Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
A. Deskripsi Teori
1
Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. 3, Hlm.
938.
2
Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur, dalam Dawam Rahardjo, Pesantren
dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 41.
3
Barakah adalah sifat yang muncul dalam diri seseorang, seperti kiai, biasanya terkait
dengan karamah (sifat yang dilekatkan kepada seorang suci yang mampu memindahkan
pertolongan Allah kepada orang yang membutuhkannya). Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai
dan Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2004), Cet. 2, hlm. 106.
4
Syekh Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, (Semarang: Pustaka al-Alawiyah, tt.), hlm. 17.
7
8
ﺍﻋﻠﻢ ﺑﺎﻥ ﻃﺎﻟﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻻﻳﻨﺎﻝ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻻ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ ﺍﹼﻻ ﺑﺘﻌﻈﻴﻢ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﺍﻫﻠﻪ
ﺍﻧﺎ ﻋﺒﺪ ﻣﻦ ﻋﻠﹼﻤﲏ,ﻡ ﺍﷲ ﻭﺟﻬﻪﻗﺎﻝ ﻋﻠﻲ ﻛﺮ... .ﻭﺗﻌﻈﻴﻢ ﺍﻻﺳﺘﺎﺫ ﻭﺗﻮﻗﲑﻩ
.ﺣﺮﻓﺎ ﻭﺍﺣﺪﺍ
“Mereka yang mencari pengetahuan hendaklah selalu ingat bahwa
mereka tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan atau
pengetahuannya tidak akan berguna, kecuali kalau ia menaruh hormat
kepada pengetahuannya tersebut dan juga menaruh hormat kepada guru
yang mengajarkannya. hormat kepada guru bukan hanya sekedar
patuh….. sebagaimana dikatakan Sayyidina Ali, “saya ini hamba dari
yang mengajar saya, walaupun hanya satu kata saja”.
5
Semua yang dilakukan hanya semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Kiai dan para
ustadz mengajar dengan ikhlas, dan para santri belajar dengan ikhlas. Mereka tidak akan takut atau
putus asa jika usahanya belum berhasil, dan sebaliknya tidak akan menepuk dada atas
keberhasilannya. Muhammad Busyro, “Problem Pengembangan Tradisi Pesantren”, dalam Abdul
Munir Mulkhan, dkk, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren; Religiusitas Iptek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), Cet. 1, hlm. 190.
6
Sebagai pemimpin, pengasuh pesantren, dan sekaligus sebagai ulama’. Kiai berfungsi
sebagai pewaris para Nabi (waratsah al-anbiya’), yakni mewarisi apa saja yang dianggap sebagai
ilmu oleh para Nabi, baik dalam bersikap, berbuat, dan contoh-contoh atau teladan baik (al-uswah
al-hasanah) mereka. Jamali, “Kaum Santri dan tantangan Kontemporer”, dalam Sa’id Aqiel
Siradj, et. al., Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. 1, hlm. 134.
9
7
Jamaluddin Malik (ed.), Pemberdayaan Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2005), Cet. 1, hlm.
6.
8
Abdul Halim, (ed.), Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish Madjid Terhadap
Pendidikan Islam Tradisional,(Jakarta: Ciputat Press, 2002), Cet. 1, hlm, 63.
9
Kebanyakan kiai di jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai
suatu “kerajaan kecil” dimana kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan
(power outhority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Tidak seorang pun santri atau orang
lain yang dapat melawan kekuasaan kiai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kiai lain yang
lebih besar pengaruhnya. Para santri selalu mengharap dan berpikir bahwa kiai yang dianutnya
merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri (self-confident), baik dalam soal-soal
pengetahuan Islam, maupun dalam bidang kekuasaan dan manajemen pesantren. Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1994), Cet. 6,
hlm. 56.
10
Ibid, hlm. 150.
11
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
PARAMADINA, 1997), Cet. 1, hlm. 23. Kecelakaan yang pernah menimpa para santri dapat
10
dicontohkan pada peristiwa akhir Pebuari 1994. Ratusan pelajar SMA di Pesantren Darul Ulum
Jombang melakukan demonstrasi. Mereka meminta pemimpin pondok membangun situasi yang
lebih demokratis dalam lingkungan sekolah mereka. Pemimpin pesantren (kiai) merespon aksi
tersebut dengan mengeluarkan 15 pelajar yang terlibat. “Diukur dengan uang puluhan miliyar
rupiah pun tidak cukup untuk mengobati kekecewaan kami. Di pondok tidak pernah ada
demonstrasi”, kata sang Kiai. Lebih jauh seorang kiai senior menegaskan: “kalau murid sudah
berani menilai gurunya maka hubungan ruhani antara mereka bisa tertutup. Murid tidak akan
tambah pandai, tetapi justru akan tambah bodoh”. Endang Turmudi, op. cit, hlm. 124.
12
Untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, K.H. Hasyim Asy’ari menyarankan kepada
peserta didik untuk memperhatikan sepuluh etika yang mesti dicamkan ketika belajar. Kesepuluh
etika itu diantaranya adalah membersihkan hati dari berbagai penyakit hati dan keimanan,
memiliki niat yang tulus, bukan mengharapkan sesuatu yang material, memanfaatkan waktu
dengan baik, bersabar, memiliki sikap qana’ah, pandai membagi waktu, tidak terlalu banyak
makan dan minum, bersikap hati-hati, menghindari dari makanan yang menyebabkan kemalasan
dan kebodohan, tidak banyak tidur, dan menghindari dari hal-hal yang kurang bermanfaat.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet.
1, hlm. 152-153.
13
Syekh Zarnuji, op. cit., hlm. 17. Kitab ini banyak menjelaskan tentang hubungan guru-
murid yang merupakan kitab wajib dalam kebanyakan pondok pesantren.
11
kepada kiai tidak berarti bahwa santri tersebut harus mengikuti semua
perintah kiainya tanpa mempertimbangkan benar dan salahnya.
14
Ibid, hlm. 65.
15
Johns Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996),
Cet. 23, hlm. 421. Dalam kamus bahasa Jerman patron berarti majikan, pelindung. Datje
Rahajoekoesoemah, Kamus Lengkap Jerman-Indonesia, Indonesia-Jerman, (Jakarta: Rajawali,
1984), hlm. 349. Berasal dari kata patronus yang berarti pelindung dari seorang libertus atau dari
seorang cliens. K. Prent dkk, Kamus Latin-Indonesia, (Semarang: Yayasan Kanisius, 1969), hlm.
615.
16
Anasom (ed.), Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, (Jakarta: GAMA MEDIA,
2004), hlm. 149-150.
12
17
Kumanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: yayasan Obor
Indonesia, 1985), hlm. 57.
18
Simmel lahir di pusat kota Berlin pada tahun 1858. Ia adalah salah satu bapak sosiologi
interaksionis. Ia belajar sejarah, psikologi, dan filsafat umum di universitas Berlin. Tahun 1881 ia
memperoleh gelar doktoralnya lewat karyanya yang membahas teori Kant tentang materi. Ia
meninggal tahun 1914 karena kangker liver. Warisannya terdiri dari para muridnya seperti George
Lukacs dan Ernst Bloch serta partisipasinya atas kehidupan kultural di Berlin. Peter Beilharz,
Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), Cet. 1, hlm. 327-328.
19
Nurhadi (ed.), Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2004), Cet. 1, hlm. 64.
13
adalah:20
- Bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang
berharga di mata pihak yang lain, entah pemberian itu berupa barang
atau jasa, dan bisa berbagai ragam bentuknya.
- Dengan pemberian ini, pihak penerima merasa mempunyai
kewajiban untuk membalasnya sehingga terjadi hubungan timbal
balik. Adanya unsur timbal balik yang membedakan dengan
hubungan yang bersifat pemaksaan (coercion) atau karena adanya
wewenang formal (formal authority).
- Adanya norma-norma yang mendukung dalam masyarakat yang
memungkinkan pihak yang lebih rendah kedudukannya (klien)
melakukan penawaran, artinya bila salah satu pihak merasa bahwa
pihak lain tidak memberi seperti apa yang diharapkannya, dia dapat
menarik diri dari hubungan tersebut tanpa terkena sanksi.
Adanya patronase di pondok pesantren yang dielaborasikan
dalam bentuk hubungan kiai (patron) dan santri atau umat (klien)
menarik untuk di bahas. Seperti halnya peran kiai dalam membina umat
sehingga memunculkan suatu ikatan yang solid dalam bentuk kepatuhan
para pengikutnya. Bentuk ta’dimnya adalah tunduk dan patuh mengikuti
apa yang diucapkan kyai. Kepatuhan itu diperluas lagi sehingga
mencakup penghormatan kepada ulama’ sebelumnya, dan ulama’ yang
mengarang kitab yang dipelajarinya.21 Melalui pesantrenlah seorang kiai
membangun pola patronase22 yang menghubungkannya dengan para
20
Anasom (ed.), op.cit, hlm. 151-152.
21
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999),
Cet. 3, hlm. 18. Kiai merupakan tokoh kunci yang menentukan corak kehidupan pesantren. Semua
warga pesantren tunduk kepada kiai. Mereka berusaha keras melaksanakan semua perintahnya dan
menjauhi semua larangannya, serta menjaga jangan sampai melakukan hal-hal yang sekiranya
tidak direstui kiai. Sebaliknya mereka selalu berusaha melakukan hal-hal yang sekiranya direstui
kiai. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 58.
22
Pola patronase ini dengan mudah dibangun karena kebanyakan pesantren dimiliki oleh
kiai. Pesantren juga menghubungkan para orang tua santri dengan para kiai di mana para orang tua
santri secara psikologis merasa berhutang budi kepada sang kiai dikarenakan anak-anak mereka
mendapatkan pendidikan gratis di pesantren. Endang Turmudi, op.cit, hlm. 31. Hal ini juga
dipengaruhi adanya Pertama, pola khas dan keberhasilan kepemimpinan kiai dalam perjalanan
panjang bangsa ini telah banyak dibuktikan oleh para peneliti sejarah, tetapi bagaimana kiai
14
santri dan juga masyarakat yang berada di luar desa atau kotanya
sendiri. Dengan gaya kepemimpinan kharismatik.23 kiai ini, setidaknya
terdapat dua pola hubungan yang unik antara kiai dan santri, yaitu:24
Pertama, pola hubungan otoriter-paternalistik. Yaitu pola
hubungan antara pimpinan dan bawahan atau dalam istilah James C.
Scott disebut patron-client relationship; dan tentunya sang kiailah yang
menjadi pemimpinnya. Sebagai bawahan, sudah barang tentu peran
partisipatif santri dan masyarakat tradisional pada umumnya sangat kecil
untuk mengatakan tidak ada, dan hal ini tidak bisa dipisahkan dari kadar
kekharismatikan kiai.
Seiring dengan itu, pola hubungan ini kemudian diperhadapkan
dengan pola hubungan diplomatik-partisipatif, artinya semakin kuat pola
hubungan yang satu semakin lemah yang lainnya.
Kedua, pola hubungan laissez faire. Yaitu pola hubungan kiai-
santri yang tidak didasarkan pada tatanan organisasi yang jelas.
Semuanya didasarkan pada restu kiai. Selama memperoleh restu dari
sang kiai, sebuah pekerjaan bisa dilaksanakan. Santri ikhlas
menjalankannya dan berharap mendapatkan barakah dari kiai. Pola
hubungan ini kemudian diperhadapkan dengan pola hubungan
birokratik.
Sebagai sebuah gaya kepemimpinan, sudah barang tentu
membina umat sehingga memunculkan suatu ikatan yang solid dalam bentuk kepatuhan
pengikutnya, hal ini belum banyak diketahui. Kedua, adanya satu anggapan yang menyatakan
bahwa hubungan patron-klien dalam banyak hal sering berlawanan dengan aturan resmi. Gejala ini
tidak hanya terjadi di pesantren, tetapi juga dalam organisasi modern seperti partai politik. Ketiga,
pemahaman terhadap gejala hubungan patron-klien di pondok pesantren akan memberikan
pemahaman terhadap pola khas kepemimpinan santri. Anasom (ed.), op. cit, hlm. 146.
23
Kharismatik adalah Gaya kepemimpinan yang bersandarkan pada kepercayaan atau
pandangan santri dan masyarakat tradisional sebagai jamaah bahwa sang kiai mempuyai
kekuasaan yang berasal dari Tuhan. Gaya kepemimpinan seorang kiai merupakan salah satu ciri
khas atau bahkan menjadi bagian, meminjam istilah Gus Dur, sebagai sub kultur sebuah
masyarakat tradisional (pesantren). Berbeda dengan kepemimpinan lainnya, kiai pesantren
seringkali menempati dan atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai
kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya. Amin Haedari, dkk,
Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global,
(Jakarta: IRD Press, 2004), Cet. 1, hlm. 59.
24
Ibid, hlm. 61.
15
25
Mas’udi, Mengenal Pemikiran Kitab Kuning, dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia
Pesantren, (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 46.
26
Sindu Galba, Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, (Jakarta: RINEKA CIPTA, 1995),
Cet. 2, hlm. 63.
16
a) Nilai pertukaran
Di atas telah dijelaskan bahwa penghormatan santri
terhadap kiai dikarenakan jasanya dalam memberikan ilmu
pengetahuan, khususnya agama. Kedudukan kiai lebih tinggi bukan
karena tingkat status ekonomi, melainkan keilmuan yang dipunyai.
Dalam hubungan kiai-santri ada nilai ketidakseimbangan,
yaitu jasa yang diberikan kiai terhadap santri tidak mungkin dibayar
lunas. Apalagi hal ini didasari oleh suatu norma dasar dalam agama
Islam yang itu diyakini kebenarannya di lingkungan pesantren, yakni
bahwa sekali seorang pernah menjadi guruya, maka selamanya ia
adalah gurunya. Itu sebabnya, menjaga sikap setia kepada gurunya
merupakan keharusan.
b) Struktur lapisan
27
Anasom (ed.), op. cit, hlm. 72.
28
Santri mukim adalah murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan menetap dalam
kelompok pesantren. Zamakhsyari Dhofier, op. cit, hlm. 55.
17
32
Zamakhsyari Dhofier, op. cit, hlm. 44.
19
a) Masjid
Elemen pertama yang sering menjadi perhatian utama para
kiai adalah masjid (atau mushola). Masjid merupakan unsur penting
dalam pesantren. semua kegiatan yang dilakukan para santri di
pondok pesantren sumbernya adalah masjid.33
Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi
pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem
pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain, kesinambungan
sistem pendidikan Islam yang berpusat di Masjid al-Qubba tetap
terpancar dalam sistem pesantren.
Upaya menjadikan masjid sebagai pusat pengkajian dan
pendidikan islam berdampak pada tiga hal.34
1) Mendidik anak agar tetap beribadah dan selalu mengingat
kepada Allah.
2) Menanamkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan dan
menumbuhkan rasa solidaritas sosial yang tinggi sehingga bisa
menyadarkan hak-hak dan kewajiban manusia.
3) Memberikan ketentraman, kedamaian, kemakmuran dan potensi-
potensi positif melalui pendidikan kesabaran, keberanian, dan
semangat dalam hidup beragama.
33
Secara etimologis, masjid berasal dari bahasa arab “sajada” yang berarti patuh, taat, serta
tunduk dengan penuh hormat dan ta’dzim. Sedangkan menurut terminologis, masjid merupakan
tempat aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. 2, hlm. 459. Semua kegiatan harus dijiwai oleh
semangat beribadah dan mencari ridla Allah. Jadi masjid sebagai markas pendidikan islam baik
dalam pengertian modern maupun tradisional, di sini santri dididik dalam kesehariannya agar
memegang teguh keutamaan, cinta kepada ilmu pengetahuan, mempunyai kesadaran sosial serta
menyadari akan hak dan kewajiban. Melalui masjid nilai-nilai luhur ditanamkan dan dibiasakan,
dengan harapan agar nilai-nilai agama itu menjadi bagian dari hidupnya dan tidak hanya menjadi
pengetahuan yang dimiliki. Abdul Munir Mulkhan, op.cit, hlm. 195.
34
Amin Haedari, dkk, Masa Depan…, op.cit, hlm. 34.
20
35
Anasom (ed.), op. cit, hlm. 156-157.
36
Depag RI., Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta: Ditkapontren, 2003), hlm.
12-13.
37
Martin Van Bruinessen, NU; Tradisi, Relasi-relasi, Pencarian Wacana Baru,
(Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. 3, hlm. 19.
38
Zamakhsyari dhofier, op. cit, hlm. 46-47.
21
39
Abdul Halim, (ed.), op. cit, hlm, 67.
22
c) Kiai
Kata kiai dalam bahasa jawa dapat dipakai untuk tiga jenis
gelar yang saling berbeda:40 Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi
barang-barang yang dianggap keramat. Kedua, gelar kehormatan
untuk orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, gelar yang diberikan
oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki
atau yang menjadi pimpinan pesantren dan mengajarkan kitab-kitab
Islam klasik kepada para santrinya.
Sebagai pengasuh pondok pesantren, pemimpin
masyarakat, Ulama’, serta penentu langkah pergerakan pesantren,41
peran kiai sering kali universal, tidak hanya dalam bidang
keagamaan. Walaupun keberadaannya kebanyakan di pedesaan,
peran kiai kadangkala menjangkau batas-batas Desa, Kota, Propinsi,
bahkan berperan secara Nasional. Mereka juga sering disebut kaum
putihan, karena lebih suka mengenakan pakaian dan peci berwarna
40
Zamakhsyari Dhofier, op. cit, hlm. 55.
41
Jamaluddin Malik (ed.), op.cit, hlm. 7
23
42
Martin van Bruinessen, op. cit, hlm. 20.
43
Faisal Ismail, Islamic Tradisionalism in Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan, 2003), hlm. 30-31.
44
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren; Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), Cet. I, hlm. 68.
45
Cohen, B. J., Theory and Problem of Introduction to Sociology, MC. Graw Will, Inc.,
New York, hlm. 43.
46
Menurut Prof. Johns, istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji.
Sedang menurut C.C Berg bahwa kata tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India
berarti orang yang tahu buku-buku suci, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata
shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku
tentang ilmu pengetahun. Zamakhsyari Dhofier, op. cit, hlm. 55. Ada pendapat yang mengatakan
kata santri berasal dari bahasa jawa yaitu cantrik, artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang
guru ke mana guru ini pergi menetap. Hubungan “guru-cantrik” tersebut kemudian diteruskan
dalam masa Islam menjadi “guru-santri”. Nurcholis Madjid, op. cit, hlm. 20.
24
47
Endang Turmudi, op. cit, hlm. 35.
48
Sa’id Aqiel Siradj, et. al., op. cit, hlm. 130.
49
Clifford Greetz, The Religion of Java, (Chicago and London: The Univercity of Chicago
Press, 1976), hlm. 178.
50
Zamakhsyari Dhofier, loc.cit, hlm. 52-53.
25
51
Amin Haedari (ed.), op. cit, hlm. 36.
52
Ibid, hlm. 37
53
Kitab kuning ini ditulis dengan menggunakan tulisan arab, walaupun tidak selalu
menggunakan bahasa arab. Biasanya kitab itu tidak dilengkapi dengan harakat. Karena ditulis
tanpa harakat (syakl), kitab kuning ini kemudian dikenal dengan kitab gundul. Di dalamnya
terkandung matn (teks asal) yang kemudian dilengkapi dengan komentar (syarah) atau juga
catatan pinggir (hasyiyah). Biasanya, penjilidannya pun tidak maksimal, bahkan sengaja diformat
secara korasan sehingga mempermudah dan memungkinkan pembaca untuk membawanya sesuai
dengan bagian yang dibutuhkan. Untuk bisa membacanya seorang santri harus menguasai dulu
ilmu alat yaitu nahwu dan sharaf. Amin Haedari, dkk, op. cit, hlm. 149.
54
Anasom (ed.), op.cit, hlm. 167.
26
2) Sistem sorogan.
Sistem pengajaran ini dilaksanakan dengan jalan santri
yang biasanya pandai menyorongkan sebuah kitab kepada kiai
untuk dibaca dihadapan kiai. Jika ada kesalahan dalam membaca
langsung dihadapi kiai dan dibenarkan. Sistem ini menuntut
kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin dari pribadi para
santri. sistem ini merupakan tahap pertama bagi seorang santri
bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan
seorang guru mengawasi, menilai, dan membimbing secara
maksimal kemampuan santri dalam menguasai bahasa Arab.
Karena pada dasarnya hanya murid-murid (santri) yang telah
menguasai sistem sorogan sajalah yang dapat memetik
keuntungan dari sistem bandongan di pesantren.
Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di
pesantren dapat digolongkan ke dalam delapan kelompok
yaitu,57 1) Nahwu (sintaksis) dan sharaf (morfologi; 2) fiqh; 3)
55
Zamakhsyari dhofier, op.cit, hlm. 28-29.
56
Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Prasasti, 2003), Cet.
3, hlm. 30.
57
Zamakhsyari dhofier, op.cit, hlm. 50-51.
27
pesantren meliputi: 58
a) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya. Kiai
sangat memperhatikan santrinya. Hal ini dimungkinkan karena
mereka sama-sama tinggal dalam satu kompleks dan sering bertemu
baik disaat belajar maupun dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan
sebagian santri diminta menjadi assisten kiai (khadam).
b) Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa
menentang kiai, selain tidak sopan juga dilarang agama, bahkan tidak
memperoleh berkah karena durhaka kepadanya sebagai guru.
c) Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam
lingkungan pesantren. Hidup mewah hampir tidak dapat ditemukan
di pesantren. Bahkan kebanyakan santri yang hidupnya terlalu
sederhana atau terlalu hemat sehingga kurang memperhatikan gizi.
d) Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian
sendiri, membersihkan kamar tidur, dan memasak sendiri.
e) Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (ukhuwah
Islamiyah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren.
f) Disiplin sangat diajurkan. Biasanya dalam memberikan sanksi-sanksi
bersifat edukatif.
g) Keprihatinan untuk mencapai kemuliaan.
h) Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar rantai
pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri-santriyang
berprestasi. Ini menandakan perkenaan atau restu kiai kepada murid
atau santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab setelah dikuasai
penuh.
2. Daya Kritis
58
M. Sulthon Masyhud dan Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva
Pustaka, 2003), Cet. I, hlm. 93. Dalam bahri ghazali, Pesantren…., op.cit, hlm. 34.
29
59
Pius Partanto dan Dahlan al-Barry, Kamus populer, (Surabaya: ARKULA, 1994), hlm.
94. Kritis (criticize) dalam kamusnya Hassan Shadily dan John M. Echols berarti, pertama
mencela, kedua mengecam dan mengupas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti, pertama
tidak lekas percaya, kedua bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan dan kekeliruan serta
tajam dalam penganalisaan.
60
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Rosdakarya, 1994), Cet. 4, hlm. 151.
61
Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: global pustaka utama, 2001), Cet.
1, hlm. 21.
62
Hans Albert, Risalah Pemikiran Kritis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Cet. 1, hlm.
68.
30
b. Filsafat Kritis
Kritis dalam ilmu filsafat64 adalah tidak pernah puas diri, tidak
pernah membiarkan sesuatu sebagai sudah selesai, tidak pernah
memotong perbincangan, selalu bersedia, bahkan senang untuk
membuka kembali perdebatan.
Horkheimer dan Adorno65 dalam mengembangkan teori kritis
menginginkan adanya penciptaan kesadaran yang kritis. Pada
hakikatnya teori kritis mau menjadi aufklarung atau pencerahan.
Aufklarung artinya mau membuat corak, menyingkap segala tabir yang
menutup kenyataan yang tak manusiawi terhadap kesadaran kita.
Kemudian munculah seorang filosof jerman yang bernama Immanuel
Kant66 mencoba menyelesaikan konflik tersebut, pertentangan antara
63
Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), Cet. 1,
hlm.162.
64
Filsafat adalah “induk ilmu pengetahuan”. Istilah filsafat sudah dikenal sejak 2000 tahun
lebih yang lalu, pada masa Yunani kuno. Kata filsafat berasal dari kata arab yang berhubungan
rapat dengan kata Yunani, yaitu Philosophia. Dalam bahasa yunani, kata philosophia merupakan
kata majemuk dari kata philo dan shopia. Philo berarti cinta, dan Shopia berarti kearifan atau
kebajikan yang artinya pandai, pengertian yang mendalam. Jadi secara sederhana, filsafat adalah
keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk
menjadi bijak.menurut Aristoteles, filsafat adalah pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang
tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika ekonomi, politik, dan estetik.Plato berpendapat
bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli. Sedangkan al-farabi
mengartikan filsafat sebagai pengetahuan tentang alam ujud bagaimana hakikat sebenarnya. Dan
masih banyak tokoh-tokoh yang memberikan definisi tentang filsafat. Asmoro Ahmadi, Filsafat
Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Peersada, 2001), Cet. 4, hlm. 1
65
Adalah dua dari beberapa tokoh teori kritis generasi pertama yang dikembangkan oleh
frankfurt Institute For Social Science mulai tahun 1930. Tokoh-tokoh lainnya seperti Marcus dan
Erich Fromm. Sedangkan tokoh-tokoh yang teori kritis generasi kedua adalah Juergen Habermas,
Peter Berger, Thomas Luckmann, dan Immanuel Wallersteein. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu,
Positivisme, Postpositivisme, dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), Cet. 1, hlm.
109.
66
Kant lahir di Konigsberg di prusia (sekarang kaliningrad di rusia) tahun 1724. Ia belajar
kurang lebih semua mata pelajaran, dan menjadi dosaen untuk ilmu pasti, ilmu alam, hukum,
teologi, filsafat, dan masih banyak bidang lainnya. Filsafat yang dipelajarinya adalah filsafat
leibniz dan wolff yang sangat rasionalisti, dogmatis, dan spekulatif. Tetapi kant menolak jenis
berfikir seperti ini. Dia memulai filsafat kritis yang tidak mau melewati batas-batas kemungkinan
dan pemikiran manusia dan ilmu tentang batas-batas pemikiran manusia. Dalam metafisika kant,
filsafat zaman modern memuncak. Rasionalisme dan empirisme sekarang dipersatukan dan di atasi
31
dalam suatu sintesis-sintesis yang merupakan titik pangkal suatu periode baru yang disebut
“idealisme”. Ia meninggal dunia tahun 1804. Harry Hemersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat
Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), Cet. 5, hlm. 26-27.
67
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu…, op.cit, hlm. 110. Dari sisi filsafat ilmu, teori konflik
termasuk positivisme modern yang menggunakan berpikir instrumental; sedangkan teori kritis
termasuk postpositivisme yang landasan filsafatnya mungkin phenomenologik, dan sebagian lain
realisme metaphisik. Perubahan peran akal akan mengubah perilaku seseorang, demikian juga teori
konflik.
68
Hans Albert, Risalah Pemikiran…, op.cit, hlm. 68.
32
karena itu memiliki nilai penting etis, bahkan politis. Ini tidak melebih-
lebihkan, bahkan identifikasi atas relasi yang sederhana dan mudah
dipahami, ketika orang menunjukkan bahwa prinsip pengujian kritis
mengukuhkan, di antara yang lain, hubungan antara logika dan politik.
c. Sikap Kritis
Sikap kritis adalah kearifan, kebijaksanaan dan kerendahan
hati ilmiah yang akan membuka kesadaran intelektual.70 Sebaliknya
seseorang yang mengabaikan sikap kritis dalam kehidupannya akan
mendorong tumbuhnya ideologisasi ilmu yang menutup kemungkinan
lain yang terbuka luas jauh di luar batas keluasan dunia yang mungkin
dikenali. Karena ilmu yang diperoleh siapa pun tak lebih dari sekedar
titik henti perjalanan ilmiah tanpa tepi.
69
Abdul Munir Mulkhan, dkk, Rekonstruksi Pendidikan…, op.cit, hlm. 43.
70
Ibid.
33
⌧
⌧
71
Hans Albert, op. cit, hlm. 72-73
72
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan; Tafsir al-Ayat al-Tarbawiy, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), Cet. 1, hlm. 130. Kata al-‘aql yang dalam bentuk kata benda, berlainan
dengan kata al-wahy, tidak terdapat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an sebagaimana dikatakan Harun
Nasution hanya membawa bentuk kata kerjanya aqaluh dalam 1 ayat, ta’qiluun, 24 ayat, na’qil, 1
ayat, ya’qiluha, 1 ayat, dan ya’qiluun, 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti paham dan
mengerti. Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat-ayat (Q.S. al-Baqarah, 2:75 dan 242; al-Hajj,
22:46; al-Mulk, 57:10, dan al-Ankabut, 29:43. Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam,
(Jakarta: UI Pres, 1986), Cet. 2, hlm. 5.
73
Abdul ‘al-Salim Mukrim, Pemikiran Islam Antara Akal dan Wahyu, (Jakarta:
Mediyatama Sarana Perkasa, 1988), Cet. 1, hlm. 3.
74
Muhammad Noor, et. al., Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1996), hlm. 59.
34
Pada ayat tersebut jelas bahwa orang yang berakal (ulul al-
bab) adalah orang yang melakukan dua hal yaitu tadzakkur yakni
mengingat (Allah), dan tafakkur, memikirkan (ciptaan Allah).
Dengan melakukan dua hal tersebut, ia sampai pada hikmah
yang berada dibalik proses mengingat (tadzakkur) dan berfikir
(tafakkur), yaitu mengetahui, memahami dan menghayati bahwa dibalik
fenomena alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya menunjukkan
adanya sang pencipta, Allah SWT.Di dalam al-Qur’an juga dijumpai
kata tadzakkara (memperhatikan, mempelajari), mudzakkarah (bertukar
pikiran), dan tadabbara yang juga mengandung arti berpikir.75
Muhammad abduh mengatakan dengan merenungkan penciptaan langit
dan bumi, pergantian siang dan malam akan membawa manusia
menyaksikan ke-Esaan Allah, yaitu adanya aturan yang dibuat-Nya serta
karunia dan berbagai manfaat yang terdapat di dalamnya. hal ini
memperlihatkan kepada fungsi akal sebagai alat untuk mengingat dan
berpikir.76
Dalam pemahaman profesor Izutzu, sebagaimana dikutip
Harun Nasution, bahwa kata “aql di zaman jahiliyah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (praktical intellegence) yang dalam istilah psikologi
modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving
75
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998), Cet.
5, hlm. 55.
76
Abuddin Nata, op. cit, hlm. 132.
35
77
Harun Nasution, op. cit, hlm. 7
78
Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di permukaan bumi dan mereka mempunyai
kalbu untuk memahami atau telinga umtuk mendengar; sesungguhnya bukanlah mata yang buta,
tetapi kalbu di dalam dada yang buta. (Q.S. al-Hajj, 22: 46).
79
Abdul ‘al-Salim Mukrim, op. cit, hlm. 4.
36
patuh kepada Allah, maka pada saat itulah akal dinamai pula al-qalb.
Akal dalam pengertian yang demikian itu dapat dijumpai dalam ayat,
yaitu:80
☺
⌧ ☺
☺
{18 :}ﺍﻟﻜﻬﻒ
“Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur, dan kami
balik-balikkan mereka ke kanan ke kiri, sedang anjing mereka
mengulurkan kedua lengannya ke muka pintu gua. Dan jika kamu
menyaksikan mereka tentulah kami akan berpaling dari mereka dengan
melarikan (diri) dan tentulah (hati kamu akan dipenuhi dengan
ketakutan terhadap mereka)”. (Q.S al-Kahfi: 18).
80
Muhammad Noor, et. al., op. cit, hlm. 236.
81
Harun Nasution, Islam Rasional…,op.cit, hlm. 56.
37
82
Wahjoetomo, op.cit, hlm. 69.
83
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
PARAMADINA, 1997), Cet. 1, hlm. 23.
84
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), Cet. 1, hlm. 152-153.
38
yang berafiliasi dengan Ormas NU saja, tetapi juga pesantren yang berafiliasi
dan didirikan oleh Ormas Muhammadiyah.
Anasom, Patronase di Pondok Pesantren”. Dalam bukunya
Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, karangan Anasom dkk. Buku ini
membahas tentang bagaimana patronase terjalin di pondok pesantren, dan
latar belakangnya. Buku inilah yang menjadi pijakan utama penulis dalam
penyusunan skripsi. Di samping juga buku-buku pendukung lainnya.
Skripsi yang ditulis oleh Aman (3197052) “Pembinaan Akhlak
Dalam Membentuk Kepribadian Santri di Pondok Pesantren al-Ishlah
Mangkang Kulon Semarang”. Berisi tentang bagaimana peran kiai yang
selalu jadi panutan dalam membina akhlak para santrinya sehingga
menghasilkan kepribadian santri yang baik.
Sari Hernawati (4196152) “Tradisi Pesantren dan Relevansinya
Terhadap Sistem Pendidikan Nasional” (Studi Analisis Pemikiran
Zamakhsyari Dhofier). Pandangan Zamakhsyari dhofier tentang pesantren
dengan segala keunikan dan perannya.
Siti Khomsatun Khoiriyah (3198178) “Studi Analisis Pemikiran al-
Zarnuji Tentang Pola Hubungan Guru Murid Dalam Kitab Ta’lim al-
Muta’allim. Berisi tentang bagaimana pola hubungan guru-murid dalam kitab
Ta’lim al-Muta’allim.
C. Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan deskripsi teori dan kerangka berpikir di atas, penulis
memberikan hipotesis85 bahwa: Sikap santri kepada kiai mempunyai
pengaruh negatif terhadap daya kritis santri kepada kiai di Pondok Pesantren
al-Istiqamah Gajah Demak.
85
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang secara teoritis
dianggap paling mungkin atau paling tinggi kebenarannya. S. Margono, Metodologi Penelitian
Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Rineka Cipta, 2000), hlm. 67-68.
40