Вы находитесь на странице: 1из 34

BAB II

SIKAP SANTRI KEPADA KIAI DI PONDOK PESANTREN


DAN DAYA KRITIS SANTRI KEPADA KIAI

A. Deskripsi Teori

1. Sikap Santri kepada Kiai


a. Pengertian sikap santri kepada kiai
Dalam tradisi pesantren, perasaan hormat dan kepatuhan murid
kepada gurunya adalah mutlak dan tidak boleh putus, artinya
berlangsung seumur hidup. Sikap hormatnya tersebut ditunjukkan dalam
seluruh aspek kehidupannya, baik dalam kehidupaan keagamaan,
kemasyarakatan, maupun pribadi.
Sikap adalah perilaku, gerak-gerik.1 Jadi sikap santri kepada
kiai adalah sebuah perilaku dan gerak-gerik santri kepada kiai di pondok
pesantren yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari .
Ukuran yang digunakan dalam dunia pesantren tidak lain
adalah ketundukannya kepada sang kiai dan kemampuannya untuk
memperoleh “ngelmu” dari kiai.2 Dengan demikian, kebesaran seorang
kiai tidak diukur oleh jumlah bekas santrinya yang lulus dan
memperoleh diploma dari perguruan tinggi, tetapi jumlah bekas
santrinya yang kemudian menjadi kiai atau menjadi orang-orang yang
berpengaruh di masyarakat. Karena itu, melupakan ikatan guru dianggap
sebagai suatu aib besar di samping akan menghilangkan barakah3 guru
(kiai), juga ilmu yang diperolehnya tidak bermanfaat.
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim disebutkan:4

1
Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. 3, Hlm.
938.
2
Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur, dalam Dawam Rahardjo, Pesantren
dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 41.
3
Barakah adalah sifat yang muncul dalam diri seseorang, seperti kiai, biasanya terkait
dengan karamah (sifat yang dilekatkan kepada seorang suci yang mampu memindahkan
pertolongan Allah kepada orang yang membutuhkannya). Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai
dan Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2004), Cet. 2, hlm. 106.
4
Syekh Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, (Semarang: Pustaka al-Alawiyah, tt.), hlm. 17.

7
8

‫ﺍﻋﻠﻢ ﺑﺎﻥ ﻃﺎﻟﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻻﻳﻨﺎﻝ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻻ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ ﺍﹼﻻ ﺑﺘﻌﻈﻴﻢ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﺍﻫﻠﻪ‬
‫ ﺍﻧﺎ ﻋﺒﺪ ﻣﻦ ﻋﻠﹼﻤﲏ‬,‫ﻡ ﺍﷲ ﻭﺟﻬﻪ‬‫ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻲ ﻛﺮ‬... .‫ﻭﺗﻌﻈﻴﻢ ﺍﻻﺳﺘﺎﺫ ﻭﺗﻮﻗﲑﻩ‬
.‫ﺣﺮﻓﺎ ﻭﺍﺣﺪﺍ‬
“Mereka yang mencari pengetahuan hendaklah selalu ingat bahwa
mereka tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan atau
pengetahuannya tidak akan berguna, kecuali kalau ia menaruh hormat
kepada pengetahuannya tersebut dan juga menaruh hormat kepada guru
yang mengajarkannya. hormat kepada guru bukan hanya sekedar
patuh….. sebagaimana dikatakan Sayyidina Ali, “saya ini hamba dari
yang mengajar saya, walaupun hanya satu kata saja”.

Kepribadian dan sikap ikhlas5 santri pada diri kiai merupakan


syarat mutlak bagi para santri. Ini karena pada hakikatnya santri adalah
orang yang menyerahkan diri pada kiai untuk dididik menjadi muslim
yang baik. Ia harus menjalani segala peraturan di pesantren dengan
penuh kerelaan dan kesadaran (ikhlas). Sehingga ia dapat memperoleh
barakah atau keberhasilan dalam menuntut ilmu.
Kiai dapat dikatakan sebagai tokoh non-formal yang ucapan-
ucapan dan seluruh perilakunya akan dicontoh oleh komunitas di
sekitarnya (para santri dan masyarakat), dan juga berfungsi sebagai
sosok model dan suri teladan yang baik (uswatun hasanah) tidak saja
bagi santri-santrinya yang ada di pondok pesantren, tetapi juga menjadi
teladan dan panutan bagi seluruh komunitas masyarakat di sekitar
pesantren.6 Selain itu, kharismatik kiai juga turut menyumbangkan

5
Semua yang dilakukan hanya semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Kiai dan para
ustadz mengajar dengan ikhlas, dan para santri belajar dengan ikhlas. Mereka tidak akan takut atau
putus asa jika usahanya belum berhasil, dan sebaliknya tidak akan menepuk dada atas
keberhasilannya. Muhammad Busyro, “Problem Pengembangan Tradisi Pesantren”, dalam Abdul
Munir Mulkhan, dkk, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren; Religiusitas Iptek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), Cet. 1, hlm. 190.
6
Sebagai pemimpin, pengasuh pesantren, dan sekaligus sebagai ulama’. Kiai berfungsi
sebagai pewaris para Nabi (waratsah al-anbiya’), yakni mewarisi apa saja yang dianggap sebagai
ilmu oleh para Nabi, baik dalam bersikap, berbuat, dan contoh-contoh atau teladan baik (al-uswah
al-hasanah) mereka. Jamali, “Kaum Santri dan tantangan Kontemporer”, dalam Sa’id Aqiel
Siradj, et. al., Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. 1, hlm. 134.
9

energi pikat7 pada pesantren, yang mempunyai pengaruh untuk


mendongkrak harga diri pesantren di masyarakat dan mempunyai tradisi
amat terbuka mempersilahkan bagi siapa saja untuk mengunjungi
pesantren tersebut.
Sebagai salah satu unsur dominan dalam kehidupan sebuah
pesantren, kiai juga mengatur irama perkembangan dan kelangsungan
kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu,
kharismatik, dan ketrampilannya, sehingga tidak jarang sebuah
pesantren tanpa memiliki manajemen pendidikan yang rapi,8 segala
sesuatunya terletak pada kebijaksanaan dan keputusan kiai. Dengan
demikian, kemajuan dan kemunduran suatu pondok pesantren benar-
benar terletak pada kemampuan kiai dalam mengatur pelaksanaan
pendidikan di dalam pesantren. Sebab kiai merupakan penguasa9 baik
dalam fisik maupun non fisik yang bertanggung jawab demi kemajuan
pesantren.
Hubungan kiai-santri di pondok pesantren terjalin secara erat
karena jasa yang diberikan kiai terhadap para santri atau pengikutnya.
Jasa tersebut berupa pendidikan atau ilmu.10 Santri akan selalu
memandang kiai atau gurunya sebagai orang yang mutlak harus
dihormati dan dimuliakan, malahan dianggap memiliki kekuatan ghaib
yang bisa membawa keberuntungan (berkah) atau celaka11

7
Jamaluddin Malik (ed.), Pemberdayaan Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2005), Cet. 1, hlm.
6.
8
Abdul Halim, (ed.), Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish Madjid Terhadap
Pendidikan Islam Tradisional,(Jakarta: Ciputat Press, 2002), Cet. 1, hlm, 63.
9
Kebanyakan kiai di jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai
suatu “kerajaan kecil” dimana kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan
(power outhority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Tidak seorang pun santri atau orang
lain yang dapat melawan kekuasaan kiai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kiai lain yang
lebih besar pengaruhnya. Para santri selalu mengharap dan berpikir bahwa kiai yang dianutnya
merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri (self-confident), baik dalam soal-soal
pengetahuan Islam, maupun dalam bidang kekuasaan dan manajemen pesantren. Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1994), Cet. 6,
hlm. 56.
10
Ibid, hlm. 150.
11
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
PARAMADINA, 1997), Cet. 1, hlm. 23. Kecelakaan yang pernah menimpa para santri dapat
10

(mendatangkan madarat). Kecelakaan yang paling ditakuti oleh seorang


santri dari kiainya adalah kalau sampai dia disumpahi sehingga ilmunya
tidak bermanfaat. Karena itu, santri berusaha untuk menunjukkan
ketaatannya kepada kiai agar ilmunya bermanfaat,12 dan sejauh mungkin
menghindarkan diri dari sikap-sikap yang bisa mengundang kutukan
dari kiai tersebut.
Satu gambaran ideal tentang ketaatan murid kepada guru dalam
kitab Ta’lim al-Muta’allim disebutkan:13

‫ﻻ ﳝﺸﻲ ﺍﻣﺎﻣﻪ ﻭﻻ ﳚﻠﺲ ﻣﻜﺎﻧﻪ ﻭﻻ ﻳﺒﺘﺪﺉ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻋﻨﺪﻩ ﺍﹼﻻ ﺑﺎﺫﻧﻪ‬


…‫ﻭﻻ ﻳﻜﺜﺮ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻋﻨﺪﻩ‬
“Salah satu cara menghormati guru adalah hendaknya jangan berjalan di
depannya, jangan duduk di tempatnya, jangan memulai pembicaraan
kecuali dengan seizinnya, dan jangan berbicara banyak kepadanya…”

Para santri harus menunjukkan sikap hormat dan patuh kepada


kiainya, bukan hanya sebagai manifestasi dari penyerahan total kepada
kiai yang dianggap memiliki otoritas, tetapi karena keyakinan santri
kepada kiai sebagai seseorang yang mempuyai kedudukan lebih tinggi
dalam bidang ilmu pengetahuan yang dimiliki. Kepatuhan mutlak santri

dicontohkan pada peristiwa akhir Pebuari 1994. Ratusan pelajar SMA di Pesantren Darul Ulum
Jombang melakukan demonstrasi. Mereka meminta pemimpin pondok membangun situasi yang
lebih demokratis dalam lingkungan sekolah mereka. Pemimpin pesantren (kiai) merespon aksi
tersebut dengan mengeluarkan 15 pelajar yang terlibat. “Diukur dengan uang puluhan miliyar
rupiah pun tidak cukup untuk mengobati kekecewaan kami. Di pondok tidak pernah ada
demonstrasi”, kata sang Kiai. Lebih jauh seorang kiai senior menegaskan: “kalau murid sudah
berani menilai gurunya maka hubungan ruhani antara mereka bisa tertutup. Murid tidak akan
tambah pandai, tetapi justru akan tambah bodoh”. Endang Turmudi, op. cit, hlm. 124.
12
Untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, K.H. Hasyim Asy’ari menyarankan kepada
peserta didik untuk memperhatikan sepuluh etika yang mesti dicamkan ketika belajar. Kesepuluh
etika itu diantaranya adalah membersihkan hati dari berbagai penyakit hati dan keimanan,
memiliki niat yang tulus, bukan mengharapkan sesuatu yang material, memanfaatkan waktu
dengan baik, bersabar, memiliki sikap qana’ah, pandai membagi waktu, tidak terlalu banyak
makan dan minum, bersikap hati-hati, menghindari dari makanan yang menyebabkan kemalasan
dan kebodohan, tidak banyak tidur, dan menghindari dari hal-hal yang kurang bermanfaat.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet.
1, hlm. 152-153.
13
Syekh Zarnuji, op. cit., hlm. 17. Kitab ini banyak menjelaskan tentang hubungan guru-
murid yang merupakan kitab wajib dalam kebanyakan pondok pesantren.
11

kepada kiai tidak berarti bahwa santri tersebut harus mengikuti semua
perintah kiainya tanpa mempertimbangkan benar dan salahnya.

.‫ﻻ ﻃﺎ ﻋﺔ ﻟﻠﻤﺨﻠﻮﻕ ﰲ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﺍﳋﺎﻟﻖ‬


“Janganlah kamu patuh kepada seseorang yang tingkah lakunya tidak
sesuai dengan ajaran Islam”.14

Dari penjelasan tersebut jelas bahwa seorang santri/murid boleh


tidak mematuhi perintah kiai, apabila perintah tersebut menyalahi/tidak
sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam ajaran Islam.
b. Patronase di Pondok Pesantren
Dalam pondok pesantren sudah dikenal istilah baru untuk
menggambarkan pola hubungan kiai dengan santri, yaitu hubungan
antara patron dengan klien, dimana kiai sebagai patron sedangkan santri
sebagai kliennya, atau dikenal dengan istilah patronase.
Patronase berasal dari kata patron (pelindung, penyokong),
patronage (perlindungan), dan patroness (pelindung). Ketiganya
mempunyai pengertian yang sama yaitu sebagai pelindung.15
Menurut definisi J.C Scott, Patronase adalah suatu kasus
hubungan antar dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan
instrumental, yaitu seseorang yang lebih tinggi kedudukan sosial
ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang
dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau
kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien)
yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan
dukungan umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa pribadi patron.16
Patronase merupakan salah satu bentuk hubungan sosial yang

14
Ibid, hlm. 65.
15
Johns Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996),
Cet. 23, hlm. 421. Dalam kamus bahasa Jerman patron berarti majikan, pelindung. Datje
Rahajoekoesoemah, Kamus Lengkap Jerman-Indonesia, Indonesia-Jerman, (Jakarta: Rajawali,
1984), hlm. 349. Berasal dari kata patronus yang berarti pelindung dari seorang libertus atau dari
seorang cliens. K. Prent dkk, Kamus Latin-Indonesia, (Semarang: Yayasan Kanisius, 1969), hlm.
615.
16
Anasom (ed.), Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, (Jakarta: GAMA MEDIA,
2004), hlm. 149-150.
12

terjadi dalam masyarakat. Hubungan tersebut berpengaruh pada timbal


balik antara dua orang atau lebih dalam hal perasaan, sikap, atau
tindakan (perilaku). Menurut teori pertukaran sosial, orang memasuki
dan meneruskan pola interaksi dengan orang lain tertentu karena mereka
menganggap interaksi tersebut menguntungkan, apapun yang menjadi
alasannya. Jika manusia mau memperoleh manfaat dari hubungan
dengan orang lain, mereka harus menawarkan cukup banyak hal kepada
partner mereka agar yang bersangkutan merasakan adanya manfaat
untuk tetap memelihara hubungan.17 Dengan cara ini prinsip penawaran
dan permintaan menjamin bahwa orang hanya akan memperoleh partner
yang sama layaknya dengan apa yang mereka pantas peroleh.
Menurut G. Simmel18 kehidupan sosial merupakan sebuah
gerakan yang tidak henti-hentinya membangun kembali model
hubungan antar individu. Untuk menganalisis hubungan ini secara lebih
eksplisit diajukannya sebuah konsep pemandu: yaitu konsep tindakan
timbal balik.19 Melalui tindakan ini secara sederhana ia memahami
pengaruh yang diberikan kepada sesamanya. Tindakan ini dituntun oleh
keseluruhan motivasi yang beragam (insting erotis, kepentingan praktis,
keyakinan religius, keharusan untuk bertahan hidup atau untuk
menyerang, pekerjaan, dan sebagainya) dan tanpa pernah berhenti
bergerak. Itulah totalitas seluruh tindakannya yang memberi kontribusi
untuk mempersatukan totalitas individu menjadi satu masyarakat global.
Beberapa unsur pendukung yang melancarkan patronase

17
Kumanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: yayasan Obor
Indonesia, 1985), hlm. 57.
18
Simmel lahir di pusat kota Berlin pada tahun 1858. Ia adalah salah satu bapak sosiologi
interaksionis. Ia belajar sejarah, psikologi, dan filsafat umum di universitas Berlin. Tahun 1881 ia
memperoleh gelar doktoralnya lewat karyanya yang membahas teori Kant tentang materi. Ia
meninggal tahun 1914 karena kangker liver. Warisannya terdiri dari para muridnya seperti George
Lukacs dan Ernst Bloch serta partisipasinya atas kehidupan kultural di Berlin. Peter Beilharz,
Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), Cet. 1, hlm. 327-328.
19
Nurhadi (ed.), Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2004), Cet. 1, hlm. 64.
13

adalah:20
- Bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang
berharga di mata pihak yang lain, entah pemberian itu berupa barang
atau jasa, dan bisa berbagai ragam bentuknya.
- Dengan pemberian ini, pihak penerima merasa mempunyai
kewajiban untuk membalasnya sehingga terjadi hubungan timbal
balik. Adanya unsur timbal balik yang membedakan dengan
hubungan yang bersifat pemaksaan (coercion) atau karena adanya
wewenang formal (formal authority).
- Adanya norma-norma yang mendukung dalam masyarakat yang
memungkinkan pihak yang lebih rendah kedudukannya (klien)
melakukan penawaran, artinya bila salah satu pihak merasa bahwa
pihak lain tidak memberi seperti apa yang diharapkannya, dia dapat
menarik diri dari hubungan tersebut tanpa terkena sanksi.
Adanya patronase di pondok pesantren yang dielaborasikan
dalam bentuk hubungan kiai (patron) dan santri atau umat (klien)
menarik untuk di bahas. Seperti halnya peran kiai dalam membina umat
sehingga memunculkan suatu ikatan yang solid dalam bentuk kepatuhan
para pengikutnya. Bentuk ta’dimnya adalah tunduk dan patuh mengikuti
apa yang diucapkan kyai. Kepatuhan itu diperluas lagi sehingga
mencakup penghormatan kepada ulama’ sebelumnya, dan ulama’ yang
mengarang kitab yang dipelajarinya.21 Melalui pesantrenlah seorang kiai
membangun pola patronase22 yang menghubungkannya dengan para

20
Anasom (ed.), op.cit, hlm. 151-152.
21
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999),
Cet. 3, hlm. 18. Kiai merupakan tokoh kunci yang menentukan corak kehidupan pesantren. Semua
warga pesantren tunduk kepada kiai. Mereka berusaha keras melaksanakan semua perintahnya dan
menjauhi semua larangannya, serta menjaga jangan sampai melakukan hal-hal yang sekiranya
tidak direstui kiai. Sebaliknya mereka selalu berusaha melakukan hal-hal yang sekiranya direstui
kiai. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 58.
22
Pola patronase ini dengan mudah dibangun karena kebanyakan pesantren dimiliki oleh
kiai. Pesantren juga menghubungkan para orang tua santri dengan para kiai di mana para orang tua
santri secara psikologis merasa berhutang budi kepada sang kiai dikarenakan anak-anak mereka
mendapatkan pendidikan gratis di pesantren. Endang Turmudi, op.cit, hlm. 31. Hal ini juga
dipengaruhi adanya Pertama, pola khas dan keberhasilan kepemimpinan kiai dalam perjalanan
panjang bangsa ini telah banyak dibuktikan oleh para peneliti sejarah, tetapi bagaimana kiai
14

santri dan juga masyarakat yang berada di luar desa atau kotanya
sendiri. Dengan gaya kepemimpinan kharismatik.23 kiai ini, setidaknya
terdapat dua pola hubungan yang unik antara kiai dan santri, yaitu:24
Pertama, pola hubungan otoriter-paternalistik. Yaitu pola
hubungan antara pimpinan dan bawahan atau dalam istilah James C.
Scott disebut patron-client relationship; dan tentunya sang kiailah yang
menjadi pemimpinnya. Sebagai bawahan, sudah barang tentu peran
partisipatif santri dan masyarakat tradisional pada umumnya sangat kecil
untuk mengatakan tidak ada, dan hal ini tidak bisa dipisahkan dari kadar
kekharismatikan kiai.
Seiring dengan itu, pola hubungan ini kemudian diperhadapkan
dengan pola hubungan diplomatik-partisipatif, artinya semakin kuat pola
hubungan yang satu semakin lemah yang lainnya.
Kedua, pola hubungan laissez faire. Yaitu pola hubungan kiai-
santri yang tidak didasarkan pada tatanan organisasi yang jelas.
Semuanya didasarkan pada restu kiai. Selama memperoleh restu dari
sang kiai, sebuah pekerjaan bisa dilaksanakan. Santri ikhlas
menjalankannya dan berharap mendapatkan barakah dari kiai. Pola
hubungan ini kemudian diperhadapkan dengan pola hubungan
birokratik.
Sebagai sebuah gaya kepemimpinan, sudah barang tentu

membina umat sehingga memunculkan suatu ikatan yang solid dalam bentuk kepatuhan
pengikutnya, hal ini belum banyak diketahui. Kedua, adanya satu anggapan yang menyatakan
bahwa hubungan patron-klien dalam banyak hal sering berlawanan dengan aturan resmi. Gejala ini
tidak hanya terjadi di pesantren, tetapi juga dalam organisasi modern seperti partai politik. Ketiga,
pemahaman terhadap gejala hubungan patron-klien di pondok pesantren akan memberikan
pemahaman terhadap pola khas kepemimpinan santri. Anasom (ed.), op. cit, hlm. 146.
23
Kharismatik adalah Gaya kepemimpinan yang bersandarkan pada kepercayaan atau
pandangan santri dan masyarakat tradisional sebagai jamaah bahwa sang kiai mempuyai
kekuasaan yang berasal dari Tuhan. Gaya kepemimpinan seorang kiai merupakan salah satu ciri
khas atau bahkan menjadi bagian, meminjam istilah Gus Dur, sebagai sub kultur sebuah
masyarakat tradisional (pesantren). Berbeda dengan kepemimpinan lainnya, kiai pesantren
seringkali menempati dan atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai
kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya. Amin Haedari, dkk,
Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global,
(Jakarta: IRD Press, 2004), Cet. 1, hlm. 59.
24
Ibid, hlm. 61.
15

terdapat kelebihan dan kelemahannya. Kesetiaan yang bersifat pribadi


sukar diterjemahkan menjadi kesetian kepada sebuah lembaga; ini
dibuktikan dengan banyaknya pesantren yang mengalami kemunduran,
bahkan kehancuran, setelah wafatnya pendiri pesantren itu.
Sebagai ciri subkulturil dari kehidupan di pesantren, sifat
kharismatik merupakan ciri utama penampilan kepemimpinan kiai.
Timbulnya sifat kharismatik itu bisa saja muncul karena
kemumpuniannya, atau kemampuan sang kiai, sehingga mengalahkan
yang lain di sekitarnya.25 Kepemimpinan kharismatik yang paternalistik
cenderung menunjukkan bobot rasa tanggung jawab kiai yang cukup
besar serta perhatian secara pribadi terhadap para pengikutnya.
Kelemahannya justru muncul pada saat gaya kepemimpinan ini terus
diadopsi secara berkelanjutan. Kelemahan-kelemahan tersebut tidak
adanya kepastian tentang perkembangan pesantren disebabkan segala
sesuatu bergantung pada keputusan kiai, yang terjadi adalah keraguan
dan bahkan ketidakberanian tenaga-tenaga kreatif yang ikut membantu
jalannya pendidikan untuk ikut berperan aktif dalam menyumbangkan
kreatifitasnya. Perilaku seperti itu akan berpengaruh pada santri, seperti
dalam pembentukan perilaku (akhlak), memahami nilai-nilai agama,
perkembangan daya kritis dan kreatifitas santri.
Hubungan kiai (pemimpin pesantren) dengan para santri
tampaknya tidak terbatas pada hubungan guru dan murid saja. Akan
tetapi, lebih kepada hubungan timbal balik di mana santri menganggap
kiainya sebagai bapaknya sendiri, sementara itu, kiai menganggap
santrinya sebagai titipan Tuhan yang senantiasa harus dilindungi
(hubungan antara orang tua dan anak).26
Dalam kasus hubungan ini, nilai pertukaran “ilmu” memang

25
Mas’udi, Mengenal Pemikiran Kitab Kuning, dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia
Pesantren, (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 46.
26
Sindu Galba, Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, (Jakarta: RINEKA CIPTA, 1995),
Cet. 2, hlm. 63.
16

akan selalu berada dalam ketidaksamaan dan ketidakseimbangan


tersebut. Hal ini didasarkan suatu norma yang banyak berlaku di
lingkungan pendidikan termasuk pesantren, bahwa sekali dia pernah
menjadi guru, maka kapanpun ia adalah tetap gurunya.

Setidaknya ada dua pola yang menyebabkan terjadinya


hubungan patronase kiai-santri di pondok pesantren adalah sebagai
berikut:27

a) Nilai pertukaran
Di atas telah dijelaskan bahwa penghormatan santri
terhadap kiai dikarenakan jasanya dalam memberikan ilmu
pengetahuan, khususnya agama. Kedudukan kiai lebih tinggi bukan
karena tingkat status ekonomi, melainkan keilmuan yang dipunyai.
Dalam hubungan kiai-santri ada nilai ketidakseimbangan,
yaitu jasa yang diberikan kiai terhadap santri tidak mungkin dibayar
lunas. Apalagi hal ini didasari oleh suatu norma dasar dalam agama
Islam yang itu diyakini kebenarannya di lingkungan pesantren, yakni
bahwa sekali seorang pernah menjadi guruya, maka selamanya ia
adalah gurunya. Itu sebabnya, menjaga sikap setia kepada gurunya
merupakan keharusan.

Mungkin arus pertukaran hubungan kiai-santri lebih mudah


diidentifikasi pada santri yang masih mukim. Para santri mukim28 ini
kesetiaan dan tawadzu’nya sedang dalam proses interaksi. Mereka
harus mengikuti perintah-perintah religius kiai secara cermat,
menjalani masa belajar, termasuk menjauhkan diri dari kesenengan
fisik (tirakat), melaksanakan apapun yang diperintahkan kiai dan taat
kepadanya.

b) Struktur lapisan

27
Anasom (ed.), op. cit, hlm. 72.
28
Santri mukim adalah murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan menetap dalam
kelompok pesantren. Zamakhsyari Dhofier, op. cit, hlm. 55.
17

Dengan ketidakseimbangan nilai pertukaran dalam ilmu


agama Islam. Maka setiap kiai adalah patron sekaligus klien dari
gurunya. Dalam sistem pendidikan pesantren ada mata rantai
intelektual/istilah Zamakhsyari “geneologi intelektual” sampai guru
pertama sesuai dengan bidang ilmunya.
Sarana para kiai yang paling utama dalam usaha
melestarikan tradisi pesantren ialah membangun solidaritas dan
kerjasama sekuat-kuatnya antar sesama mereka. Cara praktis yang
mereka tempuh adalah sebagai berikut:29
- Mengembangkan suatu tradisi bahwa keluarga yang terdekat
harus menjadi calon kuat pengganti kepemimpinan pesantren.
- Mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan endogenous
antara keluarga kiai.
- Mengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan rantai
transmisi intelektual antara sesama kiai dan keluarganya.
Hubungan kiai-santri, guru-murid juga melebar dan meluas
sampai kepada para ahli guru-gurunya. Sikap hormat seorang santri
juga akan diberikan kepada para anak dan cucu kiai selama mereka
masih menjaga kesinambungan kebaikan dan kebijaksanaan para
guru/kiai tersebut. Biasanya juga diikuti dengan panggilan
kehormatan untuk anak-anak kiai dengan sebutan “Gus”.30
Sebenarnya pola hubungan intelektual tersebut dalam
banyak hal juga akan menciptakan hubungan patron-klien antara
pesantren besar tempat menimba ilmu kiai dengan pesantren kecil.
Patronase antar pesantren ini juga banyak dipengaruhi oleh mata
rantai intelektual para gurunya.31 Sebagai satu contoh, para
mutakharrijin santri dari API Tegalrejo akan menambah ilmu ke
pondok pesantren al-Anwar sarang, Rembang sebelum mereka
terjun kemasyarakat atau melanjutkan studi ke Makkah, Madinah
29
Ibid, hlm. 61.
30
Nurcholish Madjid, op. cit, hlm. 24.
31
Anasom, (ed.), op.cit, hlm. 176.
18

atau pesantren lain.


Hubungan kiai santri di pondok pesantren sebagaimana
dijelaskan di atas, banyak berkaitan dengan masalah ilmu dan
pengetahuan agama Islam. Nilai pertukarannya adalah jasa, terutama
dari pihak patron. Arus pertukaran ini dipahami sebagai sesuatu
yang tidak mungkin dapat dibalas dengan apapun, karena guru
adalah seseorang yang telah berjasa dan harus dihormati.
Patron-klien di lingkungan pesantren tidak mengenal
putus, dalam arti putus atau tidak bukan karena unsur kesengajaan
untuk memutuskannya. Biasanya seorang klien yang sudah tidak
berada di lingkungan pesantren akan berkurang hubungannya
dengan kiai, tetapi bukan berarti memutuskan hubungan. Karena
mereka tetap beranggapan bahwa guru adalah selamanya akan
menjadi guru yang harus diingat jasanya dan dihormati. Dalam
hubungan kiai-santri mereka tidak melihat timbal balik apa yang
telah masing-masing berikan. Seorang kiai terikat dengan norma
agamanya, kewajiban mendidik santri. Apakah santri akan
memberikan balasan atau tidak bukan menjadi suatu perhitungan
dalam pendidikannya. Demikian juga seorang santri dengan
posisinya sebagai murid yang harus hormat kepada gurunya.

c. Elemen-elemen Pondok Pesantren


Pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kiai
merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren.32 Walaupun
demikian, pada saat sekarang dengan munculnya sistem pendidikan
model baru yang berkembang mulai abad 20 di Indonesia, banyak
pondok pesantren yang menambah model pendidikan menyesuaikan
dengan tuntutan zaman. Seperti, MI, MTs, MA, atau SD Islam, SMP
Islam, dan SMU Islam. Model pendidikan ini tidak mengubah sistem
pendidikan pesantren yang sejak dulu dikembangkan. Tetapi, justru

32
Zamakhsyari Dhofier, op. cit, hlm. 44.
19

semakin mengokohkan keberadaan pondok pesantren di lingkungan


masyarakat.

Namun demikian, sebuah pondok pesantren tidak bisa terlepas


dari lima unsur tersebut, yaitu:

a) Masjid
Elemen pertama yang sering menjadi perhatian utama para
kiai adalah masjid (atau mushola). Masjid merupakan unsur penting
dalam pesantren. semua kegiatan yang dilakukan para santri di
pondok pesantren sumbernya adalah masjid.33
Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi
pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem
pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain, kesinambungan
sistem pendidikan Islam yang berpusat di Masjid al-Qubba tetap
terpancar dalam sistem pesantren.
Upaya menjadikan masjid sebagai pusat pengkajian dan
pendidikan islam berdampak pada tiga hal.34
1) Mendidik anak agar tetap beribadah dan selalu mengingat
kepada Allah.
2) Menanamkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan dan
menumbuhkan rasa solidaritas sosial yang tinggi sehingga bisa
menyadarkan hak-hak dan kewajiban manusia.
3) Memberikan ketentraman, kedamaian, kemakmuran dan potensi-
potensi positif melalui pendidikan kesabaran, keberanian, dan
semangat dalam hidup beragama.
33
Secara etimologis, masjid berasal dari bahasa arab “sajada” yang berarti patuh, taat, serta
tunduk dengan penuh hormat dan ta’dzim. Sedangkan menurut terminologis, masjid merupakan
tempat aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. 2, hlm. 459. Semua kegiatan harus dijiwai oleh
semangat beribadah dan mencari ridla Allah. Jadi masjid sebagai markas pendidikan islam baik
dalam pengertian modern maupun tradisional, di sini santri dididik dalam kesehariannya agar
memegang teguh keutamaan, cinta kepada ilmu pengetahuan, mempunyai kesadaran sosial serta
menyadari akan hak dan kewajiban. Melalui masjid nilai-nilai luhur ditanamkan dan dibiasakan,
dengan harapan agar nilai-nilai agama itu menjadi bagian dari hidupnya dan tidak hanya menjadi
pengetahuan yang dimiliki. Abdul Munir Mulkhan, op.cit, hlm. 195.
34
Amin Haedari, dkk, Masa Depan…, op.cit, hlm. 34.
20

Besarnya perhatian para kiai terhadap pendirian masjid ini


sebenarnya memiliki beberapa alasan:35
- Motivasi Iman, bahwa masjid adalah rumah-rumah Allah di
bumi.
- Itba’ Rasul, yaitu mengikuti jejak Rasul pada saat hijrah.
Rasullah membangun masjid yang pertama kali.
- Masjid bagi umat Islam sebagai pusat kegiatan umat dan sebagai
pusat pendidikan umat.
b) Pondok
Pondok atau tempat tinggal para santri, merupakan ciri
khas tradisi pesantren yang membedakannya dengan sistem
pendidikan lainnya yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam
negara-negara lain.

Sebuah pesantren pada dasarnya sebuah asrama, di mana


para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan
seorang kiai. Asrama untuk para siswa (santri) tersebut berada dalam
kompleks pesantren tempat kiai tinggal yang juga menyediakan
masjid untuk beribadah. Banyak penamaan lain yang diberikan
masyarakat yang memiliki makna sama dengan pondok pesantren
seperti surau, dayah, atau cukup dengan pondok atau pesantren.36
Sebuah pesantren paling tidak terdiri dari rumah kiai, sebuah masjid,
dan asrama-asrama untuk para santri.37

Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus


38
menyediakan asrama bagi para santri.
1) Kemasyhuran seorang kiai dan kedalaman pengetahuannya
tentang Islam menarik santri dari jauh untuk menggali ilmu dari

35
Anasom (ed.), op. cit, hlm. 156-157.
36
Depag RI., Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta: Ditkapontren, 2003), hlm.
12-13.
37
Martin Van Bruinessen, NU; Tradisi, Relasi-relasi, Pencarian Wacana Baru,
(Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. 3, hlm. 19.
38
Zamakhsyari dhofier, op. cit, hlm. 46-47.
21

kiai tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan


menetap didekat kediaman kiai.
2) Hampir semua pesantren berada di desa-desa, dimana tidak
tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat
menampung santri-santri, dengan demikian perlu adanya asrama
khususnya bagi santri.
3) Adanya sikap timbak balik antara kiai dan santri, dimana para
santri menganggap kiai sebagai bapaknya sendiri sedangkan
kiai menganggap santrinya sebagai titipan Tuhan yang
senantiasa harus dilindungi. Sikap timbal balik tersebut
menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan
terus menerus. Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung
jawab dipihak kiai untuk dapat menyediakan tempat tinggal
bagi para santri. Di samping itu, dipihak santri tumbuh perasaan
pengabdian kepada kiainya. Sehingga kiai memperoleh imbalan
dari santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren
dan keluarga kiai.
Dalam perkembangannya setidaknya ada tiga karakteristik
pesantren yang berkembang di Indonesia, yaitu: 39
1) pondok pesantren yang masih tetap mempertahankan bentuk
aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh
ulama’ abad 15 dengan menggunakan bahasa arab dengan
menggunakan metode sorogan dan bandongan. Umumnya
pesantren semacam ini steril dari ilmu pengetahuan umum. Pola
ini disebut pondok salaf atau Tradisional.
2) pesantren yang mempertahankan sistem pendidikan dan
pengajaran sebuah pesantren, namun juga memasukkan
pendidikan umum, seperti SMP, SMA, SMEA, atau
memasukkan sistem Madrasah ke pondok pesantren. Pola ini
disebut pondok pesantren komprehensif, artinya di dalamnya

39
Abdul Halim, (ed.), op. cit, hlm, 67.
22

diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan


metode sorogan, bandongan dan wetonan, namun secara reguler
sistem madrasah terus dikembangkan.
3) pesantren yang mengintegrasikan sistem madrasah ke dalam
pesantren dengan sepenuh jiwa, nilai, dan atribut-atribut lainya.
Pola ini disebut pondok modern. Penerapan sistem belajar
modern ini nampak pada penggunaan kelas-kelas belajar baik
dalam bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum yang
dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku
secara nasional.

c) Kiai
Kata kiai dalam bahasa jawa dapat dipakai untuk tiga jenis
gelar yang saling berbeda:40 Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi
barang-barang yang dianggap keramat. Kedua, gelar kehormatan
untuk orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, gelar yang diberikan
oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki
atau yang menjadi pimpinan pesantren dan mengajarkan kitab-kitab
Islam klasik kepada para santrinya.
Sebagai pengasuh pondok pesantren, pemimpin
masyarakat, Ulama’, serta penentu langkah pergerakan pesantren,41
peran kiai sering kali universal, tidak hanya dalam bidang
keagamaan. Walaupun keberadaannya kebanyakan di pedesaan,
peran kiai kadangkala menjangkau batas-batas Desa, Kota, Propinsi,
bahkan berperan secara Nasional. Mereka juga sering disebut kaum
putihan, karena lebih suka mengenakan pakaian dan peci berwarna

40
Zamakhsyari Dhofier, op. cit, hlm. 55.
41
Jamaluddin Malik (ed.), op.cit, hlm. 7
23

putih.42 The Ulama’ also had direct influences among their


community and their influences would be able to reach many rural
areas.43

Kiai merupakan satu-satunya pemegang hirarki kekuasaan


yang diakui.44 Meskipun begitu, tidak berarti seorang kiai dapat
berbuat semaunya secara otoriter, melainkan sikap tersebut
didasarkan atas kewibawaan moral. Kedudukan kiai bukan hanya
sebagai penguasa saja, melainkan pembimbing bagi para santrinya
dalam berbagai hal, dan dituntut pula berperan sebagai peneliti,
penyaring, dan asimilator aspek-aspek kebudayaan dari luar yang
memasuki pesantren, sehingga moral santri dan kehidupan pesantren
tetap berjalan sesuai dengan norma-norma dalam ajaran Islam.

Kiai melakukan tugasnya bukan hanya sebagai guru, tetapi


juga sebagai :45
a) Instrumental leader, who will organize and direct the group,
keeping in mind its goals and objectives and is responsible for
formulating the means that will be used to reach these ends.
b) Expressive leader, who tends to create feelingof good will and
harmony within the group: morale is usually maintained at a high
level, and internal disruption is held to a minimum.
d) Santri
Santri46 adalah para murid yang belajar pengetahuan

42
Martin van Bruinessen, op. cit, hlm. 20.
43
Faisal Ismail, Islamic Tradisionalism in Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan, 2003), hlm. 30-31.
44
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren; Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), Cet. I, hlm. 68.
45
Cohen, B. J., Theory and Problem of Introduction to Sociology, MC. Graw Will, Inc.,
New York, hlm. 43.
46
Menurut Prof. Johns, istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji.
Sedang menurut C.C Berg bahwa kata tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India
berarti orang yang tahu buku-buku suci, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata
shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku
tentang ilmu pengetahun. Zamakhsyari Dhofier, op. cit, hlm. 55. Ada pendapat yang mengatakan
kata santri berasal dari bahasa jawa yaitu cantrik, artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang
guru ke mana guru ini pergi menetap. Hubungan “guru-cantrik” tersebut kemudian diteruskan
dalam masa Islam menjadi “guru-santri”. Nurcholis Madjid, op. cit, hlm. 20.
24

keislaman dari kiai.47 Ada juga yang mengartikan santri sebagai


orang yang sedang dan pernah mengenyam pendidikan agama di
pondok pesantren, menggali informasi ilmu-ilmu agama dari
seorang kiai (pengasuh) selama berada di asrama atau pondok.48
Clifford Greetz menjelaskan dalam bukunya The Religion of Java:49
Santri has a board and a narrow meaning. In the narrow sense it
means “a student in a religious school called a pondok or
pesantren”, the latter name being constructed on santri as a root
and so meaning literally “a place for santri”. In the board and
more common sense of the term santri refers to a member of that
part of the Javanese population who take the Islam seriously
who pray, go to mosque on friday and so on.
Ada 2 (dua) jenis santri yang belajar di pesantren, yaitu:50
1) Santri mukim, adalah murid-murid yang berasal dari daerah jauh
dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang
paling lama biasanya memegang peranan dan tanggung jawab
mengurusi kepentingaan pesantren sehari-hari. Mereka juga
mengabdi dengan mengajar santri-santri muda tentunya dengan
seijin kiai. Bagi santri mukim selalu ada aturan-aturan yang
sangat ketat, yang tidak memungkinkan seorang santri berbuat
semaunya.
2) Santri kalong, adalah murid-murid yang berasal dari desa-desa
di keliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam
pesantren. Mereka bolak balik (nglajo), dari rumahnya sendiri.
Para santri kalong berangkat ke pesantren ketika ada tugas
belajar dan aktifitas pesantren lainnya. Apabila pesantren
memiliki lebih banyak santri mukim dari pada santri kalong,
maka pesantren tersebut adalah pesantren besar.
Seorang santri lebih memilih menetap di pesantren karena

47
Endang Turmudi, op. cit, hlm. 35.
48
Sa’id Aqiel Siradj, et. al., op. cit, hlm. 130.
49
Clifford Greetz, The Religion of Java, (Chicago and London: The Univercity of Chicago
Press, 1976), hlm. 178.
50
Zamakhsyari Dhofier, loc.cit, hlm. 52-53.
25

ada tiga alasan, yaitu:51


- Berkeinginan mempelajari kitab-kitab lain yang membahas
Islam secara mendalam langsung di bawah bimbingan seorang
kiai yang memimpin pesantren tersebut.
- Berkeinginan memperoleh pengalaman kehidupan pesantren,
baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun
hubungan dengan pesantren-pesantren lainnya.
- Berkeinginan memusatkan perhatian pada studi di pesantren
tanpa harus disibukkan dengan kewajiban sehari-hari dirumah.
Selain itu, dengan menetap di pesantren yang letaknya jauh dari
rumah, sehingga para santri tidak akan tergoda untuk pulang
balik, meskipun sebenarnya sangat menginginkannya.
Selain dua istilah santri di atas, ada juga istilah santri
kelana52 dalam dunia pesantren. Yaitu santri yang selalu berpindah-
pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, hanya untuk
memperdalam ilmu agama. Santri kelana ini akan selalu berambisi
untuk memiliki ilmu dan keahlian tertentu dari kiai yang dijadikan
tempat belajar atau dijadikan gurunya.
e) Pengajaran Kitab-Kitab Klasik
Elemen yang terakhir adalah pengajaran kitab-kitab klasik.
Sebutan lain dari kitab-kitab klasik adalah kitab kuning.53 Tidak
diketahui siapa yang pertama kali memberi nama dengan kitab
kuning, namun zaman dahulu kitab-kitab tersebut dicetak dengan
menggunakan kertas kuning tidak berharakat alias gundul.54

51
Amin Haedari (ed.), op. cit, hlm. 36.
52
Ibid, hlm. 37
53
Kitab kuning ini ditulis dengan menggunakan tulisan arab, walaupun tidak selalu
menggunakan bahasa arab. Biasanya kitab itu tidak dilengkapi dengan harakat. Karena ditulis
tanpa harakat (syakl), kitab kuning ini kemudian dikenal dengan kitab gundul. Di dalamnya
terkandung matn (teks asal) yang kemudian dilengkapi dengan komentar (syarah) atau juga
catatan pinggir (hasyiyah). Biasanya, penjilidannya pun tidak maksimal, bahkan sengaja diformat
secara korasan sehingga mempermudah dan memungkinkan pembaca untuk membawanya sesuai
dengan bagian yang dibutuhkan. Untuk bisa membacanya seorang santri harus menguasai dulu
ilmu alat yaitu nahwu dan sharaf. Amin Haedari, dkk, op. cit, hlm. 149.
54
Anasom (ed.), op.cit, hlm. 167.
26

Model utama sistem pengajaran kitab-kitab klasik pondok


pesantren diantaranya adalah:55

1) Sistem bandongan (penggabungan sistem sorogan dan


wetonan).

Dalam sistem ini sekelompok santri/murid


mendengarkan seorang guru yang membaca, menterjemahkan,
menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam
bahasa arab. Setiap santri membuat catatan-catatan (baik arti
maupun keterangan) dalam kitab tersebut. Seorang santri tidak
harus menunjukkan bahwa ia mengerti pelajaran yang sedang
dihadapi.56

2) Sistem sorogan.
Sistem pengajaran ini dilaksanakan dengan jalan santri
yang biasanya pandai menyorongkan sebuah kitab kepada kiai
untuk dibaca dihadapan kiai. Jika ada kesalahan dalam membaca
langsung dihadapi kiai dan dibenarkan. Sistem ini menuntut
kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin dari pribadi para
santri. sistem ini merupakan tahap pertama bagi seorang santri
bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan
seorang guru mengawasi, menilai, dan membimbing secara
maksimal kemampuan santri dalam menguasai bahasa Arab.
Karena pada dasarnya hanya murid-murid (santri) yang telah
menguasai sistem sorogan sajalah yang dapat memetik
keuntungan dari sistem bandongan di pesantren.
Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di
pesantren dapat digolongkan ke dalam delapan kelompok
yaitu,57 1) Nahwu (sintaksis) dan sharaf (morfologi; 2) fiqh; 3)

55
Zamakhsyari dhofier, op.cit, hlm. 28-29.
56
Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Prasasti, 2003), Cet.
3, hlm. 30.
57
Zamakhsyari dhofier, op.cit, hlm. 50-51.
27

ushul fiqh; 4) hadits; 5) tafsir: 6) tauhid; 7) tasawuf dan etika; 8)


cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab
tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang
terdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqh, ushul
fiqh dan tasawuf. Kesemuanya itu dapat digolongkan kedalam
tiga kelompok yaitu, kitab-kitab dasar, kitab-kitab menengah
dan kitab-kitab besar.
Secara umum kitab yang diajarkan di pondok
pesantren baik di Jawa maupun di daerah lain seperti Madura,
Minangkabau, adalah sama jenisnya. Kitab-kitab fiqh seperti
Sullam al-Taufiq, Fath al-Qarib dan Safinatun Najah atau sering
disebut Sullam Safinah. Kesamaan kitab yang diajarkan dan
pengajaran tersebut menghasilkan homogenitas pandangan
hidup, kultural dan praktek-praktek keagamaan di kalangan
santri di seluruh jawa dan madura khususnya.
Agar bisa menterjemahkan dan memberikan
pandangan tentang isi dan makna dari teks kitab tersebut,
seorang kiai ataupun santri harus menguasai tata bahasa arab
(balaghah), literatur dan cabang-cabang ilmu pengetahuan
agama islam lain.
Meskipun kebanyakan pesantren telah memasukkan
pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian penting
dalam pendidikan pesantren. Namun pengajaran kitab-kitab
klasik tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan
utama pesantren mendidik calon-calon ulama’ yang setia kepada
faham tradisional.
d. Ciri-Ciri Pendidikan Pesantren
Dalam sebuah lembaga pendidikan Islam, tentunya mempunyai
ciri khas/karakteristik yang berbeda-beda. Ciri-ciri pendidikan pondok
28

pesantren meliputi: 58
a) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya. Kiai
sangat memperhatikan santrinya. Hal ini dimungkinkan karena
mereka sama-sama tinggal dalam satu kompleks dan sering bertemu
baik disaat belajar maupun dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan
sebagian santri diminta menjadi assisten kiai (khadam).
b) Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa
menentang kiai, selain tidak sopan juga dilarang agama, bahkan tidak
memperoleh berkah karena durhaka kepadanya sebagai guru.
c) Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam
lingkungan pesantren. Hidup mewah hampir tidak dapat ditemukan
di pesantren. Bahkan kebanyakan santri yang hidupnya terlalu
sederhana atau terlalu hemat sehingga kurang memperhatikan gizi.
d) Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian
sendiri, membersihkan kamar tidur, dan memasak sendiri.
e) Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (ukhuwah
Islamiyah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren.
f) Disiplin sangat diajurkan. Biasanya dalam memberikan sanksi-sanksi
bersifat edukatif.
g) Keprihatinan untuk mencapai kemuliaan.
h) Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar rantai
pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri-santriyang
berprestasi. Ini menandakan perkenaan atau restu kiai kepada murid
atau santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab setelah dikuasai
penuh.

2. Daya Kritis

a. Pengertian Daya Kritis


Daya adalah kemampuan, kekuatan, upaya (kemampuan untuk

58
M. Sulthon Masyhud dan Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva
Pustaka, 2003), Cet. I, hlm. 93. Dalam bahri ghazali, Pesantren…., op.cit, hlm. 34.
29

melakukan usaha). Sedangkan kritis adalah genting, gawat, akut,


tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi/memberikan penilaian, secara
mendalam tanggap dan mampu melontarkan kritik-kritik.59 Menurut
Kant, kritis artinya menentukan, menentukan eksistensi manusia dan
kemanusiaan.60
Jadi, daya kritis adalah kemampuan untuk teliti dalam
menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam dan mampu
melontarkan pendapat-pendapat/ide-ide.
Daya kritis merupakan jalan bagi manusia untuk mengatasi
berbagai keterbatasannya melihat kembali jejak ilmu yang tekah dan
baru dilakukan.61 Mengabaikan sikap kritis akan mendorong
ideologisasi ilmu yang menutup semua kemungkinan yang terbuka luas
sepanjang sejarah, jauh di luar batas keluasan dunia yang mungkin
dikenali dan melahirkan berbagai persoalan kemanusiaan yang serius.

Metode kritis bisa bermula dari asumsi bahwa kemajuan


pengetahuan membutuhkan pelampauan kebiasaan berfikir dan persepsi
klasik dan telah berurat akar, kebiasaan yang menurut prinsip inertia
(keengganan untuk berubah) baik yang bersifat fisik maupun sosial,
memiliki kecenderungan untuk merespon dari berbagai perubahan,
dengan gaya pembelaan dan bahkan dengan pembelaan yang
kekuataanya seimbang dengan keutuhan dan komprehensifitas inovasi
tersebut.62 Dengan adanya ilmu yang berperan sebagai wilayah
kehidupan manusia dimana prinsip pengujian kritis sampai sekarang
paling banyak diterapkan secara konsisten pada tingkat praktis. Maka

59
Pius Partanto dan Dahlan al-Barry, Kamus populer, (Surabaya: ARKULA, 1994), hlm.
94. Kritis (criticize) dalam kamusnya Hassan Shadily dan John M. Echols berarti, pertama
mencela, kedua mengecam dan mengupas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti, pertama
tidak lekas percaya, kedua bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan dan kekeliruan serta
tajam dalam penganalisaan.
60
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Rosdakarya, 1994), Cet. 4, hlm. 151.
61
Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: global pustaka utama, 2001), Cet.
1, hlm. 21.
62
Hans Albert, Risalah Pemikiran Kritis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Cet. 1, hlm.
68.
30

teori kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan,


merefleksikan, mengkategorikan, dan menata, melainkan ia juga mau
mengubah.63

b. Filsafat Kritis
Kritis dalam ilmu filsafat64 adalah tidak pernah puas diri, tidak
pernah membiarkan sesuatu sebagai sudah selesai, tidak pernah
memotong perbincangan, selalu bersedia, bahkan senang untuk
membuka kembali perdebatan.
Horkheimer dan Adorno65 dalam mengembangkan teori kritis
menginginkan adanya penciptaan kesadaran yang kritis. Pada
hakikatnya teori kritis mau menjadi aufklarung atau pencerahan.
Aufklarung artinya mau membuat corak, menyingkap segala tabir yang
menutup kenyataan yang tak manusiawi terhadap kesadaran kita.
Kemudian munculah seorang filosof jerman yang bernama Immanuel
Kant66 mencoba menyelesaikan konflik tersebut, pertentangan antara

63
Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), Cet. 1,
hlm.162.
64
Filsafat adalah “induk ilmu pengetahuan”. Istilah filsafat sudah dikenal sejak 2000 tahun
lebih yang lalu, pada masa Yunani kuno. Kata filsafat berasal dari kata arab yang berhubungan
rapat dengan kata Yunani, yaitu Philosophia. Dalam bahasa yunani, kata philosophia merupakan
kata majemuk dari kata philo dan shopia. Philo berarti cinta, dan Shopia berarti kearifan atau
kebajikan yang artinya pandai, pengertian yang mendalam. Jadi secara sederhana, filsafat adalah
keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk
menjadi bijak.menurut Aristoteles, filsafat adalah pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang
tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika ekonomi, politik, dan estetik.Plato berpendapat
bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli. Sedangkan al-farabi
mengartikan filsafat sebagai pengetahuan tentang alam ujud bagaimana hakikat sebenarnya. Dan
masih banyak tokoh-tokoh yang memberikan definisi tentang filsafat. Asmoro Ahmadi, Filsafat
Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Peersada, 2001), Cet. 4, hlm. 1
65
Adalah dua dari beberapa tokoh teori kritis generasi pertama yang dikembangkan oleh
frankfurt Institute For Social Science mulai tahun 1930. Tokoh-tokoh lainnya seperti Marcus dan
Erich Fromm. Sedangkan tokoh-tokoh yang teori kritis generasi kedua adalah Juergen Habermas,
Peter Berger, Thomas Luckmann, dan Immanuel Wallersteein. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu,
Positivisme, Postpositivisme, dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), Cet. 1, hlm.
109.
66
Kant lahir di Konigsberg di prusia (sekarang kaliningrad di rusia) tahun 1724. Ia belajar
kurang lebih semua mata pelajaran, dan menjadi dosaen untuk ilmu pasti, ilmu alam, hukum,
teologi, filsafat, dan masih banyak bidang lainnya. Filsafat yang dipelajarinya adalah filsafat
leibniz dan wolff yang sangat rasionalisti, dogmatis, dan spekulatif. Tetapi kant menolak jenis
berfikir seperti ini. Dia memulai filsafat kritis yang tidak mau melewati batas-batas kemungkinan
dan pemikiran manusia dan ilmu tentang batas-batas pemikiran manusia. Dalam metafisika kant,
filsafat zaman modern memuncak. Rasionalisme dan empirisme sekarang dipersatukan dan di atasi
31

rasionalisme dan empirisme. Baru setelah Kant mengadakan


penyelidikan (kritik) terhadap peran pengetahuan akal, setelah itu
manusia terasa bebas dari otoritas yang datangnya dari luar manusia
demi kemajuan dan peradaban manusia.
Pada akhirnya Kant pun turut mengakui peranan akal dan
keniscayaan empirik, dan ia mengadakan sintesis dari keduaya.
Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal (rasionalsme),
tetapi adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Ibarat burung
terbang harus mempunyai sayap (rasio) dan udara (empiri). Jadi metode
berfikirnya disebut kritis. Ia mendasarkan diri pada nilai yang tinggi dari
akal, tetapi tidak mengingkari adanya persoalan-persoalan yang
melampui akal. Sehingga akal mengenal batas-batasnya. Karena itu,
aspek irrasionalitas dari kehidupan dapat diterima kenyataannya.
Dalam teori kritis, sikap dan perilaku seseorang akan
mengubah makna konteks selanjutnya. Dilihat dari sisi filsafat ilmu,
teori kritis sudah bersifat aktif mencipta makna, bukan sekedar pasif
menerima makna atas perannya seperti pada teori konflik.67 Maka, ciri
khas teori kritis ialah bahwa yang dikritik itu bukanlah kekurang-
kekurang di sana sini, melainkan keseluruhannya.
Teori kritis membuka irasionalitas dalam pengandaian-
pengandaian sistem yang ada. Membuka bahwa sebenarnya produksi
tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia, malainkan kebutuhan
manusia diciptakan, dimanifestasikan demi produksi.
Model rasionalitas dalam sudut pandang kritis
68
menggambarkan suatu way of life , suatu praktek sosial, dan oleh

dalam suatu sintesis-sintesis yang merupakan titik pangkal suatu periode baru yang disebut
“idealisme”. Ia meninggal dunia tahun 1804. Harry Hemersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat
Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), Cet. 5, hlm. 26-27.
67
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu…, op.cit, hlm. 110. Dari sisi filsafat ilmu, teori konflik
termasuk positivisme modern yang menggunakan berpikir instrumental; sedangkan teori kritis
termasuk postpositivisme yang landasan filsafatnya mungkin phenomenologik, dan sebagian lain
realisme metaphisik. Perubahan peran akal akan mengubah perilaku seseorang, demikian juga teori
konflik.
68
Hans Albert, Risalah Pemikiran…, op.cit, hlm. 68.
32

karena itu memiliki nilai penting etis, bahkan politis. Ini tidak melebih-
lebihkan, bahkan identifikasi atas relasi yang sederhana dan mudah
dipahami, ketika orang menunjukkan bahwa prinsip pengujian kritis
mengukuhkan, di antara yang lain, hubungan antara logika dan politik.

Metodologi ilmu dapat memberikan kontribusi berupa sudut


pandang untuk menilai suatu praktek ilmiah, dan oleh karena itu bisa
memasukkan praktek yang meningkatkan kemajuan pengetahuan
manusia dengan membuka kemungkinan dilakukannya revisi atas
pandangan-pandangan yang keliru. Kesadaran atas posisi ilmu itulah
yang mendorong filsuf menyatakan bahwa dasar etik ilmu ialah sikap
kritis, arif dan bijaksana.69 Sikap kritis dan mekanisme dialogis
dianggap paling memungkinkan manusia keluar dari keterbatasannya
melihat realitas dan meninjau kembali jejak ilmu yang telah dan baru
dilakukan. Sikap tertutup akan melahirkan berbagai persoalan
kemanusiaan dalam peradaban modern.

c. Sikap Kritis
Sikap kritis adalah kearifan, kebijaksanaan dan kerendahan
hati ilmiah yang akan membuka kesadaran intelektual.70 Sebaliknya
seseorang yang mengabaikan sikap kritis dalam kehidupannya akan
mendorong tumbuhnya ideologisasi ilmu yang menutup kemungkinan
lain yang terbuka luas jauh di luar batas keluasan dunia yang mungkin
dikenali. Karena ilmu yang diperoleh siapa pun tak lebih dari sekedar
titik henti perjalanan ilmiah tanpa tepi.

Pada dasarnya jiwa manusia merupakan organ yang aktif. Jiwa


yang dimaksud adalah struktur jiwa yang inheren, secara aktif
mengkoordinasi sensasi-sensasi yang masuk, yang tadinya kacau,
menjadi suatu pemikiran yang tersusun. Pemikiraan yang tidak dilandasi
dengan adanya ketaatan kepada suatu postulat, dikoordinasikan untuk

69
Abdul Munir Mulkhan, dkk, Rekonstruksi Pendidikan…, op.cit, hlm. 43.
70
Ibid.
33

melindungi keyakinan dan membakukan pengetahuan pada tahap


dimana ia baru diperoleh, melainkan bertujuan untuk melampui kondisi
pengetahuan saat ini dan merevisi keyakinan-keyakinan yang telah
mapan. Ini bukan justifikasi atas “fakta” melalui penemuan landasan
yang kokoh yang diupayakan dengan keras, tetapi lebih untuk
menolaknya melalui penemuan kontradiksi-kontradiksi.71

d. Fungsi Akal dalam Islam


Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata
Arab al-‘aql, yang artinya paham dan mengerti.72 Akal juga diartikan
kecerdasan, hati (al-qalb), yaitu suatu kekuatan yang membedakan
manusia dari semua jenis hewan.73 Selain itu, di dalam al-Qur’an
terkadang kata akal diidetikkan dengan kata lub jamaknya al-albab.
Sehingga kata Ulu al-bab dapat diartikan orang-orang yang berakal. Hal
ini misalnya dapat dijumpai pada ayat yang berbunyi:74


71
Hans Albert, op. cit, hlm. 72-73
72
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan; Tafsir al-Ayat al-Tarbawiy, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), Cet. 1, hlm. 130. Kata al-‘aql yang dalam bentuk kata benda, berlainan
dengan kata al-wahy, tidak terdapat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an sebagaimana dikatakan Harun
Nasution hanya membawa bentuk kata kerjanya aqaluh dalam 1 ayat, ta’qiluun, 24 ayat, na’qil, 1
ayat, ya’qiluha, 1 ayat, dan ya’qiluun, 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti paham dan
mengerti. Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat-ayat (Q.S. al-Baqarah, 2:75 dan 242; al-Hajj,
22:46; al-Mulk, 57:10, dan al-Ankabut, 29:43. Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam,
(Jakarta: UI Pres, 1986), Cet. 2, hlm. 5.
73
Abdul ‘al-Salim Mukrim, Pemikiran Islam Antara Akal dan Wahyu, (Jakarta:
Mediyatama Sarana Perkasa, 1988), Cet. 1, hlm. 3.
74
Muhammad Noor, et. al., Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1996), hlm. 59.
34

-190 ‫}ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬ ⌧


{191
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda baagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, maha suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali-‘Imran 190-191).

Pada ayat tersebut jelas bahwa orang yang berakal (ulul al-
bab) adalah orang yang melakukan dua hal yaitu tadzakkur yakni
mengingat (Allah), dan tafakkur, memikirkan (ciptaan Allah).
Dengan melakukan dua hal tersebut, ia sampai pada hikmah
yang berada dibalik proses mengingat (tadzakkur) dan berfikir
(tafakkur), yaitu mengetahui, memahami dan menghayati bahwa dibalik
fenomena alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya menunjukkan
adanya sang pencipta, Allah SWT.Di dalam al-Qur’an juga dijumpai
kata tadzakkara (memperhatikan, mempelajari), mudzakkarah (bertukar
pikiran), dan tadabbara yang juga mengandung arti berpikir.75
Muhammad abduh mengatakan dengan merenungkan penciptaan langit
dan bumi, pergantian siang dan malam akan membawa manusia
menyaksikan ke-Esaan Allah, yaitu adanya aturan yang dibuat-Nya serta
karunia dan berbagai manfaat yang terdapat di dalamnya. hal ini
memperlihatkan kepada fungsi akal sebagai alat untuk mengingat dan
berpikir.76
Dalam pemahaman profesor Izutzu, sebagaimana dikutip
Harun Nasution, bahwa kata “aql di zaman jahiliyah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (praktical intellegence) yang dalam istilah psikologi
modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving

75
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998), Cet.
5, hlm. 55.
76
Abuddin Nata, op. cit, hlm. 132.
35

capacity). Orang berakal menurut pendapatnya adalah orang yang


mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia
dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari
bahaya yang ia hadapi.77 Orang yang berakal akan memiliki
kesanggupan untuk mengelola dirinya dengan baik, agar ia selalu
terpelihara dari mengikut hawa nafsu, berbuat sesuatu yang dapat
memecahkan dan memberi kemudahan bagi orang lain, dan orang yang
tajam perasaan batinnya untuk merasakan sesuatu dibalik masalah yang
dipikirkannya. Dalam kaitan inilah, maka di dalam al-Qur’an,
sebagaimana dijelaskan pada ayat 45 Surat al-Hajj, bahwa pengertian,
pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusat di
dada.78
Ibnu Rusyd membagi akal manusia menjadi tiga macam,
yaitu:79
1) Akal demonstratif (burhani) yang mampu memahami dalil-dalil
yang meyakinkan dan tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan
penting, dan melahirkan filsafat. Akal ini hanya diberikan kepada
sedikit orang saja.
2) Akal logik (manthiqi) yang sekedar memahami fakta-fakta
argumentatif.
3) Akal retorik (khithabi) yang hanya mampu menangkap hal-hal yang
bersifat nasehat dan retorik, tidak dipersiapkan untuk memahami
aturan berpikir sistematik. Di bawah ketiga akal itu, ialah akal yang
bisa disaksikan pada orang biasa dan kebanyakan.
Dengan kata lain, ketika akal melakukan fungsinya sebagai
alat untuk memahami apa yang tersirat dibalik yang tersurat, dan dari
padanya ia menemukan rahasia kekuasaan Tuhan, lalu ia tunduk dan

77
Harun Nasution, op. cit, hlm. 7
78
Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di permukaan bumi dan mereka mempunyai
kalbu untuk memahami atau telinga umtuk mendengar; sesungguhnya bukanlah mata yang buta,
tetapi kalbu di dalam dada yang buta. (Q.S. al-Hajj, 22: 46).
79
Abdul ‘al-Salim Mukrim, op. cit, hlm. 4.
36

patuh kepada Allah, maka pada saat itulah akal dinamai pula al-qalb.
Akal dalam pengertian yang demikian itu dapat dijumpai dalam ayat,
yaitu:80


⌧ ☺


{18 :‫}ﺍﻟﻜﻬﻒ‬
“Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur, dan kami
balik-balikkan mereka ke kanan ke kiri, sedang anjing mereka
mengulurkan kedua lengannya ke muka pintu gua. Dan jika kamu
menyaksikan mereka tentulah kami akan berpaling dari mereka dengan
melarikan (diri) dan tentulah (hati kamu akan dipenuhi dengan
ketakutan terhadap mereka)”. (Q.S al-Kahfi: 18).

Akal dalam pengertian yang demikian itulah yang kini disebut


dengan istilah kecerdasan emosional, yaitu suatu kemampuan mengelola
diri agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.
Dalam ajaran Islam, al-Qur’an dan Hadits sama-sama
memberikan kedudukan yang tinggi kepada akal dan sama-sama
memerintahkan mencari ilmu.81 Mencari ilmu bukan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga
dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri, dan bukan
untuk masa terbatas saja, tetapi untuk seumur hidup. Pemakaian akal
dalam Islam diperintahkan oleh al-Qur’an. Karena al-Qur’an itu sendiri
dapat dipahami, dihayati dan dipraktekkan oleh orang-orang yang
berakal. Pemahaman yang keliru terhadap akal sebagaimana pernah
terjadi dalam sejarah dapat menyebabkan terjadinya kekeliruan pula

80
Muhammad Noor, et. al., op. cit, hlm. 236.
81
Harun Nasution, Islam Rasional…,op.cit, hlm. 56.
37

dalam merumuskan sebuah tujuan. Dengan demikian pemahaman yang


tepat terhadap fungsi dan peran akal ini amat penting dilakukan, dan
dijadikan pertimbangan dalam merumuskan suatu permasalahan.
3. Pengaruh sikap santri kepada kiai dipondok pesantren terhadap Daya
Kritis kepada kiai.
Sikap dan perilaku kiai-santri di pondok pesantren merupakan
sebuah tradisi yang turun temurun sejak lembaga pendidikan Islam ini
muncul. Dampak yang terjadi dari sebuah hubungan yang terjalin antara
kiai dan para santri tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan
dan kepribadian santri, seperti dalam memanamkan nilai-nilai agama,
akhlak, kreatifitas dan daya pikir santri, serta menguasai pengetahuan
agama yang luas.
Kepribadian dan sikap ikhlas santri pada diri kiai merupakan
syarat mutlak bagi para santri. Ini karena pada hakikatnya santri adalah
orang yang menyerahkan diri pada kiai untuk dididik menjadi muslim
yang baik. Ia harus menjalani segala peraturan di pesantren dengan
penuh kerelaan dan kesadaran (ikhlas). Sehingga ia dapat memperoleh
barakah atau keberhasilan dalam menuntut ilmu.82
Santri akan selalu memandang kiai atau gurunya sebagai orang
yang mutlak harus dihormati dan dimuliakan, malahan kadang dianggap
memiliki kekuatan ghaib yang bisa membawa keberuntungan (berkah)
atau celaka83 (mendatangkan madarat). Kecelakaan yang paling ditakuti
oleh seorang santri dari kiainya adalah kalau sampai dia disumpahi
sehingga ilmunya tidak bermanfaat. Karena itu, santri berusaha untuk
menunjukkan ketaatannya kepada kiai agar ilmunya bermanfaat,84 dan
sejauh mungkin menghindarkan diri dari sikap-sikap yang bisa
mengundang kutukan dari kiai tersebut.

82
Wahjoetomo, op.cit, hlm. 69.
83
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
PARAMADINA, 1997), Cet. 1, hlm. 23.
84
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), Cet. 1, hlm. 152-153.
38

Problem yang terjadi adanya sikap santri kepada kiai adalah


seorang kiai benar-benar menjadi figur, panutan, penguasa dalam pondok
pesantren. Dengan kekuasaannya tersebut kiai menjalankan
kepemimpinannya dalam dunia pesantren. Santri akan selalu patuh dan
tunduk terhadap semua perintah dan kebijakan yang dibuat dan diputuskan
oleh kiai. Dengan kepatuhanya, terkadang dan bahkan santri bingung
menentukan sikapnya dalam kehidupan di pesantren. seorang santri tidak
bebas berpendapat dan memunculkan ide-idenya. Memang dalam banyak
hal hubungan tersebut sangat bermanfaat bagi santri seperti yang
diungkapkan di atas, tetapi untuk masalah kreatifitas dan daya kritis
menjadi nomor dua setelah kiai. Apapun itu jika kiai tidak sependapat,
maka tidak akan terlaksana, kecuali kiai yang benar-benar memahami
seorang santri.

B. Kajian Penelitian yang Relevan


Berdasarkan penulusuran penulis, belum ada penelitian tentang
”Patronase Kiai-Santri di Pondok Pesantren dan Pengaruhnya Terhadap
Daya Kritis Santri”, meskipun banyak ditemukan penelitian yang
berhubungan dengan pesantren. Telaah pustaka ini penulis peroleh dari buku-
buku yang membahas seputar pesantren dan juga penelitian-penelitian yang
ada hubungannya dengan kajian ini. Adapun kajian pustaka dalam penelitian
ini adalah:
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan
Hidup Kiai, 1994. Pesantren menurut Zamakhsyari Dhofier, di samping
mampu mempertahankan warisan-warisan lama yang dianggap baik,
pesantren juga mampu mengembangkan dan menyesuaikan diri sesuai dengan
kebutuhan kehidupan modern.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, 1994. Berisi
tentang bagaimana sistem pendidikan di pesantren, gambaran umum
pesantren, dan gambaran khusus pesantren. buku ini juga meneliti pesantren
39

yang berafiliasi dengan Ormas NU saja, tetapi juga pesantren yang berafiliasi
dan didirikan oleh Ormas Muhammadiyah.
Anasom, Patronase di Pondok Pesantren”. Dalam bukunya
Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, karangan Anasom dkk. Buku ini
membahas tentang bagaimana patronase terjalin di pondok pesantren, dan
latar belakangnya. Buku inilah yang menjadi pijakan utama penulis dalam
penyusunan skripsi. Di samping juga buku-buku pendukung lainnya.
Skripsi yang ditulis oleh Aman (3197052) “Pembinaan Akhlak
Dalam Membentuk Kepribadian Santri di Pondok Pesantren al-Ishlah
Mangkang Kulon Semarang”. Berisi tentang bagaimana peran kiai yang
selalu jadi panutan dalam membina akhlak para santrinya sehingga
menghasilkan kepribadian santri yang baik.
Sari Hernawati (4196152) “Tradisi Pesantren dan Relevansinya
Terhadap Sistem Pendidikan Nasional” (Studi Analisis Pemikiran
Zamakhsyari Dhofier). Pandangan Zamakhsyari dhofier tentang pesantren
dengan segala keunikan dan perannya.
Siti Khomsatun Khoiriyah (3198178) “Studi Analisis Pemikiran al-
Zarnuji Tentang Pola Hubungan Guru Murid Dalam Kitab Ta’lim al-
Muta’allim. Berisi tentang bagaimana pola hubungan guru-murid dalam kitab
Ta’lim al-Muta’allim.

C. Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan deskripsi teori dan kerangka berpikir di atas, penulis
memberikan hipotesis85 bahwa: Sikap santri kepada kiai mempunyai
pengaruh negatif terhadap daya kritis santri kepada kiai di Pondok Pesantren
al-Istiqamah Gajah Demak.

85
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang secara teoritis
dianggap paling mungkin atau paling tinggi kebenarannya. S. Margono, Metodologi Penelitian
Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Rineka Cipta, 2000), hlm. 67-68.
40

Вам также может понравиться