Вы находитесь на странице: 1из 10

Menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.

Sengketa dan perselisihan kerap kali terjadi, terutama dalam


dunia bisnis. Secara umum, masyarakat Indonesia menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah
dan menjadikan para tetua adat sebagai penengah atas sengketa yang terjadi. Namun, seiring dengan
semakin majunya peradaban, ada kecenderungan menggunakan lembaga pengadilan untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi.
Meskipun demikian, lamanya proses pengadilan dan biaya yang relativ besar menjadi hambatan dalam
menyelesaikan sengketa. Oleh karena itu, diperkenalkan alternativ untuk menyelesaikan sengketa di luar
pengadilan, yakni melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitarse.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan berlaku untuk sengketa-sengketa di bidang keperdataan yang
menyangkut hubungan hukum antara pihak yang satu dan pihak yang lain. Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan memiliki kelebihan, yaitu tidak terbuka untuk umum, biaya yang lebih murah,bersifat win-win
solution,dan fleksibel dibandingkan dengan lembaga peradilan.

Dasar Hukum Arbitrase


Arbitrase dalam pelaksanaanya memiliki dasar hukum. Arbitrase sudah ada sejak zaman Belanda. Dasar
hukum pembentukan arbitrase pada saat itu adalah Pasal 377 HIR yang mengatur
“jika orang Indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru
pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”.
Dasar hukum arbitrase dalam R.V.
“Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak
yang berada dalam kekuasaanya untuk melepaskannya,untuk menyerahkan pemutusan sengketa
tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit”.
Arbitrase Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Dasar hukum dibuatnya undang-undang ini adalah Undang-undang Nomor 46
Tahun 2009 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman disebutkan bahwa penyelesaian perkara di
luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan
arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk di eksekusi
(executorial) dari pengadilan.
Pasal 1 angka 8 UU No 30 Tahun 1999 memberikan defenisi mengenai lembaga arbitrse.
“ Badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu, lembaga tersebut juga dapat menberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan
hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah penyelesaiaqn sengketa keperdataan, terutama
sengketa di bidang dagang sehingga pada tanggal 3 Desember 1977. Kamar Dagang dan Industri
(KADIN) memprakarsai berdirinya Badan Arbitrase NasionalIndonesia. Pasal 1 ayat (1) Anggaran Dasar
Arbitrase Nasional Indonesia menentukan bahwa
“ Badan Arbitrase nasional Indonesia adalah sebuah badan yang didirikan atas prakarsa Kamar Dagang
dan Industri (KADIN) Indonesia yang bertujuan memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam
sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan. Industry dan keuangan, baik
yang bersifat nasional maupun yang brsifat internasional.
Berdasarkan hal di atas, bahwa kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia adalah menangani
masalah keperdataan yang bersifat khusus, yakni bidang perdagangan, bidang industry, dan keuangan.
Lembaga arbitrase adalah lembaga yang berfungsi sebagai salah satu alat untuk dapat menyelesaikan
sengketa yang sedang terjadi diantara para pihak. Cara kerja arbitrase hampir sama dengan peradilan
sehingga masyarakat sering menyebut lembaga arbitrase sebagai pengadilan swasta.
Perjanjian Arbitrase
Suatu sengketa yang dapat diajukan ke arbitrase, harus mendapat kesepakatan terlebih dahulu dari
masing-masimg pihak. Keharusan adanya persetujuan dari masing-masing pihak ini diatur dalam Pasal 7
UU No 30 Tahun 1999 bahwa,
“Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk
diselesaikan melalui arbitrase.
Para pihak yang akan menempuh proses arbitrase sebagaimana di atur dalam Pasal 8 UU No 30 Tahun
1999, yakni sebagaimana berikut:
1. Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, email
atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau
termohon berlaku.
2. Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase memuat yaitu,
a. Nama dan alamat para pihak
b. Penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku
c. Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa
d. Dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada.
e. Cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
f. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang yang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah
ganjil.

Perjanjian tertulis untuk menggunakan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa yang harus dibuat oleh
para pihak untuk membuktikan bahwa para pihak telah mencapai kesepakatan dan hal tersebut
dibuktikan dengan perjanjian arbitrase yang telah ditandatangani.
Permasalahan yang mungkin terjadi untuk dapat memperoleh kesepakatan arbitrase adalah adanya
kemungkinan para pihak tidak dapat menuliskan perjanjian arbitrase, apabila hal tersebut terjadi, sesuai
dengan Pasal 9 UU No 30 Tahun 1999, bahwa,
“Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), perjanjian tertulis harus dibuat dalam bentuk akte notaries”.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase oleh para pihak setelah terjadi sengketa, memiliki kekhususan
tersendiri karena berdasarkan Pasal 9 ayat (3) UU No 30 1999, perjanjian tertulis tersebut dimaksud
dalam pasal 9 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 harus memuat:
a. Masalah yang dipersengketakan
b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak
c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase
d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan.
e. Nama lengkap sekretaris
f. Jangka waktu penyelesaian sengketa
g. Pernyataan kesediaan dari arbiter
h. Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan
untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Berdasarkan Pasal 9 ayat (4) UU No 30 Tahun 19999 akibat hukum yang terjadi apabila perjanjian
tertulis tersebut tidak memuat apa yang telah diatur pada pasal diatas, maka pperjanjian para pihak batal
demi hukum.
Dengan adanya perjanjian arbitrse yang telah disepakati oleh para pihak, secara yuridis telah
meniadakan kewenangan dari pengadilan negeri untuk memeriksa sengketa tersebut.
Hal ini secara tegas di atur dalam Pasal 11 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 yang mengatur bahwa,
“ Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat yang termasuk dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri”.
Begitu pula Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 yang mengatur bahwa,
“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa paqra pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase”
Pengadilan Negeri tidak dapat memeriksa sengketa apabila para pihak sebelumnya telah terikat dengan
perjanjian arbitrase, lebih ditegaskan dalam Pasal 11 ayat (2) UU No 30 Tahun 1999, bahwa:
“Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa
yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-
undang ini”
Secara otomatis pengadilan negeri tidak dapat memeriksa sengketa tersebut dan berkewajiban menolak
untuk memeriksa perkara tersebut. Hal ini disebabkan oleh karateristik dari arbitrase itu sendiri yang
merupakan lembaga penyelesaian untuk permasalahan di bidang perdagangan sebagaimana di atur
dalam Pasal 5 ayat (1) UU No 30 Tahun 1999.
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase yang dimaksud dalam pasal ini yaitu sengketa
yang tidak dapat diadakan perdamaian. Hal-hal tertentu sebagaimana yang dimaksud pada ayat tersebut
di atas adalah apabila terdapat unsur pidana pada sengketa tersebut.
Arbiter
Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh
Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase untuk memberi putusan mengenai sengketa tertentu yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.
Tentunya tidak setiap orang dapat menjadi arbiter, untuk dapat menjadi arbiter pada lembaga arbitrase
harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan pada Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999
sebagai berikut :
a. Cakap melakukan tindakan hukum
b. Berumur paling rendah 35 tahun
c. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan sederajat kedua dengan
salah satu pihak bersengketa.
d. Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
Persyaratan ini bersifat mutlak, dalam arti harus dipenuhi oleh mereka yang berkeinginan menjadi arbiter
di lembaga arbitrase. Namun, tidak semmua orang bisa menjadi Arbiter meskipun telah memiliki
kualifikasi yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999.
Hal ini dianggap penting karena seorang arbiter haruslah mereka yang independen, dalam ari tidak
memiliki ikatan tertentu dengan institusi pemerintah seperti Hakim, jaksa, Panitera dan pejabat
peradilan lainnya.hal ini dimaksudkan agar terjamin adanya objektifitas dalam pemeriksaan serta
pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Pembatasan ini dilakukan karena kedudukan hakim, jaksa dan panitera, dan pejabat peradilan lainnya
adalah sebagai pejabat public dan jabatan tersebut berkaitan secara langsung dengan pemerintah
sedangkan lembaga arbitrse bukanlah lembaga yang dimiliki oleh pemerintah, sehingga sudah tepat
apabila orang-orang yang memiliki jabatan tersebut tidak diperbolehkan untuk menjadi arbiter.
Seorang arbiter dipilih sendiri oleh para pihak yang akan melakukan penyelesaian melalui arbitrase,
apabila para pihak tersebut kesulitan dalam memilih seorang arbiter maka ketentuan Pasal 13 ayat (1)
UU No 30 Tahun 1999 menyebutkan, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang arbiter atau
majelis arbiter.
Penunjukan arbiter dilakukan dengan cara berikut :
a. Arbiter Tunggal. Penunjukkan seseorang sebagai arbiter tunggal harus merupakan persetujaun dari
pemohon dan termohon. Apabila pemohon dan termohon tidak mencapai kata sepakat, penunjukkan
arbiter tunggal di tetapkan oleh BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia).
b. Majelis Arbitrase. Pemohon dan termohon menunjuk arbiternya masing-masing selanjutnya kedua
arbiter tersebut memilih arbiter ketiga sebagai Ketua Majelis yang di tetapkan oleh BAPMI (Badan
Arbitrase Pasar Modal Indonesia)
Contoh Kasus
Hiruk pikuk perkara proyek Depo Bahan Bakar Minyak (BBM)Pertamina dib ala raja, tanggerang.
Ternyata pernah menjadi bagian pekerjaan amir syamsudin. Pengacara senior yang boleh dibilang
sedang berada di peuncak kariernya itu, sejak sebulan silam, amir dia ngkat menjadi menteri hokum dan
hak aszasi manusia RI, sempat menangani perkara tersebut sewaktu ia masih pengacara. Amir tercatat
menjadi kuasa hokum pertamina pada tahun 2007 sewaktu BUMN migas itu menjadi proses arbitrase di
Badan Arbitrase Negara Indonesia (BANI)

Yang menjadi soal, beberapa tahun kemudian, amir ternyata mendampingi sandiaga Uno, pemilik PT.
Pandan Wangi sejahtera (PWS), ketika Sandiaga dilaporkan dalam kasus pidana penipuan ke Polda
Metro Jaya, Kasus yang menimpa sandiaga juga terkait dengan proyek Depo BBM Balaraja. Dan
sewaktu menjalani proses arbitrase di BANI, beberapa tahun silam itu, ketika Amir mendandampingi
pertamina, yang di hadapi pertamina dan Amir adalah PWS yang di kuasai sandiaga Uno itu juga.

Jejak amir ketika mendampingi pertamina di BANI terlihat dari putusan BANI nomor 247 tahun 2007 yang
menyatakan Pertamina wajib membayar ganti rugi kepada PWS akibat gagalnya proyek Depo BBM
Balaraja. Di sana di nyatakan yang mewakili pertamina adalah kantor pengacara Amir syamsuddin. Lalu,
surat yang di kirim Amir kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum pada 6 Januari 2011
menegaskan bahwa ia menjadi pengacara Sandiaga. Dalam surat terkahir itu, Amir mohon perlindungan
untuk kliennya yang sempat di cekal oleh polisi.

Johnson panjaitan, sekretaris jendral asosiasi Advokat Indonesia, menilai, diduga kuat ada benturan
kepentingan yang dilakukan Amir Syamsuddin dengan menjadi pengacara Sandiaga pada 2011, setelah
Amir membela pertamina untuk melawan PWS pada 2007. “padahal urusan ganti rugi antara pertamin
dengan PWS belum berakhir” katanya.
Masrin tarihoran, pengacara dari kantor hokum Tarihoran & Partners juga punya cerita. Masrin bilang,
sebelum menjadi pengacara pertamina dalam arbitrase melawan PWS yang dikuasai sandiaga Uno, di
tahun 2007. Amir juga menjadi pengacara perusahaan sandiaga yang lain, PT. adaro Indonesia, dalam
perkara melawan Group RGM. “jadi, amir menjadi pengacara Sandiaga di satu perkara, lalu menjadi
pengacara lawannya di perkara lain,” terang Masrin.

Bambang soesatyo, anggota Komisi III DPR juhga menilai, ada yang janggal dari tampilnya amir sebagai
pengacara Sandiaga Uno, setelah sebelumnya Amir menjadi pengacara pertamina. “ini jelas bisa
menimbulkan benturan kepentingan,” katanya.
Kasus benturan kepentingan yang dilakukan oleh seorang pengacara pernah mencuat tatkala muncul
sengketa antara dua lawyer kawakan: Hotman Paris Hutapea dan Todung Mulya Lubis. Hotman
mengadukan Todung ke Majelis Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dengan tudingan
telah melakukan benturan kepentingan dalam kasus Sali Group versus Garuda Pancaarta. Hotman
menyatakan, beberapa tahun lalu, Todung menjdai pengacara pemerintah ketika pemerintah menjual eks
asset salim di Lampung ke garuda Pancaarta. Belakangan, todung menjadi pengacara Group salim
sewaktu menghadapi garuda pancaarta yang diwakili hotman.

Majelis kehormatan daerah Peradi DKI Jakarta kemudian memutuskan, memang terjadi benturan
kepentingan yang dilakukan Todung Mulya Lubis, kendati ada jeda waktu ketika Todung mewakili
pemerintah dan mewakili salim. Peradi lalu memberhentikan secara tetap Todung Mulya Lubis sebagai
Advokat, namun Todung mengajukan banding terhadap putusan tersebut ke dewan Kehormatan Perad
pusat.

Acara Pemeriksaan Arbitrase


Proses penyelesaian sengketa di lembaga arbitrase hampir sama dengan proses penyelesaian sengketa
di pengadilan negeri, yaitu adanya prosedur beracara. Namun, proses beracara di lembaga arbitrase jauh
lebih sederhana.
Arbitrase adalah pemeriksaan sengketa yang bersifat tertutup dan hanya dapat dihadiri oleh pihak-pihak
yang bersengketa dan kuasanya. Hal ini lebih menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase.
Pemeriksaan perkara secara arbitrase berbeda dengan acara pemeriksaan pada Pengadilan Negeri.
Perbedaan-perbedaan itu antara lain:
a. Adanya jaminan kerahasiaan sengketa para pihak
b. Dapat terhindar dari keterlambatan yang diakibtakan karena hal procedural dan administrative
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman
serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan.
d. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara
sederhana saja ataupun prosedur langsung dapat dilaksanakan.
e. Adanya jangka waktu yang pasti yaitu 180 hari (Pasal 48 ayat (1)).tetapi dapat diperpanjang apabila
disepakati oleh para pihak terlebih dahulu.

Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang
digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU No
30 Tahun 1999. Hal-hal yang dilakukan oleh pemohon dan termohon arbitrase adalah :
a. Pemohon membuat surat tuntutan kepada arbiter atau majelis arbiter
b. Arbiter atau majelis arbiter lalu memberikan salinan atas tuntutan tersebut kepada termohon.
c. Jawaban termohon yang diterima arbiter atau majelis arbiter diteruskan kembali kepada pemohon.
d. Arbiter atau majelis arbiter lalu memerintahkan para pihak hadir pada sidang pertama.
e. Jawaban atas tuntutan yang diajukan termohon dapat sekaligus dijadikan tuntutan balasan oleh
termohon. Tuntutan balasan tersebut akan diperiksa oleh arbiter atau majelis arbiter bersama-sama
dengan pokok perkara.
f. Pemohon dapat melakukan pencabutan permohonan tersebut apabila belum ada jawaban dari
termohon atas tuntutanya. Sebaliknya, apabila termohon sudah memberikan jawabab atas tuntutan dari
pemohon, pemohon tidak dapat lagi memcabut tuntutannya.
g. Pemohon hanya dapat mengubah atau menambah surat tuntutannya apabila penanbahan atau
perubahan tuntutan tersebut mendapat persetujuan dari termohon dan hanya merupakan hal yang
bersifat fakta bukan hal-hal yang menjadi dasar dari permohonan.
h. Apabila pihak termohon tidak datang pada sidang arbitrase, termohon akan dipanggil sekali lagi.
Konsekuensi atas tidak hadirnya termohon pada sidang arbitrase adalah ditundanya sidang tersebut,
tetapi setelah dipanggil secara patut dan tetap saja tidak datang maka sidang diteruskan dan akibatnya
tuntutan pemohon arbitrase akan dikabulkan.
i. Apabila pemohon yang tidak hadir pada hari pertama sidang, maka permohonan arbitrase dinyatakan
gugur dan sidang arbitrase dinyatakan selesai.
j. Apabila para pihak semuanya hadir, arbiter atau majelis arbiter mengusahakan perdamaian para pihak
dahulu, jika berhasil damai maka dibuat akta perdamaian.
k. Sebaliknya apabila tidak tercapai perdamaian, maka arbiter atau majelis arbitrase akan memeriksa
pokok sengketa yang terjadi diantara para pihak.

Saksi dan Saksi Ahli


Pada penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, tuntutan atau jawaban atau suatu tuntutan
berdasarkan hokum dan fakta-fakta. Para pihak harus dapat menguatkan dasar hokum dan fakta-fakta
yang diajukan dengan mengajukan saksi.
Saksi dalam hal ini adalah mereka yang mengetahui secara langsung pasti peristiwa yang terjadi. Saksi
dapat dilibatkan pada sengketa arbitrase yang sedang diperiksa hanya apabila diperintahkan oleh arbiter,
majelis arbitrase atau permintaan para pihak.
Saksi atau saksi ahli yang akan memberikan keterangan wajib disumpah terlebih dahulu. Keterangan
yang diberikan oleh saksi ahli dapat diberikan secara tertulis kepada arbiter atau majelis arbitrase.
Terhadap keterangan tertulis yang disampaikan oleh saksi ahli, arbiter atau majelis arbitrase akan
meneruskan berupa salinan kepada para pihak. Saksi ahli yang telah memberikan keterangan secara
tertulis dapat diminta hadir pada persidangan untuk didengar keterangannya.
Pendapat dan Putusan
Arbiter atau majelis arbitrase dalam memutuskan sengketa tidak hanya berdasarkan pada argumen-
argumen atau fakta-fakta yang diajukan para pihak, tetapi juga berdasarkan pendapat saksi dan saksi
ahli.
Arbiter atau majelis arbitrase menganggap bahwa segala keterangan dari saksi-saksi dan dari para pihak
yang didukung oleh bukti-bukti dinilai cukup, arbiter atau majelis arbitrase dapat memutuskan untuk
menutup pemeriksaan dan kemudian menetapkan sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase.
Putusan dari lembaga arbitrase mempunyai mempunyai kekuatan mengikat dan bersifat final sehingga
secara yuridis meniadakan hak dari masing-masing pihak yang bersengketa untuk mengajukan banding
atau upaya hukum lainnya.
Dalam putusan arbitrase dicantumkan jangka waktu terhadap pelaksanaan putusan yaitu dalam jangka
waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan atas sengketa tersebut ditutup dan dalam jangka 14 hari
setelah putusan diterima oleh para pihak. Hal ini akan memberikan kepastian bagi para pihak yang
bersengketa untuk menjalankan putusan arbitrse tersebut.
Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Setelah pemeriksaan sengketa arbitrase selesai dilakukan dan putusan telah diberikan oleh arbiter atau
Majelis arbitrase, tahap selanjutnya adalah pelaksanaan dari putusan arbitrase tersebut. Pelaksanaan
putusan arbitrse terdiri atas dua jenis sebagai berikut :
1. Putusan arbitrase nasional
2. Putusan dari arbitrase internasional.

Sebelum putusan dari arbitrase nasional dilaksanakan,langkah pertama yang harus dilakukan adalah,
mendaftarkan putusan arbitrase tersebut ke Panitera Pengadilan Negeri. Putusan arbitrase apabila tidak
didaftarkan ke Pengadilan Negeri putusan arbitrase itu tidak dapat dilaksanakan.
Putusan arbitrase tersebut meskipun bersifat final dan mengikat para pihak, ada kemungkinan salah satu
pihak tidak berkenan melaksanaknnya dan untuk mengantisipasinya, Pasal 61 UU No 30 Tahun 1999
memberikan ketentuan bahwa,
“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan
berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”.
Sedangkan terhadap putusan dari arbitrase internasional, yang berwenang untuk menangani masalah
pengakuan dan pelaksanannya adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan hanya dapat dilaksanakan
di wilayah hukum Republik Indonesia.
Ketua Pengadilan Negeri memiliki hak menolak atau menerima permohonan pelaksanaan putusan
arbitrase, apabila permohonan diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pihak yang tidak
bersedia untuk menerima pelaksanaan putusan arbitrase tersebut tidak dapat mengajukan banding atau
kasasi. Sebaliknya, apabila permohonan tersebut di tolak oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dan terhadap penolakan tersebut pihak pemohon dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Setelah permohonan tersebut diterima, Mahkamah Agung akan memutuskan akan menerima atau
menolak permohonan tersebut. Terhadap putusan yang diberikan oleh Mahkamah Agung, tidak dapat
diajukan upaya perlawanan misalnya peninjauan kembali.
Pelaksanaan putusan arbitrase membutuhkan pengadilan agar putusan arbitrase tersebut dapat
dieksekusi dan pada umumnya pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa kembali putusan
arbitrase. Hal ini bertentangan dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 8 Tahun
2008 tentang eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah (SEMA No 8 Tahun 2008) yang pada angka 4
menyebutkan bahwa ;
“Dalam hal putusan badan arbitrase syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut
dlaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak
yang bersengketa”.
SEMA No 8 Tahun 2008 di atas bertentangan dengan sifat dari arbitrase itu sendiri, menyadari hal
tersebut Mahkamah Agung RI pada tahun 2010 mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No 8
Tahun 2010 yang menyatakan bahwa angka 4 SEMA No 8 tahun 2008 tidak berlaku sehingga para pihak
tidak perlu khawatir sengketa merekA yang diselesaikan melalui BASYARNAS tidak dapat dijalankan
oleh pengadilan Agama.

Lembaga-Lembaga Arbitrase
Berdasarkan sifatnya, arbitrase terdiri dari dua macam sebagai berikut.
a. Arbitrase Ad-hoc
Arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Oleh karena
itu, keberadaan arbitrase ad-hoc bersifat insidental. Dan apabila sengketa telah diputus, arbitrase ad-hoc
tersebut menjadi berakhir.

b. Arbitrase Institusional
Lembaga arbitrase yang bersifat permanen dan didirikan secara resmi yang menjalankan peran dan
fungsinya sebagai lembaga yang bergerak dibidang penyelesaian perselisihan di luar pengadilan.
Arbitrase institusionalterdiri atas beberapa jenis sebagai berikut:
1. Arbitrase Institusional Nasional
Didirikan dengan bertujuan untuk kepentingan Negara dan hanya memiliki yurisdiksi diwilayah bangsa
atau Negara, meskipun ruang lingkupnyanya hanya mengcakup suatu wilayah tidak tertutup
kemungkinan lembaga ini juga dapat menangani sengketa yang bersifat internasional selama para pihak
menghendaki.
Beberapa lembaga arbitrase institusional di Indonesia yaitu :
a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
b. Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)
c. Badan Arbitrase Syariah Indonesia (BASYARNAS)
Sedangkan beberapa arbitrase institusional yang bersifat nasional yang ada di luar wilayah Indonesia
yaitu :
a. The japan Commercial Arbitration Association
b. The American Arbitration Association)
c. The Nederlands arbitrage Institute

2. Arbitrase Institusional Internasional.


Lembaga arbitrase yang menagani sengketa terhadap masalah tertentu dengan para pihak adalah pihak
yang berbeda kewarganegaraan, seperti (ICC,ICSID dan UNCITRAL)
3. Arbitrase Institusional Regional.
Lembaga Arbitrase yang menangani sengketa untuk wilayah atau kawasan tertentu. Arbitrase jenis ini
didirikan dengan dasar bahwa Negara ketiga atau Negara berkembang sering dalam posisi lemah karena
arbitrase internasional pada umumnya, dianggap lebih memihak kepada Negara maju.

Вам также может понравиться