Вы находитесь на странице: 1из 195

PENYAKIT DALAM OBSTETRI & GINEKOLOGI

KOMPETENSI 4

Disusun oleh:
Lena Wahyu S 201620401011075
Panahasini Winaomi 201620401011080
Rifqi Eka Budianta 201620401011114
Alfiah Fuarti Hana P 201620401011137
M. Dicky Arfiansyah 201620401011113
Radityo Haryo Y 201620401011074

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2017
VAGINITIS DAN VULVITIS

Pengertian

Vaginitis adalah diagnosis masalah ginekologis yang paling sering terjadi

di pelayanan primer. Pada sekitar 90% dari perempuan yang terkena, kondisi ini

disebabkan oleh vaginosis bakterial, kandidiasis atau trikomoniasis vulvovaginal.

Vaginitis merupakan infeksi vagina yang dapat terjadi secara langsung pada luka

vagina atau melalui perineum. Permukaan mukosa membengkak dan kemerahan,

terjadi ulkus. Penyebaran dapat terjadi, tetapi pada umumnya infeksi tinggal

terbatas.
Vaginitis adalah infeksi pada vagina yang disebabkan oleh vaginisis

bakterial, kandidiasis/ trikomoniasis vulvo vaginal, dan zat yang bersifat iritatif.
Etiologi
Vaginitis dapat disebabkan oleh ;
1. Infeksi
a. Bakteri (misalnya klamedia gonokokus)
b. Jamur (misalnya kandida), terutama pada penderita diabetes dan wanita

hamil serta pemakai antibiotic


c. Protozoa (misalnya trikomonas vaginalis)
d. Virus (misalnya HPV dan Herpes)
2. Zat atau benda yang bersifat iritatif
Misalnya spermisida, pelumas, diafragma, penutup serviks dan spons, pembilas

vagina, pakaian dalam yang terlalu ketat yang tidak berpori dan tidak menyerap

keringat
3. Tumor ataupun jaringan abnormal lainnya
4. Perubahan hormonal.
Patofisiologi
Flora vagina terdiri atas banyak jenis kuman, antar lain basil doderlein,

streptokokkus, stafilokokkus, difteroid, yang dalam keadaan normal hidup dalam

simbiosis diantara mereka. Jika simbiosis ini terganggu, dan jika kuman-kuman

seperti streptokokkus, stafilokokkus, basil koli dan lain-lain dapat berkembang

biak, timbullah vaginitis non spesifik. Antibiotik, kontrasepsi, hubungan seksual,


stress dan hormone dapat merubah lingkungan vagina dan dapat memungkinkan

organism pathogen tumbuh. Pada vaginosis bacterial dipercayai bahwa beberapa

kejadian yang provokatif menurunkan jumlah hydrogen peroksida yang

diproduksi C. acidophilus organism. Hasil dari perubahan pH yang terjadi

memungkinkan perkembangbiakan berbagai organism yang biasanya ditekan

pertumbuhannya seperti G. vaginalis, M.Hominis, dan Mobiluncus spesies.


Organism tersebut memproduksi berbagai produk metabolik seperti

amine, yang akan meningkatkan pH vagina dan menyebabkan ekspoliasi sel epitel

vagina. Amine inilah yang menyebabkan adanya bau yang tidak enak pada infeksi

vaginosis bacterial dengan fisiologi yang sama, perubahan lingkungan vagina,

seperti peningkatan produksi glikogen pada saat kehamilan dan tingkat

progesterone karena kontrasepsi oral memperkuat penempelan C.albikans ke sel

epitel vagina dan memfasilitasi pertumbuhan jamur. Perubahan ini dapat

mentransformasi kondisi kolonissi organism yang asimptomatik menjadi infeksi

yang simptomatik. Pada pasien dengan trikomoniasis perubahan tingkat estrogen

dan progesterone sebagaimana juga peningkatan pH vagina dan tingkat glikogen

dapat memperkuat pertumbuhan dan virulensi trikomonas vaginalis.


Tanda dan Gejala
Gejala yang paling sering ditemukan adalah keluarnya cairan abnormal

dari vagina. Dikatakan abnormal jika jumlahnya sangat banyak, baunya

menyengat atau disertai gatal-gatal dan nyeri.Cairan yang abnormal sering tampak

lebih kental dibandingkan cairan yang normal dan warnanya bermacam-macam.

Misalnya bisa seperti keju atau kuning kehijauan atau kemerahan.Infeksi

vagina karena bakteri cenderung mengeluarkan cairan berwarna putih, abu-abu

atau keruh kekuningan dan berbau amis. Setelah melakukan hubungan seksual

atau mencuci vagina dengan sabun, bau cairannya semakin menyengat karena
terjadi penurunan keasaman vagina sehingga bakteri semakin banyak yang

tumbuh. Vulva terasa agak gatal dan mengalami iritasi.

Infeksi jamur menyebabkan gatal-gatal sedang sampai hebat dan rasa

terbakar pada vulva dan vagina. Kulit tampak merah dan terasa kasar. Dari vagina

keluar cairan kental seperti keju. Infeksi ini cenderung berulang pada wanita

penderita diabetes dan wanita yang mengkonsumsi antibiotik.Infeksi karena

Trichomonas vaginalis menghasilkan cairan berbusa yang berwarna putih, hijau

keabuan atau kekuningan dengan bau yang tidak sedap. Gatal-gatalnya sangat

hebat.
Cairan yang encer dan terutama jika mengandung darah, bisa disebakan

oleh kanker vagina, serviks (leher rahim) atau endometrium. Polip pada serviks

bisa menyebabkan perdarahan vagina setelah melakukan hubungan seksual. Rasa

gatal atau rasa tidak enak pada vulva bisa disebabkan oleh infeksi virus papiloma

manusia maupun karsinoma in situ (kanker stadium awal yang belum menyebar

ke daerah lain).

Luka terbuka yang menimbulkan nyeri di vulva bisa disebabkan oleh infeksi

herpes atau abses. Luka terbuka tanpa rasa nyeri bisa disebabkan ole kanker atau

sifilis. Kutu kemaluan (pedikulosis pubis) bisa menyebabkan gatal-gatal di daerah

vulva.
Jenis-Jenis Vaginitis
1.Vaginitis trichomonas vaginalis
Infeksi ini disebabkan oleh trichomonas vaginalis yang mempunyai bentuk kecil,

berambut getar dan lincah bergerak. Gejala utamanya : terdapat keputihan encer

sampai kental, warna kekuning-kuningan, terasa gatal dan terasa membakar,

berbau, ada bintik pada dinding vagina.


2.Vaginitis kandidiasis
Infeksi ini disebabkan oleh jamur candida albikans. Vaginitis kandidiasis sering

dijumpai pada wanita hamil, karena terdapat perubahan asam basa. Gejala

vaginitis kandidiasis antara lain : terdapat keputihan kental bergumpal, terasa

sangat gatal dan mengganggu, pada dinding vagina sering dijumpai membran

putih yang bila dihapuskan dapat menimbulkan perdarahan.


Diagnosis
1. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan fisik dan

karakteristik cairan yang keluar dari vagina


2. Untuk mengetahui adanya keganasan, dilakukan pemeriksaan Pap smear
3. Apabila kecurigaan kemungkinan adalah jamur periksa cairan vagina

dengan KOH 10 – 40 % dilihat secara mikroskopis


4. Pemeriksaan hapusan / swab vagina dengan pewarnaan untuk ,mengetahui

jenis bakteri
5. Pada pemeriksaan di bawah mikroskop, > 20% sel epitel vagina adalah sel

”clue” (sel dengan batas tidak jelas, dotted with bacteria)


6. sekret berwarna abu-abu seperti susu, homogen, sekret kental/menempel
Penatalaksanaan
1. Pencegahan

Kebersihan yang baik dapat mencegah beberapa jenis vaginitis dari berulang dan

dapat meredakan beberapa gejala :


a. Hindari bathtub dan pusaran air panas spa. Bilas sabun dari luar daerah

genital Anda setelah mandi, dan keringkan area itu dengan baik untuk

mencegah iritasi. Jangan gunakan sabun wangi atau kasar, seperti yang

dengan deodoran atau antibakteri.


b. Hindari iritasi. Ini termasuk tampon dan bantalan berparfum.
c. Usap dari depan ke belakang setelah menggunakan toilet. Hindari

penyebaran bakteri dari tinja ke vagina.

Hal-hal lain yang dapat membantu mencegah vaginitis meliputi:

a. Jangan gunakan douche. Vagina anda tidak memerlukan pembersihan

lain dari mandi biasa. Berulang menggunakan douche mengganggu


organisme normal yang berada di vagina dan dapat benar-benar

meningkatkan risiko infeksi vagina. Douche tidak menghilangkan

sebuah infeksi vagina.


b. Gunakan kondom lateks laki-laki. Ini membantu mencegah infeksi

yang ditularkan melalui hubungan seksual.

c. Pakailah pakaian katun dan stoking dengan pembalut di selangkangannya. Jika

Anda merasa nyaman tanpa itu, langsung mengenakan pakaian tidur. Ragi tumbuh

subur di lingkungan lembab.

2. Pengobatan
Jika cairan yang keluar dari vagina normal, kadang pembilasan dengan air

bisa membantu mengurangi jumlah cairan. Cairan vagina akibat vaginitis perlu

diobati secara khusus sesuai dengan penyebabnya. Jika penyebabnya adalah

infeksi, diberikan antibiotik, anti-jamur atau anti-virus, tergantung kepada

organisme penyebabnya. Untuk mengendalikan gejalanya bisa dilakukan

pembilasan vagina dengan campuran cuka dan air. Tetapi pembilasan ini tidak

boleh dilakukan terlalu lama dan terlalu sering karena bisa meningkatkan resiko

terjadinya peradangan panggul.


Jika akibat infeksi labia (lipatan kulit di sekitar vagina dan uretra)

menjadi menempel satu sama lain, bisa dioleskan krim estrogen selama 7-10

hari.Selain antibiotik, untuk infeksi bakteri juga diberikan jeli asam propionat agar

cairan vagina lebih asam sehingga mengurangi pertumbuhan.bakteri. Pada

infeksi menular seksual, untuk mencegah berulangnya infeksi, kedua pasangan

seksual diobati pada saat.yang.sama.


Penipisan lapisan vagina pasca menopause diatasi dengan terapi sulih

estrogen. Estrogen bisa diberikan dalam bentuk tablet, plester kulit maupun krim

yang dioleskan langsung ke vulva dan vagina.


Pengobatan Umum Untuk Vaginitis & Vulvitis
Jenis Infeksi Pengobatan
Jamur a. Miconazole, clotrimazole, atau terconazole (krim, tablet

vagina atau supositoria)


b. Fluconazole atau ketoonazole (tablet)
Bakteri Biasanya metronidazole atau c;indamycin (tablet vagina) atau

metronidazole. Jika penyebabnya gonokokus biasanya

diberikan suntikan ceffriaxon dan tablet doxicylin.


Klamidia Doxicylin atau ozithromycin (tablet)
Trikomonas Metronidazole (tablet)
HPV (kutil genetalis) Asam triklorasetat (dioleskan ke kutil), untuk infeksi yang

berat digunakan larutan nitrogen atau fluorouracil (dioleskan

dikutil)
Virus Herpes Acyclovir (tablet atau salep)

Selain obat-obatan, penderita juga sebaiknya memakai pakaian dalam

yang tidak terlalu ketat dan menyerap keringat sehingga sirkulasi udara tetap

terjaga (misalnya terbuat dari katun) serta menjaga kebersihan vulva (sebaiknya

gunakan sabun gliserin). Untuk mengurangi nyeri dan gatal-gatal bisa

dibantu dengan kompres dingin pada vulva atau berendam dalam air dingin.

Untuk mengurangi gatal-gatal yang bukan disebabkan oleh infeksi bisa dioleskan

krim atau salep corticosteroid dan antihistamin per-oral (tablet). Krim atau tablet

acyclovir diberikan untuk mengurangi gejala dan memperpendek lamanya infeksi

herpes. Untuk mengurangi nyeri bisa diberikan obat pereda nyeri.


Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi karena vaginitis yaitu serviksitis, penyakit

radang panggul dan infeksi traktus urinarius.


Vulvitis
Definisi
Vulvitis adalah peradangan pada alat kelamin perempuan eksternal,

disebut vulva. Hal ini dapat disebabkan oleh vulva berkontak dengan iritasi yang

dapat menyebabkan dermatitis, eksim atau reaksi alergi. Dikenal alergen seperti
sabun mandi dan wewangian. Seorang wanita juga bisa mengalami peradangan

vulva akibat infeksi. Hal ini lebih sering terlihat pada wanita pascamenopause dan

praremaja karena tingkat estrogen yang lebih rendah dalam tubuh mereka

dibandingkan dengan wanita-wanita yang mengalami menstruasi (whg pc, 2013).

Etiologi

Penyebabnya bisa berupa (whg pc, 2013) :

1. Infeksi
a. Bakteri (misalnya klamidia, gonokokus)
b. Jamur (misalnya kandida), terutama pada penderita diabetes, wanita

hamil dan pemakaiantibiotik


c. Protozoa (misalnya Trichomonas vaginalis)
d. Virus (misalnya virus papiloma manusia dan virus herpes).
2. Zat atau benda yang bersifat iritatif
a. Spermisida, pelumas, kondom, diafragma, penutup serviks dan spons
b. Sabun cuci dan pelembut pakaian
c. Deodoran
d. Zat di dalam air mandi
e. Pembilas vagina
f. Pakaian dalam yang terlalu ketat, tidak berpori-pori dan tidak

menyerap keringat
g. Tinja
3. Tumor ataupun jaringan abnormal lainnya
4. Terapi penyinaran
5. Obat-obatan
6. Perubahan hormonal.

Faktor Resiko

Setiap wanita dari segala usia dapat terserang vulvitis. Wanita yang belum

mencapai pubertas atau wanita pasca-menopause mungkin berada pada risiko

yang lebih tinggi terserang vulvitis. Tingkat estrogen yang lebih rendah mereka

dapat membuat mereka lebih rentan terhadap kondisi karena jaringan vulva lebih

tipis (Lin dkk., 2010).

Gejala
1. Gejala yang paling sering ditemukan adalah keluarnya cairan abnormal dari

vagina.
Dikatakan abnormal jika jumlahnya sangat banyak, baunya menyengat atau

disertai gatal-gatal dan nyeri. Cairan yang abnormal sering tampak lebih

kental dibandingkan cairan yang normal dan warnanya bermacam-macam.

Misalnya bisa seperti keju, atau kuning kehijauan atau kemerahan.


2. Infeksi vagina karena bakteri cenderung mengeluarkan cairan berwarna putih,

abu-abu atau keruh kekuningan dan berbau amis.


Setelah melakukan hubungan seksual atau mencuci vagina dengan sabun, bau

cairannya semakin menyengat karena terjadi penurunan keasaman vagina

sehingga bakteri semakin banyak yang tumbuh. Vulva terasa agak gatal dan

mengalami iritasi.
3. Infeksi jamur menyebabkan gatal-gatal sedang sampai hebat dan rasa terbakar

pada vulva dan vagina.


Kulit tampak merah dan terasa kasar. Dari vagina keluar cairan kental seperti

keju. Infeksi ini cenderung berulang pada wanita penderita diabetes dan

wanita yang mengkonsumsi antibiotik.


4. Infeksi karena Trichomonas vaginalis menghasilkan cairan berbusa yang

berwarna putih, hijau keabuan atau kekuningan dengan bau yang tidak sedap. Gatal-

gatalnya sangat hebat.


5. Cairan yang encer dan terutama jika mengandung darah, bisa disebakan oleh

kanker vagina, serviks (leher rahim) atau endometrium.


6. Polip pada serviks bisa menyebabkan perdarahan vagina setelah melakukan

hubungan seksual.
7. Rasa gatal atau rasa tidak enak pada vulva bisa disebabkan oleh infeksi virus

papiloma manusia maupun karsinoma in situ (kanker stadium awal yang

belum menyebar ke daerah lain).


8. Luka terbuka yang menimbulkan nyeri di vulva bisa disebabkan oleh infeksi

herpes atau abses.


9. Luka terbuka tanpa rasa nyeri bisa disebabkan oleh kanker atau sifilis.
10. Kutu kemaluan (pedikulosis pubis) bisa menyebabkan gatal-gatal di daerah

vulva.

Penegakan Diagnosis

1. Anamnesa

Anamnesis didapatkan (Lin dkk., 2010) :


a. Ekstrim dan konstan gatal.
b. Sebuah sensasi terbakar di daerah vulva
2. Pemeriksaan Fisik (Lin dkk., 2010) :
a. Keputihan
b. Retak kecil pada kulit vulva
c. Kemerahan dan pembengkakan pada vulva dan labia (bibir vagina)
d. Lecet pada vulva
e. Bersisik, patch keputihan tebal di vulva
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan leukosit esterase dengan dipstik merupakan pemeriksaan

skrining yang cepat dalam menegakkan diagnosis vaginitis dan servisitis.

Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi trikomonas, kandida, dan

vaginosis bakterial, serta infeksi oleh gonokokus dan klamidia. Biakan

sekret vagina,sitologi, dan vaginoskopi perlu dilakukan untuk evaluasi

vulvovaginitis, namun pada kebanyakan kasus vulvitis primer nonspesifik

tidak diperlukan vaginoskopi. Vaginoskopi biasanya diperlukan pada

vulvovaginitis persisten atau berulang, perdarahan vagina, kecurigaan

terhadap benda asing, neoplasma, atau anomali kongenital (Wijayanti,

2014).

Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah

(Wijayanti, 2014):

a. Pengukuran pH

Penentuan pH dengan kertas indicator (N: 3.0-4.5)


Hasil pengukuran pH cairan vagina

- Pada pH vagina 6.8-8.5 sering disebabkan oleh Gonokokus

- Pada pH vagina 5.0-6.5 sering disebabkan oleh Gardanerrella

vaginalis

- Pada pH vagina 4.0-6.8 sering disebabkan candida albican

- Pada pH vagina 4,0-7.5 sering disebabkan oleh trichomoniasis

tetapi tidak cukup spesifik.

b. Penilaian sedian basah

Penilaian diambil untuk pemeriksaan sedian basah dengan

KOH 10% dan garam fisiologis (NaCl 0.9%). Cairan dapat

diperiksa dengan melarutkan sampel dengan 2 tetes larutan

NaCl 0,9% diatas objek glass dan sampel kedua di larutkan

dalam KOH 10%. Penutup objek glass ditutup dan diperiksa

dibawah mikroskop.

- Trikomonas vaginalis akan terlihat jelas dengan NaCl 0.9%

sebagai parasit berbentuk lonjong dengan flagelnya dan

gerakannya yang cepat.

- Candida albicans akan terlihat jelas dengan KOH 10% tampak

sel ragi (blastospora) atau hifa semu.

- Vaginitis non spesifik yang disebabkan oleh Gardnerella

vaginalis pada sediaan dapat ditemukan beberapa kelompok

basil, lekosit yang tidak seberapa banyak dan banyak sel-


selepitel yang sebagian besar permukannya berbintik-bintik. Sel-

sel ini disebut clue cell yang merupakan cirri khas infeksi

Gardnerella vaginalis.

c. Perwarnaan Gram

- Neisseria Gonorhoea memberikan gambaran adanya gonokokus

intra dan ekstraseluler.

- Gardnerella vaginalis memberikan gambaran batang-batang

berukuran kecil gram negative yang tidak dapat dihitung

jumlahnya dan banyak sel epitel dengan koko basil, tanpa

ditemukan lakto basil.

d. Kultur

Dengan kultur akan dapat ditemukan kuman penyebab

secara pasti, tetapi seringkali kuman tidak tumbuh sehingga

harus hati-hati dalam penafsiran.

e. Pemeriksaan serologis

Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendeteksi Herpes

Genitalis dan Human Papiloma Virus dengan pemeriksaan

ELISA.

f. Tes Pap Smear

Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi adanya

keganasan pada serviks, infeksi Human Papiloma Virus,

peradangan, sitologi hormonal, dan evaluasi hasil terapi.


Patogenesis

Meskipun penyebab dari bakterial vaginosis belum diketahui dengan pasti,

kondisi ini diduga karena perubahan keseimbangan flora normal di vagina akibat

peningkatan Phlokal yang mungkin merupakan akibat dari berkurangnya

Lactobacillus yang memproduksi hydrogen peroksida. Normalnya, di dalam

vagina terdapat Lactobacillus dalam jumlah yang banyak. Sedangkan hampir

semua bakteri anaerob hanya memiliki enzim katalase peroksidase dalam jumlah

sedikit sehingga tidak bisa menghilangkan hydrogen peroksida. Pada bakterial

vaginosis, jumlah Lactobacillus berkurang, sehingga terjadi peningkatan jumlah

bakteri anaerob, termasuk G.vaginalis. Lactobacillus merupakan bakteri yang

membantu metabolism glikogen menjadi asam laktat di dalam vagina dan

menjaga Ph normal vagina. Kadar Ph normal membantu melawan proliferasi

bakteri patogen. Jika mekanisme pertahanan ini gagal, maka banyak bakteri

patogen di dalam vagina (misalnya: Bacteroide ssp, Pepto streptococcu ssp,

Gardnerella vaginalis, G.mobiluncus, Mycoplasma hominis) akan berploriferasi

dan menimbulkan keluhan. Sekitar 50% wanita terdapat G.vaginalis sebagai flora

di vaginanya tapi tidak berkembang menjadi infeksi (Curran, 2010).

Gardnerella vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro,

kemudian menambah deskuamasi sel epitel vagina, sehingga terjadi perlekatan

secret pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasive dan respons inflamasi

lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam

sekret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis tidak ditemukan imunitas

(Djuanda dkk., 2007).

Patofisiologis
Bila keseimbangan mikroorganisme berubah maka organisme yang

berpotensi patogen, yang merupakan bagian flora normal, misalnya C. Albicans

pada kasus infeksi monolia serta G. Vaginalis dan bakteri anaerob pada kasus

vaginitis non spesifik berproliferasi sampai suatu konsentrasi yang berhubungan

dengan gejala. Pada mekanisme lainya, organisme ditularkan melalui hubungan

seksual dan bukan merupakan bagian flora normal seperti trichomonas vaginalis

dan nisseria gonorrhoea dapat menimbulkan gejala. Gejala yang timbul bila

proses meningkatkan respon peradangan terhadap organisme yang menginfeksi

dengan menarik leukosit serta melepaskan prostaglandin dan komponen respon

peradangan lainnya (Andrew, 2011).


Gejala ketidaknyamanan dan pruritus vagina berasal dari respon

peradangan vagina lokal terhadap infeksi T. Vaginalis atau C. Albicans,Organisme

tertentu yang menarik leukosit , termasuk T.Vaginalis , menghasilkan secret

purulen. Diantara wanita dengan vaginitis non spesifik. Baunya disebabkan oleh

terdapatnya amina dibentuk sebagai hasil metabolisme bakteri anaerob. Histamin

dapat menimbulkan ketidaknyamanan oleh efek vasodilatasi local. Produk lainya

dapat merusak sel – sel epitel dengan cara sama dengan infeksi lainya (Andrew,

2011).

Gambaran Histopatologi
Gambar 2.1. Vulvitis diambil dari :
https://quizlet.com/58398359/gynecologic-pathology-flash-cards/
diakses tanggal 15 Oktober 2015

Vulva biopsi :

a. Sel abnormal pada epidermis terkonsentrasi di lapisan basal tetapi

mungkin juga hadir dangkal dan dalam pelengkap kulit


b. Sel tumor Intraepithelial tunggal atau dalam kelompok-kelompok

kecil
c. Sel besar dengan inti bulat sering mengandung nukleolus besar
Sitoplasma pucat atau vakuolisasi terutama sel cincin metera
Penatalaksanaan
1. Jika cairan yang keluar dari vagina normal, kadang pembilasan dengan air bisa

membantu mengurangi jumlah cairan.


2. Cairan vagina akibat vaginitis perlu diobati secara khusus sesuai dengan

penyebabnya.
3. Jika penyebabnya adalah infeksi, diberikan antibiotik, anti-jamur atau anti-

virus, tergantung kepada organisme penyebabnya.


4. Untuk mengendalikan gejalanya bisa dilakukan pembilasan vagina dengan

campuran cuka dan air.Tetapi pembilasan ini tidak boleh dilakukan terlalu lama

dan terlalu sering karena bisa meningkatkan resiko terjadinya peradangan

panggul.
5. Jika akibat infeksi labia (lipatan kulit di sekitar vagina dan uretra) menjadi

menempel satu sama lain, bisa dioleskan krim estrogen selama 7-10 hari.
6. Selain antibiotik, untuk infeksi bakteri juga diberikan jeli asam propionat agar

cairan vagina lebih asam sehingga mengurangi pertumbuhan bakteri.


7. Pada infeksi meular seksual, untuk mencegah berulangnya infeksi, kedua

pasangan seksual diobati pada saat yang sama.


8. Penipisan lapisan vagina pasca menopause diatasi dengan terapi sulih estrogen.

Estrogen bisadiberikan dalam bentuk tablet, plester kulit maupun krim yang

dioleskan langsung ke vulva dan vagina.


Pengobatan Umum Untuk Vaginitis & Vulvitis Jenis infeksi Pengobatan
1. Jamur : Miconazole, clotrimazole, butoconazole atau terconazole (krim, tablet

vagina atau supositoria) atau Fluconazole atau ketoconazole (tablet)


2. Bakteri : Biasanya metronidazole atau clindamycin (tablet vagina) atau

metronidazole (tablet).
Komplikasi
1. Komplikasi (Sunarso, 2012)
a. Endometrititis
Peningkatan konsentrasi flora anaerob, yang sebagian mungkin

karena perubahan PH, bisa menyebabkan peningkatan angka

endometritis.
b. Salpingitis
Radang pada saluran telur dapat terjadi bila infeksi serviks

menyebar ke tuba uterine.


c. Servisitis
Peradangan ini dapat terjadi bila infeksi menyebar ke serviks.
Prognosis

Secara umum baik dengan penatalaksanaan yang tepat dan pencegahan yang

benar (Sunarso, 2012).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozi. 2015.“Vaginitis dan Vulvitis”


http://bukusakudokter.org/2012/10/07/vaginitis-vulvitis/ diakses pada
tanggal 16 Oktober 2015.
Andrew, Epidermal Nevi, Neoplasm, and Cysts. 10thEdition. Andrew’s Disease
of the Skin. Page : 627.
Djuanda, dkk.2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p. 3-4, 7-8.
Lin, M.-T., Rohwedder, A., Mysliborski, J., Leopold, K., Wilson, V. L. and
Carlson, J. A. (2010), ‘HPV vulvitis’ revisited: frequent and persistent
detection of novel epidermodysplasia verruciformis-associated HPV
genotypes. Journal of Cutaneous Pathology; 35: 259–272.
Pardede, Sudung O. Vulvovaginitis Pada Anak. Sari Pediatri. Vol. 8, No. 1,
Juni : 2010 : 75-83.
Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka.
Sutoyo, Sunarso. 2012. Candidiasis Mukosa. Universitas Airlangga Surabaya :
UNAIR Press
The Women’s Health Group. 2013. “Vulvitis”. [online] [Diakses tanggal 15
Oktober 2015]. Diunduh dari URL:http://www.whg-
pc.com/webdocuments/Menopause/Vulva-Vulvitis.pdf
Wijayanti, Wakhidah Ummi.Vulvovaginitis Pada Remaja.Jurnal Kebidanan, Vol.
VI, No. 01, Juni 2014

BAKTERIAL VAGINOSIS

Definisi Bakterial Vaginosis

Vaginosis bakteril, juga disebut BV merupakan infeksi vagina yang paling

umum pada wanita usia subur. Ini terjadi ketika keseimbangan normal bakteri di

vagina terganggu dan digantikan oleh pertumbuhan berlebih dari bakteri tertentu..

Vaginosis bakterial didefinisikan sebagai suatu keadaan abnormal pada

ekosistem vagina yang dikarakterisasi oleh pergantian konsentrasi Lactobacillus

yang tinggi sebagai flora normal vagina oleh konsentrasi bakteri anaerob yang

tinggi, terutama Bacteroides sp., Mobilincus sp., Gardnerella vaginalis, dan

Mycoplasma hominis. Jadi vaginosis bakterial bukan suatu infeksi yang


disebabkan oleh satu organisme, tetapi timbul akibat perubahan kimiawi dan

pertumbuhan berlebih dari bakteri yang berkolonisasi di vagina.

Etiologi
Ekosistem vagina normal adalah sangat kompleks. Lactobacillus merupakan

spesies bakteri yang dominan (flora normal) pada vagina wanita usia subur, tetapi

ada juga bakteri lainnya yaitu bakteri aerob dan anaerob. Pada saat bakterial

vaginosis muncul, terdapat pertumbuhan berlebihan dari beberapa spesies bakteri

yang ditemukan, dimana dalam keadaan normal ada dalam konsentrasi rendah.
Penyebab bakterial vaginosis bukan organisme tunggal. Pada suatu analisis

dari data flora vagina memperlihatkan bahwa ada 4 kategori dari bakteri vagina

yang berhubungan dengan bakterial vaginosis, yaitu :


 Gardnerella vaginalis
Berbagai kepustakaan selama 30 tahun terakhir membenarkan observasi Gardner

dan Dukes’ bahwa Gardnerella vaginalis sangat erat hubungannya dengan

bakterial vaginosis.

Gambar : Gardnerella vaginalis

Organisme ini mula-mula dikenal sebagai H. vaginalis kemudian diubah menjadi

genus Gardnerella atas dasar penyelidikan mengenai fenetopik dan asam dioksi-

ribonukleat. Tidak mempunyai kapsul, tidak bergerak dan berbentuk batang gram

negatif atau variabel gram. Tes katalase, oksidase, reduksi nitrat, indole, dan

urease semuanya negatif.


Kuman ini bersifat fakultatif, dengan produksi akhir utama pada fermentasi

berupa asam asetat, banyak galur yang juga menghasilkan asam laktat dan asam

format. Ditemukan juga galur anaerob obligat. Dan untuk pertumbuhannya

dibutuhkan tiamin, riboflavin, niasin, asam folat, biotin, purin, dan pirimidin.

Berbagai literatura dalam 30 tahun terakhir membuktikan bahwa G. vaginalis

berhubungan dengan bacterial vaginalis. Bagaimanapun dengan media kultur yang

lebih sensitive G. Vaginalis dapat diisolasi dalam konsentrasi yang tinggi pada

wanita tanpa tanda-tanda infeksi vagina. Saat ini dipercaya bahwa G. vaginalis

berinteraksi dengan bakteri anaerob dan hominis menyebabkan bakterial

vaginosis.

• Mycoplasma hominis

Pertumbuhan Mycoplasma hominis mungkin distimulasi oleh putrescine, satu dari

amin yang konsentrasinya meningkat pada bakterial vaginosis. Konsentrasi

normal bakteri dalam vagina biasanya 105 organisme/ml cairan vagina dan

meningkat menjadi 108-9 organisme/ml pada bakterial vaginosis. Terjadi

peningkatan konsentrasi Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob termasuk

Bacteroides, Leptostreptococcus, dan Mobilincus Spp sebesar 100-1000 kali lipat.


Gambar : Mycoplasma hominis

 Bakteri anaerob : Mobilincus Spp dan Bacteriodes Spp


Spiegel menyimpulkan bahwa bakteri anaerob berinteraksi dengan G. vaginalis

untuk menimbulkan vaginosis. Peneliti lain memperkuat adanya hubungan antara

bakteri anaerob dengan bakterial vaginosis. Menurut pengalaman, Bacteroides

Spp paling sering dihubungkan dengan bakterial vaginosis.

Gambar : Bacteroides Spp

Mikroorganisme anaerob yang lain yaitu Mobilincus Spp, merupakan batang

anaerob lengkung yang juga ditemukan pada vagina bersama-sama dengan

organisme lain yang dihubungkan dengan bakterial vaginosis. Mobilincus Spp

hampir tidak pernah ditemukan pada wanita normal, 85 % wanita dengan bakterial

vaginosis mengandung organisme ini.

Gambar : Mobilincus Spp


Aktivitas seksual diduga mempunyai peranan dalam hal timbulnya bakterial

vaginosis, bagaimanapun melakukan hubungan seksual bebas dan berganti-ganti

pasangan akan meningkatkan resiko wanita itu mendapat bakterial vaginosis.

Faktor Resiko

Faktor Resiko terjadinya Vaginosis Baterial :

1. Pasangan seksual yang baru


2. Merokok
3. AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)
4. Pembilasan vagina yang terlampau sering, menyebabkan menurunnya

jumlah laktobaksil penghasil hidrogen peroksida yang menyebabkan

pertumbuhan berlebihan dari bakteri lain khususnya yang berasal dari

bakteri anerobik.
5. Vagina yang terlalu sering dalam keadaan lembab dan jarang mengganti

celana dalam.

Patogenesis

Ekosistem vagina adalah biokomuniti yang dinamik dan kompleks yang

terdiri dari unsur-unsur yang berbeda yang saling mempengaruhi. Salah satu

komponen lengkap dari ekosistem vagina adalah mikroflora vagina endogen, yang

terdiri dari gram positif dan gram negatif aerobik, bakteri fakultatif dan obligat

anaerobik. Aksi sinergetik dan antagonistik antara mikroflora vagina endogen

bersama dengan komponen lain, mengakibatkan tetap stabilnya sistem ekologi

yang mengarah pada kesehatan ekosistem vagina.

Beberapa faktor / kondisi yang menghasilkan perubahan keseimbangan

menyebabkan ketidakseimbangan dalam ekosistem vagina dan perubahan pada

mikroflora vagina. Dalam keseimbangannya, ekosistem vagina didominasi oleh

bakteri Lactobacillus yang menghasilkan asam organik seperti asam laktat,


hidrogen peroksida (H2O2), dan bakteriosin.Asam laktat seperti organic acid

lanilla yang dihasilkan oleh Lactobacillus, memegang peranan yang penting

dalam memelihara pH tetap di bawah 4,5 (antara 3,8 - 4,2), dimana merupakan

tempat yang tidak sesuai bagi pertumbuhan bakteri khususnya mikroorganisme

yang patogen bagi vagina.

Kemampuan memproduksi H2O2 adalah mekanisme lain yang menyebabkan

Lactobacillus hidup dominan daripada bakteri obligat anaerob yang kekurangan

enzim katalase. Hidrogen peroksida dominan terdapat pada ekosistem vagina

normal tetapi tidak pada bakterial vaginosis. Mekanisme ketiga pertahanan yang

diproduksi oleh Lactobacillus adalah bakteriosin yang merupakan suatu protein

dengan berat molekul rendah yang menghambat pertumbuhan banyak bakteri

khususnya Gardnerella vaginalis.

G. vaginalis sendiri juga merupakan bakteri anaerob batang variabel gram

yang mengalami hiperpopulasi sehingga menggantikan flora normal vagina dari

yang tadinya bersifat asam menjadi bersifat basa. Perubahan ini terjadi akibat

berkurangnya jumlah Lactobacillus yang menghasilkan hidrogen peroksida.

Lactobacillus sendiri merupakan bakteri anaerob batang besar yang membantu

menjaga keasaman vagina dan menghambat mikroorganisme anaerob lain untuk

tumbuh di vagina.

Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia

produktif. Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan

jernih yang keluar, bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan

sekresi dari kelenjar Bartolini. Pada wanita, sekret vagina ini merupakan suatu hal
yang alami dari tubuh untuk membersihkan diri, sebagai pelicin, dan pertahanan

dari berbagai infeksi.

Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih keruh, atau

berwarna kekuningan ketika mengering di pakaian, memiliki pH kurang dari 5,0

terdiri dari sel-sel epitel yang matur, sejumlah normal leukosit, tanpa jamur,

Trichomonas, tanpa clue cell.

Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis sebagai

pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam

vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret

vagina sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan G. vaginalis. Beberapa

amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan

menyebabkan duh tubuh berbau tidak sedap yang keluar dari vagina. Basil-basil

anaerob yang menyertai bakterial vaginosis diantaranya Bacteroides bivins, B.

Capilosus dan B. disiens yang dapat diisolasikan dari infeksi genitalia.

G. vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian

menambahkan deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh

pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasive dan respon inflamasi lokal

yang terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret

vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya bakterial vaginosis ada

hubungannya dengan aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi

Trichomonas.

Bakterial vaginosis yang sering rekurens bisa disebabkan oleh kurangnya

pengetahuan tentang faktor penyebab berulangnya atau etiologi penyakit ini.


Walaupun alasan sering rekurennya belum sepenuhnya dipahami namun ada 4

kemungkinan yang dapat menjelaskan yaitu :

1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab bakterial

vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi G. vaginalis

mengandung G. vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra tetapi tidak

menyebabkan uretritis pada laki-laki (asimptomatik) sehingga wanita yang telah

mengalami pengobatan bakterial vaginosis cenderung untuk kambuh lagi akibat

kontak seksual yang tidak menggunakan pelindung.


2. Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bakterial vaginosis yang hanya

dihambat pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.


3. Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai flora

normal yang berfungsi sebagai protektor dalam vagina.


4. Menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor hostnya pada

penderita, membuatnya rentan terhadap kekambuhan.

3.5 Patofisiologi
ETIOLOGI

Bakteriosin : H2O :
menghambat Lactobasilus mempertahankan
pertumbuhan ke amanan Vagina
mikroorganisme
an aerob lain di
vagina

Lactobasilus

G vaginalis Vaginitis

G Vaginitis + Human an aerob + bakteri fakultatif


MK :
SIMBIOSIS
Resiko Menyebabkan
MK : Gangguan rasa Kerusakan Gatal
iritasi kulit dan Bau
Perlekatan pada dinding
Melekat
Respon
Radang pada
nyaman
Peningkatan sel epitel
Inflamasi
sekret
Supuratif Kulit Amin
Asam Amino
Vagina
gatal
Gambaran Klinis

Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling

sering pada bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal

(terutama setelah melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang

khas yaitu bau amis/bau ikan (fishy odor).

Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang menguap bila cairan vagina

menjadi basa. Cairan seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan terlepasnya amin

dari perlekatannya pada protein dan amin yang menguap menimbulkan bau yang

khas. Walaupun beberapa wanita mempunyai gejala yang khas, namun pada

sebagian besar wanita dapat asimptomatik. Iritasi daerah vagina atau sekitar

vagina (gatal, rasa terbakar), kalau ditemukan lebih ringan daripada yang
disebabkan oleh Trichomonas vaginalis atau C.albicans. Sepertiga penderita

mengeluh gatal dan rasa terbakar, dan seperlima timbul kemerahan dan edema

pada vulva. Nyeri abdomen, disuria, atau nyeri waktu kencing jarang terjadi, dan

kalau ada karena penyakit lain.

Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan sering

berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang

berbusa.Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan

tipis atau kelainan yang difus. Gejala peradangan umum tidak ada. Sebaliknya

sekret vagina normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang

memberikan gambaran bergerombol.

Pada penderita dengan bakterial vaginosis tidak ditemukan inflamasi pada

vagina dan vulva. Bakterial vaginosis dapat timbul bersama infeksi traktus genital

bawah seperti trikomoniasis dan servisitis sehingga menimbulkan gejala genital

yang tidak spesifik.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan preparat basah
Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl 0,9% pada

sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutupi dengan coverslip. Dan

dilakukan pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi (400 kali)

untuk melihat clue cells, yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi

dengan bakteri (terutama Gardnerella vaginalis). Pemeriksaan preparat basah

mempunyai sensitifitas 60% dan spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial

vaginosis. Clue cells adalah penanda bakterial vaginosis.


Cara pemeriksaannya :
Pemeriksaan preparat basah;dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes

cairan NaCl 0,9% pada sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutupi
dengan coverslip. Dan dilakukan pemeriksaan mikroskopik menggunakan

kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat clue cells, yang merupakan sel epitel

vagina yang diselubungi dengan bakteri (terutama Gardnerella

vaginalis).Pemeriksaan preparat basah mempunyai sensitifitas 60% dan

spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial vaginosis. Clue cells adalah penanda

bakterial vaginosis, > 20% pada preparat basah atau pewarnaan Gram.
Skoring jumlah bakteri yang normal pada vagina atau vaginosis bakterial

dengan pewarnaan Gram :

Lactobacilli Gardnerella/ Mobilincus sp

Bacteroides

(4+) : 0 (1+) : 1 (1+)-(2+) : 1


(3+) : 1 (2+) : 2 (3+)-(4+) : 2
(2+) : 2 (3+) : 3
(1+) : 3 (4+) : 3
(0) : 4
Skor 0-3 dinyatakan normal; 4-6 dinyatakan sebagai intermediate; 7-10

dinyatakan sebagai vaginosis bakterial.

Kriteria diagnosis vaginosis bakterial berdasarkan pewarnan Gram :


a. derajat 1: normal, di dominasi oleh Lactobacillus

b. derajat 2: intermediate, jumlah Lactobacillus berkurang

c. derajat 3: abnormal, tidak ditemukan Lactobacillus atau hanya ditemukan

beberapa kuman tersebut, disertai dengan bertambahnya jumlah Gardnerella

vaginalis atau lainnya.


1. Whiff test
Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi

dengan penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau muncul

sebagai akibat pelepasan amin dan asam organik hasil alkalisasi bakteri

anaerob. Whiff test positif menunjukkan bakterial vaginosis.


2. Tes lakmus untuk Ph
Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna kertas

dibandingkan dengan warna standar. pH vagina normal 3,8 - 4,2. Pada 80-

90% bakterial vaginosis ditemukan pH > 4,5.


3. Pewarnaan gram sekret vagina
Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak ditemukan

Lactobacillus sebaliknya ditemukan pertumbuhan berlebihan dari Gardnerella

vaginalis dan atau Mobilincus Spp dan bakteri anaerob lainnya.


4. Kultur vagina
Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis bakterial

vaginosis. Kultur vagina positif untuk G. vaginalis pada bakterial vaginosis

tanpa grjala klinis tidak perlu mendapat pengobatan.


5. Uji H2O2 :
Pemberian setetes H2O2 (hidrogen peroksida) pada sekret vagina diatas

gelas objek akan segera membentuk gelembung busa ( foaming bubbles)

karena adanya sel darah putih yang karakteristik untuk trikomoniasis atau

pada vaginitis deskuamatif, sedangkan pada vaginosis bakterialis atau

kandidiasis vulvovaginal tidak bereaksi.

Diagnosis

Diagnosis bakterial vaginosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan mikroskopis. Anamnesis menggambarkan riwayat sekresi vagina

terus-menerus dengan bau yang tidak sedap. Kadang penderita mengeluh iritasi

pada vagina disertai disuria/dispareunia, atau nyeri abdomen. Pada pemeriksaan

fisis relatif tidak banyak ditemukan apa-apa, kecuali hanya sedikit inflamasi dapat

juga ditemukan sekret vagina yang berwarna putih atau abu-abu yang melekat

pada dinding vagina.


Gardner dan Dukes (1980) menyatakan bahwa setiap wanita dengan aktivitas

ovum normal mengeluarkan cairan vagina berwarna abu-abu, homogen, berbau


dengan pH 5 - 5,5 dan tidak ditemukan T.vaginalis, kemungkinan besar menderita

bakterial vaginosis. WHO (1980) menjelaskan bahwa diagnosis dibuat atas dasar

ditemukannya clue cells, pH vagina lebih besar dari 4,5, tes amin positif dan

adanya G. vaginalis sebagai flora vagina utama menggantikan Lactobacillus.

Balckwell (1982) menegakkan diagnosis berdasarkan adanya cairan vagina yang

berbau amis dan ditemukannya clue cells tanpa T. vaginalis. Tes amin yang positif

serta pH vagina yang tinggi akan memperkuat diagnosis.


Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu diagnosis,

oleh sebab itu didapatkan kriteria klinis untuk bakterial vaginosis yang sering

disebut sebagai kriteria Amsel (1983) yang berpendapat bahwa terdapat tiga dari

empat gejala, yaitu :


1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding vagina

dan abnormal.
2. pH vagina > 4,5
3. Tes amin yang positif, yangmana sekret vagina yang berbau amis sebelum atau

setelah penambahan KOH 10% (Whiff test)


4. Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)
Gejala diatas sudah cukup untuk menegakkan diagnosis.

Diagnosis Banding
Ada beberapa penyakit yang menggambarkan keadaan klinik yang mirip dengan

bakterial vaginosis, antara lain :


1. Trikomoniasis
Trikomoniasis merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan oleh

Trichomonas vaginalis. Biasanya penyakit ini tidak bergejala tapi pada beberapa
keadaan trikomoniasis akan menunjukkan gejala. Terdapat duh tubuh vagina

berwarna kuning kehijauan, berbusa dan berbau. Eritem dan edem pada vulva,

juga vagina dan serviks pada beberapa perempuan. Serta pruritos, disuria, dan

dispareunia.
Pemeriksaan apusan vagina Trikomoniasis sering sangat menyerupai

penampakan pemeriksaan apusan bakterial vaginosis. Tapi Mobilincus dan clue

cell tidak perbah ditemukan pada Trikomoniasis. Pemeriksaan mikroskopoik

tampak peningkatan sel polimorfonuklear dan dengan pemeriksaan preparat basah

ditemukan protozoa untuk diagnosis. Whiff test dapat positif pada trikomoniasis

dan pH vagina 5 pada trikomoniasis.

2. Kandidiasis
Kandidiasis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans

atau kadang Candida yang lain. Gejala yang awalnya muncul pada kandidiasis

adalah pruritus akut dan keputihan. Keputihan seringkali tidak ada dan hanya

sedikit. Kadang dijumpai gambaran khas berupa vaginal thrush yaitu bercak putih

yang terdiri dari gumpalan jamur, jaringan nekrosis epitel yang menempel pada

vagina. Dapat juga disertai rasa sakit pada vagina iritasi, rasa panas dan sakit saat

berkemih.
Pada pemeriksaan mikroskopik, sekret vagina ditambah KOH 10% berguna

untuk mendeteksi hifa dan spora Candida. Keluhan yang paling sering pada

kandidiasis adalah gatal dan iritasi vagina. Sekret vagina biasanya putih dan tebal,

tanpa bau dan pH normal.


Pencegahan
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam menjaga kondisi tubuh adalah sbb :
1. Bersihkan organ intim dengan pembersih yang tidak mengganggu

kestabilan pH di sekitar vagina. Salah satunya produk pembersih yang

terbuat dari bahan dasar susu. Produk seperti ini mampu menjaga
seimbangan pH sekaligus meningkatkan pertumbuhan flora normal dan

menekan pertumbuhan bakteri yang tak bersahabat. Sabun antiseptik biasa

umumnya bersifat keras dan dapat flora normal di vagina. Ini tidak

menguntungkan bagi kesehatan vagina dalam jangka panjang.


2. Hindari pemakaian bedak pada organ kewanitaan dengan tujuan agar

vagina harum dan kering sepanjang hari. Bedak memiliki partikel-partikel

halus yang mudah terselip disana-sini dan akhirnya mengundang jamur dan

bakteri bersarang di tempat itu.


3. Selalu keringkan vagina sebelum berpakaian
4. Gunakan celana dalam yang kering. Seandainya basah atau lembab,

usahakan cepat mengganti dengan yang bersih dan belum dipakai. Tak ada

salahnya Anda membawa cadangan celana dalam tas kecil untuk berjaga-

jaga manakala perlu menggantinya.


5. Gunakan celana dalam yang bahannya menyerap keringat, seperti katun.
6. Celana dari bahan satin atau bahan sintetik lain membuat suasana disekitar

organ intim panas dan lembab.


7. Pakaian luar juga perlu diperhatikan. Celana jeans tidak dianjurkan karena

pori-porinya sangat rapat. Pilihlah seperti rok atau celana bahan non-jeans

agar sirkulasi udara di sekitar organ intim bergerak leluasa


8. Ketika haid, sering-seringlah berganti pembalut
9. Gunakan panty liner disaat perlu saja. Jangan terlalu lama. Misalkan saat

bepergian ke luar rumah dan lepaskan sekembalinya kerumah.


Penatalaksanaan
Penyakit baktrerial vaginosis merupakan penyakit yang cukup banyak ditemukan

dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi. Sekitar 1 dari 4 wanita akan

sembuh dengan sendirinya, hal ini diakibatkan karena organisme Lactobacillus

vagina kembali meningkat ke level normal, dan bakteri lain mengalami penurunan

jumlah. Namun pada beberapa wanita, bila bakterial vaginosis tidak diberi

pengobatan, akan menimbulkan keadaan yang lebih parah. Oleh karena itu perlu
mendapatkan pengobatan, dimana jenis obat yang digunakan hendaknya tidak

membahayakan dan sedikit efek sampingnya.


Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan

pengobatan, termasuk wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara

bakterial vaginosis dengan wanita hamil dengan prematuritas atau

endometritis pasca partus, maka penting untuk mencari obat-obat yang efektif

yang bisa digunakan pada masa kehamilan. Ahli medis biasanya

menggunakan antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin untuk

mengobati bakterial vaginosis.

a. Terapi sistemik
1. Metronidazol merupakan antibiotik yang paling sering digunakan yang

memberikan keberhasilan penyembuhan lebih dari 90%, dengan dosis 2

x 400 mg atau 500 mg setiap hari selama 7 hari. Jika pengobatan ini

gagal, maka diberikan ampisilin oral (atau amoksisilin) yang

merupakan pilihan kedua dari pengobatan keberhasilan penyembuhan

sekitar 66%).
- Kurang efektif bila dibandingkan regimen 7 hari
- Mempunyai aktivitas sedang terhadap G.vaginalis, tetapi sangat

aktif terhadap bakteri anaerob, efektifitasnya berhubungan dengan


inhibisi anaerob. Metronidazol dapat menyebabkan mual dan urin

menjadi gelap.
2. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan

metronidazol untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka

kesembuhan 94%. Aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil

klindamisin dapat menembus ASI, oleh karena itu sebaiknya

menggunakan pengobatan intravagina untuk perempuan menyusui.


3. Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari

selama 7 hari. Cukup efektif untuk wanita hamil dan intoleransi

terhadap metronidazol
4. Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari.
5. Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari.
6. Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
7. Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
b. Terapi Topikal
1. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.
2. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
3. Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.
4. Triple sulfonamide cream(Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7% dan

Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini dilaporkan

angka penyembuhannya hanya 15 – 45 %.


c. Pengobatan bakterial vaginosis pada masa kehamilan
Terapi secara rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat

muncul masalah. Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama

kehamilan karena mempunyai efek samping terhadap fetus. Dosis yang

lebih rendah dianjurkan selama kehamilan untuk mengurangi efek

samping (Metronidazol 200-250 mg, 3 x sehari selama 7 hari untuk

wanita hamil). Penisilin aman digunakan selama kehamilan, tetapi

ampisilin dan amoksisilin jelas tidak sama efektifnya dengan

metronidazol pada wanita tidak hamil dimana kedua antibiotik tersebut

memberi angka kesembuhan yang rendah.


Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena

klindamisin tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada

trimester II dan III dapat digunakan metronidazol oral walaupun mungkin

lebih disukai gel metronidazol vaginal atau klindamisin krim.


d. Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual
Terapi juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan tidak

berhubungan selama masih dalam pengobatan.

Komplikasi

Pada kebanyakan kasus, bakterial vaginosis tidak menimbulkan komplikasi

setelah pengobatan. Namun pada keadaan tertentu, dapat terjadi komplikasi yang

berat. Bakterial vaginosis sering dikaitkan dengan penyakit radang panggul

(Pelvic Inflamatory Disease/PID), dimana angka kejadian bakterial vaginosis

tinggi pada penderita PID.

Pada penderita bakterial vaginosis yang sedang hamil, dapat menimbulkan

komplikasi antara lain : kelahiran prematur, ketuban pecah dini, bayi berat lahir

rendah, dan endometritis post partum. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan

agar semua wanita hamil yang sebelumnya melahirkan bayi prematur agar

memeriksakan diri untuk screening vaginosis bakterial, walaupun tidak

menunjukkan gejala sama sekali. Bakterial vaginosis disertai peningkatan resiko

infeksi traktus urinarius.

Prinsip bahwa konsentrasi tinggi bakteri pada suatu tempat meningkatkan

frekuensi di tempat yang berdekatan. Terjadi peningkatan infeksi traktus genitalis

atas berhubungan dengan bakterial vaginosis. Lebih mudah terjadi infeksi

Gonorrhoea dan Klamidia. Meningkatkan kerentanan terhadap HIV dan infeksi

penyakit menular seksual lainnya.


Prognosis

Bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita walaupun

tidak menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang sama dapat

dipakai. Prognosis bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya dapat

disembuhkan. Dilaporkan terjadi perbaikan spontan pada lebih dari 1/3 kasus.

Dengan pengobatan metronidazol dan klindamisin memberi angka kesembuhan

yang tinggi (84-96%).

Daftar Pustaka

Morgan, Geri &Carol Hamilton.2011. Obsterti dan Ginekologi Panduan

Praktis. Jakarta :EGC

Hacker, & Moore. 2001. Esensial Obsterti dan Ginekologi. Jakarta : EGC

Turovskiy Y, NollKS, Chikindas ML. The aetology of bacterial vaginosis. J App

Micro. 2011; 110 (5): 1105-28.

Kumar N, Behera B, Sagiri SS, Pal K, Ray SS, Roy S. Bacterial vaginosis:

Etiology and modalities of treatment.J Pharm Bioallied Sci. 2011; 3 (4): 496-

503.

Truter I, Graz M. Bacterial vaginosis: Literature review of treatment option with

specific emphasis on non-antibiotic treatment. Arf J Pharm Pharmacol. 2013;

7 (48): 3060-7.

Salpingitis

Definsi

Salpingitis adalah infeksi atau peradangan pada saluran tuba. Hal ini

sering digunakan secara sinonim dengan penyakit radang panggul (PID),


meskipun PID tidak memiliki definisi yang akurat dan dapat merujuk pada

beberapa penyakit pada saluran kelamin bagian atas perempuan, seperti

endometritis, ooforitis, myometritis, parametritis dan infeksi pada panggul

peritoneum. Sebaliknya, salpingitis hanya merujuk infeksi dan peradangan di

saluran tuba. Hampir semua kasus salpingitis disebabkan oleh infeksi bakteri,

termasuk penyakit menular seksual seperti gonore dan klamidia.

Salpingitis adalah salah satu penyebab umum terjadinya infertitas pada

wanita. Apabila salpingitis tidak ditangani dengan segera, maka infeksi ini akan

menyebabkan kerusakan pada tuba fallopi secara permanen yang menyebabkan

sel telur yang dikeluarkan dari ovarium tidak dapat bertemu dengan seperma

sehingga dapat menyebabkan infertilitas.

Etiologi

Salpingitis merupakan sinonim dari penyakit radang panggul (PID). PID

terjadi karena infeksi polimikrobakterial pada sistem genitalia wanita ( uterus,

tuba fallopi dan ovarium) yang menyebabkan peningkatan infeksi pada daerah

vagina atau servikx. Infeksi ini jarang terjadi sebelum siklus menstruasi pertama,

setelah menopause maupun selama kehamilan. Penularan yang utama terjadi

melalui hubungan seksual, tetapi bakteri juga bisa masuk ke dalam tubuh setelah

prosedur kebidanan/kandungan (misalnya pemasangan IUD, persalinan,

keguguran, aborsi dan biopsi endometrium). Salpingitis disebabkan oleh bakteri

penginfeksi. Jenis-jenis bakteri yang biasaya menyebabkan Salpingitis :

Mycoplasma, staphylococcus, dan steptococus. Selain itu salpingitis bisa juga

disebabkan penyakit menular seksual seperti gonorrhea, Chlamydia, infeksi

puerperal dan postabortum. Kira-kira 10% infeksi disebabkan oleh tuberculosis.


Selanjutnya bisa timbul radang adneksa sebagai akibat tindakan (kerokan,

laparatomi, pemasangan IUD, dan sebagainya) dan perluasan radang dari organ

yang letaknya tidak jauh seperti appendiks.

Penyebab lainnya yang lebih jarang terjadi adalah: Aktinomikosis (infeksi

bakteri), Skistosomiasis (infeksi parasit), Tuberkulosis, penyuntikan zat warna

pada pemeriksaan rontgen khusus. Beberapa bakteri yang paling umum

bertanggung jawab untuk salpingitis meliputi: Klamidia, Gonococcus (yang

menyebabkan gonore), Mycoplasma, Staphylococcus, dan Streptococcus.

Patofisiologi

Infeksi biasanya berawal pada bagian vagina, dan menyebar ke bagian tuba

fallopi. Infeksi dapat menyebar melalui pembuluh getah bening, infeksi pada salah

satu tuba fallopi biasanya menyebabkan infeksi yang lain. Pada beberapa kasus,

salpingitis disebabkan oleh infeksi bakteri seperti Mycoplasma, Staphylococcus,

dan Streptococcus. Selain itu salpingitis dapat disebabkan oleh penyakit menular

seksual seperti gonore dan klamidia.

Infeksi ini dapat terjadi sebagai berikut :

- Naik dari cavum uteri

- Menjalar dari alat yang berdekatan sepert dari apendiks yang

meradang

- Haematogen terutama salpingitis tuberculosa.

Salpingitis biasanya bilateral.Bakteri dapat diperkenalkan dalam berbagai cara,

termasuk:

- Hubungan seksual
- Penyisipan sebuah IUD (perangkat intra-uterus)
- Keguguran
- Aborsi
- Melahirkan
- Apendisitis

Salpingitis adalah salah satu penyebab terjadinya infertilitas pada wanita. Apabila

salpingitis tidak ditangani dengan segera, maka infeksi ini akan menyebabkan

kerusakan pada tuba fallopi sehingga sel telur rusak dan sperma tidak bisa

membuahi sel telur. Radang tuba falopii dan radang ovarium biasanya terjadi

bersamaan. Oleh sebab itu tepatlah nama salpingo-ooforitis atau adneksitis untuk

radang tersebut. Radang itu kebanyakan akibat infeksi yang menjalar ke atas dari

uterus, walaupun infeksi ini juga bisa datang dari tempat ekstra vaginal lewat jalan

darah dari jaringan-jaringan di sekitarnya.

Faktor Resiko

Resiko pada wanita yang tidak menikah, hubungan seks di usia muda dan

punya lebih dari satu pasangan. Infeksi dapat mencapai tuba bila aliran menstruasi

berbalik atau terbukanya serviks saat menstruasi.

Faktor lain termasuk prosedur pembedahan dimana melewati serviks, misal:

- endometrial biopsy
- curettage
- hysteroscopy

Resiko lain terjadi jika suatu faktor dalam vagina dan serviks yang

menyebabkan organisme penginfeksi “bermigrasi” naik ke tuba, misalnya:

- pemberian antibiotik (lokal)


- ovulasi
- menstruasi
- penyakit menular seks (PMS)/sexually transmitted disease (STD)
Terakhir, dari hubungan seks dapat memfasilitasi penyebaran penyakit dari

vagina menuju tuba, yaitu:

- Kontraksi uterus
- Sperma, ikut membawa agen ke arah tuba.

Gambaran Klinis

Radang tuba Falloppii dan radang ovarium biasanva terjadi bersamaan. Oleh

sebab itu tepatlah nama salpingo-ooforitis atau adneksitis untuk radang tersebut.

Salpingo-ooforitis akuta yang disebabkan oleh gonorea sampai ke tuba dari

uterus melalui mukosa. Pada endosalping tampak edema serta hiperemi dan

infiltrasi leukosit; pada infeksi yang ringan epitel masih utuh, tetapi pada infeksi

yang lebih berat kelihatan degenerasi epitel yang kemudian menghilang pada

daerah yang agak luas, dan ikut juga terlihat lapisan otot dan serosa. Dalam hal

yang akhirnya dijumpai eksudat purulen yang dapat keluar melalui ostium tuba

abdominalis dan menyebabkan peradangan di sekitarnya (peritonitis pelvika).

Salpingitis akuta piogenik banyak ditemukan pada infeksi puerpural atau

pada abortus septik, Infeksi ini menjalar dari serviks uteri atau kavum uteri

dengan jalan darah atau limfe ke parametrium terus ke tuba, dan dapat pula ke

peritoneum pelvik.

Salpingo-ooforitis kronika terdiri dari hidrosalping, piosalping, salpingitis

interstisialis kronika, kista tubo-ovarial, abses tubo-ovarial, abses

ovarial, salpingitis tuberkulosa. Pada hidrosalping terdapat penutupan tuba

abdominalis. Sebagian dari epitel mukosa tuba masih berfungsi dan mengeluarkan

cairan dengan akibat retensi cairan tersebut dalarn tuba.


Piosalping dalam stadium menahun merupakan kantong dengan

dinding tebal yang berisi nanah. Pada piosalping biasanya terdapat perlekatan

dengan jaringan di sekitarnya. Pada salpingitis interstisialis kronika dinding tuba

menebal dan tampak fibrosis dan dapat pula ditemukan pengumpulan nanah

sedikit di tengah-tengah jaringan otot. Terdapat pula perlekatan dengan jaringan-

jaringan di sekitarnya, seperti ovarium, uterus dan usus. Salah satu jenis ialah

salpingitis isthmika nodosa.

Pada kista tubo-ovariaI, hidrosalping bersatu dengan kista folikel ovarium,

sedang pada abses tubo-ovarial piosalping bersatu dengan abses ovarium. Abses

ovarium yang jarang terdapat sendiri, dari stadium akut dapat memasuki stadium

menahun. Salpingitis tuberkulosa merupakan bagian penting dari tuberkulosis

genital.

Dalam kasus lebih ringan, salpingitis mungkin tidak memiliki gejala.

Gejala-gejala salpingitis meliputi:

- Nyeri abdomen di kedua sisi


Nyeri abdomen bagian bawah merupakan gejala yang paling dapat

dipercaya dari infeksi pelvis akut. Pada mulanya rasa nyeri unilateral,

bilateral, atau suprapubik, dan sering berkembang sewaktu atau segera

setelah suatu periode menstruasi. Keparahannya meningkat secara

bertahap setelah beberapa jam sampai beberapa hari, rasa nyeri

cenderung menetap, bilateral pada abdomen bagian bawah, dan semakin

berat dengan adanya pergerakan.


- Perdarahan pervaginam atau sekret vagina
Perdarahan antar menstruasi atau meningkatnya aliran menstruasi atau

kedua-duanya dapat merupakan akibat langsung dari endometritis atau

pengaruh tidak langsung dari perubahan-peubahan hormonal yang


berkaitan dengan ooforitis. Sekret vagina dapat disebabkan oleh servitis.
- Gejala-gejala penyerta
- Menggigil dan demam
- Anoreksia, nausea dan vomitus berkaitan dengan iritasi

peritoneum.
- Disuria dan sering kencing menunjukkan adanyan keterkaitan

dengan uretritis dan sistitis.


- Nyeri perut
- Abnormal discharge vagina, seperti warna yang tidak biasa atau

bau
- Dismenorea
- Tidak nyaman atau hubungan seksual yang menyakitkan
- Kadang-kadang ada tendensi pada anus karena proses dekat pada

rektum dan sigmoid


- Pada periksa dalam nyeri kalau portio digoyangkan, nyeri kiri dan

kanan uterus, kadang-kandang ada penebalan dari tuba.


- Nyeri saat ovulasi

Diagnosis

Diagnosis salpingitis dapat ditegakkan melalui :

1. Anamnesa
2. Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan Umum: suhu biasanya meningkat, sering sampai

120ºF atau 103ºF. Tekanan darah biasanya normal, walaupun deyut

nadi seringkali cepat.Pada saat itu, terkadang postur tubuh

membungkuk.
- Pemeriksaan Abdomen: nyeri maksimum pada kedua kuadran

bawah. Nyeri lepas, ragiditas otot, defance muscular, bising usus

menurun dan distensi merupakan tanda peradangan

peritoneum.Nyeri tekan pada hepar dapat diamati pada 30% pasien.


- Pemeriksaan Pelvis: sering sulit dan tidak memuaskan karena

pasien mersa tidak nyaman dan rigiditas abdomen. Pada


pemeriksaan dengan spekulum, sekret purulen akan terlihat keluar

dari ostium ueteri. Serviks sangat nyeri bila digerakkan.Uterus

ukurannya normal, nyeri (terutma bila digerakkan).Adneksa

bilateral sangat nyeri.


3. Pemeriksaan Penunjang atau Tes Laboratorium
- Hitung darah lengkap dan Apusan darah : hitung leukosit

cenderung meningkat dan dapat sampai 20.000 dengan

peningkatan leukosit polimorfonuklear dan peningkatan rasio

bentuk batang dengan segmen. Kadar hemoglobin dan hemokrit

biasanya dalam batas-batas normal. Penigkatan kadarnya berkaitan

dengan dehidrasis.
- Pewarnaan gram endoserviks dan biakan : diplokokus gram-negatif

intraseluler pada asupan pewarnaan gram baik dari cairan serviks

ataupun suatu AKDR dengan pasien dengan salphingitis

simptomatik merupakan penyokong adanya infeksi neisseria yang

memerlukan pengobatan. Biakan bakteriologi diperlukan untuk

identifikasi positif neisseria gonorrhoeae.


- Laparoskopi untuk melihat langsung gambaran tuba

fallopi.Pemeriksaan ini invasive sehingga bukan merupakan

pemeriksaan rutin.

Penatalaksanaan

Perawatan penyakit salpingitis dilakukan dengan pemberian antibiotic

(sesering mungkin sampai beberapa minggu). Antibiotik dipilih sesuai dengan

mikroorganisnya yang menginfeksi. Pasangan yang diajak hubungan seksual


harus dievaluasi, disekrining dan bila perlu dirawat, untuk mencegah komplikasi

sebaiknya tidak melakukan hubungan seksual selama masih menjalani perawatan

untuk mencegah terjadinya infeksi kembali. Perawatan dapat dilakukan dengan

beberapa cara yaitu :

a) Antibiotik

Antibiotik diberikan untuk menghilangkan infeksi, dengan tingkat

keberhasilan 85% dari kasus. Perawatan dini dengan antibiotik yang tepat efektif

terhadap N gonorrhoeae, trachomatis C, dan organisme endogen yang tercantum

di atas sangat penting untuk mencegah gejala sisa jangka panjang. Mitra seksual

harus diperiksa dan diobati dengan tepat.

Dua rejimen rawat inap telah terbukti efektif dalam pengobatan penyakit

radang panggul akut:

 Cefoxitin, 2 g intravena setiap 6 jam, atau cefotetan, 2 g setiap 12 jam,

ditambah doksisiklin, 100 mg intravena atau oral setiap 12 jam . Rejimen ini

dilanjutkan setidaknya selama 24 jam setelah pasien menunjukkan perbaikan

klinis yang signifikan. Doxycycline, 100 mg dua kali sehari, harus

dilanjutkan untuk menyelesaikan total 14 hari terapi. Jika abses tubo-

ovarium hadir, disarankan untuk menambahkan klindamisin oral atau

metronidazole untuk doksisiklin untuk menyediakan lebih cakupan

anaerobik efektif.
 Klindamisin, 900 mg intravena setiap 8 jam, ditambah gentamisin intravena

dalam dosis pemuatan 2 mg / kg diikuti dengan 1,5 mg / kg setiap 8 jam.

Rejimen ini dilanjutkan setidaknya selama 24 jam setelah pasien

menunjukkan perbaikan klinis yang signifikan dan diikuti oleh clindamycin


baik, 450 mg empat kali sehari, atau doksisiklin, 100 mg dua kali sehari,

untuk menyelesaikan total 14 hari terapi.


b) Perawatan di rumah sakit

Perawatan penderita salpingitis di rumah sakit adalah denganmemberikan

obat antibiotic melalui Intravena (infuse) Jika terdapat keadaan-keadaan yang

mengancam jiwa ibu.

c) Tindakan Bedah

Pembedahan pada penderita salpingitis dilakukan jika pengobatan dengan

antibiotic menyebabkan terjadinya resistan pada bakteri.Tubo-ovarium abses

mungkin memerlukan eksisi bedah atau aspirasi transkutan atau transvaginal.

Kecuali pecah diduga, lembaga terapi antibiotik dosis tinggi di rumah sakit, dan

terapi monitor dengan USG. Pada 70% kasus, antibiotik yang efektif, dalam 30%,

ada respon yang tidak memadai dalam 48-72 jam, dan intervensi yang diperlukan.

Adnexectomy Unilateral diterima untuk abses sepihak. Histerektomi dan bilateral

salpingo-ooforektomi mungkin diperlukan untuk infeksi berat atau dalam kasus

penyakit kronis dengan nyeri panggul keras.

d) Berobat jalan

Jika keadaan umum baik, tidak disertai demam, Berikan antibiotic seperti :

- Cefotaksitim 2 gr IM, atau


- Amoksisilin 3 gr peroral, atau
- Ampisilin 3,5 per os

Masing-masing disertai dengan pemberian probenesid 1gr per os diikuti dengan:

- Dekoksisiklin 100 mg per os dua kali sehari selama 10-14 hari


- Tetrasiklin 500 mg per os 4 kali sehari (dekoksisilin dan tetrasiklin

tidak digunakan untuk ibu hamil).


e) Tirah baring
f) Kunjungan ulang 2-3 hari atau jika keadaan memburuk
g) Bantu mencapai rasa nyaman:
- Mandi teratur
- Obat untuk penghilang gatal
- Kompres hangat pada bagian abdomen yang merasa nyeri
- Pemberian terapi analgesic
h) Konseling
PID dapat menyebabkan infertilitas karena tuba yang rusak, pasien

harus mengatasi hal tersebut


i) Pendidikan kesehatan yang diberikan:
- Pengetahuan tentang penyebab dan penyebaran infeksi serta

efeknya
- Kegiatan seksual dikurangi atau menggunakan pengaman
- Cara mengetasi infeksi yang berulang
j) Pengobatan dilanjutkan sampai pasien pulang dan sembuh total.

Komplikasi

Komplikasi potensial yang dapat terjadi akibat salpingitis meliputi ooforitis,

peritonitis, piosalping, abses tuboovarium, tromboflebitis septik, limfangitis,

selulitis, perihepatitis, dan abses didalam ligamentum latum, Infertilitas dimasa

depan, dan kehamilan ektopik akibat kerusakan tuba. Tanpa pengobatan,

salpingitis dapat menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk:

- Infeksi lebih lanjut - infeksi dapat menyebar ke struktur di dekatnya, seperti

indung telur atau rahim


- Infeksi pasangan seks - mitra wanita atau mitra bisa mengontrak bakteri dan

terinfeksi juga
- Tubo-ovarium abses - sekitar 15 persen dari wanita dengan salpingitis

mengembangkan abses, yang membutuhkan rawat inap


- Kehamilan ektopik - tabung falopi diblokir mencegah telur dibuahi

memasuki rahim. Embrio kemudian mulai tumbuh di dalam ruang terbatas

dari tabung falopi. Risiko kehamilan ektopik untuk wanita dengan


salpingitis sebelumnya atau bentuk lain dari penyakit radang panggul (PID)

adalah sekitar satu dari 20.


- Infertilitas - tabung tuba dapat menjadi cacat atau bekas luka sedemikian

rupa bahwa telur dan sperma tidak dapat bertemu. Setelah satu serangan

PID salpingitis atau lainnya, risiko seorang wanita infertilitas adalah sekitar

15 persen. Ini meningkat sampai 50 persen setelah tiga bulan

DAFTAR PUSTAKA

1. F Gary Cunningham, dkk.2005. Obstetri Williams edisi 21. ECG:Jakarta


2. Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
3. Widyastuti, Yani dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Fitramaya.
Yogyakarta
4. http://medicastore.com/penyakit/99/Penyakit_Radang_Panggul.html
diakses pada 20 April 2013

KEHAMILAN NORMAL

1. Definisi
Kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari

spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Bila

dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan

brlangsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut

kalender internasional. Kehamilan terbagi dalam 3 trimester, dimana trimester

kesatu berlangsung dalam 12 minggu, trimester kedua 15 minggu ( minggu ke

13 – ke 27 ), dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke – 28 hingga minggu

ke 40 ) (Prawiharjo,2014).
2. Proses terjadinya kehamilan menurut Prawiharjo :

Untuk terjadinya kehamilan harus ada spermatozoa, ovum, pembuahan

ovum (konsepsi), dan nidasi (implantasi) hasil konsepsi. Setiap Spermatozoa


terdiri atas tiga bagian yaitu kaput atau kepala yang berbentuk lonjong agak

gepeng dan mengandung bahan nukleus, ekor, dan bagian yang silindrik

(leher) menghubungkan kepla dan ekor. Dengan getaran ekornya spermatozoa

dapat bergerak cepat.

Dalam pertumbuhan embrional spermatogonium berasal dari sel-sel

primitif tubulus-tubulus testis. Setelah janin dilahirkan, jumlah

spermatogonium yang ada tidak mengalami perubahan sampai masa pubertas

tiba. Pada masa pubertas sel-sel sperma togonium tersebut dalam pengaruh

sel-sel leydig mulai aktif mengadakan mitosis, dan terjadilah proses

spermatogenesis yang sangat kompleks. Setiap spermatogonium membelah

dua dan menghasilkan spermatosit primer. Spermatosit primer ini membelah

dua da menjadi dua spermatosit sekunder, kemudian spermatosit sekunder

membelah dua lagi dengan hasil dua spermatid yang masing-masing memiliki

jumlah kromosom setengah dari jumlah yang khas untuk jenis itu. Dari

spermatid ini kemudian tumbuh spermatozoa.

Ovum mempunyai diameter 0,1 mm ditengah-tengahnya dijumpai nukleus

yang berada dalam metafase pada pembelahan pematangan kedua, terapung-

apung dalam sitoplasma yang kekuning-kuningan disebut vitelus. Vitelus ini

yang mengandung karbohidrat dan asam amino. Ovum dilingkari oleh zona

pelusida. Diluar zona pelusida ini ditemukan sel-sel korona radiata, dan

didalamnya terdapat ruang perivitelina, tempat benda-benda kutub. Bahan-

bahan dari sel-sel korona radiata dapat disalurkan ke ovum melalui saluran-

saluran halus di zona pelusida. Jumlah sel-sel korona radiata didalam

perjalanan ovum diampula tuba makin berkurang, sehingga ovum hanya


dilingkari oleh zona pelusida pada waktu berada dekat pada perbatasan

ampula da ismus tuba, tempat pembuahan umumnya terjadi.

a) Pembuahan
Jutaan spermatozoa ditumpahkan di forniks vagina dan disekitar porsio

pada waktu koitus. Hanya beberapa ratus ribu spermatozoa dapat terus ke

kavum uteri dan tuba, dan hanya beberapa ratus dapat sampai kebaian ampula

tuba dimana spermatozoa dapat memasuki ovum yang telah siap untuk

dibuahi. Hanya satu spermatozoa yang mempunyai kemampuan (kapasitasi)

untuk membuahi.
Fertilisasi (pembuahan) adalah penyatuan ovum dan spermatozoa yag

biasanya berlangsung diampula tuba. Fertilisasi meliputi penetrasi

spermatozoa kedalam ovum, fusi spermatozoa dan ovum, diakhiri dengan fusi

materi genetik. Hanya satu spermatozoa yang telah mengalami proses

kapasitasi mampu melakukan penetrasi membran sel ovum. Untuk mencapai

ovum, spermatozoa harus melewati korona radiata (lapisan sel diluar ovum)

dan zona pelusida suatu bentuk glikoprotein ekstra seluler), yaitu dua lapisan

yang menutupi dan mencegah ovum mengalami fertilisasi lebih dari satu

spermatozoa.
Pada saat spermatozoa menembus zona pelusida terjadi reaksi korteks

ovum. Granula korteks didalam ovum berfusi dengan membran plasma sel,

sehinga enzim didalam granula-granula dikeluarkan secara eksositosis ke zona

pelusida. Hal ini menyebabkan glikoprotein di zona pelusida berkaitan satu

sama lain membentuk suatu materi yang keras dan tidak dapat ditembus oleh

spermatozoa. Proses ini mencegah ovum dibuahi lebih dari satu sperma.

Spermatozoa yang telah masuk ke vitelus kehilana membran nukleusnya

yang tinggal hanya pronukleusnya, sedangkan ekor spermatozoa dan


mitokondrianya berdegenerasi. Itulah sebabnya seluruh mitokondria pada

manusia barasal dari ibu (maternal). Masuknya spermatozoa kedalam vitelus

membangkitkan nukleus ovum yang masih dalam metafase untuk proses

pembelahan selanjutnya. Sesudah anafase kemudian timbul telofase, dan

benda utub kedua menuju ruang perivielina. Ovum sekarang hanya

mempunyai pronukleus yang haploid. Pronukleus spermatozoa juga telah

mengandung jumlah kromosom yang haploid.

Kedua pronukleus dekat mendekati dan bersatu membentuk zigot yang

terdiri atas bahan genetik dari perempuan dan laki-laki. Pada manusia terdapat

46 kromosom, ialah 44 kromosom otosom dan 2 kromosom kelamin; pada

seorang laki-laki satu X dan satu Y. Sesudah pembelahan kematangan, maka

ovum matang mempunyai 22 kromosom otosom serta 1 kromosom X, dan

suatu spermatozoa mempunyai 22 kromosom otosom serta 1 kromosom X

atau 22 kromosom otosom serta 1 kromosom Y. Zigot sebagai hasil

pembuahan yang memiliki 44 kromosom otosom serta 2 kromosom X akan

umbuh sebagai janin perempuan, sedang yang memiliki 44 kromosom otosom

serta 1 kromosom X dan 1 kromosom Y akan tumbuh sebaai janin laki-laki.

Dalam beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembelahan

zigot. Hal ini dapat berlangsung oleh karena sitoplasma ovum mengandung

banyak zat asam amino dan enzim. Segera setelah pembelahan ini terjadi,

pembelahan-pembelahan selanjutnya berjalan dengan lancar, dan dalam 3 hari

terbentuk suatu kelompok sel yang sama besarnya. Hasil konsepsi berada

dalam stadium morula. Energi untuk pembelahan ini diperoleh dari vitelus,

hingga volume vitelus makin berkurang dan terisi seluruhnya oleh morula.
Dengan demkian, zona pelusida tetap utuh, atau dengan perkataan lain,

besarnya hasil konsepsi tetap sama. Dalam ukuran yag sama ini hasil konsepsi

disalurkan terus sampai ke pars ismika dan pars interstisialis tuba (bagian-

bagian tuba yang sempit) dan terus disalurkan ke arah kavum uteri oleh arus

serta getaran silia pada permukaan sel-sel tuba dan kontraksi tuba.

b) Nidasi
Pada hari keempat hasil konsepsi mencapai stadium blastula disebut

blastokista, suatu bentuk yang bagian luarnya adalah trofoblas da dibagian

dalamnya disebut massa inner cell. Massa inner cell ini berkembang menjadi

janin dan trofoblas akan berkembang menjadi plasenta. Dengan demikian,

blastokista diselubungi oleh suatu simpai yang disebut trofoblas. Tropoblas ini

sangat kritis untuk keberhasilan kehamilan terkait dengan keberhasilan nidasi,

produksi hormon kehamilan, proteksi imunitas terhadap janin, peningkatan

aliran darah maternal kedalam plasenta, dan kelahiran bayi. Sejak trofoblas

terbentuk, produksi hormon hman chorionic gonadotropin (hCG) dimulai,

suatu hormon yang memastikan bahwa endometrium akan menerima (reseptif)

dalam proses implantasi embrio.


Tropoblas yang mempunyai kemampuan menghancurkan dan mencairkan

jaringan menemukan endometrium dalam masa sekresi, dengan sel-sel


desidua. Sel-sel desidua ini besar-besar dan mengandung lebih banyak

glikogen serta mudah dihancurkan oleh trofoblas. Nidasi diatur oleh suatu

proses yang kompleks antara trofoblas dan endometrium. Di satu sisi trofoblas

mempunyai kemampuan invasif yang kuat, disisi lain endometrium

mengontrol invasi trofoblas dengan menyekresikan faktor-faktor yan aktif

setempat (lokal) yaitu inhibitor cytokines dan protease. Keberhasilan nidasi

dan plasentasi yang normal adalah hasil keseimbangan proses antara trofoblas

dan endometrium.
Dalam perkembangan diferensiasi trofoblas, sitotrofoblas yang belum

berdiferensiasi dapat berkembang dan berdiferensiasi menjadi 3 jenis, yaitu 1

sinsiotrofoblas yang aktif menghasilkan hormon, 2 trofoblas jangkar ekstravili

yang akan menempel pada endometrium, dan 3 trofoblas yang invasif.


Invasi trofoblas diatur oleh pengaturan kadar hCG. Sinsisiotrofoblas

menghasilkan hCG yang akan mengubah sitotrofoblas menyekkresikan

hormon yag non invasif. Trofoblas yang semakin dekat dengan endometrium

menghasilkan kadar hCG yang semakin rendah, dan membuat trofoblas

berdiferensiasi dalam sel-sel jangkar yang menghasilkan protein perekat

plasenta yaitu tropouteronectin.Trofoblas-trofoblas invasif lain yang lepas dan

bermigrasi kedalam ndometrium dan miometrium akan menghasilkan protease

dan inhibitor protease yang diduga memfasilitai proses invasi ke dalam

jaringan maternal.
Dalam tingkat nidasi, trofoblas antara lain menghasilkan hormon human

chorionic gonadotropin. Produksi huma chorionic gonadotropin meningkat

sampai kurang lebih hari ke-60 kehamilan untuk kemudia turun lagi. Diduga

bahwa fungsinya ialah mempengaruhi korpus luteum untuk tumbuh terus, dan

menghasilkan terus progesteron, sampai plasenta dapat membuat cakup


progenteron sendiri. Hormon korionik gonadotropin inilah yang khas untuk

menentukan ada tdaknya kehamilan. Hormon tersebut dapat ditemukan

didalam air kemih ibu hamil.


Blastokista dengan bagian yang mengandung massa inner cell aktif mudah

masuk dalam lapisan desidua, dan luka pada desidua kemudian menutup

kembali. Kadang-kadangpada saat nidasi yakni masuknya ovum kedalam

endometrium terjadi perdarahan pada luka desidua (tanda Hartman).


Pada umumnya blastokista masuk diendometrium dengan bagian mana

massa inner-cell berlokasi. Dikemukkan bahwa hal inilah yang menyebabkan

tali pusat berpangkal sentral atau parasentral. Bila sebaliknya dengan bagian

lain blastokista memasuki endometrium, maka terdapatlah tali pusat dengan

insersio velamentosa. Umumnya nidasi terjadi di dinding depan atau belakang

uterus, dekat pada fundus uteri. Jika nidasi ini terjadi, barulah dapat disebut

adanya kehamilan.
Setelah nidasi berhasil, selanjutnya hasil konsepsi akan bertumbuh dan

berkembang didalam endometrium. Embrio ini selalu terpisahkan dari darah

dan jaringa ibu oleh suatu lapisan sitotrofoblas disisi bagian dalam dan

sinsiotrofoblas disisi bagian luar. Kondisi ini kritis ridak hanya untuk

pertukaran nutrisi , tetapi juga untuk melndungi janin yag bertumbuh dan

berkembang dari serangan imunologik maternal. Bila nidasi telah berhasil

terjadi, mulailah diferensiasi sel-ssel blastokista. Sel-sel yang lebih kecil, yang

dekat pada ruang eksoselom, membentuk entoderm dan yolk sacsedangkan

sel-sel yang lebih besar menjadi ektoderm dan membentuk ruang amnion.
Pertumbuhan embrio terjadi dari embryonal plate yang selanjutnya terdiri

atas tiga unsur lapisan, yakni sel-sel ektoderm, mesoderm, dan entoderm.

Sementara itu, ruang amnion tumbuh dengan cepat dan mendesak eksoselom
akhirnya dinding ruang amnion dan embrio menjadi padat, dinamakan

bodystalk, dan merupakan hubungan antara embrio dan dinding trofoblas.

Body stalk menjadi tali pusat. Dalam tali pusat sendiri yang berasal dari body

stalk, terdapat pembulu-pembuluh darah sehingga ada yang

menamakannnyavaskular stalk. Dari perkembangan ruang amnion dapat

dilihat bahwa bagian luar tali pusat berasal dari lapisan amnion . didalamnya

terdapat jaringa lembek, selei wharton, yang berfungsi melindungi 2 arteria

umbilikalis dan 1 vena umbilikalis yang berada di dalam tali pusat.

c) Plasentasi.
Plasentasi adalah proses pembentukan struktur dan jenis plasenta. Setelah

nidasi embrio kedalam endometrium, plasentasi dimulai. Pada manusia

plasentasi berlangsung sampai 12 – 18 minggu setelah fertilisasi.


Dalam 2 minggu pertama perkembangan hasil konsepsi, trofoblas invasif

telah melakukan penetrasi ke pembuluh darah endometrium. Terbentuklah

sinus intertrofoblastik yaitu ruangan-ruangan yang berisi darah maternal dari

pembuluh-pembuluh darah yang dihancurkan. Pertumbuhan ini berjala terus,

sehingga timbul ruangan-ruangan interviler dimana vili korialis seolah-olah

terpung-apung diantara ruangan-ruangan tersebut sampai terbentuknya

plasenta.
Tiga minggu pascafertilisasi sirkulasi darah janin dini dapat diidentifikasi

dan dimulai pembentukan vili korialis. Sirkulasi darah jain ini berakhir

dilengkung kapilar (capilarry loops) didalam vili korialis yang ruang

intervilinya dipenuhi dengan darah meternal yang dipasok oleh arteri spiralis

dan dikeluarkan melalui vena uterina. Vili korialis ini akan bertumbuh menjadi

suatu massa jaringan yaitu plasenta.


Lapisan desidua yang meliputi hasil konsepsi kearah kavum uteri disebut

desidua kapsularis yang terletak antara hasil konsepsi dan dinding uterus

disebut desidua basalis disitu plasenta akan dibentuk. Desidua yang meliputi

dinding uterus yang lain adalah desidua pariealis. Hasil konsepsi sendiri

diselubungi oleh jonjot-jonjot yang dinamakan vili korialis dan berpangkal

pada korion. Sel-sel fibrolas mesodermal tumbuh disekitar embrio dan

melapisi pula sebelah dalam tropoblas. Dengan demikian, terbentuk chorionic

membrane yag kelak menjadi korion. Selain itu, vili korialis yang behubungan

dengan desidua basalis tumbuh dan bercabang-cabang dengan baik, disinni

orion disebut korion frondosum. Yang berhubungan dengan desidua kapsularis

kurang mendapat makanan, karena hasil konsepsi bertumbuh kearah kavum

uteri sehingga lambat-laun menghilang; korion yag gundul ini disebut korion

laeve.
Darah ibu dan janin dipisahkan oleh dinding pembuluh darah janin dan

lapisan korion. Plasenta yang demikian dinamakan plasenta jenis hemokorial.

Disini jelas tidak ada pencampuran darah antara janin dan darah ibu. Ada juga

sel-sel desidua yang tidak dapat dihancurkan oleh tropoblas dan sel-sel ini

akhirnya membentuk lapisan fibrinoid yang disebut lapisan Nitabuch. Ketika


proses melahirkan, plasenta terlepas dari endometrium pada lapisan Nitabuch

ini.
3. Fisiologi Janin
a) Perkembangan Konseptus: Sejak konsepsi perkembangan

konseptus terjadi sangat cepat yaitu zigot mengalami pembelahan menjadi

morula (terdiri atas 16 blastomer), kemudian menjadi blastokis (terdapat

cairan di tengah) yang mencapai uterus, dan kemudian sel-sel mengelompok,

berkembang menjadi embrio (sampai minggu ke-7). Setelah miggu ke-10

hasil konsepsi disebut janin konseptus ialah semua jaringa konsepsi yang
membagi diri menjadi menjadi berbagai jaringan embrio, korion, amnion, dan

plasenta.
b) Embrio dan Janin : Dalam beberapa jam setelah ovulasi akan

terjadi fertilisasi di ampula tuba. Oleh karena itu, sperma harus sudah ada

disana sebelumnya, kemudian terjadilah fertilisasi ovum oleh sperma.

Namun, konseptus tersebut mungkin sempurna, mungkin tidak sempurna.


Embrio akan berkembang sejak usia 3 minggu hasil konsepsi. Secara

klinik pada usia gestasi 4 minggu dengan USG akan tampak sebagai kantong

gestasi berdiameter 1 cm, tetapi embrio belum tampak. Pada minggu ke-6 dari

haid terakhir - usia konsepsi 4 minggu – embrio berukuran mm, kantong

gestasi berukuran 2 – 3 cm. Pada saat itu akan tampak denyut jantung secara

USG. Pada akhir minggu ke-8 usia gestasi – 6 minggu usia embrio – embrio

berukuran 22 – 24 mm, dimana akan tampak kepala yang relatif besar dan

tonjolan jari. Gangguan atau teratogen akan mempunyai dampak berat apabila

terjadi pada gestasi kurang dari 12 minggu, terlebih pada minggu ke-3.
Usia gestasi 6 minggu tampak pembentukan organ : Pembentukan hidung,

dagu, palatum, dan tonjolan paru. Jari-jari telah brbentuk, namun masih

tergenggam. Jantung telah terbentuk penuh.


Usia gestasi 7 minggu tampak pembentukan organ : Mata tampak pada muka.

Pembentukan alis dan lidah.


Usia gestasi 8 minggu tampak pembentukan organ : Mirip Bentuk Manusia,

mulai pembentukan genitalia eksterna. Sirkulasi melalui tali pusat dimulai.

Tulang mulai terbentuk.


Usia gestasi 9 minggu tampak pembentukan organ : kepala meliputi separuh

besar janin, terbentuk muka janin; kelopak mata terbentuk namun tak akan

membuka sampai 28 minggu.


Usia gestasi 13 – 16 minggu tampak pembentukan organ : janin berukuran 15

cm. Ini merupakan awal dari trimester ke-2. Kulit janin masih transparan,
telah mulai tumbuh lanugo (rambut janin). Janin bergerak aktif, yaitu

menghisap dan menelan air ketuban. Telah terbentuk mekonium (feses) dalam

usus. Jantung berdenyut 120 – 150 X/menit.


Usia gestasi 17 – 24 minggu tampak pembentukan organ : Komponen mata

terbentuk penuh, juga sidik jari. Seluruh tubuh diliputi oleh verniks kaseosa

(lemak). Janin mempunyai refleks.


Usia gestasi 25 - 28 minggu tampak pembentukan organ : Saat ini disebut

permulaan trimester ke-3, dimana terdapat perkembangan otak yang cepat.

Sistem saraf mengendalikan gerakan dan fungsi tubuh, mata sudah membuka.

Kelangsungan hidup pada periode ini sangat sulit bila lahir.


Usia gestasi 29 - 32 minggu tampak pembentukan organ : bila bayi

dilahirkan, ada kemnungkinan untuk hidup ( 50 – 70 % ). Tulang telah

terbentuk sempurna , gerakan napas telah reguler, suhu relatif stabil.


Usia gestasi 33 - 36 minggu tampak pembentukan organ : berat janin 1500 –

2500 gram. Bulu kulit jannin (lanugo) mulai berkurang, pada saat 35 minggu

paru telah matur. Janin akan dapat hidup tanpa kesulitan.


Usia gestasi 38 - 40 minggu tampak pembentukan organ : sejak 38 minggu

kehamilan disebut aterm, dimana bayi akan meliputi seluruh uterus. Air

ketuban mulai berkurang, tetapi masih dalam batas normal.


c) Sistem Kardiovaskular

Mengingat semua kebutuhan janin disalurkan melalui vena umbilikal,

maka sirkulasi menjadi khusus. Tali pusat berisi satu vena dan 2 arteri. Vena

ini menyalurkan oksigen dan makanan dari plasenta ke janin. Sebaliknya,

kedua arteri menjadi pembuluh balik yang menyalurkan darah kearah plasenta

utuk dibersihkan dari sisa metabolisme.

Perjalanan darah dari plasenta melalui vena umbilikal adalah sebgai

berikut. Setelah melewati dinding abdomen, pembuluh vena umbilikal


mengarah ke atas menuju hati, membagi menjadi 2, yaitu sinus porta ke

kanan – memasok darah ke hati – dan duktus venosus yang berdiameter lebih

besar, akan bergabung dengan vena kava inferior masuk ke atrium kanan.

Darah yang masuk ke jantung kanan ini mempunyai kadar oksigen seperti

arteri – meski bercampur sedikit dengan darah dari vena kava.

Darah ini akan langsung menyemprot melalui foramen ovale pada septum,

masuk ke atrium kiri dan selanjutnya melalui ventrikel kiri akan menuju aorta

dan seluruh tubuh. Darah yang bersi banyak oksigen itu terutama kan

memperdarahi organ vital jantung dan otak.

Adanya krista dividens sebagai pembatas pada vena kava memungkinkan

sebagian besar darah bersih dari duktus venosus langsung akan mengalir

kearah foramen ovale. Sebaliknya, sebagian kecil akan mengalir ke arah

ventrikel kanan.

Darah dari ventrikel kanan akan mengalir ke arah paru. Karena paru belum

berkembang, sebagian besar darah dari jantung kanan melalui arteri

pulmonalis akan dialirkan ke aorta melalui suatu pembuluh duktus arteriosus.

Darah itu akan bergabung diaorta desending, bercampur dengan darah bersih

yang akan dialirkan keseluruh tubuh.

Setelah bayi lahir, semua pembuluh umbilikal, duktus venosus, dan duktus

arteriosus akan mengerut. Pada saat lahir akan terjadi perubahan sirkulasi,

dimana terjadi pengembangan paru dan penyempitan tali pusat. Akibat

peningkatan kadar oksigen pada sirkulasi paru dan vena pulmonlis, duktus

arteriosus akan menutup dalam 3 hari dan total pada minggu ke-2.

d) Sistem Respirasi
Gerakan napas janin telah dapat dilihat sejak kehamilan 12 minggu dan

pada 34 minggu secara regular gerak napas ialah 40 – 60 X/menit dan

diantara jeda adalah periode apnea. Cairan ketuban akan masuk sampai

bronkioli, sementara didalam alveolus terdapat cairan alveoli.

Alveoli terdiri atas dua lapis sel epitel yang mengandung sel tipe I dan II.

Sel tipe II membuat sekresi fosfolipid suatu surfaktan yang penting untuk

fungsi pengembangan napas. Surfaktan yang utama ialah sfingomielin dan

lesitin serta fosfatidil gliserol. Produksi sfingomielin dan fosfatidil gliserol

akan memuncak pada 32 minggu, sekalipun sudah dihasilkan sejak 24

minggu. Pada kondisi tertentu, misalnya diabetes, produksi surfaktan ini

kurang; juga pada preterm ternyata dapat dirangsang untuk meningkat dengan

cara pemberian kortikosteroid pada ibunya. Pemeriksaan kadar L/S rasio pada

air ketuban merupakan cara untuk mengukur tingkat kematangan paru,

dimana rasio L/S > 2 menandakan paru sudah matang.

e) Sistem Gastrointestinal

Perkembangan dapat dilihat diatas 12 minggu dimana akan nyata pada

pemeriksaan USG. Pada 26 minggu enzim sudah terbentuk meskipun amilase

baru nyata pada periode neonatal. Janin meminum air ketuban dan akan

tampak gerakan peristaltik usus. Protein dan cairan amnion yang ditelan akan

menghasilkan mekonium didalam usus. Mekonium ini akan tetap tersimpan

sampai partus, kecuali pada kondisi hipoksia dan stres, akan tampak cairan

amnion bercampur mekonium.

f) Sistem Ginjal : Pada 22 minggu akan tampak pembentuka korpuskel ginjal di

zona jukstagglomerularis yang berfungsi filtrasi. Ginjal terbentuk sempurna


pada minggu ke-36. Pada janin hanya 2 % dari curah jantung mengalir ke

ginjal, mengingat sebagian besar sisa metabolisme dialirkan ke plasenta.


g) Sistem Saraf :Mielinisasi saraf spinal terbentuk pada pertengahan kehamilan

dan berlanjut sampai usia bayi 1 tahun. Fungsi saraf sudah tampak pada usia

10 minggu yaitu janin bergerak, fleksi kaki; sedangkan genggaman tangan

lengkap dapat dilihat pada 4 bulan. Janin janin sudah dapat menelan pada

sepuluh minggu, sedangkan gerak respirasi pada 14 – 16 minggu.

Janin sudah mampu mendengar sejak 16 minggu atau 120 hari. Ia akan

mendengar suara ibunya karena rambat suara internal lebih baik dari pada

suara eksternal. Kemampua melihat cahaya agaknya baru jelas pada akhir

kehamilan, sementara gerak bola mata sudah lebih awal. Gerakan ini

dikaitkan dengan perilaku janin.

h) Kelenjar Endokrin : Sistem endokrin janin telah bekerja sebelum sistem saraf

mencapai maturitas. Kelenjar hipofisis anterior mempunyai 5 jenis sel yang

mengeluarkan 6 hormon, yaitu (1) laktotrop, yag menghsilkan prolaktin; (2)

somatotrop, yang menghasilkan hormon pertumbuhan (GH); (3) Kortikotrop,

yang menghasilkan kortikotropin (ACTH); tirotrop, yang menghasilkan

TSH; dan (5) gonadotrof, yang menghasilkan Lh, FSH. Pada kehamilan 7

minggu sudah dapat diketahui produksi ACTH, dan menjelang 17 minggu

semua hormon sudah dihasilkan.


i) Pembentukan Kelamin :Kelamin janin sudah ditentukan sejak konsepsi.

Apabila terdapat kromosm Y, akan terbentuk testis. Sel benih primordial yang

berasal dari yolk sac bermigrasi kelekukan bakal gonad. Perkembangan testis

diatur oleh gen testis determining factor (TDF) atau disebut sex determining

region (SRY). Sel sertoli pada testis mengeluarkan zat mullerian-inhibiting


substance yang berfungsi represi duktus muller. Testosteron di produksi oleh

testis akibat rangsang hCG dan LH.

Sebaliknya, apabila tidak terdapat testis, akan terbentuk gonad dan fenotip

perempuan. Pada kondisi janin perempuan, akibat terpapar androgen

berlebihn, akan timbul genitalia ambiguitas.

DAFTAR PUSTAKA
1. Prawiharjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka.

ABORTUS SPONTAN KOMPLIT

Kata abortus (aborsi, abortion) berasal dari bahasa Latin aboriri-keguguran


(to miscarry). Menurut New Shorter Oxford Dictionary, abortus adalah persalinan
kurang bulan sebelum usia janin yang memungkinkan untuk hidup, dan dalam hal
ini kata ini bersinonim dengan keguguran. Menurut National Center for Health
Statistics, Centers for Diseases Control and Prevention dan World Health
Organization mendefinisikan abortus sebagai penghentian kehamilan sebelum
gestasi 20 minggu atau dengan janin memiliki berat lahir kurang dari 500 gr.

1. DEFINISI
Abortus komplit merupakan abortus spontan yang tidak dapat dihindari.
Abotus komplit (keguguran lengkap) adalah abortus yang hasil konsepsi (desidua
dan fetus) keluar seluruhnya sebelum usia 20 minggu dan berat badan di bawah
500 gram. Ciri terjadinya abortus komplit adalah perdarahan pervaginam,
kontraksi uterus, ostium sudah menutup, ada keluar jaringan, tidak ada sisa dalam
uterus, uterus telah mengecil. Diagnosis abortus komplit ditegakkan bila jaringan
yang keluar juga diperiksa kelengkapannya.
2. EPIDEMIOLOGI
Insiden abortus spontan komplit belum diketahui secara pasti, namun
demikian disebutkan sekitar 60% dari wanita hamil dirawat di rumah sakit dengan
perdarahan akibat mengalami abortus. Insiden abortus spontan secara umum
disebutkan sebesar 10% dari seluruh kehamilan. Angka-angka tersebut berasal
dari data-data dengan sekurang-kurangnya ada dua hal yang selalu berubah,
kegagalan untuk menyertakan abortus dini yang tidak diketahui dan
pengikutsertaan abortus yang ditimbulkan secara ilegal serta dinyatakan sebagai
abortus spontan.
Lebih dari 80% abortus terjadi dalam 12 minggu pertama kehamilan dan
angka tersebut kemudian menurun secara cepat pada umur kehamilan selanjutnya.
Anomali kromosom menyebabkan sekurang-kurangnya separuh dari abortus pada
trimester pertama, kemudian menurun menjadi 20-30% pada trimester kedua dan
5-15% pada trimester ketiga.
Risiko abortus spontan semakin meningkat bertambahnya paritas disamping
dengan semakin lanjutnya usia ibu serta ayah. Frekuensi abortus yang dikenali
secara klinis bertambah dari 12% pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun,
menjadi 26% pada wanita yang berumur di atas 40 tahun. Untuk usia paternal
yang sama, kenaikannya adalah dari 12% menjadi 20%. Insiden abortus
bertambah pada kehamilan yang belum melebihi umur 3 bulan.
3. ETIOLOGI
Mekanisme pasti yang bertanggung jawab pada peristiwa abortus tidak
selalu tampak jelas. Pada beberapa bulan pertama kehamilan, ekspulsi hasil
konsepsi terjadi secara spontan hampir selalu didahului kematian embrio atau
janin, namun pada kehamilan beberapa bulan berikutnya sering janin sebelum
ekspulsi masih hidup dalam uterus.
Kematian janin sering disebabkan oleh abnormalitas pada ovum, zigot, atau
oleh penyakit sistemik pada ibu, dan kadang-kadang mungkin juga disebabkan
oleh penyakit pada ayahnya.
A. Faktor Maternal
Biasanya penyakit maternal berkaitan dengan abortus euploidi.
Peristiwa abortus tersebut mencapai puncaknya pada kehamilan 13 minggu,
63ank arena saat terjadinya abortus lebih belakangan, pada sebagian kasus
dapat ditentukan etiologi abortus yang dapat dikoreksi. Sejumlah penyakit,
kondisi kejiwaan, dan kelainan perkembangan pernah terlibat dalam
peristiwa abortus euploidi, dan beberapa hal lainnya adalah :
a. Infeksi
Organisme seperti Treponema pallidum, Chlamydia trachomatis,
Neisseria gonorroeae, Streptococcus agalactina, Herpes simplex virus,
Cytomegalovirus listeria monocytogenes dicurigai berperan sebagai
penyebab abortus. Toxoplasma juga disebutkan dapat menyebabkan abortus.
Isolasi Mycoplasma homonis dan Ureaplasma urealyticum dari traktus
genitalia sebagian wanita yang mengalami abortus telah menghasilkan
hipotesis yang menyatakan bahwa infeksi mikoplasma yang menyangkut
traktus genitalia dapat menyebabkan abortus. Dari kedua organisme
tersebut, Ureaplasma urealyticum merupakan penyebab utama.
b. Penyakit-penyakit Kronis yang Melemahkan
Pada awal kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan
keadaan ibu misalnya penyakit tuberkulosis atau karsinomatosis jarang
menyebabkan abortus. Hipertensi jarang disertai dengan abortus pada
kehamilan sebelum 20 minggu, tetapi keadaan ini dapat menyebabkan
kematian janin dan persalinan premature.
c. Pengaruh Endokrin
Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidisme,
diabetes mellitus, dan defisiensi progesterone. Diabetes tidak menyebabkan
abortus jika kadar gula dapat dikendalikan dengan baik. Diabetes maternal
pernah ditemukan oleh sebagian peneliti sebagai faktor predisposisi abortus
spontan, tetapi kejadian ini tidak ditemukan oleh peneliti lainnya. Defisiensi
progesterone karena kurangnya sekresi hormone tersebut dari korpus luteum
atau plasenta mempunya hubungan dengan kenaikan insiden abortus.
Progesterone berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi hormone
tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan
dengan demikian turut berperan dalam peristiwa kematiannya.
d. Nutrisi
Pada saat ini, hanya malnutrisi umum sangat berat yang paling besar
kemungkinannya menjadi predisposisi meningkatnya kemungkinan abortus.
Nausea serta vomitus yang lebih sering ditemukan selama awal kehamilan
dan setiap deplesi nutrient yang ditemukan jarang diikuti dengan abortus
spontan. Sebagian besar mikronutrien pernah dilaporkan sebagai unsur yang
penting untuk mengurangi abortus spontan.
e. Obat-obatan dan Toksin Lingkungan
Beberapa toksin di lingkungan seperti benzene dapat menyebabkan
malformasi fetus dan keguguran. Selain itu bahan kimia lain seperti arsenik,
formaldehid, timah, ethylenoxide, dan diklorodifeniltrikloroethan (DDT)
juga dikaitkan.
f. Faktor-faktor Imunologis
Faktor imunologis yang telah terbukti signifikan dapat menyebabkan
abortus spontan yang berulang, antara lain : antikoagulan lupus (LAC) dan
antibody anti cardiolipin (ACA) yang mengakibatkan destrusi vaskuler,
thrombosis, abortus, serta destruksi plasenta.
g. Gamet yang Menua
Baik umur sperma dapat mempengaruhi angka insiden abortus
spontan. Insiden abortus meningkat terhadap kehamilan yang berhasil bila
inseminasi terjadi empat hari sebelum atau tiga hari sesudah peralihan
temperature basal tubuh, karena itu disimpulkan bahwa gamet yang
bertambah tua di dalam traktus genitalia wanita sebelum fertilisasi dapat
menaikkan kemungkinan terjadinya abortus. Beberapa percobaan binatang
juga selaras dengan hasil observasi tersebut.
h. Trauma Fisik dan Trauma Emosional
Kebanyakan abortus spontan terjadi beberapa saat setelah kematian
embrio atau kematian janin. Jika abortus disebabkan khususnya oleh trauma,
kemungkinan kecelakaan tersebut bukan peristiwa yang baru terjadi, tetapi
lebih merupakan kejadian yang terjadi beberapa minggu sebelum abortus.
Abortus yang disebabkan oleh trauma emosional bersifat spekulatif, tidak
ada dasar yang mendukung konsep abortus dipengaruhi oleh rasa ketakutan,
marah, ataupun cemas.
i. Kelainan Uterus
Kelainan uterus dapat dibagi menjadi kelainan acquired (didapat) dan
kelainan yang timbul dalam proses perkembangan janin, defek duktus
Mulleri yang dapat terjadi secara spontan atau yang ditimbulkan oleh
pemberian dietilstilbestrol (DES).Malformasi kongenital termasuk fusi
duktus Mulleri yang inkomplit yang dapat menyebabkan uterus unikornus,
bikornus atau uterus ganda. Defek pada uterus yang acquired sering
dihubungkan dengan kejadian abortus spontan berulang termasuk
perlengketan uterus atau sinekia dan leiomioma.Leiomioma uterus yang
besar dan majemuk sekalipun tidak selalu disertai dengan abotus, bahkan
lokasi leiomioma tampaknya lebih penting daripada ukurannya. Mioma
submucosa, tapi bukan mioma intamural atau subserosa, lebih besar
kemungkinannya untuk menyebabkan abortus. Namun demikian, leiomioma
dapat dianggap sebagai faktor kausatif hanya bila hasil pemeriksaan klinis
lainnya ternyata negatif dan
histerogram menunjukkan adanya defek pengisian dalam kavum
endometrium. Miomektomi sering mengakibatkan jaringan parut uterus
yang dapat mengalami rupture pada kehamilan berikutnya, sebelum atau
selama persalinan.
Trauma akibat laparotomy kadang-kadang dapat mencetuskan
terjadinya abortus. Pada umumnya, semakin dekat tempat pembedahan
tersebut dengan organ panggul, semakin besar kemungkinan terjadinya
abortus. Meskipun demikian, sering kali kista ovarium dan mioma
bertangkai dapat diangkat pada waktu kehamilan apabila mengganggu
gestasi. Peritonitis dapat menambah besar kemungkinan abortus. Perlekatan
intrauteri (sinekia atau sindroma Ashennen) paling sering terjadi akibat
tindakan kuretasu pada abortus yang terinfeksi atau pada missed abortion
atau mungkin pula akibat komplikasi postpartum. Keadaan tersebut akibat
destruksi endometrium yang sangat luas. Selanjutnya keadaan ini
mengakibatkan amenore dan abortus habitualis yang diyakini terjadi akibat
endometrium yang kurang memadai untuk mendukung implantasi hasil
pembuahan.

Gambar 6. a. Uterus Bikornu Komplit


b. Uterus Septata

j. Inkompetensi Serviks
Kejadian abortus pada uterus dengan serviks yang inkompeten
biasanya terjadi pada trimester kedua. Ekspulsi jaringan konsepsi terjadi
setelah membran plasenta mengalami ruptur pada prolaps yang disertai
dengan ballooning membran plasenta ke dalam vagina.
B. Faktor Paternal
Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan factor paternal dalam
proses timbulnya abortus spontan. Yang pasti, translokasi kromosom sperma
dapat menimbulkan zigot yang mengandung bahan kromosom yang terlalu
sedikit atau terlalu banyak, sehingga terjadi abortus.
Penyakit ayah: umur lanjut, penyakit kronis seperti TBC, anemia,
dekompensasi kordis, malnutrisi, nefritis, sifilis, keracunan (alcohol,
nikotin, Pb, dan lain-lain), sinar rontgen, avitaminosis.
C. Faktor Fetal
Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menyebabkan kematian
janin atau cacat. Kelainan berat biasanya menyebabkan kematian janin pada
hamil muda. Faktor-faktor yang menyebabkan kelainan dalam pertumbuhan
janin antara lain kelainan kromosom, lingkungan kurang sempurna, dan
pengaruh dari luar. Kelainan kromosom merupakan kelainan yang sering
ditemukan pada abortus spontan seperti trisomi, poliploidi, dan
kemungkinan pula kelainan kromosom seks. Trisomi autosomalmerupakan
anomaly yang paling sering ditemukan (52%), kemudian diikuti oleh
poliploidi (21%), dan monosomi X (13%). Lingkungan yang kurang
sempurna terjadi bila lingkungan endometrium di sekitar tempat implantasi
kurang sempurna sehingga pemberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi
terganggu.
Pengaruh dari luar, seperti radiasi, virus, obat-obat yang sifatnya
teratogenik.
D. Faktor Plasenta
Pada plasenta, seperti endarteritis dapat terjadi dalam vili koriales dan
menyebabkan oksigenasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan
gangguan pertumbuhan dan kematian janin, keadaan ini bisa terjadi sejak
kehamilan muda, misalnya karena hipertensi yang menahun.
4. PATOFISIOLOGI
Proses abortus komplit dapat berlangsung secara spontan maupun sebagai
komplikasi dari abortus provokatus kriminalis maupun medisinalis. Proses
terjadinya berawal dari perdarahan pada desidua basalis yang menyebabkan
nekrosis jaringan di atasnya. Selanjutnya, sebagian atau seluruh hasil konsepsi
terlepas dari dinding uterus. Hasil konsepsi yang terlepas menjadi benda asing
terhadap uterus sehingga akan dikeluarkan langsung atau bertahan beberapa
waktu. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi biasanya dikeluarkan
seluruhnya karena vili koriales belum menembus desidua secara mendalam. Pada
kehamilan antara 8 minggu sampai 14 minggu, vili koriales menembus desidua
lebih dalam sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat
menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu
umumnya yang mula-mula dikeluarkan setelah ketuban pecah adalan janin,
disusul kemudian oleh plasenta yang telah lengkap terbentuk. Perdarahan tidak
banyak jika plasenta segera terlepas dengan lengkap.
5. GAMBARAN KLINIS
a. Ditandai dengan keluarnya seluruh hasil konsepsi.
b. Perdarahan pervaginam ringan terus berlanjut sampai beberapa waktu
lamanya.
c. Umumnya pasien datang dengan rasa nyeri abdomen yang sudah
hilang.
Umunya terjadi pervaginam derajat sedang sampai berat disertai dengan
kram pada perut bagian bawah, bahkan sampai ke punggung. Janin kemudian
sudah keluar bersama-sama plasenta pada abortus yang terjadi sebelum minggu
ke-10, tetapi sesudah usia kehamilan 10 minggu, pengeluaran janin dan plasenta
akan terpisah. Bila plasenta seluruhnya atau sebagian tetap tertinggal dalam
uterus, maka akan terjadi perdarahan.
Cepat atau lambat akan terjadi dan memberikan gejala utama abortus
komplit. Sedangkan, pada usia abortus dalam usia kehamilan yang lebih lanjut,
sering perdarahan berlangsung amat banyak dan kadang-kadang masif sehingga
terjadi syok hipovolemik.
6. DIAGNOSIS
Diagnosis abortus spontan komplit ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
melalui anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik, setelah menyingkirkan
kemungkinan diagnosis banding lain, serta dilengkapi dengan pemeriksaan
penunjang.
Pemeriksaan fisik mengenai status ginekologis meliputi pemeriksaan
abdomen, inspekulo, dan vaginal toucher. Palpasi tinggi fundus uteri pada abortus
spontan komplit dapat sesuai dengan umur kehamilan atau lebih rendah.
Pemeriksaan penunjang berupa USG akan menunjukkan adanya sisa jaringan.
Tidak ada nyeri tekan ataupun tanda cairan bebas seperti terlihat pada kehamilan
ektopik yang terganggu. Pemeriksaan dengan menggunakan spekulum akan
memperlihatkan adanya dilatasi serviks, mungkin disertai dengan keluarnya
jaringan konsepsi atau gumpalan-gumpalan darah. Bimanual palpasi untuk
menentukan besar dan posisi uterus perlu dilakukan sebelum memulai tindakan
evakuasi sisa hasil konsepsi yang masih tertinggal. Menentukan ukuran sondase
uterus juga pentingdilakukan untuk menetukan jenis tindakan yang sesuai.

7.
Tabel 1. Pemeriksaan Fisik pada Pasien Abortus

DIAGNOSIS BANDING
A. Molahidatidosa
Mola Hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak
wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis
mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Secara makroskopik
mola hidatidosa mudah dikenali yaitu berupa gelembung-gelembung putih,
tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari
beberapa milimeter sampai 1 atau 2 cm. Secara histopatologi yang khas dari
mola hidatidosa adalah edema stroma vili, tidak ada pembuluh darah pada
vili/degenerasi hidropik dan proliferasi sel-sel trofoblas.
Pada awalnya gejala mola hidatidosa sama pada gejala awal
kehamilan namun kemudian perkembangannya lebih pesat, sehingga
didapatkan besar uterus lebih besar dari usia kehamilan.
Perdarahan merupakan gejala utama mola hidatidosa yang biasa
terjadi pada bulan pertama sampai ke tujuh dengan rata-rata 12-14 minggu.
Sifat perdarahan bisa intermitten sedikit-sedikit atau sekaligus banyak
sehingga menyebabkan syok atau kematian. Mola biasanya disertai dengan
preeklampsia hanya perbedaannya preeklampsia pada mola terjadi pada
kehamilan lebih muda dari pada kehamilan biasa. Pada USG didapatkan
gambaran yang khas yaitu berupa badai salju (snow flake pattern) atau
gambaran seperti sarang lebah (honey comb).Pada kehamilan trimester I
gambaran mola hidatidosa tidak spesifik sehingga seringkali sulit dibedakan
dari kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus inkomplit, atau
mioma uteri.
B. Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel
telur yang telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum
uteri. Pada kehamilan ektopik penderita umumnya menunjukkan gejala-
gejala kehamilan muda, dan mungkin merasa sedikit nyeri di perut bagian
bawah yang tidak terlalu dihiraukan. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan
uterus membesar dan lembek walaupun mungkin tidak sebesar tuanya
kehamilan. selain itu dapat dilakukan usaha menggerakkan serviks uteri
yang menimbulkan nyeri yang disebut nyeri goyang serviks (+) atau slinger
pain. Demikian pula kavum douglasi menonjol dan nyeri pada perabaan
oleh karena terisi oleh darah.
Apabila kehamilan ektopik mengalami penyulit atau terjadi ruptur
pada tuba tempat lokasi nidasi kehamilan ini akan memberikan gejala dan
tanda yang khas yaitu timbulnya sakit perut mendadak yang kemudian
diikuti dengan syok atau pingsan. Ini adalah tanda khas terjadinya
kehamilan ektopik terganggu.
Pada kehamilan ektopik terganggu nyeri adalah keluhan utama. Rasa
nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi tetapi setelah darah masuk ke dalam
rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut
bawah. Darah dalam rongga perut dapat merangsang diafragma sehingga
menyebabkan nyeri bahu dan bila membentuk hematokel retrouterina
menyebabkan defekasi yang nyeri.
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada KET.
Hal ini menunjukkan kematian janin dan berasal dari kavum uteri karena
pelepasan desidua. Perdarahan biasanya berwana coklat tua bila berasal dari
uterus.
Pada USG didapatkan gambaran uterus yang tidak memiliki kantong
gestasi dan gambaran kantong gestasi yang berisi mudigah berada diluar
uterus. Apabila sudah terganggu (ruptur) maka kantong gestasi sudah tidak
jelas tetapi akan didapatkan massa hiperekoik yang tidak beraturan , tidak
berbatas tegas, dan disekitarnya didapatkan gambaran cairan bebas
(gambaran darah intraabdominal). Bila tidak tersedia fasilitas USG dapat
dilakukan pemeriksaan pungsi kavum Douglasi (kuldosentesis).
8. PENANGANAN
Penanganan abortus spontan komplit, antara lain :
a. Bila kondisi pasien baik, berikan ergometrin 3 x 1 tablet selama 3-5 hari.
b. Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas ferosus atau
transfuse darah.
c. Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
d. Anjurkan pasien diet tinggi protein, vitamin, dan mineral.

9. PROGNOSIS
Kecuali adanya inkompetensi serviks, angka kesembuhan yang terlihat
sesudah mengalami tiga kali abortus spontan akan berkisar antara 70-85% tanpa
tergantung pada pengobatan yang dilakukan. Abortus spontan komplit yang
dievakuasi lebih dini tanpa disertai infeksi memberikan prognosis yang baik
terhadap ibu.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro, Hanifa. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwno Prawirohardjo, 302-312.
2. Cunningham, Gary, F. dkk. 2009. Obstetri Williams Vol. 1. Jakarta: EGC,
226-250.
3. Ahmadi, A. Khodabandehloo, M. Ramazanzeah, R. Farhadifar, F. Rosham, D.
Ghaderi, E. Farhangi, N. 2016. The Relationship Between Chlamydia
trachomatis Genital Infection and Spontaneous Abotion. Iran: JRI, 17(2):110-
116.
4. Ahmadi, A. Khodabandehloo, M. Ramazanzeah, R. Farhadifar, F. Rosham, D.
Ghaderi, E. Farhangi, N. 2014. Association Between Ureaplasma urealyticum
Endocervical Infection and Spotaneous Abortion. Iran: IJM, 392-397.
5. Oakley, C. Warnes, CA. 2007. Heart Disease in Pregnancy 2nd Ed. USA:
Blackwell Publishing, 136.
6. Luisi, S. Lazzeri, L. Genazzani, AR. 2007. Endocrinology of Pregnancy Loss
in Recurrent Pregnancy Loss Causes, Controversies, and Treatment. Israel:
Informa Healthcare, 79-85.
7. Jung et al. 2015. Body Mass Index at Age 18-20 and Later Risk of
Spontaneous Abortion in The Health Examinees Study (HEXA). BMC
Pregnancy and Childbirth, 15:228. Available on
http://www.biomedcentral.com/10.1186/s12884-015-0665-2
8. Julia et al. 2009. Exposure To Maternal and Paternal Tobacco Consumption
and Risk of Spontaneous Abortion. Public Health Reports, Vol. 124.
9. Daniel, S. Koren, G. Lanunfeld, E. Bilenko, N. Ratzon, R. Levy, A. 2014.
Fetal Exposure To Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs and Spontaneous
Abortions. CMAJ, 185(5).
10. Twig, G. Sherer, Y. Blank, M. Shoenfeld, Y. 2007. Antiphospholipid
Syndrome – Pathophysiologi in Recurrent Pregnancy Loss Causes,
Controversies, and Treatment. Israel: Informa Healthcare, 107-111.
11. Torchinsky, A. Toder, V. 2007. Does The Maternal Immune System Regulate
The Embryo’s Response To Teratogens in Recurrent Pregnancy Loss Causes,
Controversies, and Treatment. Israel: Informa Healthcare, 59-64.
12. Andersen, AN. Wohlfahrt, J. Christens, P. Olsen, J. Melbye, M. 2000.
Maternal Age and Fetal Loss: Population Based Register Linkage Study.
BMJ Vol 320: 1708-12.
13. Seidman, DS. Goldenberg, M. 2007. Uterine Anomalies And Recurrent
Pregnancy Loss in Recurrent Pregnancy Loss Causes, Controversies, and
Treatment. Israel: Informa Healthcare, 147-152.
14. Mason, VC. de Chabert, RA. 1963. Incompetent Cervix. New York: Journal
of The National Medical Association, 542-561.
15. Wiener-Megnazi, Z. Auslender, R. Dirnfeld, M. 2012. Advanced Paternal
Age and Reproductive Outcome. Asian Journal of Andrology: 14, 69-76.
16. Jalee, R. Khan, A. 2013. Paternal Factors in Spontaneous First Trimester
Miscarriage. Pak J Med Sci: 29(3):748-752. Available on
http://dx.doi.org/10.12669/pjms.293.3388
17. Kim et al. 2010. Chromosomal Abnormalities in Spontaneous Abortion After
Assisted Reproductive Treatment. BMC Medical Genetics, 11:153. Available
on http://www.biomedcentral.com/1471-2350/11/153
18. Bickhaus et al. 2013. Re-examining Sonographic Cut-off Values for
Diagnosing Early Pregnancy Loss. USA: National Institute Public
Acces;3(1):1-10.
19. Griebel, C. Halvorsen, J. Golemon, TB. Day, AA. 2005. Management of
Spontaneous Abortion. University of Illinois College of Medicine at Peoria,
Illionis. Vol. 72, No. 7. Available on http://www.aafp.org/afp

Anemia Defisiensi Besi pada Ibu Hamil


1. Definisi
Anemia adalah kehamilan dengan kondisi ibu dengan kadar
hemoglobin dibawah 11% pada trimester 1 dan 3 atau kadar <10,5% pada
trimester 2. Nilai batas tersebut perbedaannya dengan kondisi wanita tidak
hamil terjadi karena hemodilusi, terutama pada trimester ke 2.
Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling
parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi
serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin
atau nilai hematokrit yang menurun.
Pada kehamilan anemia kekurangan besi akan timbul jika
keperluan besi (kira-kira 1000mg pada kehamilan tunggal) tidak dapat
dipenuhi dari cadangan besi dan dari besi yang dapat diabsorpsi dari
traktus gastrointestinal.
Volume darah bertambah cepat pada kehamilan trimester 2
sehingga kekurangan besi seringkali terlihat pada turunnya kadar
hemoglobin. Meskipun bertambahnya volume darah tidak begitu banyak
pada trimester 3, tetapi keperluan akan besi tetap banyak karena
penambahan HB ibu terus berlangsung dan lebih banyak besi yang
diangkut melalui plasenta ke neonatus.
Pada kehamilan, kehilangan zat besi akibat pengalihan besi
maternal ke janin untuk eritropoeisis, kehilangan zat darah saat persalinan,
dan laktasi yang jumlah keseluruhannya mencapai 900mg atau setara 2
liter darah. Oleh karena sebagian besar perempuan mengawali kehamilan
dengan cadangan besi yang rendah, maka kebutuhan tambahan ini
berakibat pada anemia defisiensi besi.

2. Epidemiologi
1. Frekuensi ibu hamil dengan anemia cukup tinggi di Indonesia yaitu
63,5%, sedangkan di amerika hanya 6%. Kekurangan gizi dan
perhatian yang kurang terhadap ibu hamil merupakan predisposisi
anemia defesiensi pada ibu hamil di Indonesia.
2. Menurut WHO, 40% kematian ibu di Negara berkembang berkaitan
dengan anemia dalam kehamilan.
3. Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh anemia
defesiensi besi dan perdarahan akut bahkan tidak jarang keduanya
saling berinteraksi.
4. Defeisiensi besi merupakan defisiensi nutrisi yang paling sering
ditemukan baik di negara maju maupun negara berkembang. Risikonya
meningkat pada kehamilan dan berkaitan dengan asupan besi yang
tidak adekuat dibandingkan kebutuhan pertumbuhan janin yang cepat.

3. Etiologi

Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi


dan perdarahan akut bahkan tidak jarang keduannya saling berinteraksi.
Penyebab anemia pada umumnya adalah sebagai berikut:
a. Kurang gizi (malnutrisi)

b. Kurang zat besi dalam diit


c. Malabsorpsi

d. Kehilangan darah banyak seperti persalinan yang lalu, haid dan


lain-lain

e. Penyakit-penyakit kronik seperti TBC paru, cacing usus, malaria


dan lain-lain

Anemia defisiensi besi pada kehamilan disebabkan oleh :


a. Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.
b.Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma.
c.Kurangnya zat besi dalam makanan.
d.Kebutuhan zat besi meningkat.

4. Patofisiologi
Zat besi merupakan zat penting untuk organisme hidup karena
berfungsi pada berbagai proses metabolisme, termasuk transport osigen,
sintesis DNA , dan transport elektron.
Perubahan hermatologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh
karena perubahan sirkulasi yang semakin meningkat terhadap plasenta dan
pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada
trimester II kehamilan dan maksimum terjadi pada bulan ke-9 dan
meningkat sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang atern serta kembali
normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan volume
plasma seperti laktogen plasma, yang menyebabkan peningkatan sekresi
aldesteron.
Selama kehamilan kebutuhan tubuh akan zat besi meningkat sekitar
800-1000 mg untuk mencukupi kebutuhan seperti terjadi peningkatan sel
darah merah membutuhkan 300-400 mg zat besi dan mencapai puncak
pada usia kehamilan 32 minggu, janin membutuhkan zat besi sekitar 100-
200 mg dan sekitar 190 mg terbuang selama melahirkan. Dengan demikian
jika cadangan zat besi sebelum kehamilan berkurang maka pada saat hamil
pasien dengan mudah mengalami kekurangan zat besi.
Gangguan pencernaan dan absorbs zat besi bisa menyebabkan
seseorang mengalami anemia defisiensi besi. Walaupun cadangan zat besi
didalam tubuh mencukupi dan asupan nutrisi dan zat besi yang adikuat
tetapi bila pasien mengalami gangguan pencernaan maka zat besi tersebut
tidak bisa diabsorbsi dan dipergunakan oleh tubuh.
Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi dari gangguan
keseimbangan zat besi yang negatif, jumlah zat besi yang diabsorbsi tidak
mencukupi kebutuhan tubuh. Pertama-tama untuk mengatasi
keseimbanganyang negatif ini tubuh menggunakan Universitas Sumatera
Utara cadangan besi dalam jaringan cadangan. Pada saat cadangan besi itu
habis barulah terlihat tanda dan gejala anemia defisiensi besi.
Berkembangnya anemia dapat melalui empat tingkatan yang masing-
masing berkaitan dengan ketidaknormalan indikator hematologis tertentu.
1. Tingkatan pertama disebut dengan kurang besi laten yaitu suatu
keadaan dimana banyaknya cadangan besi yang berkurang
dibawah normal namun besi didalam sel darah merah dari jaringan
tetap masih normal.
2. Tingkatan kedua disebut anemia kurang besi dini yaitu penurunan
besi cadangan terus berlangsung sampai atau hampir habis tetapi
besi didalam sel darah merah dan jaringan belum berkurang.
3. Tingkatan ketiga disebut dengan anemia kurang besi lanjut yaitu
besi didalam sel darah merah sudah mengalami penurunan namun
besi dan jaringan belum berkurang.
4. Tingkatan keempat disebut dengan kurang besi dalam jaringan
yaitu besi dalam jaringan sudah berkurang atau tidak ada sama
sekali.
5. Gejala klinis
Gejala berupa :
- Lemah dan cepat lelah ketika beraktivitas
- Kram pada kaki ketika menaiki tangga
- Craving ice misalnya sayuran dingin untuk di hisap dan di kunyah
- Intoleransi dingin
- Penurunan resistensi terhadap infeksi
- lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang,
- telinga berdenging
- nafsu makan menurun, malaise, konsentrasi hilang
- keluhan mual muntah lebih hebat

Pemeriksaan fisik :
- konjungtiva anemis, lidah luka, jaringan di bawah kuku tampak pucat,
pembesaran kelenjar limpa.

Gejala khas :
- koilonychias, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, disfagia, atrofi
mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia dan pica.
6. Penatalaksanaan
- Lakukan pemeriksaan hapusan darah tepi terlebih dahulu
- Bila pemeriksaan hapusan darah tepi tidak tersedia, maka berikan
suplementasi tablet besi dan asam folat (60 mg besi elemental dan 250
µg asam folat) diberikan 3x sehari. Bila dalam 90 hari muncul
perbaikan, lanjutkan pemberian tablet sampai 42 hari pasca salin.
Apabila setelah 90 hari pemberian tablet besi dan asam folat kadar Hb
tidak meningkat, rujuk pasien.
- Bila hasil hapusan darah tepi menunjukkan mikrositik hipokrom : cek
kadar ferritin. Kadar ferritin < 15ng/ml berikan terapi dosis setara 180
mg besi elemental per hari. Apabila kadar ferritin normal lakukan
pemeriksaan SI dan TIBC.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes RI. 2013. Buku Saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan
dasar dan rujukan. Kementerian kesehatan RI : Jakarta
2. Fatimah, Hadju et al. 2011. Pola konsumsi dan kadar hemoglobin pada ibu
hamildi kabupaten maros Sulawesi selatan. Makalah kesehatan vol. 15 (1):31-36 :
Jakarta
3. Rigby, Fidelma. 2016. Anemuia and Trombocytopenia in Pregancy. Emedicine.
Medscape.com.
Ruptur Perineum

1. Pengertian
Perineum merupakan ruang berbentuk jajaran genjang yang terletak
dibawah dasar panggul. Batas–batasnya adalah:

Perineum adalah daerah yang terletak antara vulva dan anus, panjangnya
rata-rata 4 cm (Winknjosatro,2007). Perineum merupakan daerah tepi bawah
vulva dengan tepi depan anus. Perineum meregang pada saat persalinan kadang
perlu dipotong (episiotomi) untuk memperbesar jalan lahir dan mencegah robekan
(Sumara,dkk,2002). Ruptur perineum adalah robeknya perineum pada saat jalan
lahir. Berbeda dengan episiotomy, robekan ini bersifatnya traumatik karena
perineum tidak kuat menahan regangan pada saat janin lewat(Siswosudarmo, Ova
Emilia, 2008).

Ruptur adalah luka pada perineum yang diakibatkan oleh rusaknya


jaringan secara alamiah karena proses desakan kepala janin atau bahu pada saat
persalinan. Bentuk ruptur biasanya tidak teratur sehingga jaringan yang robek
sulit dilakukan penjahitan (Sukrisno, Adi 2010). Batas-batasnya adalah : a.
Superior: Dasar panggul yang terdiri dari Musculus Levator dan Musculus
Coccygeus. b. Lateral: tulang dan ligament yang membentuk pintu bawah pinggul
(exitus pelvis):yakni dari depan kebelakang angulus subpubius, ramus
ischiopubicus, tuber ischiadicum, ligamentum Sacrotuberosum, os coccygis. c.
Inferior: kulitdan fascia (Oxorn, 2010).

Menurut Oxom (2010), robekan perineum adalah robekan obstetrik yang


terjadi pada daerah perineum akibat ketidakmampuan otot dan jaringan lunak
pelvik untuk mengakomodasi lahirnya fetus.

Persalinan sering kali menyebabkan perlukaan jalan lahir. Luka yang


terjadi biasanya ringan tetapi seringkali juga terjadi luka yang luas dan berbahaya,
untuk itu setelah persalinan harus dilakukan pemeriksaaan vulva dan perineum
(Sumarah, 2009).

Robekan perineum terjadi hampir pada semua persalinan pertama dan


tidak jarang pada persalinan berikutnya. Namun hal ini dapat dihindarkan atau
dikurangi dengan menjaga sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan
cepat (Soepardiman dalam Nurasiah, 2012).
2. Anatomi perineum

Perineum merupakan bagian permukaan pintu atas panggulterletak antara


vulva dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fascia superfisialis perinci dan
terdiiri dari otot- otot koksigis dan levator anus yang tediri dari 3 otot penting
yaitu muskulus puborekatalis, muskulus pubokoksigis, muskulus iliokoksigis.
Susunan otottersebut merupakan penyangga dari struktur pelvis, diantaranya lewat
uratra, vagina dan rektum. Perineum berbatasan sebagai berikut: a) Ligamentum
arkuata dibagian depan tengah; b) Arkus iskiopublik dan tuber iskii dibagian
lateral lateral depan; c) Ligamentum sakrotuberosum dibagian lateral belakang; d)
Tugas koksigis dibagian belakang tengah.

Daerah perineum terdiri dari 2 bagian:a) Regional disebelah belakang,


disini terdapat muskulus fingter ani eksterna yang melingkari anus; b) Regio
urogenetalis, disini terdapat muskulus bulboka verous, muskulus transversusu
perinealis superfisialis dan muskulus iskiokavernosus.

3. Klasifikasi Ruptur Perineum

Robekan derajat pertama melitupi mukosa vagina, fourchetten dan kulit


perineum tepat dibawahnya (Oxorn,2010).

Robekan perineum yang melebihi derajat satu di jahit. Hal ini dapat
dilakukan sebelum plasaenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan plasenta harus
dikeluarkan secara manual, lebih baik tindakan itu ditunda sampai menunggu
palasenta lahir. Dengan penderita berbaring secara litotomi dilakukan
pembersihan luka dengan cairan anti septik dan luas robekan ditentukan dengan
seksama(Sumarah,2009).

Laserasi derajat dua merupakan luka robekan yang paling dalam.Luka ini
terutama mengenai garis tengah dan melebar sampai corpus perineum. Acapkali
musculus perineus transverses turut terobek dan robekan dapat turun tapi tidak
mencapai spinter recti. Biasanya robekan meluas keatas disepanjang mukosa
vaginadan jaringan submukosa. Keadaan ini menimbulkanluka laserasi yang
berbentuk segitiga ganda dengan dasar pada fourchette, salah satu apexpada
vagina dan apex lainnya didekat rectum (Oxorn,2010).
Pada robekan perineumderajat dua, setelah diberi anastesi local otot-otot
difragma urogenetalis dihubungkan digaris tengah jahitan dan kemudian luka
pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan mengikut sertakan jaringan-
jaringan dibawahnya (Sumarah,2009).a. Robekan derajat pertama b. Robekan
derajat kedua c. Robekan derajat ketiga

Robekan derajat ketiga meluas sampai corpus perineum, musculus


transverses perineus dan spinter recti. Pada robekan partialis derajat ketiga yang
robek hanyalah spinter recti; pada robekan yang total, spinter recti terpotong dan
laserasi meluas hingga dinding anterior rectum dengan jarak yang bervariasi.
Sebagaian penulis lebih senang menyebutkan keadaan ini sebagai robekan derajat
keempat (Oxorn,2010).

Menjahit robekan perineum derajat tiga harus dilakukan dengan teliti,


mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit, kemudian fasia prarektal
ditutup, dan muskulus sfingter ani eksternus yang robek dijahit. Selanjutnya
dilakukan penutupan robekan seperti pada robekan perineum derajat kedua. Untuk
mendapatkan hasil yang baik pada robekan perineum total perlu diadakan
penanganan pasca pembedahan yang sempurna (Sumarah,2009).

Robekan yang terjadi dari mukosa vagina, komisura posterior, kulit


perineum, otot perineum, otot spinter ani eksterna, dinding rectum anterior
(Sumarah, 2009).

Semua robekan derajat ketiga dan keempat harus diperbaiki diruang bedah
dengan anastesi regional atau umum secara adekuat untuk mencapai relaksasi
sfingter. Ada argument yang baik bahwa robekan derajat ketiga dan keempat,
khususnya jika rumit, hanya boleh diperbaikioleh profesional berpengalaman
seperti ahli bedah kolorektum, dan harus ditindak-lanjuti hingga 12 bulan setelah
kelahiran. Beberapa unit maternitas memiliki akses ke perawatan spesialis
kolorektal yang memiliki bagian penting untuk berperan (Mauree boyle,2009).d.
Robekan derajat keempat

4. Etiologi Ruptur Perineum


Robekan pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana: a)
Kepala janin terlalu cepat; b) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya; c)
Sebelumya pada perineum terdapat banyak jaringan parut; d) Pada persalianan
dengan distosia bahu (Prawiharjo, 2011); e) Presentasi defleksi (dahi,muka); f)
Primipara; g) Letak sungsang; h) Pada obstetri dan embriotomi: ekstraksi vakum,
ekstraksi forsep, dan embriotomi(Mochtar,2005).

Robekan perineum berkaitan dengan kelahiran primipara, kala dua


persalinan yang lama, arcus pubis yang sempit, posisi kepala yang kurang fleksi
dan oksipital posterior, presipitasi persalinan,bayi besar (lebih dari 4000 g),
distosia bahu, kelahiran pervaginam dengan bantuan misalnya forcep tetapi lebih
sedikit dengan ventiouse (David,2008).

5. Tanda – Tanda dan Gejala Robekan Jalan lahir

Bila perdarahan masih berlangsung meski kontraksi uterus baik dan tidak
didapatkan adanya retensi plasenta maupun adanya sisa plasenta, kemungkinan
telah terjadi perlukaan jalan lahir (Taufan Nungroho,2012).

Tanda dan gejala robekan jalan lahir diantaranya adalah perdarahan, darah
segar yang mengalir setelah bayi lahir, uterus berkontraksi dengan baik, dan
plasenta normal. Gejala yang sering terjadi antara lain pucat, lemah, pasien dalam
keadaan menggigil.

6. Ciri Khas Robekan Jalan Lahir

a. Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil.

b. Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir, perdarahan ini terus menerus
setelah massase atau pemberian uterotonika langsung mengeras tapi perdarahan
tidak berkurang. Dalam hal apapun, robekan jalan lahir harus dapat diminimalkan
karena tak jarang perdarahan terjadi karena robekan dan ini menimbulkan akibat
ynag fatal seperti terjadinya syok (Rukiyah,2012). c. Bila perdarahan berlangsung
meski kontraksi uterus baik dan tidak didapatkan adanya retensi plasenta maupun
sisa plasenta, kemungkinan telah terjadi perlukaan jalan lahir(Taufan 2012).

7. Pencegahan Terjadinya ruptur Perineum


Laserasi spontan pada vagina atauperineum dapat terjadi saatbayi
dilahirkan, terutama saat kelahiran kepala dan bahu. Kejadian laserasi akan
meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Janin
bekerjasama dengan ibu selama persalinan dan gunakan manufer tangan yang
tepat untuk mengendalikan kelahiran bayi serta membantu mencegah terjadinya
laserasi. Kerjasama ini dibutuhkan terutama saat kepala bayi dengan diameter 5-6
cm telah membuka vulva (crowning). Kelahiran kepala yang terkendali dan
perlahan memberikan waktu pada jaringan vagina dan perineum untuk melakukan
penyesuaian dan akan mengurangi kemungkinan terjadinya robekan. Saat kepala
mendorong vulva dengan diameter 5-6 cm bimbing ibu untuk meneran dan
berhenti untuk beristirahat atau bernapas dengan cepat.

8. Mempersiapkan Penjahitan

a. Bantu ibu mengambil posisi litotomi sehingga bokongnya berada di tepi tempat
tidur meja. b. Tempatkan handuk atau kain bersih di bawah bokong ibu.

c. Jika mungkin, tempatkan lampu sedemikian rupa sehinnga perineum padat


dilihat jelas.

d. Gunakan teknik aseptik pada saatmemeriksa robekanatau episiotomi,


memberikan anastesi lokal dan menjahit luka.

e. Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir.

f.Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau yang steril.

g. Dengan menggunakan aseptik, persiapkan peralatan dan bahan – bahan


disinfeksi tingkat tinggi untuk penjahitan.

h. Duduk dengan posisi santai dan nyaman sehingga luka bisa dengan mudah
dilihat dan panjahitan tanpa kesulitan.

i.Gunakan kain/kasa disinfeksi tingkat tinggi atau bersih untuk menyeka vulva,
vagina dan perineum ibu dengan lembut, bersihkan darah atau bekuan darah yang
ada sambil menilai dalam luasnya luka.
j.Periksa vagina, servik dan perineum secara lengkap, pastikan bahwa laserasi/
sayatan perineum hanya merupakan derajat satu atau lebih jauh untuk memeriksa
bahwa tidak terjadi robekan derajat tiga atau empat. Masukkan jari yang
bersarung tangan ke dalam anus dengan hati –hati dan angkat jari tersebut
perlahan –lahan untuk mengidentifikasi sfinter ani. Raba tonus atau ketegangan
sfinger.Jika sfingter terluka, ibu mengalami laserasi derajat tiga atau empat dan
harus segera dirujuk. Ibu juga dirujuk jika mengalami laserasi serviks.

k. Ganti sarung tangan sengan sarungtangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril
yang baru setelah melakukan pemeriksaaan rektum.

l.Berikan anastesi lokal. m. Siapkan jarum (pilih jarum yang batangnya bulat,
tidak pipih) dan benang. Gunakan benang kronik 2-0 atau 3-0. Benang kromik
bersifat lentur, kuat, tahan lama dan paling sedikit menimbulkan reaksi
jaringan.Tempatkan jarum pada pemegang jarum dengan sudut 90 derajat, jepit
dan jepit jarum tersebut(APN 2012).

9. Penanganan Ruptur perineum

Menurut 0xorn (2010) adabeberapa langkah menangani ruptur perineum.


Robekan ini kecil dan diperbaiki sesederhana mungkin. Tujuannya adalah
merapatkan kembali jaringan yang terpotong dan menghasilkan hemostatis. Pada
rata-rata kasus beberapa jahitan terputus lewat mukosa vagina, fourchette dan
kulit perineum sudah memadai. Jika perdarahannya banyak dapat digunakan
jahitan angka-8, jahitan karena jahitan ini kurang menimbulkan tegangan dan
lebih menyenagkan bagi pasiennya.a. Sebelum merepair luka episiotomy laserasi,
jalan lahir harus diekpose/ditampilkan dengan jelas, bila diperlukan dapat
menggunakan bantuan speculum sims. b. Identifikasi apakah terdapat laserasi
serviks, jika harus direpair terlebih dahulu. c. Masukkan tampon atau kassa
kepuncak vagina untuk menahan perdarahan dari dalam uterus untuk sementara
sehingga luka episiotomi tampak jelas. d. Masukkan jari ke II dan III dalam
vagina dan regangkan untuk dinding vagina untuk mengekpose batas atas (ujung)
luka. e. Jahitan dimulai 1 cm prosimal puncak luka, luka dinding vagina dijahit
kearah distal hingga batas commissura posterior. f. Rekontruksi diapgrama
urogenital (otot perineum) dengan cromic catgut 2-0. g. Jahitan diteruskan dengan
penjahitan perineum. 1) Robekan derajat pertama 2) Robekan derajat kedua lapis
demi lapis: a) Jahitan terputus, menerus ataupun jahitan simpul digunakan untuk
merapatkan tepi mukosa vagina dan submukosanya; b) Otot-otot yang dalam
corpus perineum dijahit menjadi satu dengan terputus; c) Jahitan subcutis
bersambung atau jahitan terputus, yang disimpulkan secara longgar menyatukan
kedua tepi kulit3 3) Robekan derajat ketiga yang total diperbaiki lapis demi lapis:
a. Dinding anterior rectum diperbaiki dengan jahitan memakai chromic catgut
halus 000 atau 0000 yang menyatu dengan jarum.

Mulai pada apex, jahitan terputus dilakukan pada submukosa sehingga


tunica serosa,musculusdan submukosa rectum tertutup rapat. b. Garis perbaiki
ulang dengan merapatkanfascia perirectal dan fascia septum rectovaginalis.
Digunakan jahitan menurus atau jahitan terputus. c. Pinggir robekan spincter recti
(yang telah mengerut) diidentifikasi dijepit dengan forceps allis dan dirapatkan
dengan jahitan terputus atau jahitan berbentuk angka- 8 sebanyak dua buah. d.
Mukosa vagina kemudian diperbaiki seperti pada episotomi garis tengah, dengan
jahitan menerus atauterputus. e. Musculusperineus dijahit menjadi satu dengan
jahitan terputus. f. Kedua tepi kulit dijahit menjadi satu dengan jahitan subculus
menerus atau jahitan terputus yang disimpulkan secara longgar.

Perbaikan pada robekan partial. Perbaikanpada robekan partial derajat


ketiga serupa denganperbaikan pada robekan total, kecuali dinding rectum masih
utuh dan perbaikan dimulai dengan menerapkan kembali kedua ujung spchinter
recti terobek (Oxorn,2010).

10. Pengobatan Robekan Jalan Lahir

Pengobatan yang dapat dilakukan untuk robekan jalan lahir adalah dengan
memberikan uterotonika setelah lahirnya plasenta, obat ini tidak boleh diberikan
sebelum bayi lahir. Manfaat dari pemberian obat ini adalah untuk mengurangi
terjadinya perdarahan pada kala III dan mempercepat lahirnya plasenta.

Perawatan luka perineum pada ibu setelah melahirkan berguna untuk


mengurangi rasa ketidaknyamanan, menjaga kebersihan, mencegah infeksi dan
mempercepat penyembuhan luka. Perawatan perineum umumnya bersamaan
dengan perawatan vulva. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: a)Mencegah
kontaminasi dengan rectum; b) Menangani dengan lembut jaringan luka; c)
Menbersihkan darah yang menjadi sumber infeksi dan bau (Saifuddin,2001).

11. Komplikasi

Resiko komplikasi yang mungkin terjadi jika ruptur perineum tidak segera
diatasi, yaitu, Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca
persalinan dalam waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penataksanaan
yang cermat selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting. Menilai
kehilangan darah yaitu dengan cara memantau tanda vital, mengevaluasi asal
perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan dan menilai tonus
otot (Depkes,2006).a. Perdarahan b. Fistula

Fistula dapat terjadi tanda diketahui penyebabnya karena perlukaan pada


vagina menembus kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing luka,
maka air kencing akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat menekan
kandung kencing atau rektum yang lama antara janin dan panggul,sehingga terjadi
iskemia (Depkes,2006)

Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena


adanya penekanan kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai dengan
rasa nyeri pada perineum dan vulva berwarna biru dan merah.

Hematoma dibagian pelvis bisa terjadi dalam vulva perineum dan fosa
iskiorektalis. Biasanya karena trauma perineum tetapi bisa juga dengan
varikositasvulva yang timbul bersamaan dengan gejala peningkatan nyeri.
Kesalahan yang menyebabkan diagnosis tidak diketahui dan memungkinkan
banyak darah yang hilang. Dalamwaktu yang singkat, adanya pembengkakan biru
yang tegang pada salah satu sisi introitus di daerah ruptur perineum (Martius,
1997).

Infeksi pada masanifas adalahperadangan di sekitar alat genitalia pada kala


nifas. Perlukaan pada persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke dalam
tubuh sehingga menimbulkan infeksi. Dengan ketentuan meningkat suhu tubuh
melebihi 38℃, tanpa menghitung pireksia nifas. Setiap wanita yang mengalami
pireksia nifas harus diperhatikan, diisolasi, dan dilakukan inspeksi pada traktus
genetalis untuk mencari laserasi, robekan atau luka episiotomi (Liwellyin,2001).d.
Hematoma a. Infeksi

Robekan jalan lahir selalu meyebabkan perdarahan yang berasal dari


perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptur uteri). Penanganan yang
dapat dilakukan dalamhal ini adalah dengan melakukan evaluasi terhadap sumber
dan jumlah perdarahan. Jenis robekan perineum adalah mulai dari tingkatan
ringan sampai dengan robekan yang terjadi pada seluruh perineum yaitu mulai
dari derajat satu sampai dengan derajat empat. Ruptur perineum dapat diketahui
dari tanda dan gejala yang muncul serta penyebab terjadinya. Dengan
diketahuinya tanda dan gejala terjadinya rupture perineum, maka tindakan dan
penanganan selanjutnya dapat dilakukan.

Kaitan yang ditemukan dalam penulisan ini adalah penyebab terjadinya


ruptur perineum, hal-hal yang dapat dilakukan serta tanda dan gejala yang terlihat
serta upaya lanjutan yang berkaitan dengan penangannya.

ABSES FOLIKEL RAMBUT DAN KELENJAR SEBASEA

Anatomi Dan Fisiologi Folikel Rambut Dan Kelenjar Sebasea

ANATOMI

Kelenjer palit ( glandula sebasea) terletak dis eluruh permukaan kulit


manusia kecuali di telapak tangan dan kaki. Kelenjer palit disebut juga
kelenjer holokrin karena tidak berlumen dan sekret kelenjer ini berasal dari
dekomposisi sel- sel kelenjer. Kelenjer palit biasanya terdapat di samping
akar rambut dan muaranya terdapat pada lumen akar rambut ( folikel
rambut ). Sebum mengandung trigliserida, asam lemak bebas, skualen, wax
ester, dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon androgen, pada
anak- anak jumlah kelenjer palit sedikit, pada pubertas menjadi lebih besar
dan banyak serta mulai berfungsi secara aktif.
Gambar 1. Letak folikel rambut dan kelenjar sebasea

HISTOLOGI
Kelenjar sebasea merupakan struktur unilobular atau multi lobular yang
biasanya berhubungan dengan folikel rambut. Kelenjar sebasea ini
mengandung kelenjar asini yang berhubungan dengan duktus eksretori
yang tersusun dari epitelium skuamosa yang berlapis-lapis. Kelenjar ini
dikelilingi oleh jaringan ikat.

Gambar 2. Histologi dari kelenjar sebasea


Lokasi
Kelenjar sebasea berhubungan dengan folikel yang berada di seluruh tubuh.
Bisa juga ditemukan ditempat yang tidak berambut, yaitu di kelopak mata
( kelenjar meibom), puting payudara ( kelenjar montgomery ),dan di sekitar
alat kelamin ( Kelenjar Tyson). Hanya di telapak tangan dan kaki yang
tidak ada folikel rambut dan kelenjar sebasea. Di lapisan epitel mulut
kadang teradapat kelenjar Fordyce’s yang dapat diihat dengan mata
telanjang karena ukurannya yang cukup besar (2-3 mm). Duktus dari
kelenjar sebasea terbuka secara langsung di permukaan epitel mulut.

FISIOLOGI

Sebum
Pada sebum manusia yang dihasilkan dari kelenjar sebasea, mengandung
squalen, kolesterol, ester kolesterol, wax ester, dan trigliserida. Enzim dari
bakteri yang menghidrolisis trigliserida menghasilkan asam lemak bebas,
sehingga lemak yang keluar dari saluran folikel rambut memiliki komposisi
yang berbeda dengan kelenjar sebasea ( adanya tambahan monogliserida
dan digliserida ). Berikut kompisisi dari sebum :

diambil dari : Akne and Its Teraphy by Guy F.Webster DAN


Antony V. Rawlings.

Fungsi Sebum
Fungsi sebum pada manusia sendiri belum diketahui. Tapi dapat dipasikan
bahwa Sebum merupakan faktor utama dari penyebab akne. Beberapa ahli
berpendapat bahwa sebum mengurangi terjadinya proses hilangnya cairan
dari kulit dan menghaluskan dan melembutkan kulit. Sebum telah terbukti
dapat melindungi kulit dari infeksi seperti bakteri, jamur, karena
mengandung imunoglobulin A yang disekresi dari kebanyakan kelenjar
eksorkrin.
Sekresi sebum meningkat saat mencapai pubertas yan dipengaruhi
oleh androgen dan seiring dengan pembesaran kelenjar sebasea. Pada pria
sekresi sebum dapat mencapai usia 80 tahun, pada wanita hanya sampai 60
tahun ( setelah menopause). Pada orang tua, kelenjar sebasea mengalami
hiperplasia tetapi sekresi sebum tidak meningkat.
a. Faktor perangsang produksi Sebum
 Androgen
Telah diketahui bahwa untuk produksi sebum, kelenjar
sebasea memerlukan hormon Androgen. Pasien yang
memiliki keadaan genetik pada androgen reseptor, tidak
mempunyai sebum dan akne.
 Retinoid
Isotretinoin adalah zat kimia yang paling ampuh dalam
menginhibisi produksi dari sebum. Hal ini dapat terlihat
hasilnya dalam 2 minggu setelah pemakaian. Kelenjar
sebasea menjadi kecil, dan lemak yang dihasilkan dari
kelenjar sebasea pun berkurang.
 Melanokortin
Pada binatang mencit melanokort meningkatkan produksi
sebum. Rekayasa genetik yang dilakukan pada tikus dengan
kekurangan reseptor melanokortin-5 mengalami hipoplasia
dari kelenjar sebasea sehingga produksi sebum berkurang.
Reseptor melanokortin-5 pada manusia telah teridentifikasi
pada kelenjar sebasea, dimana produksi sebum dapat
dimodulasi.
 Peroxisom Proliferator-Activated Receptors (PPRAs)
PPRAs mirip dengan reseptor retinoid. Setiap resepetor
membentuk heterodimer dengan reseptor retinoid X untuk
mentranskiripsikan gen-gen yang bersangkutan metabolisme
lemak dan proliferasi dan diferensiasi seluler.
 Fibroblast Growth Factor Receptors
FGFR 1 dan FGFR 2 terdapat di epidermis kulit dan
jaringan penyangga kulit. FGFR 2 memiliki peran penting
dalam embriogenesis pada formasi kulit. Mutasi pada FGFR
2 menyebabkan Apert syndrom yang biasanya disertai akne,
tetapi prosesnya sendiri masih tidak diketahui.
 Estrogen
Estrogen dapat mengurangi proses lipogenesis. Estrogen
sendiri bekerja sebagai inhibitor Androgen dan gonad via
hipofisis. Pada Terapi Pengganti Hormon (TPH) dapat
meningkatkan produksi lemak pada kulit, dimana tergantung
Hormon dominan mana yang diberikan.
TPH ini dapat merefleksikan efek dari Progesteron, dimana
Esterogen itu sendiri menekan produksi sebum.
 Progesteron
Efek progesteron terhadap produksi sebum masih
kontradiksi. Pada wanita menstruasi, peningkatan sekresi
sebum dianggap sebagai efek dari progesteron.

DEFINISI

Abses folikel rambut dan kelenjar sebasea yaitu suatu keadaan dimana
terdapatnya pus atau nanah pada folikel rambut dan kelenjar sebasea yang
disebabkan oleh proses perdangan atau inflamasi. Adanya beberapa
penyakit yang dapat menimbulkan abses pada foikel rambut dan kelenjar
sebasea yaitu folikulitis, furnkel dan karbunkel.

Folikulitis

Folikulitis adalah peradangan pada selubung akar rambut atau folikel


rambut, yang umumnya di sebabkan oleh bakteri gram positif
staphylococcus aureus. Berdasarkan lokasinya dalam jaringan, kulit
folikulitis folikulitis terbagi atas 2 jenis yaitu :

1. Folikulitis superfisialis

Folikulitis Superfisialis adalah radang folikel rambut dengan


pustul berdinding tipis pada orifisium folikel yang terbatas pada
epidermis.

2. Folikulitis Profunda
Folikulitis Profunda adalah radang folikel rambut dengan pustul
perifolikular kronik yang di tandai dengan adanya papul, pustul
dan sering terjadi rekurensi, merupakan folikulitis piogenik dengn
infeksi yang meluas kedalam folikel rambut sampai subkutan

Furunkel dan Karbunkel


Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan
subkutan sekitarnya. Furunkel dapat terbentuk pada lebih dari satu
tempat. Jika lebih dari satu tempat disebut furunkulosis.
Furunkulosis dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain
akibat iritasi, kebersihan yang kurang, dan daya tahan tubuh yang
kurang. Infeksi dimulai dengan adanya peradangan pada folikel
rambut di kulit (folikulitis), kemudian menyebar kejaringan
sekitarnya.Karbunkel adalah satu kelompok beberapa folikel
rambut yang terinfeksi oleh Staphylococcus aureus, yang disertai
oleh peradangan daerah sekitarnya dan juga jaringan dibawahnya
termasuk lemak bawah kulit.Karbunkel merupakan gabungan
beberapa furunkel yang dibatasi oleh trabekula fibrosa yang berasal
dari jaringan subkutan yang padat.

Akne Vulgaris (AV)


Akne Vulgaris (AV) adalah peradangan kronis dari pilosebasea.
Pilosebasa sendiri termasuk Folikel rambut, duktus sebasea, dan
kelenjar sebasea. Akibat dari peradangan pada hal ini,
mengahasilkan komedo, papul, pustul, kista, bahkan sampai “skar”.
Lokalisasi dari AV sendiri bisa di wajah, punggung, dada, dan
daerah anogenital.

EPIDEMIOLOGI

Penyakit ini sangat erat hubungannya dengan keadaan sosial-


ekonomi. Folikulitis dan furunkel dapat mengenai semua umur, tetapi
lebih sering di jumpai pada anak – anak dan juga tidak di pengaruhi oleh
jenis kelamin. Jadi pria dan wanita memiliki angka resiko yang sama
untuk terkena folikulitis dan furunkel, dan folkulitis lebih sering timbul
pada daerah panas atau beriklim tropis.

Furunkel dapat terjadi di seluruh bagian tubuh, insiden terbesar


penyakit ini pada wajah, leher, ketiak, pantat atau paha. Setiap orang
memiliki potensi terkena penyakit ini, namun beberapa orang dengan
penyakit diabetes, sistem imun yang lemah, jerawat atau problem kulit
lainnya memiliki resiko lebih tinggi.

Akne vulgaris biasanya mengenai remaja. Pria dan wanita


memiliki derajat yang sama biasanya mengenai usia 12 dan 14 tahun,
dimana wanita lebih pertama kali terkena lebih dahulu. Usia puncak untuk
derajat keparahan pada wanita adalah 16-17 tahun dan laki-laki 17-19
tahun. Pada penelitian yang lebih lanjut, AV bukan hanya dapat menyerang
remaja tetapi dapat menyerang bayi dan orang tua (usia 40 tahun).

ETIOLOGI

Folikulitis
Abses sebagian besar disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Infeksi
dimulai dengan adanya peradangan pada folikel rambut di kulit
(folikulitis), kemudian menyebar kejaringan sekitarnya. Setiap rambut
tumbuh dari folikel, yang merupakan suatu kantung kecil di bawah kulit.
Selain menutupi seluruh kulit kepala, folikel juga terdapat pada seluruh
tubuh kecuali pada telapak tangan, telapak kaki dan membrane mukosa
bibir. Folikulitis bisa di sebabkan oleh karena minyak ataupun pelumas
dan keringat berlebihan yang menutupi dan menyumbat saluran folikel
rambut. Bisa juga di sebabkan oleh gesekan saat bercukur atau gesekan
pakaian pada folikel rambut maupun trauma atau luka pada kulit. Hal ini
merupakan port de entry dari berbagai mikroorganisme terutama
staphylococcus aureus sebagai penyebab folikulitis. Folikulitis, dapat
disebabkan oleh berbagai faktor antara lain akibat iritasi, kebersihan yang
kurang, dan daya tahan tubuh yang kurang.

Furunkel dan karbunkel


Furunkel maupun karbunkel disebabkan oleh bakteri Staphylococcus
aureus. Bakteri ini merupakan flora normal pada kulit kadang-kadang pada
tenggorokan dan saluran hidung. Bakteri Staphylococcus aureus berbentuk
bulat (coccus), memiliki diameter 0,5 – 1,5 µm, memiliki
susunan bergerombol seperti anggur, tidak memiliki kapsul, nonmotil,
katalase positif dan pada pewarnaan gram tampak berwarna ungu.
S. aureus termasuk bakteri osmotoleran, yaitu bakteri yang dapat hidup di
lingkungan dengan rentang konsentrasi zat terlarut (contohnya garam)
yang luas, dan dapat hidup pada konsentrasi NaCl sekitar 3 Molar.
Habitat alami S. aureus pada manusia adalah di daerah kulit, hidung,
mulut, dan usus besar, di mana pada keadaan sistem imun normal, S.
aureus tidak bersifat patogen. Abses sebagian besar disebabkan oleh
Staphylococcus aureus . Furunkulosis dapat disebabkan oleh berbagai
faktor antara lain akibat iritasi, kebersihan yang kurang, dan daya tahan
tubuh yang kurang. Infeksi dimulai dengan adanya peradangan pada
folikel rambut di kulit (folikulitis), kemudian menyebar kejaringan
sekitarnya. Penularannya dapat melalui kontak atau auto inokulasi dari lesi
penderita. Furunkulosis dapat menjadi kelainan sistemik karena faktor
predisposisi antara lain, alcohol, malnutrisi, diskrasia darah, iatrogenic
atau keadaan imunosupresi termasuk AIDS dan diabetes mellitus.

Akne vulgaris
1. Penebalan pada lapisan keratin dan tersumbatnya duktus sebasea
yang menyebabkan terjadinya komedo tertutup (whiteheads) atau
terbuka (blackheads) (berikut akan dijelaskan mengenai komedo).
2. Meningkatnya sekresi sebum.
3. Meningkatnya pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes pada
saluran sebasea.
4. Peradangan pada sekitar kelenjar sebasea.

Faktor Pencetus
Banyak faktor pencetus yang menyebabkan akne yaitu :
 Hormon
Hormon Androgen merupakan pencetus utama
meningkatnya sekresi sebum pada laki dan perempuan.
 Diet
Faktor makanan terutama makanan yang manis seperti
permen, coklat, dianggap oleh beberapa dokter dan pasien
sebgai pencetus terjadinya AV. Tetapi berdasarkan penelitian
tidak ada korelasi yang bermakna antara AV dan diet.
Menurut penelitian, coklat bukan sebagai faktor pencetus
AV. Studi lain mengatakan bahwa ada hubungan antara intak
susu dan AV.
 Berkeringat
Sampai 15% pada pasien dengan AV memiliki riwayat
bekeringat yang banyak terutama di tempat panasdan
pekerjaan; seperti koki.
 Faktor eksternal
Oil, seperti minyak sayur atau minyak oli yang dapat
menyebabkan terjadinya ‘folikulitis oil’. Menyebabkan
terjadinya lesi seperti AV. Ter, DDT, Kosmetik yang
mengandung komedogenik oil.
 Iatrogenik
Kortikosteroid, baik topikal maupun sistemik, dapat
menyebabkan hiperkeratosis pada pilosebaseus yang
akhirnya menyebabkan AV.
 Stress
Menurut hasil penelitian, sebanyak 55% dari pasien yang
datang dengan keadaan dermatologi, mengeluhkan adanya
AV yang meluas di wajah mereka yang berkaitan dengan
stress. Tidak ditemukannya adanya korelasi antara stress
dengan AV. Hasil data terbaru mengatakan bahwa kelenjar
sebasea memiliki reseptor neuropeptida, dimana reseptor ini
bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi, proliferasi, dan
produksi dari sebum.
 Merokok
Beberapa Inverstigasi mengemukakan bahwa asap rokok
mengandung asam arakidonat yang tinggi dan aromatik
hidrokarbon polisiklik yang menginduksi jalur inflamasi
fosfolipase A2. Efek lebih lanjut dapat merangsang sintesis
asam arakidonat.
 Radiasi UV
Beberapa Inverstigasi mengemukakan bahwa asap rokok
mengandung asam arakidonat yang tinggi dan aromatik
hidrokarbon polisiklik yang menginduksi jalur inflamasi
fosfolipase A2. Efek lebih lanjut dapat merangsang sintesis
asam arakidonat.

PATOFISIOLOGI

Folikulitis
Secara umum, hampir 20% populasi manusia membawa bakteri
Staphylococcus aureus dalam tubuh mereka. Lokasi yang paling sering
adalah hidung, aksila dan perineum. Staphylococcus aureus memproduksi
beberapa toksin yang dapat meningkatkan kontribusi untuk invasi dan
membantu mempertahankan kehidupan stafilokokus dalam jaringan.
Produk-produk yang dihasilkan di dinding sel bakteri ini menimbulkan
berbagai efek pada sistem kekebalan tubuh penderita.
Produk-produk yang dihasilkan pada dinding sel ini adalah asam teichoic,
peptidoglycan dan protein A. Protein A ini membantu pelekatan bakteri
pada sel host. Selanjutnya, bakteri akan terikat pada porsi Fc dari IgG
sebagai tambahan pada fragmen Fab pada IgE. Pada follikulitis superfisial,
populasi sel neutrofil dapat memfiltrasi pada bagian infundibulum pada
folikel rambut dan mencetuskan suatu infeksi. Ini merupakan satu contoh
yang disebut sebagai suatu invasi secara langsung.

Gambar 3. Folikulitis

Furunkel dan Karbunkel


Kulit memiliki flora normal, salah satunya S.aureus yang merupakan flora
residen pada permukaan kulit dan kadang-kadang pada tenggorokan dan
saluran hidung. Predileksi terbesar penyakit ini pada wajah, leher, ketiak,
pantat atau paha. Bakteri tersebut masuk melalui luka, goresan, robekan
dan iritasi pada kulit. Selanjutnya, bakteri tersebut berkolonisasi di
jaringan kulit. Respon primer host terhadap infeksi S.aureus adalah
pengerahan sel PMN ke tempat masuk kuman tersebut untuk melawan
infeksi yang terjadi. Sel PMN ini ditarik ke tempat infeksi oleh komponen
bakteri seperti formylated peptides atau peptidoglikan dan sitokin TNF
(tumor necrosis factor) dan interleukin (IL) 1 dan 6 yang dikeluarkan oleh
sel endotel dan makrofag yang teraktivasi. Hal tersebut menimbulkan
inflamasi dan pada akhirnya membentuk pus yang terdiri dari sel darah
putih, bakteri dan sel kulit yang mati.
Wabah furunkulosis terbaru disebabkan oleh strain tertentu oleh
staphylococcus telah ditemukan. Kebanyakan dari ini dikaitkan dengan
infeksi staphylococcus pada komunitas. Pada suatu studi di Prancis, pasien
dengan furunkulosis menunjukkan adanya staphylococcus pada
kebanyakan pemeriksaan swab, dan 42% dari yang tersembunyi memiliki
gen Panton-Valentine-Leokucidin (PVL).Furunkel biasanya merupakan
vellus type. Mekanisme patologi pastinya bagaimana Staphylococcus
Aureus membentuk abses masih belum jelas, tapi injeksi PVL pada kulit
kelinci menghasilkan lesi nekrotik. Ini mengindikasikan bahwa produksi
sitotoksin dapat mempengaruhi terjadinya folikulitis.
Furunkel berawal sebagai benjolan keras berwarna merah yang
mengandung nanah. Lalu benjolan ini akan berfluktuasi dan tengahnya
menjadi putih atau kuning (membentuk pustula). Furunkel bisa pecah
spontan atau dipecahkan dan mengeluarkan nanahnya, kadang
mengandung sedikit darah.Pembentukan karbunkel terjadi lebih lambat
dibandingkan furunkel. Beberapa furunkel bersatu membentuk massa yang
lebih besar, yang memiliki beberapa titik pengaliran nanah. Infeksi ini
menular, bisa disebarkan ke bagian tubuh lainnya dan bisa ditularkan ke
orang lain.Karbunkel yang pecah akan mengeluarkan nanah lalu
mengering dan membentuk keropeng.1

Gambar 4. Klasifikasi dari infeksi bakterial pada folikel rambut.


Akne Vulgaris
Kelenjar Sebasa mengandung sel holokrin yang menghasilkan sebum.
Patogenis utama terjadinya AV adalah :
a. Penebalan pada lapisan keratin dan tersumbatnya duktus sebasea yang
menyebabkan terjadinya komedo tertutup (whiteheads) atau terbuka
(blackheads) (berikut akan dijelaskan mengenai komedo).
b. Meningkatnya sekresi sebum.
c. Meningkatnya pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes pada
saluran sebasea.
d. Peradangan pada sekitar kelenjar sebasea.

Gmb 5 : Kelenjar Pilosebasea

PEMBENTUKAN KOMEDO
Peristiwa yang pertama kali muncul pada jerawat adalah
pembentukan komedo, teradapatnya sumbatan pada folikel, dimana
disebut terbuka bila terlihat bintik putih di folikuler orifisea dan tertutup
bila tidak terlihat bintik hitam.
Gmb 6 : komedo hitam dan putih.

Komedo hitam sering disangka sebagai partikel debu oleh orang awam,
melainkan melanin yang teroksidasi. Pembentukan komedo dimulai dari
deskuamasi yang abnormal dari lapisan folikel. Epitel tidak rontok sebagai
partikel halus, melainkan terlepas dalam bentuk lembaran yang tidak bisa keluar
melalui lubang pada folikel, maka itu terjadi sumbatan. Penyebab terjadinya
deskuamasi epitel yang abnormal masih belum diketahui. Sekresi sebum bukan
faktor dari pembentukan komedo. Terdapat beberapa faktor yang diduga sebagai
pencetus komedo, yaitu agen fisik contohnya sinar matahari yang pernah di teliti
pada kuping kelinci;sunblock;cocoa powder, infeksi dari bakteri yang
menyebabkan inflamasi.

Gmb 6 : Deskuamasi yang abnormal dari lapisan folikel


BAKTERI
Mikroflora tergantung dari masa pubertas. Sebelum meningkatnya
produksi hormon kelenjar sebasea belum aktif dan populasi bakteri di kulit
masih rendah. Folikel yang steril menjadi tempat perkembangan dari dari
Propionibacterium acnes, anaerob, dan memetabolisme trigliserida yang
merupakan fraksi dari gliserol. Trigliserida merupakan sumber makanan
untuk populasi bakteri ini. P. Acnes ini tidak ditemukan pada hewan,
karena sebum pada hewan tidak mengandung Trigliserida.
P. acnes menimbulkan peradangan pada kulit yang merupakan
faktor terjadinya AV. Predileksi tempat dengan kelenjar sebasea yang
terbanyak dan paling aktif terletak di wajah, tubuh bagian atas, dan lengan.
Aktifitas kelenjar sebasea di extermenitas bawah sangat sedikit, sehingga
sangat sedikit sekali populasi dari P.acnes dan terjadinya AV, tidak ada.

PERADANGAN PADA KELENJAR SEBASEA


P. acnes merupakan aspek terpenting dalam menimbulkan reaksi
peradangan pada kelenjar sebasea. P.acnes membuat substansi kemotaktik
yang menarik neutrofil dan monosit, yang nantinya akan menghasilkan
peptida-petida dengan berat molekul yang kecil. Komponen ini menjadi
salah satu faktor terjadinya inflamasi. Lipase yang memecahkan
trigliserida di sebum juga merangsang datangnya leukosit.

MENINGKATNYA PRODUKSI SEBUM


Fungsi dari sebum pada manusia sebenarnya belum diketahui.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa sebum berfungsi untuk mengurangi
terjadi hilangnya cairan dalam kulit dan menjaga kulit tetap lembut, halus.
Tetapi sebum ini merupakan faktor predisposisi terjadinya AV.

MANIFESTASI KLINIS

Folikulitis
Secara umum folikulitis menimmbulkan rasa gatal seperti terbakar pada
daerah rambut. Gejala konstitusional yang sedang juga dapat muncul pada
folikulitis seperti badan panas, malaise dan mual. Pada folikulitis superfisialis
gambaran klinisnya di tandai dengan timbulnya rasa gatal dan agak nyeri,
tetapi biasanya tidak terlalu menyakitkan hanya seperti gigitan serangga,
tergores atau akibat garukan dan trauma kulit lainnya. Kelainan di kulitnya
dapat berupa papul atau pustul yang erimatosa yang dan di tengahnya terdapat
rambut dan biasanya multiple serta adanya krusta di sekitar daerah inflamasi.
Tempat predileksi biasanya pada tungkai bawah. Folikulitis superfisialis ini
dapat sembuh sendiri setelah beberapa hari tanpa meninggalkan jaringan
parut. Pada folikulitis profunda gambaran klinisnya hampir sama seperti
folikulitis superfisialis. Folikulitis profunda ini terasa sangat gatal yang di
sertai rasa terbakar serta teraba infiltrat di subkutan yang akhirnya dapat
meninggalkan jaringan parut apabila taelah sembuh.
Gambar 7. Efloresensi folikulitis

Furunkel dan Karbunkel

Bakteri masuk ke dalam folikel rambut sehingga tampak sebagai


nodus kemerahan dan sangat nyeri. Pada bagian tengah lesi terdapat bintik
kekuningan yang merupakan jaringan nekrotik, dan disebut mata bisul
(core). Apabila higinis penderita jelek atau menderita diebetes militus,
furunkel menjadi sering kambuh. Predileksi penyakit ini biasanya pada
daerah yang berambut misalnya pada wajah, punggung, kepala, ketiak,
bokong dan ekstrimitas, dan terutama pada daerah yang banyak
bergesekan. Mula-mula nodul kecil yang mengalami keradangan pada
folikel rambut, kemudian menjadi pustule dan mengalami nekrosis dan
menyembuh setelah pus keluar dengan meninggalkan sikatriks. Awal juga
dapat berupa macula eritematosa lentikular setempat, kemudian menjadi
nodula lentikular setempat, kemudian menjadi nodula lentikuler-numular
berbentuk kerucut . Nyeri terjadi terutama pada furunkel yang akut, besar,
dan lokasinya di hidung dan lubang telinga luar. Bisa timbul gejala
kostitusional yang sedang, seperti panas badan, malaise, mual. Furunkel
dapat timbul di banyak tempat dan dapat sering kambuh. Predileksi dari
furunkel yaitu pada muka, leher, lengan, pergelangan tangan, jari-jari
tangan, pantat, dan daerah anogenital.
Akne Vulgaris

Riwayat perjalanan penyakit

Kebanyakan pasien dengan AV datang dengan lesi onset yang bertahap


saat memasuki masa puber. Beberapa kasus dapat ditemukan pada
neonatus atau bayi. Karena AV lesinya yang bertahap, onset yang tiba-tiba,
praktisi harus mencari dasar etiologi tersebut.

Lokasi

Tempat predileksi AV adalah di muka, bahu, dada bagian atas. Lokasi kulit
lain, misalnya leher, lengan atas, dan glutea kadang terkena. AV memiliki
lesi polimorfik. Lesi bisa inflamasi dan non inflamasi. Lesi Non-inflamasi
adalah komedo, dimana bisa terbuka (komedo hitam) atau yang tertutup
(komedo putih). Lesi Inflamasi yaitu papulopustular, papulonodular,
nodulokistik, Akne Konglobata. Komedo hitam tampak sebagai lesi yang
datar atau sedikit menonjol dengan bagian tengahnya hitam. Komedo putih
mungkin tampak sukar untuk dapat dilihat karena letaknya lebih dalam
dan tidak mengandung unsur melanin. Gambarannya bisa pucat, sedikit
menimbul, papul-papul kecil. Peregangan kulit dapat membantu untuk
mendeteksi lesi.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

Pada folikulitis superfisial biasanya inflamasi terkena pada folikel rambut


di daerah kulit kepala, dagu, ketiak dan ektremitas. Kelainan kulit diawali
dengan pustul pada folikel rambut. Pustul pecah diikuti pembentukan
krusta. Erupsi papulopustular umumnya terlokalisir. Sering disertai dengan
keluhan pruritus dan secara klinisnya penderita tidak akan merasakan nyeri
serta pustul yang tumbuh akan membaik sendiri.
Pemeriksaan lab
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pewarnaan Gram, preparat KOH, dan
kultur. Pada pewarnaan Gram didapatkan coccus gram positif. Preparat KOH
digunakan untuk mengidentifikasi spesies jamur. Golongan dermatofit dapat
diidentifikasi dari gambaran hifa dan spora, M. furfur diidentifikasi dengan
adanya bentuk ragi multipel dan Candida dengan bentuk miselial. Kultur
digunakan untuk menentukan organisme penyakit, yaitu bakteri, jamur atau
pun virus. Untuk kasus folikulitis relaps yang kronis, perlu dilakukan kultur
dari swab hidung dan perianal untuk mengidentifikasi adanya S. aureus.
Pemeriksaan histopatologi
Secara histologis, pada kasus folikulitis superficial terdapat infiltrasi sel-sel
inflamasi di ostium folikuler dan di daerah folikel bagian atas. Dalam
kebanyakan kasus, peradangan awalnya terdiri dari neutrofil dan kemudian
menjadi lebih beragam dengan penambahan limfosit dan makrofag. Apabila
infeksi adalah penyebab terjadinya folikulitis, maka berbagai organisme dapat
diidentifikasi dalam folikel.

Gambar 10. Folikulitis Superficial dengan neutrofil terkonsentrasi pada bagian


atas folikel.

Furunkel dan Karbunkel


Diagnosis dapatditegakkan secara klinis, yaitu berdasarkan gambaran
klinisnya yang khas. Tetapi untuk lebih menegakkan diagnosis bias dari segi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Furunkel dimulai dengan nodul folikulosentrik yang keras, lunak,
merah (kelainan berupa nodus eritematosa berbentuk kerucut, di tengahnya
terdapat pustul) pada daerah yang terdapat bulu (hair-bearing) dan
biasanya menjadi besar serta dirasakan nyeri. Biasanya akan menghilang
sendiri dalam masa 7-10 hari tanpa meninggalkan bekas (tidak menjadi
merah dan tidak nyeri). Apabila terjadinya ruptur, pus dan sel-sel nekrotik
akan keluar. Furunkel pada daerah bokong biasa ditemukan dalam bentuk
lesi yang soliter atau lesi yang multipel. Karbunkel biasanya pertama
muncul sebagai tonjolan yang nyeri, permukaannya halus, berbentuk
kubah dan berwarna merah. Tonjolan tersebut biasanya juga indurasi.
Ukuran tonjolan tersebut meningkat dalam beberapa hari dan dapat
mencapai diameter 3-10 cm atau bahkan lebih. Supurasi terjadi setelah
kira-kira 5-7 hari dan pus dikeluarkan melalui saluran keluar yang multipel
(multiple follicular orifices). Demam dan malaise sering muncul dan
pasien biasanya tampak sakit berat. Karbunkel yang pecah dan kering
kemudian membentuk lubang yang kuning keabuan ireguler pada bagian
tengah dan sembuh perlahan dengan granulasi.Walaupun beberapa
karbunkel menghilang setelah beberapa hari, kebanyakan memerlukan
waktu dua minggu untuk sembuh. Jaringan parut permanen yang terbentuk
biasanya tebal dan jelas.
Gambar 8. Furunkel pada bibir atas. Lesinya nodular dan sumbatan nekrotik pusat
ditutupi oleh kerak purulen. Beberapa pustul kecil terlihat di lateral pusat lesi
tersebut.

Gambar 9. Karbunkel. Lesi ini menampakkan multipel furunkel yang berkumpul


dan mengandung pus.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis furunkel dan karbunkel ialah
dermapatologi, pewarnaan Gram, kultur bakteri, dan sensitivitas
antibiotik.Furunkolosis dan karbunkel yang tidakbisamembaik di
hubungkan dengan penyakit leukositosis.

a) Furunkel
Terlihat abses perifolikuler setempat. Pembuluh darah setempat
mengalami dilatasi dan tempat terinfeksi diserang oleh leukosit
polimorfonuklear. Terjadi nekrosis kelenjar dan jaringan sekitar,
membentuk inti yang di kelilingi oleh daerah dilatasi vaskuler, leukosit,
dan limfosit.

Gambar 11. Histopatologi furunkel

b) Karbunkel

Terdapat abses folikuler dan perifolikuler multipel yang kemudian


membentuk massa nekrotik yang luas, terjadi reaksi radang yang jelas di
sekitar intinekrotik di dalam jaringan ikat yang mendasarinya dan di
dalam lemak subkutan.

Gambar 12. Histopatologi karbunkel

Pewarnaan gram akan menunjukkan sekelompok kokus berwarna ungu


(gram positif) dan kultur bakteri pada medium agar darah domba
memberikan gambaran koloni yang lebar (6-8 mm), permukaan halus,
sedikit cembung, dan warna kuning keemasan. Uji sensitivitas antibiotik
diperlukan untuk penggunaan antibiotik secara tepat.
.
Gambar 13. Hasil Kultur S. aureus dalam Medium MSA.

Akne Vulgaris
Diagnosa akne vulgaris ditegakkan atas dasar klinis dan
pemeriksaan ekskohlesasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum
dengan ekstraktor komedo (sendok Unna). Sebum dapat tampak
sebagai massa padat seperti lilin atau massa lunak seperti nasi yang
ujungnya kadang berwarna hitam. Pemeriksaan histopatologis tidak
memperlihatkan gambaran yang spesifik berupa sebukan sel radang
pada pilosebasea. Pemeriksaan mikrobiologi terhadap jasad renik yang
memiliki peran pada etiologi dan patogenesis penyakit dapat dilakukan
di laboratorium mikrobiologi. Namun hasilnya sering tidak
memuaskan.
Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit dapat
pula dilakukan untuk tujuan serupa. Pada akne vulgaris kadar asam
lemak bebas meningkat dan oleh karena itu pada pencegahan dan
pengobatan digunakan cara untuk menurunkannya.

2.4 PENATALAKSANAAN
Folikulitis
Folikulitis kadang dapat sembuh sendiri setelah dua atau tiga hari, tetapi
pada beberapa kasus yang persisten dan rekuren perlu penanganan.
1. Umum
Cukup dengan menjaga kebersihan diri terutama kulit,
menghindari garukan dan faktor pencetus seperti gesekan pakaian
atau mencukur dan luka atau trauma.
2. Khusus, terbagi 2 yaitu secara tropikal dan secara sistemik :
 Topikal, dapat di berikan antibiotik misalnya (2) :
1. Kemicetin salap 2 %
2. Kompres PK 1/ 5000 solusio sodium chloride 0,9 %
( jika ada eksudasi)
3. Salep natrium fusidat.

 Sistemik, dapat diberikan : (1)


Antibiotik (umumnya di berikan 7 – 10 hari) misalnya :
1. Penisilin dan semisintetiknya.
a. Penisilin G prokain injeksi 0,6 – 1,2 juta IU, IM
selama 7 – 14 hari, 1 – 2 kali/ hari.
b. Ampisilin 250 – 500 mg/ dosis, 4 kali/ hari
c. Amoksisilin, 250 – 500 mg/ dosis, 3 kali/ hari
d. Kloksasilin ( untuk staphylococcus yang kebal
penisilin), dosis 250 – 500 mg, 4 kali / hari.
e. Dikloksasilin ( untuk staphylococcus yang kebal
penisilin), dosis 125 – 250 mg, 3 -4 kali/ hari.
2. Eritromisin 250 – 500 mg 3 – 4 kali/ hari(dewasa) dan
12, 5 – 25 mg/kbBB/ dosis 3 – 4 kali/ hari(anak).
3. Klindamisin 150 – 300 mg 3 – 4 kali/ hari (dewasa) dan
8 – 20 mg/ kgBB/ dosis 3- 4 ksli/ hsri(anak).
Penggunaan antiseptik dapat di berikan sebagai terapi tambahan
( misalnya : Chlorhexidine) tetapi jangan di gunakan tanpa pemberian
antibiotik sistemik. Dianjurkan pemberian antibiotik sistemik dengan
harapan dapat mencegah terjadinya infeksi kronik.
Furunkel dan Karbunkel

1. Non Farmakologis

Pengobatan furunkel tergantung kepada lokasi dan kematangan lesi.


Lesi permulaan yang belum berfluktuasi dan belum bermata
dikompres panas dan diberi antibiotik oral. Kompres panas akan
memperkecil ukuran lesi dan mempercepat penyerapan.

Insisi terhadap lesi awal jangan dilakukan untuk mencegah


inokulasi lebih dalam infeksi tersebut. Jika lesi telah matang dan
bermata dilakukan insisi dan drainase. Insisi jangan dilakukan jika
lesi terdapat di kanalis auditorius external, bibir atas, hidung, dan
pertengahan dahi karena infeksi yang tidak ditangani dapat
menyebabkan trombosis sinus kavernosus. Sewaktu penderita
mendapat antibiotik, semua pakaian, handuk, dan alas kasur yang
telah mengenai daerah yang sakit harus dicuci dengan air panas.

2. Farmakologis

Pada dasarnya pengobatan karbunkel sama saja dengan pengobatan


furunkel.Karbunkel atau furunkel dengan selulitis di sekitarnya atau
yang disertai demam, harus diobati dengan antibiotik sistemik. Untuk
infeksi berat atau infeksi pada area yang berbahaya dosis antibiotik
maksimal harus diberikan dalam bentuk parenteral. Bila infeksi
berasal dari methicillinresistant Staphylococcus aureus (MRSA) atau
dicurigai infeksi serius dapat diberikan vankomisin (1-2 gram IV
setiap hari dalam dosis terbagi). Pengobatan antibiotik harus berlanjut
paling tidak selama satu minggu.

Setiap episode bisa diobati sistemik dengan flucloxacillin atau


antibiotik resisten penisilin. Antibakteri biotik mengurangi kombinasi
bakteri di kulit.

Pengobatan furunkel atau karbunkel:

a) Topikal:

 Mupirocin

Mupirocin dihasilkan oleh pseudomonas fluorescens. Berdaya


khusus terhadap kuman Gram-positif seperti Staphylococcus
aureus. Khasiatnya bersifat bakterisid (salep 2%) berdasarkan
penghambatan RNA-sintetase yang berakibat penghentian
sintesa protein kuman.

 Asam Fusidat

Antibiotikum dengan rumus steroida yang mirip dengan


struktur asam empedu yang dihasilkan oleh jamur fusidium,
spektrum kerjanya sempit dan terbatas pada kuman Gram-
positif, terutama stafilokok. Kuman Gram-negatif resisten
terkecuali Neisseria. Khasiatnya bersifat bakteriostatis
berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman.

b) Sistemik:

 Ampisilin 4x500 mg/hari

 Amoksisilin 4x500 mg/hari

 Kloksasilin 3x250 mg/hari

 Linkomisin 3x500 mg/hari

 Klindamisin 4x150 mg/hari

 Eritromisin 4x500 mg/hari

 Sefadroksil 2x1000 mg/hari

Bila lesi besar, nyeri dan fluktuasi, insisi dan drainase diperlukan.
Bila infeksi terjadi berulang atau memiliki komplikasi dengan
komordibitas, kultur dapat dilakukan. Terapi anti mikrobial harus
dilanjutkan sampai semua bukti inflamasi berkurang dan berubah
apalagi ketika hasil kultur tersedia. Lesi yang di drainase harus
ditutupi untuk mencegah autoinokulasi dan mencuci tangan harus
sering dilakukan. Pasien dengan furunkolosis atau karbunkel berulang
memberikan masalah yang spesial dan sering menyulitkan.

Akne vulgaris

Pemahaman mengenai patofisiologis dari akne merupakan kunci dalam


penatalaksanaan terapi akne yaitu :

1. Perbaiki perubahan keratinisasi folikularis.


2. Mengurani produksi kelenjar sebasea.
2. Mengurangi populasi bakterialis folikularis, yaitu P. Acnes.
3. Menggunakan obat anti-inflamasi.
Terapi Lokal :
 Cleansing atau membersihkan wajah dengan sabun
antibakterial yang tidak menganggu pH kulit seperti bahan
yang mengandung triclosan.
 Benzoil peroxida merupakan preparat yang sering digunakan
dalam pengobatan topikal AV. Benzosil merupakan
antimikroba yang kuat dan menganggu proses hidrolisis
trigliserida.

 Topikal Antibiotik

Eritromisin dan Klindamisin merupakan antibiotik topikal


yang sering digunakan, dan biasanya merupakan kombinasi
dengan Benzosil peroxida. Tetapi akibat dari seringnya
penggunaan regimen ini, P. acne mulai resisten.
 Retinoid
Retinoid merupakan pengobatan topikal terpenting untuk akne.
Sekarang banyak tersedia preparat topikal dengan efek iritasi
yang rendah. Contohnya adapalene (Differin), tazarotene,
tretinoin (Retin-A, retin-A micro). Penggunaan selama 12
minggu untuk hasil yang maksimal. Retinoid merupakan obat
topikal yang satu-satunya dapat menormalkan keratinisasi
dalam infundibulum folikel dan mencegah terjadinya
pembentukan komedo.
P. akne menstimulasi reaksi peradangan pada kulit, tetapi
dengan retinoid reaksi peradangan tersebut dapat ditekan.
Terapi akne akan lebih baik bila dikombinasikan dengan obat
lainnya, contohnya Benzosil peroxida, atau topical antibiotik
lainnya.

Terapi Sistemik :
 Tetrasiklin merupakan antibiotik spektrum luas yang sering
digunakan dalam pengobatan akne. Walaupun tidak
mengurangi produksi sebum, tetapi mengurangi proses
terbentuknya asam lemak bebas yang merupakan indikator
aktifitas dari P. acne.
 Eritromisin, Clindamisin, dan Dapson.

Terapi Hormonal
Tujuan utama dari pengobatan ini adalah untuk meniadakan
efek androgen pada kelenjar sebasea. Hal ini dapat dicapai dengan
anti-androgen, atau agen-agen yang dapat mengruangi produksi dari
hormon androgen melalui indung telur, atau kelenjar adrenal.
 Agen yang memblok reseptor androgen
- Spironolakton.
- Ciproterone asetat.
- Flutamide.
 Inhibitor produksi androgen
- Glukokortikoid
 Inhibitor produksi androgen ovarium
Agonis Gonadotropin-releasing hormon. Seperti leuprolide
yang bekerja pada hipofise untuk mengganggu proses siklus
gonadotropin. Obat ini efektif untuk mengatasi akne dan
hirsutisme. Tetapi akibatnya pembentukan estrogen pun
terganggu, sehingga dapat menyebabkan gejala menopause
lebih awal. Obat kontrasespsi. Mengandung estrogen yang
dapat mensupresi produksi sebum.
 Isotretinoin
Isotretinoin merupakan retinoid yang digunakan untuk
pengobatan akne yang parah. Isotretinoin merupakan indikasi
untuk akne yang parah, bernodul, skar, dan untuk pengobatan
akne yang sebelumnya gagal. Isotretinoin juga efektif untuk
terapi pasien dengan hidradenitis supurativa, rosasea, dan akne
gram-negatif yang tidak respon terhadap terapi sebelumnya.
Isotretinoin merupakan bahan teratogen. Pada kehamilan
yang menggunakan isotretinoin, dapat mengalami keguguran
spontan, malformasi pada fetus. Efek samping lainnya adalah
keringnya pada kulit, bibir, dan mata, mukosa, malaise,
hipertrigliseridemia, dan depresi bahkan sampai bunuh diri.
Fototerapi dan Laser
Dari berbagai macam fototerapi sedang dalam penilitan yang
lebih lanjut. Sampai 70% pasien dengan akne yang terekspos dengan
sinar matahari mengalami perbaikan.
Sasaran dari penggunaan fototerapi ini adalah :
 Propionibacterium acnes jelas merupakan target dari
penggunaan fototerapi karena merupakan sumber reaksi
peradangan pada kelenjar sebasea. Organisme ini membentuk
porfirin, yang teradapat di folikel. Komponen fotoaktif ini
dapat diaktifkan dengan cahaya untuk mengaktifkan oksigen,
dimana sangat toxic untuk P. acne. Terapi harus dilakukan
sesering mungkin. Ada yang penelitian yang mengatakan
bahwa diperlukan waktu 30 menit.
 Produksi sebum. Sebum, dalam arti, merupakan faktor utama
dalam menyebabkan akne. Tanpa sebum, P.acnes tidak dapat
berploriferasi dan akne tidak akan terjadi. Isotetrionin
merupakan obat yang paling efektif dalam menurunkan sekresi
sebum. Terapi berbasis cahaya dengan sasaran produksi
kelenjar sebum memiliki potensi dalam menyembuhkan akne.
 Modulasi Keratinisasi. Sampai saat ini belum ada bukti
fototerapi dapat memodulasi keratin.
 Modulasi respon imun. TLRs telah terbukti ikut peran dalam
terbentuknya jerawat. Mungkinkah fototerapi ini dapat
memodulasi imunitas kulit Beberapa hasil penelitian bisa
terjadi. Hal ini juga dapat dijelaskan dengan sinar matahari dan
fototerapi yang mengurangi aktivasi dari sel Langerhans di
kulit.

Operasi pada akne


Operasi pada akne dilakukan untuk ekstraksi komedo, dan pustul
superfisial. Dahulu, tindakan ini sering dilakukan, tetapi dengan
perkembangan dalam pengobatan akne jarang dilakukan. Tindakan
ini dilakukan apabila penghilangan komedo tidak dapat dilakukan
oleh pengobatan sebelumnya. Kepatuhan pasien terhadap
pengobatan akne merupakan salah satu faktor penting dalam
penyembuhan akne. Beberapa hasil studi mengemukakan bahwa
pada pasien yang tidak kontrol dalam pengobatan akne diakibatkan
karena tidak mengertinya pasien tentang akne, cara pengobatan,
atau harapan pasien yang tidak realistis. Biasanya pasien akan lepas
kontrol setelah kunjungan 1 kali, dan juga setelah kunjungan yang
ke tiga kalinya. Kepatuhan pasien dengan tidak kontrol merupakan
hal yang berbeda. Banyak pasien yang tidak kontrol tetap
menggunakan obat yang telah diberikan, karena pengobatan yang
didapat efektif dan kulit mereka menjadi lebih bersih.
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, adhi Prof.Dr.dr.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.Edisi


Kelima.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta.2013
2. Weller R, Hunter J, Savin J, Dahl M. Sebaceous and sweat glands
disorders. In : Dermatology. Ed 4th. Oxford: Blackwell ; 2012.p.162-76
3. Suyoso, S. 2005. Furunkel. In: Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-3. Surabaya: Fakultas
Kedokteran Unair. Hal 29-32.
4. Rook, A. 2016. Texbook of Dermatology 4th. Oxford : Blackwell
Scientific Publication,: 739–51.
5. Siregar RS. Saripati Penyakit Kulit. Ed 2. Jakarta: EGC ; 2012.

ABSES FOLIKEL RAMBUT DAN KELENJAR SEBASEA

Anatomi Dan Fisiologi Folikel Rambut Dan Kelenjar Sebasea

ANATOMI

Kelenjer palit ( glandula sebasea) terletak dis eluruh permukaan kulit


manusia kecuali di telapak tangan dan kaki. Kelenjer palit disebut juga
kelenjer holokrin karena tidak berlumen dan sekret kelenjer ini berasal dari
dekomposisi sel- sel kelenjer. Kelenjer palit biasanya terdapat di samping
akar rambut dan muaranya terdapat pada lumen akar rambut ( folikel
rambut ). Sebum mengandung trigliserida, asam lemak bebas, skualen, wax
ester, dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon androgen, pada
anak- anak jumlah kelenjer palit sedikit, pada pubertas menjadi lebih besar
dan banyak serta mulai berfungsi secara aktif.
Gambar 1. Letak folikel rambut dan kelenjar sebasea

HISTOLOGI
Kelenjar sebasea merupakan struktur unilobular atau multi lobular yang
biasanya berhubungan dengan folikel rambut. Kelenjar sebasea ini
mengandung kelenjar asini yang berhubungan dengan duktus eksretori
yang tersusun dari epitelium skuamosa yang berlapis-lapis. Kelenjar ini
dikelilingi oleh jaringan ikat.

Gambar 2. Histologi dari kelenjar sebasea


Lokasi
Kelenjar sebasea berhubungan dengan folikel yang berada di seluruh tubuh.
Bisa juga ditemukan ditempat yang tidak berambut, yaitu di kelopak mata
( kelenjar meibom), puting payudara ( kelenjar montgomery ),dan di sekitar
alat kelamin ( Kelenjar Tyson). Hanya di telapak tangan dan kaki yang
tidak ada folikel rambut dan kelenjar sebasea. Di lapisan epitel mulut
kadang teradapat kelenjar Fordyce’s yang dapat diihat dengan mata
telanjang karena ukurannya yang cukup besar (2-3 mm). Duktus dari
kelenjar sebasea terbuka secara langsung di permukaan epitel mulut.

FISIOLOGI

Sebum
Pada sebum manusia yang dihasilkan dari kelenjar sebasea, mengandung
squalen, kolesterol, ester kolesterol, wax ester, dan trigliserida. Enzim dari
bakteri yang menghidrolisis trigliserida menghasilkan asam lemak bebas,
sehingga lemak yang keluar dari saluran folikel rambut memiliki komposisi
yang berbeda dengan kelenjar sebasea ( adanya tambahan monogliserida
dan digliserida ). Berikut kompisisi dari sebum :

diambil dari : Akne and Its Teraphy by Guy F.Webster DAN


Antony V. Rawlings.

Fungsi Sebum
Fungsi sebum pada manusia sendiri belum diketahui. Tapi dapat dipasikan
bahwa Sebum merupakan faktor utama dari penyebab akne. Beberapa ahli
berpendapat bahwa sebum mengurangi terjadinya proses hilangnya cairan
dari kulit dan menghaluskan dan melembutkan kulit. Sebum telah terbukti
dapat melindungi kulit dari infeksi seperti bakteri, jamur, karena
mengandung imunoglobulin A yang disekresi dari kebanyakan kelenjar
eksorkrin.
Sekresi sebum meningkat saat mencapai pubertas yan dipengaruhi
oleh androgen dan seiring dengan pembesaran kelenjar sebasea. Pada pria
sekresi sebum dapat mencapai usia 80 tahun, pada wanita hanya sampai 60
tahun ( setelah menopause). Pada orang tua, kelenjar sebasea mengalami
hiperplasia tetapi sekresi sebum tidak meningkat.
b. Faktor perangsang produksi Sebum
 Androgen
Telah diketahui bahwa untuk produksi sebum, kelenjar
sebasea memerlukan hormon Androgen. Pasien yang
memiliki keadaan genetik pada androgen reseptor, tidak
mempunyai sebum dan akne.
 Retinoid
Isotretinoin adalah zat kimia yang paling ampuh dalam
menginhibisi produksi dari sebum. Hal ini dapat terlihat
hasilnya dalam 2 minggu setelah pemakaian. Kelenjar
sebasea menjadi kecil, dan lemak yang dihasilkan dari
kelenjar sebasea pun berkurang.
 Melanokortin
Pada binatang mencit melanokort meningkatkan produksi
sebum. Rekayasa genetik yang dilakukan pada tikus dengan
kekurangan reseptor melanokortin-5 mengalami hipoplasia
dari kelenjar sebasea sehingga produksi sebum berkurang.
Reseptor melanokortin-5 pada manusia telah teridentifikasi
pada kelenjar sebasea, dimana produksi sebum dapat
dimodulasi.
 Peroxisom Proliferator-Activated Receptors (PPRAs)
PPRAs mirip dengan reseptor retinoid. Setiap resepetor
membentuk heterodimer dengan reseptor retinoid X untuk
mentranskiripsikan gen-gen yang bersangkutan metabolisme
lemak dan proliferasi dan diferensiasi seluler.
 Fibroblast Growth Factor Receptors
FGFR 1 dan FGFR 2 terdapat di epidermis kulit dan
jaringan penyangga kulit. FGFR 2 memiliki peran penting
dalam embriogenesis pada formasi kulit. Mutasi pada FGFR
2 menyebabkan Apert syndrom yang biasanya disertai akne,
tetapi prosesnya sendiri masih tidak diketahui.
 Estrogen
Estrogen dapat mengurangi proses lipogenesis. Estrogen
sendiri bekerja sebagai inhibitor Androgen dan gonad via
hipofisis. Pada Terapi Pengganti Hormon (TPH) dapat
meningkatkan produksi lemak pada kulit, dimana tergantung
Hormon dominan mana yang diberikan.
TPH ini dapat merefleksikan efek dari Progesteron, dimana
Esterogen itu sendiri menekan produksi sebum.
 Progesteron
Efek progesteron terhadap produksi sebum masih
kontradiksi. Pada wanita menstruasi, peningkatan sekresi
sebum dianggap sebagai efek dari progesteron.

DEFINISI

Abses folikel rambut dan kelenjar sebasea yaitu suatu keadaan dimana
terdapatnya pus atau nanah pada folikel rambut dan kelenjar sebasea yang
disebabkan oleh proses perdangan atau inflamasi. Adanya beberapa
penyakit yang dapat menimbulkan abses pada foikel rambut dan kelenjar
sebasea yaitu folikulitis, furnkel dan karbunkel.

Folikulitis

Folikulitis adalah peradangan pada selubung akar rambut atau folikel


rambut, yang umumnya di sebabkan oleh bakteri gram positif
staphylococcus aureus. Berdasarkan lokasinya dalam jaringan, kulit
folikulitis folikulitis terbagi atas 2 jenis yaitu :

3. Folikulitis superfisialis

Folikulitis Superfisialis adalah radang folikel rambut dengan


pustul berdinding tipis pada orifisium folikel yang terbatas pada
epidermis.

4. Folikulitis Profunda
Folikulitis Profunda adalah radang folikel rambut dengan pustul
perifolikular kronik yang di tandai dengan adanya papul, pustul
dan sering terjadi rekurensi, merupakan folikulitis piogenik dengn
infeksi yang meluas kedalam folikel rambut sampai subkutan

Furunkel dan Karbunkel


Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan
subkutan sekitarnya. Furunkel dapat terbentuk pada lebih dari satu
tempat. Jika lebih dari satu tempat disebut furunkulosis.
Furunkulosis dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain
akibat iritasi, kebersihan yang kurang, dan daya tahan tubuh yang
kurang. Infeksi dimulai dengan adanya peradangan pada folikel
rambut di kulit (folikulitis), kemudian menyebar kejaringan
sekitarnya.Karbunkel adalah satu kelompok beberapa folikel
rambut yang terinfeksi oleh Staphylococcus aureus, yang disertai
oleh peradangan daerah sekitarnya dan juga jaringan dibawahnya
termasuk lemak bawah kulit.Karbunkel merupakan gabungan
beberapa furunkel yang dibatasi oleh trabekula fibrosa yang berasal
dari jaringan subkutan yang padat.

Akne Vulgaris (AV)


Akne Vulgaris (AV) adalah peradangan kronis dari pilosebasea.
Pilosebasa sendiri termasuk Folikel rambut, duktus sebasea, dan
kelenjar sebasea. Akibat dari peradangan pada hal ini,
mengahasilkan komedo, papul, pustul, kista, bahkan sampai “skar”.
Lokalisasi dari AV sendiri bisa di wajah, punggung, dada, dan
daerah anogenital.

EPIDEMIOLOGI

Penyakit ini sangat erat hubungannya dengan keadaan sosial-


ekonomi. Folikulitis dan furunkel dapat mengenai semua umur, tetapi
lebih sering di jumpai pada anak – anak dan juga tidak di pengaruhi oleh
jenis kelamin. Jadi pria dan wanita memiliki angka resiko yang sama
untuk terkena folikulitis dan furunkel, dan folkulitis lebih sering timbul
pada daerah panas atau beriklim tropis.

Furunkel dapat terjadi di seluruh bagian tubuh, insiden terbesar


penyakit ini pada wajah, leher, ketiak, pantat atau paha. Setiap orang
memiliki potensi terkena penyakit ini, namun beberapa orang dengan
penyakit diabetes, sistem imun yang lemah, jerawat atau problem kulit
lainnya memiliki resiko lebih tinggi.

Akne vulgaris biasanya mengenai remaja. Pria dan wanita


memiliki derajat yang sama biasanya mengenai usia 12 dan 14 tahun,
dimana wanita lebih pertama kali terkena lebih dahulu. Usia puncak untuk
derajat keparahan pada wanita adalah 16-17 tahun dan laki-laki 17-19
tahun. Pada penelitian yang lebih lanjut, AV bukan hanya dapat menyerang
remaja tetapi dapat menyerang bayi dan orang tua (usia 40 tahun).

ETIOLOGI

Folikulitis
Abses sebagian besar disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Infeksi
dimulai dengan adanya peradangan pada folikel rambut di kulit
(folikulitis), kemudian menyebar kejaringan sekitarnya. Setiap rambut
tumbuh dari folikel, yang merupakan suatu kantung kecil di bawah kulit.
Selain menutupi seluruh kulit kepala, folikel juga terdapat pada seluruh
tubuh kecuali pada telapak tangan, telapak kaki dan membrane mukosa
bibir. Folikulitis bisa di sebabkan oleh karena minyak ataupun pelumas
dan keringat berlebihan yang menutupi dan menyumbat saluran folikel
rambut. Bisa juga di sebabkan oleh gesekan saat bercukur atau gesekan
pakaian pada folikel rambut maupun trauma atau luka pada kulit. Hal ini
merupakan port de entry dari berbagai mikroorganisme terutama
staphylococcus aureus sebagai penyebab folikulitis. Folikulitis, dapat
disebabkan oleh berbagai faktor antara lain akibat iritasi, kebersihan yang
kurang, dan daya tahan tubuh yang kurang.

Furunkel dan karbunkel


Furunkel maupun karbunkel disebabkan oleh bakteri Staphylococcus
aureus. Bakteri ini merupakan flora normal pada kulit kadang-kadang pada
tenggorokan dan saluran hidung. Bakteri Staphylococcus aureus berbentuk
bulat (coccus), memiliki diameter 0,5 – 1,5 µm, memiliki
susunan bergerombol seperti anggur, tidak memiliki kapsul, nonmotil,
katalase positif dan pada pewarnaan gram tampak berwarna ungu.
S. aureus termasuk bakteri osmotoleran, yaitu bakteri yang dapat hidup di
lingkungan dengan rentang konsentrasi zat terlarut (contohnya garam)
yang luas, dan dapat hidup pada konsentrasi NaCl sekitar 3 Molar.
Habitat alami S. aureus pada manusia adalah di daerah kulit, hidung,
mulut, dan usus besar, di mana pada keadaan sistem imun normal, S.
aureus tidak bersifat patogen. Abses sebagian besar disebabkan oleh
Staphylococcus aureus . Furunkulosis dapat disebabkan oleh berbagai
faktor antara lain akibat iritasi, kebersihan yang kurang, dan daya tahan
tubuh yang kurang. Infeksi dimulai dengan adanya peradangan pada
folikel rambut di kulit (folikulitis), kemudian menyebar kejaringan
sekitarnya. Penularannya dapat melalui kontak atau auto inokulasi dari lesi
penderita. Furunkulosis dapat menjadi kelainan sistemik karena faktor
predisposisi antara lain, alcohol, malnutrisi, diskrasia darah, iatrogenic
atau keadaan imunosupresi termasuk AIDS dan diabetes mellitus.

Akne vulgaris
5. Penebalan pada lapisan keratin dan tersumbatnya duktus sebasea
yang menyebabkan terjadinya komedo tertutup (whiteheads) atau
terbuka (blackheads) (berikut akan dijelaskan mengenai komedo).
6. Meningkatnya sekresi sebum.
7. Meningkatnya pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes pada
saluran sebasea.
8. Peradangan pada sekitar kelenjar sebasea.

Faktor Pencetus
Banyak faktor pencetus yang menyebabkan akne yaitu :
 Hormon
Hormon Androgen merupakan pencetus utama
meningkatnya sekresi sebum pada laki dan perempuan.
 Diet
Faktor makanan terutama makanan yang manis seperti
permen, coklat, dianggap oleh beberapa dokter dan pasien
sebgai pencetus terjadinya AV. Tetapi berdasarkan penelitian
tidak ada korelasi yang bermakna antara AV dan diet.
Menurut penelitian, coklat bukan sebagai faktor pencetus
AV. Studi lain mengatakan bahwa ada hubungan antara intak
susu dan AV.
 Berkeringat
Sampai 15% pada pasien dengan AV memiliki riwayat
bekeringat yang banyak terutama di tempat panasdan
pekerjaan; seperti koki.
 Faktor eksternal
Oil, seperti minyak sayur atau minyak oli yang dapat
menyebabkan terjadinya ‘folikulitis oil’. Menyebabkan
terjadinya lesi seperti AV. Ter, DDT, Kosmetik yang
mengandung komedogenik oil.
 Iatrogenik
Kortikosteroid, baik topikal maupun sistemik, dapat
menyebabkan hiperkeratosis pada pilosebaseus yang
akhirnya menyebabkan AV.
 Stress
Menurut hasil penelitian, sebanyak 55% dari pasien yang
datang dengan keadaan dermatologi, mengeluhkan adanya
AV yang meluas di wajah mereka yang berkaitan dengan
stress. Tidak ditemukannya adanya korelasi antara stress
dengan AV. Hasil data terbaru mengatakan bahwa kelenjar
sebasea memiliki reseptor neuropeptida, dimana reseptor ini
bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi, proliferasi, dan
produksi dari sebum.
 Merokok
Beberapa Inverstigasi mengemukakan bahwa asap rokok
mengandung asam arakidonat yang tinggi dan aromatik
hidrokarbon polisiklik yang menginduksi jalur inflamasi
fosfolipase A2. Efek lebih lanjut dapat merangsang sintesis
asam arakidonat.
 Radiasi UV
Beberapa Inverstigasi mengemukakan bahwa asap rokok
mengandung asam arakidonat yang tinggi dan aromatik
hidrokarbon polisiklik yang menginduksi jalur inflamasi
fosfolipase A2. Efek lebih lanjut dapat merangsang sintesis
asam arakidonat.

PATOFISIOLOGI

Folikulitis
Secara umum, hampir 20% populasi manusia membawa bakteri
Staphylococcus aureus dalam tubuh mereka. Lokasi yang paling sering
adalah hidung, aksila dan perineum. Staphylococcus aureus memproduksi
beberapa toksin yang dapat meningkatkan kontribusi untuk invasi dan
membantu mempertahankan kehidupan stafilokokus dalam jaringan.
Produk-produk yang dihasilkan di dinding sel bakteri ini menimbulkan
berbagai efek pada sistem kekebalan tubuh penderita.
Produk-produk yang dihasilkan pada dinding sel ini adalah asam teichoic,
peptidoglycan dan protein A. Protein A ini membantu pelekatan bakteri
pada sel host. Selanjutnya, bakteri akan terikat pada porsi Fc dari IgG
sebagai tambahan pada fragmen Fab pada IgE. Pada follikulitis superfisial,
populasi sel neutrofil dapat memfiltrasi pada bagian infundibulum pada
folikel rambut dan mencetuskan suatu infeksi. Ini merupakan satu contoh
yang disebut sebagai suatu invasi secara langsung.

Gambar 3. Folikulitis

Furunkel dan Karbunkel


Kulit memiliki flora normal, salah satunya S.aureus yang merupakan flora
residen pada permukaan kulit dan kadang-kadang pada tenggorokan dan
saluran hidung. Predileksi terbesar penyakit ini pada wajah, leher, ketiak,
pantat atau paha. Bakteri tersebut masuk melalui luka, goresan, robekan
dan iritasi pada kulit. Selanjutnya, bakteri tersebut berkolonisasi di
jaringan kulit. Respon primer host terhadap infeksi S.aureus adalah
pengerahan sel PMN ke tempat masuk kuman tersebut untuk melawan
infeksi yang terjadi. Sel PMN ini ditarik ke tempat infeksi oleh komponen
bakteri seperti formylated peptides atau peptidoglikan dan sitokin TNF
(tumor necrosis factor) dan interleukin (IL) 1 dan 6 yang dikeluarkan oleh
sel endotel dan makrofag yang teraktivasi. Hal tersebut menimbulkan
inflamasi dan pada akhirnya membentuk pus yang terdiri dari sel darah
putih, bakteri dan sel kulit yang mati.
Wabah furunkulosis terbaru disebabkan oleh strain tertentu oleh
staphylococcus telah ditemukan. Kebanyakan dari ini dikaitkan dengan
infeksi staphylococcus pada komunitas. Pada suatu studi di Prancis, pasien
dengan furunkulosis menunjukkan adanya staphylococcus pada
kebanyakan pemeriksaan swab, dan 42% dari yang tersembunyi memiliki
gen Panton-Valentine-Leokucidin (PVL).Furunkel biasanya merupakan
vellus type. Mekanisme patologi pastinya bagaimana Staphylococcus
Aureus membentuk abses masih belum jelas, tapi injeksi PVL pada kulit
kelinci menghasilkan lesi nekrotik. Ini mengindikasikan bahwa produksi
sitotoksin dapat mempengaruhi terjadinya folikulitis.
Furunkel berawal sebagai benjolan keras berwarna merah yang
mengandung nanah. Lalu benjolan ini akan berfluktuasi dan tengahnya
menjadi putih atau kuning (membentuk pustula). Furunkel bisa pecah
spontan atau dipecahkan dan mengeluarkan nanahnya, kadang
mengandung sedikit darah.Pembentukan karbunkel terjadi lebih lambat
dibandingkan furunkel. Beberapa furunkel bersatu membentuk massa yang
lebih besar, yang memiliki beberapa titik pengaliran nanah. Infeksi ini
menular, bisa disebarkan ke bagian tubuh lainnya dan bisa ditularkan ke
orang lain.Karbunkel yang pecah akan mengeluarkan nanah lalu
mengering dan membentuk keropeng.1

Gambar 4. Klasifikasi dari infeksi bakterial pada folikel rambut.


Akne Vulgaris
Kelenjar Sebasa mengandung sel holokrin yang menghasilkan sebum.
Patogenis utama terjadinya AV adalah :
e. Penebalan pada lapisan keratin dan tersumbatnya duktus sebasea yang
menyebabkan terjadinya komedo tertutup (whiteheads) atau terbuka
(blackheads) (berikut akan dijelaskan mengenai komedo).
f. Meningkatnya sekresi sebum.
g. Meningkatnya pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes pada
saluran sebasea.
h. Peradangan pada sekitar kelenjar sebasea.

Gmb 5 : Kelenjar Pilosebasea

PEMBENTUKAN KOMEDO
Peristiwa yang pertama kali muncul pada jerawat adalah
pembentukan komedo, teradapatnya sumbatan pada folikel, dimana
disebut terbuka bila terlihat bintik putih di folikuler orifisea dan tertutup
bila tidak terlihat bintik hitam.
Gmb 6 : komedo hitam dan putih.

Komedo hitam sering disangka sebagai partikel debu oleh orang awam,
melainkan melanin yang teroksidasi. Pembentukan komedo dimulai dari
deskuamasi yang abnormal dari lapisan folikel. Epitel tidak rontok sebagai
partikel halus, melainkan terlepas dalam bentuk lembaran yang tidak bisa keluar
melalui lubang pada folikel, maka itu terjadi sumbatan. Penyebab terjadinya
deskuamasi epitel yang abnormal masih belum diketahui. Sekresi sebum bukan
faktor dari pembentukan komedo. Terdapat beberapa faktor yang diduga sebagai
pencetus komedo, yaitu agen fisik contohnya sinar matahari yang pernah di teliti
pada kuping kelinci;sunblock;cocoa powder, infeksi dari bakteri yang
menyebabkan inflamasi.

Gmb 6 : Deskuamasi yang abnormal dari lapisan folikel


BAKTERI
Mikroflora tergantung dari masa pubertas. Sebelum meningkatnya
produksi hormon kelenjar sebasea belum aktif dan populasi bakteri di kulit
masih rendah. Folikel yang steril menjadi tempat perkembangan dari dari
Propionibacterium acnes, anaerob, dan memetabolisme trigliserida yang
merupakan fraksi dari gliserol. Trigliserida merupakan sumber makanan
untuk populasi bakteri ini. P. Acnes ini tidak ditemukan pada hewan,
karena sebum pada hewan tidak mengandung Trigliserida.
P. acnes menimbulkan peradangan pada kulit yang merupakan
faktor terjadinya AV. Predileksi tempat dengan kelenjar sebasea yang
terbanyak dan paling aktif terletak di wajah, tubuh bagian atas, dan lengan.
Aktifitas kelenjar sebasea di extermenitas bawah sangat sedikit, sehingga
sangat sedikit sekali populasi dari P.acnes dan terjadinya AV, tidak ada.

PERADANGAN PADA KELENJAR SEBASEA


P. acnes merupakan aspek terpenting dalam menimbulkan reaksi
peradangan pada kelenjar sebasea. P.acnes membuat substansi kemotaktik
yang menarik neutrofil dan monosit, yang nantinya akan menghasilkan
peptida-petida dengan berat molekul yang kecil. Komponen ini menjadi
salah satu faktor terjadinya inflamasi. Lipase yang memecahkan
trigliserida di sebum juga merangsang datangnya leukosit.

MENINGKATNYA PRODUKSI SEBUM


Fungsi dari sebum pada manusia sebenarnya belum diketahui.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa sebum berfungsi untuk mengurangi
terjadi hilangnya cairan dalam kulit dan menjaga kulit tetap lembut, halus.
Tetapi sebum ini merupakan faktor predisposisi terjadinya AV.

MANIFESTASI KLINIS

Folikulitis
Secara umum folikulitis menimmbulkan rasa gatal seperti terbakar pada
daerah rambut. Gejala konstitusional yang sedang juga dapat muncul pada
folikulitis seperti badan panas, malaise dan mual. Pada folikulitis superfisialis
gambaran klinisnya di tandai dengan timbulnya rasa gatal dan agak nyeri,
tetapi biasanya tidak terlalu menyakitkan hanya seperti gigitan serangga,
tergores atau akibat garukan dan trauma kulit lainnya. Kelainan di kulitnya
dapat berupa papul atau pustul yang erimatosa yang dan di tengahnya terdapat
rambut dan biasanya multiple serta adanya krusta di sekitar daerah inflamasi.
Tempat predileksi biasanya pada tungkai bawah. Folikulitis superfisialis ini
dapat sembuh sendiri setelah beberapa hari tanpa meninggalkan jaringan
parut. Pada folikulitis profunda gambaran klinisnya hampir sama seperti
folikulitis superfisialis. Folikulitis profunda ini terasa sangat gatal yang di
sertai rasa terbakar serta teraba infiltrat di subkutan yang akhirnya dapat
meninggalkan jaringan parut apabila taelah sembuh.
Gambar 7. Efloresensi folikulitis

Furunkel dan Karbunkel

Bakteri masuk ke dalam folikel rambut sehingga tampak sebagai


nodus kemerahan dan sangat nyeri. Pada bagian tengah lesi terdapat bintik
kekuningan yang merupakan jaringan nekrotik, dan disebut mata bisul
(core). Apabila higinis penderita jelek atau menderita diebetes militus,
furunkel menjadi sering kambuh. Predileksi penyakit ini biasanya pada
daerah yang berambut misalnya pada wajah, punggung, kepala, ketiak,
bokong dan ekstrimitas, dan terutama pada daerah yang banyak
bergesekan. Mula-mula nodul kecil yang mengalami keradangan pada
folikel rambut, kemudian menjadi pustule dan mengalami nekrosis dan
menyembuh setelah pus keluar dengan meninggalkan sikatriks. Awal juga
dapat berupa macula eritematosa lentikular setempat, kemudian menjadi
nodula lentikular setempat, kemudian menjadi nodula lentikuler-numular
berbentuk kerucut . Nyeri terjadi terutama pada furunkel yang akut, besar,
dan lokasinya di hidung dan lubang telinga luar. Bisa timbul gejala
kostitusional yang sedang, seperti panas badan, malaise, mual. Furunkel
dapat timbul di banyak tempat dan dapat sering kambuh. Predileksi dari
furunkel yaitu pada muka, leher, lengan, pergelangan tangan, jari-jari
tangan, pantat, dan daerah anogenital.
Akne Vulgaris

Riwayat perjalanan penyakit

Kebanyakan pasien dengan AV datang dengan lesi onset yang bertahap


saat memasuki masa puber. Beberapa kasus dapat ditemukan pada
neonatus atau bayi. Karena AV lesinya yang bertahap, onset yang tiba-tiba,
praktisi harus mencari dasar etiologi tersebut.

Lokasi

Tempat predileksi AV adalah di muka, bahu, dada bagian atas. Lokasi kulit
lain, misalnya leher, lengan atas, dan glutea kadang terkena. AV memiliki
lesi polimorfik. Lesi bisa inflamasi dan non inflamasi. Lesi Non-inflamasi
adalah komedo, dimana bisa terbuka (komedo hitam) atau yang tertutup
(komedo putih). Lesi Inflamasi yaitu papulopustular, papulonodular,
nodulokistik, Akne Konglobata. Komedo hitam tampak sebagai lesi yang
datar atau sedikit menonjol dengan bagian tengahnya hitam. Komedo putih
mungkin tampak sukar untuk dapat dilihat karena letaknya lebih dalam
dan tidak mengandung unsur melanin. Gambarannya bisa pucat, sedikit
menimbul, papul-papul kecil. Peregangan kulit dapat membantu untuk
mendeteksi lesi.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

Pada folikulitis superfisial biasanya inflamasi terkena pada folikel rambut


di daerah kulit kepala, dagu, ketiak dan ektremitas. Kelainan kulit diawali
dengan pustul pada folikel rambut. Pustul pecah diikuti pembentukan
krusta. Erupsi papulopustular umumnya terlokalisir. Sering disertai dengan
keluhan pruritus dan secara klinisnya penderita tidak akan merasakan nyeri
serta pustul yang tumbuh akan membaik sendiri.
Pemeriksaan lab
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pewarnaan Gram, preparat KOH, dan
kultur. Pada pewarnaan Gram didapatkan coccus gram positif. Preparat KOH
digunakan untuk mengidentifikasi spesies jamur. Golongan dermatofit dapat
diidentifikasi dari gambaran hifa dan spora, M. furfur diidentifikasi dengan
adanya bentuk ragi multipel dan Candida dengan bentuk miselial. Kultur
digunakan untuk menentukan organisme penyakit, yaitu bakteri, jamur atau
pun virus. Untuk kasus folikulitis relaps yang kronis, perlu dilakukan kultur
dari swab hidung dan perianal untuk mengidentifikasi adanya S. aureus.
Pemeriksaan histopatologi
Secara histologis, pada kasus folikulitis superficial terdapat infiltrasi sel-sel
inflamasi di ostium folikuler dan di daerah folikel bagian atas. Dalam
kebanyakan kasus, peradangan awalnya terdiri dari neutrofil dan kemudian
menjadi lebih beragam dengan penambahan limfosit dan makrofag. Apabila
infeksi adalah penyebab terjadinya folikulitis, maka berbagai organisme dapat
diidentifikasi dalam folikel.

Gambar 10. Folikulitis Superficial dengan neutrofil terkonsentrasi pada bagian


atas folikel.

Furunkel dan Karbunkel


Diagnosis dapatditegakkan secara klinis, yaitu berdasarkan gambaran
klinisnya yang khas. Tetapi untuk lebih menegakkan diagnosis bias dari segi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Furunkel dimulai dengan nodul folikulosentrik yang keras, lunak,
merah (kelainan berupa nodus eritematosa berbentuk kerucut, di tengahnya
terdapat pustul) pada daerah yang terdapat bulu (hair-bearing) dan
biasanya menjadi besar serta dirasakan nyeri. Biasanya akan menghilang
sendiri dalam masa 7-10 hari tanpa meninggalkan bekas (tidak menjadi
merah dan tidak nyeri). Apabila terjadinya ruptur, pus dan sel-sel nekrotik
akan keluar. Furunkel pada daerah bokong biasa ditemukan dalam bentuk
lesi yang soliter atau lesi yang multipel. Karbunkel biasanya pertama
muncul sebagai tonjolan yang nyeri, permukaannya halus, berbentuk
kubah dan berwarna merah. Tonjolan tersebut biasanya juga indurasi.
Ukuran tonjolan tersebut meningkat dalam beberapa hari dan dapat
mencapai diameter 3-10 cm atau bahkan lebih. Supurasi terjadi setelah
kira-kira 5-7 hari dan pus dikeluarkan melalui saluran keluar yang multipel
(multiple follicular orifices). Demam dan malaise sering muncul dan
pasien biasanya tampak sakit berat. Karbunkel yang pecah dan kering
kemudian membentuk lubang yang kuning keabuan ireguler pada bagian
tengah dan sembuh perlahan dengan granulasi.Walaupun beberapa
karbunkel menghilang setelah beberapa hari, kebanyakan memerlukan
waktu dua minggu untuk sembuh. Jaringan parut permanen yang terbentuk
biasanya tebal dan jelas.
Gambar 8. Furunkel pada bibir atas. Lesinya nodular dan sumbatan nekrotik pusat
ditutupi oleh kerak purulen. Beberapa pustul kecil terlihat di lateral pusat lesi
tersebut.

Gambar 9. Karbunkel. Lesi ini menampakkan multipel furunkel yang berkumpul


dan mengandung pus.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis furunkel dan karbunkel ialah
dermapatologi, pewarnaan Gram, kultur bakteri, dan sensitivitas
antibiotik.Furunkolosis dan karbunkel yang tidakbisamembaik di
hubungkan dengan penyakit leukositosis.

c) Furunkel
Terlihat abses perifolikuler setempat. Pembuluh darah setempat
mengalami dilatasi dan tempat terinfeksi diserang oleh leukosit
polimorfonuklear. Terjadi nekrosis kelenjar dan jaringan sekitar,
membentuk inti yang di kelilingi oleh daerah dilatasi vaskuler, leukosit,
dan limfosit.

Gambar 11. Histopatologi furunkel

d) Karbunkel

Terdapat abses folikuler dan perifolikuler multipel yang kemudian


membentuk massa nekrotik yang luas, terjadi reaksi radang yang jelas di
sekitar intinekrotik di dalam jaringan ikat yang mendasarinya dan di
dalam lemak subkutan.

Gambar 12. Histopatologi karbunkel

Pewarnaan gram akan menunjukkan sekelompok kokus berwarna ungu


(gram positif) dan kultur bakteri pada medium agar darah domba
memberikan gambaran koloni yang lebar (6-8 mm), permukaan halus,
sedikit cembung, dan warna kuning keemasan. Uji sensitivitas antibiotik
diperlukan untuk penggunaan antibiotik secara tepat.
.
Gambar 13. Hasil Kultur S. aureus dalam Medium MSA.

Akne Vulgaris
Diagnosa akne vulgaris ditegakkan atas dasar klinis dan
pemeriksaan ekskohlesasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum
dengan ekstraktor komedo (sendok Unna). Sebum dapat tampak
sebagai massa padat seperti lilin atau massa lunak seperti nasi yang
ujungnya kadang berwarna hitam. Pemeriksaan histopatologis tidak
memperlihatkan gambaran yang spesifik berupa sebukan sel radang
pada pilosebasea. Pemeriksaan mikrobiologi terhadap jasad renik yang
memiliki peran pada etiologi dan patogenesis penyakit dapat dilakukan
di laboratorium mikrobiologi. Namun hasilnya sering tidak
memuaskan.
Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit dapat
pula dilakukan untuk tujuan serupa. Pada akne vulgaris kadar asam
lemak bebas meningkat dan oleh karena itu pada pencegahan dan
pengobatan digunakan cara untuk menurunkannya.

2.5 PENATALAKSANAAN
Folikulitis
Folikulitis kadang dapat sembuh sendiri setelah dua atau tiga hari, tetapi
pada beberapa kasus yang persisten dan rekuren perlu penanganan.
3. Umum
Cukup dengan menjaga kebersihan diri terutama kulit,
menghindari garukan dan faktor pencetus seperti gesekan pakaian
atau mencukur dan luka atau trauma.
4. Khusus, terbagi 2 yaitu secara tropikal dan secara sistemik :
 Topikal, dapat di berikan antibiotik misalnya (2) :
4. Kemicetin salap 2 %
5. Kompres PK 1/ 5000 solusio sodium chloride 0,9 %
( jika ada eksudasi)
6. Salep natrium fusidat.

 Sistemik, dapat diberikan : (1)


Antibiotik (umumnya di berikan 7 – 10 hari) misalnya :
4. Penisilin dan semisintetiknya.
a. Penisilin G prokain injeksi 0,6 – 1,2 juta IU, IM
selama 7 – 14 hari, 1 – 2 kali/ hari.
b. Ampisilin 250 – 500 mg/ dosis, 4 kali/ hari
c. Amoksisilin, 250 – 500 mg/ dosis, 3 kali/ hari
d. Kloksasilin ( untuk staphylococcus yang kebal
penisilin), dosis 250 – 500 mg, 4 kali / hari.
e. Dikloksasilin ( untuk staphylococcus yang kebal
penisilin), dosis 125 – 250 mg, 3 -4 kali/ hari.
5. Eritromisin 250 – 500 mg 3 – 4 kali/ hari(dewasa) dan
12, 5 – 25 mg/kbBB/ dosis 3 – 4 kali/ hari(anak).
6. Klindamisin 150 – 300 mg 3 – 4 kali/ hari (dewasa) dan
8 – 20 mg/ kgBB/ dosis 3- 4 ksli/ hsri(anak).
Penggunaan antiseptik dapat di berikan sebagai terapi tambahan
( misalnya : Chlorhexidine) tetapi jangan di gunakan tanpa pemberian
antibiotik sistemik. Dianjurkan pemberian antibiotik sistemik dengan
harapan dapat mencegah terjadinya infeksi kronik.
Furunkel dan Karbunkel

3. Non Farmakologis

Pengobatan furunkel tergantung kepada lokasi dan kematangan lesi.


Lesi permulaan yang belum berfluktuasi dan belum bermata
dikompres panas dan diberi antibiotik oral. Kompres panas akan
memperkecil ukuran lesi dan mempercepat penyerapan.

Insisi terhadap lesi awal jangan dilakukan untuk mencegah


inokulasi lebih dalam infeksi tersebut. Jika lesi telah matang dan
bermata dilakukan insisi dan drainase. Insisi jangan dilakukan jika
lesi terdapat di kanalis auditorius external, bibir atas, hidung, dan
pertengahan dahi karena infeksi yang tidak ditangani dapat
menyebabkan trombosis sinus kavernosus. Sewaktu penderita
mendapat antibiotik, semua pakaian, handuk, dan alas kasur yang
telah mengenai daerah yang sakit harus dicuci dengan air panas.

4. Farmakologis

Pada dasarnya pengobatan karbunkel sama saja dengan pengobatan


furunkel.Karbunkel atau furunkel dengan selulitis di sekitarnya atau
yang disertai demam, harus diobati dengan antibiotik sistemik. Untuk
infeksi berat atau infeksi pada area yang berbahaya dosis antibiotik
maksimal harus diberikan dalam bentuk parenteral. Bila infeksi
berasal dari methicillinresistant Staphylococcus aureus (MRSA) atau
dicurigai infeksi serius dapat diberikan vankomisin (1-2 gram IV
setiap hari dalam dosis terbagi). Pengobatan antibiotik harus berlanjut
paling tidak selama satu minggu.

Setiap episode bisa diobati sistemik dengan flucloxacillin atau


antibiotik resisten penisilin. Antibakteri biotik mengurangi kombinasi
bakteri di kulit.

Pengobatan furunkel atau karbunkel:

c) Topikal:

 Mupirocin

Mupirocin dihasilkan oleh pseudomonas fluorescens. Berdaya


khusus terhadap kuman Gram-positif seperti Staphylococcus
aureus. Khasiatnya bersifat bakterisid (salep 2%) berdasarkan
penghambatan RNA-sintetase yang berakibat penghentian
sintesa protein kuman.

 Asam Fusidat

Antibiotikum dengan rumus steroida yang mirip dengan


struktur asam empedu yang dihasilkan oleh jamur fusidium,
spektrum kerjanya sempit dan terbatas pada kuman Gram-
positif, terutama stafilokok. Kuman Gram-negatif resisten
terkecuali Neisseria. Khasiatnya bersifat bakteriostatis
berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman.

d) Sistemik:

 Ampisilin 4x500 mg/hari

 Amoksisilin 4x500 mg/hari

 Kloksasilin 3x250 mg/hari

 Linkomisin 3x500 mg/hari

 Klindamisin 4x150 mg/hari

 Eritromisin 4x500 mg/hari

 Sefadroksil 2x1000 mg/hari

Bila lesi besar, nyeri dan fluktuasi, insisi dan drainase diperlukan.
Bila infeksi terjadi berulang atau memiliki komplikasi dengan
komordibitas, kultur dapat dilakukan. Terapi anti mikrobial harus
dilanjutkan sampai semua bukti inflamasi berkurang dan berubah
apalagi ketika hasil kultur tersedia. Lesi yang di drainase harus
ditutupi untuk mencegah autoinokulasi dan mencuci tangan harus
sering dilakukan. Pasien dengan furunkolosis atau karbunkel berulang
memberikan masalah yang spesial dan sering menyulitkan.

Akne vulgaris

Pemahaman mengenai patofisiologis dari akne merupakan kunci dalam


penatalaksanaan terapi akne yaitu :

1. Perbaiki perubahan keratinisasi folikularis.


2. Mengurani produksi kelenjar sebasea.
4. Mengurangi populasi bakterialis folikularis, yaitu P. Acnes.
5. Menggunakan obat anti-inflamasi.
Terapi Lokal :
 Cleansing atau membersihkan wajah dengan sabun
antibakterial yang tidak menganggu pH kulit seperti bahan
yang mengandung triclosan.
 Benzoil peroxida merupakan preparat yang sering digunakan
dalam pengobatan topikal AV. Benzosil merupakan
antimikroba yang kuat dan menganggu proses hidrolisis
trigliserida.

 Topikal Antibiotik

Eritromisin dan Klindamisin merupakan antibiotik topikal


yang sering digunakan, dan biasanya merupakan kombinasi
dengan Benzosil peroxida. Tetapi akibat dari seringnya
penggunaan regimen ini, P. acne mulai resisten.
 Retinoid
Retinoid merupakan pengobatan topikal terpenting untuk akne.
Sekarang banyak tersedia preparat topikal dengan efek iritasi
yang rendah. Contohnya adapalene (Differin), tazarotene,
tretinoin (Retin-A, retin-A micro). Penggunaan selama 12
minggu untuk hasil yang maksimal. Retinoid merupakan obat
topikal yang satu-satunya dapat menormalkan keratinisasi
dalam infundibulum folikel dan mencegah terjadinya
pembentukan komedo.
P. akne menstimulasi reaksi peradangan pada kulit, tetapi
dengan retinoid reaksi peradangan tersebut dapat ditekan.
Terapi akne akan lebih baik bila dikombinasikan dengan obat
lainnya, contohnya Benzosil peroxida, atau topical antibiotik
lainnya.

Terapi Sistemik :
 Tetrasiklin merupakan antibiotik spektrum luas yang sering
digunakan dalam pengobatan akne. Walaupun tidak
mengurangi produksi sebum, tetapi mengurangi proses
terbentuknya asam lemak bebas yang merupakan indikator
aktifitas dari P. acne.
 Eritromisin, Clindamisin, dan Dapson.

Terapi Hormonal
Tujuan utama dari pengobatan ini adalah untuk meniadakan
efek androgen pada kelenjar sebasea. Hal ini dapat dicapai dengan
anti-androgen, atau agen-agen yang dapat mengruangi produksi dari
hormon androgen melalui indung telur, atau kelenjar adrenal.
 Agen yang memblok reseptor androgen
- Spironolakton.
- Ciproterone asetat.
- Flutamide.
 Inhibitor produksi androgen
- Glukokortikoid
 Inhibitor produksi androgen ovarium
Agonis Gonadotropin-releasing hormon. Seperti leuprolide
yang bekerja pada hipofise untuk mengganggu proses siklus
gonadotropin. Obat ini efektif untuk mengatasi akne dan
hirsutisme. Tetapi akibatnya pembentukan estrogen pun
terganggu, sehingga dapat menyebabkan gejala menopause
lebih awal. Obat kontrasespsi. Mengandung estrogen yang
dapat mensupresi produksi sebum.
 Isotretinoin
Isotretinoin merupakan retinoid yang digunakan untuk
pengobatan akne yang parah. Isotretinoin merupakan indikasi
untuk akne yang parah, bernodul, skar, dan untuk pengobatan
akne yang sebelumnya gagal. Isotretinoin juga efektif untuk
terapi pasien dengan hidradenitis supurativa, rosasea, dan akne
gram-negatif yang tidak respon terhadap terapi sebelumnya.
Isotretinoin merupakan bahan teratogen. Pada kehamilan
yang menggunakan isotretinoin, dapat mengalami keguguran
spontan, malformasi pada fetus. Efek samping lainnya adalah
keringnya pada kulit, bibir, dan mata, mukosa, malaise,
hipertrigliseridemia, dan depresi bahkan sampai bunuh diri.
Fototerapi dan Laser
Dari berbagai macam fototerapi sedang dalam penilitan yang
lebih lanjut. Sampai 70% pasien dengan akne yang terekspos dengan
sinar matahari mengalami perbaikan.
Sasaran dari penggunaan fototerapi ini adalah :
 Propionibacterium acnes jelas merupakan target dari
penggunaan fototerapi karena merupakan sumber reaksi
peradangan pada kelenjar sebasea. Organisme ini membentuk
porfirin, yang teradapat di folikel. Komponen fotoaktif ini
dapat diaktifkan dengan cahaya untuk mengaktifkan oksigen,
dimana sangat toxic untuk P. acne. Terapi harus dilakukan
sesering mungkin. Ada yang penelitian yang mengatakan
bahwa diperlukan waktu 30 menit.
 Produksi sebum. Sebum, dalam arti, merupakan faktor utama
dalam menyebabkan akne. Tanpa sebum, P.acnes tidak dapat
berploriferasi dan akne tidak akan terjadi. Isotetrionin
merupakan obat yang paling efektif dalam menurunkan sekresi
sebum. Terapi berbasis cahaya dengan sasaran produksi
kelenjar sebum memiliki potensi dalam menyembuhkan akne.
 Modulasi Keratinisasi. Sampai saat ini belum ada bukti
fototerapi dapat memodulasi keratin.
 Modulasi respon imun. TLRs telah terbukti ikut peran dalam
terbentuknya jerawat. Mungkinkah fototerapi ini dapat
memodulasi imunitas kulit Beberapa hasil penelitian bisa
terjadi. Hal ini juga dapat dijelaskan dengan sinar matahari dan
fototerapi yang mengurangi aktivasi dari sel Langerhans di
kulit.

Operasi pada akne


Operasi pada akne dilakukan untuk ekstraksi komedo, dan pustul
superfisial. Dahulu, tindakan ini sering dilakukan, tetapi dengan
perkembangan dalam pengobatan akne jarang dilakukan. Tindakan
ini dilakukan apabila penghilangan komedo tidak dapat dilakukan
oleh pengobatan sebelumnya. Kepatuhan pasien terhadap
pengobatan akne merupakan salah satu faktor penting dalam
penyembuhan akne. Beberapa hasil studi mengemukakan bahwa
pada pasien yang tidak kontrol dalam pengobatan akne diakibatkan
karena tidak mengertinya pasien tentang akne, cara pengobatan,
atau harapan pasien yang tidak realistis. Biasanya pasien akan lepas
kontrol setelah kunjungan 1 kali, dan juga setelah kunjungan yang
ke tiga kalinya. Kepatuhan pasien dengan tidak kontrol merupakan
hal yang berbeda. Banyak pasien yang tidak kontrol tetap
menggunakan obat yang telah diberikan, karena pengobatan yang
didapat efektif dan kulit mereka menjadi lebih bersih.
DAFTAR PUSTAKA

6. Djuanda, adhi Prof.Dr.dr.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.Edisi


Kelima.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta.2013
7. Weller R, Hunter J, Savin J, Dahl M. Sebaceous and sweat glands
disorders. In : Dermatology. Ed 4th. Oxford: Blackwell ; 2012.p.162-76
8. Suyoso, S. 2005. Furunkel. In: Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-3. Surabaya: Fakultas
Kedokteran Unair. Hal 29-32.
9. Rook, A. 2016. Texbook of Dermatology 4th. Oxford : Blackwell
Scientific Publication,: 739–51.
10. Siregar RS. Saripati Penyakit Kulit. Ed 2. Jakarta: EGC ; 2012.

MASTITIS

DEFINISI
Infeksi Payudara (Mastitis) adalah suatu infeksi pada jaringan payudara.
Biasanya terjadi karena adanya bakteri jenis staphylococcus aureus. Bakteri
biasanya masuk melalui puting susu yang pecah-pecah atau terluka.
Pada infeksi yang berat atau tidak diobati, dapat terbentuk abses payudara
(penimbunan nanah di dalam payudara). Mastitis adalah reaksi sistematik seperti
demam, terjadi 1-3 minggu setelah melahirkan sebagai komplikasi sumbatan
saluran air susu.
Mastitis adalah peradangan payudara yang dapat disertai atau tidak disertai
infeksi.Penyakit ini biasanya menyertai laktasi, sehingga disebut juga mastitis
laktasional atau mastitis puerperalis.Kadang-kadang keadaan ini dapat menjadi
fatal bila tidak diberikan tindakan yang adekuat.Abses payudara, pengumpulan
nanah lokal di dalam payudara, merupakan komplikasi berat dari mastitis.
Keadaan inilah yang menyebabkan beban penyakit bertambah berat.
Sumber lain menyebutkan bahwa mastitis adalah infeksi dan peradangan
pada payudara yang terjadi melalui luka pada puting, dapat berasal dari peredaran
darah. Tanda–tanda mastitis yang dirasakan ibu adalah rasa panas dingin disertai
kenaikan suhu, ibu merasa lesu, tidak nafsu makan, payudara membesar, nyeri
perabaan, mengkilat dan kemerahan pada payudara, dan terjadi pada 3–4 minggu
masa nifas. Hal ini dapat diatasi dengan membersihkan puting sebelum dan
sesudah menyusui; menyusui pada payudara yang tidak sakit; kompres dingin
sebelum menyusui;menggunakan BH untuk menyokong payudara, berikan
antibiotik dan analgetik, istirahat yang cukup dan banyak minum (USU, tanpa
tahun).
Mastitis adalah infeksi yang disebabkan karena adanya sumbatan pada
duktus hingga puting susu mengalami sumbatan. Mastitis paling sering terjadi
pada minggu kedua dan ketiga pasca kelahiran.Penyebab penting dari mastitis ini
adalah pengeluaran ASI yang tidak efisien akibat teknik menyusui yang
buruk.Untuk menghambat terjadinya mastitis ini dianjurkan untuk menggunakan
bra atau pakaian dalam yang memiliki penyangga yang baik pada payudaranya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat di tarik suatu
kesimpulan mastitis adalah suatu infeksi atau peradangan pada jaringan payudara
yang diakibatkan karena adanya bakteri (staphylococcus aureus) yang masuk
melalui puting susu yang pecah-pecah atau terluka.
Mastitis diklasifikasikan menjadi4 jenis, yaitu: mastitis puerparalis
epidemic, mastitis aninfeksosa, mastitis subklinis dan mastitis infeksiosa. Dimana
keempat jenis tersebut muncul dalam kondisi yang berbeda-beda. Diantaranya
adalah sebagai berikut.
1. Mastitis Puerparalis Epidemik

Mastitis puerparalis epidemic ini biasanya timbul apabila pertama kali bayi
dan ibunya terpajan pada organisme yang tidak dikenal atau verulen. Masalah
ini paling sering terjadi di rumah sakit, yaitu dari infeksi silang atau
bekesinambungan strain resisten.
2. Mastitis Noninfesiosa

Mastitis moninfeksiosa terjadi apabila ASI tidak keluar dari sebagian atau
seluruh payudara, produksi ASI melambat dan aliran terhenti.Namun proses ini
membutuhkan waktu beberapa hari dan tidak akan selesai dalam 2–3 minggu.
Untuk sementara waktu, akumulasi ASI dapat menyebabkan respons
peradangan.
3. Mastitis Subklinis
Mastitis subklinis telah diuraikan sebagai sebuah kondisi yang dapat
disertai dengan pengeluaran ASI yang tidak adekuat, sehingga produksi ASI
sangat berkurang yaitu kira-kira hanya sampai di bawah 400 ml/hari (<400
ml/hari).
4. Mastitis Infeksiosa

Mastitis infeksiosa terjadi apabila siasis ASI tidak sembuh dan proteksi oleh
faktor imun dalam ASI dan oleh respon–respon inflamasi. Secara normal, ASI
segar bukan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
FAKTOR RISIKO
2.2Faktor Resiko
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko mastitis yaitu:
a. Umur
Wanita berumur 21-35 tahun lebih sering menderita mastitis dari pada
wanita di bawah usia 21 tahun atau di atas 35 tahun.
b. Serangan sebelumnya

Serangan mastitis pertama cenderung berulang, hal ini merupakan akibat


teknik menyusui yang buruk yang tidak diperbaiki.
c. Melahirkan
Komplikasi melahirkan dapat meningkatkan risiko mastitis, walupun
penggunaan oksitosin tidak meningkatkan resiko.
d. Gizi

Asupan garam dan lemak tinggi serta anemia menjadi faktor predisposisi
terjadinya mastitis. Wanita yang mengalami anemia akan beresiko mengalami
mastitis karena kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga hal itu akan
memudahkan tubuh mengalami infeksi (mastitis). Antioksidan dari vitamin E,
vitamin A dan selenium dapat mengurangi resiko mastitis.
e. Faktor kekebalan dalam ASI

Faktor kekebalan dalam ASI dapat memberikan mekanisme pertahanan


dalam payudara.
f. Pekerjaan di luar rumah

Interval antar menyusui yang panjang dan kekurangan waktu dalam


pengeluaran ASI yang adekuat sehingga akan memicu terjadinya statis ASI.
g. Trauma

Trauma pada payudara yang disebabkan oleh apapun dapat merusak


jaringan kelenjar dan saluran susu dan haltersebut dapat menyebabkan mastitis.

ETIOPTOGENESIS
Infeksi payudara biasanya disebabkan oleh bakteri yang banyak ditemukan
pada kulit yang normal yaitu Staphylococcus aureus. Bakteri ini seringkali berasal
dari mulut bayi yang masuk ke dalam saluran air susu melalui sobekan atau
retakan di kulit pada puting susu.Mastitis biasanya terjadi pada wanita yang
menyusui dan paling sering terjadi dalam waktu 1-3 bulan setelah
melahirkan.Sekitar 1-3% wanita menyusui mengalami mastitis pada beberapa
minggu pertama setelah melahirkan.
Peradangan pada payudara (Mastitis) di sebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut:
a. Payudara bengkak yang tidak disusu secara adekuat, akhirnya tejadi mastitis.
b. Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman dan terjadi payudara
bengkak.
c. Penyangga payudara yang terlalu ketat, mengakibatkan segmental
engorgement sehingga jika tidak disusu secara adekuat bisa erjadi mastitis.
d. Ibu yang memiliki diet jelek, kurang istirahat, anemia akan mempermudah
terkena infeksi.

Pada wanita pasca menopause, infeksi payudara berhubungan dengan


peradangan menahun dari saluran air susu yang terletak di bawah puting susu.
Perubahan hormonal di dalam tubuh wanita menyebabkan penyumbatan saluran
air susu oleh sel-sel kulit yang mati. Saluran yang tersumbat ini menyebabkan
payudara lebih mudah mengalami infeksi.Dua penyebab utama mastitis adalah
stasis ASI dan infeksi.Stasis ASI biasanya merupakan penyebab primer yang
dapat disertai atau berkembang menuju infeksi. Mastitis diakibatkan oleh stagnasi
ASI di dalam payudara, dan bahwa pengeluaran ASI yang efisien dapat mencegah
keadaan tersebut.Ia menyatakan bahwa bila terjadi infeksi, bukan primer, tetapi
diakibatkan oleh stagnasi sebagai media pertumbuhan bakteri.
Secara garis besar, mastitis atau peradangan pada payudara dapat terjadi
karena proses infeksi ataupun noninfeksi. Namun semuanya bermuara pada proses
infeksi. Mastitis akibat proses noninfeksi berawal dari proses laktasi yang normal.
Namun karena sebab-sebab tertentu maka dapat menyebabkan terjadinya
gangguan pengeluaran ASI atau yang biasa disebut sebagai stasis ASI.Hal ini
membuat ASI terperangkap di dalam ductus dan tidak dapat keluar dengan
lancar.Akibatnya mammae menjadi tegang.Sehingga sel epitel yang memproduksi
ASI menjadi datar dan tertekan.permeabilitas jaringan ikat meningkat, beberapa
komponen(terutama protein dan kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma masuk
ke dalam ASI dan jaringan sekitar sel memicu respon imun. Terjadi inflmasi
hingga sehingga mempermudah terjadinya infeksi.Kondisi ini membuat lubang
duktus laktiferus menjadi port de entry bakteri, terutama bakteri Staphylococcus
aureus dan Strepcococcus sp.
Hampir sama dengan kejadian pada mastitis noninfeksi, mastitis yang
terjadi akibat proses infeksi terjadi secara langsung, yaitu saat timbul
fisura/robekan/perlukaan pada puting yang terbentuk saat awal laktasi akan
menjadikanport de entry/tempat masuknya bakteri. Proses selanjutnya adalah
infeksi pada jaringan mammae.
Tanda klinis mastitis dan klasifikasi mastitis adalah sebagai berikut, yaitu:
a. Stasis ASI
Statis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien dari payudara.
Hal ini terjadi jika payudara terbendung segera setelah melahirkan, atau setiap
saat jika bayi tidak mengisap ASI, kenyutan bayi yang buruk pada payudara,
pengisapan yang tidak efektif, pembatasan frekuensi/durasi menyusui,
sumbatan pada saluran ASI, suplai ASI yang sangat berlebihan dan menyusui
untuk kembar dua/lebih. Statis ASI dapat membaik hanya dengan terus
menyusui, tentunya dengan teknik yang benar.
b. Inflamasi non infeksiosa (atau mastitis noninfeksiosa)
Mastitis jenis ini biasanya ditandai dengan gejala sebagai berikut:Adanya
bercak panas/nyeri tekan yang akut, bercak kecil keras yang nyeri tekan, dan
tidak terjadi demam dan ibu masih merasa baik-baik saja.Mastitis non
infeksiosa membutuhkan tindakan pemerasan ASI setelah menyusui.
c. Mastitis infeksiosa
Mastitis jenis ini biasanya ditandai dengan gejala sebagai berikut: lemah,
nyeri kepala seperti gejala flu, demam suhu > 38,5 derajat celcius, ada luka
pada puting payudara, kulit payudara tampak menjadi kemerahan atau
mengkilat, terasa keras dan tegang, payudara membengkak, mengeras, dan
teraba hangat, dan terjadi peningkatan kadar natrium sehingga bayi tidak mau
menyusu karena ASI yang terasa asin. Mastitis infeksiosa hanya dapat diobati
dengan pemerasan ASI dan antibiotik sistemik. Tanpa pengeluaran ASI yang
efektif, mastitis sistemik. Tanpa pengeluaran ASI yang efektif, mastitis non
infeksiosa sering berkembang menjadi mastitis infeksiosa, dan mastitis
infeksiosa menjadi pembentukan abses.

MENIFESTASI KLINIS
Tanda dan Gejala dari mastitis ini biasanya berupa:
a. Payudara yang terbendung membesar, membengkak, keras
dan kadang terasa nyeri.

b. Payudara dapat terlihat merah, mengkilat dan puting


teregang menjadi rata.

c. ASI tidak mengalir dengan mudah, dan bayi sulit mengenyut


untuk menghisap ASI sampai pembengkakan berkurang.

d. Ibu akan tampak seperti sedang mengalami flu, dengan


gejala demam, rasa dingin dan tubuh terasa pegal dan sakit.

e. Terjadi pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi


yang sama dengan payudara yang terkena.

Gejala yang muncul juga hampir sama dengan payudara yang membengkak
karena sumbatan saluran ASI antara lain :
a. Payudara terasa nyeri
b. Teraba keras
c. Tampak kemerahan
d. Permukaan kulit dari payudara yang terkena infeksi juga tampak seperti pecah–
pecah, dan badan terasa demam seperti hendak flu, bila terkena sumbatan tanpa
infeksi, biasanya di badan tidak terasa nyeri dan tidak demam. Pada payudara
juga tidak teraba bagian keras dan nyeri serta merah.

Namun terkadang dua hal tersebut sulit untuk dibedakan, gampangnya bila
didapat sumbatan pada saluran ASI, namun tidak terasa nyeri pada payudara, dan
permukaan kulit tidak pecah – pecah maka hal itu bukan mastitis. Bila terasa sakit
pada payudara namun tidak disertai adanya bagian payudara yang mengeras, maka
hal tersebut bukan mastitis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang biasanya tidak diperlukan, namun ntuk
mengetahui jenis infeksi jamur atau bakteri sebagai penyebab dari mastitis perlu
dilakukan pemeriksaan KOH dan darah lengkap. Biasanya pada infeksibakteri,
pada pemeriksaan darah lengkap terlihat adanya peningkatan leukosit dn LED.
Pada infeksi yang disebabkan oleh jamur, pemeriksaan KOH hasilnya positif.

DIAGNOSIS:
Diagnosis mastitis ditegakkan berdasarkan kumpulan gejala sebagai berikut:
 Demam dengan suhu lebih dari 38,50C

 Menggigil

 Nyeri atau ngilu seluruh tubuh

 Payudara menjadi kemerahan, tegang, panas, bengkak, dan terasa sangat


nyeri.

 Peningkatan kadar natrium dalam ASI yang membuat bayi menolak


menyusu karena ASI terasa asin

 Timbul garis-garis merah ke arah ketiak.

DIAGNOSIS BANDING
 Cracked Nipple
 Abses nipple
PENATALAKSANAAN
Untuk menangani setiap kondisi yang telah didiskusikan, penting untuk:
1. Menganamnesis ibu, untuk mempelajari adanya penyebab nyata untuk
kesulitan ibu, atau faktor predisposisi.
2. Mengamati cara menyusui, dan mengkaji apakah teknik ibu menyusui dan
isapan bayi pada payudara memuaskan, dan bagaimana hal itu dapat
diperbaiki.

Sumbatan saluran payudara


Penanganan dilakukan dengan memperbaiki pengeluaran ASI, dan
mencegah obstruksi aliran ASI.
 Pastikan bahwa bayi mempunyai posisi dan isapan yang baik. Menggendong
bayi dengan dagu mendekati bagian payudara yang terkena, untuk
mempermudah pengeluaran ASI dari bagian tersebut, sedangkan yang lain
secara umum mempertimbangkan perbaikan pengisapan yang adekuat.
 Jelaskan perlunya menghindari semua yang dapat menyumbat aliran ASI,
seperti pakaian yang ketat, dan yang menyangga payudara terlalu dekat
dengan puting susu.
 Mendorong ibu untuk menyusui sesering dan selama bayi menghendaki, tanpa
pembatasan.
 Menyarankan ibu untuk menggunakan panas basah (misalnya, kompres hangat
atau pancuran hangat)

b. Mastitis
Jika dengan semua usaha pencegahan, mastitis tetap terjadi, maka ia harus
ditangani dengan cepat dan adekuat. Bila penanganan ditunda, penyembuhan
kurang memuaskan. Terdapat peningkatan risiko abses payudara dan kekambuhan.
Prinsip-prinsip utama penanganan mastitis adalah:
1. Konseling suportif
Mastitis merupakan pengalaman yang sangat nyeri dan membuat frustrasi,
dan membuat banyak wanita merasa sangat sakit. Selain dengan penanganan yang
efektif dan pengendalian nyeri, wanita membutuhkan dukungan emosional. Ia
mungkin telah mendapat nasihat yang membingungkan dari petugas kesehatan,
mungkin disarankan untuk berhenti menyusui, atau tidak diberi petunjuk apapun.
Ia dapat menjadi bingung dan cemas, dan tidak ingin terus menyusui. Ibu harus
diyakinkan kembali tentang nilai menyusui yang aman untuk diteruskan, bahwa
ASI dari payudara yang terkena tidak akan membahayakan bayinya, dan bahwa
payudaranya akan pulih baik bentuk maupun fungsinya. Ia memerlukan dukungan
bahwa perlu sekali untuk berusaha melampaui kesulitan ini. Ia membutuhkan
bimbingan yang jelas tentang semua tindakan yang dibutuhkan untuk penanganan,
dan bagaimana meneruskan menyusui atau memeras ASI dari payudara yang
terkena. Ia akan membutuhkan tindak lanjut untuk mendapat dukungan terus-
menerus dan bimbingan sampai ia benar-benar pulih.

2. Pengeluaran ASI dengan efektif


Hal ini merupakan bagian terapi terpenting. Antibiotik dan terapi
simtomatik membuat wanita merasa lebih baik untuk sementara waktu, tetapi
kondisi tersebut akan memburuk atau berulang walaupun sudah diberikan
antibiotik kecuali pengeluaran ASI diperbaiki.
 Bantu ibu memperbaiki pengisapan bayi pada payudara,
 Dorong untuk sering menyusui, sesering dan selama bayi menghendaki, tanpa
pembatasan.
 Bila perlu peras ASI dengan tangan atau dengan pompa atau botol panas,
sampai menyusui dapat dimulai lagi.

Terapi antibiotik
Terapi antibiotik diindikasikan pada:
a. Hitung sel dan koloni bakteri dan biakan yang ada serta menunjukkan
infeksi
b. Gejala berat sejak awal
c. Terlihat puting pecah-pecah
d. Gejala tidak membaik setelah 12-24 jam setelah pengeluaran ASI diperbaiki
maka Laktamase harus ditambahkan agar efektif terhadap Staphylococcus
aureus. Untuk organisme gram negatif, sefaleksin/amoksisillin mungkin
paling tepat. Jika mungkin, ASI dari payudara yang sakit sebaiknya dikultur
dan sensivitas bakteri antibiotik ditentukan.
Antibiotik Dosis

Eritromisin 250-500 mg setiap 6 jam

Flukloksasilin 250 mg setiap 6 jam

Dikloksasilin 125-250 mg setiap 6 jam per oral

Amoksasilin (sic) 250-500 mg setiap 8 jam

Sefaleksin 250-500 setiap 6 jam

Pada kasus infeksi mastitis, penanganannya antara lain:


1. Berikan antibiotik Kloksasilin 500 mg per oral 4 kali sehari setiap 6 jam
selama 10 hari atau eritromisin 250 mg per oral 3 kali sehari selama 10
hari.
2. Bantulah ibu agar tetap menyusui
3. Bebat/sangga payudara
4. Kompres hangat sebelum menyusui untuk mengurangi bengkak dan
nyeriyaitu dengan memberikan parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam
dan lakukan evaluasi secara rutin.

Pengobatan yang tepat dengan pemberian antibiotik, mintalah pada


dokter antibiotik yang baik dan aman untuk ibu yang menyusui, selain itu bila
badan terasa panas, ibu dapat minum obat turun panas, kemudian untuk bagian
payudara yang terasa keras dan nyeri, dapat dikompres dengan menggunakan
air hangat untuk mengurangi rasa nyeri.
Bila tidak tahan nyeri, dapat meminum obat penghilang rasa sakit,
istirahat yang cukup amat perlu untuk mengembalikan kondisi tubuh menjadi
sehat kembali. Disamping itu, makan dan minum yang bergizi, minum banyak
air putih juga akan membantu menurunkan demam, biasanya rasa demam dan
nyeri itu akan hilang dalam dua atau tiga hari dan ibu akan mampu beraktivitas
seperti semula

Terapi simtomatik
Nyeri sebaiknya diterapi dengan analgesik. Ibuprofen dipertimbangkan
sebagai obat yang paling efektif dan dapat membantu mengurangi inflamasi
dan nyeri. Parasetamol merupakan alternatif yang paling tepat. Istirahat sangat
penting, karena tirah baring dengan bayinya dapat meningkatkan frekuensi
menyusui, sehingga dapat memperbaiki pengeluaran susu. Tindakan lain yang
dianjurkan adalah penggunaan kompres hangat pada payudara yang akan
menghilangkan nyeri dan membantu aliran ASI, dan yakinkan bahwa ibu
cukup minum cairan. Dilakukan pengompresan hangat pada payudara selama
15-20 menit, 4 kali/hari. Diberikan antibiotik dan untuk mencegah
pembengkakan, sebaiknya dilakukan pemijatan dan pemompaan air susu pada
payudara yang terkena.
a. Mastitis (Payudara tegang / indurasi dan kemerahan)

 Berikan klosasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari. Bila diberikan


sebelum terbentuk abses biasanya keluhannya akan berkurang.

 Sangga payudara.

 Kompres dingin.

 Bila diperlukan berikan Parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam.

 Ibu harus didorong menyusui bayinya walau ada PUS.

 Ikuti perkembangan 3 hari setelah pemberian pengobatan.

b. Abses Payudara (Terdapat masa padat, mengeras di bawah kulit yang


kemerahan).

 Diperlukan anestesi umum.

 Insisi radial dari tengah dekat pinggir aerola, ke pinggir supaya tidak
mendorong saluran ASI.

 Pecahkan kantung PUS dengan klem jaringan (pean) atau jari tangan.

 Pasang tampon dan drain, diangkat setelah 24 jam.

 Berikan Kloksasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari.

 Sangga payudara.

 Kompres dingin.

 Berikan parasetamol 500 mg setiap 4 jam sekali bila diperlukan.


 Ibu dianjurkan tetap memberikan ASI walau ada pus.

 Lakukan follow up setelah peberian pengobatan selama 3 hari.

Jika terjadi abses, biasanya dilakukan penyayatan dan pembuangan nanah,


serta dianjurkan untuk berhenti menyusui.Untuk mengurangi nyeri dapat
diberikan obat pereda nyeri (misalnya acetaminophen atau ibuprofen).Kedua obat
tersebut aman untuk ibu menyusui dan bayinya.

PENCEGAHAN
Mastitis dan abses payudara sangat mudah dicegah, bila menyusui
dilakukan dengan baik sejak awal untuk mencegah keadaan yang meningkatkan
stasis ASI, dan bila tanda dini seperti bendungan, sumbatan saluran payudara, dan
nyeri puting susu diobati dengan cepat. Hal ini dibutuhkan sebagai bagian dari
perawatan kehamilan dan sebagai bagian yang berkelanjutan pada fasi1itas
perawatan berbasis komunitas untuk ibu dan anak.
a. Perbaikan pemahaman penatalaksanaan menyusui
Wanita dan siapa saja yang merawat mereka perlu mengetahui tentang
penatalaksanaan menyusui yang efektif, pemberian makan bayi dengan adekuat
dan tentang pemeliharaan kesehatan payudara. Butir-butir penting adalah :
 mulai menyusui dalam satu jam atau lebih setelah melahirkan
 memastikan bahwa bayi mengisap payudara dengan baik;
 menyusui tanpa batas, dalam hal frekuensi atau durasi, dan membiarkan bayi
selesai menyusui satu payudara dulu, sebelum memberikan yang lain;
 menyusui secara eksklusif selama minimal 4 bulan dan bila mungkin 6 bulan.

Wanita dan orang yang merawatnya juga perlu memahami bahwa hal – hal
berikut ini dapat mengganggu, membatasi, atau mengurangi jumlah isapan dalam
proses menyusui, dan meningkatkan risiko stasis ASI, yaitu :
 Penggunaan dot
 Pemberian makanan dan minuman lain pada bayi pada bulan-bulan pertama,
terutama dari botol susu.
 Tindakan melepaskan bayi dari payudara pertama sebelum ia siap untuk
mengisap payudara yang lain.
 Beban kerja yang berat atau penuh tekanan.
 Tidak menyusui, termasuk bila bayi mulai tidur sepanjang malam.
 Trauma pada payudara, karena kekerasan atau penyebab lain,

Hal-hal tersebut harus dihindari atau sedapat mungkin ibu dilindungi dari
hal-hal tersebut, tetapi bila tak terhindarkan, ibu dapat mencegah mastitis bila ia
melakukan perawatan ekstra pada payudaranya.
b. Tindakan rutin sebagai bagian perawatan kehamilan
Praktik berikut ini penting untuk mencegah stasis ASI dan mastitis.
Mereka harus dilakukan secara rutin pada semua tempat di mana ibu melahirkan
atau dirawat sebelum dan setelah persalinan, yaitu rumah sakit bersalin, fasilitas
kesehatan yang lebih kecil seperti pusat kesehatan, atau di rumah bila ibu
melahirkan di sana, atau bila ibu kembali setelah melahirkan. Praktik tersebut
adalah sebagai berikut :
 Bayi harus mendapat kontak dini dengan ibunya, dan mulai menyusui segera
setelah tampak tanda-tanda kesiapan, biasanya dalam jam pertama atau lebih.
 Bayi harus tidur di tempat tidur yang sama dengan ibunya, atau di dekatnya
pada kamar yang sama.
 Semua ibu harus mendapat bantuan dan dukungan yang terlatih dalam teknik
menyusui, baik sudah maupun belum pernah menyusui sebelumnya, untuk
menjamin pengisapan yang baik pada payudara, pengisapan yang efektif, dan
pengeluaran ASI yang efisien.
 Setiap ibu harus didorong untuk menyusui on demand, kapan saja bayi
menunjukkan tanda-tanda siap menyusui, seperti membuka mulut dan mencari
payudara.
 Setiap ibu harus memahami pentingnya menyusui tanpa batas dan eksklusif,
dan menghindari penggunaan makanan tambahan, botol, dan dot.
 Ibu harus menerima bantuan yang terlatih untuk mempertahankan laktasi bila
bayinya terlalu kecil atau lemah untuk mengisap dengan efektif.
 Bila ibu dirawat di rumah sakit, ia memerlukan bantuan yang terlatih saat
menyusui pertama kali dan sebanyak yang diperlukan pada saat mcnyusui
berikutnya.

c. Penatalaksanaan yang efektif pada payudara yang penuh dan kencang


Bila payudara ibu menjadi sangat penuh atau terbendung selama minggu
pertama, bila ASI ada, penting untuk memastikan bahwa ASI dikeluarkan dan
kondisi tersebut diatasi.
 Ibu harus dibantu untuk memperbaiki isapan pada payudara oleh bayinya,
untuk memperbaiki pengeluaran ASI, dan untuk mencegah luka pada puting
susu.
 Ibu harus didorong untuk menyusui sesering mungkin dan selama bayi
menghendaki, tanpa batas.
 Bila isapan bayi tidak cukup mengurangi rasa penuh dan kencang pada
payudara, atau bila puting susunya tertarik sampai rata sehingga bayi sulit
mengisap, ibu harus memeras ASI-nya.
 Pemerasan dapat dilakukan dengan tangan atau dengan pompa. Bila payudara
sangat nyeri, jalan lain untuk memeras ASI adalah dengan menggunakan
metode botol

d. Perhatian dini terhadap semua tanda stasis ASI


Seorang ibu perlu mengetahui bagaimana merawat payudaranya, dan
tentang tanda dini stasis ASI atau mastitis sehingga ia dapat mengobati dirinya
sendiri di rumah dan mencari pertolongan secepatnya bila keadaan tersebut tidak
menghilang. Ia harus memeriksa payudaranya untuk melihat adanya benjolan,
nyeri, atau panas, atau kemerahan:
 Bila ibu mempunyai salah satu faktor risiko, seperti kealpaan menyusui;
 Bila ibu mengalami demam atau merasa sakit, contohnya sakit kepala. Bila ibu
mempunyai satu dan tanda-tanda tersebut, ibu perlu untuk:
1. beristirahat, di tempat tidur bila mungkin
2. sering menyusui pada payudara yang terkena
3. mengompres panas pada payudara yang terkena, berendam dengan air
hangat, atau pancuran hangat;
4. memijat dengan lembut setiap daerah benjolan saat bayi menyusu untuk
membantu ASI mengalir dari daerah tersebut;
5. mencari pertolongan dan petugas kesehatan bila ibu tidak merasa lebih
baik pada keesokan harinya.

e. Perhatian dini pada kesulitan menyusui lain


Ibu membutuhkan bantuan terlatih dalam menyusui setiap saat ibu
menemui kesulitan yang dapat menyebabkan stasis ASI, seperti:
 nyeri atau puting pecah-pecah;
 ketidaknyamanan payudara setelah menyusui;
 kompresi nipple
 bayi yang tidak puas seperti menyusu sangat sering, jarang, atau lama
 kehilangan percaya diri pada suplai ASI sendiri, menganggap ASI yang
dihasilkan tidak cukup
 pengenalan makanan lain secara dini
 menggunakan dot

f. Pengendalian infeksi
Karena penatalaksanaan menyusui yang sesuai merupakan dasar
pencegahan mastitis, pengurangan risiko infeksi juga penting, terutama dirumah
sakit. Petugas kesehatan dan ibu perlu mencuci tangan secara menyeluruh dan
sering. Petugas kesehatan harus mencuci tangannya setiap kali setelah kontak
dengan ibu atau bayi, atau dengan semua kemungkinan sumber organisme
patogen. Sabun biasa adekuat untuk menyingkirkan organisme permukaan, tetapi
untuk petugas kesehatan yang sering kontak dengan cairan tubuh, produk pencuci
tangan antimikroba lebih efektif, asalkan sabun kontak dengan kulit minimal 10
detik tiap pencucian. Paters menunjukkan bahwa desinfeksi tangan tambahan pada
sisi tempat tidur ibu menyusui di rumah sakit mengurangi insiden mastitis dari
2,8% sampai 0,66%. Kontak kulit dini, diikuti dengan rawat gabung bayi dengan
ibu juga merupakan jalan yang penting untuk mengurangi infeksi rumah sakit.

KOMPLIKASI
Berikut beberapa komplikasi yang dapat muncul karena mastitis.
a. Abses payudara
Abses payudaramerupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi
karena pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah
payudara teraba keras, merah dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka
kita harus memikirkan kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari
kejadian mastitis berlanjut menjadi abses.Pemeriksaan USG payudara
diperlukan untuk mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini
dapat dikeluarkan dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai
diagnostik sekaligus terapi, bahkan mungkin diperlukan aspirasi jarum
secara serial/berlanjut. Pada abses yang sangat besar terkadang diperlukan
tindakan bedah. Selama tindakan ini dilakukan, ibu harus mendapatkan
terapi medikasi antibiotik. ASI dari sekitar tempat abses juga perlu dikultur
agar antibiotik yang diberikan sesuai dengan jenis kumannya.
b. Mastitis berulang/kronis

Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat atau


tidak adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, banyak minum,
mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang, serta mengatasi stress. Pada
kasus mastitis berulang karena infeksi bakteri biasanya diberikan antibiotik
dosis rendah (eritromisin 500 mg sekali sehari) selama masa menyusui.

c. Infeksi jamur

Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur


seperti candida albicans.Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat
terapi antibiotik.Infeksi jamur biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri
berupa rasa terbakar yang menjalar di sepanjang saluran ASI. Diantara
waktu menyusui permukaan payudara terasa gatal. Puting mungkin tidak
nampak kelainan. Pada kasus ini, ibu dan bayi perlu mendapatkan
pengobatan. Pengobatan terbaik adalah mengoles nistatin krim yang juga
mengandung kortison ke puting dan areola setiap selesai bayi menyusu dan
bayi juga harus diberi nistatin oral pada saat yang sama.

PROGNOSIS
Prognosis baik setelah dilakukan tindakan kepeerawatan dengan segera. Dan
keadaan akan menjadi fatal bila tidak segera diberikana atau dilakukan tindakan
yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA

Andriana, Kusuma. 2012. Pengantar Klinik Ilmu Kebidanan dan Penyakit


Kandungan. Malang: UMM Press.
Miller, Andrew. 2016. Mastitis Empiric Theraphy. Virginia: Department of
Emergency Medicine , West Virginia University School of Medicine.
Prawirohardjo, Sarwono. 2012. Ilmu Kandungan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Prawirohardjo, Sarwono. 2012. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
CRACKED NIPPLE

DEFINISI
Trauma kulit pada papilla mamae, nama lain fissura papilla mamae.
Sebagian besar karena breastfeeding atau menyusui, dan terasa nyeri saat
menyusui. Fisura terjadi pada hari pertama sampai beberapa pekan setelah
melahirkan (postpartum). Fisura tersebut dapat menjadi tempat masuknya bakteri
piogenik patogen dan beberapa jenis jamur, fisura papilla mamae juga
berhubungan dengan keadian mastitis setelahnya.
Cracked nipple merupakan papilla mammae yang lecet terjadi pada masa
menyusui yang ditandai dengan lecetnya pada putting, berwarna kemerahan dan
puting pecah serta terasa panas. Lecetnya putting susu ( nipple) ibu yang
sebelumnya memberikan atau sedang dalam masa menyusui sehingga
menyebabkan kesakitan saat menyusui. Hal ini berpengaruh terhadap
berkurangnya produksi ASI. Cracked nipple sering terjadi pada ibu muda yang
baru pertama kali menyusui. Hal ini disebabkan karena, posisi menyusui yang
salah, tidak sempurnanya perlekatan antara mulut bayi dengan puting ibu atau saat
bayi mulai tumbuh gigi, bayi hanya menghisap dibagian putting tidak mencapai
areola. Cracked nipple dapat sembuh sendiri dalam waktu 48 jam.

EPIDEMIOLOGI
Masalah-masalah menyusui yang sering terjadi adalah
puting susu lecet atau nyeri. Sekitar 57% dari ibu-ibu menyusui
dilaporkan pernah menderita kelecetan pzada putingnya dan payudara bengkak.
Payudara bengkak sering terjadi pada hari ketiga dan keempat sesudah ibu
melahirkan, karena terdapat sumbatan pada satu atau lebih duktus laktiferus dan
mastitis serta abses payudara yang merupakan kelanjutan atau komplikasi dari
mastitis yang disebabkan karena meluasnya peradangan payudara. Sehingga
dapat menyebabkan tidak terlaksananya Air Susu Ibu (ASI) eksklusif. Cracked
nipple dapat meyebabkan bengkak pada payudara yang mengarah ke mastitis dan
biasanya terjadi pada hari ketiga dan keempat sesudah ibu melahirkan.

ETIOLOGI
 Kesalahan dalam teknik menyusui, bayi tidak menyusui sampai areola tertutup
oleh mulutbayi.Bila bayi hanya menyusui pada putting susu, maka bayi akan
mendapatkan ASI sedikit

 Putting susu terpapar oleh sabun, krim, alkohol ataupun zat iritan lain saat ibu
membersihkan putting susu

 Moniliasis pada mulut bayi yang menular pada putting susu ibu

 Bayi dengan tali lidah pendek (frenulum lingue)

 Cara menghentikan menyusui yang kurang tepat.

 Hisapan bayi yang terlalu kencang, gigitan bayi, goresan benda tajam, kuku
bayi atau ibu.

 Infeksi jamur yang terjadi di puting (disebabkan oleh Candida Albicans)


dapat pula menyebabkan puting lecet

 Vasospasme yang disebabkan oleh iritasi pada saluran darah di puting akibat
pelekatan
yang kurang baik dan/atau infeksi jamur.

PATOGENESIS
Terjadinya papilla mammae lecet di awal menyusui pada umumnya
disebabkan oleh salah satu atau kedua hal berikut: posisi dan pelekatan bayi yang
tidak tepat saat
menyusu, atau bayi tidak mengisap dengan baik. Meskipun
demikian, bayi dapat belajar untuk mengisap payudara dengan baik ketika ia
melekat dengan tepat saat menyusu (mereka akan belajar dengan sendirinya).
Jadi, proses mengisap yang bermasalah seringkali disebabkan oleh pelekatan yang
kurang baik. Infeksi jamur yang terjadi di papilla mammae (disebabkan oleh
Candida Albicans) dapat pula menyebabkan puting lecet. Vasospasme yang
disebabkan oleh iritasi pada saluran darah di puting akibat pelekatan yang kurang
baik dan/atau infeksi jamur, juga dapat menyebabkan puting lecet. Rasa sakit yang
disebakan oleh pelekatan yang kurang baik dan proses mengisap yang tidak
efektif akan terasa paling sakit saat bayi melekat ke payudara danbiasanya akan
berkurang seiring bayi menyusu. Namun jika lecetnya cukup parah, rasa
sakit dapat berlangsung terus selama proses menyusu akibat pelekatan kurang
baik/mengisap tidak efektif. Rasa sakit akibat infeksi jamur biasanya
akan berlangsung terus selama proses menyusui dan bahkan setelahnya.
Banyak ibu mendeskripsikan rasa sakit seperti teriris sebagai akibat pelekatan
yang kurang baik atau proses mengisap yang kurang efektif. Rasa sakit akibat
infeksi jamur seringkali digambarkan seperti rasa terbakar. Jika rasa sakit
pada puting terjadi padahal sebelumnya tidak pernah merasakannya, maka rasa
sakit tersebut mungkin disebabkan oleh infeksi Candida, meskipun
infeksi tersebut dapat pula merupakan lanjutan dari penyebab lain sakit pada
puting, sehingga periode tanpa sakit hampir tidak pernah terjadi. Lecet /fisura
pada papilla mammae dapat terjadi karena infeksi jamur. Kondisi dermatologis
dapat pula menyebabkan sakit pada papilla mammae.

MENIFESTASI KLINIS
• Luka lecet kekuningan

• Kulit terkelupas/luka berdarah

• Sakit saat menyusui

• Merah pada nipple

• Terlihat retak (terbentuk celah/ fisura)

• Sakit seperti terbakar(infeksi jamur)

• Infeksi jamur  rasa sakit terbakar

• Perlekatan yg kurang baik  paling sakit saat bayi melekat dan berkurang
seiring bayi menyusu  rasa sakit teriris
DIAGNOSIS:
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik  sesuai dengan temuan gejala klinis, Pemeriksaan
payudara bisa dilakukan dengan teknik SADARI (Pemeriksaan Payudara
Sendiri). SADARI sebaiknya dilakukan sebulan sekali, kira-kira satu minggu
setelah masa menstruasi karena disaat inilah payudara lebih lunak karena
pengaruh hormon. Wanita usia 20-an awal bisa memulai memeriksa payudara
sendiri
 Pemeriksaan penunjang  mammografi dan USG payudara

DIAGNOSIS BANDING
 Mastitis
 Abses payudara
 Ca mammae

PENATALAKSANAAN
1. Bayi harus disusuikan terlebih dahulu pada puting yang normal yang lecetnya
lebih sedikit. Untuk menmghindari tekanan local pad puting maka posisi
menyusu harus sering diubah, untuk puting yang sakit dianjurkan mengurangi
frekuensi dan lamanya menyusui. Di samping itu, kita harus yakin bahwa
teknik menyusui yang diguanakan bayi benar, yaitu harus menyusu sampai ke
kalang payudara. Untuk menghindari payudara yang bengkak, ASI
dikeluarkan dengan tangan pompa, kemudian diberikan dengan sendok, gelas,
dan pipet.
2. Setiap kali selesai menyusui bekas ASI tidak perlu dibersihkan, tetapi diangin-
anginkan sebentar agar melembutkan puting sekaligus sebagai anti-infeksi.
3. Jangan menggunakan sabun, alkohol, atau zat iritan lainnya untuk
membersihkan payudara.
4. Pada papilla mammae dapat dioleskan minyak lanolin atau minyak kelapa
yang telah dimasak terlebih dahulu.
5. Menyusui lebih sering (8-12 kali dalam 24 jam), sehingga payudara tidak
sampai terlalu penuh dan bayi tidak begitu lapar juga tidak menyusu terlalu
rakus.
6. Periksakanlah apakah bayi tidak menderita moniliasis yang dapat
menyebabkan lecet pada puting susu ibu. Jika ditemukan gejala moniliasis
dapat diberikan nistatin.

Prinsipnya adalah memroteksi luka dengan memberi pengobatan antibiotic


topical yaitu asam fusidat cream, menyusui lebih diutamakan kepada papilla yang
sehat (papila yang lain), sedangkan papila yang trauma air susunya harus tetap
dikeluarkan secara berkala dengan menggunakan pompa atau pijatan sampai luka
benar-benar sembuh untuk mencegah statis air susu. Tatalaksana dibagi menjadi 3,
yaitu saat menyusui, setelah menyusui, dan diantara menyusui (apabila tidak
menyusui).
a. Saat menyusui
 Pakai papilla yang sehat dahulu, lalu pakai papilla yang sakit. Karena
isapan bayi pada papilla yang sakit tidak sekuat pada isapan yang
pertama
 Mencoba berbagai posisi menyusui yang paling nyaman, namun tetap
benar
 Apabila menyusui sakit, pakai breastpump, apabila tetap sakit,
stimulasi dengan pijatan pada papilla mamae. Hal ini dilakukan untuk
mencegah statis asi, mencegah mastitis, dan mempertahankan supply
dari asi sendiri.
b. Setelah menyusui
 Setiap kali selesai menyusui bekas ASI tidak perlu dibersihkan, tapi
diangin-anginkan sebentar agar melembutkan puting sekaligus sebagai
anti infeksi
 Jangan pernah mencuci daerah areola dan puting dengan sabun

 Observasi keadaan umum dan vital sign

 Cari penyebab putting lecet

 Bayi tetap disusui pada putting yang tidak lecet dgn teknik yang
benar
 Setelah menyusui tidak perlu dibersihkan dan cukup dianginkan
karna sisa ASI sudah merupakan anti infeksi dan pelembut putting
susu

 Sebaiknya untuk melepaskan putting dari hisapan bayi pada saat


bayi selesai menyusu, tidak dengan memaksa menarik putting,
tetapi dengan menekan dagu bayi atau dengan memasukan jari
kelingking yang bersih ke mulut bayi

 Putting susu yang sakit dapat diistirahatkan utk sementara waktu


kurang lebih 1x24 jam dan sebaiknya ASI tetap dikeluarkan
dengan tangan

 Beri edukasi untuk menyusui yang benar

 Beri obat penghilang sakit/nyeri paracetamol 500 mg 3x1/hr atau


amoxicillin 3x1/hr

 Bila lecet tidak sembuh dalam 1 minggu rujuk ke puskesmas

 Memposisikan Bayi  Posisi & Perlekatan Menyusui

c. Diantara menyusui
 Menjaga personal hygene dari payudara.
 Menggunakan sabun non-antibakterial dan non-perfume apabila ingin
membersihkan payudara, menggunakan sabun pada daerah papila
mamae yang luka tidak dianjurkan.

Edukasi
Edukasi mengenai prinsip dasar menyusui yaitu teknik benar, susui sesuai
permintaan bayi, ibu rileks dan percaya diri saat menyusui.
Penilaian proses menyusui.
 B= Body Position : Rileks, nyaman, ibu memegang seluruh tubuh bayi,
kepala tegak lurus, dagu bayi menyentuh payudara, seluruh tubuh bayi
menghadap ibu, payudara ibu mendekati bayi, bukan bayi mendekati payudara
ibu.
 R= Response : Bayi mencari puting, menghisap tenang, dan asi keluar. Isapan
bayi lambat dan tenang, ada jeda diantra isapan, ada gerakan menelan dari
bayi.
 E= Emotion : Ibu merangkul dengan yakin, atensi ibu baik (menatap bayi).
 A= Anatomy : Payudara lunak setelah menyusui dan terasa lebih ringan
 S= Suckling: Isapan bayi, kekuatan normal. Kelekatan mulut bayi yang baik:
- Dagu menyentuh payudara
- Mulut bayi terbuka lebar
- Bibir Bawah keluar
- Areola mama sedikit terlihat, biasanya bagian bawah tidak terlihat, bagian
atas sedikit terlihat.

Kelekatan yang benar.

Kelekatan yang salah.

 T= Time : 15-20 menit bayi akan melepas sendiri apabila teknik dan posisi
menyusui benar.
Terdapat berbagai macam posisi menyusui. Cara menyusui yang
tergolong biasa dilakukan adalah dengan duduk, berdiri atau berbaring.
Posisi khusus berkaitan dengan situasi tertentu seperti ibu pasca
operasi sesar. Bayi diletakan disamping kepala ibu dengan posisi kaki
diatas. Menyusui bayi kembar seperti memegang bola bila disusui
bersamaan di payudara ki-ka. Pada ASI yang memancar penuh, bayi di
tengkurapkan diatas dada ibu, tangan ibu sedikit menahan kepala bayi,
dengan posisi ini bayi tidak tersedak.
Langkah Menyusui yang Benar
1. Cuci tangan yang bersih dengan sabun, perah sedikit ASI dan oleskan
disekitar putting, duduk dan berbaring dengan santai

2. Bayi diletakan menghadap ke ibu dgn posisi sanggah seluruh tubuh


bayi, jangan hanya leher dan bahu saja tapi kepala dan tubuh bayi
lurus, hadapkan bayi kedada ibu sehingga hidung bayi berhadapan dgn
putting susu, dekatkan badan bayi ke badan ibu menyentuh bibir bayi
ke putting susunya dan menunggu sampai mulut bayi terbuka lebar

3. Segera dekatkan bayi ke payudara sedemikian rupa sehingga bibir


bawah bayi terletak dibawah putting susu. Cara melekatkan mulut bayi
dengan benar yaitu dagu menempel pada payudara ibu, mulut bayi
terbuka lebar dan bibir bawah bayi membuka lebar
 Cara pengamatan teknik menyusui yang benar
Menyusui dengan teknik yang tidak benar dapat mengakibatkan
putting susu menjadi lecet, ASI tidak keluar optimal sehingga, mempengaruhi
produksi ASI selanjutnya atau bayi enggan menyusu
 Tanda menyusui yang benar
- Bayi tampak tenang
- Badan bayi menempel pada perut ibu
- Mulut bayi terbuka lebar
- Dagu bayi menempel pada payudara ibu
- Sebagian areola masuk kedalam mulut bayi, areola bawah lebih
banyak yang masuk
- Bayi nampak menghisap kuat dengan irama perlahan
- Putting susu tidak terasa nyeri
- Telinga dan lengan bayi terletak pada 1 garis lurus
- Kepala bayi agak menengadah

PENCEGAHAN
a. Perbaikan pemahaman penatalaksanaan menyusui
Wanita dan siapa saja yang merawat mereka perlu mengetahui tentang
penatalaksanaan menyusui yang efektif, pemberian makan bayi dengan adekuat
dan tentang pemeliharaan kesehatan payudara. Butir-butir penting adalah :
 mulai menyusui dalam satu jam atau lebih setelah melahirkan
 memastikan bahwa bayi mengisap payudara dengan baik;
 menyusui tanpa batas, dalam hal frekuensi atau durasi, dan membiarkan bayi
selesai menyusui satu payudara dulu, sebelum memberikan yang lain;
 menyusui secara eksklusif selama minimal 4 bulan dan bila mungkin 6 bulan.

Wanita dan orang yang merawatnya juga perlu memahami bahwa hal – hal
berikut ini dapat mengganggu, membatasi, atau mengurangi jumlah isapan dalam
proses menyusui, dan meningkatkan risiko stasis ASI, yaitu :
 Penggunaan dot
 Pemberian makanan dan minuman lain pada bayi pada bulan-bulan pertama,
terutama dari botol susu.
 Tindakan melepaskan bayi dari payudara pertama sebelum ia siap untuk
mengisap payudara yang lain.
 Beban kerja yang berat atau penuh tekanan.
 Tidak menyusui, termasuk bila bayi mulai tidur sepanjang malam.
 Trauma pada payudara, karena kekerasan atau penyebab lain,

Hal-hal tersebut harus dihindari atau sedapat mungkin ibu dilindungi dari
hal-hal tersebut, tetapi bila tak terhindarkan, ibu dapat mencegah mastitis bila ia
melakukan perawatan ekstra pada payudaranya.
b. Tindakan rutin sebagai bagian perawatan kehamilan
Praktik berikut ini penting untuk mencegah stasis ASI dan mastitis.
Mereka harus dilakukan secara rutin pada semua tempat di mana ibu melahirkan
atau dirawat sebelum dan setelah persalinan, yaitu rumah sakit bersalin, fasilitas
kesehatan yang lebih kecil seperti pusat kesehatan, atau di rumah bila ibu
melahirkan di sana, atau bila ibu kembali setelah melahirkan. Praktik tersebut
adalah sebagai berikut :
 Bayi harus mendapat kontak dini dengan ibunya, dan mulai menyusui segera
setelah tampak tanda-tanda kesiapan, biasanya dalam jam pertama atau lebih.
 Bayi harus tidur di tempat tidur yang sama dengan ibunya, atau di dekatnya
pada kamar yang sama.
 Semua ibu harus mendapat bantuan dan dukungan yang terlatih dalam teknik
menyusui, baik sudah maupun belum pernah menyusui sebelumnya, untuk
menjamin pengisapan yang baik pada payudara, pengisapan yang efektif, dan
pengeluaran ASI yang efisien.
 Setiap ibu harus didorong untuk menyusui on demand, kapan saja bayi
menunjukkan tanda-tanda siap menyusui, seperti membuka mulut dan mencari
payudara.
 Setiap ibu harus memahami pentingnya menyusui tanpa batas dan eksklusif,
dan menghindari penggunaan makanan tambahan, botol, dan dot.
 Ibu harus menerima bantuan yang terlatih untuk mempertahankan laktasi bila
bayinya terlalu kecil atau lemah untuk mengisap dengan efektif.
 Bila ibu dirawat di rumah sakit, ia memerlukan bantuan yang terlatih saat
menyusui pertama kali dan sebanyak yang diperlukan pada saat mcnyusui
berikutnya.

c. Penatalaksanaan yang efektif pada payudara yang penuh dan kencang


Bila payudara ibu menjadi sangat penuh atau terbendung selama minggu
pertama, bila ASI ada, penting untuk memastikan bahwa ASI dikeluarkan dan
kondisi tersebut diatasi.
 Ibu harus dibantu untuk memperbaiki isapan pada payudara oleh bayinya,
untuk memperbaiki pengeluaran ASI, dan untuk mencegah luka pada puting
susu.
 Ibu harus didorong untuk menyusui sesering mungkin dan selama bayi
menghendaki, tanpa batas.
 Bila isapan bayi tidak cukup mengurangi rasa penuh dan kencang pada
payudara, atau bila puting susunya tertarik sampai rata sehingga bayi sulit
mengisap, ibu harus memeras ASI-nya.
 Pemerasan dapat dilakukan dengan tangan atau dengan pompa. Bila payudara
sangat nyeri, jalan lain untuk memeras ASI adalah dengan menggunakan
metode botol

d. Perhatian dini terhadap semua tanda stasis ASI


Seorang ibu perlu mengetahui bagaimana merawat payudaranya, dan
tentang tanda dini stasis ASI atau mastitis sehingga ia dapat mengobati dirinya
sendiri di rumah dan mencari pertolongan secepatnya bila keadaan tersebut tidak
menghilang. Ia harus memeriksa payudaranya untuk melihat adanya benjolan,
nyeri, atau panas, atau kemerahan:
 Bila ibu mempunyai salah satu faktor risiko, seperti kealpaan menyusui;
 Bila ibu mengalami demam atau merasa sakit, contohnya sakit kepala. Bila ibu
mempunyai satu dan tanda-tanda tersebut, ibu perlu untuk:
6. beristirahat, di tempat tidur bila mungkin
7. sering menyusui pada payudara yang terkena
8. mengompres panas pada payudara yang terkena, berendam dengan air
hangat, atau pancuran hangat;
9. memijat dengan lembut setiap daerah benjolan saat bayi menyusu untuk
membantu ASI mengalir dari daerah tersebut;
10. mencari pertolongan dan petugas kesehatan bila ibu tidak merasa lebih
baik pada keesokan harinya.

e. Perhatian dini pada kesulitan menyusui lain


Ibu membutuhkan bantuan terlatih dalam menyusui setiap saat ibu
menemui kesulitan yang dapat menyebabkan stasis ASI, seperti:
 nyeri atau puting pecah-pecah;
 ketidaknyamanan payudara setelah menyusui;
 kompresi nipple
 bayi yang tidak puas seperti menyusu sangat sering, jarang, atau lama
 kehilangan percaya diri pada suplai ASI sendiri, menganggap ASI yang
dihasilkan tidak cukup
 pengenalan makanan lain secara dini
 menggunakan dot

KOMPLIKASI
Berikut beberapa komplikasi yang dapat muncul karena mastitis.
d. Abses payudara
Abses payudaramerupakan komplikasi yang biasanya terjadi karena
pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara
teraba keras, merah dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus
memikirkan kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari kejadian
mastitis berlanjut menjadi abses.Pemeriksaan USG payudara diperlukan
untuk mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini dapat
dikeluarkan dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik
sekaligus terapi, bahkan mungkin diperlukan aspirasi jarum secara
serial/berlanjut. Pada abses yang sangat besar terkadang diperlukan tindakan
bedah. Selama tindakan ini dilakukan, ibu harus mendapatkan terapi
medikasi antibiotik. ASI dari sekitar tempat abses juga perlu dikultur agar
antibiotik yang diberikan sesuai dengan jenis kumannya.
e. Mastitis

Mastitis biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat atau tidak


adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, banyak minum, mengonsumsi
makanan dengan gizi berimbang, serta mengatasi stress. Pada kasus mastitis
berulang karena infeksi bakteri biasanya diberikan antibiotik dosis rendah
(eritromisin 500 mg sekali sehari) selama masa menyusui.

PROGNOSIS
Papila mammae lecet/luka harus segera ditangani dengan baik, karena jika
dibiarkan saja akan memudahkan terjadinya infeksi pada payudara (mastitis).
DAFTAR PUSTAKA

Andriana, Kusuma. 2012. Pengantar Klinik Ilmu Kebidanan dan Penyakit


Kandungan. Malang: UMM Press.
Ken, Jacquelline et al. 2015. Nipple Pain in Breasrfeeding Mothers. Stirling
Highway: University of Western Australia.
Prawirohardjo, Sarwono. 2012. Ilmu Kandungan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Prawirohardjo, Sarwono. 2012. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Santos, Silvia et al. 2016. Prevalance and Factors associated with cracked nipples
in fisrt month postpartum. Bahia: State University of Feira de Santana
Bahia, Brazil.
Inverted Nipple

Definisi
Suatu kondisi dimana putting tertarik ke dalam payudara. Pada beberapa
kasus, puting dapat muncul keluar bila di stimulasi, namun pada kasus-kasus lain,
retraksi ini menetap.
Etiologi
a. Penyebab yang sering terjadi- Faktor menyusui:
1. Penyusuan yang tertunda.
2. Perlekatan yang tidak baik.
3. Penyusuan yang jarang atau dilakukan dalam waktu singkat.
4. Tidak menyusui pada malam hari.
5. Pemberian botol atau empeng.
6. Pemberian minuman lain selain ASI.
b. Faktor psikologis ibu:
1. Kurang percaya diri
2. Ibu khawatir / terlalu stress
3. Ibu terlalu lelah
4. Ibu tidak suka menyusui
5. Ibu mengalami baby blues

Diagnosis

Grade 1
 Puting tampak datar atau masuk ke dalam

 Puting dapat dikeluarkan dengan mudah dengan tekanan jari pada atau
sekitar areola.

 Terkadang dapat keluar sendiri tanpa manipulasi

 Saluran ASI tidak bermasalah, dan dapat menyusui dengan biasa.

Grade 2
 Dapat dikeluarkan dengan menekan areola, namun kembali masuk saat
tekanan dilepas

 Terdapat kesulitan menyusui.

 Terdapat fibrosis derajat sedang.

 Saluran ASI dapat mengalami retraksi namun pembedahan tidak


diperlukan.

 Pada pemeriksaan histologi ditemukan stromata yang kaya kolagen dan


otot polos.

Grade 3
 Puting sulit untuk dikeluarkan pada pemeriksaan fisik dan membutuhkan
pembedahan untuk dikeluarkan.

 Saluran ASI terkonstriksi dan tidak memungkinkan untuk menyusui

 Dapat terjadi infeksi, ruam, atau masalah kebersihan

 Secara histologis ditemukan atrofi unit lobuler duktus terminal dan fibrosis
yang parah

Tatalaksana

a. Tatalaksana Umum
 Jka retraksi tidak dalam, susu dapat diperoleh dengan menggunakan
pompa payudara.

 Jika puting masuk sangat dalam, suatu usaha harus dilakukan untuk
mengeluarkan puting dengan jari pada beberapa bulan sebelum
melahirkan.

b. Tatalaksana Khusus : -

Referensi :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.2013.Buku saku pelayanan
kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan (edisi
pertama).Jakarta.

LEPTOSPIROSIS

1. Definisi

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik
serotipenya. Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Weil pada 1886. Bentuk
berat penyakit ini dikenal dengan Weil’s disease (Zein, 2008).
Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia,
tikus, anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira
icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus (Swastiko, 2009).

2. Epidemiologi

Secara epidemiologi, wilayah penyebaran leptospirosis umumnya pada


daerah tropis dan subtropics. Sebagian besar negara di Asia Tenggara dinyatakan
sebagai daerah endemis leptospirosis. Penyakit yang disebut re-emerging
infectious disease ini dalam perkembangannya dipengaruhi oleh kondisi iklim,
terutama pada musim penghujan serta kemungkinan adanya kontak dengan
lingkungan yang terkontaminasi leptospira (Depkes RI, 2015).
Secara khusus terkait penyakit Leptospirosis di Indonesia, kejadian luar
biasa (KLB) Leptospirosis terjadi di Kabupaten Kota baru Kalimantan Selatan
pada tahun 2014. Peningkatan kasus terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan DKI
Jakarta setelah terjadi banjir besar yang cukup lama. Data hingga November 2014,
Kemenkes mencatat 435 kasus dengan 62 kematian akibat penyakit Leptospirosis
(Depkes RI, 2015).

3 Etiologi
Leptospirosis disebabkan kuman dari genus Leptospira dari famili
Leptospiraceae. Kuman ini berbentuk spiral, tipis, halus dan fleksibel dengan
ukuran panjang 5-15 μm, lebar 0,1-0,2 μm. Salah satu ujung leptospira berbentuk
bengkok seperti kait. Leptospira tidak berflagel, namun dapat melakukan gerakan
rotasi aktif. Kuman ini tidak mudah diwarnai, namun dapat diwarnai dengan
impregnasi perak (Jawetz, 2010).

Gambar 2.1. Mikrograf Leptospira (Gomp, 2014)


Leptospira tumbuh baik pada kondisi aerobik di suhu 28-30°C. Pada
media yang mengandung serum kelinci (Fletcher’s medium), juga pada media
yang mengandung serum sapi (Ellinghausen-Mc Cullough-Johnson-Harris/ EMJH
medium), pertumbuhannya terlihat dalam beberapa hari sampai 4 minggu.
Leptospira mati dengan pemanasan suhu 50 derajat celcius selama 10
menit atau 60 derajat selama satu menit. Leptospira juga akan mati pada kondisi
tanah yang kering. Pada suhu kamar leptospira dapat bertahan selama dua hari.
Genus Leptospira sendiri terdiri dari dua spesies yaitu L.interrogans (yang
patogen) dan L.biflexa (yang bersifat saprofit/ nonpatogen). Spesies L.interrogans
dibagi dalam beberapa serogrup yang terbagi lagi menjadi lebih 250 serovar
berdasarkan komposisi antigennya. Beberapa serovar L.interrogans yang patogen
pada manusia adalah L.icterohaemorrhagiae, L.canicola, L.pomona,
L.grippothyphosa, L.javanica, L.celledoni, L.ballum, L.pyrogenes, L.bataviae, L.
hardjo, dan lain-lain (Jawetz,2010).
Siklus hidup leptospira dijelaskan oleh gambar di bawah ini:

Gambar 2.2. Siklus Hidup Leptospira

4 Patofisiologi
Leptospirosis tidak menular langsung dari pasien ke pasien. Masa inkubasi
leptospirosis adalah dua hingga 26 hari. Sekali berada di aliran darah, bakteri ini
bisa menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan
ginjal (Gasem MH, 2009).
Penularan leptospirosis pada manusia terjadi secara kontak langsung
dengan hewan terinfeksi Leptospira. Penularan tidak langsung terjadi melalui
genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin
hewan seperti tikus, umumnya terjadi saat banjir. Wabah leptospirosis dapat juga
terjadi pada musim kemarau karena sumber air yang sama dipakai oleh manusia
dan hewan. Sedangkan untuk penularan secara langsung dapat terjadi pada
seorang yang senantiasa kontak dengan hewan (peternak, dokter hewan).
Penularan juga dapat terjadi melalui air susu, plasenta, hubungan seksual, pecikan
darah manusia penderita leptospira meski kejadian ini jarang ditemukan (Gasem
MH, 2009).
Leptospira masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit dan membrane
mukosa yang terluka kemudian masuk kedalam aliran darah dan berkembang
khususnya pada konjungtiva dan batas oro-nasofaring. Kemudian terjadi respon
imun seluler dan humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk
antibody spesifik. Leptospira dapat bertahan sampai ke ginjal dan sampai ke
tubulus konvoluntus sehingga dapat berkembang biak di ginjal. Leptospira dapat
mencapai ke pembuluh darah dan jaringan sehingga dapat diisolasi dalam darah
dan LCS pada hari ke 4-10 dari perjalanan penyakit. Pada pemeriksaan LCS
ditemukan pleocitosis. Pada infiltrasi pembuluh darah dapat merusak pembuluh
darah yang dapat menyebabkan vasculitis dengan terjadi kebocoran dan
ekstravasasi darah sehingga terjadi perdarahan. Setelah terjadi proses imun
leptospira dapat lenyap dari darah setelah terbentuk agglutinin. Setelah fase
leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan
ginjal dan okuler. Dalam perjalana pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan
toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa
organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada endotel kapiler (Zein,
2008).
Organ-organ yang sering terkena leptospira adalah sebagai berikut:
1. Ginjal
Nefritis Interstisial dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk
lesi yang dapat terjadi tanpa disertai gangguan fungsi ginjal. Sedangkan
jika terjadi gagal ginjal akibat nekrosis tubular akut
2. Hati
Pada organ hati terjadi nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel
limfosit fokal dan proliferasi sel Kupfer.
3. Jantung
Kelainan miokradium dapat fokal ataupun difus berupa interstisial edema
dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan
dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal dan juga
endokarditis.
4. Otot Rangka
Pada otot rangka terjadi nekrosis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri
otot yang terjadi pada leptospira disebabkan oleh invasi langsung
leptospira.
5. Mata
Leptospira dapat masuk ke uvea anterior yang dapat menyebabkan uveitis
anterior pada saat fase leptospiremia.
6. Pembuluh Darah
Bakteri yang menempel pada dinding pembuluh darah dapat terjadi
vaskulitis dengan manifetasi perdarahan termasuk pada mukosa, organ-
organ visceral dan perdarahan bawah kulit.
7. Susunan Saraf Pusat (SSP)
Manifestasi masuknya bakteri ke dalam LCS adalah meningitis.
Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibodi, bukan pada saat
masuk ke LCS. Terjadi penebalan meninges dengan peningkatan sel
mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic,
biasanya paling sering disebabkan oleh L.canicola.
8. Weil’s Disease
Weil disease merupakan leptopsirosis yang berat ditandai dengan ikterus
biasanya disertai dengan perdarahan, anemia, azotemia, gangguan
kesadaran dan demam tipe continue. Serotype leptospira yang
menyebabkan weil disease adalah serotype icterohaemorrhagica.
Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatic dan disfungsi
vascular (Zein, 2008).
5 Manifestasi Klinis
Terdapat dua bentuk manifestasi klinis penyakit leptospirosis, yaitu ringan
(anikterik) dan berat (ikterik, atau Weil’s syndrome). Masa inkubasi leptospirosis
adalah 2-20 hari, dari sejumlah individu yang terpapar, 90% akan berkembang
menjadi leptospirosis anikterik, dan 10% menjadi leptospirosis ikterik
(Nasronudin, 2007).

Tabel 2.1. Manifestasi Klinis Leptospirosis

Manifestasi klinis leptospirosis berlangsung bifasik yaitu fase septik dan


fase imun. Fase septik berakhir pada minggu pertama dengan manifestasi flu like
syndrome. Pada fase ini leptospira ditemukan di dalam darah. Kemudian diikuti
fase imun yang berlangsung pada hari ke 4-30 dengan ditandai produksi antibodi
dan sekresi Leptospira dalam urine (Nasronudin, 2007).

Gambar 2.3. Mnifestasi Bifasik Leptospirosis (Nasronudin, 2007)


6 Diagnosis
a. Anamnesis:
- Panas mendadak tinggi
- Sakit kepala frontal
- Mata kemerahan
- Nyeri-nyeri otot termasuk otot betis
b. Pemeriksaan Fisik:
- Injeksi silier
- Bradikardia
- Nyeri tekan otot
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Perdarahan
(Nasronudin, 2007)
c. Pemeriksaan Penunjang:
- Darah lengkap: peningkatan laju endap darah, leukositosis atau sedikit
leukopenia, trombositopenia
- Urin lengkap: proteinuria, leukosituria, hematuria mikroskopis
- Faal ginjal: peningkatan BUN dan serum kreatinin
- Faal hepar: peningkatan SGOT, SGPT, bilirubin
- Mikroskop lapangan gelap: leptospirosis dapat dideteksi bila jumlahnya
mencapai 104 Leptospira/ml.
(Nasronudin, 2007)
- Radioimmunoassay, positif: 104 – 105 Leptospira/ ml
- Serologis: IgM antibodi dalam darah positif pada 5-7 hari setelah muncul
gejala. Genus dan serogrup dapat ditentukan melalui MAT (microscopic
aglutination test).
- Biomolekuler dengan PCR (polymerase chain reaction).
(Longo, et al, 2013).
7 Penatalaksanaan
Terapi antibiotik diberikan terutama pada leptospirosis berat. Leptospirosis
ringan diobati dengan doksisiklin, ampisilin, atau amoksisilin. Untuk leptospirosis
berat, penisilin intravena G telah lama menjadi obat pilihan, meskipun
sefalosporin generasi ketiga, sefotaksim dan ceftriaxone telah menjadi banyak
digunakan. Alternatif regimen yang lain adalah ampisilin, amoksisilin, atau
eritromisin. Beberapa antibiotik lainnya mungkin berguna-misalnya, pengujian
broth microdilution telah menunjukkan kepekaan terhadap makrolid,
fluoroquinolones, dan carbapenems (Gomps, 2014).
Tabel 2.2 Antibiotik Leptospirosis
(Zein, 2008).
Pasien azotemia prarenal dilakukan rehidrasi dan pemantauan fungsi ginjal
sedangkan pasien gagal ginjal segera lakukan dialisis peritoneal. Pemantauan
fungsi jantung perlu dilakukan pada hari pertama rawat inap dengan mencakup
aspek terapi kausatif, simtomatik dan supportif (Gasem, 2009).
Prinsip umum dengan terapi suportif dan simptomatik meliputi pemberian
analgetik untuk rasa sakit. Bila perlu diberikan analgesik kuat seperti morfin
atau petidin. Nyeri kepala hebat dapat dihilangkan dengan pungsi lumbal.
Pada pasien yang gelisah diberikan penenang. Anemia berat diperbaiki dengan
tranfusi darah. Keseimbangan cairan dan elektrolit diberikan pada diare dan
muntah-muntah. Pada pasien gagal ginjal dan gangguan fungsi hati berat
memerlukan terapi suportif intensif (Gasem, 2009).
Pada leptospirosis ringan yang belum ada komplikasi perlu dilakukan
pirasi pemantuaan tekanan darah, suhu, denyut nadi danrespirasi secara
berkala tiap jam atau empat jam sesuai dengan kondisi klinik pasien disertai
dengan pencatatan produksi urin (Gasem, 2009).
Pemberian nutrisi juga diperlukan diperhatikan. Jumlah kalori yang
diberikan harus seimbang dan suseai dengan kebutuhan agar tidak membebani
fungsi hati dan ginjal yang sudah menurun. Kalori diberikan dengan perhitungan:
0-20 kg : 100 kalori/kgBB/hari
20-30 kg : ditambahkan 50 kalori/kgBB/hari
30-40 kg : ditambahkan 25 kalori/kgBB/hari
40-50 kg : ditambahkan 10 kalori/kgBB/hari
50-60 kg : ditambahkan 5 kalori/kgBB/hari
Karbohidrat diberikan dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya
ketosis protein. Protein yang mengandung asam aminoesensial, diberikan
sebanyak 0,2-0,5 gram/kgBB/hari. Pemberian kalium dibatasi sampai 40 mEq/hari
karena kemungkinan sudah terjadi hiperkalemia. Kadar natrium tidak boleh terlalu
tinggi, maksimal 0,5 gram/hari (Gasem, 2009).
Hindari pemberian cairan terlalu banyak, karena akan membebani kerja
hati dan ginjal. Pemberian cairan harus memadai dan tidak berlebihan sehingga
perlu dilakukan pemantauan keseimbangan cairan secara tepat. Pada pasien
dengan muntah hebat atau tidak mau makan, diberi makanan secara
parenteral (Gasem, 2009).
Penanganan Khusus:
a . Hiperkalemia merupakan keadaan yang harus segera ditangan karena
dapat menyebabkan cardiac arrest. Sebagai tindakan darurat dapat
diberikan garam kalsium glukonas 1 gram atau glukosa insulin 10-20 U
reguler insulin dalam infus dekstrosa 40%.
b. Asidosis metabolik diberikan natrium bikarbonas dengan dosis= 0,3 x
kgBB x defisit HCO3 plasma dalam mEq/L.
c. Hipertensi perlu diberikan anti hipertensi.
d. Gagal jantung diberikan pembatasan cairan, digitalis, dan diuretik.
e. Perdarahan diatasi dengan tranfusi. Perdarahan merupakan komplikasi
serius leptospirosis dan terjadi akibat penumpukan bahan toksik dan
trombositopati.
(Gasem, 2009).
8 Pencegahan
Pencegahan leptospirosis cukup sulit karena paparan leptospira sulit
diprediksi. Sering diperlukan vaksinasi pada binatang peliharaan, pengendalian
tikus, dan desinfeksi lingkungan kerja. Juga diberlakukan larangan berenang di
daerah tercemar (Tjokroprawiro, 2007).
9 Prognosis
Semua kasus leptospirosis ringan dapat sembuh sempurna, berbeda den-gan
leptospirosis berat yang mempunyai angka CFR tinggi, antara 5 -40%. Prognosis
ditentukan oleh berbagai faktor seperti virulensi kuman leptospira, kondisi
fisik'pasien, umur pasien, adanya ikterik, adanya gagal ginjal akut, gangguan fungsi
hati berat seru cepat lambatnya penanganan oleh tim medik. Faktor-faktor sebagai
indikator prognosis mortalitas, yaitu :
- usia > 60 tahun
- Produksi urin
- Kadar kreatinin > 10 mg/dL
- Kadar ureum > 200 mg/dL
- Kadar albumin serum
- Kadar bilirubin > 25 mg/dL
- Trornbositopenia
- Anemia
- Adanya komplikasi
- Adanya sesak nafas
- Adanya abnormalitas EKG
- Adanya infiltrat alveolar pada pencitraan paru.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2015. www.depkes.go.id. Diakses pada 28 Februari 2015 pukul 17.00
WIB.
Gasem MH et al. 2009. Long pentraxin PTX3 is associated with mortality and
disease severity in severe leptospirosis. Journal of Infection. 58: 425–432.
Gomp, F. 2014. Leptospirosis. Medscape. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/220563-overview#showall. Diakses
pada 19 Februari 2015 pukul 20.00 WIB.
Jawetz E. 2010. Medical Microbiology, 25th ed, New York : Mc Graw Hill.
Longo, Dan L, et al. 2013. Leptospirosis. on Harrison’s Manual of Medicine. 18th
edition. New York: McGraw-Hill medicine. 7: 677-678.
Nasronudin. 2007. Biologi Molekuler dan Aplikasi Klinis Leptospirosis. Dalam
Penyakit Infeksi di Indonesia- Solusi Kini & Mendatang. Surabaya:
Airlangga University Press hal: 145-152
Tjokroprawiro, Askandar, dkk. 2007. Leptospirosis. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University Press. VII: 308-309.
Zein, Umar. 2008. Leptospirosis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing. Hal 2807-2811.

Вам также может понравиться