Вы находитесь на странице: 1из 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


System reproduksi (organ reproduksi manusia) adalah suatu rangkaian
dan interaksi organ dan zat dalam organisme yang dipergunakan untuk
berkembang biak. System reproduksi pada suatu organisme berbeda antara
laki-laki dan perempuan. System reprodusi pada perempuan berpusat di
perempuan. Dan pada pria sepasang testis yang terbungkus dalam kantong
skrotum.
Pada system organ reproduksi wanita terdapat beberapa masalah yang
dapat terjadi diantaranya yaitu endometriosis dan klimaktorium.
Endometriosis disebabkan oleh jaringan endometrium atau selaput lendir
rahim bagian dalam yang setiap bulan luruh menjadi darah haid. Darah yang
luruh ini seharusnya hanya keluar lewat vagina dan sebagian kecil darah
tumpah melalui saluran telur kedalam rongga abdomen atau rongga perut.
Seharusnya tubuh bisa menyerap darah yang luruh ini. Namun beberapa hal
seperti factor genetic dan factor lingkungan menyebabkan turunnya
kemampuan system pertahanan tubuh. Sehingga darah tidak dapat diserap
secara maksimal.
Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukkan
angka kejadian yang meningkat. Angka kejadian antara 5-15 % dapat
ditemukan antara semua operasi pelvic. Endometriosis jarang didapatkan
pada orang-orang negro, dan lebih sering didapatkan pada wanita-wanita dari
golongan ekonomi social yang kuat. Yang menarik perhatian bahwa
endometriosis lebih sering ditemukan pada wanita yang tidak menikah pada
umur muda dan yang tidak mempunyai banyak anak. Rupanya fungsi
ovarium yang klinis secara terus menerus tanpa diselingi oleh kehamilan,
memegang peranan dalam terjadinya endometriosis (Prawihardjo, 2010)
Gangguan lain pada sistem reproduksi yaitu klimaktorium dimana pada
masa klimaktorium munculnya gejala yang menyertai sindrom Klimakterium
ini dapat menyebabkan beberapa keluhan pada wanita dan munculnya gejala

1
ini ditanggapi dengan sikap berbeda-beda pula. Beberapa wanita menganggap
kondisi ini sebagai bagian dari siklus hidupnya dan menerima keadaan itu
sebagai hal yang wajar, karena demikianlah fitrah manusia, yang harus dilalui
oleh setiap wanita pada umur tersebut. Pada bagian lain banyak pula wanita
yang mengeluh dengan datangnya Klimakterium sehingga mereka akan
menjadi cemas, kecemasan sering dihubungkan dengan adanya kekhawatiran
dalam menghadapi suatu situasi yang sebelumnya tidak pernah dikhawatiran.
Umumnya mereka tidak mendapat informasi atau pengetahuan yang benar
sehingga yang dibayangkan adalah efek negative yang akan dialami setelah
memasuki menopause (Wiji Lestari., Ulfiana Elisa., & Suparmi, 2013.).
Dari latar belakang diatas maka kelompok kami akan membahas lebih
spesifik lagi mengenai endometriosis dan klimaktorium.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian endometriosis dan klimakterium?
1.2.2 Bagaimana etiologi endometriosis dan klimakterium ?
1.2.3 Bagaimana manifestasi klinis endometriosis dan klimakterium ?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi endometriosis dan klimakterium ?
1.2.5 Bagaimana pathway endometriosis dan klimaktorim ?
1.2.6 Bagaimana epidemiologi endometriosis dan klimakterium ?
1.2.7 Bagaimana komplikasi dari endometriosis dan klimakterium ?
1.2.8 Bagaimana prognosis dari endometriosis dan klimakterium ?
1.2.9 Bagaimana pemeriksaan penunjang endometriosis dan klimakterium ?
1.2.10 Bagaiaman diagnosis endometriosis dan klimakterium ?
1.2.11 Bagaimana penatalaksaan medis endometriosis dan klimakterium?
1.2.12 Bagaimana konsep asuhan keperawatan endometriosis dan
klimakterium ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui dan memahami pengertian endometriosis dan
klimakterium
1.3.2 Untuk mengetahui dan memahami etiologi endometriosis dan
klimakterium

2
1.3.3 Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis endometriosis
dan klimakterium
1.3.4 Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi endometriosis dan
klimakterium
1.3.5 Untuk mengetahui dan memahami pathway endometriosis dan
klimakterium
1.3.6 Untuk mengetahui dan memahami epidemiologi endometriosis dan
klimakterium
1.3.7 Untuk mengetahui dan memahami komplikasi dari endometriosis dan
klimakterium
1.3.8 Untuk mengetahui dan memahami prognosis dari endometriosis dan
klimakterium
1.3.9 Untuk mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang
endometriosis dan klimakterium
1.3.10 Untuk mengetahui dan memahami diagnosis endometriosis dan
klimakterium
1.3.11 Untuk mengetahui dan memahami penatalaksaan medis endometriosis
dan klimakterium
1.3.12 Untuk mengetahui dan memahami konsep asuhan keperawatan
endometriosis dan klimakterium

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Endometriosis
2.1.1 Pengertian Endometriosis
Menutut (Brunner & Suddarth, 2013) Endometriosis adalah suatu
lesi jinak dengan sel yang serupa dengan sel yang melapisi uterus,
tumbuh secara menyimpang di rongga panggul di luar uterus. Selama
menstruasi, jaringan etopik ini berdarah, sebagian besar ke area yang
tidak memiliki lubang keluar, yang menyebabkan nyeri. Jaringan
endometrial dapat juga menyebar melalui saluran limfatik atau vena.
Menurut (M. Black, Joyce & Hokanson Hawks, 2014)
Endometriosis adalah kondisi abnormal dimana jaringan endometrium
ditemukan pada lokasi internal selain uterus. Lokasi relokasi jaringan
yang paling umum adalah rongga pelvis, terutama ovarium dan bagian
peritoneum pelvis yang menggantung.
Jadi dapat disimpulkan bahwa endometriosis adalah adanya
kelenjar dan stroma endometrium di luar uterus, paling sering
mengenai ovarium atau permukaan peritoneum viseralis yang
mengantung. Meskipun jinak, endometriosis bersifat progresif,
cenderung kambuh dan dapat mengivansi secara lokal, dapat memiliki
banyak fokus yang tersebar luas (jarang), dan dapat terjadi dalam nodus
limfe pelvis (30%).

2.1.2 Etiologi Endometriosis


Penyebab endometriosis tidak diketahui dengan pasti, walaupun
telah dikemukakan beberapa teori. Menstruasi retrograd, teori yang
paling diterima, meyatakan bahwa sekresi menstrual mengalir baik
melalui tuba fallopi dan mengendapkan partikel jaringan endometrium
hidup diluar rongga uterus. Jaringan endometrium ini lalu bereproduksi
dalam struktur pelvis. Teori diseminasi veskular dan limfatik
berpendapat bahwa metastasis jaringan endometrium terjadi melalui

4
sistem limfatik dan vaskular ke lokasi dibawah uterus. Hal ini dapat
menjelaskan beberapa lokasi metastasis jauh, seperti paru-paru dan
ginjal (Black, Joyce & Hokanson Hawks, 2014)

2.1.3 Manifestasi Klinis Endometriosis


Menurut (Errol Norwitz & John Schorge, 2006) terdapat beberapa
tanda gejala pada endometriosis antara lain :
1. Gejala yang sering di temukan adalah nyeri panggul dan infertilitas,
tetapi banyak pasien asimtomatik.
2. Nyeri dengan pola siklik merupakan tanda utama endometriosis,
termasuk dismenoria sekunder (dimulai pada saat menstruasi dan
memuncak pada saat aliran menstruasi maksimal), dipareunia dalam
(nyeri pada saat hubungan seksual), dan nyeri unggung di bagian
sakrum pada saat menstruasi. Gejala juga dapat terjadi akibat
keterlibatan rektum, uretra, atau kandung kemih.
3. Keparahan gejala tidak harus berkorelasi dengan derajat penyakit
panggul. Bahkan, banyak wanita dengan endometriosis minimal
mengeluhkan nyeri punggul yang parah.
4. Infertilitas mungkin akibat distorsi anatomis arsitektur panggul
akibat endometriosis yang luas dan perlengketan, tetapi juga terjadi
pada wanita dengan penyakit minimal untuk alasan-alasan yang
belum diketahui.
5. Temuan fisik yang sering ditemukan adalah uterus dengan posisi
retroversi cekat, nodularitas ligamentum uterosakrum, dan adneksa
yang membesar serta lunak dan nyeri.

2.1.4 Patofisiologi Endometriosis


Endometriosis disebabkan oleh adanya jaringan endometrium
ditempat abnormal, termasuk ovarium dan tuba fallopi. Lokasi dalam
ovarium menyebabkan terbentuknya kista cokelat klasik, jaringan ini
berespon terhadap fluktuasi hormon selama siklus menstruasi berubah
pertumbuhan dan perdarahan, yang menyebabkan timbulnya gejala.

5
Penyebab kelainan pada lokasi ini tidak diketahui. Satu teori
mengaitkannya dengan menstruasi retrogard, dimana sel – sel
endometrium mengalami refluk kedalam pelvis, tempat sel – sel
tersebut berimplantasi. Terkadang jaringan endometrium terdapat
diparu atau hidung, yang menunjukkan suatu asal sel yang berbeda
(Greenberg, 2007).

2.1.5 Pathway Endometriosis


Regurgitasi darah Imunodefisiensi Perubahan gen pengkode reseptor
haid lokasi steroidogenic faktor-1, estrogen receptor -
beta
Melalui Tuba Imunitas seluler <<
Fallopi Steroidogenic Prostaglandin >>
Pembersihan serpih enzyme aromatase
haid >>
Rongga peritoneum

Katalisis sintesis estron


Serpih haid/endometrium menempel pada sisi & estradiol
epitel yang rusak androstenedion &
testosteron

Pajanan matriks ekstraselular


>>Produksi estrogen oleh sel
stroma endometrial
Menciptakan sisi perlekatan
jaringan endometrium Persistensi dan ketahanan
jaringan endometrium

Resisten terhadap efek


Endometriosis
antiestrogenik dari progesteron
(granduls, stroma)

6
2.1.6 Epidemiologi Endometriosis
Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini
menunjukan angka kejadian yang meningkat. Angka kejadian antara 5-
15% dapat di temukan di antara semua operasi pelvik. Endometriosis
jarang di dapatkan pada orang-orang negro, dan lebih sering di
dapatkan pada wanita-wanita dari golongan sosio-ekonomi yang kuat.
Yang menarik perhatian ialah bahwa endometriosis lebih sering di
temukan pada wanita yang tidak kawin pada umur muda, dan yang
tidak mempunyai banyak anak. Rupanya fungsi ovarium secara siklis
yang terus menerus tanpa diselingi oleh kehamilan, mmegang peranan
dalam terjadinya endometriosis.
Insidensi tingi diantara pasien yang hamil di usia lanjut dan
memiliki anak lebih sedikiy. Endometriosis biasanya ditemukan pada
waniya antara usia 25 dan 35 tahun dan pada remaja, terutama mereka
yang mengalami dismenorea yang tidak berespon terhadap obat –
obatan antiinflamasi nonsteroid (NSAID) atau kontrasepsi oral.
Endometriosis merupakan penyebab utama nyeri panggul dan
infertilitas (Brunner & Suddarth,2013).

2.1.7 Komplikasi Endometriosis


Komplikasinya meliputi pembentukan parut dan adesi intra –
abdomen, perdarahan rektum, obstruksi usus, obstruksi urin, dan
hemoptisis (Grenberg, 2007).

2.1.8 Prognosis Endometriosis


Endometriosis ringan sampai sedang, pengobatan hormonal atau
pembedahan dapat menghilangkan nyeri dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya kehamilan. Bagi wanita yang berusia 35 tahun
atau mereka yang ingin memuaskan kemampuan reprodukrif, bedah
definitif ( histerektomi total) merupakan alternatif lain (Smeltzer,
Suzanne C. & Brenda G Bare. 2002).

7
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang Endometriosis
Menurut (Wiji Lestari., Ulfiana Elisa., & Suparmi,2013)
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan
endometriosis adalah ultrasonografi transvaginal dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) dan pemeriksaan marka biokimiawi
1. Ultrasonografi
Ultrasonografi vaginal merupakan pemeriksaan penunjang
lini pertama yang mempunyai akurasi cukup baik terutama dalam
mendeteksi kista endometriosis. USG tidak memberikan hasil baik
untuk pemeriksaan endometriosis peritoneal. Pada endometriosis
dalam, angka sensitifitas dan spesifisitasnya bervariasi
tergantung lokasi lesi endometriosis.
Ultrasonografi transvaginal juga dapat digunakan untuk
mendiagnosis endometriosis pada traktus gastrointestinal. Dari
review sistematis 1105 wanita didapatkan sensitivitas USG
adalah 91 % dengan spesifisitas 98%, nilai duga positif 98%
dan nilai duga negatif 95%.
2. Magnetic Resonance Imaging
Pada serial kasus yang dilaporkan oleh Stratton dkk
mengenai penggunaan MRI untuk mendiagnosis endometriosis
peritoneum, didapatkan sensitifitas 69% dan spesifisitas 75%.
Sebagai kesimpulan MRI tidak berguna untuk mendiagnosis
atau mengeksklusi endometriosis peritoneum (Rekomendasi D).
3. Pemeriksaan Marka Biokimiawi
Endometriosis merupakan kelainan yang disebabkan oleh
inflamasi. Sitokin, interleukin, dan TNF-α mempunyai peran dalam
pathogenesis endometriosis. Hal ini dilihat dari meningkatnya
sitokin dalam cairan peritoneal pada pasien dengan
endometriosis. Pemeriksaan IL-6 telah digunakan untuk
membedakan wanita dengan atau tanpa endometriosis, dan untuk
mengidentifikasi derajat dari endometriosis.

8
2.1.10 Diagnosis Endometriosis
Menurut (Errol Norwitz & John Schorge, 2006) terdapat beberapa
diagnosis pada endometriosis antara lain :
1. Ultrasonografi panggul mungki menunjukan adanya satu atau lebih
endometrioma (kista ovarium yang berisi darah) yang umumnya
melekat pada struktur panggul di dekatnya akibat adanya kebocoran
dan reaksi fibrosis berulang.
3 Anamnesis dan pemeriksaan fisisk dapat memperlihatkan
kemungkinan adanya endometriosis, tetapi diagnosis difinitif hanya
dapat di tegakan dengan visualisasi langsung lesi endometriosis dan
pemeriksaan patoogis terhadap spesimen biopsi.
4 Lesi endometriosis memiliki tampilan yang bervariasi. Lesi awal
pada permukaan peritonium berukuran kecil dan vesikuler, serta
berisi cairan bening yang kemudian menjadi coklat akibat
perdarahan berulang. Kemudian lesi memiliki tampilan khas seperti
“terbakar” yang terlihat daerah hitam berlipat-lipat dan di kelilingi
oleh lluka perut berbentuk stelata (bintang).
5 Lesi endometriosis dapat terjadi dibagian tubuh mana saja. Lokasi
paling umum adalah ovarium. Lesi ini kadang-kadang di temukan di
luar abdomen (paru, vulva).

2.1.11 Penatalaksanaan Medis Endometriosis


Menurut (Errol Norwitz & John Schorge, 2006) terdapat beberapa
penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan antara lain :
1. Tata laksana medikamentosa
a. Terapi medikamentosa empiris dengan kontrasepsi oral
direkomendasikan untuk pasien yang simtomatik.
b. Pereda simtomatik untuk dismenorea, dispareunia, dan/atau
nyeri panggul biasanya berhasil dengan mengunakan obat-
obatan meskipun peredaan ini biasanya hanya bertahan fdalam
waktu singkat.

9
c. Tujuan utama dari tata laksana medikamentosa adalah supresi
ovulasi dan induksi amenorea. Kondisi ini akan memungkinkan
implan menjadi tidak aktif dan fibrotik.
Pengobatan:
1) Kontrasepsi oral biasanya dapat meredakan nyeri panggul ringan
hingga sedang
2) Progestin tunggal dapat menghasilkan peredaan nyeri yang
bermakna, tetapi efak sampingnya mencakup perdarahan di
luarsiklus yang seharusnya (60%) dan depresi yang semakin
parah (10%)
3) Agonis hormon pelepas gonatropin (gonatropin releasing
hormone, GnRH) sangat efektif untuk menciptakan ooforektomi
medis’. Pengobatan biasanya dibatasi selama 6 bulan kecuali
dikombinasikan dengan terapi hormon lain (estrogen *
progestin).
2. Pembedahan Konservatif
a. Perlengketan panggul dan endometrioma berukuran besar (2 cm)
paling baik di tangani melalui pembedahan dibandingkan secara
medikamentosa.
Tujuan: untuk mengangkat atau menghancurkan endometriosis
sebanyak mungkin dan pada saat bersamaan mengembalikan
anatomi normal sertamenyisakan sebanyak mungkin jaringan
ovarium normal.
b. Dapat memperbaiki rata-rata kehamilan pada wanita dengan
endometriosis sedang sampai berat.
c. Neorektomi presakral dan/atau ablasi saraf uterosakral biasa
menguntiungkan bagi pasien-pasien tertentu.
3. Pembedahan Definitif
a. Historektomi dengan salpingo-ooferektomi bilateral merupakan
terapi paling definitif.

10
b. Salah satu atau kedua ovarium dapat dipertahankan dengan 20%
risiko akan menjalani operasi lain untuk meredakan nyeri yang
berkepanjangan.
c. Terapi pengantian hormon harus dipertimbangkan setelah
operasi jia kedua ovarium di angkat. Terdapat keuntungan
teoritis dari kombinasi estrogen dan progesteron untuk
mencegah transformasi ke arah ke ganasan dari setiap sisa
impian endometriosis.
d. Nyeri panggul bisa terus berlanjt meskipun pembedahan
definitif telah dilakukan.
4. Pencegahan
Meigs berpendapat bahwa kehamilan adalah cara pencegahan
yang paling untuk endometriosis. Gejala-gejala endometriosis
memang berkurang atau hilang pada waktu dan sesudah kehamilan
karena represi endometrius dalam sarang-sarang endometriosis.
Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama,
dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat
anak-anak yangdi ingini dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sikap demikian itu tidak hanya merupaka profilaksis yang baik
terhadap endometriosis, melainkan menghindari terjadinya
infrtilitas sesudah endometriosis timbul.
Selain itu jangan melakukan pemeriksaan yang kasar atau
melakukan kerokan pada waktu haid, oleh karena hal itu dapat
menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan
kerongga panggul.

11
2.1.12 Konsep Asuhan Keperawatan Endometriosis
A. Pengkajian
1. Riwayat
a. Nyeri panggul berulang yang mencapai punyaknya 5 hingga
7 hari sebelum menstruasi dan berlangsung selama 2 hingga 3
hari
b. Infertilitas
c. Dismenore
d. Nyeri pada abdomen bawah, vagina, psnggul posterior dan
punggung sering kali menyebar ke sisi yang terkena.
e. Gejala tambahan dapat muncul tergantung pada lokasi yang
terlibat :
1) Hipermenore (oviduk dan ovarium)
2) Dispareunia kandidiasis profunda (ovarium
3) Nyeri suprapubis, disuria dan hematuria (kandung kemih)
4) Diskezia, perdarahan rekrum dengan menstruasi dan nyeri
pada koksigis atau sakrum
5) Mual dan muntah yang memburuk.
6) Kram abdomen
2. Temuan Pemeriksaan Fisik
a. Nyeri tekan multiple pada nodul di ligamen uterosakrum atau
septum rektovagina
b. Pembesaran nodul (nyeri tekan selama menstruasi)
c. Pembesaran ovarium dengan kista endometrium pada
ovarium
(Praptiani & Barrid, 2011)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan agen cidera biologis
2. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
3. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan peubahan
perkembangan.

12
C. Intervensi

Diagnosa
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
Nyeri berhubungan Setelah dilakukan tindakan Pasien akan : Tindakan mandiri :
dengan gangguan keperawatan selama 1x24 a. Menyatakan secara verbal a. Lakukan pengkajian nyeri yang
menstruasi jam di harapkan rasa pengetahuan tentang cara komprehensif meliputi lokasi nyeri,
nyaman klien terpenuhi dan alternatif untuk redakan karakteristik, frekuensi, durasi, dan
tidak terasa nyeri nyeri. intensitas (skala 0-10) dan faktor
b. Melaporkan bahwa pencetus.
tingkat nyeri pasien b. Obsevasi isyarat nonverbal
berkurang (pada skala ketidaknyamanan, khususnya pada mereka
nyeri 0 - 10) yang tidak mampu berkomunikasi efektif.
c. Tampak rileks, mampu c. Ajarkan penggunaan teknik
tidur/istirahat dengan nonfarmakologis seperti, hipnosis,
tepat distraksi relaksasi, kompres hangat.
d. Mengenali faktor – faktor d. Berikan tindakan kenyamanan dasar (mis.,
yang meningkatkan nyeri reposisi, gosokan punggung) dan aktifitas
dan melakukan tindakan hiburan (mis., musik, televisi).
pencegahan nyeri e. Evaluasi penghilangan nyeri / kontrol.
Nilai aturan pengobatan bila perlu.

13
f. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat
memengaruhi respons pasien terhadap
ketidaknyamanan (misalnya suhu ruangan,
pencahayaan dan kegaduhan)
Tindakan Kolaborasi :
a. Berikan analgesik sesuai indikasi.

Ansietas Setelah dilakukan tindakan Pasien akan : Tindakan Mandiri :


berhubungan keperawatan selama 1x24 a. pasien mampu a. Gunakan pendekatan yang menenangkan
dengan perubahan jam diharapkan cemas mengidentifikasi dan b. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
status kesehatan berkurang. mengungkapkan gejala pelaku pasien
cemas c. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
b. mengidentifikasi, dirasakan selama prosedur
mengungkapkan dan d. Pahami preseptik pasien terhadap situasi
menunjukkan teknik stres
kontrol cemas e. Temani pasien untuk memberikan
c. TTV dalam batas normal keamanan dan mengurangi takut
d. Postur tubuh , ekspresi f. Identifikasi tingkat kecemasan pasien
wajah, bahasa tubuh dan g. Bantu pasien mengenal situasi yang

14
tingkat aktivitas menimbulkan kecemasan
menunjukkan h. Dorong pasien untuk mengungkapkan
berkurangnya kecemasan perasaan dan ketakutan
i. Instruksikan pasien menggunakan teknik
relaksasi

Gangguan harga Setelah dilakukan tindakan a. Penyesuaian psikososial: Tindakan Mandiri :


diri rendah keperawatan selama 2 x 24 perubahan hidup: respon a. Tunjukkan rasa percaya diri terhadap
berhubungan jam diharapkan klien psikososial adaptive kemampuan pasien utuk mengatasi situasi
dengan perubahan mampu meningkatkan harga individu terhadap b. Dorong pasien mengidentifikasi kekuatan
perkembangan diri. perubahan bermakna dirinya
dalam hidup c. Ajarkan keterampilan perilaku yang
b. Menunjukkan penilaian positif melalui bermain peran, model
pribadi tentang harga diri peran, diskusi
c. Mengungkapkaan d. Dukung peningkatan tanggung jawab diri,
penerimaan diri jika diperlukan
d. Komunikasi terbuka e. Buat statement positif terhadap pasien
e. Mengatakan optimisme f. Dukung pasien untuk menerima tantangan
tentang masa depan baru

15
f. Menggunakan strategi g. Kaji alas an-alasan untuk mengkritik atau
koping efektif menyalahkan diri sendiri

16
2.2 Klimaktorium
2.2.1 Pengertian Klimaktorium
Menurut (Lestari, Ulfiana & Suparmi, 2013) Klimaktorium
merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dengan masa
senium( kemunduran alat – alat tubuh dan kemampuan fisik, sebagai
proses menjadi tua) yang bersifat fisiologis dan terjadi sekitar usia 40
tahun keatas. Klimaktorium juga sering disebut sebagai masa
perimenopause. Masa ini berlangsung beberapa tahun sebelum dan
sesudah menopause. Pada kenyataanya masih sulit untuk menentukan
awal dan akhir masa klimakterium, akan tetapi berdasarkan keadaan
endokrin dan gejala klinis dapat dikatakan bahwa klimakterium dimulai
kira kira 6 tahun sebelum menopause dan berakhir kira kira 6 – 7 tahun
setelah menopause.
Ketika seorang wanita memasuki masa klimaktorium, terdapat
penurunan produksi estrogen dan peningkatan hormon gonadotropin.
Kadar hormon ini tetap tinggi hingga sekitar 15 tahun setelah
menopause kemudian mulai menurun. Kondisi ini akibat ovarium
menjadi tua.
Proses menjadi tua sudah mulai pada umur 40 tahun. Ketika lahir
jumlah folikel yang dimiliki wanita sebanyak 750.000 buah sedangkan
ketika menopause jumlah foliel hanya beberapa ribu buah dan folikel
ini lebih resisten terhadap rangsangan gonadotropin. Dengan demikian,
siklus ovarium lambat laun terhenti. Pada wanita yang berusia diatas 40
tahun, 25% siklus menstruasi tidak disertai ovulasi.
Masa – masa klimaktorium antara lain :
a. Pramenopause adalah masa 4-5 tahun sebelum menopause, keluhan
klimakterik sudah mulai timbul, hormon estrogen masih dibentuk.
Bila kadar estrogen menurun maka akan terjadi perdarahan tak
teratur.
b. Menopause adalah henti haid yang terakhir yang terjadi dalam masa
klimakterium dan hormon estrogen tidak dibentuk lagi, jadi

17
merupakan satu titik waktu dalam masa tersebut. Umumnya terjadi
pada umur 45-55 tahun.
c. Pasca menopause adalah umumnya terjadi dalam kurun waktu 6 – 7
tahun setelah menopause
2.2.2 Etiologi Klimaktorium
(Bobak, Irene. M, 2005) Masa klimaktorium, biasanya ditandai
dengan siklus haid yang tidak teratur. Klimaktorium bisa terjadi selama
beberapa bulan sampai beberapa tahun sebelum menopause. Pada masa
ini sebenarnya telah terjadi aneka perubahan pada ovarium seperti
sklerosis pembuluh darah, berkurangnya jumlah sel telur dan
menurunnya pengeluaran hormon seks. Menurunnya fungsi ovarium
menyebabkan berkurangnya kemampuan ovarium untuk menjawab
rangsangan gonadotropin. Hal ini akan mengakibatkan interaksi antara
hipotalamus-hipofisis terganggu. Pertama-pertama yang mengalami
kegagalan adalah fungsi korpus luteum. Turunnya produksi steroid
ovarium menyebabkan berkurangnya reaksi umpan balik negatif
terhadap hipotalamus. Keadaan ini akan mengakibatkan peningkatan
produksi dan sekresi FSH dan LH. Peningkatan kadar FSH merupakan
petunjuk hormonal yang paling baik untuk mendiagnosis sindrom
klimakterik.
Secara endokrinologis, klimakterik ditandai oleh turunnya kadar
estrogen dan meningkatnya pengeluaran gonadotropin.
Pada wanita masa reproduksi, estrogen yang dihasilkan 300-800
ng, pada masa pramenopause menurun menjadi 150-200 ng, dan pada
pascamenopause menjadi 20-150 ng. Menurunnya kadar estrogen
mengakibatkan gangguan keseimbangan hormonal yang dapat berupa
gangguan neurovegetatif, gangguan psikis, gangguan somatik,
metabolik dan gangguan siklus haid.
Beratnya gangguan tersebut pada setiap wanita berbeda-beda
bergantung pada:
1. Penurunan aktivitas ovarium yang mengurangi jumlah hormon

steroid seks ovarium. Keadaan ini menimbulkan gejala-gejala

18
klimakterik dini (gejolak panas, keringat banyak, dan vaginitis

atrofikans) dan gejala-gejala lanjut akibat perubahan metabolik yang

berpengaruh pada organ sasaran (osteoporosis).

2. Sosio-budaya menentukan dan memberikan penampilan yang

berbeda dari keluhan klimakterik.

3. Psikologik yang mendasari kepribadian wanita klimakterik itu, juga

akan membe-rikan penampilan yang berbeda dalam keluhan

klimakterik.

2.2.3 Manifestasi Klinis Klimaktorium


Menurut (Bobak, Irene. M, 2005) Sekitar 20% wanita tidak
mengalami gejala. Kebanyakan wanita mengalami gejala ringan sampai
moderat dan jarang memerlukan perhatian medis dan beberapa wanita
mengalami gejala yang berat. Berikut ini terdapat manifestasi klinis
pada klimaktorium antara lain :
1. Gejala pada Periode Klimaktorium
a. Ketidakstabilan Vasomotor
Ketidakstabilan vasomotor merupakan gangguan yang paling
umum pada klimakterium.Wanita ini mengalami vasodilatasi dan
vasokontriksi yang berubah-rubah. Seperti warna kemerahan
akibat panas (flashes) dan keringat malam. Kemerahan akibat
panas merupakan sensasi nrasa hangat yang muncul tiba-tiba
dengan durasi dan intensitas yang bervariasi dikepala, leher dan
dada.Kwemerahan ringan tidak mengganggu aktivitas sehari-
hari.Kemerahan moderat menyebabkan rasa tidak nyaman disertai
peningkatan syhu yang dapat diukur dan poengeluaran
keringat.Kemerahan berat menimbulkan rasa yang tidak nyaman
yang ekstermdan mengganggu aktivitas sehari-hari.
Kemerahan akibat panas dapat berlanjut beberapa bulan atau
tahun. Beberpa faktor dapat mempresipitasi suatui eposode,
meliputi ruangan yang hangat atau Padat , konsumsi alkohol ,

19
minuman panas , makanab berbumbu , dan ke sumber panas
(Dehaan, Bruker,1991).
Keringat malam merupakan bentuk lain ketidakstabilan
vasomotor yang dialami oleh banyak wanita. Tidur dapat
terganggu setiap malam karena penutyp tempat tidur dan linen
menjadi basah dan banyak wanita mengeluh tidak mampu
kembali tidur.Tetapi penggatian esterogen (esterogen replacement
therapy (ERT) direkomendasikan untuk meredakan gejala).
b. Gangguan Emosi
Perubahan mood, iritabilas, ansietas, dan depresi sering kali
dihubungkan dengan perimenopouse.Wanita secara emosional
merasa lebih labil, gugup atau gelisah.Wanita sering kali
menghubungkan perubahan mood serta iritabilitas klimakterium
dengan perasaanyang merela alami selama dan segera setelah
hamil. Namun, proses biokimia yang mendasari variasi respins
emosi pada masa klimakterium tidak diketahui.
Stres kehidupan setengah baya dapat memperburuk
menopouse.Menghadapi anak remaja, membantu orang tua yang
lanjut umur, menjadi janda atau bercerai, dan berduka karena
teman dan keluarga sakit atau menjelang ajal adalah beberapa
bentuk stres yang meningkatakan resiko malasalah emosional
yang serius.
Kemampuan untuk mengatasi setiap stres melibatkan
sekurang-kurangnya tiga faktor : persepsi individu atau
pemahaman terhadap kejadian, sistem pendukung, serta
mekanisme koping. Dengan demikian, perawat harus mengkaji
seberapa banyakinformasi tentang klimakterium yang dimiliki
wanita tersebut , persepsinya tentang pengalaman stres , siapa
yang dapat diandalkan untuk tempat bergantung dan meminta
bantuan serta jenis-jenis ketrampilan kopingnya.
Pesan budaya serta mempengaruhi status emosi selama
perimenopouse. Banyak wanita mempersepsikan

20
ketidakmampuan untuk mengandung sebagai suatu kehiloangan
yang bermakna .orang lain melihat menopouse sebagai langkah
pertama untuk masuk ke usia tua dan menghubungkan dengan
hilangnya kecantikan. Budaya barat menghargai masa muda dan
kecantikian fisik, sementara orang tua menderita akibat
kehilangan status , fungsi , dan peran . wanita yang
mempersepsika menopouse sebagai waktu kehilangan
kemungkinan akan mengalami depresi.
Untuk wanita lain, menopouse bukanlah suatu kehilangan,
tetepi suatu kebebasan dari rasa takut terhadap menstruasi yang
merepotkan dan rasa tidak nyaman akibat kontrasepsi. Terlepas
dari pesan budaya yang kuat bahwa masa muda dihargai melebihi
usia, wanita yang menghargai dirinya sendiri akan menyesuaikan
diri dengan baik terhadap keadaan menopouse.

2. Gejala Pada Periode Pascaklimakterium


Gejala-gejala yang terjadi pada fase pasca menopouse dihubungkan
dengan atrofi genetalia dan osteoporisis.
a. Atrofi Genetalia dan Perubahan Seksualitas
Sering dengan penurunan kadar esterogen, epitel vagina
menipis dan PH vagina meningkat sehingga timbul kekeringan,
rasa terbakar,iritasi dan dispareuma. Pada beberapa wanita,
penyusutan uterus vulva, dan bagian distal uretra menimbulkan
gejala-gejala yang mengganggu, meliputi sering berkemih,
diusria, prolaps uterus, stres inkontinensia dan konstipasi.Rasa
gatal sekitas vulva timbul kerean vulva menjadi lebih tipis ,
kurang elastis dan lebih rentan terhadap peradangan.
Dispareunia (hubungan seksual yang menimbulkan rasa
nyeri) dapat terjadi kerena vagina menjadi lebih kecil, di nding
vagina menjadi lebih tipis dan lebih kering dan lubrikasi selama
stimulasi seksual berlangsung lebih lama.Hubungan seksual
dapat menyebabkan perdarahan pascakoitus dan wanita mungkin

21
memutruskan untuk mengelak melakukan hubungan seksual.
Aktivitas seksual tidak berakhir karena menopouse. Namun,
wanita dan pasanganya mungkin mengubah cara mereka
mengungkapkan seksualitas selama dan setelah menopouse. Hal
ini bergantung poada perubahan fisik, perubahan pada pasangan,
dan mitos serta pesan budaya. Untuk individu yang melihat proses
penuaan sebagai suatu kehilangan, seksualitas dapat menjadi sulit
untuk digabungkan ke dalam apa yang mereka persepsikan
sebagai identitas yang tida terlalu menarik. Rasa takut ditolak
selalu ada. Karena peningkatan usia, pria membutuhkan waktu
lebih lama untuk mencapai orgasme, ereksi memerlukam waktu
lebih lama dan ketegangan berkurang. Wanita mungkin merasa
pasanganya tidak lagi tertarik pada mereka. Pasangan ini ,
membutuhkan konseling untuk memahami perubahan ini.
Tidak adanya pasangan pria memberi efek yang merusak
ekspresi seksual.Wanita yang hidup lebih lama dari pasangan
pria, janda berusia lebih tua dan wanita carai memiliki lebih
sedikit kesempatan untuk mengembangkan hubungan kereana
mereka lebih sedikit dicari setelah itu.Wanit yang berusia lebih
tua dan melakukan hubungan seksual tidak dapat berasumsi
bahwa pasangan yang baru atau pasangan yang tidak monogami
bebas HIV.Oleh karena itu, mereka perlu menggunakan kondom.
Selama wanita mampu mengandung anak, beberapa
menerima hubungan seksual sebagi bagian dari tanggung jawab
mereka sebagi istri.Menopouse membebaskan mereka dari
kewajiaban ini.Mereka mimilihg untuk mengelak berhubungan
seksual. Untuk wanita lain, libido meningkat karena ia tidak lagi
direpotkan oleh kontrasepsi , rasa takut menjadi hamil, atau
diinterupsi oleh menstruasi.
Sering berkemih terjadi kadang kala kerena bagian distal
uretra yang berasal dari bakal embrio yang sama dengan organ
reproduksi menyusut. Zat pengiritasi memilik akses yang lebih

22
mudah untuk masuk kedalam saluran kemih pada uretra yang
lebih pendek sehingga individu lebih sring berkemih dan
mengalami sistisis. Hasil kultur urine pada wanita
pascamenopoouse dapat negatif untuk patogen.
Inkontinesia urinarius dan pergeseran letak ueterus adalah
dua kondisi lain yang umum ditemui selama periode ini. kondisi
ini dibahas pada halm. 1024 dan 1027.Konstipasi atau nyeri
defekasi dapat mengindikasikan bahwa terdapat rektokel (lihat hal
1024).
Tidak semua wanita mengalami gejala atrofi
genetalia.Esterogen endogen telah ditemukan untuk memberi
stimulasi 10 tahun setelah menopouse.ERT sering kali
menyembuhkan.

b. Osteoposis
Osteoporosis adalah penurunan masa tuloang seiring
peningkatan umur, yang dihubungkan dengan peningkatan
kerentanan fraktur. Tetesan pascamenopouse dalam kadar
esterogen menyebabkan tulang tang tua lebih cepat rapuh dari
pada tulang baru yang dibentuk. Hal ini menyebabkan tulang
secara perlahan menjadi tipis.
Esterogen diperlukan untuk mengubah vitamin D menjadi
kalsitonin yang esensial dakam absorpsi kalsium oleh usus
halus.Penurunan absorpsi kalsium juga penipisan tulang,
membuat wanita pascamenopouse beresiko mengalami msalah
yang berhubungan dengan osteoporosis.
Kurang lebih satu dari empat orang wanita mengalami
osteoporosis. Selama lima sampai enam tahun setelah menopouse,
wanita kehilangan tulang enam kali lebih cepat dari pada pria.
Saat wanita mencapai usia 80 tahun, mereka sudah kehilangan
47% tulang trebekular, yang terkonsentrasi dari vertebra, pelvis,
dan tuloang pipih lain serta di efisis. Wanita yang beresiko

23
kemungkinan merupakan keturunan kulit putih atau asia,
tulangnya kecil dan kurus. Delapan puluh persen (80%) penyebab
perbedaan massa tulang puncak ialah faktor genetik.
Asupan kalsium yang rendah merupaka faktor resiko,
kususnya selama masa remaja (jhonston, Longcope,1990).
Asupan tinggi protein atau kafein meningkatkan eksresi kalsium.
Merokok, asupan alkohol berlebih serta asupan fosfor yang
melebihi kalsium (yang terjadi saat mengkonsumsi minuman
ringan) merupakan faktor resiko lain(erickon, Jones, 1992)
Penggunaan teknik radiografi untuk mengidentifikasi wanita
beresiko tidaklah akurat bahkan mahal. Osteoporosis tidak dapat
dideteksi dengan pemeriksaan sinar X sampai 30%-50% massa
tulang-tulang.
Tanda pertama osteoporosis seringkali adalah penurunan
tinggi badan akibat fraktur serta mengakkolaps tulang belakang
(Gbr. 30-6).Nyeri punggung dapat timbul. Tanda –tanda
selanjutnya meliputimuncuinya bongkol di punggung ,yang
membuattulang belakang tidak dapat lagi menopang tubuh bagian
atas, serta frakturpinggul. Fraktursering kali timbul karena
indifidu jatuh.

c. Penyakit Jantung Koroner


Walaupun penyakit jantung coroner merupakan penyebab
utama kematian pada wanita Di Amerika, penelitian yang di
rancang denganbaik dalam skala besarbelum di lakukan pada
wanita (eaker, dkk,992). Wanita pascamenopause beresiko
menderita penyakit arteri coroner karena wanita mengalami
penurunan kadar kolesterol lipoprotein densitas tinggi (high
density lipoprotein [HDL]) dalam serum sekaligus peningkatan
kadar lipoprotein densitas rendah (low density lipoprotein [LDL].
Terapi penggantian esterogen (esterogen replacement therapy
[ERT])memperlambat proses ini (Barret-Connor, Bush, 1991).

24
2.2.4 Patofisiologi Klimaktorium
Penurunan fungsi ovarium menyebabkan berkurangnya
kemampuan ovarium untuk menjawab rangsangan gonadotropin,
sehingga terganggunya interaksi antara hipotalamus – hipofise.
Pertama-tama terjadi kegagalan fungsi luteum . Kemudian turunnya
fungsi steroid ovarium menyebabkan berkurangnya reaksi umpan balik
negatif terhadap hipotalamus. Keadaan ini meningkatkan produksi FSH
dan LH. Dari kedua gonadoropin itu, ternyata yang paling mencolok
peningkatannya adalah FSH (Bobak, Irene, 2005)

2.2.5 Epidemiologi Klimaktorium


Banyak wanita yang akan menghadapi masa Klimakterium belum
mengetahui tentang sindrom klimakterium. Hal ini dapat dilihat dari
hasil penelitian Rahmayanti Erna tahun 2005, Hubungan Tingkat
Pengetahuan dan Sikap Tentang Klimakterium dengan Tindakan
Preventif Wanita Menjelang Menopause ditemukan responden
berpengetahuan baik 33,34% yang mempunyai sikap baik 45,24%
mempunyai tindakan preventif sebesar 21,43%. Hasil uji statistik
menunjukkan ada hubungan bermakna pada variabel pengetahuan ibu
menjelang menopause.
Saat ini Indonesia mempunyai 14 juta wanita menopause. Jumlah
ini diperkirakan mengalami peningkatan yang signifikan tiap tahun.
Berdasaran sensus penduduk tahun 2000 jumlah perempuan berusia di
atas 50 tahun mencapai 15,5 juta penduduk. Berdasarkan penghitungan
statistic diperkirakan tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia akan
mencapai 262,6 juta jiwa dengan jumlah perempuan yang hidup di
dalam masa menopause adalah sekitar 30,3 juta atau 11,5% dari total
penduduk, bahkan pada tahun 2025 diperkirakan aka nada 60 juta
wanita menopause (Naylor, C. Scott, 2005).

2.2.6 Komplikasi Klimaktorium

25
(Prawihardjo, Sarwono, 2006) Kekurangan estrogen yang terus
terjadi, dapat menyebabkan efek jangka panjang. Terdapat beberapa
komplikasi yang terjadi pada klimaktorium antara lain :
1. Atrofi vagina dan mukosa uretra
Menyebabkan penurunan keasaman vagina, yang
meningkatkan resiko infeksi, kekeringan vagina dan dispareunia,
serta gejala perkemihan, seperti desakan untuk berkemih, sering
berkemih dan sistitis.
2. Prolaps uterovagina
Menyebabkan atrofi dan perubahan otot dasar panggul dan ligamen
penopangnya.
3. Osteoporosis, penurunan masa tulang menyebabkan wanita lebih
rentan mengalami fraktur.
4. Penyakit kardiovaskular, terdapat peningkatan insidens penyakit
jantung koroner dan stroke secara bermakna pada wanita setelah
mengalami menopause.
5. Perubahan rambut dan kulit, dan atrofi payudara.
6. Defek kognitif, dimensia, dan cedera sistem saraf pusat
Mekanisme yang diajukan meliputi disregulasi berbagai
neurotransmiter, penurunan faktor pertumbuhan neuron, penurunan
aliran darah otak, peningkatan kejadian iskemia serebral secara
laten, dan perubahan pola tidur (misal : tidur yang
berhubungan dengan gangguan pernapasan, insomnia).

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang Klimakterium


Menurut (Bobak, Irene. M, 2005) terdapat beberapa pemeriksan
penunjang yang dapat dilakukan pada masa klimakterium antara lain :
a. Indeks maturasi
Penilaian terhadap defisiensi estrogen vagina adalah evaluasi
terhadap indeks pematangan epitel vagina. Prosedur ini dilakukan

26
dengan cara pengambilan sel pada batas atas dan sepertiga tengah
dinding samping vagina menggunakan sikat. Dibuat slide dan
dilakukan pengecatan dengan tehnik Papanicolaou kemudian
persentase dari sel parabasal, intermediat dan superfisialis dihitung.
Meskipun indeks maturasi berubah secara bermakna setelah
terapi pengganti estrogen, diagnosis tidak dapat membandingkan
indeks maturasi dengan karakteristik siklus haid.
d. pH vagina
Beberapa peneliti mengatakan bahwa peningkatan pH vagina (6,0-
7,5) dimana tidak ditemukan bakteri patogen menjadi alasan adanya
penurunan kadar estradiol serum. Uji ini dilakukan secara langsung
dengan kertas pH pada dinding lateral vagina. Perubahan pH dapat
diakibatkan oleh berubahnya komposisi dari sekresi vagina yang
menyertai atropi.
e. Ketebalan kulit
Estrogen menstimulasi pertumbuhan epidermal dan promotes
pembentukan kolagen dan asam hialuronik sehingga turgor dan
vaskularisasi kulit bertambah. Selama klimakterik, berkurangnya
kadar estrogen mengakibatkan epidermis menjadi tipis dan
atropi.
f. Pengukuran FSH
Pengukuran kadar plasma FSH telah dilakukan untuk
mencoba mengidentifikasi wanita perimenopause dan
postmenopause. Kadar FSH yang tinggi menunjukkan telah terjadi
menopause yang terjadi pada ovarium. Ketika ovarium menjadi
kurang responsif terhadap stimulasi FSH dari kelenjar pituitari
(produksi estrogen sedikit), kelenjar pituitari meningkatkan produksi
FSH untuk mencoba merangsang ovarium menghasilkan
estrogen lebih banyak. Bagaimanapun, banyak klinikus dan
peneliti meragukan nilai klinik dari pengukuran FSH pada
wanita perimenopause dimana kadar FSH berfluktuasi considerably
setiap bulan yang tergantung pada adanya ovulasi.

27
e. Estradiol
Penelitian longitudinal akhir-akhir ini melaporkan bahwa wanita
dengan early perimenopause (perubahan dalam frekuensi siklus)
kadar estradiol premenopause terjaga sedangkan pada
perimenopause lanjut (tidak haid dalam 3-11 bulan
sebelumnya) dan wanita postmenopause terjadi penurunan secara
bermakna dari kadar estradiol. Estradiol dapat diukur dari plasma,
urine dan saliva. Seperti halnya FSH, kadar estradiol
mempunyai variasi yang tinggi selama perimenopause.
f. Inhibin
Inhibin A dan inhibin B disekresikan oleh ovarium dan seperti
estradiol, exertumpan balik negatif terhadap kelenjar pituitari,
menurunkan sekresi FSH dan LH. Kurangnya inhibin menyebabkan
peningkatan FSH yang terjadi pada ovarium senescence. Kadar
inhibin B menurun pada perimenopause sedangkan inhibin A tidak
mengalami perubahan. Inhibin A akan menurun pada saat sekitar
haid akan berhenti. Kadar inhibin biasanya diukur dari plasma.
Ovarium menghasilkan inhibin B lebih sedikit karena hanya sedikit
folikel yang menjadi matang dan sejumlah folikel berkurang karena
umur. Rekomendasi program skrining untuk wanita usia 40 sampai
65 tahun setiap 1 sampai 3 tahun (Bobak dkk, 2004).

2.2.8 Penatalaksanaan Medis Klimaktorium


Suatu riwayat kesehatan yang menyeluruh, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan untuk membedakan status
klimakterium patologis dan klimakterium normal.Perubahan terakhir
riwayat menstruasi membantu perawat mengidentifikasi fase

28
klimakterium yang dialami wanita tentang kesehatannya, factor-faktor
budaya dan suku, dan pengetahuan serta khawatir.
Rencana perawatan dapat dilakukan melalui upaya seperti ERT,
latihan menahan beban, dan pemberian suplemen, yang mungkin
melibatkan cukup banyak efek samping serta biaya.Oleh karena itu,
negosiasi mutual tentang hasil akhir yang diharapkan merupakan aspek
yang paling penting.Kapanpun memungkinkan, libatkan pasangan
wanita atau suaminya serta anggota keluarga dalam rencana perawatan.
Wanita perlu mengetahui apa yang akan terjadi, mengapa hal itu
terjadi, serta tindakan apa yang dapat membantunya merasa lebih
nyaman. Mereka perlu mengetahui bahwa gejala tersebut memiliki
dasar fisiologis yang normal dan bahwa wanita lain juga memiliki
keluhan yang sama. Wanita memiliki kebutuhan untuk memperoleh
dukungan dari kelompok pendukung dan klinis yang mengenai masalah
menopause.Disini mereka dapat memperoleh perawatan kolaboratif,
yang melibatkan berbagai bidang, seperti endokrinologi, radiologi,
psikososial, fisiologi latihan fisik, serta nutrisi yang terkoordinasi dan
penelitian tentang berbagai terapi dapat diimplementasikan.
Terdapat penatalaksanaan yang dapat dilakukan dalam menangani
masalah – masalah pada klimaktorium antara lain :
1. Terapi penggantian hormone
ERT meningkatkan kadar kalsitonin dalam serum, yang
mencegah reabsorbsi tulang, serta mengurangi resiko fraktur
(Alveoli, 1992). ERT mulai diberikan sesegera mungkin setelah
menopause dan diteruskan sepanjang umur bila terapi dalam dapat
diterima oleh wanita tersebut (Mc Keon, 1990; Youngkin;
1990).Dosis yang dibutuhkan untuk mencegah osteoporosis ialah
0,625 mg estrogen kudan yang terkonjugasi.
Setiap obat memiliki rasio manfaat terhadap resiko ERT masih
kontroversial, tetapi banyak pihak berwenang merekomendasikan
terapi untuk semua wanita tanpa kontraindikasi pada saat menopause
(McKeon, 1990).

29
Program pemberian estrogen oral sekali seminggu dan secara
intramuscular telah tersedia, tetapi obat-obatan yang diberikan setiap
hari terbukti lebih aman. Estradiol transdermal dalam bentuk susuk
(patch), yang ditanam pada kulit dua kali seminggu membuat kadar
estrogen relative konstan (Whitehead, dkk, 1990). Beberapa wanita
mengalami iritasi kulit pada daerah penanaman susuk atau daerah
injeksi.
Tipe estrogen yang digunakan untuk ERT pasca menopause
tidak semanjur estradiol etinil yang digunakan dalam kontrasepsi
oral dan memiliki lebig sedikit efek samping yang berat.ERT tidak
menyebabkan hipertensi, penyakit pada kandung empedu, atau
peningkatan insiden tromboflebitis atau tromboembolisme pada
wnita menopause.ERT pasca menopause diasosiasikan dengan
penurunan morbiditas serta mortilitas, bahkan pada wanita yang
merokok (Mathews, dkk, 1989).

2.2.9 Konsep Asuhan Keperawatan Klimaktorium


A. Pengkajian
a. Identitas
1. Pada masa klimakterium dimana masa peralihan dalam
kehidupan normal seorang wanita sebelum mencapai senium,
yang mulai dari akhir masa reproduktif dari kehidupan sampai
masa non-reproduktif.
2. Masa klimakterium meliputi pramenopause, menopause, dan
pascamenopause. Pada wanita terjadi antara umur 40-65 tahun.
3. Klimakterium prekoks adalah klimakterium yang terjadi pada
wanita umur kurang dari 40 tahun.
4. Pramenopause adalah masa 4-5 tahun sebelum menopause,
keluhan klimakterik sudah mulai timbul, hormon estrogen
masih dibentuk. Bila kadar estrogen menurun maka akan
terjadi perdarahan tak teratur.

30
5. Menopause adalah henti haid yang terakhir yang terjadi dalam
masa klimakterium dan hormon estrogen tidak dibentuk lagi,
jadi merupakan satu titik waktu dalam masa tersebut.
Umumnya terjadi pada umur 45-55 tahun.
6. Pascamenopause adalah masa 3-5 tahun setelah menopause,
dijumpai hiper-gonadotropin (FSH dan LH), dan kadang-
kadang hipertiroid.
b. Keluhan Utama
1. Pramenopause : perdarahan tidak teratur, seperti oligomenore,
polimenore, dan hipermenore.
2. Gangguan nerovegetatif : gejolak panas ( hotflushes), keringat
banyak, rasa kedinginan, sakit kepala, desing dalam telinga,
tekanan darah yang goyah, jari-jari atrofi, gangguan usus (
meteorismus ).
3. Gangguan psikis : mudah tersinggung, lekas lelah, semangat
berkurang, susah tidur.
4. Gangguan organik : infark miokard aterosklerosis,
osteosklerosis, osteoporosi, afipositas, kolpitis, disuria,
dispareumia artritis, gejala endokrinium berupa hipertirosis
defeminisasi, virilasi dan gangguan libido.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Diabetes melitus
2. Hipertensi
3. Adipositas
4. Anovulasi
5. Infertilitas
6. Perokok
7. Alkoholisme
8. Hiperlipidemia.
d. Riwayat Keluarga
1. Hipertensi
2. Diabetes melitus

31
Pemahaman pasien mengenai kondisi harus digali untuk
mengidentifikasi gangguan masa klimakterium.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan stress psikologis
3. Disfungsi seksual perubahan struktur/fungsi seksual

32
C. Intervensi
Diagnosa
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
Ansietas Setelah dilakukan tindakan Pasien akan : Tindakan Mandiri :
berhubungan dengan keperawatan selama 2x24 3. pasien mampu j. Gunakan pendekatan yang menenangkan
perubahan status jam diharapkan cemas mengidentifikasi dan k. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
kesehatan berkurang. mengungkapkan gejala pelaku pasien
cemas l. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
4. mengidentifikasi, dirasakan selama prosedur
mengungkapkan dan m. Pahami preseptik pasien terhadap situasi
menunjukkan teknik stres
kontrol cemas n. Temani pasien untuk memberikan
5. TTV dalam batas normal keamanan dan mengurangi takut
6. Postur tubuh , ekspresi o. Identifikasi tingkat kecemasan pasien
wajah, bahasa tubuh dan p. Bantu pasien mengenal situasi yang
tingkat aktivitas menimbulkan kecemasan
menunjukkan q. Dorong pasien untuk mengungkapkan
berkurangnya kecemasan perasaan dan ketakutan
r. Instruksikan pasien menggunakan teknik

33
relaksasi

Gangguan pola tidur Setelah dilakukan tindakan Pasien akan : Tindakan Mandiri :
berhubungan dengan keperawatan selama 2x24 a. Jumlah jam tidur dalam a. Tentukan kebiasaan tidur dan perubahan
stress psikologis jam diharapkan pasien batas normal 6 – 8 yang terjadi
mampu tidur dengan pulas. jam/hari b. Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat
b. Pasien melaporkan c. Ciptakan lingkungan yang nyaman
perubahan dalam kualitas d. Tingkatkan kenyamanan waktu tidur,
pola tidur/istirahat dalam misal: mandi air hangat, masase
batas normal e. Instruksikan untuk memonitor tidur
c. Pasien mengungkapkan pasien.
peningkatan rasa sejahtera f. Monitor kebutuhan tidur pasien setiap hari
atau segar sesudah tidur dan jam.
atu istirahat.

Disfungsi seksual Setelah dilakukan tindakan Pasien akan : Tindakan Mandiri :


berhubungan dengan keperawatan selama 2x24 a. Menunjukan keinginan a. Ciptakan lingkungan saling percaya dan
perubahan jam diharapkan disfungsi untuk mendiskusikan beri kesempatan kepada klien untuk

34
struktur/fungsi seksual teratasi. perubahan fungsi seksual menggambarkan masalahnya dalam kata-
seksual b. Meminta informasi yang kata sendiri.
dibutuhkan tentang b. Beri informasi tentang kondisi individu
perubahan fungsi c. Beri informasi yang diperlukan untuk
seksual meningkatkan fungsi seksual(misalnya
latihan pereda stres)
d. Bantu pasien mengungkapkan kesedihan
dam kemarahan terhadap perubaha fungsi
dan penampilan tubuh.

35
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Endometriosis adalah suatu lesi jinak dengan sel yang serupa dengan sel
yang melapisi uterus, tumbuh secara menyimpang di rongga panggul di luar
uterus. Selama menstruasi, jaringan etopik ini berdarah, sebagian besar ke
area yang tidak memiliki lubang keluar, yang menyebabkan nyeri. Jaringan
endometrial dapat juga menyebar melalui saluran limfatik atau vena.
Penyebab endometriosis tidak diketahui dengan pasti, walaupun telah
dikemukakan beberapa teori. Menstruasi retrograd, teori yang paling diterima,
meyatakan bahwa sekresi menstrual mengalir baik melalui tuba fallopi dan
mengendapkan partikel jaringan endometrium hidup diluar rongga uterus.
Jaringan endometrium ini lalu bereproduksi dalam struktur pelvis.
Tanda gejala pada endometriosis antara lain : Gejala yang sering di
temukan adalah nyeri panggul dan infertilitas, tetapi banyak pasien
asimtomatik. Temuan fisik yang sering ditemukan adalah uterus dengan
posisi retroversi cekat, nodularitas ligamentum uterosakrum, dan adneksa
yang membesar serta lunak dan nyeri.
Klimaktorium merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dengan
masa senium( kemunduran alat – alat tubuh dan kemampuan fisik, sebagai
proses menjadi tua) yang bersifat fisiologis dan terjadi sekitar usia 40 tahun
keatas. Klimaktorium juga sering disebut sebagai masa perimenopause.
Masa klimaktorium, biasanya ditandai dengan siklus haid yang tidak
teratur. Klimaktorium bisa terjadi selama beberapa bulan sampai beberapa
tahun sebelum menopause.
Ketidakstabilan vasomotor merupakan gangguan yang paling umum pada
klimakterium.Wanita ini mengalami vasodilatasi dan vasokontriksi yang
berubah-rubah. Seperti warna kemerahan akibat panas (flashes) dan keringat
malam.

36
3.2 Saran
Demikian makalah yang dapat penulis paparkan mengenai Endometriosis
dan Masalah Klikmatorium. Semoga makalah ini berguna bagi pembaca,
khususnya bagi mahasiswa. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih
terdapat kesalahan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun kami
harapkan untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.

37
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Irene. M. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC

Brunner & Suddarth., 2013. Keperawatan Medikal – Bedah Brunner & Suddarth.
Jakarta : EGC

Greenberg. 2007. Teks Atlas Kedokeran Kedaruratan Greenberg Jilid 2. Jakarta:


Erlangga

M. Black, Joyce & Hokanson Hawks. 2014. Keperawatan Medikal Bedah


Manajamen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan Edisi 8 Buku 2. Jakarta :
Salemba Emban Patria

Naylor, C. scott. 2005. Obstetri – Ginekologi ReferensiRingkas. Jakarta: EGC

Norwitz , Errol & Schorge, John.2006. At a Glance Obstetri dan Ginekologi Edisi
Kedua. Jakarta : Erlangga

Nurarif, Amin & Kusuma, Hardhy. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic – Noc. Yogyakarta :
Mediaction

Praptiani, W., & Barrid, B. (Ed). (2011). Kapita Selekta dan Penyakit dengan
Implikasi Keperawatan. Jakarta : EGC

Prawihardjo, Sarwono. 2006. Ilmu Kandungan. Jakarta : Gramedia

Smeltzer, Suzanne C. & Brenda G Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal –
Bedah Brunner & Sudarth Edisi 8. Jakarta : EGC

Wiji Lestari, Tri., Ulfiana Elisa., & Suparmi. 2013. Buku Ajar Kesehatan
Reproduksi Berbasis Kompetensi. Jakarta : EGC

38

Вам также может понравиться