Вы находитесь на странице: 1из 9

Ha s il obs e rva s i pada RPH/TPH

menunjukkan tempat penyembelihan,

penampungan darah, penggunaan alat

pelindung di r i, penger jaan karkas ,

pengeluaran jeroan, dan pengemasan daging

dan jeroan dalam kondisi yang tidak baik atau

tidak sesuai dengan persyaratan yang ada. Hal

tesebut dapat menyebabkan tingginya angka

kejadian penyakit parasit usus pada hewan

ternak. Penyuluhan dan pelatihan yang

kurang diberikan kepada para pekerja

membuat mereka tidak memahami tugas yang

akan dilakukan di RPH dan bekerja

berdasarkan pengetahuan mereka saja. Selain

itu akibat tidak adanya penyuluhan, para

pekerja tidak mengetahui standar yang harus

dikerjakan agar mendapatkan produk karkas

yang ASUH. Petugas kesehatan hewan

terutama dokter hewan sangat diperlukan di

RPH. Dokter Hewan atau tenaga paramedis

sangat diperlukan untuk memeriksa hewan

sebelumatausesudahdilakukan

penyembelihan. Hal ini bertujuan untuk

memastikan bahwa hewan yang disembelih

dalam keadaan sehat dan layak. Begitu pula

dengan produk karkas yang dihasilkan

seharusnya harus diperiksa dan dinyatakan

sehat oleh petugas kesehatan di RPH sebelum

dipasarkan.

Pada penelitian ini terlihat adanya


kunjungan dari dokter hewan ataupun

petugas kesehatan hewan tetapi kinerjanya

kurang. Karena berdasarkan observasi di RPH

tidak dilakukan pemeriksaan hewan baik

sebelum atau sesudah pemotongan. Hewan

yang akan dipotong langsung diturunkan dari

mobil pengangkut untuk disembelih dan ketika sudah berupa karkas langsung dibawa

ke pasar untuk dijual, bahkan didapatkan

adanya pemotongan sapi betina bunting.

Padahal dokterhewan atau petugas kesehatan

hewan di RPH bertugas untuk melakukan

pemeriksaan pada hewan sebelum dilakukan

penyembelihan (antemortem) dan pada

daging dan karkas yang akan dijual ke pasar

(postmor tem) sehingga aman untuk

dikonsumsi oleh masyarakat. Pemotongan

sapi betina bunting tidak dibenarkan dalam

Undang Undang Nomor 18 Tahun 2009, akan

tetapi di beberapa RPH di Jawa dan Nusa

Tenggara terlihat adanya pemotongan sapi

betina produktif. Hal tersebut diakibatkan

kurangnya pasokan sapi lokal jantan dan

lemahnya pengawasan dan pengendalian

terhadap pemotongan sapi betina produktif.

Menurut tenaga kesehatan hewan di RPH

Biromaru, pelaksanaan pengawasan memang

tidak berjalan, karena kurangnya anggaran

untuk biaya pengganti sapi sehingga bila

ditemukan adanya penyembelihan sapi betina

bunting dibiarkan saja.


Kinerja petugas kesehatan di RPH masih

kurang karena rendahnya pemahaman akan

tugasnya ataupun karena keterbatasan sarana

yang dimiliki. Di RPH Biromaru, petugas

kesehatan tidak dapat bertindak ketika

mendapati peternak memotong sapi betina

bunting atau malah membiarkannya karena

dinas tidak mempunyai anggaran untuk biaya

pengganti sapi tersebut. Dalam hal

pemotongan pun tidak ada pemeriksaan

kesehatan pada sapi yang akan dipotong

karena sapi yang datang ke RPH langsung

dibawa untuk dipotong, padahal menurut

pengamatan, sapi tersebut sakit (pincang)

yang semestinya ditunda untuk dipotong.

Pemotongan di TPH babi, tidak

didampingi oleh dokter hewan ataupun

petugas kesehatan hewan. Hal ini terjadi

karena pemotongan dilakukan secara mandiri

oleh masyarakat sehingga dokter hewan

kesulitan untuk mengawasi. RPH khusus

untuk pemotongan babi sudah dibuatkan

disekitar peternakan babi yang ada di Desa

Jono Oge untuk memudahkan pengawasan

dari dinas pertanian dan peternakan akan

tetapi tidak digunakan. Alasan para peternak

belum menggunakan karena prasarana yang

disediakan masih belum memadai sehingga

peternak lebih memilih untuk memotong di

tempatnya sendiri dan juga mengenai nominal

ret r ibus i untuk pemotongan belum


mengha s ilkan ka t a s epaka t ant a ra

pemerintah dan peternak .

Ob s e r va s i di s e k it a r RPH/TPH

menunjukkan bahwa hampir semua tempat

tidak memenuhi syarat sesuai Standar

Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999

tentang rumah pemotongan hewan. Produk

karkas yang sehat bisa diperoleh jika RPH

tersebut menerapkan praktek kebersihan dan

sanitasi yang baik meliputi kebersihan

personal, bangunan, peralatan, proses

produksi, penyimpanan, dan distribusi serta

ditambahkan kehalalan dan kesejahteraan

hewan.

Bangunan RPH sapi yang ada merupakan

gedung tua dan fasilitas yang ada juga tidak

berfungsi sebagaimana mestinya. Menurut

Buku Statistik Peternakan tahun 2003

terdapat 777 RPH sapi/kerbau yang

merupakan warisan zaman Belanda sehingga

tidak memenuhi syarat baik lingkungan,

higiene, dan sanitasi. Terlihat gedung banyak

kerusakan, lantai yang berlubang-lubang,

dinding yang kotor, tidak ada tempat

p e n g g a n t u n g h e wa n , d a n p r o s e s

penyembelihan yang dilakukan secara

tradisional. Secara umum hal tersebut tidak

memenuhi syarat higiene daging sehingga ada

kecenderungan untuk terkontaminasi

7 mikroorganisme.

Letak RPH/TPH juga dekat dengan


pemukiman penduduk atau berada dalam

pemukiman penduduk. Hal ini tidak sesuai

dengan persyaratan RPH yang harus jauh dari

p e m u k i m a n p e n d u d u k a g a r ti d a k

menimbulkan ancaman biologis bagi

masyarakat. RPH/TPH bisa menjadi sumber

kontaminasi mikroorganisme patogen ternak

yang berasal dari suatu daerah endemis

penyakit atau dalam keadaan infeksi sub klinis

sehingga kemungkinan akan terjadi

penularan.

Hewan yang akan dipotong sebaiknya

ditempatkan terlebih dahulu di tempat

penampungan hewan selama kurang lebih 12

jam. Hal ini dimaksudkan agar hewan bisa

diistirahatkan dan tidak stres. Pengistirahatan

ini penting karena ternak yang habis bekerja

j i k a l a n g s un g d i s e m b e l i h t a n p a pengistirahatan akan menghasilkan daging

yang berwarna gelap, keras, dan kering (dark

cutting meat) serta dapat menurunkan

keawetannya. Pengistirahatan ini berguna

untuk menentukan rekomendasi penilaian

kelayakan ternak untuk disembelih,

disembelih bersyarat atau tidak disembelih.

Pada RPH Sapi Biromaru, sapi yang akan

dipotong tidak ditempatkan di kandang

penampungan melainkan langsung digiring

u n t u k d i p o t o n g . Ad a p u n k a n d a n g

penampungan digunakan hanya untuk tempat


sementara sapi yang antri untuk dipotong.

Pada TPH babi sedikit lebih baik karena babi-

babi yang dipotong berasal dari peternakan

sendiri yang dikandangkan. Dari kedua RPH

sapi dan TPH babi tidak terlihat adanya

pemeriksaan antemortem pada hewan

sebelum dipotong. Kondisi TPH babi yang

tidak memiliki kandang isolasi dan juga surat

keterangan sehat yang dikeluarkan oleh

dokter hewan membuat produk hasil yang

dikeluarkan dari TPH tidak terjamin

keamanannya.

Penyembelihan di RPH terdapat empat

titik kendali kritis yaitu pelepasan kulit,

pengeluaran jeroan, pemisahan tulang dan

pendinginan. Titik-titik ini harus dapat

dikendalikan agar pencemaran mikroba pada

daging dapat ditekan sehingga daging yang

dihasilkan aman untuk dikonsumsi. Selama

proses penyembelihan di RPH disarankan

para pekerja menggunakan dua pisau dengan

cara bergantian. Salah satu pisau direndam

dalam air panas >82 C untuk menghindari

pencemaran silang. Hal ini juga telah diatur

dalam SK Menteri Pertanian No. 413 tahun

1992 tentang pemotongan hewan dan

pengamanan daging serta hasil ikutannya.

Ruangan tempat penyembelihan harus

mempunyai penerangan yang cukup, lantai


terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah

korosif, tidak licin, mudah dibersihkan dan

disucihamakan dan landai ke arah saluran

pembuangan. Permukaan lantai harus rata,

tidak ada celah atau lubang. Untuk

penyembelihan dibagi menjadi dua bagian

yakni pertama, daerah kotor untuk tempat

pemingsanan, pemotongan, dan tempat

pengeluaran darah. Kedua, daerah bersih

untuk tempat penimbangan karkas dan

10 tempat keluar karkas. Pada RPH/TPH di Kabupaten Sigi, masing-masing karyawan

menggunakan satu pisau, tanpa melakukan

penggantian dan perendaman dalam air

panas > 82 C. Pembagian daerah kotor dan

daerah bersih pun tidak ada. Penyembelihan

hingga pembagian karkas dilakukan pada satu

tempat. Terlihat juga lantai RPH Biromaru

yang sudah berlubang dan tidak kedap air.

Untuk TPH babi, sedikit lebih baik karena

lantai TPH rata dan tidak berlubang, tetapi

tidak ditemukan adanya pembagian daerah

11 bersih dan kotor.

Pembuangan limbah berupa darah dan isi

rumen dari hewan yang dipotong di RPH sapi

atau di TPH babi, kebanyakan langsung ke

saluran air yang mengalir ke sawah atau

sungai. Hal tersebut tidak sesuai dengan SNI

1999, dimana ada kecenderungan untuk

menularkan mikroorgansime yang berbahaya

bagi manusia sangat tinggi. Seharusnya


pembuangan limbah didesain agar tidak

mencemari tanah, mudah diawasi dan

dirawat, dijaga agar tidak menjadi sarang

tikus. Pembuangan limbah yang ada di

RPH/TPH juga tidak sesuai dengan prosedur

yang menya t a k an RPH/TPH ha ru s

mempunyai bak pengendap pada saluran

buangan cairan yang menuju sungai atau

selokan sehingga limbah cairan yang keluar

12

dari RPH/TPH aman bagi lingkungan.

Dari keempat TPH/RPH yang ada hanya

satu TPH babi yang mempunyai bak

pengendap untuk limbahnya sebelum

dialirkan ke sungai. TPH babi yang lain,

langsung membuang limbah ke saluran air

yang menuju ke sungai begitu pula dengan

RPH sapi. Akan tetapi pada RPH sapi, limbah

rumen disimpan terlebih dahulu di ruangan

tersendiri, pembuangan limbah tersebut akan

dilakukan seminggu sekali.

Salah satu syarat teknis RPH/TPH adalah

kecukupan ketersediaan air dimana

dibutuhkan 200 galon per hari per ekor sapi

dewasa. Air yang digunakan adalah air yang

dapat diminum (potable) dan memenuhi

standar baku internasional untuk air minum

(air berkaporit, tidak mengandung bakteri

coliform atau E. coli dalam 100 ml). Pada

kedua tempat RPH/TPH hal ini sudah

terpenuhi karena terlihat cukupnya air yang


digunakan pada saat pemotongan hewan.

Untuk sarana mencuci tangan tidak terpenuhi,

Вам также может понравиться