Вы находитесь на странице: 1из 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengembangan pertanian pada masa globalisasi saat ini lebih menitikberatkan
pada sektor pertanian yang menunjang sektor industri, agar dapat tercipta struktur
ekonomi yang seimbang maka harus diciptakan keterkaitan antara sektor pertanian dan
sektor industri, diantaranya yaitu terjadinya kemitraan antara petani kelapa sawit dan
pabrik minyak sawit. Pengembangan agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu
langkah yang diperlukan sebagai kegiatan pembangunan subsektor perkebunan dalam
rangka revitalisasi sektor pertanian. Pengembangan kelapa sawit sangat ditentukan oleh
adanya kebijakan ekonomi yang memihak kepada rakyat, agar mendorong terwujudnya
kesejahteraan rakyat. Pengembangan perkebunan kelapa sawit diyakini tidak saja akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat, bahkan dapat meningkatkan devisa negara,
penyerapan tenaga kerja baik pada sektor industri hulu yaitu perkebunan itu sendiri
maupun industri hilirnya.
Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan penting penghasil minyak makanan,
minyak industri, maupun bahan bakar nabati (biodiesel). Indonesia adalah penghasil
minyak kelapa sawit kedua dunia setelah Malaysia. Untuk meningkatkan produksi
kelapa sawit dilakukan kegiatan perluasan areal pertanaman, rehabilitasi kebun yang
sudah ada dan intensifikasi. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas perkebunan
sawit rakyat tersebut adalah karena teknologi produksi yang diterapkan masih relatif
sederhana, mulai dari pembibitan sampai dengan panennya. Dengan penerapan
teknologi budidaya yang tepat, akan berpotensi untuk peningkatan produksi kelapa
sawit.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana aspek struktural dapat mempengaruhi produktivitas kelapa sawit?
2. Bagaimana aspek fungsional dapat mempengaruhi produktivitas kelapa sawit?
3. Bagaimana aspek lingkungan dapat mempengaruhi produktivitas kelapa sawit?

1.3. Tujuan

1
1. Untuk mengetahui aspek struktural yang dapat mempengaruhi produktivitas kelapa
sawit.
2. Untuk mengetahui aspek fungsional yang dapat mempengaruhi produktivitas kelapa
sawit.
3. Untuk mengetahui aspek lingkungan yang dapat mempengaruhi produktivitas kelapa
sawit.

BAB II
PEMBAHASAN

2
2.1. Aspek Struktural
Aspek struktural yang mempengaruhi sistem operasional untuk produktivitas
kelapa sawit ialah :
1. Kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu kelapa sawit
Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman serta mutu
kelapa sawit secara bertahap, baik yang dihasilkan oleh petani perkebun maupun
perkebunan besar. Penerapan kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu kelapa
sawit dapat ditempuh melalui program: peremajaan, kelapa sawit, pengembangan
industri benih yang berbasis teknologi dan pasar, peningkatan pengawasan dan
pengujian mutu benih, perlindungan plasma nutfah kelapa sawit, pengembangan dan
pemantapan kelembagaan petani.
2. Pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa sawit
Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa
bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati
di dalam negeri dan penciptaan lapangan kerja baru. Penerapan kebijakan
pengembangan industri hilir ini ditempuh antara lain melalui:
a) Fasilitasi pendirian PKS terpadu dengan refinery skala 5-10 ton TBS/jam di
areal yang belum terkait dengan unit pengolahan dan pendirian pabrik Minyak
Goreng Sawit (MGS) skala kecil di sentra produksi CPO yang belum ada pabrik
MGS.
b) Pengembangan industri hilir kelapa sawit disentra – sentra produksi.
c) Peningkatan kerjasama di bidang promosi, penelitian dan pengembangan serta
pengembangan SDM dengan negara penghasil CPO.
d) Fasilitasi pengembangan biodiesel.
e) Pengembangan market riset dan market intelijen untuk memperkuat daya saing.

3. Kebijakan industri minyak goreng / makan terpadu

3
Kebijakan ini diperlukan mengingat rawannya pasar minyak goreng di Indonesia
dan besarnya biaya ekonomi dan sosial akibat kelangkaan bahan pangan ini di dalam
negeri dan goyahnya posisi Indonesia sebagai pemasok CPO terpercaya di pasar dunia.
Kebijakan ini diharapkan arah pengembangan komoditas penghasil minyak goreng yang
jelas dan unsur –unsur pendukungnya.
4. Dukungan penyediaan dana
Kebijakan ini dimaksudkan untuk tersedianya berbagai kemungkinan sumber
pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kelapa sawit, baik yang berasal dari
lembaga perbankan maupun non bank. Disamping itu perlu segera dihidupkan kembali
dana yang berasal dari komoditi kelapa sawit untuk pengembangan agribisnis kelapa
sawit.
5. Perencanaan, monitoring dan evaluasi
a. Pengkajian prospek minyak sawit, produk turunan dan limbah kelapa sawit
meliputi : kondisi dan kecenderungan penawaran dan permintaan ke depan,
negara – negara pesaing, daya saing, produk substitusi, perkembangan tuntutan
pasar dan selera konsumen.
b. Penyiapan bahan rumusan kebijakan di bidang pengembangan agribisnis kelapa
sawit
c. Pendataan ketersediaan potensi wilayah pengembangan kelapa sawit, kondisi
sumber daya lahan (jenis dan kesuburan tanah, iklim, ketinggian, topografi, dan
peluang peranan dalam pengembangan ekonomi wilayah) dan kesesuaiannya.
d. Pengembangan sistem informasi yang mencakup akses untuk memperoleh dan
menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai peluang usaha pada
agribisnis kelapa sawit.
e. Penciptaan iklim investasi yang mencakup berbagai dukungan kebijakan integral
(sektoral, regional, dan komoditas) dan aturan pelaksanaan yang kondusif untuk
investasi pada agribisnis kelapa sawit.
f. Pengembangan pemberdayaan kelembagaan (organisasi, aturan dan pelaku) usaha
agribisnis kelapa sawit.
g. Penyusunan dan penyerasian rencana dan program tahunan dalam pembangunan
agribisnis kelapa sawit.

4
h. Penyiapan bahan usulan program dan persiapan kerjasama terutama bantuan luar
negeri dan penyusunan pedoman administrasi penyelenggaraannya.
i. Pengembangan sistem monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan
agribisnis kelapa sawit.
j. Pemantapan model penumbuhan agribisnis kelapa sawit melalui pengembangan
usaha budidaya, pengolahan dan pemasaran produk.
6. Pengembangan usaha
a. Pemantapan kawasan agribisnis kelapa sawit dengan titik berat pada aspek
pengolahan dan pemasaran hasil.
b. Perbaikan mutu dan agroindustri kelapa sawit di pedesaan.
c. Pengembangan layanan penunjang agribisnis kelapa sawit, seperti sarana
produksi, alsintan, teknologi dan permodalan.
d. Diversifikasi produk kelapa sawit ke produk turunannya.
e. Percepatan pengembangan agribisnis di daerah – daerah pengembangan terutama
di IndonesiaTimur (Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya).
f. Pengembangan infrastruktur (transportasi, perhubungan, energi kelistrikan dan
telekomunikasi) untuk mendorong pengembangan agribisnis kelapa sawit.
g. Pengembangan penelitian untuk menghasilkan inovasi teknologi dan
kelembagaan.
h. Penguatan sistem perkarantinaan dan standar mutu produk kelapa sawit dan
produk turunannya.
i. Perluasan, intensifikasi dan rehabilitasi kebun kelapa sawit dengan menerapkan
inovasi teknologi dan kelembagaan dalam rangka peningkatan produktivitas dan
efisiensi usaha.
j. Peningkatan profesionalisme para pelaku, baik para petugas dari berbagai fungsi
terkait di bidang pelayanan, bimbingan dan pendampingan kegiatan usaha
budidaya tanaman tahunan, maupun para pelaku langsung kegiatan usaha yaitu :
petani, masyarakat dan pengusaha.
k. Pemberdayaan petani dan organisasi petani untuk pengembangan kemampuan
petani dan organisasi petani untuk dapat memperoleh akses dalam memenuhi
kebutuhan (modal, teknologi, agro-input, benih/bibit) dan pengembangan

5
kemitraan antara petani dan pengusaha dalam berbagai kegiatan di hulu hingga
hilir .
7. Perbenihan
a. Pengembangan strategi yang tepat dalam pengadaan, penyediaan dan distribusi
benih kelapa sawit ke berbagai pelaku usaha di berbagai wilayah pengembangan
agribisnis kelapa sawit.
b. Penetapan baku mutu benih dan sistem pengendalian mutu benih untuk
menghindari pemalsuan.
c. Penyediaan benih kelapa sawit bermutu guna mendukung penumbuhan agribisnis
kelapa sawit.
d. Penumbuhan dan pengembangan usaha industri perbenihan, usaha penangkaran
dan pembinaan pengembangannya.
8. Perlindungan tanaman
a. Penumbuhan dan pengembangan kesadaran dan kemampuan petani dalam
pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) kelapa sawit sebagai
bagian sistem usaha taninya.
b. Pemasyarakatan dan pelembagaan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) kelapa
sawit serta penyediaan pedoman penerapan agen hayati untuk pengendalian OPT
kelapa sawit.
c. Penerapan teknis budidaya sehat dan ramah lingkungan untuk mendapatkan
produk yang aman konsumsi dan sumberdaya alam yang lestari.
d. Fasilitasi pemberdayaan pelaku perlindungan tanaman kelapa sawit.
e. Pengembangan koordinasi peramalan dan peringatan dini (Early Warning
System/EWS) terhadap epidemi hama dan penyakit tanaman kelapa sawit.
9. Pemberdayaan masyarakat kelapa sawit
a. Pendidikan, pelatihan dan magang petani maupun petugas.
b. Pendampingan dan pengawalan implementasi teknologi dan kelembagaan.
c. Penghimpunan dana peremajaan dalam rangka keberlanjutan usaha.
d. Pemantapan kelembagaan yang mendukung pengembangan agribisnis kelapa
sawit (Dinas Perkebunan Provinsi, 2004).

6
Pemberdayaan petani kelapa merupakan kebijakan strategis untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani serta memperbesar kontribusi petani
dalam pembangunan ekonomi. Pengembangan perkebunan kelapa berwawasan
agribisnis melalui pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui: 1) penyuluhan dan
pelatihan dalam aspek teknis dan manajemen untuk meningkatkan kemampuan petani
dalam meraih dan menciptakan peluang ekonomi, 2) mengaktifkan dan memfungsikan
kelembagaan pertanian, seperti kelompok tani, koperasi, lembaga keuangan mikro,
lembaga penyuluhan dan lainnya untuk mengatasi berbagai persoalan dalam rangka
meningkatkan pendapatan petani, 3) pengembangan dan penerapan teknologi spesifik
lokasi, 4) memberikan bantuan permodalan kepada petani dalam bentuk bantuan dana
bergulir dan kredit (Supadi dan Nurmanaf, 2006).
Pemberdayaan petani kelapa sawit perlu didukung oleh: 1) bantuan dana
sebagai modal usaha, 2) pembangunan prasarana sebagai pendukung
pengembangan kegiatan sosial ekonomi rakyat, 3) penyediaan saran a pemasaran,
4) pelatihan bagi petani dan pelaksana, dan 5) penguatan kelembagaan sosial
ekonomi masyarakat. Fasilitas pemberdayaan petani atau kelompok tani diberikan
melalui kegiatan penguatan modal usaha tani, pengembangan kelembagaan usaha ,
serta pembinaan teknis dan manajemen. Pemberdayaan kelompok tani meliputi
aspek perencanaan usaha permodalan, produksi, pengolahan dan pemasaran, aspek
teknis meliputi budidaya, pascapanen dan pengolahan hasil, pemanfaatan teknologi
tepat guna, dan aspek kelembagaan meliputi kerja sama kelompok dan kemitraan
usaha (Dinas Perkebunan Provinsi, 2008).
Dengan pemberdayaan orang memperoleh pengetahuan, keterampilan dan
kekuasaan untuk mempengaruhi kehidupannya. Dalam kapasitas ekonomi, mereka
mempunyai kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi
dan pertukaran barang dan jasa. Tujuan pemberdayaan petani salah satunya adalah
tumbuhnya kemandirian. Petani yang mandiri adalah petani yang sudah mampu
menolong dirinya sendiri. Upaya memberdayakan petani adalah melalui pendidikan,
pelatihan, kursus yang berkaitan dengan apa yang mereka butuhkan (Supanggyo,
2008).

7
2.2. Aspek Fungsional
Pada aspek fungsional untuk produktivitas kelapa sawit ialah :
1. Investasi Kebun dan Pabrik Minyak Kelapa Sawit
a. Perluasan kebun
Kenaikan luas areal tiap tahun dari tahun 2005 hingga tahun 2010 secara
berurutan adalah 350.000 ha. Dengan memperhatikan kapasitas produksi benih
(120 juta ton), adanya impor benih dari Costa Rica, potensi lahan untuk
pengembangan, peluang pasar yang masih terbuka, dan ketersediaan teknologi
(kapasitas) pabrik CPO, maka luas areal pengembangan diperkirakan mencapai
350- an ribu hektar per tahun, perhitungan perluasan areal yang terjadi di wilayah
Indonesia Barat dan Timur diasumsikan 150.000 ha dan 200.000 ha. Wilayah
pengembangan yang sesuai untuk kelapa sawit di wilayah Indonesia Barat adalah
Sumatera, terutama Sumatera Utara, Riau dan Bengkulu dan untuk Indonesia
Timur adalah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian
Jaya, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Kebutuhan investasi tersebut berasal dari investasi kebun (pembangunan
dan pemeliharaan), pabrik CPO kapasitas 15 ton TBS/jam, non kebun (jalan,
jembatan, bangunan kantor dan rumah, sarana air dan listrik serta kendaraan),
infrastruktur pendukung (penelitian pendahuluan, penelitian, supervisi dan
manajemen operasi, jaringan listrik, dan jalan penghubung. Dalam
implementasinya, plasma dan perusahaan inti akan melakukan kerjasama sinergi
melalui integrasi kebun dan pengolahan.
b. Peremajaan kebun
Selain perluasan areal, peremajaan kebun kelapa sawit juga merupakan
hal yang penting. Keperluan peremajaan perkebunan kelapa sawit diperkirakan
100.000 ha per tahun dengan komposisi 80% di wilayah Indonesia Barat dan 20%
di wilayah Indonesia Timur. Kebutuhan investasi untuk peremajaan relatif lebih
murah dibandingkan perluasan karena kegiatan pembangunan non tanaman yang
lebih sedikit. Seperti halnya pada perluasan. Implementasi peremajaan diikuti
dengan sinergi antara petani plasma dan perusahaan inti. Integrasi plasma dan

8
perusahaan inti dan kelembagaan dalam peremajaan dilakukan seperti yang
direncanakan pada perluasan kebun.
2. Biaya Investasi Biodiesel
Pabrik biodiesel minyak sawit yang dibangun berkapasitas produksi 1 ton/jam
atau 20 ton/hari atau 6000 ton/tahun atau 6.600 kiloliter/tahun dan 100.000 ton/tahun
atau 110.000 kiloliter/tahun. Struktur biaya produksi biodiesel sangat tergantung dari
harga bahan baku CPO dan methanol (Dinas Perkebunan Provinsi, 2004).
Pengembangan perkebunan di pedesaan telah membuka peluang kerja bagi
masyarakat yang mampu untuk menerima peluang tersebut. Dengan adanya perusahaan
perkebunan, mata pencaharian masyarakat tempatan tidak lagi terbatas pada sektor
primer dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, tetapi telah memperluas ruang gerak
usahanya pada sektor tertier. Bermacam sumber pendapatan yang memberikan andil
yaitu pedagang (dagang barang-barang harian, dagang karet, tiket angkutan dan penjual
es), pegawai (guru, pemerintahan desa), industri rumah tangga (industri tahu, roti, dan
percetakan genteng), buruh kasar, nelayan, pencari kayu di hutan dan tukang kayu
(Syahza dan Khaswarina, 2007).
Secara umum dapat diungkapkan bahwa adanya kawasan perkebunan telah
menyebabkan munculnya sumber-sumber pendapatan baru yang bervariasi. Sebelum
dibukanya kawasan perkebunan di pedesaan, sampel mengungkapkan sumber
pendapatan masyarakat relatif homogen, yakni menggantungkan hidupnya pada sektor
primer, memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia seperti apa adanya tanpa
penggunaan teknologi yang berarti. Data lapangan mengungkapkan pada umumnya
masyarakat hidup dari sektor pertanian sebagai petani tanaman pangan (terutama
palawija) dan perkebunan (karet). Pada masyarakat di sekitar aliran sungai mata
pencaharian sehari-hari pada umumnya sebagai nelayan dan pencari kayu di hutan.
Selain teknologi yang digunakan sangat sederhana dan monoton sifatnya tanpa
pembaharuan (dari apa yang mampu dilakukan). Orientasi usahanya juga terbatas
kepada pemenuhan kebutuhan keluarga untuk satu atau dua hari mendatang tanpa
perencanaan pengembangan usaha yang jelas (subsisten) (Syahza dan Khaswarina,
2007).

9
Kegiatan pembangunan perkebunan telah menimbulkan mobilitas penduduk
yang tinggi. Akibatnya di daerah-daerah sekitar pembangunan perkebunan muncul
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Kondisi ini menyebabkan
meningkatnya daya beli masyarakat pedesaan, terutama terhadap kebutuhan rutin rumah
tangga dan kebutuhan sarana produksi perkebunan kelapa sawit (Syahza dan
Khaswarina, 2007).
Aktivitas pembangunan perkebunan kelapa sawit memberikan pengaruh
eksternal yang bersifat positif atau bermanfaat bagi wilayah sekitarnya. Manfaat
kegiatan perkebunan ini terhadap aspek ekonomi pedesaan, antara lain: 1) Memperluas
lapangan kerja dan kesempatan berusaha; 2) Peningkatan kesejahteraan masyarakat
sekitar; dan 3) Memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah (Syahza, 2003b
dalam Syahza, 2004:10). Beberapa kegiatan yang secara langsung memberikan dampak
terhadap komponen ekonomi pedesaan dan budaya masyarakat sekitar, antara lain: 1)
Kegiatan pembangunan sumberdaya masyarakat desa; 2) Pembangunan sarana
prasarana yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, terutama sarana jalan
darat; 3) Penyerapan tenaga kerja lokal; 4) Penyuluhan pertanian, kesehatan dan
pendidikan; dan 5) Pembayaran kewajiban perusahaan terhadap Negara (pajak-pajak
dan biaya kompensasi lain) (Syahza dan Khaswarina, 2007).
Melalui berbagai upaya pengembangan, baik yang dilakukan oleh perkebunan
besar, proyek-proyek pembangunan maupun swadaya masyarakat, perkebunan kelapa
sawit telah berkembang sangat pesat. Pada tahun 1968, luas areal yang baru 120 ribu ha
menjadi 4926 ribu ha pada tahun 2003. Selain dari pertumbuhan areal yang cukup besar
tersebut, hal lain yang lebih mendasar lagi adalah penyebarannya, yang semula hanya
ada pada 3 propinsi saja di Sumatera, tetapi saat ini telah tersebar di 17 propinsi di
Indonesia. Sumatera masih memiliki areal terluas di Indonesia, yaitu mencapai 75,98%
diikuti Kalimantan dan Sulawesi, masing-masing 20,53% dan 2,81%. Komposisi
pengusahaan kelapa sawit juga mengalami perubahan, yaitu dari sebelumnya hanya
perkebunan besar, tetapi saat ini telah mencakup perkebunan rakyat dan perkebunan
swasta. Pada tahun 2003, luas areal perkebunan rakyat mencapai 1.827 ribu ha (34,9%),
perkebunan Negara seluas 645 ribu ha (12,3%), dan perkebunan besar swasta seluas
2.765 ribu ha (52,8%). Sumatera mendominasi ketiga jenis pengusahaan, sedangkan

10
Kalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan swasta dan
perkebunan rakyat (Drajat et al., 2005).
Sesuai dengan tujuan pembangunan pertanian, tujuan dan sasaran
pengembangan agribisnis kelapa sawit, maka strategi pengembangan kelapa sawit
dijabarkan sebagai berikut (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005)
1. Integrasi vertikal perkebunan kelapa sawit dan agro industri yang menghasilkan
produk turunan jenis pangan, seperti minyak goreng dan mentega.
2. Integrasi horizontal perkebunan kelapa sawit dengan peternakan dan atau tanaman
pangan.
3. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha pengelolaan minyak sawit.
4. Mendorong penyediaan sarana dan prasarana pengolahan minyak sawit.
5. Meningkatkan produksi dan produktivitas kebun kelapa sawit melalui inovasi
teknologi.
6. Penyediaan sarana dan prasarana pendukung, terutama infrastruktur transportasi di
dan ke perkebunan kelapa sawit dan infrastruktur pengolahan.
7. Pengembangan diversifikasi usaha.
8. Pemberantasan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan perlindungan
sumberdaya perkebunan kelapa sawit.
9. Revitalisasi dan mengembangkan organisasi pelaku usaha pada agribisnis kelapa
sawit (kelompok tani, asosiasi petani dan gabungan asosiasi petani kelapa sawit,
koperasi petani kelapa sawit, serta organisasi lain) melalui inovasi kelembagaan.
10. Pengembangan aturan (UU dan aturan pelaksanaannya) untuk diterapkan di
agribisnis kelapa sawit melalui harmonisasi regulasi.
11. Pengembangan sumberdaya manusia sebagai pelaku yang andal pada agribisnis
kelapa sawit.
12. Peningkatan produksi dan kualitas tandan buah segar dan minyak kelapa sawit serta
produk turunannya.
13. Pengembangan agro industri yang mengolah minyak dan limbah kelapa sawit.
14. Pengembangan pasar minyak kelapa sawit dan produk turunannya.
15. Perlindungan usaha dan produk minyak sawit dan turunannya di pasar domestik.

11
16. Menjalin sinergi kebijakan antara lembaga pemerintah dan lembaga legislatif dan
antara pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan perkebunan kelapa sawit
sebagai motor penggerak ekonomi nasional dan daerah.
17. Peningkatan kualitas, moral dan etos kerja aparat yang bertugas pada
pengembangan agribisnis kelapa sawit.
18. Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif.
19. Membangun sistem pengawasan yang efektif.

2.3. Aspek Lingkungan


Pada aspek lingkungan yang meliputi produktivitas kelapa sawit ialah sebagai
berikut :
1. Dukungan Sarana dan Prasarana
a. Pembangunan jalan-jalan penghubung, produksi dan koleksi (usahatani) pada
kebun-kebun kelapa sawit.
b. Penyediaan kebutuhan pupuk dan obat –obatan tepat waktu, jumlah dan jenis.
c. Alat pengolahan di sentra produksi kelapa sawit yang mampu mengefisienkan
biaya transportasi dan meningkatkan kualitas produk.
d. Adanya dukungan ketersediaan terminal/pelabuhan agribisnis untuk mendekatkan
sentra produksi dengan pasar .
e. Ketersediaan sumber energi kelistrikan di sentra-sentra produksi kelapa sawit.
2. Kebutuhan Deregulasi dan Regulasi
a. Penurunan atau penghapusan pajak (pajak pertambahan nilai dan pajak
penghasilan) yang menjadi beban pelaku usaha di agribisnis kelapa sawit. PPN
yang dalam implementasinya menjadi beban biaya yang ditanggung pengolah
primer (CPO), pengekspor dan pelaku industri pengolahan hilir (minyak goreng,
oleokimia dan lainnya) akan ditransmisikan melalui mekanisme harga ke pelaku
di bawahnya yang akhirnya bermuara menjadi beban ke petani.
b. Harmonisasi tarif, yaitu menerapkan tarif impor lebih tinggi untuk produk –
produk olahan kelapa sawit dan substitusinya.
c. Insentif investasi terutama pada industri hilir kelapa sawit, seperti biodiesel,
berupa keringanan pajak (tax holiday), perpanjangan HGU, kemudahan investasi

12
terutama dalam hal perijinan, penghapusan retribusi, dan pemberian subsidi
(khusus untuk konsumen biodiesel).
d. Dukungan dan fasilitasi pendanaan dari pemerintah melalui skim kredit khusus
yang dapat dimanfaatkan pelaku agribisnis kelapa sawit terutama petani.
f. Dalam rangka pengembangan agribisnis kelapa sawit, dukungan dana melalui
pungutan ekspor, perlu dihidupkan kembali. Potensi nilai tambah dari
pengembangan produk dapat diaktualisasi dengan tersedianya dana untuk
penelitian, perluasan, peremajaan, dan kegiatan lainnya yang memadai.
g. Penciptaan iklim investasi yang kondusif melalui penciptaan rasa aman dan
kepastian hukum bagi para investor (Dinas Perkebunan Provinsi, 2004).
Penerimaan petani kelapa sawit sangat tergantung kepada umur tanaman.
Semangkin tinggi umur tanaman (umur optimum) menunjukkan kandungan minyak
sawit dan inti sawit semangkin tinggi, yaitu 21,87 % untuk minyak sawit dan 5,10 %
untuk inti sawit. Tingginya kandungan minyak sawit yang dihasilkan oleh petani akan
berpengaruh kepada harga tandan buah segar (TBS) yang diterima oleh petani (Syahza
dan Khaswarina, 2007). Kegiatan pembangunan perkebunan telah menimbulkan
mobilitas penduduk yang tinggi. Akibatnya di daerah-daerah sekitar pembangunan
perkebunan muncul pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di pedesaan.
Kondisi ini menyebabkan meningkatnya daya beli masyarakat pedesaan,
terutama terhadap kebutuhan rutin rumah tangga dan kebutuhan sarana produksi
perkebunan kelapa sawit (Syahza dan Khaswarina, 2007).

BAB III
PENUTUP

13
3.1. Kesimpulan
1. Aspek struktural yang dapat mempengaruhi produktivitas kelapa sawit antara lain
ialah : kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu kelapa sawit, pengembangan
industri hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa sawit, kebijakan industri minyak
goreng / makan terpadu, dukungan penyediaan dana, perencanaan, monitoring dan
evaluasi, pengembangan usaha, perbenihan, perlindungan tanaman dan
pemberdayaan masyarakat kelapa sawit.
2. Aspek fungsional yang dapat mempengaruhi produktivitas kelapa sawit, ialah :
Investasi kebun dan pabrik minyak kelapa sawit dan biaya investasi biodiesel.
3. Aspek lingkungan yang dapat mempengaruhi produktivitas kelapa sawit adalah :
dukungan sarana dan prasarana serta kebutuhan deregulasi dan regulasi

1.2 . Saran
Sebelum melakukan proses rancangan sistem manajemen operasional dan
mencapai produktivitas kelapa sawit harus diketahui dulu aspek struktural, aspek
fungsional dan aspek lingkungan pada komoditi agribisnis tersebut, karena hal – hal ini
merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam mencapai produktivitas kelapa sawit.
Dengan demikian pengusaha dan customer dapat menjalankan proses agribisnis secara
terintegrasi.

DAFTAR PUSTAKA

14
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Potensi Kelapa Sawit.
Departemen Pertanian. Jakarta.

Dinas Perkebunan Provinsi. 2004. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa
Sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.

Dinas Perkebunan Provinsi. 2008. Statistik Perkebunan Indonesia. Direktorat Jenderal


Perkebunan. Jakarta.

Drajat, B., et al. 2005. Upaya Pengembangan Pasar Produk Agroindustri Perkebunan
(Komoditas Kelapa Sawit) : Pengkajian Pengembangan Agribisnis
Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Supadi, A.R., Nurmanaf. 2006. Pemberdayaan Petani Kelapa dalam Upaya


Peningkatan Pendapatan. Jurnal Litbang Pertanian 25 (1). Bogor.

Supanggyo. 2008. Hubungan Pemberdayaan Petani dengan Tingkat Keberhasilan


Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Sleman. M’ Power No. 8
Vol. 8. Jakarta.

Syahza, A., Khaswarina, S. 2007. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan


Kesejahteraan Petani Kelapa Sawit. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

15

Вам также может понравиться