Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
FASE DEWASA
Nama Kelompok :
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Cara pengendalian 4
2.2 Hasil tingkat efektifitas cara pengendalian 10
2.3 Dampak pengendalian vektor fase dewasa 14
BAB III
PENUTUP 19
3.1 Kesimpulan 19
3.2 Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nyamuk termasuk dalam subfamili Culicinae, family Culicidae (Nematocera:
Diptera) merupakan vektor atau penular utama dari penyakit arbovirus atau
arthropod-borne viruses. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 2500 spesies
nyamuk meskipun sebagian besar dari spesies - spesies nyamuk ini tidak
berasosiasi dengan penyakit virus (arbovirus) dan penyakit - penyakit lainnya.
Jenis - jenis nyamuk yang menjadi vektor utama, biasanya adalah Aedes sp.,
Culex sp., Anopheles sp. dan Mansonia sp. (Sembel, 2009).
Aedes adalah genus nyamuk awalnya ditemukan di daerah tropis dan
subtropis. Hal ini dianggap sangat invasif di alam dan dapat membawa
berbagai patogen yang dapat ditularkan ke manusia. Spesies Aedes aegypti L.
dan Aedes albopictus (Skuse) adalah vektor utama yang menjadi perhatian di
seluruh dunia. Aedes aegypti merupakan vektor utama yang mentransmisikan
virus yang menyebabkan demam berdarah. (R. C. Russell, 2005). Aedes sp.
merupakan vektor pembawa penyakit DBD, chikungunya, demam kuning,
filariasis, radang otak atau encephalitis.
Aedes aegypti merupakan nyamuk yang dapat berperan sebagai vektor
berbagai macam penyakit diantaranya Demam Berdarah Dengue (DBD).
Walaupun beberapa spesies dari Aedes sp. dapat pula berperan sebagai vektor
tetapi Aedes aegypti tetap merupakan vektor utama dalam penyebaran
penyakit Demam Berdarah Dengue. (Lawuyan S, 1996 ; Yotopranoto S dkk.,
1998 ; Soegijanto S, 2003).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi salah satu masalah
kesehatan yang penting di Indonesia. Jenis nyamuk yang menyebarkan
penularan penyakit DBD yaitu nyamuk Aedes sp. Cara penularan Virus
Dengue (VirDen) berupa transsexual dimana induk jantan ke induk betina,
tetapi bisa juga berupa transovaril dari induk betina kepada keturunannya.
Vektor Aedes sp penyebarannya bisa sangat meluas bahkan mulai dari
daerah perkotaan (urban) dengan jumlah penduduk yang sangat padat dan
bahkan daerah perdesaan (rural). Salah satu upaya pengendalian vektor
nyamuk bisa dengan melakukan pembatasan vektor. Nyamuk vektor DBD
bisa dikembangbiakkan menggunakan Tempat Perkembangbiakan (TP) yang
berupa wadah (container) berisi air jernih yang diletakkan di dalam dan di
sekitar lingkungan rumah. Bahkan berdasarkan survei yang telah dilakukan,
angka jentik Aedes sp di beberapa daerah masih memiliki angka yang tinggi.
Penyakit Demam Berdarah adalah penyakit infeksi oleh virus Dengue yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dengan ciri demam tinggi
mendadak disertai manifestasi pendarahan dan bertendesi menimbulkan
renjatan (shock) dan kematian (Ditjen PPM&PL, 2001). Nyamuk Aedes
aegypti betina menghisap darah manusia setiap 2 hari. Tempat hinggap yang
disukai nyamuk jenis ini adalah benda-benda yang tergantung, seperti
pakaian, kelambu, atau tumbuhan di dekat tempat berkembang biaknya.
Penyebaran penyakit Demam berdarah Dengue (DBD) di Indonesia kian
mengancam. Berdasarkan data yang diperoleh dari Profil Kesehatan
Indonesia pada tahun 2017, jumlah kasus DBD mencapai 59.047 orang dari
261.890.872 jiwa. Serta jumlah kasus meninggan mencapai 444 jiwa dari
59.047 kasus. Berdasarkan dari Data Profil Kesehatan Provinsi DIY, jumlah
kasus dan kematian tahun 2017 sebanyak 1642 jiwa dan 7 jiwa. Sehingga
perlu dilakukannya tindakan pencegahan dan pengendalian kasus DBD.
Untuk itu akan disajikan beberapa cara pengendalian vektor DBD pada fase
dewasa dalam mengendalikan terjadinya peningkatan kasus DBD.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana cara pengendalian vektor DBD fase dewasa?
2. Bagaimana hasil tingkat efektifitas cara pengendalian vektor DBD fase
dewasa?
3. Bagaimana dampak pengendalian vektor DBD fase dewasa?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui berbagai macam cara pengendalian vektor DBD fase
dewasa.
2. Untuk mengetahui hasil tingkat efektifitas cara pengendalian vektor DBD
fase dewasa.
3. Untuk mengetahui dampak pengendalian vektor DBD fase dewasa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi DBD
Demam dengue adalah penyakit infeksi akut yang sering kali muncul dengan
gejala sakit kepala , sakit pada tulang , sendi, dan otot, serta ruam merah pada kulit.
Demam berdarah dengue sendiri ditandai dengan empat manifestasi klinik yang utama,
yakni demam tinggi, pendarahan, pembengkakan hati, dan pada beberapa kasus yang
parah terjadi kegagalan sirkulasi darah. Penyakit DBD adalah penyakit infeksi yamg
disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui perantara vector nyamuk aedes
aegypti dan aedes albopictus yang ditandai dengan demam mendadak 2-7 hari tanpa
penyebab yang jelas, lelah/lesu, gelisah, nyeri pada ulu hati, disertai dengan pendarahan
Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama karena dapat
menyerang semua golongan umur dan menyebabkan kemati8an khususnya pada anak dan
kejadian luar biasa (wabah). Namun dalam dekade terakhir terlihat adanya kecenderungan
B. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus dengue
merupakan virus untai tunggal positif RNA dengan diameter 30nm terdiri dari
asam ribonukleat dengan berat molekul 4 x 106(Suhendro et al., 2006).
Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue,
keempat serotipe ditemukan di Indonesia dan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus lain
seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus(Suhendro et al.,
2006).
C. Epidemiologi
Negara dengan iklim tropis dan subtropis merupakan tempat potensial
berkembangnya virus Dengue dan di perkirakan sekitar 3,6 milliar orang berisiko
untuk terjangkit penyakit DB, diperkirakan terdapat 50 hingga 200 juta infeksi
dengue, dengan 500.000 merupakan DBD dan Dengue Shock Syndrome dengan
lebih dari 20.000 kematian (Murrayet al.,2013). Wilayah dengan penyebaran
Aedes aegypti dapat dilihat pada gambar berikut ini
Philum : Antrophoda
Kelas : Insecta
Ordo : Dipthera
Famili : Culicidae
Sub Famili : Culicidae
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti
Aedes albopictus
2. MORFOLOGI Aedes sp.
Aedes aegypti, berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk
rumah yaitu Culex sp, mempunyai warna dasar yang hitam dengan bintik-bintik
putih pada bagian badannya terutama pada kakinya.Aedes aegypti juga dikenal
dari ciri morfologinya yang spesifik yaitu mempunyai gambaran menyerupai
bentuk violin atau lira (lyre-form) yang putih pada punggungnya
(mesonotum)(Mulyanto, 2005).Perbedaan Aedes aegypti dan Aedes albopictus
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Morfologi Pola perak berbentuk lira atau violin pada Satu garis perak
punggung dan garis putih pada kaki pada punggung
dan garis putih
pada kaki
Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-tempat berisi air bersih
yang berada di dalam rumah atau berdekatan dengan rumah penduduk, biasanya
tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Tempat perindukan tersebut berupa
tempat perindukan “buatan manusia”, seperti tempayan atau gentong tempat
penyimpanan air minum, bak mandi, tangki atau menara air, talang hujan, jamban
atau pot bunga, kaleng, botol dan ban mobil yang terdapat di halaman rumah atau
di kebun yang berisi air hujan juga berupa tempat perindukan alami seperti
kelopak daun tanaman, tempurung kelapa dan lubang pohon yang berisi hujan.
Aedes aegypti dan Aedes albopictus sering ditemukan hidup bersama-sama
(Mulyanto, 2005).
Penyebaran Aedes aegypti yang kosmopolit dan menjangkau daerah yang sangat
luas erat kaitannya dengan perkembangan sistem transportasi. Di Indonesia,
penyebaran spesies nyamuk dari kota-kota pelabuhan ke kota-kota di pedalaman
termasuk di desa-desa diakibatkan oleh transportasi yang menyangkut tempat-
tempat penampungan air hujan seperti drum, kaleng, ban bekas dan benda-benda
lainnya yang berisi larva Aedes aegypti. Penyebaran populasi Aedes aegypti juga
erat kaitannya dengan perkembangan pemukiman penduduk akibat didirikannya
rumah baru yang dilengkapi dengan sarana pengadaan air untuk keperluan sehari-
hari (Marisa, 2007).
Aedes aegypti merupakan nyamuk penerbang jarak pendek yang mampu terbang
kira-kira 50 m dari tempat perindukannya.Hal ini berkaitan dengan habitatnya
yang dekat dengan manusia dan banyak ditempat yang padat
penduduk.Ditemukan nyamuk dewasa pada jarak 2 km dari tempat
perindukannya, disebabkan oleh pengaruh angin atau transportasi yang membawa
Aedes aegypti(Marisa, 2007).
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau
sindrom syok dengue (SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam 2-7
hari, yang diikuti oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah
tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak
mendapat pengobatan tidak adekuat(Suhendroet al., 2006).
G. Diagnosis
BAB III
PEMBAHASAN
3. Kelambu insektisida
- Formulasi
Dalam rangka pencegahan penularan penyakit DBD dapat dilakukan dengan
upaya menghindari gigitan nyamuk. Salah satu upaya yang dilakukan
dengan tidur menggunakan kelambu yang berinsektisida. Beberapa
bahan yang digunakan sebagai kelambu yang dapat dipoles denga
insektisida yaitu poliester, katun dan plastik. Bahan aktif insektisida K-
Otab termasuk golongan bahan kimia piretroid dengan komposisi
Deltamethrin 25% merupakan insektisida yang digunakan dalam
pemolesan kelambu di Kabupaten Banyumas tahun 2004. Untuk
mengetahui lebih jauh efektiktivitas residu insektisida K-Otab pada
bahan kelambu poliester, katun dan plastik maka perlu dilakukan
evaluasi dengan uji bioassay. Kelambu yang digunakan berukuran
panjang 1,9 m, lebar 1,5 m, tinggi 1,9 m, dengan bahan polyester.
Proses pencelupan insektisida dilakukan di Loka Litbang P2B2
Banjarnegara, dicelup dengan permethrin 100 EC (Emulsiviable
Concentrate) dengan dosis 0,5 gr a.i/m (ai=active ingredients).
Permethrin termasuk dalam kategori syntetic pyrethroid dan
merupakan racun kontak dan lambung. Penilaian daya bunuh IBN
dilakukan dengan uji hayati (Bioassay). Pengujian dilakukan empat
kali dengan interval dua minggu, satu bulan, tiga bulan, empat bulan
setelah kelambu dipakai. Kegiatan dilakukan dengan cara memilih
secara random tiga kelambu yang dipakai untuk diuji. Kerucut
dikontakkan dengan kelambu tersebut, masing-masing kerucut diisi
20-25 ekor nyamuk uji. Pengamatan dilakukan dalam 30 menit dan
satu jam setelah nyamuk dikontakkan, kemudian nyamuk dipindahkan
ke gelas plastik dan dipelihara selama 24 jam. Untuk kontrol
digunakan kelambu tidak berinsektisida. Untuk kontrol tempelkan
kerucut pada potongan kelambu yang tidak berinsektisida. Jumlah
kematian nyamuk setelah 24 jam dicatat pada form. Insektisida pada
kelambu dikatakan efektif apabila jumlah kematian setelah holding 24
jam >70 %. Evaluasi efektivitas kelambu berinsektisida LLIN
(deltametrin 55 mg/m2) pasca pemakaian oleh penduduk selama 6
bulan (belum dicuci), dilakukan dengan uji bioassay terhadap nyamuk
vektor DBD di laboratorium, kematian 100%. Sampel kelambu
setelah dicuci 20 kali, kematian nyamuk uji menjadi 95,56%. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa LLIN (deltametrin) masih efektif
membunuh nyamuk DBD pasca pencucian 20 kali.
4. Hasil Tingkat Efektifitas Cara Pengendalian Vektor DBD fase Dewasa.
Jadi untuk tingkat keefektivitasan dari 3 pengendalian diatas berdasarkan
Jurnal yang didapat sebagai referensi bahwa penggunaan kelambu
insektisida cukup efektif dalam memberantas nyamuk DBD fase
dewasa, kemudian Spray dan fogging. Akan tetapi apabila dilakukan
fogging kombinasi beberapa insektisida golongan organofosfat dan
karbamat maka ini jauh lebih efektif dibandingkan pengendalian Spray
dengan cara pengasapan (thermal fogging) atau pengabutan (cold
fogging = Ultra Low Volume.
C. Dampak Pengendalian Vektor DBD Fase Dewasa
Insektisida merupakan salah satu alat yang telah terbukti mampu
mengendalikan serangga kesehatan termasuk vektor. Penggunaan
insektisida untuk pengendalian vektor dapat berperan ganda atau bagaikan
pedang bermata dua, dapat memutus rantai penularan penyakit dengan
mematikan vektor, menurunkan populasi dan umur vektor dengan cepat,
namun bila penggunaannya kurang bijak akan memberikan dampak
negatif antara lain menimbulkan kematian organisme bukan sasaran,
menimbulkan masalah lingkungan dan menimbulkan resistensi bagi
vektor.
Penggunaan golongan insektisida untuk stadium dewasa Sasaran
intervensi menggunakan insektisida dalam pengendalian vektor bisa
dilakukan terhadap terhadap stadium dewasa atau pradewasa. Seperti
diketahui bahwa resistensi adalah hasil dari adaptasi dan proses seleksi
yang pada akhirnya akan terjadi perubahan genetika dalam populasi
vektor. Oleh karena itu untuk mencegah dan mengurangi terjadinya
percepatan resistensi, sebaiknya tidak menggunakan insektisida dari jenis
dan atau golongan insektisida yang cara kerjanya sama untuk
pengendalian stadium pradewasa dan dewasa.
1. Resistensi
Resistensi adalah kemampuan populasi vektor untuk membunuh spesies
vektor tersebut (WHO, 1992). Jenis resistensi dapat berupa resistensi
tunggal (multiple), resistensi ganda dan resistensi silang (cross
restance)
2. Proses terjadinya resistensi
Resistensi berkembang dalam populasi spesies vektor melalui generasi atau
seleksi akibat paparan insektisida terhadap spesies vektor dan metode
aplikasi, dosis, serta cakupan intervensi. Proses terjadinya resistensi
dapat berlangsung secara cepat atau lambat dalam ukuran bulan
hingga tahun, serta frekuensi penggunaan insektisida. Faktor
pendukung terjadinya resistensi adalah penggunaan insektisida yang
sama atau sejenis secara terus menerus, penggunaan bahan aktif atau
formulasi yang mempunyai aktifitas yang sama, effek residual lama
dan biologi sepesies vektor. Penyemprotan residual memberi peluang
lebih besar menciptakan generasi resisten dibandinkan dengan cara
aplikasi yang lain, karena peluang kontak antara vektor dengan bahan
aktif itu lebih besar. Faktor pendukung lainnya adalah penggunaan
insektisida yang sama terhadap terhadap semua stadiumpertumbuhan
vektor (telur, larva, pupa,nimfa, dan dewasa).
3. Mekanisme resistensi
Penggunaan insektisida saja sebenarnya tidak menimbulkan resistensi,
resistensi terjadi kalau secara alami terjadi mutasi genetika
memungkinkan proporsi yang kecil dari populasi (kurang dari 1dari
100.000 individu) mampu bertahan dan tetap hidup akibat insektisida.
Bila hal ini terjadi secara terus menerus dengan menggunakan
insektisida yang sama, serangga yang telah resistent akan
bereproduksi dan akan terjadi perubahan genetika yang menurunkan
keturunan resistance (filialnya), yang pada akhirnya akan
meningkatkan proporsi vektor resistan pada populasi. Proses seleksi
akibat penggunaan insektisida terjadi serupa dengan perubahan
evolusi lainnya, dan proses akan terjadi lebih lama jika frekuensi gena
pembawa resistant rendah. Gena resistant berkisar dari dominant,
semidominan sampai resesif. Mekanisme resistensi dapat digolongkan
dalam dua kategori, yaitu biokimiawi dan perilaku (behavioural
resistance).
a. Mekanisme Biokimiawi berkaitan dengan fungsi enzimatik di
dalam tubuh vektor yang mampu mengurai molekul insektisida
menjadi molekul-molekul lain yang tidak toksik (detoksifikasi).
Molekul insektisida harus berinteraksi dengan molekul target
dalam tubuh vektor sehingga mampu menimbulkan keracunan
terhadap sistem kehidupan vektor untuk dapat menimbulkan
kematian. Detoksifikasi insektisida terjadi dalam tubuh spesies
vektor karena meningkatnya populasi yang mengandung enzim
yang mampu mengurai molekul insektisida. Tipe resistensi
dengan mekanisme biokimiawi ini sering disebut sebagai
resistensi enzimatik
b. Resistensi Perilaku ( behavioural resistance)
Individu dari populasi mempunyai struktur eksoskelet sedimikian rupa
sehingga insektisida tidak mampu masuk dalam tubuh vektor.
Secara alami vektor menghindar kontak dengan insektisida,
sehingga insektisida tidak sampai kepada “targetnya”.
A. Kesimpulan
1. Pengendalian penyakit DBD masih bertumpu pada pengelolaan vector
dan pemutusan siklus hidupnya. Untuk itu banyak teknologi yang
dikembangkan untuk pengendalian vektor tersebut baik yang berbasis
alam, fisik-mekanik, kimia maupun masyarakat.
2. Pengendalian vektor DBD yang selama ini telah dilakukan adalah
pengendalian nyamuk dewasa melalui Spray menggunakan Thermal
Fogging dan Cold Fogging, dengan lotion atau krem anti nyamuk,
insektisida Bendiocarb dari golongan karbamat, pengendalian fisik-
mekanik dengan cara klasik seperti pemasangan kelambu,
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M seminggu sekali
3. Penggunaan kelambu insektisida cukup efektif dalam memberantas
nyamuk DBD fase dewasa, kemudian Spray dan fogging.
4. Dampak pengendalian vektor fase dewasa dapat menimbulkan masalah
lingkungan dan menimbulkan resistensi bagi vektor.
B. Saran
Diperlukan strategi pengendalian terpadu dengan cara mengintegrasikan cara-cara
pengendalian yang potensial secara efektif, ekonomis dan ekologis untuk
menekan populasi serangga vector pada aras yang dapatditoleransi. Cara-
cara pengendalian potensial tersebut dapat diambil dari teknologi yang
sudah berkembang di anataranya cara biologis, fisik, mekanis, kimiawi,
dan regulasi yang penerapannya disesuaikan dinamika populasi vector,
status penyakit, situasi dan kondisilingkungan serta masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Darma Kartini, Nita Rahayu, Sri Sulasmi, Yuniarti Suryatinah. 2017. Status
kerentanan Aedes aegypti terhadap beberapa golongan insektisida di
Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian. Balai Litbang P2B2 Tanah
Bumbu, Kalimantan Selatan.
Yazmin Armin Abdullah, Aditya Yudhana, Ratih Novita Praja, Maya Nurwartanti
Yunita. 2017. Deteksi Gen Resisten Insektisida Organofosfat pada Aedes
aegypti di Banyuwangi, Jawa Timur Menggunakan Polymerase Chain
Reaction. Jurnal Penelitian. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas
Airlangga. Surabaya, Jawa Timur