Вы находитесь на странице: 1из 25

Makalah

FARMAKOTERAPI II
“RINITHIS ALERGI”

OLEH :

KELOMPOK VII
SYINTIA INDAH SARI O1A1 16 110
WA ODE NURFINTI O1A1 16 116
FAHMI ALFURQON O1A1 16 122
WA ODE RISKI AULIA RAMADHANI O1A1 16 124
FITRAH FAJRIANI HAMING O1A1 16 127

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah mengutus
rasul-Nya Muhammad SAW sebagai umat penyelamat manusia yang telah memberikan
ilmu kepada Makhluk-Nya, serta atas rahmat dan keridhaan-Nya sehingga “Makalah
Farmakoterapi II Rinithis Alergi” dapat terselesaikan sebagaimana yang diharapkan.
Selama penyusunan makalah ini, penyusun banyak dihadapkan dengan berbagai
kendala, namun atas bantuan dari berbagai pihak akhirnya penyusun dapat
menyelesaikan Makalah Farmakoterapi II Rinithis Alergi ini. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pihak yang telah memberikan pengetahuan dan pengarahan kepada penyusun.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam
makalh ini. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun. Akhir kata, semoga Allah SWT. selalu memberikan perlindungan-Nya
kepada kita dan semoga laporan ini dapat memberikan manfaat.

Kendari, Februari 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul………………………………………………………………………….
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..
A. Latar Belakang…………………………………………………………………
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………..
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………….
D. Manfaat Penulisan……………………………………………………………..
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.……………………………………………………..
A. Definisi….……………………………………………………………………..
B. Klasifikasi ……………………………………………………………………
C. Etiologi …..…………………………………………………………………..
D. Patofisiologi …………………………………………………………………..
E. Gejala Klinis …..……………………………………………………………..
F. Diagnostik …………..………………………………………………………..
G. Pemantauan Terapi ……………………………………………………………
H. Komplikasi ……………………………………………………………………
BAB III PEMBAHASAN…………………………………………………………….
BAB IV PENUTUP………………………………………………………………….
A. Kesimpulan…………………………………………………………………...
B. Saran…………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rhinitis didefinisikan sebagai peradangan dari membran hidung yang ditandai
dengan gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi beberapa gejala berikut : bersin,
hidung tersumbat, hidung gatal dan rinore. Mata, telinga, sinus dan tenggorokan juga
dapat terlibat. Rhinitis alergi merupakan penyebab tersering dari rhinitis. Rhinitis alergi
adalah peradangan pada membran mukosa hidung, reaksi peradangan yang diperantarai
IgE, ditandai dengan obstruksi hidung, sekret hidung cair, bersin-bersin, dangatal pada
hidung dan mata. Rhinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia
mengenaisekitar 10 – 25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama
dekade terakhir.Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan
diperkirakan mempengaruhi40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rhinitis alergi
berpengaruh pada kualitas hidup, bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan
pertimbangan beban sosial-ekonomi, rhinitisalergi dianggap sebagai gangguan
pernapasan utama. Tingkat keparahan rhinitis alergidiklasifikasikan berdasarkan
pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup seseorang. Diagnosisrhinitis alergi
melibatkan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang cermat, lokal dan sistemik
khususnya saluran nafas bawah.
Terapi rinitis dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi gejala-gejala yang
mengganggu, meningkatkan performa kerja atau belajar pasien, meningkatkan kualitas
hidup pasien, serta mencegah peningkatan keparahan penyakit. Dampak rinitis alergi
yang paling utama adalah menurunnya kualitas hidup pasien, mulai dari terganggunya
tidur, menurunnya performa saat bekerja, ataupun menurunnya konsentrasi di sekolah.
Rinitis alergi adalah penyakit yang terkesan sepele tetapi ternyata cukup mengganggu
dan diderita oleh cukup banyak orang, tetapi di Indonesia nampaknya belum banyak
dilakukan penelitian mengenai rinitis alergi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi rhinitis alergi?
2. Bagaimana klasifikasi rhinitis alergi?
3. Bagaimana etiologi rhinitis alergi?
4. Bagaimana patofisiologi rhinitis alergi?
5. Bagaimana gejala klinis rhinitis alergi?
6. Bagaimana diagnosis rhinitis alergi?
7. Bagaimana penatalaksanaan rhinitis alergi?
8. Bagaimana komplikasi rhinitis alergi?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui definisi rhinitis alergi.
2. Untuk engetahui klasifikasi rhinitis alergi.
3. Untuk mengetahui etiologi rhinitis alergi.
4. Untuk mengetahui patofisiologi rhinitis alergi.
5. Untuk mengetahui gejala klinis rhinitis alergi.
6. Untuk mengetahui diagnosis rhinitis alergi.
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan rhinitis alergi.
8. Untuk mengetahui komplikasi rhinitis alergi.

D. Manfaat Makalah
1. Mahasiswa dapat mengetahui definisi rhinitis alergi.
2. Mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi rhinitis alergi.
3. Mahasiswa dapat mengetahui etiologi rhinitis alergi.
4. Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi rhinitis alergi.
5. Mahasiswa dapat mengetahui gejala klinis rhinitis alergi.
6. Mahasiswa dapat mengetahui diagnosis rhinitis alergi.
7. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan rhinitis alergi.
8. Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi rhinitis alergi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Rhinitis Alergi


Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.

B. Klasifikasi Rhinitis Alergi


Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya. Saat
ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
C. Etiologi rinitis alergi
Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan
pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain,
seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda
tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen
yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur.
Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies
utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus,
jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk
terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan
faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat
atau merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
 Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
 Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang.
 Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
 Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

D. Patofisiologi rinitis alergi


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung
24-48 jam.

Gambar 2.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama
dan selanjutnya.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA
kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed
Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4
(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-
5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain.
Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
 Patogenesis Rinitis Alergi
Patofisiologi rinitis alergi dapat dibedakan ka dalam fase sensitisasi dan elisitasi.
Fase elisitasi dibedakan atas tahap aktivasi dan tahap efektor.
Fase sensitisasi diawali dengan paparan alergen yang menempel dimukosa
hidung bersama udara pernapasan. Alergen tersebut ditangkap kemudian dipecah oleh
sel penyaji antigen (APC) seperti sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag menjadi
peptida rantai pendek. Hasil pemecahan alergen ini akan dipresentasikan di permukaan
APC melalui molekul kompleks histokompatibilitas mayor kelas II (MHC kelas II).
Ikatan antara sel penyaji antigen dan sel Th 0 (sel T helper) melalui MHC-II dan
reseptornya (TcR-CD4) memicu deferensiasi Sel Th0 menjadi sel Th2. Beberapa
sitokin yaitu IL3, IL4, IL5, IL9,IL10, IL13 dan granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GMCSF) akan dilepaskan.
IL-4 dan IL-13 selanjutnya berikatan dengan reseptornya di permukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin
E (IgE) yang akan dilepaskan di sirkulasi darah dan jaringan sekitarnya. IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan berikatan dengan reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator membentuk ikatan IgE-sel mast. Individu yang
mengandung komplek tersebut disebut individu yang sudah tersensitisasi, yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Fase aktivasi bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan menyebabkan terjadinya
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi .
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada
saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan
dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke
dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang
sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon
tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe
1, yaitu rinitis alergi.

E. Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :


Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik,
yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik,
bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Disebut juga sebagai bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung,
mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang –
garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung
ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung
yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid
atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran
timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda
faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.
Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara). Gejala lain yang tidak khas
dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus
dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu,
mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.

F. Diagnosis rinitis alergi


Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala
lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien Perlu ditanyakan pola gejala
(hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor
predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti
bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih
dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan
positif.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner,
yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis
melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung
yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada
pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid
dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya
kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung
tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.

3. Pemeriksaan Penunjang
a) In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test)
sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih
dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma
bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno
Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)
mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b) In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut
diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet
eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas
lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test,
makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali
dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan.

G. Penatalaksanaan rinitis alergi


1. Terapi non-farmakologi
Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance)
dan eliminasi.
2. Terapi farmakologi
a) Medikamentosa- Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan
simpatomimetik, kortikosteroid dan antikolinergik topikal.
 Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara
inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan
rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi
dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan
yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif).
Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar
darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Generasi-2 lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul
lebih besar sehingga lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein
plasma dan berkurang kemampuannya melintasi otak. Generasi kedua AH1
mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat
diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam
mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang
efektif dalam mengatasi kongesti hidung.

Farmakokinetik AH generasi kedua (Cetirizin dan Loratadin).

 Simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan


hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal.
Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin,
merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti
hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung harus
berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar,
gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran
mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis.
Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral.
Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat,
namun efek samping juga bertambah.
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin,
dan xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat
mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif
daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10
hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya
sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor
topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun
karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis
toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
 Kortikosteroid Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan
berbagai penyakit alergi oleh karena sifat anti inflamasinya yang kuat.
Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai oleh pengaturan
ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah diketahui bahwa
kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti interleukin IL-1
sampai IL-6, tumor nekrosis factor-α (TNF-α), dan granulocyte-
macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Kortikosteroid juga
menghambat sintesis khemokin IL-8, regulated on activation normal T cell
expressed and secreted (RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory
protein- 1α (MIP-1α), dan monocyt chemoattractant protein-1.
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid,
flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi
hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi
medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap
kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal
terlihat setelah beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih
banyak dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal
obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping setelah pemberian
kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung
dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari
pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan
keluhan hidung tersumbat yang menonjol.
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison,
metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason)
poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian
jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan, kortikosteroid
intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM.
Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik
mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak
dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu
dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.
 Anti-leukotrien seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, akan
memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik
dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral,
namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek
sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
a. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor
asetat.
b. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi.
Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya
untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil
pengobatan lain belum memuaskan.
H. Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit
T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil
(MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.
BAB III
PEMBAHASAN

Kasus :
Tn. SNI BB 55 Kg, TB 168 cm, sejak beberapa tahun terakhir
mengalami bersin-bersin setiap pagi sehabis sholat subuh. Tn SNI setiap
malam pulang kerja sampai rumah jam 11 malam, sedangkan pagi harus
masuk kampus sampai sore. Tn SNI mengeluh hidung tersumbat, berair,
dan gatal-gatal. Dia juga mengeluh badan serasa pegal-pegal. Gejala ini
cukup mengganggu kegiatannya di kampus terutama jika udara dingin, atau
terpapar debu. Riwayat keluarga tidak ada yang alergi. Dia juga mengeluh
telinganya sakit dan tersumbat setiap kali mengalami gejala. Hasil
pemeriksaan menunjukan TD 130/90 mmhg, temperature tubuh 370C. Dia
membeli Termenza untuk keluhannya.
Pertanyaan :
Apa yang terjadi pada pasien ? bagaimana permasalahan pasien ?
bagaimana tatalaksana terapi pasien ?

Penyelesaian :
A. Identitas pasien
Nama : Tn. SNI
Jenis kelamin : laki-laki
BB : 55 kg
TB : 168 cm

B. Riwayat
a. Riwayat sosial : Tn. SNI setiap malam pulang kerja sampai rumah jam 11
malam, sedangkan pagi harus masuk kampus sampai sore.
b. Riwayat keluarga : tidak ada yang alergi
c. Riwayat penyakit : sejak beberapa tahun terakhir mengalami bersin-bersin setiap
pagi sehabis shalat subuh
d. Riwayat terapi : Tremenza (diberi sendiri)

C. Permasalahan Pasien
Tn. SNI mengeluh hidung tersumbat, berair dan gatal-gatal. Dia juga
mengeluh badan serasa pegal-pegal. Gejala ini cukup mengganggu kegiatan di
kampus terutama jika udara dingin, atau terpapar debu. Dia juga mengeluh
telinganya sakit dan tersumbat setiap kali mengalami gejala.

D. Data lab
 TD 130/90 mmHg
 Temperatur 37℃

E. Tata Laksana Terapi


1. Tujuan terapi
Untuk mengurangi reaksi alergi atau mencegah gejala dengan efek
samping seminimal mungkin.
2. Tata laksana
a. Non farmakologi
- Menghindari allergen spesifik
- Pemeliharaan dan peningkatan kebuharan jasmani telah diketahui
berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis
b. Farmakologi
- Klorfeniramin (antihistamin generasi pertama)
Dosis : 4 mg tiap 4-6 jam batas max dosis perhari 24 mg.
- Pseudoefedrin (dekongestan)
Dosis : 60 mg setiap 4-6 jam dosis max perhari240 mg
3. KIE
Memberitahu individu dan keluarga untuk :
a. Menyingkirkan factor penyebab yang dicurigai (allergen)
b. Menghindari suhu ekstrim panas maupun ekstrim dingin
c. Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani. Hal ini dapat menurunkan
gejala alergi

Pemeriksaan penunjang lanjutan


Bila diperlukan, dilakukan :
1. Uji kulit/ Prick Test, digunakan untuk menentukan allergen penyebab rhinitis
alergi pada pasien
2. Pemeriksaan radiologi dengan foto sinus paranasal

Kriteria rujukan
a. Bila perlu dilakukan Prick Test untuk mengetahui jenis allergen
b. Bila perlu dilakukan tindakan operatif
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001,
rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.
2. Klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi : Intermiten (kadang-kadang) dan
Persisten/menetap. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi
dibagi menjadi: Ringan dan Sedang.
3. Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan
pada ekspresi rinitis alergi.

B. Saran
Diharapkan agar makalah ini dapat memperluas wawasan pembaca mengenai
rhinitis alergi.
DAFTAR PUSTAKA

Вам также может понравиться