Вы находитесь на странице: 1из 6

ARTIKEL KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI

Diajukan Guna Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia II

Kelas A

Dosen Pengampu:

1. Drs. Kayan Swastika, M.Si

2. Rully Putri Nirmala Puji, S.Pd, M.Ed

3. Riza Afita Surya, S.Pd, M.Pd

Oleh:

Niqma Risca Permata Kusuma (180210302036)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JEMBER

2019
KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI

Daerah kerajaan di Sulawesi yaitu Goa-Tallo, Luwu, Soppeng, wajo, dan Bone. Tetapi
di dalam ini, di bicarakan kerajaan, Bone, Goa-Tallo, dan Wajo. Dalam serajah daerah, nasional,
maupun internasional kesultanan Goa-Tallo mempunyai peranan penting. Ibukota Somba Opu
dari kesultanan Goa-Tallo dalam perdagangan memiliki pernanan penting juga. Dalam
menentang politik kolonialisme Belanda saat pemerintahan Sultan Hasanuddin yaitu tahun
1653-1669, kesultanan Goa-Tallo memiliki peran besar. Dalam informasi mengenai sejarah
Kerajaan Gowa pra Islam yang di gunakan berupa sumber – sumber tertulis, di temukannya
sekitar abad ke XIV. Sumber – sumber tersebut terdiri dari yang pertama, berupa lontara
sebagai sumber sejarah yang telah di ketahui keutamanaanya; kedua, sure’ galigo yang dapat
di perkirakan memberi petunjuk tentang keaaan masyarakat dan kebudayaan yang berada di
Gowa; ketiga, berupa sumber Portugis yang di tulis oleh Tome Pires dalam bukunya The Suma
Oriental.
A. Kesultanan Goa-Tallo
a. Sumber
Berdasarkan naskah kuno, maupun sumber asing, islam masuk kedalam daerah Goa,
sebelum datangnya Tome Pires (1512-1515). Dalam pernyataan Tome Pires, Makasar telah
melakukan hubungan dengan Malaka, Ayuthi atau Thailand, dan Kalimantan yaitu dalam
bidang perdagangan. Dalam pernyataan Tome juga, penguasa lebih dari lima puluh negeri
menyembah berhala, sebelum datangnya islam. Mungkin dalam pernyataan Tome Pires, lebih
menitikberatkan pada kerajaan di daerah Sulawesi yang belum menjadi islam. Secara
bersamaan dan resmi, kedua raja Goa Tallo, masuk dan menganut agama islam pada 22
September 1605. Kerajaan raja tersebut, kaya akan makanan-makanan, kapur baru, daging,
dan beras putih. Barang yang di impor adalah pakaian dari Bengal, Keling, dan Cambay.
Hubungan perdagangan telah lama terjalin dengan Cina, sepeeti mengimpor keramik. Dengan
bukti bahwa, banyak temuan keramik pada masa Dinasti Sing, dan Dinasti Ming pada daerah
Sulawesi Selatan.
b. Politik dan Pemerintahan
Sebelum menjadi kerajaan islam, kesultanan Goa-Tallo sering berperang dengan
kerajaan di daerah Sulawesi Selatan, seperti Soppeng, Wajo, Bone, dan Lawu. Sejak tahun
1605 kerajaan Goa-Tallo bercorak islam. Agar kerajaan lain tunduk dan memeluk islam
dengan kesultanan Goa-Tallo, maka dilakukan perluasan politik. Dalam aliansi Tellumpoco,
kerajaan Wajo, Soppeng, dan Bone; mengadakan persatuan untuk mempertahankan
kemerdekaan. Pada 10 Mei 1610, kerajaan wajo berhasil di kalahkan. Sedangakan kerajaan
Soppeng dan Luwu juga ditaklukkan Goa. Dalam Hikayat Wajo, kerajaan Bone tetap bertahan,
yang secara rahasia dibantu oleh kerajaan Wajo. Pada 23 November 1611, kerajaan Bone
akhirnya di kalahkan. Dalam pendapat J. Noorduyn; karena agama islam, maka kerajaan-
kerajaan tersebut dapat dikalahkan. Islam membawa kesultanan Goa-Tallo dengan kekuasaan
yang cepat dan mendorong keruntuhan kerajaan-kerajaan yang bermusuhan dengan kerajaan
Goa-Tallo.
c. Hubungan kerajaan dengan Portugis
Raja-raja kesultanan Goa-Tallo yang telah memeluk islam, juga memiliki hubungan erat
dengan orang-orang Portugis, dengan membawa agama Kristen katolik. Seperti Sultan
Hasanuddin 91653-1669), dan Sultan Muhammad Said (1639-1653), memberikan bantuan
kepada (oramg Portugis) Francisco Viera yang bertugas menjadi utusan raja Goa ke Batavia

1
dan Banten. Kaerang Pantingaloang dan Suktan Muhammad Said investasi saham perdagangan
dengan Fransisco Viera. Karena ancaman VOC yang ingin memonopoli perdagangan rempah-
rempah di Maluku, membuat hubungan erat antara Goa dan Portugis.
d. Peran Mubalig dalam islamisasi
Dengan adanya mubalig seperti Datto Tallu (Tiga Datok): Datok ri Patimang (Datok
Sulaiman/ Khatib Sulung), Datok ri Tiro (Abdul Jawwad/ Khatib Bungsu), dan Datok ri
Bandang (Abdul Makmur/ Khatib Tunggal). Ketika Datuk ini merupakan saudara dan bersal
dari kota tengah, Minangkabau. Yang mengislamkan raja Lawu adalah mubalig Datu la
Patiware’ Daeng Parabung. pada 161-15 Ramadhan 1013 H, raja lawu bergelar Sultan
Muhammad. Pada 9 Jumadilawal 1014 H, mangkubumi Goa atau raja Tallo yaitu I
Milangkaeng Daeng Nyori masuk islam. I Maleangakaerng bergelar Sultan Abdullah. Pada 19
Rajab 1016 H, raja Goa I Mangu’raing Daeng Manrabia masuk islam. Perkembangan agama
islam mendapatkan tempat baik di Sulawesi Selatan. Juga tersebar agama Sufisme Khalwatiyah,
yang berasal dari Syekh Yusuf al-Makassari di daerah kerajaan Goa dan lainnya pada abad 17.
Namun banyak ritangan yang datang dari bangsawan Goa. Sehingga Syekh Yusuf pergi ke
Banten dan meninggalkan Sulawesi Selatan, kemudian diterima baik oleh Sultan Ageng.
Kemudian dijadikan dianggkat menjadi mufti kerajaan Banten dan diangkat menjadi menantu.
e. Hubungan dengan VOC
Sultan Hasanuddin memiliki sejarah mengenai perjuangan melawan penjajahan ekonomi
dan politik VOC Belanda. Kemajuan dalam bidang perdagangan dialami oleh kerajaan Goa-
Tallo. VOC dibawah jendral J.P Coen, merampas kapal portugis di dekat daerah perairan
Malaka. Kemudian J.P Coen mendapat informasi dari orang Makassar yang berada di kapal
tersenut mengenai pentingnya pelabuhan Somba Opu. Peluhan Somba Opu berfungsi sebagai
pelabuhan transit, terutama untuk rempah-rempah dari Maluku.
Terkirimlah surat untuk perdagangan dan persahabat raja Goa, saat kapal VOC diperairan
Banda. Saat raja Goa mengundang VOC kes Somba Opu, VOC memperlihatkan perlikau yang
memaksa mengenai perdagangan rempah-rempah. Sebuah kapal VOC melego jangkar di
daerah Sulawesi pada tahun 1616. Kemudian kesultanan Goa, beranggapan VOC sebagai
perdagangan illegal, dan J.P Coen marah.
Dan permusuhan antara VOC dan kerajaan Goa muncul. VOC memblokade kerajaan
Goa pada tahun 1634, namun tidak berhasil. Perselisihan ini terus terjadi dan berhentik pada
perjanjian damai antara tahun 1637 dan 1638. Namun perjanjian ini tidak bertahan lama.
Terjadi perampokan pada tahun 1638, di kapal orang Bugis yang telah dijual ke orang Portgis.
Kapal ini bermuatan kayu cendana. Kemudian orang portugis meminta ganti, namun raja
menolaknya. Raja Goa mengusir orang-orang Belanda dari daerah Somba Opu. Orang Inggris,
Portugis, dan Denmark mendapat hak istimewa dalam perdagangan di Somba Opu.
Pada akhir tahun 1653, hak-hak istimewa tersebut menjadi perang antara VOC dan
kerajaan Goa. Dan pada tahun 1654-1655 terjadi perang besar-besaran di pebuhan Somba Opu
antara kedua belah pihak. Karena tidak menyukai politik monopli perdagangan rampah-
rempah VOC, rakyat Maluku memihak kerajan Goa. Pada tahun 27 Februari 1656, VOC
meniriman utusan dari Batavia untuk memberikan perjanjian. Goa menerima perjanjian
tersebut karena menguntungkan. Keuntungan tersebut antara lain seperti boleh menagih atas
perampokan kappal Bugis; VOC tidak akan menginvestasikan kepentingan kerajaan Goa;
boleh menagih utangnya kepada Ambon.
Namun perjanjian ini merugikan VOC, karena untuk persenjataan menyerang Goa dan
mempersipakan armada. Terdpat bantuan dari Aru Palaka yatu putra mahkota Bone, dalam

2
melaukan perlawanan ini, dibawah Cornels Jansz Speelman. Di bewah pimpinan Sultan
Hasanuddin, kesultanan Goa mengerahkan armada dan tentara untuk menghadapi VOC. Akhir
dari pertempuran ini adalah perjanjian Bongaya, perjanjian Damai, yang pada 18 November
1667, ditandatangani di Batavia.
B. Kerajaan Bone
a. Masa awal
Dalam proses Islamisasi di kerajaan Bone ini, tidak bisa terlepaskan dari proses
islamisasi yang sedang berlangsung dalam kerajaan Gowa. Setelah mengetahui Islam menjadi
agama kerajaan di Gowa, maka penyebaran Islam pun dimulai ke seluruh wilayah di luar
kerajaan Gowa. Setelah Raja Gowa memeluk Islam, yakni Sultan Alauddin Awwalul Islam,
maka islamisasi pun semakin gencar dilakukan. Atas perintahnya, siar Islam dilakukan dengan
pertama-pertama mengajak kerajaan tetangganya, seperti Ta-kalar, Jeneponto,dan Bantaeng.
Ala-sannya ialah berdasarkan perjanjian yang berbunyi “…bahwa barang siapa menemukan
jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberitahukan kepada raja- raja sekutunya (Nur,
2009: 64).”
Namun sebelum menjadi kerajaan islam Kesultanan Goa-Tallo ini sering berselisih
dengan kerajan Soppeng, Bone, dan Wajo yang beraliansi Tellumpocco. Terjadi peperangan
antara kerajaan Bone dan Goa-Tallo pada akhir abad 16. Dengan perjanian Ulung Kanaya ri
Callepa di Callepa, menjadi akhir peperangan ini. Terdapat pernyataan dari suatu persekutuan
yaitu musuh kerajaan Goa-Tallo menjadi musuh kerajaan Bone, dan sebaliknya. Terjadi perang
lagi, karena perjanjian tersebut gagal. Kerajaan Bone terikat dengan perjanjian Wajo dalam
ikatan Tellumpocco; perjanjian dengan Soppeng; dan perjanjian aliasnsi dengan Goa. Pada
1605, akibat perang ini, kesultanan Goa melakukan perluasan wilayah politik serta penyebaran
islam terhadap ketiga kerajaan tersebut. Pada tahun 1611, kesultanan Goa-Tallo menyerang
dan menaklukkan Bone. Kemudian raja memeluk islam dan bergelar Sultan Adam. Terjadi
perselisihan antara kerajaa Goa-Tallo dengan kerajan Bone, saat pemerintahan raja Bone ke-
13. La Maddaremmaneng ditangkap dan dibawa ke Goa sebagai tawanan.
b. Pemerintahan
Raja Bone ke-13, selama di Goa memperlihatkan ketaatan kepada islam. Lalu, dengan
sikap ini raja Bone dikembalikan ke Bone. Namun ibu dari raja Bone melarikan diri ke Goa.
Pada pihak kesultanan Goa-Tallo merasa tidak senang dan pada tahun 1643, Bone diserang
kembali. Aru Pitu di amanahkan di Bone, yang bertugas mencari calon raja Bone. Orang Bone
setuju bahwa raja kerajaan Bone diangkat dari Goa-Tallo. Goa tidak terima dengan keputusan
tersebut, maka timbul perselisihan. Namun pada akhirnya, penjanjian ini sisetujui. Akhirnya,
meskipun diwakilkan orang lain, raja Bone memerintaj kerajaan Bone.
c. Masa Akhir
Persataun dalam Goan-Bone tidak bertahan lama. Putra La Madderemmeng, yaitu Aru
Palaka pada tahun 1667, menyerang Goa bersama tentara VOC. Pada masa tersebut,
pemerintahan dibawah Sulatan Hasanuddin. Perjanjian Bongaya pada tahun 1667, menjadi
akhir peperangan antara VOC-Aru Palaka dan kesultanan Goa. Kerajaan-kerajaan Bugis,
akhirnya dpat disatukan oleh Aru Palaka. Dan mendapat gelar “De Koning Boeginesen” dari
VOC. Dalam konteks sejarah Sulawesi Selatan, di jelaskan bahwa pada abad ke XIX M,
kerajaan Bone ini merupakan saingan utama bagi Belanda dalam usahanya memperluaskan
wilayah kekuasaannya dalam bidang ekonomi dan politiknya.

3
C. Kerajaan Wajo
a. Sumber
Sumber mengenai perkembangan dan pertumbuhan kerajaan Wajo, ada dalam sumber
hikayat lokal yang berupa naskah asli. Karya karya Dr. J. Noor duyn berjudul “Een Achtiende-
Eeuwse Kroniek van Wadjo” menjadi salah satu buktinya. Kerajaan Wajo masih dikatakan
gelap dalam hal sejarah, terdapat beberapa versi dalam menceritaka munculnya nama Wajo,
seperti pendidrian kampong Wajo yang diceritakan dengan didirikan oleh 3 anak raja dari
kampung tetangga, yang merupakan keturunan dewa (Cinnotta’bi). Tiga anak orang raja yang
mendirikan tersebut menjadi pemimpin atau raja bagian bangsa Wajo. Tiga bagian wilayah
tersebut yaitu Tua, Talonlenreng, dan Bettempola. Dengaan gelarnya Batara Wajo, kepala
keluarga dari mereka menjadi raja seluruh wilayah Wajo. Karena perilaku yang buruk, Batara
Wajo ke-3 dipaksa turun tahta, lalu tiga orang ranreng membunuhnya. Sejak kejadia tersebut,
raja-raja Wajo dipilih oleh arung-matoa raja pertama dari keluarga raja.
b. Pemerintahan
Pangreh praja diperluas menjadi tiga pa’betelompo atau pendukung 3 duta; dan panji’ 30
arung-ma’bicara atau raja hakim, selama 4 arung-matoa dewan. Susunan ini bertuga untuk
memutuskan permasalahan atau perkara. Kerajaan Wajo melakukan perluasan wilayah, dan
kemudia menjadi kerajaan Bugis. Arung metoa ke-4 merupakan orang ahli siasat perang,
budiman ,dan memerintah selama 40 tahun. Dengan kerajaan Luwu, kerajaan Wajo pernah
bersekutu. Lalu pada 1582 dalam penjanjian Tellumpoco, kerajaan Wajo pernah bersatu
dengan kerajaan Soppeng dan Bone. Pada tahun 1610 untuk perluasan wilayah, kerajaan Goa
menaklukkan Wajo. Pemberian pelajaran agama islam oleh Datuk ri Pattimang dan Datok ri
Bandang kepada rakyat dan raja Wajo tentang masalah fikih dan kalam atau ketuhanan, pernah
diceritakan dalam hikayat.
c. Masa Akhir
Selama kurun waktu 67 tahun antara tahun 1612 dan 1679, diceritakan bahwa kerajaan
Wajo berada di bawah pimpinan 10 orang arung matoa. Untuk memperkuat persatuan kerajaan
Goa, dilakukan pemberian bantuan pada peperangan. Kerajaan Bone sering diberi bantuan oleh
keraajan Wajo, saat perang dengan kerajaan Bone tahun 1643, 1660, dan 1667. Namun
pemerintahan kerajaan Wajo, selalu dicampuri oleh kerajaan Goa. Kerajaan Bone pernah
menaklukkan kerajaan Wajo, namun kesultanan Goa-Tallo-lah yang akhirnya menaklukkan
kerajaan Bone. Di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin dan C.J Speelman dari VOC yang
mendapat bantuan dari Bone yaitu Aru Palaka karena perjanjian Bongaya (1667), terjadi perang
besar-besaran. Akhirnya VOC menaklukkan kesultanan Goa. Tentara VOC dan Bone pada
tahun 1670 menyerang kerajan Wajo, sehingga Tosara sebagai ibukota kerajaan Wajo berhasil
direbut. Serta gugur Arung Matoa to Senggeng dalam peperangan tersebut. Dengan
menyerahkan kerajaan Wajo ke VOC, Arung Matoa menandatangani perjanjian di Makassar.

4
DAFTAR PUSTAKA

Azra, A dan Burhanuddin. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah 3 : Kedatangan dan
Peradaban Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Soejono, R.P dan Leirissa K.Z. 2010. Sejarah Nasional Indonesia III : Zaman Pertumbuhan
dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Sewang, Ahmad M. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa Abad ke XVI Sampai Abad ke XVII.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nur, Azhar. 2009. Trialiance Tellumpocco’e.Yogyakarta: Cakrawala

Вам также может понравиться