Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Pengantar
Gereja Katolik telah membuat suatu pembaharuan dalam banyak hal sehubungan dengan
praktik liturgi Gereja. Banyak hal yang dibicarakan dalam bidang liturgi, misalnya berkaitan
dengan doa atau devosi dan perayaan ekaristi. Secara khusus mengenai perayaan ekaristi,
Konstitusi Liturgi (KL 56) membaginya dalam dua bagian, yaitu: Liturgi Sabda dan Liturgi
Ekaristi.1 Pada bagian liturgi sabda, umat diajak untuk merenungkan Sabda Allah dalam Kitab
Suci. Dalam makalah ini akan dibahas corak pembaharuan liturgi sabda dalam perayaan ekaristi.
Bagaimana corak perayaan ini sesungguhnya? Untuk menjawab persoalan ini, penulis
membahasnya dengan berangkat dari praktik awali Gereja di masa lampau sebelum terlaksananya
Sekitar tahun 700-an, praktik pembacaan Kitab Suci dalam perayaan ekaristi Uskup Roma,
sangat aneh dan berbeda dari tata cara Liturgi Sabda sekarang ini. Setelah doa Pembukaan, yang
didoakan oleh Paus dengan posisi membelakangi umat, baru subdiakon yang bertugas maju ke
mimbar untuk membaca satu teks bacaan Kitab Suci, setelah itu seorang petugas berdiri
menyanyikan Mazmur Tanggapan (responsum) atau graduale dan tanpa ada bacaan kedua,
langsung dinyanyikan Alleluya, namun sering Alleluya ini dilewatkan. Kemudian diakon yang
ditunjuk untuk membaca Injil, menghadap Paus yang duduk di tahkta, mencium kakinya (seperti
upacara di Istana Bizantin) dan Paus memberkati diakon dengan mengucapkan “Dominus sit in
corde tuo” (Semoga Tuhan bersemayam dalam hatimu). Baru diakon pergi untuk mencium dan
mengambil Injil yang terletak di altar, Injil itu diperarakkan dan diikuti dua subdiakon pembawa
dupa dan dua akolit pembawa lentera, menuju mimbar. Di mimbar diakon menandai dengan jari
awal teks yang harus dibaca. Sesudah pembacaan, seorang subdiakon dengan tangan berselubung
kain, mengambil buku Injil itu, pergi ke tempat para rohaniwan menurut tingkatannya, supaya
mereka menciumnya. Setelah itu, Injil disimpan di capsa, dikunci dengan baik, sebab buku ini
1
J. D. Crichton, Perayaan Ekaristi, terj. KomLit KWI, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 65.
1
dihiasi permata berharga.2 Demikian tata cara singkat mengenai Liturgi Sabda di masa lampau
Sejak awal-mula ekaristi memang selalu dirayakan dalam konteks pewartaan sabda, dan
pada zaman kuno ekaristi selalu dianggap sebagai bagian terpadu dari pewartaan sabda. 3 Dahulu
ekaristi hanya diidentikkan dengan perayaan perjamuan Tuhan, itu artinya ekaristi hendak
mengulang peristiwa penting yang diajarkan Yesus kepada para murid-Nya dalam perjamuan
malam terakhir. Jika pada bagian ini dianggap sebagai suatu pewartaan sabda atau kenangan akan
peristiwa sabda Tuhan, maka pembacaan serta permenungan Sabda Tuhan pada waktu itu
sebenarnya tidak termasuk ke dalam bagian penting dalam Ekaristi. Artinya, tidak ada ritus atau
perayaan liturgi sabda, yang mencakup beberapa bagian penting seperti dalam perayaan ekaristi
dewasa ini. Itu sebabnya, dikatakan bahwa dalam perayaan ekaristi pada zaman Gereja kuno,
liturgi sabda diabaikan begitu saja, sehingga umat mendapat kesan bahwa perayaan ekaristi adalah
suatu tindakan kudus yang harus mereka tonton, suatu obyek yang harus mereka hormati dan suatu
alat untuk “memperoleh” komuni suci.4 Hal ini mau menunjukkan bahwa ekaristi pada beberapa
dekade sebelum Konsili Vatikan II, tidak dapat menyentuh hati umat. Pembacaan Kitab Suci
memang diadakan, tetapi umat tetap tidak mengerti pesan atau pun inti dari Sabda Allah yang
dibacakan.5 Padahal kalau dalam perayaan ekaristi dewasa ini, justru pada bagian liturgi sabda
inilah umat harus dapat mengerti pesan dari Sabda Allah yang dibawa melalui pembacaan Kitab
Suci entah dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dan lebih dari itu umat bahkan
diharapkan untuk mempersiapkan diri menerima pewartaan Sabda Allah, dengan membaca sendiri
apa yang menjadi bahan bacaan Misa, sebelum mengikuti perayaan ekaristi di gereja.
Setelah Konsili Vatikan II, secara khusus dengan dibentuknya Konstitusi Liturgi,
ditegaskanlah bahwa para pelaksana perayaan liturgi tidak bisa tidak adalah umat.6 Inilah yang
mendasari terjadinya pembaharuan dalam praktik liturgi ekaristi dalam Gereja Katolik. Mengapa
2
Theodor Klauser, Sejarah Singkat Liturgi Barat, terj. KomLit KWI, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hlm. 74-75.
3
J. D. Crichton, op. cit., hlm. 72.
4
Bdk. Ibid.
5
Karena hanya diberikan komentar singkat dan tidak ada permenungan (teologi) yang sungguh mengena dan tidak
mengarahkan umat akan karya keselamatan Tuhan yang tertuang dalam Kitab Suci.
6
Bdk. J. D. Crichton, op. cit., hlm. 10.
2
demikian? Karena pada masa pra-Konsili Vatikan II, hampir seluruh kegiatan liturgi, khususnya
dalam perayaan ekaristi hanya didominasi oleh para Klerus atau yang termasuk pemimpin-
pemimpin umat. Pada masa itu, umat sama sekali tidak berperan-serta. Dengan dilaksanakannya
Konsili Vatikan II, Gereja memugar kembali seluruh tata perayaan atau struktur-stuktur dalam
perayaan ekaristi, termasuk ritus Liturgi Sabda. Para Bapa konsili menyadari bahwa pembaharuan
ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak dari Gereja, lebih dari untuk
mengantisipasi perkembangan dunia ke depan.7 Dengan demikian, pihak Gereja sendiri hendak
terbuka kepada kemajuan manusia dan pola pikir zaman, agar terus disesuaikan, tanpa harus
Bagaimana tanggapan umat terhadap model Liturgi Sabda yang baru ini? Pertama-tama,
karena mereka telah terbiasa menghadiri perayaan ekaristi tanpa mempedulikan penggunaan
bahasa Latin8 di altar dan hanya sibuk dengan doanya sendiri atau malahan menjadi ‘penonton’
perayaan (misalnya, saling menoleh antarumat),9 maka mereka sungguh merasa dikejutkan dengan
tata cara pelaksanan Liturgi Sabda yang baru. Mereka bisa mendengar dan mengerti apa yang
difirmankan dari mimbar, bisa memahami homili yang akhirnya mengarahkan mereka pada pesan
dan makna terdalam dari Sabda Tuhan, sehingga mereka dapat mengerti amanat Kitab Suci bagi
hidup mereka. Reaksi keterkejutan dari pihak umat sebenarnya mau menunjukkan bahwa mereka
belum siap untuk menerapkan tata cara peribadatan yang baru dan bahkan tidak sedikit umat yang
bingung mengikuti beberapa hal praktis, misalnya sikap hormat terhadap kehadiran Sabda Tuhan
melalui pembacaan Kitab Suci. Akan tetapi, akhirnya umat dapat menyadari maksud baik dari
mengalami keberhasilan yang sangat memuaskan. Hal ini pertama-tama bukan hanya karena
7
R. Kevin Seasoltz, New Liturgy - New Laws, Collegeville, USA: The Order of St. Benedict, Inc., 1980, hlm. 19.
8
Sejak pertengahan abad ke-4, liturgi Barat kerapkali dirayakan dalam bahasa Latin dan bertahan hingga abad ke-20.
Bdk. Definisi dan Sejarah Liturgi, eds. A.G. Martimort dkk., Yogyakarta: KomLit KWI, 1989, hlm. 67.
9
Bdk. J. D. Crichton, op. cit., hlm. 73.
3
sesuai dengan harapan dan tujuan diadakannya konsili, melainkan karena sungguh mewarnai
seluruh perayaan ekaristi itu sendiri. Artinya bahwa dengan adanya corak baru dalam upacara
liturgi sabda, umat disadarkan akan makna terdalam dari perayaan ekaristi. Selain itu, liturgi sabda
dalam ekaristi mampu memperbaiki pandangan yang keliru dari umat bahwa “Ekaristi hanyalah
sekedar perjamuan.” Perjamuan tersebut lebih mengacu pada suatu undangan bagi seluruh umat
beriman untuk menyantap roti yang adalah tubuh Kristus dan meminum anggur yang adalah darah
Kristus, sedangkan umat tidak mengindahkan kehadiran Sabda Tuhan. Dengan memasukkan ritus
Liturgi sabda yang lengkap seperti dalam perayaan ekaristi dewasa ini, seluruh umat harus
berpartisipasi aktif dalam merenungkan apa yang disabdakan Tuhan melalui pembacaan Kitab
Suci.
Berdasarkan Pedoman Umum Buku Misa (PUBM 33) Liturgi Sabda, terdiri atas tiga
bacaan (Bac. I-II & Injil), Mazmur Tanggapan, Alleluya, Homili, Kredo dan Doa Umat.10 Bacaan
pertama diucapkan oleh lektor dengan menghadap ke arah umat dan umat dimungkinkan untuk
dengan bacaan pertama sehingga menjadi suatu doa. Setelah itu disusul bacaan kedua, yang kerap
kali menyampaikan suatu ajaran moral berhubungan dengan hidup orang Kristen. Seruan
penghormatan terhadap kedatangan Kristus dalam sabda Injil. Setelah Injil dibacakan, umat
mendengarkan homili dari imam yang bertugas, dengan tujuan menjelaskan secara lebih terperinci
makna dari teks-teks Kitab Suci yang dibacakan serta untuk menghubungkannya dengan situasi
kehidupan dari jemaah yang berkumpul. Sebagai ungkapan kesediaan menerima Sabda Tuhan
dalam hidup Gereja, maka umat mengucapkan Kredo (syahadat). Kemudian menyerukan Doa
Umat, sebagai aplikasi dari pesan Sabda Tuhan, yakni berdoa bagi Pemimpin dan sekaligus Gereja
itu sendiri serta seluruh dunia.11 Demikianlah susunan dan sekaligus makna dari ritus Liturgi
10
Bdk. Ibid., hlm. 65.
11
Bdk. Ibid., hlm. 74.
4
4. Tujuan Liturgi Sabda
Liturgi sabda diadakan dengan ritus yang sedemikian lengkap, tentu bukan tanpa tujuan.
Berdasarkan Konstitusi Liturgi (KL) dan PUBM, ada tiga tujuan yang hendak dicapai dalam dan
Tujuan pertama, dikatakan bahwa “Di dalam liturgi, Allah berbicara kepada umat-
Nya....”12 Yang dimaksud dengan tujuan pertama ini, yakni untuk menekankan bahwa dalam
seluruh kegiatan liturgi yang dijalankan oleh umat beriman, itu merupakan sarana yang dipakai
oleh Allah untuk meneguhkan Gereja (umat-Nya) di dunia, agar tetap mengindahkan suara
kebaikan-Nya. Perjalanan Gereja di tengah dunia ini tentu tidak terlepas dari berbagai tantangan
yang dapat melunturkan iman akan Tuhan. Oleh karena itu, melalui Liturgi Sabda, umat
diingatkan dan terus disadarkan dari kelengahan dan kelalaiannya, agar tidak menyimpang dari
kehendak Tuhan.
Tujuan kedua, dikatakan bahwa “Pada saat Kitab Suci dibacakan di dalam gereja, maka
Kristus hadir dalam sabda-Nya.”13 Yang mau dikatakan di sini adalah bahwa pembacaan Kitab
Suci pada perayaan ekaristi bukanlah sekedar memberikan informasi tentang Allah dan cara-cara-
Nya berurusan dengan manusia, juga bukan semacam pengajaran di ruang kelas tentang
kebenaran-kebenaran iman, melainkan sebagai sebuah peristiwa yang sedang terjadi, campur
tangan Allah secara nyata dalam masalah dan keprihatinan jemaat yang sedang berkumpul di
dalam gereja.14 Karena itu, jika Liturgi Sabda dipandang sebagai peristiwa yang menghadirkan
suara Tuhan melalui sabda Kitab Suci, maka konsekuensinya ialah umat harus mendengarkannya
Tujuan ketiga, untuk memberikan “pelajaran spiritual” kepada umat. Bila umat menyadari
bahwa Kitab Suci memungkinkan mereka berhubungan dengan kehendak Allah dan bahwa Kitab
Suci masih mengomunikasikan rahmat serta cinta kasih Allah kepada mereka, maka pastilah
12
Bdk. Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid., hlm. 75.
5
pengetahuan ini akan mendorong mereka melakukan usaha-usaha spiritual.15 Yang dimaksud
dengan usaha-usaha spiritual bukan sekedar meditasi, tetapi lebih-lebih yang ditampakkan dalam
tindakan, yakni sungguh mencerminkan tindakan Allah yang terjadi di dalam lubuk jiwa kita dan
tanggapan kita kepada-Nya yang berasal dari lubuk jiwa kita juga. 16 Hal ini terbukti dalam model
kehidupan Gereja Kristen awali yang terus dihidupi oleh sabda Tuhan dan dengan berjalannya
waktu semakin membiasakan umat dengan Kitab Suci, sehingga pengetahuan tentang Allah dan
tindakan-tindakan penyelamatan-Nya pun semakin mendalam, serta lambat laun membawa umat
Pada umumnya dalam ekaristi, berkaitan dengan ritus Liturgi Sabda, ketiga bacaan yang
digunakan sudah ditentukan sesuai penanggalan Liturgi. Bacaan-bacaan itu disesuai dengan masa-
Pada bagian homili, juga mengalami pembaharuan, karena pernah ada pandangan negatif
mengenai “khotbah”18 imam di masa lampau, bahwa khotbah itu tidak ada kaitannya dengan apa
yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi.19 Dahulu khotbah hanya diadakan pada hari Minggu
dan Hari Raya, sedangkan pada hari biasa dianggap tidak perlu diadakan khotbah. Salah satu
contoh aneh mengenai praktik khotbah di masa lampau, yakni bila dalam perayaan Misa Agung
ada diakon yang mendampingi imam, maka khotbah tidak perlu diadakan, kalaupun diadakan
maka tidak berhubungan dengan bacaan-bacaan hari yang bersangkutan.20 Khotbah demikian
hanya menjadi semacam pidato. Namun, melalui Konsili Trente ditegaskan hanya Kitab Suci yang
harus dijelaskan secara terperinci dan akibatnya dari tahun ke tahun homili tetap sama, sehingga
terkesan sebagai homili yang usang.21 Untuk menanggapi persoalan tersebut, Konsili Vatikan II,
dengan tegas menyatakan bahwa “Homili harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Liturgi
15
Ibid., hlm. 77.
16
Bdk. Ibid., hlm. 77-78.
17
Bdk. Ibid., hlm. 78.
18
Sebenarnya dalam perayaan ekaristi, tidak boleh disebut khotbah, karena konotasinya negatif, sedangkan yang lebih
tepat adalah disebut homili.
19
Bdk. J. D. Crichton, op. cit., hlm. 78.
20
Bdk. Ibid., hlm. 78.
21
Bdk. Ibid., hlm. 78-79.
6
Sabda dan harus selalu diadakan dalam setiap perayaan ekaristi” (KL 35, 2 dan KL 52).22 Ada dua
hal pokok yang membentuk suatu homili yang liturgis, yaitu: pertama, isi homili harus diambil dari
bacaan Kitab Suci pada hari yang bersangkutan dan diberikan dalam konteks seluruh sejarah
penyelamatan; kedua, bentuk homili adalah suatu pewartaan, yang meneruskan pewartaan Kitab
Suci, sedangkan Kitab Suci sendiri merupakan penerus Keryma Perjanjian Baru, karena Kitab Suci
sendiri adalah suatu kerygma dan pewartaan sebelum dijadikan buku tertulis.23
Pada bagian Syahadat; ini merupakan tanggapan setuju umat terhadap Sabda Allah yang
diwartakan dalam Kitab Suci dan homili. Inilah akhir dari seluruh proses liturgi sabda. Praktik
sangat tidak cocok bila dinyanyikan, karena disamping memperpanjang waktu, juga tidak cocok
dengan tujuan musik itu sendiri.24 Pada bagian doa umat, ada beberapa hal yang ditekankan, yaitu
berdoa bagi kebutuhan Gereja, untuk seluruh umat manusia. Urutannya mengikuti pedoman
pokok, yaitu bagi Gereja, bagi penguasa dunia, bagi yang membutuhkan bantuan dan bagi jemaat
setempat.25
6. Penutup
Demikianlah corak pembaharuan yang terjadi dalam ritus Liturgi Sabda. Sebagian besar
dari tata cara telah berganti dan banyak hal juga mendukung pembaharuan ini. Tentu, dari seluruh
pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa Liturgi Sabda dalam perayaan ekaristi kontemporer
telah melalui proses panjang sehingga dirasa lebih sesuai dan tanpa mengubah hakekat dasarnya.
22
Bdk. Ibid., hlm. 79.
23
Bdk. Ibid., hlm. 79-81.
24
Bdk. Ibid., hlm. 83.
25
Bdk. Ibid., hlm. 83-84.
7
DAFTAR PUSTAKA
Crichton, J. D. Perayaan Ekaristi. terj. Komisi Liturgi KWI. Yogyakarta: Kanisius. 1987.
Klauser, Theodor. Sejarah Singkat Liturgi Barat. terj. Komisi Liturgi KWI. Yogyakarta: Kanisius.
1991.
Martimort, A.G. dkk. eds. Definisi dan Sejarah Liturgi. Yogyakarta: Komisi Liturgi KWI. 1989.
Seasoltz, R. Kevin. New Liturgy - New Laws. Collegeville, USA: The Order of St. Benedict, Inc.
1980.