Вы находитесь на странице: 1из 7

MATERI I

KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR

A. Pendahuluan
Islam sejak awal telah menaruh perhatian serius terhadap satu hal mendasar yakni belajar.
Bahkan mewajibkannya bagi umat Islam. Banyak penjelasan Rasul yang menjelaskan
tentang kewajiban belajar dan juga mengajar tersebut. Bisa dikatakan bahkan ajaran Islam
tentang hal ini, telah melampaui zamannya. Di mana 15 abad yang lalu Islam telah
menganjurkan manusia muslim untuk belajar tidak hanya 9 tahun. Lebih dari itu, sejak dari
buwaian hingga ke liang lahat (life long education). Beberapa ayat yang mengisyaratkan
tentang pentingnya belajar dan juga mengajar dapat dijumpai pada ayat-ayat berikut ini.

B. Ayat dan Penjelasannya


1. QS. Al-Alaq/96: 1-5

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬


ٍ َ‫سانَ ِم ْن َعل‬
)2 ( ‫ق‬ ِ ْ َ‫) َخلَق‬1( َ‫ا ْق َرأْ ب ْس ِم َر ِب َك الَّذِي َخلَق‬
َ ‫اْل ْن‬
ِ ْ ‫) َعلَّ َم‬4( ‫) الَّذِي َعلَّ َم ِب ْالقَلَ ِم‬3( ‫ا ْق َرأْ َو َرب َُّك ْال َ ْك َر ُم‬
َ ‫اْل ْن‬
‫سانَ َما‬
‫لَ ْم يَ ْعلَ ْم‬
a. Uraian Umum
Uraian pada bagian ini diambil dari buku tafsir karya Imam Fakhruddin al-Raziy,
Al-Tafsir al-Kabir, surat al-Alaq).
Oleh sebagian besar ahli tafsir ayat ini diposisikan sebagai ayat dan surat yang
pertama kali turun. Meskipun ada pula yang menganggap bahwa ayat pertama
kali turun adalah surat al-Fatihah (Imam Fakruddin al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir, hlm.
14).
Maksud dari kata iqra’ adalah seruan atau perintah membaca al-Qur’an (iqra al-
qur’an).
Kata bismi rabbika, mengandung banyak maksud antara lain pertama kata
tersebut diposisikan sebagai nashab karena menempati posisi hal, jelasnya kira-
kira demikian: “Bacalah al-Qur’an seraya memulainya dengan menyebut asma
Tuhanmu”. Atau kira-kira demikian: “Ucapkanlah bismillah kemudian bacalah al-
Qur’an”. Dengan demikian hal ini menunjukkan adanya keharusan membaca
basmalah di setiap awal surat. Ayat ini pula menjelaskan adanya penolakan bagi
orang yang berpendapat bahwa membaca basamalah itu tidak wajib pada setiap
awal surat, dan juga tidak memulai surat dengan basamalah. Kedua, kata tersebut
mengandung makna bahwa bacalah al-Qur’an dengan melalui bantuan asma
Allah. Jadi seakan menjadikan asma Allah sebagai alat dalam melakukan segala
hal baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Jika dianalogikan kira-kira tulislah
dengan pena itu. Artinya seseorang tidak akan bisa melalukan menulis tersebut
kecuali dengan bantuan pena. Jadi mintalah bantuan Allah melalui asma-Nya dan
tempatkanlah asma tersebut sebagai alat atau wasilah untuk memecahkan
kesulitan.
Kata iqra’ bismi rabbika bermakna bahwa lakukanlah suatu perbuatan (dalam
konteks ini membaca al-Qur’an) tersebut untuk Allah
Ayat lainnya yang perlu dijelaskan adalah khalaq al-insan min ‘alaq. Mengapa
Allah memilih lafadz insan (manusia) dan tidak memilih makhluk-Nya yang lain.
Jawabnya kurang lebih adalah bahwa pertama, karena al-Qur’an diturunkan
untuk manusia, dan kedua, karena manusia adalah makhluk paling mulia
dibanding yang lainnya.
Lafadz iqra dalam ayat tersebut disebutkan dua kali. Imam Fakhrurazi
menjelaskan bahwa penyebutan pertama adalah untuk belajar (untuk dirimu)
sedangkan penyebutan iqra’ kedua adalah untuk ta’lim atau untuk orang lain,
artinya untuk diajarkan kepada orang lain. Setelah belajar kemudian ajarkan
kepada orang lain.
‘Alama bi al-Qalam, bermakna al-Kitabah atau tulis menulis. Dengan aktifitas tulis
menulis maka akan tersibak hal-hal yang belum diketahui sebelumnya. Jadi jika
dipahami makna ayat tersebut menjadi, Tuhanmu yang telah mengajari tulis
menulis dengan pena.
‘Alama al-Insan ma Lam Ya’lam, sebagai kelanjutan ayat sebelumnya. Jika
digabungkan maka akan dapat dipahamai bahwa Allah akan mengajarkan hal-hal
yang belum diketahui melalui cara tulis menulis dengan pena.

b. Uraian dalam Konteks Pendidikan


Khithab dari ayat ini ditujukan kepada Rasulullah Muhammad saw. Ayat ini
mengajak Rasulullah untuk belajar membaca, menulis dan juga belajar tentang
ilmu. Demikian menurut tafsir al-Qaththan (juz 3 hlm. 441). Seruan kepada
Rasulullah juga berarti ajakan kepada ummatnya untuk senantiasa belajar segala
hal yang berguna bagi kehidupan ini.
Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Fakhrurrazi, bahwa ayat tersebut menjelaskan
adanya perintah untuk melakukan proses belajar, sekaligus mengajarkan al-
Qur’an. Hal itu terrangkum dalam lafadz iqra’ yang disebut hingga dua kali di
dalam surat tersebut. Disebut pertama menunjukkan perintah untuk belajar al-
Qur’an dengan segala kandungannya yang syamil. Kedua perintah untuk
mengajarkan apa yang diajarkan di dalam al-Qur’an.
Diperkuat pula dengan pengajaran tentang tulis menulis. Menulis adalah aktivitas
yang sejak awal telah ditetapkan oleh Allah sebagai media untuk mendapatkan
ilmu. Hanya dengan menuliskan pemikiran dan hasil-hasil kajian dan penelitian
sajalah, sebuah ilmu akan berkembang dan memberikan manfaat. Sayangnya
pada aspek tradisi menulis dan membuat karya-karya tulis ini lemah di kalangan
umat Islam. Jadi ayat di atas juga mengisyaratkan perlunya perpaduan antara
tradisi membaca dan menulis dan mengajarkannya di kalangan umat Islam.
Dengan dua tradisi tersebut, umat Islam akan dapat meraih kejayaannya kembali
sebagaiman telah dicapai oleh generasi-generasi terdahulu.
Karena kandungan al-Qur’an mencakup seluruh aspek kehidupan maka, belajar
dan mengajar dalam konteks ini tidak terbatas pada ilmu keakhiratan saja, namun
juga duniawi. Sebagaimana dijelaskan dalam surat yang lain, yang kurang lebih
artinya: “Carilah apa-apa yang datang telah diberikan Allah kepadamu tentang
kehdiupan akhirat, dan janganlan kamu melalaikan kehidupan duniamu.”
Menurut Tafsir al-Qathan, ayat ini mengisyaratkan tentang ajakan serta kewajiban
bagi umat Islam untuk belajar membaca dalam maknanya yang luas, menulis dan
mengkaji tentang ilmu. Dan pada hal-hal tersebutlah terdapat syiar Islam. Dalam
penafsiran ayat tersebut juga dijelaskan bahwa manusia yang pada awalnya
sangat hina hanya berupa alaq, darah kental yang menggantung pada rahim akan
memiliki derajat yang tinggi dengan adanya proses belajar dan megajar. Dengan
proses belvajar mengajar itulah manusia akan mendapatkan ilmu yang akan
merubah manusia dari kedhaliman, menuju cahaya kehidupan. Ilmu yang
dimaksud itu bukan terbatas pada ilmu keakhiratan belaka. Beliau al-Qaththan
menjelaskan bahwa ilmu yang dijunjung tinggi oleh Islam adalah mencakup
seluruh bidang dan cabang-cabangnya, dengan hal itu umat Islam dapat berperan
dalam membangun peradaban dunia. Beliau juga mengkritik terhadap kelemahan
umat Islam saat ini yang hanya menjadi pengikut yang lemah dari sebuah ilmu.
(Tafsir al-Qaththan, Juz-3 hal. 441).

2. QS. Al-Ghasyiyah/ 88 :17-20

َ ‫اء َكي‬
‫ْف‬ َّ ‫) َو ِإلَى ال‬17( ‫ت‬
ِ ‫س َم‬ ْ َ‫ْف ُخ ِلق‬َ ‫اْل ِب ِل َكي‬ِ ْ ‫ظ ُرونَ ِإلَى‬ ُ ‫أَفَ ََل يَ ْن‬
‫ض‬ِ ‫) َو ِإلَى ْال َ ْر‬19( ‫ت‬ ِ ُ‫ْف ن‬
ْ َ ‫صب‬ َ ‫) َو ِإلَى ْال ِجبَا ِل َكي‬18( ‫ت‬ ْ َ‫ُرفِع‬
)20( ‫ت‬ ْ ‫س ِط َح‬ُ ‫ْف‬ َ ‫َكي‬
a. Penjelasan Umum
Surat al-Ghasyiyah ini banyak dibaca oleh Rasulullah ketika shalat Jumat dan
shalat Id. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat di bawah ini.
‫قد تقدم حديث النعمان بن بشير أن رسول هللا صلى هللا عليه‬
، ‫ والغاشية في صَلة العيد‬، ‫وسلم كان يقرأ سبح اسم ربك العلى‬
‫ويوم الجمعة‬.
Lafadz afalaa adalah kata Tanya, atau istifham. Artinya “apakah tidak?” Jenis
istifham dalam lafadz tersebut adalah istifham li al-taqri’ wa al-taubikh artinya
kata tanya untuk tujuan teguran dan peringatan yang keras demikian menurut
Tafsir Fath al-Qadir, karya Imam al-Syaukaniy, Juz 1 hlm. 1614.
Gaya bahasa yang digunakan ayat tersebut mengandung teguran dan peringatan
kepada manusia (terlebih kepada umat Islam) untuk mau mengobservasi, meneliti
tentang makhluk ciptaan Allah atau alam semesta. Ayat tersebut
merepresentasikan alam dengan berbagai hal yakni unta, langit, gunung, dan
bumi.
Para mufassir menjelaskan mengapa dalam ayat tersebut disebutkan hewan unta,
bukan yang lain?. Ada beberapa penafsiran ulama, yakni karena unta adalah
hewan yang dekat dengan masyarakat Arab pada saat itu. Kemudian unta juga
memiliki banyak manfaat bagi masyarakat Arab pada masa itu, seperti sebagai
alat transportasi, konsumsi daging maupun susu. Kesemuanya itu menjadikan
unta sebagai ciptaan Allah yang dekat dengan masyarakat Arab, dengan demikian
mereka akan mudah mengamati dan menelitinya.

b. Penjelasan dalam Konteks Pendidikan


Pertama kita mendasarkan pada penjelasan Imam al-Syaukani di atas bahwa
huruf istifham yang digunakan dalam ayat tersebut adalah li al-taqri’ wa al-
taubikh yang maksudnya pertanyaan yang ditujukan untuk menegur dan memberi
peringatan secara keras dan tegas.
Jika istifham tersebut diterjemahkan maka kurang lebih demikian: “apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan?”. Pertanyaan demikian
itu tidak memerlukan jawaban yang berupa iya atau tidak. Karena memang tidak
semua pertanyaan itu menuntut jawaban iya atau tidak. Akan tetapi sebenarnya
yang dituntut oleh pertanyaan semacam itu adalah tindakan konkrit sebagaimana
perintah yang tersirat di dalam pertanyaan tersebut. Jadi istifham jenis itu,
menuntut tindakan konkrit berupa melaksanakan pengamatan, penelitian
terhadap makhluk Allah dan juga pembelajaran dari hasil tindakan yang telah
dilakukan untuk mendapatkan ilmu darinya.
Pendek kata ayat tersebut menyuruh manusia pada umumnya dan muslim
khususnya untuk belajar tentang alam atau mempelajari ayat-ayat kauniyah.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita gunakan gaya bahasa demikian ini.
Contoh, ketika seseorang diberi nasehat akan tetapi tidak memperhatikan, dan
malah melakukan hal sebaliknya. Maka yang menasehati sering mengatakan
“Apakah telingamu tidak mendengar, bahwa saya telah menasehatimu...” Atau
“apakah matamu tidak melihat...?. Pertanyaan demikian itu tidak perlu jawaban
iya atau tidak. Karena si penanya pada dasarnya menyuruh yang dinasihati untuk
mendengarkan dan melihat.

3. QS. Ali Imron/3: 190-191

ٍ ‫ار ََلَيَا‬
‫ت‬ ِ ‫ف اللَّ ْي ِل َوالنَّ َه‬ ْ ‫ض َو‬
ِ ‫اختِ ََل‬ ِ ‫ت َو ْال َ ْر‬
ِ ‫س َم َاوا‬
َّ ‫ق ال‬ِ ‫ِإ َّن فِي خ َْل‬
‫َّللاَ قِيَا ًما َوقُعُودًا َو َعلَى‬ َّ َ‫) الَّذِينَ يَ ْذ ُك ُرون‬190( ‫ب‬ ِ ‫ِلُو ِلي ْال َ ْلبَا‬
َ ‫ض َربَّنَا َما َخلَ ْق‬
‫ت‬ ِ ‫ت َو ْال َ ْر‬ ِ ‫س َم َاوا‬
َّ ‫ق ال‬ ِ ‫ُجنُو ِب ِه ْم َويَتَفَ َّك ُرونَ فِي خ َْل‬
)191( ‫ار‬ ِ َّ‫اب الن‬ ُ ‫اط ًَل‬
َ َ‫س ْب َحان ََك فَ ِقنَا َعذ‬ ِ َ‫َهذَا ب‬
a. Penjelasan Umum
Ayat ini ditempatkan oleh Allah di bagian akhir dari surat Ali-Imran, yang isinya
berupa perintah untuk melakukan pengamatan dan juga beristidlal melalui ayat-
ayat kauniyah-Nya. Dengan demikian akan tersibak kebenaran bahwa di balik
dunia ini ada kekuasaan Allah yang besar dan tidak tergantung pada apapun.
Dengan demikian seseorang tidak terjebak pada iman yang didasarkan pada taqlid
akan tetapi disandarkan pada keyakinan yang benar. Demikian menurut
penjelasan Imam Ahmad al-Anshari al-Qurthubiy, sebagaimana diuraikan dalam
kitab Tafsir al-Qurthubiy atau al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz IV hlm. 290.
Ulul Albab oleh Ibnu Katsir dimaksudkan sebagai al-Uqul al-Tammah al-Dzakiyah
yang dapat menemukan hakekat dari segala hal. Orang-orang demikian itu adalah
mereka yang salalu bersungguh-sungguh belajar mendalami ilmu.
Sementara itu Imam al-Qurthubiy, menjelaskan bahwa Ulul Albab adalah orang-
orang yang mau menggunakan akal mereka untuk memikirkan, mendalami dalil-
dalil yang digelar oleh Allah (baik qauliyah maupun kauniyah).
Ciri lain dari Ulul Albab adalah berzikir kepada Allah dalam berbagai keadaan
yakni berdiri, duduk dan tidur. Imam al-Qurthuby menjelaskan bahwa tiga
keadaan tersebut yakni berdiri, duduk dan telentang atau tidur adalah
representasi dari seluruh aktivitas manusia. Jadi Ulul Albab itu, selalu berzikir
kepada Allah dalam segala keadaannya.
Masih menurut Imam al-Qurthubiy, bahwa perpaduan antara fikir dan daikir
adalah suatu perbuatan atau aktivitas yang paling utama (hlm 291).
Dijelaskan oleh para ulama bahwa 10 ayat terakhir surat Ali-Imran ini senantiasa
dibaca oleh Rasul pada malam hari.

b. Penjelasan Dalam Konteks Pendidikan:


Ayat di atas menggunakan pola kalimat yang bersifat informatif tidak perintah
dan juga bukan larangan. Akan tetapi bukan berarti kalimat dengan pola
informative demikian itu tidak bermakna perintah. Secara implicit ayat tersebut
memerintahkan manusia muslim untuk menjadi Ulul Albab.
Ulul Albab adalah mereka yang menggunakan akal dan kalbunya dalam
mempelajari ayat-ayat Allah. Yakni ayat qauliyah dan kauniyah.
Secara tersirat ayat ini menganjurkan dengan sangat kepada umat Islam untuk
selalu belajar tentang segala hal. Yakni dengan mengoptimalkan kerja fikir atau
bertafakkur tentang ciptaan Allah dan kemudian dipadu dengan dzikir kepada
Allah. Karena pentingnya bertafakkur ini, banyak ulama yang menjelaskan bahwa
tafakkur satu jam lebih utama dari ibadah semalam.
Jadi kekuatan pikir yang diasah melalui proses belajar yang kemudian
menghasilkan ilmu harus dipadukan dengan dzikir. Dengan begitu, pengetahuan
yang dihasilkan oleh akal tidak menjauhkan manusia dari Tuhannya. Perpaduan
antara pikir (melalui proses belajar) dan dzikir inilah yang akan mengantarkan
seseorang menjadi Ulul Albab sejati.
Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya al-Jami li Ahkam al-Qur'an, mejelaskan
tentang kewajiban manusia (muslim) untuk mengadakan pemikiran, perenungan
maupun penelaahan kepada ayat-ayat Allah. Ayat di sini dalam arti tidak hanya
ayat qauliyah saja akan tetapi juga ayat-ayat kauniyah (alam semesta). Dengan
pemikiran, perenungan maupun penelaahan itulah manusia akan sampai pada
kesimpulan bahwa semua yang ada tidak lain adalah karena Yang Maha Kuasa,
Allah swt. Dengan pemikiran dan penelaahan itulah manusia tidak akan terjebak
pada sikap taqlid buta yang merugikan semua pihak. Akan tetapi manusia dapat
bertindak berdasar keyakinan yang benar yang disandarkan pada ilmu yang telah
diperolehnya (Al-Jami li Ahkam al-Qur'an, Juz 1, h. 1204)

4. QS. Al-Taubat/9:122

‫َو َما َكانَ ْال ُمؤْ ِمنُونَ ِليَ ْن ِف ُروا َكافَّةً فَلَ ْو ََل نَفَ َر ِم ْن ُك ِل فِ ْرقَ ٍة ِم ْن ُه ْم‬
‫ِين َو ِليُ ْنذ ُِروا قَ ْو َم ُه ْم ِإذَا َر َجعُوا ِإلَ ْي ِه ْم لَعَلَّ ُه ْم‬
ِ ‫طا ِئفَةٌ ِليَتَفَقَّ ُهوا ِفي الد‬ َ
)122( َ‫يَ ْحذَ ُرون‬
a. Penjelasan Umum
Banyak pendapat ulama menjelaskan konteks dari ayat ini. Di antaranya adalah
bahwa ayat ini menjelaskan tentang perintah untuk belajar agama bersama
Rasulullah bagi sebagian orang dan sementara sebagian kaum muslimin lainnya
pergi ke medan perang.
Al-Dhahak menjelaskan -sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Kitab
Tafsirnya Juz 4, hlm 237- bahwa ketika Rasulullah terjun langsung dalam medan
peperangan maka tidak boleh seorang muslim pun untuk tidak ikut berperang
kecuali bagi orang-orang yang memiliki udzur. Sedangkan ketika Rasulullah tidak
terlibat langsung dalam peperangan, maka di antara kaum muslimin harus ada
yang menyertai beliau dalam rangka belajar dan mendengarkan pengajaran dari
Rasulullah. Termasuk mencatat jika ada ayat al-Qur’an diturunkan.
Perintah belajar kepada sebagian umat Islam itu, dimaksudkan agar mereka
bertafaqquh atau menjadi paham dengan materi yang diterima dari Rasulullah.
Selanjutnya mereka mengajarkan kepada yang lain, yang tidak dapat bergabung
dengan majelis Rasulullah, karena mereka terlibat dalam pertempuran.
Dari penjelasan al-Dhahak, kita dapat mengkategorikan peperangan pada masa
Rasulu. Yakni perang yang Rasulullah ikut terlibat di dalamnya secara langsung
dan perang yang Rasulullah mengirim pasukan saja dan tidak terlibat langsung
dalam peperangan tersebut. Yang disebut pertama dinamakan Ghazwah
sedangkan yang disebut terakhir dikenal dengan Siriyyah.
b. Penjeleasan dalam Konteks Pendidikan
Secara eksplisist ayat tersebut menjelaskan adanya perintah untuk belajar. Khitab
ayat tersebut ditujukan kepada para shahabat Rasulullah pada masa itu. Akan
tetapi kandungan ayat tentang perintah untuk belajar tersebut bukan berarti
tidak berlaku lagi saat ini. Kandungan makna ayat yang memerintahkan sebagian
umat Islam untuk belajar agama, masih berlaku hingga saat ini.
Jika ditarik ke konteks masyarakat muslim secara makro, memang seyogyanya
ada pembagian segmen yang merata. Artinya di antara umat Islam harus ada yang
berlajar bidang A, ada yang bidang B dan lainnya. Dengan demikian masyarakat
muslim memiliki kelengkapan profesi dan keahlian yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
Menurut al-Qurthubi (Juz 1, h. 2565)- ayat 122 surat al-Taubah menjelaskan
tentang kewajiban kolektif umat Islam untuk menuntut ilmu yang secara spesifik
harus didalami. Tidak seyogyanya seluruh umat Islam berangkat berjihad dalam
arti perang. Namun harus ada sebagian mereka yang secara khusus mendalami
ilmu. Baik dalam ilmu agama maupun lainnya.
Secara mendasar dalam hal ilmu agama seluruh umat Islam wajib menguasai.
Artinya untuk syarat minimal agar menjadi seorang muslim, seseorang wajib atau
harus menuntut ilmu agama. Akan tetapi yang secara khusus mendalami ilmu
agama untuk menjadi ahli agama (ulama) juga harus ada. Demikian pula untuk
ilmu umum. Seluruh umat Islam wajib mempelajari khususnya yang berkaitan
dengan tuntutan hidup di masyarakat. Seperti membaca, menulis, berhitung
sederhana dan sabagainya. Dalam bahasa pendidikan keterampilan dasar, seluruh
umat Islam wajib menguasainya. Akan tetapi untuk menjadi seorang yang expert
dalam bidang tertentu, kewajibannya tidak bersifat indifidual ('ain) akan tetapi
kewajibannya menjadi wajib kifayah. Maka jika tidak ada satupun umat Islam
yang mendalami tentang suatu ilmu tertentu yang dibutuhkan oleh umat Islam -
berdasar penjelasan ayat itu- seluruh umat Islam menanggung beban dosa. Sanksi
atau implikasi dari dosa itu dapat dirasakan saat di dunia ini.
Di antara masyarakat muslim memang harus ada yang benar-benar mendalami
agama Islam secara komprehensif. Dengan begitu, jika umat Islam yang
mendalami bidang-bidang lainnya membutuhkan pencerahan, maka para
pengkaji agama siap memberikan pencerahan yang dimaksudkan itu. Tentu saja
mereka yang mendalami agama Islam harus mampu mengkontekstualisasikan
ilmu keislamannya dengan problem kehidupan kontemporer yang solutif dalam
koridor prinsip-prinsip Islam.
Dan sekarang di manakah posisi Anda? Tentu sesuai dengan bidang kajian Anda,
Anda harus menjadi orang yang senantiasa bertafaqquh fi al-din. Yakni kelak
menjadi orang yang benar-benar expert dalam bidang agama Islam. Sehingga jika
terjadi masalah keagamaan di masyarakat, Anda adalah jawabannya. Jika tidak
demikian, maka Anda telah menyia-nyiakan amanah yang diberikan Allah.

5. QS. Al-Ankabut/29:19-20

‫ِير‬ ِ َّ ‫َّللاُ ْالخ َْلقَ ث ُ َّم يُ ِعيدُهُ ِإ َّن ذَ ِل َك َعلَى‬


ٌ ‫َّللا يَس‬ َّ ‫ئ‬ َ ‫أ َ َولَ ْم يَ َر ْوا َكي‬
ُ ‫ْف يُ ْب ِد‬
َّ ‫ْف بَدَأ َ ْالخ َْلقَ ث ُ َّم‬
ُ‫َّللا‬ َ ‫ظ ُروا َكي‬ ُ ‫ض فَا ْن‬ ِ ‫يروا فِي ْال َ ْر‬ ُ ‫) قُ ْل ِس‬19(
)20( ‫ِير‬ َ ‫َّللاَ َعلَى ُك ِل‬
ٌ ‫ش ْيءٍ قَد‬ َّ ‫ئ النَّ ْشأَة َ ْاَلَ ِخ َرة َ ِإ َّن‬
ُ ‫يُ ْن ِش‬
a. Penjelasan Umum
Ayat ini berkaitan berkenaan dengan sejarah Nabi Ibrahim tatkala beliau
memberikan peringatan kepada kaumnya. Yakni untuk beribadah dan bertakwa
kepada Allah, meninggalkan penyembahan terhadap berhala, meminta rezeki
hanya kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Akan tetapi yang didapat dari
kaumnya justru pembangkangan. Maka kemudian Ibrahim memberikan
peringatan kepada kaumnya untuk mengambil pelajaran tentang penciptaan
Allah, yang hal itu mudah bagi Allah. Demikian pula mudah bagi Allah untuk
mengembalikannya kembali. Sebagaiman mengembalikan manusia kelak di
akhirat untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya, juga sesuatu yang
sangat mudah bagi Allah (Tafsir Ibn Katsir, Juz 8, hlm. 271)
Ayat ini juga memerintahkan kepada kaum Nabi Ibrahim untuk melakukan
perjalanan dalam rangka mengadakan pengamatan atau observasi dan lebih
mendalam lagi penelitian tentang alam dan jejak-jejak peninggalan umat
terdahulu. Ultimate goal atau tujuan utama dari penelitian demikian itu tidak lain
adalah bersifat tauhidiy. Yakni memahami dan kemudian mengimani bahwa Allah
Maha Kuasa terhadap segala-galanya (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 8, hlm 271).
Sementara itu Imam al-Qurthubiy dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa khithab
ayat tersebut juga untuk kaum atau umatnya nabi Muhammad. Jadi jika
diungkapkan kurang lebih: “Katakanlah kepada mereka wahai Muhammad:
“Lakukan perjalanan di atas bumi (untuk mengamati) dsb…) (Tafsir al-Qurthubiy,
Juz 13, hlm. 310)

b. Penjelasan dalam Konteks Pendidikan


Pada prinsipnya ayat di atas berkenaan dengan perintah untuk mengamati,
menelaah, meneliti agar mendapatkan ibrah dari data-data yang diperoleh.
Ujungnya diharapkan akan meningkatkan kadar keimanan.
Ayat di atas dapat dilihat pula dengan perspektif lain selain tauhid, yakni dalam
perspektif pendidikan. Bahwa al-Qur’an sangat menaruh perhatian besar
terhadap proses pengkajian dan juga pembelajaran terhadap fenomena alam
yang terbentang di hadapan manusia.
Kajian tentang alam semesta menurut Islam harus dapat mengantarkan manusia
pada tujuan ideal yakni mengenal dan mengimani Allah. Tanpa merujuk pada
idealism demikian itu, maka kajian yang dilakukan tidak bermakna apapun dalam
perspektif Islam, meskipun secara riil hasil kajian tersebut membawa
kemanfaatan bagi kemanusiaan secara universal.
Dengan demikian kemanfaatan kepada manusia akan kehilangan makna jika tidak
dibarengi dengan hasil keimanan bagi manusia itu sendiri.

Вам также может понравиться