Вы находитесь на странице: 1из 53

IDENTIFIKASI STRUKTUR DAN BATUAN BAWAH PERMUKAAN HASIL

INVERSI MENGGUNAKAN DATA MAGNETOTELLURIK PADA DESA


GUNUNGRONGGO KECATAMAN TAJINAN KABUPATEN MALANG

oleh:

JIHAN HARDIYANTI ARIEF

155090701111007

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
ABSTRAK
Metoda magnetotellurik (MT) merupakan salah satu metoda eksplorasi geofisika yang
memanfaatkan medan elektromagnetik alam. Medan EM tersebut ditimbulkan oleh berbagai

proses fisik yang cukup kompleks sehingga spektrum frekuensinya sangat lebar (10-5 Hz -

104Hz). Penelitian ini menggunakan metode magnetotellurik untuk mengidentifikasi struktur


bawah permukaan Desa Gunungronggo yang memiliki suatu bukit berbentuk tapal kuda yang
bernama Gunung Ronggo. Penelitian ini menggunakan 7 buah titik area pengukuran, yang tiap
titiknya diukur ± 8 jam per hari pada tanggal 15 – 21 Oktober 2018 untuk memperoleh data
time series dari penggunaan frekuensi tinggi, sedang, dan rendah. Pengolahan menggunakan
Mapros untuk memperoleh kurva resistivitas semu dan fase lalu dilakukan pemodelan 1D
metode inversi Bostick dan pemodelan 2D metode NLCG pada WinGlink. Dari hasil
pemodelan 1D diperoleh bahwa pada bawah permukaan Desa Gunung Ronggo terdiri dari 4
lapisan yang didominasi oleh batuan basalt dan tuf kering jika dikorelasikan dengan peta
geologi regional yang ada. Dari hasil pemodelan 2D diperoleh bahwa terdapat bentukan intrusi
magma di bawah permukaan yang memiliki nilai resistivitas tinggi. Diindikasikan Gunung
Ronggo merupakan hasil intrusi magma dari Gunung Buring, yang jika ditinjau dari geologi
regionalnya memiliki jenis endapan yang sama (Qpvb), namun mengalami amblesan pada
daerah baratnya sehingga membentuk morfologi tapal kuda seperti yang terlihat saat ini.

Kata kunci: magnetotellurik, tapal kuda, basalt, tuf kering, Bostick, NLCG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam pengaplikasiannya untuk tahap akuisisi, seorang Geofisikawan dapat memilih
suatu metode yang sesuai dengan target akuisisi, di mana dari hasil akuisisi dengan salah satu
metode tersebut dapat diolah hingga dapat diinterpretasikan. Metode yang dapat digunakan
antara lain, metode gravitasi, metode magnetik, metode seismik, metode resistivitas, dan
metode lainnya.

Metoda magnetotellurik (MT) merupakan salah satu metoda eksplorasi geofisika yang
memanfaatkan medan elektromagnetik alam. Medan EM tersebut ditimbulkan oleh berbagai

proses fisik yang cukup kompleks sehingga spektrum frekuensinya sangat lebar (10-5 Hz -

104Hz).

Gunungronggo merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Tajinan, Kabupaten
Malang. Pada desa tersebut, terdapat morfologi unik jika dilihat dari citra satelit, yaitu suatu
bukit yang berbentuk tapal kuda yang bernama Gunung Ronggo. Berdasarkan penelusuran yang
ada, belum ada penelitian terkait yang dapat mengindikasikan bentukan tapal kuda tersebut
“hadir” di Desa Gunungronggo yang memiliki kontur landai. Karena belum ada penelitian
mengenai struktur bawah permukaan dari Desa Gunungronggo, maka dilakukan penelitian
struktur bawah permukaan menggunakan metode magnetotellurik sehingga dapat diperoleh
kejadian geologi yang membentuk morfologi tapal kuda tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Untuk penelitian ini, diambil beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana penerapan metode magnetotellurik pada proses akuisisi data di daerah
penelitian?
2. Bagaimana proses pengolahan data agar diperoleh penampang inversi data
magnetotellurik yang sesuai dengan keadaan bawah permukaan daerah penelitian?
3. Bagaimana interpretasi hasil inversi data magnetotellurik agar diketahui kondisi bawah
permukaan daerah penelitian?
4. Bagaimana interpretasi data magnetotellurik jika dibandingkan dengan data dari metode
geofisika lainnya?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui penerapan metode magnetotellurik pada proses akuisisi data di daerah
penelitian.
2. Mengetahui proses pengolahan data agar didapatkan penampang inversi data
magnetotellurik yang sesuai dengan keadaan bawah permukaan daerah penelitian.
3. Mengetahui interpretasi hasil inversi data magnetotellurik agar diketahui kondisi bawah
permukaan daerah penelitian.
4. Mengetahui interpretasi data magnetotellurik jika dibandingkan dengan data dari
metode geofisika lainnya.
1.4 Batasan Masalah
Demi pemfokusan masalah, pada penelitian ini diterapkan beberapa batasan masalah,
yaitu:
1. Data magnetotellurik yang digunakan merupakan data primer yang diperoleh melalui
kegiatan akuisisi data dan terdiri dari 7 titik pengukuran di daerah Desa Gunung
Ronggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
2. Perangkat lunak yang digunakan pada tahap pengolahan data yaitu Ms. Excel, Mapros,
dan WinGlink.
3. Inversi yang digunakan pada tahap interpretasi yaitu inversi 1D Bostick dan 2D NLCG.
4. Hasil pengolahan data dan interpretasi hanya sebatas di daerah penelitian saja yang
dikorelasikan dengan data geologi regional daerah penelitian serta metode geofisika
lainnya.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah antara lain:

1. Memahami konsep akuisisi data menggunakan metode magnetotellurik di lapangan.


2. Mengetahui tahapan dan cara melakukan pengolahan data magnetotellurik.
3. Mampu menginterpretasikan penampang hasil inversi data magnetotellurik dengan
mengacu pada data geologi regional daerah penelitian serta dibandingkan dengan
metode geofisika lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Geologi Regional
Gunung Ronggo merupakan nama bukit berbentuk tapal kuda yang terletak di Kecamatan
Tajinan, Kabupaten Malang. Berdasarkan peta geologi regional lembar Turen pada Gambar 2.1,
Gunung Ronggo terdiri dari satuan Qpvb, yaitu Endapan Gunungapi Buring yang mayoritas
terdiri dari lava basal olivin pirokesen dan tuf pasiran. Di bagian timur, unit Qpvb Gunung
Ronggo berbatasan dengan unit Qvt, yaitu Endapan Gunungapi Tengger yang terdiri dari lava
andesit piroksen, basal olivine, dan piroklastika jatuhan. Pada sebelah barat, Gunung Ronggo
berbatasan dengan unit Qptm (Endapan Tuf Gunungapi) yang terdiri dari tuf kasar-halus,
berbatuapung dan fragmen andesit (Sujanto, dkk., 1992).

Gambar 2. 1 Geologi regional Gunung Ronggo (Sujanto, dkk., 1992)

Berdasarkan stratigrafi regionalnya, unit Qpvb, Qvt, dan Qptm berumur kuarter, dimana
endapannya terdapat pada 500 meter di atas permukaan hingga 500 meter di bawah permukaan,
seperti yang terlihat pada Gambar 2.2. Pada Gambar 2.1, tidak ditemukan bentukan struktur
geologi seperti patahan, sinklin, ataupun antiklin pada daerah penelitian. Karena dikelilingi oleh
unit batuan gunungapi, daerah Gunungronggo mayoritas merupakan batuan gunungapi yang
berasal dari endapan gunungapi Buring, tetapi belum ada penelitian yang menjelaskan aktivitas
vulkanik Gunungronggo ataupun Gunungapi Buring. Hal ini kemudian menimbulkan
pertanyaan mengenai kejadian geologi yang membentuk Gunung Ronggo berbentuk seperti
tapal kuda menghadap ke barat. Sebagai hipotesa, diduga Gunung Ronggo ini adalah ring dike
yang mengalami proses pengikisan permukaan akibat panas magma yang mengalir secara efusif
pada bagian tengah sehingga hanya menyisakan bagian pinggiran membentuk huruf U.
Diindikasikan bagian tengah yang “hilang” tersebut merupakan zona lemah sehingga magma
dapat mengalir secara efusif ke atas permukaan.

Ring dike adalah intrusi magma yang melingkar atau bentuk semu lingkaran. Intrusi ini
paling sering terbentuk pada kaldera yang runtuh. Ketika ruang magma yang dangkal
mengosongkan isinya dan melepaskan tekanan, atapnya sering runtuh ke cekungan kosong.
Saat atap runtuh, maka sering muncul rekahan mengarah vertikal. Magma kemudian bisa naik
melalui faktur ini mendingin lalu membentuk tanggul tepi luar kaldera yang runtuh.\

Di Kecamatan Tajinan, tepatnya di Desa Gunungronggo (bagian utara Gunung Ronggo)


terdapat sumber mata air, yaitu Sumber Jenon. Diindikasikan Sumber Jenon ini merupakan
bagian aliran sungai, yang apabila ditilik pada Gambar 2.1 terdapat aliran sungai. Karena belum
ditemukannya catatan aktivitas vulkanik, maka diindikasikan aliran sungai tersebut merupakan
aliran sungai bawah permukaan yang kemudian di beberapa titik muncul di permukaan akibat
pengikisan permukaan. Sesuai kondisi di lapangan, air yang keluar dari sumber air Sumber
Jenon air berpasir, sehingga menguatkan hipotesa bahwa air yang mengalir tersebut berasal dari
sungai bawah permukaan.

Gambar 2. 2 Stratigrafi regional pada lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992)


2.2 Dasar Teori Metode Magnetotelluric (MT)
Sumber sinyal untuk metode magnetotellurik yaitu medan magnetik yang berasal dari
dalam dan luar bumi serta memiliki rentang frekuensi yang bervariasi. Medan magnet yang
berasal dari dalam bumi, disebabkan oleh pergerakan antara mantel bumi terhadap inti bumi.
Medan magnet yang berasal dari luar bumi adalah medan magnet yang dihasilkan di atmosfer
dan magnetosfer (Vozoff, 1972).

Sumber medan magnetik tersebut memiliki nilai yang bervariasi terhadap waktu, namun
pada metode magnetotellurik hanya medan magnetik yang berasal dari luar bumi dan memiliki
rentang frekuensi besar saja yang dimanfaatkan. Perbedaan pada sinyal terekam dapat
digunakan untuk memperkirakan distribusi resistivitas bawah permukaan. Teknik prospeksi
resistivitas untuk menentukan kedalaman formasi batuan sedimen di dalam bumi dengan cara
mengukur tahanan jenis formasi batuan tersebut berdasarkan pengukuran serempak medan
listrik dan medan magnet yang berosilasi pada lokasi yang sama, yaitu dengan mencatat rentang
frekuensi yang tergantung dari kedalaman sasaran (Nidya, 2011).

Metode magnetotellurik (MT) merupakan metode pasif yang memanfaatkan medan


elektromagnetik alam untuk menggambarkan keadaan bawah permukaan bumi, mulai dari
kedalaman beberapa puluh meter hingga ratusan kilometer (Telford, dkk., 1990). Medan
elektromagnetik tersebut ditimbulkan oleh berbagai proses fisik yang cukup kompleks sehingga
spektrum frekuensinya sangat lebar, yaitu antara 10-5 Hz – 10-4 Hz. Umumnya frekuensi
ang kurang dari 1 Hz disebabkan oleh aktivitas solar wind yang mengandung partikel-
partikel bermuatan listrik dan berinteraksi dengan medan magnet permanen bumi sehingga
menyebabkan variasi medan elektromagnetik, sedangkan untuk frekuensi lebih besar dari 1
Hz disebabkan oleh aktifitas meteorologis berupa petir (Widarto, 2014). Petir yang terjadi
di suatu tempat menimbulkan gelombang elektromagnetik yang terperangkap diantara
ionosfer dan bumi membentuk wave guide yang menjalar mengitari bumi.
Noise (gangguan) adalah bagian dari data elektrik dan magnetik baik yang berasal dari
buatan manusia maupun terbentuk dengan sendirinya serta tidak memenuhi asumsi gelombang
datar yang diperlukan pada metode magnetotelurik. Noise yang berasal dari buatan manusia
yaitu antara lain pagar besi, saluran pipa, jaringan komunikasi, gerakan kendaraan, dan kereta
serta sumber buatan manusia lainnya yang dapat mengontaminasi respon dari sistem
magnetotelurik. Noise yang berasal dari generator, saluran pipa, gerakan kendaraan, dan kereta
dapat dihindari dengan meletakan alat pada jarak minimal 5 km dari sumber noise. Noise yang
berasal dari alam yaitu antara lain petir, angin, dan hujan badai juga dapat menurunkan kualitas
data, namun noise ini dapat dihindari dengan tidak melakukan pengambilan data saat musim
hujan (Unsworth, 2008).
Memendam koil dan menjaga kabel dipole elektrik agar tetap berada di atas tanah juga
membantu mengurangi noise yang berasal dari angin. Pengukuran medan magnet akan sulit jika
dalam kondisi berangin karena dapat menyebabkan gerakan tanah yang tidak signifikan. Hal
ini juga menyebabkan koil induksi bergerak sehingga dapat mengubah komponen medan
magnet bumi pada koil magnetik (Unsworth, 2008).

2.2.1 Prinsip Dasar Metode Magnetotellurik


• Persamaan Maxwell
Kebergantungan fenomena listrik dan magnet terhadap sifat kelistrikan terutama
konduktivitas medium (bumi) dapat dimanfaatkan untuk keperluan eksplorasi
menggunakan metode magnetotellurik. Hal ini dilakukan dengan mengukur secara simultan
variasi medan listrik (E) dan medan magnet (H) sebagai fungsi waktu. Informasi mengenai
konduktivitas medium yang terkandung dalam data magnetotellurik dapat diperoleh dari
penyelesaian persamaan Maxwell menggunakan model-model yang relatif sederhana. Pada
dekade 50-an untuk pertama kali hal tersebut dilakukan dan dibahas oleh Tikhonov (1950)
yang kemudian menjadi dasar metode magnetotellurik. Dengan demikian metode ini masih
relatif baru jika dibandingkan dengan metode geofisika lainnya. Perkembangan teori
medan elektromagnetik dapat dideskripsikan melalui empat persamaan berikut, yang
disebut persamaan Maxwell (Ranganayaki, 1984).
𝝏𝑩
𝛁 ×𝑬= − (1)
𝝏𝒕
𝝏𝑫
𝛁 ×𝑯=𝒋 + (2)
𝝏𝒕

𝛁. 𝑫= 𝒒 (3)
𝛁. 𝑩= 𝟎 (4)

dimana E : medan listrik (volt/m)


B : fluks atau induksi magnetik (weber/m2 atau Tesla)
H : medan magnet (Ampere/m)
J : rapat arus (Ampere/m2)
D : perpindahan listrik (Coulomb/m2)
q : rapat muatan listrik (Coulomb/m3)
Persamaan (1) diturunkan dari hukum Faraday yang menyatakan bahwa perubahan fluks
magnetik (B) menyebabkan medan listrik (E) dengan gaya gerak listrik berlawanan dengan
variasi fluks magnetik yang menyebabkannya. Persamaan (2) merupakan generalisasi
teorema Ampere dengan memperhitungkan hukum kekekalan muatan. Persamaan tersebut
menyatakan bahwa medan magnet (H) timbul akibat fluks total arus listrik (j) yang
disebabkan oleh arus konduksi dan arus perpindahan (Gambar 1b).

(a) (b)
Gambar 2. 3 (a) Hukum Faraday; (b) Hukum Ampere (Chave & Jones, 2012)

Persamaan (3) menyatakan hukum Gauss yaitu fluks elektrik pada suatu ruang
sebanding dengan muatan total yang ada dalam ruang tersebut. Sedangkan persamaan (4)
yang identik dengan persamaan (3) berlaku untuk medan magnet, namun dalam hal ini tidak
terdapat monopol magnetik (Chave dan Jones, 2012).

Hubungan antara intensitas medan dengan fluks yang terjadi pada medium dinyatakan
oleh persamaan berikut:

𝐵 = 𝜇. 𝐻 (5)
𝐷 = 𝜀. 𝐸 (6)
𝐸
𝐽 = 𝜎. 𝐸 = 𝜌 (7)

Dimana:

μ= permeabilitas magnetik (Henry/m)

ε= permitivitas listrik (Farad/m)

σ= konduktivitas (Siemens/m)

ρ= tahanan jenis (Ohm.m)

Secara sederhana, sifat fisik medium diasumsikan tidak bervariasi terhadap waktu dan
posisi (homogen isotropik). Dengan demikian akumulasi muatan tidak terjadi dan persamaan
Maxwell dapat dituliskan kembali sebagai berikut:

𝜕𝐻
∇ × 𝐸 = −𝜇 (8)
𝜕𝑡
𝜕𝐸
∇ × 𝐻 = 𝜎. 𝐸 + 𝜀 𝜕𝑡 (9)
∇. 𝐸 = 0 (10)
∇. 𝐻 = 0 (11)

Tampak bahwa dalam persamaan Maxwell tersebut hanya terdapat dua variabel yaitu
medan listrik (E) dan medan magnet (H). Dengan operasi curl terhadap persamaan tersebut
serta mensubstitusikan besaran-besaran yang telah diketahui maka akan diperoleh pemisahan
variabel E dan H sehingga persamaan dapat dituliskan sebagai berikut:

𝜕𝐸 𝛿2 𝐸
∇ × ∇ × 𝐸 = −𝜇𝜎 𝜕𝑡 − 𝜇𝜀 𝜕𝑡 2 (12)
𝜕𝐻 𝛿2 𝐻
∇ × ∇ × 𝐻 = −𝜇𝜎 𝜕𝑡 − 𝜇𝜀 (13)
𝜕𝑡 2

Dengan memperhatikan identitas vektor ∇ × ∇ × 𝑥 = ∇. ∇. 𝑥 − ∇2 𝑥 dimana x adalah E


atau H, serta hubungan yang dinyatakan oleh persamaan tersebut, maka didapatkan persamaan
gelombang (persamaan Helmholtz) untuk medan listrik dan medan magnet sebagai berikut:

𝜕𝐸 𝛿2 𝐸
∇2 𝐸 = 𝜇𝜎 𝜕𝑡 + 𝜇𝜀 𝜕𝑡 2 (14)
𝜕𝐻 𝛿2𝐻
∇2 𝐻 = 𝜇𝜎 𝜕𝑡 + 𝜇𝜀 (15)
𝜕𝑡 2

Jika variasi terhadap waktu dapat direpresentasikan oleh fungsi periodik sinusoidal maka:

𝐸(𝑟, 𝑡) = 𝐸0 (𝑟)𝑒 𝑖𝜔𝑡 (16)


𝐻(𝑟, 𝑡) = 𝐻0 (𝑟)𝑒 𝑖𝜔𝑡 (17)

Dimana E0 dan H0 masing-masing adalah amplitudo medan listrik dan medan magnet,
serta ω adalah frekuensi gelombang elektromagnetik. Dengan demikian persamaan tersebut
menjadi sebagai berikut:

∇2 𝐸 = (𝑖𝜔𝜇𝜎 − 𝜔2 𝜇𝜀)𝐸 (18)

∇2 𝐻 = (𝑖𝜔𝜇𝜎 − 𝜔2 𝜇𝜀)𝐻 (19)

Eliminasi kebergantungan medan terhadap waktu selain dimaksudkan untuk


menyederhanakan persamaan juga untuk lebih mengeksplisitkan aproksimasi keadaan kuasi-
stasioner tersebut. Dengan demikian persamaan gelombang di atas menjadi persamaan difusi
sebagai berikut:

∇2 𝐸 = 𝑘 2 𝐸 (20)
∇2 𝐻 = 𝑘 2 𝐻 (21)

Dimana 𝑘 = √𝑖𝜔𝜇0 𝜎 adalah bilangan gelombang.


Pada kondisi yang biasa ditemukan dalam eksplorasi geofisika (frekuensi <10 Hz), suku
yang mengandung 𝜀 (perpindahan listrik) dapat diabaikan terhadap suku yang mengandung σ
(konduksi listrik) karena harga 𝜔𝜇σ ≫ 𝜔2𝜇𝜀 untuk 𝜇 = 𝜇𝜇o = 4𝜋.10-7 𝐻/𝑚. Pendekatan tersebut
adalah aproksimasi keadaan kuasi-stasioner dimana waktu tempuh gelombang diabaikan
(Tikhonov, 1950).

• Apparent Resistivity

Karena kerambatan medan magnetotellurik di bawah permukaan bumi pada dasarnya


merambat dengan frekuensi rendah maka parameter fisika yang digunakan adalah permeabilitas
magnetik (µ), konduktivitas (σ), dan (ω). Menurut Cagniard (1953), untuk gelombang yang
terpolarisasi dalam bidang horizontal dan merambat ke bawah permukaan, maka besarnya
apparent resistivity (ρa) sebanding dengan nilai kuadrat dari impedansi magnetotellurik (Z(ω)).

1
𝜌𝑎 = |𝑍(𝜔)|2 (22)
𝜔𝜇0

Dengan Z(ω) sama dengan (Ex/Hy) atau (Ey/Hx), yang merupakan perbandingan
komponen orthogonal dari medan listrik dan medan magnetik.
Berdasarkan teori tersebut maka diperoleh hubungan tahanan jenis suatu lapisan dengan
asumsi bahwa bumi bersifat isotropis dan homogen (apparent resistivity) sehingga dapat
dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:
𝐸 2
𝜌 = 0,2𝑇 |𝐻| 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝜌 = 0,2𝑇|𝑍|2 (23)

Dengan ρ merupakan tahanan jenis semu (Ohm.m), T adalah periode (s), E adalah kuat medan
listrik (Volt/m), dan H adalah kuat medan magnet (T) (Oktobiyanti, 2009).

• Skin Depth
Dalam kasus struktur homogen, komponen medan listrik dan medan magnet dapat
digunakan (Simpson dan Bahr, 2005)
𝐴𝑘 = 𝐴𝑘0 . 𝑒 𝑖𝜔𝑡 . 𝑒 −𝑖𝑎𝑧 . 𝑒 −𝑎𝑧 (24)
dengan 𝑎 = √𝜇0 𝜎𝜔/2 (m-1), dimana 𝜇0 merupakan permeabilitas magnetik
(Henry/m) 𝜎 merupakan konduktivitas (1/Ohm.m atau Siemens/m), dan 𝜔 merupakan
frekuensi (1/s). Faktor pertama dari persamaan tersebut adalah amplitudo gelombang (𝑨),
faktor kedua (𝒆𝒊𝝎𝒕 ) dan ketiga ( 𝒆−𝒊𝒂𝒛 ) (eksponensial imajiner) adalah waktu sinusoidal dan
variasi kedalaman, serta faktor keempat ( 𝒆−𝒂𝒛 ) adalah eksponensial pelemahan (atenuasi).
Pelemahan ini dapat diukur oleh skin depth δ, harga z untuk pelemahan ini mengikuti syarat 1/e
(Tikhonov, 1950).
2
𝛿 = √𝜇 ≈ 500√𝜌𝑇 (m) (25)
0 𝜎𝜔

• Impedansi
Kekuatan medan magnet pada suatu gelombang elektromagnetik dengan variasi waktu
sinusoidal dapat dituliskan sebagai 𝐻 = 𝐻0 𝑒 −𝑖𝜔𝑡 . Dari persamaan (1) (Simpson dan Bahr,
2005):
1
𝐻 = 𝑖𝜔𝜇 ∇ × 𝐸 (26)
0

Jadi dalam bumi, perbandingan kekuatan medan magnet dan kekuatan medan listrik dapat
dituliskan sebagai:
𝐸𝑥 = 𝐸0 𝑒 −𝑘𝑧 𝑒 −𝑖𝜔𝑡 (27)
1
𝐻𝑦 = 𝐸0 𝑒 −𝑘𝑧 𝑒 −𝑖𝜔𝑡 (28)
𝑖 𝜔 𝜇0

Medan listrik Ex orthogonal terhadap medan magnet Hy.


Untuk memperoleh manfaat informasi tentang struktur resistivitas bumi dari pengukuran
pada permukaan (z = 0), digunakan rasio pengukuran E orthogonal terhadap H dan didefinisikan
sebagai impedansi:
𝑬
𝒁=𝑯 (29)

Dari persamaan (27) dan (28), impendansi Zxy diberikan oleh:

𝐸 (1−𝑖)
𝑍𝑥𝑦 = 𝐻𝑥 = √𝜔 𝜇0 𝜌 (30)
𝑦 √2

2.2.2 Mode Pengukuran


Untuk merekam gelombang elektromagnetik, maka digunakan dua jenis sensor saat
akuisisi, yaitu sensor elektrik dan sensor magnetik yang saling tegak lurus. Cara peletakan
sensor elektrik dan sensor magnetik menghasilkan dua jenis mode pengukuran, seperti
yang diperlihatkan pada Gambar 2 di bawah.

Mode pertama adalah Transverse Electric Mode (TE mode), dimana komponen medan
listrik searah dengan arah strike atau searah dengan struktur (arah sumbu x) dan
komponen medan magnet berada pada bidang y-z. Adapun mode yang kedua adalah
Transverse Magnetic Mode (TM mode), dimana komponen medan listrik tegak lurus
dengan arah strike atau tegak lurus terhadap struktur (bidang y-z) dan komponen medan
magnet berada pada sumbu x (Vozoff, 1991).
Gambar 2. 4 Dua jenis mode pengukuran dalam metode MT (Vozoff, 1991)

Parameter yang dianalisa adalah apparent resistivity (𝝆) dan phase (∅). Persamaan apparent
resistivity didasari oleh nilai impedansi gelombang. Hal ini menyebabkan terdapatnya
dua mode pengukuran, sehingga terdapat dua nilai apparent resistivity pula yaitu ρxy (TE
mode) dan ρyx (TM mode).

𝟐
𝟏 𝑬𝒙 𝟏 𝑬𝒚 𝟐
𝝆𝒙𝒚 = 𝝎𝝁 |𝑯 | 𝝆𝒚𝒙 = 𝝎𝝁 |𝑯 | (31)
𝒚 𝒙

𝟐
−𝟏 𝑬𝒙 𝑬𝒚 𝟐
∅𝒙𝒚 = 𝒕𝒂𝒏 |𝑯 | ∅𝒚𝒙 = 𝒕𝒂𝒏−𝟏 |𝑯 | (32)
𝒚 𝒙

2.2.3 Akuisisi Data Magnetotellurik


Metode Magnetotellurik (MT) adalah teknik untuk menyelidiki struktur konduktivitas
listrik dari bumi untuk kedalaman sampai 600 km. Meskipun kurang dikenal dari seismologi,
MT semakin digunakan baik dalam geofisika terapan dan riset dasar (Simpson dan Bahr, 2005).
Dalam pengukuran MT, peletakan alat-alatnya harus sesuai dengan prosedur standard
seperti pada Gambar 2.5. Alat utama di sini adalah MT unit yang terletak di tengah-tengah.
Sensor elektrik berjumlah 5 buah. Satu di masingmasing arah utara, timur, selatan, dan barat,
dan satu lagi berada di tengah-tengah keempatnya. Sensor magnetik berjumlah 3 buah, satu
diletakkan sejajar sumbu x, satu diletakkan sejajar dengan sumbu y, dan satu lagi dikubur dalam
arah vertikal. Alat lainnya yang digunakan adalah kabel untuk menghubungi MT unit dengan
sensor elektrik maupun magnetik, dan power supply untuk menghidupkan alat MT unit.(Rulia,
2012).
Gambar 2. 5 Konfigurasi alat pengukuran metode MT (Zanuar, 2009)

Alat utama yang digunakan adalah MT unit. Alat inilah yang akan membaca besarnya nilai
medan listrik maupun medan magnet yang terekam di sensor elektrik dan magnetik. MT unit
akan bekerja merekam data dalam waktu yang lama. Karena semakin lama waktu perekaman,
semakin rendah frekuensi yang diperoleh, semakin dalam pula penetrasinya yang didapatkan.
Oleh sebab itu dibutuhkan power supply yang mampu menghidupkannya dalam selang waktu
yang diinginkan (Rulia, 2012).
Penetuan sistem koordinat yang digunakan dalam merangkai peralatan MT harus
diperhatikan. Arah sensor medan listrik dan sensor medan magnet didefinisikan dengan y
sejajar/ Parallel dengan strike, x tegak lurus dengan strike, dan z menunjukan secara vertical ke
bawah. Secara umum Green (2003) mendefinisikan arah strike adalah arah utara-selatan dalam
sistem koordinat ini (Zanuar, 2009).
Tiga buah coil sensor medan magnet (Hx, Hy, dan Hz) diletkan dalam kuadran berbeda.
Sehingga coil dapat merekan orthogonal komponen medan magnet x, y, z secara murni untuk
setiap coil. Dua buat coil dipasang secara horizontal, coil Hx menghadap arah utara sedangkan
kabel konektor coil ke MTU ke arah selatan. Coil Hz menghadap ke timur dan kabel
konektornya menghadapa kearah barat. dan satu buah coil menghadap vertical menuju pusat
bumi. Coil perlu dilapisi dengan plastic untuk melindungi dari noise yang akan mengganggu
alat. Misalnya air hujan, binatang dalam tanah dan lainnya. (Zanuar, 2009)
Duah buah sensor medan listrik (Ex dan Ey) diletakan parallel dengan sensor medan
magnetik yang horizontal (Hx dan Hy). Elektrode Ex diletakan dalam arat utara-selatan
sepanjang 100 m dari elektroda Ey diletakan dalam arah barat-timur sepanjang 100 m juga.
Satu buah porous pot yang berfungsi sebagai ground ditanam di dekat center dan dihubuungkan
dengan kabel ke MTU dengan jarak 1 meter. GPS dipasang pada ketinggian tertentu (sekitar 2
m diatas tanah) di dekat center dan dihubungkan dengan MTU (Zanuar, 2009).
2.2.4 Pengolahan Data Magnetotellurik
Pengolahan data magnetotellurik dilakukan muai dari raw data berupa time series sampai
diperoleh nilai resistivitas semu dan fase. Prinsip awal yang dilakukan dalam pengolahan data
tersebut adalah mengubah domain data time series menjadi domain frekuensi. Hal ini dilakukan
dengan menggunakan tranformasi Fourier. Proses transformasi ke dalam domain frekuensi ini
dilakukan karena parameter fisis seperti impedansi, resistivitas semu, dan fase merupakan
fungsi frekuensi. Setelah itu, dilakukan teknik robust untuk meredam noise dan membuat data
menjadi lebih smooth. Sehingga dapat dihitung nilai impedansi, resistivitas semu, dan fase.
• Data Time Series
Data digital time series yang direkam selama survei magnetotellurik mencapai beberapa
Gigabytes totalnya. Namun, data yang akan diinterpretasi dengan menggunakan model numerik
terdiri dari beberapa ratus data per stasiun yang merepresentasikan frekuensi yang bergantung
pada fungsi transfer. Data time series terdiri dari informasi tentang banyak periode dan penetrasi
kedalaman. Langkah awal dalam pengolahan data yaitu mentransformasikan dari domain waktu
menjadi domain frekuensi menggunakan transformasi Fourier (Simpson & Bahr, 2005).
• Transformasi Fourier
Fourier transform merupakan suatu fungsi yang dapat mengubah sinyal dari time series
menjadi domain frekuensi. Fourier transform hanya dapat digunakan untuk space atau time
series yang merupakan fungsi kontinu. Berikut ini adalah fungsi dari Fourier transform dengan
x(ω) adalah fungsi gelombang dalam time domain, i adalah bilangan imajiner, ω = 2πf adalah
frekuensi angular, dan t adalah waktu (Simpson & Bahr, 2005):

𝑥(𝜔) = ∫−∞ 𝑥(𝑡)𝑒 𝑖𝜔𝑡 𝑑𝑡 (33)
• Robust Processing
Tahap pengolahan data selanjutnya yaitu proses robust. Menurut Simpson & Bahr (2005),
proses robust adalah teknik pemrosesan statistikal untuk mengidentifikasi dan menghapus data
yang menyimpang akibat adanya noise. Robust processing digunakan untuk merendahkan nilai
outliers pada proses iterasi. Outliers adalah data dengan nilai yang menyimpang jauh dari nilai
rata-rata, umumnya data tersebut dapat dianggap sebagai noise. Proses robust berperan sebagai
filter noise awal pada data magnetotellurik.
Robust processing adalah teknik pemrosesan statistik yang menggunakan bobot iteratif
dari residual untuk mengidentifikasi dan menghapus data yang menyimpang oleh noise non-
Gaussian. Teknik ini menggunakan beberapa pengukuran dari departure suatu kontribusi
individual dari rata-rata untuk merendahkan bobot outliers pada iterasi selanjutnya. Outliers
adalah data dengan nilai yang menyimpang jauh dari nilai rata-rata, umumnya data tersebut
dapat dianggap sebagai noise sehingga robust processing dapat berperan sebagai filter noise
awal bagi data magnetotellurik.
Robust processing berbeda dengan least-square karena dalam proses least-square, nilai
dari outliers tetap diperhitungkan sehingga outliers tersebut dapat mempengaruhi semua data.
Teknik proses robust diselesaikan dengan bivariate linear regression. Secara linear, hubungan
antara medan listrik, medan magnet, dan tensor impedansi dapat dituliskan sebagai berikut
(Simpson & Bahr, 2005):
𝐸𝑥 (𝜔) = 𝑍𝑥𝑥 (𝜔). 𝐻𝑥 (𝜔) + 𝑍𝑥𝑦 (𝜔)𝐻𝑦 (𝜔) (34)
𝐸𝑦 (𝜔) = 𝑍𝑦𝑥 (𝜔). 𝐻𝑥 (𝜔) + 𝑍𝑦𝑦 (𝜔)𝐻𝑦 (𝜔) (35)
• Koreksi Static Shift
Idealnya, kurva TE dan TM saling berhimpitan. Namun biasanya, kedua kurva tersebut
tidak berhimpitan atau disebut juga sebagai shifting. Jika kurva tersebut ter-shifting ke atas
ataupun ke bawah dari yang seharusnya maka nilai resistivitas batuan di bawah permukaan
menjadi tidak tepat. Hal ini berdampak pada saat melakukan interpretasi pun dapat menjadi
salah. Oleh sebab itu, koreksi static shift sangat penting dilakukan agar kurva yang dihasilkan
benar sehingga hasil interpretasinya pun menjadi semakin akurat (Sulistyo, 2010).
Fenomena static shift dapat terjadi karena adanya heterogenitas permukaan, efek
topografi, dan kontak vertikal. Heterogenitas permukaan dapat terjadi karena adanya lapisan
yang tidak homogen di bawah permukaan yang dapat menyebabkan arah medan listrik
terakumulasi pada batas heterogenitas tersebut. Dampaknya adalah medan listrik yang
dihasilkan dari batas resistivitas akan mengurangi pengukuran medan listrik sehingga membuat
nilai impedansi yang diukur berkurang dan menurunkan nilai resistivitas semu dari bagian
resistif. Selain itu, pada bagian dimana medan listriknya resistif akan diperkuat sehingga bagian
resistif tersebut menjadi semakin resistif. Hal ini mengakibatkan efek heterogenitas permukaan
akan mempengaruhi semua frekuensi pada titik-titik pengukuran. Dampaknya adalah
pengukuran magnetotellurik akan tergeser ke atas jika melewati lapisan yang resistif dan
sebaliknya akan tergeser ke bawah jika melewati lapisan yang konduktif (Sulistyo, 2010).
Perbedaan topografi yang mencolok juga mengakibatkan terjadinya static shift.
Perbedaan topografi akan menghasilkan medan listrik paling rendah berada di puncak dan
paling tinggi berada di lembah sehingga resistivitas terendah yang terukur berada di puncak dan
resistivitas tertinggi yang terukur berada di lembah. Semakin besar perbedaan ketinggian antara
puncak dan lembah maka semakin besar pula pergeseran statik yang terjadi (Sulistyo, 2010).
Sedangkan kontak vertikal adalah kondisi dimana dua buah formasi batuan yang memiliki
nilai resistivitas yang kontras dan saling kontak satu sama lain secara vertikal. Pada bagian yang
lebih resistif, kurva data akan berada di atas kurva TE, sebaliknya pada bagian yang kurang
resistif maka kurva data berada di bawah kurva TM. Pada kasus ini, static shift tersebut tidak
terjadi pada periode rendah, namun terjadi pada periode tinggi. Static shift akan terjadi pada
semua periode jika stasiun pengukuran terletak tepat pada kontak vertikal (Sulistyo, 2010).
Teknik yang digunakan untuk melakukan koreksi static shift adalah teknik averaging,
yaitu merata-ratakan beberapa stasiun pengukuran (pada periode yang sama) di sekitar stasiun
yang mengalami pergeseran statik. Hasil dari nilai perata-rataan dijadikan nilai yang
merepresentasikan keadaan homogen pada suatu area sehingga dijadikan sebagai dasar untuk
mengoreksi data magnetotellurik tersebut. Setelah didapatkan nilai perata-rataan maka data
yang mengalami pergeseran statik digeser menuju kurva perata-rataan tersebut (Sulistyo, 2010).

2.2.5 Perangkat Lunak pada Pengolahan Data Magnetotellurik


• Mapros
Untuk menganalisis suatu sinyal yang panjang dengan cara mengambil satu bagian yang
cukup mewakili semua sinyal disebut proses windowing. Windowing adalah suatu fungsi yang
berguna untuk mengalikan sinyal terpotong discontinue dengan fungsi window agar menjadi
sinyal continue. Windowing perlu dilakukan untuk mengurangi efek diskontinuitas dari
potongan sinyal. Terdapat jenis dari windowing yaitu antara lain: Hamming, Hanning, Bartlet,
Rectangular, dan Blackman.
Proses windowing digunakan untuk mengurangi terjadinya aliasing yang merupakan efek
dari timbulnya sinyal baru yang memiliki frekuensi berbeda dari sinyal aslinya. Hal itu dapat
terjadi karena rendahnya jumlah sampling rate maupun karena proses frame blocking sehingga
sinyal menjadi discontinue (Fontes, dkk, 1988).
Fast Fourier Transform adalah algoritma cepat untuk membaca Discrete Fourier
Transform (DFT). FFT ini mengubah masing-masing frame dari domain waktu menjadi domain
frekuensi. Hasil transformasi ini dipengaruhi oleh sample rate sinyal dan FFT length. Sample
rate merupakan jumlah sampel input analog yang diambil secara digital dalam satuan Hertz.
Sample rate sinyal berpengaruh pada besarnya jangkauan frekuensi dari koefisien hasil FFT.
Jangkauan frekuensi hasil FFT adalah setengah dari sample rate sinyal yang ditransformasi.
Semakin besar sample rate, maka semakin detail pula sampel analog yang diambil secara
digital.
FFT length merupakan panjang dari FFT yang digunakan. FFT length berpengaruh pada
ketelitian tiap koefisien FFT. Semakin besar FFT length, maka setiap koefisien hasil FFT akan
mewakili rentang frekuensi yang semakin kecil sehingga ketelitiannya semakin tinggi. Jika
ukuran sampel FFT semakin kecil, maka setiap koefisien hasil FFT akan mewakili rentang
frekuensi yang semakin besar, sehingga ketelitiannya semakin rendah. Output dari FFT
ditransformasikan ke dalam rentang frekuensi (Friedrichs, 2007).
Metode pengolahan pada perangkat lunak Mapros ada 4, yaitu sebagai berikut:
- Selective Stacking mencoba meminimalkan masalah outlier dengan mengecualikan
sejumlah matriks dari pengambilan rata-rata. Metode ini didasarkan pada standar deviasi dari
matriks spektral yang dihitung. Sebenarnya, standar deviasi menunjukkan berapa banyak
variasi dari rata-rata atau. Selective Stacking menambahkan matriks yang jatuh di dalam standar
deviasi dan matriks ekstrim dihilangkan.
- Koherensi berarti kesamaan atau ketergantungan linear antara dua atau lebih saluran
dan threshold adalah batas bawah yang akan menghasilkan fenomena tertentu. Jadi koherensi
threshold adalah metode penekanan noise yang menyaring bagian koheren dari yang berbeda
matriks spektral berdasarkan nilai threshold dan ditumpuk, hal itu menekankan pada peristiwa
koheren.
- Stack all merupakan metode yang semua matriks spektralnya ditumpuk bersama. Oleh
karena itu, bagian data yang serupa ditambahkan bagian atasnya, sedangkan yang berbeda dari
data akan dibatalkan.
- Remote reference merupakan metode yang digunakan untuk menekan efek noise di
saluran input lokal. Metode ini menggunakan input data berupa medan magnet dari sebuah site
yang terletak agak jauh dari titik pengukuran MT dengan asumsi bahwa input lapangan adalah
koheren atas skala spasial pada beberapa kilometer. Metode ini menghilangkan efek bias dari
random noise. Fungsi transfer berisi kekuatan otomatis medan listrik dan medan magnet.
Karena komponen apa pun akan koheren dengan dirinya sendiri sehingga jika ada noise hadir
di dalamnya, maka akan diperkuat secara otomatis yang menyebabkan fungsi transfer (Z)
menjadi bias (Gamble, dkk, 1979).
Remote reference memberikan hasil yang lebih baik pada kasus dari set data yang
terganggu daripada metode lain. Jika situs remote tersebut tidak tersedia maka kita harus
melanjutkan dengan pemrosesan lainnya metode. Jika data mengandung sedikit noise yang
tidak koheren maka selective stacking dapat diterapkan. Kalau tidak demikian, rata-rata output
sinyal akan membawa noise juga. Karena begitu nilai rata-rata menjadi tinggi, standar deviasi
juga akan tinggi dan memungkinkan noise datang di bawah sinyal. Pada kasus random
aperiodik noise, stack all lebih baik karena akan menekankan event dan mengurangi atau
membatalkan noise. Jika data terkontaminasi dengan incoherent noise, maka coherency
threshold akan lebih baik dengan nilai ambang yang dipilih dengan cermat. Berikut merupakan
menggambarkan pengaruh dari pemrosesan yang berbeda metode pada data sampling:
Gambar 2. 6 Perbandingan metode pengolahan FFT

Window hanning memberikan hasil yang dapat diterima dalam kasus data terganggu
setelah mengedit dan menyaring, sementara window blackman mungkin menjadi pilihan
alternatif. Kita harus mengambil FFT length lebih besar jika ingin meningkatkan resolusi
frekuensi sesuai untuk kriteria FFT length optimal. Tetapi dalam kasus set data kecil, diperlukan
FFT length yang kecil untuk mendapatkan jumlah stcak yang cukup untuk menyorot sinyal.
Mengenai prosesnya, metode remote reference memberikan output yang lebih baik daripada
metode lain. Jika remote site tidak tersedia, maka selective stack menghasilkan hasil yang lebih
baik lalu yang kedua menggunakan metode coherency threshold. Ketika diterapkan pada data
yang sebenarnya fungsi transfer turunan ini cukup baik (Ellinghaus, 1997).
• WinGlink
Sebagian besar permasalahan inversi dalam geofisika yaitu inversi non-linier. Pada
beberapa kasus, permasalahan inversi bisa dipilih atau dibuat menjadi linier maupun non-linier
tergantung pada parameter model yang dipilih.

(36)

Untuk memperoleh solusi inversi diperlukan perturbasi secara iteratif suatu model awal
mo. Dengan demikian pada iterasi ke n+1, perturbasi dilakukan terhadap model hasil iterasi
sebelumnya dengan menggunakan persamaan berikut:
(37)

(38)

Metode kombinasi persamaan tersebut disebut metode Levenberg-Marquardt. Metode


Occam merupakan pengembangan dari metode Levenberg- Marquardt dengan menambahkan
parameter delta untuk smoothing berdasarkan regulasi tikhonov orde 1. Inversi Occam 1D
diperlukan nilai parameter model sebagai model awal berupa nilai resistivitas dan kedalaman.
Lalu data hasil inversi Occam dibandingkan dengan data pengukuran di lapangan sebagai
parameter pendekatan model dengan data lapangan. Untuk membuat persebaran resistivitas
terhadap kedalaman dilakukan dengan melihat iterasi terakhir (Wannamaker, dkk, 1995).
Pemodelan 1D data magnetotellurik bisa juga menggunakan inversi Bostick. Inversi
Bostick adalah perkiraan yang digunakan untuk mendapatkan kurva resistivitas semu ρa (T)
serta sebagai pertimbangan pola persebaran resistivitas terhadap kedalaman, dimana informasi
fasa tidak dapat dipercaya. Transformasi Bostick menghasilkan perkiraan distribusi resistivitas
dan kedalaman ρB (h) hingga ρN (h), dimana h merupakan penetrasi kedalaman pada medium
halfspace dalam resistivitas yang sama untuk resistivitas semu pada periode (T), dijelaskan
dengan persamaan berikut:
√𝜌𝑎(𝑇)
ℎ= (39)
2𝜋𝜇0

Resistivitas Bostick terhadap kedalaman dijelaskan dengan persamaan berikut:


1+𝑚(𝑇)
𝜌𝐵(ℎ) = 𝜌𝑎(𝑇) 1−𝑚(𝑇) (40)

dimana m(T) merupakan gradien pada kurva resistivitas semu dalam skala log.
Metoda inversi Bostick digunakan untuk memperkirakan variasi resistivitas terhadap
kedalaman secara langsung dari kurva sounding apparent resistivity. Metode ini diturunkan dari
hubungan analitik antara resistivity, frekuensi, dan skin depth. Namun perlu diingat bahwa
metoda ini bersifat aproksimatif sehingga hanya dapat dilakukan sebagai usaha pemodelan dan
interpretasi pada tahap pendahuluan (Jones, 1983).
Untuk merepresentasikan kondisi bawah permukaan secara lebih realistis, maka
digunakan model 2D dimana resistivitas bervariasi terhadap kedalaman (z) dan jarak dalam arah
penampang (y). Dalam hal ini resistivitas medium tidak bervariasi pada arah sumbu x yang
merupakan arah struktur (strike). Untuk pemodelan 2D berupa model bawah permukaan yang
terdiri dari blok-blok dengan ukuran berbeda. Pemecahan masalah menggunakan algoritma
nonlinear conjugate gradient (NLCG) dilakukan dengan mencari solusi model yang
meminimalkan fungsi objektif ψ, yang dijelaskan pada persamaan berikut:
𝜓(𝑚) = (𝑑 − 𝑚𝐹)𝑇 𝑉 −1 (𝑑 − 𝑚𝐹) + 𝜀 2 𝑚𝑇 𝑊𝑚 𝑚 (41)
dimana ɛ yaitu bilangan positif sebagai bobot relatif antara kedua faktor yang
diminimalkan dan W yaitu faktor smoothness yang merupakan fungsi kontinu model.
Inversi NLCG diaplikasikan pada perangkat lunak WinGlink. Persamaan yang berlaku
pada penampang 2D adalah persamaan medan elektromagnetik sebagai polarisasi TE
(Transverse Electric) dan TM (Transverse Magnetic) (Rodi dan Mackie, 2001).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Akuisisi data dilakukan pada hari Senin – Minggu, tanggal 15 – 21 Oktober 2018
bertempat di sekitar Desa Gunungronggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang. Akuisisi
dilakukan per hari per kelompok, dimana totalnya adalah 7 hari untuk 7 kelompok. Untuk waktu
pelaksanaannya tergantung dari kelompok yang melakukan akuisisi. Pengolahan dan
interpretasi dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2018 – 14 November 2018 bertempat di
lingkungan Universitas Brawijaya, Kota Malang.

3.2 Rancangan Penelitian

Gambar 3. 1 Desain survei metode MT pada Desa Gunungronggo

Penelitian dilakukan di kawasan Desa Gunungronggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten


Malang. Penelitian dilaksanakan tiap hari, dimulai pada tanggal 15 – 21 Oktober 2018.
Direncanakan, akuisisi dilakukan untuk mengidentifikasi struktur dan batuan bawah permukaan
pada Desa Gunungronggo karena belum adanya penelitian terkait pada daerah tersebut. Setiap
kelompok mendapatkan satu buah titik pengukuran, sehingga total titik pengukuran adalah 7,
membentuk saling silang agar mudah dalam melakukan pemodelan (slicing profile) data.
Sebelum dilakukan akuisisi, dibuat suatu desain survei untuk lokasi tersebut, seperti pada
Gambar 3.1. Untuk pengolahan, digunakan dua buah software yaitu Mapros dan WinGlink,
yang kemudian dilanjutkan dengan proses interpretasi, baik secara kualitatif dan kuantitatif.
Untuk pembuatan laporan, setiap orang melakukan analisa atau interpretasi sesuai hasil
pengolahan yang telah dilakukan.

3.3 Materi Penelitian


Dalam penelitian ini, digunakan beberapa materi, yaitu berupa data dan peralatan untuk
tahap akuisisi dan pengolahan, antara lain:
1. Data yang digunakan yaitu data primer yang diambil saat akuisisi. Data tersebut
terdiri dari data time series hasil pengukuran, koordinat titik pengukuran, dan elevasi
titik pengukuran.
2. Peralatan yang digunakan saat akuisisi, antara lain:
• MTU Metronix ADU-07e

Gambar 3. 2 MT Unit

Metronix ADU-07e digunakan untuk merekam data magnetotellurik ketika akuisisi.


• Koil

Gambar 3. 3 Koil

Koil digunakan untuk merekam medan magnet pada akuisisi data.


• Porous Pot

Gambar 3. 4 Porous pot

Porous pot digunakan untuk merekam medan listrik pada saat akuisisi data.
• GPS
Gambar 3. 5 GPS

GPS digunakan untuk mencatat koordinat dan elevasi titik pengukuran.


• Aki

Gambar 3. 6 Aki

Aki digunakan sebagai sumber daya listrik untuk alat saat akuisisi.
• Kabel Roll

Gambar 3. 7 Kabel roll

Kabel roll digunakan untuk menghubungkan porous pot dan koil dengan alat MT Unit.
• Laptop

Gambar 3. 8 Laptop

Laptop digunakan untuk menampilkan hasil akuisisi dan mengolah data.


• Meteran
Gambar 3. 9 Meteran

Meteran digunakan untuk mengukur panjang bentangan porous pot dan koil.
• Waterpass

Gambar 3. 10 Waterpass

Waterpass digunakan untuk memastikan posisi koil datar dan lurus.


• Linggis

Gambar 3. 11 Linggis

Linggis digunakan untuk menggali tanah sebagai tempat ditanamnya koil dan porous
pot.
• Payung

Gambar 3. 12 Payung

Payung digunakan untuk melindungi alat MT Unit.


• Cangkul
Gambar 3. 13 Cangkul

Cangkul digunakan untuk menggali tanah sebagai tempat ditanamnya koil dan porous
pot.
• Bor Tanah

Gambar 3. 14 Bor tanah

Bor tanah digunakan untuk menggali tanah sebagai tempat ditanamnya koil dan
porous pot.
• Kompas

Gambar 3. 15 Kompas

Kompas digunakan untuk menentukan arah mata angin dalam pemasangan alat.
• Elektroda

Gambar 3. 16 Elektroda

Elektroda digunakan sebagai ground dari aliran listrik aki.


3. Perangkat lunak yang digunakan antara lain:
• Mapros
• Ms. Excel
• WinGlink
• Ms. Word
3.4 Langkah Penelitian
Penelitian dilakukan dengan 3 tahap, yaitu akuisisi, pengolahan, dan interpretasi data.

3.4.1 Akuisisi Data

Gambar 3. 17 Konfigurasi alat metode MT

Akuisisi data metode magnetotellurik dilaksanakan pada tanggal 15 – 21 Oktober 2018


bertempat di kawasan Desa Gunungronggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang. Terdapat
7 buah titik pengukuran dimana masing-masing titik diukur oleh satu kelompok. Lokasi titik
penelitian disesuaikan dengan desain yang telah dirancang pada rancangan penelitian.

Saat akuisisi berlangsung, mula-mula seluruh alat disiapkan dan dicek. Kemudian dengan
GPS, dicatat koordinat dan elevasi daerah titik pengukuran. Setelah itu MT Unit diletakkan di
posisi tengah daerah titik pengukuran. MT Unit sendiri berfungsi sebagai pengontrol
perekaman data, tempat penyimpanan data hasil perekaman, serta untuk mengatur parameter
akuisisi, seperti durasi perekaman data, pemilihan frekuensi, sampling waktu, dan filter yang
digunakan. Untuk mempermudah, alat MT Unit akan disambungkan dengan laptop yang telah
teregistrasi dengan aplikasi MT Unit Metronix.

Setelah alat MT Unit ditaruh di tengah, dibuat lubang untuk menanam porous pot dan
koil. Untuk lokasi lubang porous pot, diambil jarak ± 15 m dari MT Unit berada ke arah utara,
barat, timur, dan selatan, sesuai dengan jumlah porous pot yang ada. Untuk koil, ketiga koil
diletakkan pada kuadran yang berbeda-beda (dapat sesuai dengan Gambar 3.) dimana koil Hx
akan menghadap ke utara dan koil Hy menghadap ke timur. Koil ditanam dengan posisi sedatar
dan selurus mungkin. Untuk mengetahui posisi koil sudah datar atau belum, dapat digunakan
waterpass. Sembari menggali lubang, beberapa anggota kelompok lain dapat membuat adonan
bentonit yang akan dilumurkan pada porous pot dengan tujuan memaksimalkan kinerja porous
pot. Sebelum porous pot ditanam, lubangnya dibasahi dengan air garam (larutan elektrolit)
dengan tujuan perekaman medan listrik lebih maksimal karena telah dicampurkan dengan
larutan elektrolit.

Kemudian, elektroda ditancapkan dekat dengan MT Unit yang berfungsi sebagai ground.
Aki yang ada digunakan sebagai sumber daya listrik untuk MT Unit. GPS bawaan dari MT Unit
kemudian digunakan untuk mengetahui koordinat dan elevasi titik pengukuran. Sebelum
dimulai pengukuran, dilakukan self test dua kali, yaitu tanpa beban dan dengan beban. Maksud
dari self test tanpa beban adalah menguji alat MT Unit sudah dalam kondisi baik (ditunjukkan
dengan OK pada alat) atau belum. Kemudian, jika self test tanpa beban sudah menunjukkan
OK, dapat dilanjutkan dengan self test dengan beban. Self test dengan beban sendiri dilakukan
dengan seluruh alat sudah dihubungkan pada MT Unit, yang nantinya menunjukkan OK atau
Not OK pada alat. Jika alat menunjukkan Not OK, maka dicek kembali alat seperti porous pot
dan/atau koil agar mendapatkan hasil OK. Jika sudah menunjukkan OK, maka perekaman dapat
dimulai.

Pengambilan data MT kemudian dilakukan untuk mengukur variasi medan listrik dan
medan magnet bumi terhadap waktu. Jangka waktu pengukuran data disesuaikan dengan
rentang frekuensi yang diukur. Pada penelitian ini, digunakan 3 jenis frekuensi, yaitu frekuensi
tinggi (65536 Hz), frekuensi sedang (4096 Hz), dan frekuensi rendah (128 Hz). Total waktu
pengukuran adalah ± 8 jam, dimana waktu pengukuran berturut-turut untuk frekuensi tinggi,
sedang, dan rendah adalah ½ jam, 2 jam, dan 5 jam. Antar pengukuran beda frekuensi dapat
diberikan jeda waktu dengan tujuan untuk mengistirahatkan alat dan menyalin data yang
tersimpan pada MT Unit ke laptop. Dalam penggunaan frekuensi pengukuran, dianggap
semakin kecil frekuensi yang digunakan, maka kedalaman pengukuran juga semakin dalam.

3.4.2 Pengolahan Data


Pengolahan data dimulai dengan menyimpan data hasil pengukuran dari MT unit ke
laptop. Karena alat yang digunakan adalah Metronix, maka digunakan software bawaan dari
alat itu sendiri, yaitu Mapros. Pada Mapros, dibuat suatu folder baru untuk penyimpanan data
hasil pengolahan dengan cara memilih sub-menu Create Survey. Kemudian pada dialog box
diisi nama dan lokasi pada parameter survei. Setelah itu, dibuat Line sebagai folder untuk
pengolahan data. Setelah folder Line dibuat, dimasukkan data hasil akuisisi yang berupa bentuk
time series ke dalam sub-folder Line tersebut dengan cara klik File dan pilih Easy ATS Import.
Dalam penamaannya, dipakai suatu kesepakatan yaitu “Run AA”, dimana A pertama
menunjukkan jenis frekuensi pengukuran, apakah high (1), medium (2), atau low (3), sedangkan
A kedua adalah parameter length FFT yang digunakan, yaitu 16468 Hz (1), 4096 Hz (2), dan
256 (Hz). Untuk tiap Run sendiri menggunakan jenis windowing Hanning dengan 3 metode
pengolahan sinyal, yaitu Selective Stack, Coherency Threshold, dan Stack All.

Gambar 3. 18 Folder pada Mapros

Kemudian dilanjutkan dengan pengolahan FFT. Mula-mula folder Run diklik kanan dan
memilih Start Processing kemudian muncul dialog box pengolahan FFT. Kemudian klik Add
All pada menu Time Series dan dimasukkan parameter FFT berupa panjang dan jenis
windowing serta metode pengolahan pada menu Advanced. Setelah itu klik OK maka
pengolahan FFT dimulai. Langkah ini dilakukan untuk semua Run dari tiap Site yang diproses.

Gambar 3. 19 Properti pengolahan FFT

Dari hasil proses FFT kemudian dilakukan seleksi data dengan memilih kurva yang baik
secara kualitatif, yang kemudian dilakukan penggabungan kurva dari frekuensi tinggi, sedang,
dan rendah dengan cara klik kanan pada folder Site dan pilih Create Result. Kemudian kurva
yang dipilih di-drag ke folder Result sehingga akan tersimpan kurva apparent resistivity dari
akumulasi ketiga rentang frekuensi untuk tiap titik.
Gambar 3. 20 Kurva resistivitas semu dan fase

Kurva apparent resistivity yang diperoleh tersebut di-export ke dalam format .edi sebagai
persiapan tahap pengolahan selanjutnya.

Pengolahan kemudian dilanjutkan pada software WinGlink. Dibuat database baru dengan cara
klik Create New Database dan mengisi Database Properties. Setelah itu, dibuat proyek baru
dengan cara klik Project → New → Single. Kemudian pada dialog box diisikan data untuk
properti proyek yang digunakan. Selanjutnya, data .edi yang sudah disimpan sebelumnya di-
import ke WinGlink dengan cara klik File → Import. Kemudian, data koordinat dan elevasi tiap
titik dimasukkan dengan cara klik Map → Elevation → Station → View Data. Kemudian klik
File → Import. Setelah data titik pengukuran tertampilkan, dibuat irisan profil yang digunakan
dalam pembuatan penampang 2D dengan cara klik Profil → Add Profile Trace. Irisan profil
yang diambil harus memuat titik pengukuran.

Gambar 3. 21 Peta hasil akuisisi

Selanjtunya dilakukan penyuntingan pada kurva apparent resistivity agar bentuk kurva
menjadi smooth. Mula-mula diklik Sounding → Open Stations from List → Edit → Smooth.
Pada dialog box, dipilih D+ dengan error 5%. Penyuntingan pada kurva dilakukan dengan cara
mematikan data yang dianggap menyimpan dari data trend.
Gambar 3. 22 Proses smoothing kurva pada WinGlink

Setelah memperoleh kurva yang dianggap smooth, selanjutnya dibuat pemodelan 1


Dimensi menggunakan inversi Bostick, dengan cara klik menu 1D Model. Mode pada
pemodelan digunakan INV dan kurva observasinya digunakan Smooth. Klik Edit kemudian
dimasukkan perkiraan jumlah lapisan yang terekam dari data. Kemudian klik Guess → Run.
Pemodelan 1 dimensi dilakukan pada tiap data titik pengukuran, sehingga akan diperoleh 7
model 1D.

Gambar 3. 23 Parameter pemodelan 1D Bostick


Gambar 3. 24 Hasil pemodelan 1D

Selanjutnya, dibuat pemodelan 2D dimensi. Mula-mula, diklik 2D Inversion lalu


parameter yang akan digunakan untuk inversi diisi. Klik menu Inversion → Run Smooth
Inversion. Untuk nilai tau yang digunakan adalah 0.1; 0.3; 1; 3; 10; 30; dan 100, dan iterasinya
40. Kemudian hasil inversi untuk tiap irisan profil disimpan.

Gambar 3. 25 Hasil pemodelan 2D

3.4.3 Interpretasi
Interpretasi dilakukan secara kualitatif dimana dapat dibuat kurva L pada software Ms
Excel untuk menentukan nilai tau yang layak untuk diinterpretasi. Kurva L adalah grafik antara
RMS Error dengan kekasaran yang diperoleh dari proses inversi. Hasil inversi dengan RMS
Error dan kekasaran yang paling kecil kemudian digunakan untuk interpretasi yang
dikorelasikan dengan penampang 2D bawah permukaan dan informasi geologi regional yang
ada.
3.5 Diagram Alir Penelitian
3.5.1 Diagram Alir Akuisisi Data
3.5.2 Diagram Alir Pengolahan Data

FFT
Process
3.5.3 Diagram Alir Interpretasi Data
BAB IV
ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Hasil Pengolahan
4.1.1 Kurva Apparent Resistivity dan Fase

Site 1 Site 2

Site 3 Site 4

Site 5 Site 6

Site 7
Gambar 4. 1 Kurva resistivitas semu dan fase hasil pengolahan pada Mapros
4.1.2 Hasil Inversi Bostick Pemodelan 1D

Gambar 4. 2 Pemodelan 1D titik edi-1

Gambar 4. 3 Pemodelan 1D titik edi-2

Gambar 4. 4 Pemodelan 1D titik edi-3


Gambar 4. 5 Pemodelan 1D titik edi-4

Gambar 4. 6 Pemodelan 1D titik edi-5

Gambar 4. 7 Pemodelan 1D titik edi-6


Gambar 4. 8 Pemodelan 1D titik edi-7

4.1.3 Hasil Inversi NLCG Pemodelan 2D


• Line 1

Tau 0.1 Tau 0.3

Tau 1 Tau 3

Tau 10 Tau 30
Tau 100
Gambar 4. 9 Pemodelan 2D line 1

• Line 2

Tau 0.1 Tau 0.3

Tau 1 Tau 3

Tau 10 Tau 30
Tau 100
Gambar 4. 10 Pemodelan 2D line 2

• Line 3

Tau 0.1 Tau 0.3

Tau 1 Tau 3

Tau 10 Tau 30
Tau 100
Gambar 4. 11 Pemodelan 2D line 3

4.1.4 Kurva L (RMS Error vs Kekasaran)

Line 1 Line 2

Line 3
Gambar 4. 12 Kurva L hasil pemodelan 2D

4.2 Pembahasan
4.2.1 Analisis Perlakuan pada Pengolahan Data dan Pemodelan
Pengolahan data hasil akuisisi metode magnetotellurik (MT) dilakukan pada software
Mapros dan WinGlink. Data akuisisi yang memiliki domain waktu pada Mapros diubah ke
dalam bentuk domain frekuensi, karena pada Mapros dilakukan pengolahan Forward Fourier
Transform (FFT). Pada pengolahan sinyal dengan FFT ini, terdapat 3 metode yang digunakan,
yaitu metode Stack All, Coherency Threshold, dan Selective Stacking. Ketiga metode tersebut
diuji pada tiap data yang diperoleh, baik pada data berfrekuensi tinggi, berfrekuensi medium,
dan berfrekuensi tinggi. Selain itu, digunakan pula 3 jenis panjang FFT pada tiap data, yaitu
16484 Hz, 4096 Hz, dan 256 Hz. Untuk semua data, digunakan windowing yang sama, yaitu
jenis Hanning. Hasil data dari pengolahan pada Mapros berupa kurva resistivitas semu dan fase,
dimana selanjutnya akan dilakukan seleksi data berdasarkan quick look observation terhadap
kurva yang memiliki trend yang smooth dan baik.

Dari ketiga jenis metode yang diuji, berikut adalah kesimpulan penggunaan metode
pengolahan sinyal untuk tiap data titik pengukuran.

Tabel 1 Jenis kurva resistivitas semu dan fase yang digunakan berdasarkan metode pengolahan FFT

Site Run Metode Pengolahan FFT


1 1 Stack All
2 Coherency Threshold
3 Stack All
2 1 Stack All
2 Stack All
3 Stack All
3 1 Selective Stacking
2 Stack All
3 Stack All
4 1 Stack All
2 Coherency Threshold
3 Coherency Threshold
5 1 Stack all
2 Coherency Threshold
3 Stack All
6 1 Stack All
2 Stack All
3 Stack All
7 1 Coherency Threshold
2 Stack All
3 Selective Stacking
Dari Tabel 1 di atas dapat ditunjukkan bahwa metode Stack All dan Coherency Threshold lebih
sering menghasilkan kurva yang baik jika berdasarkan quick look observation. Kurva yang
“terpilih” kemudian di-export dalam format .edi agar dapat digunakan pada proses pengolahan
selanjutnya yang dilakukan pada software WinGlink.
Setelah memasukkan seluruh data .edi dari tiap titik pengukuran, diperoleh peta
persebaran data hasil akuisisi yang ditampilkan pada WinGlink. Pada Gambar 4.13 terlihat
adanya bagian yang berlubang di tengah area karena adanya miskomunikasi saat akuisisi,
dimana titik edi 7 yang seharusnya berada di tengah area terakuisisi pada timur area. Selain itu,
edi 6 yang seharusnya berada di puncak Gunung Ronggo digeser ke area lereng Gunung
Ronggo karena sulitnya mencapai medan sehingga terlihat titik pengukuran edi 1 dan edi 6
sangat dekat. Jika ditinjau dari elevasinya, terlihat bahwa area yang berwarna ungu lebih rendah
dibanding berwarna merah. Dari peta pada Gambar 4.13 kemudian dibuat irisan profilnya
sebanyak 3 buah irisan untuk dibuatkan model 2 dimensinya.

Gambar 4. 13 Peta persebaran data hasil akuisisi

Sebelum dilakukan pemodelan, kurva resistivitas semu dan fase yang diperoleh dari
proses FFT disunting terlebih dahulu hingga secara subjektif dianggap smooth agar diperoleh
kurva yang mendekati model sebenarnya. Proses penyuntingan data ini sebatas menghapus data
yang dianggap menyimpang dari trend dan tidak melakukan koreksi static shift.

Proses pemodelan menggunakan metode inversi untuk model 1D dan 2D, dimana model
1D menggunakan metode Bostick dan model 2D menggunakan metode Non-Linear Conjugate
Gradient (NLCG). Dari proses pemodelan ini diperoleh nilai resistivitas sesungguhnya dari
lapisan dan/atau batuan di bawah permukaan beserta kedalamannya. Hasil inversi Bostick
adalah model berbentuk garis 1D seperti pada resistivity log yang mewakili nilai resistivitas
dan kedalaman lapisan dan/atau batuan area penelitian. Saat melakukan pemodelan ini,
digunakan mode invariant (INV) dan kurva observasi smooth (SMOOTH).
Untuk pemodelan 2D dengan menggunakan metode inversi NLCG diperoleh penampang
2D, dimana input datanya adalah garis irisan profil yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti
membuat 3 garis irisan profil yang kemudian dibuat penampang 2D-nya. Pada metode inversi
ini, dilakukan 7 buah variasi nilai tau pada setiap irisan profil, yaitu 0.1; 0.3; 1; 3; 10; 30; dan
100 dengan parameter iterasi sebesar 40, alfa sebesar 1.5, beta sebesar 1.5, error flor TE dan
TM masing-masing adalah sebesar 5, serta fase TE dan TM masing-masing juga sebesar 5. Dari
nilai tau dan parameter yang disebutkan di atas kemudian dibuatkan tabel pada Ms. Excel untuk
dibuatkan suatu kurva yang disebut sebagai kurva L. Kurva L sendiri merupakan kurva antara
RMS Error (sumbu x) dan Kekerasan (sumbu y) yang menjadi indicator penilaian atas nilai tau
mana yang menghasilkan penampang yang baik untuk diinterpretasi. Nilai tau yang dianggap
baik adalah nilai yang menghasilkan RMS Error dan Kekerasan yang tidak terlalu besar maupun
terlalu kecil (nilai yang menengah).

Gambar 4. 14 Contoh pembuatan kurva L

Dari pemodelan 1D dan 2D kemudian dapat dilakukan interpretasi kualitatif yang


menyesuaikan data geologi regional yang ada serta data dari hasil penelitian menggunakan
metode geofisika yang juga dilakukan pada kawasan Gunung Ronggo.
4.2.2 Interpretasi dan Analisis Model 1D

Gambar 4. 15 Nilai resistivitas (Telford, dkk., 1990)

Dari model 1D yang dilakukan dengan metode inversi Bostick, maka diperoleh hasil
sebagai berikut.
Tabel 2 Summary hasil pemodelan 1D metode inversi Bostick

Site Lapisan ke- Nilai Resistivitas (ohm.m) Ketebalan (m) Indikasi litologi
edi-1 1 17.51 18.28 Lempung
2 745.02 279.84 Lava basaltik
3 7295.03 9260.43 Basalt
4 72.36 ~ Lempung
edi-2 1 3.46 2.14 Lempung
2 23.95 61.72 Lempung
3 558.27 834.81 Lava basaltik
4 43.18 ~ Lempung
edi-3 1 29.83 13.65 Lempung
2 6577.22 1844.04 Basalt
3 99999 40951.43 Tuff (kering)
4 187.26 ~ Basalt
edi-4 1 12.7 5.91 Lempung
2 212.31 17.26 Lava basaltik
3 10312.4 1884.97 Basalt
4 187014.75 ~ Tuff (kering)
edi-5 1 2.16 2.98 Lempung
2 743.6 538.33 Lava basaltik
3 9228.67 8097.32 Basalt
4 89.44 ~ Lempung
edi-6 1 10.01 9.27 Lempung
2 99999 142.86 Tuff (kering)
3 1369.61 5394.61 Basalt
4 3720.49 ~ Basalt
edi-7 1 61.45 61.7 Lempung
2 36414.55 356.65 Basalt
3 4986.78 6377.91 Lava basaltik
4 12984.86 ~ Basalt

Indikasi litologi pada Tabel 2 disesuaikan dengan tabel nilai resistivitas oleh Telford dkk.
(1990) yang dikorelasikan dengan peta geologi regional. Adanya lapisan lempung pada daerah
yang dangkal dijustifikasi karena pada kawasan Gunung Ronggo terdapat beberapa tempat
pembuatan batu bata, dimana bahan batu bata tersebut diambil dari tanah liat (lempung) dari
sekitar Gunung Ronggo itu sendiri. Jika ditinjau dari kedalaman pengukuran, hanya pada site
edi-2 yang memiliki kedalaman pengukuran kurang dari 1000 m, yang diindikasikan
disebabkan oleh proses smoothing yang kurang baik. Jika ditinjau dari nilai resistivitasnya, pada
site edi-3, site edi-6, dan edi-7 memiliki kontras nilai resistivitas yang cukup tinggi, dimana
diindikasikan hal tersebut disebabkan adanya intrusi masif dari batuan beku. Tidak
ditemukannya nilai resistivitas yang merepresentasikan batu andesit diindikasikan karena
kuantitas andesit yang tidak cukup banyak pada daerah penelitian sehingga daerah penelitian
didominasi oleh batuan basalt. Selain itu, nilai resistivitas andesit pada tabel nilai resistivitas
yang dibuat oleh Telford dkk. (1990) tidak memiliki rentang atau hanya memiliki nilai pasti
sehingga data yang diperoleh dikatakan tidak dapat merepresentasikan adanya batu andesit.

4.2.3 Interpretasi dan Analisis Model 2D


Analisis model 2D didasarkan pada penampang 2D yang telah dibuat berdasarkan
pemodelan metode inversi NLCG. Pada tahap pemodelan, digunakan 3 buah garis irisan profil
dimana masing-masing irisan profil memiliki terdiri dari 3-4 data.

Gambar 4. 16 Model 2D line 1 dengan tau 3

Untuk interpretasi line 1 (irisan profil 1) yang terdiri dari data edi-4, edi-1, edi-6, dan edi-
2 yang berarah barat – tenggara digunakan penampang 2D yang dihasilkan oleh nilai tau 3
karena memiliki nilai RMS Error dan kekerasan yang menengah di antara lainnya, yaitu
berturut-turut 7.44% dan 2410. Warna merah merepresentasikan tubuh batuan yang memiliki
nilai resistivitas sekitar 8192 ohm.m, warna kuning sekitar 1024 ohm.m, warna hijau sekitar
256 ohm., dan warna biru sekitar 32 ohm.m. Jika dilihat, bentuk tubuh warna merah seperti
batuan yang mengintrusi pada daerah tersebut.
Gambar 4. 17 Model 2D line 2 dengan tau 0.3

Untuk line 2 (irisan profil 2) yang terdiri dari data edi-5, edi-1, dan edi-3 berarah timur
laut – barat daya digunakan penampang 2D yang dihasilkan oleh nilai tau 0.3 karena memiliki
nilai RMS Error dan kekerasan yang menengah di antara lainnya, yaitu berturut-turut 6.20%
dan 2251.7. Warna merah merepresentasikan tubuh batuan yang memiliki nilai resistivitas
sekitar 8192 ohm.m, warna kuning sekitar 1024 ohm.m, warna hijau sekitar 256 ohm., dan
warna biru sekitar 32 ohm.m. Jika ditinjau, tubuh warna merah cukup landau sepanjang line 2
yang dianggap lapisan di bawah permukaan line-2 homogen.

Gambar 4. 18 Model 2D line 3 dengan tau 0.3

Untuk line 3 (irisan profil 3) yang terdiri dari data edi-5, edi-2, dan edi-7 berarah timur-
laut – barat daya digunakan penampang 2D yang dihasilkan oleh nilai tau 3 karena memiliki
nilai RMS Error dan kekerasan yang menengah di antara lainnya, yaitu berturut-turut 4.36%
dan 1609.4. Warna merah merepresentasikan tubuh batuan yang memiliki nilai resistivitas
sekitar 8192 ohm.m, warna kuning sekitar 1024 ohm.m, warna hijau sekitar 256 ohm., dan
warna biru sekitar 32 ohm.m. Jika ditinjau, bentuk tubuh warna merah seperti bentuk batuan
intrusi pada bawah permukaan line 3.

Berdasarkan hasil pemodelan di atas, peneliti mengindikasikan bahwa daerah Gunung


Ronggo terbentuk dari aktivitas vulkanik dimana Gunung Ronggo adalah bentuk intrusi dari
Gunung Buring. Gunung Buring terletak di sebelah barat laut Gunung Ronggo, tetapi arah
intrusi yang menyebabkan Gunung Ronggo tidak langsung mengarah ke tempat Gunung
Ronggo sekarang berada, tetapi mengalir terlebih dahulu ke arah Gunung Dowo (selatan
Gunung Buring) dan terus mengalir ke arah timur (tempat Gunung Ronggo) karena adanya
celah. Kemudian, daerah barat Gunung Ronggo saat ini pernah mengalami amblesan akibat
intrusi magma yang panas yang menerus sehingga tanah menjadi lapuk sehingga membentuk
morfologi tapal kuda seperti yang terlihat saat ini. Diindikasikan bahwa bukit kecil yang berada
tepat di barat Gunung Ronggo dulunya masih menjadi satu bagian dari Gunung Ronggo tetapi
karena adanya amblesan tersebut sehingga terlihat saat ini menjadi terpisah. Hal ini kemudian
dijustifikasi dengan peta geologi regional dimana antara bagian barat Gunung Ronggo dan
Gunung Ronggo itu sendiri memiliki endapan yang sama, yaitu endapan Qpvb, dimana di antara
kedua tempat tersebut terdapat endapan Qptm yang terendapkan setelah proses terjadinya
amblesan.

Jika dibandingkan dengan peta residual metode gravity yang dihasilkan pada penelitian
ini, batuan / lapisan pada Gunung Ronggo mengindikasikan hal yang sama dengan lapisan
dengan bagian baratnya (ditunjukkan dengna warna hijau – biru tua) yang menguatkan indikasi
peneliti dari hasil analisis data magnetotellurik.

Gambar 4. 19 Peta anomali residual gravity


BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa metode magnetotellurik dapat
digunakan untuk mengidentifikasi struktur bawah permukaan Desa Gunung Ronggo
berdasarkan nilai resistivitasnya. Nilai resistivitas tersebut diperoleh dari pengukuran metode
magnetotellurik yang mengukur variasi medan listrik dan variasi medan magnet alami bumi
yang berubah terhadap waktu. Dari 7 titik area pengukuran, diperoleh hanya 1 daerah yang
memiliki kedalaman pengukuran kurang dari 1 km, yang diindikasikan disebabkan kesalahan
saat proses pengolahan. Dari pemodelan 1D menggunakan metode inversi Bostick, diperoleh
bahwa terdapat 4 lapisan di bawah permukaan daerah penelitian dimana lapisannya didominasi
oleh basalt dan tuff kering. Hal ini diperoleh dari komparasi dengan tabel resistivitas oleh
Telford dkk. (1990). Dari hasil pemodelan 2D menggunakan metode NLCG, diperoleh 3 irisan
profil yang menampilkan persebaran nilai resistivitas semu dimana pada 2 irisan profil terlihat
adanya bentuk tubuh intrusi. Dari hasil pemodelan peneliti mengindikasikan bahwa Gunung
Ronggo merupakan bentuk intrusi magma dari Gunung Buring. Dulunya Gunung Ronggo
berbentuk cone yang kemudian mengalami amblesan pada bagian baratnya sehingga
membentuk morfologi tapal kuda seperti yang terlihat sekarang. Hal ini diperkuat dengan data
anomali residual gravity yang juga dihasilkan pada penelitian di Gunung Ronggo, dimana nilai
anomali pada Gunung Ronggo sama dengan nilai anomali pada bagian baratnya yang di antara
dua daerah tersebut terdapat nilai anomali yang tinggi disebabkan oleh lapisan lain yang
mengendap setelah terjadinya amblesan tersebut.

5.2 Saran
Diperlukannya pemahaman dalam proses akuisisi, pengolahan, dan interpretasi sehingga
dapat menghasilkan data yang informatif dan bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Chave, Alan D. dan Alan G. Jones. 2012. The Magnetotelluric Method: Theory and Practice.
United Kingdom: Cambridge University Press
Ellinghaus, A. 1997. PROCMT. Metronix Measurment Instrument and Electronics Ltd. 1-100
Fontes, S. L., T. Harinarayana, G. J. K. Dawes, dan V. R. S. Hutton. 1988. Processing of
Noisy Magnetotelluric Data Using Digital Filters and Additional Data Selection
Criteria. Phys. Earth Planet. In. 52, 30-40
Friedrichs, B. 2007. MAPROS. Metronix Measurment Instrument and Electronics Ltd. 1-126
Gamble, T. D., W. M. Goubau, dan J. Clarke. 1979. Magnetotellurics With Remote Magnetic
Reference. Geophysics. 44, 53-68
Jones, A. G. 1983. On the Equivalence of the Niblett and Bostick Transformation in the
Magnetotelluric Method. J. Geophys. 53, 72-73
Nydia, F. 2011. Analisis Karakteristik Panasbumi Daerah Outflow Gunung Arjuno-Welirang
Berdasarkan Data Geologi, Geokimia, dan Geofisika. Lampung: Universitas Lampung
Oktobiyanti, R. 2009. Pemodelan Sistem Geothermal Daerah Sibayak Menggunakan Data
Magnetotelluric dan Gravitasi. Depok: Universitas Indonesia
Ranganayaki, R.P. 1984. An Interpretive Analysis of Magnetotelluric Data. Geophysics. 49,
1730 - 1748.
Rodi, W., dan Mackie, R. 2001. Magnetotelluric Inversion. San Francisco: Earth Resources
Laboratory
Rulia, Cut. 2012. Pengolahan Data Magnetotellurik 2-Dimensi Pada Lapangan Panasbumu
Marana,Sulawesi Tengah. Indonesia
Simpson, F., dan Bahr, K. 2005. Practical Magnetotellurics. USA: Cambridge University
Press
Sujanto, R. Hadisantono, Kusnama, R. Chaniago, R. Baharuddin. 1992. Peta Geologi Lembar
Turen, Jawa. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi

Sulistyo, A. 2011. Pemodelan Static Shift Menggunakan MT2dFor. Depok: Universitas


Indonesia
Telford, W.M., L.P Geldart, R.E. Sheriff. 1990. Applied Geophysics. UK: Cambridge
University Press
Tikhonov, A. N. 1950. On Determining Electrical Characteristics of the Deep Layers of the
Earth Crust. Doklady, 73, 2, 295-297
Unsworth, M. 2008. Lecture Notes Geophysics 424. Kanada: University Of Alberta

Vozoff, K. 1972. The Magnetotelluric Method In The Exploration Of Sedimentary Basin.


Geophysics. 37. 98-141
Wannamaker, P. E., J. A. Stodt, dan L. Rijo. 1995. A Stable Finete Element Solution For Two
Dimensional Magnetotelluric Modelling. Geophysical Journal of the Royal.
Astronomical Society
Widarto, Djedi S. Kuliah Tamu dari PT Pertamina: Fundamental of Electromagnetic Methods
in Exploration. di Universitas Brawijaya pada tanggal 21 Februari 2014

Zanuar, Rangga. 2009. Pemodelan 2-Dimensi Data Magnetotellurik di Daerah Prospek


Panasbumi Gunung Endut, Banten. Indonesia
LAMPIRAN
Lampiran 1: Dokumentasi

Вам также может понравиться