Вы находитесь на странице: 1из 4

Nama : Indriyani

Kelas : IX

Biografi : Abu al-Hasan al-Asy'ari


bin Isma'il al-Asy'ari (Bahasa Arab ‫( )شعريﻷا إسماعيل بن الحسن ابو‬lahir: 873- wafat: 935), atau lebih dikenal
sebagai Imam Asy'ari merupakan seorang mutakallim yang berperan penting sebagai filsuf muslim sekaligus
pendiri Mazhab Asy'ariyah atau Asya'irah, mazhab kalam ahlussunnah wal jama'ah di samping Mazhab Al-
Maturidiyah. Berbeda dengan mazhab fikih yang memiliki empat imam besar yang dianggap sebagai
ahlussunnah wal jama'ah, yaitu Imam Syafi'i, Imam Hambali, Imam Maliki, dan Imam Hanafi, mazhab besar
dalam ilmu kalam yang tergolong ahlussunnah wal jama'ah hanya ada dua, yaitu Asy'ariyah (oleh Imam Abu
Al-Hasan Al-Asy'ari) dan Al-Maturidiyah (oleh Imam Abu Mansur Al-Maturidi), dimana ajaran keduanya
sejalan dan hampir sama alias sangat sedikit perbedaannya, sehingga seringkali dianggap memuat ajaran
yang sama. Perbedaan itu hanyalah dari sisi istilah ataupun hal-hal kecil saja. Namun ada yang menyangka
kalau mazhab Asy'ariyah adalah satu-satunya mazhab kalam ahlussunnah wal jama'ah. Hal itu dikarenakan
Asy'ariyah adalah mazhab kalam terbesar sejak satu milenia terakhir dan paling banyak dianut oleh umat
muslim, baik di Indonesia maupun dunia, bahkan dianut oleh ulama-ulama besar seperti Imam Nawawi
(ulama fikih dan hadis, penulis kitab Riyadhus Shalihin), Ibnu Katsir (ulama tafsir, penulis Tafsir Ibnu
Katsir), Imam Ghazali (ulama tasawuf, penulis kitab Ihya Ulumuddin), dan Imam As-Suyuthi (penulis kitab
Asbabun Nuzul), serta beberapa ulama hadis lainnya, sehingga beliau dianggap sebagai imam para ahli
hadis. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa kebanyakan ahli hadis dan bahkan hampir seluruh ulama
menganut mazhab ini. Sudah lebih dari seribu tahun mazhab Asy'ariyah menyandang predikat ahlussunnah
wal jama'ah dan inilah mazhab kalam mayoritas ulama serta umat muslim di seluruh penjuru dunia. Ajaran
Imam Asy'ari yang menjadi ciri khas dari aliran Asy'ariyah yang paling terkenal adalah tentang pembagian
sifat Allah dan Nabi menggunakan hukum akal yang dikenal sebagai akidah 50, dimana Allah memiliki 20
sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat ja'iz, sementara nabi memiliki 4 sifat wajib, 4 sifat mustahil, dan 1
sifat ja'iz. Ajaran ini juga dikenal dengan sifat 20 ketika dinisbatkan kepada Allah. Meski dahulunya berasal
dari golongan Mu'tazilah, Imam Asy'ari meninggalkan paham-paham Mu'tazilah (seperti mendahulukan akal
daripada dalil dalam Al-Qur'an dan Hadis; menganggap Al-Qur'an sebagai makhluk; memfasikkan pelaku
dosa besar; dan memungkiri kemungkinan melihat Allah karena beranggapan bila melihat Allah adalah
mungkin, maka Allah bertempat) lalu kembali ke arah ahlussunnah wal jama'ah dan menghancurkan Teologi
Mu'tazilah.

Latar Belakang

namanya Abul al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy'ari keturunan dari Abu Musa al-
Asy'ari, salah seorang perantara dalam sengketa antara ,Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah. Al-
Asy'ari lahir tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M [1] Al-
Asy'ari lahir di Basra, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad. pada waktu kecilnya ia berguru pada seo
rang Mu'tazilah terkenal, yaitu Al-Jubbai, mempelajari ajaran-
ajaran Muktazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus ampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit d
ari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-
buku kemuktazilahan. namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah, dan mendiri
kan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariah.Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di
rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang ia menyatakan bahwa i
a mula-
mula mengatakan bahwa Quran adalah makhluk; Allah Swt tidak dapat dilihat mata kepala; perbuatan buruk
adalah manusia sendiri yang memperbuatnya (semua pendapat aliran Muktazilah). Kemudian ia mengataka
n: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak paham-
paham orang Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahanya".

Dia cenderung kepada pemikiran Aqidah Ahlussunnah Wal jama'ah dan telah mengembangkan ajaran sepert
i sifat Allah 20. Banyak tokoh pemikir Islam yang mendukung pemikiran-
pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah "Sang hujjatul Islam" Imam Al-
Ghazali, terutama di bidang ilmu kalam/ilmu tauhid/ushuludin.
Nama : Indriyani
Kelas : IX
Walaupun banyak juga ulama yang menentang pamikirannya,tetapi banyak masyarakat muslim yang mengik
uti pemikirannya. Orang-
orang yang mengikuti/mendukung pendapat/paham imam ini dinamakan kaum/pengikut "Asyariyyah", dinis
batkan kepada nama imamnya. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim banyak yang mengikuti p
aham imam ini, yang dipadukan dengan paham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu Manshur
Al-Maturidi. Ini terlihat dari metode pengenalan sifat-
sifat Allah yang terkenal dengan nama "20 sifat Allah", yang banyak diajarkan di pesantren-
pesantren yang berbasiskan Ahlussunnah Wal Jama'ah dan Nahdhatul Ulama (NU) khususnya, dan sekolah-
sekolah formal pada umumnya.

Karya-karyanya :

Ia meninggalkan karangan-
karangan, kurang lebih berjumlah 90 buah dalam berbagai lapangan.[1] Kitabnya yang terkenal ada tiga :

1 Maqalat al-Islamiyyin

2 Al-Ibanah 'an Ushulid Diniyah

3 Al-Luma[1]

Kitab-kitab lainnya:

4 Idhāh al-Burhān fi ar-Raddi 'ala az-Zaighi wa ath-Thughyān

5 Tafsir al-Qur'ān (Hāfil al-Jāmi')

6 Ar-Radd 'ala Ibni ar-Rāwandi fi ash-Shifāt wa al-Qur'ān

7 Al-Fushul fi ar-Radd 'ala al-Mulhidin wa al-Khārijin 'an al-Millah

8 Al-Qāmi' likitāb al-Khālidi fi al-Irādah

9 Kitāb al-Ijtihād fi al-Ahkām

10 Kitāb al-Akhbār wa Tashhihihā


Nama : Indriyani
Kelas : IX

Sejarah Qurban Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail


Kisah atau sejarah qurban berawal dari persitiwa Nabi Ibrahim yang akan menyembelih putranya Nabi
Ismail. Kemudian disyiarkan oleh Nabi terkahir Muhammad SAW yang menganjurkan umat Islam untuk
menyembelih qurban di hari raya Haji atau Idul Adha. Beginilah sejarah qurban dimulai dari kisah Nabi
Ibrahim sa dan nabi Ismail sa.

Telah dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim tidak memiliki anak hingga di masa tuanya, lalu beliau berdoa kepada
Allah.

“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. (QS Ash-
Shafaat [37] : 100)

Kemudian Allah memberikan kepadanya kabar gembira akan lahirnya seorang anak yang sabar. Dialah
Ismail, yang dilahirkan oleh Hajar. Menurut para ahli sejarah, Nabi Ismail lahir ketika Nabi Ibrahim berusia
86 tahun. Wallahu a’lam.

Nabi Ibrahim kemudian membawa Hajar dan Ismail, yang waktu masih bayi dan menyusu pada ibunya, ke
Makkah. Pada saat itu di Makkah tidak ada seorang pun dan tidak ada air. Nabi Ibrahim meninggalkan
mereka disana beserta geribah yang di dalamnya terdapat kurma serta bejana kulit yang berisi air.

Setelah itu Nabi Ibrahim berangkat dan diikuti oleh Hajar seraya berkata,
“Wahai Ibrahim, kemana engkau hendak pergi, apakah engkau akan meninggalkan kami sedang di lembah
ini tidak terdapat seorang manusia pun dan tidak pula makanan apapun?”

Pertanyaan itu diucapkan berkali-kali, namun Nabi Ibrahim tidak menoleh sama sekali, hingga akhirnya
Hajar berkata kepadanya: “Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan ini?”

“Ya.” Jawab Nabi Ibrahim

“Kalau begitu kami tidak disia-siakan.” Dan setelah itu Hajar pun kembali.
Ibrahim pun berangkat sehingga ketika telah jauh sampai di Tsamiyah, beliau pun menghadapkan wajahnya
ke Baitullah dan berdoa:

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak
mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang
demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada
mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim [14] :
37)

Dan Hajar pun menyusui Ismail dan minum dari air yang tersedia. Sehingga ketika air yang ada dalam
bejana sudah habis, maka ia dan puteranya pun merasa haus. Lalu Hajar melihat puteranya merengek-
rengek. Kemudian ia pergi dan tidak tega melihat anaknya tersebut. Maka ia mendapatkan Shafa merupakan
bukit yang terdekat dengannya. Lalu ia berdiri di atas bukit itu dan menghadap lembah sembari melihat-lihat
adakah orang di sana, tetapi ia tidak mendapatkan seorang pun disana.

Setelah itu ia turum kembali dari Shafa dengan susah payah sehingga sampai di lembah. Lalu ia mendatangi
bukit Marwah lalu berdiri disana seraya melihat-lihat adakah orang disana. Namun ia tidak mendapatkan
seorang pun disana. Ia lakukan itu – berlari-lari antara bukit Shafa dan Marwah – sebanyak tujuh kali.

Setelah mendekati Marwah ia mendengar sebuah suara. Ia pun berkata, “Diam!” Maksudnya untuk dirinya
sendiri. Kemudian ia berusaha mendengar lagi hingga ia pun mendengarnya.
Nama : Indriyani
Kelas : IX
“Engkau telah memperdengarkan. Adakah engkau dapat menolong?”

Tiba-tiba ia mendapati Malaikat di dekat sumber air Zamzam. Kemudian Malaikat itu menggali tanah
dengan tumitnya sehingga muncullah air.

Selanjutnya Ibunda Ismail membendung air dengan tangannya dan menciduknya dan air bertambah deras.

Nabi Muhammad bersabda:

“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Ibu Ismail, jika saja ia membiarkan Zamzam – atau Beliau
berkata: ‘seandainya dia tidak menciduk airnya- niscaya Zamzam menjadi mata air yang mengalir.”

Kemudian ibunda Ismail minum dari air itu dan menyusui anaknya.

Ismail tumbuh menjadi besar dan belajar Bahasa Arab di kalangan Bani Jurhum. Hingga pada suatu hari,
ayahnya, Nabi Ibrahim datang menjumpainya. Allah mengisahkannya di dalam Al-Qur’an:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersamasama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!” (QS Ash-Shafaat [37] : 102)

Nabi Ibrahim datang menjumpai anaknya untuk menyampaikan perintah Allah agar menyembelihnya.
Bisakah kalian bayangkan teman-teman? Setelah menunggu bertahun-tahun, Nabi Ibrahim baru dikaruniai
anak di usia tuanya. Lalu beliau diperintahkan untuk meninggalkan anak dan isterinya di suatu tempat asing
yang jauh darinya dan tidak berpenghuni. Meskipun sangat besar kecintaan beliau kepada keluarganya,
namun beliau seorang yang teguh dan taat terhadap perintah Allah. Tidak sedikitpun beliau bergeming,
bahkan bersegera ketika Allah memerintahkannya.

Nabi Ismail pun menjawab:

“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar”. (QS Ash-Shafaat [37] : 102)

Nabi Ismail meminta ayahnya untuk mengerjakan apa yang Allah perintahkan. Dan beliu berjanji kepada
ayahnya akan menjadi seorang yang sabar dalam menjalani perintah itu. Sungguh mulia sifat Nabi Ismail.
Allah memujinya di dalam Al-Qur’an:

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quraan.
Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” (QS Maryam
[19] : 54)

Allah melanjutkan kisahnya di dalam Al-Qur’an:

“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah
kesabaran keduanya ).” (QS Ash-Shafaat [37] : 103)

Вам также может понравиться