Вы находитесь на странице: 1из 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Promosi Kesehatan Kerja

Promosi kesehatan pekerja didefnisikan sebagai upaya untuk mengubah

perilaku yang merugikan kesehatan populasi pekerja (ontologi), agar didapat

kesehatan dan kapasitas kerja yang optimal (aksiologi) dengan acara

mengkombinasikan dukungan pendidikan, organisasi kerja, lingkungan dan keluarga

(epistemiologi) (Kurnawidjaja, 2008).

Promosi kesehatan di tempat kerja merupakan komponen kegiatan pelayanan

pemeliharaan/perlindungan kesehatan pekerja dari suatu pelayanan kesehatan kerja.

Promosi kesehatan kerja didefinisikan sebagai proses yang memungkinkan pekerja

untuk meningkatkan kontrol terhadap kesehatannya. Jika dilihat dalam konteks yang

lebih luas, promosi kesehatan di tempat kerja adalah rangkaian kesatuan kegiatan

yang mencakup manajemen dan pencegahan penyakit baik penyakit umum maupun

penyakit yang berhubungan dengan perilaku serta peningkatan kesehatan pekerja

secara optimal (Maulana, 2009).

2.1.1 Program Promosi Kesehatan Pekerja

Ottawa Charter merupakan hasil konferensi yang memberikan perhatian lebih

pada perkembangan paradigma baru dalam kesehatan masyarakat di seluruh dunia.


Berikut ini adalah tahapan dalam penerapan promosi kesehatan yaitu:

1. Build Health Public Policy untuk memastikan bahwa pengembangan kebijakan

dilakukan oleh semua sektor terkait yang berkontribusi terhadap kesinambungan

penerapan promosi kesehatan.

2. Create Supportive Environment (fisik, sosial, ekonomi, budaya, dan spiritual)

yang mendeteksi secara cepat perubahan di masyarakat, khususnya dalam bidang

teknologi dan organisasi di tempat kerja, dan memastikan bahwa terdapat

kontribusi yang positif terhadap kesehatan masyarakat.

3. Strengthen Community Action sehingga komunitas memiliki kapasitas untuk

mengatur prioritas dan membuat keputusan untuk masalah-masalah yang

berhubungan dengan kesehatan mereka.

4. Develop Personal Skills untuk mengajarkan skill dan pengetahuan kepada

masyarakat agar dapat mengatasi perubahan dalam komunitas mereka.

5. Reorient Health Services untuk menciptakan sistem yang berfokus pada

kebutuhan setiap orang dan merangkul partner sejati di antara provider dan user

pelayanan kesehatan (WHO, 1986).

2.2 Penyuluhan

Penyuluhan merupakan upaya perubahan perilaku manusia yang dilakukan

melalui pendekatan edukatif. Pendekatan edukatif diartikan sebagai rangkaian

kegiatan yang dilakukan secara sistematik, terencana, dan terarah dengan peran serta

aktif individu, kelompok, atau masyarakat untuk memecahkan masalah dengan


memperhitungkan faktor sosial, ekonomi, dan budaya setempat. Penyuluhan

kesehatan pada dasarnya adalah suatu proses mendidik individu/masyarakat supaya

mereka dapat memecahkan masalah-masalah kesehatan yang dihadapi. Seperti halnya

proses pendidikan lainnya, pendidikan kesehatan mempunyai unsur masukan-

masukan yang setelah diolah dengan teknik-teknik tertentu akan menghasilkan

keluaran yang sesuai dengan harapan atau tujuan kegiatan tersebut. Tidak dapat

disangkal, pendidikan bukanlah satu-satunya cara mengubah perilaku, tetapi

pendidikan juga mempunyai peranan yang cukup penting dalam perubahan

pengetahuan setiap individu (Sarwono, 2004).

Penyuluhan kesehatan adalah gabungan berbagai kegiatan dan kesempatan

yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan, dimana

individu, keluarga, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan ingin hidup sehat,

tahu bagaimana caranya dan melakukan apa yang bisa dilakukan, secara

perseorangan maupun secara kelompok dengan meminta pertolongan (Effendy,

2003).

Tujuan dari penyuluhan antara lain agar individu/masyarakat mengubah

perilaku menjadi perilaku hidup sehat, hal ini sesuai dengan pendapat Azwar dalam

Fitriani (2011) bahwa penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan yang dilakukan

dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak

saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang

ada hubungan dengan kesehatan.


2.2.1 Metode Penyuluhan

Menurut Notoatmodjo (2012), metode penyuluhan merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi tercapainya suatu hasil penyuluhan secara optimal.

Metode yang dikemukakan antara lain :

1. Metode penyuluhan perorangan (individual)

Dalam penyuluhan kesehatan metode ini digunakan untuk membina perilaku

baru atau seseorang yang telah mulai tertarik pada suatu perubahan perilaku atau

inovasi. Dasar digunakan pendekatan individual ini karena setiap orang mempunyai

masalah atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan penerimaan atau perilaku

baru tersebut. Bentuk dari pendekatan ini antara lain:

a. Bimbingan dan penyuluhan

Dengan cara ini kontak antara klien dengan petugas lebih intensif. Setiap

masalah yang dihadapi oleh klien dapat dikoreksi dan dibantu penyelesaiannya.

Akhirnya klien akan dengan sukarela, berdasarkan kesadaran dan penuh pengertian

akan menerima perilaku tersebut.

b. Wawancara

Cara ini sebenarnya merupakan bagian dari bimbingan dan penyuluhan.

Wawancara antara petugas kesehatan dengan klien untuk menggali informasi

mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, ia tertarik atau belum menerima

perubahan, untuk mempengaruhi apakah perilaku yang sudah atau akan diadopsi itu

mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat, apabila belum maka perlu

penyuluhan yang lebih mendalam lagi.


2. Metode penyuluhan kelompok

Dalam memilih metode penyuluhan kelompok harus mengingat besarnya

kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk kelompok

yang besar, metodenya akan berbeda dengan kelompok kecil. Efektifitas suatu

metode akan tergantung pula pada besarnya sasaran penyuluhan. Metode ini

mencakup :

a. Kelompok besar, yaitu apabila peserta penyuluhan lebih dari 15 orang. Metode

baik untuk kelompok ini adalah ceramah dan seminar.

1) Ceramah

Metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah.

2) Seminar

Metode ini hanya cocok untuk sasaran kelompok besar dengan pendidikan

menengah ke atas. Seminar adalah suatu penyajian dari seseorang ahli atau

beberapa orang ahli tentang suatu topik yang dianggap penting dan dianggap

hangat di masyarakat.

b. Kelompok kecil, yaitu apabila peserta penyuluhan kurang dari 15 orang. Metode

yang cocok untuk kelompok ini adalah diskusi kelompok, curah pendapat, bola

salju, memainkan peranan, permainan simulasi.

3. Metode penyuluhan massa

Dalam metode ini penyampaian informasi ditujukan kepada masyarakat yang

sifatnya massa atau publik. Oleh karena sasaran bersifat umum dalam arti tidak

membedakan golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status ekonomi, tingkat


pendidikan dan sebagainya, maka pesan kesehatan yang akan disampaikan harus

dirancang sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh massa tersebut. Pada

umumnya bentuk pendekatan masa ini tidak langsung, biasanya menggunakan media

massa. Beberapa contoh dari metode ini adalah ceramah umum, pidato melalui media

massa, simulasi, dialog antara pasien dan petugas kesehatan, sinetron, tulisan di

majalah atau koran, bill board yang dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster dan

sebagainya

2.2.2 Media Penyuluhan

Menurut Notoatmodjo (2012), penyuluhan tidak dapat lepas dari media

karena melalui media pesan disampaikan dengan mudah untuk dipahami. Media

dapat menghindari kesalahan persepsi, memperjelas informasi, dan mempermudah

pengertian. Media promosi kesehatan pada hakikatnya adalah alat bantu promosi

kesehatan. Dengan demikian, sasaran dapat mempelajari pesan-pesan kesehatan dan

mampu memutuskan mengadopsi perilaku sesuai dengan pesan yang disampaikan.

Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan kesehatan, media dibagi

menjadi 3 (tiga) (Notoatmodjo, 2012) yakni:

1. Media cetak sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan yaitu:

a. Flip chart (lembar balik) ialah media penyampaian pesan kesehatan dalam bentuk

lembar balik, dimana tiap lembar berisi gambar peragaan dan dibaliknya berisi

informasi yang berkaitan dengan gambar tersebut.

b. Booklet ialah pesan-pesan kesehatan dalam bentuk buku, baik tulisan maupun

gambar.
c. Poster ialah lembaran kertas dengan kata-kata dan gambar atau simbol untuk

menyampaikan pesan/ informasi kesehatan.

d. Leaflet ialah penyampaian informasi kesehatan dalam bentuk kalimat, gambar

ataupun kombinasi melalui lembaran yang dilipat.

e. Flyer (selebaran) seperti leaflet tapi tidak dalam bentuk lipatan.

f. Rubrik atau tulisan pada surat kabar atau majalah mengenai bahasan suatu

masalah kesehatan.

g. Foto yang mengungkapkan informasi-informasi kesehatan

2. Media elektronik sebagai saluran untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan

memiliki jenis yang berbeda, antara lain:

a. Televisi: penyampaian informasi kesehatan dapat dalam bentuk sandiwara, diskusi,

kuis, cerdas cermat seputar masalah kesehatan.

b. Radio: penyampaian pesan-pesan kesehatan dalam bentuk tanya jawab, sandiwara

radio, ceramah tentang kesehatan.

c. Video: penyampaian informasi kesehatan dengan pemutaran video yang

berhubungan dengan kesehatan.

d. Slide dan Film strip

3. Media papan (Bill Board) yang dipasang di tempat umum dapat diisi dengan pesan

kesehatan. Media papan disini juga mencakup pesan kesehatan yang ditulis pada

lembaran seng yang ditempel pada kendaraan-kendaraan umum.


2.2.3 Proses Adopsi dalam Penyuluhan

Berbicara tentang penyuluhan tidak terlepas dari bagaimana agar sasaran

penyuluhan dapat mengerti, memahami, tertarik dan mengikuti apa yang kita

suluhkan dengan baik dan benar atas kesadarannya sendiri berusaha untuk

menerapkan ide-ide baru tersebut dalam kehidupannya. Menurut penelitian Rogers

(1974), indikasi yang dapat dilihat pada diri seseorang pada setiap tahapan adopsi

dalam penyuluhan adalah sebagai berikut :

1. Tahap sadar (awarness), pada tahap ini seseorang sudah mengetahui sesuatu yang

baru karena hasil dari berkomunikasi dengan pihak lain.

2. Tahap minat (interest), pada tahap ini seseorang mulai ingin mengetahui lebih

banyak tentang hal-hal baru yang sudah diketahuinya dengan jalan mencari

keterangan atau informasi yang lebih terperinci.

3. Tahap menilai (evaluation), pada tahap ini seseorang mulai menilai atau

menimbang-nimbang serta menghubungkan dengan keadaan atau kemampuan

diri, misalnya kesanggupan serta resiko yang akan ditanggung, baik dari segi

sosial maupun ekonomis.

4. Tahap mencoba (trial), pada tahap ini seseorang mulai menerapkan atau mencoba

dalam skala kecil sebagai upaya mencoba untuk meyakinkan apakah dapat

dilanjutkan.

5. Tahap penerapan (adoption), pada tahap ini seseorang sudah yakin akan hal baru

dan mulai melaksanakan dalam skala besar (Notoatmodjo, 2012).


2.3 Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan

sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan

pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi terhadap

objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran

(telinga), dan indera penglihatan (mata) (Notoatmodjo, 2012).

Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal.

Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa

dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula

pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang

berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Pengetahuan seseorang

tentang suatu objek mengandung dua aspek, yaitu aspek positif dan negatif. Kedua

aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang semakin banyak aspek positif dan

objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek

tertentu (Dewi dan Wawan, 2010)

Menurut Notoatmodjo (2012) pengetahuan seseorang terhadap objek

mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi

dalam 6 (enam) tingkatan, yaitu :


1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya,

termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah kembali (recall) terhadap suatu

yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah

diterima.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu untuk menjelaskan secara benar tentang objek

yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang

yang telah paham terhadap objek atau materi dan dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan

sebagai aplikasi atau penggunaan buku-buku, rumus, metode, prinsip dan

sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisa (Analysis)

Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan materi atau objek analisa

komponen-komponen tetapi di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih

ada kaitannya satu sama lain.


5. Sintesa (Synthesis)

Sintesa menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru atau

kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau

objek.

2.4 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat lansung dilihat,

tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap

secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus

tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional

terhadap stimulus sosial. Newcomb salah seorang ahli psikososial dikutip

Notoatmodjo (2012), menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau

kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap

belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi

tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan

reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Seperti halnya dengan pengetahuan,

sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :


1. Menerima (Receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (Responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (Valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi

sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (Responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang

telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

2.5 Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan instrumen yang memproteksi

pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat

kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi

oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko

kecelakaan (zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya

pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak

biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka

panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang

(Prasetyo, 2009).

Mangkunegara (2002) menyatakan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja

difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan
kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan manusia

pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur dan

sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan

penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan

penyakit akibat kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja tidak dapat dipisahkan

dengan proses produksi baik jasa maupun industri.

Budiono (2003), Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu ilmu

multidisiplin yang menerapkan upaya pemeliharaan dan peningkatan kondisi

lingkungan kerja, keselamatan dan kesehatan tenaga kerja serta melindungi tenaga

kerja terhadap risiko bahaya dalam melakukan pekerjaannya serta mencegah

terjadinya kerugian akibat kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kebakaran,

peledakan, dam pencemaran lingkungan.

Menurut Mangkunegara (2002) bahwa tujuan dari keselamatan dan kesehatan

kerja adalah sebagai berikut:

1. Agar setiap pegawai/tenaga kerja mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan

kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis.

2. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya, selektif

mungkin.

3. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya

4. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi

pegawai/tenaga kerja.

5. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.


6. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau

kondisi kerja.

7. Agar setiap pegawai/tenaga kerja merasa aman dan terlindungi dalam bekerja.

2.6 Promosi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

A. Pelatihan

Pelatihan ini bertujuan untuk membina sumber daya manusia dengan meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan serta melatih kesiagaan karyawan dalam menghadapi keadaan darurat.
Pelatihan disini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan tenaga kerja dalam melaksanakan
pekerjaannya.

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan


dalam BAB IV mengenai Pelatihan Kerja yang tercantum dalam pasal

1). Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas dan
kesejahteraan.

2). Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan atau meningkatkan dan atau mengembangkan
kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.

3). Pasal 13
a). Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan atau lembaga
pelatihan swasta.
b). Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau di tempat kerja.
c). Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (a) dalam
menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerjasama dengan swasta.
4). Pasal 15

Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :

a). Tersedianya tenaga kepelatihan,


b). Adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan,
c). Tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja,
d). Tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraaan pelatihan kerja.

B. Komunikasi

Komunikasi adalah penyampaian informasi kepada pihak lain, sehingga pihak penerima
mengerti maksud informasi yang disampaikan tersebut. Komunikasi bisa menjadi hambatan
dalam organisasi, oleh karena itu pekerja, penyelia dan seluruh jajaran manajemen harus
menguasai dengan baik teknik komunikasi.

Dalam sebuah organisasi, kesalahan komunikasi merupakan hal yang sering terjadi. Setiap
kesalahan komunikasi dapat mengakibatkan kerugian baik kerugian materi, waktu maupun
kualitas produk atau terjadinya suatu kecelakaan. Maka dari itu komunikasi yang efektif perlu
mendapatkan perhatian, jika pengawasan cukup baik, maka kesalahan komunikasi dapat
diperbaiki. Namun apabila manajer tidak mengawasi pelaksanaannya maka akan terjadi
kesalahan komunikasi yang sampai berakibat terjadi kecelakaan, hal ini dapat menyebabakan
kerugian yang besar.

Komunikasi keselamatan dan kesehatan kerja dapat menggunakan berbagai media baik lisan
maupun tulisan. Yang perlu diperhatikan dalam komunikasi yaitu efektifitas komunikasi,
informasi harus mudah diingat oleh penerima. Disamping untuk menyampaikan perintah dan
pengarahan dalam pelaksanaan pekerjaan, komunikasi keselamatan dan kesehatan kerja
digunakan untuk mendorong perubahan perilaku, sehingga pekerja termotivasi untuk bekerja
dengan selamat (Sahab, 1997).
C. Kampanye Keselamatan dan Kesehatan Kerja

1). Tujuan dari Kampanye Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Di dalam pola kampanye nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja diterangkan tujuan program
kampanye K3 yaitu untuk menanamkan dan meningkatkan kesadaran pengusaha, pekerja,
masyarakat mengenai betapa pentingnya K3 sebagai upaya untuk pencegahan kecelakaan kerja,
sehingga diharapkan mampu bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan ketentuan K3. Dalam
jangka panjang program ini tumbuh dan berkembang membantu menciptakan tenaga kerja,
masyarakat, dan lingkungan kerja yang bebas dari ancaman kecelakaan, kebakaran, peledakan,
penyakit akibat kerja dan pencemaran lingkungan kerja, sehingga terwujud masyarakat yang
sehat, kuat, dan sejahtera lahir dan batin (Silalahi dan Silalahi, 1995).

2). Landasan Hukum Kampanye Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pemerintah telah menunjukkan komitmennya terhadap pentingnya Keselamatan dan Kesehatan


Kerja, terbukti dengan menerbitkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia No. Kep. 268/MEN/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional Tahun 2009. Disebutkan tujuan
dan sasaran kampanye K3 pada tahun 2009 adalah

a). Tujuan
 Meningkatkan kesadaran dan partisipasi semua pihak untuk efektifitas pelaksanaan K3.
 Mendorong terciptanya budaya K3 sebagai kebutuhan individu dan masyarakat.
 Mendorong peningkatan peran perguruan tinggi dan lembaga lainnya dalam peningkatan
kualitas SDM dalam bidang K3.

b). Sasaran
Terciptanya kesadaran dan perilaku masyarakat yang mencerminkan budaya K3 di setiap tempat
kerja dalam mencegah serta menurunkan dan meniadakan terjadinya kecelakaan kerja dalam
menjamin stabilitas usaha guna mendukung iklim investasi yang kondusif.
Kampanye K3 secara nasional dimulai sejak tanggal 12 Januari 1984. Dalam pendahuluan
Petunjuk Pelaksanaan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja tahun 2009 disebutkan bahwa
kampanye tersebut dilaksanakan sebagai upaya untuk pencegahan kecelakaan kerja yang ada
dilingkungan tempat kerja. Kampanye Nasional K3 ditetapkan menjadi Gerakan Efektif
Masyarakat Membudayakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja diharapkan seluruh lapisan
masyarakat, baik masyarakat umum maupun industri, para cendikiawan, organisasi profesi,
asosiasi dan lain-lain dapat termotivasi untuk berperan aktif dalam peningkatan pemasyarakatan
K3 sehingga tercipta pelaksanaan K3 secara mandiri dan menjadi budaya kerja yang aman,
nyaman, sehat sehingga tercapai nihil kecelakaan dan penyakit akibat kerja guna terwujudnya
peningkatan produksi dan produktivitas nasional (Depnakertrans RI, 2009).

D. Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara
belajar.

Budaya kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang
menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan
tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang
terwujud sebagai kerja (Sumber Drs. Gering Supriyadi, MM dan Drs. Tri Guno, LLM).

Tujuan dari Budaya kerja adalah untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar
dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa yang
akan datang.

E. Pencegahan Kecelakaan Kerja

encegahan kecelakaan adalah merupakan program terpadu koordinasi dari berbagai aktivitas,
pengawasan yang terarah yang didasarkan atas “sikap, pengetahuan dan kemampuan”.
Undang-undang keselamatan kerja telah memberikan tanggung jawab kepada manajemen untuk
melaksanakan pencegahan kecelakaan (termasuk kebakaran dan peledakan) dan penyakit akibat
kerja. Agar dapat melaksanakan kewajiban ini dengan baik, maka pihak manajemen harus
menetapkan Kebijakan Pimpinan Perusahaan yang mencakup upaya pencegahan kecelakaan,
peledakan, kebakaran penyakit akibat kerja. Pada prinsipnya kebijakan pimpinan tersebut harus
bersifat formal, diatas kepala surat perusahaan. Isi yang penting adalah pernyataan pimpinan
bahwa perusahaan memandang pekerjaan sebagai aset utama perusahaan, oleh karena itu setiap
pekerja harus dilakukan dengan memperhatikan keselamatan dan kesehatan pekerja. Selanjutnya
dicantumkan bahwa pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja merupakan kewajiban setiap
orang mulai pimpinan tertinggi sampai kepada pelaksana/operator.

Perusahaan harus merencanakan manajemen dan pengendalian kegiatan-kegiatan, produk barang


dan jasa yang dapat menimbulkan resiko kecelakaan kerja yang tinggi. Hal ini dapat dicapai
dengan mendokumentasikan dan menerapkan kebijakan standar bagi tempat kerja, perancangan
pabrik dan bahan, prosedur dan intruksi kerja untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan
produk barang dan jasa.

F. Pendidikan dan pelatihan


Pendidikan dan pelatihan ditujukan untuk meningkatkan kualitas pengetahuan dan ketrampilan
tenaga kerja di bidang K3.Pembangunan kesadaran dan motivasi yang meliputi sistem bonus,
insentif, penghargaan dan motivasi diri.Evaluasi melalui internal audit, penyelidikan insiden dan
etiologi.

1). Internal audit : dengan mengidentifikasi setiap kejadian-kejadian hampir celaka di dalam
perusahaan untuk selanjutnya diambil tindakan koreksi agar prosedur-prosedur yang ditetapkan
secara terprogram dapat lebih efektif.

2). Penyelidikan insiden : mengidentifikasi setiap kejadian hampir celaka di dalam perusahaan.

3). Etiologi : mencari sumber (asal usul) terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK).

G. Penegakan hukum
Yaitu dengan membuat aturan-aturan dan norma-norma kerja seperti lebih mempertegas tentang
pemberian sanksi kepada pekerja yang melanggar peraturan perusahaan (Depnakertrans
RI,2004).

Pengendalian resiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dalam proses rekayasa harus
dimulai sejak tahap perancangan meliputi pengembangan, verifikasi tinjauan ulang, validasi dan
penyesuaian harus dikaitkan dengan identifikasi sumber bahaya, prosedur penilaian dan
pengendalian resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Personil yang memiliki kompetensi
kerja harus ditentukan dan diberi wewenang dan tanggung jawab yang jelas untuk melakukan
verifikasi persyaratan sistem manajemen K3.

Selain itu dapat juga dilakukan dengan pengendalian administratif yaitu prosedur dan instruksi
kerja yang terdokumentasi pada saat dibuat harus mempertimbangkan aspek keselamatan dan
kesehatan kerja pada setiap tahapan. Rancangan dan tinjauan ulang prosedur hanya dapat dibuat
oleh personil yang memiliki kompetensi kerja dengan melibatkan para pelaksana. Personil harus
dilatih agar memiliki kompetensi kerja dalam menggunakan prosedur. Prosedur harus ditinjau
ulang secara berkala terutama jika terjadi perubahan peralatan, proses atau bahan baku yang
digunakan (Sahab, 1997).

2.6 Bahaya Pekerjaan

The International Labour Organizational (1986), mendefinisikan bahaya

kerja (work hazard) adalah suatu sumber potensi kerugian atau suatu situasi yang

berhubungan dengan pekerja, pekerjaan dan lingkungan kerja yang berpotensi

menyebabkan kerugian/gangguan.

Bahaya pekerjaan adalah faktor-faktor dalam hubungan pekerjaan yang dapat

mendatangkan kecelakaan. Bahaya tersebut disebut potensial, jika faktor-faktor

tersebut belum mendatangkan kecelakaan. Jika kecelakaan telah terjadi, maka bahaya

tersebut sebagai bahaya nyata. Pencegahan kecelakaan berdasarkan pengetahuan

tentang sebab-sebab kecelakaan. Sebab-sebab kecelakaan disuatu perusahaan


diketahui dengan mengadakan analisa kecelakaan. Maka dari itu sebab-sebab dan

cara analisa harus betul-betul diketahui.

Tempat kerja merupakan salah satu tempat yang memiliki bahaya kerja yang

dapat menimbulkan dampak bagi kesehatan dan keselamatan pekerja. Kesehatan

pekerja berfokus pada dua penyebab:pertama, kesehatan kaitannya dengan pejanan

bahaya fisik, dan kedua, kesehatan kerja yang disebabkan bahaya psikososial.

Terpapar stresor bahaya psikososial di tempat kerja terkait dengan sejumlah masalah

kesehatan, termasuk gangguan perilaku dan penyakit lainnya.


Bahaya kerja diklasifikasikan dalam lima kategori, antara lain biologis,

penyakit menular, kimia, lingkungan, dan bahaya psikososial. Bahaya biologis dan

bahaya infeksi: agen infeksi dan biologis, seperti virus, jamur dan parasit,yang dapat

ditularkan melalui kontak dengan pasien terinfeksi atau cairan tubuh kontaminasi.

Penyakit menular yang menjadi perhatian besar saat ini, HIV, rubella (campak),

rubella (campak jerman), herperviruses (herpes simplek), varicella (cacar air/ herpes

zoster), dan cytomegalovirus (CMV), dan Mycobacterium tuberculosis (TBC).

Bahaya kimia : berbagai bentuk bahan kimia yang beracun atau berpotensi

mengganggu system tubuh, termasuk obat-obatan, solutions dan gas. Bahaya

lingkungan dan bahaya mesin : faktor-faktor yang dihadapi dalam lingkungan kerja

yang mengakibatkan atau mungkin terjadi kecelakaan, luka, strain, atau

ketidaknyamanan (peralatan kurang atau mengangkat perangkat, lantai licin). Bahaya

fisik : bahaya dalam lingkungan kerja seperti radiasi, listrik, suhu dan kebisingan

dapat menyebabkan trauma. Bahaya psikososial: masalah antar pekerja, stress (Iftadi,

2010)

Menurut Syukri sahab (1997) dalam Suryani (2012), umumnya sumber

bahaya yang ada di tempat kerja atau didalam proses produksi berasal dari:

1. Manusia

Pada suatu tempat kerja, hanya sejumlah kecil tenaga kerja mengalami

persentase kecelakaan yang tinggi. Tenaga kerja tersebut dipandang cenderung

menderita kecelakaan. Statistik kecelakaan menunjukkan bahwa 10-25% tenaga kerja

terlibat dalam 55-85% dari seluruh kecelakaan.


2. Mesin dan peralatan

Mesin dan peralatan sering juga menimbulkan potensi bahaya maka seluruh

peralatan harus didesain, dipelihara dan digunakan dengan baik. Pengendalian potensi

bahaya dapat dipengaruhi oleh bentuk peralatan, ukuran, berat ringannya peralatan,

kenyamanan operator dan kekuatan yang diperlukan untuk menggunakan atau

mengoperasikan peralatan kerja dan mesin – mesin.

3. Metode Kerja atau Cara Kerja

Cara kerja yang salah dapat membahayakan pekerja itu sendiri maupun orang

lain disekitarnya. Cara kerja yang demikian antara lain:

a. Cara mengangkat dan mengangkut

b. Cara kerja yang mengakibatkan kecelakaan dan cedera terutama yang sering

terjadi adalah pada tulang punggung.

c. Memakai Alat Pelindung Diri yang tidak semestinya dan cara pemakaiannya

salah.

d. Lingkungan Kerja, Bahaya dari Lingkungan kerja dapat digolongkan atas berbagai

jenis bahaya yang dapat mengaberbagai gangguan kesehatan dan penyakit akibat

kerja. Bahaya tersebut antara lain berdasarkan:

1) Faktor Lingkungan Fisik

Bahaya yang bersifat fisik seperti suhu yang panas, terlalu dingin, terpapar

bising, kurang penerangan, getaran yang berlebihan, dan adanya paparan radiasi.
2) Faktor Lingkungan Kimia

Bahaya yang bersifat kimia berasal dari bahan – bahan yang digunakan

maupun bahan yang dihasilkan selama proses produksi. Bahan ini terpapar di

lingkungan kerja karena cara kerja yang salah, kerusakan atau kebocoran dari

peralatan atau instalasi yang digunakan dalam proses.

3) Faktor Lingkungan Biologi

Bahaya biologi disebabkan oleh jasad renik, gangguan dari serangga maupun

dari binatang lainnya yang ada di tempat kerja.

4) Faktor Ergonomi

Gangguan yang disebabkan oleh beban kerja yang terlalu berat, peralatan

yang digunakan tidak serasi dengan tenaga kerja atau tidak sesuai dengan

anthropometri tubuh tenaga kerja.

5) Faktor Psikologi

Gangguan jiwa yang dapat terjadi karena keadaan lingkungan sosial tempat

kerja yang tidak sesuai dan menimbulkan ketegangan jiwa pada karyawan, seperti

berhubungan dengan atasan dan bawahan yang tidak harmonis

2.6.1 Identifikasi Bahaya

Identifikasi risiko merupakan suatu proses yang secara sistematis dan terus

menerus dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan timbulnya risiko atau

kerugian terhadap kekayaan, hutang, dan personil perusahaan. Proses identifikasi

risiko ini mungkin adalah proses yang terpenting, karena dari proses inilah, semua
risiko yang ada atau yang mungkin terjadi pada suatu proyek, harus diidentifikasi

(Darmawi, 2008).

Identifikasi bahaya merupakan langkah penting dalam proses pengendalian

risiko karena hanya setelah bahaya diketahui maka dapat dirumuskan cara

mengatasinya. Identifikasi bahaya harus dimulai sejak suatu proyek dimulai yaitu

pada tahap desain atau konsep dan dilanjutkan dalam bentuk yang berbeda sepanjang

siklus kegiatan. Khusus untuk industri proses, identifikasi bahaya yang diterapkan

terhadap suatu rancangan operasi adalah sangat penting karena :

1. Merupakan alat pemeriksa bahwa pengetahuan bidang pengendalian

bahaya/risiko telah diterapkan dengan baik.

2. Laporan hasilnya akan memberikan landasan dalam pengembangan prosedur

operasi yang akan dipergunakan dalam kegiatan sehari-hari.

Masih menurut Darmawi (2008) proses identifikasi harus dilakukan secara

cermat dan komprehensif, sehingga tidak ada risiko yang terlewatkan atau tidak

teridentifikasi. Dalam pelaksanaannya, identifikasi risiko dapat dilakukan dengan

beberapa teknik, antara lain:

1. Brainstorming

2. Questionnaire

3. Industry benchmarking

4. Scenario analysis

5. Risk assessment workshop

6. Incident investigation
7. Auditing

8. Inspection

9. Checklist

10. HAZOP (Hazard and Operability Studies)

Hanafi (2006) setelah risiko–risiko yang mungkin terjadi diidentifikasi dan

dianalisa, perusahaan akan mulai memformulasikan strategi penanganan risiko yang

tepat. Strategi ini didasarkan kepada sifat dan dampak potensial/ konsekuensi dari

risiko itu sendiri. Adapun tujuan dari strategi ini adalah untuk memindahkan dampak

potensial risiko sebanyak mungkin dan meningkatkan kontrol terhadap risiko. Ada

lima strategi alternatif untuk menangani risiko, yaitu:

1. Menghindari risiko

2. Mencegah risiko dan mengurangi kerugian

3. Meretensi risiko

4. Mentransfer risiko

5. Asuransi

Вам также может понравиться