Вы находитесь на странице: 1из 4

Bab 1

Pendahuluan
Latar belakang
Garam merupakan salah satu komoditas strategis yang diprioritaskan oleh
pemerintah indonesia. Garam dibuat dari hasil evaporasi dan kristalisasi air laut.
Air laut memiliki kandungan antara lain natrium 55%, klor 31%, sulfat 8%,
magnesium 4%, kalsium 1% dan kalium 1%. Proses pemurnian air laut dari
kandungan natrium dan pengotor lain nya disebut desalinasi. Desalinasi
merupakan proses penghilangan mineral terlarut (khususnya garam) dari air laut,
air payau dan dalam proses pengolahan air bersih (Amri, 2015). Limbah dari
proses desalinasi disebut brine water. Brine water memiliki kadar garam dengan
konsentrasi diatas 60%.
Kebutuhan garam nasional setiap tahun mengalami peningkatan, pada
tahun 2011 kebutuhan garam nasional sebesar 3.228.750 ton dengan produksi
sebesar 1.113.118 ton dan pada tahun 2014 kebutuhan garam nasional sebesar
3.611.990 ton dengan produksi sebesar 2.192.168 ton. Berdasarkan data neraca
garam Indonesia, stok awal garam pada 2017 mencapai 789,9 ribu ton. Sementara
jumlah pasokan mencapai 2,2 juta ton, berasal dari produksi domestik 916,9 ribu
ton ditambah impor sebanyak 2,2 juta ton. Sehingga secara akumulasi persediaan
garam sepanjang tahun lalu mencapai 3,9 juta ton. Dengan data diatas, indonesia
setiap tahun selalu mengalami impor garam untuk memenuhi kebutuhan garam
nasional. Produksi garam yang hanya mengandalkan dari hasil petani tambak
lokal serta belum adanya industri garam yang digarap secara berkelanjutan untuk
mengantisipasi kebutuhan masyarakat menyebabkan indonesia selalu mengimpor
garam. Dari segi kualitas produksi garam dalam negeri masih belum memenuhi
syarat kesehatan, terutama garam yang dihasilkan dari petani garam, sebab mutu
garam umumnya dibawah mutu II menurut spesifikasi (SNI) No. 01-3556-2000.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di garis khatulistiwa,
dengan luas wilayah 5.193.252 km2 dan luas garis pantai sepanjang 3.288.683
km2 menjadikan indonesia memiliki faktor yang mendukung untuk swasembada
garam. Limbah brine water hasil teknologi desalinasi air laut yang memiliki air
garam terkonsentrasi dapat menjadi solusi pemenuhan kebutuhan garam. Dengan
kadar air garam yang tinggi, limbah brine water memiliki efek yang negatif jika
dibuang langsung ke laut diantara nya yaitu dapat merusakan ekosistem dengan
menurunkan kualitas air karena potensi bahaya kimia yang terkandung dalam
limbah brine, meningkatnya kekeruhan air laut dan terhambatnya cahaya yang
masuk ke dalam air laut sehingga akan menggangu biota-biota laut didalamnya,
menurunnya tekanan osmosis dan kecepatan aliran keluaran limbah brine yang
berpengaruh terhadap ikan-ikan kecil dan plankton serta terbentuknya sedimentasi
karena kematian biota laut.
Dari limbah brine water dengan kadar air garam terkonsentrasi akan
menjadikan pembuatan garam menjadi lebih mudah dan efisien. Beberapa
penelitian telah melakukan pemurnian limbah brine water menjadi garam dengan
menggunakan berbagai metode, salah satunya menggunakan teknologi SAL-
PROC, teknologi SAL-PROC digunakan untuk memulihkan CaCO3, Na2SO4,
Mg(OH)2, NaCl, campuran gipsum dan larutan CaCl2 yang sangat pekat dalam
keluaran air desalinasi, teknologi ini telah di gunakan untuk memproses air payau
dari Danau Tutchewop (Victoria, Australia). (Morillo, 2014) Penelitian lain yaitu
menggabungkan RO dengan SAL-PROC untuk mengolah air garam RO payau
dengan konsentrasi bikarbonat yang tinggi dalam limbah yang berasal dari
ekstraksi logam berbasis-arang (ekstraksi CBM) di Queensland, Australia.
(Morillo, 2014). University of South Carolina mengembangkan teknologi yang
disebut zone discharge desalination (ZDD) untuk pengolahan air garam RO air
laut. Dalam skala laboratorium menunjukkan bahwa sekitar 75% NaCl dalam air
garam itu pulih sebagai kristal NaCl dengan kemurnian tinggi pada tahap
penguapan-kristalisasi. Penelitian lain yaitu turek menyelidiki desalinasi air laut
dalam ED-Multi-stage Flash (MSF) - Sistem kristalisasi di mana sistem ED (ED
diikuti oleh EDR dalam mode arus berlawanan) (Morillo, 2014). Drioli et al.
mengembangkan sistem membran terintegrasi untuk memulihkan CaCO3, NaCl
dan magnesium sulfat heptahidrat dari retensi nanofiltrasi air laut (Morillo, 2014).
Dari beberapa penelitian tersebut perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk
menghasilkan produk garam yang lenih baik dari sebelumnya.
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasi dan
merumuskan masalah yang akan di angkat adalah kebutuhan garam yang
meningkat, besarnya impor garam nasional,

a. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan produk brine dengan
kandungan sebesar garam 90%, dan menganalisa teknologi serta kebutuhan
energi dalam proses peningkatan kualitas garam.

b. Ruang lingkup
Penelitian potensi limbah brine hasil desalinasi dengan menggunakan
metode teknologi Zero Discharge Desalination (ZDD). Bahan utama yang
digunakan adalah limbah brine hasil desalonasi air laut. Penelitian ini
dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tangerang-Banten.

Teknologi desalinasi air laut, air tanah asin, air drainase, atau air payau telah
menjadi salah satu solusi pemenuhan kebutuhan akan air bersih bagi masyarakat
pesisir. Namun, terjadi perdebatan mengenai penerapan teknologi ini karena
polusi dari brine water atau air garam terkonsentrasi [1].

Sementara penggunaan garam domestik mencapai 3,5 juta ton ditambah untuk
ekspor 215 ton. Jika ditotal konsumsi garam domestik ditambah untuk pangsa
ekspor mencapai 3,55 juta ton. Maka stok akhir tahun lalu, yakni selisih antara
persediaan dengan penggunaan mencapai 349,5 ribu ton.

Air laut memiliki sifat agak basa (pH 7,5-8,4) yang merupakan campuran lebih
dari 80 unsur, gas dan senyawa organik terlarut. Ion-ion utama penyusun air laut
adalah: natrium 55%, klor 31%, sulfat 8%, magnesium 4%, kalsium 1% dan
kalium 1%.

Вам также может понравиться