Вы находитесь на странице: 1из 38

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. ATRESIA ANI

1. Definisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum.
Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL
(Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).

2. Embriologi

Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon


desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani.emdodern usus belakang ini
juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra). Bagian akhir usus
belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang dilapisi endoderm yang
berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah pertemuan antara
endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka (Sadler T.W, 1997).
Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu septum
urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang.Sekat ini tumbuh kearah
kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus uroginetalis
primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur
7 minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di daeraah ini
terbentuklah korpus parienalis. Membran kloakalis kemudian terbagi menjadi
membran analis di belakang, dan membran urogenitalis di depan (Sadler T.W,
1997).
Sementara itu, membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol mesenkim,
yang dikenal sebagai celah anus atau proktodeum. Pada minggu ke-9, membran
analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum dan dunia luar. Bagian atas kanalis

1
analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nasi usus belakang,
yaitu arteri mesentrika inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah kanalis analis
berasal dari ektoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat
tepat di bawah kolumna analis. Pada garis ini, epitel berubah dari epitel torak
menjadi epitel berlapis gepeng (Sadler T.W, 1997).
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan
hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah,
esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas.
Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon
asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut
hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan
ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat
disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum
urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan
anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan
proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani
perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus
dapat tidak ada atau rudimenter (Faradilla, 2009).

3. Epidemiologi

Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1


dalam 5000 kelahiran ( Grosfeld J, 2006). Secara umum, atresia ani lebih banyak
ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan
kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula
perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak
ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal
(Oldham K, 2005).
Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan bahwa
atresia ani letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan atresia letak tinggi (
Boocock G, 1987).
4. Etiologi

Atresia ani dapat disebabkan karena :

a. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga


bayi lahir tanpa lubang dubur.
b. Gangguan organogenesis dalam kandungan.
c. Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah
komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi
meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1
dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000
kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan
pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan
bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia
ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).

5. Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya
fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum,
maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses
mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini
biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada
perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum
(rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau
ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah
fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).
6. Klasifikasi

Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani


dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.

Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel
urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara >
1 cm dari kulit. Golongan II pada laki – laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel
perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram:
udara < 1 cm dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6
kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum,
fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada
perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel
tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit (Hamami A.H, 2004).

7. Manifestasi Klinis

Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam.
Gejala itu dapat berupa :

1. Perut kembung.

2. Muntah.

3. Tidak bisa buang air besar.

4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat


dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan (FK UII, 2009).
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana
rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi tidak
dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari
rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama
sekali tidak ada (Departement of Surgery University of Michigan, 2009).
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih
abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%.
Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih
sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi
beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler
(Grosfeld J, 2006).

Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi


anorektal adalah:

1. Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan
yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus
arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.

Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),


obstruksi duodenum (1%-2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.

Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan


lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan
hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah
myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius.

Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada


atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital
dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani
letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun
muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal,
Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae,
Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality)
( Oldham K, 2005).

8. Diagnosa

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.

Pada anamnesis dapat ditemukan :

a. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.

b. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.

c. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan
kelainan adalah letak rendah (Faradilla, 2009).

Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan


cara:

1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :

a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti
atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti
(PSARP) tanpa kolostomi

b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi
terlebih dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif.
Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila
akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum
> 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis,
rektouretralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.

Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa
kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi
terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran
< 1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran >
1 cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.

Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium


didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan
adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah
letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah
lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki
dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position
(sujud) dengan bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila
terdapat fistula lakukan fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan
gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada
pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan
dengan memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M, 2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan
fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan
selama beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar
melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian
distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang
menjaga rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup
tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu,
harus ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi
untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M,
2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum,
ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan
bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini
berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy
(Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani
letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin
tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat
keluarnya mekonium) (Levitt M, 2007).

9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani
letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu
lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal
pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps
mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 yang dikutip
oleh Faradillah memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero
sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter
eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong
rektum dan pemotongan fistel (Faradilla, 2009).
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik
serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus
ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan
berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG.
Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena
kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang
serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi
penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum
dan ada tidaknya fistula (Faradilla, 2009).

Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada :


a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau
TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif
(PSARP).
b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot
sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.

d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena
dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. (Faradilla, 2009).

Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan
intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi.
Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak
dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baikminimal, limited atau full
postero sagital anorektoplasti (Faradilla, 2009).
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya
ditemukan vital ke vetibulum atau vagina (80-90%). Golongan I Pada fistel
vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak
lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara
fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita
hanya minum susu.
Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat.
Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila
terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus
genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga
perlu cepat dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus tampak normal
tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm.
Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit
perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Lubang fistel perineum
biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda
timah anus yang buntu ada di posteriornya. Kelainan ini umumnya
menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat
yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga
biasanya harus segera dilakukan terapi definitif. Bila tidak ada fistel dan pada
invertogram udara < 1 cm dari kulit. Dapat segera dilakukan pembedahan
definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan
kolostomi (Hamami A.H, 2004).
Hal yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk
perineum dan tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi pada
anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel
perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari
orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika
urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter
urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena
fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka
fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan
kolostomi segera.
Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat
kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram,
maka perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Fistel perineum sama
dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada
membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila
evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin.
Pada stenosis anus, sama dengan wanita, tindakan definitive harus dilakukan.
Bila tidak ada fistel dan udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga
segera dilakukan pertolongan bedah (Hamami A.H, 2004).

10. Prognosis
Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai
pengendalian defekasi, pencemaran pakaian dalam. Sensibilitas rektum dan
kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur (Hamami A.H, 2004).
Fungsi kontineia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau
ensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan
mental penderita (Hamami A.H, 2004).
Hasil operasi atresia ani meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya
metode PSARP (Levitt M, 2007).

B. IKTERUS

1. Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin.
Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum
>5mg/dL (Cloherty, 2004). Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum
bilirubin >2mg/dL. Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewarnaan
kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran
kadar bilirubin serum total.

2. Klasifikasi

Terdapat 2 jenis ikterus: ikterus fisiologis dan patologis (Mansjoer, 2002).


1) Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Timbul pada hari kedua-ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek (larut dalam lemak) tidak melewati 12 mg/dL pada
neonatus cukup bulan dan 10mg/dL pada kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg/dL per hari.
d. Kadar bilirubin direk (larut dalam air) kurang dari 1mg/dL.
e. Gejala ikterus akan hilang pada sepuluh hari pertama kehidupan.
f. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
2) Ikterus Patologis
Ikterus patologis memiliki karakteristik seperti berikut:
a) Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
b) Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12mg/dL pada neonatus cukup
bulan dan 10mg/dL pada neonates lahir kurang bulan/premature.
c) Ikterus dengan peningkatan bilirubun lebih dari 5mg/dL per hari.
d) Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.
e) Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau
keadaan patologis lain yang telah diketahui.
f) Kadar bilirubin direk melebihi 1mg/dL.

3. Etiologi

Penyebab ikterus dapat dibagi kepada tiga fase yaitu:


1) Ikterus Prahepatik

Produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel darah
merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh:
a) Kelainan sel darah merah
b) Infeksi seperti malaria, sepsis
c) Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat – obatan, maupun yang berasal
dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfuse dan eritroblastosis
fetalis.
2) Ikterus Pascahepatik

Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin


konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya bilirubin mengalami akan mengalami
regurgitasi kembali kedalam sel hati dan terus memasuki peredaran darah, masuk
ke ginjal dan di eksresikan oleh ginjal sehingga ditemukan bilirubin dalam urin.
Sebaliknya karena ada bendungan pengeluaran bilirubin kedalam saluran
pencernaan berkurang sehingga tinja akan berwarna dempul karena tidak
mengandung sterkobilin.
3) Ikterus Hepatoseluler

Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga


bilirubin direk akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan di dalam hati
sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang
kemudian menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam aliran
darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis, sirosis hepatic, tumor,
bahan kimia, dll.

4. Patofisiologi

Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan .


Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin
plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat
terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu bilirubin ini akan
bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya
efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah
otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya
dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila
kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Bilirubin indirek akan mudah melalui
sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah , hipoksia,
dan hipoglikemia.
5. Gejala Klinis

Gejala Hiperbilirubinemia dikelompokan menjadi 2 fase yaitu akut dan


kronik: (Surasmi, 2003)
1) Gejala akut
a) Lethargi (lemas)
b) Tidak ingin mengisap
c) Feses berwarna seperti dempul
d) Urin berwarna gelap
2) Gejala kronik
a) Tangisan yang melengking (high pitch cry)
b) Kejang
c) Perut membuncit dan pembesaran hati
d) Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
e) Tampak matanya seperti berputar-putar

6. Diagnosis

1) Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab

Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan


membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu
pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya.
a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
1. Inkompatibilitas darah Rh, AB0 atau golongan lain.
2. Infeksi intrauterin (oleh virus, toxoplasma, dan kadang-kadang bakteri).
3. Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD.
b. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
1. Biasanya ikterus fisiologis.
2. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau
golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin
cepat, misalnya melebihi 5 mg% per 24 jam.
3. Defisiensi enzim G6PD juga mungkin.
4. Polisitemia
5. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis,
perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain).
6. Hipoksia
7. Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
8. Dehidrasi asidosis
9. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.

c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
10. Biasanya karena infeksi (sepsis)
11. Dehidrasi asidosis
12. Defisiensi enzim G6PD
13. Pengaruh obat
14. Sindrom Crigler-Najjar
15. Sindrom Gilbert
d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
16. Biasanya karena obstruksi
17. Hipotiroidisme
18. “Breast milk jaundice”

19. Infeksi
20. Neonatal hepatitis

Pemeriksaan yang perlu dilakukan :


a. Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala
b. Pemeriksaan darah tepi
c. Pemeriksaan penyaring G6PD
d. Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab
2) Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan
selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi
berkembang menjadi kern icterus.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus dari inspeksi,
sebagai berikut:
- Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.
- Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.
- Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning.

3) Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis


ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum
bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat
meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin
total. Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar
bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.

(Sumber: Arif Mansjoer.Kapita Selekta Kedokteran jilid 2, Edisi III Media


Aesculapius FK UI.2007:504)

7. Penatalaksanaan

1) Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat,
aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan
terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat,
dapat dilakukan beberapa cara berikut:

- Minum ASI dini dan sering


- Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
- Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan
kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor
prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama
kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis
dan membutuhkan biaya yang cukup besar. A) Tata laksana Awal Ikterus
Neonatorum (WHO):

- Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat


- Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir <2,5 kg,
lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
- Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin,
tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
a) Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan
terapi sinar.
b) Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi
sinar, lakukan terapi sinar
c) Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab
hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring
G6PD bila memungkinkan.
B) Mengatasi hiperbilirubinemia
1. Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital.
Obat ini bekerja sebagai “enzyme inducer” sehingga konjugasi dapat
dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan
membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti.
Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum
melahirkan bayi.
2. Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi.
Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas.
Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB.
Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena
albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke
vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan
transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai
sumber energi.
3. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi
dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat
menggantikan transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat
digunakan untuk pra dan pasca transfusi tukar. Indikasi terapi sinar adalah:
a. bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin
>10mg/dL.
b. bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila
perlu dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.
4. Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:

a. Kadar bilirubin tidak langsung >20mg/dL


b. Kadar bilirubin tali pusat >4mg/dL dan Hb <10mg/dL
c. Peningkatan bilirubin >1mg/dL

Tabel 2.2 Penatalaksanaan Ikterus Menurut Waktu Timbulnya dan Kadar


Bilirubin
Bilirubin <24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam
serum <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500
(mg/dL)
<5 Tidak perlu terapi-observasi
5-9 Terapi sinar bila hemolisis
10-14 Transfusi tukar Terapi sinar
bila hemolisis
15-19 Transfusi tukar Terapi sinar
>20 Transfusi tukar

Sumber : Suraatmaja dan Soetjiningsih (2000) dalam : Pedoman Diagnosis dan


Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah, Denpasar, cetakan II

2) Monitoring
Monitoring yang dilakukan antara lain:
1. Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit
tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin
serum selama bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah
dihentikan.
2. Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan
baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan
di RS.

8. Komplikasi

Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau


ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi
bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal
ganglia dan nuclei batang otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan
melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar
bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan
suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan
perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern
icterus (Richard E. et al, 2003).
Pada bayi sehat yang menyusu kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30
mg/dL dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama
kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu.
Gambaran klinis kern icterus antara lain:
1) Bentuk akut :
a. Fase 1(hari 1-2): menetek tidak kuat, stupor, hipotonia, kejang.
b. Fase 2 (pertengahan minggu I): hipertoni otot ekstensor, opistotonus,
retrocollis, demam.
c. Fase 3 (setelah minggu I): hipertoni.

2) Bentuk kronis :
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic
neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus,
tremor), gangguan pendengaran.

9. Pencegahan

1) Pencegahan Primer
- Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/
hari untuk beberapa hari pertama.
- Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada
bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
2) Pencegahan Sekunder
- Wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta
penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
- Memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap
timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus
yang harus dinilai saat memeriksa tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak
kurang dari setiap 8 – 12 jam.

C. MALARIA

1. Definisi
Malaria didefinisikan suatu penyakit infeksi dengan demam berkala yang
disebabkan oleh parasit plasmodium (termasuk protozoa) dan ditularkan oleh
nyamuk anopheles betina (Akhsin, 2010 dalam Harahap, 2012).
2. Epidemiologi
1. Faktor Host

Secara alami, penduduk disuatu daerah endemis malaria yang mudah dan
ada yang sukar terinfeksi malaria, meskipun gejala klinisnya ringan.
Perpindahan penduduk dari dan ke daerah endemis malaria hingga kini
masih menimbulkan masalah. Sejak dahulu telah diketahui bahwa wabah
penyakit ini sering terjadi didaerah pemukiman baru, seperti di daerah
perkebunan dan transmigrasi. Hal ini terjadi karena para pekerja yang
datang dari daerah lain belum mempunyai kekebalan sehingga rentan
terinfeksi (Prabowo, 2008 dalam Natalia, 2010).
Kerentanan manusia terhadap penyakit malaria berbeda-beda. Ada
manusia yang rentan, yang dapat tertular oleh penyakit malaria, tetapi ada
pula yang lebih kebal dan tidak mudah tertular oleh penyakit malaria.

2. Faktor Agent (Penyebab)

Penyakit malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk


anopheles betina. Spesies anopheles diseluruh dunia terdapat sekitar 2.000
spesies dan 60 spesies diantaranya diketahui sebagai penular malaria. Spesies
anopheles di Indonesia ada sekitar 80 jenis dan 24 spesies diantaranya telah
terbukti penular penyakit malaria.
Nyamuk anopheles hidup di daerah beriklim tropis dan subtropis, tetapi
juga bisa hidup di daerah yang beriklim sedang. Nyamuk ini jarang ditemukan
pada daerah ketinggian lebih dari 2.000-2.500 m. Tempat perindukannya
bervariasi (tergantung spesiesnya) dan dapat dibagi menjadi tiga kawasan
yaitu pantai, pedalaman, dan kaki gunung.Nyamuk anopheles betina biasanya
menggigit manusia pada malam hari atau sejak senja hingga subuh. Jarak
terbangnya tidak lebih dari 0,5-3 km dari tempat perindukannya (Prabowo,
2008 dalam Natalia, 2010).
Nyamuk anopheles biasa meletakkan telurnya diatas permukaan air satu
persatu.Telur dapat bertahan hidup dalam waktu cukup lama dalam bentuk
dorman. Bila air cukup tersedia, telur-telur tersebut biasanya menetas 2-3 hari
setelah diletakkan. Nyamuk anopheles sering disebut nyamuk malaria karena
banyak jenis nyamuk ini yang menularkan penyakit malaria (Sembel, 2009
dalam Natalia, 2010).

3. Faktor Enviroment (lingkungan)

Keadaan lingkungan berpengaruh besar terhadap ada tidaknya malaria di


suatu daerah. Keberadaan air payau,genangan air hutan, persawahan, tambak
ikan, pembukaan hutan dan pertambangan di suatu daerah akan meningkatkan
kemungkinan timbulnya penyakit malaria karena tempat-tempat tersebut
merupakan tempat perindukan nyamuk malaria (Prabowo, 2008 dalam
Natalia, 2010). Hal ini diperburuk dengan adanya perpindahan penduduk dari
daerah endemis ke daerah bebas malaria dan sebaliknya (Mursito, 2002 dalam
Natalia, 2010).
Tidak semua daerah yang dimasuki penderita malaria akan terjangkit
malaria. Jika di daerah tersebut tidak terdapat nyamuk malaria, penularan
penyakit tersebut tidak akan terjadi. Demikian pula sebaliknya, sekalipun di
suatu daerah terdapat nyamuk malaria tetapi jika di daerah tersebut tidak ada
penderita malaria, penularan malaria tidak akan terjadi. Suatu daerah akan
terjangkit penyakit malaria apabila di daerah itu ada nyamuk malaria yang
pernah menggigit penderita malaria (Mursito, 2002 dalam Natalia 2010).
3. Etiologi
Malaria disebabkan oleh parasit sporozoa plasmodium yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk anopheles betina infektif. Sebagian besar nyamuk
anopheles akan menggigit pada waktu senja atau malam hari, pada beberapa jenis
nyamuk puncak gigitannya adalah tengah malam sampai fajar (Widoyono, 2005).
Malaria pada manusia disebabkan oleh empat jenis plasmodium, yaitu
plasmodium vivax, plasmodium falciparum, plasmodium malariae, plasmodium
ovale. Jenis malaria yang ditimbulkan oleh empat jenis plasmodium tersebut
menimbulkan malaria yang berbeda pola demam maupun gejala-gejala klinik yang
ditimbulkannya. Plasmodium vivax menimbulkan malaria vivax, disebut juga
malaria tertian benigna (jinak), sedangkan plasmodium falciparum menimbulkan
malaria falciparum atau malaria tartiana maligna (ganas).Dan plasmodium malariae
menimbulkan malaria malariae, serta plasmodium ovale menimbulkan malaria
ovale
(Soedarto, 2008 dalam Harahap, 2012).

4. Siklus Malaria
Plasmodium akan mengalami dua siklus. Siklus aseksual (skizogoni) terjadi
pada tubuh manusia, sedangkan siklus seksual (sporogoni) terjadi pada nyamuk.
Siklus seksual dimulai dengan bersatunya gamet jantan dan betina untuk
membentuk ookinet dalam perut nyamuk. Ookinet akan menembus dinding
lambung untuk membentuk kista di selaput luar lambung nyamuk. Waktu yang
diperlukan sampai pada proses ini adalah 8-35 hari, tergantung dari situasi
lingkungan dan jenis parasit. Pada tempat inilah kista akan membentuk ribuan
sporozoit yang terlepas dan kemudian tersebar ke seluruh organ nyamuk termasuk
kelenjar ludah nyamuk. Pada kelenjar inilah sporozoit menjadi matang dan siap
ditularkan bila nyamuk menggigit manusia (Widoyono, 2005).
Menurut Garcia dkk (1996), apabila nyamuk yang terinfeksi plasmodium dari
penderita menggigit manusia yang sehat maka sporozoit yang terdapat dalam
kelenjar ludah nyamuk dimasukkan melalui luka tusuk. Dalam satu jam bentuk
efektif ini terbawa oleh darah menuju hati kemudian masuk ke sel parenkim hati
dan mulai perkembangan siklus preeritrosit atau ekso-eritrositik primer. Sporozoit
akan menjadi bulat atau lonjong dan mulai membelah dengan cepat. Hasil skizogoni
tersebut adalah merozoit eksoeritrosit dalam jumlah besar.
Manusia yang tergigit nyamuk infektif akan mengalami gejala sesuai dengan
jumlah sporozoit, kualitas plasmodium, dan daya tahan tubuhnya. Sporozoit akan
memulai stadium eksoeritrositer dengan masuk ke sel hati. Di hati sporozoit matang
menjadi skizon yang akan pecah dan melepaskan merozoit jaringan. Merozoit akan
memasuki darah dan menginfeksi eritrosit untuk memulai siklus eritrositer.
Merozoit dalam eritrosit akan mengalami perubahan morfologi yaitu : merozoit
menjadi bentuk cincin selanjutnya trofozoit dan terakhir menjadi merozoit. Proses
perubahan ini memerlukan waktu 2-3 hari. Di antara merozoit-merozoit tersebut
akan ada yang berkembang membentuk gametosit untuk kembali memulai siklus
seksual menjadi mikrogamet (jantan) dan makrogamet (betina). Eritrosit yang
terinfeksi biasanya pecah yang bermanifestasi pada gejala klinis (Widoyono, 2005).
Pecahnya sel darah merah yang terinfeksi plasmodium ini menyebabkan
timbulnya gejala demam disertai mengigil dan menyebabkan anemia (Depkes, 2001
dalam Moonti, 2012). Jika ada nyamuk yang menggigit manusia yang terinfeksi ini,
maka gametosit yang ada pada darah manusia akan terhisap oleh nyamuk. Dengan
demikian, siklus seksual pada nyamuk dimulai, demikian seterusnya penularan
malaria (Widoyono, 2005).

Gambar 2.1 Siklus Malaria


5. Masa Inkubasi dan Cara Penularan
Umumnya gejala dimulai dari hari ke 10 hingga 4 minggu sesudah infeksi,
meskipun ada juga yang jatuh sakit pada hari ke 8 atau hingga 1 tahun kemudian
(Tapan, 2004).
Masa inkubasi malaria sekitar 7-30 hari tergantung spesiesnya. P. falciparum
memerlukan waktu 7-14 hari, P. vivax dan P. ovale 8-14 hari, sedangkan P.
malariae memerlukan waktu 7-30 hari (Widoyono, 2005).
Infeksi dapat terjadi dengan 2 cara : yaitu 1) secara alami melalui vektor, bila
sporozoit dimasukkan ke dalam badan manusia dengan tusukan nyamuk dan 2)
secara induksi (incuded), bila stadium aseksual dalam eritrosit tidak sengaja masuk
dalam badan manusia melalui darah, misalnya dengan transfusi, suntikan, secara
kongen (bayi baru lahir mendapat infeksi dari ibu yang menderita malaria melalui
darah plasenta) (Srisasi dkk, 2000 dalam Harahap, 2012).
6. Gejala Klinis
1. Anamnesis
Keluhan utama yang sering kali muncul adalah demam lebih dari dua
hari, menggigil, dan berkeringat (sering disebut dengan trias malaria).
Demam pada keempat jenis malaria berbeda sesuai dengan proses
skizogoninya. Demam karena P. falciparum dapat terjadi setiap hari, pada
P.vivax atau ovale demamnya berselang satu hari, sedangkan demam pada P.
malariae menyerang berselang dua hari (Widoyono, 2005).
Masa tunas/inkubasi penyakit ini dapat beberapa hari sampai beberapa
bulan yang kemudian baru muncul tanda dan gejala yang dikeluhkan oleh
penderita seperti demam, menggigil, linu atau nyeri persendian, kadang
sampai muntah, tampak pucat/anemis, hati serta limpa membesar, air kencing
tampak keruh atau pekat karena mengganggu hemoglobin, terasa geli pada
kulit dan mengalami kejang (Natadisastra,2005 dalam jurnal Hasibuan,
2010).
Tanda dan gejala klinis malaria yang timbul bervariasi tergantung pada
berbagai hal antara lain usia penderita, cara transmisi, status kekebalan, jenis
plasmodium, infeksi tunggal atau campuran (Sarumpaet, 2006 dalam
Munazir,
2012).
2. Pemeriksaan fisik

Pasien mengalami demam 37,5 - 40C, serta anemia yang dibuktikan


dengan konjungtiva palpebra yang pucat. Penderita sering disertai dengan
adanya pembesaran limpa (splenomegali) dan pembesaran hati
(hepatomegali). Bila terjadi serangan berat, gejala disertai dengan syok yang
ditandai dengan menurunnya tekanan darah, nadi berjalan cepat dan lemah,
serta frekuensi napas meningkat (Widoyono, 2005).
7. Diagnosis
Menurut Widoyono 2008 (dalam Hasibuan ,2010), dengan adanya tanda dan
gejala yang dikeluhkan serta tampak oleh tim kesehatan, maka akan segera
dilakukan pemeriksaan laboratorium (khususnya pemeriksaan darah) untuk
memastikan penyebabnya dan diagnosa yang akan diberikan kepada penderita.
Pemeriksaan laboratorium lainnya seperti parasitologi, darah tepi lengkap, uji
fungsi hati, uji fungsi ginjal. Dilakukan punksi lumbal, foto toraks untuk
menyingkirkan/mendukung diagnosis atau komplikasi lain.
8. Pencegahan Malaria
Usaha pencegahan penyakit malaria di Indonesia belum mencapai hasil yang
optimal karena beberapa hambatan diantaranya yaitu : tempat perindukan nyamuk
malaria yang tersebar luas, jumlah penderita yang sangat banyak serta keterbatasan
SDM, infrastruktur dan biaya.
Prinsip pencegahan malaria ada dua macam yaitu mencegah infeksi melalui
pencegahan kontak dengan nyamuk dan pencegahan sakit apabila sudah terlanjur
infeksi. Mencegah infeksi dilakukan dengan pemberantasan vektor misalnya
dengan penyemprotan rumah juga dengan perlindungan perseorangan, misalnya
pemakaian kelambu pada saat tidur malam hari. Pemakaian kasa rumah atau obat
nyamuk bakar atau lotion (Sarianto, 2005).
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan penyakit
malaria, diantaranya :
1. Berbasis masyarakat

a. Pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masyarakat harus selalu
ditingkatkan melalui penyuluhan kesehatan, pendidikan kesehatan, diskusi
kelompok maupun melalui kampanye masal untuk mengurangi tempat
sarang nyamuk (pemberantasan sarang nyamuk, PSN). Kegiatan ini
meliputi menghilangkan genangan air kotor, diantaranya dengan
mengalirkan air atau menimbun atau mengeringkan barang atau wadah
yang memungkinkan sebagai tempat air tergenang (Widoyono, 2005).
Materi utama edukasi adalah mengajarkan tentang cara penularan malaria,
risiko terkena malaria, dan yang terpenting pengenalan gejala dan tanda
malaria, pengobatan malaria, pengetahuan tentang upaya menghilangkan
tempat perindukan (Tapan, 2004).
b. Menemukan dan mengobati penderita sedini mungkin akan sangat
membantu mencegah penularan (Widoyono, 2005). Usaha pengobatan
pencegahan secara berkala, terutama di daerah-daerah endemis malaria
dengan obat dari puskesmas, dari toko-toko obat seperti kina, chlorokuin
dan sebagainya. Dengan obat-obat tradisionil seperti air dari daun johar,
daun kates dan meniran atau obat pahit yang lain (Werner, dkk, 2010).
c. Melakukan penyemprotan melalui kajian mendalam tentang bionomik
anopheles seperti waktu kebiasaan menggigit , jarak terbang, dan resistensi
terhadap insektisida (Widoyono, 2005).
2. Berbasis pribadi

a. Pencegahan gigitan nyamuk, antara lain (1) tidak keluar rumah antara senja
dan malam hari, bila terpaksa keluar, sebaiknya menggunakan kemeja dan
celana panjang berwarna terang karena nyamuk lebih menyukai warna
gelap (Widoyono, 2005). Tindakan menghindari gigitan nyamuk sangat
penting, terutama di daerah dimana angka penderita malaria sangat tinggi.
Penduduk yang tinggal di daerah pedesaan atau pinggiran kota yang
banyak sawah, rawa-rawa, tambak ikan (tempat ideal untuk perindukan
nyamuk malaria), disarankan untuk memakai baju lengan panjang dan
celana panjang saat keluar rumah, terutama pada malam hari. Nyamuk
malaria biasanya mengigit pada malam hari (Prabowo, 2008 dalam
Natalia, 2010). (2) menggunakan repelan yang mengandung dimetiltalat
atau zat antinyamuk lainnya, (3) membuat kontruksi rumah yang tahan
nyamuk dengan memasang kasa antinyamuk pada ventilasi pintu dan
jendela (Widoyono,
2005). Mereka yang tinggal di daerah endemis, sebaiknya memasang kawat

kasa di jendela dan ventilasi rumah serta menggunakan kelambu saat tidur
(Prabowo, 2008 dalam Natalia, 2010). (4) menggunakan kelambu yang
mengandung insektisida (insecticide-treated mosquito net, ITN)
(Widoyono, 2005). Upaya penggunaan kelambu juga merupakan salah
satu cara untuk menghindari gigitan nyamuk. Kelambu merupakan alat
yang telah digunakan sejak dahulu (Yatim, 2007 dalam Natalia 2010). (5)
menyemprot kamar dengan obat nyamuk atau menggunakan obat anti
nyamuk bakar (Widoyono, 2005). Penyemprotan dengan menggunakan
semprotan pembasmi serangga di dalam dan di luar rumah dan serta
mengoleskan obat anti nyamuk dikulit (Zulkoni, 2010 dalam
Harahap,2012), serta penyemprotan dengan insektisida sebaiknya
dilaksanakan dua kali dalam setahun dengan interval waktu enam bulan di
daerah endemis malaria (Soedarto, 2008 dalam
Harahap 2012).

b. Pengobatan profilaksis bila akan memasuki daerah endemik meliputi :

1) Pada daerah dimana plasmodiumnya masih sensitif terhadap klorokuin,


diberikan klorokuin 300 mg basa atau 500 mg klorokuin fosfat untuk
daerah sampai 4 minggu setelah meninggalkan tempat tersebut.
2) Pada daerah dengan resistensi klorokuin, pasien memerlukan
pengobatan supresif, yaitu dengan meflokuin 5 mg/kgBB/minggu atau
doksisiklin 100 mg/hari atau sulfadoksin 500 mg/pirimetamin 25 mg, 3
tablet sekali minum.

c. Pencegahan dan pengobatan malaria pada wanita hamil meliputi :

1) Klorokuin, bukan kontraindikasi

2) Profilaksis dengan klorokuin 5 mg/kgBB/minggu dan proguanil 3


mg/kgBB/hari untuk daerah yang masih sensitif klorokuin.
3) Meflokuin 5 mg/kgBB/minggu diberikan pada bulan keempat
kehamilan untuk daerah di mana plasmodiumnya reisten terhadap
klorokuin.
4) Profilaksis dengan doksisiklin tidak diperbolehkan.

d. Kebersihan lingkungan terhadap sarang nyamuk, seperti membersihkan


ruang tidur, semak-semak sekitar rumah, air tergenang, kandang-kandang
ternak dan sebagainya (Werner, 2010).
D. DERMATITIS SEBOROIK

1. Definisi

Dermatitis seboroik adalah dermatosis papulosquamous kronis umum yang


mudah dikenali.Penyakit ini dapat timbul pada bayi dan dewasa dan seringkali
dihubungkan dengan peningkatan produksi sebum (sebaseus atau seborrhea) kulit
kepala dan daerah folikel kaya sebaseus pada wajah dan leher.Kulit yang terkena
berwarna merah muda, bengkak, dan ditutupi dengan sisik berwarna kuning-coklat
dan krusta(Fitzpatrick, 2010).

2. Insiden

Dermatitis seboroik memiliki dua puncak usia, yang pertama pada bayi
dalam 3 bulan pertama kehidupan dan yang kedua sekitar dekade keempat sampai
ketujuh kehidupan. Tidak ada data yang tepat tersedia kejadian dermatitis seboroik
pada bayi, tetapi gangguan ini umum.Penyakit pada orang dewasa diyakini lebih
umum daripada psoriasis.Penyakit inimempengaruhi setidaknya 3-5% dari
populasi di
Amerika Serikat. Pria lebih sering terkena daripada wanita pada semua kelompok
umur.Dermatitis seboroik ditemukan pada 85% pasien dengan infeksi
HIV.Dermatitis seboroik banyak terjadi pada pasien yang menderita penyakit
parkinson karena produksi sebumnya meningkat (Fitzpatrick, 2010).

3. Manifestasi Klinik

Gambaran khas dermatitis seboroik adalah eritema dengan


warnakemerahan dan ditutupi dengan sisik berminyak besar yang dapat dilepaskan
dengan mudah.Pada kulit kepala, lesi dapat bervariasi dari sisik kering (ketombe)
sampai sisik berminyak dengan eritema (Gambar 1.A). Pada wajah, penyakit ini
sering mengenai bagian medial alis, yaitu glabella (Gambar 1.B), lipatan nasolabial
(Gambar 1.C), concha dari daun telinga, dan daerah retroauricular (Gambar 1.D).
Lesi dapat bervariasi dalam tingkat keparahan eritema sampai sisik halus (Gambar
1.E).Pria dengan jenggot, kumis, atau jambang, lesi mungkin melibatkan daerah
yang ditumbuhi rambut (Gambar 1.F), dan lesi hilang jika daerah tersebut
dicukur.Daerah dada medial pada pria terlihat petaloid yang bervariasi dan ditandai
dengan bercak merah terang di pusat dan merah gelap di tepi (Gambar 1.G).Pasien
yang terinfeksi HIV, lesi terlihat menyebar dengan pertanda inflamasi
(Gambar 1.H).

Gambar 2.1.Manifestasi klinis dermatitis seboroik (Naldi, 2009).

4. Etiologi Dan Patogenesis

Meskipun banyak teori yang ada, penyebab dermatitis seboroik masih


belum diketahui secara pasti. Namun ada tiga faktor yang berkaitan dengan
munculnya dermatitis seboroik, yaitu aktivitas kelenjar sebaseus, peran
mikroorganisme, dan kerentanan individu (De Angelis dkk., 2005; Fitzpatrick,
2010)
1. Aktivitas Kelenjar Sebaseus (Seborrhea)
Kelenjar sebaseus terbentuk pada minggu ke-13 sampai minggu ke-16 dari
kehamilan.Kelenjar sebaseus menempel pada folikel rambut, mensekresikan sebum
ke kanal folikel dan ke permukaan kulit. Kelenjar sebaseus berhubungan dengan
folikel rambut di seluruh tubuh, hanya pada telapak tangan dan telapak kaki yang
tidak memiliki folikel rambut dimana kelenjar sebaseus sama sekali tidak ada.
Kelenjar sebaseus yang terbesar dan paling padat keberadaannya ada di wajah dan
kult kepala.Rambut yang berhubungan dengan kelenjar sebaseus yang ukurannya
besar, sering memiliki ukuran yang kecil.Terkadang pada daerah tersebut, tidak
disebut dengan folikel rambut, tapi disebut dengan folikel sebaseus. Kelenjar
sebaseus mensekresikan lipid dengan cara mengalami proses disintegrasi sel,
sebuah proses yang dikenal dengan holokrin. Aktivitas metabolik sel dalam
kelenjar sebaseus bergantung status differensiasi.Sel bagian luar terdiri atas sel
membran basal, ukuran kecil, berinti dan tidak mengandung lipid. Lapisan ini
mengandung sel yang terus membelah mengisi kelenjar sebagai sel yang dilepaskan
pada proses ekskresi lipid. Selama sel ini bergerak ke bagian tengah kelenjar, sel
mulai menghasilkan lipid dan membesar mengandung banyaklipid sehingga inti
dan struktur sel lain hancur. Sel ini mendekati duktus sebaseus, sehingga sel akan
mengalami desintegrasi dan melepaskan isi. Sebum adalah cairan kuning yang
terdiri dari trigliserid, asamlemak, wax ester, sterol ester, kolesterol dan squalene.
Saat disekresi, komposisi sebum terdiri dari trigliserid dan ester yang dipecah
menjadi digliseid,monogliserid dan asam lemak bebas oleh mikroba komensal kulit
dan enzim lipase.Sebum manusia mengandung asam lemak jenuh dan tidak jenuh,
dengan kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi. Belum diketahui
secara pasti apa fungsi sebum, namun diduga sebum mengurangi kehilangan air
dari permukaan kulit sehingga kulit tetap halus dan lembut (Fitzpatrick, 2010).
Sebum juga punya efek ringan bakterisidal dan fungistatik.Hormon
androgen, khususnya dihidrotestoteron menstimulai aktivitas kelenjar sebaseus.
Kelenjar sebaseus manusia mengandung 5αreductase, 3α- dan 17α-hydroxysteroid
dehydrogenase,yang merubah androgen yang lebih lemah menjadi
dihydrotestosteron,yang akan mengikatkan dirinya pada reseptor spesifik di
kelenjar sebaseus kemudian meningkatkan sekresinya (Hunter, 2002).
Kelenjar sebaseus mempunyai reseptor dehidroepiandrosteron sulfas
(DHEAS) yang juga berperan dalam aktivitas kelenjar sebaseus. Level DHEAS
tinggi pada bayi baru lahir, rendah pada anak usia 2-4 tahun dan mulai tinggi pada
saat ekskresi sebum mulai meningkat (Layton, 2010).
Seborrhea merupakan faktor predisposisi dermatitis seboroik,namun tidak
selalu didapatkan peningkatan produksi sebum pada semua pasien.Dermatitits
seboroik lebih sering terjadi pada kulit dengan kelenjar sebaseus aktif dan
berhubungan dengan produksi sebum.Insiden dermatitis seboroik juga tinggi pada
bayi baru lahir karena kelenjar sebaseusyang aktif yang dipengaruhi oleh hormon
androgen maternal, dan jumlah sebum menurun sampai pubertas (Fitzpatrick,
2010).
2. Efek Mikroba

Unna dan Sabouraud, adalah yang pertama menggambarkan penyakit


dermatitis seboroik melibatkan bakteri, jamur, atau keduanya.Hipotesis ini kurang
didukung, meskipun bakteri dan jamur dapat diisolasi dalam jumlah besar dari situs
kulit yang terkena.
Malassezia merupakan jamur yang bersifat lipofilik, dan jarang ditemukan
pada manusia.Peranan malassezia sebagai faktor etiologi dermatitis seboroik masih
diperdebatkan.Dermatitis seboroik hanya terjadi pada daerah yang banyak lipid
sebaseusnya, lipid sebaseus merupakan sumber makanan malassezia.Malassezia
bersifat komensalpada bagian tubuh yang banyak lipid.Lipid sebaseus tidak dapat
berdiri sendiri karena mereka saling berkaitan dalam menyebabkan dermatitis
seboroik (Schwartz,
2007;Fitzpatrick, 2010).

3. Kerentanan Individu
Kerentanan atau sensitivitas individu berhubungan dengan respon pejamu
abnormal dan tidak berhubungan dengan
Malassezia.Kerentanan pada pasien dermatitis seboroik disebabkan berbedanya
kemampuan sawar kulit untuk mrncegah asamlemak untuk penetrasi.Asam oleat
yang merupakan komponen utama dari asam lemak sebum manusia dapat
menstimulasi deskuamasi mirip dandruff. Penetrasi bahan dari
sekresikelenjarsebaseus pada stratum korneum akan menurunkan fungsi dari sawar
kulit, dan akan menyebabkan inflamasi serta squama pada kulit kepala. Hasil
metabolit ini dapat menembus stratum korneum karena berat molekulnya yang
cukup rendah(<1-2kDa) dan larut dalam lemak (Gemmer, 2005).

5.Obat - Obatan

Beberapa obat telah dilaporkan untuk menghasilkan lesi mirip dermatitis


seboroik seperti arsenik, emas, metildopa, cimetidine, dan neuroleptik. Dermatitis
seboroik wajah diamati pada 8% dari 347 pasien yang menerima terapi Psoralen
Plus Ultraviolet A (PUVA) untuk psoriasis dan terjadi dalam beberapa hari sampai
2 minggu setelah awal pengobatan. Lesi dihindari dengan menutupi wajah selama
iradiasi(Fitzpatrick, 2010).

6. Kelainan Neurotransmitter

Dermatitis seboroik sering dikaitkan dengan berbagai kelainan neurologis,


sertaadanya kemungkinan pengaruh dari sistem saraf. Kondisi neurologis ini
termasuk parkinsonpostencephalitic, epilepsi, cedera supraorbital, kelumpuhan
wajah, poliomyelitis, syringomyeliadan quadriplegia. Stres emosional tampaknya
memperburuk penyakit.Jumlah penderita dermatitis seboroik dilaporkan banyak di
antara pasukan tempur di masa perang. Penyakit Parkinson merupakan penyakit
yang berperandalam timbulnya penyakit dermatitis karena terjadi peningkatan
produksi sebum yang mempengaruhi pertumbuhan Malassezia (Fitzpatrick, 2010:
Gupta, 2004).
7. Faktor Fisik

Telah diperkirakan bahwa aliran darah kulit dan suhu kulit mungkin
bertanggung jawab untuk distribusi dermatitis seboroik.Variasi musiman suhu dan
kelembaban yang berhubungan dengan perjalanan penyakit.Temperatur rendah
pada musim dingin,kelembaban rendah pada ruangan yang diberi penghangat
diketahui memperburuk kondisi dermatitis seboroik.

8. Proliferasi Epidermal Menyimpang

Proliferasi epidermal meningkat pada dermatitis seboroik, hal ini


menjelaskan mengapa terapi sitostatik dapat memperbaiki kondisi(Fitzpatrick,
2010).

9. Gangguan Gizi

Kekurangan zinc pada pasien dapat disertai dengan dermatitis mirip


dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik tidak disebabkan karena defisiensi zinc,
tidak juga dihasilkan respon dengan terapi pemberian zinc.Dermatitis seboroik pada
bayi mungkin memiliki patogenesis yang berbeda.Baik itu kekurangan biotin
karena sebab sekunder, kekurangan holocarboxylase atau kekurangan biotinidase,
dan metabolisme abnormal asam lemak esensial telah dipikirkan sebagai
kemungkinan (Fitzpatrick, 2010).

10. Terapi

Terapi dermatitis seboroik bertujuan menghilangkan sisik dan krusta,


penghambatan kolonisasi jamur, pengendalian infeksi sekunder, dan pengurangan
eritema serta gatal. Pasien dewasa harus diberitahu tentang sifat kronis penyakit
dan memahami bahwa terapi bekerja dengan caramengendalikan penyakit dan
bukan dengan mengobati. Prognosis dermatitis seboroik infantil sangat baik karena
kondisinya yang jinak dan self-limited.
1. Bayi

Pengobatan terdiri dari langkah-langkah berikut: penghapusan krusta dengan 3


sampai 5 % asam salisilat dalam minyak zaitun atau air, kompres minyak zaitun
hangat, pemakaian glukokortikosteroid-potensi rendah (misalnya 1 %
hidrokortison) dalam bentuk krim atau lotion selama beberapa hari, antijamur
topikal seperti imidazoles dalam sampo bayi yang lembut.

2. Dewasa

Karena penyakit dermatitis seboroikbersifat kronis, dianjurkan menggunakan terapi


yang ringan dan hati-hati.Obat anti-inflamasi dan jika diperlukan agen antimikroba
atau antijamur harus digunakan.

a. Kulit Kepala

Sering keramas dengan shampoo yang mengandung 1-2,5%


selenium sulfida, imidazoles (misalnya 2% ketokonazole),
pyrithione seng, benzoil peroksida, asam salisilat, atau deterjen
dianjurkan. Krusta (Remah) atau sisik dapat hilang oleh
pemakaian semalam glukokortikosteroid atau asam salisilat
dalam air atau bila perlu dipakai dengan caradressing
(dibungkus). Tincture, agen beralkohol, tonik rambut, dan
produk sejenis biasanya memperburuk peradangan dan harus
dihindari.

b. Wajah Dan Leher

Pasien harus menghindari kontak dengan agen berminyak dan


mengurangi atau menghilangkan penggunaan
sabun.Glukokortikosteroid potensi rendah (1% hidrokortison
biasanya cukup) sangat membantu di awal perjalanan
penyakit.Pemakaian jangka panjang yang tidak terkontrol akan
menyebabkan efek samping seperti dermatitis steroid, fenomena
reboundsteroid, steroid rosacea, dan perioral dermatitis.

Daftar Pustaka :
 https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://digilib.unil
a.ac.id/2425/10/BAB%2520II.pdf&ved=2ahUKEwijqMbh_JXhAhWv73MB
HebqAakQFjABegQIARAB&usg=AOvVaw0nMCnjIuQHaxs6ThVOpLer,
Diakses pada tanggal 20 Maret 2019 pukul 19.00

 https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.
usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/41341/Chapter%2520II.pdf%3Fsequen
ce%3D4%26isAllowed%3Dy&ved=2ahUKEwi2u_X0_JXhAhXH63MBHYo
7BT0QFjABegQIARAB&usg=AOvVaw1PzkVPAngPGz3R7MAD6_KI ,
Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 21.30
 https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.
ump.ac.id/2121/5/Tita%2520Meti%2520Masitoh%2520BAB%2520II.pdf&v
ed=2ahUKEwjVqduJ_ZXhAhXq6XMBHQbuDIEQFjAAegQIBBAB&usg=
AOvVaw0nNxQ0YcnpBcRHVpEDxF-h, Diakses pada tanggal 19 Maret 2019
pukul 12.00
 https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.
umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/11179/6.BAB%2520II.pdf%3Fsequen
ce%3D6%26isAllowed%3Dy&ved=2ahUKEwjMjOKU_ZXhAhUK7XMBH
WObCrUQFjAAegQIBhAB&usg=AOvVaw0KWrR1d5VpjM4tPEpvcO2D,
Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 21.30
 https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.acad
emia.edu/28501210/BAB_2_TINJAUAN_PUSTAKA_Atresia_Ani_2.1_Defi
nisi&ved=2ahUKEwir3LOh_ZXhAhXJ8HMBHU1JDEAQFjAAegQIAxAB
&usg=AOvVaw1K2jWn_SOG805ZlIUojZ7n, Diakses pada tanggal 20 Maret
2019 pukul 20.30

Вам также может понравиться