Вы находитесь на странице: 1из 38

Menu

Cari

SERBA SERBI SOSIAL

PATOLOGI BIROKRASI DI INDONESIA

PATOLOGI BIROKRASI DI INDONESIA

ABSTRAKSI

Di dalam dunia medis dikenal dengan istilah patologi yang memiliki pengertian penyakit. Dari pengertian
diatas mungkin ada ketidaksinkronan dalam pemaduan dua kata namun itu hanyalah sekedar istilah
untuk menggambarkan bahwa dalam birokrasi di Indonesia masih belum tertata dengan baik. Bahayanya
manakala penyakit tersebut tidak segera di ”periksa”ke ahlinya maka akan menggejala dalam sebuah
sistem yang tidak ada ujung dan pangkalnya. Dalam birokrasi ada sebuah sistem yang sulit ditembus
karena permasalahan kultur. Melihatbirokrasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan budaya politik
yang ada di Indonesia. Budaya inilah yang sangat sulit dirubah karena berkaitan dengan moral Sumber
Daya Manusia. Ini menjadi gejala awal ”penyakit” karena meskipun perekrutan dilaksanakan secara
terbuka namun masih ada fenomena kecenderungan ke arah patronase. Sebuah pola yang
memanfaatkan ”simbiosis mutualisme” (hubungan yang bersifat menguntungkan).Maka dari itu perlu
penataan kembali birokrasi di Indonesia agar terwujud pelayanan prima.

Kata Kunci :patologi (penyakit),budaya,hierarkhis,pelayanan.

1.PENDAHULUAN
Dalam perjalanan Bangsa Indonesia birokrasi tidak bisa dilepaskan dalam system pemerintahan.
Keberadaan birokrasi sampai saat masih membawa polemic yang berkepanjangan. Tuntutan reformasi
setidaknya telah merubah wajah birokrasi Indonesia meskipun belum terlalu signifikan. Agenda
reformasi dalam tubuh birokrasi di Indonesia ditujukan bukan lagi sekedar untuk membangun Institusi
birokrasi yang professional secara menejerial, namun pada bagaimana birokrasi tersebut mampu
merepresentasikan konfigurasi social yang ada untuk menjamin keterwakilan masing – masing komunitas
social yang telah mengakar kuat di dalam tubuh birokrasi. Pendeteksian penyakit birokrasi atau yang
sering disebut patologi dalam dunia medis sebainya juga dilakukan kepada birokrasi di Indonesia. Hal ini
dimaksudkan agar penyakit – penyakit yang ada dalam tubuh birokrasi di Indonesia tidak menular ke
yang lainnya sebagi upaya preventif bahkan lebih dari itu bisa disembuhkan secara total meskipun
membutuhkan waktu yang lama. Upaya meminimalisir penyakit yang terjadi di birokrasi dihrapkan dapt
membawa perubahan terhadap pelayanan public yang prima.

Persoalan patologi atau penyakit birokrasi bersumber dari rekruitmen dan penempatan birokrat yang
tidak berdasarkan merit system (berdasarkan jenjang karir). Selain itu keterlibatan birokrasi dalam politik
dianggap sebagai hal yang harus diwaspadai karena birokrasi bukanlah institusi atau lembaga yang bisa
mewakilkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Secara makro atau nasional persoalan
birokrasi di Indonesia lebih di dominasi karena kurangnya pemisahan atau segresi yang jelas antara
kepentingan politik dan administrasi. Masih seriong dijumpai birokrat terlibat secara aktif dalam kegiatan
politik dan juga adanya politisi yang selalu mendominasi proses – proses birokrasi sehinggga kebijakan
yang diambil dalam birokrasi merupakan kebijakan politik dari orang – orang yang memiliki kepentingan
tertentu. Reformasi birokrasi di Indonesia masih bergulir namun sampai saat ini belum ada regulasi
(peraturan) yang menjamin depolitisasi birokrasi secara subtansial. Persoalan tersebut seperti mengurai
benang kusut karena ke depan bila model birokrasi yang seperti it uterus dijalankan akan dapat
memunculkan konflik tertutama menimbulkan praktik kolusi dan nepotisme dalam rekruitmen,
penempatan, promosi dan mutasi birokrasi masih sering terjadi. Praktik – praktik yang seperti ini pada
kenyataannya sudah menjadi rahasia umum yang pada akhirnya praktik – praktik korupsi dan
pengamanan sumber –sumber ekonomi termasuk keuangan Negara dari kelompok yang sedang
berkuasa dengan menjalin korporasi menjadi sebuah system yang penuh dengan korupsi, kolusi dan
nepotisme.

Sistem model birokrasi Weber dianggap juga sebuah system yang kurang efektif untuk dijalankan di
Indonesia karena hal ini sangat berhubungan dengan kultur budaya di Indonesia yaitu patron klien.
Model tersebut, dianggap menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia. Tuntutan merit
system dalam rekruitmen birokrasi terutama di daerah ternyata sulit dipenuhi karena persoalan
primordialisme. Rekruitmen pegawai baru maupun penempatan jabatan public lebih ditentukan oleh
penguasa daerah (kepala daerah atau kekuatan birokrasi dominan). Praktik ini semakin meminggirkan
kelompok lain sehingga memunculkan kecemburuan dan bahkan kebencian kepada kelompok yang
sedang berkuasa. Pada akhirnya konfliklah yang terjadi baik vertical maupun horizontal karena motif
kepentingan. Dengan penyakit yang seperti diungkapkan diatas perlu penanganan yang serius agar tidak
mewabah tentunya dengan regulasi yang jelas dan merubah kultur birokrasi agar tidak terjadi
penyimpangan – penyimpangan dalam bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

2. MEMAHAMI BIROKRASI

Menurut beberapa orang menganggap bahwa birokrasi adalah sebuah organisasi yang paling efesien
namun dilapangan hal ini menjadi berbeda. Menurut Pichot cir- ciri birokrasi yang birokratis adalah
sebagai berikut :

Rantai Komando yang hirearkhis

Struktur organisasi birokratis bebentuk piramida dengan kekuasaan seorang pemimpin di puncak yang
membagi – bagi keseluruhan tugas – tugas dalam organisasi serta memberikan tanggung jawab bagi sub
tugas kepada setiap sub pemimpin melalui rantai komando yang tidak terputus. Dalam system yang
hirearkhis seperti ini keputusan diperoleh langsung dari atasan yang terkadanmg kurang menyerap
aspirasi bawahan karena bawahan hanyalah pelaksana yang harus melaksanakan tugas yang diperintah
oleh atasan. Birokrasi yang hirearkhis ini juga memberikan peluang kepada orang untuk melakukan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme karena budaya yang dibangun adalah budaya patron clien dimana
seorang bawahan harus siap melaksanakan segala sesuatu yang diperintah oleh atasan. Peluang juga
akan muncul manakala kekuasaan yang dimiliki akan disalah gunakan untuk kepentingannya sendiri yaitu
mengeruk sebesar – besarnya untuk kepentingan pribadi dengan mengenyampingkan kepentingan
umum. Motif ekonomi juga menjadi dasar bagi para pemegang kekuasaan dengan kekuatannya sebagi
seorang atasan karena wewenangnya yang diberikan penuh oleh system.

Spesialisasi berdasarkan fungsi

Struktur organisasi yan birokratis diciptakan dengan membagi tugas – tugas ke dalam spesialisasi atau
fungsi yang jelas. Hal ini memungkinkan setiap karyawan untuk berkonsentrasi hanya kepada aspek –
aspek yang kecil dari keseluruhan aktivitas organisasi. Dengan spesialisasi pekerjaan dilihat dari sisi
positifnya memberikan kemampuan kepada karyawan agar tefokus pada bidang tertentu ini berarti
adanya skill khusus dalam mengerjakan sesuatu namun dari negatifnya dengan adanya spesialisasi
karyawan menjadi kurang mampu menguasai bidang – bidang yang lainnya. Pembagian kerja ini juga
mengakibatkan tidak adanya budaya saling membantu terhadap bidang yang lain dikarenakan masing –
masing bidang hanya akan mengurusi wilayah kerjanya sendiri.

Peraturan tertulis dan kebijkan yang seragam

Pemimpin bertanggungjawab terhadap keseluruhan tindakan – tindakan bawahannya serta memilki hak
untuk memberikan perintah yang wajib dipatuhi oleh bawahan. Kebijakan merupakan sebuah tindakan
yang dilakukan untunk mebuat decision yang akan berimbas kepada publik namun bisa dipastikan dalam
birokrasi kebijakan yang dibuat oleh atasan hampir seragam. Kebijakan ini membuat para pengguna
kebijakan menjadi tidak memilki peluang untuk menyampaikan aspirasinya. Model keseragaman ini
setidaknya meminimalisir bawahan untuk terlalu ikut campur atau melakukan pengawasan terhadap
atasan sehingga ada keleluasaan dari atasan untuk berbuat segala sesuatunya karena kurangnya
pengawasan. Dampak dari pemngambilan keputusan yang salah akan langsung berimbas ke publik
karena model keseragam yang diterapkan di setiap instansi pemerintah adalah sama.

Prosedur yang terstandarisasi dalam pekerjaan

Hal ini kadang – kadang terjadi bahkan sampai kepada tingkat yang paling detail.Prosedur yang standar
ini bermanfaat untuk mengatasi resistensi yang tidak rasional sehingga pekerjaan yang dilakukan menjadi
lebih efektif. Dalam menjalannkan tugasnya seorang karyawan harus bekerja dengan instruksi pimpinan
dan juga berdasarkan tugas, pokok dan fungsi. Adanya standarisasi seharusnya menjadikan birokrasi
bekerja dengan optimal dalam memberikan pelayanan kepada publik.

Berikut akan disampaikan cara kerja birokrasi model tradisional dan cara kerja birokrasi baru.

Cara Kerja Tradisional

Cara kerja tradisional ini mewarnai kehidupan manejemen baik di pemerintah maupun dimasyarakat,
cara seperti ini sudah tidak efisien lagi, karena sanagt lamban dan menghambat perubahan. Menurut J.C
Tukiman Taruna pada suatu seminar yang dsimuat di surat MEDIA tanggal 10 April 1994 menyebutkan
antara lain bahwa masyarakat Indonesia masih bersifat feodalistik, ketat peraturan, lebih menyenangi
tertutup, lebih mempersulit pelayanan kepada orang lain menghadapi orang lain dengan penuh curiga
dalam keadaan tertentu suka main hakim sendiri, suka membuat peraturan yang menguntungkan atau
untuk memperkuat dirinya. Keadaan seperti ini seharusnya berubah karena tantangan sudah lain dan
oleh Prof.Dr.Muadi dari UNDIP pada surat kabar yang sama menyatakan perlu paradigma baru seperti
dalam menentukan tujuan itu harus fleksibel,komunikasi harus terbuka, kebijaksanaan harus rasional
dan bersifat partisipatif. Lebih lanjut dikatakan oleh Dr.Lukman Sutrisno dari UGM ciri tuntutan masa
depan tersebut antara lain berorientasi pada demokrasi dan hak – hak asasi manusia serta prestasi,
menghormati hukum, tidak cepat puas dan solidaritas sosial tinggi. Menurut Prof.Dr.Warren Bennis
keadaan seperti yang dikemukakan oleh J.C Tukiman Taruna tersebut disebut matinya birokrasi karena
bersifat kaku dan lamban sehingga tidak mampu lagi mengakomodasi tuntutan – tuntutan baru yang
bersifat cepat dan mendasar. Disebut mendasar karena menyangkut perubahan sikap dan perilaku SDM
dalam upaya merubah perilaku menejemen baru yang lebih dinamis dan fleksibel. Namun perubahan
sikap dan perilaku SDM tersebut memerlukan proses waktu yang cukup lama agar menjadi budaya baru.

Cara Kerja Baru

Untuk mengatasi tantangan globalisasi diperlukan perubahan cara kerja baru yang lebih efektif dan
efisien, lebih demkratis dan terbuka, lebih rasional dan fleksibel dan lebih terdesentralisasi. Dalam
perubahan menejemen tersebut dapat dikelola dengan baik maka akan dipetik keuntungan yang berupa
tumbuhnya banyak prakarsa, aneka ragam kreatifitas dan dorongan partisipasi yang makin besar.
Pertumbuhan semacam itu akan mendorong terwujudnya kemandirian yang enjadi ciri utama
pembangunan dalam rangka menghadapai kehidupan masa depan. Untuk itu manajemen harus
berorientasi pada tujuan agar lebih efektif dan efisien dengan cara seperti :

merumuskan tujuan dan sasran organisasi secara jelas adan rinci

tujuan dan sasaran tersebut dijabarkan dalam bentuk kebijaksanaan dan strategi yang operasional

dilaksanakan dengan penuh peran serta semua pihak baik yang berupa kerjasama maupun koordinasi

pelaksanaan tersebut terus dikendalikan temuannya dianalisis kemudian ditibdaklanjuti berupa


perbaikan atau penyempurnaan terus menerus

Perubahan tersebut akan dapat terlaksana bilamana didahului oleh perubahan sikap dan perilaku SDM
yang akan menjadi pendukung utama perubahan tersebut. Untuk itu diperlukan langkah kegiatan yang
berupa mencari nilai – nilai baru kemudian dimasyarakatkan atau dilatihkan, dilaksanakan,
disempurnakan terus menjadi kebiasaan kerja dan akhirnya baru menjadi budaya yang dimilikinya. Unsur
yang terkandung dalam upaya perubahan tersebut meliputi kekuatan motivasi, motivasi tidak akan
berarti kalau tidak memiliki ketrampilan atau profesional, memiliki motivasi, ketrampilan kebribadian
tidak cukup kalu bisa berperan atau berbuat memiliki motivasi ketrampilan dan kepribadian peran tidak
bisa optimal bilamana tidak memperhatikan faktor manusiawi berupa kejenuhan

Oleh karena itu yang dimaksud dengan produktivitas budaya kerja adalah sikap mental yang selalu
mencari perbaikan atau menyempurnakan apa yang telah dicapai dengan menerapkan teori – teori atau
metode – metode baru serta yakin akan kemajuan umat manusia. Dalam hal ini dapat dilihat kaitan
antara kepribadian itu terkandung unsur bakat, ketrampilan, minat, sifat, gairah dan nilai – nilai
kepribadian tersebut menjadi sikap kemudian menjadi perilaku yang mengandung unsur semangat,
disiplin, rajin, jujur, tanggungjawab, hemat, integritas sehingga hasil kerja akan mencapai kualitas yang
tinggi atau memuaskan.

Perilaku menejemen yang menghasilkan produk bermutu tinggi tersebut dapat dinilai dari unsur antara
lain kepemimpinan, perencanaan,pengorganisasian,penentuan
prioritas,pendelegasian,pengendalian,pemecahan masalah, pengambilan keputusan, komunikasi lisan,
komunikasi tertulis, ketrampilan administrasi, hubungan antar pribadi, pemeliharaan keselamatan,
kerumahtanggaan, ketepatan waktu dan kehadiran.

Karier profesional

Dalam organisasi yang birokratis, ukuran kesuksesan karier ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk
naik ke tingkat yang lebih tinggi dalam rantai komando. Naiknya jabatan seseorang ke jenjang yang
leebih tinggi akan meningkatakan status seseorang di masyarakat. Promosi dicapai melalui kemampuan
teknis.Penentuan karier dalam jabatan birokrasi lebih ditentukan kepada lama masa kerja dan jenjang
pendidikan namun kurang memeperhatikan prestasi kerja seseorang. Hal yang dipahami bersama
mekanisme dalam pemberian reward dan punisment masih kabur karena kerja birokrasi yang hampir
sama jadi kurang memperhatikan jenis sanksi dan penghargaan bagi pegawai yang berprestasi dan
melanggar aturan. Penilaian dalam kerja semata – mata hanya digunakan untuk naik ke tingkat yang
lebih tinggi.

Hubungan yang impersonal


Hubungan antar pegawai lebih didasarkan pada peran. Struktur organisasi dan uraian jabatan
menentukan apa yang menjadi ekspektasi dari seorang karyawan berdasarkan peran yang dimilikinya
dan pemegang suatu peran diharapkn untuk menjalankan tanggungjawabnya dengan cara – cara yang
rasional dan tidak emosional.

Koordinasi dilakukan oleh mereka yang berada pada tingkat yang lebih tinggi

Karyawan tidak perlu memikirkan bagaimana harus mengkordinasi pekerjaan dengan rekan mereka.
Pimpinan membagi – bagi pekerjaan serta menjelaskan tugas – tugas yang harus dilakukan oleh setiap
orang. Demikian juga yang dilakukan oleh pimpinan yang lebih atas lagi, dan seterusnya. Karyawan tidak
perlu berfikir secara luas. Mereka dilarang untuk berkoordinasi dengan rekan kerja mereka.

Tabel berikut ini mengungkapkan ciri – ciri keberhasilan masa lalu ketidakrelevanannya dengan situasi
masa kini, serta sistem yang menggantikannya seperti yang dikemukakan oleh Pinchot

Ciri – ciri organisasi birokratis

Alasan keberhasilan dimasa lalu

Penyebab kegagalan dimasa kini

Kecenderungan dimasa depan

Rantai komando

Keterlibatan dalam skala besar dengan cara mendominasi bawahan


Tidak dapat menangani kompleksitas

Visi dan nilai tim (self –managing) Koordinasi lateral jaringan informal pilihan free intraprise

Spesialisasi oganisasi berdasarkan fungsi

Efisiensi melalui pembagian kerja kecerdasan terfokus

Tidak memberikan komunikasi internal yang intensif serta koordinasi tingkat rekan kerja yang kontinyu

Spesialis dengan keahlian yang beragam

Aturan yang seragam

Menciptakan perasaan keadilan kekuasaa pimpinan yang jelas

Memerlukan aturan yang berbeda

Jaminan atas hak – hak Institusi kebebasab dan komunitas

Prosedur standar

Dapat menggunakan tenaga kerja tanpa keahlian

Respon yang lamban terhadap perubahan kurang baik dalam menangani kompleksitas tidak mendorong
interkoneksi
Self direction dan self managemen kekuatan pasar dan komunitas yang etis

Karier

Loyalitas kontituitas elitisme menejemen dan profesional

Hanya membutuhkan sedikit manajer yang lebih terdidik mengharapkan promosi sehingga tidak cukup
ruang untuk pengembangan dan kemajuan karier

Karier dari kompetensi yang terus tumbuh jaringan yang terus tumbuh untuk menyelesaikan lebih
banyak aktivitas imbalan yang lebih untuk kapabilitas

Hubungan impersonal

Membantu menegakkan disiplin serta membuat keputusan yang sulit

Pekerjaan padat informasi memerlukan hubungan yang lebih mendalam

Hubungan yang kuat diantara seluruh karyawan Opsi dan alternatif dorongan yang kuat bagi pencapaian
hasil

Koordinasi dari atas

Arahan bagi pekerja tanpa keahlian (unskilled worker) supevisi yang kuat, diperlukan bagi pekerjaan
dengan turnover cepat dan membosankan
Karyawan yang terdidik siap untuk self-management

Self Managing Team Komunikasi dan kolaborasi lateral

Menurut ciri – ciri birokrasi diatas memang terdapat ketidak nyamanan bagi sebagian orang karena
pengaturannya jelas menguntungkan orang – orang yang memegang kekuasaan sehingga menyebabkan
kerja birokrasi menjadi kurang efektif dan lamban.

Reformasi Birokrasi

Pichot memperkenalkan apa yang disebut dengan organisasi berbasis intelegensi (intelegensi
organization). Dalam organisasi jenis ini karyawan mengerahkan segala pikiran dan kemampuan mereka
untuk menemukan dan memenfaatkan peluang secara otimal, menciptakan produk, dan memecahkan
permasalahan.Para karyawan menjalankan tanggung jawab yang diberikan layaknya sebuah perusahaan
kecil, melayani pelanggan internal dan eksternal mereka penuh perhatian saerta bekerja dengan orang
lain dari seluruh organisasi guna memastikan bahwa seluruh sistem berjalan dengan baik. Setiap orang
menunjukan intelegensi dan tanggungjawabnya terhadap pekerjaan.

Organisasi berbasis intelegensi dirancang untuk meningkatkan kecerdasan dari beragam talenta yang
dimiliki oleh setiap anggotanya. Sebagai hasilnya organisasi ini dapat melakukan hal – hal berikut :

menghadapi berbagai isu pada yang sama seperti memberi perhatian terhadap satu sama lain,
pelanggan, kota dan komunitas

mampu menghadapi persaingan secara simultan dan efektif

mengimplementasikan pemikiran yang whole system tanpa menunggu fleksibilitas lokal


mampu mengidentifikasi isu – isu utama secara lebih baik untuk kemudian dapat ditangani secara cepat

belajar dari pengalaman mengenai bagaimana melakukan hal – hal baru

mampu secara cepat mengaplikasikan apa yang telah dipelajari

menginternalisasikan pembelajaran yang diperoleh keseluruh organisasi serta memanfaatkannya secara


kreatif dan fleksibel

menunjang kompetensi yang dapat menghasilkan efisiensi biaya dan kinerja yang superior

3. PATOLOGI BIROKRASI

Setelah memahami birokrasi bisa dianalisis fenomena penyakit yang menjangkiti birokrasi di Indonesia.
Di dalam dunia medis dikenal dengan istilah patologi yang memiliki pengertian penyakit. Dari pengertian
diatas mungkin ada ketidaksinkronan dalam pemaduan dua kata namun itu hanyalah sekedar istilah
untuk menggambarkan bahwa dalam birokrasi di Indonesia masih belum tertata dengan baik. Bahayanya
manakala penyakit tersebut tidak segera di ”periksa”ke ahlinya maka akan menggejala dalam sebuah
sistem yang tidak ada ujung dan pangkalnya. Dalam birokrasi ada sebuah sistem yang sulit ditembus
karena permasalahan kultur. Melihatbirokrasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan budaya politik
yang ada di Indonesia. Budaya inilah yang sangat sulit dirubah karena berkaitan dengan moral Sumber
Daya Manusia. Ini menjadi gejala awal ”penyakit” karena meskipun perekrutan dilaksanakan secara
terbuka namun masih ada fenomena kecenderungan ke arah patronase. Sebuah pola yang
memanfaatkan ”simbiosis mutualisme” (hubungan yang bersifat menguntungkan).Maka dari itu perlu
penataan kembali birokrasi di Indonesia agar terwujud pelayanan prima.

Simbiois mutualisme yang terjadi dengan mempertukarkan atau bisa jadi sebuah hubungan atau relasi
kekeluargaan yang mengesampingkan kualitas sehingga pada saat mereka melakukan pelayanan publik
kurang optimal karena keterbatasan kemampuanakibat perekrutan yang dilakukan sebuah formalitas
belaka. Mental yang dimilikipun sudah ada ”bawaan” mental korup karena pada saat memasuki
sistemada sumber daya yang mereka pertukarkan dengan si patron (orang yang memiliki kekuasaan).
Pada akhirnya mental sebagai abdi negara tidak muncul yang ada hanyalah mental yang taat pada ”si
patron” sehingga kepentingan publik menjadi terbengkalai. Hubungan ini bisa diibaratkan seperti
lingkaran setan.

Untuk memangkas rantai ini bukan hal yang mudah karena perekrutan yang dilaksanakan secara terbuka
bahkan tanpa mempertukarkan sumber dayapun dapat terjangkiti penyakit karena ”orang sehat” masuk
ke tempat yang kotor atau tempat yang banyak menghasilkan bibit penyakit dan menularkan penyakit
sangat mampu membuat orang yang sehat menjadi sakit dan menyebarkan virus ke yang lainnya. Untuk
itulah diperlukan sebuah kekebalan atau imunitas agar virus itu tidak menggerogoti yang lain. Bagi yang
sudah terkena penyakit hendaklah disembuhkan terlebih dahulu. Mencari format baru untuk menata
birokrasi Indonesia bisa dilakukan dengan pembangunan mental (mental building) yang berorientasi
kepada kepentingan masyarakat.

Propf.Dr.Sondang P.Siagian MPA dalam bukunya ”Patologi Birokrasi: Analisis,Identifikasi dan Terapinya”
(1994) menyebut serangkaian contoh penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit –
penyakit tersebut dapat dikategorikan dalam lima macam :

Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya menejerial para pejabat dilingkungan birokrasi

Patologi yang timbul karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan ketrampilan para petugas
pelaksana berbagai kegiatan operasional

Patologi yang timbul karena karena tindakan para anggota birokrasi melanggar norma hukum dan
peraturan perundang – undangan yang berlaku

Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif

Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi di lingkungan pemerintah
Berikut alternatif pemecahan masalah patologi di tubuh birokrasi di Indonesia dalam membangun
pelayanan publik yang efisien, responsif, dan akuntabel dan transparan perlu ditetapkan kebijkan yang
menjadi pedoman perilaku aparat birokrasi pemerintah sebagai berikut :

Dalam hubungan dengan berpola patron- klien tidak memiliki standar pelayanan yang jelas/pasti, tidak
kreatif.Perlu membuat peraturan Undang – Undang- Undang pelayanan publik yang memihak pada
rakyat

Dalam hubungan dengan struktur yang gemuk, kinerja berbelit – belit, perlu dilakukan restrukturisasi
brokrasi pelayanan publik

Untuk mengatasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme selain hal diatas diharapkan pemerintah menetapkan
perundangan dibidang infomatika (IT) sebagai bagian pengembangan dan pemanfaatan e Goverment
agar penyelenggaraan pelayanan publik terdapat transparasi dan saling kontrol.

Setiap daerah provinsi dan kabupaten dituntut membuat Perda yang jelas mengatur secara seimbang
hak dan kewajiban dari penyelenggara dan pengguna pelayanan publik

Setiap daerah diperlukan lembaga Ombusman. Lembaga ini bisa berfungsiingin mendudukan warga pada
pelayanan yang prima. Ombusman harus diberikan kewenangan yang memadai untuk melakukan
investigasi dan mencari penyelesaian yang adil terhadap perselisihan antara pengguna jasa dan
penyelenggara dalam proses pelayanan publik.

Peran kualitas sumber daya aparatur sangat mempengaruhi kualitas pelayanan, untuk itu kemampuan
kognitif yang bersumber dari intelegensi dan pengalaman,skill atau ketrampilan, yang didukung oleh
sikap (attitude) merupakan faktor yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah patologi atau
penyakit birokrasi yang berhubungan dengan pelayanan publik di Indonesia. Untuk itu pelatihan
diharapkan mampu menjadi program yang berkelanjutan agar sumber daya aparatur memeliki
kecerdasan inteltual,emosional dan spiritual sebagai landasan dalam pelayanan publik.
4. PENUTUP

Pengembangan sumber daya aparatur bukanlah satu – satunya cara untuk keluar dari kemelut birokrasi.
Tetapi sebagai sebuah usaha tentu ada hasilnya, keseluruhan pembinaan kualitas birokrasi atau aparatur
pemerintah setidaknya ada setitik pencerahan, namun harus tetap ditingkatkan secara terus menerus
agar dapat diciptakan sosok birokrasi atau aparatur yang profesional dan berkarakter. Dengan usaha –
usaha yang seperti telas disampaikan pada pembahasan diatas diharapkan dapat mewujudkan Good
Governance. Meningkatkan profesionalisme birokrasi melalui perubahan paradigma, perilaku dan
orientasi pelayanan kepada publik.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Badu.2008.Kondisi Birokrasi Di Indonesia Dalam Hubungannya Dengan Pelayanan Publik.Jurnal
Administrasi Publik. Volume IV.PKP2A LAN Makasar

Supriyadi,Gering. 2009. Budaya Kerja Organisasi Pemerintah. Lembaga Administrasi Negara

Susanto dkk,2010.Reinvensi Pembangunan Ekonomi Daerah. PT Gelora Aksara Pratama Erlangga. Jakarta

Wahyu,Mardyanto.2011.Kerangka pencegahan Konflik di Indonesia.BAPPENAS-PTD-LIPI-UNDP,Jakarta

Witianti,Siti.2007.Budaya Politik dan Pembangunan.Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Padjajaran

Yansyah,Ali.2009.Perpektif Sumber Daya Manusia dalam Pengembangan Badan Usaha Milik


Daerah.Jurnal Volume IV No.2.LIPI

Share this:

TwitterFacebook

Memuat...

Desember 22, 2011Tinggalkan Balasan

« Sebelumnya

Tinggalkan Balasan
Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar

Nama *

Surel *

Situs Web

Beri tahu saya komentar baru melalui email.

Lihat Situs Lengkap

Blog di WordPress.com.

WELCOME TO Ojen BLOG "Administrasi Publik"

SABTU, 08 JUNI 2013

PATOLOGI BIROKRASI DALAM PELAKSANAAN PEMERINTAHAN okjen.kansil@yahoo.com

PAPER
BIROKRASI

JUDUL

PATOLOGI BIROKRASI DALAM PELAKSANAAN PEMERINTAHAN

http://ojen.webs.com/

DI SUSUN OLEH:
NAMA : OKJEN M. KANSIL

NIM : 100811149

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2013

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rakmatnya kepada
saya, sehingga saya dapat menyeslesaikan tugas Paper Birokrasi dengan judul “Patologi Birokrasi Dalam
Pelaksanaan Pemerintahan “.Penulisan ini dimaksudkan untuk melengkapi tugas – tugas yang sudah di
berikan kepada saya .

Tugas ini banyak kendala yang dihadapi terutama terbatasnya literatur dan sumber – sumber penunjang
lainnya.Namun dengan tekat yang kuat serta dorongan yang berasar dari berbagai pihak, maka penulisan
tugas ini dapat diselesaikan. Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari pada kekhilafan dan kesalahan,
saya mengharapakan keritik dan saran dari semua pembaca yang sifatnya membangun demi untuk
melengkapi dan menyempurnakan karya tulis ini
Penulis

Okjen M. Kansil

100811149

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………………… i

Daftar Isi…………………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LatarBelakang…………………………………………………………………….. 1 - 2

B. RumusanMasalah………………………………………………………………… 3

C. TujuanPenulisan………………………………………………………………..… 3

D. ManfaatPenulisan……………………………………………………………… 3

BAB III PEMBAHASAN

A. Konsep Birokrasi….…………………………………………………………… 4-6

B. Ciri-Ciri Birokrasi Menurut Max Weber ……………………………………… 7

C. Pengertian Birokrasi…………………………………………………………… 6 - 10

D. Pengertian Patologi Birokrasi ………………………………………………… 10

E. Jenis Patologi Birokrasi Pada Aparatur Birokrasi ……………………………. 11

F. Data Kasus ……………………………………………………………………. 11

G. Akibat Patologi Birokrasi ………………………………………………….. 12

H. Cara Mengatasi Patologi Birokrasi ………………………………………… 12

I. Solusi Yang Ditawarkan Untuk Mengatasi Patologi Birokrasi …………….. 13 –

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………………… 15

B. Saran ………………………………………………………………………… 16

DAFTAR PUSTAKA
Lampiran

ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Birokrasi di Indonesia tidak pernah lepas dari permasalahan, permasalahan yang ada pun masih sama
dari zaman dahulu. Saat ini pemerintah baik pusat maupun daerah menghabiskan lebih dari setengah
anggarannya untuk birokrasi.Pengeluaran ini tidak diikuti dengan kinerja birorasi yang optimal. Di Negara
dan pemerintahan manapun, para anggota birokrasi disebut sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat.
Dengan predikat demikian, mereka diharapkan dan dituntut menampilkan perilaku yang sesuai dengan
peranannya selaku abdi tersebut. Keseluruhan perilaku para anggota birokrasi tercermin pada pelayanan
kepada seluruh masyarakat. Karena penerapan prinsip fungsionalisasi, spesialisasi dan pembagian tugas,
sudah barang tentu terdapat bagian masyarakat yang menjadi “clientele” suatu instansi tertentu. Sebagai
prinsip dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh birokrasi kepada para masyarakat harus
bersifat adil, cepat, ramah dan tanpa diskriminasi. Karena itu, ungkapan yang mengatakan bahwa para
pegawai negeri adalah untuk melayani dan bukan untuk dilayani, hendaknya terwujud dalam praktik
administrasi pemerintahan sehari-hari, sebab apabila tidak ada, ungkapan tersebut hanya akan menjadi
slogan

tanpa makna.

Dengan kata lain, teramat penting untuk mengupayakan agar para anggota birokrasi menghindari
perilaku yang tidak sesuai dengan peranannya selaku abdi negara dan abdi masyarakat.

Dari segi inilah, penting dipahami patologi birokrasi yang ber-sumber dari keperilakuan. Pemahaman
perilaku dalam kaitannya dengan patologi birokrasi, mutlak perlu disoroti dari sudut pandang etos kerja
dan kultur organisasi yang berlaku dalam suatu birokrasi tertentu.
Dewasa ini, Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang bukan hal baru lagi,
karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi lebih menunjukkan kondisi empirik yang sangat buruk,
negatif atau sebagai suatu penyakit (bureau patology), seperti

Parkinsonian (big bureaucracy), Orwellian (peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan tangan
negara untuk mengontrol masyarakat) atau Jacksonian (bureaucratic polity), ketimbang citra yang baik
atau rasional (bureau rationality), seperti yang dikandung misalnya, dalam birokrasi Hegelian dan
Weberian.

Persoalan patologi atau penyakit birokrasi bersumber dari rekruitmen dan penempatan birokrat yang
tidak berdasarkan merit system (berdasarkan jenjang karir). Selain itu keterlibatan birokrasi dalam politik
dianggap sebagai hal yang harus diwaspadai karena birokrasi bukanlah institusi atau lembaga yang bisa
mewakilkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Secara makro atau nasional persoalan
birokrasi di Indonesia lebih di dominasi karena kurangnya pemisahan atau segresi yang jelas antara
kepentingan politik dan administrasi.

Citra buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang
berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam
bentuknya, serta lambatnya pelayanan, dan diikuti dengan prosedur yang berbelit-belit.

Keseluruhan kondisi empirik yang terjadi secara akumulatif telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian
dan Weberian yang menfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsure – unsure dalam proses
pemerintahan. Birokrasi, dalam keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai pengendali, penegak disiplin,
dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan yang sangat

besar, tetapi sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat.

Buruk serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat untuk mencari ''jalan
pintas'' dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk
memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti ini pada gilirannya seringkali mendorong para pejabat
untuk mencari ''kesempatan'' dalam ''kesempitan'' agar mereka dapat

menciptakan rente dari pelayanan berikutnya.

Atas dasar tersebut diatas maka Penulis membuat makalah yang berjudul Patologi Birokrasi Dalam
Pelaksanaan Pemerintahan karena perilaku aparatur ini. okjen.kansil@yahoo.com
B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Apa definisi dari patologi birokrasi ?

2. Apa saja jenis patologi birokrasi yang ditimbulkan oleh prilaku aparat pemerintah

3. Apa saja akibat yang di timbulkan dari Patologi yang terjadi?

4. Apa solusi yang konkrit dalam menangani Patologi Birokrasi yang dilakukan aparat

pemerintah?

C. TujuanPenulisan

Sesuai dengan rumusan masalah penulisan, maka tujuan penulisan ini adalah :

a. Untuk mengetahui atau membuktikakan apakah kinerja birokrat sesuai dengan apa yang dinginkan
oleh masyarakat.

b. Untuk mengetahui hubungan dan besar pengaruh dari birokrat pemerintah terhadap pelayanan
publik

D. Manfaat Penulisan

Secara teoritis kiranya hasil penulisan ini dapat menjadi input atau sebagai bahan masukan bagi ilmu
pengetahuan khususnya ilmu – ilmu sosial dalam memperkaya konsep – konsep atau teori – teori yang
berhubungan dengan patologi birokrasi


BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Birokrasi

De Gournay dalam Albrow ( 1989 : 2), salah seorang perintis studi birokrasi pada tahun 1764 di Perancis
menemukan sebuah penyakit pemerintahan yang disebut” Buruemania” , untuk menyebutkan bentuk
pemerintahan yang banyak di keluhkan dimana para pejabat juru tulis, sekertaris, para inspektur dan
manajer diangkat bukan menguntukan kepentingan umum. Akan tetapi lebih mengutamakan
kepentingan pribadi, dan atau golongan

Sejak itu istilah birokrasi mulai diperkenakan, dalam perbendaharaan bahasa pada abad ke 18 sudah
mulai istilah” bureau” yang diserap dari konsep Yunani tentang pemerintahan yang diartikaan : meja
tulis, tempat para pekerja bekerja, dan ditambahkan arti aturan. Albrow ( 1989 : 3), menjelaskan istilah
ini kemudian mengalami transliterasi sebagai mana istilah democracy, sehingga menjadi” bureaucracy” .
kata ini dengan cepat di teria dalam pembendaharaan politi internasional, dan menjadi Bureucratie
( Prancis) Bureukratie ( Jerman), Burocrazia(Italia), dan Bureucracy (Inggris). Kata ini dalam kamus
mengartikan sebagai kekuasaan pejabat dalam pemerintahan.

- Definisi Birokrasi

Weber dalam H. G. Surie (1987 : 99 ), menyebutkan definisi birokrasi adalah sebagai

suatu daftar atau sejumlah daftar ciri – ciri yang sifat peentingnya yang relatif secara hubungan satu
sama yang lain telah banyak menimbulkan perdebatan. Paling mencolokdiantara ciri – ciri ini ialah bidang
– bidang kompetensi yang jelas batasannya, pelaksanaan tugas – tugas resmi secara terus menerus.
Suatu hilarki pengendalian yang teratur dimana kemungkinan untuk naik pangkat memungkinkan
dibuatnya suatu karier; pengangkatan dan kenaikan pangkat berdasarkan criteria kemampuan ( termasuk
ijazah – ijazah pendidikan, ujian khusus dan prestasi dalam pekerjaan ), pembuatan keputusan yang
didasarkan atas catatan – catatan tertulis , gaji tetap, pemisahan jabatan dari hak milik pribadi jabatan,
dan suatu gaya pengembalian keputusan yang terdiri atas , penerapan atauran - aturan umum pada
kasus – kasus individual.
B. Ciri-Ciri Birokrasi Menurut Max Weber

Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bureau + cracy), diartikan sebagai sesuatu organisasi yang
memiliki rantai komandogn bentuk piramida, dimana lebih bayak orang berada ditingkat bawah dari
pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.

pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan degan jelas dalam
organigram. organisasi ini pun memiliki aturan & prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. ciri
lainnya adalah biasanya terdapat bayak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang
harus dilakukan sesuai dgn hirarki kekuasaan.

CIRI-CIRI BIROKRASI MENURUT MAX WEBER

Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai degan pangkat atau kedudukannya.

Pekerjaan merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya, pekerjaannya sebagai pegawai negeri.

Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri.

Para pejabat sebagai subjek ukt mengontrol dan mendisiplinkan.

Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang melebihi rata-rata.

Jabatan administratif yang terorganisasi/tersusun secara hirarkis.

Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri

Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada kualifikasi teknik yang ditunjukan dengan
ijazah atau ujian. okjen.kansil@yahoo.com
C. Pengertian Birokrasi

Konsep-konsep birokrasi secara awal lekat dengan stempel “tak efektif”, “lambat”, “kaku”, bahkan
“menyebalkan.” Stempel-stempel seperti ini pada satu sisi menemui sejumlah kebenarannya pada fakta
lapangan. Namun, sebagian lain merupakan stereotipe yang sesungguhnya masih dapat diperdebatkan
keabsahannya.

Pada materi ini, kita akan kembali kepada tema awal maksud dari gagasan birokrasi. Konsep birokrasi
yang dikaji pada materi ini mengikut pada dua teoretisi yang cukup berpengaruh di bidang ini.Pertama
adalah konsep birokrasi yang disodorkan Max Weber.Kedua adalah konsep birokrasi yang disodorkan
oleh Martin Albrow. Potret Indonesia

Birokrasi ialah alat kekuasaan bagi yang menguasainya, dimana para pejabatnya secara bersama-sama
berkepentingan dalam kontinuitasnya Weber memandang birokrasi sebagai arti umum, luas, serta
merupakan tipe birokrasi yang rasional. Weber berpendapat bahwa tidak mungkin kita memahami setiap
gejala kehidupan yang ada secara keseluruhan, sebab yang mampu kita lakukan hanyalah memahami
sebagian dari gejala tersebut. Satu hal yang penting ialah memahami mengapa birokrasi itu bisa
diterapkan dalam kondisi organisasi negara tertentu.

Dengan demikian tipe ideal memberikan penjelasan kepada kita bahwa kita mengabstraksikan aspek-
aspek yang amat penting yang membedakan antara kondisi organisasi tertentu dengan lainnya

Menurut weber, proses semacam ini bukan menunjukkan objektivitas dari esensi birokrasi, dan bukan
pula mampu menghasilkan suatu deskripsi yang benar dari konsep birokrasi secara keseluruhan, tetapi
hanya sebagai suatu konstruksi yang bisa menjawab suatu masalah tertentu pada kondisi waktu dan
tempat tertentu. Menurut weber tpe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dalam cara-cara sebagai
berikut :

Pejabat secara rasional bebas, tetapi dibatasi oleh jabatannya

Jabatan disusun oleh tingkat hierarki dari atas ke bawah dan kesamping dengan konsekuensinya berupa
perbedaan kekuasaan.

Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lain

Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan.


Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya

Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun.

Terdapat struktur pengembangan karieryang jelas

Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya untuk kepentingan pribadi

Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara
disiplin. (Weber, 1978 dan Albrow, 1970)

Dalam pemerintahan, kekuasaan publik dijalankan oleh pejabat pemerintah/para birokrat yang
melaksanakan tugasnya sesuai dengan peranan dan fungsinya dalam sistem birokrasi negara dan harus
mampu mengendalika

Max Weber on Bureaucracy

Sebelum masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada baiknya ditinjau etimologi (asal-usul) konsep
ini yang berasal dari kata “bureau”.Kata “bureau” berasal dari Perancis yang kemudian diasimilasi oleh
Jerman. Artinya adalah meja atau kadang diperluas jadi kantor. Sebab itu, terminologi birokrasi adalah
aturan yang dikendalikan lewat meja atau kantor. Di masa kontemporer, birokrasi adalah "mesin" yang
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi baik pemerintah maupun swasta.Pada pucuk
kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan secara kurang birokratis,
dan dalam konteks negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga kepresidenan.

Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif menyebutkan makna
Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat
pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial.Birokrasi-
Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti
Hohenzollern di Prussia.

Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional.Banyak pengangkatan pejabat yang
mengacu pada political-will pimpinan Dinasti.Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau
tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian
mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi.

Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas legal dapat
diselenggarakan, yaitu:
tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;

tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang
masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;

jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan
(complaint);

aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam
kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan;

anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi;

pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;

administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro)
sebagai pusat organisasi modern; dan

sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem
tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.

Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi tersebut dapat dikatakan
bercorak legal-rasional.Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-
rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah sebagai berikut:

para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas impersonal
sesuai dengan jabatan mereka; terdapat hirarki jabatan yang jelas;

fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas; para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;

para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada suatu diploma (ijazah)
yang diperoleh melalui ujian; para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun.

Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan
dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan;
pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;

suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit) serta menurut
pertimbangan keunggulan (superior);

pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber yang
tersedia di pos terbut, dan; pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang seragam.

Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat)
mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat).Sistem birokrasi menekankan pada aspek
“disiplin.”Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional.Legal oleh sebab
tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga.Rasional artinya dapat
dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.

Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas subordinat.Kontrol ini, jika tidak
dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat.Akibatnya,
organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber,
perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point
berikut:

Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu keputusan.
Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri.Namun, prinsip
kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.

Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang
sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan
bersama antara badan DPR dan Presiden.Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi
dapat membatasi akumulasi kekuasaan.

Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar orang-
orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan
tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara
bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat
KPU ada yang mendampingi selama pelaksanaan tugas tersebut.

Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggung jawab kepada
suatu majelis.Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna
mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR.Ini berguna agar Gubernur BI yang
diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.

Representasi.Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para


pemilihnya.Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja
pejabat dan staf birokrasi.Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik
mewakili rakyat pemilih mereka.

Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Max
Weber di atas.Dengan modifikasi dan penolakan di sana-sini atas pandangan Weber, analisis birokrasi
mereka lakukan.

D. Pengertian Patologi Birokrasi.

Menurut Taliziduhu Ndraha, Miftah Thoha, Peter M. Blau, David Osborne, JW Schoorl) Patologi birokrasi
adalah penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi
dalam rangka melayani publik, melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan.

Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang


disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari patologi birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti
“sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-
prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.

Secara umum, Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat perilaku
para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis,
social cultural dan teknologikal

okjen.kansil@yahoo.com

E. Jenis Patologi Birokrasi Pada Aparatur Birokrasi

Terdapat lima jenis patologi birokarasi yang dikenal, yaitu:

1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para birokrat. Diantara

patologi jenis ini antara lain, penyalahgunaan wewenag dan jabatan, menerima

suap,arogansi dan intimidasi, kredibilitas rendah, dan nepotisme.

2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petugas

pelaksana birokrasi. Diantara patologi jenis ini antara lain, ketidaktelitian dan
ketidakcekatan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, rasa puas diri,bertindak tanpa pikir,
kemampuan rendah, tidak produktif, dan kebingungan.

3. Patologi yang timbul karena tindakan para birokrat yang melanggar norma hokum dan peraturan
perundang-undangan. Diantara patologi jenis ini antara lain, menerima suap, korupsi, ketidakjujuran,
kleptokrasi, dan mark up anggaran.

4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional. Diantara
patologi jenis ini antara lain, bertindak sewenang-wenang, konspirasi, diskriminatif, dan tidak disiplin.

5. Patologi yang merupakan akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan.
Diantara patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi tidak tepat, beban kerja berlebihan,
dan kondisi kerja kurang kondusif.

F. Data Kasus

Dari kasus di lapangan yang ada, dapat dilihat bahwa hal tersebut juga menunjukkan adanya patologi
dalam birokrasi khususnya di daerah Kabupaten Bengkalis. Yaitu:

Terkait beberapa isu penyakit di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Bengkalis dapat dilihat beberapa
diantaranya masuk dalam kategori patologi birokrasi Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya
manajerial para birokrat. Misalnya dalam hal kurang disiplin, ini terbukti dengan adanya para PNS yang
tertangkap sedang berada di warung kopi pada saat jam kerja. tentunya kejadian ini bisa di temui pada
saat terjadi Razia. Seperti yang di lihat dari “TribunPekanbaru.com” terbukti bahwa Kepala Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) Riau, Nizhamul, Kamis (22/03/2012)pagi, mengungkapkan bahwa pihaknya
sudah melakukan Razia Terhadap PNS, dan mereka menemukan atau sudah mendata ada 49 PNS yang
tertangkap tangan sedang nongkrong di Kedai kopi pada saat jam kerja.

Melihat situasi yang ada, penyakit tersebut terlihat bahwa masalahnya adalah pada kredibilitas terhadap
kinerja yang rendah.

G. Akibat Patologi Birokrasi.

Ironis memang jika ternyata masih banyak anggota PNS yang tidak taat pada disiplin, padahal. Tentunya
mereka tahu akan Peraturan dan Undang-Undang yang berlaku. Dan dari beberapa patologi yang terjadi
pada PNS yang ada di Kabupaten Bengkalis, maka hal itu memiliki dampak, yaitu antara lain:

• Merugikan birokrasi sendiri (krisis kepercayaan, delegitimasi sosial, dll), masyarakat,

stakeholder, bangsa dan negara.

• Menghambat tercapainya kemajuan, modernisasi, dan kesejahteraan.

• Memicu kerawanan sosial dan perubahan sistem secara evolusi dan revolusi.
Ketidakefektifan satu saja dari asas-asas umum penyelenggaraan negara akan memeberikan dampak
yang signifikan dalam hal penjabaran fungsi pelayanan masyarakat. Selain itu sangat mungkin hal ini akan
menjangkiti efektifitas asas-asas lainnya.

Dalam upaya penanggulangan masalah-masalah tersebut langkah-langkah prefentif yang dapat dilakukan
antara lain:

1. Pemantapan paradigma secara menyeluruh bahwa fungsi utama birokrat adalah

pelayanan masyarakat.

2. Diketatkannya standar untuk menjadi seorang birokrat, terutama dalam penguasaan

keterampilan teknologi seperti komputer.

3. Pengenalan sanksi tegas bagi setiap pelanggaran ketika masa rekruitmen baru, bila perlu

diberikan contoh nyata

H. Cara Mengatasi Patologi Birokrasi

Ada penyakit ada pula obatnya. Untuk mengatasi Patologi Birokrasi, seyogyanya seluruh lapisan
masyarakat saling bahu-membahu bekerjasama untuk melaksanakan proses pemerintahan bersama
dengan sebaik-baiknya. Solusi dari Patologi Birokrasi tidak akan menjadi obat yang mujarab jika seluruh
lapisan masyarakat tidak saling mendukung.

Hal ini dikarenakan setiap elemen baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan pihak swasta
memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam berjalannya pemerintahan yang baik.

I. Solusi Yang Ditawarkan Untuk Mengatasi Patologi Birokrasi Yaitu :

Pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya
sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, bukan hanya
mengganti papan nama di depan kantor saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan
birokrasi saja, tetapi juga melakukan reformasi pada hal yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas
birokrat, sekolah moral, dan merubah cara pandang birokrat terhadap dirinya dan institusi bahwa
birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan.

Kedua, pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat
berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam
birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih.
Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang telah diperbuat.
Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara

1. Kepemimpinan yang adil dan kuat

2. Alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik

3. Adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi.

Ketiga, ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya rasa
bertanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin berani untuk
menyeleweng dari hal yang semestinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat
dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Governmentdiharapkan mampu
menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat

Keempat, hal yang masih ada hubungannya denga ketiga faktor di atas, yakni dengan menegakkan Good
Governance. Meskipun konsep governance masih belum jelas dan masih menjadi perdebatan, namun
akumulasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah membuat beberapa kalangan menekan
untuk segera diterapkannya good governance concep
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Secara umum, Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat
perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis,
ekonomis, social cultural dan teknologikal.

2. Terdapat lima jenis patologi birokarasi yang dikenal, yaitu:

• Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para birokrat.

• Patologi yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan para

Petugas pelaksana birokrasi.

• Patologi yang timbul karena tindakan para birokrat yang melanggar norma hukum dan

peraturan perundang-undangan.

• Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat

disfungsional.

• Patologi yang merupakan akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan

pemerintahan.

3. Dari beberapa patologi yang terjadi pada PNS yang ada di Kabupaten Bengkalis, maka

hal itu berdampak pada:


• Merugikan birokrasi sendiri (krisis kepercayaan, delegitimasi sosial, dll), masyarakat,

stakeholder, bangsa dan negara.

• Menghambat tercapainya kemajuan, modernisasi, dan kesejahteraan.

• Memicu kerawanan sosial dan perubahan sistem secara evolusi dan revolusi.

4. Dalam upaya penanggulangan masalah-masalah tersebut langkah-langkah prefentif yang dapat


dilakukan antara lain:

• Pemantapan paradigma secara menyeluruh bahwa fungsi utama birokrat adalah

pelayanan masyarakat.

• Diketatkannya standar untuk menjadi seorang birokrat, terutama dalam penguasaan

keterampilan teknologi seperti komputer.

• Pengenalan sanksi tegas bagi setiap pelanggaran ketika masa rekruitmen baru, bila

perlu diberikan contoh nyata.

B. Saran

1. Patologi Birokrasi harus diobati dengan Aturan, System dan Komitmen pengelolaan yang
berorientasi "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan
mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk
segelintir orang". Pemerintah harus merubah paradigma lamanya dari yang dilayani menjadi pelayanan
dan pengabdi masyarakat.

2. Penguatan kelembagaan untuk meningkatkan pengelolaan kualitas pelayanan pubik ini ditujukan
pada pelayanan publik dengan model satu pintu dan pelayanan yang berbasis pada pelayanan
administrasi dokumen.

3. Peningkatan kualitas pelayanan publik diwujudkan melalui terbentuknya komitmen moral yang
tinggi dari seluruh aparatur daerah dan dukungan stakeholders lainnya.

4. Selain kepemimpinan dan tim yang tangguh, peningkatan pelayanan publik juga dipengaruhi oleh
aspek kejelasan dan kepastian proses pelayanan seperti prosedur (mekanisme), biaya, hasil yang
diperoleh dan waktu.

5. Sumber daya yang ada merupakan daya dukung yang signifikan demi lancarnya pelayanan yang
berkualitas. SDM atau karyawan yang terampil, memiliki wawasan serta sisi kemanusiaan yang kuat
misalnya emphaty adalah faktor utama dari sumber daya yang harus dimiliki terlebih dahulu
Penulis menyadari bahwa materi yang penulis jelaskan masih terdapat banyak kekurangan. Sehingga
untuk mengetahui lebih luas tentang kasus Patologi Birokrasi, pembaca dapat memperoleh dari berbagai
sumber lainnya, seperti buku, referensi, ataupun internet.

DAFTAR PUSTAKA

Pandji Santosa, Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance, Bandung: PT.

Reflika Aditama, 2008

Harbani Pasolong. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Penerbit Alfabeta

Keban, Yeremias T Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu edisi

kedua Gava Media Yogyakarta 2008

Miftah Thoha.2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Penerbit Raja Grafindo. Jakarta.

Sondang P. Siagian, Patologi Birokrasi Analisis Identifikasi dan terapinya, (Jakarta;Ghalia

Indonesia, 1994), hal.35-81, dikutip oleh Safri Nugraha, dkk.


Lampiran :

http://makalahme02.blogspot.com/2013/03/patologi-birokrasi-di-kabupaten.html#_

http://takedaoz.blogspot.com/2011/10/konsep-birokrasi-menurut-max-weber.html

http://itjen-depdagri.go.id/article-24-birokrasi.html Diunduh pada 04 Juni 2013 Pukul 16 : 06

http://bkd.purworejokab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2&Itemi

=3 Diunduh pada 04 Juni 2013 Pukul 16 : 06


http://pipingnoviati.wordpress.com/2011/12/22/patologi-birokrasi-di-indonesia-2/

http://www.adipanca.net/2012/06/mengatasi-patologi-birokrasi.html okjen.kansil@yahoo.com
Ojen Kansil di 18.45

Berbagi

Beranda

Lihat versi web

MENGENAI SAYA

Foto saya

Ojen Kansil

Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Вам также может понравиться