Вы находитесь на странице: 1из 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fisiologi Olahraga merupakan cabang ilmu fisiologi yang mempelajari


perubahan fisiologis di tubuh pada saat seseorang berolahraga. Dengan mengetahui
perubahan yang terjadi di tubuh, seseorang dapat merancang suatu program olahraga
untuk mendapatkan perubahan optimal sesuai dengan yang diharapkan. Permulaan
aktivitas fisik ini disertai dengan peningkatan dua tahap ventilasi yang meliputi
inspirasi dan ekspirasi. Jumlah udara yang mampu diinspirasi atau diekspirasikan
tiap menit disebut sebagai volume respirasi permenit.
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa Yang dimaksud dengan Respon ventilasi?

1.2.2 Apa Yang dimaksud dengan Gas darah terhadap exercise?

1.2.3 Apa Yang dimaksud dengan Pengaruh prolonged exercise di


lingkungan yg panas?

1.2.4 Apa Yang dimaksud dengan Pengaturan ventilasi selama istirahat?

1.2.5 Apa Yang dimaksud dengan Exercise submaksimal?

1.2.6 Apa Yang dimaksud dengan Exercise berat?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk Mengetahui Apa Yang dimaksud dengan Respon ventilasi.

1.3.2 Untuk Mengetahui Apa Yang dimaksud dengan Gas darah terhadap
exercise.

1.3.3 Untuk Mengetahui Apa Yang dimaksud dengan Pengaruh prolonged


exercise di lingkungan yg panas.

1.3.4 Untuk Mengetahui Apa Yang dimaksud dengan Pengaturan ventilasi


selama istirahat

1.3.5 Untuk Mengetahui Apa Yang dimaksud dengan Exercise


submaksimal.

1.3.6 Untuk Mengetahui Apa Yang dimaksud dengan Exercise Berat.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 RESPON VENTILASI

Latihan fisik akan mempengaruhi konsumsi oksigen dan produksi karbon


dioksida. Kadar oksigen dalam jumlah yang besar akan terdifusi dari alveoli ke
dalam darah vena kembali ke paru-paru. Sebaliknya, kadar karbon dioksida yang
sama banyak masuk dari darah ke dalam alveoli. Oleh itu, ventilasi akan meningkat
untuk mempertahankan konsentrasi gas alveolar yang tepat untuk memungkinkan
peningkatan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. (William, 1999). Ventilasi
merupakan kegiatan bernafas yang meliputi inspirasi dan ekspirasi. Jumlah udara
yang mampu diinspirasi atau diekspirasikan tiap menit disebut sebagai volume
respirasi permenit. Ventilasi paru dinyatakan dalam satuan liter per menit (Ganong,
2003).

Permulaan aktivitas fisik ini disertai dengan peningkatan dua tahap ventilasi.
Hampir segera dapat terlihat peningkatan pada inspirasi dan kenaikan bertahap pada
kedalaman dan tingkat pernapasan. Kedua tahap penyesuaian menunjukkan bahwa
kenaikan awal dalam ventilasi diproduksi oleh mekanisme gerakan tubuh setelah
latihan dimulai, namun sebelum rangsangan secara kimia, korteks motor menjadi
lebih aktif dan mengirimkan impuls stimulasi ke pusat inspirasi, yang akan merespon
dengan meningkatkan respirasi juga. Secara umpan balik proprioseptif dari otot
rangka dan sendi aktif memberikan masukan tambahan tentang gerakan ini dan pusat
pernapasan dapat menyesuaikan kegiatan itu berdasarkan kesesuaiannya. (Guyton,
2006).

Tahap kedua lebih bertahap dengan kenaikan respirasi yang dihasilkan oleh
perubahan status suhu dan kimia dari darah arteri. Sambil latihan berlangsung,
peningkatan proses metabolisme pada otot menghasilkan lebih banyak panas, karbon
dioksida dan ion hidrogen. Semua faktor ini meningkatkan penggunakan oksigen
dalam otot, yang meningkatkan oksigen arteri juga. Akibatnya, lebih banyak karbon
dioksida memasuki darah, meningkatkan kadar karbon dioksida dan ion hidrogen
dalam darah. Hal ini akan dirasakan oleh kemoreseptor, yang sebaliknya merangsang
pusat inspirasi, dimana terjadi peningkatan dan kedalaman pernapasan. Beberapa
2
peneliti telah menyarankan bahwa kemoreseptor dalam otot juga mungkin terlibat
iaitu dengan meningkatkan ventilasi dengan meningkatkan volume tidal. (Willmore,
1999).
Pada saat inspirasi, pengaliran udara ke rongga pleura dan paru-paru berhenti
sebentar ketika tekanan dalam paru-paru bersamaan bergerak mengelilingi atmosfer.
Pada waktu penguapan, pernapasan volume sebuah paru-paru berkurang karena
naiknya tekanan udara untuk memperoleh dorongan keluar pada sistem pernapasan.
(Syaifuddin, 2001). Selama pernapasan tenang, ekspirasi adalah pasif, dalam arti
bahwa tidak ada otot-otot yang menurunkan volume unuk toraks berkontraksi. Pada
permulaan ekspirasi, kontraksi ini menimbulkan kerja yang menahan kekuatan recoil
dan melambatkan ekspirasi. Insiprasi yang kuat berusaha mengurangi tekanan
intrapleura sampai 30mmHg sehingga menimbulkan pengembangan paru-paru
dengan derajat yang lebih besar. Bila ventilasi meningkat seluas deflasi maka paru-
paru meningkat dengan kontraksi otot-otot pernapasan yang menurunkan volume
intratoraks. (Syaifuddin, 2001).
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan ventilasi pada paru-paru
antara lain :

1. Penurunan PO2

2. Peningkatan PCO2

3. Peningkatan H+

4. Faktor lain yaitu peningkatan suhu tubuh

2.2 GAS DARAH TERHADAP EXERCISE

Analisis gas darah merupakan pemeriksaan untuk mengukur keasaman (pH),


jumlah oksigen dan karbondioksida dalam darah. Pemeriksaan ini digunakan untuk
menilai fungsi kerja paru dalam menghantarkan oksigen ke dalam sirkulasi darah dan
mengambil karbondioksida dari dalam darah.

Difusi oksigen dari paru-paru ke sel-sel jaringan tubuh terjadi akibat


perbedaan tekanan O2. Pada waktu tekanan udara luar satu atmosfer (760 mmHg),
besamya tekanan oksi_gen di paruparu ±150 mmHg (± seperlimanya). Tekanan
dalam arteri ±100 mmHg, dan di vena ± 40 mmHg. Tekanan O2 di jaringan 0-40

3
mmHg, maka oksigen dapat berdifusi ke sel-sel jaringan tubuh. Pada saat tekanan
oksigen dalam arteri 100 mmHg, setiap 100 ml darah dapat mengangkut 19 ml O2.
Dari 19 ml O2 tersebut, 12 ml oksigen ikut terbawa darah dalam vena, sedangkan
yang 7 ml disampaikan ke sel-sel jaringan tubuh. Dalam keadaan biasa, kita
memerlukan oksigen ± 300 liter sehari semalam atau liter tiap menitnya. Jumlah
ini bertambah apabila aktivitas tubuh juga meningkat.

Bila seseorang mempunyai volume oksigen yang lebih banyak maka


peredaran darahnya lebih baik, sehingga otot-otot mendapatkan oksigen lebih
banyak dan dapat melakukan berbagai aktivitas tanpa rasa letih. Sudah diketahui
banyak faktor yang dapat mengganggu kesehatan paru. Bahaya yang ditimbulkan
berupa rusaknya bulu getar di saluran napas, sehingga fungsi pembersihan
saluran napas terganggu. Bahan kimia tersebut juga dapat merusak sel-sel tertentu di
alveola yang sangat penting dalam pertahanan paru dan mengubah tatanan normal
sel-sel di paru, sehingga dapat menjurus menjadi kanker paru, serta
menurunkan kemampuan/fungsi paru, sehingga menimbulkan gejala sesak napas/
napas pendek (Alan Stull, 1980).

Perubahan saat latihan:


1. Pemakaian oksigen sangat meningkat, karena otot yang aktif mengoksidasi
molekul nutrien lebih cepat untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energinya.
2. Produksi karbondioksida sangat meningkat karena otot yang lebih aktif
melakukan metabolisme memproduiksi lebih banyak karbondioksida
3. Ventilasi alveolus sangat meningkat.
4. Penyaluran oksigen ke otot sangat meningkat.

2.3 PENGARUH PROLONGED EXERCISE DI LINGKUNGAN YG PANAS

Latihan fisik dapat menyebabkan berbagai perubahan fungsi tubuh


diantaranya adalah peningkatan terhadap suhu tubuh. Peningkatan suhu tubuh ini
disebabkan karena sebagian besar energi saat aktivitas diubah menjadi panas. Panas
yang dihasilkan itu harus segera dikeluarkan agar homeostasis tubuh berjalan dengan
baik. Kecepatan pengeluaran panas tubuh tergantung dari faktor lingkungan,
diantaranya adalah suhu dan kelembaban relatif udara. Semakin meningkat
kelembaban udara, semakin meningkat pula suhu tubuh saat latihan dan sebaliknya
4
semakin menurun kelembaban relatif udara maka suhu tubuh akan semakin menurun.
Perubahan suhu tubuh ini tidak terus menurun, akan tetapi diatur oleh sistem saraf.
Peningkatan panas tubuh berkelanjutan dapat disebabkan karena latihan fisik
berkelanpanjangan dalam waktu yang lama yang dilakukan dalam ruangan dengan
kelembaban yang tinggi. Peningkatan sehu tubuh ini dapat disebabkan karena
menurunnya cairan tubuh akibat dari pengeluaran keringat berlebih. Untuk
menanggulangi penurunan cairan tubuh maka perlu mengkonsumsi cairan yang
sesuai dengan cairan yang keluar.

Peningkatan suhu lingkungan mengurangi gradien suhu yang berkenaan


dengan panas antara suhu lingkungan dan suhu permukaan kulit dan antara suhu
permukaan kulit dan suhu inti tubuh. Semua hal tersebut menahan pelepasan dari
tubuh. Kita sudah mengetahui bahwa suhu tubuh dapat meningkat, ketika suhu dari
lingkungan lebih tinggi dibanding suhu dari kulit. Selain itu juga, peningkatan
kelembaban dapat menghadirkan suatu penghalang terjadinya pelepasan panas tubuh
melalui mekanisme evaporasi. Seperti yang sudah didiskusikan sebelumnya, hal
tersebut dilakukan dengan menurunkan gradien tekanan uap antara kelembaban
udara dan kelembaban pada kulit kita (melalui keringat). Tubuh kita bisa
mentoleransi perubahan suhu yang terjadi pada lingkungan sekitarnya karena itu
memiliki kemampuan yang dapat mengontrol suhu tubuh kita. Dan ketika suhu
lingkungan sekitarnya panas, maka tubuh kita akan dapat meningkatkan pengeluaran
panas dengan mengeluarkan keringat, meningkatkan aliran darah ke sekitar kulit.
Kondisi suhu dan kelembaban tinggi akan dapat mendatangkan suatu tantangan yang
cukup berat untuk proses pengaturan panas pada seseorang dalam olahraga tertentu,
Kondisi semacam itu, kemungkinan penghantaran dan penguapan panas sangat
terbatas. Keterbatasan ini dapat digunakan khususnya untuk membuat intensitas
latihan. Dalam kondisi semacam itu dalam beberapa hal merusak seseorang:yaitu :

1. Aliran darah ke kulit setingkat dalam rangka mengurangi aliran darah yang
menuju ke otot yang sedang bekerja. Hal ini dapat mengganggu pelepasan ke
otot ini, sehingga membatasi metabolisme aerobik.

2. Tingkat pengeringan yang tinggi sekali mungkin mengakibatkan dehidrasi


yang diketahui dengan sendirinya merusak penampilan daya tahan

5
3. Kemampuan yang terbatas untuk menghilangkan panas yang perlu untuk
mempertahankan keseimbangan panas dengan cara mengurangi produksi
panas metabolis yaitu dengan cara mengurangi intensitas latihan.

Pernyataan tersebut diatas umunya mengingatkan bahwa kapasitas olahraga


dengan waktu yang panjang, dengan intensitas sedang sampai tinggi pada saat
kondisi panas dan atau lembab akan merusak seseorang. Pengalaman menunjukkan
bahwa sesungguhnya penampilan olahraga ketahanan tidak pernah terjadi dalam
lingkungan panas. Tujuannya agar pelatih dan seseorang mengenal keterbatasan ini
dan merencanakan yang sesuai bagi mereka. Pelatih jangan mengharapkan
penampilan puncak seseorang ketahanan dalam kondisi tekanan panas. Diskusi yang
sebelumnya menyebutkan temperatur dan kelembaban relatif tinggi ketika faktor-
faktor yang meningkatkan resiko dari cedera pada lingkungan panas. Toleransi
terhadap panas meningkat dengan aklimatisasi. Diperlukan cukup waktu untuk
terjadinya hal ini bila seseorang harus melakukan olahraga di tempat panas, setelah
bermukim di tempat dingin. Proses ini meningkatkan respons sirkulasi dan
pengeringatan yang memfasilitasi pembuangan panas dan memperkecil peningkatan
suhu tubuh.

Kondisi lingkungan yang tidak bersahabat, menyebabkan beberapa kelainan


patologi tubuh terutama yang disebabkan oleh paparan panas dan kelembaban udara
yang tinggi di antaranya adalah :

1. Pingsan panas (Heat syncope) merupakan kelainan ganggunan


pemindahan panas yang cukup serius. Gangguan ini dicirikan dengan
pening dan diikuti pingsan. Pada umumnya disebabkan karena latihan
pada lingkungan yang panas dalam jangka waktu cukup panjang.
Vasodilatasi sistemik berlebih akibat peningkatan suhu tubuh diprediksi
sebagai penyebabnya.

2. Kejang panas (Heat cramp) adalah jenis penyakit gangguan panas yang
ditandai dengan perasaan nyeri dan kejang pada perut, kaki, tangan dan
tubuh berkeringat. Keadaan ini disebabkan oleh karena tidak terjadinya
keseimbangan antara cairan dan garam di dalam tubuh.
Ketidakseimbangan ini terjadi selama olahraga berat dan berkepanjangan

6
dalam di lingkungan panas. Pengeluaran banyak garam bersamaan dengan
keringat hanya digantikan air putih.

3. Kelelahan panas (Heat exhaustion) adalah merupakan reaksi dari seluruh


tubuh terhadap terpaan panas dalam waktu yang cukup lama (berjam-jam
atau bahkan berhari-hari). Pengeluaran keringat saat atau setelah latihan
tidak sepenuhnya diganti. Gejala dari penyakit ini adalah berkeringat
sangat banyak, tubuh lemah kulit pucat dan pening, napas pendek dan
cepat, mual-mual dan pusing, kemudian diikuti pingsan. Pada keadaan ini
suhu tubuh meningkat mencapai 37°C - 40°C.

4. Kegawatan panas (Heat stroke) merupakan penyakit akibat gangguan


panas yang dapat menyebabkan koma dan kematian. Keadaan ini
disebabkan karena beraktivitas pada lingkungan yang panas dan
kelembaban yang tinggi. Gejalanya adalah denyut jantung kencang, suhu
tubuh meningkat mencapai 40oC dan bahkan lebih, kulit kering dan
kebiruan. Juga ditandai dengan menggigil, mual, pening, kebingungan,
tidak berkeringat dan pingsan.

2.4 PENGATURAN VENTILASI SELAMA ISTIRAHAT

2.5 EXERCISE SUBMAKSIMAL

Ketika exercise makan metabolisme akan meningkat maka O2 banyak dan


terjadi kontraksi otot yang akan membutuhkan ATP sehingga akan terjadinya
pembentukan ATP maka O2 darah akan menurun dan CO2 darah meningkat.
Penurunan O2 darah menyebabkan peningkatan sinyal ke diafragma & otot-otot
inspirasi dan ekspirasi sehingga pernapasan menjadi cepat.

2.6 EXERCISE BERAT

A. Efek Akut (Sesaat) Latihan

Ketika kita latihan hampir semua sistem yang ada dalam tubuh
terpengaruh baik itu sistem otot, sistem syaraf, sistem hormonal, sistem
peredaran darah dan pernafasan, sistem pencernaan, metabolisme, dan
sistem pembuangan.
a. Perubahan Frekuensi Denyut Jantung

7
Ketika berlatih frekuensi denyut jantung akan meningkat yang
akan sesuai dengan intensitas latihan. Semakin tinggi intensitas (misal
berlari/bersepeda/berenang semakin cepat) maka denyut jantung akan
terasa semakin cepat. Azas Conconi berbunyi ”hubungan antara
frekuensi denyut jantung dan intensitas latihan adalah linier”. Selain
itu ada istilah titik defleksi (deflektion point), atau ambang batas
anaerobic (anaerobic threshold), yang mengatakan bahwa jika
intensitas latihan dinaikkan, maka frekuensi denyut jantung juga akan
naik, tetapi jika intensitas terus dinaikkan pada suatu saat
hubungannya tidak linier lagi (berbentuk garis lurus) melainkan akan
ketinggalan (melengkung). Hubungan yang linier antara inmtensitas
dan frekuensi denyut jantung hanya berlaku jika melibatkan otot-otot
besar dan cukup banyak.
b. Perubahan Volume Darah Sedenyut dan Curah Jantung
Jika pada saat istirahat volume darah sedenyut yang keluar dari
jantung sekitar 70 cc, pada saat berlatih dapat meningkat sampai 90 cc
per denyut. Bagi orang terlatih volume sedenyut saat istirahat sekitar
90 sampai 120 cc, pada saat berlatih dapat mencapai 150 – 170 cc.
Frekuensi denyut jantung yang tidak terlatih ketika bangur tidur
(istirahat) sekitar 60 sampai 70 denyutan per menit, ketika berlatih
dapat meningkat antara 160 sampai 170 per menit. Bagi orang yang
terlatih denyut jantung bangun tidur lambat, dapat di bawah 50
denyutan per menit. Pada saat berlatih meningkat, dapat mencapai
sekitar 180 kali denyutan per menit.
Curah jantung adalah volume darah yang dapat keluar dari jantung
selama satu menit. Besarnya curah jantung adalah frekuensi denyut
jantung (banyaknya denyutan selama satu menit) dikalikan volume
darah sedenyut yang keluar dari jantung. Ketika latihan curah jantung
akan meningkat sangat tinggi. Bagi orang yang terlatih kenaikan
curah jantung akan jauh lebih tinggi. Hal demikian adalah bertujuan
untuk membuang CO2 yang terjadi ketika latihan.
c. Perubahan Tekanan Darah
Meningkatnya hormon epinefrin saat latihan akan menyebabkan
semakin kuatnya kontraksi otot jantung. Meskipun demikian tekanan
systole tidak langsung membubung tinggi, karena pengaruh epinefrin

8
pada pembuluh darah dapat menyebabkan pelebaran (dilatasi).
Pelebaran pembuluh darah akan sangat tergantung kondisinya. Jika
pembuluh sudah mengalami pengerakan (arteriosklerosis) akan
menjadi kaku, tidak elastis, sehingga pelebaran akan terbatas.
Selisih tekanan antara sistole dan diastole akan meningkat, hal
demikian hubungannya erat dengan volume darah sedenyutan yang
keluar dari jantung. Tekanan darah baik sistole maupun diastole dapat
meningkat sangat tinggi ketika seorang atlet angkat besi mengangkat
barbel. Tekanan systole akan dapat meningkat dari 120 mmHg sampai
180 mmHg. Hal demikian terjadi karena banyak otot rangka yang
berkontraksi sehingga mendesak pembuluh-pembuluh darah.

d. Perubahan Pendistribusian Darah Selama Berlatih


Pada saat berlatih darah akan banyak mengalir ke otot-otot yang
terlibat dalam gerak. Darah akan berfungsi untuk mencukupi
kebutuhan latihan seperti lemak, gula untuk penyediaan energi dan
membawa sisa-sisa metabolisme seperti air dan CO2. Darah yang
menuju ke pencernaan, ginjal, hati, kulit, otak akan dikurangi.
Semakin tinggi intensitas, darah yang ke otot akan semakin banyak.
Pendistribusian Darah Pada Berbagai Intensitas Latihan :
Jaringan Istirahat Ringan Berat Maks.
5800 cc 9500 cc 17500 cc 25000cc

Otak 13% 8% 4% 4%
Jantung 4% 3,5 % 4% 4%
Otot 21 % 47 % 72 % 88 %
Kulit 8,5 % 16 % 11 % 2,5 %
Ginjal 19 % 9,5 % 3,5 % 1%
Cerna 24 % 11,5 % 3,5 % >1 %
e. Perubahan Pada Pernafasan
Pada saat latihan frekuensi pernafasan akan meningkat. Pada saat
berlatih hawa tidal akan meningkat, atau pernafasan menjadi lebih dalam.
Dengan pernafasan yang lebih dalam maka tekanan udara dalam paru
akan meningkat, sehingga difusi (pertukaran gas) antara O2 dan CO2 juga
akan meningkat. Meningkatnya hawa tidal disertai frekuensi pernafasan
yang meningkat maka ventilasi (udara yang masuk selama satu menit)
juga akan meningkat. Semakin tinggi intensitas latihan, frekuensi

9
pernafasan juga akan semakin tinggi, sehingga ventilasi juga akan
semakin tinggi. Untuk beberapa cabang olahraga kemampuan menahan
nafas sangat diperlukan. Bila seseorang melakukan kerja yang bersifat
powerfull dan sesaat, maka ia harus dalam keadaan menahan nafas, begitu
pula saat membidik. Kalau kadar CO2 dalam darah tinggi, maka
kemampuan menahan nafas tak akan lama, sehingga pada orang lelah
(kadar CO2 tinggi), akurasi dan powerfullnya menurun.
Untuk dapat meningkatkan penyerapan O2, dan pelepasan CO2 dapat
memanipulasikan pernafasan. Dengan sadar dapat menghirup udara lebih
dalam, dan menambah frekuensi pernafasan. Meskipun demikian O2 yang
masuk cukup banyak belum tentu segera dapat dipergunakan, mengingat
penggunaannya perlu banyak dan besarnya mitokondria dalam sel-sel
otot. Jika dalam keadaan normal memanipulasikan pernafasan tersebut
dapat menyebabkan terhambatnya pembuangan CO2, karena darah yang
melewati jaringan-jaringan tidak dapat melepaskan O2 karena kebutuhan
hanya sedikit. Dengan demikian pengangkutan CO2 akan terganggu,
karena darah masih bermuatan banyak O2.
f. Perubahan Cairan Tubuh Selama Latihan Olahraga
Sebagian besar dari tubuh manusia terbentuk dari air. Pada seorang
pria dewasa muda cairan intra (dalam) sel membentuk 40 % dari berat
badan, dan komponen cairan ektra sel akan membentuk 20 % berat badan.
Sekitar 25 % cairan ektra sebagai cairan interstitial atau dalam pembuluh
darah. Volume darah total adalah sekitar 8 % atau sekitar 1/13 dari berat
badan. Orang yang gemuk banyak mengandung lemak, sehingga akan
lebih sedikit mengandung air. Oleh karena itu bagi orang yang
kegemukan akan lebih cepat mengalami dehidrasi jika mengalami
muntaber. Dengan demikian bagi yang kegemukan jika mengalami
muntaber harus segera mendapatkan penanganan.
Dalam keadaan normal cairan dari dalam tubuh akan diperoleh dari
makan dan minum sekitar 2200 cc, dan dari metabolisme 350 cc.
Pembuangan keringat dalam keadaan normal sekitar 2200 cc,
pembuangan cairan lewat paru sekitar 350 cc, pembuangan lewat
ginjal/air seni sekitar 1000 cc, dan faeses sekitar 150 cc. Pada saat
berlatih, cuaca panas aatu dingin maka pemasukan cairan dan
pembuangan cairan akan berubah total. Cuaca dan olahraga akan
10
mempengaruhi tubuh dalam mengeluarkan keringat. Pada saat latihan
produk air karena metabolisme akan meningkat, meskipun demikian tetap
akan kurang jika dipergunakan untuk mempertahankan suhu tubuh agar
tidak terlalu tinggi. Air akan banyak keluar sebagai keringat, yang salah
satunya berfungsi untuk membuang panas secara evaporasi/penguapan.
Benyaknya keringat yang keluar dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi
atau kekurangan cairan di dalam tubuh. Jika yang berkurang plasma darah
akan sangat dirasakan oleh tubuh, darah akan menjadi pekat, sirkulai
darah menjadi berat. Berkurangnya plasma darah sebenarnya justru
mengurangi kemungkinan naiknya tekanan darah, yang disebabkan
meningkatnya hormon adrenalin yang memacucu kekuatan kontraksi otot
jantung.
g. Perubahan Suhu Tubuh Selama Latihan Olahraga
Produk panas pada latihan berat bisa mencapai 700 kkal/jam, sedang
pembuangan panas normalnya hanya 600 kkal/jam. Agar tubuh tidak
meningkat suhunya secara berlebihan, maka diperlukan pembuangan
panas secara buatan jika melaksanakan aktivitas yang lama seperti lari
Marathon. Stasiun air di setiap 4000 meter akan sangat membantu untuk
mengguyur tubuh agar kehilangan panas secara evavorasi meningkat.
Mengenakan pakaian berbahan cotton akan mudah ditembus oleh keringat
maupun oleh udara. Selain itu juga termasuk pengaturan sarana dan
prasarana misalnya gedung dilengkapi dengan AC. Dengan demikian
mengatur proses produksi dan pembuangan panas atlet bisa mengatur
suhu tubuhnya sesuai dengan yang diinginkan. Dalam setiap jaringan
tubuh agar dapat bekerja optimal memerlukan suhu tertentu.
Dalam setiap jaringan tubuh agar dapat bekerja optimal memerlukan
suhu tertentu. Untuk kerja otak memerlukan suhu normal ± 36.5 º C,
sedang untuk kerja otot harus lebih tinggi ± 39 º C. Oleh karena itu atlet
memerlukan pemanasan sebelum melakukan aktivitas. Akan tetapi jika
suhu terlalu tinggi otak yang akan mengalami gangguan pertama. Pada
lari Marathon sangat memungkinkan terjadinya suhu tubuh yang
berlebihan, karena panas akan terus diproduksi sampai lebih dari tiga jam.
Oleh karena itu bagi pelari Marathon, dalam hal mengikuti lomba tidak
diperkenankan melebihi tiga target dalam kurun waktu satu tahun. Hal

11
demikian untuk menghindari otak agar tidak terlalu sering mengalami
suhu yang terlalu tinggi sehingga menimbulkan kelainan fungsinya.
Produksi panas tubuh sangat tergantung pada Basal Metabolisme,
tingkat kerja (katabolisme), dan Effisiensi kerja. Tingkat kerja yang
makin besar, makin besar pula panas yang ditimbulkan metabolisme.
Pada atlet terlatih effisiensi kerja (dinamis) cukup tinggi ± 37 %, sehingga
produksi panas yang terjadi pada kerja dinamis - ± 63 %. Jadi orang
terlatih yang melakukan gerak dinamis pada tingkat kerja yang sama
dengan orang biasa, maka suhu yang diproduksi oleh tubuhnya lebih
rendah. Akibatnya proses warming-up atlet terlatih relatif memerlukan
waktu lebih lama.
Pembuangan panas tubuh (tubuh kehilangan panas) yang paling besar
dilakukan oleh kulit ± 87 %, baik secara radiasi, konduksi, konveksi, dan
evaporasi. Radiasi sangat tergantung pada suhu sekitar. Kalau suhu sekitar
± 35 º C maka proses radiasi tubuh ke udara sekitar mengalami gangguan.
Konduksi adalah dengan rambatan karena bersinggungan dengan benda
dingin. Makin tinggi suhu benda makin kecil proses konduksi panas.
Misal mandi dengan air (yang suhunya ± 24 º C), berarti proses konduksi
akan besar sehingga tubuh akan kehilangan panas besar. Konveksi adalah
proses mengganti udara sekitar tubuh dengan udara baru, sehingga
sebenarnya adalah proses radiasi angin. Evaporasi adalah proses
penguapan cairan yang ada di kulit tubuh (normal adalah keringat), proses
penguapan ini sangat tergantung pada kadar uap air udara (humidity)
sekitar dan angin. Makin kecil kadar uap air (kering), maka proses
evaporassi akan meningkat dan menyebabkan suhu tubuh turun atau
pembuangan panas bertambah.
Keuntungan dari suhu tubuh yang meningkat lebih tinggi pada
olahraga :
1. Frekwensi denyut jantung meningkat
2. Pertukaran cairan dan gas lebih meningkat
3. Memacu pusat pernafasan, sehingga ventilasi meningkat
4. Kerja otot lebih optimal
Akibat suhu tubuh yang meningkat :
1. Vaso dilatasi kulit, untuk meningkatkan pembuangan panas
2. Sekresi keringat bertambah
3. Vaso kontraksi pada alat-alat dalam.
h. Perubahan Dalam Sistem Hormonal
12
Hormon berfungsi untuk mengatur homeostasis dalam tubuh manusia
agar terjadi keseimbangan atau keadaan normal sehingga tidak ada
gangguan dalam tubuh. Ketika berlatih kebutuhan energi akan meningkat
sehingga hormon-hormon yang berfungsi untuk katabolisme juga harus
meningkat, karena energi akan diperoleh dari memecah molekul-molekul
besar bahan energi dalam tubuh. Sebaliknya hormon yang diperlukan
untuk anabolisme atau menyusun molekul besar dalam tubuh justru harus
menurun.
Ketika berlatih memerlukan energi yang lebih sehingga harus
memobilisir cadangan energi. Triasilgliserol (cadangan lemak) akan
dilipolisis (dipecah) dari sel adiposa, glikogenolisis (pemecahan
glikogen) akan terjadi untuk memobilisir glikogen hati agar menjadi gula
darah dan dipergunakan oleh selsel otot. Demikian juga ketika intensitas
maksimal harus dilaksanakan cukup “panjang” glikogen otot akan
dipergunakan. Untuk memobilisir energy tersebut diperlukan
peningkatan sekresi beberapa hormon. Otot rangka maupun otot jantung
dituntut untuk kontraksi lebih kuat, sehingga diperlukan juga peningkatan
hormon epinefrin.
Hormon epinefrin atau adrenalin yang meningkat akan membantu
dalam memobilisir glikogen hati, sehingga glikogenolisis akan
meningkat. Dengan demikian glukosa darah akan tetap terjaga kadarnya
meskipun banyak digunakan oleh sel-sel otot rangka. Dengan
bertahannya kadar gula darah juga akan tercukupinya kebutuhan energi
sel-sel saraf sehingga sistem saraf selama latihan tidak terganggu.
Dalam latihan beberapa hormon akan meningkat seperti: epinefrin,
norepinefrin, glukagon, kortisol, aldosteron, hormon pertumbuhan, beta
endorfin, dan vasopresin. Sedangkan hormon insulin justru akan turun,
agar gula darah tidak terlalu cepat masuk dalam sel-sel otot yang dapat
mengakibatnya merosotnya kadar gula darah. Pada suatu kejuaraan
olahraga yang berlangsung satu pekan dengan jadwal bertanding cukup
padat, perlu dibuat jadwal latihan (pemanasan) agar pertandingan diawal
kejuaraan tidak menjadi beban yang teradaptasi menjelang pertandingan
berikutnya.

13
B. Efek Kronik Latiham atau Keadaan Terlatih
a. Efek Kronik Latihan Pada Sistem Peredaran Darah
Program latihan yang bersifat aerobik akan akan menyebabkan
semakin besarnya ruang pada atrium maupun ventrikel pada jantung.
Dengan demikian volume darah sedenyut (stroke volume=SV) akan
meningkat. Dengan meningkatnya volume darah sedenyut maka untuk
memenuhi kebutuhan oksigen maupun membuang karbon dioksida
jantung tidak perlu memompa dengan frekuensi yang tinggi. Oleh karena
itu atlet yang terlatih dalam daya tahan aerobik denyut nadi minimalnya
akan di bawah 60 kali per menit, bahkan lebih rendah dari 50 kali per
menit. Denyut nadi minimal adalah denyut jantung bangun tidur (jika
pencernaan kosong, sore harinya tidak kelelahan, dan stelah tidur nyenyak
lebih dari delapan jam).
Pada bentuk latihan anerobik, yang pemulihannya tidak penuh, lebih
dari satu kali per minggu, akan memungkinkan menebalnya otot jantung
yang belum tentu diikuti membesarnya ruang atrium maupun ventrikel.
Orang yang mengalami penyempitan pembuluh koroner juga
akanmenunjukkan penebalan otot jantung. Hal demikian karena
terganggunnya suplai darah atau oksigen, yang menyebabkan kebutuhan
energi otot jantung akan segera bergeser dari dipenuhi asam lemak, ke
glukosa darah, dan akhirnya banyak menggunakan glikogen otot jantung.
Penggunaan glikogen otot jantung tersebut akan diadaptasi dengan
memperbanyak timbunannya. Oleh karena itu pemeriksaan yang hanya
menggunakan EKG pada seorang atlet perlu benarbenar dicermati agar
tidak tergesa-gesa memvonis sebagaii penderita jantung koroner.
Latihan daya tahan aerobik akan mengembangkan ruang ventrikel
maupun atrium pada jantung sehingga volume sedenyut maupun curah
jantung akan meningkat. Selain meningkatnya volume se denyut juga
akan menyebabkan bertambahnya pembuluh-pembuluh pada otot jantung,
sehingga akan dapat mengurangi terganggunya aliran darah pada otot
jantung. Dengan banyaknya pembuluh, jika ada satu dua pembuluh yang
tersumbat perannya akan diambil alih pembuluh-pembuluh yang lain.
Pada latihan daya tahan anaerobik, jika intensitas maksimal, durasi lebih
dari 40 detik, pemulihan terlalu pendek, dan frekuensi lebih dari sekali
14
dalam satu minggu akan dapat menyebabkan penebalan karena glikogen
pada otot. Jantung.
b. Efek Kronik Latihan Pada Sistem Pernafasan
Paru-paru (Pulmo) merupakan organ yang sangat menentukan dalam
sistem pernafasan. Alveoli dalam paru-paru merupakan tempat utama
untuk mengambil O2 dan melepaskan CO2 . Volume atau besarnya paru-
paru (kapasiatas vital) akan berpengaruh terhadap kecepatan pengambilan
O2 dan pelepasan CO2. Semakin besar volume paru-paru akan semakin
cepat proses terjadinya pertukaran gas (difusi) tersebut. Program latihan
daya tahan akan banyak meningkatkan volume paru-paru dan semakin
tingginya kualitas pertukaran gas. Pada orang normal volume paru-paru
sekitar 2500 cc sampai 3000 cc tetapi bagi atlet cabang olahraga seperti
pelari Marathon, pembalap sepeda nomor jalan raya, atau pendayung
jarak jauh volume paru-paru dapat mencapai 5000 cc bahkan jika
orangnya besar dapat mencapai 7000 cc.
Besarnya berbagai hawa dalam pernafasan termasuk volume paru-
paru dapat diukur dengan spirometer, baik yang manual maupun yang
digital. Besarnya volume paru-paru (kapasitas vital) diukur dengan cara
menghirup udara sekuat-kuatnya kemudian menghembuskan ke
spirometer sekuat-kuatnya pula.
Pada seorang perokok perokok berat saluran pernafasan dan paru-paru
banyak tertutup nikotin. Sebagai akibatnya pertukaran gas menjadi sangat
sulit. Sebagai adaptasi dari keadaan tersebut paru-paru berusahan
memperluas permukaan atau memperbesar volume. Oleh karena itu
perokok berat akan dapat mempunyai kapasitas vital yang besar, tetapi
kemampuann pertukaran gas tetap kecil.
c. Efek Kronik Latihan Pada Sistem Otot dan Saraf
Pengertian Neuro Musculer adalah dua sistem yang tak dapat
dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam keadaan
olahraga. Musculer (perototan) dalam fungsinyta adalah
mengkerut/memendek/kontraksi. Dalam pemendekan ia harus dirangsang
oleh sistem neuro/saraf, sehingga ia terkontrol kekuatan, akurasi, maupun
powernya. Hal tersebut disebabkan makin besar berkehendak makin kuat
dan cepat kontraksinya. Sehingga tak mungkin otot menampilkan
kerjanya dengan baik tanpa sumbangan dari saraf.

15
Otot yang akan dibicarakan disini ialah otot serang lintang/otot
lurik/otot rangka otot skelet. Masa otot ± 50 % masa tubuh. Otot tersusun
dari 75 % air, 29 % protein, dan 5 % berupa garam, mineral, karbohidrat,
lemak. Karbohidrat dalam bentuk glykogen, sedang protein dalam bentuk
myofibre (serabut otot), ATP, PC dan myoglobin.
Otot terdiri dari kumpulan banayak sel otot. Sel otot berbentuk seperti
benang memanjang. 1 sel otot = 1 serabut otot = 1 myofibre. Myo
(muscle) fibre di dalamnya memiliki inti, myofibril (serabut halus),
terkandung banyak mitochondria (tempat pembuatan ATP), dan glycogen.
Sifat dari myofibril lah yang mempunyai kemampuan memendek karena
adanya sifat kontraktil dari aktin dan myosin bila diberi tenaga dari
pecahnya ATP.
All or non law, adalah hukum yang berlaku untuk 1 serabut otot.
Artinya bila 1 serabut otot tersebut dirangsang maka ia tak akan
berkontraksi maksimal bila rangsangnya kurang dari nilai ambang
rangsang, atau akan berkontraksi maksimal bila rangsangnya diatas nilai
ambang rangsang. Jadi meskipun 1 serabut otot tersebut dirangsang
dengan rangsang yang lebih besar lagi, 1 serabut otot tersebut akan tetap
berkontraksi maksimal. Karena otot terdiri dari banyak sebaut otot dan
tiap serabut otot memiliki nilai ambang rangsang yang berbeda, maka
makin besar rangsang akan makin banyak serabut otot yang berkontraksi,
sehingga kuat kontraksinya akan makin kuat. Jadi makin besar kehendak
(rangsang), makin kuat kontraksi otot. Sejak lahir jumlah serabut otot
pada otot tetap, artinya sel otot tak pernah memperbanyak diri. Tetapi
serabut otot bisa membesar, dimana jumlah serabut halus (myofibril)
bertambah banyak dan menyebabkan sel otot akan membesar, sehingga
otot akan bertambah besar pula. Keadaan ini disebut dengan hypertropi,
bukan hyperplasi. Pembesaran otot akan menyebabkan kekuatan otot akan
bertambah kuat pula, sebab semakin banyak actin dan myosin.

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

17
DAFTAR PUSTAKA

https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1302315023-3-bab%202.pdf diakses pada tanggal 4


Maret 2017

Arief, LM, 2012. Monitoring Lingkungan Kerja, Tekanan Panas/Heat Stress.


Jakarta: FIK PS Kesehatan Masyarakat Universitas Esa Unggul.

lib.unnes.ac.id/20822/1/6250408006-S.pd diakses pada tanggal 4 Maret 2017

ojs.unud.ac.id/index.php/sport/article/viewFile/28886/17898 diakses pada tanggal 10


Maret 2017

Lamb, D.R. 1984. Physiology Exercise (responses and Adaptations). Macmillan


Publishing Company New York .

Power, S.K and Howley, E. 1990. Exercise physiology (theory and application to
fitness and performance). Wm.C. Brown Publisher.

Sandi, I. Nengah, et al. "PENGARUH KELEMBABAN RELATIF TERHADAP


PERUBAHAN SUHU TUBUH LATIHAN." Sport and Fitness Journal 5.1 (2017).

18

Вам также может понравиться