Вы находитесь на странице: 1из 37

PENGENDALIAN VEKTOR DBD

FASE DEWASA

Nama Kelompok :

1. Novita Anandika (P07133318005)


2. Asep Susanto (P07133318006)
3. Asyifa Anwar Solihah (P07133318012)
4. Hasna Atin Nafisah (P07133318014)
5. Opheleia Margret QMG (P07133318016)
6. Alfi Mashuril (P07133318018)
7. Wahyu Nugroho Joko W (P07133318019)
8. Laila Novi K (P07133318021)

D IV ALIH JENJANG KESEHATAN LINGKUNGAN


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN
YOGYAKARTA
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala,
karena berkat rahmat-Nya saya bisa menyelesaikan tugas mata kuliah Vektor
dengan tugas makalah yang berjudul Pengendalian Vektor DBD Fase Dewasa.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu Kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca, mahasiswa
dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 30 Maret 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan 3

BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Cara pengendalian 4
2.2 Hasil tingkat efektifitas cara pengendalian 10
2.3 Dampak pengendalian vektor fase dewasa 14

BAB III
PENUTUP 19
3.1 Kesimpulan 19
3.2 Saran 19

DAFTAR PUSTAKA 20
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nyamuk termasuk dalam subfamili Culicinae, family Culicidae (Nematocera:
Diptera) merupakan vektor atau penular utama dari penyakit arbovirus atau
arthropod-borne viruses. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 2500 spesies
nyamuk meskipun sebagian besar dari spesies - spesies nyamuk ini tidak
berasosiasi dengan penyakit virus (arbovirus) dan penyakit - penyakit lainnya.
Jenis - jenis nyamuk yang menjadi vektor utama, biasanya adalah Aedes sp.,
Culex sp., Anopheles sp. dan Mansonia sp. (Sembel, 2009).
Aedes adalah genus nyamuk awalnya ditemukan di daerah tropis dan
subtropis. Hal ini dianggap sangat invasif di alam dan dapat membawa
berbagai patogen yang dapat ditularkan ke manusia. Spesies Aedes aegypti L.
dan Aedes albopictus (Skuse) adalah vektor utama yang menjadi perhatian di
seluruh dunia. Aedes aegypti merupakan vektor utama yang mentransmisikan
virus yang menyebabkan demam berdarah. (R. C. Russell, 2005). Aedes sp.
merupakan vektor pembawa penyakit DBD, chikungunya, demam kuning,
filariasis, radang otak atau encephalitis.
Aedes aegypti merupakan nyamuk yang dapat berperan sebagai vektor
berbagai macam penyakit diantaranya Demam Berdarah Dengue (DBD).
Walaupun beberapa spesies dari Aedes sp. dapat pula berperan sebagai vektor
tetapi Aedes aegypti tetap merupakan vektor utama dalam penyebaran
penyakit Demam Berdarah Dengue. (Lawuyan S, 1996 ; Yotopranoto S dkk.,
1998 ; Soegijanto S, 2003).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi salah satu masalah
kesehatan yang penting di Indonesia. Jenis nyamuk yang menyebarkan
penularan penyakit DBD yaitu nyamuk Aedes sp. Cara penularan Virus
Dengue (VirDen) berupa transsexual dimana induk jantan ke induk betina,
tetapi bisa juga berupa transovaril dari induk betina kepada keturunannya.
Vektor Aedes sp penyebarannya bisa sangat meluas bahkan mulai dari
daerah perkotaan (urban) dengan jumlah penduduk yang sangat padat dan
bahkan daerah perdesaan (rural). Salah satu upaya pengendalian vektor
nyamuk bisa dengan melakukan pembatasan vektor. Nyamuk vektor DBD
bisa dikembangbiakkan menggunakan Tempat Perkembangbiakan (TP) yang
berupa wadah (container) berisi air jernih yang diletakkan di dalam dan di
sekitar lingkungan rumah. Bahkan berdasarkan survei yang telah dilakukan,
angka jentik Aedes sp di beberapa daerah masih memiliki angka yang tinggi.
Penyakit Demam Berdarah adalah penyakit infeksi oleh virus Dengue yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dengan ciri demam tinggi
mendadak disertai manifestasi pendarahan dan bertendesi menimbulkan
renjatan (shock) dan kematian (Ditjen PPM&PL, 2001). Nyamuk Aedes
aegypti betina menghisap darah manusia setiap 2 hari. Tempat hinggap yang
disukai nyamuk jenis ini adalah benda-benda yang tergantung, seperti
pakaian, kelambu, atau tumbuhan di dekat tempat berkembang biaknya.
Penyebaran penyakit Demam berdarah Dengue (DBD) di Indonesia kian
mengancam. Berdasarkan data yang diperoleh dari Profil Kesehatan
Indonesia pada tahun 2017, jumlah kasus DBD mencapai 59.047 orang dari
261.890.872 jiwa. Serta jumlah kasus meninggan mencapai 444 jiwa dari
59.047 kasus. Berdasarkan dari Data Profil Kesehatan Provinsi DIY, jumlah
kasus dan kematian tahun 2017 sebanyak 1642 jiwa dan 7 jiwa. Sehingga
perlu dilakukannya tindakan pencegahan dan pengendalian kasus DBD.
Untuk itu akan disajikan beberapa cara pengendalian vektor DBD pada fase
dewasa dalam mengendalikan terjadinya peningkatan kasus DBD.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana cara pengendalian vektor DBD fase dewasa?
2. Bagaimana hasil tingkat efektifitas cara pengendalian vektor DBD fase
dewasa?
3. Bagaimana dampak pengendalian vektor DBD fase dewasa?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui berbagai macam cara pengendalian vektor DBD fase
dewasa.
2. Untuk mengetahui hasil tingkat efektifitas cara pengendalian vektor DBD
fase dewasa.
3. Untuk mengetahui dampak pengendalian vektor DBD fase dewasa.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Demam Berdarah Dengue (DBD)

A. Definisi DBD

Demam dengue adalah penyakit infeksi akut yang sering kali muncul dengan

gejala sakit kepala , sakit pada tulang , sendi, dan otot, serta ruam merah pada kulit.

Demam berdarah dengue sendiri ditandai dengan empat manifestasi klinik yang utama,

yakni demam tinggi, pendarahan, pembengkakan hati, dan pada beberapa kasus yang

parah terjadi kegagalan sirkulasi darah. Penyakit DBD adalah penyakit infeksi yamg

disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui perantara vector nyamuk aedes

aegypti dan aedes albopictus yang ditandai dengan demam mendadak 2-7 hari tanpa

penyebab yang jelas, lelah/lesu, gelisah, nyeri pada ulu hati, disertai dengan pendarahan

pada kulit berupa bintik-bintik(ptechiae), lebam(echymosis), atau ruam (pupura).

Kadang-kadang terjadi mimisan ,muntah darah,kesadaran menurun atau renjatan (shock).

Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama karena dapat

menyerang semua golongan umur dan menyebabkan kemati8an khususnya pada anak dan

kejadian luar biasa (wabah). Namun dalam dekade terakhir terlihat adanya kecenderungan

kenaikan proporsi penderita DBD pada orang dewasa.

B. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus dengue
merupakan virus untai tunggal positif RNA dengan diameter 30nm terdiri dari
asam ribonukleat dengan berat molekul 4 x 106(Suhendro et al., 2006).
Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue,
keempat serotipe ditemukan di Indonesia dan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus lain
seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus(Suhendro et al.,
2006).
C. Epidemiologi
Negara dengan iklim tropis dan subtropis merupakan tempat potensial
berkembangnya virus Dengue dan di perkirakan sekitar 3,6 milliar orang berisiko
untuk terjangkit penyakit DB, diperkirakan terdapat 50 hingga 200 juta infeksi
dengue, dengan 500.000 merupakan DBD dan Dengue Shock Syndrome dengan
lebih dari 20.000 kematian (Murrayet al.,2013). Wilayah dengan penyebaran
Aedes aegypti dapat dilihat pada gambar berikut ini

Dengue ditetapkan menjadi “penyakit paling penting yang ditularkan oleh


nyamuk di seluruh dunia” pada tahun 2012 oleh WHO karena penyebarannya
yang sangat luas dan menyebabkan kerugian secara ekonomi(Murrayet al., 2013).
Sekitar 75% populasi yang terjangkit DB terdapat di negara-negara Asia-
Pasifik, dimana 1.3 juta orang dengan risiko dengue terdapat di negara Asia
Tenggara. Pada tahun 2010, 187,333 kasus dilaporkan dari Negara Asia Tenggara,
saat ini 8 Negara Asia Tenggara tergolong daerah hiperendemik dengan
keberadaan ke- 4 seroype virus(Murrayet al., 2013).
Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat Indonesia sebagai
Negara dengan kasus tertinggi DBD di Asia Tenggara dengan penyebaran dan
peningkatan yang begitu pesat setiap tahunnya. Pada tahun 2009 angka kejadian
kasus DBD 158.912 dimana 32 provinsi terjangkit DBD (97%) jumlah angka
kejadian ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 137.469.
Peningkatan tersebut mungkin disebabkan oleh mobilitas penduduk yang
tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan
dan distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya(Achmadi, 2010).
Gambaran angka kejadian DBD di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut ini

D. Vektor penyakit demam berdarah dengue (dbd)

1. Klasifikasi Aedes sp.

Philum : Antrophoda
Kelas : Insecta
Ordo : Dipthera
Famili : Culicidae
Sub Famili : Culicidae
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti
Aedes albopictus
2. MORFOLOGI Aedes sp.

Aedes aegypti, berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk
rumah yaitu Culex sp, mempunyai warna dasar yang hitam dengan bintik-bintik
putih pada bagian badannya terutama pada kakinya.Aedes aegypti juga dikenal
dari ciri morfologinya yang spesifik yaitu mempunyai gambaran menyerupai
bentuk violin atau lira (lyre-form) yang putih pada punggungnya
(mesonotum)(Mulyanto, 2005).Perbedaan Aedes aegypti dan Aedes albopictus
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Aedes aegypti Aedes albopictus

Nama lain Yellow fever mosquito Asian tiger


mosquito

Morfologi Pola perak berbentuk lira atau violin pada Satu garis perak
punggung dan garis putih pada kaki pada punggung
dan garis putih
pada kaki

Penyebaran Daerah urban, lebih sering dalam ruangan Semak-semak


(indoors) atau taman, lebih
sering luar
ruangan
(outdoors)

Target Manusia, sedikit menyerang mamalia lainnya Menyerang


mamalia atau
hewan bertulang
belakang lainnya

Vektor Utama dari dengue Utama dengue di


beberapa tempat

3. Tempat Perindukan Aedes sp.

Gambar 2.3 Tempat Perindukan Aedes sp.


(Mulyanto, 2005)

Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-tempat berisi air bersih
yang berada di dalam rumah atau berdekatan dengan rumah penduduk, biasanya
tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Tempat perindukan tersebut berupa
tempat perindukan “buatan manusia”, seperti tempayan atau gentong tempat
penyimpanan air minum, bak mandi, tangki atau menara air, talang hujan, jamban
atau pot bunga, kaleng, botol dan ban mobil yang terdapat di halaman rumah atau
di kebun yang berisi air hujan juga berupa tempat perindukan alami seperti
kelopak daun tanaman, tempurung kelapa dan lubang pohon yang berisi hujan.
Aedes aegypti dan Aedes albopictus sering ditemukan hidup bersama-sama
(Mulyanto, 2005).

4.Daur Hidup Aedes sp.

Gambar DAUR HIDUP Aedes sp.


(Zettel & Kaufman, 2013)

Aedes aegypti merupakan serangga yang mengalami holometabolous


(metamorphosis sempurna) yang terdiri dari siklus telur-larva-pupa-dewasa.
Nyamuk dewasa betina dapat menghasilkan rata-rata 100-200 telur dalam satu
siklus dan dapat bertelur hingga lima kali sepanjang hidupnya. Telur akan
diletakan satu per satu pada area yang lembab baik yang alami seperti lubang
pohon maupun buatan seperti kaleng bekas. Telur akan diletakan diatas
permukaan air dan diletakan di banyak tempat. Telur ini berbentuk oval dengan
panjang 1 mm dan memiliki permukaan yang halus. Pada cuaca hangat telur akan
menetas dalam 2 hari sedangkan pada cuaca dingin akan menetas dalam 7 hari,
telur tersebut dapat bertahan dalam kekeringan hingga 1 bulan lamanya dan
menetas dan menjadi larva pada saat terkena air (Zettel & Kaufman, 2013).
Larva Aedes aegypti bernafas melalui siphon yang pendek dan mengalami 3
kali pengelupasan kulit (ecdysis atau moulting) dalam jangka waktu 7 hari,
berturut-turut menjadi larva stadium 2, 3 dan larva stadium 4 yang kemudian akan
berubah bentuk menjadi pupa (Zettel & Kaufman, 2013).
Pupa Aedes aegypti memiliki kemampuan unik untuk bergerak dan merespon
terhadap stimulus, selama 2 hari akan bertahan dalam fase pupa kemudian akan
berkembang jadi dewasa(Zettel & Kaufman, 2013).

5. Penyebaran Aedes sp.

Penyebaran Aedes aegypti yang kosmopolit dan menjangkau daerah yang sangat
luas erat kaitannya dengan perkembangan sistem transportasi. Di Indonesia,
penyebaran spesies nyamuk dari kota-kota pelabuhan ke kota-kota di pedalaman
termasuk di desa-desa diakibatkan oleh transportasi yang menyangkut tempat-
tempat penampungan air hujan seperti drum, kaleng, ban bekas dan benda-benda
lainnya yang berisi larva Aedes aegypti. Penyebaran populasi Aedes aegypti juga
erat kaitannya dengan perkembangan pemukiman penduduk akibat didirikannya
rumah baru yang dilengkapi dengan sarana pengadaan air untuk keperluan sehari-
hari (Marisa, 2007).

6. Umur Aedes sp.

Pengamatan mengenai umur Aedes aegypti yang dilakukan di laboratorium


bagian parasitologi FKUI menghasilkan data tentang kemampuannya untuk
bertahan hidup selama 2 bulan jika ditempatkan dalam kandang nyamuk yang
berada dalam suhu 28º C dan kelembaban udara 80% serta diberi air gula sebagai
makanan sehari-harinya. Dialam bebas, diperkirakan umur Aedes aegypti sekitar
10 hari, hal ini diketahui dengan melakukan pembedahan ovarium yang
menunjukan adanya satu corpus luteum.Dalam jangka waktu tersebut Aedes
aegypti sudah mampu mengembangbiakan virus Dengue dan menularkan melalui
cucukan nyamuk sehingga disebut sebagai efficient vector(Marisa, 2007).

7. Jarak Terbang Aedes sp.

Aedes aegypti merupakan nyamuk penerbang jarak pendek yang mampu terbang
kira-kira 50 m dari tempat perindukannya.Hal ini berkaitan dengan habitatnya
yang dekat dengan manusia dan banyak ditempat yang padat
penduduk.Ditemukan nyamuk dewasa pada jarak 2 km dari tempat
perindukannya, disebabkan oleh pengaruh angin atau transportasi yang membawa
Aedes aegypti(Marisa, 2007).

E. Patogenesis Dan Patofisiologi

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih


diperdebatkan.Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue
dan sindrom renjatan dengue(Suhendro et al., 2006).
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah :
a) Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pad monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut
antibody dependent enhancement (ADE);
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;

c) Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi


antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag;

d) Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan


terbentuknya C3a dan C5a(Suhendroet al., 2006).
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang
virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi
anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang
tinggi(Suhendroet al., 2006).
Kurang dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan
peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi
makrofag yang me-fagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga
virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin
dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet
activating factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi
sel endotel dan terjadi kebocoran plasma disertaipeningkatan C3a dan C5a terjadi
melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan
terjadinya kebocoran plasma(Suhendro et al., 2006).
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi
sumsum tulang dan destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.Gambaran
sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler
dan supresi megakariosit. Setelah keadaan resolusi tercapai akan terjadi
peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombositopenia. Destruksi
trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi terhadap
virus dengue, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di
perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan
pelepasan ADP, peningkatan kadar beta-tromoboglobulin dan PF4 yang
merupakan petanda degranulasi tromobosit(Suhendroet al., 2006).
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik
(tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa
namun tidak melalui aktivasi kontak(Suhendroet al., 2006)

F. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau
sindrom syok dengue (SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam 2-7
hari, yang diikuti oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah
tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak
mendapat pengobatan tidak adekuat(Suhendroet al., 2006).
G. Diagnosis

Langkah penegakan diagnosis suatu penyakit seperti anamnesis, pemeriksaan


fisik, pemeriksaan penunjang tetap berlaku pada penderita infeksi dengue.Riwayat
penyakit yang harus diketahui adalah riwayat demam/sakit, tipe demam, jumlah
asupan per oral, adanya tanda bahaya, diare, kemungkinan adanya gangguan
kesadaran, urine output, juga adanya orang lain di lingkungan kerja/rumah yang
sakit serupa(Sudjana, 2010).
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah pemeriksaan tanda vital,
kesadaran penderita, status hidrasi, status hemodinamik, terjadinya
hepatomegali/asites/kelainan abdomen lainnya, adanya ruam atau ptekie atau
tanda perdarahan lainnya, bila tanda perdarahan spontan tidak ditemukan maka
lakukan uji torniket. Sensitivitas uji torniket ini sebesar 30 % sedangkan
spesifisitasnya mencapai 82 %(Sudjana, 2010).
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematokrit
dan nilai hematokrit yang tinggi (sekitar 50 % atau lebih) menunjukkan adanya
kebocoran plasma, selain itu hitung trombosit cenderung memberikan hasil yang
rendah.Diagnosis konfirmatif diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium, yaitu
isolasi virus, deteksi antibodi dan deteksi antigen atau RNA virus.Imunoglobulin
M (Ig M) biasanya dapat terdeteksi dalam darah mulai hari ke-5 onset demam,
meningkat sampai minggu ke-3 kemudian kadarnya menurun.Ig M masih dapat
terdeteksi hingga hari ke-60 sampai hari ke-90.Pada infeksi primer, konsentrasi Ig
M lebih tinggi dibandingkan pada infeksi sekunder. Pada infeksi primer,
Imunoglobulin G (Ig G) dapat terdeteksi pada hari ke-14 dengan titer yang rendah
(<1:640), sementara pada infeksi sekunder Ig G sudah dapat terdeteksi pada hari
ke-2 dengan titer yang tinggi (>1 :2560) dan dapat bertahan seumur
hidup(Sudjana, 2010).
Pada foto rontgen dada dapat ditemukan efusi pleura, terutama pada
hemitoraks tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam
posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites
dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG(Suhendroet al.,
2006).

BAB III

PEMBAHASAN

A. Cara pengendalian vektor DBD fase dewasa


Konsep-Konsep pengendalian terpadu yang dimaksud adalah mengintegrasikan
cara-cara pengendalian yang potensial secara efektif, ekonomis dan
ekologis untuk menekan populasi serangga vector pada area yang dapat
ditoleransi. Konsep pengendalian tersebut dapat diterapkan pada jenis
serangga vector penyakit lain selain Ae. aegyipti dan Ae. abopictus yang
berhubungan dengan penyakit tular vaktor pada manusia. Konsep
pengendalaian hama terpadu itu sudah lazim digunakan untuk
mengendalikan serangga hama dan vector penyakit tanaman di seluruh
dunia yang manyangkut implementasi pola pikir dan metode yang benar
dalam penanggulangan hama dan penyakit pada waktu yang tepat.
Prinsip tersebut menyangkut usaha mencari dan menyusun cara-
cara alternative yang kompatibel dan efektif mengendalikan hama dan
penyakit sasaran. Di Indonesia cara tersebut telah dituangkan ke dalam
UU Budidaya tanaman sebagai landasan dasar penyusunan kebijakan
perlindungan tanaman di Indonesia. Konsep tersebut lahir sebagai jalan
keluar dari jebakan penggunaan pestisida sintetis yang semakin mahal dan
beresiko tinggi terhadap ancaman kesehatan manusia dan lingkungan
hidup (Oka, 1995; Supartha, 2003).
Di Amerika cara pengendalian terpadu vektor tersebut dikonsepkan
tidak hanya untuk vector DBD yang ditularkan oleh Ae. aegypti tetapi juga
untuk pengendalian populasi vektor penyakit lain seperti tikus, jenis
nyamuk lain dan juga lalat dengan pertimbangan matang melalui fisik,
kimia dan hayati (Lloyd, 2003). Saat ini hanya cara pengendalian yang
tepat menanggulangi penyakit DB dan DBD adalah menurunkan populasi
vector untuk mengurangi kontak antara vector dengan manusia dan
mengendalikan habitat larva dari beragam lokasi. Cara ini memerlukan
pengetahuan yang memadai untuk mengenali jenis dan karakter, habitat
dan perilaku hidup atau bioekologinya dan arti penting nyamuk vector
tersebutsebagai penular penyakit yang mematikan itu. Untuk itu
diperlukan pengembangan teknologi dan strategi berbasis masyarakat
untuk menjamin keberlanjutan usaha pengendalian tersebut.
Perkembangan Teknologi Pengendalian Vektor. Disadari bahwa
penanggulangan penyakit DBD masih bertumpu pada pengelolaan vector
dan pemutusan siklus hidupnya. Untuk itu banyak teknologi yang
dikembangkan untuk pengendalian vektor tersebut baik yang berbasis
alam, fisik-mekanik, kimia maupun masyarakat.
1. Rui et al. (2003 dalam Kardinan, 2007) mengembangkan teknologi yang
dapat menghindari nyamuk dengan lotion atau krem anti nyamuk. Lotion
anti nyamuk yang telah beredar di Indonesia berbahan aktif DEET
(Diethyl toluamide) dengan bahan kimia sintetis beracun dalam
konsentrasi 10-15% (Gunandini, 2006).
2. Selain itu ada juga dikhlorvos dalam semprotan (spray) bentuk aerosol
yang telah dilarang peredarannya oleh Pemerintah Indonesia karena
membahayakan kesehatan manusia. Sementara propoxur masih
diperbolehkan, walaupun telah menimbulkan ribuan korban jiwa di
Bophal-India. Pengendalian vektor secara space spraying yaitu pengabutan
(thermal fogging) dan Ultra Low Volume (cold fogging) dengan
insektisida Malathion dari golongan organofosfat sudah digunakan sejak
tahun 1972 di Indonesia (Sudyono, 1983 dalam Suwasono & Soekirno,
2004).
3. Insektisida Bendiocarb dari golongan karbamat juga pernah diuji coba
dengan formulasi ULV juga (Hadi, et.al., 1993). Cara itu sangat lazim
dilakukan pada saat outbreak terutama pada bulan-bulan kritis serangan
DBD. Walaupun bahan aktif yang digunakan itu tidak selalu efektif
mengendalikan vaktor karena di beberapa tempat, Aedes sudah
menunjukkan resistrensi terhadap beberapa insektisda yang digunakan.
Jirakanjanakit (2007b) melaporkan bahwa hampir semua populasi
Ae.aegypti menunjukkan ketahanan terhadap insektisida pyrethroid,
permethrin, dan deltamethrin yang umum digunakan di Thailand.
Kalaupun pengasapan masih digunakan hasilnya hanya dapat menghalau
atau membunuh imago tetapi tidak termasuk larvanya. Pengasapan dengan
Malathion 4 persen dengan pelarut solar, yang dinilai masih efektif hanya
mampu membunuh imago pada radius 100-200 meter yang hanya
efektifitas satu sampai dua hari (Judarwanto, 2007). Dalam kondisi seperti
itu, penggunaan insekstisda selain kurang efektif dan mahal juga
berbahaya terhadap kesehatan dan lingkungan.Untuk mengantisipasi
peristiwa tersebut banyak juga peneliti pestisida melakukan eksplorasi
bahan aktif insektisida dari tanaman dan mikroba.Kardinan (2007)
mencoba ekstrak beberapa jenis tanaman selasih sebagai pengusir nyamuk.
Peneliti tersebut berupaya memilih selasih yang mengandung bahan aktif
eugenol, tymol, cyneol atau estragole sebagai bahan - bahan aktif repellent
(pengusir) serangga. Selasih berpotensi sebagai repelen Ae.aegypti
walaupun daya proteksinya masih di bawah DEET. Daya proteksinya
yang tertinggi adalah sebesar 79,7% yang dicapai selama satu jam
(Kardinan, 2007). Malaysia kini juga mengembangkan nyamuk rekayasa
penjantan mandul yang dilepas di daerah nelayan Pulau Ketam,
Malaysia.Pelepasan nyamuk Ae.egypti jantan yang telah menjalani
rekayasa genetika itu kemudian diharapkan mengawini nyamuk Ae. egypti
betina di alam. Dengan demikian nyamuk betina yang ada di alam akan
menetaskan telur steril yang tidak bisa menghasilkan keturunan. Cara ini
masih dalam tahap uji coba yang keefektifannya belum diketahui. Selain
itu, cara tersebut membutuhkan teknolgi tinggi dengan biaya mahal.
Sementara menunggu hasil tersebut diperlukan intensitas penggunaan
teknologi yang tersedia.Penggunaan bakteri Bacillus thuringiensis
israeliensis (Bti) sebagai senyawa bakteri juga dilaporkan efektif
mengendalikan larva (Lutz, 2000). Bahan aktif itu telah dijual secara
komersial dengan nama dagang Bactimos, Teknar, dan Vectobac dalam
bentuk yang bervariasi yaitu cairan, granula, dan briket. Bahan aktif yang
dimakan oleh larva, mengeluarkan toksin yang menyebabkan kematian
pada larva dalam satu hari. Insektisida microba tersebut sangat selektif,
tidak membahayakan ikan, atau organism yang hidup di air lainnya,
tanaman, kehiduoan liar, hama atau manusia. Keefektifan larvisida
tersebut bertahan sekitar 2 hari tergantung cara aplikasinya. Untuk
formulasi briketnya dapat bertahan dan efektif sampai satu bulan karena
pelepasan toksinya secara perlahan.
4. Pengendalian fisik-mekanik dengan cara klasik seperti pemasangan
kelambu terutama pada anak-anak sudah dilakukan. Walaupun cara
tersebut efektif mencegah kontak antara vektor dengan inang namun tidak
banyak yang melakukan cara tersebut karena alasan teknis pemasangan
kelambunya dinilai rumit. Cara yang sudah umum dilakukan adalah
pemberantasan habitat (sarang) nyamuk melalui gerakan serentak 3 M
(menguras bak air.menutup tempat yang potensial menjadi sarang
berkembang biak, mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung
air). Tempat penampungan air seperti bak mandi, kolam, pot bunga berair
sudah dilakukan gerakan abatisasi. Secara konseptual gerakan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M seminggu sekali cukup
memadai untuk memotong siklus hidup nyamuk tersebut.Walaupun
demikian secara factual kasus serangan penyakit masih mengikuti pola
lama yaitu setiap awal musim hujan ledakan populasi vector meningkat
dan kasus serangan DBD pun mencuat. Fenomena itu terjadi karena upaya
PSN dengan 3M Plus itu belum dilakukan secara sistematis, serentak,
berkelanjutan. Gerakan serentak mengenai PSN di seluruh negeri Kuba
pernah dirintis 100 tahun yang lalu oleh Jenderal WC Gorgas untuk
memberantas nyamuk Aedes aegypti (Judarwanto, 2007). Upaya itu
dilakukan untuk memberantas demam kuning (yellow fever disease).
Gerakan yang dilakukan besar-besaran itu berhasil gemilang. Gerakan itu,
kemudian ditiru oleh Malaysia dan Singapura dengan menjatuhkan sanksi
denda kepada kepala keluarga yang rumahnya kedapatan jentik nyamuk.
Akankah gerakan seperti ini mungkin dilakukan di Indonesia. Karena dari
sekian banyak teknologi modern yang ditawarkan untuk pengendalian
nyamuk demam berdarah, cara pengendalian fisik-mekanik dengan PSN
masih sangat relevan, murah, dan ramah terhadap lingkungan.
Upaya itu memerlukan regulasi, koordinasi, sosialisasi, dan
amunisi (pendanaan) untuk mengubah pola pikir membangun komitmen
masyarakat dan aparat. Walaupun demikian tidak ada cara tunggal yang
efektif mengendalikan vector tersebut. Oleh karena itu diperlukan
integrasi cara yang kompetibel yang pelaksanaannya perlu
dikoordinasikan dengan pihak terkait. Prinsip Dasar pengendalian Vektor
terpadu (PVT). Prinsip dasar PVT tersebut adalah surveilen epidemiologi
dan entomologis, manajemen lingkungan sehat, kajian bioekologi
serangga vector, sosialisasi dan program aksi kesehatan lintas instansi,
partisipasi aktif masyarakat. Prinsip dasar itu dikembangkan dari tetra
hedron hubungan vector dengan inang, lingkungan dan manusia sebagai
factor utama yang patut menyadari posisinya dalam pengelolaan terpadu
vector penyakit.
Terkait dengan vector tersebut, perlu diketahui spesiesnya, sifat
bioekologisnya, sifat penularan virusnya. Berkaitan dengan inang juga
perlu diketahui kepadatan, karakteristik social budayanya. Faktor
lingkungan seperti diuraikan sebelumnya mencakup lingkungan biotic
(musuh alami, makanan, inang, demografi) dan abiotik (geografis dan
meteorologist) yang erat hubungan dengan dinamika populasi vector.
Pada tahun 1980 WHO (1980) telah memberikan model
pengelolaan lingkungan untuk tujuan pengendalian vector virus DBD
melalui modifikasi dan manipulasi lingkungan serta mengubah kebiasaan
dan perilaku manusianya untuk mengurangan kontak vector – inang –
pathogen. Keberhasilan di dalam mengelola vector tergantung dari
pemahaman manusia terhadap eksistensi dan esensi vector sebagai penular
penyakit DBD yang kehidupannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan
dan inang (sehat ataupun sakit).Keberadaan manusia dalam system
tetrahedron itu dimaksudkan untuk melihat tanggung jawab dan
komitmennya dalam pengelolaan lingkungan untuk tujuan memotong
siklus hidup vector dan penyakit sehingga inang penyakit baik manusia
maupun hewan peliharaannya dapat dicegah dan dikurangi kasus sakitnya.
Secara sosiologis individu manusia dan kelompok masyarakat
merupakan modal manusia (human capital) dan modal social (social
capital) yang perlu mendapat penekanan dalam system pengelolaan
terpadu. Untuk itu partisipasi masyarakat sangat penting dalam system
PVT baik secara individu maupun kelompok.Selain itu kearifan lokal yang
dimiliki oleh individu atau masyarakat Bali perlu dipelajari sebagai modal
budaya (cultural capital) dalam penanggulangan DBD di Bali.Penggunaan
modal social tersebut pernah sukses untuk program KB dengan system
Banjarnya. Modal social dan budaya tersebut sangat memungkinkan untuk
mengefektifkan gerakan serentak pengendalian jentik nyamuk di seluruh
Bali baik berkaitan dengan PSN atau aplikasi program 3 M plusnya atau
manajemen lingkungan untuk mewujudkan kondisi bebas jentik di masing-
masing rumah sebagai mana diterapkan oleh Malaysia dan Singapura.
Strategi dan Teknologi Utama.
Gerakan PSN atau 3 M tersebut mesti lebih diintensifkan melalui
penguatan legislasi (di tingkat provinsi, kabupaten dan desa), sosialisasi,
koordinasi dan juga amunisi (pendanaan) secara berkelanjutan.Bila
kegiatan itu dapat dilakukan secara intensif dan berkelanjutan, maka
masalah vector dan kasus DBD yang selalu mencuat pada awal musim
hujan dapat dikurangi.Dengan demikian rasa aman masyarakat semakin
terjamin dan citra Bali sebagai daerah tujuan wisata tidak lagi menjadi
berita. Walaupun demikian sosialisasi untuk mengubah pola pikir
masyarakat ke arah itu tidak mudah, untuk itu diperlukan sosialisasi dan
pengembangan teknologi-teknologi alternative terkait musuh alami,
insetisida botani dan mikroba, zat pengatur tumbuh dan juga regulasi
melalui system karantina juga penting dirintis yang penggunaanya
disesuaikan situasi dan kondisi penyakit, dan dinamika populasi dan
struktur komunitas serangga vector di lapangan. Untuk penanganan kasus
vector dan DBD tidak bisa lepas dari kegiatan surveilens untuk
mendapatkan informasi segar dalam penyusunan program strategis
selanjutnya baik berkaitan dengan penelitian, pengembangan teknologi,
advokasi, edukasi masyarakat maupun pengadaan bahan teknologi sebagai
antisipasi bila terjadi keadaan luar biasa (KLB). Berdasarkan hasil
surveilen tersebut, indicator angka bebas jentik (ABJ) dapat dekietahui
peta penyebaran, status Aedes hubungannya dengan kasus DBD. Apakah
daerah tersebut endemis atau bukan.Berdasaran indicator tersebut juga,
strategi dan teknologi pengendaliannya dapat dirancang dan dijadwalkan
operasionalnya.Bila keadaan serangan DBD luar biasa dan vector tinggi
maka straegi dan teknologinya mesti yang bekerja cepat seperti
insektisida.

B. Hasil Tigkat Efektivitas Cara Pengendalian Vector DBD Fase Dewasa


Dengan Insektisida
Mengingat obat dan vaksin pencegah penyakit DBD hingga
dewasa ini belum ada, maka upaya pemberantasan penyakit DBD
dititikberatkan pada pemberantasan nyamuk penularnya disamping
kewaspadaan dini terhadap kasus DBD. Pengendalian vektor DBD yang
selama ini telah dilakukan adalah pengendalian nyamuk dewasa melalui
Spray menggunakan Thermal Fogging dan Cold Fogging, Fogging
menggunakan malathion dan pengendalian dengan kelambu insektisida.
Penggunaan insektisida dalam pengendalian vector DBD dalam
masyarakat dapat meguntungkan sekaligus dapat merugikan. Insektisida
bila digunakan tepat sasaran, tepat dosis dan tepat waktu dan cakupan akan
mampu mengendalikan vector dan mengurangi dampak negative terhadap
lingkungan. Namun jika digunakan terus menerus dan tidak sesuai aturan
maka akan berdampak buruk kepada kesehatan dan lingkungan,
menyebabkan matinya musuh alami dan resistensi vektor, bahkan
penggunaan insektisida yang tidak tepat dapat menimbulkan efek samping
keracunan. Menurut Jurnal Sunaryo, Puji Astuti, Dyah Widiastuti tentang
gambaran pemakaian insektisida rumah tangga di daerah endemis
Kabupaten Grobogan tahun 2013 terjadinya resistensi Ae. Aegypti sebagai
vector demam berdarah terhadap insektisida kelompok organophospat dan
piretroid di beberapa daerah di Jawa Tengah salah satunya adalah karena
pengaruh paparan dari insektisida rumah tangga. Hasil uji susceptibility
terhadap insektisida kelompok sintetik piretroid seperti permethrin 0,25%
di Kabupaten Grobogan ternyata juga terjadi kecenderungan resisten.
Secara umum insektisida kelompok sintetik piretroid sudah lama
digunakan di Indonesia yaitu insektisida yang dicampurkan untuk
pencelupan kelambu, insektisida kelompok ini juga sebagian besar
digunakan untuk insektisida rumah tangga dan unttuk pengendalian vector
DBD dengan fogging.
1. Spray/Aerosol
- Formulasi Aerosol
Dalam ruangan tertutup formulasi ini cukup efektif dan tidak terlalu
berbahaya karena tidak mengeluarkan asap tetapi mengeluarkan zat
aktifnya di udara. Ukuran partikelnya sangat kecil sehingga dapat
dengan mudah menembus celah-celah kecil. Formulasi aerosol
mempunyai kekurangan yaitu sulit untuk dapat menentukan dosis yang
tepat karena penggunaannya sangat bergantung pada volume ruangan
serta kerentanan organisme. Residu insektisida ini akan tertinggal
dipermukaan yang disemprotkan dan dapat membunuh serangga yang
melaluinya setelahh beberapa waktu kemudian. Untuk nyamuk dewasa
saat ini dilakukan dengan cara pengasapan (thermal fogging) atau
pengabutan (cold fogging = Ultra Low Volume). Pemberantasan
nyamuk dewasa tidak menggunakan cara penyemprotan pada dinding
(residual spraying) karena nyamuk Ae. aegypti tidak suka hinggap
pada dinding, melainkan pada benda-benda yang tergantung seperti
kelambu dan pakaian yang tergantung. Untuk pemakaian di rumah
tangga dipergunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan di
dalam kamar-kamar atau ruangan misalnya, golongan organophospat
atau pyrethroid synthetic
2. Fogging menggunakan malathion
- Formulasi
Beberapa formula seperti Malathion dan Fenthion dengan bahan aktif
pestisida peretroid dan agrisol sebagai emulsifier (Rahmawati, 1995)
telah digunakan secara komersial walaupun sudah memenuhi standat
Paten FMC USA (1991) namun keefektifannya masih diragukan.
Formula tersebut emulsinya tidak stabil karena pamakaian emulsifier
yang kurang tepat, sehingga emulsi yang terbentuk hanya di
permukaan air saja. Hal ini dapat dilihat dari hasil fogging. Hanya
membunuh nyamuk saja sedangkan jentik yang berada di dalam air
tidak terbunuh. Dengan demikian vector pembawa penyakit demam
berdarah tidak dapat diberantas secara tuntas karena jentik masih
bertahan hidup pada saatnya akan bermertafosa menjadi nyamuk.
Upaya pengadaan insektisida alternative yang dapat digunakan dalam
pengendalian vector DBD perlu dilakukan dengan melakukan uji coba
insektisida dari golongan lainnya atau campuran kedua golongan.
Penelitian kombinasi beberapa insektisida golongan organofosfat dan
karbamat telah dilakukan oleh Supriyo et al (2017) dan sifat-sifat fisik
dari formulasi tersebut sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh
Komisi Pestisida Indonesia, untuk itu Edy Supriyo melakukan
penelitian lanjutan tentang efikasi formula insektisida berbahan aktif
propoxure dan malathion terhadap vektor penyakit dbd untuk menguji
efikasi formulasi campuran golongan organofosfat dan karbamat dan
mendapatkan hasil bahwa semua hewan uji nya 90% mati pada dosis
0,250 cc/L sehingga disimpulkan bahwa dosis yang terbaik adalah
0,25-0,75 cc/L dan waktu yang dibutuhkan untuk 20 nyamuk mati 24
jam, kandungan bahan aktif pestisida 7,6 gr/L.

3. Kelambu insektisida
- Formulasi
Dalam rangka pencegahan penularan penyakit DBD dapat dilakukan dengan
upaya menghindari gigitan nyamuk. Salah satu upaya yang dilakukan
dengan tidur menggunakan kelambu yang berinsektisida. Beberapa
bahan yang digunakan sebagai kelambu yang dapat dipoles denga
insektisida yaitu poliester, katun dan plastik. Bahan aktif insektisida K-
Otab termasuk golongan bahan kimia piretroid dengan komposisi
Deltamethrin 25% merupakan insektisida yang digunakan dalam
pemolesan kelambu di Kabupaten Banyumas tahun 2004. Untuk
mengetahui lebih jauh efektiktivitas residu insektisida K-Otab pada
bahan kelambu poliester, katun dan plastik maka perlu dilakukan
evaluasi dengan uji bioassay. Kelambu yang digunakan berukuran
panjang 1,9 m, lebar 1,5 m, tinggi 1,9 m, dengan bahan polyester.
Proses pencelupan insektisida dilakukan di Loka Litbang P2B2
Banjarnegara, dicelup dengan permethrin 100 EC (Emulsiviable
Concentrate) dengan dosis 0,5 gr a.i/m (ai=active ingredients).
Permethrin termasuk dalam kategori syntetic pyrethroid dan
merupakan racun kontak dan lambung. Penilaian daya bunuh IBN
dilakukan dengan uji hayati (Bioassay). Pengujian dilakukan empat
kali dengan interval dua minggu, satu bulan, tiga bulan, empat bulan
setelah kelambu dipakai. Kegiatan dilakukan dengan cara memilih
secara random tiga kelambu yang dipakai untuk diuji. Kerucut
dikontakkan dengan kelambu tersebut, masing-masing kerucut diisi
20-25 ekor nyamuk uji. Pengamatan dilakukan dalam 30 menit dan
satu jam setelah nyamuk dikontakkan, kemudian nyamuk dipindahkan
ke gelas plastik dan dipelihara selama 24 jam. Untuk kontrol
digunakan kelambu tidak berinsektisida. Untuk kontrol tempelkan
kerucut pada potongan kelambu yang tidak berinsektisida. Jumlah
kematian nyamuk setelah 24 jam dicatat pada form. Insektisida pada
kelambu dikatakan efektif apabila jumlah kematian setelah holding 24
jam >70 %. Evaluasi efektivitas kelambu berinsektisida LLIN
(deltametrin 55 mg/m2) pasca pemakaian oleh penduduk selama 6
bulan (belum dicuci), dilakukan dengan uji bioassay terhadap nyamuk
vektor DBD di laboratorium, kematian 100%. Sampel kelambu
setelah dicuci 20 kali, kematian nyamuk uji menjadi 95,56%. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa LLIN (deltametrin) masih efektif
membunuh nyamuk DBD pasca pencucian 20 kali.
4. Hasil Tingkat Efektifitas Cara Pengendalian Vektor DBD fase Dewasa.
Jadi untuk tingkat keefektivitasan dari 3 pengendalian diatas berdasarkan
Jurnal yang didapat sebagai referensi bahwa penggunaan kelambu
insektisida cukup efektif dalam memberantas nyamuk DBD fase
dewasa, kemudian Spray dan fogging. Akan tetapi apabila dilakukan
fogging kombinasi beberapa insektisida golongan organofosfat dan
karbamat maka ini jauh lebih efektif dibandingkan pengendalian Spray
dengan cara pengasapan (thermal fogging) atau pengabutan (cold
fogging = Ultra Low Volume.
C. Dampak Pengendalian Vektor DBD Fase Dewasa
Insektisida merupakan salah satu alat yang telah terbukti mampu
mengendalikan serangga kesehatan termasuk vektor. Penggunaan
insektisida untuk pengendalian vektor dapat berperan ganda atau bagaikan
pedang bermata dua, dapat memutus rantai penularan penyakit dengan
mematikan vektor, menurunkan populasi dan umur vektor dengan cepat,
namun bila penggunaannya kurang bijak akan memberikan dampak
negatif antara lain menimbulkan kematian organisme bukan sasaran,
menimbulkan masalah lingkungan dan menimbulkan resistensi bagi
vektor.
Penggunaan golongan insektisida untuk stadium dewasa Sasaran
intervensi menggunakan insektisida dalam pengendalian vektor bisa
dilakukan terhadap terhadap stadium dewasa atau pradewasa. Seperti
diketahui bahwa resistensi adalah hasil dari adaptasi dan proses seleksi
yang pada akhirnya akan terjadi perubahan genetika dalam populasi
vektor. Oleh karena itu untuk mencegah dan mengurangi terjadinya
percepatan resistensi, sebaiknya tidak menggunakan insektisida dari jenis
dan atau golongan insektisida yang cara kerjanya sama untuk
pengendalian stadium pradewasa dan dewasa.
1. Resistensi
Resistensi adalah kemampuan populasi vektor untuk membunuh spesies
vektor tersebut (WHO, 1992). Jenis resistensi dapat berupa resistensi
tunggal (multiple), resistensi ganda dan resistensi silang (cross
restance)
2. Proses terjadinya resistensi
Resistensi berkembang dalam populasi spesies vektor melalui generasi atau
seleksi akibat paparan insektisida terhadap spesies vektor dan metode
aplikasi, dosis, serta cakupan intervensi. Proses terjadinya resistensi
dapat berlangsung secara cepat atau lambat dalam ukuran bulan
hingga tahun, serta frekuensi penggunaan insektisida. Faktor
pendukung terjadinya resistensi adalah penggunaan insektisida yang
sama atau sejenis secara terus menerus, penggunaan bahan aktif atau
formulasi yang mempunyai aktifitas yang sama, effek residual lama
dan biologi sepesies vektor. Penyemprotan residual memberi peluang
lebih besar menciptakan generasi resisten dibandinkan dengan cara
aplikasi yang lain, karena peluang kontak antara vektor dengan bahan
aktif itu lebih besar. Faktor pendukung lainnya adalah penggunaan
insektisida yang sama terhadap terhadap semua stadiumpertumbuhan
vektor (telur, larva, pupa,nimfa, dan dewasa).
3. Mekanisme resistensi
Penggunaan insektisida saja sebenarnya tidak menimbulkan resistensi,
resistensi terjadi kalau secara alami terjadi mutasi genetika
memungkinkan proporsi yang kecil dari populasi (kurang dari 1dari
100.000 individu) mampu bertahan dan tetap hidup akibat insektisida.
Bila hal ini terjadi secara terus menerus dengan menggunakan
insektisida yang sama, serangga yang telah resistent akan
bereproduksi dan akan terjadi perubahan genetika yang menurunkan
keturunan resistance (filialnya), yang pada akhirnya akan
meningkatkan proporsi vektor resistan pada populasi. Proses seleksi
akibat penggunaan insektisida terjadi serupa dengan perubahan
evolusi lainnya, dan proses akan terjadi lebih lama jika frekuensi gena
pembawa resistant rendah. Gena resistant berkisar dari dominant,
semidominan sampai resesif. Mekanisme resistensi dapat digolongkan
dalam dua kategori, yaitu biokimiawi dan perilaku (behavioural
resistance).
a. Mekanisme Biokimiawi berkaitan dengan fungsi enzimatik di
dalam tubuh vektor yang mampu mengurai molekul insektisida
menjadi molekul-molekul lain yang tidak toksik (detoksifikasi).
Molekul insektisida harus berinteraksi dengan molekul target
dalam tubuh vektor sehingga mampu menimbulkan keracunan
terhadap sistem kehidupan vektor untuk dapat menimbulkan
kematian. Detoksifikasi insektisida terjadi dalam tubuh spesies
vektor karena meningkatnya populasi yang mengandung enzim
yang mampu mengurai molekul insektisida. Tipe resistensi
dengan mekanisme biokimiawi ini sering disebut sebagai
resistensi enzimatik
b. Resistensi Perilaku ( behavioural resistance)
Individu dari populasi mempunyai struktur eksoskelet sedimikian rupa
sehingga insektisida tidak mampu masuk dalam tubuh vektor.
Secara alami vektor menghindar kontak dengan insektisida,
sehingga insektisida tidak sampai kepada “targetnya”.

4. Jenis – jenis Resisten


Menurut Soedarto (2008), resistensi dibagi menjadi resistensi bawaan
(natural resistancy) dan resistensi yang didapat (acquired resistancy).
a. Resistensi bawaan
Serangga yang secara alami sensitif terhadap suatu insektisida akan
menghasilkan secara alami keturunan yang juga sensitif terhadap
insektisida tersebut. Sedangkan serangga yang secara alami sudah
resisten terhadap suatu insektisida, keturunannya juga akan
resisten terhadap insektisida bersangkutan. Selain itu, serangga
yang sensitif terhadap suatu insektisida jika mengalami mutasi
(yang terjadi satu kali setiap beberapa ratus atau ribu tahun) dapat
berkembang menjadi serangga yang resisten terhadap insektisida
tersebut.
b. Resistensi didapat
Akibat pemberian dosis insektisida yang di bawah dosis lethal dalam
waktu yang lama, serangga target yang sebelumnya sensitif dapat
menyesuaikan diri berkembang menjadi resisten terhadap
insektisida tersebut. Berdasar atas jenis insektisida yang tidak lagi
peka terhadap serangga, resistensi dibedakan menjadi resistensi
silang (cross resistance) dan resistensi ganda (double resistance)
(Hoedojo & Zulhasril, 2000; Soedarto, 2008).
c. Cross resistance
Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang satu
golongan atau satu seri, misalnya resisten terhadap malathion dan
diazinon (satu golongan) atau kebal terhadap DDT dan
metoksiklor (satu seri).
d. Double resistance
Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang berbeda
golongannya atau serinya, misalnya resisten terhadap malathion
dan DDT (beda golongan) atau DDT dan dieldrin (beda seri).
Jika satu jenis serangga telah resisten terhadap suatu insektisida, maka
dosis insektisida harus dinaikkan. Jika dosis insektisida terus-
menerus dinaikkan, maka pada dosis tertentu akan dapat
membahayakan kesehatan manusia dan hewan serta berdampak
buruk pada lingkungan hidup. Karena itu, insektisida harus diganti
dengan jenis atau golongan lain atau diciptakan insektisida baru
untuk memberantas serangga tersebut (Soedarto, 2008).
BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Pengendalian penyakit DBD masih bertumpu pada pengelolaan vector
dan pemutusan siklus hidupnya. Untuk itu banyak teknologi yang
dikembangkan untuk pengendalian vektor tersebut baik yang berbasis
alam, fisik-mekanik, kimia maupun masyarakat.
2. Pengendalian vektor DBD yang selama ini telah dilakukan adalah
pengendalian nyamuk dewasa melalui Spray menggunakan Thermal
Fogging dan Cold Fogging, dengan lotion atau krem anti nyamuk,
insektisida Bendiocarb dari golongan karbamat, pengendalian fisik-
mekanik dengan cara klasik seperti pemasangan kelambu,
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M seminggu sekali
3. Penggunaan kelambu insektisida cukup efektif dalam memberantas
nyamuk DBD fase dewasa, kemudian Spray dan fogging.
4. Dampak pengendalian vektor fase dewasa dapat menimbulkan masalah
lingkungan dan menimbulkan resistensi bagi vektor.

B. Saran
Diperlukan strategi pengendalian terpadu dengan cara mengintegrasikan cara-cara
pengendalian yang potensial secara efektif, ekonomis dan ekologis untuk
menekan populasi serangga vector pada aras yang dapatditoleransi. Cara-
cara pengendalian potensial tersebut dapat diambil dari teknologi yang
sudah berkembang di anataranya cara biologis, fisik, mekanis, kimiawi,
dan regulasi yang penerapannya disesuaikan dinamika populasi vector,
status penyakit, situasi dan kondisilingkungan serta masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA

Andi Darma Kartini, Nita Rahayu, Sri Sulasmi, Yuniarti Suryatinah. 2017. Status
kerentanan Aedes aegypti terhadap beberapa golongan insektisida di
Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian. Balai Litbang P2B2 Tanah
Bumbu, Kalimantan Selatan.

Yazmin Armin Abdullah, Aditya Yudhana, Ratih Novita Praja, Maya Nurwartanti
Yunita. 2017. Deteksi Gen Resisten Insektisida Organofosfat pada Aedes
aegypti di Banyuwangi, Jawa Timur Menggunakan Polymerase Chain
Reaction. Jurnal Penelitian. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas
Airlangga. Surabaya, Jawa Timur

Anonym. 2011.Pengendalian Nyamuk.


http://www.pc3news.com/index.php?cat=news&id=911&sub=2&view=ne
ws.
Anonym. 2011. Pengendalian Nyamuk Dengan Pendekatan Secara Non Kimiawi
Lebih Diutamakan.http://masterhama.wordpress.com/2009/04/22/pengend
alian-nyamuk-dengan-pendekatan-secara-non-kimiawi-lebih-diutamakan/.
Nurul Kapitanhitu, Indri Grysela Karauwan, Janno B B Bernadus, Greta P
Wahongan. 2017. Uji Resistensi Nyamuk Aedes Aegypty Dewasa
Terhadap Cypermethrin Di Daerah Pasar Tua Bitung. Jurnal Penelitian.
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Anonym. 2011. Vektor DBD. http://indonesiannursing.com/2008/05/vektor-dbd.
Anonym. 2011. Etiologi dan Patogenesis DBD.
http://indonesiannursing.com/2008/05/etiologi-dan-patogenesis-dbd/.
Anonym. 2011. Program Penanggulangan DBD di Indonesia.
http://indonesiannursing.com/2008/05/program-penanggulangan-dbd-di-
indonesia/.
Anonym. 2011. Nyamuk Transgenic Harapan Baru Penanggulangan DBD

Вам также может понравиться