Вы находитесь на странице: 1из 2

The Development of Islam in Modjokuto

The Religion of Java (Clifford Geertz)

The modjokuto area was opened up to settlement around the middle of the nineteenth century. It was
originally populated, in the main, from four regions of Java: the so-called Mataram area of Central Java,
which includes the court kingdoms of Djokjakarta and Surakarta; the Brantas river valley running north of
Modjokuto to Surabaja (Kertosono, Modjoagung, Modjokerto, and Krian) ; the Kediri plain, spreading out
fanwise south of that city to Blitar, Tulungagung, and Trenggalek; and the north coast of Java—Gresik,
Rembang, Kudus, Demak, and the Java Sea islands of Bawean and Madura. Migration patterns are, as
always, a matter of statistics, but most of Modjokuto’s earliest prijajis (as well as many of its abangans)
seem to have come originally from Mataram; a large part of its abangan population from the next two
areas, the Brantas and Kediri plains; and the bulk of the older santri population, with one notable
exception, originally from the north coast regions.

The first wave of migration from the north coast area consisted of peasants, in part uprooted by the
social disorganization, economic distress, and governmental repression following upon the Java War of
1825-1830 and upon the imposition of the forced-crop “Cultivation System” (Cultuurstelsel) by the
colonial government in 1830. A party of twenty or so families from the Kudus and Demak countryside
settled in a village in the district to the immediate north of Modjokuto in about 1860, and a decade or so
later moved on en masse, one half of them founding a village in the northeast section of the Modjokuto
subdistrict, the other half opening another just to the northwest of the town. (These two villages are still
renowned in the Modjokuto area for being about 100 per cent santri, for providing an unusual number
of prominent Moslem political leaders, and for containing the most fertile and best irrigated land for
miles around.) Other rural migrants from Kudus and Demak, some relatives and some not, followed and
settled both among these pioneers and at various other points within the subdistrict—usually, but not
always, somewhat segregated from the abangan settlers who were drifting in at the same time.

Perkembangan Islam di Mojokuto

Agama Jawa (Clifford Geertz)


Perkembangan Islam di Mojokuto Wilayah Mojokuto dibuka sebagai pemukiman sekitar pertengahan
abad ke-19. Mulanya ia memperoleh penduduk, terutama sekali dari empat daerah di Jawa, yaitu yang
disebut wilayah Mataram di Jawa Tengah (termasuk di dalamnya keraton Yogyakarta dan Surakarta),
daerah lembah Kali Brantas yang mengalir dari utara Mojokuto ke Surabaya (Kartosono, Mojoagung,
Mojokerto dan Krian), dataran Kediri yang membentang seperti kipas ke selatan kota itu (ke arah Blitar,
Tulungagung), dan pesisir utara Jawa (Gresik, Rembang, Kudus, Demak dan pulau-pulau Bawean serta
Madura di Laut Jawa). Pola migrasi selalu merupakan persoalan statistik, tetapi kebanyakan priyayi awal
Mojokuto (dan juga kebanyakan kaum abangan-nya) agaknya berasal dari Mataram. Sebagian besar
penduduk abangan-nya berasal dari dua wilayah berikutnya, dataran Brantas serta Kediri. Sejumlah
penduduk santri-nya mulanya berasal dari daerah pesisir utara, dengan satu pengecualian yang patut
dicatat.

Gelombang migrasi pertama dari daerah pantai utara terdiri atas para petani, sebagian berkelana, karena
adanya disorganisasi sosial, tekanan ekonomi dan penindasan pemerintah sesudah perang Jawa antara
tahun 1825-1830, serta karena pelaksanaan tanam paksa (1Cultuurstelsel) oleh pemerintah kolonial di
tahun 1830. Satu rombongan dengan sekitar 20 keluarga dari desa-desa Demak dan Kudus menetap di
sebuah desa di kecamatan itu, persis di sebelah utara Mojokuto pada sekitar tahun 1860. Satu dasawarsa
kemudian, mereka semua pindah, setengahnya mendirikan desa di timurlaut kecamatan Mojokuto dan
yang setengahnya lagi membuka tanah di baratlaut kota itu. (Dua desa ini masih terkenal di wilayah
Mojokuto, karena 100% penduduk-nya santri dan menghasilkan sejumlah besar pemimpin politik Islam
terkemuka, serta karena memiliki tanah yang paling subur dan palingbaik irigasinya sampai berkilo-
kilometer jauhnya). Migran dari desa-desa Kudus dan Demak lainnya, beberapa merupakan sanak-
keluarga serta beberapa lagi bukan, kemudian ikut pindah ke sini dan tinggal di antara para perintis
maupun di beberapa tempat dalam kecamatan itu—biasanya, tetapi tidak selalu, agak terpisah dari para
pemukim abangan yang pindah ke sana pada waktu yang bersamaan.

Вам также может понравиться