fahza Nurmalik


1754221004

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Praktikum : Respon Organisme Laut Terhadap Variabel Lingkungan


Tempat Praktikum : Laboratorium Budidaya Perikanan
Tanggal Praktikum : 8 April 2019
Nama : Afif Fahza Nurmalik
NPM : 1754221004
Program Studi : Ilmu Kelautan
Jurusan : Perikanan dan Kelautan
Fakultas : Pertanian
Universitas : Universitas Lampung
Kelompok : 2 (Dua)

Bandar Lampung, 15 April 2018


Mengetahui,
Asisten

Dzaky Eko Satria Turnip


NPM. 1614111024
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suatu lingkungan merupakan tempat yang sangat penting bagi organisme demi
berlangsungnya kehidupan. Pada organisme air, lingkungan disekitarnya selalu
mengalami perubahan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti
cuaca, musim serta akibat ulah manusia. Perubahandi perairan yang biasa terjadi
yaitu suhu, pH, salinitas, limbah dan kekeruhan yang dapat terjadi dari waktu ke
waktu. Apabila perubahan tersebut tidak dibiarkan begitu saja diperairan maka
akan terjadi perubahan pada ikan baik secara fisiologis, kimia, maupun tingkah
lakunya.

Oleh karena itu harus dilakukan percobaan dalam mengukur suhu, pH, salinitas
serta kekeruhan diperairan tersebut. Sebab akan terjadi perubahan yang nantinya
akan berpengaruh pada organisme akuatik yang hidup didalamnya. Ikan sejatinya
akan melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Adaptasi tersebut dilakukan
secara berkala dalam waktu per jam, harian, bulanan maupun tahun untuk
mengetahui parameter perairan secara fisika, kimia dan biologi.

Dalam praktikum ini parameter perairan yang diamati yaitu suhu, pH dan
surfaktan/detergen. Parameter suhu dilihat berapa suhu maksimalnya ikan tersebut
bisa hidup. Parameter pH dilihat apakah organisme tersebut bisa hidup didalam
pH tinggi atau tidak. Serta salinitas apakah organisme tersebut bisa hidup pada
salinitas tinggi atau tidak. Salinitas disini yaitu merupakan kadar seluruh ion-ion
yang terlarut didalam air. Kemudian terdapat ada juga ikan yang mampu toleran
terhadap salinitas rendah di air payau
1.2 Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa dapat mengetahui respon organisme akuatik terhadap variabel
lingkungan (suhu, pH, dan deterjen).
2. Mahasiswa dapat mengetahui kisaran toleransi organisme akuatik terhadap
variabel lingkungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologis Ikan Bawal Putih


Pampus Argenteus atau yang biasa disebut bawal putih merupakan ikan yang
dilihat asal usulnya ikan bawal ini bukanlah asli Indonesia, tetapi berasal dari
negeri Samba Brazil. Ikan ini dibawa ke Indonesia oleh para importis ikan hias
dari Singapura dan Brazil pada tahun 1980. Selain ke Indonesia, ikan bawal pun
sudah tersebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Di setiap negara, ikan ini
mempunyai nama yang berlainan (Affandi, 2010).

2.1.1 Morfologi dan Klasifikasi


Ikan bawal putih (Pampus Argenteus) bentuk badan pipih dengan badannya yang
tinggi sehingga hampir menyerupai bentuk belah ketupat. Ikan bawal ini
merupakan ikan herbivora yang cenderung bersifat omnivora, selain suka melahap
tumbuhan air juga suka memakan udang ataupun ikan-ikan kecil dan hewan air
lainnya. Ikan bawal putih merupakan Jenis ikan yang habitatnya dari air laut. Pada
umumnya ikan bawal putih memiliki bobot 500 gram, namun ada juga yang
mencapai bobot 1,5 hingga 2 kg per ekor (Workagegn, 2012).

Bawal putih berbentuk seperti rombus dan sedikit cembung. Bawal putih dewasa
kelihatan lebih lebar dan cembung. Mata terletak di baagian kepala yang kelihatan
seakan bersambung terus dengan badan. Meskipun badan bawal cermin kelihatan
lebar tetapi mulut dan matanya agak kecil dan berhimpun di sudut hujung
bahagian kepala. Rahang atas dan bawah juga tidak boleh membuka dengan luas.
Bawal putih disebut juga bawal cermin karena dari pantulan cahaya dari badannya
yang berkilat dan berwarna perak. Garisan deria di badannya bermula dari insang
hingga mencecah zona ekor. Manakala sirip pektoral lebih panjang berbanding
sirip dorsal dan ekor melengkung bentuk V atau lengkungan bumerang
(Ayodhyoa, 2013).
Menurut Suyanto (2010), klasifikasi ikan bawal putih (Pampus argenteus) adalah
sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub-Filum : Vertebrata
Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Bramidae
Genus : Pampus
Spesies : Pampus argenteus

2.1.2 Taksonomi Ikan Bawal Putih


Pampus Argenteus memilki sirip perut sebagai ciri dari genus Pampus, sirip
dadanya tidak meruncing pada bagian ujung dan sirip dubur lebih panjang dari
sirip punggung. Tidak memiliki sirip punggung bagian depan, tetapi di bagian
tersebut terdapat duri-duri pendek mirip pisau, berjajar dari depan ke belakang
sebanyak 5-10 buah. Sirip punggung bagian belakang mempunyai 1 jari-jari keras
dan 38-43 jari-jari lunak Sirip dubur mempunyai 1 jari-jari keras dan 32-41 jari-
jari lunak. Di depan sirip dubur terdapat duri duri kecil berjajar sebanyak 5-6
buah. Sirip ekor bercagak kuat, melekuk dalam sekali dengan lembaran bawah
yang lebih panjang Pada sirip ekor terdapat 19 buah jari-jari lunak. Sirip dada
sejajar dengan mata (Azam, 2009).

Bawal putih termasuk pemakan plankton kasar (avertebrata), sehingga ikan ini
harus mencari tempat yang terdapat banyak plankton. Kelimpahan plankton
menentukan besarnya produktivitas perairan yang selanjutnya mempengaruhi
penyebaran ikan bawal putih. Produktivitas primer dapat ditentukan dengan
menghitung kandungan klorofil-a.Klorofil-a merupakan pigmen yang dominan
ada pada perairan dan terdapat pada semua organisme plankton khususnya
fitoplankton. Kadar klorofil-a sering digunakan sebagai indikator produktivitas
primer dalam suatu perairan (Pimolrat, 2013).
Ikan bawal putih untuk menjadi induk betina, ikan bawa putihl membutuhkan
waktu pertumbuhan sekitar 4 – 5 tahun dalam kondisi yang ideal. Pada kondisi
yang kurang baik, maka waktu yang ditempuh untuk menjadi dewasa akan jauh
lebih lama. Bahkan, induk betina bisa tidak menelurkan telur sama sekali. Oleh
karena itu, kondisi lingkungan sangat berpengaruh dalam proses
perkembangbiakan. Jika dilihat secara kasat mata, induk betina yang siap berpijah
dengan yang tidak sulit untuk dibedakan. Pada kondisi dimana induk bawal betina
setelah makan dan bawal yang telah matang gonad akan sama-sama menunjukkan
pembesaran pada bagian perut. Untuk itu diperlukan observasi lebih lanjut
sehingga kita bisa mengetahui apakah bawal betina telah benar-benar matang
gonad (Basmi, 2012).

2.1.3 Habitat Ikan Bawal Putih


Ikan bawal putih (pampus argenteus) menempati perairan pantai, perairan payau,
dan dapat hidup di perairan tawar. (Beaufort dan Chapman vide Burhanudin et al,
1986). Herianti dan Parwati (1987) menyatakan bahwa bawal putih termasuk ikan
dasar yang cenderung berada di kedalaman tertentu. Ikan bawal putih ini
habitatnya di perairan yang kedalamannya bervariasi dari 10 – 100 meter dari
permukaan laut, Hidupnya bergerombol dan daerah penangkapan Pampus
argenteus terdapat pada kedalaman 10-75 m dengan keadaan dasar lumpur
berpasir. Daerah yang paling produktif adalah pada kedalaman 10-50 m di muka
muara sungai (Mirea, 2013).

Ikan bawal putih (pampus argenteus) telah berkembang dan menyebar dari
kawasan Amerika selatan sampai Asia Tenggara. Ikan bawal putih termasuk jenis
ikan laut yang mudah beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Ikan bawal putih
mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan perairan tenang ataupun mengalir.
Ikan bawal putih juga mudah beradaptasi di perairan yang airnya mengalir deras
dan perairan yang berlumpur di sekitar muara maupun di laut dalam yang
bersedimen (Carpenter, 2012).

Ikan bawal putih yang berasal dari Amerika Selatan sekarang telah menyebar ke
seluruh dunia. Kemampuan adaptasi bawal terhadap lingkungan barunya adalah
salah satu alasan kenapa bawal cepat menyebar ke tempat-tempat lain. Bawal
tidak membutuhkan persyaratan yang spesifik untuk hidup. Bawal juga tahan
terhadap penyakit. Ikan bawal bisa hidup di air yang bergerak (mengalir) atau air
yang tidak banyak bergerak (tenang). Pada kondisi ekstrim dimana air mengalir
deras, bawal juga tetap bisa menyesuaikan diri. Jadi, pergerakan air tidak terlalu
menjadi masalah untuk ikan bawal (Martasuganda, 2009).

2.1.4 Siklus Hidup Ikan Bawal Putih

Siklus hidup ikan bawal putih Setiap larva ikan bawal memiliki sumber makanan
berupa kuning telur pada bagian perut. Kuning telur itu adalah sumber makanan
utama dan satu-satunya. Larva bawal tidak bisa memakan sumber makanan lain
karena rongga mulutnya belum terbuka. Rongga mulut akan terbuka setelah 3 – 4
hari, setelah cadangan makanan berupa kuning telur habis (Damayanti, 2013).

Pada bawal putih yang sudah dewasa bagian tepi sirip perut, sirip anus, dan sirip
ekor berwarna merah. Warna merah ini adalah ciri khusus bawal putih. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bawal ini tergolong dalam omnivora, ternyata
pada masa kecil atau larva bawal lebih bersifat karnivora, pada usia dua hari
setelah menetas mulut larva mulai terbuka, tetapi belum bisa menerima makanan
dari luar tubuh, makanan masih dari kuning telurnya. Pada umur empat hari
kuning telur pada larva mulai habis pada saat itulah larva mulai mengkonsumsi
makanan dari luar (Lesmana, 2009).

Keadaan larva menjadi faktor penting yang menjadi pemicu pemijahan bawal
putih adalah rangsangan yang berasal dari musim hujan yang berupa genangan air
baru. Biasanya ketika ada genangan air baru maka induk ikan bawal akan berenng
ke bagian hulu sungai dan akan memijah pada lokasi perairan yang tenang.
Pemijahan yang dilakukan adalah pemijahan yang diluar tubuh induk atau di
dalam air setelah induk betina mengeluarkan telur yang kemudian dibarengi
dengan pengeluaran sperma pada induk jantan yang diguanakn untuk
membuahinya. Salah satu faktor pemicu pemijahan bawal adalah rangsangan yang
berasal dari musim hujan yang berupa genangan air baru. Biasanya ketika ada
genangan air baru maka induk ikan bawal akan berenng ke bagian hulu sungai dan
akan memijah pada lokasi perairan yang tenang. Pemijahan yang dilakukan adalah
pemijahan yang diluar tubuh induk (di dalam air) setelah induk betina
mengeluarkan telur yang kemudian dibarengi dengan pengeluaran sperma pada
induk jantan yang diguanakn untuk membuahinya (Dos Santos, 2013).

2.2 Variabel Lingkungan


2.2.1 Suhu
Suhu diperairan dapat mengendalikan fase telur dan menetas organisme akuatik,
selain itu suhu diperairan juga dapat mengatur dan menekan pertumbuhan dan
perkembangan organisme itu sendiri. Suhu air yang relative hangat umumnya
dapat memacu metabolisme ikan sedangkan air yang dingin dapat mengendurkan
aktivitas ikan. Suhu di perairan dapat berperan dalam kenyamanan ikan, selain itu
suhu seluruh keadaan komunitas diperairan sering bervariasi bergantung pada
berubahnya suhu diperairan tersebut (Herianti, 2015).

Pada suhu mempengaruhi kejenuhan (kapasitas air menyerap oksigen). Makin


tinggi suhu maka, makin sedikit oksigen dapat larut. Suhu air sangat berperan
untuk kenyamanan ikan. Suhu berpengaruh terhadap keberadaan suatu spesies dan
keadaan seluruh kehidupan komunitas cenderung bervariasi dengan berubahnya
suhu. Suhu dapat menjadi suatu faktor pembatas bagi beberapa fungsi biologis
hewan air seperti migrasi, pemijahan, efisiensi makanan, kecepatan renang,
perkembangan embrio, dan kecepatan metabolism (El Sheriff, 2009).

Fisiologis ikan dipengaruhi oleh suhu lingkungannya, pada air mempengaruhi


kecepatan reaksi kimia, Akibatnya, ikan akan membuat reaksi toleran atau tidak
toleran (sakit sampai mati). Ikan merupakan binatang berdarah dingin, sehingga
metabolisme dalam tubuh tergantung pada suhu lingkungannya, termasuk
kekebalan tubuhnya. Suhu luar atau eksternal yang berfluktuasi terlalu besar akan
berpengaruh pada sistem metabolism. Konsumsi oksigen dan fisiologi tubuh ikan
akan mengalami kerusakan atau kekacauan sehingga ikan akan sakit. Suhu rendah
akan mengurangi imunitas (kekebalan tubuh) ikan, sedangkan suhu tinggi akan
mempercepat ikan terkena infeksi bakteri. Pengaruh aklimatisasi atau adaptasi
dapat ditoleransi oleh ikan tertentu. Penurunan atau kenaikan suhu yang terjadi
perlahan-lahan tidak akan terlalu membahayakan ikan. Sementara perubahan yang
terjadi secara tiba-tiba akan membuat ikan stress. Akibatnya, ikan menjadi stres,
tidak ada keseimbangan dan menurun sistem sarafnya (Suyanto, 2010).

2.2.2 Surfaktan Deterjen


Surfaktan atau deterjen merupakan bahan kimia aktif yang dapat menimbulkan
rusaknya organ kemoreseptor, berubahnya pola makan ikan, pertumbuhan ikan
menjadi lambat dan tingkat kelangsungan hidup larva rendah. Hal tersebut dapat
terjadi apabila terjadinya kelimpahan deterjen diperairan (Herianti, 2015).

Detergen yaitu bahan pembersih sintetis dan terbuat dari bahan-bahan turunan
minyak bumi. Dibanding dengan sabun, detergen mempunyai keunggulan antara
lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan
air. Pada umumnya, detergen mengandung surfaktan, builder, filler dan additives
(Azam, 2009).

Dalam detergen terdapat bahan kimia organik sintesis yang dapat bereaksi dengan
air dan menyebabkan pembentukan busa serta pengaruh lainnya yang
memungkinkan untuk membersihkan atau mencuci, baik dalam industri ataupun
untuk tujuan rumah tangga. Detergen menimbulkan buih-buih pada permukaan
air. Buih-buih yang menutupi permukaan air tersebut, baik dari jenis Linier
Alkylsulfonate (LAS) yang biodegradable maupun jenis Alkyl Benzene Sulfonate
(ABS) yang non-biodegradable tersebut dipastikan dapat mengganggu kehidupan
organisme yang ada di bawahnya misalnya ikan (Damayanti, 2013).

2.2.3 pH
Tingkat tertinggi keadaan asam basa disuatu perairan yaitu pH 4 (asam) dan 11
(basa) yang dapat menyebabkan kematian pada ikan apabila mencapai pH
tersebut. Umumnya ikan air tawar seperti ikan bawal dapat hidup pada pH kisaran
antara 6,5-7,0. Penyakit pada ikan juga dapat berhubungan pada tinggi rendahnya
pH di perairan. Bakteri dapat tumbuh baik pada pH basa sedangkan jamur dapat
tumbuh dengan baik pada pH asam. Pada pagi hari pH turun sedangkan pada sore
hari pH naik. Hal itu disebabkan oleh gas karbondioksida banyak diproduksi pada
malam hari sebab tidak ada sinar matahari. Karbondioksidda sangat berpengaruh
terhadap penurunan nilai asam maupun basa (Ayodhyoa, 2013).
Kemudian masing-masing organisme mempunyai kemampuan yang berbeda
untuk mentolerannsi pH perairan tergantung dari suhu, oksigen terlarut, adanya
aktifitas kation, dan anion serta aktifitas biologi. Perubahan asam atau basa di
perairan laut dapat mengganggu sistem keseimbangan ekologi. Sebagian besar
material-material yang bersifat racun akan meningkat toksik-sitasnya pada kondisi
pH rendah (Dos Santos, 2013).

Pada daya tahan tubuh organisme dipengaruhi oleh keseimbangan osmotik antara
cairan tubuh dengan lingkungan hidupnya. Pengaturan osmotik ini dilakukan
melalui mekanisme osmoregulasi. Mekanisme ini dapat dinyatakan sebagai
pengaturan keseimbangan total konsentrasi elektrolit yang terlarut dalam air
media hidup organisme (Martasuganda, 2009).
III. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat


Adapun waktu dilaksanakannya praktikum ini yaitu pada Senin, April 2019, pukul
08.00-10.00 WIB dan bertempatkan di Ruang Laboratorium Perikanan dan
Kelautan Gedung K Universitas Lampung.

3.2 Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan pada saat praktikum ini ialah
akuarium/stoples kaca, aerator, thermometer, pH-meter, timbangan digital, air,
lap, pengaduk, tisu, stopwatch, terminal listrik, selang, buku catatan dan ikan
bawal putih, es batu, air panas, serta surfaktan deterjen.

3.3 Cara Kerja


3.3.1 Adaptasi Organisme Laut Terhadap Suhu
Adapun cara kerja pada variabel suhu ini adalah :
1. Disiapkan terlebih dahulu 5 buah aquarium yang telah diisi 3 liter air
sebagai tempat untuk uji coba. Akuarium 1 berfungsi sebagai kontrol,
akuarium 2, 3, dan 4 untuk perlakuan yang berbeda (Panas:40o, dingin :
20o , 10o). Sedangkan akuarium 5 untuk perlakuan gradual kenaikan suhu.
2. Sebelum ikan dimasukkan kedalam akuarium, terlebih dahulu ditimbang
da dicatat bobot awalnya menggunakan timbangan digital.
3. Media air perlakuan berupa air es dan air panas untuk masing-masing
akuarium, lalu ikan dimasukkan kedalam akuarium secara bersama-sama.
4. Suhu didalam akuarium dijaga agar tetap stabil sesuai dengan perlakuan.
Kemudian diamati tingkah laku ikan dan bukaan operkulum setiap 10
menit selama 60 menit dan dicatat jumlah hewan uji yang mati selama
percobaan.
5. Ditimbang bobot akhir dari hewan uji tiap akuarium.

3.3.2 Adaptasi Organsime Terhadap pH

Adapun cara kerja pada variabel pH adalah :

1. Terlebih dahulu disiapkan 6 buah akuarium yang diisi 3 liter air dengan
berbagai tingkat pH yang berbeda sebagai tempat untuk uji coba. Akuarium 1
berfungsi sebagai kontrol, akuarium 2, 3, 4, dan 5 untuk perlakuan yang
berbeda (asam : pH 5 dan 6 basa; pH 8 dan 9). Sedangkan akuarium 6 untuk
perlakuan gradual.
2. Sebelum ikan dimasukkan kedalam akuarium, terlebih dahulu ditimbang dan
dicatat bobot awalnya menggunakan timbangan digital.
3. Kemudian ikan dimasukkan kedalam akuarium secara bersama-sama.
4. Kemudian diamati tingkah laku ikan dan bukaan operkulum setiap 10 menit
selama 60 menit dan dicatat jumlah hewan uji yang mati selama percobaan.
5. Ditimbang bobot akhir dari hewan uji tiap akuarium.

3.3.3 Adaptasi Organisme Terhadap Surfaktan Deterjen

Adapun cara kerja pada variabel surfaktan deterjen adalah :

1. Terlebih dahulu disiapkan 5 buah akuarium yang diisi 3 liter air yang telah
diberi surfaktan detergen yang berbeda konsentrasi sebagai ntempat untuk uji
coba. Akuarium 1 berfungsi sebagai kontrol, akuarium 2, 3, dan 4 untuk
perlakuan berbeda (Ditambahkan surfaktan detergen sebanyak 1 gr, 3 gr, dan
6 gr). Sedangkan akuarium 5 untuk perlakuan gradual.
2. Sebelum ikan dimasukkan kedalam akuarium, terlebih dahulu ditimbang dan
dicatat awalnya menggunakan timbangan digital.
3. Kemudian disiapkan aerator pada masing-masing akuarium, lalu ikan
dimasukkan kedalam akuarium secara bersama-sama.
4. Kemudian diamati tingkah laku ikan dan bukaan operkulum setiap 10 menit
selama 60 menit dan dicatat jumlah hewan uji yang mati selama percobaan.
ditimbang bobot akhir dari hewan uji tiap akuarium
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

4.1.1 Tabel Tingkah Laku Ikan Terhadap Variabel Suhu

Tabel 1.

Akhir
(gram
Respo Bukaa Bobot Bobot )
n n

Kelo Perlaku Me Tingk Operk SR M Awal Ikan Ikan


mpo an nit ah ulum (%) (%) (gram Mati Hidup
k ke- Laku )

10 Tidak 15 0% 100 3,4 & 3,2 & -


agresi % 2,9 2,9
f, ikan
mati

20 - - - - - - -

Suhu 30 - - - - - - -
10oC

40 - - - - - - -

50 - - - - - - -

60 - - - - - - -

10 Tidak 120
agresi
f

20 Gerak 40
an
mela
mbat

Suhu 30 Meng 59 100 0% 4,5 & - 4,1 &


eluark
20oC an % 4,1 3,7
banya
k
feses

1 40 Keada 65
an
sama
sepert
i
menit
ke-30

50 Keada 63
an
sama
sepert
i
menit
ke-40

60 Keada 73
an
sama
sepert
i
menit
ke-50

10 Agres 150
if

20 Gerak 180
an
tidak
stabil

Suhu 30 Gerak 109 0% 100 3,2 & - 3,5 &


40oC an % 4,0 3,1
mela
mbat

40 Ikan -
mati
50 - -

60 - -

10 Aktif, 102
beren
ang
cepat

20 Aktif, 104
beren
ang
cepat

Kontrol 30 Aktif, 128 100 0% 4,0 & - 3,0 &


Suhu beren % 4,1 3,6
ang
cepat

40 Aktif, 150
beren
ang
cepat

50 Aktif, 140
beren
ang
cepat

2 60 Aktif, 132
beren
ang
cepat

Gradual 10 Kaku 0
Suhu terbali
(10oC) k

Gradual 30 Telent 86 100 0% 4,2 & - 4,2 &


Suhu ang % 4,8 4,7
(20oC) lemas

Gradual 50 Mulai 97
Suhu berger
(30oC) ak
10 Pasif 62

20 Pasif 67

pH 5 30 Mulai 68
agresi
f

40 Mulai 71
agresi
f 100 0% 4,9 - 4,7
%

50 Mulai 74
agresi
f

60 Mulai 62
lelah

10 Biasa 57
saja

20 Biasa 55
saja

3 pH 6 30 Biasa 55
saja

40 Biasa 56 100 0% 5,2 - 3,3


saja %

50 Biasa 55
saja

60 Biasa 56
saja

10 Aktif 74

20 Cuku 78
p
agresi
f

pH 8 30 Cuku 79 100 0% 5,6 - 3,6


p
agresi %
f

40 Cuku 78
p
agresi
f

50 Mulai 67
lelah

60 Agres 79
if

10 Gerak 192
norma
l

20 Gerak 216
norma
l

pH 9 30 Gerak 204 100 0% 4,8 & - 5,1 &


norma % 3,8 3,8
l

40 Gerak 228
norma
l

50 Gerak 180
mela
mbat

4 60 Gerak 168
mela
mbat

pH 15 Gerak 180
Gradual norma
(pH 5) l

pH 30 Gerak 120
Gradual norma
(pH 6) l
100 0% 3,6 & - 3,6 &
% 2,7 3,5

pH 45 Gerak 252
Gradual norma
(pH 8) l

pH 60 Gerak 204
Gradual norma
(pH 9) l

10 Sema 53 0% 100 4,3 4,2 -


kin %
agresi
f, mati
sejak
menit
ke-5

20 - - - - - - -

Deterje 30 - - - - - - -
n1
gram

40 - - - - - - -

50 - - - - - - -

60 - - - - - - -

10 Sema 62 0% 100 3,7 3,4 -


kin %
agresi
f, mati
sejak
menit
ke-3

20 - - - - - - -

5 Deterge 30 - - - - - - -
n3
gram
40 - - - - - - -

50 - - - - - - -

60 - - - - - - -

10 Sema 65 0% 100 4,1 3,9 -


kin %
agresi
f, mati
pada
menit
ke-1

20 - - - - - - -

Deterje 30 - - - - - - -
n6
gram

40 - - - - - - -

50 - - - - - - -

60 - - - - - - -

10 Biasa 300
saja

20 Biasa 258
saja

Kontrol 30 Biasa 276 100 0% 5,8 & - 5,2 &


Deterje saja % 5,3 5,0
n

40 Biasa 240
saja

50 Biasa 210
saja

6 60 Biasa 206
saja

Gradual 10 Mati 0 0% 100 5,1 & 4,9 & -


deterjen % 4,6 4,3

(1
gram)

Gradual 30 - - - - - - -
deterjen

(3
gram)

Gradual 50 - - - - - - -
deterjen

(6
gram)

4.2 Pembahasan
Dalam fisiologi biota laut, perlakuan pada suhu dingin dan panas memberikan
pengaruh terhadap bobot ikan yang bisa dilihat pada tabel. Bobot ikan mengalami
penurunan akibat respon ikan terhadap lingkungannya yang baru dan adanya
aktivitas yang berlebihan dalam rangka beradaptasi terhadap lingkungan yang
baru. Suhu yang rendah akan menghambat proses fisiologis bahkan menyebabkan
ikan mengalami kematian atau tidak sadar karena proses fisiologis yang menurun,
sehingga kandungan air dalam tubuh berkurang dan menyebabkan penurunan
bobot tubuh ikan (Martasuganda, 2009). Tingkah laku ikan pada suhu dingin lebih
banyak diam dan pingsan. Hal ini terjadi karena terhambatnya proses fisiologis
ikan sehingga ikan lebih banyak diam dan pingsan. Pada kelompok 1 di suhu
10oC, 20oC dan 40oC respon tidak agresif pada menit ke-10, 20 dan 30. Namun,
pada suhu 10 oC si ikan mengalami penurunan proses fisiologis sehingga
menyebabkan ketidaksadaran dan mati. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa pada
suhu 10oC mengalami ketidaksadaran atau bahkan hingga kematian. Hal ini
berarti suhu 10oC merupakan kisaran toleransi yang menurunkan proses fisiologis
pada tubuh ikan (Herianti, 2015).

Sedangkan pada hasil praktikum kelompok 2, pada suhu 10oC ikan kaku dan
terbalik tak sadarkan diri, suhu 20oC mengalami telentang dan lemas, dan pada
suhu 30oC Mulai bergerak. Hal ini pun sesuai dengan literatur bahwa pada suhu
10oC mengalami ketidaksadaran (pingsan) bahkan hingga kematian.. Hasil yang
didapat pada kelompok 2 memiliki sedikit perbedaan terhadap kelompok 1.
Diduga perbedaan tersebut terjadi dikarenakan si ikan yang akan digunakan dalam
praktikum mengalami stress atau ketidakstabilan dalam kesehatannya, sehingga
menyebabkan mortalitas pada kelompok 2.

Pada perlakuan responsi ikan bawal putih terhadap perubahan pH, Pada pH asam
bobot ikan dan bukaan operculum mengalami penurunan seperti pada hasil
kelompok 3 dan 4. Hal ini disebabkan respon ikan terhadap pH asam serta adanya
aktifitas fisiologis yang berlebihan dalam rangka menyesuaikan diri dengan
lingkungannya dengan cara mengeluarkan lendir. Tingkah laku ikan yang paling
terlihat pada praktikum yaitu ikan agresif, semakin agresif, dan mati di menit ke 5.
Tingkat kelangsungan hidup ikan pada kontrol. Pada kisaran pH tersebut cukup
memenuhi syarat untuk kehidupan ikan bawal putih (Lesmana, 2009).

Selanjutnya pada pemberian surfaktan di dalam perairan dapat menimbulkan


rusaknya organ kemoreseptor, berubah pola makan, pertumbuhan lambat dan
tingkat kelangsungan hidup larva yang rendah. Menurut Williams J. (2008) pada
konsentrasi 5 mg/L Dodecylbenzene Sulfonate dapat menyebabkan pengurangan
epitel insang pada ikan. Pada konsentrasi yang sama, lamella insang cenderung
bersatu. Semakin besar konsentrasi surfaktan yang diberikan maka semakin besar
pula kerusakan sel epitelnya (Mangkoedihardjo, 2009). Bila surfaktan deterjen
tersebut sudah melebihi ambang batas bisa menyebabkan kematian pada biota.

Pada hasil praktikum kelompok 5 dan 6 menunjukkan bukaan operculum


mengalami penurunan, pada tingkat kadar detergen yang tinggi ikan pada menit
ke 10 sudah mati, pergerakan ikan melemah, warna ikan memudar serta ikan
mengeluarkan lendir akibat dari proses adaptasi. Disamping itu, ikan mengalami
difusi yang membuat lendir dalam tubuh keluar dan bobot tubuh ikan yang
cenderung bertambah. Hal tersebut sesuai dengan literatur bahwa semakin besar
konsentrasi surfaktan yang diberikan maka semakin besar pula kerusakan sel
epitelnya (Mirea, 2013).
Pada praktikum ini cara kerja yang dilakukan cukup sesuai dengan apa yang
ditujukan oleh buku panduan yang diberikan dalam praktikum “Respon
Organisme Laut Terhadap Variabel Lingkungan”. Perlakuan pada praktikum
bagian adaptasi organisme terhadap suhu diawali dengan menyiapkan terlebih
dahulu 4 buah akuarium yang diisi 3 liter air. Akuarium 1,2, dan 3 untuk
perlakuan berbeda ( 10ºC), 20ºC, 40ºC) sedangkan akuarium 4 untuk perlakuan
gradual. Sebelumnya ikan ditimbang dan dicatat bobot awalnya dengan
menggunakan timbangan digital. Siapkan media air berupa air es dan air panas
untuk masing-masing perlakuan. Kemudian siapkan lagi heater dan aerator pada
masing-masing akauarium lalu ikan yang telah ditimbang bobot awalnya di
masukkan dalam akuarium secara bersama-sama. Upayakan suhu dalam
akuarium tetap stabil sesuai dengan perlakuan. Kemudian diamati setiap 10 menit
dan dicatat ikan uji yang mati selama percobaan. Timbang bobot akhir ikan uji.

Kemudian pada adaptasi organisme terhadap Ph diawali dengan menyiapkan


terlebih dahulu 5 buah akuarium yang diisi 3 liter air dengan begbagai tingkat Ph
yang berbeda sebagai tempat untuk uji coba.Akuarium 1,2, dan 3 untuk perlakuan
yang berbeda (asam :5 dan 6;basa : 8 dan 9), sedangkan akuarium 4 dan 5 untuk
perlakuan gradual. Sebelumnya ikan ditimbang terlebih dahulu dan dicatat bobot
awalnya dengam menggunakan timbangan digital. Siapkan HCl, NaOH, dan
aerator untuk masing-masing perlakuan lalu masukkan ikan ke dalam akuarium
secara bersama-sama. Kemudian diamati setiap 10 menit dan dicatat ikan uji yang
mati selama percobaan. Timbang bobot akhir ikan uji.

Selanjutnya pada bagian adaptasi organisme laut terhadap surfaktan deterjen


diawali dengan menyiapkan 4 buah akuarium yang diisi air 3 liter dengan
pemberian surfaktan deterjen yang berbeda sebagai tempat untuk uji coba.
Akuarium 1,2, dan 3 untuk perlakuan yang berbeda (tambahkan surfaktan deterjen
sebanyak 1 gr, 3 gr dan 6 gr) , sedangkan akuarium 4 untuk perlakuan gradual.

Sebelumnya ikan ditimbang terlebih dahulu dan dicatat bobot awalnya dengan
menggunakan timbangan digital. Siapkan deterjen yang sudah dilarutkan dengan 1
liter air dari akuarium untuk masing-masing perlakuan. Kemudian siapkan aerator
pada masing-masing akuarium, lalu ikan dimasukan dalam akuarium secara
bersama-sama. Kemudian diamati setiap 10 menit dan dicatat jumlah hewan uji
yang mati selama percobaan. Timbang bobot akhir dari hewan uji tiap akuarium.
Setelah itu dihitung ketahanan hidupnya (survival rate) ikan tersebut dan angka
kematian (mortalitas) dengan rumus yang tercantum pada panduan praktikum.

Pada kelompok 1 cara kerja perlakuan suhu yaitu menggunakan suhu 10º C, 20ºC
dan 40ºC. masukan air laut kedalam akuarium dengan suhu 10ºC lalu masukan
ikan yang sudah ditimbang terlebih dahulu sebanyak 2 ikan . Disiapkan air
kedalam akuarium dengan suhu 20ºC lalu masukan ikan yang sudah ditimbang
sebayanyan 2 ekor ikan. Disiapkan air kedalam akuarium dengan suhu 40ºC lalu
masukan ikan kedalam akuarium sebanyak 2 ekor yang sebelumnya ditimbang
beratnya. Setiap 10 menit ikan diamati pergerakan operkulumnya selama 1 menit.
pengamatan dilakukan selama 60 menit diamati setiap 10 menit. pengamatan
dilakukan kepada 3 perlakuan suhu 10ºC ,20ºC dan 40ºC. Setelah dianmati selama
60 menit ikan diangkat dan ditimbang setelah pengamatan. dicatat jumlah ikan
hidup dah jumlah ikan yang mati.

Selanjutnya pada kelommpok 2 cara kerja suhu gradual pada suhu 10ºC
dimasukkan es batu lalu dimasukkan ikan, kemudian selang waktu 20 menit
ditambahkan air panas agar mencapai suhu 20ºC, kemudian 20 menit kemudian
ditambah air panas hingga 30º. Selanjutnya diamati tiap menit bukaan overkulum
dan tingkah lakunya.

Pada kelompok 3 dilakukan pengamatan respon organisme laut dengan parameter


pH. Masing -masing ph yaitu asam dengan pH 6 , basa dengan pH 8, dan pH
normal. Pertama siapkan 3 wadah akuarium yang berisi air yang di dalamnya
sudah terisi ph yaitu asam dengan pH 6 , basa dengan pH 8, dan pH normal.
Kemudian dipasang aerator beserta kelengkapannya dan dimasukkan ke masing-
masing akuarium. Setelah itu ambil sampel bawal putih dan catat bobot awalnya,
kemudian secara bersamaan masukkan masing-masing sampel ke dalam 3
akuarium tersebut. Setelah itu amati per 10 menit perubahan yang terjadi pada
sampel tersebut.
Pada kelompok 4, dilakukan percobaan respon organisme laut terhadap variabel
lingkungan dengan parameter pH 9 dan gradual pH. Pertama, disiapkan 2
akuarium yang telah diisi oleh air laut. Ditambahkan NaOH hingga pH mencapai
9 pada akuarium pertama. Dan ditambahkan HCl hingga pH mencapai 5 pada
akuarium kedua. Ditimbang 4 ikan bawal putih yang akan dimasukkan ke dalam
akuarium (masing-masing 2 ikan) dan dicatat bobot awalnya. Dimasukkan ikan ke
dalam akuarium secara bersama-sama. Pada akuarium dengan pH 9, diamati
tingkah laku dan bukaan operkulum ikan setiap 10 menit hingga 60 menit. Pada
akuarium gradual pH, diamati tingkah laku dan bukaan operkulum, ditambahkan
NaOH pada menit ke-30 hingga pH mencapai 6 dan diamati tingkah laku dan
bukaan operkulum ikan. Ditambahkan kembali NaOH pada menit ke-45 hingga
pH mencapai 8 dan diamati tingkah laku dan bukaan operkulum ikan.
Ditambahkan kembali NaOH pada menit ke-60 hingga pH mencapai 9 dan
diamati tingkah laku dan bukaan operkulum ikan. Setelah menit ke-60, karena
tidak ada ikan yang mati, ikan pada kedua akuarium ditimbang bobot akhirnya
dan dicatat.

Pada kelompok 5 dilakukan pengamatan respon organisme laut dengan parameter


surfaktan deterjen. Bobot surfaktan deterjen berbeda-beda yaitu 1gram , 3gram,
dan 6gram. Pertama siapkan 3 wadah akuarium yang berisi air yang di dalamnya
sudah terisi deterjen masing-masing 1gram , 3gram, dan 6 gram. Kemudian
dipasang aerator beserta kelengkapannya dan di masukkan ke masing-masing
akuarium. Setelah itu ambil sampel bawal putih dan catat bobot awalnya,
kemudian secara bersamaan masukkan masing-masing sampel ke dalam 3
akuarium tersebut. Setelah itu amati permenit perubahan yang terjadi pada sampel
tersebut. Karena sampel telah mati dalam beberapa menit angkat sampel tersebut
dan timbang bobot akhir kemudian catat hasil nya.

Pada kelompok 6 dilakukan pengamatan respon organisme laut dengan parameter


surfaktan deterjen gradual dan kontrol. Bobot surfaktan deterjen berbeda-beda
yaitu 1gram , 3 gram, dan 6 gram. Pertama disiapkan 2 wadah akuarium yang
berisi air laut. Untuk akuarium perlakuan deterjen gradual ditambahkan deterjen 1
g pada menit 10, 3 g di menit 30, dan 6 g di menit 50. Sedangkan akuarium untuk
perlakuan kontrol langsung lalu dipasang aerator beserta kelengkapannya dan di
masukkan ke dalam 2 akuarium tersebut. Setelah itu diambil sampel bawal putih
dan dicatat bobot awalnya, kemudian secara bersamaan dimasukkan masing-
masing sampel ke dalam 2 akuarium tersebut. Setelah itu diamati ikan bawal
dengan perlakuan kontrol setiap 10 menit sampai menit 60 selama 1 menit,
sedangkan untuk perlakuan deterjen gradual ikan bawal diamati di menit 10, 30,
dan 50. Lalu ikan yang masih bertahan hidup dan yang sudah mati ditimbang
bobotnya.
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Adapun beberapa kesimpulan yang didapat dari praktikum ini ialah:
1. Respon organisme terhadap variabel lingan yang berbeda membrikan respon
yang berbeda – beda, ikan tersebut ada yang menjadi lebih agresif atau bahkan
menjadi mati. Hal tersebut dikarenakan ikan bawal tidak daapt ertahan hidup
pada lingkungan yang ekstrim.

2. Ikan bawal tidak dapat bertoleransi pada variabel deterjen, dan juga suhu yang
terlalu dingin. Sehingga ikan bawal cocok hidup pada lingkungan yang normal.

5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diajukan pada praktikum ini yaitu, tidak adanya
penggunaan laboratorium dalam praktikum, sehingga kegiatan praktikum ini tidak
difasilitasi ruang laboratorium, kemudian untuk piket agar diperketat lagi
dikarenakan yang tidak piket malah membersihkan sisa sisa air yang ada sehingga
fungsi piket pada praktikum ini tidak ada sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R., dan Tang, U. 2010. Fisiologi Hewan Air.University Riau Press. Riau.
217 Halaman.

Ayodhyoa AU. 2013. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. Hal:
14-18.

Azam DH. 2009. Kajian Prospek Perikanan Tangkap Pasca Tsunami di PPI
Pangandaran, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor
.
Basmi J. 2012. Planktonologi : Produksi Primer. Bogor: Fakultas Perikanan.
Institut Pertanian Bogor. 35 hal.

Carpenter, KE et al. 2012. The Living Marine Resources of Western Central Pasific
Vol.5. FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes. Rome: FAO.

Damayanti, Lis. 2013. Pengaruh Salinitas Air terhadap kelangsungan Hidup dan
Pertumbuhan benih Ikan Gurame (Osphronemus goramy Lac). Skripsi.
FPIK. Bogor.

Dos Santos, Vander Bruno et al. 2013. Growth curves of nile tilapia (Oreochromis
niloticus) strains cultivated at different temperature. Vol.35 : 235-242

El-Sheriff, MS and El-Feky, AMI. 2009. Performances of nile tilapia (Oreochromis


niloticus) fingerlings. II. influence of different water temperature. Vol. 11 : 301-
305

Herianti I dan Parwati. 2015. Studi Pendahuluan Tentang Aspek Biologi Ikan Bawal
Putih (Pampus argentus) dan Bawal hitam (Formio niger) di Perairan Sebelah
Utara Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 42. Balai Penelitian
Perikanan Laut, Jakarta. Hal: 91-96.

Lesmana, DS. 2009. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Martasuganda S. 2009. Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan


Lingkungan Jaring Insang (Gillnet). Bogor: Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. 68 hal.

Mirea, C et al. 2013. Influence of different water temperature on intensive growth


performance of (Pampus argenteus) in recirculating aquaculture system. Vol.60 :
227-231

Pimolrat, Pornpimol et al. 2013. Survey of climate related risks to tilapia pond farms in
northern Thailand. Vol.4 : 54-59

Suyanto, A. 2010. Mammals of flores. Dalam Herwint Simbolon (Ed.): The


Natural Resources of Flores Island, pp. 78-87. Research and Development
Centre for biology, The Indonesian Institute of Sciences, Bogor.

Workagegn, KB. 2012. Evaluation of growth performance, feed utilization


efficiency and survival rate of juvenile nile tilapia, Oreochromis niloticus,
(Linneaus, 1758) reared at different water temperature. Vol. 2 : 59-64
LAMPIRAN
No Gambar Keterangan

Kegiatan praktikum
bagian adaptasi
1
organisme terhadap suhu
gradual

Kegiatan praktikum
2 bagian adaptasi
organisme terhadap suhu

Es batu sebagai bahan


dalam kegiatan
3 praktikum bagian
adaptasi organisme
terhadap suhu

Вам также может понравиться