Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1
lebih umum adalah batu kolesterol, namun insidens batu pigmen lebih tinggi
dibanding yang terdapat di negara barat. Di Indonesia, kolelitiasis baru
mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu
masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai
keluhan. Penelitian di Jakarta (2009) pada 51 pasien didapatkan batu pigmen
pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien (menurut divisi
Hepatology, Departemen IPD, FKUI/RSCM Jakarta, Mei 2009 ), wanita lebih
berisiko mengalami batu empedu karena pengaruh hormon estrogen. Meski
wanita dan usia 40 tahun tercatat sebagai faktor risiko batu empedu, itu tidak
berarti bahwa wanita di bawah 40 tahun dan pria tidak mungkin terkena.
Penderita diabetes mellitus (DM), baik wanita maupun pria, berisiko
mengalami komplikasi batu empedu akibat kolesterol tinggi (Sjamsuhidajat R,
de Jong W., 2005).
Karena masih tingginya prevalensi penyakit kolelitiasis di Indonesia,
maka perlu dilaksanakan Tugas Pengenalan Profesi (TPP) dengan judul
“Observasi pasien dengan gangguan kolelitiasis di masyarakat” .
2
1.3 Tujuan
Adapun tujuan pada Tugas Pengenalan Profesi ini yaitu:
1. Mengetahui manifestasi klinis pada pasien dengan gangguan
sistem bilier
2. Mengetahui faktor risiko penyakit gangguan sistem bilier yang
dijumpai saat TPP
3. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk
menegakkan diagnosis gangguan sistem bilier
4. Mengetahui tatalaksana secara farmakoterapi dan
nonfarmakoterapi untuk kasus gangguan sistem bilier
1.4 Manfaat
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hepar sendiri terbagi menjadi 2 lobus, yaitu lobus dextra yang besar
dan lobus sinistra yang kecil. Dan lobus-lobus tersebut terbagi laga menjadi
beberapa bagian, yaitu lobus quadratus dan lobus caudatus ollen adanya
vesica billiards, fissura untuk ligamentum teres hepatis, vena cava inferior,
dan fissura untuk ligamentum venosum. di dalam masing-masing dari lobulus
4
terdapat vena centralis yang akan bermuara ke vena hepatica, dan terdapat
canalis hepatis, yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena porta, dan
sebuah cabang dari ductus choledochus (triad hepatis). Pada hepar juga
terdapat porta hepatis, yang terdapat di permukaan posteroinferior, dan
terletak di antara lobus caudatus dan lobus quadratus. bagian atas omentum
minus melekat pada pinggir porta hepatis. Pada tempat ini, terdapat ductus
hepatis dextra dan sinistra, cabang dextra dan sinistra arteria hepatica, vena
porta, dan serabut saraf simpatis dan parasimpatis. Di tempat ini juga terdapat
kelenjar limfe hepar (Snell, R. S., 2013).
5
centralis mengalirkan darah ke vena hepatica dextra dan sinistra, dan
bermuara ke vena cava inferior (Snell, R. S., 2013).
2. 3 Fisiologi Hepar
6
5. Mengaktifkan vitamin D, yang dilakukan hati bersama dengan ginjal.
6. Mengeluarkan bakteri dan sel darah merah tua, berkat adanya makrofag
residen.
7. Menyekresi hormone tromboprotein (merangsang produksi trombosit),
hepsidin (menhambat penyerapan besi dari usus), faktor pertumbuhan
mirip insulin-1 (merangsang pertumbuhan).
8. Memproduksi protein fase akut yan penting dalam inflamasi.
9. Mengekskresi kolesterol dan bilirubuin (Sherwood, Lauralee, 2014).
7
2.4 Anatomi Bilier
8
Duktus sistikus memiliki panjang yang bervariasi hingga 3 cm dengan
diameter antara 1-3 mm. Dinding lumennya terdapat katup berbentuk spiral
yang disebut katup spiral Heister dimana katup tersebut mengatur cairan
empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, akan tetapi dapat
menahan aliran cairan empedu keluar. Duktus sistikus bergabung dengan
duktus hepatikus komunis membentuk duktus biliaris komunis (Sjamsuhidajat,
2010).
Duktus hepatikus komunis memiliki panjang kurang lebih 2,5 cm
merupakan penyatuan dari duktus hepatikus kanan dan duktus hepatikus kiri.
Selanjutnya penyatuan antara duktus sistikus dengan duktus hepatikus
komunis disebut sebagai common bile duct (duktus koledokus) yang memiliki
panjang sekitar 7 cm. Pertemuan (muara) duktus koledokus ke dalam
duodenum, disebut choledochoduodenal junction. Duktus koledokus berjalan
di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum
membentuk papila vater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum.
Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter oddi yang mengatur aliran
empedu masuk ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara
ditempat yang sama dengan duktus koledokus di dalam papila vater, tetapi
dapat juga terpisah (Sjamsuhidajat, 2010).
Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri sistikus yang
terbagi menjadi anterior dan posterior dimana arteri sistikus merupakan
cabang
dari arteri hepatikus kanan yang terletak di belakang dari arteri duktus hepatis
komunis tetapi arteri sistikus asesorius sesekali dapat muncul dari arteri
gastroduodenal. Arteri sistikus muncul dari segitiga Calot (dibentuk oleh
duktus sistikus, common hepatic ducts, dan ujung hepar) (Sjamsuhidajat,
2010).
9
2. 5. Fisiologi Bilier
2. 5. 1 Sekresi Empedu
10
klorida, dan kebanyakan elektrolit kecil lainnya secara terus menerus
diabsorbsi oleh mukosa kandung empedu, memekatkan zat-zat
empedu lainnya, termasuk garam empedu, kolesterol, lesitin, dan
bilirubin. Kebanyakan absorpsi ini disebabkan oleh transpor aktif
natrium melalui epitel kandung empedu, dan keadaan ini diikuti oleh
absorpsi sekunder ion klorida, air, dan kebanyakan zat-zat terlarut
lainnya. Empedu secara normal dipekatkan sebanyak 5 kali lipat
dengan cara ini, sampai maksimal 20 kali lipat (Guyton, Arthur C.
Hall, John E. 2007).
11
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit. Secara normal pengosongan kandung empedu
secara menyeluruh berlangsung selama sekitar 1 jam. Pengosongan
empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun
hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu
(Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007).
12
2.6 Kolelitiasis
13
dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa
menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh
lainnya (Lesmana, L., 2009).
2. 6. 1 Epidemiologi
14
peningkatan ekskresi kolesterol oleh kandung empedu.
Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil
kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu (Hunter JG. 2007).
2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih
cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang
degan usia yang lebih muda. Perubahan rasio androgen dan
esterogen merupakan proses fisiologis pada laki-laki yang
berhubungan dengan penurunan metabolisme lipid biliari dan
motolitas kandung empedu. Pada penelitian USG
mengindikasikan sensitifitas kandung empedu terhadap
Cholecystokinin (CCK) menurun berdasarkan usia (Hunter JG.
2007).
3. Obesitas dan Penurunan Berat Badan Cepat Lebih dari 50%
wanita usia 45-55 tahun yang obesitas memilik penyakit kandung
empedu dan cholelithiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI
maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan
juga mengurangi garam empedu serta mengurangi kontraksi/
pengosongan kandung empedu. Penurunan berat badan yang
cepat pada pasien obese berhubungan dengan sekresi saturasi
kolesterol empedu dan meningkatkan insiden batu empedu
(Hunter JG. 2007).
4. Diabetes Pasien diabetes memiliki bilirubin yang membentuk
supersaturasi dengan kolesterol, penurunan pool asam empedu,
dan gangguan aktifitas motorik kandung empedu (Hunter JG.
2007).
5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis
mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat
keluarga (Hunter JG. 2007).
15
6. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama
mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan / nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu (Hunter JG. 2007).
2. 6. 2 Etiologi
16
kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan
keterlambatan pengosongan kandung empedu (Hunter JG.
2007).
2. 6. 3 Patogenesis
17
dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan
karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang
yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan
mudah mengalami perkembangan batu empedu. Batu kandung
empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus
sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial
atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau
batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu
besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana
sebagai batu duktus sistikus (Hunter JG. 2007).
18
- Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol
lebih tinggi sehingga terjadi supersaturasi.
- Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western
diet)
- Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas
kolesterol jaringan tinggi.
- Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun
misalnya pada gangguan ileum terminale akibat
peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi
enterohepatik).
- Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol
meningkat dan kadar chenodeoxycholat rendah,
padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol.
Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB
pengaruhnya hanya sampai tiga tahun (Hunter JG.
2007).
19
konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol
yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti
batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita
Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total
parental nutrisi yang lama, setelah operasi (Hunter JG.
2007).
20
mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang
(Hunter JG. 2007).
2. 6. 5 Manifestasi Klinis
Batu empedu tidak menyebabkan keluhan penderita selama
batu tidak masuk ke dalam duktus sistikus atau duktus koledokus.
Bilamana batu itu masuk ke dalam ujung duktus sistikus barulah
dapat menyebabkan keluhan penderita. Apabila batu itu kecil, ada
kemungkinan batu dengan mudah dapat melewati duktus koledokus
dan masuk ke duodenum. Batu empedu mungkin tidak menimbulkan
gejala selama berpuluh tahun (Price Sylvia A, dan Wilson Lorraine
M, 2005).
Gejalanya mencolok: nyeri saluran empedu cenderung hebat,
baik menetap maupun seperti kolik bilier (nyeri kolik yang berat
pada perut atas bagian kanan) jika ductus sistikus tersumbat oleh
batu, sehingga timbul rasa sakit perut yang berat dan menjalar ke
punggung atau bahu. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan
serangan kolik biliaris. Sekali serangan kolik biliaris dimulai,
serangan ini cenderung makin meningkat frekuensi dan
intensitasnya. Gejala yang lain seperti demam, nyeri seluruh
permukaan perut, perut terasa melilit, perut terasa kembung, dan
lain-lain (Price Sylvia A, dan Wilson Lorraine M, 2005).
2. 6. 6 Diagnosis
1. Anamnesis
21
puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat
penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan
antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan
bertambah pada waktu menarik nafas dalam (Hunter JG. 2007).
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium
22
Peningkatan serum sering menunjukkan kelainan sel hati,
tapi bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran empedu
terutama obstruksi saluran empedu. Fosfatase alkali disintesis
dalam sel epitel saluran empedu. Kadar yang sangat tinggi,
sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu karena sel
ductus meningkatkan sintesis enzym ini (Hunter JG. 2007).
23
sebagainya) Tehnik ini lebih sulit dan lebih mahal
dibandingkan kolangiografi transhepatik. Kolangitis dan
pankreatitis merupakan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pasien yang salurannya tak melebar atau mempunyai
kontraindikasi sebaiknya dilakukan kolangiografi transhepatik,
ERCP semakin menarik karena adanya potensi yang 'baik
untuk mengobati penyebab penyumbatan tersebut (misalnya:
sfingterotomi untuk jenis batu duktus koledokus yang
tertinggal) (Hunter JG. 2007).
2. 6. 7 Penatalaksanaan
1. Asimptomatik
24
mengurangi sekresi kolesterol dan efek deterjen dari asam
empedu pada kandung empedu. Desaturasi dari empedu
mencegah kristalisasi (Towsend, M. Jr, dkk. 2008).
2. Simptomatik
Kolesistektomi
25
Laparoskopik kolesistektomi
Kolesistostomi
2. 6. 8. Komplikasi
- Kolesistitis Akut
26
sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak dalam kantong
Hartmann. Komplikasi ini terdapat pada lima persen penderita
kolesistitis. Kolesistitis akut tanpa batu empedu disebut kolesistitis
akalkulosa, dapat ditemukan pasca bedah (Lesmana, 2009).
- Kolesistitis Kronik
27
Kolesistitis kronik adalah peradangan menahun dari dinding
kandung empedu, yang ditandai dengan serangan berulang dari
nyeri perut yang tajam dan hebat. Kolesistitis kronik merupakan
kelainan kandung empedu yang paling umum ditemukan.
Penyebabnya hampir selalu batu empedu. Penentu penting untuk
membuat diagnosa adalah kolik bilier, dispepsia, dan ditemukannya
batu empedu pada pemeriksaan ultrasonografi atau kolesistografi
oral. Keluhan dispepsia dicetuskan oleh makanan “berat” seperti
gorengan, yang mengandung banyak lemak, tetapi dapat juga
timbul setelah makan bermacam jenis kol. Kolik bilier yang khas
dapat juga dicetuskan oleh makanan berlemak dan khas kolik bilier
dirasakan di perut kanan atas (Lesmana, 2009)..
Gejala Klinis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah nyeri
abdomen kuadran kanan atas, mual, muntah dan demam. Kadang-kadang rasa
sakit dapat menjalar ke pundak atau skapula kanan. Hal ini dapat berlangsung
sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung
dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi
kandung empedu. Nyeri tekan abdomen kuadran kanan atas, kandung empedu
teraba dan tanda Murphy positif pada pemeriksaan fisik merupakan karakteristik
kolesistitis akut. Tanda Murphy positif memiliki spesifitas 79%-96% untuk
kolesistitis akut. Gambaran klinis untuk kolesistitis akalkulus umumnya serupa
dengan kolesistitis akut akibat batu, yakni demam, nyeri perut kanan atas, dan
tanda Murphy positif.
Ikterus dapat dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin
<0,4 mg/dl). Ikterus ini dipikirkan terjadi akibat obstruksi bilier parsial yang
dipicu oleh inflamasi pada CBD. Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu
dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pemeriksaan
laboratorium tidak spe-sifik. Umumnya menunjukkan adanya leukositosis dengan
70%–85% terjadi left shift. Serum transaminase dan fosfatase alkali dapat
meningkat. Apabila keluhan bertambah hebat disertai suhu tinggi dan menggigil
28
serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung
empedu perlu dipertimbangkan. (Firmansyah, 2015)
Diagnosis
Klasifikasi/Derajat Stadium
29
jam d. Inflamasi lokal yang jelas (peritonitis bilier, abses perikolesistikus, abses
hepar, kolesistitis gangrenosa, kolesistitis emfisematosa) Derajat inflamasi akut
pada stadium ini meningkatkan taraf kesulitan untuk dilakukan kolesistektomi.
Operasi laparoskopi sebaiknya dilakukan dalam waktu 96 jam setelah onset. 3.
Kolesistitis akut berat (derajat 3)
Patogenesis
30
sp. Pada pasien-pasien dengan SIDA, kolesistitis dihubungkan dengan adanya
infeksi cytomegalovirus dan cryptosporidium. Adanya iskemia sistemik ataupun
lokal, kadang dihubungkan dengan adanya kejadian vaskulitis pembuluh darah
kecil (small vessel vasculitis). (Firmansyah, 2015)
Tata Laksana
31
menyatakan, timbulnya gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif
dapat dihindarkan, lama perawatan di rumah sakit dapat lebih singkat dan biaya
dapat ditekan.
Saat ini telah dikembangkan teknik kolesistektomi laparoskopik yang lebih aman
dibandingkan terapi konservatif (kolesistektomi terbuka). Di departemen ilmu
bedah digestif FKUI-RSCM, kolesistektomi laparoskopi dilakukan dalam waktu
kurang dari 72 jam setelah diagnosis awal ditegakkan. Hal ini ditujukan untuk
kasus kolesistitis akut derajat ringan dan sedang, sedangkan untuk kasus berat,
dilakukan kolesistektomi laparoskopi cito. Untuk kasus-kasus pasien dengan
kondisi kritis dan tidak stabil, tentunya tidak dapat dilakukan tindakan intervensi
bedah. Pada pasien dengan kondisi ini, dilakukan drainase kandung empedu
dengan panduan alat radiologis melalui kolesistostomi perkutan.(Firmansyah,
2015)
Prognosis
2.7 Kolesistitis
Kolesistitis akalkulus akut adalah inflamasi akut dari kandung empedu
namun bukan akibat dari adanya batu kandung empedu. Kejadiannya meningkat
pada pasien-pasien dengan penyakit kritis ataupun trauma. Kolesistitis akut
akalkulus sering dikaitkan dengan peningkatan risiko mortalitas dan morbiditas
sehingga diagnosis dan tata laksana harus dapat dilakukan dengan cermat.
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang terpilih untuk menegakkan
32
diagnosis kolesistitis akalkulus akut. Tiga patofisiologi utama terjadinya kondisi
ini adalah (1) mediator inflamasi sistemik dan trauma; (2) stasis bilier; dan (3)
iskemia sistemik atau lokal pada kandung empedu. Penatalaksanaan secara umum
meliputi pemberian antibiotik dan analgetik sedangkan terapi definitif berupa
pembedahan (kolesistektomi) (Firman , 2016)
2.8 Kolangitis
33
penyakit berkembang. Harapan baru yang muncul, namun, seperti perbaikan telah
dilaporkan dengan terapi yang melibatkan antibiotik dan obat-obatan antifibrotic.
Primary sclrosing cholangitis (PSC) adalah gangguan serius dengan etiologi belum
diketahui. Namun, peran telah diusulkan untuk disregulasi imun dalam perkembangan
PSC. Infeksi bakteri sekunder empedu stasis cairan juga dapat mempersulit PSC. Di sisi
lain, bentuk paling umum dari cholangitis sekunder adalah kolangitis akut (AC; juga
dikenal sebagai kolangitis piogenik berulang, kolangitis mendukung dan kolangitis). AC
char-acterized oleh infeksi melibatkan sistem empedu dan menyebabkan peradangan dan
obstruksi dari saluran-saluran empedu. Selanjutnya, peran berbahaya dari sistem
kekebalan tubuh telah disorot dalam IgG4-terkait kolangitis (IAC). Autoantibodi kelas
IgA yang reaktif terhadap sel epitel bilier telah baru-baru diidentifikasi di IAC. Namun
demikian, sistem kekebalan tubuh mungkin tidak menjadi satu-satunya con-tributor di
IAC, seperti batu empedu atau kelainan saluran empedu juga telah terkait dengan
terjadinya kondisi ini.
PSC
PSC adalah penyakit heterogen mengenai fitur histopatologi, presentasi klinis dan
respon pengobatan, serta tingkat transformasi ganas.PSC umumnya mengikuti kursus
kronis dan progresif yang dapat mengakhiri dalam neoplasma hepatobiliary. PSC
mempengaruhi semua kelompok umur di seluruh dunia, dengan prevalensi yang lebih
tinggi dalam 3rd dan 7th dekade hidup. Meskipun sifat auto-imun diduga PSC, kondisi ini
tidak responsif terhadap terapi imunosupresif.
Telah dicatat bahwa 90% dari kasus PSC terkait dengan faktor lingkungan yang
diperoleh. PSC umumnya diasosiasikan-diciptakan dengan penyakit inflamasi usus
(IBD). Bahkan, IBD-PSC telah diusulkan sebagai entitas klinis yang berbeda dari PSC
terisolasi, menunjukkan hubungan yang kuat antara dua gangguan.Berbagai 34-75%
pasien dengan PSC menderita IBD, dengan mayoritas menyajikan dengan ulkus-ative
kolitis (UC). Ada telah dilaporkan bahwa ini asosiasi menyoroti peran mikroorganisme
34
usus pada sindrom PSC-IBS. Berkurangnya jumlah sel T-peraturan di meradang jaringan
hepato-bilier pasien dengan PSC sug-gests peran hiperaktif kekebalan pada patogenesis
kondisi ini. Sejalan dengan ini, PSC juga dapat berkembang dalam konteks kondisi imun
lainnya, seperti hepatitis kekebalan tubuh, diabetes tipe 1, sarkoidosis dan tiroiditis
kekebalan tubuh.
IAC
Kolangitis presentasi dapat diamati dalam konteks gangguan autoimun yang lebih
luas yang ditandai dengan tingginya tingkat IgG4 dalam serum bersama dengan
proliferasi populasi limfositik positif bagi IgG4 (dikenal sebagai terkait IgG4 chol-
angitis).Dengan demikian, IAC ditandai dengan infiltrasi sistem bilier dengan limfosit
IgG4-positif. Keterlibatan saluran empedu dan pankreatitis adalah fitur umum yang
dijelaskan dalam AIC. IAC dominan ditemui pada orang tua, dan terutama fitur pria sub-
jects. Namun, IAC juga telah dilaporkan pada anak-anak dan remaja. Patogenesis bentuk
cholangitis sedang diselidiki.
Sehubungan dengan gambaran klinis serupa IAC dan PSC, dua dapat didiagnosis
satu sama lain. Namun, dua entitas ini dapat dibedakan berdasarkan domi-nance IgM dan
tingkat serum albumin dalam PSC, sedangkan peningkatan kadar IgG4 adalah fitur dari
IAC. Rasio IgG4 / IgG1 juga telah diusulkan sebagai berguna untuk membedakan IAC
dari PSC. IAC juga dapat dibedakan dari PSC sesuai dengan konteks fitur histologis
spesifik, seperti infiltrasi lebih jelas oleh sel imun (sel plasma, limfosit, dan eosinofil).
Sel-sel plasma infiltrasi telah ditunjukkan untuk mengekspresikan IgG4 di IAC. Infiltrasi
eosinofilik jaringan hati di IAC juga dapat berguna untuk diferensiasi dari dua kondisi.
Asosiasi IAC dengan pankreatitis adalah parameter yang berguna yang bisa dimanfaatkan
untuk membedakan IAC dari PSC.
Dalam kasus terisolasi IAC tanpa pankreatitis autoimun, beberapa fitur dari IAC,
termasuk stenosis pada cholangiography, peradangan stroma dan respon terhadap obat
imunosupresif, dapat membantu dalam diagnosis diferensial. Di sisi lain, pasien PSC
menunjukkan perubahan berserat hati, dan striktur segmental sebagai temuan patologis.
Presentasi ikterus obstruktif, yang jarang terlihat di PSC, dapat membantu dalam
diferensiasi klinis dua entitas tersebut.Selain ini, satu dapat membawa ke dalam pikiran
bahwa pasien dengan PSC umumnya muda bahwa mereka dengan IAC.
AC
35
AC (serta supuratif kolangitis atau kolangitis) pertama kali diidentifikasi sebagai
gangguan yang berhubungan dengan demam berulang, sakit perut dan sakit kuning.
Kombinasi klinis ini secara tradisional dikenal sebagai triad Charcot. AC terutama
penyakit infeksi yang ditandai dengan proliferasi bakteri di dalam empedu dan dengan
penyumbatan sekunder saluran empedu. Pentad Reynolds' didefinisikan sebagai
terjadinya kebingungan dan shock bersama dengan triad Charcot. Empedu batu dan
penyumbatan saluran empedu dianggap penyebab utama kolangitis bakterial akut.36
Selain itu, obstruksi saluran empedu di AC juga dapat dipicu oleh etiologi lainnya
Parameter Item
1
Klinis . Sebelumnya empedu gangguan
fitur 2
. Demam dan / atau kedinginan
3
. Penyakit kuning
4
. Sakit perut
5 Kehadiran indikator
Laboratorium . peradangan
(Jumlah leukosit meningkat,
fitur positif untuk
Protein C-reaktif)
6
. peningkatan enzim hati
7
pencitraan . dilatasi empedu, kelainan lain
menyarankan gangguan
temuan hepatobiliary
36
dalam sistem empedu. Etiologi lainnya termasuk empedu-batu, keganasan (sumber
menjadi pankreas, kandung empedu, cholangiocarcinoma, atau tumor metastasis) atau
penghalang jinak (bedah, pankreatitis, atau kolangitis kronis), dan beberapa gangguan
parasit. Dalam sebuah survei terhadap 31 pasien, Gossard et al. Melaporkan
kolesistektomi, batu di saluran empedu, pankreatitis kronis, dan trauma abdomen sebagai
penyebab AC.
Evaluasi pencitraan dari sistem hepatobiliary memiliki peran utama dalam modalitas
diagnostik untuk kolangitis. evaluasi pencitraan juga memiliki aplikasi dalam pementasan
dan manajemen kolangitis.vSebuah prosedur pencitraan diagnostik untuk berbagai bentuk
kolangitis harus dapat mengungkapkan beberapa charac-teristics dari sistem hati empedu,
termasuk stenosis dan dilatasi saluran empedu, serta ketebalan saluran-saluran empedu
dinding, kalkulus intrahepatik, kelainan parenkim hatijaringan, bukti-bukti dari displasia
hati, dan Portal hyperten-sion.vpencitraan yang paling sering digunakan adalah
endoscopic cholangiography retrograde (ERCP), magnetic resonance
cholangiopancreatography (MRCP), dan endoskopi ultrasonog-raphy (EUS).
ERCP adalah standar emas untuk diagnosis cholangitis. ERCP juga dapat diterapkan
sebagai metode referensi untuk prosedur pencitraan lain evaluat-ing, seperti MRCP.
ERCP dapat secara efektif dimanfaatkan untuk diagnosis cholangiocarcinoma di PSC,
dengan spesifisitas dan sensitivitas 97% dan 65%, respec-tively.48Selanjutnya, ERCP
memberikan tinggi (98,8%) tingkat keberhasilan. dilatasi asimetris dari saluran empedu,
serta pres-ence bate, terlihat dalam ERCP. divisi menurun dari pohon bilier dapat dilihat
di ERCP dengan reso-lution yang lebih rinci, sehingga memungkinkan untuk saluran
kecil untuk divisualisasikan.Dengan menggunakan ERCP, penilaian lengkap dari pohon
duktal dapat dicapai, menunjukkan adanya lesi obstruktif dan stenosis. ERCP dianjurkan
untuk dilakukan dalam waktu 24 jam masuk untuk pasien dengan AC, seperti menunda
prosedur ini dapat memperpanjang tinggal di rumah sakit untuk pasien ini. Namun
demikian, tidak ada perbedaan signifikan yang dilaporkan dalam tingkat kematian atau
tinggal di rumah sakit antara pasien dengan cholangitis yang telah di bawah-pergi ERCP
selama 24, 48 atau 72 jam setelah masuk untuk prosedur ini.Waktu ERCP dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti periode resusitasi dan penyakit hemostatik
ERCP dikaitkan dengan tingkat yang lebih tinggi komplikasi masing-masing untuk
prosedur endoskopi lainnya. Komplikasi-tions ini termasuk pankreatitis, perdarahan,
37
trauma, dan masalah cardiopul-monary. ERCP dapat menyebabkan komplikasi seperti
pankreatitis di 1,2-4% dan kolangitis di 2-2,5% kasus.Pankreatitis, perforasi dan
perdarahan, serta kolangitis terdiri komplikasi yang paling umum dari ERCP pada pasien
PSC. Tingkat keseluruhan komplikasi ERCP requir-ing tinggal di rumah sakit pada
pasien PSC telah dilaporkan sebagai 10%.60 komplikasi terkait ERCP lainnya meliputi
peningkatan umum saluran empedu (CBD) diameter, dilatasi empedu, empedu stent
INSER-tion, dan cholangiocarcinoma.
MRCP
MRCP, bersama dengan ERCP, dikenal sebagai salah satu prosedur yang paling
dapat diandalkan untuk mendiagnosis PSC. Salah satu keuntungan utama dari MRCP,
bagaimanapun, adalah sifat non-invasif nya. Dalam MRCP pencitraan, tingkat intra dan
ekstrahepatik saluran empedu, serta empedu-batu dan batu kolesterol, dapat dievaluasi.
Selain itu, striktur rendah diameter yang terdeteksi oleh MRCP. MCRP pro-vides 80%
dan 90% sensitivitas dan spesifisitas untuk diagnosis PSC, masing-masing. Mengingat
sifat invasif ERCP dan komplikasi yang terkait, MRCP adalah mendapatkan lebih banyak
dan lebih pro sebagai prosedur penilaian baris pertama dalam dugaan PSC. MRCP juga
merupakan metode yang efektif untuk menindaklanjuti pasien, dan untuk skrining untuk
memberikan diagnosis tepat waktu komplikasi. Dibandingkan dengan pendekatan
berbasis diagnostik klinis, penggunaan MRCP menghasilkan peningkatan 3 kali lipat
dalam identifikasi pasien PSC. PSC dapat dicirikan oleh striktur annular acak distrib-
usikan bergantian dengan empedu sedikit melebar saluran, biasanya pada kedua saluran
empedu intra dan ekstrahepatik dalam analisis MRCP. MRCP memiliki kemampuan
untuk secara akuratmendeteksi batu ukuran besar di CBD. Namun demikian, sensi-tivity
dari MRCP dalam mengidentifikasi batu-batu kecil tidak memuaskan.Sebagai tambahan;
MRCP mungkin kehilangan dilatations saluran empedu di PSC.
Sonografi adalah metode yang relatif murah dan tersedia secara luas pencitraan.
EUS akhirnya dapat menggantikan ERCP sebagai prosedur utama untuk drainase
empedu. Endoskopi Prosedur-prosedur-yang penting dalam banyak aspek untuk
mengelola pasien dengan cholangitis, meliputi diagnostik, terapi dan pemantauan
penyakit. Empedu duktus dilatasi, dan batu-batu kecil dapat juga didiagnosis dengan
EUS. Untuk mendeteksi transformasi ganas, EUS adalah metode yang berguna dan sa-
rior ke ERCP.
38
Antibiotik untuk kolangitis
Antibiotik di AC
Terapi antibiotik yang efektif untuk AC menurunkan tingkat kematian Profil yang
tepat dari pemberian antibiotik sangat penting dalam tahap awal kolangitis infeksi akut.
Sebagian besar pasien dengan bakteri manfaat kolangitis akut dari antibiotik papan-
spectrum.36 Ini adalah kebutuhan yang mendesak untuk Administrasi terapi antibiotik
bersama dengan prosedur per-dibentuk untuk mengoreksi obstruksi bilier. Tidak ada
rekomendasi untuk menghentikan terapi antibiotik, bagaimanapun, dan tampaknya bahwa
penghentian setelah bantuan dari gejala klinis, seperti demam, dan mengikuti terapi
drainase tidak memiliki hasil yang merugikan pada perjalanan klinis penyakit. Secara
paralel, durasi pendek terapi antibiotik (3 hari) muncul cukup ketika drainase yang
memadai dicapai dan demam mereda. Apapun, itu sangat dianjurkan untuk melestarikan
terapi antibiotik dalam fase awal dari AC. Bulu-thermore, seperti syok septik merupakan
ancaman potensial di AC, itu adalah suatu keharusan untuk Administrasi spektrum luas
terapi antibiotik sedini mungkin (dalam waktu 1-4 jam) berikut tanda-tanda pembangunan
syok septik. Baik oral atau intravena antibiotik tampaknya efisiensi yang sama di
pemancaran bakteri pada pasien AC. Resistensi terhadap berbagai antibiotik, termasuk
kuinolon, carbapenems, vankomisin dan ampisilin, telah diamati dalam budaya terisolasi
pasien bentuk AC.90Dalam sebuah studi dari penduduk Jerman, 29% multidrug resistant
39
(MDR) isolat pulih dari budaya empedu pasien dengan AC. Faktor risiko MDR dalam
studi yang termasuk seks pria, terapi anti-biotik sebelumnya dan stenting bilier, dengan
faktor baru-baru ini menjadi faktor risiko independen.90 Juga, terapi stent dilaporkan
sebagai faktor risiko yang signifikan untuk memperoleh MDR infec-tions pada pasien
AC.
Antibiotik di PSC
40
mungkin salah didiagnosis sebagai karsinoma saluran empedu.Transplantasi hati adalah
pengobatan bedah definitif untuk PSC. Pembedahan juga dapat diindikasikan sebagai
prosedur drain-usia. Dalam kasus tersebut, operasi adalah metode pilihan ketika metode
drainase lainnya seperti ERCP dan EUS-BD tidak mungkin. Intervensi drainase bersama
dengan operasi diindikasikan pada kasus dengan penyempitan saluran, dilatasi atau batu
obstruktif. Paling umum, hepaticojeju-nostomy adalah metode pilihan untuk menguras
usia empedu bedah. Pasien yang menjalani bedah drainase menunjukkan tingkat kematian
yang lebih tinggi dan tinggal di rumah sakit lebih lama dibandingkan mereka yang diobati
dengan drainase endoskopi. Operasi juga dapat dilakukan sebagai hepatectomy parsial
pada pasien dengan cholangi-tis. Umumnya, pendekatan reseksi hati dipertimbangkan
dalam kasus dengan hipertrofi jaringan atau dalam kasus yang dicurigai kanker.
Menariknya, sukses kuratif parsial reseksi hati telah dicatat dalam tiga paten dengan PSC,
namun studi kohort besar dibutuhkan untuk konfirmasi.
Terlepas dari etiologi, kolangitis adalah kondisi empedu-hati yang mengancam jiwa
yang serius. Sebuah sistem penilaian berdasarkan empat parameter, termasuk demam,
bilirubinemia hiper, saluran empedu dilatasi dan adanya batu saluran empedu, telah pro-
berpose untuk memprediksi tingkat keparahan kolangitis.
Prognosis dari AC
Dalam perbandingan antara PSC dan pasien SC sekunder, mereka dengan penyakit
sekunder menunjukkan prognosis yang lebih buruk dan harapan hidup lebih
pendek.41Menggunakan indeks neutrofil delta yang mencerminkan jumlah yang beredar
granulosit matang dalam darah telah dicatat sebagai faktor prognostik yang signifikan
dalam AC. Dalam hal ini, indeks yang lebih tinggi berhubungan dengan tingkat yang
lebih tinggi dari kematian dini pada pasien AC.Penghalang parah saluran empedu dapat
menyebabkan ekstrim terinfeksi refluks empedu dan penampilan dari bakteri dalam
darah, rendering situasi yang mengerikan. Selain itu, rendahnya tingkat serum albumin
bersama dengan waktu protrombin (rasio normal terwujud internasional) dari> 1,5
dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.
41
beberapa organ di IAC telah dikaitkan dengan hasil yang merugikan dan kegagalan
pengobatan steroid di IAC.
42
BAB III
METODE PELAKSANAAN
Tempat : Palembang
1. Alat tulis
2. Daftar Cheklist
3. Kamera/alat rekam
43
BAB IV
4.1 Hasil
Responden 1
44
2. Hepamax
3. Lansoprazole 30
mg
4. Spironolactone
100 mg
5. Ciprofloxacin
6. Proliva
7. Pro Liver
8. Susu Hepatosol
Nama : Ny. S
Umur : 55 th
Pekerjaan : Petani
45
Lansoprazole 30 mg
Spironolactone 100 mg
Ciprofloxacin
Proliva
Pro Liver
Susu Hepatosol
Dokter juga menganjurkan untuk diet lemak, asam, dan porsi makan
juga dikurangi, serta berolahraga.
Responden 2
46
makanan
berlemak.
7. Apa saja tatalaksana ? √ 1. Urdafalk
1x1
2. Analgesik
suposutoria
Nama : Ny. R
Umur : 30 th
Pekerjaan : Perawat
Urdafalk 1x1
Analgesik suposutoria
47
Responden 3
Nama : Ny. N
Umur : 51 th
48
Pekerjaan : PNS
Obat Analgetik
Dokter juga menganjurkan untuk diet lemak, dan porsi makan juga dikurangi,
serta berolahraga.
Responden 4
49
mengalami perut
terasa melilit?
5. Apakah pernah √
mengalami perut
terasa kembung?
6. Apa saja factor risiko √ mengkonsumsi
? makanan
berlemak seperti
makanan
bersantan.
Dari wawancara yang telah dilakukan, peneliti mendapat data pasien sebagai
berikut :
Nama : Ny. A
Umur : 41 th
50
Adapun faktor risiko Ny. A sering mengkonsumsi makanan berlemak
seperti makanan bersantan.
Dokter juga menganjurkan untuk diet lemak, asam, dan porsi makan
juga dikurangi.
2.2 Pembahasan
51
intensitasnya. Gejala yang lain seperti demam, nyeri seluruh permukaan
perut, perut terasa melilit, perut terasa kembung, dan lain-lain
52
pengangkatan kandung empedu yang secara umum diindikasikan bagi yang
memiliki gejala atau komplikasi dari batu, kecuali yang terkait usia tua dan
memiliki resiko operasi. Pada beberapa kasus empiema kandung empedu,
diperlukan drainase sementara untuk mengeluarkan pus yang dinamakan
kolesistostomi dan kemudian baru direncanakan kolesistektomi elektif.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistitis akut.
53
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Dari keempat responden, responden 1 Ny.s mengalami kolestasis
sedangkan ketiga responden lainnya mengalami kolelitiasis dengan
manifestasi yang sama yaitu nyeri perut bagian kanan atas, menjalar ke
punggung atau bahu, perut terasa melilit, perut kembung serta mengalami
demam, mual dan muntah.
2. Factor risiko dari keempat responden sama yaitu sering mengkonsumsi
makanan berlemak.
3. Tatalaksana yang dilakukan oleh keempat responden berupa tatalaksana
farmakologis dan non farmakologis. Tatalaksana farmakologis dapat
berupa : Ursodeoxycholic Acid 250 mg, Hepamax , Lansoprazole 30 mg,
Spironolactone 100 mg, Ciprofloxacin, Proliva, Pro Liver, Susu
Hepatosol, Urdafalk 1x1 , Analgesik suposutoria, Nucral Sucralfate
500mg/5 ml, Toramine 10 mg. sedangkan tatalaksana non
farmakologisnya berupa mengurangi makanan berlemak, dan berolahraga.
4. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada keempat responden berupa
USG, dan darah lengkap. Hanya ada satu responden dengan tatalaksana
berupa operasi.
5.2 Saran
54
DAFTAR PUSTAKA
Guyton dan Hall. 2014. Fisiologi Kedokeran Ed. 12. Singapura :
Saunders Elsevier.
Hunter JG. 2007. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of
Surgery. 8th edition. US : McGraw-Hill Companies.
Karpen SJ. 2002. Update on The Etiologies ang Management of
Neonatal Cholestasis. Cli Perinatol.
Lesmana, L., 2006. Penyakit Batu Empedu. Edisi ke IV. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Ed. 6 Volume 1. Jakarta : EGC.
Robbins, dkk., 2007. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Sherwood, Laurance. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta
: EGC
Sjamsuhidajat R, de Jong W., 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Snell, R. S., 2013. Anatomi Klinik. Ed. 9. Jakarta : EGC
Sudoyo, Aru W, dkkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Ed.
V. Jakarta : EGC.
Towsend, M. Jr, dkk. 208. Sabiston textbook of Surgery. Elsivier. United
State of America.
Firmansyah, Mohammad Adi. (2015). CASE REPORT Diagnosis dan
Tata Laksana Kolesistitis Akalkulus Akut. Medicinus. 28. 30-37.
55
CEKLIST
56
LAMPIRAN
57
Gambar 3. Responden Ketiga
58