Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
A. ATRESIA ANI
1. Definisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum.
Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL
(Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).
2. Embriologi
1
analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nasi usus belakang,
yaitu arteri mesentrika inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah kanalis analis
berasal dari ektoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat
tepat di bawah kolumna analis. Pada garis ini, epitel berubah dari epitel torak
menjadi epitel berlapis gepeng (Sadler T.W, 1997).
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan
hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah,
esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas.
Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon
asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut
hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan
ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat
disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum
urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan
anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan
proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani
perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus
dapat tidak ada atau rudimenter (Faradilla, 2009).
3. Epidemiologi
5. Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya
fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum,
maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses
mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini
biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada
perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum
(rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau
ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah
fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).
6. Klasifikasi
Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel
urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara >
1 cm dari kulit. Golongan II pada laki – laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel
perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram:
udara < 1 cm dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6
kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum,
fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada
perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel
tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit (Hamami A.H, 2004).
7. Manifestasi Klinis
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam.
Gejala itu dapat berupa :
1. Perut kembung.
2. Muntah.
1. Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan
yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus
arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.
8. Diagnosa
c. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan
kelainan adalah letak rendah (Faradilla, 2009).
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti
atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti
(PSARP) tanpa kolostomi
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi
terlebih dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif.
Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila
akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum
> 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis,
rektouretralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa
kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi
terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran
< 1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran >
1 cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani
letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu
lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal
pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps
mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 yang dikutip
oleh Faradillah memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero
sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter
eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong
rektum dan pemotongan fistel (Faradilla, 2009).
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik
serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus
ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan
berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG.
Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena
kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang
serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi
penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum
dan ada tidaknya fistula (Faradilla, 2009).
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena
dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. (Faradilla, 2009).
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan
intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi.
Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak
dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baikminimal, limited atau full
postero sagital anorektoplasti (Faradilla, 2009).
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya
ditemukan vital ke vetibulum atau vagina (80-90%). Golongan I Pada fistel
vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak
lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara
fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita
hanya minum susu.
Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat.
Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila
terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus
genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga
perlu cepat dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus tampak normal
tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm.
Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit
perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Lubang fistel perineum
biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda
timah anus yang buntu ada di posteriornya. Kelainan ini umumnya
menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat
yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga
biasanya harus segera dilakukan terapi definitif. Bila tidak ada fistel dan pada
invertogram udara < 1 cm dari kulit. Dapat segera dilakukan pembedahan
definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan
kolostomi (Hamami A.H, 2004).
Hal yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk
perineum dan tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi pada
anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel
perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari
orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika
urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter
urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena
fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka
fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan
kolostomi segera.
Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat
kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram,
maka perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Fistel perineum sama
dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada
membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila
evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin.
Pada stenosis anus, sama dengan wanita, tindakan definitive harus dilakukan.
Bila tidak ada fistel dan udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga
segera dilakukan pertolongan bedah (Hamami A.H, 2004).
10. Prognosis
Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai
pengendalian defekasi, pencemaran pakaian dalam. Sensibilitas rektum dan
kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur (Hamami A.H, 2004).
Fungsi kontineia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau
ensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan
mental penderita (Hamami A.H, 2004).
Hasil operasi atresia ani meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya
metode PSARP (Levitt M, 2007).
B. IKTERUS
1. Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin.
Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum
>5mg/dL (Cloherty, 2004). Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum
bilirubin >2mg/dL. Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewarnaan
kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran
kadar bilirubin serum total.
2. Klasifikasi
3. Etiologi
Produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel darah
merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh:
a) Kelainan sel darah merah
b) Infeksi seperti malaria, sepsis
c) Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat – obatan, maupun yang berasal
dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfuse dan eritroblastosis
fetalis.
2) Ikterus Pascahepatik
4. Patofisiologi
6. Diagnosis
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
10. Biasanya karena infeksi (sepsis)
11. Dehidrasi asidosis
12. Defisiensi enzim G6PD
13. Pengaruh obat
14. Sindrom Crigler-Najjar
15. Sindrom Gilbert
d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
16. Biasanya karena obstruksi
17. Hipotiroidisme
18. “Breast milk jaundice”
19. Infeksi
20. Neonatal hepatitis
7. Penatalaksanaan
1) Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat,
aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan
terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat,
dapat dilakukan beberapa cara berikut:
2) Monitoring
Monitoring yang dilakukan antara lain:
1. Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit
tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin
serum selama bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah
dihentikan.
2. Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan
baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan
di RS.
8. Komplikasi
2) Bentuk kronis :
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic
neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus,
tremor), gangguan pendengaran.
9. Pencegahan
1) Pencegahan Primer
- Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/
hari untuk beberapa hari pertama.
- Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada
bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
2) Pencegahan Sekunder
- Wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta
penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
- Memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap
timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus
yang harus dinilai saat memeriksa tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak
kurang dari setiap 8 – 12 jam.
C. MALARIA
1. Definisi
Malaria didefinisikan suatu penyakit infeksi dengan demam berkala yang
disebabkan oleh parasit plasmodium (termasuk protozoa) dan ditularkan oleh
nyamuk anopheles betina (Akhsin, 2010 dalam Harahap, 2012).
2. Epidemiologi
1. Faktor Host
Secara alami, penduduk disuatu daerah endemis malaria yang mudah dan
ada yang sukar terinfeksi malaria, meskipun gejala klinisnya ringan.
Perpindahan penduduk dari dan ke daerah endemis malaria hingga kini
masih menimbulkan masalah. Sejak dahulu telah diketahui bahwa wabah
penyakit ini sering terjadi didaerah pemukiman baru, seperti di daerah
perkebunan dan transmigrasi. Hal ini terjadi karena para pekerja yang
datang dari daerah lain belum mempunyai kekebalan sehingga rentan
terinfeksi (Prabowo, 2008 dalam Natalia, 2010).
Kerentanan manusia terhadap penyakit malaria berbeda-beda. Ada
manusia yang rentan, yang dapat tertular oleh penyakit malaria, tetapi ada
pula yang lebih kebal dan tidak mudah tertular oleh penyakit malaria.
4. Siklus Malaria
Plasmodium akan mengalami dua siklus. Siklus aseksual (skizogoni) terjadi
pada tubuh manusia, sedangkan siklus seksual (sporogoni) terjadi pada nyamuk.
Siklus seksual dimulai dengan bersatunya gamet jantan dan betina untuk
membentuk ookinet dalam perut nyamuk. Ookinet akan menembus dinding
lambung untuk membentuk kista di selaput luar lambung nyamuk. Waktu yang
diperlukan sampai pada proses ini adalah 8-35 hari, tergantung dari situasi
lingkungan dan jenis parasit. Pada tempat inilah kista akan membentuk ribuan
sporozoit yang terlepas dan kemudian tersebar ke seluruh organ nyamuk termasuk
kelenjar ludah nyamuk. Pada kelenjar inilah sporozoit menjadi matang dan siap
ditularkan bila nyamuk menggigit manusia (Widoyono, 2005).
Menurut Garcia dkk (1996), apabila nyamuk yang terinfeksi plasmodium dari
penderita menggigit manusia yang sehat maka sporozoit yang terdapat dalam
kelenjar ludah nyamuk dimasukkan melalui luka tusuk. Dalam satu jam bentuk
efektif ini terbawa oleh darah menuju hati kemudian masuk ke sel parenkim hati
dan mulai perkembangan siklus preeritrosit atau ekso-eritrositik primer. Sporozoit
akan menjadi bulat atau lonjong dan mulai membelah dengan cepat. Hasil skizogoni
tersebut adalah merozoit eksoeritrosit dalam jumlah besar.
Manusia yang tergigit nyamuk infektif akan mengalami gejala sesuai dengan
jumlah sporozoit, kualitas plasmodium, dan daya tahan tubuhnya. Sporozoit akan
memulai stadium eksoeritrositer dengan masuk ke sel hati. Di hati sporozoit matang
menjadi skizon yang akan pecah dan melepaskan merozoit jaringan. Merozoit akan
memasuki darah dan menginfeksi eritrosit untuk memulai siklus eritrositer.
Merozoit dalam eritrosit akan mengalami perubahan morfologi yaitu : merozoit
menjadi bentuk cincin selanjutnya trofozoit dan terakhir menjadi merozoit. Proses
perubahan ini memerlukan waktu 2-3 hari. Di antara merozoit-merozoit tersebut
akan ada yang berkembang membentuk gametosit untuk kembali memulai siklus
seksual menjadi mikrogamet (jantan) dan makrogamet (betina). Eritrosit yang
terinfeksi biasanya pecah yang bermanifestasi pada gejala klinis (Widoyono, 2005).
Pecahnya sel darah merah yang terinfeksi plasmodium ini menyebabkan
timbulnya gejala demam disertai mengigil dan menyebabkan anemia (Depkes, 2001
dalam Moonti, 2012). Jika ada nyamuk yang menggigit manusia yang terinfeksi ini,
maka gametosit yang ada pada darah manusia akan terhisap oleh nyamuk. Dengan
demikian, siklus seksual pada nyamuk dimulai, demikian seterusnya penularan
malaria (Widoyono, 2005).
a. Pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masyarakat harus selalu
ditingkatkan melalui penyuluhan kesehatan, pendidikan kesehatan, diskusi
kelompok maupun melalui kampanye masal untuk mengurangi tempat
sarang nyamuk (pemberantasan sarang nyamuk, PSN). Kegiatan ini
meliputi menghilangkan genangan air kotor, diantaranya dengan
mengalirkan air atau menimbun atau mengeringkan barang atau wadah
yang memungkinkan sebagai tempat air tergenang (Widoyono, 2005).
Materi utama edukasi adalah mengajarkan tentang cara penularan malaria,
risiko terkena malaria, dan yang terpenting pengenalan gejala dan tanda
malaria, pengobatan malaria, pengetahuan tentang upaya menghilangkan
tempat perindukan (Tapan, 2004).
b. Menemukan dan mengobati penderita sedini mungkin akan sangat
membantu mencegah penularan (Widoyono, 2005). Usaha pengobatan
pencegahan secara berkala, terutama di daerah-daerah endemis malaria
dengan obat dari puskesmas, dari toko-toko obat seperti kina, chlorokuin
dan sebagainya. Dengan obat-obat tradisionil seperti air dari daun johar,
daun kates dan meniran atau obat pahit yang lain (Werner, dkk, 2010).
c. Melakukan penyemprotan melalui kajian mendalam tentang bionomik
anopheles seperti waktu kebiasaan menggigit , jarak terbang, dan resistensi
terhadap insektisida (Widoyono, 2005).
2. Berbasis pribadi
a. Pencegahan gigitan nyamuk, antara lain (1) tidak keluar rumah antara senja
dan malam hari, bila terpaksa keluar, sebaiknya menggunakan kemeja dan
celana panjang berwarna terang karena nyamuk lebih menyukai warna
gelap (Widoyono, 2005). Tindakan menghindari gigitan nyamuk sangat
penting, terutama di daerah dimana angka penderita malaria sangat tinggi.
Penduduk yang tinggal di daerah pedesaan atau pinggiran kota yang
banyak sawah, rawa-rawa, tambak ikan (tempat ideal untuk perindukan
nyamuk malaria), disarankan untuk memakai baju lengan panjang dan
celana panjang saat keluar rumah, terutama pada malam hari. Nyamuk
malaria biasanya mengigit pada malam hari (Prabowo, 2008 dalam
Natalia, 2010). (2) menggunakan repelan yang mengandung dimetiltalat
atau zat antinyamuk lainnya, (3) membuat kontruksi rumah yang tahan
nyamuk dengan memasang kasa antinyamuk pada ventilasi pintu dan
jendela (Widoyono,
2005). Mereka yang tinggal di daerah endemis, sebaiknya memasang kawat
kasa di jendela dan ventilasi rumah serta menggunakan kelambu saat tidur
(Prabowo, 2008 dalam Natalia, 2010). (4) menggunakan kelambu yang
mengandung insektisida (insecticide-treated mosquito net, ITN)
(Widoyono, 2005). Upaya penggunaan kelambu juga merupakan salah
satu cara untuk menghindari gigitan nyamuk. Kelambu merupakan alat
yang telah digunakan sejak dahulu (Yatim, 2007 dalam Natalia 2010). (5)
menyemprot kamar dengan obat nyamuk atau menggunakan obat anti
nyamuk bakar (Widoyono, 2005). Penyemprotan dengan menggunakan
semprotan pembasmi serangga di dalam dan di luar rumah dan serta
mengoleskan obat anti nyamuk dikulit (Zulkoni, 2010 dalam
Harahap,2012), serta penyemprotan dengan insektisida sebaiknya
dilaksanakan dua kali dalam setahun dengan interval waktu enam bulan di
daerah endemis malaria (Soedarto, 2008 dalam
Harahap 2012).
1. Definisi
2. Insiden
Dermatitis seboroik memiliki dua puncak usia, yang pertama pada bayi
dalam 3 bulan pertama kehidupan dan yang kedua sekitar dekade keempat sampai
ketujuh kehidupan. Tidak ada data yang tepat tersedia kejadian dermatitis seboroik
pada bayi, tetapi gangguan ini umum.Penyakit pada orang dewasa diyakini lebih
umum daripada psoriasis.Penyakit inimempengaruhi setidaknya 3-5% dari
populasi di
Amerika Serikat. Pria lebih sering terkena daripada wanita pada semua kelompok
umur.Dermatitis seboroik ditemukan pada 85% pasien dengan infeksi
HIV.Dermatitis seboroik banyak terjadi pada pasien yang menderita penyakit
parkinson karena produksi sebumnya meningkat (Fitzpatrick, 2010).
3. Manifestasi Klinik
3. Kerentanan Individu
Kerentanan atau sensitivitas individu berhubungan dengan respon pejamu
abnormal dan tidak berhubungan dengan
Malassezia.Kerentanan pada pasien dermatitis seboroik disebabkan berbedanya
kemampuan sawar kulit untuk mrncegah asamlemak untuk penetrasi.Asam oleat
yang merupakan komponen utama dari asam lemak sebum manusia dapat
menstimulasi deskuamasi mirip dandruff. Penetrasi bahan dari
sekresikelenjarsebaseus pada stratum korneum akan menurunkan fungsi dari sawar
kulit, dan akan menyebabkan inflamasi serta squama pada kulit kepala. Hasil
metabolit ini dapat menembus stratum korneum karena berat molekulnya yang
cukup rendah(<1-2kDa) dan larut dalam lemak (Gemmer, 2005).
5.Obat - Obatan
6. Kelainan Neurotransmitter
Telah diperkirakan bahwa aliran darah kulit dan suhu kulit mungkin
bertanggung jawab untuk distribusi dermatitis seboroik.Variasi musiman suhu dan
kelembaban yang berhubungan dengan perjalanan penyakit.Temperatur rendah
pada musim dingin,kelembaban rendah pada ruangan yang diberi penghangat
diketahui memperburuk kondisi dermatitis seboroik.
9. Gangguan Gizi
10. Terapi
2. Dewasa
a. Kulit Kepala
Daftar Pustaka :
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://digilib.unil
a.ac.id/2425/10/BAB%2520II.pdf&ved=2ahUKEwijqMbh_JXhAhWv73MB
HebqAakQFjABegQIARAB&usg=AOvVaw0nMCnjIuQHaxs6ThVOpLer,
Diakses pada tanggal 20 Maret 2019 pukul 19.00
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.
usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/41341/Chapter%2520II.pdf%3Fsequen
ce%3D4%26isAllowed%3Dy&ved=2ahUKEwi2u_X0_JXhAhXH63MBHYo
7BT0QFjABegQIARAB&usg=AOvVaw1PzkVPAngPGz3R7MAD6_KI ,
Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 21.30
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.
ump.ac.id/2121/5/Tita%2520Meti%2520Masitoh%2520BAB%2520II.pdf&v
ed=2ahUKEwjVqduJ_ZXhAhXq6XMBHQbuDIEQFjAAegQIBBAB&usg=
AOvVaw0nNxQ0YcnpBcRHVpEDxF-h, Diakses pada tanggal 19 Maret 2019
pukul 12.00
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.
umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/11179/6.BAB%2520II.pdf%3Fsequen
ce%3D6%26isAllowed%3Dy&ved=2ahUKEwjMjOKU_ZXhAhUK7XMBH
WObCrUQFjAAegQIBhAB&usg=AOvVaw0KWrR1d5VpjM4tPEpvcO2D,
Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 21.30
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.acad
emia.edu/28501210/BAB_2_TINJAUAN_PUSTAKA_Atresia_Ani_2.1_Defi
nisi&ved=2ahUKEwir3LOh_ZXhAhXJ8HMBHU1JDEAQFjAAegQIAxAB
&usg=AOvVaw1K2jWn_SOG805ZlIUojZ7n, Diakses pada tanggal 20 Maret
2019 pukul 20.30