Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Disusun olek
kelompok IV : 1. HERI NUR APRIANSYAH
2. OKTA LIANI
2
B. PEMBAHASAN
3
memasukkan nasakh sebagai penjelasan hukum bukan mengosongkan atau
menghapus nas dari hukum. Ulama fiqh sepakat bahwa nasakh dapat terjadi pada
sunnah contohya hadis tentang ziarah kubur.
Dalam hadis ini pertamanya Nabi melarang ziarah kubur tapi kemudian di
nasakh oleh hadis beliau juga yang menghapus hukum hadis pertama., sehingga
kesimpulannya ziarah kubur itu boleh3. Adapun nasakh dalam ayat Al-Qur’an
terjadi perbedaan pendapat:
1. Abu Muslim Al-Asfihani berpendapat bahwa tidak terdapat nasakh dalam
Al-Qur’an. Ada dua alas an penting yang di kemukakan olehAbu Muslim,
pertama seandainya ada maka terjadi pembatalan hukum dalam Al-Qur’an.
Kedua, hukum dalam Al-Qur’an itu bersifat abadi sampai hari kiamat.
2. Jumhur ulama berpendapat bahwa terdapat nasakh dalam Al-Qur’an.
Pendapat kedua mendasarkan pendapatnya, pertama kepada ayat Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 106:
َ َعل
ى ُك ّل َ َّللا ِ ْ س ْخ ِم ْن آ َي ٍة أ َ ْو نُن ِس َها نَأ
ّ ت ِب َخي ٍْر ّم ْن َها أ َ ْو ِمثْ ِل َها أَلَ ْم ت َ ْعلَ ْم أ َ ّن َ َما نَن
َيءٍ قَدِير
ْ ش
Artinya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu?
Kedua, bahwa realitas sejarah menunjukkan telah terjadi nasakh dalam Al-Qur’an
seperti ayat tentang warisan menasakh ayat tentang wasiat. Imam Syuyuti telah
meneliti lebih kurang 20 ayat Al-Qur’an yang di nasakh hukumnya. Ketiga, ayat
Al-Qur’an suran An-Nahl ayat 101:
َّ َو ِإذَا بَد َّْلنَا آيَةً َم َكانَ آيَ ٍة ۙ َو
ّللاُ أ َ ْعلَ ُم ِب َما يُن ِ َّز ُل قَالُوا ِإنَّ َما أ َ ْنتَ ُم ْفت ٍَر ۚ بَ ْل أ َ ْكث َ ُر ُه ْم ََل
َيَ ْع َل ُمون
Artinya : Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
4
berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui.
Kata tabdil yang dimaksud pada ayat diatas adalah mengganti hukum.
Cara mengetahui nasakh dan mansukh :
1.Keterangan tegas dari nabi atau sahabat
2.Kesepakatan umat tentang menentukan ayat ini nasak dan ayat ini mansukh
3. Mengetahui mana yang dahulu dan kemudian turunya dalam perspektif sejarah.
Adapun manfaat nasakh mansukh adalah agar pengetahuan tentang hukum tidak
menjadi kacau dan kabur
B. Azbab al-nasakh
Sebagai salah satu dari keberagaman hukum Islam adalah terdapatnya
pemberlakuan nasakh suatu nash atau dalil. Umat Islam sejak dari datangnya
Islam itu sendiri sudah banyak mengkonsumsi berbagai landasan syari’at. Namun
dalam perjalanannya Syari’at yang diberlakukan oleh Islam tidak serta merta
mutlak keberadaannya. Islam mampu menyajikan berbagai upaya langkah –
langkah pemberlakuan hukum dari yang sederhana hingga pada tingkatan yang
memang pantas untuk diterima sesuai kadar masyarakat yang ada.4
Oleh karenanya hukum yang diberlakukan dimasa manusia mengalami
sosio-kultur yang berbeda, akan terdapat tahapan untuk menghilangkan hukum
yang sedang berlaku dengan hukum baru dari sang pembuat hukum agar
kehidupan manusia semakin teratur, harmonis dan tentram. Karena tujuan dari
adanya hukum adalah untuk mensejahterakan pola hidup masyarakat dengan
mengakomodir batasan-batasan ruang lingkup yang diatur sedemikian rupa
sehingga masyarakat mampu merasakan sejahteranya hidup dalam naungan
syari’at Islam. Jadi sudah jelas bahwasannya sebab terjadinya nasakh adalah
sebagai alat untuk meralat hukum lama yang diganti dengan hukum baru yang
lebih relevan dalam kemashlahatan umat.
C. Syarat-syarat Nasakh
Diantara syarat-syarat yang disepakati antara lain:
5
a.Yang dibatalkan adalah hukum syara’
b.Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
c.Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan
hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh
setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d.Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.
Adapun persyaratan yang diperselisihkan, antara lain5:
a.Alasan yang dikemukakan oleh Mu’tazilah dan sebagian Hanafiyah yang
menyatakan bahwa hukum yang dinasakh itu pernah dilaksanakan, atau syara’
telah memberi kesempatan untuk melaksanakan hukum tersebut, yang
menunjukkan bahwa hukum itu baik.
b. Golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan hukum
yang dinasakh itu haruslah ditujukan untuk sesuatu yang baik yang diterima akal
pembatalannya. Syarat tersebut tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa baik
dan buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh syara’ bukan oleh akal.
c.Sebagian ulama ushul fiqih mensyaratkan adanya pengganti terhadap hukum
yang dibatalkan. Mereka beralasan dengan firman Allah suratal-baqarah, 2.
d.Sebagian ahli ushul dari golongan Hanafiyah mensyaratkan bahwa apabila akan
menasakh terhadap nash al-qur’an atau hadis yang mutawatir, maka nasikh itu
harus sederajat, tidak boleh yang kualitasnya lebih rendah, seperti menasakh hadis
mutawatir dengan hadis ahad.
D. Klasifikasi Nasakh
1) Nasakh Al Quran dengan Al Quran
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.
َصدَقَةً ذَلِك
َ ي نَجْ َوا ُك ْم
ْ َسو َل فَقَ ِدّ ُموا َبيْنَ َيد َّ َياأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ِإذَا نَا َج ْيت ُ ُم
ُ الر
ورُُ َّر ِحيم َ َط َه ُر فَإِن لَّ ْم ت َِجدُوا فَإ ِ َّن هللا
ُ ُ غف ْ َ َخي ُْرُُ لَّ ُك ْم َوأ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih
5 Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 231
6
bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Mujadilah :12]
ِ ارةِ ْالقُب
ُ ُور فَ ُز
وروهَا َ نَ َه ْيت ُ ُك ْم
َ َع ْن ِزي
Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu
berziarah (kubur). [HR. Muslim]
E. Macam-macam nasakh
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam alquran dibagi menjadi
empat macam, yaitu :
1. Nasikh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat
pada ayat yang terdahulu. Umpamanya ayat tentang perang (qital) pada surat al
anfal ayat 65 yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir :
7
صا ِب َرة يَ ْغ ِلبُوا ِمائَتَي ِْن َو ِإ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم أ َ ْلف يَ ْغ ِلبُوا أ َ ْلفَي ِْن ِبإ ِ ْذ ِن َ أ َ َّن فِي ُك ْم
َ ض ْعفًا فَإ ِ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِمئ َة
66 ،65/) [األنفال66( َصا ِب ِرين َّ ّللاِ َو
َّ ّللاُ َم َع ال َّ
Artinya :
“Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika ada dua
puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua
ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya
mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-
orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al Anfal : 65)
Menurut jumhur Ulama’ ayat ini di naskh oleh ayat 66 Surat Al Anfal :
Artinya :
“Sekarang Allah Telah meringankan kepadamu dan dia Telah mengetahui bahwa
padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar,
niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika
diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang
yang sabar” (QS. Al Anfal : 66)
Ayat diatas mengandung maksud bahwa pengharusan bagi satu orang mukmin
melawan dua orang kafir, dimana sebelumnya pada ayat yang dimansukh
dijelaskan bahwa pengharusan satu orang muslim melawan sepuluh kafir.
2. Nasikh Dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan
tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk masalah yang sama, dan
diketahui waktu turunnya, maka ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang
terdahulu.7
ِ صيَّةُ ِل ْل َوا ِلدَي ِْن َو ْاأل َ ْق َربِينَ بِا ْل َم ْع ُر
وف َحقًّا ِ ض َر أ َ َحدَ ُك ُم ْال َم ْوتُ إِ ْن ت ََركَ َخي ًْرا ْال َو
َ علَ ْي ُك ْم إِذَا َح َ ُِكت
َ ب
180/علَى ْال ُمتَّقِينَ [البقرة َ
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-
7 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh . Jakarta. Prodial Pratama Sejati Press. 2002
8
bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-
orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqoroh : 180)
Ayat ini menurut pendukung teori nasikh dihapus oleh hadis la washiyyah li
warits (tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3. Nasikh Kully, orang yang mensyariatkan itu membatalkan hukum syar’I
sebelumnya. Membatalkan secara keseluruhannya dengan merangkaikan kepada
setiap pribadi mukallaf.
Sebagai contoh ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari yang terdapat dalam
surat Al Baqoroh ayat 234 yang berbunyi sebagai berikut :
ع ْش ًرا فَإِذَا َبلَ ْغنَ أ َ َجلَ ُه َّن
َ َوالَّذِينَ يُت ََوفَّ ْونَ ِم ْن ُك ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًجا يَت ََربَّصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن أ َ ْربَعَةَ أ َ ْش ُه ٍر َو
234/ّللاُ بِ َما ت َ ْع َملُونَ َخبِير [البقرة َّ وف َو ِ علَ ْي ُك ْم فِي َما فَعَ ْلنَ فِي أ َ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْع ُر
َ فَ ََل ُجنَا َح
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat
bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147]
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Albaqoroh :
234)
Ayat diatas menaskh ayat quran yang menyatakan bahwa masa ‘iddah perempuan
yang ditinggal mati suaminya adalah satu tahun.
4. Naskh Juz’i, yaitu mensyariatkan hukum secara umum, meliputi seluruh pribadi
mukallaf, kemudian hukum ini dibatalkan dengan menisbahkan kepada sebagian
ifrad. Atau mensyariatkan hukum itu secara mutlak, kemudian dibatalkan dengan
menisbahkan kepada beberapa hal. Maka nasikh itu tidak membatalkan perbuatan
itu dengan hukum pertama yang dijadikan dasar. Tapi membatalkannya itu
dengan menisbahkannya kepada ifrad atau kepada beberapa hal.8
Contohnya ayat had qadzab dengan ayat li’an karena dalam ayat qadzab
dijelaskan hukum qadzab suami terhadap istrinya sendiri yang termasuk dalam
umum ayat qadzab.
9
Memberikan nama nasakh terhadap bagian nasakh juz’i adalah melihat nashnya.
Karena sebenarnya pada fuqaha mengakui khas yang bersamaan dengan ’am
sebagai takhsis bukan sebagai nasakh, tanpa memperhatikan mana diantaranya
terdahulu dan terkemudian. Golongan Hanafiyah mengakui khas yang turun
kemudian sebagaimana yang menasakhkan terhadap ‘am yang turun terdahulu.
Dalam kasus ini, ayatqadzab dan ayat li’an turun serentak, sehingga menunjukkan
takhsis sebagai gantinya nasakh.9
Contoh yang demikian itu ialah firman tuhan yang berbunyi :
ُ ت ث ُ َّم لَ ْم َيأْتُوا ِبأ َ ْر َب َع ِة
ش َهدَا َء فَاجْ ِلدُو ُه ْم ث َ َمانِينَ َج ْلدَة ً َو ََل ت َ ْق َبلُوا لَ ُه ْم َ َْوالَّذِينَ َي ْر ُمونَ ْال ُمح
ِ صنَا
4/ش َهادَة ً أ َ َبدًا َوأُولَئِكَ ُه ُم ْالفَا ِسقُونَ [النور َ ]
Artinya :”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik(berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”(QS. An
Nuur : 4)
Ayat tersebut menjelaskan hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh wanita
berzina tanpa adanya saksi yang kemudian dinaskh oleh ketentuan li’an yaitu
bersumpah empat kali dengan nama Allah bagi si penuduh pada ayat berikut ini :
ُاَّللِ إِنَّه
َّ ِت ب َ ش َهادَة ُ أ َ َح ِد ِه ْم أ َ ْربَ ُع
ٍ ش َهادَا ُ ُش َهدَا ُء إِ ََّل أ َ ْنف
َ َس ُه ْم ف ُ َوالَّذِينَ يَ ْر ُمونَ أ َ ْز َوا َج ُه ْم َولَ ْم يَ ُك ْن لَ ُه ْم
6/صا ِدقِينَ [النور َّ ]لَ ِمنَ ال
Artinya :”Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka
tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia
adalah termasuk orang-orang yang benar.” (QS. An Nuur : 6)
F. Syarat-syarat Mansukh
Syarat–syarat ini telah diuraikan oleh Wabah Az Zuahily dalam kitabnya Ushul
Fiqh Al Islamy yang dikutip oleh Muhammad Ma’shum Zein :
1) Mansukh tidak dibatasi oleh waktu
10
Contohnya adalah hukum kebolehan makan dan minum dimalam hari saat bulan
Ramadhan. Kebolehan ini hanya dibatasi sampai terbutnya fajar. Jika fajar sudah
terbut maka kebolehan itu hilang dengan sendirinmya. Sebagaimana tersebut
dalam surat al Baqarah ayat 187.
2) Mansukh harus berupa hukum syar’i, sebab yang bisa menghapus mansukh
hanyalah hukum Syar’i.
G. Urgensi dari pada ilmu ini
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-
Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-
Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih.
Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an sendiri menjawab,
pentahapan itu untuk pemantapan, khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini
Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha
Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap)
sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial.
Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap
diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal.10
Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan
bangsa-bangsa dengan sama.
Jika engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini,
engkau pasti akan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-
undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual,
seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur kemudian
menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja,
dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan)
itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu berjalan proses tersebut secara
rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari
terjadinya, mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan proses
pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih tinggi? Apakah
11
seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung
membenahi bangsa Arab yang masih dalam proses permulaan itu, dengan
beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan
dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak
akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal
semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan hukum,
memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih dalam proses
pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh
suatu bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu, manakah yang
lebih baik, apakah syari'at kita yang menurut sunnah Allah ditentukan hukum-
hukumnya sendiri, kemudian di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau
disempurnakan hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia
dengan alasan kemanusiaan? Ataukah syari'at-syari'at agama lain yang diubah
sendiri oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap
sama sekali?
Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha
Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia
mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang
aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
. Hikmah Nasakh
Telah disepakati oleh ulama ushul fiqih, bahwa disayariatkannya berbagai hukum
kepada manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat manusia, baik di
dunia maupun di akhirat, selain tuntutan dari Allah agar hamba-Nya mematuhi
segala perintah-Nya dan menjauhi larangannya.
Berkaitan dengan itu, Syar’i (Allah SWT) senantiasa memperhatikan dan
mempertimbangkan kondisi yang ada dimasyarakat. Terjadinya perubahan hukum
yang diberlakukan kepada manusia tiada lain berdasarkan kondisi yang terjadi dan
supaya kemaslahatan tetap terjamin.11Akan tetapi, tidak berarti bahwa Syar’i tidak
mengetahui kejadian yang akan terjadi, justru disinilah kelebihan Islam, yakni
11 Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 232
12
menetapkan hukum secara berangsur-angsung. Oleh karena itu, persoalan nasakh
itu hanya berlaku pada masa Rasulullah masih hidup, makna setelah Rasulullah
itu wafat, tidak ada lagi nasakh.
Menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, diantara hikmah adanya konsep
nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia,
sekaligus menunjukkan fleksibelitas hukum Islam dan adannya tahapan dalam
penetapan hukum Islam. Bila tahapan berlakunya suatu hukum telah selesai
menurut kehendak Syar’i maka datang tahapan berikutnya, sehingga
kemaslahatan manusia tetap terpelihara.
C. PENUTUP
13
DAFTAR PUSTAKA
14