Вы находитесь на странице: 1из 4

CULPRIT

Ditulis oleh: Marisa Jaya

“Ema, Ema!”

Alisku berkedut, kurasakan seseorang menggoyangkan tanganku dengan kencang. Sejenak mataku
terfokus pada pemandangan yang ada di hadapanku. Kucing mati. Aku tidak tahu pergi kemana
kesadaranku tadi. Tiba-tiba saja sesuatu bergolak dalam perutku. Aku akan muntah. Aku menutup
mulut secara refleks.

“Ema! Hello?!”

Aku melihat wajah khawatir Ian yang masih berusaha meraih perhatianku.

“Gue nggak kenapa-kenapa.”

“Muka lo pucet, Em. Lo takut darah, kan? Gue takut lo pingsan.”

“Gue agak syok aja tadi. Gapapa, kok.”

“Okay, gue juga nggak ngerti kenapa ada kucing mati di sini. Kira-kira tukang kebun lo liat nggak
kenapa dia mati?”

Aku mengangkat bahu, agar Ian mengabaikan saja kejadian ini dan teralih perhatiannya. “Dihajar
anjing kompleks mungkin?”

“Ngeri banget, Em. Lo liat deh, kepalanya remuk.”

“Yaudah, jangan diliatin terus. Nanti lo kebawa mimpi.”

Ian sedikit melompat melangkahi mayat kucing itu. Teronggok begitu saja di depan pintu rumah. Aku
hanya menggeleng kepala melihat kejadian ini. Bagaimana mungkin seceroboh ini.

****

Rasanya seperti mimpi, tapi aku yakin bukan mimpi. Sesuatu yang tampak dalam alam bawah
sadarku. Muncul ke permukaan hanya pada saat-saat seperti ini. Pada tengah malam setiap kali aku
hendak terlelap pulas. Tiga tahap yang selalu terjadi setiap malam. Suara pintu yang berderit, lalu
pekikan, dan ketika aku berusaha mengejarnya, itu adalah wajah yang familier. Seperti malam-
malam sebelumnya, aku hanya terpaku karena ngeri.

Seperti biasa, akan ada hewan mati besok harinya. Yang mengganggu adalah bagaimana kondisi
hewan-hewan tersebut. Selalu menggenaskan, kepala yang remuk, usus yang terburai, mata yang
dicongkel dan biasanya jejak darah menunjukan dimana bola mata itu terlempar.

“Dek, tadi pagi kakak dan Ian liat kucing mati di depan rumah kita.”

Julia, adikku, sedang membolak-balik halaman majalah di atas ranjangnya.

“Ngapain Ian kemari, Kak?”


“Minjam catatan kakak.”

“Kakak pacaran sama dia?”

“Nggak, Dek. Kakak nanya soal kucing mati di depan rumah kita, loh.”

“Aduh, bosan. Tiap hari kan memang selalu ada, Kak.”

“Kamu nggak takut?”

Julia beralih dari majalahnya dan menatapku tajam, “Itu anjing liar, Kak. Ada anjing liar di komplek
rumah kita.”

Aku berdeham, “Kakak pikir juga gitu.”

“Jangan dibahas lagi kalau gitu.” Julia menutup majalah dan melemparnya dengan kencang ke lantai,
“Jangan menghancurkan apa yang sudah kita perbaiki selama ini, Kak.”

Tubuhku meremang ketika kurasakan Julia turun dari atas ranjang dan bergerak mendekat.
Kehadirannya selalu menggangguku. Kedekatan ini, selalu menciptakan rasa aneh di perutku. Maka
aku bergeming ketika tangan Julia yang kokoh merengkuh bahuku. Ini bukan pelukan sayang, ini
peringatan. Tanda bahwa Julia bisa mematahkan leherku kapan saja.

“Aku harus menjaga kakak. Kakak paham, kan?”

“Kakak nggak suka sama Ian.” Suaraku terdengar lirih. Entah apa yang membuat tenggorokanku
tercekat begini.

“Good, Kak. Jangan buat masalah.”

Julia beringsut maju dan mencium pipiku. Lalu dia bangkit dan keluar meninggalkanku sendiri di
kamar. Aku menyentuh pipiku, tempat bibir Julia yang dingin tadi berlabuh.

Aku tidak pernah merasa sedih, marah, ataupun kecewa. Aku hampir tidak pernah merasakan.
Namun setiap kali bersama Julia aku dapat merasakan sesuatu. Ketakutan.

Aku takut padanya dan tidak tahu harus bagaimana untuk mengakhiri ini semua.

****

Ian berkedip, masih terdiam dengan kedua tangan yang saling bertaut. Dia gugup. Aku bisa
merasakannya, dan dia masih di sana menunggu jawabanku. Semua sudah dapat kuduga, bagaimana
gestur Ian selama ini padaku, perhatiannya, kebaikan hatinya, aku tahu kemana semua ini akan
berakhir.

“Oke.”

“Oke? Lo nerima?”

“Yep.” Seketika aku teringat pada Julia dan janjiku padanya. Julia tidak akan suka ini. “Jangan sampai
adikku tahu. Oke?”
“Julia? Kenapa?”

“Nanti drama kalau dia ngadu ke mama. Janji, kan?”

“Oke, Em.”

Kami berpacaran sejak Ian mengutarakan perasaannya di kantin kampus. Semua biasa saja, hingga
Ian semakin sering main ke rumah.

Kami terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Kami terlalu sering mengobrol setiap malam di
telepon. Kami terlalu sering mengupload kebersamaan kami di path. Kami terlalu sering...

Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak setiap malam, meski telah sebulan berlalu sejak kucing dengan
kepala yang remuk itu teronggok di depan pintu rumah. Aku tidak pernah merasa aman. Seperti
malam ini, aku bergelung di dalam selimut dengan mata yang terbuka lebar. Menunggu saat-saat
biasanya ketika terdengar suara pintu berderit dan pekikan hewan yang akan mati.

Namun hening.

Keheningan yang membuatku terbuai dan mulai mengantuk. Aku tidak ingat berapa lama aku jatuh
tertidur dengan nyenyak. Hingga kurasakan dua lengan melingkar di pingganggku. Napas yang
berembus teratur di leher. Rambut hitam yang tergerai.

Aku pura-pura tidur, meski detak jantung yang berdegup cepat tidak akan dapat membohonginya.
Julia terkekeh dan mempererat pelukannya.

“Jangan pura-pura tidur, aku tahu kakak nggak menepati janji.”

Seluruh tubuhku lemas mendengar Julia membisikan kata-kata itu.

“Apa kakak sayang sama Ian?”

Aku mengangguk. Julia mencengkram leherku dengan sebelah tangan. “Bohong! Kakak nggak bisa
sayang sama siapapun!”

“Le-lepasin!” Aku berusaha menarik tangannya dengan sekuat tenaga, namun Julia selalu kuat.
Selalu lebih kuat daripadaku. Aku tidak dapat berteriak, percuma saja, karena hanya ada kita berdua
di dalam rumah ini, tukang kebun dan supir tidur di mess belakang, tidak mungkin dapat mendengar.
Mama,. sudah lama sejak terakhir mama datang ke sini.

“Jangan sakitin siapapun lagi, Kak. Aku takut, kakak sudah berhenti minum obat.”

“Kakak nggak sakit. Kakak nggak sakit!”

Entah aku mendapat tenaga darimana, aku mencengkram tangan Julia dengan kuat dan
menghentakannya hingga cekikannya terlepas. Napasku tersengal, karena rasa marah yang tiba-tiba
muncul. Rasa marah yang kupikir tidak pernah kurasakan. Semuanya seolah berkumpul di ujung
kepala. Aku menatap kedua mata Julia yang kini basah oleh air mata, dan aku membencinya. Aku
selalu membenci Julia.

Aku tidak ingat mengapa, sejak kapan.


“Jangan ganggu hidup kakak lagi. Ngerti kamu?!”

Julia terbaring pasrah dengan aku berada di atasnya dan mencengkram kedua lengannya dengan
kuat. Julia selalu lebih kuat daripadaku, namun dia mengalah. Dia tidak melawan dan masih
menangis.

“Aku harus menjaga kakak. Itu yang Dokter Arman bilang.”

“Dokter Arman nggak ngerti apa-apa, dan dia sudah mati sekarang. Kakak nggak sakit, kamu percaya,
kan?” Julia bergeming, menatap ke arah jendela. Dia enggan menatap kedua mataku. “Percaya,
kan?!”

Aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan, kenapa aku merasa semarah ini pada Julia. Aku
seharusnya takut pada Julia, seperti biasanya. Seperti yang selalu kurasakan. Melihat Julia tidak
berdaya dan mengalah, tiba-tiba saja aku ingin melakukan hal yang tidak pernah berani kulakukan
selama ini. Membunuhnya.

Semuanya mulai berputar di dalam kepalaku, pisau, darah, tangisan, teriakan yang memekakan
telinga.

Aku melepas cengkraman tanganku dan beringsut mundur ke tepi dinding. Aku meringkuk. Bersama
pikiran-pikiran gila yang terputar di dalam otakku. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Mengapa aku
membenci Julia, ada sesuatu yang salah.

Ada sesuatu yang salah.

“Demi Afi, jauhi Kak Ian.”

Kata-kata terakhir Julia sebelum dia beranjak keluar dari dalam kamar.

****

Вам также может понравиться