Вы находитесь на странице: 1из 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hepatobilier berasal dari kata hepar, artinya hati, dan bilier artinya
empedu. Sistem hepatobilier terdiri dari hati, duktus bilier, dan empedu.
Sistem ini mengatur pengeluaran atau sekresi cairan empedu yang berasal dari
hati disimpan di kandung empedu, untuk disekresikan ke dalam usus halus
untuk pencernaan lemak dalam makanan (Sudoyo, Aru. dkk., 2009).
Saluran empedu, dan kandung empedu saling terkait karena penyakit
yang mengenai organ ini memperlihatkan gambaran yang saling tumpang
tindih. Saluran empedu berfungsi untuk mengangkut empedu sedangkan
kandung empedu menyimpan dan mengeluarkan empedu ke usus halus sesuai
kebutuhan (Robbins, dkk. 2007).
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di
dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-
duanya. Kandung empedu merupakan kantong berongga berbentuk bulat
lonjong seperti buah advokat yang terletak tepat di bawah lobus kanan hati.
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu.
Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau batu
bilirubin, yang terdiri dari kalsium bilirubinat, dan batu campuran
(Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2010).
Batu kandung empedu telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu dan
pada abad ke 17 telah dicurigai sebagai penyebab penyakit pada manusia. Di
Amerika Serikat, terhitung lebih dari 20 juta orang Amerika dengan batu
empedu dan dari hasil otopsi menunjukkan angka kejadian batu empedu
paling sedikit 20% pada wanita dan 8% pada laki-laki di atas umur empat
puluhan. Di Inggris, sekitar 5,5 juta orang dengan batu empedu dan dilakukan
lebih dari 50 ribu kolesistektomi tiap tahunnya (Lesmana, L., 2009).
Insidens penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu lainnya di
Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia
tenggara dan sejak tahun 1980-an berkaitan erat dengan cara mendiagnosis
dengan menggunakan ultrasonografi. Tipe batu empedu di Indonesia yang

1
lebih umum adalah batu kolesterol, namun insidens batu pigmen lebih tinggi
dibanding yang terdapat di negara barat. Di Indonesia, kolelitiasis baru
mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu
masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai
keluhan. Penelitian di Jakarta (2009) pada 51 pasien didapatkan batu pigmen
pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien (menurut divisi
Hepatology, Departemen IPD, FKUI/RSCM Jakarta, Mei 2009 ), wanita lebih
berisiko mengalami batu empedu karena pengaruh hormon estrogen. Meski
wanita dan usia 40 tahun tercatat sebagai faktor risiko batu empedu, itu tidak
berarti bahwa wanita di bawah 40 tahun dan pria tidak mungkin terkena.
Penderita diabetes mellitus (DM), baik wanita maupun pria, berisiko
mengalami komplikasi batu empedu akibat kolesterol tinggi (Sjamsuhidajat R,
de Jong W., 2005).
Karena masih tingginya prevalensi penyakit kolelitiasis di Indonesia,
maka perlu dilaksanakan Tugas Pengenalan Profesi (TPP) dengan judul
“Observasi pasien dengan gangguan kolelitiasis di masyarakat” .

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan masalah :
1. Bagaimana manifestasi klinis yang dialami oleh pasien dengan gangguan
sistem bilier di masyarakat?
2. Apa saja faktor risiko dari gangguan sistem bilier di masyarakat?
3. Bagaimana pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk
mendiagnosis gangguan sistem bilier?
4. Bagaimana tatalaksana farmakoterapi dan nonfarmakoterapi yang
didapatkan pasien gangguan sistem bilier di masyarakat?

2
1.3 Tujuan
Adapun tujuan pada Tugas Pengenalan Profesi ini yaitu:
1. Mengetahui manifestasi klinis pada pasien dengan gangguan
sistem bilier
2. Mengetahui faktor risiko penyakit gangguan sistem bilier yang
dijumpai saat TPP
3. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk
menegakkan diagnosis gangguan sistem bilier
4. Mengetahui tatalaksana secara farmakoterapi dan
nonfarmakoterapi untuk kasus gangguan sistem bilier

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dengan dilakukannya tugas pengenalan profesi ini


adalah menambah wawasan mahasiswa mengenai kasus gangguan sistem
bilier.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hepatobilier

Hepatobilier berasal dari kata hepar,artinya hati, dan bilier artinya


empedu. Sistem hepatobilier terdiri dari hati, duktus bilier, dan empedu.
Sistem ini mengatur pengeluaran atausekresi cairan empedu yang berasal dari
hati disimpan di kandung empedu, untuk disekresikan ke dalam usus halus
untuk pencernaan lemak dalam makanan (Sudoyo, Aru. dkk., 2009 : 630).

2.2 Anatomi Hepar

Hepar merupakan organ terbesar di dalam tubuh. Hepar bertekstur


lembut dengan letak di bagian atas cavitas abdominalis tepat dibawah
diaphragma. sebagian besar bagiannya terletak dibawah arcus costalis
dextra, dan diaphragma setengah bagian kanan memisahkan tepar dari pleura,
paru-paru, perikardium dan jantung. Hepar dikelilingi oleh kapsula fibrosa,
hanya sebagian dibungkus oleh peritoneum (Snell, R. S., 2013 ).

Hepar sendiri terbagi menjadi 2 lobus, yaitu lobus dextra yang besar
dan lobus sinistra yang kecil. Dan lobus-lobus tersebut terbagi laga menjadi
beberapa bagian, yaitu lobus quadratus dan lobus caudatus ollen adanya
vesica billiards, fissura untuk ligamentum teres hepatis, vena cava inferior,
dan fissura untuk ligamentum venosum. di dalam masing-masing dari lobulus

4
terdapat vena centralis yang akan bermuara ke vena hepatica, dan terdapat
canalis hepatis, yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena porta, dan
sebuah cabang dari ductus choledochus (triad hepatis). Pada hepar juga
terdapat porta hepatis, yang terdapat di permukaan posteroinferior, dan
terletak di antara lobus caudatus dan lobus quadratus. bagian atas omentum
minus melekat pada pinggir porta hepatis. Pada tempat ini, terdapat ductus
hepatis dextra dan sinistra, cabang dextra dan sinistra arteria hepatica, vena
porta, dan serabut saraf simpatis dan parasimpatis. Di tempat ini juga terdapat
kelenjar limfe hepar (Snell, R. S., 2013).

Hepar memiliki beberapa ligamentum, diantaranya adalah Ligamentum


Falciforme, yang merupakan lipatan ganda peritoneum, berjalan ke atas dari
umbilicus ke hepar. Ligamentum ini mempunyai pinggir bebas berbentuk
bulan asbit dan mengandung ligamentum teres hepatis yang meruakan sis dari
vena umbilicalis. Ligamentum falciforme ini terbagi menjadi 2, dimana yang
kanan membentuk lapisan atas yang disebut ligamentum coronarium,
sedangkan bagian yang kiri membentuk lapisan atas ligamentum triangulare
dextra. Ligamentum venosum, suatu pita fibrosa yang merupakan sisa dari
ductus venosus, melekat pada cabang sinistra vena porta dan berjalan keatas
di dalam fissura pada permukaan viseral hepatis, dan di atas melekat pada
vena cava inferior (Snell, R. S., 2013).

Pembuluh-pembuluh darah yang mengalirkan darah ke hepar adalah


arteria hepatica propria, dan vena porta. membawa darah yang kaya oksigen
ke hepar. Arteria hepatica proria, cabang arteria coeliaca (truncus coeliacus),
berakhir dengan bercabang menjadi ramus dextra dan sinistra yang masuk
kedalam porta hepatica. Sedangkan vena porta membawa darah yang kaya
akan hasil metabolisme pencernaan yang sudah diabsorbsi dari tractus
gastrointestinal. Vena porta sendiri berakhir dengan bercabang menjadi
cabang dextra dan sinistra yang masuk porta hepatica di belakang arteri.
Venae hepaticae muncul dari pemrmukana porsterior hepatis dan bermuara ke
dalam vena cava inferior. darah dari arteri dan vena masing masing dialirkan
ke vena centralis masing masing lobulus hepatis melalui sinusoid hati. vena

5
centralis mengalirkan darah ke vena hepatica dextra dan sinistra, dan
bermuara ke vena cava inferior (Snell, R. S., 2013).

Hepar juga memiliki ductus untuk menyalurkan sekresi empedu, yang


disebut ductus biliaris hepatis. Ductus biliaris hepatis terdiri dari ductus
hepaticus dextra dan sinistra, ductus hepaticus communis, ductus
choledochus, vesica biliaris, dan ductus cysticus. Cabang-cabang
interlobularis ductus choledochus terkecil terdapat di dalam canalis hepatis.
Cabang ini menerima canaliculi biliaris dan saling berubungan satu sama lain
serta secara bertahap membentuk saluran yang lebih besar, sehingga akhirnya
pada porta hepatica membentuk ductus hepaticus dextra dan sinistra. ductus
hepaticus dextra dan sinistra akhirnya keluar dari lobus hepatica dextra dan
sinistra pada porta hepatica. Dalam jarak pendek, keduanya bergabung
membentuk ductus hepaticus communis dan terus menjadi ductus
choledochus setelah perhubungan ductus hepaticus communis dan ductus
cysticus. Sedangkan ductus cysticus merupakan penghubung antara ductus
hepaticus communis dengan vesica biliaris (Snell, R. S., 2013).

2. 3 Fisiologi Hepar

Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh, organ


ini dapat dipandang sebagai pabrik biokimia utama tubuh. Perannya dalam
sistem pencernaan dan penyerapan lemak, hati mensekresi sekitar 1 liter
empedu setiap hari. Hati juga melakukan berbagai fungsi yang tidak berkaitan
dengan pencernaan, termasuk yang berikut:

1. Pemrosesan metabolik kategori-kategori utama nutrien (karbonhidrat,


protein, dan lemak) setela zat-zat ini diserap dari saluran cerna.
2. Mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon serta obat
dan senyawa asing lain.
3. Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan untuk
pembekuan darah yan mengangkut hormon steroid dan tiroid serta
kolesterol dalam darah, dan angiotensinogen yang penting dalam SRAA
yan mengkonservasi garam.
4. Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.

6
5. Mengaktifkan vitamin D, yang dilakukan hati bersama dengan ginjal.
6. Mengeluarkan bakteri dan sel darah merah tua, berkat adanya makrofag
residen.
7. Menyekresi hormone tromboprotein (merangsang produksi trombosit),
hepsidin (menhambat penyerapan besi dari usus), faktor pertumbuhan
mirip insulin-1 (merangsang pertumbuhan).
8. Memproduksi protein fase akut yan penting dalam inflamasi.
9. Mengekskresi kolesterol dan bilirubuin (Sherwood, Lauralee, 2014).

Aliran darah hati untuk melaksanakan beragam tugas ini, susunan


anatomik hati memungkinkan setiap hepatosit berkontak langsung dengan
dara dari dua sumber: darah langsung dari saluran cerna. Seperti sel lain,
hepatosit menerima darah arteri segar melalui arteri hepatica, yan
menyalurkan oksigen dan metabolit-metabolit darah untuk diproses oleh
hati. Darah vena juga msuk ke hati melalui system porta hati, suatu koneksi
vascular unik dan kompleks antara saluran cerna dan hati ( Sherwood,
Lauralee. 2014).

Hati tersusun menjadi unit-unit fungsional yang dikenal sebagai


lobulus, yaitu susunan jaringan berbentu eksagonal mengelilingi satu vena
sentral dan dibatasi ole vaskuler dan saluran empedu. Di setiap enam sudut
lobulus terdapat tiga pembulu dara: caban arteri hepatica, cabang vena porta
hati, dan duktus biliaris ( Sherwood, Lauralee. 2014 ).

Hati merupakan komponen sentral sistem imun. Sel kupffer, yang


meliputi 15% dari massa hati serta 80% dari total populasi fagosit tubuh,
merupakan sel yang sangat penting dalam menanggulangi antigen yan
berasal dari luar tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut kepada
limfosit ( Sherwood, Lauralee.2014.)

7
2.4 Anatomi Bilier

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah pir yang


terletak di bagian sebelah dalam hati (scissura utama hati) di antara lobus
kanan dan lobus kiri hati. Panjang kurang lebih 7,5 – 12 cm, dengan kapasitas
normal sekitar 35-50 ml . Kandung empedu terdiri dari fundus, korpus,
infundibulum, dan kolum. Fundus mempunyai bentuk bulat dengan ujung
yang buntu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu yang
sebagian besar menempel dan tertanam didalam jaringan hati sedangkan
Kolum adalah bagian sempit dari kandung empedu. Kandung empedu tertutup
seluruhnya oleh peritoneum viseral, tetapi infundibulum kandung empedu
tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum. Apabila kandung
empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum
menonjol seperti kantong yang disebut kantong Hartmann (Sjamsuhidajat,
2010).

8
Duktus sistikus memiliki panjang yang bervariasi hingga 3 cm dengan
diameter antara 1-3 mm. Dinding lumennya terdapat katup berbentuk spiral
yang disebut katup spiral Heister dimana katup tersebut mengatur cairan
empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, akan tetapi dapat
menahan aliran cairan empedu keluar. Duktus sistikus bergabung dengan
duktus hepatikus komunis membentuk duktus biliaris komunis (Sjamsuhidajat,
2010).
Duktus hepatikus komunis memiliki panjang kurang lebih 2,5 cm
merupakan penyatuan dari duktus hepatikus kanan dan duktus hepatikus kiri.
Selanjutnya penyatuan antara duktus sistikus dengan duktus hepatikus
komunis disebut sebagai common bile duct (duktus koledokus) yang memiliki
panjang sekitar 7 cm. Pertemuan (muara) duktus koledokus ke dalam
duodenum, disebut choledochoduodenal junction. Duktus koledokus berjalan
di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum
membentuk papila vater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum.
Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter oddi yang mengatur aliran
empedu masuk ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara
ditempat yang sama dengan duktus koledokus di dalam papila vater, tetapi
dapat juga terpisah (Sjamsuhidajat, 2010).
Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri sistikus yang
terbagi menjadi anterior dan posterior dimana arteri sistikus merupakan
cabang
dari arteri hepatikus kanan yang terletak di belakang dari arteri duktus hepatis
komunis tetapi arteri sistikus asesorius sesekali dapat muncul dari arteri
gastroduodenal. Arteri sistikus muncul dari segitiga Calot (dibentuk oleh
duktus sistikus, common hepatic ducts, dan ujung hepar) (Sjamsuhidajat,
2010).

9
2. 5. Fisiologi Bilier

2. 5. 1 Sekresi Empedu

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam


kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang
terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari
hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya
membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum
mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus
sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum
disalurkan ke duodenum. Empedu melakukan dua fungsi penting
yaitu :

a. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan


absorpsi lemak karena asam empedu yang melakukan dua hal
antara lain: asam empedu membantu mengemulsikan partikel-
partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan
bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pancreas.
Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak
yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.

b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa


produk buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin,
suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan
kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati (Guyton, Arthur C. Hall,
John E. 2007).

2. 5. 2 Penyimpanan dan Pemekatan Empedu

Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml


per hari. Empedu yang disekresikan secara terus-menerus oleh sel-
sel hati disimpan dalam kandung empedu sampai diperlukan di
duodenum. Volume maksimal kandung empedu hanya 30-60 ml.
Meskipun demikian, sekresi empedu selama 12 jam (biasanya sekitar
450 ml) dapat disimpan dalam kandung empedu karena air, natrium,

10
klorida, dan kebanyakan elektrolit kecil lainnya secara terus menerus
diabsorbsi oleh mukosa kandung empedu, memekatkan zat-zat
empedu lainnya, termasuk garam empedu, kolesterol, lesitin, dan
bilirubin. Kebanyakan absorpsi ini disebabkan oleh transpor aktif
natrium melalui epitel kandung empedu, dan keadaan ini diikuti oleh
absorpsi sekunder ion klorida, air, dan kebanyakan zat-zat terlarut
lainnya. Empedu secara normal dipekatkan sebanyak 5 kali lipat
dengan cara ini, sampai maksimal 20 kali lipat (Guyton, Arthur C.
Hall, John E. 2007).

2. 5. 3 Pengosongan Kandung Empedu

Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu


sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan
sfingter koledokus. Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan
pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan
masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum. Lemak
menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa
duodenum, kemudian masuk kedalam darah dan menyebabkan
kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang
terletak pada ujung distal duktus koledokus dan sfingter Oddi
mengalami relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu
yang kental ke dalam duodenum (Guyton, Arthur C. Hall, John E.
2007).

Proses koordinasi aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :

1) Hormonal : Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai


duodenum akan merangsang mukosa sehingga hormon
kolesistokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar
peranannya dalam kontraksi kandung empedu.

2) Neurogen : • Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase


cephalik dari sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-
intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu. •

11
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit. Secara normal pengosongan kandung empedu
secara menyeluruh berlangsung selama sekitar 1 jam. Pengosongan
empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun
hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu
(Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007).

2. 5. 4 Komposisi Cairan Empedu

Garam Empedu Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam


empedu dari hati ada dua macam yaitu : Asam Deoxycholat dan
Asam Cholat. Fungsi garam empedu adalah :

• Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang


terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar
dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna
lebih lanjut.

• Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan


vitamin yang larut dalam lemak. Prekursor dari garam empedu
adalah kolesterol. Garam empedu yang masuk ke dalam lumen
usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat
dan lithocholat. Sebagian besar (90%) garam empedu dalam
lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan
sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat.
Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari
ilium. Sehingga bila ada gangguan padsa daerah tersebut
misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam
empedu akan terganggu (Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007).

12
2.6 Kolelitiasis

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di


dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-
duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di
dalam kandung empedu (Sjamsuhidajat, R., 2005).

Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk


duodenum dalam jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari
membrana-basolateral dari hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu
ke dalam duodenum. Dari segi klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-
zat yang diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan
kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi
kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan
sistem bilier ( Karpen SJ, 2002 ).

Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu


mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di
dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu
(kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan

13
dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa
menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh
lainnya (Lesmana, L., 2009).

Adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding kandung


empedu, sehingga menyebabkan terjadinya statis dan dengan demikian
menaikkan batu empedu. Infeksi dapat disebabkan kuman yang berasal dari
makanan. Infeksi bisa merambat ke saluran empedu sampai ke kantong
empedu. Penyebab paling utama adalah infeksi di usus. Infeksi ini menjalar
tanpa terasa menyebabkan peradangan pada saluran dan kantong empedu
sehingga cairan yang berada di kantong empedu mengendap dan
menimbulkan batu. Infeksi tersebut misalnya tifoid atau tifus. Kuman tifus
apabila bermuara di kantong empedu dapat menyebabkan peradangan lokal
yang tidak dirasakan pasien, tanpa gejala sakit ataupun demam. Namun,
infeksi lebih sering timbul akibat dari terbentuknya batu dibanding
penyebab terbentuknya batu (Lesmana, L., 2009).

2. 6. 1 Epidemiologi

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan


angka kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di
Asia Tenggara. Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat
dalam kelompok risiko tinggi yang disebut ”4 Fs” : forty (usia diatas
40 tahun lebih berisiko), female (perempuan lebih berisiko), fertile
(paritas), fatty (obesitas) Pembentukan batu empedu adalah
multifaktorial. Studi sebelumnya telah mengindentifikasi jenis
kelamin perempuan, bertambahnya usia, kegemukan, riwayat
keluarga dengan batu empedu, etnis, jumlah kehamilan merupakan
faktor risiko batu empedu (Sjamsuhidajat, 2010).

Faktor resiko tersebut antara lain :

1. Jenis Kelamin dan Hormon Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat


untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini
dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap

14
peningkatan ekskresi kolesterol oleh kandung empedu.
Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil
kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu (Hunter JG. 2007).
2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih
cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang
degan usia yang lebih muda. Perubahan rasio androgen dan
esterogen merupakan proses fisiologis pada laki-laki yang
berhubungan dengan penurunan metabolisme lipid biliari dan
motolitas kandung empedu. Pada penelitian USG
mengindikasikan sensitifitas kandung empedu terhadap
Cholecystokinin (CCK) menurun berdasarkan usia (Hunter JG.
2007).
3. Obesitas dan Penurunan Berat Badan Cepat Lebih dari 50%
wanita usia 45-55 tahun yang obesitas memilik penyakit kandung
empedu dan cholelithiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI
maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan
juga mengurangi garam empedu serta mengurangi kontraksi/
pengosongan kandung empedu. Penurunan berat badan yang
cepat pada pasien obese berhubungan dengan sekresi saturasi
kolesterol empedu dan meningkatkan insiden batu empedu
(Hunter JG. 2007).
4. Diabetes Pasien diabetes memiliki bilirubin yang membentuk
supersaturasi dengan kolesterol, penurunan pool asam empedu,
dan gangguan aktifitas motorik kandung empedu (Hunter JG.
2007).
5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis
mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat
keluarga (Hunter JG. 2007).

15
6. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama
mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan / nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu (Hunter JG. 2007).

2. 6. 2 Etiologi

Etiologi batu empedu dan saluran empedu masih belum


diketahui dengan sempurna, akan tetapi faktor predisposisi yang
paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan
infeksi kandung empedu (Hunter JG. 2007).

a. Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor


terpenting dalam pembentukan batu empedu karena hati
penderita batu empedu kolesterol, mengekresi empedu yang
sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini
mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang belum
diketahui sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu.
Sedangkan perubahan komposisi lainnya yaitu yang
menyebabkan batu pigmen adalah terjadi pada penderita dengan
high heme turnover. Penyakit hemolisis yang berkaitan dengan
batu pigmen adalah sickle cell anemia, hereditary spherocytosis,
dan beta-thalasemia.Selain itu terdapat juga batu campuran, batu
ini merupakan campuran dari kolesterol dan kalsium bilirubinat.
Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90% pada penderita
kolelitiasis (Hunter JG. 2007).

b. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan


supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan
pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan kontraksi
kandung empedu atau spasme spingter Oddi, atau keduanya
dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal (hormon

16
kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan
keterlambatan pengosongan kandung empedu (Hunter JG.
2007).

c. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam


pembentukan batu. Mukus meningkatakn viskositas empedu dan
unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat
presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari
terbentuknya batu dibanding panyebab terbentuknya batu
(Hunter JG. 2007).

2. 6. 3 Patogenesis

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu


dan jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu empedu masih
belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi
yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan
infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin
merupakan yang paling penting pada pembentukan batu empedu,
karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu.
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan
supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan
sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan
deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Sekresi kolesterol
berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang
abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan
batu empedu (Hunter JG. 2007).

Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan


kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu
banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu,
terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol

17
dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan
karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang
yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan
mudah mengalami perkembangan batu empedu. Batu kandung
empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus
sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial
atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau
batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu
besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana
sebagai batu duktus sistikus (Hunter JG. 2007).

2. 6. 4 Klasifikasi Batu Empedu


1. Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase :
a. Fase Supersaturasi Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan
garam empedu adalah komponenyang tak larut dalam
air.Ketiga zat ini dalam perbandingan
tertentumembentuk micelle yang mudah larut. Di dalam
kandung empeduketiganya dikonsentrasikan menjadi
lima sampai tujuh kali lipat.Pelarutan kolesterol
tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan
garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20
sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana
kolesterol akan relatif tinggirasio ini bisa mencapai 1 :
13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap
(Hunter JG. 2007).
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai
berikut :
- Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air,
garam empedu dan lecithin jauh lebih banyak.

18
- Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol
lebih tinggi sehingga terjadi supersaturasi.
- Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western
diet)
- Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas
kolesterol jaringan tinggi.
- Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun
misalnya pada gangguan ileum terminale akibat
peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi
enterohepatik).
- Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol
meningkat dan kadar chenodeoxycholat rendah,
padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol.
Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB
pengaruhnya hanya sampai tiga tahun (Hunter JG.
2007).

b. Fase Pembentukan inti batu (Nukleasi) Inti batu yang


terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti
batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium
bilirubinat atau sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti
batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri
yang mengendap karena perubahan rasio dengan asam
empedu (Hunter JG. 2007).

c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar. Untuk menjadi


batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu
untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan
normal dimana kontraksi kandung empedu cukup kuat
dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah
terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila

19
konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol
yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti
batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita
Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total
parental nutrisi yang lama, setelah operasi (Hunter JG.
2007).

2. Batu bilirubin/Batu pigmen


Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok :
a. Batu calcium bilirubinat (batu infeksi) atau batu coklat.
b. Batu pigmen murni (batu non infeksi) atau batu hitam.

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :


a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi
karena pemecahan eritrosit yang berlebihan, misalnya
pada malaria dan penyakit Sickle cell. Pada keadaan
infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi
konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar
larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia coli.
Pada keadaan normal cairan empedu mengandung
glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase (Hunter JG. 2007).

b. Pembentukan inti batu


Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium
dan sel bisa juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan
telur cacing. Tatsuo Makime laporkan bahwa 55 % batu
pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing
Ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam

20
mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang
(Hunter JG. 2007).
2. 6. 5 Manifestasi Klinis
Batu empedu tidak menyebabkan keluhan penderita selama
batu tidak masuk ke dalam duktus sistikus atau duktus koledokus.
Bilamana batu itu masuk ke dalam ujung duktus sistikus barulah
dapat menyebabkan keluhan penderita. Apabila batu itu kecil, ada
kemungkinan batu dengan mudah dapat melewati duktus koledokus
dan masuk ke duodenum. Batu empedu mungkin tidak menimbulkan
gejala selama berpuluh tahun (Price Sylvia A, dan Wilson Lorraine
M, 2005).
Gejalanya mencolok: nyeri saluran empedu cenderung hebat,
baik menetap maupun seperti kolik bilier (nyeri kolik yang berat
pada perut atas bagian kanan) jika ductus sistikus tersumbat oleh
batu, sehingga timbul rasa sakit perut yang berat dan menjalar ke
punggung atau bahu. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan
serangan kolik biliaris. Sekali serangan kolik biliaris dimulai,
serangan ini cenderung makin meningkat frekuensi dan
intensitasnya. Gejala yang lain seperti demam, nyeri seluruh
permukaan perut, perut terasa melilit, perut terasa kembung, dan
lain-lain (Price Sylvia A, dan Wilson Lorraine M, 2005).
2. 6. 6 Diagnosis
1. Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah


asimtomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepdia yang
kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang
simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah
kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan
kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri
kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke

21
puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat
penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan
antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan
bertambah pada waktu menarik nafas dalam (Hunter JG. 2007).

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum


maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda
Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita
menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang
tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
nafas. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3
mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, akan timbul ikterus klinis (Hunter JG. 2007).

3. Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan laboratorium

Batu empedu yang asimtomatik umumnya tidak


menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila
terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi
sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin
serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di
dalam duktus koledukus (Hunter JG. 2007).

Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar


amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali
terjadi serangan akut. Alanin aminotransferase ( SGOT = Serum
Glutamat – Oksalat Transaminase ) dan aspartat aminotransferase
( SGPT = Serum Glutamat – Piruvat Transaminase ) merupakan
enzim yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit
(Hunter JG. 2007).

22
Peningkatan serum sering menunjukkan kelainan sel hati,
tapi bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran empedu
terutama obstruksi saluran empedu. Fosfatase alkali disintesis
dalam sel epitel saluran empedu. Kadar yang sangat tinggi,
sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu karena sel
ductus meningkatkan sintesis enzym ini (Hunter JG. 2007).

Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda


obstruksi. Ikterik dan alkali fosfatase pada umumnya meningkat
dan bertahan lebih lama dibandingkan dengan peningkatan kadar
bilirubin. Waktu protombin biasanya akan memanjang karena
absorbsi vitamin K tergantung dari cairan empedu yang masuk ke
usus halus, akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian
vitamin K secara parenteral (Hunter JG. 2007).

- Pemeriksaan radiologis Ultrasonografi (USG)


Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan
sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung
empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem
yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit
dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan
USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi
biasa (Hunter JG. 2007).

Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus


pankreatikus melalui ampula Vater dapat diselesaikan secara
endoskopis. Lesi obstruksi bagian bawah dapat diperagakan.
Pada beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi
tambahan yang berharga, misalnya tumor ampula, erosis batu
melalu ampula, karsinoma yang menembus duodenum dan

23
sebagainya) Tehnik ini lebih sulit dan lebih mahal
dibandingkan kolangiografi transhepatik. Kolangitis dan
pankreatitis merupakan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pasien yang salurannya tak melebar atau mempunyai
kontraindikasi sebaiknya dilakukan kolangiografi transhepatik,
ERCP semakin menarik karena adanya potensi yang 'baik
untuk mengobati penyebab penyumbatan tersebut (misalnya:
sfingterotomi untuk jenis batu duktus koledokus yang
tertinggal) (Hunter JG. 2007).

2. 6. 7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari batu empedu tergantung dari stadium


penyakit. Saat batu tersebut menjadi simptomatik maka intervensi
operatif diperlukan. Biasanya yang dipakai ialah kolesistektomi.
Akan tetapi, pengobatan batu dapat dimulai dari obat-obatan yang
digunakan tunggal atau kombinasi yaitu terapi oral garam empedu (
asam ursodeoksikolat), dilusi kontak dan ESWL. Terapi tersebut
akan berprognosis baik apabila batu kecil < 1 cm dengan tinggi
kandungan kolesterol (Towsend, M. Jr, dkk. 2008).

1. Asimptomatik

Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa


komplikasi tidak dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu
empedu asimptomatik ialah :

- Pasien dengan batu empedu > 2cm - Pasien dengan kandung


empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi keganasan

- Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut.

Disolusi batu empedu

Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat.


Pada manusia, penggunaan jangka panjang dari agen ini akan
mengurangi saturasi kolesterol pada empedu yaitu dengan

24
mengurangi sekresi kolesterol dan efek deterjen dari asam
empedu pada kandung empedu. Desaturasi dari empedu
mencegah kristalisasi (Towsend, M. Jr, dkk. 2008).

Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi


dalam 2-3 dosis harian akan mempercepat disolusi. Intervensi ini
membutuhkan waktu 6-18 bulan dan berhasil bila batu yang
terdapat ialah kecil dan murni batu kolesterol (Towsend, M. Jr,
dkk. 2008).

Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer


beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini
hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar telah
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL
memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat (Towsend, M. Jr,
dkk. 2008).

2. Simptomatik

Kolesistektomi

Kolesistektomi adalah pengangkatan kandung empedu


yang secara umum diindikasikan bagi yang memiliki gejala atau
komplikasi dari batu, kecuali yang terkait usia tua dan memiliki
resiko operasi. Pada beberapa kasus empiema kandung empedu,
diperlukan drainase sementara untuk mengeluarkan pus yang
dinamakan kolesistostomi dan kemudian baru direncanakan
kolesistektomi elektif. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi
trauma CBD, perdarahan, dan infeksi (Towsend, M. Jr, dkk.
2008).

25
Laparoskopik kolesistektomi

Berbeda dengan kolesistektomi terbuka, pada


laparoskopik hanya membutuhkan 4 insisi yang kecil. Oleh
karena itu, pemulihan pasca operasi juga cepat. Kelebihan
tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik,
menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih
murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang.
Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu
tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan
koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi
berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan
trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering
dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan
menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik,
tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal
dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen
utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga
(Towsend, M. Jr, dkk. 2008).

Kolesistostomi

Pada pasien dengan kandung empedu yang mengalami


empiema dan sepsis, yang dapat dilakukan ialah kolesistostomi.
Kolesistostomi adalah penaruhan pipa drainase di dalam
kandung empedu. Setelah pasien stabil,maka kolesistektomi
dapat dilakukan (Towsend, M. Jr, dkk. 2008).

2. 6. 8. Komplikasi

- Kolesistitis Akut

Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding


kandung empedu disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri
tekan, dan demam. Hampir semua kolesistitis akut terjadi akibat

26
sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak dalam kantong
Hartmann. Komplikasi ini terdapat pada lima persen penderita
kolesistitis. Kolesistitis akut tanpa batu empedu disebut kolesistitis
akalkulosa, dapat ditemukan pasca bedah (Lesmana, 2009).

Pada kolesistitis akut, faktor trauma mukosa kandung


empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang
mengubah lesitin di dalam empedu menjadi lisolesitin, yaitu
senyawa toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal
penyakit, peran bakteria agaknya kecil saja meskipun kemudian
dapat terjadi supurasi (nanah/pernanahan). Komplikasi kolesistitis
akut adalah empiema, gangrene, dan perforasi. Perjalanan
kolesistitis akut bergantung pada apakah obstruksi dapat hilang
sendiri atau tidak, derajat infeksi sekunder, usia penderita, dan
penyakit lain yang memperberat keadaan, seperti diabetes mellitus
(Lesmana, 2009).

Perubahan patologik di dalam kandung empedu mengikuti


pola yang khas. Proses awal berupa udem subserosa, lalu
perdarahan mukosa dan bercak-bercak nekrosis dan akhirnya
fibrosis. Gangren dan perforasi dapat terjadi pada hari ketiga
setelah serangan penyakit, tetapi kebanyakan pada minggu kedua.
Pada penderita yang mengalami resolusi spontan, tanda radang akut
baru menghilang setelah empat minggu, tetapi sampai berbulan-
bulan kemudian sisa peradangan dan nanah masih tetap ada.
Hampir 90% kandung empedu yang diangkat dengan
kolesistektomi menunjukan jaringan parut lama, yang berarti pada
masa lalu pernah menderita kolesistitis, tetapi umumnya penderita
menyangkal tidak pernah merasa ada keluhan (Lesmana, 2009).

- Kolesistitis Kronik

27
Kolesistitis kronik adalah peradangan menahun dari dinding
kandung empedu, yang ditandai dengan serangan berulang dari
nyeri perut yang tajam dan hebat. Kolesistitis kronik merupakan
kelainan kandung empedu yang paling umum ditemukan.
Penyebabnya hampir selalu batu empedu. Penentu penting untuk
membuat diagnosa adalah kolik bilier, dispepsia, dan ditemukannya
batu empedu pada pemeriksaan ultrasonografi atau kolesistografi
oral. Keluhan dispepsia dicetuskan oleh makanan “berat” seperti
gorengan, yang mengandung banyak lemak, tetapi dapat juga
timbul setelah makan bermacam jenis kol. Kolik bilier yang khas
dapat juga dicetuskan oleh makanan berlemak dan khas kolik bilier
dirasakan di perut kanan atas (Lesmana, 2009)..

Gejala Klinis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah nyeri
abdomen kuadran kanan atas, mual, muntah dan demam. Kadang-kadang rasa
sakit dapat menjalar ke pundak atau skapula kanan. Hal ini dapat berlangsung
sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung
dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi
kandung empedu. Nyeri tekan abdomen kuadran kanan atas, kandung empedu
teraba dan tanda Murphy positif pada pemeriksaan fisik merupakan karakteristik
kolesistitis akut. Tanda Murphy positif memiliki spesifitas 79%-96% untuk
kolesistitis akut. Gambaran klinis untuk kolesistitis akalkulus umumnya serupa
dengan kolesistitis akut akibat batu, yakni demam, nyeri perut kanan atas, dan
tanda Murphy positif.

Ikterus dapat dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin
<0,4 mg/dl). Ikterus ini dipikirkan terjadi akibat obstruksi bilier parsial yang
dipicu oleh inflamasi pada CBD. Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu
dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pemeriksaan
laboratorium tidak spe-sifik. Umumnya menunjukkan adanya leukositosis dengan
70%–85% terjadi left shift. Serum transaminase dan fosfatase alkali dapat
meningkat. Apabila keluhan bertambah hebat disertai suhu tinggi dan menggigil

28
serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung
empedu perlu dipertimbangkan. (Firmansyah, 2015)

Diagnosis

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan modalitas diagnostik utama


dan sangat dianjurkan. USG sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat
bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk dan penebalan dinding kandung
empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan
USG mencapai 90%-95%. Gambaran USG pada kolesistitis akalkulus dapat
berupa (1) tidak ditemukan adanya batu dalam kandung empedu; (2) penebalan
dinding kandung empedu dengan atau tanpa cairan perikolesistik; dan (3)
sonographic Murphy’s sign positif yakni nyeri saat probe USG ditekan pada
daerah kandung empedu). Pada pasien ini, gambaran hasil USG menunjukkan
adanya tanda kolesistitis akut tanpa disertai adanya gambaran batu.

Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut.


Hanya pada 15% pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang
(radiopak) dikarenakan terdapat kandungan kalsium cukup banyak. Kolesistografi
oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi
sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Pemeriksaan
CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal tapi mampu memperlihatkan adanya
abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada
pemeriksaan USG. Diagnosis banding untuk kolesistitis akalkulus yakni
kolesistitis akut kalkulus, ulkus peptikum dengan atau tanpa perforasi, kola-ngitis
akut, pankreatitis akut, dan infark miokard akut (Firmansyah, 2015)

Klasifikasi/Derajat Stadium

1. Kolesistitis akut ringan (derajat 1) Pasien dengan inflamasi ringan pada


kandung empedu, tanpa disertai disfungsi organ, dan kolesistektomi dapat
dilakukan dengan aman dan berisiko rendah. Pasien pada derajat ini tidak
memenuhi kriteria untuk kolesistitis sedang dan berat. 2. Kolesistitis akut sedang
(derajat 2) Salah satu kriteria yang harus dipenuhi adalah : a. Leukositosis
b. Massa teraba di abdomen kuadran atas c. Keluhan berlangsung lebih dari 72

29
jam d. Inflamasi lokal yang jelas (peritonitis bilier, abses perikolesistikus, abses
hepar, kolesistitis gangrenosa, kolesistitis emfisematosa) Derajat inflamasi akut
pada stadium ini meningkatkan taraf kesulitan untuk dilakukan kolesistektomi.
Operasi laparoskopi sebaiknya dilakukan dalam waktu 96 jam setelah onset. 3.
Kolesistitis akut berat (derajat 3)

a. Disfungsi kardiovaskuler (hipotensi dilatasi dengan dopamin atau


dobutamin)

b. Disfungsi neurologis (penurunan kesadaran)

c. Disfungsi pernapasan (rasio PaO2/FiO2 <300)

d. Disfungsi renal (oliguria, kreatitin >2mg/dL)

e. Disfungsi hepar (PT-INR > 1,5)

f. Disfungsi hematologi (trombosit <100.000/mm)

Patogenesis

Adanya masalah dislipidemia dari hasil pemeriksaan profil lipid pasien


dimana kolesterol total pasien ini adalah 240 mg/dL, juga dapat menjadi faktor
risiko terjadinya kolesistitis akut, dimana disebutkan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi timbulnya kerusakan pada lapisan mukosa dinding kandung
empedu adalah kolesterol.

Patofisiologi terjadinya kolesistitis akalkulus akut umumnya dipengaruhi


banyak hal dan belum dimengerti sepenuhnya. Namun secara umum, terdapat tiga
mekanisme yang dipikirkan berkaitan dengan timbulnya kondisi ini yakni: (1)
mediator inflamasi sistemik dan trauma, (2) stasis bilier, dan (3) iskemia sistemik
atau lokal pada kandung empedu.10 Secara patologis, dapat ditemui jejas pada
endotel, iskemi kandung empedu, dan stasis, yang mengakibatkan
terkonsentrasinya garam-garam empedu dan bahkan nekrosis pada jaringan kan-
dung empedu. Perforasi dinding kandung empedu dapat terjadi pada beberapa
kasus. Pada beberapa kasus, keterlibatan flora usus gram negatif dapat
mencetuskan kondisi ini. Kolesistitis akalkulus akut pernah dilaporkan
dihubungkan dengan infeksi Salmonella typhoid, Staphylococcus, dan Brucella

30
sp. Pada pasien-pasien dengan SIDA, kolesistitis dihubungkan dengan adanya
infeksi cytomegalovirus dan cryptosporidium. Adanya iskemia sistemik ataupun
lokal, kadang dihubungkan dengan adanya kejadian vaskulitis pembuluh darah
kecil (small vessel vasculitis). (Firmansyah, 2015)

Tata Laksana

Penatalaksanaan kolesistitis akut secara umum:1,6 - antibiotik harus diberikan


untuk semua kasus, disesuaikan dengan derajat beratnya penyakit. Pada
insufisiensi ginjal, dosis antibiotik harus disesuaikan. - Non-steroid anti-
inflamatory drugs (NSAID) dapat diberikan untuk mengatasi nyeri. Salah satu
NSAID yang dapat dipilih adalah diclofenac atau indomethacin.

Tata laksana umum lainnya termasuk istirahat total, pemberian nutrisi


parenteral, diet ringan rendah lemak. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat
penting untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis, dan septikemia. Pasien
dapat diberikan antibiotik sefalosporin generasi ketiga atau keempat atau
flurokuinolon, ditambah dengan metronidazole. Golongan ampisilin, sefalosporin
dan metronidazole cukup memadai untuk mematikan kuman-kuman yang umum
terdapat pada kolesistitis akut sepeti E. coli, S. faecalis dan Klebsiella.

Terapi antibiotik yang diberikan pada pasien ini adalah cefoperazone 3x 1


gram dan metronidazole 3x 500 mg drip. Pemberian ketoprofen supp ditujukan
untuk mengatasi nyeri abdomen. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang
menganjurkan kombinasi pemberian sefalosporin generasi ketiga/empat ditambah
dengan metronidazole untuk mencakupi infeksi anaerob dan pemberian NSAID
untuk mengatasi nyeri.1,6 Saat pasien pulang, terapi antibiotik sefalosporin yakni
cefixime dan kombinasi dengan metronidazole tetap diberikan pada pasien ini.

Terapi definitif untuk kolesistitis akut adalah kolesistektomi, selain


tentunya pemberian antibiotik dan analgetik. Pada pasien sakit kritis dengan
kolesistitis akut akalkulus, kolesistektomi bukanlah terapi definitif.10 Penentuan
saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan. Apakah
sebaiknya dilakukan secepatnya (72 jam) atau ditunggu 6-8 minggu setelah terapi
konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Ahli bedah yang prooperasi dini

31
menyatakan, timbulnya gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif
dapat dihindarkan, lama perawatan di rumah sakit dapat lebih singkat dan biaya
dapat ditekan.

Kepustakaan menyebutkan bahwa pada 50% kasus akan membaik tanpa


keterlibatan intervensi bedah. Secara klinis, setelah beberapa hari perawatan,
pasien mengaku keluhan nyeri perut kanan atas sudah jauh berkurang. Dari
pemeriksaan darah tepi serial juga didapatkan perbaikan dimana terjadi penurunan
jumlah leukosit dan nilai CRP.

Saat ini telah dikembangkan teknik kolesistektomi laparoskopik yang lebih aman
dibandingkan terapi konservatif (kolesistektomi terbuka). Di departemen ilmu
bedah digestif FKUI-RSCM, kolesistektomi laparoskopi dilakukan dalam waktu
kurang dari 72 jam setelah diagnosis awal ditegakkan. Hal ini ditujukan untuk
kasus kolesistitis akut derajat ringan dan sedang, sedangkan untuk kasus berat,
dilakukan kolesistektomi laparoskopi cito. Untuk kasus-kasus pasien dengan
kondisi kritis dan tidak stabil, tentunya tidak dapat dilakukan tindakan intervensi
bedah. Pada pasien dengan kondisi ini, dilakukan drainase kandung empedu
dengan panduan alat radiologis melalui kolesistostomi perkutan.(Firmansyah,
2015)

Prognosis

Mortalitas pasien dengan kolesistitis akalkulus bergantung pada kondisi medis


pasien, yakni sekitar 90% pada pasien-pasien kritis atau hanya sekitar 10% pada
kasus-kasus pasien rawat jalan. Mortalitas juga dipengaruhi dengan kecepatan
dilakukan diagnosis.

2.7 Kolesistitis
Kolesistitis akalkulus akut adalah inflamasi akut dari kandung empedu
namun bukan akibat dari adanya batu kandung empedu. Kejadiannya meningkat
pada pasien-pasien dengan penyakit kritis ataupun trauma. Kolesistitis akut
akalkulus sering dikaitkan dengan peningkatan risiko mortalitas dan morbiditas
sehingga diagnosis dan tata laksana harus dapat dilakukan dengan cermat.
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang terpilih untuk menegakkan

32
diagnosis kolesistitis akalkulus akut. Tiga patofisiologi utama terjadinya kondisi
ini adalah (1) mediator inflamasi sistemik dan trauma; (2) stasis bilier; dan (3)
iskemia sistemik atau lokal pada kandung empedu. Penatalaksanaan secara umum
meliputi pemberian antibiotik dan analgetik sedangkan terapi definitif berupa
pembedahan (kolesistektomi) (Firman , 2016)

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah


stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang
terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan
sebanyak lima hingga sepuluh persen kasus timbul tanpa adanya batu (kolesistitis
akut akalkulus). Bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan
kolesistitis akut, masih belum jelas. Ba-nyak faktor yang berpengaruh terhadap
timbulnya kondisi ini seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan
prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh
reaksi inflamasi dan supurasi.

Faktor risiko kolesistitis akut sering dihubungkan dengan 4F yang terdiri


dari fat (gemuk), female (perempuan), fertile (subur), dan forty (usia empat
puluhan).

Kolesistitis akut akalkulus sering dikaitkan dengan berbagai kondisi


penyakit, misalnya dapat timbul pada pasien yang dirawat cukup lama, mendapat
nutrisi secara total parenteral, pada sumbatan karena keganasan kandung empedu,
luka bakar, penyakit jantung, sepsis, infeksi, diabetes mellitus dan penggunaan
obat-obat (Firmansyah, 2015)

2.8 Kolangitis

Sindrom kolangitis adalah gangguan hepatobiliary stadium akhir yang


kompleks.Umumnya terkait dengan peradangan parah dan fibro-sis dari sistem
hepatobiliary yang ditandai dengan penyempitan bahkan-tual dan obstruksi saluran
empedu. Intervensi terapi untuk menghindarkan lesi obstruktif di saluran empedu-hati
adalah pendekatan utama untuk pengelolaan kolangitis. Namun demikian, terapi kuratif
hanya didirikan untuk cholangitis adalah transplantasi hati, terutama pada pasien dengan

33
penyakit berkembang. Harapan baru yang muncul, namun, seperti perbaikan telah
dilaporkan dengan terapi yang melibatkan antibiotik dan obat-obatan antifibrotic.

2.8.1 Berbagai jenis kolangitis

Etiologi dan patogenesis berbagai bentuk kolangitis yang heterogen. Kolangitis


mungkin dipicu oleh kedua mediator genetik dan diperoleh.Kolangitis mungkin juga
hadir sebagai kondisi imun primer. Dalam sistem klasifi-kation yang luas, cholangitis
kasus dapat dibagi menjadi tiga kategori utama, termasuk primary sclerosing cholangitis
(PSC), kolangitis sekunder, dan kolangitis kekebalan tubuh.

Primary sclrosing cholangitis (PSC) adalah gangguan serius dengan etiologi belum
diketahui. Namun, peran telah diusulkan untuk disregulasi imun dalam perkembangan
PSC. Infeksi bakteri sekunder empedu stasis cairan juga dapat mempersulit PSC. Di sisi
lain, bentuk paling umum dari cholangitis sekunder adalah kolangitis akut (AC; juga
dikenal sebagai kolangitis piogenik berulang, kolangitis mendukung dan kolangitis). AC
char-acterized oleh infeksi melibatkan sistem empedu dan menyebabkan peradangan dan
obstruksi dari saluran-saluran empedu. Selanjutnya, peran berbahaya dari sistem
kekebalan tubuh telah disorot dalam IgG4-terkait kolangitis (IAC). Autoantibodi kelas
IgA yang reaktif terhadap sel epitel bilier telah baru-baru diidentifikasi di IAC. Namun
demikian, sistem kekebalan tubuh mungkin tidak menjadi satu-satunya con-tributor di
IAC, seperti batu empedu atau kelainan saluran empedu juga telah terkait dengan
terjadinya kondisi ini.

PSC

PSC adalah penyakit heterogen mengenai fitur histopatologi, presentasi klinis dan
respon pengobatan, serta tingkat transformasi ganas.PSC umumnya mengikuti kursus
kronis dan progresif yang dapat mengakhiri dalam neoplasma hepatobiliary. PSC
mempengaruhi semua kelompok umur di seluruh dunia, dengan prevalensi yang lebih
tinggi dalam 3rd dan 7th dekade hidup. Meskipun sifat auto-imun diduga PSC, kondisi ini
tidak responsif terhadap terapi imunosupresif.

Telah dicatat bahwa 90% dari kasus PSC terkait dengan faktor lingkungan yang
diperoleh. PSC umumnya diasosiasikan-diciptakan dengan penyakit inflamasi usus
(IBD). Bahkan, IBD-PSC telah diusulkan sebagai entitas klinis yang berbeda dari PSC
terisolasi, menunjukkan hubungan yang kuat antara dua gangguan.Berbagai 34-75%
pasien dengan PSC menderita IBD, dengan mayoritas menyajikan dengan ulkus-ative
kolitis (UC). Ada telah dilaporkan bahwa ini asosiasi menyoroti peran mikroorganisme

34
usus pada sindrom PSC-IBS. Berkurangnya jumlah sel T-peraturan di meradang jaringan
hepato-bilier pasien dengan PSC sug-gests peran hiperaktif kekebalan pada patogenesis
kondisi ini. Sejalan dengan ini, PSC juga dapat berkembang dalam konteks kondisi imun
lainnya, seperti hepatitis kekebalan tubuh, diabetes tipe 1, sarkoidosis dan tiroiditis
kekebalan tubuh.

IAC

Kolangitis presentasi dapat diamati dalam konteks gangguan autoimun yang lebih
luas yang ditandai dengan tingginya tingkat IgG4 dalam serum bersama dengan
proliferasi populasi limfositik positif bagi IgG4 (dikenal sebagai terkait IgG4 chol-
angitis).Dengan demikian, IAC ditandai dengan infiltrasi sistem bilier dengan limfosit
IgG4-positif. Keterlibatan saluran empedu dan pankreatitis adalah fitur umum yang
dijelaskan dalam AIC. IAC dominan ditemui pada orang tua, dan terutama fitur pria sub-
jects. Namun, IAC juga telah dilaporkan pada anak-anak dan remaja. Patogenesis bentuk
cholangitis sedang diselidiki.

IAC atau PSC, dilema diagnostik

Sehubungan dengan gambaran klinis serupa IAC dan PSC, dua dapat didiagnosis
satu sama lain. Namun, dua entitas ini dapat dibedakan berdasarkan domi-nance IgM dan
tingkat serum albumin dalam PSC, sedangkan peningkatan kadar IgG4 adalah fitur dari
IAC. Rasio IgG4 / IgG1 juga telah diusulkan sebagai berguna untuk membedakan IAC
dari PSC. IAC juga dapat dibedakan dari PSC sesuai dengan konteks fitur histologis
spesifik, seperti infiltrasi lebih jelas oleh sel imun (sel plasma, limfosit, dan eosinofil).
Sel-sel plasma infiltrasi telah ditunjukkan untuk mengekspresikan IgG4 di IAC. Infiltrasi
eosinofilik jaringan hati di IAC juga dapat berguna untuk diferensiasi dari dua kondisi.
Asosiasi IAC dengan pankreatitis adalah parameter yang berguna yang bisa dimanfaatkan
untuk membedakan IAC dari PSC.

Dalam kasus terisolasi IAC tanpa pankreatitis autoimun, beberapa fitur dari IAC,
termasuk stenosis pada cholangiography, peradangan stroma dan respon terhadap obat
imunosupresif, dapat membantu dalam diagnosis diferensial. Di sisi lain, pasien PSC
menunjukkan perubahan berserat hati, dan striktur segmental sebagai temuan patologis.
Presentasi ikterus obstruktif, yang jarang terlihat di PSC, dapat membantu dalam
diferensiasi klinis dua entitas tersebut.Selain ini, satu dapat membawa ke dalam pikiran
bahwa pasien dengan PSC umumnya muda bahwa mereka dengan IAC.

AC

35
AC (serta supuratif kolangitis atau kolangitis) pertama kali diidentifikasi sebagai
gangguan yang berhubungan dengan demam berulang, sakit perut dan sakit kuning.
Kombinasi klinis ini secara tradisional dikenal sebagai triad Charcot. AC terutama
penyakit infeksi yang ditandai dengan proliferasi bakteri di dalam empedu dan dengan
penyumbatan sekunder saluran empedu. Pentad Reynolds' didefinisikan sebagai
terjadinya kebingungan dan shock bersama dengan triad Charcot. Empedu batu dan
penyumbatan saluran empedu dianggap penyebab utama kolangitis bakterial akut.36
Selain itu, obstruksi saluran empedu di AC juga dapat dipicu oleh etiologi lainnya

Tabel 1. Kriteria diagnostik untuk kolangitis akut, Pedoman Tokyo

Parameter Item

1
Klinis . Sebelumnya empedu gangguan
fitur 2
. Demam dan / atau kedinginan
3
. Penyakit kuning
4
. Sakit perut
5 Kehadiran indikator
Laboratorium . peradangan
(Jumlah leukosit meningkat,
fitur positif untuk
Protein C-reaktif)
6
. peningkatan enzim hati
7
pencitraan . dilatasi empedu, kelainan lain
menyarankan gangguan
temuan hepatobiliary

Tersangka Dua atau lebih item fitur klinis


diagnosa
Entah triad Charcot (2 + 3 + 4)
Pasti atau dua
item dalam gambaran klinis
diagnosa bersama dengan
kedua item di laboratorium dan
pencitraan
temuan

Choledocholithiasis telah dijelaskan di antara etiologi paling umum untuk AC;


Namun demikian, ini fenomena-Enon sering disertai dengan infeksi bakteri sekunder

36
dalam sistem empedu. Etiologi lainnya termasuk empedu-batu, keganasan (sumber
menjadi pankreas, kandung empedu, cholangiocarcinoma, atau tumor metastasis) atau
penghalang jinak (bedah, pankreatitis, atau kolangitis kronis), dan beberapa gangguan
parasit. Dalam sebuah survei terhadap 31 pasien, Gossard et al. Melaporkan
kolesistektomi, batu di saluran empedu, pankreatitis kronis, dan trauma abdomen sebagai
penyebab AC.

Modalitas diagnostik untuk kolangitis

Evaluasi pencitraan dari sistem hepatobiliary memiliki peran utama dalam modalitas
diagnostik untuk kolangitis. evaluasi pencitraan juga memiliki aplikasi dalam pementasan
dan manajemen kolangitis.vSebuah prosedur pencitraan diagnostik untuk berbagai bentuk
kolangitis harus dapat mengungkapkan beberapa charac-teristics dari sistem hati empedu,
termasuk stenosis dan dilatasi saluran empedu, serta ketebalan saluran-saluran empedu
dinding, kalkulus intrahepatik, kelainan parenkim hatijaringan, bukti-bukti dari displasia
hati, dan Portal hyperten-sion.vpencitraan yang paling sering digunakan adalah
endoscopic cholangiography retrograde (ERCP), magnetic resonance
cholangiopancreatography (MRCP), dan endoskopi ultrasonog-raphy (EUS).

Peran ERCP di kolangitis

ERCP adalah standar emas untuk diagnosis cholangitis. ERCP juga dapat diterapkan
sebagai metode referensi untuk prosedur pencitraan lain evaluat-ing, seperti MRCP.
ERCP dapat secara efektif dimanfaatkan untuk diagnosis cholangiocarcinoma di PSC,
dengan spesifisitas dan sensitivitas 97% dan 65%, respec-tively.48Selanjutnya, ERCP
memberikan tinggi (98,8%) tingkat keberhasilan. dilatasi asimetris dari saluran empedu,
serta pres-ence bate, terlihat dalam ERCP. divisi menurun dari pohon bilier dapat dilihat
di ERCP dengan reso-lution yang lebih rinci, sehingga memungkinkan untuk saluran
kecil untuk divisualisasikan.Dengan menggunakan ERCP, penilaian lengkap dari pohon
duktal dapat dicapai, menunjukkan adanya lesi obstruktif dan stenosis. ERCP dianjurkan
untuk dilakukan dalam waktu 24 jam masuk untuk pasien dengan AC, seperti menunda
prosedur ini dapat memperpanjang tinggal di rumah sakit untuk pasien ini. Namun
demikian, tidak ada perbedaan signifikan yang dilaporkan dalam tingkat kematian atau
tinggal di rumah sakit antara pasien dengan cholangitis yang telah di bawah-pergi ERCP
selama 24, 48 atau 72 jam setelah masuk untuk prosedur ini.Waktu ERCP dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti periode resusitasi dan penyakit hemostatik
ERCP dikaitkan dengan tingkat yang lebih tinggi komplikasi masing-masing untuk
prosedur endoskopi lainnya. Komplikasi-tions ini termasuk pankreatitis, perdarahan,

37
trauma, dan masalah cardiopul-monary. ERCP dapat menyebabkan komplikasi seperti
pankreatitis di 1,2-4% dan kolangitis di 2-2,5% kasus.Pankreatitis, perforasi dan
perdarahan, serta kolangitis terdiri komplikasi yang paling umum dari ERCP pada pasien
PSC. Tingkat keseluruhan komplikasi ERCP requir-ing tinggal di rumah sakit pada
pasien PSC telah dilaporkan sebagai 10%.60 komplikasi terkait ERCP lainnya meliputi
peningkatan umum saluran empedu (CBD) diameter, dilatasi empedu, empedu stent
INSER-tion, dan cholangiocarcinoma.

MRCP

MRCP, bersama dengan ERCP, dikenal sebagai salah satu prosedur yang paling
dapat diandalkan untuk mendiagnosis PSC. Salah satu keuntungan utama dari MRCP,
bagaimanapun, adalah sifat non-invasif nya. Dalam MRCP pencitraan, tingkat intra dan
ekstrahepatik saluran empedu, serta empedu-batu dan batu kolesterol, dapat dievaluasi.
Selain itu, striktur rendah diameter yang terdeteksi oleh MRCP. MCRP pro-vides 80%
dan 90% sensitivitas dan spesifisitas untuk diagnosis PSC, masing-masing. Mengingat
sifat invasif ERCP dan komplikasi yang terkait, MRCP adalah mendapatkan lebih banyak
dan lebih pro sebagai prosedur penilaian baris pertama dalam dugaan PSC. MRCP juga
merupakan metode yang efektif untuk menindaklanjuti pasien, dan untuk skrining untuk
memberikan diagnosis tepat waktu komplikasi. Dibandingkan dengan pendekatan
berbasis diagnostik klinis, penggunaan MRCP menghasilkan peningkatan 3 kali lipat
dalam identifikasi pasien PSC. PSC dapat dicirikan oleh striktur annular acak distrib-
usikan bergantian dengan empedu sedikit melebar saluran, biasanya pada kedua saluran
empedu intra dan ekstrahepatik dalam analisis MRCP. MRCP memiliki kemampuan
untuk secara akuratmendeteksi batu ukuran besar di CBD. Namun demikian, sensi-tivity
dari MRCP dalam mengidentifikasi batu-batu kecil tidak memuaskan.Sebagai tambahan;
MRCP mungkin kehilangan dilatations saluran empedu di PSC.

Peran EUS di kolangitis

Sonografi adalah metode yang relatif murah dan tersedia secara luas pencitraan.
EUS akhirnya dapat menggantikan ERCP sebagai prosedur utama untuk drainase
empedu. Endoskopi Prosedur-prosedur-yang penting dalam banyak aspek untuk
mengelola pasien dengan cholangitis, meliputi diagnostik, terapi dan pemantauan
penyakit. Empedu duktus dilatasi, dan batu-batu kecil dapat juga didiagnosis dengan
EUS. Untuk mendeteksi transformasi ganas, EUS adalah metode yang berguna dan sa-
rior ke ERCP.

38
Antibiotik untuk kolangitis

Cahaya baru telah shedding pada peran mikroba compo-komponen-dalam


pengembangan berbagai bentuk kolangitis. Karena tingginya tingkat kultur mikroba
positif dari saluran-saluran empedu pasien kolangitis, telah disarankan untuk
mendapatkan profil mikroba sebelum melakukan metode drainase. infeksi bakteri yang
paling umum di kolangitis termasuk Escherichia coli, Klebsiella spp., spesies
pesudomonal, Masukkan-obacter spp., Acinetobacter spp. bakteri Gram-negatif, dan
Enterococcus, streptococcus, dan bakteri staphylococcus Gram-positif. Pemilihan
antibiotik dapat influ-enced oleh beberapa faktor, seperti paparan sebelum pasien dengan
infeksi didapat di rumah sakit, serta keparahan penyakit.84 Untuk praktek terbaik,
diadministrasikan antibiotik untuk kolangitis harus mereka dengan kegiatan yang luas
jangkauan antimikroba dan yang mampu melewati ke dalam saluran empedu, seperti
generasi ketiga sefalosporin, ureidopenicillins, carbapenems dan fluoroquinolones.
Antibiotik yang paling efektif untuk pasien kolangitis telah tercatat sebagai imipenem-
cilastatin, meropenem, amikasin, cefe-pime, ceftriaxone, gentamisin, piperasilin-
Tazobactam dan levofloxacin.

Antibiotik di AC

Terapi antibiotik yang efektif untuk AC menurunkan tingkat kematian Profil yang
tepat dari pemberian antibiotik sangat penting dalam tahap awal kolangitis infeksi akut.
Sebagian besar pasien dengan bakteri manfaat kolangitis akut dari antibiotik papan-
spectrum.36 Ini adalah kebutuhan yang mendesak untuk Administrasi terapi antibiotik
bersama dengan prosedur per-dibentuk untuk mengoreksi obstruksi bilier. Tidak ada
rekomendasi untuk menghentikan terapi antibiotik, bagaimanapun, dan tampaknya bahwa
penghentian setelah bantuan dari gejala klinis, seperti demam, dan mengikuti terapi
drainase tidak memiliki hasil yang merugikan pada perjalanan klinis penyakit. Secara
paralel, durasi pendek terapi antibiotik (3 hari) muncul cukup ketika drainase yang
memadai dicapai dan demam mereda. Apapun, itu sangat dianjurkan untuk melestarikan
terapi antibiotik dalam fase awal dari AC. Bulu-thermore, seperti syok septik merupakan
ancaman potensial di AC, itu adalah suatu keharusan untuk Administrasi spektrum luas
terapi antibiotik sedini mungkin (dalam waktu 1-4 jam) berikut tanda-tanda pembangunan
syok septik. Baik oral atau intravena antibiotik tampaknya efisiensi yang sama di
pemancaran bakteri pada pasien AC. Resistensi terhadap berbagai antibiotik, termasuk
kuinolon, carbapenems, vankomisin dan ampisilin, telah diamati dalam budaya terisolasi
pasien bentuk AC.90Dalam sebuah studi dari penduduk Jerman, 29% multidrug resistant

39
(MDR) isolat pulih dari budaya empedu pasien dengan AC. Faktor risiko MDR dalam
studi yang termasuk seks pria, terapi anti-biotik sebelumnya dan stenting bilier, dengan
faktor baru-baru ini menjadi faktor risiko independen.90 Juga, terapi stent dilaporkan
sebagai faktor risiko yang signifikan untuk memperoleh MDR infec-tions pada pasien
AC.

Antibiotik di PSC

Peran menguntungkan antibiotik di PSC adalah kontroversial.95 Tingkat tinggi


kultur positif telah dilaporkan untuk pasien PSC. Gagasan bahwa terapi antibiotik
mungkin berguna dalam memperlambat perkembangan PSC berasal dari studi yang
dijelaskan peran spesies bakteri yang berada di saluran pencernaan manusia dalam
patogenesis PSC.96 Namun, terapi antibiotik selama 12 minggu dengan rifaximin
mengakibatkan tidak ada efek yang signifikan pada perjalanan klinis PSC.

Sebaliknya, menggunakan vankomisin dalam hubungannya dengan terapi asam


ursodeoxycholic rutin mengakibatkan penurunan kadar enzim hati pada pasien PSC, dan
dalam relief beberapa gejala klinis seperti kelelahan, pruritus, diare dan anoreksia.98
penurunan yang signifikan dari alkali fosfatase (ALP) enzim juga diamati pada pasien
PSC diobati dengan kombinasi asam ursodeoxycholic dan metronidazole, dibandingkan
dengan asam ursodeoxycholic dan plasebo.99 Vankomisin admin-istration juga
meningkat alanine aminotransferase (ALT), gamma-glutamil transpeptidase, dan eritrosit
tingkat sedimen-tasi pada anak dengan PSC. Kedua vankomisin dan terapi metronidazol
ditemukan efektif selama masa pengobatan 3 bulan sehingga mengurangi ALT dan
bilirubin level, dan di skor risiko Mayo PSC.

Peran operasi di kolangitis

Intervensi bedah di kolangitis menyediakan baik pilihan selektif atau darurat.


Meskipun invasif, intervensi bedah umumnya menghasilkan regresi lebih gigih dari chol-
angitis.Memilih intervensi bedah tergantung pada beberapa faktor, termasuk karakteristik
pasien (memenuhi-ing persyaratan untuk anestesi umum, tolerabilitas prosedur bedah,
sejarah kegagalan pengobatan) dan patologis fea-membangun struktur dari lesi
hepatobiliary dan penghalang.Terapi bedah telah diindikasikan untuk pasien PSC dengan
lesi obstruktif besar yang gagal penghapusan dengan metode drainase endoskopi. Dengan
demikian, pendekatan bedah telah digambarkan sebagai pengobatan yang efektif di AC
yang dapat dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan dari gejala klinis dengan
komplikasi pasca bedah setidaknya (3-6%). intervensi bedah untuk kasus-kasus IAC yang

40
mungkin salah didiagnosis sebagai karsinoma saluran empedu.Transplantasi hati adalah
pengobatan bedah definitif untuk PSC. Pembedahan juga dapat diindikasikan sebagai
prosedur drain-usia. Dalam kasus tersebut, operasi adalah metode pilihan ketika metode
drainase lainnya seperti ERCP dan EUS-BD tidak mungkin. Intervensi drainase bersama
dengan operasi diindikasikan pada kasus dengan penyempitan saluran, dilatasi atau batu
obstruktif. Paling umum, hepaticojeju-nostomy adalah metode pilihan untuk menguras
usia empedu bedah. Pasien yang menjalani bedah drainase menunjukkan tingkat kematian
yang lebih tinggi dan tinggal di rumah sakit lebih lama dibandingkan mereka yang diobati
dengan drainase endoskopi. Operasi juga dapat dilakukan sebagai hepatectomy parsial
pada pasien dengan cholangi-tis. Umumnya, pendekatan reseksi hati dipertimbangkan
dalam kasus dengan hipertrofi jaringan atau dalam kasus yang dicurigai kanker.
Menariknya, sukses kuratif parsial reseksi hati telah dicatat dalam tiga paten dengan PSC,
namun studi kohort besar dibutuhkan untuk konfirmasi.

Hasil dan prognosis dari kolangitis

Terlepas dari etiologi, kolangitis adalah kondisi empedu-hati yang mengancam jiwa
yang serius. Sebuah sistem penilaian berdasarkan empat parameter, termasuk demam,
bilirubinemia hiper, saluran empedu dilatasi dan adanya batu saluran empedu, telah pro-
berpose untuk memprediksi tingkat keparahan kolangitis.

Prognosis dari AC

Dalam perbandingan antara PSC dan pasien SC sekunder, mereka dengan penyakit
sekunder menunjukkan prognosis yang lebih buruk dan harapan hidup lebih
pendek.41Menggunakan indeks neutrofil delta yang mencerminkan jumlah yang beredar
granulosit matang dalam darah telah dicatat sebagai faktor prognostik yang signifikan
dalam AC. Dalam hal ini, indeks yang lebih tinggi berhubungan dengan tingkat yang
lebih tinggi dari kematian dini pada pasien AC.Penghalang parah saluran empedu dapat
menyebabkan ekstrim terinfeksi refluks empedu dan penampilan dari bakteri dalam
darah, rendering situasi yang mengerikan. Selain itu, rendahnya tingkat serum albumin
bersama dengan waktu protrombin (rasio normal terwujud internasional) dari> 1,5
dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.

Faktor prognostik di IAC

Umumnya, pasien IAC tampaknya memiliki lebih menguntungkan prog-nosis


dibandingkan pasien PSC. Pasien IAC menanggapi terapi steroid, tapi keterlibatan

41
beberapa organ di IAC telah dikaitkan dengan hasil yang merugikan dan kegagalan
pengobatan steroid di IAC.

42
BAB III

METODE PELAKSANAAN

3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Waktu dan tempat pelaksanaan observasi Tugas Pengenalan Profesi (TPP)


adalah sebagai berikut:

Waktu : 21 Maret 2019

Tempat : Palembang

3.2. Alat pengumpulan Data

Alat digunakan adalah sebagai berikut :

1. Alat tulis
2. Daftar Cheklist
3. Kamera/alat rekam

3.3 Subjek Tugas Mandiri


Subjek Tugas Pengenalan Profesi adalah pasien dengan gangguan sistem
bilier di Masyarakat.

3.4 Langkah-Langkah Kerja


1. Konsultasi kepada pembimbing.
2. Membuat dan mengajukan proposal kepada pembimbing.
3. Meminta surat persetujuan izin pelaksanaan TPP yang ditanda tangani
pembimbing.
3. Meminta surat pengantar TPP ketempat/lokasi pada bagian akademik,
berdasarkan bukti surat persetujuan pembimbing.
4. Melaksanakan TPP.
5. Mencatat hasil TPP.
6. Membuat laporan TPP dan meminta tanda tangan pembimbing untuk
persetujuan pelaksanaan pleno TPP.

43
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

 Responden 1

No. Pertanyaan Ya Tidak Keterangan


1. Apakah terasa nyeri √
pada perut atas
bagian kanan?
2. Apakah mengalami √
sakit perut menjalar
ke punggung atau
bahu?
3. Apakah pernah √
mengalami demam,
mual dan muntah?
4. Apakah pernah √
mengalami perut
terasa melilit?
5. Apakah pernah √
mengalami perut
terasa kembung?
6. Apa saja factor √ Sering
risiko ? mengkonsumsi
makanan berlemak
dan kakak
mengalami penyakit
yang sama.
7. Apa saja tatalaksana √ 1. Ursodeoxycholic
? Acid 250 mg

44
2. Hepamax
3. Lansoprazole 30
mg
4. Spironolactone
100 mg
5. Ciprofloxacin
6. Proliva
7. Pro Liver
8. Susu Hepatosol

8. Apa saja √ USG dan


pemeriksaan pemeriksaan darah
penunjang ? lengkap.

Dari wawancara yang telah dilakukan, peneliti mendapat data pasien


sebagai berikut :

Nama : Ny. S

Umur : 55 th

Pekerjaan : Petani

Alamat : Jl. Soak Permai

Berdasarkan hasil wawancara, pasien mengatakan nyeri pada perut kanan


atas, sakit perut menjalar ke punggung atau bahu, perut terasa melilit dan
kembung. Keluhan disertai sclera ikterik, demam, mual, dan muntah darah.

Adapun faktor risiko Ny. S sering mengkonsumsi makanan berlemak,


seperti gorengan dan makanan yang bersantan. Dan kakak kandung dari Ny. S
juga mengalami penyakit yang sama.

Tatalaksana yang telah diberikan pada Ny. S yaitu :

 Ursodeoxycholic Acid 250 mg


 Hepamax

45
 Lansoprazole 30 mg
 Spironolactone 100 mg
 Ciprofloxacin
 Proliva
 Pro Liver
 Susu Hepatosol

Dokter juga menganjurkan untuk diet lemak, asam, dan porsi makan
juga dikurangi, serta berolahraga.

Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada Ny. S adalah USG,


pemeriksaan darah lengkap.

 Responden 2

No. Pertanyaan Ya Tidak Keterangan


1. Apakah terasa nyeri √
pada perut atas bagian
kanan?
2. Apakah mengalami √
sakit perut menjalar
ke punggung atau
bahu?
3. Apakah pernah √
mengalami demam,
mual dan muntah?
4. Apakah pernah √
mengalami perut
terasa melilit?
5. Apakah pernah √
mengalami perut
terasa kembung?
6. Apa saja factor risiko √ Sering
? mengkonsumsi

46
makanan
berlemak.
7. Apa saja tatalaksana ? √ 1. Urdafalk
1x1
2. Analgesik
suposutoria

8. Apa saja pemeriksaan √ USG


penunjang ?

Dari wawancara yang telah dilakukan, peneliti mendapat data pasien


sebagai berikut :

Nama : Ny. R

Umur : 30 th

Pekerjaan : Perawat

Alamat : Jl. Kemang Manis

Berdasarkan hasil wawancara, pasien mengatakan nyeri pada perut kanan


atas, sakit perut menjalar ke punggung atau bahu, perut terasa melilit dan
kembung. Keluhan disertai sclera ikterik, demam, mual, dan muntah darah.

Adapun faktor risiko Ny. R sering mengkonsumsi makanan berlemak,


seperti gorengan dan nasi padang.

Tatalaksana yang telah diberikan pada Ny. S yaitu :

 Urdafalk 1x1
 Analgesik suposutoria

Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada Ny. R adalah USG.

47
 Responden 3

No. Pertanyaan Ya Tidak Keterangan


1. Apakah terasa nyeri √
pada perut atas bagian
kanan?
2. Apakah mengalami √
sakit perut menjalar
ke punggung atau
bahu?
3. Apakah pernah √
mengalami demam,
mual dan muntah?
4. Apakah pernah √
mengalami perut
terasa melilit?
5. Apakah pernah √
mengalami perut
terasa kembung?
6. Apa saja factor risiko √ Sering
? mengkonsumsi
makanan
berlemak
7. Apa saja tatalaksana ? √ Obat analgetik
8. Apa saja pemeriksaan √ USG dan
penunjang ? Kolesistektomi

Responden Dari wawancara yang telah dilakukan, peneliti mendapat data


pasien sebagai berikut :

Nama : Ny. N

Umur : 51 th

48
Pekerjaan : PNS

Alamat : Jl letnan yasin km 3,5 Palembang

Berdasarkan hasil wawancara, pasien mengatakan nyeri pada perut kanan


atas setelah beraktivitas sakit perut menjalar ke punggung atau bahu, perut
terasa mual.

Adapun faktor risiko Ny. N sering mengkonsumsi makanan berlemak,


seperti gorengan dan jeroan. Pada Ny. N telah dilakukan operasi pengangkatan
kandung empedu (Kolesistektomi)

Tatalaksana yang telah diberikan pada Ny. N yaitu :

 Obat Analgetik

Dokter juga menganjurkan untuk diet lemak, dan porsi makan juga dikurangi,
serta berolahraga.

Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada Ny. S adalah USG,


pemeriksaan darah lengkap dan juga Operasi pengangkatan empedu
(Kolesistektomi)

 Responden 4

No. Pertanyaan Ya Tidak Keterangan


1. Apakah terasa nyeri √
pada perut atas bagian
kanan?
2. Apakah mengalami √
sakit perut menjalar
ke punggung atau
bahu?
3. Apakah pernah √
mengalami demam,
mual dan muntah?
4. Apakah pernah √

49
mengalami perut
terasa melilit?
5. Apakah pernah √
mengalami perut
terasa kembung?
6. Apa saja factor risiko √ mengkonsumsi
? makanan
berlemak seperti
makanan
bersantan.

7. Apa saja tatalaksana ? √ 1. Nucral


Sucralfate
500mg/5 ml
2. Toramine
10 mg

8. Apa saja pemeriksaan √ USG dan


penunjang ? pemeriksaan
darah lengkap

Dari wawancara yang telah dilakukan, peneliti mendapat data pasien sebagai
berikut :

Nama : Ny. A

Umur : 41 th

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Jl. Sukabangun II

Berdasarkan hasil wawancara, pasien mengatakan nyeri pada perut kanan


atas, sakit perut menjalar ke tulang belakang dan perut terasa melilit. Keluhan
disertai demam, dan mual.

50
Adapun faktor risiko Ny. A sering mengkonsumsi makanan berlemak
seperti makanan bersantan.

Tatalaksana yang telah diberikan pada Ny. A yaitu :

 Nucral Sucralfate 500mg/5 ml


 Toramine 10 mg

Dokter juga menganjurkan untuk diet lemak, asam, dan porsi makan
juga dikurangi.

Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada Ny. A adalah USG


dan pemeriksaan darah lengkap.

2.2 Pembahasan

Dari hasil wawancara yang kami dapatkan dari 4 responden


didapatkan faktor resiko yang berperan adalah jenis kelamin wanita serta suka
memakan makanan berlemak yang berlebih serta 3 responden memiliki umur
40 tahun. Yang dimana faktor resiko penyakit bilier adalah 5F yaitu female,
fatty, fourty, fertile dan family. Wanita akan lebih sering mengalami
kolelitiasis dikarenakan ada hubungan antara estrogen dan pembentukan batu
empedu. Makanan berlemak akan menyebabkan pengeluaran empedu yang
lebih sering dibandingkan makanan jenis lain. Umur diatas 40 juga akan lebih
beresiko untuk litogenesis batu empedu.

Keempat responden mengalami banyak kesaamaan dalam manifestasi


klinis yang muncul pasien mengatakan nyeri pada perut kanan atas setelah
beraktivitas sakit perut menjalar ke punggung atau bahu, perut terasa mual.
Hal ini sesuai dengan gejala gangguan koletiliasis dan komplikasinya
gejalanya seperti: nyeri saluran empedu cenderung hebat, baik menetap
maupun seperti kolik bilier (nyeri kolik yang berat pada perut atas bagian
kanan) jika ductus sistikus tersumbat oleh batu, sehingga timbul rasa sakit
perut yang berat dan menjalar ke punggung atau bahu. Mual dan muntah
sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. Sekali serangan kolik
biliaris dimulai, serangan ini cenderung makin meningkat frekuensi dan

51
intensitasnya. Gejala yang lain seperti demam, nyeri seluruh permukaan
perut, perut terasa melilit, perut terasa kembung, dan lain-lain

Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan pada keempat responden


menggunakan USG (Ultrasonografi) dan sebagian responden dilakukan
pemeriksaan darah lengkap. Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas
dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan
pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG
juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau
udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang
terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang
oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada
batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi
biasa. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. Alanin
aminotransferase ( SGOT = Serum Glutamat – Oksalat Transaminase ) dan
aspartat aminotransferase ( SGPT = Serum Glutamat – Piruvat Transaminase
) merupakan enzim yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam
hepatosit. Biasanya juga akan terdapat peningkatan Leukosit dimana
menandakan adanya peradangan pada sistem bilier.

Penatalaksanaan pada ke empat responden sebagian besar


menggunakan obat obatan seperti asam ursodeoksilat, antibiotik , obat
sitoprotektor dan tindakan bedah berupa kolesistektomi. Asam ursodeoksilat
adalah pengobatan adjuvant dan pertama apabila ukuran batu masih dibawah 1
cm, penggunaan jangka panjang dari agen ini akan mengurangi saturasi
kolesterol pada empedu yaitu dengan mengurangi sekresi kolesterol dan efek
deterjen dari asam empedu pada kandung empedu. Desaturasi dari empedu
mencegah kristalisasi. Antibiotik akan digunakan apabila terdapat leukositosis
pada pemeriksaan lab atau pun tanda tanda peradangan sistem bilier. Obat
sitoprotektor akan melindungi hati dari kerusakan yang mungkin akan terjadi
apabila terjadi komplikasi yang lebih parah. Kolesistektomi adalah

52
pengangkatan kandung empedu yang secara umum diindikasikan bagi yang
memiliki gejala atau komplikasi dari batu, kecuali yang terkait usia tua dan
memiliki resiko operasi. Pada beberapa kasus empiema kandung empedu,
diperlukan drainase sementara untuk mengeluarkan pus yang dinamakan
kolesistostomi dan kemudian baru direncanakan kolesistektomi elektif.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistitis akut.

53
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Dari keempat responden, responden 1 Ny.s mengalami kolestasis
sedangkan ketiga responden lainnya mengalami kolelitiasis dengan
manifestasi yang sama yaitu nyeri perut bagian kanan atas, menjalar ke
punggung atau bahu, perut terasa melilit, perut kembung serta mengalami
demam, mual dan muntah.
2. Factor risiko dari keempat responden sama yaitu sering mengkonsumsi
makanan berlemak.
3. Tatalaksana yang dilakukan oleh keempat responden berupa tatalaksana
farmakologis dan non farmakologis. Tatalaksana farmakologis dapat
berupa : Ursodeoxycholic Acid 250 mg, Hepamax , Lansoprazole 30 mg,
Spironolactone 100 mg, Ciprofloxacin, Proliva, Pro Liver, Susu
Hepatosol, Urdafalk 1x1 , Analgesik suposutoria, Nucral Sucralfate
500mg/5 ml, Toramine 10 mg. sedangkan tatalaksana non
farmakologisnya berupa mengurangi makanan berlemak, dan berolahraga.
4. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada keempat responden berupa
USG, dan darah lengkap. Hanya ada satu responden dengan tatalaksana
berupa operasi.

5.2 Saran

1. Sebaiknya mahasiswa membuat janji terlebih dahulu dengan pasien agar


dapat mengefesienkan waktu dalam proses Tugas Pengenalan Profesi
(TPP).
2. Sebaiknya mahasiswa dapat memberikan edukasi pada responden untuk
menjaga pola makannya, mengurangi makanan berlemak serta rajin
berolahraga.

54
DAFTAR PUSTAKA
Guyton dan Hall. 2014. Fisiologi Kedokeran Ed. 12. Singapura :
Saunders Elsevier.
Hunter JG. 2007. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of
Surgery. 8th edition. US : McGraw-Hill Companies.
Karpen SJ. 2002. Update on The Etiologies ang Management of
Neonatal Cholestasis. Cli Perinatol.
Lesmana, L., 2006. Penyakit Batu Empedu. Edisi ke IV. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Ed. 6 Volume 1. Jakarta : EGC.
Robbins, dkk., 2007. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Sherwood, Laurance. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta
: EGC
Sjamsuhidajat R, de Jong W., 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Snell, R. S., 2013. Anatomi Klinik. Ed. 9. Jakarta : EGC
Sudoyo, Aru W, dkkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Ed.
V. Jakarta : EGC.
Towsend, M. Jr, dkk. 208. Sabiston textbook of Surgery. Elsivier. United
State of America.
Firmansyah, Mohammad Adi. (2015). CASE REPORT Diagnosis dan
Tata Laksana Kolesistitis Akalkulus Akut. Medicinus. 28. 30-37.

55
CEKLIST

No. Pertanyaan Ya Tidak Keterangan


1. Apakah terasa nyeri
pada perut atas bagian
kanan?
2. Apakah mengalami
sakit perut menjalar ke
punggung atau bahu?
3. Apakah pernah
mengalami demam,
mual dan muntah?
4. Apakah pernah
mengalami perut
terasa melilit?
5. Apakah pernah
mengalami perut
terasa kembung?
6. Apa saja factor risiko
?
7. Apa saja tatalaksana ?
8. Apa saja pemeriksaan
penunjang ?

56
LAMPIRAN

Gambar 1. Responden Pertama

Gambar 2. Responden Kedua

57
Gambar 3. Responden Ketiga

Gambar 4. Responden Keempat

58

Вам также может понравиться