Вы находитесь на странице: 1из 3

Mengapa Harus Impor?

Impor menjadi topik yang hangat dibicarakan. Naik turunnya defisit neraca
perdagangan membuat isu impor menjadi buah bibir masyarakat. Mungkinkah suatu negara
tidak melakukan hubungan perdagangan impor, baik untuk bahan pangan atau produk lainnya?
Tentu saja jawabannya tidak. Secara teoritis sistem perekonomian dapat dibedakan menjadi
sistem ekonomi terbuka dan tertutup. Namun secara empiris, suatu sistem perekonomian di
dunia nyata tidak mengenal adanya sistem perekonomian yang murni terbuka dan tertutup
seperti pada teori. Misalnya saja Korea Utara, sebagai negara yang menganut perekonomian
tertutup dengan kekuasaan penuh pemerintah dalam mengatur perekonomian, negara tersebut
tidak sepenuhnya menganut sistem perekonomian yang benar-benar tertutup. Korea Utara tetap
melibatkan diri dalam kegiatan perdagangan internasional impor untuk memenuhi
kebutuhannya meskipun dalam skala yang kecil.
Impor komoditas pangan oleh Indonesia yang disebut sebagai negara agraris menarik
perhatian masyarakat untuk bertanya-tanya mengapa harus impor komoditas yang notabene
menjadi keunggulan komparatif negara? Mengapa Indonesia yang dapat disebut kaya atau
memiliki cukup stok suatu komoditas pangan masih impor? Apakah impor hanya memiliki
dampak positif? Bisakah impor berdampak baik terhadap perekonomian dalam negeri? Dan
masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain mengenai impor.
Alasan Impor
Segala sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Salah satunya impor. Impor
yang lebih besar daripada ekspor dapat menyebabkan neraca pembayaran defisit. Neraca
pembayaran yang defisit dapat mengganggu perekonomian karena dapat menambah utang
negara, berdampak pada berkurangngnya cadangan devisa, sampai nilai tukar yang melemah.
Selain dampak negatif, impor juga perlu dilakukan untuk beberapa alasan, namun dengan
jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan perekonomian.
Komoditas pangan seperti jagung, gandum, kedelai, kacang hijau sampai beras yang
merupakan komoditas andalan negara, tidak hanya diekspor ke berbagai negara, namun juga
diimpor dari berbagai negara meskipun saat musim panen. Jumlah produksi beras yang dilansir
dari laman resmi BPS pada tahun 2018 mencapai 32,42 juta ton mengalami surplus sekitar 2,85
juta ton dengan jumlah konsumsinya yang hanya sekitar 29,57 juta ton. Walaupun mengalami
surplus beras di tahun 2018, Indonesia tetap melakukan impor beras. Indonesia impor beras
sebesar 2,25 juta ton yang dilakukan secara bertahap dalam 12 bulan. Angka 2,25 juta ton
merupakan angka impor yang paling tinggi dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya sebesar
305,27 ribu ton.
Alasan impor beragam, yakni untuk memenuhi permintaan domestik yang tidak dapat
terpenuhi, agar nantinya harga stabil dan terjangkau. Selain itu alasan impor tetap dilakukan
meskipun terjadi surplus adalah untuk menambah persediaan cadangan jika terjadi suatu hal
tidak terduga di masa yang akan datang seperti halnya terjadi gagal panen, bencana alam dan
lain sebagainya. Karena, biaya yang harus dikeluarkan untuk menanggulangi suatu guncangan
atau shock akan suatu kejadian tidak terduga jumlahnya sangat besar. Sehingga, jumlah
persediaan cadangan yang cukup penting untuk diperhatikan. Namun perlu ditekankan
kembali, impor perlu dilakukan, namun pada jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan
keadaan perekonomian.
Alasan perlunya impor ketika permintaan domestik akan komoditas pangan yang tidak
dapat terpenuhi akan mempengaruhi harga. Harga akan meningkat jika permintaan tersebut
tidak dapat dipenuhi. Harga yang stabil sangat bergantung erat pada kegiatan produksi. Jika
kegiatan produksi dapat memenuhi permintaan masyarakat, maka tingkat harga akan berada
dalam batas yang wajar. Namun, kenyataannya tidak semua kegiatan produksi suatu
komoditas, terutama komoditas pangan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Komoditas
pangan masuk ke dalam perhitungan IHK untuk mengukur besarnya inflasi. Sehingga tingkat
harga komoditas pangan menjadi penting untuk diperhatikan karena dapat berdampak pada
inflasi yang akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.
Inflasi
Inflasi menurut Bank Indonesia diartikan sebagai kenaikan harga secara umum yang
terjadi terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Indikator untuk mengukur besarnya inflasi,
seringkali menggunakan IHK (Indeks Harga Konsumen). Perubahan dari IHK menunjukkan
pergerakan harga dari pengeluaran masyarakan untuk mengkonsumsi sejumlah barang dan
jasa. Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia, dikelompokkan menjadi 7 kelompok
pengeluaran yakni kelompok bahan makanan; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan
tembakau; kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar; kelompok sandang;
kelompok kesehatan; kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga; serta kelompok
transportasi, komunikasi dan jasa keuangan. Jika harga komoditas seperti beras tidak
distabilkan, maka harga beras dapat menjadi murah atau bahkan melambung tinggi. Harga
beras yang melambung tinggi mungkin dapat merugikan petani, namun tidak untuk masyarakat
dan sebaliknya. Tingginya harga beras ditakutkan akan memberi dampak spillover terhadap 6
kelompok pengeluaran lainnya yang termasuk dalam penghitungan IHK. Jika hal tersebut
terjadi, maka IHK (yang menunjukkan terjadinya peningkatan harga-harga barang yang
dikonsumsi masyarakat) akan meningkat dan berpengaruh pada besarnya tingkat inflasi.
Jika harga komoditas pangan meningkat dan memberikan dampak spillover terhadap
harga komoditas lain secara terus menerus, hal tersebut akan berdampak pada meningkatnya
inflasi. Tingginya inflasi dapat mengganggu perekonomian domestik maupun hubungan
perdagangan dengan negara lain. Disini, peran semua pihak dituntut untuk dapat menciptakan
peningkatan pada kegiatan produksi yang efektif dan efisien demi terciptanya harga komoditas
yang terjangkau dan stabil.

Вам также может понравиться